dan model penelitian - sinta.unud.ac.id 2 ab.pdf · pernah dilakukan baik tentang negara dan...

58
24 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Dalam subbab ini dilakukan penelusuran terhadap beberapa pustaka, seperti buku-buku, jurnal-jurnal, dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Hal ini sangat penting dilakukan karena dari penelusuran pustaka tersebut dapat diperoleh inspirasi yang dapat mempertajam konsep dan teori. Di samping itu, dapat menambah wawasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Hal lainnya adalah penjelajahan pustaka juga dimaksudkan untuk menunjukkan perbedaan substansial penelitian ini dengan penelitian- penelitian terdahulu sehingga dapat dibuktikan originalitasnya, kemudian pada gilirannya penelitian ini signifikan untuk dilakukan. Selanjutnya, berkaitan dengan kajian pustaka, beberapa pustaka yang telah ditelusuri dijelaskan di bawah ini. Secara khusus kajian tentang maniring hinting sebagai gerakan kontra hegemoni masyarakat Dayak belum banyak dilakukan, terutama yang dikaitkan dengan perlawanan masyarakat adat Dayak. Akan tetapi, beberapa kajian yang pernah dilakukan baik tentang negara dan masyarakat adat Dayak, sistem perladangan orang Dayak, maupun identitas Dayak dijadikan pijakan dalam penelitian ini.

Upload: dodan

Post on 06-Feb-2018

245 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Dalam subbab ini dilakukan penelusuran terhadap beberapa pustaka,

seperti buku-buku, jurnal-jurnal, dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Hal ini

sangat penting dilakukan karena dari penelusuran pustaka tersebut dapat diperoleh

inspirasi yang dapat mempertajam konsep dan teori. Di samping itu, dapat

menambah wawasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang

sedang dilakukan. Hal lainnya adalah penjelajahan pustaka juga dimaksudkan

untuk menunjukkan perbedaan substansial penelitian ini dengan penelitian-

penelitian terdahulu sehingga dapat dibuktikan originalitasnya, kemudian pada

gilirannya penelitian ini signifikan untuk dilakukan. Selanjutnya, berkaitan

dengan kajian pustaka, beberapa pustaka yang telah ditelusuri dijelaskan di bawah

ini.

Secara khusus kajian tentang maniring hinting sebagai gerakan kontra

hegemoni masyarakat Dayak belum banyak dilakukan, terutama yang dikaitkan

dengan perlawanan masyarakat adat Dayak. Akan tetapi, beberapa kajian yang

pernah dilakukan baik tentang negara dan masyarakat adat Dayak, sistem

perladangan orang Dayak, maupun identitas Dayak dijadikan pijakan dalam

penelitian ini.

25

Nurul Elmiyah dalam “Negara dan Masyarakat Adat Dayak: Studi

Mengenai Hak Atas Tanah dan Hasil Hutan di Mamahak Besar dan Long Bagun”

(2008) mengulas konflik antara masyarakat lokal dan negara berkaitan dengan

hak-hak masyarakat adat Dayak atas tanah di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan

Timur. Konflik tersebut bersumber dari kerancuan persepsi, kebutuhan

pembangunan ekonomi dan ketiadaan konsepsi perlindungan terhadap penduduk

lokal. Tujuan yang hendak dicapai kajian tersebut adalah agar terciptanya suatu

konsep pemikiran perlindungan hak masyarakat lokal terkait dengan hak-hak atas

tanah dan sumber daya alam. Manfaat lain, yaitu penyelesaian sengketa yang

terjadi di daerah penelitian dapat diterapkan untuk daerah lain dalam rangka

memperkuat NKRI.

Yekti Maunati dalam “Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik

Kebudayaan” (2003) mengulas sisi lain dari mencuatnya identitas kelompok

pasca orde baru jatuh dan polemik yang berkembang tentang pergulatan identitas

suku Dayak di Kalimantan Timur yang menguat dalam bentuk perlawanan

terhadap hegemoni luar (kekuatan orde baru). Ada pergulatan antara kubu

konservatif yang ingin memberikan sentuhan budaya dan nilai dalam identitas

Dayak di Kalimantan Timur dan kubu modernisme yang kurang

mempertimbangan unsur budaya dalam identitas Dayak.

Hasil kajian Yekti di atas menjelaskan bahwa penguatan identitas baru

Dayak terjadi pasca reformasi. Identitas Dayak pada masa lalu yang kurang maju,

stereotip, dan terkesan primitif memang sengaja dikonstruksi oleh kepentingan

kolonial dan pemerintah dalam proses pembangunan pada masa lalu. Identitas

26

baru Dayak ini dimunculkan dalam tataran politik lokal. Para elite Dayak tersebut

merekonstruksi citra Dayak sebagai kelompok yang ‘modern’. Tentunya

rekonstruksi tersebut berkaitan dengan kepentingan-kepentingan politik mereka

sendiri, setidaknya dalam kerangka politik lokal. Di sini para elite Dayak yang

berusaha merekonstruksi citra ‘modern’ Dayak melawan citra-citra dominan

(narasi besar) yang berlaku tentang masyarakat Dayak yang ‘terbelakang’ dan

‘primitif’.

Satu-satunya perbedaan adalah penegasan orang-orang Dayak baru

modernitas dapat berjalan beriringan (harmoni) dengan kebudayaan Dayak dan

bahwa modernitas tidak perlu menghilangkan kebudayaan itu. Seperti yang ditulis

Joel S. Kahn dalam pengantarnya bahwa penelitian Yekti berhasil menunjukkan

bagaimana konsep ‘kedayakan’ berkembang sebagai bagian dari sebuah wacana

kolonial pada masyarakat ‘primitif’ hingga menjadi sebuah diskursus yang hanya

termodifikasi dalam paham-paham pembangunan pada era orde baru.

Terkait dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan keterpinggiran hak-

hak masyarakat Dayak atau dalam bahasa sehari-hari Dayak disebut yang punya

tanah menanam dipinggirkan (je tempun petak manana sare) dalam industri

pertanian modern di Kalimantan Tengah, yakni mereka termarginalkan, tidak

berdaya, posisi yang kalah, pasrah, dan terasing dalam lingkungan investasi,

khususnya dalam hak kepemilikan tanah.

Persamaan penelitian di atas dengan penelitian yang dilakukan saat ini,

yaitu sama merespons pada masyarakat Dayak tentang pengaruh dan dominasi

pemerintah dalam perubahan identitas di Indonesia, khususnya di Kalimantan.

27

Perbedaannya, peneliti meneliti keterpinggiran dan maniring hinting (modal

budaya) tidak hanya sebagai alat perlawanan serta adannya kepemimpinan moral,

nilai kearifan lokal Dayak, dan intelektual organik yang menjadi penggerak

perlawanan, tetapi ritual maniring hinting adalah sebagai alat institusi untuk

memberikan pengajaran moral dan penanaman nilai-nilai budaya lokal.

Tulisan Yekti menggugah dan memberikan pemahaman peneliti tentang

bagaimana suatu identitas Dayak dapat dikomodifikasi sedemikian rupa oleh

penguasa orde baru untuk kepentingan pembanguan. Bagaimana produk-produk

hukum dan kebijakan pemerintah lebih condong kepada pengusaha dibandingkan

kepada masyarakat Dayak sehingga menimbulkan penguatan dan solidaritas

perlawanan masyarakat lokal. Salah satu di antaranya melalui maniring hinting

dalam mempertahankan hak-hak atas tanah.

Mas’oed dkk. dalam penelitiannya yang berjudul “Kekerasan Kolektif :

Kondisi dan Pemicu” (2001) menyoroti kekerasan struktural dengan

menggunakan kerangka berpikir Galtung dan Gurr. Hasil kajian Mas’oed dkk.

(2001: 62) khususnya pada kasus kekerasan di Sanggau Ledo menyebutkan bahwa

kekerasan yang terjadi di Sanggau Ledo merupakan dinamika transformasi

masyarakat di Kalimantan Barat di tengah-tengah tekanan ekspansi kekuatan-

kekuatan dari luar. Pada tingkat ekonomi, kekuatan itu muncul dalam bentuk

ekspansi kapital melalui berbagai sektor, khususnya sektor perkayuan. Pada

tingkat politik, kekerasan ini muncul sebagai akibat kekuatan-kekuatan eksternal

yang didukung oleh birokrasi pembangunan yang dirancang dari pusat yang

hampir tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal atau adat.

28

Dalam penelitian Mas’oed dkk. Ini tidak terdapat penjelasan mengenai

dinamika transformasi warga masyarakat Dayak dan kehadiran pemimpin

kelompok (group leaders) yang memobilisasi warga Dayak untuk melakukan

tindakan kekerasan, seperti yang ditunjukan oleh teori Gurr.

Dalam konteks pemikiran ekonomi politik, Mas’oed membedakan antara

faktor kondisional dan faktor pemicu (trigger) yang menyebabkan terjadinya

konflik. Faktor kondisional adalah ketimpangan sosial yang diciptakan oleh

negara dan kelompok kepentingan sehingga menyebabkan keterpinggiran

(marginalisasi) warga masyarakat Dayak. Faktor keterpinggiran ini berdampak

pada tekanan mental sehingga menjadi faktor pemicu sebagai awalnya tindakan

perlawanan dan perjuangan masyarakat Dayak.

Penelitian Mas’oed memiliki relevansi dengan penelitian yang peneliti

lakukan, yakni adanya ketimpangan sosial yang disebabkan oleh dominasi dan

intervensi pemerintah dalam pengelola dan pembuatan izin dan pemberian hak-

hak pengelolan tanah bagi HPH dan PBS sawit. Selain itu, juga terjadinya

penolakan masyarakat dan konflik tanah atas kebijakan pemerintah yang

dirasakan merugikan masyarakat Dayak dan lebih menguntungkan pengusaha atau

investor. Sebagian masyarakat Desa Damar Makmur di Kotawaringin Timur

menolak batas-batas tanah dan penggantian lahan yang sudah digarap oleh PBS

sawit yang telah mengantongi HGU dan izin prinsip dari pemerintah.

Pengambilalihan lahan oleh PBS yang belum selesai penyelesaian sengketa dan

kejelasan status kepemilikan serta hak-hak masyarakat menyebabkan perlawanan

masyarakat melalui maniring hinting.

29

Antonio Gramsci dalam Negara dan Hegemoni (2003) oleh Nezar Patria

dan Andi Arief mengemukakan pemikiran tentang hegemoni dan hubungannya

dengan kekuasaan negara. Konsep hegemoni dan kekuasaan negara digunakan

sebagai acuan pemahaman konsep dan teori, khususnya konsep hegemoni yang

berawal dari dialektikis dikotomi akan adanya kekuatan (force) dan persetujuan

(consent). Menurut Gramsci, kelompok sosial akan memperoleh keunggulan atau

supremasi melalui dominasi atau paksaan dan kepemimpinan intelektual moral

(Patria dan Arif, 2003:119).

Kepemimpinan intelektual dan moral ini dikenal sebagai konsep

hegemoni yang sesungguhnya. Jadi, relevansi pandangan Gramsci terletak pada

hegemoni negara atau peraturan pemerintah dalam penguasaan lahan di

Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.

Pascareformasi, fenomena menarik terjadi dengan sendirinya tulisan-

tulisan tentang gerakan perlawanan sekelompok masyarakat terbuka untuk

dipublikasikan dengan terang-terangan tanpa adanya ketakutan terhadap penguasa

atau pemerintah pusat dan daerah. Umumnya tulisan itu menceritakan

perlawananan serta sengketa tanah dan wilayah adat dalam hak pengelolaan

sumber daya alam. Kelompok masyarakat adat selalu dikalahkan oleh kepentingan

kelompok yang lebih besar atau berkuasa. Dengan demikian kelompok minoritas

atau “narasi kecil” ini harus tersingkir atau tetap bertahan memperjuangkan

kepemilikan tersebut sebagai bentuk pengakuan keberadaan kelompoknya pada

suatu wilayah adat (Lahajir, 2001).

30

Lahajir mengkaji “Etnoekologi Perladangan Orang Dayak di Tanjung

Linggang” (2001). Secara antropologi ekologi yang berfokus pada sistem ladang

berpindah (shifting cultivation) orang Dayak Tunjung di Kalimantan Timur.

Lahajir merespons perubahan dalam pemanfaatan hutan di Indonesia, khususnya

di Kalimantan karena masuknya para investor, baik pengusaha HPH, sawit,

maupun pertambangan yang ingin mengambil kayu-kayu hutan dan membuka

lahan baru untuk perkebunan sawit dan pertambangan yang didukung semangat

era otonomi daerah. Pemerintah daerah berusaha meningkatkan pendapatan

daerah dengan memberikan peluang yang lebih terhadap investor dalam hal

berinsvestasi di daerah. Kebijakan ini kadang bagus secara makro atau “narasi

besar” (Lahajir, 2001), tetapi setelah diimplementasikan terjadi banyak

permasalahan dan benturan dengan masyarakat adat baik dalam hal kepemilikan

atas tanah maupun solusi yang harus dicarikan jalan tengah agar program

pemerintah dan usaha untuk menyejahterakan dan keadilan dapat berjalan dengan

harmonis dan sinergis.

Persamaan penelitian di atas dengan penelitian ini, yaitu sama merespons

masyarakat Dayak tentang perubahan cara pemanfaatan hutan di Indonesia,

khususnya di Kalimantan. Perbedaannya, penelitian peneliti tentang

keterpinggiran dan maniring hinting sebagai alat perlawanan akibat dari suatu

dominasi kekuasaan serta adanya kepemimpinan moral, nilai kearifan lokal

Dayak, dan intelektual organik menjadi penggerak perlawanan.

Selanjutnya,apabila dikaitkan dengan penelitian penulisan kajian ini

31

sangat penting untuk mendapat acuan tentang konsep dan teori penelitian. Di

samping itu, sekaligus sebagai pembuka wawasan dalam melakukan penelitian.

Berdasarkan beberapa kajian terhadap pustaka tersebut diketahui bahwa

kajian tentang masyarakat adat Dayak sudah pernah dilakukan oleh beberapa

peneliti dan sengketa/konflik hak-hak atas tanah adat dalam konteks pengutan

hukum adat dan identitas telah dilakukan di beberapa tempat di Kalimatan Timur

dan Barat, tetapi kajian-kajian tersebut sangat berbeda dengan apa yang penulis

teliti saat ini. Kajian terdahulu lebih menonjolkan perspektif hukum, identitas,

etnoekologi, konflik sosial. Namun, belum ada yang menyentuh gerakan

masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak atas tanah melalui kearifan

lokal, yaitu maniring hinting sebagai sebuah counter hegemoni, perlawanan

dengan roh terhadap modal kapital (PBS) dalam penguasaan lahan di Kalimantan

Tengah. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan saat ini berfokus pada persoalan

terkini yang terjadi, yaitu fenomena perlawanan masyarakat adat Dayak melalui

maniring hinting yang merupakan kearifan lokal yang dapat bermetamorfosis dan

bermaka membuka pintu musyawarah ke arah harmonisasi hukum positif dan adat

serta dapat menjadi pola penyelesaian konflik yang dapat mengakomodasi semua

kepentingan. Selain itu, penelitian ini dilakukan secara mendalam dengan sudut

pandangan berbeda, yakni multidisiplin, menggunakan pendekatan postruktural,

dan emansipatoris yang lebih berpihak kepada masyarakat adat yang menjadi ciri

penelitian ini. Oleh sebab itu, penelitian “maniring hinting” sebagai Gerakan

Kontra Hegemoni Masyarakat Dayak dalam Pemertahanan Hak-Hak atas Tanah di

Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah” penting dilakukan.

32

Kajian-kajian yang telah dilakukan terdahulu tentu sangat relevan dan membantu

sebagai acuan yang lebih luas dan komprehensif dalam penelitian yang dilakukan

saat ini.

2.2 Konsep

Penelitian ini mengandung beberapa konsep penting untuk dijelaskan dan

didefinisikan secara tegas untuk menghindari kesalahpengertian, kesalahpahaman,

dan kesalahmaknaan. Konsep-konsep tersebut adalah konsep maniring hinting,

gerakan kontra hegemoni dilakukan oleh masyarakat adat Dayak, dan hak atas

tanah serta hubungan hukum adat dan tanah adat Dayak yang dipakai dalam

penulisan penelitian ini sebagai berikut.

2.2.1 Dayak

Kisah asal usul Dayak paling tidak bersumber pada dua hal, yakni dari

mulut ke mulut dan pandangan yang lebih rasional (Elmiyah, 2008:91) sebagai

hasil dari suatu penelitian. Pertama, asal usul Dayak diperoleh dari tetek tatum,

yaitu kesusastraan asli Kalimantan, yang dapat diartikan sebagai ratap tangis sejati

yang biasanya dilagukan (manasai) untuk mengisahkan keadaan Kalimantan

zaman bahari, zaman dewa-dewa, zaman kebesaran hingga kerajaan Islam (Riwut,

1958:172). Tetek tatum merupakan referensi dari mulut ke mulut, biasanya

dilantunkan orang tua kepada anak cucunya (Riwut, 1993:229--230). Dalam

kepercayaan orang Dayak (Kaharingan), selalu dikisahkan bahwa nenek moyang

mereka diturunkan dari Palangka Bulau oleh Ranying Hatala Langit disingkat

Ranyinng atau Hatala yang berarti Allah atau Tuhan. Nenek moyang yang

33

diturunkan adalah (1) di Tantan Puruk Pemantuan di hulu Sungai Kahayan dan

Barito; (2) di Tantang Luang Mangan Puruk Kaminting, yang terletak di sekitar

Gunung Raya; (3) di Tatah Tangkasing di hulu sungai melalui Kalimantan Barat;

dan (4) di Puruk Kambang Tanah Siang, di hulu Sungai Barito. Orang Dayak

kawin satu dengan yang lainnya yang kemudiaan berkembang menempati seluruh

Kalimantan. Sayang kisah ini tidak meninggalkan tulisan ataupun bekas-bekas

yang bisa membuktikannya.

Kedua, banyak penelitian tentang asal usul orang Dayak yang

mengemukakan bahwa nenek moyang orang Dayak berasal dari daerah Yunan

(Cina Selatan) yang datang karena terjadi over population di Cina sehingga

sebagian penduduknya ke luar untuk mencari daerah permukiman baru (Coomans,

1987:3)3 diperkirakan 200 tahun sebelum Masehi (Riwut, 1993) atau sekitar

3.000--1.500 sebelum Masehi (Amz, 1985). Kelompok ini kemudian oleh Paul

dan Fritz Sarasih dinamakan sebagai “Proto Melayu” yang tinggal di pedalaman

Kalimantan dan Deutero Melayu yang tinggal di pesisir pantai (Eliminah,

2003:92--94). Sementara Odop dan Lakon (2009:2, 7--8) serta Usop (1994)

menyatakan bahwa jauh sebelum masuknya Cina sudah ada yang namanya bangsa

Austronesia (sebuah bangsa hasil perkawinan silang antara ras mongoloid dengan

ras asli Kalimantan) datang ke pulau Kalimantan. Pedagang Cina baru masuk

pada abab keempat, padahal abab kesatu, setelah pedagang India masuk

membawa ajaran Hindu di tanah Kalimantan.

3 Coolman (1987:2) penduduk di Yunan pada waktu itu mengadakan perpindahan untuk mencaritempat yang dapat memberikan kebebasan untuk mencari nafkah, khususnya untuk berladang danberburu.

34

Terlepas dari perdebatan asal nenek moyang orang Dayak, masuknya

orang Yunan ke Pulau Kalimantan merupakan fakta dengan mengacu kepada van

Heine Geldern (Elmiyah, 2008:92) tentang penyebaran kebudayaan kapak persegi.

Hasil penelitiannya membuktikan bahwa bangsa Autronesia berimigrasi dari

daerah asalnya di sekitar Yunan, daerah di sekitar Cina Selatan, Sungai Yang Tse

Kiang, Mekhong, dan Menan. Mereka masuk ke Indonesia melalui Malaysia Barat

menyebar ke Sumatra, Jawa, Bali, dan sebagian ke Kalimantan. Awalnya profesi

mereka adalah sebagai penambang emas, tetapi kemudian sebagian beralih profesi

sebagai pekebun, petani, pedagang, dan nelayan.

Setelah orang Yunan, kelompok imigran berikutnya yang datang ke Pulau

Kalimantan adalah kelompok Deutro Melayu yang bertujuan melakukan

perdagangan dengan menggunakan kapal-kapal kecil. Gelombang migrasi dari

kelompok Deutro Melayu dari tahun ke tahun terus meningkat menguasai daerah

pesisir menyebabkan kelompok Proto Melayu yang dikenal sebagai orang Dayak

atau suku bangsa Dayak semakin terdesak ke daerah pedalaman.4 Bersamaan

dengan masuknya Deutro Melayu-Melayu atau Melayu Muda berkembang pula

penyebaran agama Islam. Ketika orang Dayak memeluk agama Islam, mereka

tidak lagi mengidentifikasi diri sebagai orang Dayak, tetapi Melayu. Orang Dayak

yang tidak ingin masuk Islam berimigrasi ke pedalaman, yang kemudian

4 Pada abad 14, pedagang Cina dipimpin Laksamana Cheng Ho, masuk dengan membawa ajaranIslam, dan bagi orang Dayak yang tidak masuk Islam menyingkir ke hulu sungai dan pedalaman.Karenanya muncul kategorisasi orang Dayak dan orang Melayu. Orang Dayak selalumengidentikkan dirinya sebagai bukan Islam, dan orang Dayak yang masuk Islam karenaperkawinan mengidentikkan dirinya Melayu (Pasti, 2003: 114--115).

35

wilayahnya disebut sebagai wilayah Dayak Besar.5 Oleh karena itu, orang Dayak

adalah merupakan nama dan sekaligus sebagai ciri identitas etnis6 dari suku

bangsa Proto Melayu (Melayu Tua atau Proto Malayid) yang diklaim sebagai

penduduk pribumi atau penduduk asli (indigenous people) Pulau Kalimantan,

termasuk Kalimantan Utara.

Istilah Dayak mula-mula digunakan oleh orang Deutro Melayu yang

kemudiaan ditulis oleh pengarang dan penerbit dari Inggris sebelum Perang Dunia

II tentang suku-suku Dayak di Kalimantan Utara, seperti Charles Brooke,

petualang kebangsaan Inggris yang datang untuk menguasai Sarawak pada tahun

1839 (Djuweng, 1992: 07--08). Istilah Dayak juga muncul dalam naskah-naskah

berbahasa Belanda yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari versi Dayak

(Petebang, 2001), seperti yang ditulis August Haderland, seorang sosiolog

Belanda. Sebutan Dayak sebagai satu kesatuan dari sub-subsuku Dayak yang ada

di Kalimantan, kemudiaan disepakati dalam rapat kepala-kepala adat Dayak

seluruh Kalimantan di Tumbang Anoi pada tahun 1894 (Usop, 1994:v--vii; dan

Ilon, 1987:107--109).

Meskipun istilah Dayak sering digunakan untuk menggambarkan suku

asli Kalimantan, sebenarnya tidaklah tepat karena ada ratusan suku yang

5 Suku Simpang yang semula bermukim di tepi pantai mudik sampai jauh ke hulu sungai Simpang(Djuweng, 1994), demikian pula pada suku Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah yang semulabermukim di Kayu Tangi (dekat Banjarmasin) ke kawasan Siung Uhang (Widen, 1995).6 Dalam bukunya yang berjudul Ehnic Group in Conflict (1985), Donald Horowitz menggunakanistilah etnik untuk menunjukkan pada identitas kelompok yang sangat ekslusif (dan relatif berskalabesar) yang didasarkan atas ide kesamaan asal usul, keanggotaan yang berdasarkan kekerabatandan secara khusus menunjukkan kadar kekhasan budaya. Karenanya etnis selalu diterjemahkansebagai gabungan manusia yang mengucapkan satu bahasa dan mempunyai satu rasa identitaskomunitas yang khusus, tinggal di suatu wilayah geografis dengan ciri-ciri ekologi yang sama,mempunyai pengalaman sejarah yang biasanya sama, biasanya saling berinteraksi secara intensifdan dengan frekuensi yang tinggi (Clifton dalam Koentjaraningrat, 1990).

36

heterogen di Kalimantan. Sehubungan dengan itu, di antara orang-orang Dayak

sendiri, ada yang keberatan memakai istilah Dayak sehingga muncul istilah Daya

yang sangat populer di Kutai Kalimantan Timur.7 Namun karena tekanan dari

berbagai kebijakan yang diskriminatif, baik yang dilakukan Kesultanan Melayu,

penjajah Belanda, maupun kepentingan agama, kemudiaan menjadi ‘satu’

menyebut dirinya orang Dayak atau Daya.8

Di pihak lain istilah orang Dayak kadang dikontruksikan merendahkan

status sosial kelompok tersebut bila diperbandingkan dengan kelompok-kelompok

lainnya di Kalimantan (Tanasaldy, 2007:463; King, 1985:57; Riwut, 2003:191;

Ukur, 1971:183; Maunati, 2006:59; Radam, 1987:94--105; Usop, 1994; serta

Odop dan Lakon, 2009:1). Orang Dayak selalu dikonstruksikan dengan kata-kata

“orang udik”, “orang darat”, “orang kolot”, atau “orang bukit”, dan tinggal di

kawasan perhuluan sungai dan memeluk kepercayaan non-Muslim. Konstruksi

lain bagi orang Dayak dikenal kebiadabannya yang haus akan darah karena

mempraktikkan budaya kayau (head hunting) (Sargent, 1974) dan liar sehingga

dinilai belum beradab dan belum memiliki perikemanusiaan. Peneliti seperti

Domalain (1971) menyebut orang Dayak sebagai manusia liar dan bagi Boek

(1985) Borneo kemudiaan disebutnya sebagai “negara para pemburu kepala”.

Meskipun dalam kenyataannya bertentangan karena orang Dayak terkenal paling

7 Coolman (1987:2) mengelompokkan penduduk daerah Kutai dalam dua kelompok besar; “Halo”dan “Daya”. “Halo” adalah sebutan dari bahasa-bahasa Daya untuk penduduk pantai KalimantanTimur yang beragama Islam, sedangkan “Daya” adalah nama bagi penduduk lain di pedalamanyang sudah tidak beragama Islam.8 Di dalam Kesultanan Melayu, orang Dayak tidak dianggap sebagai anak negeri sehingga tidakmemiliki hak yang sama dengan mayoritas orang Melayu sehingga tidak boleh bekerja diadministrasi kesultanan; mengalami pelecehan sosial dari orang Melayu, yang akhirnya menjadipenghalang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial di luar kelompok mereka termasuk dalammemperoleh pendidikan (Tanasaldy, 207:463--464). Orang Dayak menjadi pegawai pemerintahharus mengubah dirinya menjadi Melayu atau memeluk agama Islam (Odop dan Lakon, 2009: 9).

37

lembut dan cinta damai dalam kehidupan sehari-harinya9 selalu diliputi dengan

rasa cemas karena selalu menjadi others atau berada di luar negara sehingga selalu

menjadi objek sasaran untuk melakukan modernisasi demi kepentingan

pembangunan.

Konstruksi tentang orang Dayak yang terkenal adalah budaya kayau

(head hunting) seharusnya telah berakhir melalui kesepakatan dalam rapat para

damang di Tumbang Anoi pada tahun 1894 (Usop, 1994:v--vii). Namun dalam

banyak perkara budaya ini masih sering digunakan orang Dayak untuk

mempertahankan dirinya. Misalnya, dalam konflik dengan etnis Madura yang

terjadi di Kalimantan Barat pada tahun 1999 dan Kalimantan Tengah pada tahun

2001, orang Dayak tampaknya kembali mempraktikkan budaya kayau.10 Identitas

seperti ini tentunya mengandung nuansa-nuansa negatif yang merupakan kerikil-

kerikil bagi kerukunan dan integrasi antara kelompok orang Dayak dan kelompok

pendatang. Namun, bagi orang Dayak Ngaju istilah Dayak menunjukkan kata

sifat sebagai suatu kekuatan. Dalam bahasa Sangen, Dayak berarti bakena yang

artinya gagah (bagi laki-laki) atau cantik (bagi perempuan) kata seorang tokoh

Dayak (Wawancara dilakukan dengan Usop, KMA di Palangka Raya pada 15 Juni

2009).

Suku bangsa Dayak terbagi menjadi berapa subsuku. Riwut (1958 &

1979); Hudson (1967); dan Ukur (1972) menyatakan bahwa paling sedikit 405

9 Pengamatan Victor King (1976), Michael Dove (1986), Coomans (1987), dan bahkan pengakuanpara perantau suku-suku lainnya yang setiap hari bersosialisasi dengan orang Dayak di bumiKalimantan, menunjukkan kontruksi yang berbeda dan menyatakan bahwa orang Dayak ituumumnya bersifat jujur, memegang janji, sabar, bersahabat, dan konsisten mempertahankan hargadiri tetapi tidak cepat naik darah.10 Penggunaan budaya kayau dalam konteks konflik antara etnis Dayak dan Madura masihdipertayakan dan diperdebatkan.

38

subetnis Dayak tinggal di Kalimantan. Walaupun terbagi menjadi beberapa suku,

pada dasarnya orang Dayak memiliki persamaan-persamaan dalam bentuk fisik

dan unsur-unsur budaya, seperti rumah panjang, persamaan-persamaan linguistik,

korpus tradisi lisan, adat istiadat dan hukum adat, struktual sosial, bentuk senjata,

dan pandangan mengenai jagat raya. Hal lain yang juga serupa adalah pola

hubungan religius dengan tanah dan alam sekitar, pola pemanfaatan, pemilikan,

dan ekstraksi sumber daya alam (King, 1978; Ukur, 1992). Bagi orang Dayak,

tanah menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan yang akan datang

(Djuweng, 1992).

2.2.2 Maniring Hinting

Suku bangsa Dayak sebagai masyarakat adat mempunyai hubungan yang

sangat erat dan dekat dengan lingkungan hidupnya. Mereka sering dipengaruhi

oleh alam pikiran religio magis. Kenyataan ini tidak mudah dipahami dan

dimengerti atau dipercayai oleh setiap orang. Sebaliknya, masyarakat Dayak

menganggap pengetahuan akan tanda-tanda atau simbol-simbol tertentu dalam

kehidupan mereka merupakan hal yang wajar walaupun sebenarnya tidak setiap

orang memiliki kepandaian untuk memahami dan menginterpretasi tanda-tanda

tersebut.

Nilai-nilai budaya masyarakat Dayak, Kalimantan Tengah bersumber

dari kepercayaan Kaharingan (berasal dari kata “Haring” yang artinya kehidupan

ada dengan sendirinya). Pada intinya Kaharingan ini percaya pada segala benda

dan makhluk yang memiliki roh (gana) dan hanya ada satu Tuhan, yaitu Ranying

Hatala Langit yang menciptakan segala isi alam semesta seperti tercantum dalam

39

tutur Balian: Inyaho hai mamparuguh tungkupah, kilat panjang mampa rinjet

ruang (Guntur/suara agung membuka kuasanya, kilat panjang menggerakkan

ruang/membelah-belah angkasa)

Asal usul penciptaan manusia dan alam semesta ini digambarkan dengan

simbol “pohon kehidupan” (batang garing/haring) yang di dalamnya terdapat

burung enggang (tingang) sebagai simbol penguasa dunia atas dan naga (tambun)

sebagai simbol penguasa dunia bawah. Sekarang ini simbol batang garing

dipahami oleh masyarakat Dayak sebagai keseimbangan hubungan manusia

dengan alam dan keseimbangan hubungan antarmanusia.

Dalam kehidupan sehari-hari umat Kaharingan percaya kepada makhluk-

makhluk Ilahi yang berkuasa dan bertugas membantu keselamatan manusia,

memberikan rezeki dan menyebarkan penyakit, dan lain-lain yang tersebar di air

(sungai, danau, dan laut), gunung, hutan, tanaman, dan tempat-tempat tertentu.

Bagi pemeluk Kaharingan, makhluk-makhluk Ilahi itu sangat berpengaruh dalam

menentukan kehidupan manusia. Keberuntungan dan kemalangan hidup, bencana

alam, kecelakaan terjadi karena tindakan mereka walaupun penyebab munculnya

tindakan itu adalah perbuatan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, wujud tertinggi

dalam praktik kepercayaan Kaharingan adalah mematuhi adat, yaitu tidak

melanggar pantangan (pali) dan melaksanakan upacara ritual yang meliputi

upacara kehidupan (gawi belom), seperti mamapas lewu, manyanggar, pakanan

batu dan manajah antang dan upacara kematian (gawi matei) seperti upacara

tiwah.

40

Orang Dayak zaman dahulu sebelum membuka lahan baik untuk

pertanian maupun berladang, membuat tanda. tujuananya supaya orang lain tidak

merampas atau menyerobot serta menggarap ladang di tempat yang diberikan

penanda (simbol adat berupa tarinting atau hinting) atau memberikan patok pada

kayu dari setiap sudut rintisan areal dari tanah kosong yang akan digarapnya

(Salilah, 1977: 1).

Hinting atau tarinting dapat diartikan sebagai suatu tanda larangan atau

simbol lokal masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah untuk menandai suatu areal

pertanian/ladang dan areal ritual keagamaan dalam Kaharingan atau sekarang

disebut Hindu Kaharingan terintegrasi dengan agama Hindu. Tanda atau simbol

maniring hinting tersebut jika berada di ladang atau tanah garapan seseorang,

berarti menandakan kepemilikan dan hak bagi si pemilik lahan/areal. Jika

maniring hinting didapati dalam upacara atau di depan rumah orang yang sedang

melaksanakan balian11 dalam upacara keagamaan Hindu Kaharingan, artinya

dilarang melakukan tindakan atau perbuatan tidak senonoh di dalam garis

batas/portal adat, seperti berkelahi, berjudi, dan perbuatan yang tidak senonoh.

Apabila sampai ada yang meninggal dan berdarah, dapat dikenakan singer atau

membayar denda adat sesuai dengan hukum adat yang berlaku di daerah itu.

Sehubungan dengan sebagai pemasangan tanda batas ini, jika dalam

ritual maniring hinting patok bersifat adat yang disaksikan oleh damang sebagai

pejabat/kepala adat, akan tetapi dalam hukum positif (BPN) dalam

pemasangangan patok dari BPN harus disaksikan pejabat atau aparat yang

11Balian adalah nyanyian disertai tetabuhan musik tradisional Dayak Ngaju dalam upacara tiwah.Tiwah adalah upacara ritual penting kematian kedua (second burial) dalam agama HinduKaharingan yang bertujuan untuk mengantarkan roh ke langit ketujuh atau surga.

41

mengetahui atau memiliki data siapa-siapa pemilik tanah yang berbatasan. Kantor

pertanahan tidak memiliki data pemilik tanah yang berbatasan bila tanah tersebut

belum terdaftar data pemilik tanah yang berbatasan dimiliki oleh Kepala Desa/

Kelurahan oleh karena itu pelaksanaan asas kontradiktur ini wajib disaksikan oleh

aparat desa/kelurahan. Seyogyanya patok tanda batas tidak diberi tulisan BPN

karena patok tersebut bukan dipasang oleh BPN dan bukan milik BPN.

Tradisi maniring hinting merupakan tradisi dalam konteks perlawanan

dan perjuangan hak-hak atas tanah masyarakat adat Dayak dari pengusaha atau

investor asing yang menanamkan modal dalam bentuk perkebunan besar yang

dalam praktiknya melakukan hal yang melanggar adat, tidak menaati adat, atau

melanggar kesepakatan atau pali. Orang yang melanggar pali disebut orang yang

hidup tidak beradat (belom dia bahadat). Oleh itu, maniring hinting menjadi salah

satu cara penanaman nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi memelihara

tertib sosial, penghukuman, dan pendisiplinan dalam kehidupan masyarakat

Dayak.

Maniring berartinya membentangkan/mengencangkan tali, hinting berarti

larangan/pantangan dalam bahasa Dayak menjadi maniring hinting penanda

larangan dengan membentangkan tali larangan. Akan tetapi, dalam konteks

perlawanan makna maniring hinting bergeseran yang bertujuan untuk

mempertahankan hak-hak seseorang atau kelompok dengan cara membuat tanda

atau simbol dengan membentangkan tali larangan dari rotan atau tali dari akar

kayu. Pada tali rotan tersebut digantung daun lenjuang atau sawang disertai cacah

pada permukaan depan daun dengan kapur sirih yang berwarna putih yang dalam

42

konteks ini menandakan bahwa di areal tanah yang ditandai dengan maniring

hinting terjadi pelanggaran kesepakatan dalam hal kepemilikan dan hak-hak atas

tanah tersebut. Di pihak lain simbol tali rotan dalam maniring hinting berarti

masih dimungkinkan adanya negosiasi dalam musyawarah atau kesepakatan

dalam menyelesaikan masalah sengketa tanah. Sesuai dengan tujuan maniring

hinting yang memangil gana atau roh-roh tanah dan tanaman yang sengaja

dilakukan untuk menjadi saksi sumpah mereka atau seperti peradilan roh bahwa

yang bersangkutan melaksanakan upacara/tradisi maniring hinting adalah

menyatakan benar-benar sang pemilik lahan atau areal tanah tersebut. Jikalau ada

yang berbohong, maka salah satu pihak yang bersengketa akan mengalami

kematian dan malapetaka yang akan dilakukan oleh roh-roh (spiritual violence)

tersebut kepada pihak yang memang sengaja melanggar, memutus, membongkar,

melanggar, dan menyerobot tanah tersebut.

Masyarakat adat mempunyai kekuasaan dan kekayaan sendiri. Wujud

kekuasaan dan kekayaan itu sendiri, antara lain “hak atas wilayahnya” sebagai

berikut.

1. Apabila melebihi kehidupan keseharian, harus dengan izin/kesepakatan

masyarakat (usaha yang umum dilakukan masyarakat dalam satu wilayah

tertentu) secara spontanitas. Contoh: menangkap ikan di sungai kecil

(luhak) atau ayap pada musim kemarau hendaklah secukupnya/tidak

berkelebihan.

2. Warga masyarakat bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di

wilayahnya.

43

3. Orang luar yang akan memanfaatkannya harus dengan izin dan

membayar uang pengakuan (mesi recognitie retribusi) kepada

masyarakat adat. Kontribusi ini digunakan untuk pembangunan daerah

tersebut (tidak boleh diatur oleh PP Pemda seperti ketentuan pokok

kewajiban investor dalam membayar pajak/kontribusi kepada daerah dan

pusat, tetapi harus berpijak pada kesepakatan dengan daerah penghasil /

otonomi khusus desa).

4. Hak ulayat meliputi pula tanah yang sudah digarap (secara perorangan)

oleh warga.

5. Hak ulayat tidak boleh dijualbelikan kepada pihak asing (pihak asing

walaupun dalam arti pemeliharaan atau dalam bentuk apa pun).

2.2.3 Gerakan Kontra Hegemoni

Penderitaan dan ketidakadilan yang dialami masyarakat adat bukanlah

sesuatu yang bersifat kebetulan dan muncul dari dirinya sendiri. Gerak sejarah

perkembangan masyarakat telah mencatat itu, yaitu dari fase pasar komunal dan

tertutup ke kapitalisme yang terbuka dan individual merupakan sebuah rangkaian

proses dialektis. Dialektika dirumuskan dengan sangat baik dalam ungkapan

bahasa Inggris yang berarti bahwa setiap tindakan negara atau penguasa (bukan

hanya dalam konteks politik, melainkan juga sosial, ekonomi, dan budaya) akan

selalu menimbulkan tanggapan dari masyarakat. Dalam bahasa Inggrisnya social

question, seperti yang diungkapkan oleh Francis Wahono (2005). Social question

merupakan ekspresi sebagai bentuk kegelisahan masyarakat, wujud aksi

perlawanan, baik yang halus maupun radikal, dan berbagai bentuk protes.

44

Tindakan masyarakat adat dalam menghadapi ketidakadilan yang menimpa dan

dialami mereka adalah merupakan sebuah social question.

Hegemoni tidak hanya suatu metode kontrol bagi borjuasi kapitalis yang

berkuasa, tetapi juga dapat digunakan oleh kaum proletar untuk kepentingan

mereka sendiri. Namun, mereka tidak dapat mengerjakannya sendiri sehingga

memerlukan kerja sama dengan kelompok yang dirugikan dan kelompok yang

ditindas lainnya (Rupert & Zarate, 2008: 162). Selain dapat digunakan untuk

kepentingan sendiri, hegemoni juga dapat digunakan untuk melawan hegemoni

yang sudah ada bersifat menindas terhadap subkultur atau masyarakat termarginal.

Hal ini merupakan sesuatu yang disebut sebagai kontra hegemoni (counter-

hegemony). Berbeda dengan anti hegemoni sebagai upaya menentang segala

bentuk hegemoni (dominasi) tanpa batas sampai tidak ada lagi hegemoni.

Konsep kontra hegemoni Gramscian pada dasarnya bekerja

mengidentifikasi, membaca, atau menganalisis kekuatan sosial dan budaya

dominan yang berkuasa atau hegemonik. Selanjutnya, bergerak menghimpun

kekuatan atau melakukan kontra hegemoni, suatu upaya perlawanan untuk

mereduksi atau menghilangkan, bahkan memperjuangkan suatu hegemoni baru.

Melalui teori kontra hegemoni dapat dilihat bagaimana seseorang atau suatu

kelompok bergerak membentuk dan memperjuangkan sebuah hegemoni tersendiri

sebagai perlawanan terhadap suatu dominasi tertentu. Jurnal elektronik The

International Gramsci Society (Asia-Pasific) dalam ulasannya “Why Gramsci”12

menjelaskan sebagai berikut.

12 http://www.uow.edu.au/arts/index.html (diaskes pada tangga l 9 Maret 2014)

45

“Gramsci did not use the currently popular concept of 'counter-hegemony', but wrote of the 'war of position' and 'war of movement'through which the working class and its allies would become capable ofbuilding and enforcing a clear hegemony of their own which wouldchallenge the fundamental 'hegemonic principles' of capitalism, capitalaccumulation based on exploitation and private property.”

Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami bahwa dengan membuat

hegemoni tandingan berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal, maniring hinting

memberikan pengaruh yang berbeda dengan gerakan yang bersifat radikal.

Maniring hinting mempunyai makna tambahan dari sekadar larangan dan portal

adat, tetapi membuka pintu musyawarah untuk mencari pola kerja sama atau

kemitraan dengan masyarakat adat setempat yang adil dan dapat menyejahterakan

mereka.

Gramsci (Strinati, 1995) memberikan dua cara agar kaum buruh dapat

menciptakan hegemoninya, yaitu melalui “war of position” (perang posisi) dan

“war of movement” (perang pergerakan). Perang posisi, yaitu sebuah proses

transformasi kultural yang menghancurkan dan menggantikan dengan posisi hegemonik

lain. Inilah yang disebut kontra hegemoni (Sugiono, 1999: 46). Untuk menghancurkan

hegemoni, maka perlu diciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan krisis

hegemonik itu terjadi sehingga membuka jalan bagi adanya perubahan sosial. Hal

ini dapat dilakukan dengan cara memperoleh dukungan melalui propaganda media

massa, membangun aliansi strategis dengan barisan sakit hati, pendidikan

pembebasan melalui sekolah-sekolah yang meningkatkan kesadaran diri dan

sosial. Karakteristik perjuangan ini panjang dan perlu waktu yang cukup lama.

Selain itu, juga mengutamakan perjuangan dalam sistem. Perjuangan diarahkan

kepada dominasi budaya dan ideologi. Perang pergerakan dilakukan dengan

46

serangan langsung (frontal), tentunya dengan dukungan massa. Perang pergerakan

bisa dilakukan setelah perang posisi dilakukan, tetapi bisa juga tidak.

2.2.4 Hak Atas Tanah

Proses munculnya pemilikan tanah secara tradisional didahului oleh

adanya hubungan antara tanah dan orang atau orang-orang yang menggarapnya.

Pada tahap berikutnya baru muncul hak (yakni sesuatu yang merupakan pilihan

bagi si penyandang hak). Namun, bagi masyarakat Dayak “hak” tersebut tepatnya

berupa “kewajiban” karena bila hubungan antara tanah dan yang bersangkutan,

misalnya pemeliharan sempat terhenti dalam satuan waktu tertentu, maka

aksesnya terhadap tanah menjadi hilang meskipun sering kali bersifat sementara.

Sebaliknya, di dunia modern yang muncul lebih dahulu adalah “hak” (misalnya

diberikan hak untuk mengelola HPH selama 25 tahun), baru kemudian muncul

hubungan dengan tanahnya. Hubungan yang terjadi pada visi tradisional, seperti

telah disebutkan, yaitu lebih berupa “kewajiban”. Namun, pada dunia modern

justru dibelokkan menjadi “hak” (Atmajaya, 1998).

Cara pemindahtanganan hak atas tanah di dalam masyarakat Dayak

adalah melalui (1) jual beli (hajual hapili), (2) pewarisan, (3) pemberian

(panenga), (4) tukar-menukar (tangkiri ramu), (5) gadai (sanda, hasanda), dan (6)

perkawinan (petak palaku). Pemindahan hak atas tanah terjadi bilamana keluarga

tertentu sangat membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak, seperti biaya

sekolah anak di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta upacara tiwah, dan

lain-lain.

47

Menurut UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) No. 5, Tahun 1960,

pemanfaatan lahan yang tidak permanen, seperti pola ladang berpindah (shifting

cultivation) yang dilakukan warga desa di sebagian wilayah Kalimantan Tengah,

relatif sulit untuk mendapat pengakuan formal. Hal ini menyebabkan jaminan

hukum bagi masyarakat lokal cenderung lemah dibandingkan dengan perusahaan

atau pihak swasta. Tanpa kejelasan status hak, masyarakat lokal tidak mempunyai

kekuatan untuk mempertahankan tanah yang telah dimanfaatkan secara turun-

temurun. Pada kasus akuisisi (pengambilalihan) lahan untuk proyek kepentingan

umum atau proyek-proyek swasta yang didukung oleh kebijakan pemerintah,

ganti rugi untuk lahan yang diakuisisi kemungkinan tidak dibayar. Perusahaan-

perusahaan kayu, kelapa sawit, dan pertambangan menguasai dan memanfaatkan

lahan dan hutan dengan membawa izin formal dari pemerintah. Pemanfaatan

lahan oleh pihak swasta mempunyai kekuatan secara hukum, termasuk di daerah-

daerah yang secara de facto telah dimanfaatkan dan dikuasai oleh masyarakat

secara turun temurun. Di sinilah perlu harmonisasi hukum posistif dan adat untuk

membantu mengurai konflik pada masa yang akan datang.

Hak atas tanah yang disebut beschikkingsrecht oleh van Vollenhoven,

“hak pertuan” oleh Soepomo, “hak pertuan” oleh Mahadi, “hak wilayah” oleh M.

Tauuchid dan “hak ulayat” oleh Soekanto Ridwan (1982) dalam Florus (1994:

55). Akhirnya, yang paling banyak digunakan adalah “hak ulayat,” yaitu istilah

yang berasal dari Minangkabau.

Tanah adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan

kebudayaan orang Dayak. Tanah adat sangat penting untuk masyarakat adat

48

Dayak karena tanah adat merupakan penunjang keberlangsungan hidup dan sarana

untuk meningkatkan kesejahteraan, baik yang bersifat sosial maupun ekonomis.

Sehubungan dengan itu, tanah adat sebagai bagian dari hak-hak adat, masyarakat

adat baik kolektif (ulayat) maupun perorangan, di Kalimantan Tengah perlu

diakui, dihormati, dan dihargai keberadaannya. Kebijakan pemerintah provinsi

dengan menetapkan Perda Provinsi Kalimantan Tengah No. 16/2008 tentang

Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah dan Pergub Kalimantan Tengah

No. 13/2009 Jo Pergub Provinsi Kalimantan Tengah No. 4/2012 tentang Tanah

Adat dan Hak-hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah sangatlah

tepat untuk kondisi Kalimantan Tengah saat ini. Tanah adat yang diolah dan

dikuasai masyarakat adat selama ini, secara yuridis menjadi memiliki sandaran

hukum tertulis/positif.

Terkait dengan isu agraria yang menyangkut kontrol hukum positif atas

tanah lokal oleh negara tampaknya menjadi isu yang paling dibenci oleh

masyarakat adat karena pengambilan hak-hak lokal secara tidak sah (Greg

Acciaoli dalam Davidson, 2010: 339). Perwakilan masyarakat adat menolak

sepenuhnya penyataan tanah adat sebagai tanah negara ini jelas merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.

2.2.5 Hubungan Hukum Adat dan Tanah Adat Dayak

1. Hukum adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran

hati nurani masyarakat dan tercermin dalam pola-pola tindakan mereka

sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-pola sosial budayanya yang

tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

49

2. Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Ka-

damangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai

berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan,

dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun

milik bersama, yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat.

3. Tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun temurun

yang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris

sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat disejajarkan maknanya

dengan hak ulayat.

4. Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh

dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah, warisan, dapat

berupa kebun atau tanah yang ada tanam tumbuhnya atau tanah kosong

belaka.

5. Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama atau hak perorangan

untuk mengelola, memungut, dan memanfaatkan sumber daya alam dan

atau hasil-hasilnya, baik di dalam maupun di atas tanah, yang berada di

dalam hutan di luar tanah adat.

6. Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat (semacam majelis) yang

selanjutnya disebut Kerapatan Mantir/Let adalah forum gabungan para

Mantir/Let, adat baik yang berada di kecamatan maupun di

desa/kelurahan.

7. Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan Ketua Kerapatan

Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan yang berwenang

50

menegakkan hukum adat Dayak dalam suatu wilayah adat yang

pengangkatannya berdasarkan hasil pemilihan oleh para kepala

desa/kelurahan, para ketua Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga

Kemasyarakatan Kelurahan, para Mantir Adat Kecamatan, para Ketua

Kerapatan Mantir Adat Perdamaian desa/kelurahan yang termasuk

dalam wilayah kedamangan tersebut; Damang Kepala Adat diangkat

oleh bupati/wali kota.

8. Kedamangan adalah suatu lembaga adat Dayak yang memiliki wilayah

adat, kesatuan masyarakat adat, dan hukum adat di wilayah Provinsi

Kalimantan Tengah yang terdiri atas himpunan beberapa

desa/kelurahan/kecamatan/kabupaten dan tidak dapat dipisah-pisahkan.

9. Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat adalah perangkat adat

pembantu damang atau gelar bagi anggota Kerapatan Mantir

Perdamaian Adat di tingkat Kecamatan dan anggota Kerapatan Mantir

Perdamaian Adat tingkat desa/kelurahan, berfungsi sebagai peradilan

adat yang berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam

menegakkan hukum adat dayak di wilayahnya; Mantir/Let kecamatan

berjumlah tiga orang; Mantir/Let tiap desa/kelurahan berjumlah tiga

orang; Mantir/Let diangkat dan diberhentikan oleh keputusan

bupati/walikota.

10. Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat-istiadat,

kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat Dayak itu tumbuh, berkembang

51

dan berlaku sehingga menjadi penyangga untuk memperkukuh

keberadaan masyarakat adat Dayak bersangkutan.

11. Identifikasi dan inventarisasi adalah pendataan dan pencatatan pemilik

tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah serta penentuan areal tanah

adat yang akan didaftarkan untuk mendapat Surat Keterangan Tanah

Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di atas Tanah (Buku Panduan

Pembuatan Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat

di Atas Tanah, Pemda Kalimantan Tengah, Palangkaraya, 6 Maret

2013).

Perda Provinsi Kalimantan Tengah No.16, Tahun 2008 tentang

Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, Bab XIV Pasal 36

ayat 1, 2, dan 3 menyatakan seperti di bawah ini.

1. Hak-hak adat masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah adalah tanah

adat, hak-hak adat di atas tanah, kesenian, kesusastraan, obat-obatan

tradisional, desain/karya cipta, bahasa, pendidikan, sejarah lokal, peri

boga tradisional, tata ruang, dan ekosistem.

2. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah mengakui,

menghormati, dan menghargai keberadaan hak-hak masyarakat adat

Dayak sebagaimana dimaksud ayat (1) sepanjang tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak adat Dayak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan gubernur.

52

2.3 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori khas kajian

budaya yang berpihak kepada narasi-narasi kecil dan kritis, yakni disiplin dan

hukum, kuasa dan pengetahuan dari Foucault, praksis atau praktik sosial dari

Bourdieu, serta teori hegemoni dan kontra hegemoni oleh Gramsci. Ketiga teori

itu dijadikan sebagai pisau analisis dalam memahami konflik, relasi, dan

pertarungan antara masyarakat lokal yang melakukan maniring hinting atau dalam

konteks ini kelompok masyarakat yang terpinggirkan atau

terdominasi/terhegemoni oleh pihak pengusaha dan pemerintah dalam

mempertahankan legitimasi dan konsepsi dan kekuasaan mereka masing-masing.

Landasan dan kekuatan teori serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini berbeda dengan studi sebelumnya, seperti Nurul Elmiyah dalam tulisannya

yang berjudul “Negara dan Masyarakat Adat Dayak: Studi mengenai Hak Atas

Tanah dan Hasil Hutan di Mamahak Besar dan Long Bagun” (2008). Studi itu

menyoroti konflik yang disebabkan oleh adanya kerancuan persepsi tentang

pembangunan ekonomi dan ketidakpastian tentang konsep perlindungan terhadap

masyarakat adat di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur dari

perpektif hukum nasional. Dalam konteks inilah perbedaan penelitian sebelumnya

dengan penelitian ini merupakan acuan dan interpretasi antara hukum positif dan

adat antara negara dan masyarakat Dayak pada hak kepemilikan dibongkar secara

multidisipliner, yaitu tidak hanya secara aspek hukum. Penelitian ini sejalan

dengan pendekatan kajian budaya yang lebih berpihak kepada pihak yang

termarginal dan narasi kecil.

53

Yekti Maunati dalam buku berjudul Identitas Dayak: Komodifikasi

dan Politik Kebudayaan (2003) secara khusus menyoroti penguatan identitas

Dayak di Kalimantan Timur pascareformasi adalah wacana yang dikonstruksikan

oleh kolonial Belanda dan orbe baru dalam proses pembanguan masa lalu tidak

berhubungan langsung dengan objek penelitian ini. Akan tetapi, tulisan itu banyak

mengungkap bagaimana dinamika identitas di tengah masyarakat Dayak di

Kalimantan Timur, terutama ketika dikaitkan dengan politik, sosial, dan sejarah.

Dengan demikian, yang diambil sebagai rujukan pada karya ini adalah bagaimana

Yekti menganalisis bangunan komodifikasi elite terhadap masyarakat Dayak.

Sebaliknya, yang menjadi pembedanya adalah ritual maniring hinting tidak hanya

sebagai media perlawanan masyarakat Dayak dan penguatan identitasnya, tetapi

alat pengetahuan, kekuasaan, disiplin, hukuman, dan penanaman nilai-nilai

kearifan lokal masyarakat. Jadi penelitian ini membongkar pergulatan ideologi

dan kepentingan negara, pemerintah, dan pengusaha sawit, sedangkan Yekti fokus

pada konstruksi identitas dan relasi kuasa.

Penelitian ini sekaligus pula merupakan kelanjutan dari studi-studi atau

peryempurnaan dari studi tentang gerakan sosial adat. Dengan model pendekatan

semacam itu, penelitian ini dapat menemukan isu-isu teoretik terbaru yang dapat

memperkaya penelitian-penelitian yang serupa terdahulu.

2.3.1 Teori Kuasa dan Pengetahuan

Foucault (2002) mengatakan bahwa pengetahuan itu identik dengan

kekuasaan. Jadi, kekuasaan muncul bersandarkan pada sejumlah pengetahuan

begitu juga pengetahuan melahirkan kekuasaan. Kekuasaan dan pengetahuan

54

diibaratkan dua sisi mata uang satu kesatuan yang kemunculannya menuntut

kehadiran sisi lainnya. Demikian menurut Foucault bagaimana kekuasaan harus

dipahami:

“...power must be understood in the first instance as the multiplicity offorce relations immanent in the sphere in which they operate and whichconstitute their own organization; as the process which, through ceaselessstruggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them;as the support which these force relations find in one another, thusforming a chain or a system, or on the contrary, the disjunctions andcontradictions which isolate them from one another; and lastly, as thestrategy in which they take effect, whose general design or institutionalcrystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of thelaw, in the various social hegemony."(Foucault, 1990: 92-93).

Dengan demikian, kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk relasi

kekuatan yang imanen dalam ruang di mana kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan

mesti dipahami sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu. Di sisi

lain kekuasaan membentuk rantai atau sistem dari relasi itu atau justru yang

mengisolasi mereka dari yang lain dari suatu relasi kekuatan. Oleh karena itu,

kekuasaan merupakan strategi di mana relasi kekuatan adalah efeknya.

Berbeda dengan konsep kekuasaan yang umum, yakni yang dimiliki oleh

pihak-pihak yang kuat terhadap yang lemah, kekuasaan bagi Foucault (2002a)

bukanlah merupakan suatu entitas atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu

orang atau lembaga, tetapi dapat diibaratkan dengan sebuah jaringan yang tersebar

di mana-mana. Jadi kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap

yang ditindas, dari pemerintah ke rakyat, melainkan datang dari semua lapisan

masyarakat, dan ke segala arah.

55

Kekuasaan menurut Foucault, bukan milik siapa pun kekuasaan ada di

mana-mana kekuasaan merupakan strategi. Kekuasaan adalah praktik yang terjadi

dalam suatu ruang lingkup tertentu. Ada banyak posisi yang secara strategis

berkaitan satu dengan yang lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kekuasaan

menentukan susunan, aturan, dan hubungan dari dalam. Kekuasaan bertautan

dengan pengetahuan yang berasal dari relasi-relasi kekuasaan yang menandai

subjek. Karena Foucault menautkan kekuasaan dengan pengetahuan sehingga

kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan menyediakan kekuasaan,

ia mengatakan bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan

represi, melainkan juga normalisasi dan regulasi (Sutrisno, 2005).

Kuasa bekerja lewat regulasi dan normalisasi, serta lewat normalisasi dan

regulasilah masyarakat digerakkan. Misalnya, peraturan yang dibuat pemerintah

dalam Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (UUPA) yang bermakna bahwa kebudayaan ladang berpindah

(shifting cultivation) yang dilakukan oleh masyarakat Dayak sulit untuk mendapat

pengakuan kepemilikan atas tanah secara hukum formal/positif ini sangat

melemahkan hak-hak masyarakat adat merupakan salah satu bentuk kuasa yang

bekerja dalam masyarakat. Efeknya dapat dilihat rentannya konflik tentang

pertanahan jika ada perusahaan baik itu sawit dan pertambangan yang akan

berinvestasi di daerah tersebut, biasanya warga masyarakat akan dicap melawan

negara dan susah diajak bekerjasama dan kesannya anti terhadap investor. Hal ini

suatu strategi untuk berkuasa dan sasaran atau target kekuasan adalah kepatuhan

terhadap peraturan tersebut sebagai warga negara.

56

Kuasa dan pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Oleh

sebab itu, kuasa menemukan bentuknya dalam pengetahuan. Berbeda dengan

analisis Marxis yang masih menyisakan kebenaran dalam pengetahuan. Foucault

melangkah lebih jauh dari itu. Baginya setiap pengetahuan pasti mengandung

kuasa dan setiap kekuasaan produktif menghasilkan pengetahuan. Artinya, tidak

ada kebenaran bahkan dalam ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sekalipun.

Biologi, ekonomi, komunikasi, juga banyak disiplin ilmu modern lainnya, dan

tidak lebih dari perwujudan kuasa yang fungsinya membentuk subjek. Klaim

ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran akan sifat pengetahuan yang netral

bagi Foucault adalah strategi kuasa. Pengetahuan adalah cara bagaimana

kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan ia datang dari

subyek tertentu (Haryatmoko, 2003: 225).

Tesis yang menarik dari Foucault adalah hubungan antara pengetahuan

dan kekuasaan. Kuasa didefinisikan dalam istilah “kepemilikan” di mana

seseorang yang memiliki sumber kekuasaan tertentu. Kuasa tidak hanya dimiliki

tetapi juga dipraktikan dalam ruang lingkup di mana banyak proporsisi yang

secara strategis berkaitan satu dengan yang lain. Jadi, kuasa bekerja melalui

hubungan-hubungan, susunan-susunan, aturan-aturan, sistem regulasi di mana saja

ada manusia yang saling memiliki hubungan tertentu antara satu dengan yang

lainnya di dunia di situ lah kuasa sedang bekerja dan direproduksi. Hubungan-

hubungan itu, seperti hubungan sosial-ekonomi, hubungan-hubungan yang

menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas pendidikan, adat,

ilmu pengetahuan, dan lain-lain.

57

Kendati demikian, subjek (masyarakat Dayak) dalam pandangan

Foucault bukan robot yang manut pada setiap kuasa yang coba membentuknya.

Konsekuensi dari pengertian kuasa yang dibangun Foucault dimana kuasa tidak

bisa dimiliki artinya cair atau tersebar. Hal ini, melahirkan konsepsi resistensi.

Konsep ‘resistensi’ adalah, sebagaimana diungkap Ramazanoğlu (1993) dalam

(Haryatamoko, 2003) mencatat bahwa bagian dari definisi Foucault tentang kuasa

semenjak ia menentukan bahwa semua kuasa memproduksi resistennya.

Resistensi atau perlawanan pada kuasa menurut Ramazanoglu dapat mengambil

bentuk wacana baru yang menghasilkan ‘kebenaran baru’.

Oleh karenanya subjek dalam pemikiran Foucault adalah sesuatu yang

aktif dan bebas untuk memilih wacana atau kuasa mana yang akan digunakannya.

Bagi Foucault komponen kritis dari kuasa adalah kebebasan karena kuasa hanya

dapat dikatakan menciptakan efek jika objek yang terkena kuasa memiliki

kemampuan untuk melawan.

Michel Foucault (2002) adalah seorang filsuf postmodernisme yang

mempunyai teori tentang geneologi kekuasaan pengetahuan dan disiplin tubuh.

Foucault menyatakan bahwa kekuasaan dan pengetahuan terjalin erat karena

kekuasaan adalah pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan adalah kekuasaan atau

lebih jelasnya tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan

tanpa pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan

dalam praktik yang terkait dengan regulasi tubuh, pengaturan tindakan, dan

pembentukan diri.

58

Berdasarkan landasan teori kuasa dan pengetahuan, dicoba untuk

diuraikan bagaimana terjadinya proses pelaksanaan upacara maniring hinting

sebagai bentuk perlawanan atau kekuasaan atas kepemilikan dan hak atas tanah

masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Hal ini tidak terlepas dari kontribusi

keberadaan hukum positif yang diberlakukan di Indonesia. Dalam hal kepemilikan

dan penguasaan atas tanah negara, seperti UUPA No. 5, Tahun 1960 dan UUD

Pasal 33 ayat 3, dan peraturan sejenisnya yang menyatakan hak dan kepemilikan

tanah dan di atas tanah semua di atur serta dikuasai oleh negara. Selanjutnya,

untuk menelusuri jejak-jejak terjadinya proses perlawanan masyarakat Dayak dan

mengkaji permasalahannya digunakan teori kuasa dan pengetahuan. Teori ini

cukup relevan dipakai untuk mempertajam analisis permasalahan bagaimana

proses terjadinya pelaksanaan upacara ritual maniring hinting.

Mencermati pemaparan singkat di atas, maka kegunaan teori kuasa dan

pengetahuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis diskursus atau

pernyataan-pernyataan masyarakat maupun pemerintah yang disampaikan baik

melalui dialog maupun dimuat di media massa. Diskursus yang berkembang di

masyarakat dan pemerintah membentuk pengetahuan baru tentang maniring

hinting sebagai suatu gerakan kontra hegemoni masyarakat adat di Kalimantan

Tengah. Pengetahuan yang didapat berpengaruh terhadap kekuasaan Pemerintah

sebagai pemegang dan penentu kebijakan sebagai pengatur dan pemberi hak

terhadap kepemilikan tanah. Teori kekuasaan dan pengetahuan membantu

memahami makna yang terkandung dibalik gerakan masyarakat adat Dayak

melalui maniring hinting.

59

2.3.2 Teori Disiplin dan Hukuman (Dicipline and Punish)

Teori dicipline dan punish relevan digunakan karena basis dan praktik

maniring hinting berpusat pada pendisiplinan tubuh (tidak melanggar pali) dan

larangan. Jika dianalogikan pendekatan Foucault tentang disiplin dan hukuman,

secara khusus Foucault mencoba melihat hubungan antara power dan tubuh.

Secara umum Foucault melihat bahwa tubuh adalah objek utama dalam kegiatan

penghukuman, yaitu sebuah ilusi melihat bahwa hukuman merupakan sarana

untuk mengurangi kejahatan dan hal tersebut dapat berarti berat ataupun ringan.

Tubuh, bagi Foucault, secara langsung terlibat dalam bidang politik, artinya

hubungan kekuasaan terus-menerus berlangsung di atas tubuh. Lebih jauh, tubuh

dapat menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa dan sangat berguna hanya jika

tubuh tersebut menjadi produktif dan tunduk. Di sisi yang berbeda, power adalah

cara untuk menghasilkan pengetahuan. Tubuh sendiri dapat menjadi kunci bagi

pengetahuan. Mungkin ada pengetahuan dari tubuh yang tidak persis berlaku

seperti ilmu difungsikan dan penguasaan atasnya adalah kemampuan untuk

menaklukkan tubuh. Maksudnya bahwa pengetahuan dan penguasaan ini

merupakan apa yang dapat disebut sebagai teknologi politik tubuh.

Ketertundukan tubuh menjadi kata kunci penting. Ketertundukan sebagai

satu bentuk hukuman menjadi dimensi tersendiri yang dieksplorasi Foucault. Jika

sebelumnya eksekusi publik mengambil bentuk dan dimensi teatrikal, yang sering

kali memiliki ekses yang lebih luas ke publik, maka pergeseran domain beralih ke

sebuah institusi lain dalam konteks ini penelitian ini adalah ritual maniring hinting

meskipun dengan tujuan yang kurang lebih sama yaitu penjara. Penjara diawali

60

dengan bentuk yang berbeda dari tontonan publik. Dalam penjara hukuman

menjadi lebih “lembut” meskipun tidak melulu berdasarkan alasan kemanusiaan.

Gagasan kaum reformis untuk ‘melembutkan’ bentuk hukuman sekaligus

membawa domain penghukuman dan kekuasaan kehakiman dari domain negara

ke bentuk kekuasaan publik. Dalam hal ini pergeseran pun berimbas pada

narapidana. Jika sebelumnya mereka adalah objek dari tindakan balas dendam atas

dosa yang dilakukan, maka dengan penjara, mereka beralih menjadi objek yang

terkontrol, yang dapat dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang mencerminkan

kejahatan mereka sebagai bentuk bayaran13 atas pelanggaran dan dosa-dosa.

Dalam konteks ini barangkali penulis salah membaca bahwa para narapidana

menunjukkan sebuah ontologi, yaitu manusia sebagai mesin.

Bertens dalam “Filsafat Barat Kontemporer Perancis” (2000: 297--325)

mengulas pemikiran Michel Foucault yang menghubungkan pendisiplinan tubuh

dengan kekuasaan. Foucault menulis dalam bahasa Perancis Surveiller et Punir.

Naissan de la Proson (Menjaga dan Menghukum. Lahirnya Penjara) yang

menghubungkan pengawasan dan pendisiplinan yang terjadi dalam masyarakat

dipengaruhi mekanisme pengawas penjara. Foucault menyakini bahwa kuasa

bekerja melalui beberapa strategi, yaitu kuasa terdapat di mana-mana dan tidak

dapat dilokalisasi; kuasa tidak bersifat destruktif, tetapi bersifat produktif; kuasa

tidak bekerja secara represi, tetapi melalui regulasi, menjaga, dan menghubungkan

yang dapat diartikan sebagai disiplin (Bertens, 2001: 318--324).

13 Dalam budaya Dayak jika seseorang melanggar pali, akan dijatuhi hukuman denda adat (singer)sesuai dengan adat setempat.

61

Anthony Synnot dalam “Tubuh Sosial: Simbolisme Diri dan Masyarakat”

(2007: 369--373) mengutip gagasan Foucault mengenai kekuasaan yang berakar

pada kekuasaan atas tubuh (biopower) dan dalam setiap aktivitas kecil mikrofisika

tubuh dan dalam setiap institusi politik tubuh. Foucault menggambarkan

masyarakat sebagai tubuh yang didisiplinkan melalui institusi kekuasaan yang

bekerja secara mekanis melalui sekolah, bengkel kerja, dan sebagainya. Disiplin

membuat tubuh menjadi serupa dengan mesin dan segala bentuk pendisiplinan,

optimalisasi kemampuan, penetrasi kekuatan, dan peningkatan kegunaan menjadi

pararel dengan kepatuhan, dan tubuh menjadi instrumen bagi kontrol politis

(Synnot, 2007: 416).

Kebudayaan merupakan produk manusia dan kebudayaan juga mengatur

manusia. Kebudayaan diperoleh melalui pembelajaran melalui institusi atau

pranata yang ada dalam struktur sosial masyarakat. Apa yang dipikirkan manusia

atau apa yang dilakukan individu adalah produk dari struktur sosial, epistemologi,

ataupun apa yang disadari individu sebagai suatu kebenaran tak lebih dari produk

kuasa yang bermain dalam ruang lingkup diskursus. Begitu juga permasalahan

makna, pengalaman, pikiran, dan kebenaran tak lebih dari produk kuasa yang

memberikan identitas kepada kita. Suatu bentuk pandangan terhadap dunia

bersifat given.

Disiplin, kontrol, pengawasan, dan pengaturan pada tubuh itulah

dilakukan oleh kuasa (power). Power tersebut meliputi bagaimana suatu bentuk

kontrol terhadap tubuh itu menjadi mungkin. Hubungan timbal balik antara apa

yang dianggap benar dan mekanisme kuasa atau mekanisme yang di dalamnya

62

“rezim politik berkuasa” dinamakan sebagai genealogi. Pendekatan Foucault

menegaskan bahwa suatu normativitas yang disepakati, baik berupa hati nurani

maupun panggilan hati, ide tentang moralitas baik, norma adat istiadat, dan

sebagainya semua merupakan bentuk identitas subjek historis. Kuasa ada karena

konstruk hubungan timbal balik antara manusia, yang dipertahankan atau diubah

untuk mengontrol tubuh manusia untuk disiplin.

Apabila dikaitkan dengan maniring hinting, pendekatan ini menjadi ritual

sebagai pengatur, alat kontrol, pengawas, dan pendisiplinan terhadap tubuh.

Tubuh tidak boleh begini dan begitu, tubuh harus bersama di suatu tatanan sosial.

Norma inilah yang ditekankan dan dijadikan pedoman bagi tubuh untuk mengatur

serta mengawasinya. Norma ini (tidak melanggar pali) menjadikan tubuh secara

berjenjang menjadi orang yang berkuasa mengawasi dan mengontrol (orang

Dayak) dan tubuh yang dikontrol, tetapi di sisi lain, tubuh-tubuh itu untuk disiplin

dalam suatu pola sikap tertentu.

Berdasarkan pemikiran Foucault, diketahui bahwa maniring hinting

adalah salah satu upacara ritual Hindu Kaharingan yang berfungsi sebagai institusi

adat yang berfungsi memelihara tertib sosial, Namun, dapat berfungsi pula

sebagai anti order jika terjadi pelanggaran terhadap adat yang disebut pali. Tubuh

(masyarakat Dayak) diajarkan untuk bersikap menghargai kosmos, menjalani

aturan adat, mematuhi hukum dan tidak melanggar pali/pantangan, serta hidup

beradat (belom bahadat). Tubuh harus tunduk di bawah tuntutan normatif. Begitu

juga tubuh harus dilatih agar tubuh dapat bersikap dan menghargai adat. Agar

dapat beradat, maka tubuh perlu dipagari dalam ruangan yang dipisahkan.

63

Individu harus disiplin dan siap menghadapi tugas yang akan diembannya setelah

tubuh dilatih melalui pranata sosial. Tubuh juga perlu dibagi-bagi. Tubuh yang

tidak melanggar adat dan tubuh yang melanggar pali, tubuh yang tidak beradat

maka tubuh itu diberikan hukuman (singer) yang setimpal dengan kesalahannya14.

Sebaliknya, tubuh yang taat kepada adat, maka perlu ditempatkan pada tingkat

yang tinggi. Tubuh mesti diatur berdasarkan sikap atau fungsi tubuh, dan

kekuatan tubuh itu karena tingkat kemampuan tubuh berbeda-beda. Pengetahuan

itu identik dengan kekuasaan.

Kekuasaan muncul bersandarkan pada sejumlah pengetahuan; begitu juga

pengetahuan melahirkan kekuasaan. Kekuasaan dan pengetahuan diibaratkan dua

sisi mata uang; satu kesatuan yang kemunculannya menuntut kehadiran sisi

lainnya. Demikian menurut Foucault bagaimana kekuasaan harus dipahami.

“...power must be understood in the first instance as the multiplicity offorce relations immanent in the sphere in which they operate and whichconstitute their own organization; as the process which, through ceaselessstruggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them;as the support which these force relations find in one another, thusforming a chain or a system, or on the contrary, the disjunctions andcontradictions which isolate them from one another; and lastly, as thestrategy in which they take effect, whose general design or institutionalcrystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of thelaw, in the various social hegemony."(Foucault, 2002: 92--93).

Kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk relasi kekuatan yang imanen

dalam ruang di mana kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan mesti dipahami

sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu, yang membentuk rantai

14 Sebelum adanya Rapat Damai Tumbang Anoi 1894, jika seseorang yang tidak dapat membayardenda adat (singer) akibat pelanggaran adat yang diperbuatnya, maka sebagai gantinya yangbersangkutan dijadikan budak (jipen). Dalam masyarakat Dayak keturunan budak (utus jipen)disebut keturunan rendah/budak/jipen (utus randah), sedangkan bagi golongan/kalangan yang taatdan tidak melanggar adat disebut keturunan tinggi (utus gantung).

64

atau sistem dari relasi itu, atau justru yang mengisolasi mereka dari yang lain dari

suatu relasi kekuatan. Oleh karena itu, kekuasaan merupakan strategi di mana

relasi kekuatan adalah efeknya.

Seno Joko Suyono dalam buku Tubuh yang Rasis (2002: 397--418)

menguraikan secara kritis pemikiran Foucault tentang bukunya yang berjudul

Disipline dan Punish” (1975). Tulisan Foucault ini banyak dipengaruhi oleh

pemikiran Nietszche bahwa tubuh sebagai tempat menananmkan kekerasan,

manifestasi stigmata kekerasan. Tubuh dicetak, dibentuk, dikonstruksi berbagai

rezim yang melalui mekanisme kerja, aturan, nutrisi, dan etika (Suyono, 2002:

196). Disiplin dicirikan dengan adanya perhatian yang besar untuk mengoreksi

segala gerak-gerik natural dan alamiah agar termanipulasi dan terlatih menjadi

docility-utility, yakni tubuh yang berguna, bernilai ekonomis, dan dapat

menambah kepatuhan secara politis yang disebut sebagai a new political economy

to power to punish. Dalam pendekatan teori dicipline dan punish (kepatuhan dan

hukuman), Foucailt menjabarkan “Politik Anatomi dan Modus Operandi Disiplin”

yang digunakan tubuh melalui empat prosedur pengondisian, yaitu (1) distribusi

ruang, (2) tabulasi waktu (time table), (3) administrasi kumulatif, serta (4)

komposisi dan konfigurasi tenaga.

Pada distribusi ruang, individu digolongkan untuk melaksanakan disiplin

dengan menggunakan”kehadiran” dan ketidakhadiran” tubuh dalam tatapan mata

pengawas yang justru tak tampak tubuhnya (anonim, invisible) dalam konteks

penelitian ini roh (gana) yang dihadirkan dalam ritual maniring hinting

mengawasi dan memberikan hukuman kepada pihak-pihak yang tidak

65

bertanggung jawab melakukan pelanggaran pali. Pengawasan dan pendistribusian

ruang terhadap tubuh dilakukan dengan mengklasifikasikan kecekatan,

kekonstanan, dan ketepatan waktu yang bertendensi eliminatif dan diskriminatif.

Disiplin dalam konteks ini melibatkan subjek, pada ruang tertentu, pemisahan,

pelatihan, dan standardisasi yang menghasilkan subjek dengan kategori dan

menamai mereka dalam suatu urutan hierarki, efisiensi, produktivitas, dan

normalisasi (Barker, 2000: 80--83).

Disiplin individu didasarkan atas tabulasi waktu yang ketat dan identik

dengan ketepatan waktu yang meregulasi aktivitas, memaksa, dan merutinkan

elemen tubuh melakukan gerakan khusus. Tabulasi waktu berlandaskan prinsip

exhautic-use, yaitu pemanfaatan waktu yang maksimal dan tidak boleh terbuang

percuma. Tabulasi waktu juga berkolerasi dengan gerak-gerik yang tepat dan

operasional agar menjadi individu yang tepat guna. Administratif kumulatif

mengharuskan individu berkelompok dalam suatu struktur agar evolusi

kemajuannya dapat dievaluasi. Modus ini digunakan sebagai kontrol untuk

meningkatkan keterampilan individu sesuai dengan tuntutan.

Komposisi dan konfigurasi tenaga berhubungan dengan praktik institusi

disiplin (sekolah, militer, dan lain-lain) yang berusaha membuat tubuh-tubuh

menjadi mudah diinteraksikan, dikombinasikan dengan tujuan agar tercipta

akumulasi kekuatan. Praktik ini menggunakan sistem komando yang diadopsi dari

militer sehingga setiap individu diharapkan secara otomatik merespons tanda-

tanda (perintah). Pendisiplinan dalam konteks ini berhubungan dengan kepatuhan

66

politik yang digunakan untuk menetralisasikan atau meredam konflik kekuasaan

untuk menyerang pihak-pihak yang dominan.

Praktik maniring hinting memusatkan aktivitas pendisiplinan diri yang

ketat melalui tanda-tanda dan simbol-simbol larangan (pali) dan ritual. Pisor,

basir, dan damang yang memimpin dan melaksanakan ritual manirng hinting

sebelum melaksanakan ritual maniring hinting mengetahui secara jelas status dan

kondisi areal/lokasi tanah yang menjadi sengketa yang akan di-hintingpali-kan.

Hal ini penting karena ritual maniring hinting adalah upacara ritual agama Hindu

Kaharingan yang bersifat sakral dan suci. Itulah sebabnya tidak sembarangan

orang boleh melaksanakannya. Setelah areal/lokasi tersebut di-hinting-kan maka

ada larangan dan pantangan (pali) dan hanya dapat dinetralkan dengan ritual

memutus tali larangan (menetes hinting pali) setelah ada konsensus atau

kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai atau bersengketa.

Michel Foucault (1997) adalah seorang filsuf postmodernisme yang

mempunyai teori tentang geneologi kekuasaan pengetahuan dan disiplin tubuh.

Foucault menyatakan bahwa kekuasaan dan pengetahuan terjalin erat karena

kekuasaan adalah pengetahuan. Sebaliknya, pengetahuan adalah kekuasaan atau

lebih jelasnya tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan

tanpa pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan

dalam praktik terkait dengan regulasi tubuh, pengaturan tindakan, dan

pembentukan diri.

Berdasarkan landasan teori dicipline dan punish (kepatuhan dan

hukuman), dicoba untuk diuraikan bagaimana terjadinya proses pelaksanaan

67

upacara maniring hinting sebagai bentuk perlawanan atau kekuasaan atas

kepemilikan dan hak atas tanah masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Teori

ini cukup relevan dipakai untuk mempertajam analisis permasalahan ketiga dalam

penelitian ini, yakni apa makna ritual maning hinting bagi masyarkat Dayak,

pemerintah, dan investor.

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, diketahui bahwa kegunaan teori

disiplin dan hukuman dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis, baik makna

atau pernyataan-pernyataan masyarakat maupun pemerintah, yang disampaikan

melalui ritual maniring hinting melalui pendisiplinan dan hukuman secara

spiritual dan roh-roh (gana). Roh-roh inilah yang akan memberikan hukuman dan

pendisiplinan kepada pihak-pihak yang melanggar adat. Pendisiplinan dan

hukuman tidak melalui persidangan dan hukum positif, tetapi bergeser pada

tataran spiritual di luar struktur hukum positif dan penguasa. Teori kekuasaan dan

pengetahuan membantu memahami makna yang terkandung di balik gerakan

kontra hegemoni masyarakat adat Dayak melalui maniring hinting.

Sementara, di era modern sistem pengawasan panaopticon dijalankan

dengan lebih canggih dengan menggunakan kamera pengawas (CCTV-Close-

Circuit Television) di setiap sudut kota. Di pihak lain, masyarakat Dayak

menggunakan ritual maniring hinting sebagai sistem pengawasan panapticon.

Ritual diadakan bila terjadi sengketa lahan dan penyerobotan lahan. Akibatnya

perusahaan sawit dan pemerintah menjadi tidak bebas dalam bertindak karena

masyarakat mengawasi tindak-tanduk mereka dengan norma lokal dalam

menilainya. Jadi normalisasi adalah instrumen kekuasaan pendisiplinan mereka.

68

2.3.3 Teori Praktik

Pandangan Bourdieu mengenai kuasa simbolik juga dibaca dengan

beberapa tafsir. Bagi Thompson, konsep kuasa simbolik kadang Bourdieu

menggunakan sebutan kekerasan simbolik menunjuk pada salah satu aspek dari

sebagian besar kekuasaan yang diterapkan sehari-hari, yaitu kekuasaan yang

dialihkan ke dalam bentuk simbolik dan diterapkan melalui pertukaran simbolik.

Karena dialihkan, kuasa simbolik tidak dikenali sebagai sebentuk kekuasaan,

tetapi dikenali sebagai sesuatu yang absah (Thompson, 1995: 23; 1984: 36).

Pembacaan yang sama dilakukan Rusdiarti. Bedanya, ia membedakan antara

kekuasaan simbolik yang menunjuk pada aspek tertentu kekuasaan dan kekerasan

simbolik yang lebih menunjuk pada mekanisme objektif yang menjamin

kepatuhan mereka yang didominasi (Rusdiarti, 2003: 37--39). Harker juga

membedakan antara kekuasaan simbolik sebagai “kekuasaan untuk membentuk

fakta yang diterima sebagai hal yang benar dengan cara menyatakannya” dan

kekerasan simbolik sebagai pelaksanaan kekuasaan simbolik itu (Harker, 2005:

120).

Menurut Bourdieu dalam karya Richard Jenkins “Pierre Bourdieu”

(1992: 104), kekerasan berada dalam lingkungan kekuasaan. Hal tersebut berarti

bahwa kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika

sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses dominasi

tersebut akan dihasilkan sebuah kekerasan. Kekerasan di sini bukanlah kekerasan

yang banyak dikenal oleh masyarakat, seperti kekerasan fisik dan kekerasan

psikologis yang bentuknya “mudah dikenali” dan dampaknya mudah diamati.

69

“Symbolic violence, according to Bourdieu, is the imposition of systemof symbolism and meaning (i.e.culture) upon groups or classes in such away that they are experienced as legitimate. This legitimacy obscures thepower relation which permit that imposition to be successfull. Insofar asit accepted as legitimate, culture adds its own force to those powerrelations, contributing to their systematic reproduction. This is achievedthrough a process of misrecognition; ‘the process whereby powerrelations are perceived not far what objectively are but in a form whichrenders legitimate in the eyes of the beholder.” (Jenkins, 1992: 104).

Kekerasan yang dimaksud Bourdieu adalah bentuk “kekerasan

simbolik” yang tidak didasari banyak pihak yang terjadi pada masyarakat adat

khususnya masyarakat Dayak. Konsep ini dikemukakan oleh Bourdieu untuk

menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok elite atau kelompok kelas atas

yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk “memaksakan” ideologi,

budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok kelas bawah yang

didominasinya. Rangkaian budaya ini oleh Bourdieu disebut habitus. Akibatnya,

masyarakat kelas bawah atau yang terdominasi dipaksa untuk menerima,

menjalani, mempraktikkan, dan mengakui bahwa habitus kelas atas merupakan

hal yang pantas bagi mereka (kelas bawah), sedangkan habitus kelas bawah

merupakan habitus yang sudah selayaknya “dibuang jauh-jauh”. Kekerasan

simbolik (symbolic violence) sebenarnya jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik

karena kekerasan simbolik melekat dalam setiap bentuk tindakan, struktur

pengetahuan, struktur kesadaran individual, dan memaksakan kekuasaan pada

tatanan sosial. Bourdieu bertutur seperti di bawah ini.

“...the gentle, invisible form of violence, misrecognized as such, chosenas much as it is submitted to, the violence of confidence, of personalloyalty, of hospitality, of the gift, of the debt, of recognition, of piety ofall virtues, in a word, which are honoured by the ethics of honour.”(Bourdieu, 1990: 192).

70

Karena media perjuangan masyarakat Dayak dalam perlawanan ritual

maniring hinting adalah merepresentasikan simbol-simbol lokal, maka diperlukan

pelacakan terhadap pertarungan simbol-simbol yang direpresentasikan di balik

ideologi tiap-tiap kelas. Dalam konteks ini, simbol-simbol tersebut dijadikan oleh

para aktor untuk membentuk kekuasaan sekaligus kekuatan karena melalui

sombol-simbol tersebut mereka berupaya meyakinkan orang lain agar tetap berada

dalam lingkaran kekuasaan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Fashri

(2014: 20) dengan menyitir pula gagasan Bourdieu tentang simbol sebagai

berikut.

Simbol memiliki kekuatan untuk membentuk, melestarikan, dan mengubahrealitas. Kekuatan simbol ini mengandung energi magis yang bisamembuat orang percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yangdiciptakan oleh tata simbol. Bukan lagi kekuatan atau tindakan represiffisik yang diutamakan, tetapi kemampuan simbol membelokkan maknaatas nama kepentingan dominan (Fashri, 2014: 20).

Berdasarkan pemikiran di atas, maka pusat kajian perlawanan masyarakat

Dayak ritual maniring hinting terhadap pemerintah dan investor adalah di arena

pertunjukan ritual ini. Dikatakan demikian karena di arena ritual sejumlah simbol

tersebut diproduksi dengan makna-makna yang ditujukan sebagai resistensi

kepada kelompok dominan yang merepresi mereka sebagai masyarakat marginal.

Apabila dikaitkan dengan teori postkonial, maka cukup jelas bahwa kelompok

terjajah dalam hal ini adalah kelas bawah memang tidak memiliki akses yang

cukup. Mereka adalah “subaltern” yang tak mampu bersuara dan melawan.

Banyak mekanisme atau cara yang digunakan kelompok kelas atas untuk

memaksakan habitusnya. Salah satu di antaranya melalui undang-undang,

peraturan-peraturan dan lembaga negara. Mekanisme sosialisasi habitus kelompok

71

atas ini pun dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Kita dapat melihat bagaimana

masyarakat adat di Nusantara dipaksa mematuhi peraturan tentang memperoleh

kepemilikan hak atas tanah. Selain itu, juga berbagai regulasi yang berkenaan

dengan kekuasaan negara mengatur pemberian hak-hak kepada

investor/pengusaha yang harus ditaati dan dipahami oleh kelompok kelas bawah.

Dengan kata lain, masyarakat adat dipaksa untuk menyesuaikan dan seragam

dengan hukum formal yang bersifat sentralistik “layaknya” kelas atas. Mereka

dipaksa menerima habitus kelas atas atau penguasa.

Implikasi dari cara pandang Pierre Bourdieu dalam Harker et al. (2005)

khususnya mengenai konstruksi praksis itu, maka simbol-simbol dan konsepsi-

konsepsi mengenai suatu kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang cair,

dinamis, variatif, dan sementara karena keberadaanya sangat tergantung pada

praksis para individu yang berada dalam konteks ruang sosial tertentu.

Kebudayaan dalam pengertian ini merupakan suatu konstruksi sosial bertalian erat

dengan kepentingan dan kekuasaan yang dimiliki oleh si aktor dalam hal ini

pemerintah dan pengusaha perkebunan. Kebudayaan dalam arti konteks semacam

ini menawarkan sejumlah konsepsi yang menjadi bahan pertimbangan si pelaku

dalam menentukan tindakannya dan menginterpretasikan suatu aturan sesuai

dengan konsepsi yang diyakininya dan dapat menguntungkan kepentingan dan

keberlangsungan usaha investasinya.

Lewat teori habitusnya, Bourdieu menunjukkan bagaimana relasi kuasa

terjadi dalam struktur masyarakat tertentu. Namun, lewat konsep habitus itu

terlihat bahwa realitas sosial tidaklah begitu sederhana seperti penjelasan lewat

72

teori pertentangan kelas, yang terlalu mengutamakan faktor ekonomi dan

mengabaikan faktor-faktor lain. Habitus diwujudkan dalam kebiasaan, gaya

hidup, simbol-simbol kepemilikan, dan unsur-unsur lain yang secara implisit

mampu mencerminkan simbol-simbol kelas tertentu.

Bourdieu juga telah menunjukkan bahwa pendekatan oposisi agensi

versus struktur sudah tidak lagi memadai dalam menjelaskan realitas sosial. Jadi,

Bourdieu menolak pandangan Cartesian (“Cartesian” adalah kata sifat yang

melukiskan filsafat Descartes) yang membedakan secara jelas antara subjek

dengan dunia luar, antara agensi dan struktur. Memang ada relasi atau keterkaitan

antara keduanya, tetapi hubungan itu bersifat dinamis, kompleks, saling

memengaruhi, dan tidak linier untuk menghasilkan praktik sosial.

Di Indonesia khusus di Kalimantan Tengah, pemikiran Bourdieu ini

bermanfaat signifikan dalam upaya memahami dan menganalisis kesenjangan

sosial budaya, ekonomi, dan politik yang ada di masyarakat. Selain itu, perlu

dilihat secara kritis terjadinya represi dan kekerasan simbolik, yang dilakukan

oleh rezim atau kelompok yang berkuasa terhadap masyarakat kelas bawah, yang

terpinggirkan dalam proses “pembangunan.” Bahkan, perlu dipikirkan secara

serius mengapa meskipun sudah dilakukan berbagai program pemerintah, ternyata

jurang antara masyarakat bawah dan kelompok yang diuntungkan oleh sistem

masih sangat lebar. Bisa jadi kelompok yang dominan pada hakikatnya terus

mereproduksi struktur yang menguntungkan posisinya tersebut. Diharapkan

bahwa jangan sampai struktur yang menindas dan represif ini berkelanjutan. Dari

komitmen keberpihakan tersebut, dapat dipikirkan langkah-langkah apa yang

73

patut dilakukan untuk menjembatani kesenjangan itu dan meningkatkan posisi

masyarakat kelas bawah yang tertindas (Herker et al., 2005).

Teori praktik sosial digunakan dalam mengkaji pergulatan yang terjadi

Kalimantan Tengah khususnya di Kabupaten Kotawaringin Timur. Artinya hak

pengelolaan perkebunan besar swasta sawit merupakan sebuah ranah/arena/field

bagi pemerintah dan masyarakat adat Dayak yang mempertaruhkan kepentingan-

kepentingan dalam perebutan hak-hak atas tanah, modal politik, ekonomi, sosial,

budaya, dan modal simbolis.

2.3.4 Teori Hegemoni

Posisi yang tidak imbang dalam struktur pemerintahan dan sosial

menyebabkan terjadinya hegemoni atau dominasi. Artinya ada pihak yang

menghegemoni dan terhegemoni (oposisi biner). Biasanya yang terhegemoni

adalah kaum yang lemah dan termarginal secara budaya dan ekonomi di dalam

struktur masyarakat. Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah adalah masyarakat

adat yang termarginal karena hak-hak atas tanah mereka terabaikan oleh

pemerintah, investor perkebunan, dan investor pertambangan besar swasta. Hal itu

disebabkan oleh terjangan era globalisasi dan hukum positik yang positifis

(kepemilikan tanah harus tersertifikat dan terukur, serta disahkan oleh lembaga

negara, yaitu BPN) yang tidak dapat terpadu dengan hukum tradisional atau adat.

Chris Barker dalam bukunya yang berjudul “Cultural Studies Teori dan

Praktek” (2000) menguraikan pemikiran Gramsci bahwa hegemoni sebagai

situasi yang di dalamnya terdapat suatu kelompok yang berkuasa dan mendapat

kewenangan serta kepemimpinan atas kelompok subordinat dengan cara

74

memenangi kesadaran. pihak yang dikuasai oleh penguasa. Selain itu, pihak yang

dikuasai tidak hanya merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai serta norma

penguasa, tetapi memberikan kesepakatan atas subordinasi mereka. Inilah yang

disebut “hegemoni” atau menguasai “kepemimpinan moral dan intelektual” secara

konseptual.

Teori hegemoni dibangun atas premis yang menyatakan pentingnya ide

dan tidak mencukupinya kekuatan fisik dalam kontrol sosial politik (Sugiono,

1999: 31--34). Pentingnya ide dalam kontrol sosial politik memiliki arti agar yang

dikusai mematuhi penguasa, sedangkan yang dikuasai tidak hanya harus merasa

mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa. Lebih dari itu,

mereka harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang

dimaksudkan Gramsci dengan “hegemoni” atau dengan kata lain hegemoni dapat

diartikan menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual.” Di pihak lain,

penggunaan kekuatan hanya merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk

kekuasaan. Stabilitas kekuasaan dapat terselenggara berkat inkorporasi kelompok

yang dikuasai terhadap ideologi, moral, dan kultur penguasa.

Pada dasarnya kepatuhan pada aturan dan perangkat hukum penguasa

dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu karena takut, terbiasa, dan

kesadaran/persetujuan. Dari ketiga hal tersebut, pandangan yang terakhir

merupakan ciri dalam konsep hegemoni sehingga hegemoni bersifat menyeluruh

karena bersifat psikologis (Patria dkk., 2003:125). Lebih dari itu Gramsci

menyebutkan bahwa secara esensial hegemoni bukanlah hubungan dominasi

dengan menggunakan kekerasan, melainkan relasi kesepahamam antara negara

75

dan masyarakat dengan menggunakan politik dan ideologi (Suetomo, 1977 ;

Simon, 1999; Sukeni, 2010: 14). Dalam teori hegemoni Gramsci tidak tampak ada

dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya, tetapi lebih ditentukan oleh

adanya relasi kesepahaman antara kelompok yang menghegemoni dan yang

terhegemoni.

Kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap yang

ditindas, dari pemerintah ke rakyat, tetapi datang dari semua lapisan masyarakat,

ke segala arah. De Witt (1979) mengatakan bahwa konsensus yang terjadi di

dalam suatu komunitas tidak disepakati oleh semua kalangan, tetapi masih ada

anggota yang tidak setuju atau dengan kata lain tidak ada konsensus atau

kesepakatan tercapai secara seratus persen. Kelompok yang tidak setuju ini dalam

kesempatan lain akan muncul sebagai kelompok yang mengadakan resistensi atau

perlawanan terhadap kelompok lain (kelompok yang dominan). Perlawanan bisa

bersifat terbuka (nyata), tetapi ada juga secara halus dengan sikap dan perilaku

sebagai gambaran jiwa.

Teori hegemoni Gramsci dipandang tepat sebagai teori utama dalam

penelitian ini. Sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat bahwa kondisi

masyarakat pada masa kini cukup memprihatinkan. Penguasaan tanah dan

ekspansi pasar yang dilandasi oleh nilai-nilai kapitalisme berupaya

mengomodifikasi, menguasai tanah-tanah masyarakat yang memiliki relasi-relasi

sosial dengan masyarakat adat.

Isu-isu energi alternatif (bio-fuel) (Aspandi, 2012) serta keterbatasan lahan

untuk mengembangkan dan memenuhi kebutuhan akan bahan bakunya

76

menyebabkan kelompok kelas atas ini mencari areal. Hal ini sejalan dengan era

otonomi daerah yang sedang giat-giatnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi

menjadikan semua itu berkolaborasi dengan mesra dalam menyebabkan gerakan

tandingan (counter movement) yang tidak cocok dan sejalan dengan prinsip pasar

pada masa-masa yang lalu. Oleh karena itu, teori ini relevan untuk menganalisis

perlawanan dalam pelaksanaan penguatan hukum adat dan kearifan lokal.

Dalam penelitian ini, teori hegemoni digunakan untuk memahami

kekuatan-kekuatan dominan yang melakukan hegemoni terhadap kelompok-

kelompok subordinat dalam pengelolaan dan pemberian hak atas tanah. Walaupun

perlawanan dengan maniring hinting dari masyarakat terhadap kebijakan

pemerintah, berbagai upaya konsensus atau kesepakatan terus dilakukan sampai

mendapatkan hasil yang disepakati dan dapat menampung semua kepentingan.

2.4. Model Penelitian

Model penelitian kualitatif juga disebut metode postpositivistik karena

berlandaskan filsafat postpositifisme yang bersifat artistik. Di sampin itu, juga

karena proses penelitian lebih bersifat artistik berbeda dengan metode kuantitatif

yang berlandaskan filsafat positivisme yang berkaidah ilmiah, yaitu

konkrit/empiris, objektif, terukur, rasional, dan sistematis. Data-data yang

dibutuhkan dalam penelitian kuantitatif berupa angka-angka dan menggunakan

statistik (Suryana, 201: 34).

77

Penelitian kualitatif bersifat naturalistik (Endraswara, 2003). Fungsi

paradigma dan teori tidak dalam rangka membentuk fakta atau melakukan

prediksi dan menunjukkan hubungan dua variabel sebagaimana dalam penelitian

kuantitatif yang bercorak positivis. Pendekatan kualitaitif lebih banyak

mengembangkan konsep dan pemahaman serta kepekaan peneliti sebagai

instrumen penelitian yang memiliki wawasan dan bekal teori yang luas.

Paradigma naturalistik sering diidentikkan dengan nama paradigma definisi sosial

(Suprayogo, 2001) atau pospositivis (Maryaeni, 2005), yang intinya menyatakan

bahwa dalam penelitian dengan paradigma ini maka peneliti akan mengamati

fenomena sosial atau budaya dan berupaya menafsirkan dan memaknai fenomena

yang diamati dengan interpretasi teori-teori kritis yang beraliran kiri. Pada proses

penafsiran fenomena yang diamati maka peneliti wajib berpedoman pada sudut

pandang subjek penelitian dengan pengembangan dengan hal-hal lainnya.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan paradigma kritis.

Peneliti berupaya mempelajari peristiwa kultural dalam sudut pandang pelakunya.

Kejadian kultural yang dimaksud ialah proses perjuangan masyarakat Dayak

dalam menuntut pengakuan yang utuh atas keberadaan hak-hak mereka di

Kalimantan Tengah khusus perlakuan para investor perkebunan sawit,

pertambangan, dan pemerintah.

Berkenaan dengan itu, model penelitian ini dibuat untuk memahami

fenomena dan menjadi fokus penelitian sesuai dengan landasan teori yang

diuraikan di atas yang dapat digambarkan ke dalam bentuk model berikut

(Gambar 2.1). Lihat Gambar di bawah ini.

78

Gambar 2.1Model Penelitian

Keterangan: = saling pengaruh= berpengaruh= harapan/ideal

Negara- Badan Pertanahan

Negara (BPN)

Pengusaha/Investor- Perkebunan Besar

Swasta (PBS)

Makna PerlawananManiring Hintingdalam Masyarakat

Dayak

Proses PelaksanaanManiringHinting

Kontra Hegemonidalam

PembertahananHak-Hak atas TanahMasyarakat Dayak

Masyarakat Adat Dayakdi Kab. Kotawaringin Timur.- Majelis Besar Agama Hindu

Kaharingan (MBAHK)

-

Keterpinggiran/MarginalisasiHak-Hak Masyarakat Dayakdi Kab Kotim, Prov Kalteng

Sinkronisasi Nilai-Nilai BudayaLokal Dayak (Tradisional)dengan Nilai-Nilai Hukum

Positif (Modern)

Globalisasi

Teori Hegemoni/Kontra HegemoniTeori Disiplin dan hukumanTeori Kekuasaan dan PengetahuanTeori Praktik Sosial

Gerakan KontraHegemoni

Ritual ManiringHinting

79

Bagan penelitian di atas memberikan gambaran tentang bagaimana model

penelitian ini bahwa penelitian ini bertitik tolak meningkatnya permintaan global

untuk minyak sawit tengah memacu ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa

sawit di Asia Tenggara dan Afrika. Kekhawatiran timbul atas dampak lingkungan

dan sosial dari konversi lahan yang sangat luas untuk perkebunan monokultur

menyebabkan perlawanan masyarakat yang mendorong ekspansi kelapa sawit

dengan cara yang tidak merusak nilai-nilai konservasi yang tinggi atau

menyebabkan konflik sosial khususnya pertanahan.

Fakta dan realitas yang mempertemukan ritual maniring hinting sebagai

salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat Dayak, yakni sebagai produk

kebudayaan agama Hindu Kaharinagan sekaligus juga menjadi adat masyarakat

Dayak yang digunakan sejak ratusan tahun yang lalu dalam mencari keadilan dan

musyawarah kesepakatan apabila terjadi sengketa. Ritual maniring hinting sebuah

intitusi yang memelihara ketertiban sosial baik dalam aspek sosial, hukum, dan

agama. Dalam konteks kalimantan Tengah, dampak dari globalisasi yang begitu

kuat sehingga menyebar di seluruh aspek kehidupan, salah satunya terdapat dalam

kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengembangan

perkebunan sawit telah meminggirkan dan memarginalkan orang Dayak. Hal

inilah yang menyebabkan negara, pengusaha, dan majelis besar agama hindu

kaharingan (MBAHK) memberikan respons terhadap pelaksaanan ritual maniring

hinting sebagai alat perlawanan masyarakat yang termarginalkan/terhegemoni

oleh dominasi kelompok elite yang selanjutnya menimbulkan pro dan kontra

kepentingan berupa pertaruang ideologi.

80

Bagan penelitian di atas juga menunjukkan bahwa ritual maniring hinting

merupakan objek penelitian yang sekaligus menjadi arena praktik pertarungan

ideologi bagi negara, pengusaha, dan masyarakat adat. Dalam benturan ideologi

tersebut para pihak yang berbenturan menggunakan ideologi dan perspektif

pemahaman berbeda, yaitu negara berideologikan hukum positif dengan

paradigma neokapitalistik yang bersifat sentralistik, pengusaha menggunakan etos

kapitalis dengan kerangka berpikir budaya kapitalisme, dan masyarakat adat

Dayak dengan ideologi dan kearifan lokal yang berbasis keharmonisan dan

keseimbangan terhadap alam yang dalam pemahaman masyarakat Dayak hutan

dan kosmos merupakan bagian dari diri manusia orang Dayak sebagai manifestasi

batang garing (pohon kehidupan) yang berisikan nilai menjaga hubungan

keseimbangan antara Tuhan, alam, manusia.

Untuk membongkar praktik pergulatan ideologi, pelaksanaan, dan makna

maniring hinting tersebut digunakan teori-teori postmodern, seperti teori praktik

sosial Bourdieu, teori kuasa dan pengetahuan Foucault, serta teori hegemoni

Gramsci. Oleh karena objek penelitian ini adalah masyarakat Dayak, maka

pembongkaran ritual maniring hinting dalam penelitian ini digunakan teori , teori

disiplin dan hukuman. Akan tetapi, teori disiplin dan hukuman Foucault dalam

penelitian ini berkaitan erat dan berhubungan langsung dengan teori-teori kritis

yang sudah disebutkan di atas. Dapat juga dikatakan bahwa teori disiplin dan

hukuman yang digunakan dalam memahami ritual maniring hinting sebagai

sebuah ritual untuk menghukum dan mendisilkan kelompok elite yang dominan

secara secara spritual dengan tanda/simbol lokal. Hal ini disebabkan oleh upaya

81

untuk membongkar secara kritis konteks ritual maniring hinting sebagai konta

hegemoni masyarakat Dayak dalam praktik perjungan dan mempertahankan hak-

hak atas tanah yang masih mencari pola dan berproses di dalam keadaan dan

situasi ketidakapastian undang-undang, peraturan, dan konsep yang jelas tentang

perlindungan terhadap masyarakat adat di nusantara khususnya masyarakat

Dayak.