dasar dan proses opini

17
Paper Dasar Pertimbangan dan Proses Perumusan Opini dalam Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Daerah Eko Julianto, SE, M.Sc, Ak, CFE Kepala Subauditorat Perwakilan II BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara

Upload: wahid-hasyim

Post on 18-Feb-2015

67 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

opini

TRANSCRIPT

Page 1: Dasar Dan Proses Opini

Paper

Dasar Pertimbangan dan Proses Perumusan Opini dalam Pemeriksaan atas

Laporan Keuangan Daerah

Eko Julianto, SE, M.Sc, Ak, CFE

Kepala Subauditorat Perwakilan II

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara

Page 2: Dasar Dan Proses Opini

DAFTAR ISI

A. PENDAHULUAN .......................................................................................................................1

B. PRAKTIK PENGAMBILAN OPINI (DI PERWAKILAN) .................................................................1

C. DASAR PERTIMBANGAN PERUMUSAN OPINI .........................................................................2

1. KECUKUPAN BUKTI AUDIT ..............................................................................................2

2. SALAH SAJI .......................................................................................................................4

3. MATERIALITAS ..................................................................................................................6

D. JENIS OPINI DAN DASAR PERTIMBANGANNYA......................................................................9

1. KONDISI YANG MENGHARUSKAN AUDITOR MENERBITKAN OPINI BENTUK BAKU ...10

2. KONDISI YANG MENGHARUSKAN AUDITOR MEMODIFIKASI OPINI ...........................11

E. MATRIKS PERUMUSAN OPINI ................................................................................................14

F. PENUTUP.................................................................................................................................14

LAMPIRAN.......................................................................................................................................16

DAFTAR PERAGA

Peraga 1. Contoh Kondisi yang Berdampak pada Ketidakmampuan Auditor dalam Memperoleh Bukti yang Cukup Memadai ................................................... 3

Peraga 2. Klasifikasi dan Kondisi Salah Saji................................................................. 5

Peraga 3. Tingkatan Materialitas ................................................................................ 7

Peraga 4. Pertimbangan Pervasiveness ....................................................................... 8

Peraga 5. Kondisi untuk Opini WTP ......................................................................... 10

Peraga 6. Kondisi untuk Opini WTP dengan Paragraf Penjelasan .............................. 10

Peraga 7. Keadaan yang Mengharuskan Auditor Memodifikasi Opini ....................... 11

Peraga 8. Kondisi untuk Opini Wajar Dengan Pengecualian..................................... 12

Peraga 9. Kondisi untuk Opini Tidak Wajar.............................................................. 12

Peraga 10. Kondisi untuk Tidak Memberikan Pendapat ............................................ 12

Peraga 11. Matriks Pertimbangan dan Jenis Opini Modifikasian ............................... 12

Peraga 12. Bagan Alur Proses Penentuan Opini........................................................ 13

Page 3: Dasar Dan Proses Opini

Dasar Pertimbangan dan Proses Perumusan Opini dalam Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Daerah

A. Pendahuluan

Perumusan opini atas laporan keuangan pemerintah merupakan tahapan yang krusial dalam sebuah penugasan audit keuangan. Di samping menjadi ukuran atas kualitas laporan keuangan pemerintah, opini yang dikeluarkan auditor juga mencerminkan kualitas dari pekerjaan audit itu sendiri.

Dalam praktik audit keuangan di BPK, perumusan opini ini tanpa disadari telah menjadi sebuah proses yang problematik. Dikatakan problematik karena pada kenyataannya para auditor BPK, khususnya di Perwakilan, sering menghadapi kesulitan dalam merumuskan opini dan, sebagai konsekuensinya, opini yang dibuat para auditor itu terkadang tidak konsisten satu sama lain. Bisa jadi, pemda yang kualitas laporannya lebih baik memperoleh opini lebih jelek dari pemda yang pelaporan keuangannya kurang baik.

Persoalan inkonsitensi perumusan opini ini sebenarnya telah diketahui kalangan pemda. Penulis sendiri pernah mendapat informasi dari seorang kolega yang menyatakan bahwa dalam forum pertemuan antarpemda, baik itu di tingkat provinsi atau di Kementerian Dalam Negeri, beberapa pemda saling membandingkan dan menanyakan mengapa opininya lebih buruk dari pemda lainnya. Bahkan ada juga yang mulai ingin tahu mengenai proses pengambilan opini di BPK. Pendeknya, BPK jadi bahan perbincangan, atau pergunjingan tepatnya, antarpemda menyangkut opini yang telah dikeluarkan untuk mereka.

Untuk alasan tersebut, BPK sudah sepantasnya segera memberi perhatian khusus dan menanggapi permasalahan ini secara profesional. Alasannya tidak lain karena persoalan ini menyangkut salah satu “bisnis utama” (core business) BPK. Di samping itu, BPK sendiri telah mencanangkan diri untuk menjadi lembaga yang transparan dan akuntabel serta ingin menjadi contoh yang baik, leading by example. Respon terkait hal itu memiliki urgensi yang tinggi karena menyangkut kredibilitas BPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan tertinggi dalam memeriksa pengelolaan keuangan Negara. Bisa dibayangkan, bagaimana seandainya gunjingan-gunjingan tersebut lama-lama berubah jadi pertanyaan mengenai profesionalitas BPK, yang selama ini mereka anggap “dewa” dalam pemeriksaan keuangan Negara.

B. Praktik Pengambilan Opini (di Perwakilan)

Menyangkut inkonsistensi perumusan opini, penulis telah mengidentifikasi permasalahan mendasar yang ikut berkontribusi dalam menciptakan kebingungan para auditor dalam merumuskan opini, yang berujung pada inkonsistensi opini yang di keluarkan BPK, khususnya di Perwakilan. Permasalahan tersebut adalah belum jelasnya standar atau petunjuk yang baku mengenai dasar pertimbangan dan proses perumusan opini, meskipun BPK beberapa kali telah mengeluarkan Petunjuk Teknis (Juknis) Pemeriksaan Keuangan Daerah (terakhir terbit 2007) yang di dalamnya juga terdapat panduan perumusan opini, yang berbentuk suatu bagan alur (flowchart) perumusan opini.

Meski demikian, penulis berpendapat bahwa dalam praktik bagan alur tersebut justru sering membingungkan dan memicu banyak ketidaksepakatan di antara para auditor

Page 4: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 2

© Eko Julianto, 2010

atau tim review opini sendiri. Mengapa? Karena panduan tersebut, menurut saya, sangat sumir dan kurang detail. Bagan tersebut dibiarkan tampil tanpa ada penjelasan yang memadai sehingga memicu banyak interpretasi di antara para auditor sendiri.

Dalam merumuskan opini, tim seringkali menghadapi berbagai kondisi atau temuan yang beragam yang menjadi pertimbangan dalam perumusan opini. Akan tetapi, keragaman kondisi atau temuan auditor tersebut ternyata tidak diakomodasi secara jelas oleh Juknis tersebut. Sebagai konsekuensinya, opini yang keluar akhirnya juga sangat beragam dan tidak dapat diperbandingkan satu sama lain. Dengan kata lain, jika beberapa tim mengeluarkan opini wajar dengan pengecualian (WDP), misalnya, maka justifikasi yang diambil oleh masing-masing tim tidak sama. Pada titik ini, saya berpendapat bahwa kredibilitas BPK sudah dipertaruhkan. Bagaimana mungkin, misalnya, suatu pemda yang memiliki temuan-temuan yang berpengaruh pada opini atau sistem pengendaliannya buruk, memperoleh opini WDP sama dengan pemda yang secara objektif memang baik?

Dalam beberapa kali kesempatan sebagai anggota tim review, saya sendiri pernah mengikuti rapat review opini yang berakhir pada ketidaksepakatan karena beragamnya asumsi dari para peserta rapat. Meskipun opini akhirnya diputuskan, entah dengan voting atau ditentukan oleh seseorang yang dianggap lebih senior maupun lebih tinggi jabatannya, proses pengambilan opini tersebut tetaplah tidak akuntabel dan berbahaya.

C. Dasar Pertimbangan Perumusan Opini

Berlatar belakang persoalan inkonsistensi pengambilan opini tersebut, melalui tulisan ini saya mengusulkan sebuah acuan perumusan opini yang (harapannya) lebih praktis dan terukur, dengan tetap mempertimbangkan aspek ilmiah. Tiga referensi utama yang saya gunakan untuk membuat rumusan proses perumusan opini tersebut adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), The International Standards for Supreme Audit Institution (ISSAI) dan buku diktat audit karangan Arens. Dengan referensi ini diharapkan usulan acuan ini dapat dipertanggungjawabkan baik secara akademis maupun profesional.

Adapun usulan proses perumusan opini dimaksud juga akan saya tuangkan dalam wujud sebuah bagan alur ditambah dengan matrik penilaian opini. Namun, sebelum membahasnya saya mengajak Anda untuk sejenak mengulas tiga konsep pokok yang menjadi dasar perumusan opini, yaitu kecukupan bukti, salah saji dan materialitas. Pemahaman atas tiga konsep ini sungguh penting, karena salah satu akar masalah inkonsistensi perumusan opini yang kita hadapi saat ini sebenarnya juga berawal dari ketidakseragaman pemahaman atas ketiga konsep ini di antara para auditor BPK sendiri.

1. Kecukupan Bukti Audit

Untuk memulai pembahasan, perlu kita ingat kembali bahwa SPKN mensyaratkan auditor untuk senantiasa menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama (due professional care) dalam pelaksanaan pemeriksaan serta penyusunan laporan.1 Selanjutnya, dalam pelaksanaan tugasnya, pemeriksa juga wajib mengumpulkan bukti yang kompeten melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan

1 SPKN, Standar Umum, paragraph 27

Page 5: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 3

© Eko Julianto, 2010

pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.2

Dalam kaitan proses perumusan opini atas laporan keuangan, pelaksanaan dua pernyataan standar tersebut, khususnya yang disebut terakhir, adalah keharusan. Artinya, sebelum menentukan opini, auditor harus meyakinkan bahwa dirinya telah melakukan semua prosedur audit dalam menguji laporan keuangan. Auditor tidak boleh menyimpulkan sesuatu hanya dari satu prosedur saja, misalnya reviu dokumen saja, melainkan juga diminta menerapkan prosedur lain seperti penghitungan kembali, wawancara, pengamatan, konfirmasi dan lain-lain untuk memperoleh keyakinan akan sebuah transaksi atau akun yang tengah diuji. Berbagai prosedur harus dilakukan agar auditor pada akhirnya dapat memperoleh bukti audit yang cukup memadai (appropriate sufficient audit evidence).

Lalu, kapan auditor boleh menyatakan bahwa ia tidak mampu mengumpulkan bukti atau menyimpulkan tidak ada bukti lain yang diperoleh selama penugasan? Pertanyaan ini sungguh krusial karena akan menentukan soal kecukupan bukti yang akan dijadikan bahan pengambilan kesimpulan audit. Menyangkut hal ini, ISSAI menyatakan bahwa ketidakmampuan auditor dalam memeroleh bukti dapat terjadi karena tiga hal: (a) keadaan yang di luar kendali entitas, (b) keadaan terkait dengan sifat (nature) dan waktu (timing) penugasan audit atau (c) pembatasan yang dilakukan oleh manajemen.3 Contoh untuk ketiga kondisi tersebut adalah sebagai berikut.

Peraga 1. Contoh Kondisi yang Berdampak pada Ketidakmampuan Auditor dalam Memperoleh Bukti yang Cukup Memadai

Keadaan di luar kendali entitas

! Catatan akuntansi hancur (karena kebakaran misalnya)

! Catatan akuntansi telah disita oleh aparat pemerintah untuk waktu yang tidak dapat ditentukan (misalnya kejaksaan, kepolisian)

Keadaan terkait sifat dan waktu penugasan

! Waktu yang tersedia untuk penghitungan persediaan tidak cukup

! Auditor menentukan bahwa penerapan prosedur substantif saja tidak cukup, tapi pengendalian entitas tidak efektif

Pembatasan oleh manajemen

! Manajemen melarang auditor menghitung persediaan

! Manajemen manghalangi auditor konfirmasi kepada pihak ketiga menyangkut akun tertentu

Perlu digarisbawahi, ketidakmampuan auditor dalam menerapkan suatu prosedur tidak boleh dianggap sebagai pembatasan audit apabila auditor dapat melakukan prosedur alternatif untuk mengumpulkan bukti yang diperlukan. Auditor baru boleh berhenti dalam mengumpulkan bukti dan menyimpulkan bahwa bukti yang cukup tidak dapat diperoleh apabila auditor tidak dapat menjalankan prosedur alternatif.

Dari uraian sederhana ini, seharusnya kini dapat dipahami bahwa kepastian mengenai kemampuan auditor dalam memperoleh bukti audit sangat penting karena hal inilah yang kemudian akan menjadi penentu sekaligus asumsi dalam seluruh proses pengambilan keputusan soal opini atas laporan keuangan. Oleh karena itu, dalam bagan alur pengambilan opini yang saya usulkan, soal kecukupan bukti menjadi

2 Ibid, Standar Pekerjaan Lapangan, paragraph 03 huruf c. 3 ISSAI 1705, Financial Audit Guidelines: Modifications to the Opinion in the Independent Auditor’s

Report, halaman 967

Page 6: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 4

© Eko Julianto, 2010

pertanyaan pertama yang harus dijawab sebelum melangkah ke proses penilaian berikutnya menyangkut salah saji dan materialitas.

2. Salah Saji

SPKN menyatakan bahwa pemeriksaan keuangan bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.4 Standar ini secara implisit menyatakan bahwa pemeriksaan keuangan adalah sebuah proses pengumpulan dan evaluasi bukti agar auditor dapat menilai apakah laporan keuangan secara keseluruhan bebas dari salah saji yang material.

Dari pernyataan tujuan di atas, nampak jelas bahwa yang menjadi inti dari pemeriksaan keuangan adalah soal penilaian mengenai ada tidaknya salah saji (misstatement) dalam pelaporan keuangan. Berbekal pengertian ini, banyak auditor keuangan kemudian secara terang-terangan berusaha mengumpulkan kesalahan perhitungan dan pencatatan akuntansi, yang merupakan bentuk salah saji, dan temuan-temuan lain yang terkait salah saji dalam laporan keuangan yang tengah mereka audit. Salah satu tujuan auditor melakukan hal ini adalah mencari koreksi akuntansi sebanyak-banyaknya, di samping mengumpulkan bahan yang akan dijadikan dasar opini.

Namun, yang menjadi persoalan sekarang bukan seberapa banyak koreksi yang dibuat atau temuan yang berhasil dilaporkan melainkan bagaimana para auditor menafsirkan salah saji atau temuan yang telah berhasil mereka kumpulkan. Nah, pada titik ini, permasalahan inkonsistensi opini mulai muncul. Mengapa? Karena apabila dilihat lebih dekat, pengertian mereka mengenai salah saji ini ternyata sangat beragam dan keberagaman pengertian mengenai salah saji tersebut mengandung bahaya tersendiri karena akan berdampak pada hasil keputusan soal opini.5

Untuk mencari titik temu dari berbagai penafsiran mengenai salah saji, mari kita tengok kembali pengertian dasar dari salah saji tersebut agar kita memiliki landasan yang sama dalam merumuskan opini. ISSAI mendefinisikan salah saji (misstatement) sebagai suatu perbedaan antara jumlah, klasifikasi, penyajian, atau pengungkapan atas suatu item terlapor dalam sebuah laporan keuangan dan jumlah, klasifikasi, penyajian, atau pengungkapan yang dipersyaratkan untuk item tersebut menurut kerangka pelaporan keuangan yang berlaku (applicable financial reporting framework).6,7

Apabila dilihat dari definisi tadi, akan nampak jelas bahwa salah saji sebenarnya bukan hanya soal perbedaan jumlah, klasifikasi atau penyajian atau melulu soal angka, yang dalam terminologi auditor sering disamakan dengan angka-angka akuntansi yang lebih saji (overstated) atau kurang saji (understated). Menurut definisi tersebut, salah saji juga terkait dengan perbedaan pengungkapan yang lebih bersifat kualitatif. Salah saji jenis ini biasanya terkait dengan kecukupan pengungkapan informasi dalam catatan

4 SPKN, Pendahuluan Standar Pemeriksaan, paragraph 14. 5 Salah saji yang berpengaruh pada opini adalah salah saji yang tidak dapat dikoreksi dengan alasan (1)

entitas tidak bersedia melakukan koreksi akuntansi, (2) secara teknis koreksi tersebut memang tidak bisa dilakukan karena terikat pada peraturan atau kebijakan (sebagai contoh, dalam kebijakan audit BPK, salah saji yang terkait dengan pelampauan atau kesalahan pembebanan tidak dapat dikoreksi) 6 ISSAI 1705, Financial Audit Guidelines: Modifications to the Opinion in the Independent Auditor’s

Report, halaman 965 7 Dalam hal ini Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP)

Page 7: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 5

© Eko Julianto, 2010

atas laporan keuangan (CaLK). Bagian ini tidak kalah pentingnya dengan ketepatan pelaporan angka-angka akuntansi karena melalui CaLK para pembaca laporan keuangan terkadang dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap, informatif, yang tidak jarang justru menjadi penentu dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, para auditor juga mulai memperhatikan aspek kecukupan pengungkapan informasi dalam CaLK sebagai bahan penilaian salah saji dalam pelaporan keuangan.

a. Klasifikasi Salah Saji

Intosai menyatakan bahwa suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat muncul dalam kaitannya dengan (1) kesesuaian kebijakan akuntansi terpilih, (2) penerapan kebijakan akuntansi terpilih; atau (3) kesesuaian atau kecukupan pengungkapan dalam laporan keuangan.8 Peraga berikut ini menunjukkan berbagai kondisi yang menjelaskan untuk masing-masing klasifikasi salah saji di atas.

Peraga 2. Klasifikasi dan Kondisi Salah Saji

Kesesuaian Pilihan Kebijakan Akuntansi

! Kebijakan akuntansi yang dipilih tidak konsisten dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku, atau

! Laporan keuangan, termasuk catatan terkait, tidak merepresentasikan transaksi dan kejadian yang sebenarnya (underlying transactions and events) sehingga penyajian yang wajar tidak dapat dilakukan.

Penerapan kebijakan akutansi terpilih

! Manajemen tidak secara konsisten menerapkan kebijakan akuntansi tersebut sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan, termasuk ketika manajemen tidak menerapkan kebijakan akuntansi secara konsisten antarperiode atau antartransaksi yang sejenis (konsistensi penerapan); atau

! Terjadi kesalahan penerapan kebijakan akuntansi (misalnya karena kesalahan yang tidak disengaja dalam menerapkan kebijakan akuntansi).

Kesesuaian atau kecukupan pengungkapan dalam laporan keuangan

! Laporan keuangan tidak memasukkan semua hal yang perlu diungkapkan sesuai yang dipersyaratkan dalam kerangka pelaporan keuangan yang berlaku;

! Pengungkapan dalam laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku; atau

! Laporan keuangan tidak mengungkapkan hal-hal yang dipersyaratkan untuk mencapai penyajian yang wajar (fair presentation)

b. Penyebab Salah Saji

Untuk memudahkan dalam mengenal bentuk atau jenis salah saji dalam pelaporan keuangan pemerintah, auditor juga perlu mempertimbangkan penyebab terjadinya salah saji itu sendiri. SPKN bahkan menegaskan bahwa auditor harus merancang prosedur untuk mendeteksi salah saji material yang disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud) dan ketidakpatutan (abuse).9 Dari pernyataan standar ini dapat dipahami bahwa salah saji tidak melulu terkait dengan ketidakpatuhan pada standar akuntansi semata melainkan juga

8 ibid 9 SPKN, PSP 02 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan, Paragraf 19-22

Page 8: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 6

© Eko Julianto, 2010

melibatkan faktor lain sepanjang akibatnya material terhadap penyajian laporan keuangan.

Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan terjadi ketika entitas melakukan kegiatan yang tidak sejalan dengan ketentuan yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan negara dalam arti luas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 2. Terkait dengan pelaporan keuangan daerah, peraturan dimaksud juga termasuk semua peraturan yang mengatur keuangan daerah, di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Ketidakpatuhan pada ketentuan pengelolaan keuangan Negara/Daerah tersebut banyak ragamnya, dari ketidakcukupan bukti-bukti pertanggungjawaban keuangan sampai dengan pelampauan anggaran.

Kecurangan yang terjadi di lingkungan pemerintah daerah pada dasarnya juga dapat mengakibatkan terjadinya salah saji. Mengapa? Karena secara logika, ketika melakukan kegiatan-kegiatan ilegal atau tidak sah secara hukum, sudah dapat dipastikan pemda akan berupaya untuk menutupinya. Dan upaya untuk menutupi fakta tersebut mau tidak mau juga berujung pada penyajian pertanggungjawaban dan laporan palsu. Contoh yang paling sering terjadi di daerah adalah adanya kegiatan fiktif, pembiayaan kegiatan dengan akun belanja lainnya, memahalkan biaya pembelian barang (mark up) dan tidak melaporkan pendapatan daerah yang diterima. Pelaporan yang tidak semestinya atas semua transaksi atau aktivitas ilegal tersebut pada akhirnya akan menyesatkan para pembaca laporan keuangan karena laporan keuangan tidak mengungkapkan fakta, transaksi atau kejadian yang sebenarnya (underlying transactions and events).

Ketidakpatutan berbeda dengan penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan kecurangan. Ketidakpatutan merupakan perbuatan yang tidak masuk akal dan di luar praktik-praktik yang lazim. Contoh ketidakpatutan, seperti disajikan dalam SPKN, adalah renovasi rumah seorang pejabat tinggi yang melampaui spesifikasi yang seharusnya. Dalam hal ini auditor mungkin tidak melihat biaya renovasi secara kuantitatif sebagai faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan, tetapi mungkin lebih melihat biaya tersebut sebagai faktor kualitatif yang mempengaruhi tujuan audit. Meskipun demikian, karena penentuan terjadinya ketidakpatutan bersifat subjektif, auditor diharapkan tidak memberikan keyakinan yang memadai dalam mendeteksi adanya ketidakpatutan. Auditor harus mempertimbangkan faktor kuantitatif dan kualitatif dalam menentukan signifikansi ketidakpatutan yang mungkin terjadi.

3. Materialitas

Hal ketiga yang perlu dipertimbangkan auditor dalam menyimpulkan opini atas laporan keuangan, di samping kecukupan bukti dan salah saji, adalah materialitas. Materialitas merupakan konsep sentral dalam audit keuangan karena menjadi tolok ukur dalam menentukan derajat salah saji yang terjadi dalam pelaporan keuangan. Sebuah salah saji dapat dikatakan material apabila kesalahan penyajian tersebut dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pengguna laporan.10

10 Arens & Loebbecke, 2002, Auditing Pendekatan Terpadu, Buku Satu – Edisi Indonesia, Salemba Empat,

halaman 79

Page 9: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 7

© Eko Julianto, 2010

a. Tingkatan Materialitas

Dalam penerapan konsep materialitas ini, terdapat tiga tingkatan nilai yang digunakan untuk menentukan jenis opini yang akan diterbitkan: (1) Tidak material, (2) Material tetapi tidak mempengaruhi keseluruhan penyajian laporan keuangan, dan (3) Sangat material sehingga kewajaran seluruh laporan keuangan dipertanyakan.11 Penjelasan mengenai tingkatan materialitas tersaji dalam peraga berikut.

Peraga 3. Tingkatan Materialitas

Tidak Material Kesalahan penyajian dapat terjadi tetapi salah saji tersebut tidak mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh pengguna laporan keuangan. Klasifikasi tidak material ini biasanya menyangkut jumlah-jumlah salah saji yang kecil bila apabila dibandingkan dengan nilai laporan keuangan.

Material tetapi tidak mempengaruhi keseluruhan penyajian laporan keuangan

Tingkat materialitas ini hadir manakala salah saji yang terjadi dapat mempengaruhi keputusan seorang pengguna laporan keuangan, tetapi secara keseluruhan laporan keuangan tetap disajikan secara wajar dan tetap dapat digunakan. Sebagai contoh, bila diketahui terdapat kesalahan penyajian aktiva tetap yang bernilai cukup besar, hal ini kemungkinan dapat mempengaruhi pengguna laporan keuangan, misalnya DPRD, untuk membuat keputusan penganggaran. Namun, salah saji tersebut tidak memiliki pengaruh menyeluruh pada kewajaran laporan keuangan, karena dampaknya hanya terjadi pada akun tersebut.

Sangat material sehingga kewajaran seluruh laporan keuangan dipertanyakan

Tingkat materialitas tertinggi terjadi apabila terdapat probabilitas yang sangat tinggi bahwa pengguna laporan keuangan akan membuat keputusan yang tidak benar jika pengguna tersebut menyandarkan diri pada keseluruhan laporan keuangan dalam pembuatan keputusan mereka. Pada tingkat ini, salah saji yang terjadi dikatakan sebagai pervasive. Contoh, apabila salah saji terjadi terkait dengan transaksi pendapatan daerah yang jumlahnya sangat besar, maka salah saji tersebut memiliki pengaruh terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan sehingga pengguna laporan keuangan dapat membuat keputusan yang salah. Dalah hal ini, transaksi pendapatan memiliki pengaruh yang besar pada laporan keuangan karena menyangkut akun-akun lain, seperti kas dan piutang.

b. Pervasiveness

Saat menentukan tingkat materialitas dari suatu kesalahan penyajian, auditor juga harus mempertimbangkan seberapa besar pengaruh salah saji tersebut terhadap bagian-bagian laporan keuangan lainnya. Pengaruh semacam ini disebut sebagai tingkat resapan atau rembetan (pervasiveness). Suatu salah saji dikatakan pervasive apabila salah saji tersebut memiliki pengaruh pada akun lain. Seperti telah dicontohkan pada peraga di atas, kegagalan mencatat transaksi pendapatan yang bernilai tinggi dapat memiliki dampak yang pervasive karena transaksi ini akan berkaitan dengan akun lain di neraca, yaitu kas dan piutang, dan ekuitas dana lancar. Sementara itu, kesalahan pencatatan kas atau piutang itu sendiri tidak memiliki pengaruh pada akun lain sehingga salah saji pada kedua akun tersebut tidak pervasive.

Dalam penilaian auditor, dampak pervasive pada laporan keuangan bisa: (1) terkait pada elemen, akun atau item khusus dalam laporan keuangan, (2) jika memang terkait,

11 Ibid, hal 79-80

Page 10: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 8

© Eko Julianto, 2010

dapat merepresentasikan proporsi yang substansial dalam laporan keuangan, lalu, (3) sebuah salah saji dikatakan pervasive apabila menyangkut pengungkapan yang bersifat fundamental pada pemahaman pengguna atas laporan keuangan. Peraga berikut memberikan gambaran atau contoh mengenai tiga pertimbangan yang mempengaruhi pervasiveness tersebut.

Peraga 4. Pertimbangan Pervasiveness

Elemen, akun atau item dalam laporan keuangan

Meskipun pertimbangan mengenai pervasiveness bisa berbeda-beda dalam setiap penugasan, namun dalam pelaporan keuangan daerah dapat dikenali beberapa akun yang menurut sifatnya memiliki bawaan sifat pervasive karena pengaruhnya pada elemen lain dalam laporan keuangan. Akun-akun tersebut antara lain:

" Pendapatan (terkait SiLPA, kas, piutang dan ekuitas dana lancar)

" Belanja pegawai – tidak langsung (terkait potongan PFK)

" Belanja modal (terkait asset tetap dan ekuitas dana investasi)

Proporsi yang substansial

Tidak ada ukuran baku yang menjadi besaran proporsi yang bersifat substansial karena ini lebih didasarkan pada pertimbangan auditor. Untuk memudahkan penilaian auditor bisa menetapkan kebijakan mengenai batasan proporsi yang dianggap fundamental, misanya 20% dari nilai asset, pendapatan atau belanja.

Pengungkapan yang bersifat fundamental

Pengungkapan dikatakan fundamental apabila dapat memengaruhi pengguna laporan keuangan membuat keputusan atau penilaian yang berbeda apabila tidak diungkapkan.

c. Pertimbangan Materialitas dalam Akuntansi Sektor Publik

Tujuan pelaporan keuangan dalam sektor publik bisa dikatakan lebih luas dari pada sektor privat karena di dalamnya mencakup unsur kepatuhan kepada peraturan perundangan-undangan termasuk efektivitas pengendalian intern. Cakupan tujuan pelaporan terakhir ini bahkan telah menjadi bahan bagi legislator, regulator dan masyarakat luas, sebagai pengguna utama laporan keuangan, untuk menilai akuntabilitas pemerintah dan membuat keputusan lain, selain keputusan ekonomi. Lesgislator, misalnya, akan memanfaatkan laporan keuangan memutuskan pendanaan terkait berbagai program, aktivitas dan fungsi pemerintah. Untuk alasan ini, auditor pemerintah harus mempertimbangkan aspek kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, kebutuhan informasi legislator dan masyarakat luas terkait program-program sektor publik dalam penentuan materialitas.12,13,14

Ketika menentukan tingkatan materialitas, auditor harus mempertimbangkan baik aspek kuantitas maupun kualitas salah saji, di samping sifat dari item yang terkait. Pertimbangan aspek kuantitas biasanya menyangkut besaran atau nilai rupiah salah saji atau jumlah orang atau entitas yang terpengaruh oleh salah saji tersebut. Dalam beberapa kasus, aspek kualitas salah saji dianggap lebih penting daripada aspek kuantitatif dan hal ini biasanya disebabkan oleh visibilitas dan sensitivitas dari program-program tertentu bagi public account committee di lembaga perwakilan, atau lembaga-lembaga pengatur (regulatory bodies) yang memiliki kepentingan dengan program pemerintah. Harapan dan kepentingan masyarakat umum serta tingkat

12 ISSAI 100, Fundemental Auditing Principle, 1.0.10 13 ISSAI 1320 – Practice Notes 320, Paragraf P4 14 ISA 320 Paragraf A2.

Page 11: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 9

© Eko Julianto, 2010

keseriusan masalah ketidakpatuhan juga bisa menjadi pertimbangan auditor dalam menentukan tingkat materialitas. Sebagai contoh, meskipun bukan perkara pidana, masalah pelampauan anggaran yang telah disetujui DPRD atau pelaksanaan suatu kegiatan baru yang tidak disediakan anggarannya, menurut sifatnya hal itu bisa diklasifikasikan sebagai masalah yang serius.15

Ketika merumuskan strategi audit pada tahap perencanaan, auditor harus menentukan materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan. Apabila dalam situasi di mana auditor menemukan salah saji menyangkut kelas transaksi, saldo akun atau pengungkapan tertentu yang nilainya lebih kecil dari tingkat materialitas laporan keuangan namun dapat mempengaruhi pengguna laporan dalam membuat keputusan, auditor harus menentukan batasan materialitas yang lebih rendah.

Auditor diminta menentukan batas materialitas lebih rendah adalah apabila menemukan hal-hal berikut.16

" Tindakan kecurangan (fraud);

" Tindakan kesengajaan untuk melanggar peraturan;

" Penyembunyian informasi atau penyajian informasi yang tidak benar atau tidak benar kepada manajemen, auditor atau lembaga perwakilan;

" Kesengajaan untuk mengabaikan tindak lanjut yang diminta oleh manajemen, auditor atau lembaga berwenang lainnya;

" Melakukan traksaksi atau kegiatan tanpa dasar hukum yang memadai.

D. Jenis Opini dan Dasar Pertimbangannya

Setelah mempertimbangkan berbagai tiga konsep dasar yang terkait perumusan opini, kini tiba saatnya untuk melihat bagaimana pengaruh bukti audit, salah saji dan materialitas pada opini. Pembahasan akan difokuskan pada kondisi-kondisi yang mempengaruhi auditor dalam merumuskan opini atas laporan keuangan.

SPKN atau literatur audit lainnya selama ini menyatakan bahwa opini atas laporan keuangan dibedakan menjadi empat kategori: Wajar Tanpa Pengecualian (unqualified opinion), Wajar Dengan Pengecualian (qualified opinion), Tidak Wajar (adverse opinion), dan Tidak Memberikan Pendapat (disclaimer of opinion). Selain itu, ada opini yang kualitasnya “sedikit di dibawah” di bawah opini terbaik, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan.

Masing-masing opini dirumuskan oleh auditor dengan mempertimbangkan berbagai kondisi terkait kesesuaian laporan dengan standar akuntansi dan terpenuhinya standar pemeriksaan. Dalam kondisi tertentu, auditor harus menerbitkan “opini bentuk baku” atau Wajar Tanpa Pengecualian, sementara dalam kondisi lain auditor diharuskan mengeluarkan opini modifikasian (modified opinion).

15 ISSAI 4200, Compliance Audit Guidelines Related to Audit of Financial Statements, halaman 23-24. 16 Ibid, halaman 23.

Page 12: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 10

© Eko Julianto, 2010

1. Kondisi yang Mengharuskan Auditor Menerbitkan Opini Bentuk Baku17

Opini WTP, yang dikatakan sebagai “opini bentuk baku”, dapat diperoleh apabila memenuhi kondisi-kondisi berikut:

Peraga 5. Kondisi untuk Opini WTP

• Seluruh laporan keuangan (neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan) telah lengkap disajikan

• Semua aspek dari standar umum SPKN telah dipatuhi dalam penugasan audit

• Bukti audit yang cukup memadai telah terkumpul, dan auditor telah melaksanakan penugasan sedemikian rupa sehingga mampu menyimpulkan bahwa ketiga standar pekerjaan lapangan telah dipatuhi

• Laporan keuangan yang disajikan telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hal ini juga berarti bahwa pengungkapan informatif yang cukup telah tercantum dalam catatan atas laporan keuangan serta bagian-bagian lainnya dari laporan keuangan tersebut

• Tidak terdapat situasi yang membuat auditor merasa perlu untuk menambahkan sebuah paragraf penjelasan atau memodifikasi kalimat dalam laporan audit

Apabila hal ini dikaitkan dengan pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK, auditor dapat mengeluarkan opini WTP apabila secara faktual tidak menemukan salah saji material atau temuan-temuan pengendalian intern dan temuan-temuan kepatuhan yang material dan berpengaruh pada kualitas laporan keuangan. Bahasa gampangnya, opini WTP hanya bisa diusulkan apabila auditor hanya menemukan masalah yang “remeh-temeh” yang tidak memiliki pengaruh pada opini laporan keuangan. Jadi, kondisi yang diperlukan agar auditor dapat mengusulkan opini WTP cukup mudah dipahami.

Sementara itu opini WTP dengan Paragraf Penjelas dikeluarkan apabila terjadi kondisi-kondisi berikut.

Peraga 6. Kondisi untuk Opini WTP dengan Paragraf Penjelasan

Tidak ada konsistensi dalam penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum

SPKN menghendaki agar perubahan dalam prinsip atau metode akuntansi yang digunakan serta sifat dan pengaruh perubahan tersebut diungkapkan

secukupnya.18

Saat suatu perubahan yang material terjadi, auditor harus

memodifikasi laporannya dengan menambahkan paragraf penjelasan yang membahas tentang sifat perubahan tersebut serta menunjukkan kepada para pembaca letak pembahasan perubahan prinsip akuntansi itu dalam catan atas laporan keuangan. Materialitas perubahan prinsip akuntansi dievaluasi berdasarkan efek perubahan prinsip akuntansi tersebut pada tahun berjalan. Suatu paragraf penjelasan diperlukan baik untuk perubahan prinsip akuntansi yang dilakukan secara sukarela maupun yang

terjadi kerena adanya pernyataan akuntansi yang baru.19

Ketidakpastian atas kelangsungan hidup organisasi (going

Meskipun bukan merupakan isu penting dalam sektor publik, persoalan keberlangsungan hidup organisasi pemerintah juga harus menjadi pertimbangan auditor. Persoalan kekurangan dana atau kas tekor telah

17 Diadaptasi dari Arens & Loebbecke, 2002, Auditing Pendekatan Terpadu, Buku Satu – Edisi Indonesia,

Salemba Empat, hal 70-72 18 Lihat SPKN, PSP 03 Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan, Paragraf 03 huruf b. 19 Lebih detail mengenai hal ini, lihat Arens, halaman 72-73

Page 13: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 11

© Eko Julianto, 2010

concern)20 terjadi di beberapa daerah dan hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan pemda dalam mengelola keuangan daerah. Kejadian seperti ini tentunya berdampak pada keberlangsungan kegiatan operasional pemda dalam menjalankan fungsi pelayanan publik maupun dalam memenuhi kewajibannya dalam periode tertentu. Apabila hal ini terjadi, auditor dapat menerbitkan laporan audit wajar tanpa pengecualian dengan suatu paragraf penjelasan, tanpa harus memperhatikan pengungkapan dalam laporan keuangan.

Ada penekanan pada suatu masalah

Dalam beberapa situasi, auditor barangkali ingin memberikan penekanan pada beberapa masalah tertentu yang terkait dengan laporan keuangan, meskipun ia bermaksud memberikan opini wajar tanpa pengecualian. Biasanya informasi tambahan yang menjelaskan masalah tersebut harus dinyatakan pada suatu paragraf terpisah daam laporan audit. Contohnya apabila auditor berpikir bahwa ia harus menjelaskan transaksi dengan pihak lain yang bernilai sangat besar, peristiwa penting setelah tanggal neraca, penjelasan akuntansi yang mempengaruhi komparabilitas laporan keuangan tahun berjalan dengan laporan keuangan tahun sebelumnya, serta ketidakpastian material yang diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.

Terkait laporan yang melibatkan auditor lain

Auditor mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelasan apabila menyandarkan diri pada auditor lain (misalnya kantor akuntan publik) untuk melaksanakan sebagian proses audit. Dalam hal ini yang dilakukan biasanya memberikan referensi dalam laporan, karena sang auditor tidak mungkin melakukan reviu atas pekerjaan auditor lain, terutama apabila proporsi laporan keuangan yang diaudit oleh auditor lain material terhadap keseluruhan laporan keuangan.

2. Kondisi yang Mengharuskan Auditor Memodifikasi Opini21

Lalu, bagaimana halnya dengan kondisi yang diperlukan untuk merumuskan opini selain itu, atau dalam istilah Intosai, opini modifikasian (modified opinion)? ISSAI menyatakan bahwa auditor diminta untuk memodifikasi opini dalam laporan audit apabila menemui kondisi-kondisi berikut.

Peraga 7. Keadaan yang Mengharuskan Auditor Memodifikasi Opini

• Auditor menyimpulkan bahwa, berdasarkan bukti audit yang diperoleh, laporan keuangan secara keseluruhan tidak bebas dari salah saji material; atau

• Auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup memadai (appropriate sufficient audit evidence) untuk menyimpulkan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan bebas dari salah saji material.

Dari dua kondisi tersebut sangat jelas bahwa yang menjadi tekanan adalah soal bukti dan salah saji material, seperti telah dijelaskan pada awal tulisan ini. Terkait materialitas, pertimbangan auditor juga mencakup aspek pervasiveness atau dampak

20 SPKN tidak menyinggung atau mengatur soal ini, namun penulis merasa perlu mengungkapkan dan

memasukkan sebagai salah satu pertimbangan dalam penyusunan opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelasan dengan alasan bahwa secara faktual hal-hal yang mempengaruhi keberlangsungan operasional pemerintah bisa terjadi, misalnya ketidakmampuan membayar gaji pegawai karena ketekoran kas daerah. 21 Diadaptasi dari ISSAI 1705, Financial Audit Guidelines: Modifications to the Opinion in the

Independent Auditor’s Report, halaman 960-961

Page 14: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 12

© Eko Julianto, 2010

rembetan pengaruh salah saji pada laporan keuangan secara keseluruhan. Tiga peraga berikut menampilkan kondisi-kondisi yang mengharuskan auditor untuk menerbitkan opini Wajar Dengan Pengecualian, Tidak Wajar atau Tidak Memberikan Pendapat.

Peraga 8. Kondisi untuk Opini Wajar Dengan Pengecualian

• Auditor, setelah memperoleh bukti audit yang cukup memadai, menyimpulkan bahwa salah saji yang terjadi, baik secara individual maupun agregat, adalah material, tapi tidak pervasive, terhadap laporan keuangan; atau

• Auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup memadai untuk dijadikan dasar opini, tetapi auditor menyimpulkan bahwa dampak yang mungkin terjadi (possible effects) pada laporan keuangan atas salah saji yang tidak terdeteksi, apabila ada, adalah material tetapi tidak pervasive.

Peraga 9. Kondisi untuk Opini Tidak Wajar

Auditor akan memberikan opini tidak wajar ketika auditor, setelah memperoleh bukti audit yang cukup memadai, menyimpulkan bahwa salah saji yang ditemukan, baik secara individual maupun agregragat, adalah material dan pervasive pada laporan keuangan.

Peraga 10. Kondisi untuk Tidak Memberikan Pendapat

• Auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup memadai sebagai dasar opini, dan auditor menyimpulkan bahwa dampak salah saji yang tidak terdeteksi pada laporan keuangan, bila ada, adalah material dan pervasive; atau

• Dalam kondisi ekstrim yang melibatkan banyak ketidakpastian, auditor menyimpulkan bahwa, terlepas dari perolehan bukti audit yang cukup memadai terkait setiap ketidakpastian, auditor tidak mungkin merumuskan opini atas laporan keuangan karena adanya interaksi potensial dan dampak kumulatif yang mungkin terjadi pada laporan keuangan.

Bila kondisi-kondisi yang diungkap dalam tiga peraga di atas kita satukan, maka hubungan antara bukti audit, salah saji material (termasuk pervasiveness) akan tampak sebagai berikut.

Peraga 11. Matriks Pertimbangan dan Jenis Opini Modifikasian22

Penilaian Auditor mengenai Pervasiveness dan Dampak yang Mungkin pada Laporan Keuangan Pertimbangan untuk

memodifikasi Opini

Material tapi Tidak Pervasive Material dan Pervasive

Laporan Keuangan mengandung salah saji material

Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinion)

Tidak Wajar (Adverse Opinion)

Auditor tidak dapat memperoleh bukti yang cukup memadai

Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinion)

Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion)

22 Diadaptasi dari ISSAI 1705, Financial Audit Guidelines: Modifications to the Opinion in the

Independent Auditor’s Report, halaman 965

Page 15: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 13

© Eko Julianto, 2010

Selanjutnya, dari sisi proses, urutan langkah penentuan opini oleh auditor dapat digambarkan dalam bagan alir berikut.

Peraga 12. Bagan Alur Proses Penentuan Opini

Page 16: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 14

© Eko Julianto, 2010

E. Matriks Perumusan Opini

Secara konseptual, uraian mengenai dasar pertimbangan dan proses perumusan opini beserta bagan alur di atas barangkali sudah bisa menjadi panduan auditor dalam membuat opini atas laporan keuangan. Namun, pada tataran praktis, auditor mungkin masih akan menghadapi beberapa kerumitan terkait dengan “ukuran”, bila boleh disebut begitu, yang bisa digunakan agar opini yang dirumuskan bersifat objektif dan konsisten. Artinya, siapapun yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan akan menghasilkan opini yang sama.

Untuk menjawab tantangan tersebut, sebagai tambahan dari bagan alur di atas, saya mengusulkan sebuah Matriks Perumusan Opini yang akan menjadi alat bantu (tool) bagi auditor dalam merumuskan opini (lihat Lampiran). Matriks ini merupakan pengejawantahan dari dasar pertimbangan dan proses perumusan opini yang telah diuraikan di atas dan diharapkan dapat mengurangi (bukan menghilangkan sama sekali) subjektivitas auditor dalam membuat opini. Bila diibaratkan, matriks tersebut adalah “mesin pembuat keputusan”. Dengan mesin itu, auditor hanya diminta untuk memasukkan “bahan-bahan” dan tinggal menunggu hasilnya. Mesin itulah yang pada akhirnya akan menentukan jenis opini yang keluar, berdasarkan bahan yang ada. Berbekal pemahaman mengenai kecukupan bukti, salah saji, dan materialitas (termasuk aspek pervasiveness), auditor tinggal memasukkan seluruh temuan yang berpengaruh pada opini atas laporan keuangan ke dalam Matriks tersebut.

Dalam prosesnya, auditor hanya diminta untuk menentukan apakah sebuah temuan berakibat pada terjadinya salah saji beserta nilai salah saji yang terjadi. Selanjutnya, auditor harus menilai apakah bukti audit terkait pengungkapan temuan yang berakibat salah saji tersebut cukup memadai. Lalu, auditor juga diminta untuk menentukan materialitas salah saji yang terjadi beserta dampak pervasiveness atas transaksi atau akun yang terkait salah saji tersebut. Setelah semua pertimbangan mengenai salah saji, kecukupan bukti, materialitas dan pervasiveness terpetakan, auditor tinggal menentukan opini yang sesuai dengan menggunakan Matriks Opini Terpilih (lihat Lampiran). Di sini prinsip konservatisme memegang peranan karena opini akhir yang mewakili laporan keuangan secara keseluruhan akan ditentukan berdasarkan bobot atau proporsi opini yang terbesar. Proporsi atau persentase ini didasarkan pada perbandingan antara nilai temuan untuk setiap kelompok opini dengan total nilai temuan yang berakibat salah saji. Sebagai contoh, jika dari pengelompokan opini dalam matriks menghasilkan WPD 25%, TW 35% dan TMP 40%, maka opini akhir yang bisa diusulkan adalah TMP.

Perlu diingat bahwa matriks ini merupakan terjemahan praktis dari bagan alur perumusan opini yang telah disajikan dalam Peraga 12. Lalu, pertimbangan mengenai salah saji, kecukupan bukti, materialitas dan pervasiveness yang digunakan dalam matriks ini merujuk pada konsep yang telah dipaparkan di muka.

F. Penutup

Sampai di sini, kiranya dapat disimpulkan bahwa problem yang ditemui dalam proses penentuan opini dapat terkurangi apabila kita kembali menempatkan faktor penentu opini itu sendiri dalam persepektif yang lebih membumi. Tiga faktor yang telah dibahas dan dikaitkan dengan praktik audit keuangan di Perwakilan yaitu kecukupan bukti, salah saji dan materialitas. Ketiganya harus dipertimbangkan secara simultan agar dasar penentuan opini lebih memadai dan dipertanggungjawabkan.

Page 17: Dasar Dan Proses Opini

BPK Perwakilan Sulawesi Tenggara 15

© Eko Julianto, 2010

SAP dan petunjuk teknis pemeriksaan keuangan BPK RI memang belum memberikan panduan yang rinci mengenai proses penentuan opini selama ini. Namun, dengan mengacu pada standar audit keuangan yang dikeluarkan oleh Intosai, yaitu ISSAI, kesulitan auditor diharapkan berkurang, karena dari sana kita dapat memeroleh beberapa petunjuk dan pertimbangan dalam merumuskan opini atas laporan keuangan.

Penulis berharap bahwa paper ini setidaknya dapat menjadi bahan diskusi awal bagi BPK RI dalam membuat petunjuk teknis mengenai penyusunan opini. Semoga bermanfaat.

Kendari, 24 September 2010

Eko Yulianto