dalam organisasi atau perusahaan
DESCRIPTION
organisasi perusahaanTRANSCRIPT
Dalam organisasi atau perusahaan, komunikasi in memiliki peranan yang penting. Kenapa memiliki
peranan yang penting? Sebab komunikasi ini adalah suatu interaksi antara anggota organisasi yang
satu dengan yang lainnya.
Komunikasi Pemerintahan
Komunikasi mempunyai peranan asasi dalam segala aspek kehidupan manusia, masyarakat, dan
negara, karena komunikasi adalah wahana utama dari kegiatan dan kehidupan manusia sehari-
hari. Manusia berkomunikasi dengan sesamanya karena mereka saling membutuhkan, dan juga
karena manusia hanya bisa berkembang melalui komunikasi. Komunikasi telah menjadi
kepentingan vital bagi manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Masyarakat tak
dapat berkembang tanpa informasi dan komunikasi. ( F. Rachmadi dalam Riyono Pratikto, 1987 :
82).
Pada mulanya komunikasi hanya terjadi pada masyarakat yang terbatas luasnya, yaitu kelompok-
kelompok yang hidup berdampingan atau yang merupakan bagian dari unit politik yang sama.
Selama berabad-abad, bahkan selama ribuan tahun tahun di beberapa tempat, mayoritas
penduduk dunia hidup dalam batas-batas unit sosial kecil. Dengan demikian, komunikasi
antarpribadi menjadi kajian utama.
Kajian Ilmu Komunikasi pada perkembangan terakhir melintasi berbagai disiplin ilmu. Sekarang
kita mengenal istilah Komunikasi politik, komunikasi organisasi, komunikasi pembangunan,
sosiologi komunikasi, psikologi komunikasi, dan lain-lain. Dan para pengkaji ilmu komunikasi
yang memiliki minat dalam ilmu pemerintahan juga tidak ketinggalan, mereka mulai memasuki
wilayah ilmu pemerintahan. Dan kemudian muncul istilah Komunikasi Pemerintahan.
Belum begitu banyak referensi yang dapat diandalkan, sebagai bahan rujukan yang membahas
masalah komunikasi pemerintahan. Akan tetapi tampaknya, sebagai suatu kajian, komunikasi
pemerintahan erat kaitannya dengan Komunikasi organisasi dan Komunikasi Politik. Karena
memasuki wilayah organisasi dan politik, mau tidak mau dalam mengupas komunikasi
pemerintahan mesti menyentuh keduanya.
Organisasi sosial terdiri atas sekumpulan orang yang terdiri atas sekumpulan orang yang
memiliki hubungan yang relatif stabil di antara perseorangan dan sub kelompok. Organisasi-
organisasi bervariasi dalam kejelasan hubungan itu. Hubungan pribadi dalam organisasi informal
berkembang secara spontan dan berlangsung melalui pengertian bersama, aturan yang tidak
diucapkan, ritual, dan tradisi. Sebaliknya, organisasi formal memiliki aturan dan pengaturan
yang tegas, kedudukan di dalam organisasi yang ditetapkan dengan teliti, dan hak serta
kewajiban yang ditunjukkan dengan jelas bagi para anggota. Pada umumnya, semakin rumit
organisasi itu, semakin besar struktur formalnya. Jadi, organisasi yang rumit memiliki prosedur
operasi standar ( SOPs, standard operation procedures) yang rinci bagi tugas-tugas spesialisasi
— manajer, administrasi, teknik, dsb.— dan kriteria prestasi yang mendominasi pengangkatan,
alokasi beban tugas, status, gaji dan sebagainya. ( Dan Nimmo, 1989 : 211).
Pada bagian lain Dan Nimmo menyatakan: “ Kelompok – kelompok yang lebih formal meliputi
partai politik dan berbagai organisasi kepentingan khusus seperti serikat buruh, asosiasi
perusahaan, pembela konsumen, organisasi hak sipil, dan koalisi kebebasan wanita. Akhirnya
pada ujung yang paling formal dari kontinum ini terdapat organisasi birokratik. Kebanyakan dari
apa yang harus kita katakana mengenai media organisasi menyangkut komunikasi di dalam
birokrasi.” Organisasi birokratik berusaha mencapai rasionalitas, efisiensi, dan keakhlian dalam
melaksanakan tugas tertentu.
Ciri-ciri organisasi formal berkaitan dengan suatu fenomena yang disebut komunikasi jabatan
(posisitional communication) ( Redfield, 1953). Hubungan dibentuk antara jabatan-jabatan,
bukan antara orang-orang. Keseluruhan organisasi terdiri dari jaringan jabatan. Mereka yang
menduduki jabatan diharuskan berkomunikasi dengan cara yang sesuai dengan jabatan mereka.
Sekalipun demikian, dalam praktik komunikasi jabatan ini membingungkan, karena tidak semua
jabatan dan interaksi secara seksama sesuai dengan diagram jabatan. Bagan organisasi yang
resmi tidak pernah secara lengkap menentukan perilaku dan hubungan sosial anggota organisasi.
Meskipun tidak mungkin untuk sepenuhnya memisahkan suatu jabatan dari kepribadian orang
yang menduduki jabatan tersebut, sering produktivitas organisasi bergantung kepada komunikasi
jabatan. Kenyataan ini tidak tidak pula mengecilkan pengaruh komunikasi informal yang juga
penting. Dalam setiap organisasi formal, biasanya tumbuh pula kelompok-kelompok informal.
Karena hubungan informal terbentuk sebagai respons terhada berbagai kesempatan yang
diciptakan lingkungan kelompok yang lebih nyata yang mempengaruhi jumlah dan pelaksanaan
hubungan informal dalam organisasi ( R. Wayne Pace & Don F. Faules, 1998 : 48).
TIPE KOMUNIKASI PEMERINTAHAN
Di dalam komunikasi pemerintahan, terdapat dua tipe umum saluran komunikasi. Yang satu
memudahkan komunikasi intern. Proses komunikasi birokratik internal ini memiliki tiga
aspek. Pertama, orang harus memiliki informasi sebagai dasar untuk membuat keputusan. Kedua,
putusan dan dasar alasannya harus disebarkan agar anggota-anggota organisasi itu
melaksanakannya. Ketiga, ada saluran-saluran untuk “pembicaraan keorganisasian”, percakapan
sehari-hari yang biasa dalm menjalankan pekerjaan, dan pembicaraan yang dilakukan oleh
anggota-anggota dalam melaksanakan tugas setiap hari menciptakan keanggotaan yang
bermakna dalam tatanan sosial yang sedang berlangsung.
Selain saluran internal, ada juga media untuk berkomunikasi secara eksternal; dalam dinas
pemerintahan misalnya, misalnya, media ini mencakup saluran untuk berkomunikasi kepada
warga masyarakat pada umumnya, klien kepentingan khusus, legislative, dan instansi
pemerintahan yang lain.
3 Proses Komunikasi
Proses komunikasi pada dasarnya adalah proses pengoperan lambing-lambang yang mengandung
arti dari satu pihak kepada pihak lain. Astrid S. Susanto (1982: 120) yang menyatakan bahwa
lambing-lambang yang digunakan harus dipahami oleh komunikator maupun komunikan. Colley
(dalam Effendy, 1992: 56-57) menyatakan bahwa:
Proses komunikasi adalah proses pengoperan lambing-lambang yang mengandung pengertian
tertentu oleh seseorang kepada orang lain. Oleh karena proses komunikasi setidaknya meliputi:
1. Komunikator (Communicator), yakni orang yang menyampaikan atau mengatakan atau
menyiarkan pesan.
2. Pesan (Message) yaitu idea, informasi, opini dan sebagainya.
3. Saluran (chanel), media) ialah alat yang dipergunakan oleh komunikator untuk menyampaikan
pesan.
4. Komunikan (Audience), yaitu orang yang menerima pesan
5. Efek, yakni pengaruh kegiatan komuniukasi yang dilakukan komunikator kepada komunikan.
Schramm (dalam Effendy, 1986: 28) mengemukakan bahwa “Proses komunikasi pada
hakekatnya adalah membuat sipenerima dan sipemberi sama-sama setala (tuned) untuk sesuatu
pesan (message)”. Untuk membuat pesan itu setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan
dilakukan melalui proses komunikasi. Sehubungan dengan proses komunikasi ini, oleh Fisher
(1986: 155) mengemukakan pendapatnya “Proses pentransformasian pesan dari satu bentuk
kebentuk yang lain pada saat penerimaan (dititik tujuan) disebut dengan decoding (pengalihan
sendi).
Dalam proses komunikasi yang melakukan penyandian (encoding) adalah komunikator dan
kegiatan untuk pengalihan sendi (decoding) dilakukan komunikan. Dalam kaitan ini Schramm
(dalam Effendy, 1986: 29) mengemukakan pendapatnya mengenai proses penyandian bahwa:
Pertama-tama sumber meng-ecode pesannya, yaitu ia mengambil informasi yang ia berikan, lalu
ia tuangkan dalam bentukk yang dapat dikirimkan. Gambaran dalam otak kita (pictures in our
heads) tak mungkin dapat dioverkan atau disiarkan kecuali kalau sudah di-code. Jika gambaran
tadi di-code dalam kata-kata lisan, maka akan dapatlah dipindahkan dengan mudah dan efektif.
Berdasarkan uraian tadi dapat disimpulkan bahwa perumusan pesan baik dalam bentuk kata-kata
lisan maupun tertulis merupakan langkah awal yang penting dan menentukan berlangsungnya
komunikasi, karena dalam merumuskan pesan memerlukan kecermatan untuk memilih kata-kata
yang tepat dan dapat dipahami oleh mereka. Dalam hubungan dengan penyandian ini kita lihat
pendapat dari Fisher (1986: 155-156) yang menyatakan:
Satu unsur pokok dalam proses penyampaian dari model mekanistis komunikasi adalah
pengertian tentang tingkat kecermatan. Dalam pengertian komunikasi, tingkatan dimana pesan
itu sama pada titik salurannya (katakanlah pesan yang disandi oleh sumber pesan dan pesan yang
dialih sandi oleh penerima), merupakan tingkat kecermatan dari proses penyampaian itu.
Kecermatan dalam memilih kata-kata yang tepat dalam merumuskan pesan itu penting dan
menentukan agar ide-ide, gagasan-gagasan yang ada itu dapat dituangkan kedalam lambing-
lambang yang bisa dimengerti oleh penerima, sehingga tidak terjadi salah penafsiran. Informasi
yang disampaikan kepada komunikan harus secara jelas dan dapat dimengerti. Oleh sebab itu
lambang yang dipergunakan haruslah dapat dimengerti oleh mereka yang menjadi sasaran
komunikasi, ini berarti kalau menggunakan bahasa maka harus digunakan bahasa yang dapat
dimengerti. Disamping itu pesan yang disampaikan oleh komunikator hendaknya dapat
menimbulkan minat dan perhatian dari komunikannya.
Pesan pembangunan pada prinsipnya bersifat ideologis dan informative. Pesan ideologis adalah
menyampaikan ide-ide politik yang mengarah pada suatu tindakan yang konkrit, menjelaskan
ide-ide dengan tujuan untuk mengatur tindakan-tindakan bersama dan akhirnya dapat
menggalakan solidaritas sosial. Sedangkan pesan informatif bersifat mendidik, langsung
meningkatkan kesadaran, perhatian pengetahuan dan kemampuan baik secara individu maupun
kelompok.
Selanjutnya tahapan lain yang juga diperhatikan oleh komunikator adalah memilih saluran
komunikasi yang akan dipergunakan untuk menyebarkan pesannya. Sehubungan dengan saluran
komunikasi ini, Edward Depari dan Colin Mac Andrews (1985: 16) menyatakan sebagai berikut:
Saluran komunikasi adalah alat melalui mana sumber komunikasi menyampaikan pesan-pesan
(message) kepada penerima (reseiver). Saluran ini dapat dianggap sebagai penerus/penyampai
pesan yang berasal dari sumber informasi kepada tujuan informasi.
Jadi saluran komunikasi merupakan alat yang dipergunakan komunikator untuk
menyampaikan/meneruskan/menyebarkan pesannya kepada penerima atau komunikan.
Berkenaan dengan pentingnya saluran ini dalam komunikasi, B. Aubray Fisher (1986: 157)
mengemukakan pendapatnya bahwa:
Setiap komponen komunikasi terletak pada saluran. Para komunikator saling dihubungkan oleh
adanya saluran. Dalam kenyataannya yang memungkinkan adanya hubungan atau sambungan
tiap-tiap komponen komunikasi adalah saluran itu dan hanya saluran itulah yang dapat berbuat
demikian. Tanpa adanya saluran, maka komponen-komponen itu akan terkatung-katung secara
konseptual dalam ruang.
Dari uraian tadi jelaslah bahwa saluran komunikasi diperlukan dalam setiap kegiatan komuniasi,
karena berperan untuk menghubungkan fungsi dari penyandian dengan pengalihan sandi. Saluran
komunikasi ini sering juga disebut sebagai media atau sarana komunikasi. Media ini bentuknya
macam-macam, seperti telepon, telegram, radio, televisi, pers, kesenian dan yang dapat
menyampaikan informasi kepada pemirsanya. Dengan demikian maka komunikator dapat
menggunakan media yang cocok untuk penyebaran pesannya. Dalam keperluan ini ditentukan
dulu sifat dari komunikannya yaitu sebagi individu, kelompok atau berupa khalayak, setelah
mengetahui sifat dari komunikan tersebut, baru komunikator menyampaikan pesannya kepada
komunikan.
Pada saat prosews penyampaian pesan kepada komunikan sering mengalami gangguan, sehingga
informasi ketika sampai kepada komunikan tidak seutuhnya seperti saat meninggalkan
sumbernya, mengenai gangguan terhadap proses perjalanan dari pesan ini pendapat B. Aubray
Fisher (1986: 156) sebagai berikut:
Adapun yang mengintervensi proses penyampaian penerimaan pesan itu dan karena berperan
mengurangi tingkat kecermatan dari pesan tersebut dinamakan gangguan (noise), wajar untuk
beranggapan bahwa suatu pesan yang ditransformasikan ke dalam begitu banyak variasi yang
berbeda, sebagaimana yang terjadi dalam komunikasi manusia, tidak dapat dielakan lagi akan
menghasilkan tingkat kecermatan yang rendah, atau dengan perkataan lain, potensi gangguan
yang akan merongrong tingkat kecermatan pesan yang disampaikan itu amat tinggi, dan ada
sesuatu yang pasti hilang dalam proses penterjemahan yang bersangkutan.
Dari uraian tersebut jelas bahwa gangguan pesan (noise) dalam proses penyampaian dan
penerimaan pesan itu selalu ada dan tidak dapat dihindarkan, walaupun terkadang kurang nyata
dirasakan oleh pihak yang berkomunikasi. Gangguan tadi dapat berasal dari penyampaian pesan
atau penerima pesan atau dapat pula dari saluran komunikasi.
Salah satu dari unsur komunikasi adalah terjadinya apa yang disebut arus balik (feedback) yang
merupakan efek dari komunikasi. Jika proses komunikasi berlangsung cukup lama akan terjadi
arus balik dimaksud, mengenai arus balik atau yang disebut juga efek komunikasi dapat
dibedakan dalam empat macam, yaitu zero feed back, positive feddback, neutral feedback dan
negative feedback. Mengenai pembedaan tadi beserta maknanya oleh Raph Webb (1982: 17)
dikemukakan sebagai berikut:
1. Zero feedback, yaitu feedback yang diterima komunikator dari komunikan, oleh komunikator
tidak dapat dimengerti tentang apa yang dimaksud oleh komunikan.
2. Positive feedback, yaitu pesan yang dikembalikan kepada komunikator dapat dimengerti dan
mendapat persetujuan, komunikan bersedia berpartisipasi memenuhi ajakan seperti yang termuat
dalam pesan yang diterimanya.
3. Neutral feedback, yaitu feedback yang tidak memihak, artinya pesan yang dikembalikan
kepada komunikator tidak relevan atau tidak ada hubungannya dengan masalah yang
disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.
4. Negative feedback, yaitu pesan yang dikembalikan kepadfa komunikator tidaklah mendukung
atau menentang, yang berarti terjadi kertikan atau kemarahan.
Jadi jelas arus balik yang dikembalikan kepada komunikator adalah berbeda-beda. Komunikator
yang berpengalaman biasanya akan memperhatikan efeknya. Dalam kaitan ini kita melihat
pendapat Jalaludin Rakhmat (2000: 13) yang menguraikan bahwa komunikasi yang efektif
berpengaruh pada pengertian (persepsi), kesenangan, mempengaruhi sikap, hubungan sosial yang
baik dan tindakan. Sistem komunikasi interpersonal berpengaruh pada sensasi, persepsi, memori
dan berpikir, sedangkan dalam komunikasi massa, efek komunikasi berpengaruh pada kognitif,
afektif dan behavioral atau konatif.
Menurut Gonzales (dalam Amri Jahi, 1993: 17) “efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran,
belajar dan tambahan penetahuan. Efek afektif berhubungan dengan emosi, perasaan dan
attituide (sikap) sedangkan efek konatif berhubungan dengan prilaku dan niat untuk melakukan
sesuatu menurut cara tertentu. Sementara Astrid S. Susanto (1982: 121) menyatakan sikap
kegiatan komunikasi bertujuan untuk mengubah dan tindakan sikap komunikan atau sekurang-
kurangnya bermaksud untuk memperoleh persetujuan dan dukungan komunikan. Hanya apabila
komunikasi mampu memperoleh persetujuan atau maksud komunikator, maka komunikasi dapat
dikatakan berhasil. Didukung oleh pendapat dari Bintoro (1983: 34) yang menyatakan
“komunikasi adalah sebagai proses mengubah prilaku orang lain”.
4 Jenis-Jenis Komunikasi
Jenis komunikasi yang diperlukan dalam proses manajemen pembangunan adalah komunikasi
dari atas ke bawah, dari bawah ke atas dan komunikasi searah (Bryant dan White, 198: 172) dan
Syed A Rahim (dalam Depary, 1979: 55) mengungkapkan pula bahwa jenis komunikasi dalam
pembangunan berjalan secara vertical dan horizontal. Secara vertical, arus komunikasi yang
berjalan dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas, yang berlaku relatif antar kelompok
kecil anggota masyarakat yang terlibat dalan perencanaan maupun pelaksanaan program
pembangunan. Sedangkan komunikasi horizontal yang terjadi umumnya banyak tergantung dari
proses komunikasi vertical, dan terjadi diantara kelompok pemuka (Leading group) semata-mata.
Sedangkan arus pesan (informasi) tersebut menurut Melvin De Fleur (Depari, 1978: 7) harus
melakukan dua tahap:
1. Informasi berkembang melalui media (channel) kepada individu-individu yang relatif “cukup
informasi” (well informed), yang pada umumnya memperoleh informasi langsung.
2. Informasi tersebut kemudian berkembang dari mereka yang cukup informasi melalui saluran
komunikasi antar pribadi kepada individu/masyarakat.
Komunikasi semacam itu dikenal dengan komunikasi dua tahap, dimana individu/kelompok
yang mempunyai banyak hubungan dengan sumber informasi yang lazimnya disebut “pemuka
pendapat”, sebab ternyata peranan mereka besar sekali baik dalam meneruskan informasi
maupun dalam menafsirkan informasi kedalam masyarakat. Dalam hubungan ini pemuka
pendapat, bias dari organisasi pemerintah yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
Kemudian masyarakat akan terlibat dalam komunikasi melalui keluarga, lembaga-lembaga sosial
maupun kegiatan organisasi massa lainnya.
5 Efektivitas Komunikasi
Komunikasi efektiv jika mereka yang lerlibat dalam komunikasi, selain mengerti bahasa yang
dipergunakan juga mengerti makna dari isi pesan yang dikomunikasikan. Pemahaman terhadap
isi pesan yang disampaikan itu penting untuk diwujudkan komunikasi yang efektif. Sedangkan
dengan itu Oemi Abdurrahman (1986: 30) yang menyatakan bahwa: “Pesan (massege) yang
disampaikan komunikator harus mempunyai pengertian yang sama dengan komunikan agar
dapat dimengerti, sehingga komunikator akan mengetahui bagaimana respon dari komunikan
terhadap komunikator”. Schramm (dalam Effendy, 1986: 18) menyatakan bahwa:
Komunikasi akan berhasil, apabila pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan kerangka
acuan (freme of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experience)
yang pernah diperoleh komunikan. Bidang pengalaman (field of experience) merupakan faktor
yang penting dalam komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang
pengalaman komunikan, komunikasi akan berjalan lancar. Sebaliknya bila pengalaman
komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator akan timbul kesukaran untuk mengerti
satu sama lain.
Oleh karena itu pesan agar mendapat respon harus memenuhi syarat-syarat, menurut Effendy
(1986: 44), sebagai berikut:
1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian
sasaran yang dimaksud.
2. Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antar
sumber dan sasaran, sehingga sama-sama dapat dimengerti.
3. Pesan harus dapat membangkitkan kebutuhan pribadi pihak sasaran dan mengarahkan
beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tadi.
4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi, yang layak bagi
situasi kelompok dimana sasaran berbeda pada saat digerakan untuk memberikan tanggapan
yang dikehendaki.
Kemudian pesan itu disampaikan melalui sarana atau media yang tepat dan meminimalkan
gangguan (noise) serta memperhatikan tanggapan (respon) komunikan, sehingga mampu
merealisasikan misi komunikasi.
Dari beberapa bahasan tentang komunikasi terdahulu, dapat disimpulkan dalam proses
komunikasi pemerintahan, antara komunikator dengan komunikan agar berlangsung efektiv
maka harus memperhatikan unsur-unsur, yaitu: penyampaian pesan-pesan (message), saluran
atau media (channel), gangguan pesan (noise) dan efek komunikasi (respon). Sehingga
diharapkan melalui kegiatan komunikasi pemerintahan dapat mempengaruhi sikap dan tingkat
laku masyarakat atau dengan kata lain melalui upaya komunikasi dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat.
(http://diar-cahdiar.blogspot.com/2009/04/komunikasi-organisasipemerintahan.html)
EFEKTIVITAS KOMUNIKASI DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK
DAN BERSIH
Oleh: Drs. H. Feisal Tamin
Good Governance
Sebagaimana dimaklumi pada pertengahan tahun 1980 berkembang konsep good governance,
yang dirumuskan oleh World Bank sebagai “… the manner in which power is exercised in the
management country’s economic and social resource for development…”. Sebenarnya konsep
good governance sendiri telah dikembangkan oleh banyak penulis dengan berbagai argumentasi
dan justifikasi, sehingga disebut sebagai a rather confusing variety of catchword, suatu konsep
yang ‘has come to mean too many different things’.
Namun demikian, rumusan UNDP tentang GG agaknya banyak dipakai sebagai konsep rujukan
oleh berbagai lembaga; negara/pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Bahkan Bank Dunia
sebagai penggagas konsep GG juga mengalami tuntutan agar dilakukan perubahan dalam tingkat
tata kelola internal dan reformasi kelembagaan (Pincus & Winters, 2004:31). Ini menunjukkan
bahwa GG menjadi isu utama dalam tata kelola dan reformasi kelembagaan yang tidak saja
berdimensi lokal, namun juga internasional. Rumusan konsepsi UNDP tentang GG sebagai
hubungan sinergis dan konstruktif antara negara, sektor swasta, dan masyarakat, memiliki
sembilan dasar karakteristik, yaitu:
1. Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya.
Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi
secara konstruktif.
2. Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
3. Transparency, dibangun atas dasar kebebasan mendapatkan akses informasi publik bagi
masyarakat.
4. Responsiveness, lembaga-lembaga publik tanggap dan cepat dalam melayani stakeholder.
5. Consensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
6. Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan
dan keadilan.
7. Effectiveness and efficiency, pengelolaan sumber daya publik secara berdaya guna (efisien)
dan berhasil guna (efektif).
8. Accountability, Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
9. Strategic vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke
depan. (Mardiasmo, 2004:24).
Kita tidak sedang membahas satu persatu, sembilan karakteristik tentang GG yang dirumuskan
oleh UNDP, sebab isu tersebut dalam kurun waktu satu dasawarsa ini menjadi sedemikian
populer dan menjadi kajian banyak pihak. Sebagai rujukan yang harus diemban oleh pemangku
mandat dalam melakukan fungsi-fungsi pelayanan publik, pemerintah melalui Lembaga
Administrasi Negara (LAN) memberikan rumusan dan pengistilahan GG sebagai “…
kepemerintahan yang baik dan mendefinisikannya sebagai penyelenggaraan negara yang solid
dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang
konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat”. (Riant Nugroho,
2004: 221).
Oleh karena itu untuk mempermudah konsepsi GG yang telah mengalami banyak pemaknaan,
tidak berlebihan jika ditarik kesimpulan guna membatasi operasionalisasi konsep tersebut
melalui pertanyaan; apakah pemerintah tahu apa yang harus dikerjakannya dan apakah pekerjaan
tersebut dilaksanakan secara efisien? Jadi sebenarnya GG adalah masalah kepercayaan dan hal
itu berkenaan dengan kontrol dan pengendalian atas segala sumber daya melalui kewenangan
yang dimiliki, baik untuk mengalokasikan maupun mendistribusikannya.
Pertanyaan berikutnya bagaimana peran komunikasi sebagai kekuatan yang signifikan guna
mewujudkan Good Governance. Untuk melihat itu semua, maka komunikasi yang bagaimana
dapat secara efektif menjadi stimulus bagi perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik dan
bersih? Siapa saja aktor atau pelaku komunikasi dalam perwujudan pemerintahan yang baik dan
bersih tersebut?
Efektivitas Komunikasi
Gelombang perubahan yang menandai kemajuan peradaban, dicerminkan oleh keadaan yang
sarat dengan persaingan dan liberalisasi arus informasi; investasi, modal, tenaga kerja, dan
budaya. Pada sisi internal, pemerintahan juga akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas
(knowledge based society), yang juga berarti masyarakat yang banyak tuntutan (demanding
community). Hal ini menjadi suatu konsekuensi atas pemenuhan yang memuaskan terhadap
public services pemerintah, sebagai imbalan atas pajak yang telah mereka bayarkan.
(Mardiasmo, 2004: 11).
Tuntutan berbagai pihak atas perbaikan serta peningkatan pelayanan publik dan penyingkapan
informasi publik oleh demanding community, menjadi tema sentral dalam salah satu isu GG.
Transparansi, akuntabilitas kelembagaan menjadi rujukan utama dalam rangka menjawab
tuntutan yang saat ini sedang berkembang. Oleh sebab itu, efektivitas komunikasi saya angkat
sebagai titik tekan dalam merespon tema ini.
Negara sebagai pengelola sumber daya diyakini memiliki potensi untuk melakukan
penyimpangan kekuasaan (abuse), baik terhadap informasi-informasi publik ataupun terhadap
sumber daya. Hal ini dapat dibuktikan, tidak saja pada negara-negara yang berada dalam struktur
tertutup (otoritarian), bahkan meluas juga pada negara-negara maju. Tuntutan keterbukaan oleh
masyarakat diyakini dapat menjaga perilaku negara untuk tidak sewenang-wenang. Namun,
meskipun negara memiliki potensi seperti yang telah disebutkan diatas, melalui birokrasinya
negara tetap dianggap organ utama untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya.
Sebagai catatan : Beberapa harian terbitan ibukota bulan Mei 1979 menurunkan berita (Berita
Buana, headline) mengenai pernyataan Feisal Tamin, juru bicara Departemen Dalam Negeri
antara lain : ”bahwa pejabat-pejabat pemerintah khususnya Pejabat PR harus terbuka dan harus
mampu berkomunikasi dengan masyarakat. Pejabat yang tertutup berarti mereka adalah pejabat
yang picik, pejabat yang takut diketahui kesalahannya”. Atas berita tersebut
Mensekneg/Mendagri a.d. interim waktu itu menegur saya/mempertanyakannya. Demikian,
seperti itulah kondisi/sistim pada era yang tidak sepenuhnya terbuka.
Panggung global membutuhkan naskah baru. Naskah baru ini menuntut para pemain utamanya
untuk mengubah cara berpikir dan bertindak mereka. Ini berlaku bagi individu dan juga institusi,
baik itu korporasi, serikat pekerja, kelompok-kelompok kampanye, investor, pemerintah daerah,
maupun pemerintah pusat. (Ohmae, 2005: 253).
Adagium diam berarti emas atau banyak kerja sedikit bicara, sepertinya tidak lagi menjadi
relevan dalam masyarakat yang semakin cerdas dan semakin menuntut. Karena, pemerintahan
yang efektif dalam era sekarang adalah suatu pemerintahan yang harus banyak bekerja sekaligus
komunikatif. Tentu harus disadari bahwa kondisi saat ini, informasi tidak lagi menjadi monopoli
negara. Masyarakat dapat memiliki akses informasi dari berbagai sumber yang sedemikian
melimpah. Namun, dalam suatu keberlimpahan informasi, terdapat potensi kebisingan (noise),
sebagai akibat banyaknya informasi yang lalu lalang hampir tanpa kendali.
Kebisingan tersebut justru dapat menjadi kontraproduktif bagi efektivitas bekerjanya suatu
pemerintahan. Sebab secara potensial dapat memicu kebingungan, oleh karena sukar
diidentifikasi mana informasi yang benar dan tidak. Untuk itu efektivitas komunikasi perlu
menjadi perhatian baik pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Sebab tiga komponen tersebut
dalam sistem merupakan aktor-aktor yang seharusnya aktif dalam meraih informasi dan kreatif
mengkomunikasikannya. Ini penting tidak saja dalam rangka penyebaran perkembangan dan
kemajuan pekerjaan yang sedang terjadi, namun yang lebih utama lagi dalam rangka
meminimalisir potensi dis-informasi/mis-informasi, sebagai konsekuensi atas keberlimpahan
informasi yang seringkali crowded.
“Komunikasi adalah salah satu aktivitas manusia yang diakui setiap orang, namun hanya sedikit
yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan”. (Fiske, 1990:7). Sinyalemen tersebut saya kira
bukanlah mengada-ada, sebab meskipun kita sadar bahwa komunikasi itu penting, namun banyak
pihak baik individu maupun institusi yang tidak mampu melakukan definisi atas fungsi
komunikasinya. Pemerintah Indonesia sebagai suatu sistem kelembagaan bisa juga dikatakan
mengalami hal yang sama. Seperti yang dapat dilihat melalui model komunikasi iklan layanan
masyarakat, baik yang dilakukan oleh Presiden dan Wakilnya, jajaran Menteri hingga Eselon
dibawahnya. Kita dapat melihat ataupun merasakan, apakah iklan tersebut dapat berjalan secara
efektif. Artinya, apakah besaran biaya negara yang dikeluarkan melalui iklan tersebut dapat
mencapai hasil seperti yang diinginkan atau tidak. Sedangkan pada sisi lain terdapat aspek
pertanggungjawaban yang juga harus dipertanyakan; bagaimana dengan iklan layanan yang
bersifat menjanjikan sesuatu kemudian tidak dipenuhi oleh yang bersangkutan. Apakah itu dapat
dikatakan sebagai satu kebohongan publik, dan bagaimana pertanggungjawabannya.
Praktik Komunikasi Politik; Beberapa Kasus
Beberapa model komunikasi yang pernah dilakukan oleh pemerintah dan mendapatkan banyak
kritik dari berbagai kalangan. Misalnya, pesan melalui SMS yang dilakukan oleh
DEPKOMINFO dan pemasangan iklan media oleh salah satu lembaga masyarakat menyertakan
banyak individu untuk mendukung kenaikan BBM. Alih-alih dapat memperoleh dukungan,
justru strategi ini mendapatkan kritik keras dari berbagai pihak. Bukan pada berapa biaya SMS
untuk sekian juta pelanggan handphone ataupun berapa harga iklan di media massa, namun
materi yang disebarluaskannya.
Ini memperlihatkan bahwa upaya komunikasi dan transformasi informasi membutuhkan tidak
sekedar penghitungan atas komponen biaya yang harus dikeluarkan. Sebab yang lebih penting
adalah, menyangkut materi apa yang akan disebarluaskan dan siapa sasarannya. Memilah
peruntukan informasi, kedalaman informasi yang akan disebarkan, dan apa media yang akan
dipakai sebagai transmiternya merupakan bagian penting dari suatu strategi komunikasi.
Termasuk didalamnya menghitung seberapa besar akurasi dari pesan yang akan disampaikan.
Klasifikasi, apakah informasi tersebut bersifat teknis atau substansi, dan yang terutama adalah
resepsi ataupun resistensi semacam apa yang akan muncul dari pihak-pihak penerima pesan.
Bahasan ini seharusnya menjadi fokus utama sebelum keputusan komunikasi dilaksanakan.
(Fiske, 1990:16).
Tidak semua komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah selalu berhasil, dan tidak semua
inisiatif masyarakat dalam melakukan komunikasi dikatakan gagal. Acara dialog Republik BBM
yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi nasional, dapat menjadi contoh tentang
bagaimana pesan kebijakan dari pemerintah direspon oleh masyarakat. Dengan format yang
didesain secara ringan dan segar, acara tersebut memuat berbagai sindiran baik terhadap
kebijakan pemerintah yang didukung maupun yang dikritik. Melalui gaya parodi bahkan
terkadang sinis, tidak saja substansi kebijakan direspon dan ditransformasi ulang kepada
khalayak umum melalui perdebatan-perdebatan yang penuh dengan banyolan. Sinisme ini juga
dicerminkan melalui personalisasi karakter yang dibuat seolah-olah bahwa, individu yang
bersangkutan adalah sekelompok orang yang memerankan fungsi-fungsi seperti dalam suatu
pemerintahan. Tak urung, sindiran serta kemasan isu dan format acara tersebut sempat menjadi
polemik yang memunculkan rumor bahwa pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla
meminta agar acara tersebut dirubah formatnya.
Terlepas apakah kita sepakat atas format acara semacam itu atau tidak, termasuk memaknai
pesan yang disampaikannya. Harus kita akui adanya kejelasan pesan bahwa dalam suatu
pemerintahan, tidak saja dukungan yang dapat diperoleh bagi berjalannya suatu kebijakan.
Namun didalamnya termasuk juga adanya tuntutan, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh
kelompok-kelompok masyarakat baik kelompok penekan, kelompok kepentingan maupun partai
politik. Hal ini saya anggap penting karena dalam suatu sistem pemerintahan, input bagi bahan
pembuatan suatu kebijakan terdiri dari dua hal, yaitu dukungan dan tuntutan. Sehingga berupaya
keras untuk meraih dukungan dari berbagai pihak seringkali menjadi target utama pemerintah,
sedangkan tuntutan sering diabaikan. Secara kritis sekali lagi saya sampaikan bahwa efektivitas
dari suatu komunikasi adalah ketika mampu menjaring semua dukungan dan tuntutan yang
masuk untuk kemudian dikonversi menjadi suatu kebijakan, disamping bagaimana kebijakan
tersebut akan disebarluaskan.
Menyeimbangkan Posisi Masyarakat dengan Negara Melalui Komunikasi Publik
Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, menjadi rumusan universal bagi banyak negara
di dunia karena dipercaya dapat mewujudkan suatu negara yang berorientasi pada pelayanan
publik. Secara historis, posisi publik dengan negara berada pada posisi yang senjang. Hal ini
dikarenakan sedari awalnya, negara/pemerintah memiliki sumber daya dan kewenangan yang
tidak dimiliki oleh publik/masyarakat, dengan kata lain negara/pemerintah lebih kuat daripada
publik. Oleh karena itu GG, melalui berbagai instrumennya (partisipasi, transparansi, kebebasan
informasi, akuntabilitas dsb) menyeimbangkan posisi publik ketika berhadapan dengan negara.
(Kartawidjaya, watchin @snafu.de).
Jika kelompok-kelompok masyarakat mulai aktif dalam upayanya untuk menyeimbangkan posisi
publik dengan negara, via tuntutan partisipasi, lantas bagaimana negara beserta aparaturnya
merespon gagasan-gagasan tersebut? Oleh karena itu saya berusaha mengajukan gagasan tentang
komunikasi dua arah yang harus menjadi inisiatif dari pemerintah/negara. Sebagai pemegang
kewenangan dalam pengelolaan sumber daya, negara melalui aparaturnya memiliki peran
signifikan dalam meningkatkan fungsi dan pelayanannya.
Tujuan dari peningkatan kapasitas komunikasi publik yang dilakukan oleh negara, tentu akan
berdampak positif dan sinergis ketika bertemu dengan gagasan yang diusung oleh kelompok-
kelompok masyarakat sipil. Pada akhirnya akan diterima titik keseimbangan baru, sebagai akibat
pertemuan tuntutan masyarakat tentang keterbukaan, dengan kemampuan negara beserta
aparaturnya melalui komunikasi aktif dua arah. Pada akhirnya kita bisa meyakini bahwa, pola
kemitraan konstruktif antara negara-masyarakat seperti yang dicita-citakan dalam prinsip GG
niscaya akan terbangun.
Komunikasi aktif dari pihak negara dapat dimulai melalui pengembangan secara terus-menerus
baik dalam kualitas, format, teknik, dan daya guna teknologi. Komunikasi publik secara aktif
bermanfaat sebagai pemecah kebekuan ataupun kesenjangan posisi negara versus masyarakat.
Tidak saja dalam menyebarluaskan informasi secara teratur tentang kebijaksanaan, perencanaan,
tetapi juga dalam rangka diseminasi atas hasil dan kinerja yang telah dicapai oleh
Negara/pemerintah selama ini. ( Himpunan Orasi Ilmiah Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara, 2001-2003: 57).
Komunikasi aktif dapat juga dalam format konsultasi publik secara aktif baik yang bersifat
reguler ataupun insidental. Konsultasi publik dapat secara efektif berfungsi sebagai ruang
konfirmasi dan klarifikasi publik secara cepat terhadap berbagai perkembangan informasi yang
pada era ini mengalami kemajuan pesat. Termasuk di dalam strategi komunikasi ini adalah
hubungan dengan pers/media massa, penggunaan teknologi informasi; teleconference, video
conference, internet/situs-situs pemerintahan (E Government), video streaming dan seterusnya
yang semuanya memberikan banyak kemajuan bagi dukungan maupun tuntutan masyarakat atas
kebijakan suatu pemerintahan/negara.
Khusus hubungan dengan media massa, saya anggap memiliki peranan sangat penting karena ia
merupakan jalur yang sangat potensial dalam menjangkau masyarakat luas secara cepat.
Kegiatan komunikasi apapun akan lebih berhasil bila diliput pers. Untuk itulah hubungan baik
perlu dikembangkan, guna menciptakan kesadaran dan pengertian antara organisasi dengan pers
sekaligus membawa manfaat dalam pembentukan citra dan publik opini. Tujuannya bukan
sekedar publisitas dan penyebaran informasi sebanyak-banyaknya tetapi bagaimana pers dapat
menyebarluaskan informasi secara optimal. Yang diperlukan adalah kualitas dan bukan pada
kuantitas informasinya.
Sementara itu harus diingat bahwa potensi perbenturan dengan pers tetap besar apabila pihak
luar tidak dapat sepenuhnya memahami fungsi, peranan dan kerja pers itu sendiri. Sering terjadi
pihak luar pers termasuk pemerintah mempunyai harapan (expectations) yang tidak dapat
dipenuhi dalam hubungan dengan pers. Pemuatan suatu berita tidak dapat dipaksakan atau diatur
semau pihak luar, sebab sepenuhnya menjadi wewenang redaksi media. Apalagi untuk
memenuhi keinginan mendapatkan headline dan sebagainya (di masa sebelum masa reformasi,
hal ini masih mungkin terjadi, namun sekarang tidak lagi). Karena itu hubungan dengan pers
harus bertitik tolak dari: pertama, penghargaan terhadap institusi pers dan peran sertanya. Kedua,
pemahaman mengenai seluk beluk organisasi atau cara kerja mereka.
Kepemimpinan
Kepemimpinan yang kuat, tegas, dan berani menjadi satu kebutuhan mutlak dalam era ini.
Pemimpin harus benar-benar tidak punya rasa takut. Tak boleh berpura-pura tidak takut, karena
ketakutan itu menular. (Ohmae, 2004:312)
Persoalan tata kelola pemerintahan dewasa ini membutuhkan berbagai kombinasi agar dapat
mencapai tujuan. Tidak saja komunikasi yang efektif, termasuk juga siapa yang tampil untuk
memimpin sebagai pelaku komunikasi yang utama. Dalam suatu situasi yang mengenal
ketidakpastian seperti sekarang ini, pemimpin harus mampu mengubahnya menjadi suatu
kepastian yang dapat dikalkulasi. Salah satu jalan untuk itu adalah dengan mendapatkan
informasi lebih banyak. Pemimpin yang baik harus mendapatkan informasi sebaik mungkin dan
akurat mengenai dunia sekitarnya.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki cinta dan gairah terhadap inovasi, sebab
kecintaan dan kegairahan tersebut akan mendukung peningkatan kreativitasnya. Tidak saja
terhadap berbagai inovasi atas kebijakan-kebijakan baru yang dibuatnya, namun juga bagaimana
secara kreatif dan cerdas mengkomunikasikan kreasinya kepada khalayak. Sehingga pesan yang
ingin disampaikan dapat secara jelas tertangkap dan menimbulkan respon positif.
Keberanian seorang pemimpin bukanlah memiliki makna ’sembrono’, sebab dunia seperti yang
dikatakan oleh Gidden dalam third wave nya adalah suatu keadaan yang penuh resiko. Dimana
resiko dapat dikalkulasi, dan itu menjadi pembeda terhadap sesuatu yang dinamakan sebagai
bencana (catastrophe). Keberanian ini harus digunakan sebagai penegas, guna menepis berbagai
kekuatiran atas hilangnya kekuasaan pemerintahan masa lalu yang absolut, sebagai konsekuensi
dari penerapan pemerintahan yang baik dan bersih secara konsisten dengan berbagai prinsip-
prinsipnya. Cara pandang ini harus dibalik menjadi suatu insentif bagi efektivitas kepemimpin
dalam melaksanakan fungsinya, sebab tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dapat
memberikan basis legitimasi baik politis maupun legal bagi berjalannya suatu pemerintahan.
Pelaksanaan secara konsisten good governance juga memberikan insentif bagi pemimpin untuk
tidak sendirian. Sebab jejaring kemitraan antara pemimpin pemerintahan, masyarakat dan dunia
usaha merupakan suatu keniscayaan. Tidak saja dari aspek bersatunya ketiga sumber daya
melalui kerjasama, namun memperkuat integritas, legitimasi, dan akuntabilitas suatu kebijakan.
Saran dan Rekomendasi
Mengakhiri paparan ini, saya ingin menyampaikan saran dan rekomendasi sebagai berikut;
- Konsistensi penerapan good governance dan terjaganya keseimbangan posisi hubungan publik
dengan negara melalui proses komunikasi yang efektif, menjadi faktor signifikan dalam
mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih.
- Efektivitas komunikasi baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat, memerlukan
pemilihan strategi yang cerdas dan bijak dalam penerapannya.
- Bagaimana peran masyarakat dan organisasi-organisasi seperti KOMWAS PBB dan lembaga-
lembaga lainnya termasuk akademisi dan mahasiswa, untuk berkomitmen dalam menjaga dan
merawat peningkatan kualitas fungsi pengawasannya secara kritis dan konstruktif. Sehingga
dapat berfungsi tidak saja tempat kajian strategis dalam pengembangan pemerintahan yang baik
dan bersih, namun dapat juga mengambil inisiatif dalam rekomendasi kebijakan publik.
- Sebagai aktor-aktor utama dalam sebuah sistem, pemerintah dan masyarakat harus menyadari
fungsi kepemimpinannya. Sebab pemerintahan yang baik dan bersih dapat terwujud apabila
terdapat kepemimpinan yang baik yang menjadi panutan dan mampu mengemas komunikasinya
secara efektif.
Semoga bermanfaat bagi forum seminar dan bagi kemajuan bangsa negara tercinta.
Jakarta, 22 April 2006
Ketidakmampuan Indonesia dalam memanajemen komunikasi massa lebih diakibatkan kurang
dipahaminya efek dari sebuah isu, termasuk investasi dan industri.
Grunig berpendapat, akses informasi yang begitu terbuka belum mampu difungsikan secara baik
dan benar dalam membentuk sebuah opini publik. Sehingga, memaksa pemerintah perlu
memberikan regulasi dan kebijakan baru
(Ahli strategi komunikasi dan public relations global James Grunig menilai strategi dan
manajemen komunikasi pemerintah belum mampu diandalkan)
POLA KOMUNIKASI
1. Top-down (linier)
Komunikasi linier didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui saluran (penyaring). Komponen utama dari model ini adalah pesan, sumber (advocacy roles), Gatekeepers (Channel roles), Penerima (behaviour user system), dan umpan balik (feedback). Pakar-pakar komunikasi yang membidani model ini antara lain Westley dan Malcom (1957), Newcomb (1958), Berlo (1960), dan Roger dan Kincaid (1981). Menurut model ini, komunikasi dikatakan efektif apabila penerima yang dalam proses difusi dan adopsi inovasi lebih sering disebut sebagai sasaran mampu menerima pesan (informasi/misi) sesuai dengan yang dikehendaki oleh sumber. Rogers dan Shoemaker (1984) mengemukakan bahwa dalam proses perubahan sosial pesan-pesan (massage = M) dioperasikan dari sumber (source = S) kepada penerima (receiver = R) melalui saluran (channel = C).
Model komunikasi ini pada kenyataannya banyak dicerca, karena kurang demokratis. Meskipun ada feedback, namun tetap timpang karena ada kesan pemaksaan (diatur) atau arus peluru (jarum hipodermik), lebih mengutamakan kepentingan sumber, dan tidak interaktif sehingga tidak tercapai pemahaman bersama antara sumber (subyek) dengan penerima (obyek). Dikatakan demikian karena akses (bargaining position) penerima terhadap pesan dan saluran atau media yang digunakan oleh sumber tidak ada, feedback berjalan setelah komunikasi berakhir. Di kehidupan sehari-hari ini bisa terjadi antara pemerintah dengan masyarakat, antara guru dengan murid, antara penyuluh dengan petani, dan sebagainya. Apabila model komunikasi ini diimplementasikan dalam pembangunan maka tendensinya akan mengarah ke rekayasa sosial (social enginering) yang menempatkan yang kuat (sumber) sebagai subyek dan yang lemah (penerima) sebagai obyek,
akibatnya terjadi berbagai bias dalam operasionalnya seperti bias elit, biar gender, bias lokasi, bias stratifikasi dan sebagainya. Jadi, meskipun di beberapa negara atau institusi, atau konteks tertentu model komunikasi ini masih dianggap relevan, namun pada kenyataannya selalu berujung dengan masalah yang sangat besar yang berakar dari ketidakpuasan dan kesenjangan. Model ini tidak selalu dikatakan sangat naif atau diharamkan dalam proses pembangunan atau kehidupan sehari-hari karena ada momen-momen tertentu yang masih relevan menggunakan model ini, termasuk dalam pemberdayaan sosial (petani dan kelembagaannya).
Di era Suharto, DPR sering dijuluki Tiga-D: Duduk, Dengar, Duit. Komunikasi yang berlaku di masa itu adalah komunikasi searah, yaitu komunikasi dari atas ke bawah (top-down). Presiden memberikan petunjuk dan pengarahan, langsung disetujui oleh DPR (yang selalu didominasi oleh Golkar) dan para menteri serta gubernur. Kemudian Gubernur memberi petunjuk dan pengarahan kepada DPRD tingkat I dan para Bupati, dan Bupati ke DPRD tingkat II dan para camat, dan begitu seterusnya sampai pada tingkat desa.
Untuk mengelola negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk yang meningkat terus dari hampir 200 juta, sampai sekarang sudah mencapai 210 juta, dan heterogenitas penduduk yang sangat luar biasa, sistem komunikasi politik searah ini sudah terbukti sangat efektif selama 32 tahun. Tetapi sistem komunikasi ini terbukti tidak bisa bertahan selamanya. Bersamaan dengan Krisis Moneter yang berkembang juga menjadi Krisis Politik, rezim Suharto pun tumbang, dan pola komunikasi langsung berubah arah: dari bawah ke atas (bottom-up).
Namun pola komunikasi bawah-atas ini, langsung terbukti sama tidak efektifnya. Bahkan lebih tidak efektif, karena jika semasa Suharto yang terasa adalah keluhan pihak-pihak yang frustrasi karena aspirasinya tidak tersalur (misalnya: kelompok PDI Mega, Petisi 50, mahasiswa dsb.), pada era pasca-Suharto, yang terjadi adalah anarkhi yang tidak habis-habisnya, sehingga dalam tempo singkat presiden RI berganti 4 kali. Masalahnya, dalam pola atas-bawah, maupun bawah-atas, sama-sama tidak terjadi dialog (komunikasi dua arah), yang terjadi hanya monolog (komunikasi searah).