css uveitis
DESCRIPTION
uveitisTRANSCRIPT
Clinical Science Session
UVEITIS
Disusun oleh :
Gembong Soeyono
Chen Chui Ying
Annisa Lidra M
Ignatia Ratna P
Pembimbing :
Susi Heryati, dr., SpM(K)
Rova Virgana, dr., SpM(K)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2015
Uveitis
Pendahuluan
Uveitis didefinisikan sebagai inflamasi (-it is) uvea dari bahasa latin yang berarti
anggur. Uveitis adalah peradangan pada uvea, dimana banyak penyebabnya dan dapat
mengenai satu atau ketiga bagian uvea(iris, corpus siliaris dan koroid). Gejala yang paling
sering dari uveitis adalah pandangan kabur, floaters, nyeri, fotofobia, dan mata merah.
Gejala-gejala tersebut bervariasi sesuai dengan jenis inflamasi yang terjadi (akut ataupun
kronik) dan struktur spesifik pada mata yang terlibat
Nyeri pada uveitis biasanya disebabkan oleh inflamasi akut pada daerah iris, seperti
iritis akut, atau dari glaucoma sekunder. Nyeri yang berhubungan dengan spasme siliaris pada
iritis dapat berupa nyeri menjalar (referred pain) ke daerah yang lebih luas yang dipersarafi
oleh nervus V (trigeminal). Epiphora dan fotofobia biasanya timbul jika proses inflamasi
mengenai iris, kornea, atau korpus siliaris. Kadang kala, uveitis dijumpai secara tidak sengaja
sewaktu dilakukan pemeriksaan mata rutin pada pasien-pasien yang asimptomatik.
Pada Clinical Sciences Session ini akan dibahas mengenai penggunaan anatomi sebagai
dasar untuk pendekatan diagnosis uveitis. Satu pendekatan yang sederhana adalah pertama
untuk menentukan gejala-gejala uveitis yang menyebabkan pasien mencari pertolongan ke
dokter dan berikutnya untuk melengkapi pemeriksaan dasar yang diperlukan untuk mencari
tanda-tanda uveitis. Karena uveitis sering dihubungkan dengan dengan penyakit sistemik,
anamnesa mengenai sistem organ secara teliti dapat membantu untuk mengetahui penyakit
inflamasi yang ada pada pasien tersebut. Selanjutnya pemeriksaan fisik menyeluruh dapat
dilakukan untuk menentukan jenis inflamasi yang terjadi pada pasien tersebut. Penting dibuat
diagnosis secepatnya dan mendilatasi pupil untuk mencegah terbentuknya sinekia posterior
permanen.
Epidemiologi
Insiden uveitis pada populasi 100.000 adalah 15 kasus pertahun. Di Amerika terdapat
2,3 juta orang penderita uveitis dimana kasus barunya sebanyak 45.000 pertahun. Uveitis
juga menyebabkan 10% kebutaan. Meskipun dapat terjadi pada semua usia, kebanyakan
penderita berusia 20-50 tahun dan menurun insidennya pada usia diatas 70 tahun.
Klasifikasi
Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara
anatomis, klinis, etiologis, dan patologis. Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya
unilateral, biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus
penyebabnya tidak diketahui.
Klasifikasi berdasarkan Anatomis
a) Uveitis anterior
Merupakan inflamasi yang terjadi terutama pada iris dan korpus siliaris atau disebut
juga dengan iridosiklitis.
b) Uveitis intermediet
Merupakan inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer yang disertai dengan
peradangan vitreous.
c) Uveitis posterior
Merupakan inflamasi yang mengenai retina atau koroid.
d) Panuveitis
Merupakan inflamasi yang mengenai seluruh lapisan uvea.
Klasifikasi berdasarkan Klinis
a) Uveitis akut
Uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu, onsetnya cepat dan bersifat
simptomatik.
b) Uveitis kronik
Uveitis yang berlangsung selama > 6 minggu bahkan sampai berbulan- bulan atau
bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik.
Klasifikasi berdasarkan Etiologis
a) Uveitis infeksius
Uveitis yang disebabkan oleh infeksi virus, parasit, dan bakteri
b) Uveitis non-infeksius
c) Uveitis yang disebabkan oleh kelainan imunologi atau autoimun.
Klasifikasi berdasarkan patologis
a) Uveitis non-granulomatosa
Infiltrat dominan limfosit pada koroid.
Jenis uveitis non-granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen
dan berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, diduga peradangan ini adalah semacam
fenomena hipersensitivitas. Uveitis nongranulomatosa terutama timbul di bagian anterior
traktus ini, yakni iris dan korpus siliar. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrasi
sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel mononuklear. Pada
kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam kamera okuli anterior.
Pada bentuk non-granulomatosa onset khasnya akut, dengan rasa sakit, injeksi, fotofobia,
dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkum korneal yang disebabkan oleh dilatasi
pembuluh darah limbus. Deposit putih halus (presipitat keratik/KP) pada permukaan posterior
kornea dapat dilihat dengan slitlamp atau dengan kaca pembesar. Pupilnya kecil dan mungkin
terdapat kumpulan fibrin dengan sel kamera okuli anterior. Jika terdapat sinekia posterior
maka pupil tampak tidak teratur.
Pasien harus ditanya tentang adanya riwayat arthritis dan kemungkinan terpajan terhadap
toksoplasmosis, histoplasmosis, tuberculosis, dan sifilis. Kemungkinan adanya fokus infeksi
jauh dalam tubuh harus pula dicari.
b) Uveitis granulomatosa
Infiltrat dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa multinukleus.
Uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh
organisme penyebab (misalnya. Mycobacterium tuberculosis atau Toxoplasma gondii).
Meskipun begitu patogen ini jarang ditemukan, dan diagnosis etiologik pasti jarang
ditegakkan. Kemungkinan-kemungkinan seringkali dapat dipersempit oleh pemeriksaan
klinik dan laboratorium. Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang bagian traktus
uvealis namun lebih sering pada uvea posterior. Terdapat kelompok nodular sel-sel raksasa
yang dikelilingi limfosit di daerah yang terkena. Deposit radang pada permukaan permukaan
posterior kornea terutama terdiri atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis spesifik dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis pada mata yang yang dikeluarkan dengan
menemukan kista toxoplasma, basil tahan asam tuberkulosis, spirochaeta pada sifilis,
tampilan granuloma khas pada sarkoidosis atau oftalmia simpatika, dan beberapa penyebab
spesifik langka lainnya.
Pada uveitis granulomatosa (yang dapat menimbulkan uveitis anterior, uveitis posterior,
dan keduanya), biasanya onsetnya tidak kentara. Penglihatan menjadi kabur dan mata
tersebut memerah secara difus daearh sirkumkornea. Sakitnya minimal, dan fotofobianya
tidak sama berat dengan non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan menjadi tidak teratur
karena terbentuk sinekia posterior. KP “mutton fat” besar-besar terlihat di permukaan
posterior kornea dengan slitlamp. Tampak kemerahan (flare) dan sel-sel di kamera anterior,
dan nodul yang terdiri atas kelompok sel-sel putih tampak di tepian pupil iris (nodul koeppe).
Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton fat. Nodul serupa diseluruh stroma iris
disebut nodul busacca.
Anatomi dan Fisiologi Uvea
Figure 1.1 Anatomi Uvea
Uvea adalah lapisan pada mata yang berada di antara lapisan sklera dan retina dan
terdiri dari iris, korpus siliaris dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea
mengandung vaskularisasi utama yang memperdarahi mata dan berperan dalam memberikan
nutrisi ke mata. Uvea dibagi menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang terdiri dari iris dan
badan siliar dan uvea posterior yaitu koroid.
Iris
Anatomi Mata
Iris adalah perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Iris berupa permukaan pipih dengan
apertura bulat di tengahnya yang disebut dengan pupil. Iris terletak bersambungan dengan
permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera okuli anterior dan kamera okuli
posterior, yang masing-masing berisi humor aqueus. Di dalam stroma iris terdapat sfingter
dan otot-otot dilator yang terdiri Musculus dilatator pupil yang berfungsi untuk melebarkan
pupil dan Musculus sfingter pupil yang berfungsi untuk mengecilkan pupil. Kedua otot
tersebut memelihara ketegangan iris sehingga tetap tergelar datar.
Secara histologis terdiri dari 3 lapis. Anteriornya terdiri dari fibroblast, melanosit,
kolagen yang berkripta. Bagian middlenya stromal yang sama dengan anterior. Sementara
Bagian posteriornya terdiri dari otot dilator dan epitel pigmen.
Ada 2 otot yang ada di dalam iris antara lain otot sfingter pupil (M. sphincter pupillae)
yang berjalan sirkuler, yang terletak di dalam dekat pupil dan dipersarafi oleh saraf
parasimpatis (CN. III), dan otot dilatator pupil (M. dilatator pupillae) yang berjalan radier
dari akar iris ke pupil, terletak di bagian posterior stroma dan disarafi oleh saraf simpatis.
Darah mengalir ke iris berasal dari circulux major iris. Kapiler-kapiler iris memiliki
lapisan endotel yang tak berlubang sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresin yang
disuntikkan secara intravena. Persyarafan iris adalah melalui serat-serat nervus siliaris.
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada
prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatik yang
dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktifitas simpatik.
Cahaya yang mengenai mata diterima oleh sel-sel batang dan kerucut di retina,
diteruskan oleh CN. II ke kiasma optikum, radiasio optika, ke midbrain komisura posterior di
daerah pretektalis, kemudian mengadakan semidikusasi dan keduanya menuju ke nucleus
Edinger Westphal di kedua sisi. Dari sini keluar saraf eferen (saraf parasimpatis) yang
memasuki N. III, ke ganglion siliaris.
Justru, bila seseorang melihat suatu objek pada jarak dekat, maka terjadi trias
akomodasi yaitu:
Kontraksi dari otot siliaris yang berguna agar zonula Zinii mengendor, lensa dapat
mencembung, sehingga cahaya yang datang dapat difokuskan ke retina.
Konstriksi dari otot rektus internus, sehingga timbul konvergensi dan mata tertuju
pada benda itu.
Konstriksi otot konstriksi pupil dan timbullah miosis, supaya cahaya yang masuk tak
berlebih, dan terlihat dengan jelas.
Korpus Siliaris
Anatomi Korpus Siliaris
Pada potongan melintang korpus siliaris secara kasar berbentuk cincin segitiga yang
membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (± 6mm). Terdiri dari dua
zona, yaitu zona anterior dengan permukaan berjonjot lekuk dan menonjol yang disebut
dengan pars pikata (± 2mm), dan zona posterior yang datar dengan permukaan licin disebut
pars plana (± 4mm). Processus siliaris ini berasal dari pars plikata. Processus siliaris ini
terutama terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vene-vena vorteks. Ada
dua lapis epitel siliaris: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan
perluasan neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan
perluasan lapisan epitel pigmen retina. Prosessus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya
berfungsi sebagai pembentuk humor aquaeus.
Korpus siliaris mengandung otot polos yang tersusun longitudinal, sirkular, dan radial.
Otot-otot ini berfungsi untuk menarik dan mengendorkan serabut zonula Zinii, yang
menghasilkan perubahan tegangan pada kapsul lensa. Ketegangan kapsul lensa yang berubah
akan menyesuaikan kekuatan lensa mata sesuai dengan jarak benda yang dilihat agar
bayangannya tepat di retina.
Procesus siliaris mengandung terutama pembuluh kapiler dan venanya yang
mengalirkan darahnya ke luar melalui vena vorticosa. Pars plana terdiri atas selapis tipis otot
siliaris dan pembuluh siliar yang diselimuti epitel siliar. Serabut zonula berorigo di lekukan
dari procesus siliaris. Pembuluh darah dibadan siliar berasal dari sirkulus iridis mayor, sedang
syaraf sensoris berasal dari syaraf siliaris.
Koroid
Koroid pada bola mata
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak antara retina (disebelah
dalam) dan sklera (di sebelah luar). Koroid berbentuk mangkuk yang tepi depannya berada di
cincin badan siliar. Koroid adalah jaringan vascularyang terdiri atas anyaman pembuluh
darah. Retina tidak menempati(overlapping) seluruh koroid, tetapi berhenti beberapa
millimeter sebelum badan siliar. Bagian koroid yang tidak terselubungi retina disebut pars
plana. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan brevis.
Mekanisme Proses Uveitogenik
Secara garis besar dibagi jadi dua: genetik dan faktor lingkungan (trauma dan infeksi
mikrobial). Penyakit ini jarang terjadi pada mata, kecuali dicurigai keterlibatan kelainan
imunologi (HipSen Tipe IV). Hal ini terjadi karena inflamasi pada mata secara umum
dihambat (sel-sel pada mata umumnya kemampuan regenerasinya terbatas) dengan cara:
-suplai limfatik yang minim
-sedikit MHC
-terdapat imunosupresif dan Anterior chamber associated Immune Deviation
Penyebab yang diketahui :
a. Bakteri : tuberkulosa, sifilis
b. Virus : herpes simpleks, herpes zoster, CMV, Penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, Sindrom
Behcet.
c. Jamur : Kandidiasi
d. Parasit : Toksoplasma, protozoa (Infeksi ocular aktif dengan toksoplasmosis biasanya
bermanifestasi sebagai necrotizing retinitis terlokalisasi. Lesi klasik: focus putih abu pada
ujung skar korioretinel terpigmentasi)
e. Imunologik : Lens-induced iridosiklitis, oftalmia simpatika
f. Penyakit sistemik : penyekit kolagen, arthritis rheumatoid, multiple sclerosis, sarkoidosis,
penyakit vaskuler.
g. Neoplastik : Limfoma, reticulum cell sarcoma
h. Lain-lain : AIDS
Anterior uveitis
Definisi
Radang pada tractus uvea yang terjadi pada iris atau pars plicata badan ciliar.
Acute anterior uveitis
Adalah bentuk paling sering dari uveitis. Uveitis anterior akut adalah bentuk paling sering
dari anterrior uveitis, berjumlah ¾ dari kasus. Ini ditandai dengan onset yang tiba-tiba dan
durasi kurang dari tiga bulan. Penyakit ini mudah dikenali karena gejalanya akan memaksa
penderita untuk mencari bantuan medis.
Penyebab anterior uveitis
Autoimmune Other
Juvenile idiopathic arthritis Idiopathic
Ankylosing spondylitis Traumatic uveitis, including
penetrating injuries
Reiter's syndrome Retinal detachment
Ulcerative colitis Fuchs' heterochromic iridocyclitis
Lens-induced uveitis Glaucomatocyclitic crisis (Posner-
Schlossman syndrome)
Sarcoidosis
Crohn's disease
Psoriasis
Infections
Syphilis
Tuberculosis
Leprosy (Hansen's disease)
Herpes zoster
Herpes simplex
Onchocerciasis
Leptospirosis
Malignancy
Masquerade syndrome
Retinoblastoma
Leukemia
Lymphoma
Malignant melanoma
Gambaran klinis
1. Presentasi, biasanya disertai dengan nyeri unilateral yang tiba-tiba, fotofobia, dan
mata merah. Biasanya pasien merasa tidak nyaman pada matanya sebelum terjadi
onset.
2. Visual acuity, umumnya baik, kecuali bila disertai hypopyon.
3. Pemerikasaan luar, ada ciliary injection
4. Miosis karena spinchter spasm
5. Endothelial dusting
6. Aqueous cells
7. Anterior vitrous cell, menandakan iridocyclitis
8. Aqueous flare, menandakan adanya protein karena rusaknya blood-aqueous barrier
9. Aqueous fibrinous exudate, biasanya muncul pada HLA-B27 Acute Anterior
Uveitis(AAU)
10. Hyopyon, ada gambaran dari inflamasi intens, sel-sel bearada di bagian inferior dari
anterior chamber dan membentuk permukaan horizontal.
a. Pada AAU yang terasosiasi dengan HLA-B27 hypopyon memiliki konten
fibrin yang tinggi sehingga menjadi pada, immobile, dan lambat untuk di
absorbsi
b. Pada pasien dengan bechet syndrome, hypopyon memiliki konten fribrin yang
rendah sehingga posisi tergantung pada posisi kepala pasien dan bisa
menghilang.
c. Hypopyon dengan darah bisa terjadi pada infeksi herpetik, atau infeksi mata
yang berkaitan dengana rubeosis iridis.
11. Posterior syneciae bisa terjadi dengan cepat dan harus dipisahkan sebelum menjadi
permanen.
12. Tekanan intraokular rendah, bisa terjadi akibat berkurangnya sekresi aqueous humor
oleh epitel ciliar. Pada suatu keadaaan tekanan intraokular malah bisa meningkat
seperti pada uveitis herpetik dan posner-scholossman syndrome.
13. Pemeriksaan fundus, biasanya normal.
14. Durasi, dengan terapi yang baik biasanya inflamasi akan selesai dengan sempurna
setelah 5-6 minggu.
15. Prognosis, biasanya sangat baik. Komplikasi dan prognosis yang buruk berhubungan
dengan manajemen yang buruk atau tertunda.
Chronic anterior uveitis
Chronic anterior uveitis (cau) lebih jarang daripada yang akut. ini ditandai dengan inflamasi
yagng persistent dan terjadi relapse dalam waktu kurang dari 3 bulan setelah penatalaksaan
selesai. Kejadian bilateral lebih sering terjadi daripada akut.
1. Presentasi, seringnya tersmbunyi dan banyak pasien asimtomatik sampai terbentuk
komplikasi seerti katarak, atau keratopathy. Karena gejala yang minimal, pasien
dengan resiko CAU sebaiknya melakukan skrining secara rutin. Ini berlaku pada
pasien dengan juvenile idiopathic arthritis.
2. Pemeriksaan ekternal biasanya menunjukkan mata putih. Atau terkadang pink, ketika
ada eksaserbasi dari aktivitas inflamasi.
3. Aqueous cell
4. Aqueous flare
5. Adanya cluster daru deposit sel sel (KP)
6. Pelebaran pembuluh iris biasanya terlihat pada kasus yang lama
7. Iris nodules
8. Iris athropy
9. Durasi lama, pada beberapa kasus bisa mencapai berbulan-bulan bahkan tahunan
10. Prognosis, harus selalu dijaga karena menjadi resiko untuk terjadi komplikasi seperti
katarak, glaucoma, atau hypopyon.
Penatalaksaan
Kortikosteroid dan agen cyclopegic adalah terapi utama untuk uveitis. Terapi topikal dengan
1% prednisone acetate satu sampai dua tetes pada mata selama 1 sampai 2 jam dalam
keadaan bangun biasanya memberikan kontrol yang baik terhadap inflamasi anterior. Apabila
uveitis disebabkan oleh infeksi/granulomatous diberikan juga antimicrobial tergantung
dengan agen penyebabnya.
Uveitis Intermediate
Definisi
Disebut juga sebagai siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis. Merupakan penyakit yang
terjadi di vitreous, retina peripheral, dan pars plana ciliaris secara tersembunyi, kronik, dan
kambuhan. Intermediate uveitis pertama kali dideskripsikan di literatur pada tahun 1908 oleh
Fuchs sebagai chronic cylitis. Uveitis intermediate memiliki bentuk peradangan yang tidak
mengenai uvea anterior atau posterior secara langsung. Kondisi ini dapat bersifat idiopathic
atau berkaitan dengan penyakit sistemik seperti multiple sclerosis (MS) atau sarcoidosis.
Pada keadaan tersebut, intermediate uveitis merupakan tampilan awal autoimunitas yang
terjadi didalam tubuh pasien.
Epidemiologi
Intermediate uveitis terjadi pada 10% kasus uveitis. Insidensi pada anak cukup rendah,
namun intermediate uveitis terjadi pada 20% kasus uveitis pada anak. Cenderung mengenai
pasien remaja akhir atau dewasa muda. Onset setelah usia 40 tahun jarang. Tidak ada
perbedaan distribusi antara pria dengan wanita.
Tanda dan Gejala
1. Matanya terlihat ‘putih’. Mungkin dapat ditemukan inflamasi ringan pada segmen
anterior dengan beberapa presipitasi keratic putih, bulat, dan kecil.
2. Gejala dapat berupa onset yang tidak disadari dari penglihatan menjadi buram disertai
dengan vitreous floaters . Kondisi ini dapat diawali dengan gejala unilateral, namun biasanya
cenderung bilateral dan asimetris, dengan pemeriksaan yang berhati-hati, mata yang terlihat
normal dapat menunjukan abnormalitas yang minor seperti vascular sheating atau localized
vitreous condensations.
3. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun fotofobia.
4. Temuan pemeriksaan yang paling mencolok adalah vitreous seringkali disertai dengan
vitreous condensations yang melayang bebas seperti bola salju berwarna putih atau
kuning(snow ball) atau menyelimuti pars plana dan corpus ciliaris seperti gundukan salju
berwarna kuning keabu-abuan(snow banking). Snow banking sering ditemukan pada kondisi
pars planitis. Tidak semua pasien dengan uveitis intermediates menunjukkan gambaran snow
banking. Gambaran snow banking juga dapat menunjukkan massa fibroglial, tidak selalu
eksudat protein.
4. Peradangan bilik mata depan minimal, tetapi jika terlihat jelas maka kondisi ini
disebut panuveitis.
5. Kelainan pada pembuluh darah retina perifer jarang terjadi, tetapi dapat dikaburkan
oleh keadaan dense vitritis. Perselubungan atau obliterasi dari venula kecil dapat ditemukan.
Namun keadaan ini biasanya muncul berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah gejala
awal.
6. Neovaskularisasi retina perifer dapat terjadi akibat dari ischemia.
Perjalanan penyakit
1. Beberapa pasien tidak membutuhkan terapi, akan terjadi resolusi secara spontan
dalam beberapa tahun.
2. Pada beberapa pasien, kasus menjadi parah dan dengan episode eksaserbasi yang
berlanjut menjadi lebih buruk. Snow banking adalah temuan yang berkaitan
dengan CMO dan penglihatan hilang.
3. Intermediate Uveitis yang berkaitan dengan penyakit sistemik memiliki perjalanan
yang bervairasi berkaitan dengan penyakit tersebut.
4. Inflamasi dapat bertahan hingga 15 tahun dan pertahan penglihatan bergantung
terhadap control dari penyakit macular.
Komplikasi
1. CMO
2. Macular epiretinal formation
3. Katarak
4. Glaukoma
5. Peripheral retinal vasoproliferation tumors
6. Retinal detachment
7. Perdarahan Vitreous
Terapi
1. Terapi medis. Injeksi triamcinolone posterior sub-tenon. Bila tidak resposif,
gunakan agen steroid sistemik dan agen immunosupresif.
2. Vitrectomy.
3. Cryotherapi
4. Laser photocoagulation
Asosiasi Sistemik
Diagnosis Banding
1. Fuchs uveitis syndrome
2. Primary intraocular lymphoma
3. Peripheral toxocara granuloma
Posterior Uveitis
I. Definisi
Uveitis posterior adalah inflamasi pada bagian fundus posterior yang meliputi
retinochoroiditis, choroiditis, retinitis, neuroretinitis, dan vaskulitis.
II. Epidemiologi
Pada praktik berbasis komunitas, distribusi dari uveitis posterior adalah sebesar
4.7%, sedangkan distribusinya pada praktik pada rumah sakit rujukan adalah sebesar
14.6% (P< 0.00005).1
III. Etiologi
Etiologi dari uveitis secara umum seringnya idiopatik. Walaupun genetik, trauma,
atau mekanisme infeksius diketahui dapat memicu terjadinya uveitis. Penyakit lainnya
yang menjadi pemicu uveitis adalah inflammatory bowel disease, rheumatoid arthritis,
systemic lupus erythematous (SLE), sarkoidosis, tuberulosis, sifilis, dan AIDS.
Mekanisme pada trauma dipercaya menjadi kombinasi dari kontaminasi bakteria
dan akumulasi produk nekrosis pada tempat cedera, dan kemudian mengstimulasi
proses proinflamasi. Untuk etiologi karena infeksi, dipostulasikan bahwa reaksi imun
langsung melawan molekul asing atau antigen dapat mencederai traktus pembuluh dan
sel uveal. Saat uveitis ditemukan berhubungan dengan kelainan autoimun,
mekanismenya dapat berupa reaksi hipersensitivitas yang melibatkan deposisi
kompleks imun di dalam traktus uveal.
Retinis biasanya disebabkan oleh infeksi toxoplasmik atau herpetic. Choroiditis
dapat muncul dengan berbagai granulomatous evitides (termasu tuberculosis,
sarkoidosis, Lyme disease, sifilis), atau histoplasmosis. Papilitis dapat terjadi karena
toxoplasmosis, viral retinitis, lymphoma, atau sarkoidosis.
Pada suatu penelitian pada pusat rujukan tersier oleh Rodriguez dkk, penyebab
utama uveitis posterior adalah Toxoplasma (24.6%), idiopatik (13.3%),
cytomegalovirus (CMV) (11.6%), SLE (7.9%), dan sarkoidosis (7.5%).
IV. Diagnosis
a. Anamnesis
Pandangan menjadi buram
Melihat seperti adanya zat yang melayang
Tidak gejala uveitis anterior (yaitu nyeri, mata kemerahan, dan fotofobia)
b. Pemeriksaan Fisik
Penurunan tajam visus
Retinitis : dapat fokal atau multifocal. Lesi aktif ditandai dengan adanya
kekeruhan retina yang berwarna keputihan dengan batas yang tidak tegas
karena edema di sekitarnya. Jika lesi membaik, batas akan menjadi semakin
jelas.
Choroiditis : dapat berbentuk fokal, multifocal, atau geografik.
Dikarakteristikkan dengan nodul bulat berwarna kuning.
Vaskulitis : dapat melibatkan arteri (periarteritis) dan vena (periphlebitis).
Vaskulitis aktif ditandai dengan cuffing perivascular, patchy, berwarna
kekuningan atau putih keabuan. Vaskulitis pasif dapat meninggalkan skar
perivaskular.
c. Pemeriksaan Penunjang
Imaging :
Fluoroscein Angiografi (FA) untuk mengdiagnosis dan menilai
keparahan vaskulitis retina, mengdiagnosis macular iskemia dan
sistoid makular edema (CMO), membedakan penyebab
neovakularisasi retina akibat inflamasi atau iskemik, mengdiagnosis
neovaskularisasi koroidal.
Indocyanine green angiografi (ICG) untuk menilai penyakit pada
koroid dan dapat memberikan informasi inflamasi yang
mempengaruhi stroma.
USG untuk melihat pelepasan retina atau massa intraocular jika
terjadi kekeruhan media refraksi.
Optikal koherens tomografi (OCT) untuk mendeteksi CMO seperti
FA dan mengidentifikasi traksi vitreoretinal.
Biopsi retina dan koroid
Pemeriksaan lainnya dilakukan untuk melihat penyakit lainnya yang
mungkin mendasari terjadinya uveitis, seperti foto toraks untuk melihat
sarkoidosis atau tuberculosis.
V. Diagnosis Banding
Adanya gejala uveitis posterior dengan nyeri menandakan adanya :
Keterlibatan anterior chamber
Endoftalmitis bakterialis
Skleritis posterior
VI. Penatalaksanaan
Tatalaksana medikamentosa uveitis berupa obat anti inflamasi dan imunosupresan. Golongan obat yang dapat digunakan adalah kortikosteroid, obat antiinflamasi non-steroid (NSAID) serta imunomodulator (imunosupresif). NSAID lebih jarang digunakan karena kurang efektif dibandingkan kortikosteroid dan imunomodulator. Kortikosteroid merupakan golongan obat yang paling sering digunakan dalam terapi uveitis. Sangat disayangkan masih banyak penggunaan kortikosteroid yang kurang tepat seperti pemakaian yang tidak sesuai dengan indikasi, kurangnya perhatian terhadap efek samping yang ditimbulkan serta dosis pemberian yang tidak tepat. Akibatnya efektivitas terapi menjadi tidak optimal, timbulnya resistensi dari organisme penyebab uveitis serta munculnya berbagai efek samping dan komplikasi akibat uveitis. Kortikosteroid untuk tata laksana uveitis dapat diberikan secara topikal, sistemik, periokular dan intravitreal. Setiap metode pemberian memiliki indikasi dan kegunaan masing masing.
Kortikosteroid topikal merupakan metode pemberian yang paling sering dan biasanya digunakan untuk kasuskasus uveitis anterior. Injeksi periokular digunakan untuk uveitis intermediat dan posterior karena dapat bekerja lebih dekat dengan target organ yang mengalami inflamasi. Pemberian kortikosteroid sistemik dapat berperan sebagai terapi untuk penyakit sistemik yang menyebabkan uveitis. Jalur pemberian kortikosteroid secara intravitreal dapat dilakukan dengan injeksi atau implantasi kortikosteroid lepas lambat. Pemberian kortikosterid memiliki banyak efek samping. Kortikosteroid topikal dapat
menyebabkan katarak dan glaukoma, terutama pada pemakaian jangka panjang. Metode pemberian secara periokular memiliki efek samping serupa, ditambah ptosis, perforasi sklera, serta perdarahan. Penggunaan kortikosteroid sistemik juga telah lama dikenal menimbulkan berbagai efek samping seperti osteoporosis, hipertensi, penambahan berat badan, retensi cairan, gangguan toleransi glukosa, gangguan siklus menstruasi, dan ulkus peptikum.
Efek samping pemberian kortikosteroid yang banyak mendorong pemakaian golongan obat lain untuk tata laksana uveitis. Terapi uveitis semakin bergeser dari penekanan respon imun secara umum. Hal tersebut yang mendasari penggunaan imunomodulator. Imunomodulator bekerja dengan menekan jalur-jalur tertentu dari inflamasi secara lebih spesifik sesuai dengan patogenesis dan mekanisme terjadinya uveitis. Beberapa golongan imunomodulator yang dapat digunakan untuk tata laksana uveitis adalah antimetabolit (azathioprine, methotrexate dan mycophenolate mofetil), inhibitor sel T (siklosporin dan tacrolimus) serta alkylating agents (klorambucil dan siklofosfamid). Selain itu terdapat pula agen biologis, yakni golongan etanercept dan infliximab. Imunomodulator juga tidak lepas dari efek samping. Akibat yang tidak diinginkan dari penekanan sistem imun adalah menurunnya daya tahan terhadap infeksi dan kerja dari gen yang menekan terjadinya tumor.6 Beberapa efek samping lain yang patut diwaspadai adalah hepatotoksisitas, nefrotoksisitas serta gangguan saluran cerna. Pemakaian imunomodulator sesuai indikasi, dengan dosis dan lama pemakaian yang tepat serta pemantauan yang ketat dapat meminimalkan timbulnya efek samping tersebut.
1. Injeksi periokular steroid : dipertimbangkan sebagai lini pertama untuk
mengkontrol inflamasi dan CMO. 1,5 ml triamcinolone acetonide.
2. Intraokular steroid
a. Injeksi : Triamcinolone acetonide (4 mg dalam 0,1 ml) untuk uveitis dan
CMO yang tidak merespon pengobatan lainnya.
b. Slow-release Implants : berguna untuk pasien posterior uveitis yang tidak
merespon atau intoleran terhadap pengobatan konvensional. Implan dilakukan
dnegan insisi pars plana dan dijahit ke sklera. Implan mengandung fluocinolone
acetonide. Steroid ini akan terus dikeluarkan selama 3 tahun.
3. Steroid sistemik : untuk pasien dengan posterior uveitis yang mengancam
penglihatan, terutama yang mempengaruhi kedua mata.
a. Oral : prednisolone 5 mg atau 25 mg
b. IV inj.: methylprednisolone 1g/hari, dilakukan 2-3 hari. Untuk penyakit
bilateral yang parah, tetapi tidak terlihat banyak kelebihannya dibanding steroid
oral dosis tinggi.
Terapi dimulai dengan dosis yang besar dan kemudian di kurangi. Dosis
awalnya adalah prednisolon 1-2 mg/kg/hari, dosis tunggal di pagi hari setelah
sarapan. Hal ini dipertahankan hingga efek klinis terlihat dan kemudia di
tapering off beberapa minggu. Dosis 40 mg atau kurang dari 3 minggu tidka
membutuhkan penurunan dosis bertahap. Dosis lebih dari 15 mg/hari tidak
diterima untuk jangka panjang hingga dipertimbangkan pemberian sterois-
sparing agent.
4. Antimetabolit : diberikan pada pasien dengan uveitis yang mengancam
penglihatan, biasanya bilateral, non-infeksi, reversibel, dan gagal merespon
terapi steroid atau tidak dapat mengtoleransi efek samping dari steroid sistemik.
Pilihan obat : Azathioprine, Methotrexate, Mycophenolate mofetil
5. Immune modulator : biasanya digunakan untuk pasien dnegan Behcet
syndrome.
Pilihan obat : Cyclosporine, Tacrolimus,
6. Biological blocker : biasanya digunakan untuk transplantasi organ. Obat in
ibelum memeliki izin untuk pengobatan kondisi inflamasi okulat, namun sudah
dalam proses clinical trial.
Pilihan obat: IL-2 receptor antagonist (Daclizumab), Anti-tumor necrotic factor
(TNF) alpha therapy (Infliximab, Adalimumab).
Referensi
1. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophtamology A systemic approach. Elsevier. Ed 7th.
2011.
2. Khurana. Comprehensive Ophtamology. New Age International. Ed 4th. 2007
3. Lang GK. Ophtamology. Thieme Stutgart. New York. 2000.
4. Yanoff, Duker. Ophtamology. Elsevier Inc. Ed 3rd. 2009.