d2b7cc7bd01

45

Upload: aro

Post on 26-Jun-2015

816 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: D2B7CC7Bd01
Page 2: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 57

DAFTAR ISI

Cover:

Mekanisme Antibiotik

SUMBANGAN TULISANRedaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto, dan

materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Tulisan yang

tidak dimuat akan dikembalikan. Redaksi berhak mengedit

atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah

isi yang dimuat apabila dipandang perlu.

Pengantar Redaksi 57

Petunjuk untuk Penulisan Dexa Media 58

Artikel Utama� The Role of Cefepime: Empirical Treatment in Critical Illness 59

� Pemakaian Cetirizin dan Kortikosteroid pada Penyakit Alergi Anak 68

Laporan Kasus:Light Chain Myeloma 74

Tinjauan Pustaka:� Efek Kortikosteroid Terhadap Metabolisme Sel; Dasar Pertimbangan

Sebagai Tujuan Terapi Pada Kondisi Akut Maupun Kronik 77

� Infeksi Gonore Pada Anak 81

� Terapi Antibiotika Empiris Pada Sepsis Berdasarkan Organ Terinfeksi 85

� Terapi Hemorheologi 91

� Terapi Bedah Pada Varises 96

Profil:Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur Hermawan, Sp.PD-KPTI 99

Sekilas Dexa Medica Group� Membangun Brand, OTC Dexa Ikuti Fun Bike

Hari TB Internasional 101

� Branding OGBdexa Saat Munas PAFI 101

� Dua Tahun Berturut-Turut: Dexa Medica Raih

Employer of Choice 102

Kalender Peristiwa 103

Penelusuran Jurnal 104

Daftar Iklan: Exepime, Ketricine, Stimuno, Toxilite

PenasehatIr. Ferry Soetikno, M.Sc., M.B.A.

Ketua Pengarah/Penanggung JawabDr. Raymond R. Tjandrawinata, M.S., M.B.A.

Pemimpin RedaksiDwi Nofiarny, Pharm., Msc.

Redaktur PelaksanaTri Galih Arviyani, S.Kom.

Staf RedaksiDrs. Karyanto, MMdr. Prihatini Hendridr. Della Manik Worowerdi Cintakawenidr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli TambunanGunawan Raharja, S.Si., Apt.Liana W. Susanto, Mbiomeddr. Ratna KumalasariYohannes Wijaya, S.Si., Apt.

Peer ReviewProf. dr. Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., Sp.And.Prof. Dr. dr. Darmono, Sp.PD-KEMDProf. Dr. dr. Djokomoeljanto, Sp.PD-KEMDJan Sudir Purba, M.D., Ph.D.Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S.Prof. dr. Sudradji Soemapraja, Sp.OG.Prof. Dr. dr. H. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FACEProf. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D., Sp.PD-KGH

Redaksi/Tata UsahaJl. R.S. Fatmawati Kav. 33Telp. (021) 7509575Fax. (021) 75816588Email: [email protected]

Rekomendasi Depkes RI0358/AA/III/88

Ijin Terbit1289/SK/Ditjen PPG/STT/1988

Sidang Pembaca yang terhormat,

Dexa Media di edisi ini menampilkan dua artikel utama yang berjudul “The Role ofCefepime: Empirical Treatment in Critical Illness” . Cefepime merupakanantibiotika dari kelas beta-lactam yang mana Cefepime dapat digunakan sebagaiterapi empiris pada infeksi Nosokomial, khususnya dalam artikel ini dibahaspenggunaan Cefepime di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Sedangkan artikel utamalainnya yang berjudul “Pemakaian Cetirizine dan Kortikosteroid pada PenyakitAlergi Anak”. Di mana Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat danspesifik. Cetirizine juga merupakan antagonis reseptor histamin-1 (H1) generasikedua yang aman digunakan pada terapi alergi.

Laporan Kasus yang kami tampilkan membahas mengenai Light ChainMyeloma. Kasus ini melaporkan seorang penderita laki-laki berusia 66 tahundengan tanda-tanda dan gejala klasik multiple myeloma disertai lytic bone le-sions, tetapi gambaran elektroforesa protein serum normal, sedangkanelektroforesa protein urine menunjukkan adanya light chain proteinuria. Daripemeriksaan aspirasi sumsum tulang didapatkan infiltrasi sel plasma sebanyak95%. Kasus ini memenuhi kriteria multiple myeloma menurut Durie & Salmon.Untuk membuktikan tipe light chain myeloma lebih lanjut dapat dilakukan urineimmunofixation test. Untuk lebih jelasnya lagi silahkan membaca artikel ini.

Kami juga menampilkan beberapa artikel menarik lainnya dari rubrikTinjauan Pustaka.

Kami terus mengundang para dokter dan apoteker untuk memberikan hasilkarya tulisannya dalam bentuk Tinjauan Pustaka, Laporan Kasus dan ArtikelPenelitian.

Salam!!!!!!!

DEXA MEDIAjurnal kedokteran dan farmasi

DARI REDAKSI

Page 3: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200758

Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian ataulaporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran danFarmasi.1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang

belum pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bentukcetakan.

2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket,diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan kealamat redaksi atau melalui e-mail kami.

3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukurankuarto (A4) dan tidak timbal balik.

4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words).Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata.

5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecahmenjadi anak judul.

6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas.7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style),

lihat contoh penulisan daftar pustaka.9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan

yang cukup.10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi

dimasukkan ke dalam sampul khusus. Beri judul dan keteranganyang lengkap pada tulisan.

11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikankepada peer reviewer.

12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email(jika ada), no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.

Contoh Penulisan Daftar PustakaDaftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuaiurutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad.Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikutiet al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitansatu dekade terakhir.Artikel dalam jurnal1. Artikel standar

Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associatedwith an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann InternMed 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, ClaytonD, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leu-kaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer1996; 73:1006-12

2. Suatu organisasi sebagai penulisThe Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical ExerciseStress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust1996; 164:282-4

3. Tanpa nama penulisCancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15

4. Artikel tidak dalam bahasa InggrisRyder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellarseneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen1996; 116:41-2

5. Volum dengan suplemenShen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickelcarcinogenicity and occupational lung cancer. EnvironHealth Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82

6. Edisi dengan suplemenPayne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychologicalreactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl2):89-97

7. Volum dengan bagianOzben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acidin non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann ClinBiochem 1995;32(Pt 3):303-6

8. Edisi dengan bagianPoole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flaplacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8

9. Edisi tanpa volumTuran I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic anklearthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4

10.Tanpa edisi atau volumBrowell DA, Lennard TW. Immunologic status of the

cancer patient and the effects of blood transfusion on an-titumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33

11.Nomor halaman dalam angka romawiFischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncologyand hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am1995; Apr; 9(2):xi-xii

Buku dan monograf lain12.Penulis perseorangan

Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skillsfor nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996

13.Editor sebagai penulisNorman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderypeople. New York:Churchill Livingstone; 1996

14.Organisasi sebagai penulisInstitute of Medicine (US). Looking at the future of themedicaid program. Washington:The Institute; 1992

15.Bab dalam bukuCatatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p,bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: LaraghJH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology,Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press;1995.p.465-78

16.Prosiding konferensiKimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinicalneurophysiology. Proceedings of the 10th InternationalCongress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996

17.Makalah dalam konferensiBengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection,privacy and security in medical information. In: Lun KC,Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings ofthe 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan;1992.p.1561-5

18.Laporan ilmiah atau laporan teknisDiterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-calequipment billed during skilled nursing facility stays. Finalreport. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US),Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.:HHSIGOEI69200860Diterbitkan oleh unit pelaksana:Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health ServicesResearch: Work Force and Education Issues.Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.:AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health CarePolicy and Research

19.DisertasiKaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’saccess and utilization [dissertation]. St. Louis (MO):Washington Univ.; 1995

20.Artikel dalam koranLee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: studyestimates 50,000 admissions annually. The Washington Post1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)

21.Materi audio visualHIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St.Louis (MO): Mosby-Year Book; 1995

Materi elektronik22.Artikel jurnal dalam format elektronik

Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases.Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK

23.Monograf dalam format elektronikCDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group,producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995

24.Arsip komputerHemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics[computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: ComputerizedEducational Systems

PETUNJUK PENULISAN

Page 4: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 59

The Role of Cefepime:Empirical Treatment in CriticalIllnessA Guntur HBagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Moewardi - Fakultas Kedokteran UNS Surakarta

Abstrak. Terapi secara empiris pada suatu daerah, dilakukan berdasarkan pada pola kuman yang didapatkanpada rumah sakit setempat berdasarkan pola kuman dan uji kepekaan. Penelitian yang dilakukan pada infeksinosokomial di RSUD Dr Moewardi menunjukkan bahwa cefepime dapat digunakan sebagai terapi secaraempiris.

PendahuluanCefepime merupakan antibiotik dari kelas beta-lactam.

Cefepime merupakan generasi keempat dari cephalosporin.

Kebanyakan turunan semisintetik dan strukturnya

berhubungan dengan analog rumus bangunnya yang telah

diidentifikasi sebagai dasar molekul cephalosporin (7-amino-

cephalosporanic acid), yang terdiri dari suatu cincin hexagonal

(dihydrothiaziolidine) yang dipadukan ke dalam cincin beta-

lactam. Molekul dasar ini adalah sebagai inti cephem.

Penggantian pada posisi 3 dan 7 telah dibuat untuk

meningkatkan spektrum antimikrobial dan sifat farmakokinetik

dari cephalosporins.

Cefepime mirip generasi ketiga aminothiazole

cephalosporins di mana di dalamnya mempunyai suatu gugus

aminothiazolyl-methoxyimino pada posisi 7 inti cephem. Gugus

ini akan mempengaruhi stabilitas dari beta-lactamase dan

peningkatan aktivitas terhadap gram-negatif.

Cefepime adalah suatu zwitter ion, artinya merupakan suatu

ion dipolar yang tidak mempunyai muatan. Cefepime adalah

zwitter ion sebab mempunyai suatu muatan negatif pada posisi

4 pada inti cephalosporin dan suatu substituen yang

mengandung nitrogen kuartener (muatan positif) pada posisi

3 dari inti. Hal ini sebagai bullet-shaped. Konfigurasi tertentu

ini bertanggung jawab untuk penetrasi yang cepat dari cefepime

melalui membran luar dari bakteri gram-negatif dan sebagai

salah satu kunci dari potensi antibakterialnya.

Hal ini dibuktikan dari terjadinya penetrasi sel yang cepat,

disebabkan dari efek penolakan dari anion tertentu pada

periplasma tidak terjadi pada campuran ion dipolar ini.

Modifikasi struktur inti cephem untuk menghasilkan

cefepime menciptakan suatu antibiotik dengan suatu spektrum

antimikrobial yang seimbang dan lebar dan suatu potensi yang

berharga untuk perawatan infeksi, baik gram positif maupun

gram negatif.1

Infeksi NosokomialInfeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan setelah

penderita dirawat di rumah sakit baik tumbuh pada saat

dirawat di rumah sakit juga pada penderita yang pulang dari

rumah sakit.2,3

Infeksi Nosokomial sangat nyata merupakan penyebab

kesakitan dan kematian. Infeksi nosokomial dapat terjadi

oleh karena tindakan iatrogenik terutama yang mengalami

tindakan-tindakan instrumenisasi ataupun intervensi pada saat

dirawat di rumah sakit, misalnya pemasangan kateter, infus,

tindakan-tindakan operatif lainnya.4

ARTIKEL UTAMA

Page 5: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200760

Infeksi Oportunistik terjadi pada penderita yang

mengalami immunocompromised yang dirawat di rumah

sakit, infeksi bisa berasal dari luar dan dari dalam penderita

sendiri yang (AUTOCHTHOUS INFECTION) yang

disebabkan oleh karena kerusakan barier mukosa.

Infeksi nosokomial transmisi berasal dari dokter, perawat

dan pelayan medik yang lain bisa berasal dari tangan yang tidak

steril, infeksi dari makanan, minuman atau ventilasi, kateter

dan alat endoscopi ataupun tindakan invasif yang lain.5-7

EpidemiologiInfeksi nosokomial mempunyai angka kejadian 2-12%

(rata-rata 5%) dari semua penderita yang dirawat di

rumah sakit. Angka kematian 1-3% dari semua kasus yang

dirawat di rumah sakit di USA 1,5 juta per tahun dan

meninggal 15.000 orang.

Kennedy menyebut ICU sebagai ”hutan epidemiologis”

karena begitu banyaknya organisme yang berkembang di

unit tersebut. Organisme utama yang menyebabkan

infeksi nosokomial meliputi P. aeruginosa (13%), S.

aureus (12%), Staphyloccoccus koagulase-negatif (10%),

Candida (10%), Enterococci (9%) dan Enterobacter (8%).

Di negara berkembang angka kejadian infeksi nosokomial

belum banyak diketahui dengan pasti.8

Faktor Kuman Penyebab Infeksi NosokomialPaling banyak adalah bakteri gram (-) sebab makin

banyaknya kuman bakteri gram (-) yang resisten terhadap

beberapa macam antibiotika.

Bakteri gram (+) misalnya: Streptococus, Staphilococcus

aurius. Dan juga bakteri anaerob.

Pada Rumah Sakit yang kapasitasnya besar, di mana

mempunyai tempat tidur >200 s/d 500 banyak di temukan infeksi

nosokomial yang berasal dari gram positif. Misalnya: Methicillin-

resistant Staphylococcus aureus (MRSA).9-10

Faktor PenjamuPada penderita dengan immunocompromised sangat rentan

terhadap infeksi nosokomial, yang termasuk dalam

immunocompromised adalah:

- Defek sistem imun humoral yang menyebabkan defisiensi

komplemen dan antibodi yang mengakibatkan gangguan

opsonisasi dan bakterisidal.

- Defek sistem imun seluler yaitu sistem fagositosit

(neutrofil, makrofag) dan sistem imun seluler spesifik.

- Penggunaan obat-obatan imunosupresan dan sitostatika.

- Penyakit-penyakit kanker, autoimun, diabetes mellitus,

sirosis hati, gagal ginjal kronik, luka bakar.

Menurut Dale DC penderita immunocompromised yang

termasuk juga manusia usia lanjut bila terkena infeksi

nosokomial mudah terjadi sepsis dan sering mengalami

komplikasi yang mematikan yaitu syok septik.7,11,12

Infeksi nosokomial yang sering dijumpai adalah infeksi

luka, infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran kencing dan

infeksi saluran cerna.13

Penyakit infeksi yang masih merupakan penyebab

kesakitan dan kematian yang tinggi di seluruh dunia,

khususnya di negara sedang berkembang seperti Indonesia

sangat berkaitan dengan timbulnya mikroorganisme yang

resisten atau malah resisten terhadap banyak antibiotika

yang sebelumnya masih sensitif.

Pada umumnya infeksi dibedakan secara garis besar

menjadi 2 golongan menurut asal kuman penyebab, yaitu

infeksi komunitas bila sumber infeksi didapatkan di

masyarakat dan infeksi nosokomial bila sumber infeksinya

didapatkan di rumah sakit. Terapi antibiotika dapat

dilakukan secara empiris atau definitif. Terapi secara empiris

pada suatu daerah, di mana antibiotika diberikan atas dugaan

kuman penyebab dari keadaan infeksi tersebut. Maka dugaan

tersebut harus berdasarkan pada pola kuman yang ada di

daerah atau Rumah Sakit yang bersangkutan. Bila

identifikasi kuman dan uji kepekaan telah diketahui, maka

dilakukan terapi definitif sesuai kuman yang didapat. Untuk

itu penulis melakukan penelitian dari bulan Januari s/d

Desember 2004 di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.

Pola Kuman dan Uji Kepekaan di RSUD Dr.MoewardiDilakukan penelitian pola kuman dan uji kepekaan di RSUD

Dr. Moewardi, dengan besarnya sampel dalam penelitian

pola kuman yang berasal dari spesimen darah (n=78) kuman

yang tumbuh 58%, sedangkan dari spesimen sputum (n=133)

kuman yang tumbuh 45% dan dari spesimen urin (n=73) yang

tumbuh 44% (Tabel 1).

Tabel 1. Pola Kuman Darah, Sputum dan Urin di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta Tahun 2004JENIS KUMAN PUS THT LCS

Gram -

Citrobacter sp

59 12 4

E. coli sp 4 1Enterobacter sp 25 2Klebsiella sp 5Proteus sp 9 2Pseudomonas sp 16 8 3Salmonella spSerratia sp

Gram +Staphylococcus sp 16

202

91

2Streptococcus sp 4 7 1

JUMLAH TUMBUH 79 21 6

Infeksi nosokomial dapatterjadi oleh karena tindakan

iatrogenik terutama yangmengalami tindakan-tindakan

instrumenisasi ataupun intervensipada saat dirawat di rumah sakit,

misalnya pemasangan kateter,infus, tindakan-tindakan operatif

lainnya.4

Page 6: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 61

Dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari

spesimen darah, kuman gram negatif: Enterobacter sp (12%),

Citobacter sp (8%), Pseudomonas sp (5%) dan Salmonella

sp (5%). Sedangkan kuman gram positif: Streptococcus sp

(17%). Untuk spesimen yang berasal dari sputum, kuman

gram negatif: Klebsiella sp (11%) dan Enterobacter sp (8%);

kuman gram positif: Streptococcus sp (17%). Dan dari hasil

kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen urin,

kuman gram negatif: Enterobacter sp (11%), Klebsiella sp

(10%) dan E. coli sp (5%); kuman gram positif:

Staphylococcus sp (11%).14

Besar sampel dari spesimen pus (n=103) kuman yang

tumbuh 77%, sedangkan dari spesimen THT (n=32) kuman

yang tumbuh 65% dan dari spesimen LCS (n=36) yang

tumbuh 17% (Tabel 2).

Tabel 2. Pola Kuman Pus, THT dan LCS di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta Tahun 2004

Dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari

spesimen pus, kuman gram negatif: Enterobacter sp (23%),

Pseudomonas sp (16%) dan Proteus sp (9%). Sedangkan

kuman gram positif: Staphylococcus sp (16%). Untuk

spesimen yang berasal dari THT, kuman gram negatif:

Pseudomonas sp (25%), Enterobacter sp (6%) dan Proteus

sp (6%); kuman gram positif: Streptococcus sp (22%). Dan

dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari

spesimen LCS, kuman gram negatif: Pseudomonas sp (8%)

dan E. coli sp (3%); kuman gram positif: Streptococcus sp

(3%) dan Staphylococcus sp (3%).14

Kuman yang resisten terhadap antibiotika merupakan

masalah global, oleh karena itu penggunaan antibiotika

yang sangat tepat merupakan bagian dari pencegahan

resistensi antibiotika. Untuk itu penulis melakukan uji

kepekaan kuman di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dari

kuman-kuman yang tumbuh pada kultur kuman yang

berasal dari berbagai spesimen terhadap berbagai jenis

antibiotika (Tabel 3 dan 4).

Tabel 3. Hasil Uji Kepekaan Kuman (Darah, sputum dan urin)

di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004

Tabel 4. Hasil Uji Kepekaan Kuman (Pus, THT dan LCS) di

RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004

JENIS ANTIBIOTIKDARAH SPUTUM URIN

Gram - Gram + Gram - Gram + Gram - Gram +Amikacin 2 2 2 1Augmentin 1 2 1Cefepime 4 3 8 5 12Cefotaxime 2 2CeftriazoneCeftazidime 1Cefuroxime 1ChloramphenicolCiprofloxacin 4 1 1 1 1Co-Trimoxazole 1DebikacinErytromycinFosfomycin 3 6 3 3 2Gatifloxacin 6 5 4 2Gentamicin 1Meropenem 3 1 6 3 3Nitrofurantoin 2Norfloxacin 1Sam 2 1 1 1Tetracyclin 1Resisten semua 1 13 6

JUMLAH 25 20 31 30 22 10

JENIS KUMAN DARAH SPUTUM URIN

Gram -

Citrobacter sp 6

25 31 22

E. coli sp 4Enterobacter sp 9 10 8Klebsiella sp 1 15 7Proteus sp 3 1

4 3 2

Salmonella sp 4Serratia sp 1

Gram +

7

20

7

30

8

1013 23 2

JUMLAH TUMBUH 45 61 32JUMLAH PASIEN 78 133 73

Pseudomonas sp

Staphylococcus spStreptococcus sp

JENIS ANTIBIOTIKPUS THT LCS

Gram - Gram + Gram - Gram + Gram - Gram +Amikacin 2 1 1AugmentinCefepime 20 5 6 2 1Cefotaxime 1Ceftriaxone 1Ceftazidime 1CefuroximeChloramphenicol 1Ciprofloxacin 1 2 1Co-TrimoxazoleDebikacinErythromycinFosfomycin 7 2 1 1Gatifloxacin 10 2 1 1GentamicinMeropenem 19 5 1 1NitrofurantoinNorfloxacinSam 1 2 1Tetracyclin 1Resisten semua 1 3

JUMLAH 59 20 12 9 4 2

Kuman yang resistenterhadap antibiotika

merupakan masalah global,oleh karena itu penggunaanantibiotika yang sangat tepat

merupakan bagian dari pencegahanresistensi antibiotika. Untuk itu

penulis melakukan uji kepekaankuman di RSUD Dr. Moewardi

Surakarta dari kuman-kuman yangtumbuh pada kultur kuman yangberasal dari berbagai spesimen

terhadap berbagai jenis antibiotika(tabel 3 dan 4)

Page 7: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200762

Dari hasil penelitian tersebut dapat kita lihat bahwa

penyebaran dan hasil uji kepekaan, yang paling tinggi adalah:

1. Cefepime; 2. Meropenem; 3. Fosfomycin; 4. Gatifloxacin.

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dasar pemberian

empirical treatment pada awal pengobatan di RSUD Dr.

Moewardi kita gunakan Cefepime.14

Penggunaan antibiotika pada keadaan sepsis:

1. Antibiotika segera diberikan seawal mungkin saat

diagnosis ditegakkan.

2. Sebelum didapatkan hasil kultur bakteri segera diberikan

antibiotika yang sesuai berdasarkan pada pola kuman yang

ada di daerah sakit setempat sampai dengan terdapat hasil

kultur yang sesuai/definitif.

3. Kalau perlu diberikan antibiotika kombinasi yang

bermanfaat untuk: gram (+) dan gram (-).

4. Antibiotika diberikan secara intravena dengan dosis

maksimal.

5. Pemberian antibiotika yang adekuat menurunkan angka

kematian 10-15% bila dibandingkan pemberian yang tidak

adekuat.

Pada 59 penderita diabetes melitus dengan ulkus pedis,

laki–laki 22 penderita (37,3%) dan wanita 37 penderita

(62,7%). Penderita yang mengalami sepsis 27 penderita

(45,8%) dan tidak sepsis 32 penderita (54,2%).

Hasil kultur kuman ditempat ulkus pedis

Sensitivitas kuman terhadap antibiotik

KesimpulanInfeksi nosokomial merupakan infeksi banyak terjadi pada

penderita yang di rawat di rumah sakit dan merupakan

penyebab kesakitan dan kematian terutama pada penderita

dengan immunocompromised.

Infeksi nosokomial banyak dijumpai pada infeksi traktus

urinarius, dari luka post positif, infeksi saluran nafas dan

infeksi sistem saluran cerna dan tidak menutup kemungkinan

jenis infeksi-infeksi lain yang didapatkan selama penderita

di rawat di rumah sakit.

Sepsis sering terjadi pada infeksi nosokomial terutama

pada penderita immunocompromised dan penderita yang

lama di rawat di RS.

Terapi secara empiris pada suatu daerah, dilakukan

berdasarkan pada pola kuman yang didapatkan pada rumah

sakit setempat. Berdasarkan pola kuman dan uji kepekaan

yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta,

didapatkan bahwa cefepime mempunyai penyebaran paling

luas dan mempunyai hasil uji kepekaan yang cukup tinggi,

serta merata pada semua media (urin, darah, sputum, pus,

LCS dan THT).

Maka dapat disimpulkan bahwa Cefepime dapat

digunakan sebagai empirical treatment pada infeksi

Nosokomial, khususnya di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Daftar Pustaka1. Anonim. The chemistry, microbiology, pharmacokinetics and clinical

experience of a new fourth-generation cephalosporin. Italia:Bristol-MyersSquibb Company; 1996

2. Heratige J. Tutorial on nosocomial infections. 2001. Available from: URL:http://www.bmb.leeds.ac.uk-/mbiology

3. Anonim. Nosocomial infection. 2005. Avai lable from: URL: http:/ /www.waterionisation.com

4. Duffi JR. Nosocomial infection important acute care nursing-sensitiveoutcomes indicators. AACN-CLIN 2002; 13(3):358-66

5. Liu H. Nosocomial infections: a mult idiscipl inary approach tomanagement. 2001. Available from: URL: http://www.powerpak.com

6. Center for Disease Control and Prevention (CDC). Sterilization ordisinfection of medical devices: general principles. 2002. Available from:URL: http://www.cdc.gov/-ncidod/hip/sterile/sterilgp.htm

7. Anonim. Nosocomial infection. 2002. Avai lable from: URL: http:/ /[email protected]

8. Gardner P and Causey WA. Acquired hospital infection. Horrison’sPrinciples of Internal Medicine. 13th edition. 1994.p.855-9

9. Johnson A. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection.2000. Available from: URL: http://www.netdoctor.co.uk

10. Jones BN. Resistance pattern among nosocomial pathogens. Chest 2001;119:397s-404s

11. Cowley R. Persistent SIRS is predictive of nosocomial infection intrauma. J Trauma 2002; 53(2):24550

12. Sneller MC and Lane HC. Immunocompromised host. Clinical ImmunologyPrinciples and Practise 1996:579-93

13. BUPA’s Health Information Team. Health news - MRSA - the facts. 200514. Guntur. Pola kuman dan sensitivitas tes RSUD Dr. Moewardi Surakarta

tahun 2004. 2005 (unpublished)15. Sugiar to, Did ing HP, Guntur H. Role albumin and sensit ivi tas

nicobacterium in ulcus diabiticum. 13th International Symposium on Shockand Critical Care 2006 Bali Indonesia, 2006.p.163-4

Kuman Jumlah kuman %Enterobacter 10 55,6Staphylococcus sp 3 16,7Pseudomonas 2 11E. coli 1 5,6Klebsiella 1 5,6Proteus 1 5,6

Jenis antibiotik Jumlah antibiotik %Cefepime 12 66,7Meropenem 9 50Fosfomycin 7 38,9Gatifloxacin 5 27,8Amikacin 5 27,8Augmentin 3 16,7Sulbactam – Cefoperazone 2 11,1Chloramfenicol 2 11,1Ceftazidime 2 11,1Cefoperazone 2 11,1Ciprofloxacin 2 11,1Norfloxacin 2 11,1Ceftriaxone 1 5,6

Infeksi nosokomialmerupakan infeksi yang

banyak terjadi pada penderitayang di rawat di rumah sakitdan merupakan penyebabkesakitan dan kematianterutama pada penderita

dengan immunocompromised.

Page 8: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 63

Cefepime adalah antibiotik injeksi sefalosporin generasiIV & merupakan suatu molekul zwitter ion. Zwitter ionmerupakan suatu ion dipolar yang tidak mempunyaimuatan. Sebagai zwitter ion, cefepime mempunyai suatumuatan negatif pada posisi 4 pada inti cephalosporin dansuatu substituen yang mengandung nitrogen kuartener(muatan positif) pada posisi 3 dari inti cephem. Hal inidikenal sebagai bullet-shaped. Konfigurasi tertentu zwitterion ini bertanggung jawab untuk penetrasi yang cepatdari cefepime melalui membran luar bakteri gram-negatif dan sebagai salah satu kunci dari potensiantibakterialnya. Hal ini dibuktikan dari terjadinyapenetrasi sel yang cepat, disebabkan dari efek penolakananion tertentu pada periplasma namun tidak terjadi padacampuran ion dipolar ini.

Modifikasi pada struktur inti cephem untukmenghasilkan cefepime menciptakan suatu antibiotikdengan suatu spektrum antimikrobial yang seimbang danluas serta merupakan suatu potensi yang berharga untukperawatan infeksi, baik oleh bakteri gram positif maupungram negatif.1

Untuk memenuhi kebutuhan akan antibiotik tersebutdi atas maka PT Ferron Par Pharmaceuticals denganbangga telah memasarkan preparat cefepime 1 g dengannama dagang EXEPIME 1 g.

FarmakodinamikCefepime telah terbukti kemampuan bakterisidalnyamelalui analisis time-kill (killing-curves) dan penentuanminimum bactericidal concentrations (MBC) pada berbagaijenis bakteri. Rasio MBC/MIC cefepime adalah < 2 untuklebih dari 80% dari seluruh isolat spesies gram positifdan gram negatif yang diuji. Cefepime juga sinergis denganaminoglikosida secara in vitro, terutama pada isolatPseudomonas aeruginosa. Berikut ini beberapa strainorganisme yang sensitif terhadap cefepime:Aerob Gram-positif:• Staphylococcus aureus (termasuk strain penghasil

beta-laktamase)• Staphylococcus epidermidis (termasuk strain penghasil

beta-laktamase)• Staphylococci yang lain termasuk S. hominis, S.

saprophyticus• Streptococcus pyogenes (Group A streptococci)• Streptococcus agalactiae (Group B streptococci)• Streptococcus pneumoniae (termasuk intermediate

penicillin resistant strains dengan MIC penicillin 0,1sampai 1 mcg/ml)

• b-hemolytic streptococci lain (Group C. G, F), S. bovis(Group D), Viridans streptococci.

Aerob Gram-negatif:• Acinetobacter calcoaceticus (subsp. anitratus. Iwoffi)• Citrobacter spp. termasuk C. diversus, C. treundii• Enterobacter spp. termasuk E. cloacae, E. aerogenes• Escherichia coli• Haemophilus influenzae (termasuk strain penghasil

beta-laktamase)• Klebsiella spp. termasuk K. pneumoniae, K oxytoca,

K. ozaenae• Morganella morganii• Moraxella catarrhalis (Branhamella catarrhalis)

termasuk strain penghasil beta-laktamase• Neisseria meningitidis• Providencia spp., termasuk P. rettgeri. P. stuartii• Pseudomonas spp., termasuk P. aeruginosa, P. putida,

P. stutzeri• Salmonella spp.• Serratia termasuk S marcescens• Shigella spp.

2

FarmakokinetikDari sisi farmakokinetik, konsentrasi cefepime terdistribusiluas pada berbagai jaringan & cairan tubuh yang spesifiksehingga ideal sebagai pilihan terapi empiris berbagaikasus infeksi seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel konsentrasi rata-rata cefepime di dalam berbagaijaringan (mcg/g) dan cairan tubuh (mcg/ml) pada laki-laki dewasa normal

Berdasarkan luasnya spektrum bakteri dan distribusicefepime pada berbagai jaringan dan cairan tubuh makacefepime dapat diindikasikan pada kasus:• Septikemia• Pengobatan empiris pada pasien febrile neutropenia• Infeksi saluran pernapasan bawah: pneumonia dan

bronkopneumonia• Infeksi saluran kemih bagian atas (pyelonephritis) dan

bawah dengan komplikasi• Infeksi intraabdominal: peritonitis dan infeksi saluran

empedu2

Dosis (IV)

Urin 500 mg 0-4 2921 g 0-4 9262 g 0-4 3.120

Empedu 2 g 9,4 17,8Cairan peritoneal 2 g 4,4 18,3Cairan lepuh 2 g 1,5 81,4Mukosa bronkus 2 g 4,8 24,1Sputum 2 g 4,0 7,4Prostat 2 g 1,0 31,5Apendiks 2 g 5,7 5,2Kandung empedu 2 g 8,9 11,9

Jaringan atau cairan tubuh

Waktu rata-rata dari sample post-dose (jam)

Konsentrasi rata-rata

SEKILAS PRODUK

Sekilas Produk Exepime InjeksiFast and Strong

Antibiotik for Severe Infection

Page 9: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 67

SEKILAS PRODUK KETRICIN TABLET

Salah satu pertimbangan dokter dalam pemilihan preparatobat terutama untuk pasien anak-anak adalah RASANYA.Sebaik apapun efek suatu obat, tetapi bila tidak bisaditerima dengan baik oleh pasien anak, maka obat tersebuttidak akan berguna.

Khusus untuk golongan kortikosteroid oral, hampirsemua preparat kortikosteroid oral berasa pahit bahkansangat pahit, sehingga sulit diterima oleh anak-anak.

Namun saat ini PT Ferron Par Pharmaceutical telahmeluncurkan satu preparat kortikosteroid oral YANGTIDAK PAHIT, dengan nama dagang KETRICIN.

Ketricin tablet mengandung triamcinolon 4 mg,preparat ini terutama bekerja sebagai glukokortikoid danmempunyai daya antiinflamasi yang kuat, mempunyai efekhormonal dan metabolik seperti kortison. Ketricin berbedadengan glukokortikoid alami, yaitu: dalam hal efekantiinflamasi dan glukoneogenesis yang lebih besar dansifat retensi garamnya yang lebih sedikit.1-3

Dibandingkan dengan kortikosteroid lain, Ketricin yangtermasuk dalam golongan intermediate acting, yangmempunyai beberapa kelebihan, antara lain:

1-3

• RASA TIDAK PAHIT. Hal ini sangat menguntungkanterutama untuk pasien anak-anak yang sangat sensitifterhadap rasa.

• Dibandingkan dengan sediaan intermediate acting yanglain (prednisolon), Ketricin memiliki efek sampingmineralokortikoid (efek peningkatan tekanan darah danmoon face) dan memiliki efek samping gastrointestinalyang lebih minimal.

• Dibandingkan dengan sediaan long acting (dexametasondan betametason), Ketricin memiliki efek supresi HPAaxis dan efek samping gastrointestinal yang lebihminimal.

• Dibandingkan dengan sediaan short acting (kortisondan hidrokortison) efek mineralokortikoid (peningkatantekanan darah dan moon face) serta efek sampinggastrointestinal Ketricin lebih minimal

Tabel konversi dosis dari molekul kortikosteroid lain:3

Indikasi:Penyakit saluran pernapasan:a. Symptomatic sarcoidosisb. Tuberkulosis yang memburuk & mendapat kemoterapic. Pulmonary emphysemad. Asma2

Gangguan hematologi:a. Idiopatik & trombositopeniab. Anemia hemolitika

AGENPotensi relatif

Antiinflamasi Mineralokortikoid

Prednison 5 4 0.8 3.5 18-36Triamsinolon 4 5 0.0 3.0 18-36Metilprednisolon 4 5 0.5 2-3 18-36Deksametason 0,75 20-50 0.0 3.5 18-36

Dosis glukokortikoid yang ekuivalen (mg)

Waktu paruh

eliminasi (jam)

Masa kerja (jam)

c. Eritroblastopenia (RBC anemia) &d. Anemia hipoplastik kongenital (erythroid)Penyakit neoplastik: leukemia akutPenyakit dermatologi:a. Erythema multiforme berat (Stevens-Johnson

Syndrome)b. Exfoliative dermatitisc. Psoriasis beratPenyakit kolagen:a. Acute rheumatic carditisb. Systemic lupus erythematosusKeadaan alergi:a. Seasonal atau perinneal allergic rhinitisb. Asma bronkialc. Dermatitis kontakd. Dermatitis atopike. Serum sicknessf. Angioedemag. Urtikaria

Dosis:Dosis triamsinolon pada awalnya bervariasi 4-48 mg/haridan tergantung pada kondisi penyakit & respon pasien.Penghentian steroid setelah terapi jangka panjang dianjurkanuntuk dilakukan secara perlahan-lahan atau tapering off.

1,2

Pengaturan dosis pada bayi dan anak-anak mengacupertimbangan kondisi penyakit pasien dan disesuaikan usiaatau berat badan, yaitu:• Berat badan: 0,117-1,66 mg/kgBB/hari terbagi 4 kali

pemberian2

• Luas permukaan tubuh: 3,3-50 mg/m2/hari terbagi 4

kali pemberian2

Kemasan:Kotak, 10 strip @ 10 tablet

Kesimpulan:Ketricin tablet merupakan kortikosteroid oral TANPA RASAPAHIT (bermanfaat untuk meningkatkan penerimaan pasienanak-anak), masa kerja menengah (efek supresi HPA axisminimal), efek antiinflamasi kuat (setara denganmethylprednisolone), efek mineralokortikoid minimal, indikasiluas dan kualitas terjamin.

Referensi:1. Ketricin, PT Dexa Medica. Package Insert.2. McEvoy GK, et al. Triamcinolone. In: McEvoy GK, et

al (editors). AHFS drugs Information 2005. Bethesda:American Society of Healthy System Pharmacist, Inc.2005.p.2941-3.

3. Millier JW. Drugs and the endocrine & metabolicsystems. In: Page C, et al (editors). Chapter 15Integrated pharmacology, 2nd ed. Philadelphia: MosbyInternational Ltd; 2002.p.281-326.

SEKILAS PRODUK

Page 10: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200768

Pemakaian Cetirizine danKortikosteroid pada PenyakitAlergi AnakMazdar Helmy, Zakiudin MunasirDepartemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Jakarta

Abstrak. Penyakit atopi seperti asma dan eksim merupakan kondisi alergi yang cenderung diturunkan dalamkeluarga dan dikaitkan dengan pembentukan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan. Tatalaksanamedikamentosa yang diberikan berdasarkan pada reaksi inflamasi alergi yang mendasari penyakit. Padaindividu yang rentan terhadap alergi, paparan dengan alergen menghasilkan aktivasi sel Th2 dan produksiantibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksihipersensitivitas dan istilah alergi sering disamakan dengan hipersensitivitas segera (tipe I). Pada reaksi alergijuga terjadi proses inflamasi yang terjadi pada fase lambat. Histamin merupakan mediator utama dalam reaksialergi. Oleh karena itu, salah satu terapi utama dalam alergi adalah pemberian antihistamin. Cetirizinemerupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor histamin-1(H1) generasi kedua yang aman digunakan pada terapi alergi. Selain mempunyai efek antihistamin, cetirizinejuga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatankemotaksis sel inflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi molekuladhesi yang berperan dalam proses penarikan sel inflamasi.Kortikosteroid juga mengurangi jumlah sel inflamasi dengan menghambat penarikan sel inflamasi ke jaringaninflamasi melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul adesi, serta juga menghambatkeberadaan (survival) sel inflamasi tersebut. Penggunaan kortikosteroid oral pada keadaan alergi fase cepat/akut membutuhkan potensi glukokortikoid yang lebih tinggi dibandingkan potensi mineralkortikoid untukmenghindari efek samping retensi natrium. Selain itu pemilihan bentuk formula dan rasa juga berperan dalamkepatuhan anak dalam berobat dengan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid pada inflamasi alergi tergantung

pada beberapa faktor yang menentukan manfaat dan risiko pada tiap anak.

PendahuluanPenyakit atopi seperti hayfever, asma dan eksim merupakan

kondisi alergi yang cenderung diturunkan dalam keluarga dan

dikaitkan dengan pembentukan antibodi IgE spesifik terhadap

alergen lingkungan. Peningkatan prevalensi penyakit atopi ini

telah menjadi masalah kesehatan di berbagai negara.1 Menurut

studi The International Study of Asthma and Allergy in

Childhood (ISAAC) yang dilakukan pada anak usia 6-14 tahun

di 155 pusat di 58 negara, didapatkan prevalensi asma usia 6-7

tahun berkisar antara 1,6-27,2% dan usia 13-14 tahun sekitar

35,3%. Sedangkan prevalensi dermatitis atopi pada anak usia

6-7 tahun berkisar 0,7-18,4%, dan anak 13-14 tahun berkisar

antara 0,6-20,5%. Berdasarkan hasil studi ISAAC tersebut

daerah dengan prevalensi alergi tinggi antara lain Inggris,

Australia, New Zealand, Amerika Utara dan Selatan, sedangkan

daerah dengan prevalensi asma rendah antara lain Eropa

Timur, Indonesia, Yunani, Cina, Taiwan dan India. Studi ISAAC

tersebut menunjukkan Cina, Indonesia dan India mempunyai

prevalensi asma terendah (< 5%).2 Berdasarkan pada penelitian

epidemiologi asma dan alergi di Jakarta (2006), didapatkan

prevalensi asma adalah 13,9%.3 Angka ini meningkat

dibandingkan beberapa studi sebelumnya di Jakarta yang

menunjukkan prevalensi asma berkisar antara 7-9%.4-6

Demikian pula halnya dengan prevalensi rinitis alergi yang

meningkat dari 9% menjadi 12,3%, dan peningkatan prevalensi

dermatitis atopi dari 4% menjadi 24,6%.3-6

Peningkatan prevalensi penyakit alergi ini membutuhkan

perhatian khusus karena perkembangan penyakit alergi sangat

ARTIKEL UTAMA

Page 11: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 69

mempengaruhi kualiatas perkembangan dan pertumbuhan

anak. Tatalaksana yang komprehensif dibutuhkan dalam

penanganan penyakit alergi, terutama dalam pemahaman

pentingnya pencegahan yang sangat efektif bila dilakukan

dalam masa awal kehidupan dan pemahaman bahwa respons

inflamasi mendasari reaksi alergi. Oleh karena itu, tatalaksana

medikamentosa yang diberikan juga harus berdasarkan pada

reaksi inflamasi alergi yang mendasari penyakit.

Inflamasi AlergiPada individu yang rentan terhadap alergi, paparan dengan

alergen (antigen) menghasilkan aktivasi sel Th2 dan produksi

antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh

respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan

istilah alergi sering disamakan dengan hipersensitivitas segera

(tipe I).7

Antibodi IgE terikat dengan afinitas tinggi melalui bagian

Fc dengan reseptor FcεRI di sel mast. Proses pelapisan (coating)

sel mast oleh IgE ini disebut sensitisasi, karena pelapisan ini

menyebabkan sel mast sensitif terhadap aktivasi bila terjadi

paparan ulang antigen. Selama fase sensitisasi awal, tidak

terdapat reaksi kerusakan pada pejamu yang berlebihan.

Apabila sel mast yang tersensitisasi oleh IgE terpapar kembali

dengan antigen, sel akan teraktivasi untuk mengeluarkan

mediator. Aktivasi sel mast terjadi sebagai hasil ikatan alergen

dengan 2 atau lebih antibodi IgE di sel mast. Setelah adanya

ikatan silang, maka akan memicu signal biokimia yang

menyebabkan degranulasi cepat, sintesis dan sekresi mediator

lipid dan sintesis dan sekresi sitokin.8,9

Mediator penting pada sel mast adalah amin vasoaktif dan

protease yang berasal dari granul, produk metabolisme asam

arakidonat dan sitokin (TNF-α, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6 dan

kemokin termasuk IL-8). Mediator amin utama, yaitu histamin

menyebabkan dilatasi pembuluh darah kecil, meningkatkan

permeabilitas vaskular dan menstimulasi kontraksi otot polos

transient (bronkokonstriksi). Produk sel mast, terutama

histamin, berperan penting dalam respon alergi fase cepat.

Protease akan menyebabkan kerusakan jaringan lokal.

Metabolit asam arakidonat termasuk prostaglandin (jalur

siklooksigenase), menyebabkan dilatasi vaskular, dan leukotrien

(jalur lipooksigenase), menyebabkan kontraksi otot polos yang

memanjang. Sitokin akan menginduksi inflamasi lokal (reaksi

fase lambat).7,9,10

Sitokin TNF dan IL-4 akan menyebabkan inflamasi melalui

peran neutrofil dan eosinofil.9 Selama paparan alergen

persisten, terjadi akumulasi neutrofil dan eosinofil di jaringan.7,8

Aktivasi eosinofil akan menyebabkan pelepasan protein granul

sekunder toksik. Protein tersebut berpotensi efek sitotoksik

pada jaringan pejamu. Kerusakan proinflamasi lebih lanjut

disebabkan oleh pembentukan radikal oksigen tidak stabil yang

dibentuk oleh respiratory burst oxidase apparatus. Neutrofil

teraktivasi dapat melepaskan berbagai produk inflamasi, yang

juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan.10

Migrasi leukosit (sel inflamasi) ke tempat inflamasi

tergantung pada tiga langkah yang diperantarai oleh molekul

adhesi, yaitu 1) leucocyte rolling di endotel yang teraktivasi,

merupakan selectin-dependent, 2) adhesi ketat leukosit pada

endotel, merupakan integrin-dependent dan 3) migrasi

transendotelial yang terjadi di bawah pengaruh sitokin

(kemokin).7 Beberapa interaksi molekul adhesi terlibat dalam

fase adhesi ini, termasuk LFA-1(CD11a/CD18) dengan

intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1, CD54) dan ICAM-

2, CR-3(CD11b/CD18) dengan ICAM-1 dan VLA-4(CD41d/

CD29), kelompok integrin, dengan vascular cell adhesion

molecular-1 (VCAM-1). Setelah sel inflamasi meninggalkan

kompartemen vaskular, sel tersebut akan menuju ke lokasi

reaksi inflamasi melalui matriks ekstraseluler.11

TatalaksanaSecara garis besar, tatalaksana penyakit alergi pada anak

terbagi dalam 3 langkah, yaitu penghindaran alergen

pencetus dan kontrol lingkungan, farmakoterapi dan

imunoterapi. Penghindaran alergen dan kontrol lingkungan

merupakan upaya lini terdepan dalam mengatasi penyakit

alergi pada anak dan sangat berkaitan dengan pencegahan.

Strategi pencegahan dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu

primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer ditujukan

pada individu yang masih sehat, belum terbukti adanya

sensitisasi terhadap alergen yang dapat menimbulkan

penyakit, namun mempunyai risiko untuk timbul alergi.

Pencegahan ini bertujuan menghambat sensitisasi imunologi

oleh alergen terutama mencegah terbentuknya IgE. Saat

penghindaran dilakukan sejak pranatal pada janin yang dari

keluarga yang mempunyai bakat atopik.1,12

Pencegahan sekunder ditujukan pada anak yang belum

memilik fenotip alergi atau manifestasi alergi, namun

mempunyai petanda (sensitisasi alergi) yang menunjukkan

adanya risiko tinggi untuk timbul manifestasi alergi.

Pencegahan ini bertujuan untuk menekan timbulnya penyakit

setelah sensitisasi. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara

pemeriksaan IgE spesifik dalam serum darah, darah tali pusat

Secara garis besar, tatalaksanapenyakit alergi pada anakterbagi dalam 3 langkah, yaitu

penghindaran alergenpencetus dan kontrol

lingkungan, farmakoterapidan imunoterapi. Penghindaran

alergen dan kontrol lingkunganmerupakan upaya lini terdepan

dalam mengatasi penyakit alergipada anak dan sangat berkaitandengan pencegahan. Strategi

pencegahan dapat dibagi dalamtiga tahap, yaitu primer,sekunder dan tersier.

Page 12: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200770

atau uji kulit. Pencegahan ini difokuskan pada bayi baru lahir

sampai anak usia 2-3 tahun.1,12

Pencegahan tersier dilakukan setelah terjadi penyakit alergi

namun belum timbul gejala asma, yang biasa terjadi 6 bulan

sampai 3-4 tahun. Pencegahan ini bertujuan untuk mencegah

dampak lanjutan setelah timbulnya alergi atau timbulnya

allergic march. Allergic march merupakan perjalanan penyakit

alergi yang alamiah yang akan berubah sesuai dengan usia.

Pencegahan ini dilakukan pada anak yang sudah mengalami

sensitisasi dan menunjukkan manifestasi penyakit yang masih

dini. Sasarannya adalah bayi dan anak yang telah menunjukan

gejala klinis dari alergi atau mereka yang positif terhadap skin

prick test atau peningkatan antibodi IgE terhadap aeroalergen.12

Antihistamin

Terapi reaksi hipersensitivitas segera bertujuan untuk

menghambat degranulasi sel mast, melawan efek mediator sel

mast dan mengurangi inflamasi. Histamin merupakan mediator

utama dalam reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi. Oleh

karena itu, salah satu terapi utama dalam alergi adalah

pemberian antihistamin. Antihistamin merupakan antagonis

reseptor histamin yang mempunyai sifat menghambat efek

histamin. Antihistamin mempunyai struktur yang menyerupai

histamin sehingga dapat menempati reseptor histamin.13

(Gambar 1)

Gambar 1. Mekanisme kerja antihistamin (Dikutip dengan

modifikasi dari Church MK, 2004)

Menurut jenis reseptornya, golongan antihistamin dapat

dibagi 2 kelompok yaitu yang menghambat reseptor histamin-

1 (H1) dan yang menghambat reseptor histamin-2 (H2).

Antagonis reseptor H1 (AH1) telah digunakan secara luas untuk

terapi kelainan alergi.14 Kelompok antihistamin-1 (AH1)

mempunyai tiga generasi, yaitu generasi pertama, kedua, dan

ketiga. Generasi pertama AH1 juga dikenal sebagai AH1 klasik

bersifat lipofilik yang mampu menembus sawar darah otak,

sehingga menimbulkan efek sedasi. Selain itu, AH1 generasi

pertama bersifat menghambat reseptor muskarinik sehingga

menimbulkan efek antikolinergik. Pada orang yang sensitif atau

orang tua dapat tampak pada gangguan penglihatan, retensi

urin, pusing, takikardi dan gangguan kesadaran.15

Antagonis reseptor H1 generasi kedua mempunyai indeks

terapetik yang lebih disukai dibandingkan generasi pertama,

karena tidak melintasi sawar darah-otak (kelarutan dalam

lemak rendah), sehingga efek sedasi menjadi berkurang, dan

selektif terhadap reseptor H1, sehingga menghasilkan efek

samping yang sedikit karena aktivasi reseptor muskarinik,

adrenergik alfa maupun reseptor-reseptor fisiologik yang lain

juga berkurang.14,15

Generasi ketiga merupakan perkembangan dari

antihistamin generasi pendahulunya. Levocetirizine

merupakan suatu antihistamin baru dari suatu evolusi

antihistamin, dari buklizin ke hidroksizin dan dari cetirizine

ke levocetirizine dalam kelompok piperazin.13

Cetirizine

Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat dan

spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor H1 generasi

kedua, yang merupakan metabolit aktif asam karboksilat dari

antagonis reseptor H1 generasi pertama yaitu hidroksizin.13

Efek samping yang dapat muncul yaitu somnolen yang

bersifat dose-dependent, sakit kepala dan masalah saluran

cerna. Efek sistem saraf pusat (SSP) dari antihistamin generasi

kedua jarang terjadi, dibandingkan dengan generasi pertama

dan tidak berinteraksi dengan agen aktif lain di SSP seperti

diazepam. Cetirizine juga tidak mempunyai efek samping

terhadap hepar dan jantung. Metabolit cetirizine tidak diolah

di hepar dan diekskresi ke urin dan feses dalam bentuk yang

tidak berubah. Penggunaan cetirizine selama 7 hari tidak

memperpanjang interval QTc dibandingkan plasebo.14

Reseptor H1 tersebar luas di berbagai sel, seperti sel otot

polos, sel endotel, sel mast, basofil dan eosinofil. Semua reseptor

tersebut mudah dicapai dari sirkulasi darah. Oleh karena itu,

antagonis reseptor H1 tidak memerlukan distribusi jaringan

yang luas untuk aksi kerjanya. Pada sel mast dan basofil, hasil

akhirnya adalah pelepasan mediator. Target antagonis H1

adalah reseptor eksternal, sehingga efek farmakologik dicapai

tanpa penetrasi sel dan tidak memerlukan penembusan

membran sel atau sitosol. Sebagian besar antagonis H1 tidak

dapat melewati sawar darah otak, namun beberapa obat dengan

liposolubilitas yang tinggi dapat melewati sawar tersebut.

Dengan adanya volume distribusi yang rendah dari antagonis

H1, maka penembusan sawar darah otak dapat diminimalisasi.16

Selain mempunyai efek antagonis terhadap reseptor H1,

cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek

antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui

penghambatan migrasi eosinofil (in vivo) ke lokasi kulit yang

terstimulasi oleh alergen dan secara in vitro menghambat

kemotaksis eosinofil dan adhesi ke sel endotel kultur serta

aktivasi platelet, juga mempengaruhi platelet dan neutrofil.11,14,15

Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui

penghambatan ekspresi ICAM-1 in vivo di nasal dan epitel

konjungtiva selama inflamasi alergi dan penarikan eosinofil di

kulit, hidung, mata dan paru.17

Efek tersebut bukan disebabkan

oleh kemampuan cetirizine menghambat efek histamin, karena

histamin tidak menyebabkan ekspresi ICAM-1. Oleh karena itu,

dalam hal ini efek cetirizine bukan merupakan efek antihistamin

“klasik”, namun lebih menunjukkan efek antiinflamasi.11

Cetirizine dibuktikan dapat mengontrol inflamasi minimal

persisten.13

Antihistamin tidak berperan dalam asma,

sedangkan cetirizine, yang dapat menghambat pengumpulan

eosinofil, mempunyai potensi untuk mencegah perkembangan

Page 13: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 71

penyakit tersebut. Berdasarkan studi Early Treatment of the

Atopic Child (ETAC) didapatkan hasil bahwa timbulnya asma

dapat dicegah melalui penggunaan cetirizine pada bayi dengan

dermatitis atopi dan terbukti tersensitisasi dengan polen

rumput atau tungau debu rumah. Beberapa studi menunjukkan

sensitisasi terhadap polen rumput pada bayi merupakan

prediktor kuat terhadap onset asma.17

Pada suatu studi, didapatkan potensi loratadin dalam

menghambat reaksi “wheal and flare” dan lama kerja

merupakan dose-dependent. Namun, bila dibandingkan dengan

cetirizine, loratadin membutuhkan dosis yang lebih besar

dibandingkan cetirizine untuk memberikan efek yang sama,

sehingga cetirizine mempunyai potensi sampai 6 kali lebih kuat

dibandingkan loratadin. Hal ini juga berlaku apabila cetirizine

dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua lainnya.

Perbedaan ini disebabkan oleh proses metabolisme. Komponen

cetirizine tidak dimetabolisme di hati, sehingga efek

terapetiknya tidak tergantung pada biotransformasi. Obat lain

seperti terfenadine, secara cepat dimetabolisme di hati, dan

hasil metabolit tersebut yang memberikan efek H1. Oleh karena

itu, kemampuan metabolisme obat-obat tersebut sangat

bervariasi di antara setiap orang.18

Studi lain juga membandingkan efek kerja klorfeniramin,

terfenadine, cetirizine, siproheptadin dan astemizol dengan

plasebo dalam bronkonstriksi yang diinduksi histamin dan

skin wheal pada pasien asma. Semua antihistamin

menunjukkan proteksi yang bermakna terhadap

bronkokonstriksi. Namun proteksi terhadap skin wheal yang

diinduksi histamin hanya diberikan oleh cetirizine dan

terfenadine. Selain itu, efikasi protektif terhadap respons

saluran nafas paling tinggi dimiliki oleh cetirizine, diikuti

oleh terfenadine. Apabila dibandingkan dengan plasebo,

cetirizine dan terfenadine tidak memberikan efek samping

mengantuk dan mulut kering.18

Studi dengan menggunakan stimulasi alergen kutaneus

pada subjek alergi menunjukkan cetirizine tidak hanya

menghambat respon awal yang tergantung pada mediator

oleh sel mast, namun juga infiltrasi eosinofil selama respons

fase lambat. Cetirizine merupakan obat yang paling baik

Studi dengan menggunakan stimulasialergen kutaneus pada subjek alergimenunjukkan cetirizine tidak hanyamenghambat respons awal yang

tergantung pada mediator oleh sel mast,namun juga infiltrasi eosinofil selama

respons fase lambat. Cetirizinemerupakan obat yang paling baik dalam

efek antiinflamasi karena adanyapenghambatan influks eosinofil selama

reaksi fase lambat.18

dalam efek antiinflamasi karena adanya penghambatan

influks eosinofil selama reaksi fase lambat.18

Kortikosteroid

Mediator inflamasi yang diproduksi pada penyakit alergi antara

lain mediator lipid, peptida inflamasi, kemokin, sitokin dan

faktor pertumbuhan. Selain itu, juga terdapat bukti bahwa sel

struktural dari saluran nafas, seperti sel epitel, sel otot polos, sel

endotel dan fibroblas merupakan sumber utama mediator

inflamasi pada asma.

Pada tingkat selular, kortikosteroid mengurangi jumlah sel

inflamasi di saluran nafas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel

mast dan sel dendritik. Efek ini dicapai dengan menghambat

rekrutmen atau penarikan sel inflamasi tersebut ke saluran

nafas melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan

molekul adhesi, serta juga menghambat keberadaan (survival)

sel inflamasi di saluran nafas, seperti eosinofil, limfosit T dan

sel mast. Oleh karena itu, kortikosteroid mempunyai efek

antiinflamasi spektrum luas, melalui inhibisi mediator inflamasi

dan sel inflamasi serta sel struktural (sel epitel, endotel, otot

polos saluran nafas dan kelenjar mukus), sehingga berdampak

pada berkurangnya infiltrat atau aktivasi inflamasi, stabilisasi

kebocoran vaskular, penurunan produksi mukus dan

peningkatan respons β-adrenergik.19,20

(Gambar 2)

Gambar 2. Peran kortikosteroid sebagai antiinflamasi19

Pada tingkat molekular, kortikosteroid secara difus

menembus membran sel target dan terikat dengan reseptor

glukokortikoid di sitoplasma. Reseptor tersebut secara

normal terikat dengan protein pengantar, seperti heat shock

protein-90 (HSP90) dan Fκ -binding protein , yang

melindungi reseptor dan mencegah lokalisasi nuklearnya

dengan cara menutupi lokasi reseptor yang diperlukan untuk

transpor dari membran nuklear ke nukleus. Setelah

kortikosteroid terikat dengan glukokortikoid, terjadi

perubahan struktur reseptor yang menghasilkan disosiasi

molekular protein pengantar, sehingga memaparkan signal

lokalisasi nuklear ke glukokortikoid. Pemaparan ini

menghasilkan transpor cepat kompleks kortikosteroid-

Page 14: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200772

glukokortikoid teraktivasi ke nukleus, yang akan terikat

dengan DNA dan menyebabkan perubahan pada transkripsi

gen.19

Sebagian besar protein inflamasi diregulasi oleh

transkripsi gen, yang diatur oleh faktor transkripsi

proinflamasi, seperti nuclear factor-κB (NF-κ B) dan

activator protein-1 (AP-1), yang biasanya teraktivasi di

saluran nafas yang mengalami asma. Dalam mengatur

inflamasi, efek utama glukokortikoid terutama berasal

dari interaksi g lukokort ikoid terakt ivasi dengan

transkripsi faktor nuklear NF-κ B dan AP-1 , yang

menyebabkan inhibisi ekspresi molekul proinflamasi

(trans-reppresive) , sehingga menekan gen yang

mengkode protein inflamasi tersebut, antara lain gen yang

mengkode sitokin (IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9,

IL-11, IL-12, IL-13, IL-16, IL-17, IL-18, TNF-α , GM-CSF),

kemokin, molekul adesi (ICAM-1, VCAM-1) , enzim

inflamasi, reseptor inflamasi dan peptida.19

Beberapa

studi juga menunjukkan bahwa glukokortikoid juga dapat

menghambat ekspresi ICAM-1 yang diinduksi oleh IL-1.11

Dengan adanya efek penekanan produksi sitokin dan

pelepasan mediator maka dapat mengurangi reaksi

inflamasi alergi. Efek trans-activation di sisi lain akan

menginduksi transkripsi gen yang terlibat dalam efek yang

tidak diinginkan dalam terapi kortikosteroid.19

Pemakaian kortikosteroid pada inflamasi alergi

dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari segi obat maupun

individu. Faktor yang berhubungan dengan obat, antara lain:

1) jenis pemakaian obat, oral atau topikal,

2) besarnya absorpsi sistemik yang dikaitkan dengan rute

pemberian dan efek samping klinis,

3) dosis, durasi dan jadwal pemberian,

4) perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik.

Sedangkan faktor yang berhubungan dengan individu,

antara lain:

1) respons penyakit terhadap kortikosteroid,

2) perubahan derajat keparahan penyakit,

3) risiko terapi yang tidak optimal,

4) kerentanan terhadap efek samping.21

Pemakaian kortikosteroid topikal memberikan target yang

selektif pada saluran nafas, sehingga konsentrasi tinggi lokal

tidak disertai dengan paparan sistemik yang tinggi. Namun efek

samping yang muncul dapat berupa mulut kering, kandidiasis

oral, perdarahan pada penggunaan intranasal dan disfonia pada

penggunaan inhalasi. Penggunaan obat topikal juga

membutuhkan saluran nafas proksimal yang paten agar obat

dapat mencapai jaringan target. Pemberian topikal lebih dipilih

pada keadaan yang kronik karena tidak memberikan efek

samping sistemik.21

Pemberian topikal juga dapat diserap ke sirkulasi sistemik

melalui saluran cerna dan memberikan efek samping

sistemik, meskipun jarang. Hal ini tergantung pada

bioavailabilitas oral (penyerapan usus dan jalur pertama

metabolisme hepatik). Kortikosteroid inhalasi meliputi

beklometason dipropionat, budesonid, siklesonid, flunisonid,

flutikason propionat, mometason furoat dan triamsinolon

asetat.21 Sebagian besar agen, seperti beklometason

dipropionat, budesonid, flunisonid dan triamsinolon asetat

dapat diabsorbsi di saluran cerna ke sirkulasi sistemik dan

mengalami jalur pertama metabolisme hepatik. Hasil

bioavaiabilitas dapat mencapai 50%. Agen flutikason

propionat dan mometason furoat juga diserap dengan baik

di saluran cerna, namun hanya sebagian kecil yang mencapai

sirkulasi portal dan dimetabolisme. Availabiltas sistemik

yang rendah tersebut penting pada anak yang sedang tumbuh

dan pasien yang sudah menggunakan kortikosteroid inhalan

untuk asma.22 Efek samping kortikosteroid intranasal atau

inhalasi dosis rekomendasi terhadap aksis hipotalamus-

hipofisis-adrenal atau gangguan metabolisme tulang relatif

rendah. Selain itu, dari hasil beberapa penelitian juga tidak

didapatkan adanya retardasi pertumbuhan ataupun

glaukoma akibat penggunaan kortikosteroid tersebut. Efek

samping lokal dapat berupa iritasi nasal, kekeringan dan

epistaksis. Di sisi lain, kortikosteroid sistemik mempunyai

efek hipotensi, hiperglikemia, kenaikan berat badan,

purpura, atrofi otot dan gangguan pertumbuhan, sehingga

sedapat mungkin dihindari pada terapi inflamasi saluran

nafas atas, namun risiko ini juga tergantung pada durasi

penggunaan.23

Pada pemberian kortikosteroid oral, obat mencapai target

saluran nafas setelah absorpsi di saluran cerna dan distribusi

melalui sirkulasi sistemik. Distribusi ini tidak mencapai

jaringan target dengan selektif, sehingga memerlukan dosis

yang lebih besar dan risiko efek samping yang besar. Namun

pemberian oral dapat digunakan pada keadaan akut. Untuk

memperoleh manfaat yang baik pada sirkulasi sistemik, obat

harus diserap di usus dan mempunyai jalur pertama

metabolisme hepatik (hepatic first-pass metabolism) yang

rendah.21

Perbedaan golongan kortikosteroid oral terletak pada

Golongan triamsinolon merupakankortikosteroid oral yang mempunyai

rasa tidak pahit, sehingga dapatberguna dalam kepatuhan anak

dalam berobat. Selain itu,kepatuhan yang baik akanmenghasilkan pengobatan

yang efisien, terutama dari segibiaya pengobatan (cost-

efficient).25 Secara garis besar,pemberian kortikosteroid pada

inflamasi alergi tergantung padabeberapa faktor yang menentukanmanfaat dan risiko pada tiap anak.

Page 15: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 73

aktivitas mineralokortikoid dan glukokortikoid. Aktivitas

mineralkortikoid tidak mempunyai efek dalam inflamasi

alergi dan dapat menyebabkan efek samping, antara lain

retensi air dan natrium yang menyebabkan edema dan

hipertensi, serta peningkatan ekskresi kalium dengan risiko

alkalosis hipokalemik. Hidrokortison mempunyai efek

mineralokortikoid terbesar dan lebih banyak efek samping

dibandingkan kortikosteroid sintetik, seperti prednisolon.21

Golongan triamsinolon dan deksametason mempunyai

aktivitas mineralokortikoid yang paling rendah, sehingga

berpotensi rendah dalam menyebabkan retensi natrium dan

efek samping yang lain. Golongan triamsinolon juga

mempunyai durasi kerja sedang (intermediate) dan potensi

antiinflamasi yang sesuai untuk mengatasi gejala alergi

akut.24

Hal menarik yang perlu diperhatikan pada pemberian

kortikosteroid oral pada anak, khususnya pada penyakit

alergi, adalah pemilihan bentuk formula dan rasa. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa rasa obat (palatibility) yang

diikuti dengan persepsi rasa yang baik akan meningkatkan

kepatuhan (compliance) anak dalam pengobatan dengan

kortikosteroid.25,26

Golongan triamsinolon merupakan

kortikosteroid oral yang mempunyai rasa tidak pahit,

sehingga dapat berguna dalam kepatuhan anak dalam

berobat. Selain itu, kepatuhan yang baik akan menghasilkan

pengobatan yang efisien, terutama dari segi biaya pengobatan

(cost-efficient) .25

Secara garis besar, pemberian

kortikosteroid pada inflamasi alergi tergantung pada

beberapa faktor yang menentukan manfaat dan risiko pada

tiap anak.

PenutupPenyakit alergi pada anak membutuhkan perhatian khusus

karena dapat mempengaruhi kualitas pertumbuhan dan

perkembangan anak. Pencegahan dini, penghindaran

alergen, dan kontrol lingkungan merupakan lini terdepan

dalam tatalaksana penyakit alergi. Adanya reaksi

hipersensitivitas dan inflamasi yang mendasari reaksi alergi

menunjukkan bahwa penyakit alergi membutuhkan

tatalaksana farmakoterapi yang mengatasi reaksi inflamasi

alergi terebut. Cetirizine mempunyai keunggulan

dibandingkan antihistamin klasik lain karena mempunyai

efek antiinflamasi, terutama melalui penghambatan proses

kemotaksis sel inflamasi. Hasil studi ETAC juga

menunjukkan cetirizine mempunyai efektivitas yang tinggi

dengan efek samping yang minimal. Proses kemotaksis sel

inflamasi juga dihambat oleh kortikosteroid. Efek

antiinflamasi kortikosteroid juga dicapai melalui

penghambatan mediator atau sitokin proinflamasi yang

mencegah reaksi inflamasi alergi berlanjut. Triamsinolon

merupakan kortikosteroid oral yang dapat digunakan pada

anak karena mempunyai efek antiinflamasi, efek samping

retensi natrium yang rendah dan rasa yang tidak pahit.

Daftar Pustaka1. Wahn U, von Mutius E. Childhood risk factors for atopy and the

importance of early intervention. J Allergy Clin Immunol 2001;107:567-74

2. Steering Committee. Worldwide variation in prevalence of symptoms of

asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. TheInternational Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC)Steering Committee. Lancet 1998;351:1225-32

3. Munasir Z, Akib AAP, Siregar SP, et al. Epidemiology of asthma andallergy in early life 2006 (unpublished)

4. Siregar PS, Suyoko D, Akib A, et al. Prevalensi penyakit atopi pada anakdi Kelurahan Utan Kayu. Disampaikan pada Simposium Kualitas Hidup diPerkotaan, Aspek Penyakit Alergi, Pokja Imunologi FKUI di Jakarta, 8 Maret1990

5. Djayanto B. Prevalensi asma pada anak di sekolah dasar Yayasan PendidikanIslam Al-Azhar, Jl. Sisingamangaraja Jakarta Selatan. Tesis, 1991

6. Yunus F, Antaria R, Rasmin M, et al. Asthma prevalence among high schoolstudents in East Jakarta, 2001, based on ISAAC questionnaire. Med JIndonesia 2003:12:178-86

7. Chapel H, Haeney M, Misbah S, et al. Basic components: structure andfunction. In: Essentials of Clinical Immunology. Edisi ke-4. London: BlackwellScience Ltd, 1999.p.11-17

8. Fireman P. Immunology of allergic disorders. In: Fireman P, Slavin RG, editor.Atlas of allergies. Philadelphia: J.B. Lippincott Company, 1991.p.2-23

9. Abbas AK, Lichtman AH. Hypersensitivity diseases. In: BasicImmunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004.p.193-200

10. Rothenberg ME. Inflammatory effector cells/cell migration. In: LeungDYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, editors. Pediatric AllergyPrinciples and Practice. St. Louis: Mosby, 2003.p.51-9

11. Bagnasco M, Canonica GW. Influence of H1-receptor antagonists onadhesion molecules and cellular traffic. Allergy 1995; 50:17-23

12. Munasir Z. The importance of early prevention of allergy disease.Disampaikan pada KONIKA XIII di Bandung, 4-7 Juli 2005

13. Munasir Z. Keamanan dan efikasi pemakaian setirizin pada anak. 2005.14. Simons FER. A new classification of H1-receptor antagonists. Allergy

1995; 50:7-1115. Sundaru H. Antihistamin generasi kedua, apa yang ingin kita ketahui

?. Disampaikan pada Symposium Current Opinion in Allergy & ClinicalImmunology, Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen Ilmu PeyakitDalam FKUI/RSUPN-CM di Jakarta, 24-25 Juli 2003

16. Tillement J-P. A low distribution volume as a determinant of efficacyand safety for histamine (H1) antagonists. Allergy 1995; 50:12-6

17. ETAC® Study Group. Allergic factors associated with the developmentof asthma and the influence of cetirizine in a double-blind, randomised,placebo-controlled trial : First results of ETAC®. Pediatric Allergy Immunol1998; 9:116-24

18. Juhlin LA. A comparison of the pharmacodynamics of H1-receptorantagonists as assessed by the induced wheal-and-flare model. Allergy1995; 50:24-30

19. Barnes PJ. Molecular mechanisms and cel lular effects ofglucocorticosteroids. Immunol Allergy Clin N Am 2005; 25:451-68

20. Lemanske RF, Busse WW, Wis M. Asthma. J Allergy Clin Immunol 2003;111:511-3

21. Mortimer KJ, Tattersfield AE. Benefit versus risk for oral, inhaled, andnasal glucocorticosteroids. Immunol Allergy Clin N Am 2005; 25:523-39

22. Gentile DA, Shapiro G. Allergic rhinitis. In: Leung DYM, Sampson HA, GehaRS, Szefler SJ, editors. In: Pediatric Allergy Principles and Practice. St.Louis: Mosby, 2003.p.293-6

23. van Cauwenberge P, van Hoecke H, Vamdenbulcke L, et a l .Glucocorticosteroids in allergic inflammation: Clinical benefits inallergic rhinitis, rhinosinusitis, and otitis media. Immunol Allergy ClinN Am 2005; 25:489-509

24. Schimmer BP, Parker KL. Adrenocorticotropic hormone, adrenocorticalsteroids and their synthetic analogs, inhibitor of the synthesis andactions of adrenocortical hormones. In: Goodman LS, Gilman A, editor.Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Theurapeutics. Edisike-10. New York: Macmillan Publishing Company, 2001.p.1657

25. Hutto CJ, Bratton TH. Palatability and cost comparison of five liquidcorticosteroid formulations. J Pediatr Oncol Nurs 1999; 16:74-7

26. Norton SA. Taste comparison of corticosteroid suspensions. Journalof Drugs in Dermatology 2006. Available at http://www.encyclopedia.comDiakses tanggal 10 Maret 2007

Page 16: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200774

LAPORAN KASUS

Light Chain MyelomaJuliani Dewi, H BudimanLaboratorium Patologi Klinik RSU Dr. Saiful Anwar / FK Universitas BrawijayaMalang

Abstrak. Light chain myeloma merupakan salah satu jenis multiple myeloma, di mana protein M yang terdetksiadalah light chain protein. Kasus ini melaporkan seorang penderita laki-laki berusia 66 tahun dengan tanda-tanda dan gejala klasik multiple myeloma disertai lytic bone lesions, tetapi gambaran elektroforesa proteinserum normal, sedangkan elektroforesa protein urine menunjukkan adanya light chain proteinuria. Daripemeriksaan aspirasi sumsum tulang didapatkan infiltrasi sel plasma sebanyak 95%. Kasus ini memenuhikriteria multiple myeloma menurut Durie & Salmon. Untuk membuktikan tipe light chain myeloma lebih lanjutdapat dilakukan urine immunofixation test.

Kata kunci: multiple myeloma, light chain myeloma, elektroforesa protein

PendahuluanMultiple myeloma adalah kelainan sel plasma, potensial ganas,

yang dihubungkan dengan proliferasi single clone of plasma cells

yang mensekresi protein homogen (monoklonal). Gambaran

protein monoklonal tersebut dapat dilihat melalui elektroforesa.

Sel plasma yang mengalami kelainan ini merupakan turunan seri

sel B imunosit. Masing-masing protein monoklonal (protein M,

protein myeloma atau paraprotein) terdiri dari 2 rantai

polipeptida H (heavy) dan 2 rantai polipeptida L (light). Heavy

polypeptide chain terdiri dari IgG (g), IgA (a), IgM (m), IgD (d),

IgE (e). Light chain types terdiri dari kappa (k) dan lambda (l).1,3

Imunoglobulin monoklonal (protein M) yang terdeteksi pada

multiple myeloma tersering adalah IgG, yaitu pada 60% kasus.

IgA terdeteksi pada kurang lebih 20% kasus, light chain

myeloma hanya 20% kasus, sedangkan IgM, D, E, dan lebih dari

1 protein M adalah kasus yang jarang.3-5

Pada elektroforesa

protein serum menunjukkan puncak yang tinggi dan tajam atau

band terlokalisir pada 80% penderita, hipogamaglobulin pada

10% penderita dan sisanya tidak menunjukkan kelainan.3

Monoclonal light chain (Bence Jones proteinemia) jarang

terlihat pada gel agarosa. Dipstick test untuk analisa urin tidak

sensitif untuk protein Bence Jones (monoclonal light chain dalam

urine). Asam sulfosalisilat atau reagen Exton lebih baik daripada

dipstick, tapi immunofixation atau imunoelektroforesa urin

terkonsentrasi 24 jam yang adekuat dianjurkan untuk

mendeteksi protein Bence Jones. Suatu monoclonal light chain

di nephrotic urine diduga akibat deposisi light chain. Pada

kondisi tertentu, light chain diproduksi lebih banyak daripada

heavy chain. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh proliferasi

oleh clone yang terpisah.1-3

Clone of plasma cells berproliferasi di sumsum tulang, sering

menginvasi tulang yang berdekatan, menyebabkan destruksi skeletal

luas yang berakibat nyeri tulang dan fraktur. Anemia, hiperkalsemia

dan insufisiensi renal adalah gambaran lain yang penting.

Penyebab multiple myeloma belum jelas. Insidennya kurang

lebih 1% dari semua penyakit keganasan dan lebih dari 10%

keganasan hematologi di USA. Angka kejadiannya 4 per

100.000 dan dapat terjadi pada semua ras dan lokasi geografis.

Insiden pada kulit hitam dua kali lipat daripada kulit putih,

lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Median age saat

diagnosa kurang lebih 65 tahun, hanya 2% yang kurang dari

40 tahun.1,2

Pada laporan kasus ini akan dilaporkan seorang

penderita laki-laki berusia 66 tahun, dengan light chain

myeloma.

KasusSeorang laki-laki, 66 tahun, datang ke rumah sakit Budi Rahayu,

Blitar, dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Dari hetero

anamnesa diperoleh keterangan bahwa penderita mengalami

penurunan kesadaran setengah jam sebelum dibawa ke rumah

sakit. Di Instalasi Rawat Darurat (IRD) kesadaran sedikit

membaik, tapi bicara meracau, kemudian penderita dirujuk ke

RSU Dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang.

Dari riwayat penyakit sebelumnya diketahui 12 hari sebelum

masuk rumah sakit penderita merasa nyeri pada rusuk kiri,

berpindah ke kanan dan pinggang. Nyeri timbul bila penderita

bergerak atau pindah posisi. Sejak 1 tahun yang lalu penderita

sering batuk dan nyeri ulu hati, penderita sering bingung dan

komunikasi tidak lancar, serta bengkak di seluruh tubuh.

Pada pemeriksaan fisik saat penderita masuk RSSA

tampak inkoheren, dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 456

dan penderita tampak kurus. Tekanan darah 90/60, nadi 68

Page 17: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 75

kali per menit, suhu axillair 36oC dan suhu rektal 36,6oC,

serta tampak anemis. Tidak didapatkan kelainan pada kepala,

leher, thorax, dan abdomen.

Pada pemeriksaan laboratorium saat penderita masuk

RSSA didapatkan anemia normokrom normositer dengan Hb

8,2 g/dl, lekosit normal (7.000/mm3), trombosit normal

(232.000/mm3), retikulosit 1‰, dengan evaluasi hapusan

darah normal. Gula darah sesaat 105 mg/dl, ureum 174 mg/

dl, kreatinin 12,23 mg/dl, asam urat 13,7 mg/dl. Dari

pemeriksaan fungsi hati SGOT dan SGPT normal (25 mU/

ml dan 9 mU/ml), bilirubin dalam batas normal (bilirubin

direk 0,31 mg/dl, bilirubin indirek 0,26 mg/dl dan bilirubin

total 0,57 mg/dl), albumin 3,9 g/dl, globulin 1,7 g/dl, dan

total protein 5,6 g/dl.

Dari analisa gas darah didapatkan asidosis metabolik

terkompensasi sebagian, dengan pH 7,304; pCO2 31 mmHg, pO2

139,2 mmHg, HCO3 15,5 mmcl/l, O2 saturasi 98,7 % dan base

excess -9,9 mmol/l. Didapatkan peningkatan anion gap, dengan

hiponatremia (Na 127 mmol/l, K 4,5 mmol/l dan Cl 92 mmol/

l). Didapatkan hiperkalsemia (12 mg/dl, nilai normal 8,5–10,4

mg/dl) tetapi kadar fosfor masih normal (5,5 mg/dl, nilai

normal 2,5–7,0 mg/dl). Pada pemeriksaan urin lengkap

didapatkan proteinuria 2+, reduksi negatif, tidak ada

bilirubinuri dan urobilinogenuri, sedimen lekosit 3-4/lpb dan

sedimen eritrosit 2-6/lpb, serta didapatkan kristal kalsium

oksalat dan banyak kristal amorf.

Foto rontgen menunjukkan osteolytic bone lesion pada os

tibia dan os radius serta didapatkan fraktur costae multiple

dextra et sinistra. USG abdomen menunjukkan chronic

parenchymatous renal disease. Hasil aspirasi sumsum tulang

menunjukkan keadaan hiperseluler dengan rasio myeloid

eritroid 6 : 1, aktivitas sistem eritropoetik menurun, aktivitas

sistem granulopoetik baik dan aktivitas megakaryopoetik baik,

cadangan besi positif, didapatkan infiltrasi sel plasma sebanyak

95%. Elektroforesis protein serum menunjukkan gambaran

normal, sedangkan elektroforesa protein urin menunjukkan

gambaran light chain proteinuria.

PembahasanMultiple myeloma adalah keganasan sel plasma matur

maupun imatur. Manifestasi klinik kelainan ini terjadi akibat

proliferasi dan akumulasi sel plasma yang menduduki

sebagian besar sumsum tulang. Sedangkan manifestasi

patologik terjadi karena produksi yang berlebihan protein

dan rantai polipeptida (komponen M) yang diidentifikasikan

sebagai “spike” pada elektroforesa protein serum.4

Dominasi sel tumor dalam ruang-ruang sumsum tulang

menyebabkan destruksi tulang dan abnormalitas

hematopoetik mayor, seperti anemia, leukopenia dan

trombositopenia.4 Anemia yang terjadi sering dihubungkan

dengan keadaan penderita yang lemah.3 Defisiensi imunitas

dan peningkatan risiko mendapatkan infeksi akibat

tertekannya fungsi imunitas secara normal disebabkan oleh

produk sel myeloma dan sel-sel intermediari lainnya.4

Kemunculan gejala dan tanda-tanda klinis bergantung pada

lama perjalanan penyakit yang bervariasi, infeksi berulang,

kelemahan, penurunan berat badan, diikuti lesi tulang dan

berkembangnya penyakit ginjal kronik.

Lesi tulang pada multiple myeloma disebabkan oleh

proliferasi sel-sel myeloma dan aktivitas osteoklas yang

merusak tulang. Aktivitas osteoklas ini merupakan respon

dari osteoclast activating factors (OAF) yang dihasilkan oleh

sel-sel myeloma dengan mediator beberapa sitokin seperti

IL-1, lymphotoxin dan tumor necrosis factor. Lisisnya tulang

ini mengakibatkan mobilisasi kalsium dari tulang sehingga

dapat terjadi komplikasi akut dan kronik yang serius dari

hiperkalsemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan lethargy,

kelemahan, depresi dan kebingungan.2 Lesi tulang diketahui

karena didapatkan pembengkakan lokal, nyeri dan fraktur

patologis. Lesi ini terutama terjadi pada “red marrow”

seperti costae, sternum, claviculae, tulang belakang,

tengkorak, atau ekstremitas sekitar bahu dan tulang panggul.

Nyeri yang dirasakan sering berpindah-pindah, intermiten,

lebih berat saat bergerak dan paling sering mengenai punggung,

dada dan ekstremitas. Perubahan tulang ditunjukkan secara

radiologis, digambarkan sebagai melingkar, “punched out areas”,

osteoporosis, atau fraktur. Dengan menggunakan

Microradiography, Computed Tomography, atau Magnetic

Resonance Imaging dapat dilihat penipisan yang menyeluruh dan

destruksi trabekulae.3,4

Gangguan fungsi ginjal adalah gambaran yang menonjol dari

kelainan ini, bahkan dapat ditemukan saat ditegakkannya

diagnosa. Prevalensi gangguan fungsi ginjal ini lebih besar pada

penderita dengan hiperkalsemia dan pada penyakit yang telah

lanjut. Patogenesis yang berhubungan dengan gagal ginjal sangat

kompleks, tapi ekskresi monoclonal light chain memainkan

peranan yang penting. Light chain terikat pada tubulus

proksimalis pada reseptor endositotik berkapasitas tinggi dan

terakumulasi dalam sistem endolisosomal. Disfungsi tubuli

ditemukan hampir pada semua penderita dengan light chain

proteinuria lebih dari 1 g/24 jam.3,4

Kerusakan tubulus

proksimalis menyebabkan kehilangan garam dan air,

dehidrasi dan penurunan clearance light chain oleh tubulus,

sehingga menyebabkan konsentrasi light chain lebih besar

di tubulus distalis. Beberapa faktor lain yang penting dalam

menyebabkan disfungsi ginjal adalah hiperkalsemia dan

hiperkalsiuria akibat destruksi tulang dan imobilisasi,

sehingga bermanifestasi sebagai hypercalcemic

nephropathy.4 Gambaran laboratorium manifestasi

gangguan ginjal pada beberapa penderita berupa azotemia,

tingginya kreatinin serum, clearance creatinin yang rendah.

Dalam urine mengandung protein Bence Jones, albumin,

silinder, dan sel–sel epitel ginjal. Tidak umum didapatkan

hematuria. Hiponatremi berat pada beberapa penderita

disebabkan oleh efek kationik protein myeloma.

Hiperprotein, dapat mencapai lebih dari 80 g/l dan kadang-

kadang 120 g/l. Tetapi pada light chain myeloma total

protein serum yang rendah sering dihubungkan dengan

keberadaan hipoglobulinemia.4

Komplikasi kardiovaskular terjadi pada penyakit yang

berat dan lama. Infiltrasi pada myokardial dengan amyloid

sering menyebabkan dilatasi atau restriksi kardiomyopati

dan gagal jantung kongestif.4

Sebagian besar penderita multiple myeloma mengalami

anemia sedang hingga berat, dengan kadar Hb antara 70–

100 g/l, normokrom normositer dan rouleaux formation

Page 18: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200776

tampak jelas. Retikulosit rendah, laju endap darah yang

tinggi dihubungkan dengan clumping eritrosit dan rouleaux

formation. Hal ini disebabkan karena tingginya γ-globulin,

rendahnya albumin dan produksi acute phase reactans oleh

hepar, terutama CRP, IL-6. Suatu major growth factor

diproduksi dalam jumlah besar, menghambat sintesis

albumin oleh hepar tapi merangsang produksi CRP.4,5

Hitung

lekosit pada umumnya normal sebelum dimulainya

kemoterapi. Tidak ada kelainan pada hitung jenis. Pada

sejumlah kecil kasus, sel plasma dapat terlihat, terutama pada

stadium lanjut. Jika sel plasma dominan di antara lekosit

sirkulasi, kondisi ini disebut sebagai plasma cell leukemia.4

Pada aspirasi sumsum tulang, didapatkan ciri khas

adanya sel myeloma pada semua penderita multiple

myeloma. Pada umumnya di sumsum tulang terdiri dari

sedikitnya 5–10% myelomatous plasma cell. Jika jumlahnya

lebih besar dari 15 hingga 20% dapat dipastikan suatu

multiple myeloma. Diagnosa multiple myeloma tidak pernah

dibuat tanpa adanya sel plasma ini.4

Elektroforesis harus dilakukan pada semua kasus dengan

serum protein monoklonal atau diagnosa/dugaan multiple

myeloma, makroglobulinemia, amyloidosis atau penyakit-

penyakit yang berhubungan.3 Komponen M dan/atau protein

Bence Jones tampak pada semua penderita multiple

myeloma. Light chain lebih sulit terlihat dalam sirkulasi

daripada heavy chain. Ekskresi light chain dalam urin

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tidak

seimbangnya produksi light chain dan clearance-nya oleh

ginjal. Light chain teridentifikasi dalam urin pada lebih dari

80% kasus. Protein monoklonal tidak terdeteksi dalam serum

atau urin pada kurang lebih 1% kasus. Pada penderita-

penderita ini selularitas, sitologi dan gambaran ultra struktur

sel-sel yang memproduksi komponen M sama dengan sel

myeloma yang lain. Pada light chain myeloma, monoclonal

light chain hanya ditandai dengan gambaran klinis yang

berat, gagal ginjal, lytic bone lesions, hiperkalsemia dan

amyloidosis.4 Adanya global hypo gamma globulinemia

pada diagnosa myeloma dapat diindikasikan suatu light

chain myeloma . Pada kondisi ini tidak ditemukan

monoclonal band pada elektroforesis protein serum.6 Urin

tampung 24 jam diukur untuk menentukan jumlah protein

total yang diekskresi tiap hari. Sejumlah protein monoklonal

seperti protein Bence Jones dihitung dari ukuran “spike”

pada densitometer tracing dan kandungan protein urine

total 24 jam.3 Metode terbaik untuk mendeteksi protein

Bence Jones dalam urin adalah elektroforesis protein.

Keberadaan Bence Jones globulin atau clonal production

immunoglobulin ditandai dengan puncak tajam tunggal pada

globulin yang dengan imunoelektroforesis dapat ditentukan

jenisnya kappa atau lambda immunoglobulin light chain.7

Immunofixation test lebih sensitif dan merupakan metode

terbaik untuk mendeteksi protein Bence Jones dalam urin.4

Sitologi, klinis dan kriteria laboratoris untuk diagnosa

multiple myeloma merujuk pada Durie dan Salmon :

Kriteria mayor :

1. Plasmasitoma pada biopsi jaringan

2. Plasmasitosis pada sumsum tulang dengan sel plasma >30%

3. Monoclonal globulin spike pada elektroforesa serum: IgG

>35g/l, IgA >20 g/l, ekskresi light chain pada

elektroforesis urin 1,0 g/24 jam tanpa amyloidosis

Kriteria minor

1. Plasmasitosis pada sumsum tulang dengan 10-30% sel

plasma

2. Monoclonal globulin spike, tapi kadarnya kurang dari

yang tersebut di atas

3. Lytic bone lesions

4. Normal IgM <500 mg/l, IgA <1 g/l atau IgG <6 g/l

Diagnosa myeloma membutuhkan minimum 1 kriteria mayor

dan 1 kriteria minor atau 3 kriteria minor, dan harus

termasuk kriteria minor 1 + 2.4

Kasus Tn. M di atas memenuhi kriteria diagnosa Durie dan

Salmon, dengan memenuhi 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

Pada penderita didapatkan lesi tulang yang mengakibatkan

hiperkalsemia, peningkatan kadar alkali fosfatase, dan

kebingungan. Lesi tulang diketahui karena didapatkan nyeri dan

fraktur patologis pada costae dan ekstremitas.

Gangguan fungsi ginjal terjadi pada kasus ini dengan

didapatkannya peningkatan kadar ureum dan kreatinin serta

adanya albuminuri. Pada penderita juga didapatkan kelainan

kardiovaskuler dengan pembesaran jantung ke kiri, anemia

sedang dengan kadar Hb antara 70–100 g/l, normokrom

normositer. Hitung lekosit normal dan tidak ada kelainan

pada hitung jenis. Pada aspirasi sumsum tulang, didapatkan

ciri khas adanya dominasi sel plasma sehingga dapat

dipastikan suatu multiple myeloma.

Light chain lebih sulit terlihat dalam sirkulasi daripada

heavy chain, sehingga tidak ditemukan monoclonal band

pada elektroforesis protein serum penderita. Walaupun

demikian, light chain dapat diidentifikasi dalam urin.

Kesimpulan Dan SaranTelah dilaporkan seorang penderita laki-laki, 66 tahun,

dengan light chain myeloma. Kriteria Durie dan Salmon

terpenuhi, disertai gambaran klinis dan laboratoris yang khas

pada multiple myeloma. Tidak tampaknya monoclonal band

pada elektroforesis protein serum tapi tampak pada

elektroforesis urin mengindikasikan adanya suatu light chain

myeloma. Keadaan ini perlu ditunjang dengan pemeriksaan

lebih lanjut. Untuk itu disarankan dilakukan pemeriksaan

imunofixation test pada urin.

Daftar Pustaka1. Kyle RA, Rajkumar SV. Plasma cell disorders. In : Goldman L, Ausiello D. Cecil Textbook

of Medicine. 22nd ed. Philadelphia, Pennsylvania: Saunders; 2004.p.1184-912. Longo DL. Plasma cell disorders. In: Wilson JD, Braunwald E, Isselbacher KJ,

et al editors. Harrisons’s Principles of Internal Medicine. 12th ed. New York:McGraw-Hill; 1991.p.1410-7

3. Kyle RA. Multiple myeloma and related monoclonal gammopathies. In: Mazza JJ.Manual of Clinical Hematology. 2nd ed. Boston: Little, Brown and Company; 1995.p.251-76

4. Foerster J, Paraskevas F. Multiple myeloma. In: Lee GR, Foerster J, Lukens J,Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM. Wintrobe’s Clinical Hematology. 10

th ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999.p.2631-805. Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, et al. Myeloma. Williams Manual of Hematology.

6th ed. Boston: McGraw-Hill; 2003.p.367-75

6. Carrer DL. Serum protein electrophoresis & immunofixation illustratedinterpretations. France: SA Sebia; 1994.p.29-81

7. Henry JB, Lauzon RB, Schumann GB. Basic examination of urine. In: HenryJB. Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods.19

th ed.

Philadelphia, Pennsylvania: WB Saunders Company; 1996.p.423

Page 19: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 77

TINJAUAN PUSTAKA

Efek Kortikosteroid Terhadap MetabolismeSel; Dasar Pertimbangan Sebagai TujuanTerapi Pada Kondisi Akut Maupun KronikJan Sudir PurbaDepartemen Neurologi FKUI / RSCM

Jakarta

Abstrak. Kortikosteroid yang juga diketahui sebagai glukokortikoid adalah sintetik kortikosteroid endogenyang dihasilkan oleh kelenjar adrenal melalui aktivitas aksis hypotalamic-pituitary adrenal (HPA).Kortikosteroid dibutuhkan oleh tubuh secara vital dalam mempertahankan keseimbangan tubuh yang sehatbaik terhadap gangguan yang berasal dari dalam tubuh sendiri maupun dari luar. Pentingnya kortikosteroiddalam kehidupan dapat dilihat jika terjadi defisiensi atau juga hiperproduksi maka muncul beberapa tandapatologi menyangkut gangguan metabolisme sel seperti muncul alergi dan gangguan imunitas, gangguanmetabolisme protein, lemak dan mineral. Dalam penggunaanya sebagai terapi beberapa jenis kortikosteroidbisa lebih spesifik untuk kasus tertentu. Triamcinolone merupakan kortikosteroid yang berpotensi tinggidalam hal imunosupresi, antiinflamasi, serta antiproliferasi. Walaupun penggunaan triamcinolonemengandung efek terapeutik yang potent namun juga tidak terlepas dari efek negatif seperti katabolismebaik protein dan mineral, lemak serta gangguan hormon lainnya, seperti hormon pertumbuhan pada anakjika penggunaannya kurang tepat.

PendahuluanKortikosteroid yang disekresi di kelenjar adrenal penting

untuk kelangsungan hidup, sebagai hormon homeostasis

dalam mempertahankan gangguan ketidakseimbangan, baik

yang berasal dari biologis organisme itu sendiri maupun

dalam menghadapi dan menyesuikan dengan lingkungan.

Kortikosteroid pertama kalinya digunakan tahun 1949 di

klinik sebagai terapi artritis reumatik.1,2 Penggunaan ini

berkembang terus sampai pada kasus dermatologi, imunologi

dan onkologi. Dalam perjalanannya, penggunaan

kortikosteroid mempunyai berbagai ragam efek negatif

namun dengan mempertimbangkan secara mendasar

terhadap efek positifnya, maka penggunaan kortikosteroid

ini tetap populer. Aktivitas biologis dari kortikosteroid

umumnya bergantung pada potensi alamiah maupun sintetik

yang secara fisiofarmakologis ditentukan oleh besarnya efek

retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar serta

sifat sebagai antiinflamasi.3-5 Oleh sebab itu penggunaan

kortikosteroid di klinik mendasar pada efek metabolisme dan

efek katabolisme, antiinflamasi, imunosupresi dan juga

sebagai antiproliferasi.6,7 Kortikosteroid mempengaruhi

metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan mineral pada

sel yang berperan pada fungsi sistem kardiovaskular, ginjal,

otot lurik dan tulang, sistem saraf dan organ lainnya.

Pertimbangan pemberian kortikosteroid tentu mendasar

pada efek positif dan efek negatif. Efek negatif bergantung

pada dosis serta lamanya penggunaan yang bisa berefek pada

atrofi dari kelenjar korteks adrenal sampai pada glaukoma,

gangguan keseimbangan natrium, kalium, kalsium serta

nitrogen demikian juga sistem imunitas dan hormon-hormon

lainnya seperi hormon pertumbuhan.8-10

Regulasi sekresi kortikosteroidSekresi kortikosteroid oleh kelenjar adrenal merupakan hasil

rangkaian stimulasi corticotropin-releasing hormone (CRH)

terhadap adrenocorticotropin hormone (ACTH) di hipofisis11,12. CRH adalah neuropeptida yang terdiri dari 41 asam

amino, disekresi oleh neuron di nukleus paraventrikularis

(PVN) hipotalamus untuk seterusnya melalui eminentia

mediana akan ditransportasikan lewat sirkulasi porta

hipofisis ke adenohipofisis. Stimulasi CRH di hipofisis akan

mengaktivasi adenyl cyclase dengan demikian

memperbanyak cyclic AMP sehingga terjadi peningkatan

mRNA ACTH.4,6,7,13,14 ACTH adalah neuropeptida asam amino

yang tergabung dan disintesa melalui suatu prekursor

protein yaitu proopiomelanocortin (POMC), dan mempunyai

efek stimulasi terhadap kelenjar adrenal. Kelenjar adrenal

yang mempunyai berat sekitar 4 gram terletak di bagian atas

ginjal. Kelenjar ini terdiri dari medula dan korteks. Medula

yang terdiri dari sekitar 20% mensintesis epinefrin,

norepinefrin dan dopamin sedangkan korteks adrenal yang

terdiri dari sekitar 80% berat kelenjar mensintesis dua

Page 20: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200778

bentuk hormon steroid, yaitu kortikosteroid dan

mineralokortikosteroid. Waktu paruh normal kortikosteroid

dalam sirkulasi berkisar 90-110 menit. 4,6,7,14,15

Kadar kortikosteroid atau yang juga disebut sebagai kortisol

secara fisiologi diatur oleh mekanisme sirkadian dimana

pada orang sehat dewasa disekresi sekitar 15-60 mg/hari

yang secara fluktuatif melalui sekresi vasopresin oleh nukleus

suprachiasmaticus (SCN) hipotalamus. Kadar kortikosteroid

tertinggi sepanjang 24 jam ditemukan pada sekitar jam 9 pagi

sedangkan kadar minimal ditemukan pada malam hari

sekitar jam 24.00.16 Tinggi rendahnya kadar ini juga diatur

oleh adanya proses feed back kortikosteroid terhadap

hipofisa dan hipotalamus. Hal ini dapat dibuktikan melalui

penyuntikan intravena CRH yang akan meningkatkan kadar

ACTH dengan demikian kortisol akan meninggi. Mekanisme

feed back kortikosteroid dapat dilihat juga dari penelitian

pada hewan percobaan dengan pemberian kortisol akan

menurunkan jumlah reseptor yang aktif dari CRH di hipofisis

sementara pemberian 100 µg CRH secara kronik akan

menyebabkan sindroma Cushing. 17-19

Mekanisme Kerja KortikosteroidSampai sekarang ini masih banyak cara kerja kortikosteroid

yang sering juga disebut sebagai kortisol yang belum dapat

dijelaskan. Secara umum mekanisme kerja kortikosteroid

mendasar pada ikatan dengan reseptor protein spesifik

corticosteroid binding globulin (CBG), suatu α-globulin yang

disintesa di lever. Sekitar 95% kortikosteroid yang yang beredar

disirkulasi akan berikatan dengan CBG dan sisanya sekitar 5%

beredar bebas dan atau terikat longgar dengan albumin.8 Bila

kadar plasma kortisol di sirkulasi lebih dari 20-30 mikrogram/

dl maka CBG akan menjadi jenuh sehingga kortisol bebas ini

berikatan dengan reseptor kompleks yang disebut juga dengan

reseptor glukokortikoid (GR) di sitoplasma. GR adalah suatu

protein yang inaktif dalam sitoplasma, yang baru aktif jika telah

berikatan dengan kortisol. Reseptor kompleks ini akan

bermodifikasi yang terlihat pada peningkatan sedimen yang

masuk ke nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini

nantinya akan mengatur transkripsi gen secara spesifik yang

bermanifestasi dalam peningkatan jumlah spesifik mRNA.20-22

Hasil ikatan ini di nukleus akan menstimulasi transkrip RNA

dan sintese protein spesifik sebagai proses pengaturan berbagai

aktivitas berupa metabolisme dan katabolisme sel termasuk

sintese enzim, permeabilitas membran dan lain-lain yang

nantinya berefek pada organ sasaran. Diketahui bahwa

kortikosteroid mempengaruhi metabolisme baik di perifer

maupun di lever. Di perifer kortikosteroid memobilisasi asam

amino di sejumlah jaringan seperti limfa, otot dan tulang.

Akibatnya terjadi atrofi jaringan limfa, menurunnya massa otot,

osteoporosis. Di lever ditemukan induksi sintese de-novo dari

sejumlah enzim yang berkaitan dengan glukoneogenesis dan

keseimbangan asam amino yang nantinya berefek nyata dalam

hal antiinflamasi selain efek metabolik dan imunogenik.8,22

Dasar Penggunaan Kortikosteroid SebagaiTerapiSebagaimana disebut bahwa penggunaan kortisol sebagai

terapi mendasar pada efek metabolisme dan efek

katabolisme, antiinflamasi, immunosupresan, dan juga

sebagai anatiproliferasi.6,7,23,24

Efek metabolisme kortisol

terhadap karbohidrat, protein dan lemak serta ion-ion,

berperan pada otot, saraf, sistem kardiovaskular, ginjal,

sebagai mempertahankan keseimbangan baik fungsi maupun

struktur. Beberapa jenis kortikosteroid berperan dominan

terhadap keseimbangan cairan tubuh sebagai

mineralokortikoid sementara kortikosteroid dominan

berperan dalam hal metabolisme/katabolisme, inflamasi

serta terhadap sistem imun. Beberapa jenis kortikosteroid

sintetik seperti prednison, prednisolon, triamcinolone, dan

betametasone termasuk pada golongan yang sangat potensial

dibanding dengan kortisol endogen.22

Triamcinolone salah satu jenis kortisol selain digunakan

untuk terapi substitusi yang berpotensi tinggi sebagai anti

infamasi atau imunosupresi. Efek pemberian terhadap aksis

HPA dengan dosis antara 60-100mg akan menyebabkan

supresi aksis HPA dalam jangka waktu 24-48 jam.22,23

Mekanisme kerja dari triamcinolone adalah dengan

melibatkan lipokortin, inhibisi protein fosfolipase A2 dengan

menekan kegiatan arachidonic acid sebagai kontrol

biosintesis prostaglandin dan leukotrien. Dalam hal efeknya

terhadap sistem imun adalah dengan menurunkan kegiatan

dari sistem limfatik, mereduksi imunoglobulin serta

konsentrasi komplemen, presipitasi limfositopenia dan

mengganggu ikatan antigen-antibodi. Mendasar pada

mekanisme kerja maka penggunaan triamcinolone ini sangat

luas mulai dari alergi sampai pada efek perbaikan pengaturan

cairan sel otak dengan kata lain edema otak baik akibat

cedera ataupun tumor.22,23

Penggunaan triamcinolone tentu

juga tidak terlepas dari efek samping sebagaimana efek

kortisol lainnya.

Efek Pemberian KortikosteroidEfek terapeutik dari kortisol bisa paralel dengan efek

samping terutama jika pemberian dengan jangka waktu yang

lama. Hal ini yang terjadi pada metabolisme karbohidrat

yang menyebabkan glukoneogenensis di perifer dan hepar.

Di perifer, glukokortikoid menyebabkan mobilisasi asam

amino dari beberapa jaringan, merupakan efek katabolik

yang menyebabkan atrofi otot dan osteoporosis. Asam amino

yang dimobilisasi ini dibawa ke hepar digunakan sebagai

substrat enzim yang berperan dalam produksi glukose dan

glikogen.4,6-8,14,25

Efek terhadap katabolisme lemak dalam

jangka panjang akan menyebabkan gangguan distribusi

lemak seperti moon face, buffalo hump, dan lemak

ekstremitas akan berkurang.6,8,14

Efek kortikosteroid terhadap

keseimbangan elektrolit menyebabkan gangguan reabsorpsi

ion Na+ serta sekresi K+ dan H+ di ginjal dan menghambat

absorpsi Ca2+ di usus.6,7,14

Efek katabolisme ini perlu

terutama terhadap fungsi kardiovaskuler dan susunan saraf

pusat (SSP) dalam mempertahankan kadar gula darah serta

elektrolit yang secara langsung bisa berpengaruh terhadap

gangguan neuropsikiatri serta aktivitas motorik.4,6,7,14

Efek

antiinflamasi dan imunosupresi berperan dalam mengurangi

aktivitas peradangan melalui peningkatan konsentrasi

netrofil dan penurunan limfosit (T dan B), monosit, eosinofil,

basofil. Kortikosteroid dapat menekan timbulnya gejala

Page 21: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 79

inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik ataupun

alergen.26

Efek imunosupresi dari kortikosteroid mendasar

pada kesanggupan untuk menginduksi limfositopenia serta

menurunkan diferensiasi dan proliferasi limfosit. Hal ini

dilakukan dengan mengganggu komunikasi intraseluler di

antara leukosit dengan produksi limfokin terutama IL-1, IL-

2 dan TNF, dengan demikian menghambat fungsi makrofag.27

IndikasiSelain indikasi sebagai terapi substitusi terhadap defisiensi

pada insufisiensi adrenal akut dan kronik atau hipoplasia

adrenal kongenital maka penggunaan kortisol lebih banyak

bersifat empiris. Penggunaan kortisol pada artritis, korditis

reumatik, penyakit ginjal, penyakit kolagen, asma bronkial,

alergi, kulit, tumor, syok dan edem serebral mendasar pada

efek metabolisme dan efek katabolisme, antiinflamasi,

immunosupresan, dan juga sebagai antiproliferatif.6,7,28-30

Penggunaan kortikosteroid pada operasi tumor otak pada

awalnya adalah untuk mengurangi edema otak yang

kemudian digunakan secara meluas pada kasus-kasus di

neurologi. Ternyata bahwa keberhasilan kortikosteroid

terhadap hilangnya edema pada otak juga bergantung pada

kecepatan tindakan pemberian serta dosis dan jenis

kortikosteroid.28,31-33

Edema serebral pada cedera otak dapat

bersifat fokal ataupun difus yang dapat terjadi karena

gangguan membran sel neuron atau gangguan blood brain

barrier (BBB).34-36

Pendapat mengenai kegunaan kortisol

pada cedera otak masih kontroversial. Beberapa peneliti

menyatakan bahwa pemberian kortisol memperlihatkan

perbaikan klinis pada cedera otak berat, sedangkan yang

lainnya menyatakan tidak ada perbaikan yang berarti.34-36

Sebenarnya alasan perbaikan ini dapat diterangkan karena

pada cedera otak, sel otak sendiri rusak ataupun mati

sehingga pembentukan kortikosteroid aktif melalui

mekanisme feed back tidak terjadi oleh sebab itu dibutuhkan

pemberian dari luar.37,38

Pemberian metilprednisolon pada trauma kepala

misalnya makin cepat diberikan makin baik hasilnya.

Mekanisme kerja metilprednisolon terletak pada peroksidasi

lipid di membran sel dan sel organel. Lipid yang teroksidasi

akan merubah struktur dan fungsi membran sel. Sedangkan

fungsi lainnya adalah mencegah terjadinya perluasan iskemia

yang progresif sesudah trauma serta mencegah akumulasi

kalsium intraseluler, mencegah kerusakan struktur

neurofilamen, menghambat proses hidrolisa lemak membran

yang membentuk tromboksan A2 dan prostaglandin F2.38

Metilprednisolon adalah salah satu golongan glukokortikoid

yang banyak diteliti dan dikembangkan terutama pada

trauma medula spinalis.5,39-41

Pemberian kortikosteroid pada tumor di otak awalnya

adalah untuk mengurangi edema pada tumor otak sekunder/

metastasis sehingga mengurangi pendorongan massa.

Penggunaan deksametason untuk edema vasogenik

didapatkan hasil yang baik. Secara keseluruhan

deksametason menurunkan jumlah cairan dalam otak yang

terlihat dalam perbaikan klinik Pada gambaran elektron

mikroskop terlihat pengurangan pembengkakan dari

prosesus glia, parenkim dan myelin sheat.33,43,44

Dari hasil

penelitian diketahui bahwa kelainan dini yang ditemukan

pada trauma adalah terbentuknya koagulasi fibrinolisis,

pembentukan kompleks kalikrein-kinin demikian juga

aktivasi sistem komplemen.28

Pemberian kortikosteroid pada

penderita fraktur multipel membuktikan penurunan insiden

emboli dan insufisiensi pulmonal sebagai manifestasi dari

adult respiratory distress syndrome (ARDS).42,43

Ini

mungkin disebabkan oleh inhibisi agregasi granulosit dengan

demikian menghindarkan produksi toksik oksigen radikal

bebas yang bisa merusak sel endotel kapiler.43

Pengaruh

pemberian kortikosteroid sedini mungkin pada penderita

multiple thorax injury adalah sebagai preventif terhadap

kerusakan membran dengan demikian pengaruhnya

terhadap edem otak.31

Pemberian kortikosteroid akan

menurunkan respons inflamasi. Selain dari pada itu

kortikosteroid juga akan mengurangi sifat pirogen dari

leukosit.28

Dari hasil percobaan pada hewan ditemukan

bahwa menurunnya jumlah eosinofil kemungkinan

disebabkan oleh banyaknya eosinofil yang keluar dari

sirkulasi.29

Pada infeksi otak umumnya penggunaan kortikosteroid

dianggap sebagai terapi adjuvans antiinflamasi yang

diberikan bersama dengan antibiotik. Biasanya diberikan

pada keadaan /adanya gejala-gejala: peningkatan tekanan

intrakranial, ensefalitis, arachnoiditis, defisit neurologi

fokal, peningkatan protein atau tanda-tanda blok spinal.

Pada beberapa penelitian dikatakan penggunaan

kortikosteroid akan menurunkan jumlah cairan otak, resistan

CSF, tekanan intrakranial, edema serebral, laktat CSF

(penelitian hewan) tetapi pada manusia didapatkan

menurunnya TNF alfa, IL-1. prostaglandin, platelet

activating factor, laktat, protein dan kadar glukosa.44

Penggunaan kortikosteroid pada bakteri infeksi otak yang

mendasar pada patogenesis infeksi sel neuron. Selama infeksi

terjadi kerusakan sel disertai inflamasi membran

subarachinoid ruang serebrospinal, piamater dan

arachinoid dari susunan saraf pusat dan medula spinalis.

Beberapa peneliti menyatakan akan terjadi komplikasi

sebesar 50% selama infeksi dan 3-22% meninggal.45

Bakteri

meningitis akan menginduksi sel-sel inflamasi seperti

neutrofil pada ruang serebrospinal dan jaringan otak.

Keadaan ini akan memberikan gejala-gejala yang hampir

menyeluruh pada sel otak seperti kerusakan BBB (kerusakan

endotelial, pinocitosis meningkat, tight junction yang

melebar), edema susunan saraf pusat disertai peningkatan

tekanan intrakranial serta komplikasi serebrovaskular

seperti gangguan cerebral blood flow , kehilangan

autoregulasi, vaskulitis, iskemia, vasospasmus, trombosis

yang mengakibatkan ensefalopati.44

Efek pemberian kortikosteroid pada meningitis

tuberkulosis bertujuan mengurangi terjadi proses eksudasi

yang dapat merusak pembuluh darah terutama pada

meningitis basalis. Komplikasi yang bisa terjadi adalah

hidrosefalus, kejang, stroke dan blok spinal.44

Prinsip

penggunaan kortikosteroid pada infeksi medula spinalis

hampir sama dengan infeksi otak lainnya hanya cara

pemberian kortikosteroid dapat diberikan intratekal melalui

punksi lumbal misalnya pada arachinoiditis.46

Page 22: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200780

Daftar Pustaka1. LaRochelle GE Jr, LaRochelle AG, Ratner RE, et al. Recovery of

hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis in patients with rheumaticdisease receiving low dose prednisone. Am J Med 1992; 95:258-64

2. Howe CR, Gardner GC, Kadel NJ. Perioperative medicationmanagement for the patient with rheumatoid arthritis. J Am AcadOrthop Surg 2006; 14:544-51

3. Bowman WC, Rand MJ. Texbook of pharmacology. 2nd ed.;1980.p.1929-43

4. Klawans HL, Weiner WJ. Texbook of clinical neuropharmacology .1981.p. 283-92

5. Brachen MB, Shepard MJ, Holford TR, et al. Administration ofmethylprednidolone for 24 or 48 hours or trilazard mesylate for 48hours in treatment of acut spinal cord injury. JAMA 1997; 277:1597-603

6. Drug Evaluation Annual American Medical Association 1995; 83:1941-61

7. Goodman and Gilman’s. The pharmacological basis of therapeutics.McGraw-Hill Co; 1996.p.1459-85

8. Chrousos GP. The hypothalamic-pituitary-adrenal axis and immune-mediated inflammation. N Eng J Med 1995; 332: 1351-62

9. Wolthers O, Juul A, Hansen M, et al. The insulin like growth factorsaxis and collagen turnover in asthmatic children treated with inhaledbudesonide. Acta Pediatr 1995; 84: 393-7

10. Soferman R, Sapir N, Spirer Z, et al. Effects of inhaled steroids andinhaled cromolyn sodium on urinary growth hormone excretion inashmatic children. Pediatr Pulmonal 1998; 26:339-43

11. Purba JS, Raadsheer FC, Hofman MA, et al. Increased number ofcorticotropin-releasing hormone (CRH) neurons in the hypothalamicparaventricular nucleus in patients with Multiple Sclerosis.Neroendocrinol 1995; 62: 62-70

12. Raadsheer FC, Sluiter AA, Ravid R, et al. Localization of corticotropin-releasing hormone (CRH) neurons in the paraventricular nucleusof the human hypothalamus; age-dependent colocalizationwithvasopressin. Brain Res 1993; 615: 50-62

13. Aquilera G, Harwood JP, Wilson JX, et al. Mechanisms of action ofcorticotropin release in rat pituitary sells. J Biol Chem 1983; 258:8039-45

14. Fauci AS. Glucocorticoid teraphy: Mechanisms of action and clinicalconsiderations. Ann Intern Med 1976; 84: 304-15

15. Guyton AC. Texbook of medical physiology. 7th edition 1986.p. 901-25

16. Hofman MA, Goudsmit E, Purba JS, et al. Morphometric analysis ofthe supraoptic nucleus in the human brain. J Anat 1990; 172:259-70

17. Müller OA, Stalla GK and von Werder K. CRH in Cushing’s syndroma.Horm Metab Res 1987(Supp); 16: 51-8

18.Nakamishi S, Kita T, Taii S, et al. Glucocorticoid effect on the level ofcorticotropin messenger RNA activity in rat pituitary. Proc Natl AcadSci USA 1977; 74:3283-6

19. Hauger RL, Millan MA, Catt KJ, et al. Differential regulation of brainand pituitary corticotropin-releasing factor receptors bycorticosterone. Endocrinology 1987; 120: 1527-33

20. Funder JW. Adrenal steroid: new answers, new questions. Science1987; 237:236-7

21. Hollenberg SM, Giguere V, Segui P, et al. Colocalization of DNA-bindingand transcriptional activation function in the human glucocorticoidreceptor. Cell 1987; 49: 39-46

22.Godawski PJ, Picard D and Yamamoto KR. Signal transduction andtranscriptional regulation by glucocorticoid receptor-LexA fusionprotein. Science 1988; 241:812-6

22. Drug facts and comparisons. St. Luis: Facts and Comparison1997.p.122-3

23. Almawi WY, Melemedjian OK, Rider MJ. An alternate mechanism ofglucocorticoid anti-proliferative effect: promotion of a Th2 cytokine-secreting profile. Clin Transplant 1999; 13: 365-374

24. Matas AJ, Kandaswamy R, Humar A, et al. Long-termimmunosuppression without maintenance prednisone, after kidneytransplantation. Ann Surg 2004; 240: 510-7

25. American College of Rheumatology. Task Force on OsteoporosisGuideline. Recommendations for the prevention and treatment ofglucocorticoid-induced osteoporosis. Arthritis Rheum 1996; 39:1791-80

26. Jackson WL Jr, Callagher C, Myhand RC, et al. Medical managementof patients with multiple organ dysfunction arising from acuteradiation syndrome. Br J Radiol Supp 2005; 27:161-8

27.Soni A, Pepper GM, Wyrwinski PM, et al. Adrenal insufficiency occuringduring septic shock: incidence, outcome, and relationship toperipheral cytokine levels. Am J Med 1995; 98: 266-71

28. Bernard F, Outtrim J, Menon DK, et al. Incidence of adrenalinsufficiency after severe traumatic brain injury varies accordingto definition used: clinical implications. Br J Anaesth 2006; 96:72-6

29. Hirano T, Homma M, Oka K, et al. Individual variations in lymphocyte-responses to glucocorticoids in patients with bronchial asthma:comparison of potencies for five glucocorticoids. Immunopharmacol1998; 40: 57-66

30. Andersen V, Bro-Rasmussen F, Hougaard K. Autoradiogrphic studiesof eosinophil kinetics: effects of cortisol. Cell Tissue Kinet 1969; 2:139-46

31. Leiguarda R, Sierra J, Pardal C, et al. Effect of large doses of methylprednisolone on supratentorial infra cranial tumors. Eur Neurol 1985;24: 23-32

32. Lundstrom S, Furst CJ. Symptoms in advanced cancer; relationshipto endogenous cortisol levels. Palliat Med 2003; 17:503-8

33. Walton SJ. Brains’disease of the nervous system 9th ed 1987.p.137-71

34. Jennet B,Teasdale G. Mangement of head a injuries. F. A. DavisCompany; 1981.p.68-146

35. Evans RW. Neurology and trauma. WB Saunders Company; 1996.p.53-90

36. Dellen JR. Cranio cerebral trauma in neurology, In: Clinical Practice2nd ed. 1996.p.941-91

37. Barrow DL. Complication and sequelae of head injury. 1992.p.70-138. Malkoff MD. Steroid and other measures to control ICP. AA Neurol

1994; 5:79-8639. Braken MB, Shepard MJ, Collins WF, et al. A randomized, controlled

trial of methylprednisolone or naloxone in the treatment of acutespinal-cord injury: results of the Second National Acute Spinal CordInjury Study. N Eng J Med 1990; 322: 1405-11

40. Young W. Methylprednisolone treatment of acute spinal cord injury.Int J Neurotrauma 1991; 8: S43-46

41. Hall ED. The neuroprotective pharmacology of methylprednisolone.J Neurosurg 1992; 76:13-22

42. Hamrahian AH, Oseni TS, Arafah BM. Measurements of serum freecortisol in critically ill patients. N Eng J Med 2004; 350:1629-38

43. Van der Merwe CJ, Louw AF, Welthagen D, et al. Adult respiratorydistress syndrome in cases of severe trauma - the prophylacticvalue of methylprednisolone sodium succinate. S Afr Med J 1985:67: 279-84

44. Coyle PK. Corticosteroid treatment of CNS infections. The upside.Ann Neurol 1998; 13:37-62

45. Barucha NE. Infection of nervous system in neurology in clinicalpractice. 2nd ed; 1996.p.1181-241

46. Aminoff MJ, Greenberg DA. Clinical neurology. 3rd edition; 1996.p. 23-7

Page 23: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 81

Infeksi Gonore Pada AnakAM Adam, Rizqa Haerani SaenongSub. Bag. IMS, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit & KelaminFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

PendahuluanDitemukannya infeksi gonore pada anak, hampir selalu

merupakan suatu petunjuk adanya penyalahgunaan seksual

(sexual abuse). Identifikasi infeksi pada anak harus

mendorong ke arah adanya kontak dengan orang dewasa.1-9

Definisi anak secara medis adalah seseorang yang

berumur kurang dari 18 tahun dan remaja adalah seseorang

yang berusia 10-18 tahun.10-12 Sedangkan untuk aspek

medikolegalnya adalah mengacu pada ketentuan hukum yang

berlaku, misalnya pada UU no. 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, yang dimaksudkan dalam UU ini adalah

seseorang yang sejak berada dalam kandungan sampai

berumur 18 tahun.13

Mayoritas infeksi gonore dilaporkan mengenai anak wanita

tetapi jumlahnya meningkat pada anak laki-laki dalam masa

remaja dan dewasa muda. Infeksi gonokokal pada anak dapat

menghasilkan berbagai gejala yang berhubungan dengan usia.

Penyelidikan yang luas mengenai sindrom penyakit gonokokal

pada dewasa telah menunjukkan adanya interaksi yang luas dan

akomodasi antara struktur permukaan gonokokal dan lingkungan

hospes. Belum ada studi tentang infeksi gonokokal pada bayi atau

anak prepubertas yang menyelidiki interaksi antara hospes-

mikroba.4

EpidemiologiInsiden dan prevalensi penyalahgunaan seksual pada anak

sulit diperkirakan, terutama karena banyak kasus yang sulit

dideteksi. Sekitar 80-90% anak-anak abused adalah anak

perempuan, dengan umur rata-rata 7-8 tahun.14-16

Dalam 20 tahun terakhir, jumlah kasus gonore yang

dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention

(CDC), telah menurun secara dramatis. Namun jumlah

penurunan kasus pada anak dan remaja kurang dramatis

dibandingkan kasus orang dewasa, sehingga pada remaja dan

dewasa muda antara usia 15 dan 24 tahun merupakan insidens

tertinggi penyakit ini.7 Penularan seksual adalah penyebab

utama penyebaran gonore. Dengan risiko penularan antara 20-

50% setiap kali kontak. Pada individu yang terkena gonore, ko-

Abstrak. Ditemukannya infeksi gonore pada anak, merupakan suatu petunjuk adanya penyalahgunaanseksual. Pada bayi baru lahir, penularan dapat terjadi melalui jalan lahir yang terinfeksi organisme ini, sehinggapada bayi baru lahir dapat ditemukan oftalmia neonatorum.

Kata kunci: infeksi gonore, N. gonorrhoeae, penyalahgunaan seksual pada anak, oftalmia neonatorum

infeksi dengan Chlamydia dapat mencapai 15-20%.2,16

Prevalensi gonore yang dilaporkan dari suatu studi

penyalahgunaan seksual pada anak yaitu antara 2,4-11,2%.

Risiko terjadinya oftalmia gonokokal pada bayi baru lahir dari

ibu yang tidak mendapat terapi gonore adalah sekitar 30%.10,11

Dari suatu studi di Amerika ditemukan prevalensi gonore

yang tinggi pada anak perempuan prepubertas dengan duh

tubuh. Dari 87 anak perempuan yang diperiksa di klinik

pediatrik dengan keluhan duh tubuh, panas, nyeri atau gatal,

ditemukan 9% dari 43 anak dengan N. gonorrhoeae. Sebelum

didiagnosis sebagai infeksi gonokokal, penyalahgunaan seksual

tidak dipertimbangkan pada anak-anak tersebut.17

Mengetahui bahwa penyalahgunaan seksual merupakan

masalah yang sering terjadi, harus seorang dokter harus

mempertimbangkan adanya hal tersebut, jika memeriksa

seorang anak yang datang dengan infeksi menular seksual

ataupun trauma akibat garukan, lecet, laserasi atau fisura,

bekas luka pada anus ataupun introitus.6,11,18

Ketika ditemukan suatu penyalahgunaan seksual, maka

dapat dipertimbangkan rekomendasi Clayden:17

1. Riwayat yang jelas harus didapatkan, dan ini termasuk, jika

terdapat gangguan emosional atau sang anak memberi

petunjuk adanya penyalahgunaan seksual yang telah terjadi.

Hal ini merupakan suatu tanda peringatan.11

2. Deteksi infeksi yang ditularkan secara seksual sangatlah

penting. 13,18 Diagnosis organisme penyebab harus

dilakukan di laboratorium.11

3. Jika seorang anak berbaring secara pasif pada pemeriksaan

di tempat tidur pasien dan tidak menolak pemeriksaan

inspeksi anal dengan cara tightening/pengetatan levator ani

atau muskulus sfingter eksternal. Maka hal ini merupakan

suatu tanda peringatan.11

4. Jika terdapat tanda relaksasi anal, maka hal ini perlu

dicurigai, jika tidak terdapat distensi abdomen, terutama

jika tidak ditemukan relaksasi anal pada seorang anak

yang sedang tidak bersama dengan pelaku abused.17

5. Ekskoriasi atau memar di sekitar anus atau bagian dalam

sekitar bokong atau paha.17

TINJAUAN PUSTAKA

Page 24: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200782

EtiopatogenesisSeperti bakteri gram-negatif lainnya maka pada N. gonorrhoeae

terdapat pembungkus sel yang tersusun atas tiga komponen

makromolekular, yaitu membran luar, lapisan tengah

peptidoglikan, dan membran dalam sitoplasmik. Membran luar

adalah yang paling penting pada stadium awal perlekatan dan

invasi organisme ini.5 Membran ini mengandung lipooligosakarida,

fosfolipid dan berbagai protein.6 Protein ini berhubungan dengan

perlekatan, invasi seluler dan resistensi terhadap efek bakterisid.

Lipooligosakarida gonokokal memiliki aktivitas endotoksik dan

berperan pada kematian sel-sel mukosa.2,20

Infeksi primer umumnya terjadi di epitel kolumnar uretra dan

duktus serta kelenjar parauretra baik wanita maupun pria, kelenjar

bartolini, serviks, konjungtiva dan rektum. Infeksi primer ini dapat

juga terjadi pada epitel skuamosa yang lunak pada vagina anak

wanita. Perlengketan pada epitel dipengaruhi oleh bakteri dan

faktor lainnya.20,21

Setelah melekat, mikroorganisme ini akan

diendositosis dan ditransportasikan ke rongga subepitel. Setelah

itu infiltrasi sejumlah lekosit dan respon netrofil menghasilkan

terbentuknya pus dan onset gejala.2,5,16,20

Gambaran KlinisOftalmia Gonokokokal Neonatorum

Pada periode perinatal, manifestasi klinis gonore yang paling

sering adalah oftalmia gonokokal neonatorum.5 Gambaran

klinis yang terlihat jelas berupa, konjungtivitis purulen yang

terjadi 2 sampai 5 hari setelah kelahiran melalui kanal vagina.4

Yang terinfeksi jika tidak diobati, dapat berlanjut secara cepat

menjadi ulkus kornea, perforasi bola mata, dan kebutaan.2,16,24

Perjalanan penyakit mungkin saja lambat, dimana onset

dapat terjadi lebih dari 5 hari setelah kelahiran, hal ini dapat

disebabkan oleh supresi parsial dari profilaksis oftalmik,

ukuraninokulum yang kecil, atau oleh karena variasi strain-

to-strain pada virulensi gonokokal. Konjungtivitis

gonokokokal kronis ringan yang terjadi selama 3 bulan telah

dilaporkan pada seorang bayi usia 4 bulan. Pencegahan

oftalmia gonokokal semakin meningkat dengan tingginya

penggunaan metode Crede yang merefleksikan menurunnya

sindrom ini sebagai penyebab kebutaan.4

Infeksi Genital

Pada anak keluhan yang paling sering ditemukan adalah infeksi

genital pada uretra atau vagina.4,23

Pada anak laki-laki dengan

uretritis, duh tubuh uretra mukopurulen dapat disertai disuria,

dengan masa inkubasi 2-5 hari setelah kontak dengan pasangan

yang terinfeksi. Uretritis gonokokal ini lebih jarang ditemukan

dibandingkan vaginitis pada anak perempuan. Uretritis ini

menyerupai gejala yang terdapat pada pria dewasa. Sama

halnya dengan vaginitis pada uretritis juga terdapat piuria

asimtomatik. Jika tidak diobati biasanya gejala akan hilang

dengan sendirinya, tetapi infeksi tetap bertahan. Umumnya

uretritis dapat berlanjut menjadi epididimitis akut.3,4,16

Pada anak perempuan prepubertas biasanya terdapat

vaginitis purulen karena epitel prepubertas vagina rentan

terhadap gonokokus dan chlamydia.16

Masa inkubasi adalah 2

sampai 7 hari pada pasien simtomatik. Pada anak pubertas,

gambaran klinis yang ditemukan serupa dengan orang

dewasa.3,4

Vaginitis gonokokal adalah bentuk yang paling sering

ditemukan pada anak.11,14,24,25

Vaginitis gonokokal ini merupakan

keluhan ringan, yang mungkin disebabkan karena hanya

terbatas pada mukosa superfisial. Mayoritas gejala yang

ditemukan pada anak yaitu: vagina dan duh tubuh yang agak

mengeras mengotori celana dalam; sedangkan tanda lainnya

mungkin tidak ditemukan, atau dapat merupakan suatu tanda

infeksi sistemik.4,5

Infeksi Lokal Di Luar Traktus Genital

Selain di traktus genital infeksi gonore jarang ditemukan dan

infeksi tersebut dapat mengenai daerah anus, tenggorokan

dan mata. Kolonisasi rektal gonokokal biasanya

asimtomatik,2 tetapi dapat ditemukan duh mukopurulen

yang tidak nyeri, atau lebih jarang lagi proktitis dengan

tenesmus, pruritus, dan perdarahan rektal.11,16,23,24

Infeksi faring adalah daerah yang jarang terkena infeksi

gonokokal (<5%). Infeksi terjadi akibat hubungan orogenital.

Biasanya asimtomatik,2 tetapi dapat terjadi faringitis dengan

limfadenopati servikal.16,23,24

Konjungtivitas gonokokal biasanya didapatkan melalui

otoinokulasi dari infeksi anogenital, dengan onset berupa

konjungtivitas purulen. Serupa dengan bentuk neonatal, infeksi

ini dapat berkembang menjadi ulkus kornea dan perforasi.8,16

KomplikasiPenyakit Diseminata

Infeksi sistemik pada neonatus dengan manifestasi yang jarang

dan biasa, disebut infeksi gonokokal diseminata (Disseminated

Gonococcal Infection/DGI) atau sindrom dermatitis dan artritis

akut. Artritis gonokokal pada anak dapat menyerupai gejala

pada orang dewasa.3 Penyebaran hematogen dapat mengenai

kulit dan sendi (sindrom artritis-dermatitis) dan dapat

ditemukan pada 0,5-3% mereka yang tidak diobati.16,26

Bakteremia menyebabkan ruam makulopapular dengan

nekrosis, tenosinovitis, dan artritis.4,23

Komplikasi lain dari gonore jarang dilaporkan pada literatur

pediatrik. Sepsis gonokokal, meningitis, endokarditis,

konjungtivitis, dan hepatitis,3 jika terjadi pada anak dapat

berakibat fatal.4,23

Pelvic Inflamatory Disease (PID)

Infeksi vaginal pada anak atau remaja wanita dapat berlanjut

mengenai tuba falopi atau menyebar ke pelvik, yang

mengakibatkan perihepatitis dan PID; pada remaja dapat

menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik, dan hal ini

merupakan penyebab tunggal infertilitas yang paling sering

pada wanita muda.4,23

Faktor risiko PID dan salpingitis akut pada remaja termasuk

usia muda saat mendapat infeksi gonokokal, riwayat PID

sebelumnya, pasangan seksual multipel, dan penggunaan

kontrasepsi IUD. Sekitar 15% remaja dengan gonore akan

berlanjut menjadi PID.4,27

PID merupakan kumpulan berbagai gejala yang bervariasi

termasuk demam, nyeri abdomen bawah, disuria, sering

berkemih, duh endoserviks purulen, dispareunia, nyeri

adneksa.27,28

Diagnosis PID dapat menjadi sulit, dan diagnosis

banding pada remaja termasuk sejumlah kondisi pada perut

Page 25: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 83

bawah, seperti apendisitis, kehamilan ektopik, adenitis

mesenterik, pielonefritis dan aborsi septik.4

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram dari

eksudat pada mata, vagina, uretra, lesi kulit, cairan sinovial,

sangat berguna dalam penilaian awal.3,23

Isolasi organisme dimulai dengan pengambilan bahan untuk

kultur dari daerah yang terinfeksi. Adanya diplokokus gram

negatif intrasel pada pewarnaan Gram diduga kuat adalah

infeksi gonokokal. Kultur darah sangat berguna pada

pemeriksaan neonatal dan penyakit diseminata.16,25

Karena implikasi legal dalam mendiagnosis infeksi gonore pada

anak, hanya prosedur kultur standar untuk mengisolasi N.

gonorrhoeae yang digunakan pada anak. Tes lain seperti

pewarnaan Gram, DNA probes, Enzim Immunoassay test (EIA),

Nucleic Acid Amplification Test (NAAT), tidak digunakan sendiri.4

Tidak satupun dari tes ini yang direkomendasikan FDA (Badan

Pengobatan Amerika) sebagai penggunaan untuk pengambilan

spesimen dari orofaring, rektum, atau traktus genital seorang anak.

Spesimen dari vagina, uretra, faring, atau rektum, harus pada

media selektif isolasi N. gonorrhoeae dan semua ditentukan

setidaknya dengan dua uji dengan prinsip berbeda (biokimia,

substrat enzim atau semua serologik). Isolat harus disimpan untuk

uji ulang atau tambahan lainnya.24

Menurut Siegel et al, pada anak perempuan prepubertas, kultur

N. gonorrhoeae hanya dibutuhkan jika terdapat duh tubuh saat

pemeriksaan, atau jika anak itu beresiko tinggi mendapat PMS.29,30

Sedangkan menurut American Academy of Pediatrics

(AAP), jika terdapat sangkaan akan penyalahgunaan seksual

pada anak perempuan prepubertas dilakukan pemeriksaan

kultur pada oral, rektal uretral dan vaginal. Sementara pada anak

laki-laki dilakukan kultur oral dan rektal, bukan kultur uretral

kecuali terdapat duh tubuh uretra, disuria, tes esterase lekosit urin

yang positif dan atau eritema.2,29

PenatalaksanaanRekomendasi terapi pada anak dengan gonore berdasarkan

pedoman dari Centers for Disease Control (CDC) dari

Amerika adalah sebagai berikut: pasien anak-anak/pediatrik

mencakup mulai dari sejak lahir hingga remaja. Ketika

seorang anak telah pubertas atau berat badan melebihi 45

kg, maka harus diterapi dengan regimen dosis sebagaimana

orang dewasa.4,24

Akibat prevalensi resistensi penisilin dan tetrasiklin pada

N. gonorrhoeae, pemberian golongan cephalosporin

direkomendasikan sebagai terapi awal pada anak.2,16

Cephalosporin secara parenteral direkomendasikan

penggunaannya pada anak-anak; ceftriaxone terbukti dapat

diberikan pada semua infeksi gonokokal pada anak4 dan

cefotaxime sodium hanya dapat diberikan pada oftalmia

gonokokal. Antimikroba lain yang diberikan secara oral, telah

terbukti efektif untuk pengobatan uretritis gonokokal dan servisitis

pada dewasa dan remaja yang lebih tua meliputi ciprofloxacin,

ofloxacin dan levofloxacin. Fluoroquinolones secara umum

tidak direkomendasikan pada mereka yang kurang dari 18

tahun, juga di kontraindikasikan pada wanita hamil.23

Pada Neonatal. Bayi dengan oftalmia neonatorum, abses

skalp, atau infeksi diseminata harus dirawat di rumah sakit.

Kultur darah, duh dari mata atau tempat lain yang terinfeksi,

dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan menentukan

antimikroba yang sesuai. Tes untuk infeksi yang dapat terjadi

bersamaan seperti chlamydia, sifilis kongenital, dan HIV juga

harus dilakukan. Ibu dan pasangannya juga diperiksa dan

mendapat terapi gonore (lihat Gambar 1).23,24

Gambar 1. Pedoman penatalaksanaan infeksi gonokokal pada

bayi baru lahir

Bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi gonokokal. Jika

profilaksis diberikan dengan benar, bayi yang lahir dari ibu dengan

infeksi gonore biasanya jarang terdapat oftalmia gonokokal.23

Infeksi Diseminata. Terapi yang direkomendasikan,

termasuk untuk oftalmia neonatorum, adalah ceftriaxone (25-

50 mg/kg, IV atau IM, dosis tunggal, tidak melebihi 125 mg).

Bayi dengan oftalmia gonokokal harus mendapat irigasi pada

mata dengan larutan salin fisiologis sesegera mungkin sampai

duh tersebut tereliminasi. Bayi tersebut harus dirawat.2,5,23

Antimikroba topikal dapat diberikan tapi tidak terlalu berguna.4,24

Infeksi Nondiseminata. Terapi yang direkomendasikan

untuk artritis dan septikemia adalah ceftriaxone 25-50 mg/kg/

hari dosis tunggal atau cefotaxime selama 7 hari. Cefotaxime

direkomendasikan untuk bayi dengan hiperbilirubinemia. Jika

terdapat meningitis, terapi harus dilanjutkan 10 sampai 14 hari.4,23

Infeksi Gonokokal pada Anak dan Remaja. Rekomendasi

terapi untuk infeksi gonokokal, berdasarkan usia dan berat

badan (lihat tabel 2 dan 3). Pasien dengan infeksi endoserviks

yang tidak komplikasi, uretritis, atau proktitis yang alergi

dengan sefalosporin harus diterapi dengan spectinomycin (40

mg/kg, maksimum 2 g, IM dosis tunggal), jika mereka belum

cukup umur untuk mendapat fluoroquinolones. Doxycycline

atau azithromycin dihydrate harus diberikan jika diduga

terdapat infeksi chlamydia yang bersamaan.23,24

Pasien dengan infeksi gonokokal faring yang tidak

komplikasi mendapat terapi ceftriaxone 125 mg IM dosis

tunggal. Bagi yang tidak dapat mentoleransi ceftriaxone

harus mendapat ciprofloxacin 500 mg, oral, dosis tunggal.

Spectinomycin cukup efektif 50% untuk terapi gonore

faringeal, jadi dapat digunakan pada mereka yang tidak dapat

menerima ceftriaxone atau ciprofloxacin , dan kultur

faringeal harus dilakukan dalam 3 sampai 5 hari terapi untuk

mengetahui eradikasi.23,24

Dirawat di Rumah Sakit

Infeksi fokal seperti oftalmia neonatorum

Ceftriaxone 25-50 mg/kg, dosis tunggal, IV atau IM, tidak melebihi 125 mg

Irigasi mata dengan larutan saline, tidak perlu antibiotik topikal

Infeksi diseminata, termasuk meningitis, artritis, sepsis

Ceftriaxone 25-50 mg/kg, dosis tunggal, IV atau IM, tidak melebihi 125 mg atauCefotaxime 100 mg/kg dosis tunggal, IV atau IM

Page 26: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200784

Tabel 1. Pedoman penatalaksanaan infeksi gonokokal tanpa

komplikasi: terapi pada anak dan remaja23

Tabel 2. Pedoman penatalaksanaan infeksi gonokokal dengan

komplikasi: terapi pada anak dan remaja

Daftar Pustaka1. Feingold DS, Mansur CP. Gonorrhea. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,

Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th ed. New

York: McGraw-Hill; 2003.p.2205-92. Darville T. Gonorrhea. Pediatrics 1999; 20:125-83. Todd G, Krause W. Sexual transmitted diseases. In: Schachner LA, Hansen RC. Pediatric

Dermatology. 3rd ed. Edinburgh: Mosby; 2003.p.1195-201

4. Gutman LT. Gonococcal diseases in infants and children. In: Holmes KK, Mardh P, SparlingML, Walter ES, Piot P, eds. Sexually Transmitted Diseases. 3

rd ed. New York (USA). McGraw-Hill;

1999.p.1145-535. Young H, McMillan A. Gonorrhea. In: McMillan A, Young H, Ogilvie MM, Scott GR, eds.

Clinical practice in sexually transmissible infections. London:WB Saunders; 2002.p.313-496. Faro. Sexually transmitted diseases in women. Philadelphia:Lippincot Williams &

Wilkins; 20037. Clutterbuck D. Sexually transmitted infections and HIV. Edinburg: Elsevier Mosby; 20048. Ram S, Rice PA. Gonococcal infections. Available at http://www.harrisononline.com.

Accessed April 20069. Webster SB. Nontreponemal sexually transmissible diseases. In: Moschella SL,

Hurley HJ. Dermatology. 3rd ed. Philadelphia:WB Saunders; 1992.p.987-91

10. Thomas A, Forster G, Robinson A, et al. National guideline for the managementofsuspected sexually transmitted infections in children and young people. ArchDis Child 2003; 88:303-11

11. Thomas A, Forster G, Robinson A, et al. National guideline for the management ofsuspected sexually transmitted infections in children and young people. Availableat http://www.bashh.org/guidelines/2002/adolescent_final_0903.pdf Accesed April 2006

12. Thomas A, Forster G, Robinson A, et al. National guideline for the management ofsuspected sexually transmitted infections in childrens and young people. SexTransm Inf. 2002; 78:324-31

13. Dirjen P2M Depkes RI. Pedoman penatalaksanaan infeksi menular seksual. Jakarta, 200414. American Academy of Pediatrics. Gonorrhea in prepubertal children. Pediatrics 1998;

101:134-515. Hammerschlag M. Sexually transmitted diseases in sexualy abused children: medical and

legal implication. Sex Transm Inf. 1998; 74:167-7416. Sung L, MacDonald NE. Gonorrhea: a pediatric perspective. Pediatrics 1998; 19:13-617. McMillan A. Some social, ethical, and medico-legal aspects of sexually transmissible

infections. In: McMillan A, Young H, Ogilvie MM, Scott GR, eds. Clinical practice in sexuallytransmissible infections. In: McMillan A, Young H, Ogilvie MM, Scott GR, eds. Clinical practicein sexually transmissible infections. London:WB Saunders; 2002.p.29-44

18. Margesson LJ. Pediatric vulvar disorders. In: Black MM, McKay M, Braude PR, Jones SAV,Margesson LJ. Obstetric and Gynecologic Dermatology. 2nd ed. Edinburg. Mosby; 2002.p.119-36

19. Johnson CF. Sexual abuse in children. Pediatrics 2006; 27:17-2720. Morse SA. Neisseria, moraxella, kingella, and eikenella. Available at http://

gsbs.utmb.edu/microbook/ch014.htm Accessed April 200621. Lau KH, Ho HF. Gonorrhea. Handbook of dermatology and venereology. Available at

http://www.hkmj.com Accessed April 200622. Talhari S, Benzaquen A, Orsi TA. Diseases presenting as urethritis/vaginitis:

gonorrhea, chlamydia, trichomoniasis candidiasis, bacterial vaginosis. Availableat http://www.aifo.it/english/resources/online/books/other/std/-Urethritis.pdf AccessedApril 2006

23. Gonococcal infections. Summary of infectious diseases. Available at http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2003/1/3.43

24. Centers for Diseases Control and Prevention. Guidelines for treatment of sexuallytransmitted diseases. MMWR 2002

25. Berhman AJ. Gonorrhea. Available at http://www.emedicine.com Accessed April 200626. Brown TJ. Yen-Moore A, Trying SK. An overview of sexually transmitted diseases

part I. J Am Acad Dermatol 1999; 41:511-2927. MacDonald NE, Brunham R. The effects of undetected and untreated sexually

transmitted diseases: pelvic inflammatory disease and ectopic pregnancy inCanada. Can J Human Sex 1997; 6:1-9

28. Pelvic inflammatory disease. Summary of infectious diseases. Available at http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2003/1/3.94 Accessed April 2006

29. Ingram DM, Miller WC, Schoenbach VJ, et al. Risk assessment for gonococcal andchlamydial infections in young children undergoing evaluation for sexual abuse.Pediatrics 2001; 107:e73-73

30. Ingram DL, Everett VD, Flick LAR, et al. Vaginal gonococcal cultures in sexual abuseevaluations: evaluation of selective criteria for preteenaged girl. Pediatrics 1999;99:e8-8

Penyakit Anak Prepubertas BB<45 kg Penyakit

Lihat tabel...

Anak BB≥45 kg dan usia > 8 thnInfeksi gonokokal diseminata

Ceftriaxone, 50 mg/kg per hari (maximum 1 g/hr), IV atau IM, sekali sehari selama 7 hari PLUS1 Azithromycin atau erythromycin

Infeksi gonokokal diseminata

Ceftriaxone, 1 g, IV atau IM, sekali sehari selama 7 hari4 ATAU Cefotaxime, 1 g, IV, setiap 8 jam selama 7 hari4 PLUS1 Azithromycin, 1 g, oral, dosis tunggal ATAU Doxycycline, 100 mg, oral, 2 kali sehari selama 7 hari

Meningitis atau endokarditis

Ceftriaxone, 50 mg/kg per hari (maksimum 2 g/hari), IV atau IM, setiap 12 jam; untuk meningitis, selama 10-14 hari; untuk endocarditis, selama paling tidak 28 hari PLUS1 Azithromycin atau erythromycin

Meningitis atau endokarditis

Ceftriaxone, 1-2 g, IV, setiap 12 jam; untuk meningitis, selama 10-14 hari; untuk endocarditis, selama paling tidak 28 hari.

Konjungtivitis5 Ceftriaxone, 50 mg/kg (maximum 1 g), IM, dosis tunggal

Konjungtivitis5 Ceftriaxone, 1 g, IM, dosis tunggal

Penyakit inflamasi pelvis

1Tambahan sebagai rekomendasi terapi infeksi gonokokal, terapi untuk Klamidia trakomatis juga direkomendasikan untuk dugaan adanya infeksi bersamaan.2Perawatan di RS dipertimbangkan, terutama untuk mereka yang rawat jalan respon gagal terhadap terapi dan mereka yang tidak sesuai dengan terapi yang diberikan.3Jika alergi obat β-lactam: ciprofloxacin (400 mg, IV, setiap 12 j) atau ofloxacin (400 mg, IV, setiap 12 j) atau levofloxacin (250 mg, IV, setiap hari), atau spectinomycin (2 g, IM, setiap 12 j). Terapi spectinomycin memerlukan kultur follow-up jika terdapat infeksi faring. Direkomendasikan perawatan di RS.4Secara alternatif, terapi parenteral dapat dihentikan 24 sampai 48 jam setelah ada perbaikan dan 7 hari dilanjutkan dengan agen antimikroba yang sesuai seperti ciprofloxacin (500 mg, oral, 2 kali sehari), ofloxacin (400 mg, oral, dua kali sehari), atau levofloxacin (500 mg, oral, sekali sehari). Fluoroquinolones dikontraindikasikan untuk wanita hamil, nursing women, dan biasanya pada mereka yang kurang dari 18 tahun. Fluoroquinolones sebaiknya tidak diberikan untuk infeksi yang didapat dari Asia, Pulau Pasifik termasuk Hawai, atau Kalifornia.

Rekomendasi terapi penyakit inflamasi

ATAU ATAU

PLUS DENGAN atau TANPA

ATAU ATAU

PLUS ATAU

CATATAN

Parenteral: Rejimen A2 Ambulatory: Rejimen A3 (oral)Cefotetan, 2 g, IV, setiap 12 j Ofloxacin,4 400 mg, oral, dua kali

sehari selama 14 hari

Cefoxitin, 2 g, IV, setiap 6 j Levofloxacin,4 500 mg, oral, dua kali sehari selama 14 hari

Doxycycline, 100 mg, oral atau IV, setiap 12 j

Metronidazole, 500 mg, oral, dua kali sehari selama 14 hari

Parenteral: Rejimen B5 Ambulatory: Rejimen BClindamycin, 900 mg, IV, setiap 8 j

Ceftriaxone, 250 mg, IM, sekali

Gentamicin: dosis awal, IV atau IM (2 mg/kg), lalu dosis maintenance (1.5 mg/kg) setiap 8 j. Dosis satu kali sehari dapat digunakan

Cefoxitin, 2 g, IM, plus probenecid, 1 g, oral, dosis tunggal berturut-turut ATAU

Generasi ketiga parenteral lain cephalosporin6 (eg, ceftizoxime atau cefotaxime)

Terapi parenteral dapat dihentikan 24 jam setelah klinis membaik; terapi oral lanjutan harus terdiri dari doxycycline (100 mg, oral, dua kali sehari) atau clindamycin (450 mg, oral, 4 kali sehari) untuk menyelesaikan total 14 hari terapi

PLUS Doxycycline, 100 mg, oral, dua kali sehari, 14 hari DENGAN atau TANPA Metronidazole, 500 mg, oral, dua kali sehari, 14 hari

1Untuk alternatif rejimen terapi, lihat CDC. STD treatment guidelines – 2002. MMWR Recomm Rep. 2002; 51 (RR-6):1-80

Penyakit Anak Prepubertas BB<45 kg Penyakit Anak BB≥45 kg dan usia > 8 thnVulvovaginitis, cervicitis, urethritis, proctitis, atau pharyngitis tanpa komplikasi

Ceftriaxone sodium, 125 mg, IM, dosis tunggal ATAU Spectinomycin,3 40 mg/kg (maximum 2 g), IM, dosis tunggal PLUS1 Azithromycin, 20 mg/kg (maximum 1 g), oral, dosis tunggal ATAU Erythromycin, 50 mg/kg per hari (maximum 2 g/hr), oral, 4 dosis terbagi selama 14 hari

Endocervicitis, urethritis, epididymitis, proctitis, atau pharyngitis4 tanpa komplikasi

Ceftriaxone, 125 mg, IM, dosis tunggal ATAU Ciprofloxacin,5 500 mg, oral, dosis tunggal ATAU Ofloxacin,5 400 mg, oral, dosis tunggal ATAU Levofloxacin,5 250 mg, oral, dosis tunggal PLUS1 Azithromycin 1 g, oral, dosis tunggal ATAU Doxycycline 100 mg, oral, 2 kali sehari, selama 7 hari

1Tambahan sebagai rekomendasi terapi infeksi gonokokkal, terapi untuk Chlamydia trachomatis juga direkomendasikan untuk dugaan adanya infeksi bersamaan.2Perawatan di RS dipertimbangkan, terutama untuk mereka yang rawat jalan respon gagal terhadap terapi dan mereka yang tidak sesuai dengan terapi yang diberikan.3Spectinomycin tidak direkomendasikan untuk infeksi faring. Bagi yang tidak dapat menerima ceftriaxon atau ciprofloxacin, spectinomycin dapat digunakan untuk faringitis, tapi diperlukan kultur follow-up.4Rejimen alternatif meliputi spectinomycin (2 g, IM, dosis tunggal), ceftizoxime, cefotaxime, dan cefoxitin. Hanya ceftriaxone dan ciprofloxacin direkomendasikan untuk faringitis; pada mereka yang tidak dapat menerima dapat diberikan spectromycin tapi diperlukan kultur follow-up.5Fluoroquinolones dikontraindikasikan untuk wanita hamil, nursing women, dan biasanya pada mereka yang kurang dari 18 tahun. Fluoroquinolones sebaiknya tidak diberikan untuk infeksi yang didapat dari Asia, Pulau Pasifik termasuk Hawai, atau Kalifornia.

2banyak ahli merekomendasikan perawatan di RS untuk pasien PID, terutama remaja3pasien dengan respon inadekuat terapi setelah 72 jam harus direevaluasi kemungkinan salah diagnosis dan harus mendapat terapi parenteral4Fluoroquinolones dikontraindikasikan untuk pasien kurang dari 18 tahun, wanita hamil dan menyusui5rejimen alternatif parenteral termasuk ofloxacin atau levofloxacin plus metronidazole; dan ampicillin-sulbactam sodium plus doxycycline6Data indikasi tentang sefalosporin spektrum luas (ceftizoxime, cefotaxime, ceftriaxone) dapat menggantikan cefoxitin atau cefotetan masih terbatas. Banyak penulis berpendapat, ini juga efektif untuk terapi PID, tapi kurang aktif terhadap anaerob

Page 27: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 85

Terapi Antibiotika EmpirisPada SepsisBerdasarkan Organ TerinfeksiJB Suharjo B CayonoBagian Penyakit Dalam RS RK Charitas Palembang

Abstrak. Meskipun teknologi diagnostik dan terapi serta perawatan suportif semakin berkembang namunangka kesakitan dan kematian akibat sepsis berat dan syok septik masih tinggi. Manajemen sepsis berat dansyok septik bersifat kompleks dan multidisipliner. Terapi antibiotika bukan merupakan terapi penentu danterapi utama. Terapi antibiotika hanya merupakan satu komponen penunjang keberhasilan dalam pengobatansepsis. Terapi antibiotika empirik harus segera dimulai dalam 1-2 jam pertama diagnosis sepsis beratditegakkan, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur. Karena keterlambatan dalam pemberian antibiotikadalam waktu 24 jam setelah sepsis berat ditegakkan berkorelasi kuat dengan meningkatnya kematian dalamkurun 28 hari. Pemilihan antibiotik secara empiris harus rasional, adekuat dan tepat. Karena pemberianantibiotika yang tidak tepat dan tidak adekuat disamping memicu terjadinya resistensi, peningkatan biayaperawatan, juga meningkatkan risiko mortalitas. Pemilihan antibiotika sebaiknya mempertimbangkan beberahahal, seperti: faktor spesifik pasien (usia, fungsi organ, organ terinfeksi dan derajat penyakit), faktor organismepenyebab (peta kuman/pola resistensi, kuman bersifat komunitas/nosokomial) dan faktor antibiotika. Pemilihanantibiotik empiris pada sepsis berat sebaiknya didasarkan pada pertimbangan organ terinfeksi yang mendasariterjadinya sepsis. Pertimbangan ini penting mengingat tipikal pola kuman patogen penyebab sering tidaksama pada organ tertentu. Contohnya: pola kuman penyebab urosepsis dengan pneumonia nosokomialberbeda, sehingga pemilihan antibiotika juga berbeda. Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang bertujuanuntuk memberikan pedoman bagaimana memilih pemberian antibiotika secara emperis pada sepsisberdasarkan organ yang terinfeksi.

PendahuluanSepsis berat dan syok septik merupakan komplikasi yang

mengancam jiwa akibat suatu infeksi, dan merupakan penyebab

kematian tersering di perawatan intensif. Berdasarkan penelitian

yang dipublikasikan oleh Centers for Disease Control di Amerika

Serikat, dilaporkan bahwa insidensi septikemia meningkat dari

73,6 per 100.000 pasien pada tahun 1979 menjadi 175,9 per

100.000 pasien pada tahun 1987. Walaupun dukungan perawatan

pendukung semakin maju, namun angka kematian di rumah sakit

akibat sepsis berat dan syok septik masing masing sebesar 30%

dan 60%.1

Sepsis dapat diartikan sebagai respon sistemik terhadap

infeksi. Apabila terjadi respon sistemik tanpa adanya infeksi

dikenal sebagai systemic inflammatory response syndrome,

yang ditandai dengan paling tidak 2 dari tanda berikut: suhu

>38ºC atau <36ºC, denyut nadai >90 kali/menit, pernafasan

>20 kali/menit atau PaCO2<32 mm Hg, dan angka leukosit

>12.000/mm3 atau <4.000/mm

3. Seseorang dinyatakan

mengalami sepsis berat apabila mengalami sepsis ditambah

dengan adanya gagal organ multipel (tabel 1). Apabila seseorang

mengalami sepsis dengan tekanan darah <90 mmHg, atau Mean

Arteriap Pressure (MAP) <60 yang tidak memberikan perbaikan

dengan resusitasi cairan, dan memerlukan vasopressor dinyatakan

mengalami syok septik.2,3

Tabel 1. Terminologi dan definisi sepsis3

Manajemen sepsis berat dan syok septik bersifat kompleks

dan multidisipliner. Berdasarkan surviving sepsis campaign

guidelines for management of severe sepsis and septic shock

yang dipublikasi melalui jurnal Critical Care Medicine 2004,

manajemen sepsis berat meliputi : resusitasi cairan, pemberian

antibiotika, pengendalian fokal infeksi, penggunaan vasopressor

TINJAUAN PUSTAKA

Terminologi DefinisiDikatakan SIRS bila didapatkan 2 atau lebih:

2. Denyut nadi >90x/menit

Sepsis

Sepsis berat

Syok septik

Systemic inflammatory response syndrome (SIRS)

1. Suhu >38ºC atau <36ºC

3. Respirasi >20x/menit atau PCO2<32 mmHg

4. Lekosit darah >12.000/mm3 atau <4.000 mm3

Sindrom klinis yang ditandai dengan adanya infeksi dan SIRS

Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi, termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaranSepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau MAP <60) yang tidak membaik dengan resusitasi cairan yang adekuat atau memerlukan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ

Page 28: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200786

pada keadaan syok septik, terapi inotropik (sesuai dengan

indikasi), pemberian steroid, pemberian recombinant human

activated protein C (rhAPC) (yang berisiko mengalami

mortalitas: skor APACHE >25, syok septik atau mengalami

ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome), penggunaan

ventilator mekanik pada ARDS, pengendalian ketat kadar gula

darah, pemberian transfusi darah sesuai indikasi, terapi

hemodialisis sesuai dengan indikasi dan pencegahan trombosis

vena dalam sesuai dengan indikasi dan pencegahan perdarahan

lambung (stress ulcer) dengan H2 bloker.4

Terapi antibiotika hanya merupakan satu komponen penunjang

keberhasilan dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotika empirik

harus segera dimulai dalam 1-2 jam jam pertama sepsis berat

ditegakkan, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur.

Keterlambatan dalam pemberian antibiotika dalam waktu 24 jam

setelah sepsis berat ditegakkan berkorelasi kuat dengan meningkatnya

kematian dalam kurun 28 hari (r2 = 0,72).

5

Pemilihan antibiotik secara empiris harus rasional, adekuat

dan tepat. Karena pemberian antibiotika yang tidak tepat dan

tidak adekuat (dosis, keterlambatan, dan pemberian antibiotik

tidak sesuai dengan kuman penyebab atau kuman sudah

resisten) di samping memicu terjadinya resistensi, peningkatan

biaya perawatan, juga meningkatkan risiko mortalitas.

Contohnya, mortalitas akibat pneumonia akan meningkat dari 30%

menjadi 90% apabila antibiotika yang diberikan tidak tepat.6-8

Antibiot ika yang dipi l ih harus memperhat ikan

beberapa hal, seperti: (1) faktor spesifik pasien (usia,

fungsi organ, tempat infeksi dan derajat penyakit/sepsis),

(2) faktor organisme penyebab (peta kuman/pola

resistensi, kuman komunitas/nosokomial) dan (3) faktor

antibiotika (farmakokinetik-farmakodinamik, profi l

tolerabilitas dan keamanan, penetrasi ke jaringan, dan

azas biaya manfaat).2,9

Identifikasi sumber atau tempat infeksi memegang peran

penting dalam manajemen pasien sepsis. Berdasarkan tempat

terjadinya infeksi telah terjadi perubahan pola tempat infeksi

yang mendasari terjadinya sepsis dan syok septik. Pada tahun

1963-1987 tempat infeksi yang paling sering adalah abdomen

(27%), sedangkan pada kurun 1988-1998 yang terbanyak adalah

bersumber dari paru (pneumonia) sebesar 36%.10

Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang bertujuan

untuk memberikan pedoman bagaimana memilih pemberian

antibiotika secara empiris pada sepsis berdasarkan

pertimbangan sistem/organ yang terinfeksi.

Tabel 2. Tempat infeksi sebagai sumber sepsis berat dan syok septik10

Pemilihan Antibiotika Berdasarkan OrganTerinfeksi

Pneumonia nosokomial dan pneumonia komunitas

Secara klinis pemberian antibiotika pada pneumonia nosokomial

dan pneumonia yang terjadi berkaitan dengan pemasangan

Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) menurut the

American Thoracic Society and the Infectious Disease

Society of America yang dipublikasi dalam American

Journal Respiratory Critical Care Medicine 2005; 171:388–

416, diperlakukan sama. Pneumonia nosokomial sendiri

dapat didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi >48 jam

setelah masuk rumah sakit, yang tidak berada dalam kurun

waktu inkubasi kuman. VAP didefinisikan sebagai pneumonia

yang terjadi 48–72 jam setelah pemasangan intubasi.

Berdasarkan penelitian bakteri gram negatif seperti:

Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter sp, Acinetobacter sp,

gram negatif berbentuk batang bertangung jawab terhadap 55-

85% pneumonia nosokomial. Sedangkan kokus gram positif

(terutama Staphylococcus aureus) menjadi penyebab sebesar

20–30%. Pada umumnya 40-60% bakteri penyebab bersifat

polimikrobial. Virus patogen dan jamur jarang menimbulkan

pneumonia nosokomial.11,12

Secara praktis penyebab pneumonia nosokomial dapat

dibagi menjadi dua, yaitu: yang menyebabkan pneumonia

pada onset awal (early onset) ( 2-5 hari) atau <4 hari, dan

onset lambat (late onset) >5 hari (tabel 3). Pneumonia

nosokomial yang terjadi pada onset awal umumnya tidak

disebabkan oleh patogen yang bers i fat multidrug-

resistant (MDR), biasanya memberikan prognosis lebih

baik karena bakteri yang mendasari masih bersifat sensitif

terhadap antibiotika. Sebaliknya pneumonia yang terjadi

pada onset lambat umumnya disebabkan oleh patogen

yang bersifat MDR, sehingga memiliki risiko morbiditas

dan mortalitas lebih besar. Pneumonia tipe onset lambat,

30–70% disebabkan oleh karena P. aeruginosa,

Acinetobacter sp atau Methicillin-Resistant S aureus

(MRSA)11-13

Tempat infeksi Periode 1963-1987 Periode 1988-1998Infeksi abdomen 27% 19%Infeksi saluran kencing 21% 13%Infeksi paru 17% 36%Primary bloodstream infection 16% 20%Infeksi kulit dan jaringan lunak - 7%Lain-lain 19% 5%

Antibiotika yang dipilih harusmemperhatikan beberapa hal,

seperti: (1) faktor spesifik pasien(usia, fungsi organ, tempat infeksidan derajat penyakit/sepsis), (2)faktor organisme penyebab (peta

kuman/pola resistensi, kumankomunitas/nosokomial) dan (3)

faktor antibiotika (farmakokinetik-farmakodinamik, profil

tolerabilitas dan keamanan,penetrasi ke jaringan, dan asas

biaya manfaat).2,9

Page 29: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 87

Tabel 3. Bakteri patogen pneumonia nosokomial/VAP

(ventilator associated pneumonia)13

Tabel 4. Terapi empiris awal pada pasien pneumonia

nosokomial dan VAP terjadi pada onset awal (<4 hari), tanpa

faktor risiko adanya patogen MDR13

Pada saat diagnosis pneumonia nosokomial telah ditegakkan

maka terapi antibiotika harus segera dimulai secara empiris.

Pemilihan jenis antibiotika secara empiris perlu didasari dengan

pertimbangan waktu terjadinya pneumonia onset awal/lambat dan

berdasarkan adanya faktor risiko yang berpotensi menimbulkan

munculnya patogen bersifat MDR. Pada pneumonia tipe onset awal

tanpa faktor risiko adanya patogen MDR diberikan antibiotika

monoterapi dari golongan sefalosporin III, fluoroquinolone atau

anti betalaktam (tabel 4). Sedangkan pada pneumonia tipe onset

lambat, mengingat patogen penyebab lebih bersifat resisten maka

diberikan antibiotika kombinasi (tabel 5). Pada umumnya apabila

kuman patogen tidak resisten terhadap antibiotika respon klinis

terapi akan terjadi pada secara signifikan pada 6 hari pertama.

Dianjurkan lama pemberian terapi antibiotika selama 7 hari.

Apabila telah terjadi perbaikan antibiotika intravena dapat segera

diganti secara oral. Khusus pada pasien yang mendapat kombinasi

dengan golongan aminoglikosida, obat tersebut dapat dihentikan

5-7 hari setelah memberikan respon.13 Berdasarkan studi Chastre14

pemberian antibiotika secara empiris pada pasien VAP selama 8

hari dibandingkan 14 hari memberikan hasil yang sama. Pasien

dengan VAP, mendapat antibiotika 8 hari (N=197 pasien)

dibandingkan yang mendapat antibiotika 14 hari (N=204 pasien),

mortalitas antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (18%

vs 17,2%) dan rekurensi infeksi, yaitu 28,9% vs 26% (tidak berbeda

bermakna).

Tabel 5. Terapi empiris awal pada pasien pneumonia

nosokomial dan VAP terjadi pada onset lambat (>5 hari)

dengan faktor risiko adanya patogen MDR13

Pasien dengan pneumonia komunitas (community-aqcuired

pneumonia (CAP) dikelompokkan menjadi 4 golongan: (1) CAP

pada pasien rawat jalan tanpa riwayat penyakit

kardiopulmoner, dan tidak memiliki risiko resistensi terhadap

kuman patogen, (2) CAP pada pasien rawat jalan dengan

penyakit kardiopulmoner (gagal jantung kongestif atau penyakit

paru obstruktif menahun), dengan atau tanpa memiliki risiko

resistensi terhadap kuman patogen, (3) CAP pada pasien rawat

inap dengan atau tanpa riwayat penyakit kardiopulmoner, dan

dengan atau tanpa memiliki risiko resistensi terhadap kuman

patogen, (4) CAP berat dan perlu perawatan di ICU. Kriteria

pasien dengan CAP berat adalah bila dipenuhi 1 dari kriteria

mayor (syok septik atau perlu ventilator mekanik), atau

terpenuhi 2 dari 3 kriteria minor (Tekanan darah <90 mmHg,

pneumonia mengenai multi lobuler, Pa02/FI02 <250).15

Pemilihan antibiotika pada CAP berat didasarkan pada

pertimbangan kuman penyebab, apakah kuman patogen diduga

disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa atau bukan (lihat

tabel 6).

Pemilihan antibiotika pada infeksi intra-abdomen

Apabila tidak dikelola dengan baik infeksi intra-abdomen

dengan penyulit (complicated intra-abdominal infections)

berisiko menimbulkan sepsis berat/syok septik. Manifestasi

infeksi intra abdominal dengan penyulit yang tersering

adalah peritonitis dan abses abdomen.16 Peritonitis

diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: peritonitis primer,

sekunder dan tersier. Penyebab tersering peritonitis primer

adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) berkaitan

dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati. Sekitar 90%

kasus SBP disebabkan oleh monomikrobial. Kuman patogen

penyebab SBP tersering adalah gram negatif, yaitu: E. coli

40%, Klebsiella pneumonia 7%, Pseudomonas sp, Proteus

sp dan bakteri gram negatif lainnya sebesar 20%. Bakteri

gram positif yang sering dijumpai, yaitu: Streptococcus

pneumonia 15%, Staphylococcus sp 3%.17,18

Tabel 6. Terapi antibiotika parenteral empiris pada

pneumonia komunitas berat di ICU15

Patogen potensial Rekomendasi antibiotikaStreptococcus pneumoniaHaemophilus influenzae CeftriaxoneMethicillin-sensitive enteric Staphylococcus aureus Atau

Bakteri gram negatif sensitif terhadap antibiotika: Levofloxacin, Mofifloxacin- E coli Ciprofloxacin- Klebsiella pneumoniae atau - Enterobacter species Ampicillin/Sulbactam- Proteus species Atau - Serratia marcescens Ertapenem

Patogen potensial Antibiotika kombinasiPatogen sesuai dengan tabel 4

Patogen MDR Atau

Atau

Atau

Linezolid/Vancomycin

Sephalosporin antipseudomonas (Cefepime, Caftazidime)

- Pseudomonas aeruginosa Carbapenem antipseudomonas (Imipenem/Meronem)- Klebsiella pneumoniae β-lactam/β-lactamase inhibitor (Piperacillin-Tazobactam)

- Acinobacter species- Legionella pneumonia Fluoroquinolone antipseudomonas

(Ciprofloxacin/Levofloxacin)

Aminoglikosida (Amikacin, Gentamicin/Tobramycin)

S pneumoniae P aeruginosaH influenzae Enterobacter spM catarrhalis Acinetobacter spS aureus Klebsiella spBakteri gram negatif enterik S marcescens

E coliBakteri gram negatif lainnyaMRSA

Pneumonia nosokomial onset awal (2-5 hari)

Pneumonia nosokomial onset lambat (>5 hari)

Organisme Terapi

Risiko terinfeksi Semua kuman di atas ditambah Beta laktam antipseudomonas

Pseudomonas (cefepime, imipenem, meronem,aeruginosa aeruginosa piperacillin/tazobactam)

+

(ciprofloxacin)atau

Beta laktam antipseudomonas(cefepime, imipenem, meronem,

piperacillin/tazobactam)+

Aminoglikosida+

Makrolid

Fluoroquinolone

Tanpa risiko terinfeksi Pseudomonas aeruginosa

Streptococcus pneumonia Legionella sp Haemophilus influenzae Bakteri gram negatif enterik Staphylococcus aureus Mycoplasma pneumonia Virus Lain-lain - Chlamydia pneumoniae - Mycobacterium tuberculosis - Fungi

Beta laktam (cefotaxime, ceftriaxone) + Macrolide atau Fluoroquinolone

Dengan Pseudomonas

Antipseudomonas quinolone

atau quinolone nonpseudomoas

Page 30: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200788

Peritonitis yang sering dijumpai adalah peritonitis

sekunder. Penyebab perotinitis yang sering dijumpai

adalah melibatkan organ: gaster dan duodenum (perforasi

ulkus peptikum, trauma), pankreas (pankreatitis akut

nekrot ika) , s is tem bi l ier (cholecyst i t is gangren,

cholangitis), usus halus (iskemia usus halus, trauma,

divertikulitis), apendisitis gangren/perforasi, pelvic

inflammatory disease (PID). Spektrum kuman patogen

pada peritonitis sekunder dan abses abdomen tergantung

lokasi lesi. Bakteri gram positif seperti Streptococcus,

Enterococcus dan bakteri gram negatif fakultatif sering

ditemukan pada lesi yang terjadi proksimal dari usus

halus. Sedangkan lesi yang terjadi di ileum terminal dan

colon lebih sering disebabkan oleh bakteri gram negatif

(E coli) dan bakteri gram negatif anaerob (Bacteroides

sp). Peritonitis tersier merupakan manifestasi peritonitis

yang bersifat rekurensi dan persisten, yang sering disertai

dengan adanya abses, flegmon dengan atau tanpa fistula.

Dasar pemilihan terapi antibiotika pada infeksi intra

abdomen dengan penyulit adalah dengan mempertimbangkan:

(1) Apakah infeksi bersifat komunitas (community acquired)

atau diperoleh selama dalam perawatan rumah sakit (infeksi

nosokomial/health care associated), (2) Berat ringannya

penyakit (dinilai menggunakan APACHE skor, status imunitas,

kelainan kardiovaskuler). Pasien dengan infeksi intra abdomen

yang diperoleh selama dalam perawatan rumah sakit umumnya

disebabkan oleh patogen yang resisten, seperti Pseudomonas

aeruginosa, Enterobacter sp, Proteus sp dan MRSA. Jenis

antibiotika yang diberikan pada infeksi intra-abdominal dengan

penyulit yang terjadi di komunitas dapat dilihat pada tabel 7.16

Infeksi intra abdominal dengan penyulit dan bersifat berat

akibat infeksi nosokomial perlu antibiotika kombinasi.

Pemberian imipenem, piperacillin/tazobactam,

dikombinasikan dengan aminoglycosida dan metronidazole

memberikan hasil yang lebih efektif.

Tabel 7. Terapi antibiotika pada infeksi intra abdominal

dengan penyulit yang terjadi di komunitas16

Pemilihan antibiotika pada meningitis

Sejauh ini belum ada studi prospektif yang meneliti

hubungan antara waktu pemberian antibiotik terhadap

outcome klinis pada pasien meningitis bakterial, sehingga

belum diketahui kapan pemberian antibiotika harus

segera dimulai pada kasus meningit is bakter ia l .

Berdasarkan penelitian retrospective terhadap 305 pasien dengan

bakterial meningitis yang di rawat di Inggris, dilaporkan bahwa

dari 53 pasien yang mendapatkan antibiotika sebelum masuk

rumah sakit angka kematiannya hanya 1 pasien (1,9%)

dibandingkan dengan 30 pasien yang meninggal (12%) dari 252

pasien yang belum mendapatkan terapi antibiotika. Oleh sebab

itu the British Infection Society Working Party mereko-

mendasikan untuk segera memberikan antibiotika secara cepat

pada pasien yang diduga menderita meningitis bakterial.19

Tabel 8. Rekomendasi terapi antibiotika pada pasien dewasa

dengan meningitis bakterial berdasarkan Gram stain20

Secara prosedural apabila seseorang diduga menderita

meningitis bakterial harus segera diambil kultur darah,

punksi lumbal (bila memungkinkan) kemudian segera

diberikan antibiotika secara empiris sampil menunggu hasil

kultur kuman. Terapi empiris didasarkan pada pola

kepekaan kuman patogen terhadap antibiotika, bila

memungkinkan pemberian antibiotik berdasarkan penilaian

hasil Gram stain (tabel 8 dan tabel 9). Lama pemberian

antibiotika tergantung dari patogen penyebab, Neisseria

meningitidis dan H. influenza selama 7 hari, Streptococcus

pneumonia 10-14 hari, Streptococcus agalactiae selama 14-

21 hari dan bakteri gram negatif aerob dan Listeria

monocytogenes selama 21 hari. 20

Tabel 9. Rekomendasi terapi antibiotika empiris meningitis

purulen berdasarkan usia dan kondisi predisposisi spesifik.20

Antibiotika pada infeksi terkait kateter

Berdasarkan penyebab sepsis, bloodstream infection (BSI)

menduduki urutan kedua setelah infeksi paru. BSI dapat

bersifat primer atau sekunder. BSI bersifat primer bila infeksi

yang terjadi berkaitan langsung dengan intervensi sistem

vaskuler, dimana penyebab utama adalah berkaitan dengan

Antibiotika Infeksi ringan sampai sedang Infeksi beratMonoterapi- Beta laktam/kombinasi Ampisilin/sulbactam Piperacillin/tazobactam Beta laktam inhibitor Ticarcillin/clavulanic acid- Carbapenem Ertapenem Imipenem/cilastatin

Meronem

Kombinasi- Sefalosporin Sefalosporin generasi III/IV

Cefuroxime + metronidazol (cefotaxime, ceftriaxone,Ciprofloxacin, levofloxacin, Ceftazidime, cefepime) moxifloxacin, gatifloxacin, Ditambah dengan

Metronidazole

Cefazolin atau

- Fluoroquinolone

- Monobactam kombinasi dengan metronidazole

Aztreonam kombinasi dengan metronidazole

Mikroorganisma Antibiotika terpilih Antibiotika alternatifStreptococcus pneumoniae

Neisseria meningitidis Sefalosporin generasi III

Listeria monocytogenes

Streptococcus agalactiae

Haemophilus influenzae

Vancomycin + sefalosporin generasi III (ceftriaxone /

cefotaxime)

Meropenem, fluoroquinolone (gatifloxacin / mofifloxacin)

Penicillin G, ampicillin, chloramphenicol,

fluoroquinolone, aztreonamAmpicillin / penicillin G (kombinasi

aminoglikosida bila perlu)Trimethoprim-

sulfamethoxazole, meronem

Ampicillin / penicillin G (kombinasi aminoglikosida bila perlu)

Sefalosporin generasi III (ceftriaxone / cefotaxime)

Sefalosporin generasi III (ceftriaxone / cefotaxime)

Chloramphenicol, cefepime, meronem, fluoroquinolone

Faktor predisposisi Patogen penyebab tersering AntibiotikaUsia- <1 bulan

- 1 – 23 bulan

- 2 – 50 tahun N meningitidis, S pneumoniae

- >50 tahun

Trauma kepala- Fraktur basilar

- Trauma penetrasi

Post operasi bedah saraf

Shunt cebrebro spinalis

Strep agalactiae, E coli, L monocytogenesm Klebsiella sp

Ampicillin + cefotaxime atau Ampicillin + aminoglycoside

Strep pneumoniae, N meningitidis, S agalactiae, H

influenza, E coli

Vancomycin + sefalosporin generasi III

Vancomycin + sefalosporin generasi III

S pneumonie, N meningitidis, L monocytogenes, gram negatif

aerobic

Vancomycin + ampicillin plus sefalosporin generasi III

S pneumoniae, H influenzae, Strep B hemolitikus grup A

Vancomycin + sefalosporin generasi III

S aureus, Stap epidermidis, gram negatif aerobic (terutama P aeruginosa)

Vancomycin + cefepime / ceftazidime / meronem

Gram negatif aerobic (teruatam P aeruginosa), S aureus, S epidermidis

Vancomycin + cefepime / ceftazidime / meronem

S epidermidis, S aureus, gram negatif aerobic (terutama P aeruginosa), Propionicbaterium acnes

Vancomycin + cefepime / ceftazidime / meronem

Page 31: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 89

pemasangan kateter. Infeksi BSI bersifat sekunder bila infeksi

yang terjadi berasal dari tempat lain diluar sistem vaskuler

(saluran kencing, sistem pernafasan, dsb).21 Secara tradisional

(BSI) diklasifikasikan menjadi tipe komunitas (community

acquired) dan nosokomial (hospital-acquired). Dikatakan

sebagai BSI tipe komunitas bila hasil kultur darah positif

diperoleh pada saat masuk rumah sakit atau <48 jam masuk

rumah sakit. Kuman patogen penyebab BSI komunitas adalah

Streptococcus pneumonia dan E coli. Sedangkan kuman

patogen penyebab BSI nosokomial adalah Coagulase-negative

staphylococci (37%), Staphylococcus aureus (13%), gram negatif

berbentuk batang (14%), E. coli (2%), P. aeruginosa (4%), K.

pneumonia (3%) dan candida spp (8%).22

Angka kematian lebih

banyak terjadi pada BSI nosokomial dibandingkan tipe komunitas

(37% vs 16%; p <0,001).24

Pemilihan terapi antibiotik pada BSI (terutama yang terkait

dengan pemakaian kateter) diberikan secara empiris, dengan

mempertimbangkan derajat penyakit pasien dan kemungkinan

patogen yang menginfeksi. Vancomycin dianjurkan bagi rumah

sakit dengan peningkatan insidensi MRSA. Apabila insidensi

MRSA rendah, dan tidak dijumpai penicillinase-resistant,

antibiotik nafcillin dan oxacillin dapat digunakan. Apabila BSI

terjadi akibat nosokomial maka terapi empiris harus mencakup

bakteri gram negatif dan Pseudomonas aeruginosa. Antibiotika

yang diberikan adalah sefalosporin generasi III (ceftazidime)

atau generasi IV kombinasi dengan aminoglikosida. Apabila

dicurigai penyebab BSI adalah jamur perlu diberikan

fluconazole.23

Terapi antibiotika pada infeksi jaringan lunak dan ulkus

diabetikum

Infeksi jaringan lunak seperti impetigo, erisipelas dan

selulitis tanpa penyulit pada umumnya bersifat ringan

sampai sedang dan mudah diterapi. Namun infeksi seperti

fasitis nekrotika dan gas gangren mionekrotika bersifat

berat dan dapat mengancam jiwa. Fasitis nekrotika pada

umumnya disebabkan oleh monomikrobial (S. pyogenes,

Vibrio vulnificus atau Aeromonas hydrophila), namun

dapat pula disebabkan polimikrobial terutama pada

pasien pasca operasi atau memiliki penyakit, seperti:

diabetes melitus, penyakit vaskuler perifer. Beberapa

gambaran klinis infeksi nekrotika: (1) nyeri yang hebat,

(2) Bula, (3) nekrosis kulit atau ekimosis, (4) gas

gangren, (5) edema, (6) anestesi pada kulit, (7) tanda

toksis sistemik seperti demam, lekositosis, delirium, gagal

ginjal, (8) bersifat progresif. Mortalitas infeksi nekrotika

dapat mencapai 50-70% khususnya bila mengalami sepsis

berat/syok septik.

Infeksi gas gangren mionekrotika bersifat progresif,

disebabkan oleh Clostridium perfringens, Clostridium

septicum, Clostridium histolyticum atau Clostridium

novyi . Baik fasciitis nekrotika maupun gas gangren

mionekrot ika memerlukan t indakan bedah dan

antibiotika. Antibiotika yang direkomendasikan pada

keadaan tersebut adalah: ampicillin/sulbactam atau

piperacillin/tazobactam+clindamycin+ciprofloxacin ,

atau cefotaxime+metronidazole/cl indamycin , atau

meronem. Pada kasus gas gangren yang dicurigai akibat

Clostr idium sebaiknya diberikan cl indamycin

parenteral.25

Pemilihan antibiotik pada ulkus diabetikum yang

terinfeksi paling tidak didasarkan pada 2 hal, yaitu: berat

ringannya ulkus terinfeksi dan kemungkinan kuman

penyebab. Derajat infeksi pada ulkus diabetikum dibagi

menjadi tiga, yaitu: ringan, sedang dan berat (lihat tabel 10).

Terapi antibiotika perlu diberikan pada ulkus terinfeksi,

namun perawatan luka termasuk debridemen, amputasi

(bila diperlukan) tetap harus dilakukan. Kuman patogen

dominan pada ulkus diabetikum adalah bakteri coccus

gram positif (terutama Staphylococcus aureus). Namun

pada pasien dengan ulkus kronis atau yang te lah

mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya sering

terinfeksi dengan bakteri gram negatif, dan ulkus akibat

iskemia atau dengan gangren sering dijumpai patogen

anaerob.

Pada ulkus diabetikum ringan/sedang antibiotika yang

diberikan difokuskan pada patogen gram positif. Pada

ulkus terinfeksi yang berat (limb or life threatening

infection) kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup

bakteri gram positif berbentuk coccus , gram negatif

berbentuk batang, dan bakteri anaerob) antibiotika harus

bersifat broadspectrum, diberikan secara injeksi. Pada infeksi

berat yang bersifat limb threatening infection dapat diberikan

beberapa alternatif antibiotika, seperti: ampicillin/sulbactam,

ticarcillin/clavulanate, piperacillin/tazobactam, Cefotaxime

atau ceftazidime + clindamycin, fluoroquinolone + clindamycin.

Sementara pada infeksi berat yang bersifat life threatening

infection dapat diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti

berikut: ampicillin/sulbactam+aztreonam, piperacillin/

tazobactam + vancomycin, vancomycin + metronbidazole +

ceftazidime, imipenem/cilastatin atau fluoroquinolone +

vancomycin + metronidazole.26,27

Tabel 10. Klasifikasi klinis infeksi ulkus diabetikum26

Antibiotika pada infeksi saluran kemih dengan

penyulit

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyebab pertama

infeksi nosokomial rumah sakit, yaitu sebesar 40%, diikuti

dengan pneumonia nosokomial. Sekitar 80-90% ISK

nosokomial terjadi berhubungan dengan pemasangan

kateter, sedangkan 5-10% berkaitan dengan manipulasi

genito-urinary (cystoscopy, dsb). Kuman patogen utama

Tingkat infeksi Manifestasi klinisTanpa infeksi Tidak tampak tanda inflamasi atau pus pada ulkus

Ringan

Sedang

- Selulitis >2 cm sekitar ulkus- Kebocoran sistem limfatika- Abses di jaringan dalam

Berat

Dijumpai lebih dari 2 tanda inflamasi (pus, eritema, nyeri, nyeri tekan, hangat pada perabaan dan indurasi), luas selulitis / eritema < 2 cm sekitar ulkus, dan infeksi terbatas di kulit / jaringan subkutan superfisial, tidak dijumpai komplikasi lokal / sistemikKriteria di atas dengan keadaan sistemik dan metabolik stabil, ditambah dengan adanya >1 keadaan berikut:

- Gangren, dengan melibatkan jaringan otot, tulang dan tendonPasien mengalami infeksi dengan gangguan sistemik atau metabolik yang tidak stabil (demam, takikardi, hipotensi, bingung, muntah, lekositosis, asidosis, hiperglikemia berat, azotemia)

Page 32: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200790

pada ISK dengan penyulit (complicated urinary tract

infection) adalah: Escherichia coli (40%), Klebsiella spp (10-

17%), Enterobacter spp (5-10%), Proteus mirabilis (5-10%),

Pseudomonas aeruginosa (2-10%) dan Enterococcus sp (1-

20%). Angka mortalitas akibat urosepsis sekitar 12,7%.28

Pertimbangan pemberian antibiotika pada ISK dengan

penyul i t adalah adanya kecurigaan kuman yang

disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa atau bukan,

derajat penyakit dan ISK diperoleh secara nosokomial

atau komunitas. Pada ISK komunitas dan telah terjadi

urosepsis maka ant ibiot ika yang diberikan adalah

kombinasi. ISK nosokomial perlu terapi antibiotika

kombinasi (tabel 11).29

Tabel 11. Rekomendasi terapi antibiotika pada ISK dengan

penyulit29

Kesimpulan1. Meskipun terapi antibiotika pada sepsis bukan terapi

utama, namun berdasarkan penelitian keterlambatan dan

tidak adekuat pemberian antibiotika meningkatkan risiko

mortalitas bagi pasien.

2. Terapi antibiotika harus segera dimulai secara empiris

sambil menunggu hasi l kultur , d i mana dalam

pemilihan antibiotika sebaiknya mempertimbangan

hal-hal berikut: faktor spesifik pasien (usia, fungsi

organ, organ terinfeksi dan derajat penyakit), faktor

organisme penyebab (pola kuman setempat) serta

faktor antibiotika.

3. Pemilihan antibiotik empiris pada sepsis berat sebaiknya

didasarkan pada pertimbangan organ terinfeksi yang

mendasari terjadinya sepsis. Pertimbangan ini penting

mengingat tipikal pola kuman patogen penyebab pada

organ tertentu dan jenis antibiotika yang digunakan

sering berbeda.

4. Antibiotika empiris yang diberikan bersifat

broadspectrum, baru kemudian dirubah menjadi narrow

spectrum setelah kuman penyebab teridentifikasi.

Daftar Pustaka1. Bochud PY, Calandra T. Pathogenesis of sepsis: new concepts and

implications for future treatment. BMJ 2003; 326:263-52. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock. Postgrad

Med. 2002; 111(3):53-663. Tsiotou AG, Sakarofas GH, Anagnostopoulos G, et al. Septic shock:

current pathogenetic concepts from a clinical perspective. Med Sci

Monit 2005;11(3):RA76-854. Dellinger RP, Carlet JM, et al. Surviving sepsis campaign guidelines

for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med2004; 32(3):858-73

5. Tony Yu, Black E, Sands KE, et al. Severe sepsis: variation in resourceand therapeutic modality use among academic centers. Critical Care2003; 7(3):R24-R34

6. Suharjo B Cahyono. Manajemen pneumonia nosokomial: fokus padaterapi antibiotika. Dexa Media 2005; 3(18): 128-31

7. Kollef MH, Fraser VJ. Antibiotic resistance in the intensive care unit.Ann Intern Med 2001; 134:298-314

8. Cross JT. Therapy of nosocomial pneumonia. Med. Clin of North Am2001; 85(6):1583-94

9. Lode H. Management of serious nosocomial bacterial infections: docurrent therapeutic meet need ?. Clin Microbial Infect 2005; 11:778-87

10. Bochud PY, Glauser MP, Calandra T. Antibiotics in sepsis. IntensiveCare Med 2001; 27:S33–S48

11. Hernandez G, Rico P, Diaz E, et al. Nosocomial lung infection in adultintensive care units. Microbes & Infect. 2004; 6:1004-14

12. Lynch JP. Hospital aquired pneumonia: risk factors, microbiologyand treatment. Chest 2001; 119(2):373S–384S

13. Niederman MS, Craven DE, et al. Guidelines for the management ofadults with hospital aquired, ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005; 171:388–416

14. Chastre J, Wolff M, Fagon JY, et al. Comparasion of 8 VS 15 days ofantibiotic therapy for ventilator-associated pneumonia in adults: arandomized trial. JAMA 2003; 290:2588-98

15. Niederman MS, Mandel l LA, Anzueto A, et al . Guidelines for themanagement of adul ts wi th communi ty-acquired pneumonia .Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, andprevention. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163:1730-54

16. Solomkin JS, Mazuski JE, Baron EJ, et al. Guidelines for the selectionof anti-infective agents for complicated intra-abdominal infections.Clin Infect Dis 2003; 37:997-1005

17. Genuit T, Napolitano L. Peritonitis and abdominal sepsis. Updated2004. http://www.emedicine.com/med/topic2737

18. Saber AA, Raymond DLR. Abdominal abscess. Updated 2005. http://www.emedicine.com/med/topic2702

19. The Research Committe of the British Society for the Study of Infection.Bacterial meningitis: causes for concern. J Infect 1995; 30:89-94

20. Tunkel AR, Hartman BJ, Sheldon LK, et al. Practice guidelines for themanagement of bacterial meningitis. Clin Infect Dis 2004; 39:1267–84

21. Deming WE. Health care associated bloodstream infection: a changein thinking. Ann Intern Med 2002; 137(10):850-1

22. Grady NP, Alexander M, Dellinger P, et al. Guidelines for the preventionof intravascular catheter-related infections. Clin Infect Dis 2002;35:1281-307

23. Mermel LA, Farr BM, Sheretz RJ, et al. Guidelines for the managementof intravascular catheter-related infections. Clin Infect Dis 2001;32:1249-72

24. Fr iedman ND, Kaye KS, Stout JE, et a l . Health care associatedbloodstream infection in adults: a reason to change the accepteddefinition of community-aquired infections. Ann Intern Med 2002;137:791-7

25. Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, et al. Practice guidelines fordiagnosis and management of skin and soft tissue infections. ClinInfect Dis 2005; 41:1373-406

26. Lipsky BA, Berendt AR, Deery HG, et al. Diagnosis and treatment ofdiabetic foot infections. Clin Infect Dis 2004; 39:885-910

27. Frykberg RG, Armstrong DG, Giurini J. Diabetic foot disorders: aclinical practice guideline. American College of Foot and AnkleSurgeons. J Foot Ankle Surg 2000; 39:S1-60

28. Salgado CD, Karchmer TB, Farr BM. Prevention of catheter-associatedurinary tract infections. In: Richard P. Wenzel, editor. Prevention andControl of Nosocomial Infections. 4th. Lippincont Williams & Wilkins. NewYork, 2003.p.297-311

29. Hospital Medicine Concensus Reports. Complicated urinary trac infection:risk stratification clinical evaluation, and evidence-based antibiotic therapyyear 2003 updated. Outcome-effective therapy on cUTI on emergingresistance pattern and recent clinical studies.

Kecurigaan terhadap kuman AntibiotikaE coli ISK komunitasP mirabilis (7-14 hari) atauK pneumonia

(7-14 hari) - Piperacillin/tazobactam

+ gentamicinPseudomonas aeruginosa ISK nosokomial - Piperacillin/tazobactam Enterococcus spp 3.375 g/6 jam IV ±

gentamicin atau- Sefalosporin Antipseudomonas (ceftazidime / cefepime) + gentamicin + Ampicillin

- Ceftriaxone 1 gr/24 jam

- Ciprofloxacin 400 mg IV- Ceftriaxone 1 gr/24 jam

3.375 g/6 jam IV ± gentamicin atau- Ampicillin 1-2 gr/6 jam

Page 33: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 91

TINJAUAN PUSTAKA

Terapi Hemorheologi (*)Puruhito (** )Bedah Toraks Kardiovaskular RSUD Dr. Soetomo / FK Universitas Airlangga

Surabaya

Abstract . Fluid mechanics of the blood or “hemorrheology” is the essential basic in the treatment of peripheral vascular arterial

diseases. Effort to reduce the energy of blood flow in the blood vessels depends physically by pressure energy, gravitational

energy, kinetic energy and the frictional energy. Beside those factors that affects the blood flow, shear stress and the importance

of the presence of atherosclerosis specially in the blood vessels bifurcations should be considered in the treatment of vascular

arterial diseases based on hemorrheology. Vascular lesions exhibits constellation that depends on its character, which is unique

and individual, so that the approach in hemorrheologic therapy should always obey the principles of physics and blood flow

mechanics.

Drugs or pharmacis that is used for this purpose can affect the vessel wall mechanics, the behaviour of the blood cells which

flows in the vessels, specially the red blood cells and platelets, and also the pressure of the blood which influence the speed and

the flow behaviour inside the blood vessels. Adequate knowledge of pharmacokinetics and phamacodynamics of of drugs that is

being used to treat vascular arterial diseases is oultlined and described in the paper.

PendahuluanDefinisi dari terapi hemorheologi adalah upaya pengobatan medik

agar sifat-sifat aliran darah diperbaiki. Dasar: viskositas darah

dapat diturunkan dengan menaikkan volume aliran darah per

satuan waktu, yaitu sesuai dengan hukum “Hagen Poiseuille”:

Q = r4 . P. p

8 . l . h

yaitu bahwa “Q” yang menunjukkan aliran darah per satuan

waktu, besarnya sepadan dengan “P” yaitu tekanan dalam

pembuluh darah yang berbanding pangkat empat dari radiusnya

(“r”) dan berbanding terbalik dari panjang pembuluh darah (“l”)

dan koefisien viskositas (“h”) dan konstanta “8”. Juga sesuai

dengan “hukum Ohm” yang berbunyi:

Q = (P1 - P2) / R

di mana volume aliran darah ”Q” tergantung beda tekanan

(”gradient”) antara tekanan sentral dan tekanan perifer serta

tahanan perifer. Kecepatan aliran darah (”V”) tunduk pada

rumus V = Q/A. ”V” berbanding lurus terhadap ”Q” dan

berbanding terbalik terhadap diameter pembuluh darah (”A”).

Hukum Bernouli mengatakan bahwa dalam suatu pembuluh

silindris, maka jumlah antara tekanan frontal dan tekanan

samping adalah konstan (selalu sama) tetapi tekanan ke

samping ke arah dinding berbanding terbalik secara

proporsional dengan kecepatan alirannya. Jadi apabila

kecepatan aliran darah berkurang, maka di dalam pembuluh

darah akan terjadi tekanan samping yang naik dan tekanan

frontal akan turun. Sangat sulit untuk membedakan kecepatan

pulsasi darah dengan kecepatan aliran darah, karena pulsasi

tergantung pada elastisitas dinding arteri, yang pada

arteriosklerosis (proses penuaan/degenerasi) akan turun,

apalagi bila terjadi aterosklerosis (penumpukan atherom pada

dinding pembuluh darah).1

Pada usia tua, karena proses sklerosis dinding arteri, akan

terjadi kenaikan kecepatan pulsasi dan karena terjadinya

hambatan aliran, maka kemudian akan menurun. Selain itu,

untuk pembuluh darah juga dipengaruhi oleh inervasi vegetatif

(”neural”) dan juga humoral (katekolamin, asetilkolin, dsb)

serta pengaruh faktor-faktor fisik lain (trauma, konstriksi atau

robekan dinding).

Menurut ”Hukum Laplace” tegangan dinding berbanding

lurus dengan radius dinding dikalikan ”shear stress”, yaitu hasil

tekanan terhadap dinding dan beda tekanan intravasal dengan

tekanan intramuralnya. Di dalam arteri, tekanan terhadap

dinding dan beda tekanan intravasal dengan tekanan

intramuralnya. Di dalam arteri, tekanan intravasal ditentukan

oleh tahanan perifer, jadi bila tahanan perifer meningkat maka

akan tercapai tekanan kritis untuk vasokontriksi, hingga

pembuluh darah akan kolaps. Hingga sesuai Hukum Laplace,

maka pada pembuluh darah yang diameter (radius)-nya kecil,

kejadian tersebut akan lebih cepat terjadi dibandingkan pada

pembuluh darah dengan diameter (radius) yang besar. Hal ini

(*) Disampaikan pada : WECAN (5) – Weekend Course on Angiology,

Jakarta, Februari 16-17, 2007

(**) Gurubesar Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, Universitas

Airlangga, Fak. Kedokteran

Page 34: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200792

akan jelas nampak pada penyakit “Raynaud” atau “PAPO” yang

mengalami sumbatan (konstriksi) vasal yang akut atau cepat. Pada

daerah akral (ujung-ujung jari) tekanan kritis ini hanya sekitar 20

mmHg, sehingga apabila dapat dicapai tekanan diatas tekanan

tersebut, maka pembuluh darah akan terbuka kembali atau tidak

akan konstriksi.2

Prinsip Dasar HemorheologiHukum Bernoulli memformulasi adanya konservasi enerji dalam

cairan yang bergerak, di mana dalam suatu aliran cairan di dalam

suatu tabung, jumlah enerji dari enerji tekanan, kinetik dan

gravitasi pada setiap dua titik selalu sama. Didalam pembuluh

darah, di mana tekanan darah diberikan oleh kerja ventrikel kiri,

adalah merupakan bentuk enerji.

Gambar 1. Pembuluh darah bukan pipa yang kaku tetapi dapat

“berdenyut” (pulsasi) dan mengakibatkan perubahan diameter

pembuluh darah.2

Pengertian aliran didasarkan pula pada hukum fisika aliran

oleh ahli fisika Bernoulli, di mana pada setiap aliran cairan,

maka ada upaya konservasi energi untuk mempertahankan

aliran tetap ada, yaitu :

1. Energi tekanan: Secara klinis, tekanan darah dijabarkan

dalam mmHg, dan energi tekanan ini akan menunjukkan

kemampuan elastisitas pembuluh darah tersebut, dan hal

ini membuat pula pembuluh darah dapat “berdenyut”

(pulsasi) (lihat Gambar 1)

2. Energi gravitasi: dapat diamati pada penderita dengan

iskemia tungkai pada Fontaine Stadium-III (“rest pain”)

di mana waktu penderita tiduran, maka energi dari tekanan

gravitasi akan hilang didaerah ekstremitas bawah,

menyebabkan berkurangnya tekanan perfusi perifer dan ini

akan menyebabkan kebutuhan metabolik dasar jaringan

tidak terpenuhi. Rasa nyeri akan bertambah.

Bila penderita merubah posisi tungkai sedemikian hingga

tekanan perfusi dapat mengembalikannya kearah jejaring

vaskular perifer, hingga energi gravitasi dirubah kembali

ke tekanan hidrostatik, maka perfusi ke jaringan dapat

kembali normal. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan

menggerak-gerakkan tungkai, sehingga terjadi kekuatan

sentripetal yang akan membantu tekanan gravitasi, hingga

tekanan hidrostatik akan bertambah.

3. Energi karena friksi terjadi ketika aliran darah didalam

jaringan vaskular bergerak kearah makin jauh dan kearah

pembuluh darah yang makin kecil, akan terjadi

pengurangan dari energi friksi ini. Hal ini menimbulkan

fenomena konversi energi yang diberikan oleh kekuatan

pompa ventrikel kiri, menjadi energi panas (kalor). Selama

itu darah akan mengalir terus dan jumlah total enerji akan

makin berkurang sampai pada titik di mana jauh diperifer,

jauh dari jantung dan mencapai temapt yang energinya

rendah tetapi volumenya besar, yaitu kubangan venous

(”venous pool”). Aspek penting dari berkurangnya energi

friksi ini adalah adanya interaksi antara partikel darah

sepanjang pembuluh darah yang berlangsung tetap, hingga

bila terjadi adesi molekul terhadap endotel (”endothelial

adhesion molecule”) akan memicu penarikan kovalen antara

dinding pembuluh darah dengan partikel darah tadi. Secara

teoritis maka partikel darah yang dekat dengan dinding akan

mengalami daya penarikan yang lebih besar dari dinding

dan akan bergerak lebih lambat dibanding partikel yang ada

ditengah tengah pembuluh darah. Terjadi pula pengurangan

energi friksi karena terjadinya interaksi antar partikel

pembuluh darah, dan ini akan menimbulkan semacam

”lapisan” dari aliran tersebut yang bersifat ”laminer”. Maka

didaerah tengah pembuluh darah, aliran ini juga lebih cepat

dibanding lapisan yang dekat dinding. Beda ini dijabarkan

sebagai ”shear stress”, yaitu perkalian kecepatan dan beda

kecepatan aliran tersebut.

Gambar 2. Penjabaran “shear stress”.2

Sangat sulit untuk membedakankecepatan pulsasi darahdengan kecepatan aliran

darah, karena pulsasi tergantungpada elastisitas dinding arteri,

yang pada arteriosklerosis (prosespenuaan/degenerasi) akan turun,apalagi bila terjadi aterosklerosis

(penumpukan atherom padadinding pembuluh darah).1

Page 35: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 93

Haganbach pada tahun 1860 mengkoresi Hukum Poiseulle

untuk korelasi matematik antara beda tekanan terhadap

aliran darah, viskositas cairan/darah, panjang pembuluh

dan radius pembuluh:

DP = 8Q.L.m / p.r4

Di mana:

Q = aliran; L = panjang pembuluh; m = viskositas; r = radius

dan dapat diterjemahkan lebih mudah: DP = Q x R

di mana R adalah tahanan, yaitu 8.L.m/p.r4

Hukum Poiseulle-Haganbach ini tentunya berlaku tepat

pada pembuluh dengan aliran laminer yang tetap/

konstan, dengan pembuluh yang lurus/kaku. Sementara

darah mengalir dalam pembuluh yang lemas dan berkelok

kelok, serta darah bukanlah cairan murni. Hukum

Poiseulle-Haganbach akan dapat berlaku bila diameter

pembuluh darah lebih besar dari 100 micron, dan

terjadinya kehilangan energi tadi dalam suatu aliran

dinamis dengan perubahan diameter pembuluh darah

akan menjadi lebih rumit dijabarkan.

Secara klinis, maka hal-hal tersebut dapat digambarkan bila

ada stenosis pembuluh darah yang kritis, di mana adanya

penyempitan lumen tersebut akan menyebabkan

pengurangan tekanan setelah tempat stenosis tersebut.

Untuk aorta, stenosis yang dapat menyebabkan

pengurangan tekanan secara hemodinamis akan terjadi bila

stenosisnya mencapai penyempitan lumen sektional-silang

sebesar 90%, sementara untuk arteria yang lebih kecil,

iliaka, renal, karotis diperlukan stenosis lumen dengan

sektional-silang sebesar 70-90%. Harus dibedakan antara

penyempitan lumen secara sektional-silang dengan

persentase pengurangan diameter. Pengurangan diameter

sebesar 50% menimbulkan penyempitan sektional-silang

sebesar 75%, dan penyempitan diameter sebesar 66% (2

per 3) akan menyebabkan penyempitan lumen sektional-

silang sebesar 90%. Secara klinis, yang sering dipakai

adalah pengurangan diameter sampai 60% dianggap

secara hemodinamik signifikan.3

Gambar 3. Korelasi penyempitan pembuluh darah dan

konsekuensi pengurangan tekanan/aliran pasca stenosis dan

besarnya diameter: terjadi turbulensi darah.2

Gambar 4. Konservasi energi menurut Bernoulli

mengakibatkan tekanan pada daerah stenosis harus turun.2

4. Energi kinetik, didasarkan pada Hukum Newton, KE

= 1/2 mv2 dan berlaku untuk menjabarkan adanya energi

dari hubungan antara kecepatan aliran dan massa cairan

yang mengalir dalam suatu pembuluh. Karena jumlah

total nya kecil, maka energi kinetik dapat dijabarkan oleh

kecepatan aliran darah saja, dan hal ini tergantung dari

perubahan radius pembuluh darah, hingga pada

kenyataannya, perubahan kecil dari radius pembuluh

darah dapat menimbulkan perubahan kecepatan aliran

yang signifikan. Hal ini akan terkait dengan kemungkinan

timbulnya lambat-aliran pada stenosis pembuluh darah

yang menjadi pemicu timbulnya trombosis atau

pembuntuan pembuluh darah secara mendadak.

Ringkasan: Tekanan terkait dengan tekanan darah (“tensi”)

yang ada pada pembuluh darah, gravitasi terkait dengan posisi

seorang pasien/manusia (ortostatik atau tiduran atau posisi

lain), friksi terkait dengan kelainan dinding pembuluh darah

(aterosklerosis, proses arteriosklerosis, aneurysma,

percabangan pembuluh darah), dan energi kinetik terkait

dengan hukum Newton (KE = ½ . mv2) yang dipengaruhi oleh

densitas dan massa darah itu sendiri.

Hukum Poiseulle-Haganbach akan dapat

berlaku bila diameterpembuluh darah lebih besar

dari 100 micron, dan terjadinyakehilangan energi tadi dalamsuatu aliran dinamis dengan

perubahan diameter pembuluhdarah akan menjadi lebih rumit

dijabarkan.

Page 36: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200794

Penerapan Klinik HemorheologiPlaque aterosklerosis adalah keadaan dimana diameter

pembuluh darah menjadi lebih sempit atau menyempit, dan

hal ini penting bagi para ahli ahli angiologi dan ahli bedah

vaskular. Terjadinya plaque biasanya pada percabangan a.

karotis, aorta distal, dan a. femoralis superfisialis. Pada arteria

kecil lainnya (koroner, serebral, ginjal atau a. perifer)

penyempitan arteria akan mempunyai konsekuensi iskemia

organ yang dipasok secara lebih kronis, dan pengobatan

hemorheologik akan sangat ditentukan oleh efektivitas

kecepatan aliran yang terjadi, viskositas darah, fleksibilitas

partikel/komponen sel darah (deformabilitas) serta

percabangan kapiler perifer.

Diameter pembuluh darah akan mempengaruhi aliran

darah terkait hukum Bernoulli, di mana bila ada daerah yang

menyempit, maka kecepatan aliran darah akan meningkat

sebanding pangkat dua beda radius pembuluh darah tersebut.

Tekanan darah dapat meningkat karena pengaruh tersebut.

Apabila ada pelebaran pembuluh darah (aneurisma,

vasodilatasi) maka akan terjadi hal yang sebaliknya, dan

tekanan darah dapat berkurang atau menurun pada daerah

tersebut.

Jadi apabila kecepatan aliran darah berkurang, maka

didalam pembuluh darah akan terjadi tekanan samping yang

naik dan tekanan frontal akan turun. Sangat sulit untuk

membedakan kecepatan pulsasi darah dengan kecepatan aliran

darah, karena pulsasi tergantung pada elatisitas dinding arteri,

yang pada arteriosklerosis (proses penuaan/degenerasi) akan

turun, apalagi bila terjadi atherosklerosis (penumpukan

atherom pada dinding pembuluh darah).

Pada aliran darah venous, maka insufisiensi katup vena

merupakan salah satu faktor aliran, di mana terdapat

ketidakmampuan aliran darah vena untuk naik ke arah

proksimal, hingga setiap gerakan otot malahan akan makin

menambah jumlah darah ke arah vena profunda dan

superficialis dan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi.

Keadaan flebosklerosis pada usia lanjut yang terdiri dari

fibroelastosis (menebalnya tunika intima) dan senile elastosis

(bertambahnya serabut elastis di tunika media) akan pula

menimbulkan atrofi dari otot-otot tungkai.4,5

Pada kelainan vena

maka terapi hemorheologi juga mempunyai tempat untuk

diterapkan.

Prinsip Pengobatan Hemorheologi

1. Menaikkan fleksibilitas eritrosit (“deformabilitas”),

kemampuan eritrosit untuk lebih lentur hingga mudah

mengalir dalam pembuluh darah yang diameternya kecil,

2. Menurunkan viskositas plasma,

3. Menurunkan viskositas umum dari darah,

4. Menurunkan agregasi dari trombosit karena sifat adhesinya

Obat-obat hemorheologi terdiri dari :

1. Antiplatelet:

- Aspirin

- Ticlopidine dan Clopidogrel (penghambat agregasi

platelet)

- Glycoprotein IIb/IIIa inhibitor

- Cilostazol (inhibitor PDE-III)

- Picotamide (inhibitor TxA2-synthase, TxA2-reseptor

blocker)

- Naftodrofuryl (antagonis 5-HT; serotonin)

- Oxypentifylline (pengurang viskositas darah)

- Buflomedil (adrenolytik)

2. Antioksidan dan terapi khelasi (pencegah kerusakan

oksidatif, mengurangi reperfusion-injury)

3. Inositol nicotinate (vasodilator, fibrinolitik dan

mengurangi kadar lemak)

4. Cinnarizine (antagonis vasokonstriktor endogen,

angiotensin dan norepinefrin)

5. Levocarnitine (pencegah kerusakan mitokondria

penyebab metabolisme oksidatif)

6. Prostaglandin (vasodilator, pencegah rasa nyeri

klaudikasio)

7. Immunomodulator (perbaikan kemampuan jarak jalan

dengan autotransfusi darah yang diekspose dengan termal,

ultraviolet dan stress oksidatif) (“OZON-terapi”).

Secara umum skema cara kerja dan tempat bekerjanya obat-

obat hemorheologi digambarkan sebagai berikut :

1. Menaikkan fleksibilitas eritrosit

Eritrosit yang tidak fleksibel akan sulit masuk ke dalam

kapiler yang diameternya lebih kecil dari diameter eritrosit,

meskipun bentuk eristrosit yang pipih tetapi bulat. Bila

eritrosit dapat fleksibel dan dapat merubah bentuk hingga

lentur, maka akan lebih mudah memasuki kapiler yang kecil.

Oksipentifilin merupakan obat yang diyakini dapat

membuat deformabilitas eritrosit naik dan eritrosit

menjadi lebih “fleksibel” hingga viskositas darah akan

menurun.

2. Menurunkan viskositas plasma

Salah satu faktor yang membuat darah menjadi lebih viskous

adalah kadar lemak total (Hiperlipidemia) yang sangat

Page 37: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 95

dipengaruhi juga oleh kadar LDL dan HDL: pada kadar LDL

yang tinggi dan kadar HDL yang rendah akan menambah

kemungkinan mortalitas kardiovaskular.

Obat-obat golongan ”Statin” yang merupakan inhibitor

reduktase HMG-Co-A akan menurunkan kadar kolesterol

serum. Selain hiperlipidemia, terdapatnya hiperhomo-

cysteinemia (kadar homocystein serum yang tinggi) akan

membuat juga PAPO, dan merupakan penyakit karena

kelainan nutrisi dan gizi. Suplemen dengan vitamin B6 dan

B12 akan dapat menurunkan kadar homocystein serum.

Diabetes Mellitus merupakan pula keadaan yang

menaikkan viskositas darah/plasma, dan keadaan ini harus

diatasi dengan kontrol gula darah yang baik agar viskositas

plasma tidak tinggi.

3. Menurunkan viskositas umum dari darah

Sesuai dengan adanya energi tekanan, maka hipertensi

akan dapat secara relatif membuat viskositas darah secara

umum meningkat, karena tekanan yang ada pada aliran

darah terhadap dinding, sehingga cairan/darah yang

mengalir didalamnya mempunyai koefisien viskositas yang

meningkat. Kontrol tekanan darah agar tidak tinggi

membantu penurunan viskositas darah secara umum.

Merokok, merupakan keadaan yang menyebabkan viskoitas

darah meningkat, karena diduga bahwa ”ter” yang ada dalam

tembakau yang dibakar akan mempengaruhi aterogenesis

sebagai oksidan, dan akan mempengaruhi aterom yang beredar

didarah sehingga viskositas darah akan meningkat secara

relatif. Menghentikan rokok merupakan hal yang

mempengaruhi penurunan viskositas darah.

5. Menurunkan agregasi dari trombosit karena sifat

adhesinya

Obat-obat golongan anti-platelet akan menyebabkan

perlekatan antar lekosit atau partikel darah menjadi kurang,

akibatnya darah tidak terlalu ”kental”, dan membuat darah

lebih tidak viskous.6

6. Mencegah stase darah dan hemokonsentrasi

Latihan fisik secara teratur merupakan keadaan yang akan

mengaktivasi pompa otot diekstremitas, tetapi latihan fisik

ini harus terprogram agar dapat dimanfaatkan untuk

membantu menurunkan viskositas darah. Terjadinya

hemokonsentrasi karena sebab apapun juga akan

menimbulkan kenaikan viskositas darah, hingga upaya

untuk melancarkan aliran darah, terutama aliran venous

akan juga merupakan bagian pengobatan hemorheologik.

Khususnya pada daerah tungkai, tekanan hydrostatik dan

adanya hambatan aliran darah vena di sebelah proximal

merupakan dua faktor utama yang menyebabkan stase

darah. Faktor hormonal (estrogen) disebut-sebut sebagai

faktor yang merangsang terjadinya hemokonsentrasi,

melalui mekanisme ”venous pooling” akan menambah

mata rantai patofisiologi dan patogenesis hemokonsentrasi,

terutama pada wanita adalah pemakaian kontrasepsi,

kehamilan dan masa menopause/menarche.7

RingkasanPengobatan hemorheologik ditujukan agar terjadi perbaikan

aliran darah yang ada pada penyakit atau keadaan patologik

dimana aliran darah terganggu karena penyumbatan,

penyempitan pada pembuluh darah karena adanya aterogenesis

yang mengakibatkan gejala gejala PAPO.

Upaya pengobatan secara hemorheologik ditekankan pada

penurunan viskositas darah, menaikkan fleksibilitas eritrosit,

mencegah perlekatan/agregasi komponen darah/platelet dan

upaya untuk melebarkan pembuluh darah yang mengalami

penyempitan. Secara umum menurunkan viskositas darah

karena sebab hipertensi dan hiperlipidemia merupakan bagian

dari terapi hemorheologi.

Pengobatan hemorheologi juga menyangkut pengobatan

kelainan aliran venous, khususnya untuk menanggulangi

terjadinya hemokonsentrasi dan stasis darah.

Daftar Pustaka1. Puruhito. Pengantar bedah vaskulus. Edisi ke-3. Airlangga Univ. Press, 19832. Hallet Jr. JW, Mils JL, Earnshaw JJ, Reekers JA. Comprehensive vascular

and endovascular surgery. Mosby, 2004.p.409-253. Zarins CK, Zatina MA, Giddens DP, et.al. Shear stress regulation of artery

lumen diameter in experimental atherogenesis. J Vasc Surg 1987; 5:413-20

4. Puruhito. Chronic Venous Insufficiency. Microcirculation pathology asan approach to surgical treatment. Presented at: 5th Congress of AsianSociety of Microcirculation. Bandung; 2000

5. Ramelet AR, Kern P, Perrin M. Varicose veins and telangiectasias. Elsevier;2004.p.137-200

6. Dormandy JA. Microcirculation in venous disorders: the role of the whiteblood cells. Int J Microcirc 1995; 15(suppl):3-8

7. Moyse C, Cederholm-Williams SA, Michel CC. Hemoconcentration and theaccumulation of white cells in the feet during venous stasis. Int J MicrocircClin Exp 1987; 5:311-320

Upaya pengobatan secarahemorheologik ditekankan pada

penurunan viskositas darah,menaikkan fleksibilitas eritrosit,mencegah perlekatan/ agregasikomponen darah / platelet dan

upaya untuk melebarkan pembuluhdarah yang mengalami

penyempitan. Secara umummenurunkan viskositas darahkarena sebab hipertensi dan

hiperlipidemia merupakanbagian dari terapi

hemorheologik

Page 38: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200796

Terapi Bedah Pada Varises (*)Puruhito (** )Bedah Toraks Kardiovaskular RSUD Dr. Soetomo / FK Universitas Airlangga

Surabaya

Abstract. Surgical treatment of varicosis of the legs is aimed to remove unsightly varicose veins to prevent its recurrence and

also to treat the symptoms and signs that mostly affect the patients. It also treating and correct underlying abnormal vein physiology.

Prior to surgery, a complete anatomic and physiologic evaluation of the venous system is important and is mandatory to be done

by the surgeons, because it will help to support the surgical intervention.

Various techniques is used to perform the surgery of the veins of the leg, and there are several alternatives of surgical treatment

that is described in the following paper. It includes the ablation of superficial reflux, ligation and stripping of the varicosed saphenous

veins which are incompetence, as well as the endovascular ablation using radiofrequency or laser, and also some specific

techniques includes the subfascial perforator vein surgery and salvation of the leg due to chronic venous insufficiency by means

of deep valve reconstructions and autologous reconstruction pursued by venous bypass.

Keywords: varicosis, vein surgery, vascular surgery

PendahuluanIndikasi pembedahan ataupun pemilihan pengobatan

dengan tanpa pembedahan merupakan kemutlakan pada

jenis varises tertentu, yang sering diabaikan oleh ahli

bedahnya. Pada dasarnya, vena yang telah mengalami

kerusakan berarti telah menjadi ektasi, harus dikeluarkan,

karena akan dapat memutuskan mata rantai

patofisiologinya. Tetapi dapat pula mata rantai tersebut

dihentikan pada saat vena communicans mengalami

insuf is iensi (s tadium II-III) , h ingga membantu

kelancaran peredaran darah balik lagi. Menurut Stadium

klinisnya maka mulai Stadium II sudah harus dipikirkan

tindakan pembedahan. Menurut jenis dan ekstensi vena

yang terkena, berarti sudah ada pada Stadium III dan IV,

maka:

- Varises truncal Stadium III dan IV

- Varises reticularis Stadium II dan IV

harus mendapat terapi pembedahan.

Berbagai alternatif dari cara melakukan pembedahan

merupakan pilihan dan “selera” dari masing-masing ahli

bedah, selain tergantung dari sarana dan peralatan teknis

serta instrumental yang tersedia pada suatu Rumah Sakit

atau Klinik Bedah terkait. Hasil-hasil dari berbagai

alternatif bedah tersebut juga dilaporkan secara tidak

sama di antara sentra-sentra bedah, juga tidak ada bukti

klinis (evidence based) yang didasarkan pada studi

multisentra dengan parameter pengamatan yang seragam

atau penelitian dengan desain yang sama, dan masing-

masing ahli bedah mengajukan sendiri pengalaman

pribadinya dari sejumlah kasus yang mereka tangani

dengan jumlah kasus untuk teknik bedah tertentu yang

tidak memadai untuk suatu klinis. Di samping itu terapi

non surgikal 1,2 masih pula mendapatkan tempat untuk

pengobatan varises.

DefinisiYang dimaksud dengan pembedahan varises adalah semua

upaya pembedahan dalam menanggulangi gejala dan

keluhan yang timbul karena adanya varises.

Istilah “STRIPPING” yang lazim dipakai adalah

pengambilan varises dengan alat stripper, sedangkan

istilah “FLEBEKTOMI” adalah pengambilan varises

dengan alat tanpa bantuan stripper.

Dasar teoritis, pembedahan varises adalah membuang/

meniadakan vena-vena yang patologik (berkelok-kelok,

memanjang, melebar/ekstasi), hingga baik pembedahan,

skleroterapi ataupun ablasi endovaskular (RF atau LASER)

(*) Disampaikan pada : WECAN (5) – Weekend Course on Angiology,

Jakarta, Februari 16-17, 2007

(**) Gurubesar Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, Universitas

Airlangga, Fakultas Kedokteran

TINJAUAN PUSTAKA

Page 39: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 97

termasuk dalam satu kategori yang sama. Secara praktis,

ada dua tujuan pembedahan, yaitu:

1. melakukan penutupan/ligasi tempat di mana terjadi

refluks/aliran balik (katub insufisien) dan

2. mengambil/meniadakan vena yang patologik (melebar,

berkelok-kelok dan ektasi).

Sejarah Pembedahan VarisesPerintis pertama pada pembedahan varises tungkai adalah

Sir Benjamin Brodie (1783-1862) 3 yang mendeteksi

adanya refluks atau backflow aliran vena pada tungkai

atas/paha dan melakukan ligasi vena safena magna.

Kemudian Frederich von Trendelenburgh di Jerman

melakukan pembedahan varises pada tahun 1860 yang

baru dipublikasikan pada tahun 1890, dan menjadi awal

bedah varises modern. Tes atau cara diagnostik deteksi

varises serta insuf is iensi vena ditul is berdasarkan

pendapat dan pengamatan kedua ahli tersebut, yaitu tes

Brodie-Trendelenburgh.

Kemudian Charles Mayo di USA mengembangkan

teknik sayatan panjang untuk mengambil varises, dan

menciptakan stripper ekstraluminer untuk mengambil

varises yang inkompeten hanya dengan sayatan yang

sedikit dan kecil. Pembuatan stripper intraluminer oleh

Keller pada tahun 1905 membawa revousi baru saat itu

untuk stripping varises yang inkompeten, dan alat

intraluminer ini kemudian disempurnakan oleh Babcock

dengan membuat ujung stripper berupa konus. Robert

Linton (Boston, USA) mengembangkan tehnik ligasi

subfascial dari vena communicantes, dan menegaskan

juga pentingnya refluks dari vena perforator yang dapat

menimbulkan inkompetensi dan insufisiensi katub vena

di daerah proksimalnya. Hal ini diperkuat oleh temuan

Cockett dan Dodd tentang berbagai lokasi vena perforator,

bukan hanya venae communicantes (1953). Temuan ini

menjadi dasar pula dari konsep pengobatan sindroma

post-flebitik dan insufisiensi venosa kronik. Eduardo

Palma di Uruguay dan Andrew Dale (USA) melakukan

tehnik bypass femoro-femoral overcross untuk

menangani obstruksi/sumbatan vena disegmen proksimal,

mendasari dan mengawali pembedahan rekonstruktif

untuk vena. Hal ini kemudian disusul oleh berbagai teknik

rekonstruksi untuk vena, baik katub maupun segmen vena

yang inkompeten, tanpa harus “membuang” (Stripping)

vena safena magna. Pengalaman di Perang Dunia-II,

Perang Korea dan Perang Vietnam di mana perlukaan vena

banyak hanya di lakukan l igas i agar cepat se lesai

pendarahan, menimbulkan konsep baru melakukan bedah

rekonstruksi vena pasca ligasi vena besar tersebut dan

berkembang di antara tahun 1970-an. Bedah varises

modern sekitar tahun 1980-an didasarkan pada

perkembangan alat baru USG/Doppler duplex scanner

bidirect ional , serta teknologi non- invasi f dengan

endoskopi. Perkembangan penggunaan dan penerapan

gelombang RF untuk ablasi jaringan mendukung tehnik

ablasi vena safena dengan cara endovascular/endoluminal

dan membawa harapan baru kedepan untuk alternatif

tehnik pengobatan “surgical intervensional non bedah”.

Tehnik Dasar Bedah Varises:3-5

1. Ablasi refluks safenous

Cara ini didasarkan pada pendapat bahwa terjadinya

varises ditungkai (atas) adalah jkarena adanya refluks

yang disebabkan oleh insufisiensi katub di vena safena

magna. Maka bi la di lakukan l igas i katub yang

inkompeten ini, refluks dapat dicegah, sekaligus vena

yang sudah terlanjur melebar dan berkelok kelok ini

dibuang.

a. Ligasi safena dan stripping (Exeresis)

- ligasi tinggi (proksimal) dan stripping VSM

- ligasi dan stripping VSP

b. Ablasi RF vena safena

c. Ablasi LASER (panas)

d. Ablasi cryo (dingin)

e. Flebektomi local atau merusak vena superfisia

(Babcock)

2. Ligasi vena perforator

Cara ini didasarkan pada temuan adanya vena

perforator pada berbagai tingkat ditungkai bawah,

yang menyebabkan pelebaran vena karena refluks

kearah proksimal dulu dan backflow-nya melalui vena

perorator, hingga apabila vena perforator diligasi atau

dihancurkan, akan dapat terjadi aliran vena yang

normal. Hal ini juga membawa konsekuensi bahwa

stripping vena safena magna tidak lagi dianjurkan

dilakukan mulai dari distal (daerah pergelangan)

sampai ke paha (inguinal), tetapi cukup sampai daerah

lutut . Vena perforator (Dodd, Cockett , Hunter)

merupakan daerah “kebocoran” karena refluks akibat

Dasar teoritispembedahan varises

adalah membuang/meniadakan vena-vena

yang patologik (berkelok-kelok, memanjang,

melebar/ekstasi), hinggabaik pembedahan,

skleroterapi ataupun ablasiendovaskular (RF atau LA-SER) termasuk dalam satu

kategori yang sama.

Page 40: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200798

tekanan di daerah proksimal (Boyd) dan katub

inguinal dan stripping yang panjang sampai distal

dapat mengakibatkan daerah tungkai bawah (distal

dari lutu) akan mengalami insufisiensi venosa kronik.

- tehnik terbuka

- SEPS (Subfascial Endoscopic Perforator Surgery)

3. Koreksi refluks vena profunda

Cara ini merupakan perkembangan dari upaya

rekonstruksi vena, yang mengusahakan agar katub

vena yang insufisien dan inkompeten dapat dilakukan

rekonstruksi agar dapat kembali kompeten, dengan

tehnik bedah-plastik katub-vena yang memerlukan

ketelitian karena memakai endoskopi (video assisted

atau langsung) atau memakai tehnik ekstraluminer

dengan loupe.

- Valvuloplasty (internal atau eksternal)

- Transposisi katub vena

- Transplantasi katub vena

4. Terapi obstruksi vena profunda

Cara ini didasari pada pendapat bahwa adanya

obstruksi daerah proksimal dapat dilakukan “bypass”

aliran vena dari arah/sisi lain ( kontralateral ) yang

menampung aliran vena kearah proksimal. Sering

harus dibantu dengan pembuatan shunt arteri femoral

agar aliran vena ini dipacu mengalir ke arah proksimal,

dengan tehnik:

- bypass safeno-popliteal

- bypass Palma-Dale (De-Palma–pubic-over-cross

bypass)

- rekonstruksi Femoro-ilio-caval

5. Bedah Endoluminal/Endovaskular

- Cryosclerosis,

- Ablasi-RF,

- koagulasi LASER

Kesimpulan1. Terapi bedah/ surgikal pada varises mutlak dilakukan

pada varises besar atau varises lokal yang besar dengan

ancaman perdarahan atau nyeri hebat

2. Berbagai a l ternat i f teknik pembedahan varises

didasarkan pada perkembangan pengetahuan tentang

anatomi vena dan katub vena serta dukungan alat-alat

visual untuk pendekatan lebih teliti

3. Penggunan bantuan USG/Duplex-scan membantu

kualitas pengobatan dan hasilnya, khususnya pada

varises besar.

4. Ketersediaan alat-alat pendukung diagnostik dan alat-

alat kelengkapan alternatif bedah varises membawa

hasil yang berbeda untuk masing masing sentra/klinik

bedah serta kemahiran ahli bedahnya.

5. Kekambuhan pasca bedah varises setelah selang waktu,

menyebabkan perlunya tehnik bedah lainnya serta

kemahiran tehnik yang lebih pakar

6. Bebat kompresi dianjurkan untuk semua cara

pengobatan, untuk mencegah kekambuhan.

Daftar Pustaka1. Puruhito. Terapi surgikal dan non-surgikal pada varises tungkai.

Simposium Penanganan Dini Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah,Surabaya, 6 Januari 2007. Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah ToraksKardiovaskular Indonesia

2. Puruhito. Chronic venous insufficiency, microcirculation pathologyas an approach to surgical treatment, Presented at: 5th Congress ofAsian Society of Microcirculation, Bandung, March, 2000

3. Raju S, Villavincencio JL. Surgical management of venous disease.Williams & Wilkins; 1997.p.221-390

4. Ha l l e t J r. JW, M i l l i s JL , Ea rnshaw JJ , Reeke rs , JA , (Eds ) .Comprehensive vascular and endovascular surgery. Mosby; 2004.p.45-54; 507-624

5. Ramelet AR, Kern P, Perrin M. Varicose veins and telangiectasias.Elsevier; 2004.p.137-200

Bedah varises modernsekitar tahun 1980-an

didasarkan padaperkembangan alat baru

USG/Doppler duplexscanner bidirectional, serta

teknologi non-invasifdengan endoskopi.

Perkembangan penggunaandan penerapan gelombang

RF untuk ablasi jaringanmendukung tehnik ablasivena safena dengan caraendovaskular/endoluminal

dan membawa harapanbaru kedepan untuk

alternatif tehnik pengobatan“surgical intervensional non

bedah”.

Page 41: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 55

PROFIL

Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur Hermawan,Sp.PD-KPTIGuru Besar Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Profil yang kami angkat pada

edisi April - Juni 2007 adalah

Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur

Hermawan, Sp.PD-KPTI yang

merupakan seorang yang ahli

di bagian Penyakit Dalam,

sebagai Guru Besar dalam

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas

Sebelas Maret dan Staf

Pengajar Laboratorium Ilmu

Penyakit Dalam FK UNS

Surakarta.

Prof. Guntur lahir di Surakarta

pada tanggal 6 Mei 1949.

Sekarang ini beliau tinggal di Jl.

Melati No. 18 Badran Surakarta

57142. Dari istrinya (Ibu Hermani)

beliau mempunyai 3 orang anak,

yaitu: Bayu Ari Purnomo, ST.MSAC; dr. Darmawan Ismail,

Isa Akbar Brawijaya.

Prof. Dr. dr. H.A. Guntur Hermawan, SpPD-

KPTI d ikukuhkan sebagai Guru Besar I lmu

Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret, Surakarta tepatnya pada tanggal

14 Juli 2003. Pada saat menyampaikan pidato

pengukuhan, judul pidato pengukuhan yang beliau

p i l ih , ya i tu : Imunopatobiologik Sepsis dan

Penatalaksanaannya. Judul tersebut beliau pilih

d isebabkan karena te lah ter jad i perubahan

pandangan mengenai perkembangan definisi sep-

sis dari proses adanya bakteri di dalam darah

menjad i proses in f lamasi imunobio log ik .

Perubahan pandangan ini akan mempengaruhi

dasar pengobatan/penatalaksanaan sepsis dan

syok sept ik. Sepsis adalah

suatu sindroma kl inik yang

ter jadi oleh karena adanya

respon tubuh yang berlebihan

terhadap rangsangan produk

mikroorganisme.

Dijelaskan pula pada saat

pengukuhan bahwa penyebab

sepsis terbesar adalah bakteri

gram (-) dengan prosentase 60

sampai 70% kasus, yang

menghasilkan berbagai produk

dapat menstimulasi sel imun.

Se l te rsebut akan terpacu

untuk melepaskan mediator

in f lamas i . Produk yang

berperan pent ing terhadap

sepsis adalah lipopolisakarida

(LPS) , yang merupakan

struktur dominan terdapat pada membran luar

bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan

jaringan, demam dan syok pada penderita yang

ter in feks i . S t ruk tur l ip id A da lam LPS

bertanggungjawab terhadap reaksi dalam tubuh

penderita (Belanti, 1993; Warren, 1994; Sands,

1997). Staphylococci, Pneumococci, Streptococci,

dan bakter i g ram pos i t i f la innya ja rang

menyebabkan sepsis dengan angka kejadian 20

sampai 40% dari keseluruhan kasus (Bone, 1994).

Selain itu jamur opurtunistik, virus (dengue dan

herpes) atau protozoa (Falciparum malariae)

dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun

jarang.

Sebelum masuk ke Fakultas Kedokteran UNS,

beliau menamatkan pendidikan SMA-nya di SMA

Prof. Dr. dr. H. Achmad GunturHermawan, SpPD-KPTI

Page 42: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200756

Neger i 1 Surakar ta

tahun 1967. Kemudian

be l iau menamatkan

pend id ikan Kedokte-

rannya d i Faku l tas

Kedokteran UNS

Surakarta tahun 1977.

Prof. dr. Moh. Saleh,

SpPD, SpJP (almarhum)

yang mendorong Prof.

Guntur untuk mengikuti

pendidikan spesialisasi

Ilmu Penyakit Dalam di

Faku l tas Kedokteran

Universi tas Air langga

(UNAIR) Surabaya.

Pada tahun 1986 Prof.

Guntur menamatkan

p e n d i d i k k a n n y a

tersebut. Selang bebe-

rapa tahun beliau juga

telah menamatkan S3

(Doktor) Pascasarjana

UNAIR Surabaya pada tahun 2001 dengan judul

d iser tas i : “Perbedaan Respons Imun yang

Berperan pada Sepsis dan Syok Septik” - Suatu

Pendekatan Imunopatobiologik Sepsis dan Syok

Sept ik pada Immunocompromise dan Non-

Immunocompromise. Prof. Dr. dr. PG. Konthen,

SpPD-KAI; Prof. dr. Eddy Soewandojo, SpPD-

KPTI; Prof. Dr. dr. Soehartono Taat Poetra, MS

yang te lah mengantar be l iau h ingga dapat

menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana (S3)

dengan waktu relatif singkat. Pada tahun 2003

beliau berhasil menyelesaikan pendidikkan Con-

sultant Tropical Medicine Infectiology Jakarta dan

pada tahun yang sama pula beliau meraih gelar

Guru Besar Fakultas Kedokteran UNS Surakarta.

Beberapa jabatan yang Prof. Guntur pegang di

Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. Moewardi

Surakarta antara lain: sebagai Kepala Subbagian

Allergi Immunologi dan Penyakit Tropik - Infeksi

Lab./SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/RSUD Dr.

Moewardi Surakarta; Ketua Pusat Pelayanan

In formasi AIDS Univers i tas Sebelas Maret

Surakarta; Ketua Tim Penanggulangan HIV/AIDS

FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta; Ketua Tim

Alergi - Imunologi FK UNS/RSUD Dr. Moewardi

Surakarta; Wakil Ketua Tim Penanggulangan DHF

Foto bersama Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur Hermawan, SpPD-KPTIbeserta keluarga besar

Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. Moewardi

Surakarta.

Sedangkan jabatan organisasi yang beliau ikuti

antara lain adalah sebagai Ketua PAPDI cabang

Surakarta, Ketua PETRI cabang Surakarta, Ketua

Peralmuni cabang Surakarta.

Keanggotaan profesi yang Prof. Guntur ikuti

antara lain adalah IDI, PAPDI, PERALMUNI,

Persatuan Dokter Peduli AIDS, PETRI, Critical and

Syock Society, Perhimpunan Patobiologi Indone-

sia.

Prof. Guntur juga memiliki beberapa tulisan

karya i lmiah ba ik t ingkat Nas iona l maupun

Internasional.

Pada ed is i in i Pro f . Dr . dr . H.A. Guntur

Hermawan, SpPD-KPTI berkesempatan pula untuk

memberikan artikel yang berjudul “The Role of

Cefepime: Empirical Treatment in Critical Ill-

ness” yang menjelaskan bahwa terapi secara

empiris pada suatu daerah, dilakukan berdasarkan

pada pola kuman yang didapatkan pada rumah

sakit setempat berdasarkan pola kuman dan uji

kepekaan. Penelitian yang dilakukan pada infeksi

nosokomial di RSUD Dr Moewardi menunjukkan

bahwa cefepime dapat digunakan sebagai terapi

secara empiris.DM

Page 43: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 57

Membangun Brand,OTC Dexa Ikuti Fun Bike Hari TB Internasional

SEKILAS DEXA MEDICA GROUP

Branding OGBdexa Saat Munas PAFI

Tim OGBdexa terus memperkuat branding dengan

melakukan edukasi dan knowledge sharing kepada

relasi potensial agar brand OGB dexa kian

menancap dibenak para relasi. Kali ini dengan tampil di

Munas PAFI (Persatuan Ahli Farmasi Indonesia).

M u n a s

P A F I

berlangsung dari

tanggal 5-7 April

2007 di

Surabaya. Pada

hari pertama,

PT. Dexa Medica

d i b e r i k a n

k e s e m p a t a n

presentasi yang

disampaikan

oleh HMS OGBdexa, Bapak Tarcisius T. Randy. Jumlah peserta

Munas PAFI lebih kurang 270 orang. Di hari ketiga jumlah peserta

bertambah lebih kurang 110 orang. Suasana diwarnai nuansa

merah karena semua peserta mendapat tas OGBdexa.

Setelah presentasi mengenai OGBdexa, peserta

ditunjukkan kecanggihan pabrik Cephalosporin Dexa

Medica yang baru. Banyak peserta yang terkagum-kagum

dengan kecanggihan pabrik Dexa. Bahkan tidak sedikit

yang baru tahu bahwa

OGBdexa menduduki

peringkat 1 Nasional.

Demikian beberapa

komentar peserta di sela-

sela kegiatan Munas

PAFI.

Saat pembagian gim-

mick seperti Stapler, ada

peserta yang

menanyakan harganya,

kita memberitahu bahwa

Stapler itu gratis. Banyak

peserta yang antusias

untuk memperoleh gimmick-gimmick kita yang lainnya

seperti tas OGBdexa, block note, dan lain-lainnya.

Branding OGBdexa kali ini, menurut pantauan kami

berjalan sukses. Hal ini dapat dilihat dari antusias peserta

yang notabenenya mewakili pengurus PAFI di seluruh

Indonesia. Banyak peserta yang menanyakan mengenai

OGBdexa setiap kali berkunjung ke stand Dexa (PAFI

Banjarmasin, PAFI Lamongan, PAFI Gresik, PAFI

Bandung, PAFI Jakarta, PAFI Kalimantan, dan lain-lain).

Banyak juga peserta yang mengabadikan foto di depan

Banner OGBdexa. DM Tim OGBdexa

Hari TB Internasional yang jatuh pada 24 Maret,

diperingati meriah di Kabupaten Tangerang

pada Sabtu, 31 Maret 2007 lalu, dimulai pukul 06.00

di Boulevard Raya BSD Tangerang dengan serangkaian

kegiatan diantaranya: fun bike, gebyar seni dan bazaar.

Kegiatan dibuka Bapak AM Fatwa (Wakil Ketua MPR

RI), dipandu MC, Shanaz Haque dan Dikdoang. Hari itu,

tim OTC Dexa di Tangerang tidak mau ketinggalan mo-

mentum, karena event tersebut dihadiri lebih dari 800

orang, yang merupakan target market OTC, yaitu:

keluarga, komunitas sepeda, artis dan lain-lain. OTC

Dexa, Reach for The Stars! DM Saipul

Page 44: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 200758

Dua Tahun Berturut-Turut:Dexa Medica Raih Employer of Choice

Dexa Medica dalam dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2006

dan 2007, meraih Employer of Choice. Tahun 2007 ini, Dexa

Medica meraih predikat “5 Besar Perusahaan Ternyaman

dan Terbaik 2007”. Sedangkan tahun 2006 diperingkat ke-7

Employer of Choice, yang dilakukan oleh HayGroup dengan

menggunakan model Engaged Performance (EP).

Engaged Performance adalah kinerja yang dicapai

sebuah perusahaan dengan cara menstimuli antusiasme

karyawan terhadap pekerjaannya, serta mengarahkannya

kepada kesuksesan perusahaan. Metode ini telah digunakan

oleh HayGroup untuk survei sejenis di berbagai negara.

Penghargaan “Indonesian Employer of Choice 2007”

diserahkan pada 10 April 2007, di Hotel Shangri-La Jakarta.

Lima Besar Employer of Choice 2007 adalah: 1. PT. Astra In-

ternational Tbk, 2. PT. TNT Indonesia, 3. PT. Bank Niaga Tbk,

4. PT. Dexa Medica dan 5. PT. Microsoft Indonesia.

Engaged Performance terdiri dari empat faktor

pendorong utama (key driver), yaitu: internal effectiveness

leadership (kepemimpinan efektif), talent management

(kesempatan karyawan untuk maju), external business fo-

cus (kemampuan perusahaan merespons perubahan

eksternal), internal effectiveness direction (arah perusahaan

jangka panjang).

Hasil survei dari HayGroup yang bertujuan untuk melihat

tingkat komitmen karyawan tersebut, diakui Ferry Soetikno

dapat dijadikan sarana untuk menangkap persepsi karyawan,

kemudian menganalisisnya untuk menjadi umpan balik yang

berharga bagi perusahaan.

Key Driver Dexa Medica

Berdasarkan hasil riset tersebut di atas, ada Empat Faktor

Pendorong Utama (key driver) yang menjadikan Dexa

Medica sebagai perusahaan pilihan karyawan, yaitu:

1. Leadership: Menerapkan competency based manage-

ment sehingga karyawan menempati posisi tertentu sesuai

dengan kompetensinya. Menerapkan filosofi 3 P: pay for

profession, pay for performance, pay for person yang

terkait dengan kompetensi, mengusung kepemimpinan

dengan prinsip Deal with Care, Strive for Excellence,

Act Professionally, juga Leading by Example.

2. Talent Management: Melakukan manajemen talenta

dalam organisasi dengan melihat kinerja dan potensi

karyawan, memberikan kesempatan kepada karyawan untuk

berorientasi sesuai dengan kompetensinya, sehingga tidak

terpaku hanya di satu anak perusahaan, melakukan segmentasi

untuk mencari talenta yang jadi andalan berdasarkan

kompetensi dan kinerja orang per orang, melakukan kegiatan

knowledge sharing, terutama dari hasil pelatihan, melalui

portal yang dapat diakses oleh setiap karyawan.

3. External Business Focus: CEO cepat menangkap

setiap perubahan, melakukan sharing, dan kemudian

memberi tantangan kepada setiap karyawan untuk

melakukan inovasi di setiap unit bisnis, menjadi salah

satu dari 405 perusahaan yang mendapat Zero Accident

Award. Penghargaan ini diberikan kepada perusahaan

yang mengimplementasikan keselamatan dan kesehatan

kerja secara optimal, melakukan berbagai kegiatan CSR

(corporate social responsibility) dan memiliki wadah

yang bernama Dharma Dexa.

4. Direction: Mempersiapkan diri menjadi pemain re-

gional mulai tahun 2006 dan pada 2015 menjadi pemain

global, guna mencapai visi dan misi perusahaan,

manajemen bekerja sama dengan berbagai perusahaan

multinasional dan nasional, berupa pemberian lisensi

ataupun melakukan toll manufacturing, giat melakukan

riset dan pengembangan, pemenuhan standar yang

ditetapkan ASEAN, fasilitas produksi yang memenuhi

persyaratan, serta pemasaran yang baik. DM

SEKILAS DEXA MEDICA GROUP

Page 45: D2B7CC7Bd01

DEXA MEDIA � No. 2, Vol. 20, April - Juni 2007 59

KALENDER PERISTIWA

1. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Kesehatan Anak(PIT IKA III) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)Tanggal: 06 - 09 Mei 2007Tempat: Graha Sabha, YogyakartaSekretariat:Telp.: 021-55960180Faks: 021-55960179E-mail: [email protected] Person: Risnawati

2. The 7th JNHC & Hypertension Course: Chronic Kid-ney Disease and Its ComplicationsTanggal: 18 Mei 2007Tempat: Hotel Borobudur, JakartaSekretariat:Sekretariat JNHC & SH 2007 - PB PERNEFRI DivisiGinjal dan Hipertensi, Departemen Ilmu PenyakitDalam FKUI - RSCM, Jl. Diponegoro No. 71 Jakarta -Indonesia PO BOX 1169 JKT 13011Telp.: 021-3149208; 3903873Faks: 021-3155551E-mail: [email protected]; [email protected]: http://www.pernefri.orgContact Person: Tety, Linda, Ferdy, Bambang

3. Symposium in Hypertension: Hypertension andTarget Organ - How to Prevent?Tanggal: 19 - 20 Mei 2007Tempat: Hotel Borobudur, JakartaSekretariat:Sekretariat JNHC & SH 2007 - PB PERNEFRI DivisiGinjal Hipertensi Departemen Penyakit Dalam FKUI -RSCM Jl. Diponegoro 71, Jakarta 10430Telp.: 021-3149208; 3903873Faks: 021-3155551E-mail: [email protected]; [email protected]: http://www.pernefri.orgContact Person: Teti, Linda, Ferdy, Bambang

4. Temu Ilmiah Geriatri 2007: The Truth About Agingand Anti Aging: Scientific PerspectiveTanggal: 24 - 27 Mei 2007Tempat: Hotel Borobudur, JakartaSekretariat:Sekretariat Temu Ilmiah Geriatri 2007Telp.: 021-30041026; 31900275Faks: 021-30041027; 31900275E-mail: [email protected],

[email protected] Person: Deri, Daniel, Dewi

5. 1st Indonesian Symposium on Colorectal Disease:A Multidisciplinary ApproachTanggal: 01 - 03 Juni 2007Tempat: Hotel Borobudur, JakartaSekretariat:Sub.Bagian Digestive, RSCM Salemba

Telp.: 021-31900938; 3148705; 081510772557E-mail: [email protected] Person: Ismayanti

6. 3rd National Congress of ISICM - Global Challangein Intensive Care Medicine: Patient - Centered So-lutionsTanggal: 13 - 18 Juni 2007Tempat: Hotel Borobudur, JakartaSekretariat:Geoconvex Office & Mailing AddressJl. Kebon Sirih Timur 4 Jakarta Pusat 10340 IndonesiaTelp.: 62-21-3149318, 3149319, 2305835Faks: 62-21-3153392E-mail: [email protected] Person: Jery Londa

(HP: 08128586775 / 0811882080)7. Konferensi Kerja Perhimpunan Dokter Paru Indo-

nesia (KONKER PDPI) XI 2007New Perspective of Respiratory Disorders:Identifiying & Overcoming the ProblemsTanggal: 04 - 06 Juli 2007Tempat: Discovery Kartika Plaza Hotel, BaliSekretariat:RSU Wangaya, Jl. Kartini 133 Denpasar 80111 BaliTelp.: 0361-418838, 222142 pswt 110, 7458927Faks: 0361-418838E-mail: [email protected]

8. Bienniel Scientific Meeting of Indonesian Psychia-try Association (PIDT PDSKJI 2007)“Collaboration in Psychiatry for Better PatientsManagement in Indonesia”Tanggal: 05 - 08 Juli 2007Tempat: Aston Convention Centre, PalembangSekretariat:Sekretariat PIDT PDSKJI 2007Jl. Imam Bonjol No. 12 JakartaTelp.: 021-4532202, 30041026, 3147150Faks: 021-4535833, 30041027, 3147151E-mail: [email protected];

[email protected] Person: Yenny/Iwan/Lenny

9. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perkumpulan Obstetridan Ginekologi Indonesia (PIT POGI) 2007 MataramTanggal: 07 - 11 Juli 2007Tempat: Hotel Grand Legi, MataramSekretariat:Sekretariat Panitia PIT POGI XVI SMF RSU Mataram,Jl. Pejanggik No. 6 MataramTelp.: 0370-631975, 641008Faks: 0370-631975E-mail: [email protected];

[email protected]: http://www.pitpogi16-lombok.com