css tonsilitis.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit pada tonsil dan
adenoid merupakan hal yang sering ditemui pada populasi umum. Keluhan nyeri
tenggorokan, infeksi saluran nafas atas, dan penyakit telinga yang diakibatkan
oleh penyakit tenggorok merupakan keluhan yang seringkali timbul pada pasien
di sarana kesehatan primer terutama pada pasien kelompok umur anak-anak.
Meskipun frekuensi tindakan tonsilektomi dan adenoidektomi sekarang ini telah
menurun namun jenis operasi ini masih merupakan tindakan operasi tersering
yang dilakukan pada pasien anak terutama di Amerika Serikat.1,2
Infeksi tonsil berulang dan tonsillitis kronis serta hiperplasia obstruktif
adalah penyakit tersering pada anak dibandingkan dengan penyakit tonsil
lainnya. Gangguan tidur yang disebabkan oleh obstructive sleep apnea
syndrome (OSAS) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien anak
akibat tonsilitis dan dapat menyebabkan dampak yang buruk pada pertumbuhan
dan perkembangan anak baik secara fisik, psikologi dan kognitif. Abses
peritonsilar juga merupakan komplikasi lainnya sering terjadi pada pasien
tonsillitis kronis.(1)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tonsil
2.1.2 Embriologi
Jaringan limfoid cincin Waldeyer berkembang mengelilingi traktus
respiratorius dan traktus digestivus primitif sejak usia kehamilan lima bulan.
Struktur cincin Waldeyer terdiri dari tiga massa jaringan tonsillar yaitu lingual,
faringeal (adenoid), dan faucial atau palatina. (2)
Jaringan tonsillar berasal dari kantung faring kedua. Pada minggu kelima
perkembangan mudigah, terbentuk lengkung brakhialis atau lengkung faring
berupa batang jaringan mesenkim yang dipisahkan oleh celah-celah dalam yang
disebut sebagai celah brachial atau celah faring. Bersamaan dengan
perkembangan lengkung dan celah tersebut sejumlah kantung faring nampak di
sepanjang dinding lateral faring. Lengkung faring berkembang membentuk
rangka wajah sedangkan kantung faring menjadi organ-organ di area
maksilofasial.(3)
Kantung faring pertama membentuk divertikulum yang menyerupai
tangkai yaitu recessus tubotympanicus yang berdampingan dengan epitel yang
membatasi celah faring pertama, kelak akan menjadi meatus acusticus externus.
Bagian distal dari divertikulum melebar menjadi bangunan berbentuk kantung
yaitu kavum timpani primitif sedangkan bagian proksimalnya membentuk tuba
auditiva (eustachi). Lapisan epitel kantung faring kedua berproliferasi dan
membentuk tunas-tunas yang menembus ke dalam mesenkim di sekelilingnya.
2
Tunas-tunas tersebut kemudian disusupi oleh jaringan mesoderm sehingga
membentuk primordium tonsilla palatina. Selama bulan ketiga hingga bulan
kelima, tonsil berangsur-angsur diinfiltrasi oleh jaringan limfoid. Sebagian dari
kantung akan tetap tersisa dan pada orang dewasa ditemukan sebagai fossa
tonsillaris. Kantung faring ketiga memiliki sayap dorsal dan sayap ventral pada
ujung distalnya. Pada minggu kelima epitel sayap dorsal akan berdiferensiasi
menjadi glandula parathyroidea inferior sedangkan sayap ventral membentuk
timus. Epitel sayap dorsal dari kantung keempat membetuk glandula
parathyroidea superior, dalam perkembangannya kelenjar ini akan terpisah dari
dinding laring dan menempel pada kelenjar tiroid. Sedangkan kantung faring
kelima menghasilkan corpus ultimobranchiale yang kelak menyatu dengan
glandula thyroidea yang menghasilkan sel parafollicular pensekresi kalsitonin. (3)
Gambar 1. Perkembangan kantung faring pada mudigah(4)
3
Kripta tonsillar terbentuk ketika sel epitel endodermal membentuk
bantalan sel epitel yang mengelilingi mesodermal. Kematian sel yang terprogram
kemuadian terjadi pada bagian sentral sehingga terbentuk lumen atau kripta.
Selama bulan keempat perkembangan fetus, lapisan epitel kripta tumbuh ke arah
laisan epitel jaringan penghubung dan diinfiltrasi oleh sel-sel limfoid. Pada bulan
kelima telah terbentuk folikel yang pertama dan faringel tonsil terbentuk
sempurna pada bulan ketujuh. Tonsil palatina pertama kali tampak pada bulan
ketiga, selama bulan keempat sekitar sepuluh tunas ensodermal melilit di dalam
mesenkim di sekitar dinding faring dan kanalisasi terjadi melalui apoptosis sel.
Trimester ketiga folikel limfoid yang sempurna telah seluruhnya terbentuk dan
pertumbuhan jaringan limfoid tetap berlangsung setelah kelahiran.(2,3,5)
2.1.2 Anatomi
Tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), dan tonsil lingual disebut juga
sebagai cincin Waldeyer dan merupakan bagian dari Mucosa-assosiated
lymphoid tissue (MALT). Struktur cincin Waldeyer dapat ditemukan pada bagian
superior dari traktus aerodigestif. Tonsil dan adenoid adalah pertahanan tubuh
pertama pada saluran nafas bawah dan saluran gastrointestinal yang berfungsi
membentuk sel memori terhadap antigen. (1)
Adenoid atau tonsil faringeal adalah massa berbentuk triangular yang
tersiri dari jaringan limfoid yang terletak di posterior nasofaring. Pada adenoid
terdapat kolonisasi bakteri normal tubuh, adenoid berkembang selama masa
kanak-kanak dan memiliki fungsi sebagai bagian dari sistem imun dan
4
mengalami regresi menjelang pubertas. Gambaran makroskopik dan mikroskopik
adenoid serupa namun memiliki banyak perbedaan dengan tonsil.(1)
Tabel 1. Perbedaan Anatomi dan Fisiologi Adenoid dan Tonsil(1)
Adenoid TonsilLokasi anatomi
Dinding posterior nasofaring Dinging lateral nasofaringDapat meluas hingga ke koana lateralis
Meluas ke nasofaring atau orofaring
Makroskopis Berbentuk segitiga;, invaginasi menjadi lipatan dalam, sedikit kripta
Umumnya berbentuk oval, kadang bilobus, invaginasi menjadi 20-30 kripta
Mikroskopis Terdiri dari 3 macam epitel: Ciliated pseudostratified Columnar SquamousMemproses antigen transisional Tidak ada aliran limfatik aferen
Memproses antigen khusus Tidak ada aliran limfatik aferen
Fisiologi Gerakan mukosilia Memproses antigenPengawasan imun tubuh
Memproses antigen, pengawasan imun tubuh
Tonsil fausial atau palatina yang sering disebut sebagai tonsil adalah
massa berbentuk masa oval berlokasi di dinding lateral orofaring. Tonsil palatina
adalah jaringan limfoid terbesar di antara jaringan limfoid pembentuk struktur
cincin Waldeyer lainnya. Saat lahir, tonsil palatina memiliki diameter
anteroposterior 5 m, diameter vertikal 3,5 mm, dan berat sekitar 0,75 gram.
Selama masa kanak-kanak tonsil tumbuh ke arah bawah fosa tonsillar dan
diameter vertikal bertambah lebih cepat dibandingkan dengan diameter
anteroposterior. Tonsil biasanya terletak pada orofaring namun dapat pula
5
tumbuh hingga mencapai nasofaring sehingga dapat menyebabkan insufisiensi
velofaringeal atau obstruksi nasal. Tonsil dapat pula meluas ke hipofaring, seperti
diketahui hipofaring merupakan rongga jalan nafas posterior antara basis lidah
dan dinding faring posterior, sehingga akan nampak sebagai gejala dari
obstructive sleep apneu syndrome pada anak-anak. (1,2, 5)
Gambar 2. Letak tonsil palatina dalam rongga mulut(6)
Tonsil dilapisi oleh kapsul tipis yang merupakan bagian dari fasia
faringobasilar melapisi permukaan tonsil dan membentuk septum yang
membatasi struktur pembuluh darah dan saraf. Permukaan dalam tonsil
menempel pada fascia otot konstriktor superior membentuk fossa tonsilar yang
dibentuk oleh tiga otot. Batas anterior adalah otot palatoglossus yang
membentuk pilar anterior sedangkan batas posterior adalah otot palatofaringeus
yang membentuk pilar posterior, dan otot konstriktor superior faring sendiri.(1,2)
6
Gambar 3. Vaskularisasi pada tonsil(7)
Suplai darah tonsil secara umum dibagi menjadi kutub atas dan kutub
bawah. Pada kutub bawah dari tonsil disuplai oleh cabang tonsillar dari arteri
lingual dorsalis di bagian anterior, arteri palatina asenden di bagian posterior,
dan cabang tonsillar arteri fasialis. Sedangkan pada kutub atas tonsil mendapat
aliran darah dari arteri faringel asenden dan arteri palatina minor. Semua aliran
darah ke tonsil merupakan cabang arteri karotis eksterna. Kurang lebih 2
sentimeter ke arah posterolateral dari tonsil terdapat arteri carotis interna, hal ini
menjadi perhatian saat dilaukan diseksi tonsil dalam tonsilektomi. Sedangkan
aliran darah balik dari tonsil melalui pleksus peritonsillar yang terletak di kapsul
tonsil dan bermuara ke vena lingualis dan vena faringeal kemudian mengalir ke
vena jugularis interna.(2,1)
7
Gambar 4. Aliran limfatik tonsil ke kelenjar getah bening servikalis(6)
Aliran limfatik dari tonsil akan menuju ke kelenjar getah bening superior
deep cervical dan kelenjar getah bening jugularis. Inervasi sensoris berasal dari
nervus glossopharyngeal yang terdapat pada kutub bawah tonsil dan cabang
desenden dari nervus palatina melalui ganglion sphenopalatina.(1,2)
Struktur histologi tonsil berkaitan dengan fungsinya sebagai organ
penghasil sistem imun. Seperti adenoid, tonsil tidak memiliki jalur limfatik afferent
tapi memiliki 10 sampai 30 kripta invaginasi yang bercabang hingga ke dalam
parenkim dan dilapisi oleh epitel squamosa khusus yang memproses antigen.
Epitel ini menyediakan rute akses sistem imun untuk antigen yang terhirup atau
termakan. Epitel kripta memiliki sistem kompleks untuk sel pengenalan antigen
dan mikrospora yang mengirimkan antigen ke sel limfoid aktif di epitel tonsil.(1,2)
8
Gambar 5. Gambaran histologi tonsil(8,9)
Terdapat empat zona atau kompartemen yang memiliki peranan penting
dalam memproses antigen yaitu epitel skuamosa khusus, area ekstrafolikular
(area T-cell), zona mantel dari folikel limfoid, dan setrum germinativum folikel
limfoid (B-cell). (1)
2.1.3 Fisiologi
Tonsil dan adenoid merupakan organ mayor imunologik pada traktus
aerodigestif atas. Tonsil dan adenoid memiliki fungsi yang unik sebagai sistem
imun lokal dan pengawas imunitas. Antigen akut dan kronik dihasilkan oleh
bakteri, virus, makanan, dan iritasi lingkungan pada tonsil dan adenoid akan
menghasilkan produksi antibodi lokal dan sistemik, perubahan pada rasio
kompartemen seluler sel B dan sel T, dan peningkatan kadar immunoglobulin
serum. Perbedaan dengan nodus limfatikus, tonsil dan adenoid tidak memiliki
aliran limfatik afferen, oleh sebab itu terdapat epitel khusus yang berperan
penting dalam mempresentasikan antigen dan memprosesnya sehingga timbul
9
respon sel B dan sel T, termasuk produksi immunoglobulin, ekspansi klon
memori, dan produksi imunomodulator lokal.(1,2)
Perkembangan tonsil palatina mencapai puncaknya sampai usia 15
tahun, setelah pubertas jaringan tonsillar mengalami involusi dan timbul jaringan
fibrosis. Sedangkan tonsil adenoid berkembang sampai usia 6 sampai 7 tahun
dan menjadi atrofi setelah dewasa.(5)
Efek dari adenotonsilektomi pada seluruh integritas imunologi menjadi
minimal. Dilaporkan adanya penurunan kadar immunoglobulin A terhadap vaksin
polio setelah adenoidektomi atau meningkatnya angka kejadian Hodgkin setelah
tonsilektomi dan adenoidektomi namun secara klinis tidak signifikan. Walaupun
tidak ada efek samping yang spesifik setelah pengangkatan tonsil namun
perannya sebagai sistem imun tidak dapat diabaikan terutama pada masa kanak-
kanak. (1)
2.2 Tonsilitis
2.2.1 Definisi
Tonsilitis akut adalah suatu infeksi akut pada tonsil dengan gejala nyeri
tenggorok, odinofagi, dan kelesuan tubuh. Sedangkan tonsillitis kronis adalah
infeksi tonsil yang menetap serngkali terjadi pada anak yang usianya lebih tua
dan dewasa muda dengan gejala nyeri tenggorok yang menetap dan
intensitasnya sama, halitosis dan perasaan letih lesu.(10)
10
2.2.2 Patofisiologi
Patogenesis terjadinya inflamasi pada tonsil dan adenoid didasarkan
pada lokasi anatomis dan fungsinya sebagai suatu organ yang berperan dalam
sistem imun sendiri yang memproses agen-agen infeksius serta antigen-antigen .
Secara kontradiktif organ tersebut menjadi fokus infeksi itu sendiri. Infeksi virus
yang disertai infeksi sekunder bakteri dapat menjadi penyebab infeksi kronis di
samping pengaruh faktor lingkungan, host, penggunaan antibiotik spektrum luas,
keseimbangan ekologi dan diet.(1)
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan kerentanan terjadinya infeksi pada
tonsil di antaranya :
Penggunaan alkohol
Splenektomi
Kontak dengan penderita tonsilitis
Sickle cell anemia
Sinusitis
Merokok
Terpapar asap rokok
Musim dingin
Keadaan yang melemahkan sistem imun, seperti: Diabetes ,
Transplantasi, penggunaan kemoterapi, HIV/AIDS(11,12)
Inflamasi dan hilangnya integritas dari epitel kripta menghasilkan kriptitis
kronis dan obstruksi kripta, hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya stasis
dari debris-debris kripta dan antigen. Bakteri-bakteri yang terdapat pada kripta
tonsil kemudian akan bermultiplikasi.(1)
11
Gambar 6. Perbandingan gambaran tonsil normal dan tonsillitis(14)
Tonsil dibungkus oleh suatu kapsul yang sebagian besar berada pada
fosa tonsil yang terfiksasi oleh jaringan ikat longgar. Tonsil terdiri dari banyak
jaringan limfoid yang disebut folikel. Setiap folikel memiliki kanal (saluran) yang
ujungnya bermuara pada permukaan tonsil. Muara tersebut tampak berupa
lubang yang disebut kripta. Saat folikel mengalami peradangan, tonsil akan
membengkak dan membentuk eksudat yang akan mengalir dalam saluran
(kanal) lalu keluar dan mengisi kripta yang terlihat sebagai kotoran putih atau
bercak kuning. Kotoran ini disebut detritus. Detritus sendiri terdiri atas kumpulan
leukosit polimorfonuklear, bakteri yang mati dan epitel tonsil yang terlepas.
Tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Tonsilitis
akut dengan detritus yang menyatu lalu membentuk kanal-kanal disebut tonsilitis
lakunaris. Detritus dapat melebar dan membentuk membran semu
(pseudomembran) yang menutupi tonsil. Adanya pseudomembran ini menjadi
alasan utama tonsilitis akut didiagnosa banding dengan angina Plaut Vincent,
angina agranulositosis, tonsilitis difteri, dan scarlet fever. (13,12)
12
Fase-fase patologis yang terjadi pada tonsillitis adalah (1) Peradangan
pada daerah tonsila, (2) pembentukan eksudat, (3) selulitis tonsila dan daerah
sekitarnya, (4) pembentukan abses peritonsilar, dan (5) nekrosis jaringan.(13)
2.2.3 Mikrobiologi
Saluran nafas atas memiliki flora normal seperti Actinomyces,
Fusobacterium, dan Nocardia yang dapat ditemukan sejak usia 6 sampai 8
bulan. Sedangkan Bacteroides, Leptotrichia, Propionibacterium, dan Candida
merupakan flora normal rongga mulut.(2)
Tonsilitis dapat dibebkan baik oleh bakteri patogen maupun oleh
kolonisasi flora normal. Umumnya infeksi pada tonsil disebabkan oleh
polimikroba. Tonsilitis bakterialis akut paling sering disebabkan oleh
streptococcus beta hemolyticus grup A, namun dapat juga disebabkan oleh
organisme lain seperti pneumokokus, stafilokokus, dan Haemophilus influenza.
Terkadang streptococcus viridians dapat pula ditemukan dalam biakan .(2,3,13)
13
Tabel 2. Mikroorganisme Tersering pada Hasil Kultur dari Tonsil dan Adenoid (1)
Bakteri Aerobic Group A beta-hemolytic streptococci (GABHS) Groups B, C, F, streptococcus Haemophilus influenza (type b and nontypeable) Streptococcus pneumoniae Streptococcus epidermidis Moraxella catarrhalis Staphylococcus aureus Hemophilus parainfluenza Neisseria sp. Mycobakteri sp. Lactobacillus sp. Diphtheroids sp. Eikenella corrodens Pseudomonas aeruginosa Escherichia coli Helicobacter pylori Chlamydia pneumoniae Anaerobic Bacteroides sp. Peptococcus sp. Peptostreptococcus sp. Actinomycosis sp. Microaerophilic streptococci Veillonella parvula Bifidobacterium adolescences Eubacterium sp Lactobacillus sp. Fusobacterium sp. Bacteroides sp. Porphyromonas asaccharolytica Prevotella sp.Viruses Epstein-Barr Adenovirus Influenza A and B Herpes simplex Respiratory syncytial ParainfluenzaOther Mycobacterium (atypical nontuberculous) Candida albicans
14
2.2.4 Manifestasi Klinis
a. Tonsilitis akut
Nyeri tenggorok, demam, disfagia, dan pembesaran kelenjar getah
bening servikal disertai tonsil eritematus dan eksudat atau detritus merupakan
tanda dan gejala yang sesuai dengan diagnosis tonsillitis akut. Sebagian klinisi
menetapkan adanya hasil positif dari kultur sekret tenggorok atau tes rapid strep
antigen sebagai kriteria baku untuk mengakkan diagnosis tonsillitis akut. Hal
tersebut masih diperdebatkan namun pada pasien dengan gambaran tonsil yang
nampak meradang baik disebabkan oleh bakteri maupun EBV harus segera
ditangani.(1)
b. Tonsilitis Akut Berulang
Tonsilitis akut berulang bervariasi dari empat sampai tujuh episode dalam
satu tahun, lima episode dalam dua tahun berturut-turut, atau tiga episode per
tahun dalan tiga tahun berturut-turut.(1)
c. Tonsilitis Kronis (Menetap)
Nyeri tenggorok kronis, nafas berbau, debris tonsillar yang banyak
(tonsillolith), eritema peritonsillar, dan pembesaran kelanjar getah bening servikal
yang menetap merupakan kriteria diagnosis tonsillitis kronis jika tidak ada
sumber infeksi lain seperti sinus atau tonsil lingual yang ditemukan.(1)
d. Hiperplasia Tonsil Obstruktif
Pembesaran tonsil dapat menyebabkan mengorok, gangguan siklus tidur-
bangun, perubahan struktur rangka maksilofasial, dan perubahan suara
15
(hipernasal atau muffling). Pembesaran tonsil yang tidak disertai gejala yang
mengganggu kesehatan tidak disarankan untuk dilakukan pengangkatan.(1)
Infeksi yang tidak biasa seperti mikobakterium atipikal dan aktinomikosis,
atau penyakit limfoproliferatif pada transplantasi organ padat dpat pula
menyebabkan pembesaran tonsil. Neoplasma jinak dan ganas dapat terjadi baik
pada tonsil maupun pada adenoid. Pembesaran tonsil unilateral merupakan
gejala yang perlu dicurigai disebakan oleh keganasan terutama bila terjadi pada
anak-anak.(1)
Tabel 3. Evaluasi Klinis Penyakit pada Tonsil(1)
Gejala TandaPemeriksaan Penunjang Diagnosis Banding
Tonsil Obstruksi Mengorok atau
kelainan lain berkaitan dengan tidur
Pembesran tonsil (+3/+4)
Polysomnogram Neuromuscular disease
Abnormalitas kraniofasial
Flexible laryngoscopy
EERD
Suara teredamDisfagia
Kelainan anatomi lain
Lymphoproliferative disorder
Infeksi Akut Nyeri
tenggorokanTonsil erythema/eksudat
Kultur dari apus tenggorok
Bakteril
DisfagiaHalitosisTender neck glands
Tender cervical lymph nodes
CBC w/differential
Viral (EBV)
Berulang/kronisSore throat Normal tonsils Lingual tonsillitisHalitosis Peritonsillar
erythemaEERD
Pembesaran kelenjar leher
Tonsillolith
Massa putih pada tonsil
Jumlah kripta berkurangpembesaran KGB
aSnoring, irregular breathing, restless sleep, enuresis, frequent arousals, and behavioral/cognitive problems. CBC, complete blood count; CT, computed tomography; EBV, Epstein-Barr virus; EERD, extraesophageal reflux disease.
16
2.2.5 Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan tonsillitis akut seringkali datang dengan keluhan nyeri
tenggorok, disfagia, demam, limfadenopati sevikal. Tonsil dapat membesar atau
tetap dalam ukuran normal namun tampak eritematus. Dapat pula ditemukan
eksudat pada tonsil. Dengan inspeksi yang teliti akan nampak obstruksi pada
kripta tonsil.(1)
Gambar 7. Perbandingan tonsilitis bakterial dan viral(15)
Seringkali pasien datang ketika fase akut telah mereda hingga
pemeriksaan fisik tidak menunjukkan banyak tanda yang membantu penegakan
diagnosis. Tonsil dapat nampak normal atau tampak adanya peritonsilar eritem,
pembesaran peritonsilar, pembesaran kelanjar getah bening servikal, tonsilolith,
atau pengurangan jumlah kripta tonsilar dengan permukaan yang halus
mengkilat pada tonsillitis kronis.(1)
Untuk melakukan pemeriksaan fisik orofaring yang baik maka pasien
diminta untuk membuka mulutnya lebar-lebar dengan lidah tidak dijulurkan
melainkan diletakkan pada dasar mulut. Gunakan tongue spatle untuk menekan
17
lidah bagian anterior secara gentle untuk mencegah reflex muntah. Timbulnya
refleks muntah dan pendorongan lidah akan mengakibatkan tonsil bergerak ke
arah medial dan nampak sebagai pembesaran. Pasien diminta untuk
mengucapkan ‘aaaa’ hingga visualisasi daerah inferior tonsil nampak sekaligus
memberikan gambaran integritas palatum.(1)
Tabel 4. Grade Pembesaran tonsil(1,16)
Gambar 8. Klasifikasi Pembesaran Tonsil(17)
Tonsilitis akut yang disebabkan oleh Streptococcus beta hemolitycus grup
A biasanya disertai pembengkakan kelenjar getah bening servikalis anterior.
Tonsilitis streptokokus biasanya terjadi pada musim dingin dan awal musin semi
(di Negara dengan empat musim) memiliki manifestasi klinis berupa demam
18
tinggi dengan onset akut, nyeri kepala, nyeri leher, odinofagi, otalgia, nyeri
tenggorok, sour-sweet yeasty odor, mual, muntah, nyeri perut, lidah kemerahan
dengan papil yang melebar (strawberry tongue), uvula membengkan berwarna
kemerahan petekie pada palatum mole (doughnut lesion), pembesaran kelenjar
getah bening servikal disertai tanda radang, scarlet fever rash (disebabkan oleh
toksin eritrogenik yang menimbulkan macula pungtata eritematus pada
ekstremitas bagian proksimal, terutama di permukaan fleksor – Pastia lines). (18)
Gambar 9 . Eksudat (detritus) pada tonsillitis akut streptococcus(12)
Sedangkan pada tonsillitis akut yang disebabkan oleh virus Epstein Barr
atau infeksi mononucleosis biasanya akan ditemukan pembesaran kelanjar getah
bening sevikal, aksilaris, dan inguinal. Pada pemeriksaan fisik juga dapat
ditemukan adanya splenomegali, rasa lemas dan lesu, serta low grade fever
yang menyertai tonsillitis.Pemeriksaan orofaring akan memberikan gambaran
membran berwarna abu-abu pada tonsil yang meradang, membran mudah
dilepas dan tidak mudah berdarah. Mukosa palatum mengalami erosi dan
nampak petekie pada mukosa palatum durum.(12)
19
Gambar 10. Membran abu-abu pada palatum mole akibat infeksi mononucleosis(12)
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiografi leher posisi lateral dapat digunakan untuk
pemeriksaan penunjang pada hipertrofi adenoid dan tonsil. Pada pasien dengan
gejala obstruksi yang signifikan dengan tanda hipertrofi tonsil yang nyata dan
membutuhkan intervensi pembedahan maka pemeriksaan radiografi bukan
merupakan pemeriksaan wajib untuk penegakan diagnosa.(2)
Endoskopi nasofaringoskopi fleksibel dapat pula digunakan sebagai
pemeriksaan penunjang pada penyakit-penyakit adenotonsilar. Obstruksi oleh
jaringan adenoid pada posterior koana dan pembesaran hipertrofi tonsil ke
hipofaring dapat divisualisasi dengan jelas.(2)
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi dari tonsillitis dapat dibedakan menjadi komplikasi supuratif
dan non supuratif. Komplikasi non supuratif terdiri dari scarlet fever, demam
20
rematik akut, dan glomerulus nefritis poststreptococcal. Sedangkan komplikasi
supuratif dari tonsillitis adalah terbentuknya abses peritonsilar dan parafaringeal.
(2)
a. Nonsupuratif
Scarlet fever merupakan komplikasi tonsillitis atau faringitis streptococcus
akibat endotoksin yang dihasilkan oleh mikroorgabisme streptococcus.
Gambaran klinis scarlet fever adalah lesi kulit eritema, nyeri tenggorok berat
disertai limfadenopati, nyeri kepala, muntah, tonsil dan faring tampak eritem
disertai eksudat kekuningan, membran pada tonsil menyerupai membran pada
difteri. Stawberry tongue dengan papil-papil lidah yang membesar dan
kemerahanmerupakan tanda khas pada scarlet fever. Untuk menegakkan
diagnosis pasti dari komplikasi ini dapat dilakukan kultur bakteri dan test Dick.
Test Dick adalah memasukkan toksin streptococcus yang diencerkan melalui
injeksi intradermal, hasil positif menunjukkan adanya scarlet fever.(2)
Gambar 11 . Gambaran klinis scarlet fever(19)
21
Demam rematik akut terjadi pada 0,3% penderita tonsillitis. Komplikasi ini
dapat dicegah dengan pemberian penisilin profilaksis, jika tindakan pencegahan
ini gagal maka tonsilektomi dan adenoidektomi perlu dilakukan.(2)
Glomerulonefritis poststreptococcal dapat merupakan kompikasi dari
infekri streptococcus strain nefrogenik, tipe ini hanya 1% dari streptococcus strain
faringeal. Komplikasi ini terjadi pada minggu ke satu sampai kedua setelah
infeksi streptococcus dengan gambaran klinis gagal ginjal akut. Pemberian
penisilin tidak bermanfaat banyak sehingga tonsilektomi diperlukan untuk
menghilangkan sumber infeksi.(2)
b. Supuratif
Abses Peritonsilar
Abses peritonsilar seringkali terjadi pada tonsillitis berulang atau tonsillitis
kronis yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Penyebaran infeksi dari
kutub atas tonsil menyebabkan akumulasi pus di antara dasar tonsil dan kapsul
tonsil. Infeksi biasanya hanya bersifat unilateral dan menimbulkan nyeri yang
berat dengan otalgia ipsilateral sebagai nyeri alih akibat penjalaran melalui
nervus glossofaringeus. Gambaran klinis lainnya adalah odinofagia dan disfagia,
trismus, pembengkakan palatum dan pilar anterior unilateral disertai pergeseran
tonsil ke arah inferior dan medial, uvula terdorong ke sisi yang berlawanan
dengan sisi yang sakit. Hasil kultur biasanya akan menunjukkan infeksi
polimikroba baik bakteri anaerob maupun aerob. Penatalaksanaan komplikasi ini
membutuhkan Quinsy tonsilektomi. (1,2,10)
Berdasarkan hasil penelitian abses peritonsillar yang dilakukan aspirasi
jarum permukosa dan pemberian penisilin per oral memberikan hasil yang baik.
22
(21) Sedangkan menurut penelitian lainnya, abses peritonsilar dapat pula diberikan
pengobatan benzilpenisilin yang dikombinasikan dengan metronidazole.(22)
Abses parafaringeal
Abses parafaringeal terbentuk akibat drainase pus dari tonsil atau dari
abses peritonsilar melalui muskulus konstriktor superior. Abses terbentuk di
antara muskulus konstriktor superior dan fasia sevikalis profunda sehingga
mengakibatkan tonsil terdorong ke dinding lateral dari garis tengah. Inflamasi
pada otot pterygoid dan paraspinal menyebabkan timbulnya trismus dan kaku
leher. Palpasi pada pemeriksaan fisik sulit dilakukan karena daerah abses
terlindungi oleh otot sternocleidomastoid yang tebal. Pasien dengan abses
parafaringeal biasanya mengeluhkan demam tinggi disertai nyeri, pada
pemerikasaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis. Pemeriksaan dengan
CT scan mungkin dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Proses infeksi dapat
menyebar ke mediastinum melalui carotid sheath. Defisit neurologis pada saraf
cranial IX, X, XII dapat terjadi karena struktur anatomisnya yang berdekatan.
Penanganan komplikasi supuratif dari tonsillitis ini membutuhkan pemberian
antibiotik secara agresif, penggantian cairan dan intervensi bedah jika
dibutuhkan. Tindakan bedah intraoral tidak disarankan karena sulitnya eksplorasi
jika terjadi perdarahan. Pembedahan dilakukan dengan melakukan eksisi
transversal pada submandibula sehingga lebih mudah untuk melakukan
eksplorasi pada dasar tengkorak.(2)
Infeksi pada rongga retrofaringeal sering terjadi pada anak usia kurang
dari dua tahun. Pasien anak biasanya menjadi iritabel, demam tinggi, disfagia,
suara teredam, nafas menjadi berisik, kaku leher, dan adanya limfadenopati KBG
23
leher. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran dinding posterior faring
unilateral. Penanganan infeksi retrofaring melalui insisi dan drainase intraoral.(2)
Tabel 5. Komplikasi Penyakit Adenotonsillar dan Komplikasi Tonsilektomi(1)
Complication Presentation Management OptionsPeritonsillar abscess Sore throat/dysphagia Antibiotiks (i.v.)
Pharyngotonsillar bulge Needle aspiration/I & DTrismusDrooling
Immediate tonsillectomy
Acute airway obstruction secondary to T & A hyperplasia
Stridor Muffled/hyponasal voiceDroolingEnlarged tonsils (and adenoids)
Nasopharyngeal airwaySteroids (i.v.)Antibiotiks (i.v.)
Hemorrhage Bleeding from mouth or noseFrequent swallowing
Local control (cautery or vasoconstriction)Control in OR topical or when uncontrol9le, by arterial ligation/embolizationEvaluate for coagulopathy in selected cases
Airway obstruction Occurs in first 24 h Nasopharyngeal airwayPalatal swelling Steroids (i.v.)Hypopharyngeal secretions Gentle suctioning
Dehydration Poor oral intake Control emesis if presentDry mucous membrans i.v. HydrationLethargy Parental education
Pain control prnPersistent VPI after adenoidectomy
Hypernasal speech (lasting beyond 2-mo postop)Nasal regurgitation of fluids
Speech therapyPalate surgeryPalatal prosthesis
Pulmonary edema after relief of airway obstructiona
Difficulty with oxyge19Frothy pink secretions from endotracheal tube
Positive end expiratory ventilationLasixMorphine
i.v., intravenous; I & D, incision and drainage; OR, operating room; T & A, tonsillectomy and adenoidectomy; VPI, velopharyngeal insufficiency.aCan occur after laryngospasm or relief from, chronic or acute airway obstruction from enlarged tonsils or adenoids.
2.2.8 Penatalaksanaan
Tonsilitis akut yang disebabkan oleh Streptococcus beta Haemolyticus
grup A dapat ditangani dengan pemberian antibiotik golongan penisilin sebagai
terapi lini pertama. Pada tonsillitis kronis dan hyperplasia tonsilar obstruktif terapi
dengan menggunakan antibiotik anti beta-lactamase atau bakteri anaerob seperti
amoksisilin-asam klavulanat atau klindamisin selama 3 samapai 6 minggu
24
terbukti bermanfaat dan mengurangi 15% kebutuhan untuk dilakukannya
tonsilektomi.(1,18,22)
Pada kasus pembesaran tonsil yang mengakibatkan obstruksi akut
saluran nafas atas maka langkah penanganan harus sesuai dengan penanganan
kegawatdaruratan. Pengamanan jalan nafas dilakukan dengan pemasangan
nasofaringeal airway dan pemberial steroid intravena untuk memngurangi
pembengkakan akibat inflamasi. Tonsilitis yang diakibatkan oleh inkeksi
mononukleosis (Epstein-Barr virus) merupakan resiko tinggi terjadinya obstruksi
jalan nafas, pada kasus demikian maka tidak dianjurkan pemberian amoksisilin
karena dapar menimbulkan reaksi kulit yang berat. Infeksi mononukleosis yang
disertai komplikasi abses parafaringeal atau pada pasien anak yang tidak
merespon terapi medikametosa maka dianjurkan untuk dilakukan intervensi
pembedahan tonsilektomi.(1)
Tabel 6. Indikasi Tonsilektomi(1)Obstruction Tonsillar hyperplasia with obstruction Sleep-related disordered breathing Obstructive sleep apnea syndrome Upper airway resistance syndrome Obstructive hypoventilation syndrome Failure to thrivea
25
Cor pulmonalea
Swallowing abnormalitiesa
Speech abnormalities Orofacial/dental abnormalities Lymphoproliferative disorderInfection Recurrent/chronic tonsillitis Tonsillitis with: Abscessed cervical nodes Acute airway obstruction Cardiac valve disease Persistent tonsillitis with: Persistent sore throat Tender cervical nodes Halitosis Tonsillolithiasis Streptococcal carrier state unresponsive to medical therapy in a child or household at risk Peritonsillar abscess unresponsive to medical therapy or in a patient with recurrent tonsillitis or recurrent abscessNeoplasia Suspected neoplasia, either benign or malignant
Walaupun dapat ditangani dengan pemberian terapi medikametosa
namun tonsilektomi masih menjadi pilihan untuk penanganan tonsilitis kronis.
Meskipun demikian berdasarkan penelitian pemilihan indikasi dilakukannya
tonsilektomi terutama pada pasien anak harus dilakukan secara cermat dan
terapi harus dilakukan atas penilaian per individu pasien. Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam tonsilektomi elektif antara lain pandangan orang tua dan
anak, toleransi terhadap penyakit, kecemasan, toleransi anak terhadap
antimikroba, kegiatan sekolah dihubungkan dengan absensi anak karena
penyakitnya, kemudahan akses ke sarana kesehatan, dan fasilitas yang tersedia
di sarana kesehatan.(1,5)
Tabel 7. Kriteria Indikasi Tonsilektomi pada Tonsilitis Berulang 20
26
1. Sekurang-kurangnya tiga episode setiap tahun dalam 3 tahun berturut-turut, atau lima episode setiap tahun dalam 2 tahun, atau tujuh episode dalam satu tahun.
2. Setiap episode harus memiliki karakteristik ≥1 gejala di bawah ini:a. Temperatur oral ≥1010F (38,30C)b. Pembesaran kelenjar getah bening servikalis anterior (>2 cm)c. Eksudat pada tonsild. Kultur positif untuk streptococcus beta-hemolytic group A
3. Pemberian antibiotik yang adekuat untuk suspek maupun yang sudah terbukti disebabkan oleh streptococcus beta-hemolytic group A
4. Setiap episode harus dibuktikan dengan pemeriksaan dan terdapat data rekam medisnya.
Pada sebagian besar anak tonsilektomi dilakukan atas indikasi kelainan
pertumbuhan struktur maksilofasial, obesitas dan extraesofageal reflux diseases.
Pada intervensi pembedahan tonsil juga perlu dipertimbangkan resiko komplikasi
perdarahan pasca operasi, mual muntah, terganggunya asupan nutrisi, nyeri
tenggorok, bau mulut, dan infeksi.(1)
Tabel 8. Kontraindikasi tonsilektomi(5)
Insufisiensi velofaringealCelah langit-langitKelainan neurologi/neuromuscular pada fungsi palatumKelainan laring
HematologiAnemiaKelainan pembekuan darah
ImunologiRiwayat alergi
InfeksiInfeksi akut (<3 minggu sejak onset infeksi)
Teknik untuk tonsilektomi bervariasi, dan baru-baru ini prinsip diseksi
dalam subcapsular banyak dibandingkan dengan teknik tonsilotomi. Tonsilotomi
27
memiliki keuntungan jangka pendek tertentu dalam hal untuk penyembuhan,
tingkat reoperation awal tidak signifikan dan hasil jangka panjang dari pasien
tersebut belum dapat dipastikan. Banyaknya orang dewasa yang menderita
gangguan tidur yang berawal di masa kanak-kanak dan mendengkur mungkin
yang disebabkan oleh hiperplasia tonsil menjadi pertimbangan sebelum memilih
tonsilotomi dibandingkan Tonsilektomi subcapsular. Variasi dalam teknik ini
biasanya berkisar pada metode pembedahan (pisau dingin, pisau panas dengan
kauter monopolar, ultrasonik scalpel, kauter mikroskopis bipolar, suhu yang
dikontrol radiofrequency, dan coblation) dan metode untuk hemostasis (cautery,
kimia, laser, atau suture).(1)
Teknik yang umum digunakan dalam tonsilektomi adalah seperti yang
diurangkan berikut ini :
1. Induksi anestesi umum dan dilakukan intubasi endotracheal atau
masker laryngeal.
2. Pasien diposisikan dalam posisi Rose, kemudian dipasang mouth gag
McGiver dengan bantuan depressor lidah.
3. Palpasi palatum mole untuk memeriksa integritasnya. Masukkan
kateter karet melalui lubang hidung ke nasofaring kemusian ditarik
sehingga terjadi retraksi palatum mole ke anterior.
4. Di bawah panduan mikroskop, pasang Allys clamp pada kutub inferior
dari tonsil kemudian ditarik ke arah medial. Insisi mukosa antara tonsil
lingual dan kutub inferior tonsil dengan menggunakan bayonet kauter
bipolar berujung tumpul. Insisi dilakukan dekat dengan lipatan anterior
melului mukosa ke sarah kutup superior, dilakukan secara berhati-hati
agar tidak mengenai dasar lidah.
28
5. Diseksi subkapsular dengan kauterisasi pembuluh darah dan diseksi
otot serta fasia tanpa mengenai nervus glossofaringeus. Beberapa ahli
menggunakan teknik melepas mouth gag selama beberapa menit
untuk mencegah edema pada lidah.
6. Perdarahan dirawat sampai dengan perdarahan minimal, dipasang
dental roll pada fossa tonsilla. Irigasi nasofaring dan orofaring untuk
membersihkan debris kemudian sumber perdarahan dikauterisasi
bipolar pada dasar tonsil, suction monopolar pada dasar adenoid)
7. Mouth gag dilonggarkan kemudian dilakukan pemeriksaan ulang
perdarahan pada fossa tonsil. Jika tidak ada perdarahan dan kelainan
mouth gag dilepaskan.(1)
Pasca operasi harus dilakukan proteksi jalan nafas sampai pasien sadar.
Pemberian antiemetik, antibiotik, analgesik, kortikosteroid, dan terapi cairan
dilakukan selama berjalannya operasi. Pemberian antibiotik amoksisilin selama
10 hari pasca operasi untuk mengurangi nyeri dan mencegah halitosis.(1)
29
BAB III
SIMPULAN
Tonsilitis Akut Tonsilitis KronisDefinisi Suatu keadaan
inflamasi akibat infeksi yang menyerang tonsila palatina, biasanya disertai dengan faringitis akut. Penyebabnya dapat berupa virus atau bakteri.
Peradangan persisten pada tonsila palatina yang disebabkan oleh infeksi berulang.
Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun kondisi tersebut jarang terjadi pada anak-anak usia kurang dari 2 tahun. Tonsilitis disebabkan oleh spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sementara tonsilitis virus lebih sering terjadi pada usia lebih muda.
Faktor Predisposisi
Penggunaan alkohol
Splenectomy Kontak dengan penderita tonsilitis Sickle cell anemia Sinusitis Merokok Terpapar asap rokok Musim dingin Keadaan yang melemahkan sistem imun, seperti:
o Diabetes o Transplantasio Chemotherapy o AIDS
Etiologi Virus : adenovirus, rhinovirus, reovirus, respiratory syncytial virus (RSV), influenza dan parainfluenza viruses.Bakteri : Streptococcus beta hemoliticus grup A, pneumokokkus, stafilokokus, Haemophillus Influenzae.
Patofisiologi Infeksi dari virus dan bakteri melalui rongga mulut dan faktor imun menyebabkan terjadinya tonsilitis.
Infeksi berulang pada tonsil menyebabkan perubahan struktur yang permanen, disertai pembentukan jaringan parut atau detritus.
30
Patogenesis Mikroorganisme penyebab menembus barier mukosa pada tonsil, menempel pada sel epitel, menyebar dari sel ke sel dan mungkin menembus ke dalam lapisan terluar dari sel epitel. Peristiwa ini merangsang produksi sitokin dan komplemen yang menginduksi reaksi inflamasi pada jaringan tonsil.
Bakteri pada kripta yang tidak dibersihkan akan menimbulkan infeksi yang aktif, karena debris sel pada kripta merupakan tempat berkembang biak yang baik bagi bakteri. Keadaan ini menjadi fokus infeksi untuk timbulnya penyakit sistemik (rheumatic fever, glomerulonephritis, iritis, psoriasis,inflammatory heart disease, pustulosis palmaris dan plantaris, erythema nodosum)
Gejala Klinis Penderita mengeluh nyeri tenggorokan serta disfagia, malaise. Pasien juga dapat mengeluh nyeri telinga sebagai bentuk dari nyeri alih.
Keluhan dapat berupa nyeri berulang pada tenggorokan, ataupun bisa muncul tanpa gejala. Keluhan tersering adalah lemah badan, penurunan nafsu makan, rasa tidak enak di mulut dan halitosis. Pada jenis hipertropi dapat ditemukan gejala OSAS (obstructive sleep apnea syndrome).
Pemeriksaan Fisik
Suhu biasanya tinggi, dapat mencapai 104oF, dapat ditemukan halitosisPemeriksaan rongga mulut : tonsila palatina bengkak dan hiperemis, dapat ditemukan bercak kekuningan atau keabuan disertai eksudat. Eksudat dapat berkumpul dan membentuk membran.
Gambaran Hipertrofi
Gambaran Atrofi
Tonsila membesar dengan adanya hipertrofi dan detritus. Kripta tampak membesar, purulen, dengan gambaran seperti keju atau seperti dempul.
Tonsil tampak kecil, menampakkan lekukan yang disebut sebagai “grave” dimana tepinya adalah hiperemis. Tampak sekret purulen yang tipis pada kripta.
Dapat ditemukan pembesaran KGB pada angulus mandibula.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah : didapatkan
Pemeriksaan darah : penigkatan LED dan protein C-reaktif, pada hitung jenis
31
leukositosis, penigkatan LED dan protein C-reaktif.1
Bakteriologi: diambil dari apus tenggorokan, jarang dilakukan karena hasil baru didapatkan setelah 2-3 hari.
ditemukan shift to the left.8
Biakan dari apus tonsil menunjukan bakteri dengan virulensi rendah dan jarang menunjukan streptokokus beta hemolitikus.
Diagnosis Banding
1. Tonsilitis bakteri 2. Tonsilitis virus 3. Tonsilitis diptheri 4. Tonsilitis TB
Terapi Terapi umum untuk pasien ini adalah tirah baring, pemberian cairan adekuat dan diet ringan.Dapat diberikan analgetik oral, untuk meringankan rasa sakit. Terapi antibiotik dapat diberikan golongan penisilin, untuk bakteri yang resisten dapat diberikan eritromisin. Golongan chepalosporine dan makrolide dapat diberikan bagi pasien yang alergi penisilin
Konservatif : pemberian antibiotik, irigasi dengan normal saline, upaya pembersihan kripta tonsilaris
Operatif : dengan tonsilektomi
Prognosis Gejala Tonsilitis biasanya meningkatkan 2 atau 3 hari setelah perawatan dimulai. Infeksi biasanya sembuh setelah pengobatan selesai, tetapi beberapa orang mungkin membutuhkan lebih dari satu antibiotik
Prognosis tergantung pada komplikasi operasi yang mungkin terjadi. Dapat terjadi perdarahan massif intraoperatif, pada minggu pertama setelah operasi, dan pada waktu yang lebih lama (jarang)
32