dampak gangguan tidur pada pasien dalam pengobatan gangguan jiwa
TRANSCRIPT
DAMPAK GANGGUAN TIDUR PADA PASIEN DALAM PENGOBATAN
GANGGUAN JIWA
Havard Kallestad, Bjarne Hansen, Knut Langsrud, Torleif Ruud, Gunnar Morken, Tore
C Stiles and Rolf W Grawe
ABSTRAK
Latar belakang: Dalam praktek klinis, gangguan tidur sering dianggap sebagai gejala
dari gangguan jiwa primer. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji apabila
gangguan tidur (terpisah dari gangguan jiwa primer) dihubungkan dengan keadaan
klinis saat ini dan manfaat dari pengobatan pada sampel perwakilan di klinik pelayanan
kesehatan jiwa masyarakat.
Metode: 2246 pasien menerima pengobatan untuk gangguan jiwa di delapan pusat
pelayanan kesehatan jiwa masyarakat di Norwegia, yang dievaluasi dengan uji cross
sectional terhadap pasien dan dokter yang melaporkan tindakan. Pasien melaporkan
kualitas hidup, keparahan gejala, dan keuntungan dari pengobatan. Dokter melaporkan
keparahan penyakit, derajat fungsional, keparahan gejala, dan keuntungan dari
pengobatan. Hipotesis telah diuji menggunakan beberapa analisis regresi hirarkis.
Hasil: Gangguan tidur ini, disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, waktu dalam
pengobatan, jenis perawatan, dan adanya setiap gangguan jiwa primer, terkait dengan
kualitas hidup yang rendah, keparahan gejala yang lebih tinggi, derajat fungsional yang
lebih rendah, dan kekurangan dalam pengobatan.
Kesimpulan: Gangguan tidur harus dianggap sebagai wujud dari terapi tunggal
daripada gejala dari diagnosis yang ada pada pasien yang sedang menerima pengobatan
di pelayanan kesehatan jiwa.
LATAR BELAKANG
Gangguan tidur mempengaruhi 50-80% dari semua pasien dengan gangguan
jiwa dan saat ini merupakan gejala dari 19 gangguan axis I. Pada saat yang sama, hal
tersebut dianggap sebagai gangguan dalam dirinya sendiri jika gangguan tidur
mengganggu fungsi sehari-hari. Dengan banyak diagnostik ini, ada kemungkinan bahwa
dokter menganggap gangguan tidur sebagai gejala yang akan menghilang setelah
gangguan jiwa primer tertangani dan bukan sebagai wujud klinis yang tunggal dan sah.
1
Perbedaan ini dapat berdampak pada pemilihan pengobatan untuk pasien dan gangguan
tidur yang buruk diakui ketika pasien memiliki gangguan jiwa.
Hubungan antara tidur dan gangguan jiwa merupakan hal yang kompleks dan
tidak sepenuhnya dipahami. Gangguan tidur mungkin mendahului depresi, dan 40-70%
dari pasien yang berhasil diterapi untuk depresi mengalami gangguan tidur sebagai
gejala sisa. Di sisi lain, tingkat remisi setelah pengobatan anti-depresi menjadi dua kali
lipat jika diberikan pengobatan tambahan untuk gangguan tidur, dan depresi dapat
diobati menggunakan Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk insomnia saja. Temuan
ini menentang anggapan bahwa gangguan tidur adalah sekunder untuk gangguan
primer. Hal ini mungkin lebih baik diartikan sebagai kondisi komorbiditas, setidaknya
dalam depresi. National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan bahwa ketika
insomnia terjadi bersamaan dengan gangguan lainnya sebaiknya dipertimbangkan
sebagai komorbiditas dibanding sekunder. Dalam daftar online untuk DSM 5,
rekomendasi ini dipertimbangkan dan pergeseran paradigma dimaksudkan sebagaimana
gangguan tidur seharusnya diartikan pada pasien dengan gangguan jiwa. Disarankan
bahwa insomnia harus selalu dikodekan jika kriteria terpenuhi, terlepas dari pemenuhan
kriteria untuk gangguan lainnya.
Sebagian besar penelitian sejauh ini tentang hubungan antara gangguan tidur dan
gangguan jiwa telah dilakukan dalam kelompok pasien yang dipilih, kebanyakan pasien
depresi, yang mungkin tidak sepenuhnya menyerupai kelompok pasien heterogen yang
ditemukan dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Kegunaan klinis dari
rekomendasi NIH untuk menganggap insomnia sebagai gangguan komorbid, daripada
gejala gangguan jiwa primer, akan lebih lanjut didukung jika hal itu menunjukkan
bahwa gangguan tidur berhubungan dengan kesulitan dan ketidakmampuan secara
independen dari diagnosis primer pasien juga dalam menetapkan perwakilan pelayanan
kesehatan jiwa. Penelitian menyelidiki hubungan serupa yang mungkin sekarang sangat
sesuai dengan munculnya usulan DSM -5. Namun, tidak ada penelitian yang menguji
apakah gangguan tidur berhubungan dengan keadaan klinis saat ini dan manfaat dari
pengobatan untuk pasien perwakilan klinis. Tujuan dari penelitian saat ini adalah untuk
menguji hipotesis bahwa gangguan tidur (secara independen dari diagnosis primer
pasien) berhubungan dengan kualitas hidup, keparahan penyakit dan gejala, derajat
fungsional, dan keuntungan dari pengobatan dalam sampel besar, heterogen, dan klinis.
2
METODE
Cara
Data pada penelitian cross-sectional ini diperoleh dari delapan pelayanan kesehatan
jiwa pusat selama delapan minggu pada tahun 2002 dan delapan minggu pada tahun
2005. Yang bertugas dalam pengumpulan data adalah Departemen Kesehatan
Norwegian dan dikerjakan oleh Institusi Penelitian Independen, SINTEF Technology
and Society. Satu orang bertugas mengatur pengumpulan data dari pasien dan dokter di
setiap pusat. Pusat-pusat yang dipilih mewakili secara demografis untuk negara dan
catchment areas termasuk klinik-klinik mencakup sekitar 10% dari populasi Norwegian
yang berada di daerah perkotaan maupun pedesaan di wilayah yang berbeda dari negara.
Penilaian yang sama pada semua tempat dan pada kedua tahun. Dua set data yang
dikumpulkan menjadi satu untuk penelitian ini.
Subyek
Semua 6538 pasien yang menerima pengobatan di pusat-pusat pelayanan kesehatan jiwa
yang terdaftar. Pasien yang mengembalikan kuesioner dimasukkan (N=2246). Pasien
yang berusia antara 18 dan 85 tahun. Usia rata-rata yaitu 39,5 tahun (sd=12,0).
Assessments
Patient rated assessments
Kualitas hidup
Pasien melengkapi Manchester Short Assessment of Quality of Life (MANSA).
MANSA dirancang untuk menilai kualitas hidup pasien dengan gangguan jiwa dan
memiliki reliabilitas serta validitas yang memuaskan untuk kelompok pasien ini.
MANSA ini terdiri dari empat item objektif dan dua belas item subjektif serta item-item
subjektif yang digunakan dalam penelitian ini. Item yang dirancang yaitu untuk menilai
kepuasan pasien yang berasal dari domain berikut: hidup secara keseluruhan, pekerjaan,
situasi keuangan, jumlah dan kualitas persahabatan, kegiatan rekreasi, akomodasi,
keamanan pribadi, orang yang tinggal bersama pasien (atau tinggal sendirian),
kehidupan seks, hubungan dengan keluarga, kesehatan fisik, dan kesehatan mental.
MANSA dinilai dengan menggunakan tujuh skala likert (1= tidak bisa lebih buruk, 7=
tidak bisa lebih baik). Skor yang digunakan dalam penelitian ini adalah rata-rata dari 12
3
item. 344 pasien tidak menyelesaikan MANSA. Alpha Cronbach adalah 0,87 untuk
sampel yang disertakan.
Keparahan gejala
Pasien melengkapi Symptom Checklist-25 (SCL-25) pada tahun 2002, dan Symptom
Checklist-10 (SCL-10) pada tahun 2005. Keduanya merupakan versi pendek dari SCL-
90-R, yang telah banyak digunakan dalam penelitian dan klinis, serta terjemahan
Norwegian memiliki reliabilitas dan validitas yang memuaskan. SCL-25 terdiri dari 25
item, dan SCL-10 terdiri dari 10 item, yang menjelaskan tingkat keparahan gejala
psikiatri yang dinilai menggunakan empat skala (1= tidak sama sekali, 2= sedikit parah,
3= cukup parah, 4= sangat parah). Semua item pada SCL-10 tercantum pada SCL-25
dan hanya item SCL-10 yang digunakan dalam penelitian ini. 101 pasien tidak
menyelesaikan SCL-10 dan alpha Cronbach yaitu 0,89 untuk sampel yang disertakan.
Skor rata-rata 1,85 atau lebih tinggi mengindikasikan gangguan jiwa pada SCL-10.
Keuntungan dari pengobatan
Pasien dievaluasi tingkat manfaat yang diterima dari pengobatan saat penelitian. Para
pasien dinilai empat domain menggunakan lima skala likert (1= sangat sedikit manfaat,
2= agak sedikit, 3= baik sedikit maupun banyak, 4= cukup banyak, 5= sangat banyak
manfaat). Empat domain meliputi pengurangan gejala, kemampuan mengatur gejala,
fungsi praktis sehari-hari, dan kemampuan untuk bekerja. 154 pasien tidak melengkapi
evaluasi pengobatan dan alpha Cronbach untuk empat domain yaitu 0,79 untuk sampel
yang disertakan.
Gangguan tidur
Tiga item pada SCL-90-R mengukur gangguan tidur. Pada SCL-25 dan SCL-10, tiga
item telah dikurangi menjadi satu item yang mengukur keparahan gangguan tidur pada
empat belas hari terakhir menggunakan empat skala likert (Seberapa besar gangguan
tidur anda dalam empat belas terakhir ini: 1= tidak sama sekali, 2= sedikit parah, 3=
cukup parah, 4= gangguan yang sangat parah). Item ini digunakan untuk menilai tingkat
gangguan tidur pasien. Penggunaan seperti ukuran secara dimensi sederhana dari
4
kualitas tidur sesuai dengan proposal untuk uji coba lapangan yang dilakukan oleh
DSM-5 Sleep-Wake Disorders Work-group and Advisors.
Clinical rated assessment
Keparahan gangguan
Para dokter mengunakan the Health of Nations Outcome Scales (HoNOS) untuk
mengevaluasi tingkat keparahan gangguan pasien. HoNOS merupakan 12 item skala
yang dinilai dokter, dirancang untuk mengukur fungsi kesehatan dan sosial pasien
gangguan jiwa. Telah banyak digunakan untuk pasien dalam pelayanan kesehatan jiwa,
dan review dari studi tentang sifat psikometrik menyimpulkan bahwa HoNOS memiliki
relibilitas dan validitas yang memadai. HoNOS memiliki empat subskala, masalah
tingkah laku, penurunan kognitif, gejala, serta fungsi sosial, dan semua item dinilai
dengan skala 0-4 (0= tidak ada masalah, 1= masalah kecil yang tidak membutuhkan
tindakan, 2= masalah ringan tapi pasti ada, 3= masalah sedang menuju ke berat, 4=
masalah berat menuju ke sangat berat). Jumlah skor dari HoNOS digunakan untuk
menilai tingkat keparahan gangguan. Karena petunjuk tentang kode item 8 (gejala) agak
berbeda pada dua set data, item ini dihilangkan dari jumlah skor dalam analisis utama.
Jumlah skor HoNOS adalah 1,02 (SD= 4,9) untuk keduabelas item pada HoNOS.
Global Assessment of Functioning
Para dokter menggunakan versi terpisah dari Global Assessment of Functioning Scale
(GAF). GAF Scale dijelaskan dalam Axis V dari Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders- IV (DSM-IV). Versi terpisahnya dibagi ke dalam satu skor fungsi
(GAF-F) dan satu skor gejala (GAF-S). Hal ini telah dilakukan karena skeptisisme
tentang penggunaan skala tunggal untuk mengukur tingkat fungsi sosial dan pekerjaan
serta tingkat keparahan gejala psikiatri. Versi terpisah dapat diandalkan dan konsisten
pada seluruh penilai.
Functioning
GAF-F adalah penilaian dokter dengan skala 0-100 dalam menilai sosial, kerja, dan
fungsi psikologis pada orang dewasa, misalnya seberapa baik atau adaptifnya suatu
5
pertemuan dalam berbagai masalah kehidupan. Terdapat data yang hilang dari 301
pasien pada GAF-F.
Keparahan gejala
GAF-S digunakan untuk menilai secara keseluruhan tingkat keparahan gejala pasien.
GAF-S adalah penilaian dokter dengan skala 0-100 dalam menilai tingkat tekanan
gejala. Terdapat data yang hilang dari 301 pasien pada GAF-S.
Peningkatan dari pengobatan
Dokter menilai tingkat perbaikan dari awal pengobatan untuk pengumpulan data di tiga
domain menggunakan tujuh skala likert (1= jauh lebih buruk, 2= sedikit buruk, 3= tidak
ada perubahan, 4= sedikit membaik, 5= lebih baik, 6= jauh lebih baik). Tiga domain
meliputi gejala psikiatri, fungsi praktis sehari-hari, dan kemampuan bekerja.
Peningkatan pengobatan tidak dievaluasi untuk 188 pasien dan alpha Cronbach untuk
tiga domain yaitu 0,81 untuk sampel yang disertakan.
Diagnosis primer
Pasien diberikan diagnosis primer dan sampai dua tambahan diagnosis ICD-10 yang
sesuai dengan praktek klinis biasa. Kami menggunakan diagnosis primer dalam
penelitian ini. Diagnosis pertama-tama dikelompokkan ke dalam sepuluh diagnosis
utama dari ICD-10: F0 Gangguan Mental Organik, termasuk Gangguan Mental
Simtomatik; F1 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif; F2
Skizofrenia, Gangguan Skizotipal, dan Gangguan Waham; F3 Gangguan Suasana
Perasaan; F4 Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform, dan Gangguan Terkait
Stress; F5 Sindrom Perilaku Yang Berhubungan Dengan Gangguan Fisiologis dan
Faktor Fisik; F6 Gangguan Kepribadian dan Perilaku Masa Dewasa; F7 Retardasi
Mental; F8 Gangguan Perkembangan Psikologis; F9 Gangguan Perilaku dan Emosional
Dengan Onset Biasanya Pada Masa Kanak dan Remaja. Karena hanya beberapa pasien
yang menerima diagnosis dari F0 Organik, F1 Penggunaan Zat, F5 Sindrom Perilaku,
F7 Retardasi, F8 Perkembangan, dan F9 Gangguan Masa Kanak, pasien tersebut
dikelompokkan ke dalam satu kelompok bernama Gangguan Lainnya dalam analisis
(N= 175). 291 pasien tidak terdiagnosis gangguan mental dan perilaku menurut ICD-10
6
pada saat pengumpulan data. Tidak ada pasien yang terdiagnosis insomnia ataupun
gangguan tidur lainnya yang berhubungan dengan diagnosis primer atau diagnosis
komorbid.
Durasi pengobatan
Lama waktu pengobatan yang sudah dijalani pasien saat penelitian ini adalah 14,5 bulan
(sd= 28,7), sedangkan rata-rata durasi pengobatan adalah 7 bulan.
Tipe perawatan
Pasien menerima pengobatan berupa rawat inap ataupun rawat jalan.
Analisis statistik
Variabel tergantung dalam analisis statistik yaitu kualitas hidup, penilaian pasien
terhadap keparahan gejala, penilaian pasien terhadap keuntungan pengobatan,
keparahan penyakit, tingkat fungsional, penilaian dokter terhadap tingkat keparahan
gejala, dan penilaian dokter terhadap keuntungan pengobatan.
Untuk menguji perbedaan tingkat gangguan tidur pada perbedaan diagnosis
primer digunakan uji ANOVA. Untuk menguji bila terdapat perbedaan tingkat
gangguan tidur antara tipe perawatan, dan laki-laki maupun perempuan menggunakan
two independent t-test.
Enam dari tujuh variable tergantung secara normal didistribusikan dan
digunakan dalam enam analisis multiple regresi hirarkis untuk menguji bila gangguan
tidur berhubungan terhadap variable tergantung secara bebas dari umur dan jenis
kelamin, waktu pengobatan, jenis perawatan, dan diagnosis primer. Kami memasukkan
umur dan jenis kelamin pada langkah 1, waktu pengobatan pada langkah 2, jenis
perawatan pada langkah 3, kelompok diagnosis primer pada langkah 4, gangguan tidur
pada langkah 5, dan interaksi antara gangguan tidur dengan kelompok diagnosis primer
pada langkah 6. Karena variable “penilaian dokter terhadap perbaikan dari pengobatan”
tidak terdistribusi secara normal, dan tidak dapat dinormalkan, kami melakukan
dikotomi pada varabel ini dan melakukan analisis regresi logistik untuk menguji bila
gangguan tidur berhubungan dengan baik atau buruknya hasil pengobatan. Pasien yang
memburuk ataupun yang tidak ada peningkatan dari pengobatan diklasifikasikan
7
sebagai “poor outcome” dan pasien dengan berbagai derajat peningkatan
diklasifikasikan sebagai “good outcome”. Analisis regresi logistik dilakukan dengan
struktur yang sama seperti analisis regresi linear.
Karena banyaknya analisis statistik, kami melakukan koreksi Bonferroni dengan
p < 0,007. Data yang hilang ditangani dengan menggunakan penghapusan daftar. Skor
rata-rata untuk SCL dihitung dengan menghilangkan item tidur. Analisis statistik
dilakukan menggunakan PASW versi 18 untuk Mac Os X.
Etika
Penelitian ini disetujui oleh Regional Ethical Committee for Research in Health dan
oleh Norwegian Data Inspectorate. The Directorate of Health and Social Affairs
memberikan ijin untuk menggunakan informasi dari pelayanan kesehatan.
HASIL
Descriptive and preliminary analyses
Distribusi diagnostik, jenis perawatan dan jenis kelamin dilaporkan di dalam
Tabel 2 bersama dengan nilai mean dan SD pada gangguan tidur untuk tiap kelompok.
Skor mean, standar deviasi, dan tingkat respon pada variable tergantung
ditunjukkan dalam Tabel 1.
Pasien dengan diagnosis ICD-10 skizofrenia (F20) dilaporkan secara signfikan
memiliki tingkat gangguan tidur yang lebih rendah dibanding pasien lainnya (F (4, 1942) =
11,9, p< 0,0001). Tingkat gangguan tidur tidak berbeda antara pasien yang menerima
jenis pelayanan berbeda (t (2233) = 0,46, p = 0,64) ataupun antara laki-laki dan
perempuan (t (2195) = 1,51, p = 0,13).
Hasil dari langkah 1-4 pada analisis regresi
Hasil yang lengkap dari tujuh analisis regresi ditunjukkan pada file tambahan. Silahkan
lihat file tambahan 1: Tabel S1, file tambahan 2: Tabel S2, file tambahan 3: Tabel S3,
file tambahan 4: Tabel S4, file tambahan 5: Tabel S5, file tambahan 6: Tabel S6, file
tambahan 7: Tabel S7. Di bawah ini merupakan ringkasan dari hasil yang signifikan
pada langkah 1-4 analisis regresi.
8
Langkah 1. Usia yang lebih tua berhubungan dengan tingginya kualitas hidup (β
= 0,10, t= 3,95, p< 0,0001).
Langkah 2. Waktu pengobatan yang lebih lama berhubungan dengan tingginya
derajat penilaian pasien (β = 0,09, t= 3,60, p= 0,0003) dan penilaian dokter (B= -
0,02, wald= 36,9, p< 0,0001) terhadap kemajuan dari pengobatan.
Langkah 3. Pasien rawat inap berhubungan dengan buruknya kualitas hidup (β =
-0,10, t=3,81, p=0,0002), tingginya penilaian pasien terhadap keparahan gejala
(β=0,09, t=3,88, p=0,0001), tingginya keparahan penyakit (β=0,17, t= 6,79, p<
0,0001), rendahnya tingkat fungsional (β= -0,23, t= 9,97, p< 0,0001), tingginya
penilaian dokter terhadap keparahan gejala (β= -0,24, t= 10,3, p< 0,0001), dan
rendahnya penilaian dokter terhadap keuntungan pengobatan (B= -0,38, wald =
8,76, p= 0,003).
Langkah 4. Pasien yang terdiagnosis skizofrenia memiliki penilaian pasien
terhadap keparahan gejala yang lebih rendah (β= -0,16, t= 2,93, p= 0,003),
rendahnya tingkat fungsional (β= -0,24, t= 4,05, p= 0,0001), dan tingginya
tingkat penilaian dokter terhadap keparahan gejala (β= -0,32, t= 5,66, p<
0,0001).
Hypotesis testing
Tingkat gangguan tidur, dimasukkan ke dalam lima langkah dari analisis regresi, secara
signifikan dan berbeda hubungannya dengan ketujuh variabel tergantung. Lihat Tabel 3
untuk ringkasan dari hasil tersebut. Interaksi antara gangguan tidur dan diagnosis
spesifik, dimasukkan ke langkah 6, yang tidak signifikan hubungannya dengan beberapa
variabel tergantung.
DISKUSI
Temuan utama
Kami menemukan bahwa tingkat gangguan tidur yang lebih tinggi berhubungan
secara signifikan terhadap rendahnya kualitas hidup, tingginya disstres dan perburukan
fungsional, serta keuntungan yang sedikit dari pengobatan untuk pasien di pelayanan
kesehatan jiwa, secara bebas dari diagnosis primer mereka. Dalam pengetahuan kami,
hal tersebut merupakan pertama kali yang muncul dalam sampel besar dari perwakilan
9
pasien di klinik pelayanan kesehatan jiwa umum. Hal ini mungkin menganjurkan para
dokter untuk menilai dan memberikan pengobatan yang spesifik untuk gangguan tidur
pada pasien dengan gangguan jiwa, karena mungkin dapat meningkatkan hasil
pengobatan.
Definisi DSM untuk gangguan jiwa adalah “sindrom tingkah laku dan psikologis
yang berhubungan dengan adanya disstres atau disabilitas”. Hasil kami sejalan dengan
definisi tersebut dan dengan rekomendasi dari NIH, dan perubahan yang disarankan
dalam DSM-5, bahwa gangguan tidur pada pasien gangguan jiwa mungkin dapat
dianggap sebagai komorbiditas terapi dengan gangguan jiwa primer.
Interpretasi dalam hubungan dengan penelitian sebelumnya
Penelitian ini menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan peneilaian
pasien terhadap kualitas hidup dan penilaian dokter terhadap keparahan penyakit dan
tingkat fungsional. Kualitas hidup telah didefinisikan sebagai “sebuah konsep yang
mencakup berbagai karakteristik fisik dan psikologis serta keterbatasan yang
menggambarkan kemampuan individu untuk berfungsi dan untuk memperoleh
kepuasaan dari apa yang dilakukannya”. MANSA mengukur kepuasan pasien terhadap
faktor sosial, pekerjaan, fisik, dan emosional. HoNOS mengukur fungsi mental dan
sosial, dimana GAF mengukur tingkat fungsional secara umum. Dengan demikian, hasil
gabungan kami, meliputi fitur yang luas dari kualitas hidup yang tercantum dalam
definisi di atas. Pada tahun 2005 NIH merekomendasikan penelitian selanjutnya fokus
terhadap hubungan antara kualitas hidup dan gangguan tidur, dan munculnya laporan
dari tahun terakhir menggambarkan individu dengan gangguan tidur memiliki kualitas
hidup yang buruk secara independen dari keluhan somatik dan juga ketika gangguan
tidur merupakan komorbiditas untuk depresi. Dengan demikian penelitian kami
memperluas bagian penelitian dengan menunjukkan bahwa gangguan tidur berhubungan
dengan kualitas hidup dan fungsi yang buruk secara subjektif pada semua kelompok
pasien dalam perawatan kesehatan jiwa.
Temuan penting dari penelitian ini adalah bahwa tingkat gangguan tidur yang
lebih tinggi sangat terkait dengan tingkat keparahan gejala psikiatri yang lebih tinggi
yang telah diukur oleh dokter dan pasien. Hal ini mirip dengan temuan sebelumnya
dimana pasien dengan insomnia primer memiliki tingkat disstres emosional yang tinggi
10
dan pengaruh negative lainnya. Pasien depresi dengan insomnia juga dilaporkan
memiliki tingkat keparahan gejala yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien depresi
tanpa gejala insomnia, dan penelitian ini memperluas penemuan tersebut untuk pasien
dengan gangguan jiwa lainnya. Alhasil, hal tersebut menjadi lebih menyerupai bahwa
gangguan tidur memberikan kontribusi yang berbeda untuk tingkat keparahan gejala
pisikiatri pasien, fungsi sehari-hari mereka dan kualitas hidup mereka yang tidak dapat
dijelaskan oleh adanya gangguan jiwa lainnya.
Hasil dari penelitian ini juga membuktikan pertanyaan jika gangguan tidur
mempengaruhi hasil pengobatan. Kami menemukan bahwa tingkat gangguan tidur yang
lebih tinggi berhubungan dengan kurangnya keuntungan dalam pengobatan yang diukur
oleh pasien dan dokter. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya pada
dampak gangguan tidur terhadap pengobatan depresi. Bila tidak diobati, gangguan tidur
pada pasien depresi memiliki respon yang buruk terhadap psikoterapi dan merupakan
gejala sisa yang paling umum setelah pengobatan yang berhasil terhadap depresi. Di
lain hal, pemberian pengobatan insomnia yang spesifik untuk pasien dengan depresi
mayor yang menerima pengobatan anti-depressant dapat menambah efek dari
pengobatan dan meningkatkan kualitas hidup. Satu penelitian menemukan bahwa hanya
pemberian cognitive behavioral therapy (CBT-I) untuk insomnia kepada pasien depresi
ringan memperbaiki skor depresi pada 87% pasien. Menariknya, contoh uji coba yang
terbaru dari CBT pada 15 pasien dengan waham persecutory menetap dan insomnia
komorbiditas memberikan hasil yang menjanjikan. Pengobatan dengan CBT-I tidak
hanya menyebabkan peningkatan besar dalam insomnia pada pasien tersebut tetapi juga
berhubungan dengan peningkatan besar dalam waham persecutory. Terdapat kurangnya
pengetahuan tentang dampak klinis dari tidur dalam pengobatan gangguan cemas.
Namun, satu penelitian menemukan bahwa tidur tidak membaik setelah pengobatan
yang berhasil terhadap gangguan panik. Pemberian CBT-I untuk pasien dengan
gangguan stress pasca-trauma (PTSD) dapat juga membaik dalam kualitas tidur dan
gejala PTSD lainnya termasuk frekuensi mimpi buruk. Dengan demikian, dari bagian
penelitian yang telah dilakukan sejauh ini, tampaknya bahwa mengobati gangguan tidur
dapat meningkatkan hasil pengobatan, sedangkan bila tidak ada pengobatan untuk
gangguan tidur dapat mengakibatkan hasil yang buruk. Dari temuan dalam penelitian
ini, akan menarik untuk dilakukan penelitian selanjutnya untuk menyelidiki apakah
11
pemberian pengobatan yang spesifik pada gangguan tidur dalam berbagai gangguan
jiwa dapat memiliki kesamaan hasil yang baik.
Memang, sebuah temuan menarik dari penelitian ini adalah bahwa gangguan
tidur umumnya sama di semua kelompok diagnostik kecuali skizofrenia, yang kurang.
Hal ini sejalan dengan tinjauan baru-baru ini yang menyoroti gangguan tidur sebagai
mekanisme trans diagnostik potensial pada gangguan mental. Dari sudut pandang
neurobiologist, Harvey dkk, mengemukakan bahwa terdapat hubungan dua arah antara
gangguan tidur dan regulasi emosi yang dapat menjelaskan bagaimana gangguan tidur
dan gangguan emosi yang terkait dalam gangguan jiwa. Temuan kami juga mirip
dengan kesimpulan dari meta-analisis secara polisomnografik yang mengukur tidur
pada pasien psikiatri dimana tidak ada perbedaan antara kategori diagnostik yang
ditemukan. Frekuensi yang rendah pada gangguan tidur yang dilaporkan sendiri di
antara pasien skizofrenia baik dalam penelitian ini dan penelitian sebelumnya mungkin
bisa dijelaskan oleh pilihan pasien, masalah dengan tilikan, dan karakteristik penyakit.
Keterbatasan
Terdapat beberapa keterbatasan pada penelitian yang dapat dicatat. Pertama, hasil
pengobatan dinilai secara retrospektif menggunakan skala penilaian yang tidak
divalidasi sebelumnya. Faktor keinginan sosial, efek yang diharapkan, dan umpan balik
pasien mungkin telah dicondongkan pada penilaian dokter terhadap peningkatan skor
dan itu perlu dicatat bahwa rata-rata, hasil penilaian dokter lebih menguntungkan
daripada yang pasien lakukan. Ini mungkin menjelaskan mengapa hasil penilaian dokter
tidak terdistribusi secara normal. Kedua, mungkin terdapat bias seleksi, sekitar dua per
tiga dari sampel asli pada pasien tidak setuju untuk mengaitkan laporan diri mereka
dengan laporan dokter. Ini bisa menjadi artefak dari prosedur. Para pasien harus secara
khusus menunjukkan bahwa mereka ingin memiliki nilai yang terkait dengan penilaian
dokter mereka, daripada harus menunjukkan jika mereka tidak ingin memiliki nilai yang
terkait. Perbedaan ini dapat berdampak besar pada partisipasi pasien. Namun, sampel
kami tampaknya mewakili pasien dalam perawatan kesehatan jiwa umum dibandingkan
dengan temuan dari sampel serupa di negara lain dengan menggunakan langkah-langkah
yang sama. Ketiga, pada penelitian ini, terbatas menjelaskan varians pada beberapa
langkah mungkin karena rancangan penelitian. Penelitian ini ditugaskan oleh
12
departemen kesehatan Norwegian untuk mengevaluasi keadaan sistem perawatan
kesehatan mental nasional dan tidak dirancang secara khusus untuk mengevaluasi efek
dari terjadinya gangguan tidur pada pasien gangguan jiwa. Keempat, desain cross-
sectional pada penelitian ini tidak memungkinkan untuk menyimpulkan tentang
penyebabnya dan kami tidak bisa menjelaskan hubungan yang tepat antara gangguan
tidur dan tingkat keparahan gejala. Selain itu, penelitian ini tidak dapat mengidentifikasi
mekanisme yang mendasari potensi yang mungkin pada hubungan gangguan tidur
terhadap berbagai gangguan mental. Kelima, item tunggal untuk mengukur gangguan
tidur telah digunakan. Ini berarti bahwa kita tidak bisa memahami dampak relatif dari
onset tidur atau pemeliharaan masalah tidur atau jika pasien mengalami jenis lain dari
gangguan tidur. Masih, hal tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa bahwa satu item
yang mengukur gangguan tidur memiliki efek yang signifikan pada semua variable
tergantung. Memang, bahwa satu item dapat digunakan untuk mendapat hasil yang
signifikan sejalan dengan penelitian sebelumnya dan mungkin berguna bagi para dokter.
Kelompok kerja untuk gangguan tidur pada revisi DSM-5 baru-baru ini mengemukakan
data klinis dengan ukuran dimensi sederhana dari kualitas tidur. Utnuk mengimbangi
keterbatasan tersebut, penelitian berikutnya harus memiliki desain penelitian prospektif
dimana pengukuran dilakukan saat sebelum, selama, dan setelah pengobatan
menggunakan pengukuran yang telah divalidasi dan skala yang menyesuaikan dengan
keinginan sosial.
KESIMPULAN
Pada pelayanan kesehatan jiwa, gangguan tidur memiliki hubungan yang unik dengan
kualitas hidup, keparahan gejala, keparahan penyakit, tingkat fungsional, dan
keuntungan dari pengobatan dan dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, waktu
pengobatan, jenis perawatan, dan diagnosis primer. Dengan demikian, gangguan tidur
seharusnya dianggap sebagai entitas terapi tunggal daripada gejala dari diagnosa yang
ada untuk pasien yang menerima pengobatan dalam pelayanan kesehatan jiwa.
13
Tabel 1. Skor rerata variabel tergantung pada pasien di delapan pusat pelayanan
kesehatan masyarakat yang diikutkan dalam penelitian
Rerata SD n Respon (%)+
Variabel penilaian pasien
Manchester Short Assessment of Quality of Life 4,2 0,9 1902 84,7
Symptom Checklist-10 2,4 0,7 2124 94,6
Keuntungan dari pengobatan 2,9 1,1 1657 91,5
Variabel penilaian dokter
Health of Nation Outcome Scales sum++ 7,8 4,5 1804 80,3
Global Assessment of Functioning – Function 55,0 10,6 1945 86,6
Global Assessment of Functioning – Symptom 54,6 12,3 1945 86,6
Keuntungan dari pengobatan 4,1 1,0 1721 95,0
Tabel 2. Deskriptif dan data klinis pasien dari delapan pusat pelayanan kesehatan
jiwa masyarakat yang diikutkan dalam penelitian
n (%) Rerata tingkat
gangguan tidur
SD
Diagnosis primer
Skizofrenia 218 (9,7) 1,89 0,98
Gangguan mood 799 (35,6) 2,39 1,02
Gangguan cemas 538 (24,0) 2,39 1,02
Gangguan kepribadian 225 (10,0) 2,39 1,06
Gangguan lainnya 175 (7,8) 2,39 1,06
Tidak ada diagnosis 291 (13,0) 2,32 1,06
Tipe perawatan
Rawat jalan 1754 (78,1) 2,34 1,04
Rawat inap 492 (21,9) 2,31 1,01
Jenis kelamin
Perempuan 1127 (51,0) 2,36 1,04
Laki-laki 1081 (49,0) 2,29 1,03
14
Tabel 3. Ringkasan dari enam analisis regresi linear hirarkis dan satu analisis
regresi logistic hirarkis yang menilai hubungan unik antara gangguan tidur dan
variabel tergantung berdasarkan usia, jenis kelamin, waktu pengobatan, jenis
perawatan, dan diagnosis pasien dari delapan pusat pelayanan kesehatan jiwa
masyarakat.
Variabel tergantung Adj. R2 ΔR2 B S.E. B β t
Variabel penilaian pasien
Kualitas hidup 0,12 0,08 -0,26 0,02 -0,29** 12,0
Keparahan gejala 0,20 0,17 0,29 0,02 0,42** 19,2
Keuntungan dari pengobatan 0,02 0,01 -0,08 0,03 -0,08** 3,3
Variabel penilaian dokter
Keparahan penyakit 0,11 0,05 0,97 0,10 0,22** 9,3
Tingkat fungsional 0,13 0,02 -1,82 0,27 -0,15** 6,7
Keparahan gejala 0,17 0,02 -1,59 0,23 -0,16** 6,9
B S.E. B Wald OR
Keuntungan dari pengobatan 0,33 0,05 40,7** 1,39
15