css pterigium

39
BAB I PENDAHULUAN Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. 1 Pterigium berhubungan dengan ultraviolet dan lingkungan yang panas dan kering. Angka kejadian pterigium lebih tinggi di daerah beriklim tropis dan subtropis. Menurut survai kesehatan indra penglihatan dilaporkan bahwa di Indonesia angka kesakitan pterigium adalah 13,9% dan merupakan angka kesakitan tersering. 4,7 Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan pertamanya. Pertumbuhannya berjalan tidak konstan, terdapat periode klinis yang tenang, dan periode pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangat lambat. Pterigium yang progresif tumbuh dan menjalar sampai ke tengah kornea sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan. 1 Walaupun pterigium jarang menimbulkan kebutaan, tetapi dapat menimbulkan gangguan penglihatan akibat 1

Upload: firlafla

Post on 28-Oct-2015

168 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

css

TRANSCRIPT

Page 1: Css Pterigium

BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat degeratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah

kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah

kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di

daerah kornea. 1

Pterigium berhubungan dengan ultraviolet dan lingkungan yang panas dan

kering. Angka kejadian pterigium lebih tinggi di daerah beriklim tropis dan

subtropis. Menurut survai kesehatan indra penglihatan dilaporkan bahwa di

Indonesia angka kesakitan pterigium adalah 13,9% dan merupakan angka

kesakitan tersering. 4,7

Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan

pertamanya. Pertumbuhannya berjalan tidak konstan, terdapat periode klinis yang

tenang, dan periode pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangat

lambat. Pterigium yang progresif tumbuh dan menjalar sampai ke tengah kornea

sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan.1

Walaupun pterigium jarang menimbulkan kebutaan, tetapi dapat

menimbulkan gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme iregular atau

pterigium yang telah menutupi media penglihatan, sehingga perlu tindakan

operasi.7

1

Page 2: Css Pterigium

BAB II

PTERIGIUM

2.1 Anatomi dan Histologi

2.1.1 Konjungtiva

Konjungtiva merupakan selaput mukosa yang tipis dan tembus pandang,

meliputi permukaan posterior palpebra dan melanjutkan diri ke permukaan

anterior bola mata sampai ke limbus.4

Konjungtiva terdiri dari 3 bagian yaitu konjungtiva tarsalis, konjungtiva

forniks dan konjungtiva bulbi.

2.1.1.1. Konjungtiva tarsalis

Melekat erat pada tarsus, permukaannya licin dan tertutup oleh epitel

silindris. Pada bagian bawahnya terdapat lapisan stroma superfisisal yang

merupakan lapisan adenoid, mengandung sejumlah kelenjar limfe dan di beberapa

tempat tampak struktur seperti folikel. Lapisan fibrosa merupaka lapisan dalam,

lebih tebal dan terdapat kelenjar Wolfring terutama pada konjungtiva palpebra

superior.4

2.1.1.2. Konjungtiva forniks

Merupakan lanjutan dari konjungtiva palpebra melekat pada septum

orbital secara longgar dan berlipat-lipat sehingga permukaan sekresi lebih luas

dan pergerakan bola mata lebih jelas.4

2.1.1.3. Konjungtiva bulbi

Melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali.

Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan

konjungtiva sekretorik.(Duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks

temporal superior).Kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva

menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan

sklera di bawahnya.4

2

Page 3: Css Pterigium

Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak

terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa

binatang. Stuktur epidermoid kecil (karunkula) menempel superfisial ke bagian

dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen

kulit dan membran mukosa.4

2.1.2 Kornea

Kornea merupakan lapisan bola mata bagian depan yang avaskular dan

tembus pandang. Bentuknya agak lonjong dengan diameter vertikal kurang lebih

11 mm dan diameter horisontal 12 mm. Tebal kornea berfariasi mulai dari 0,58 di

daerah sentral sampai 1,0 mm di bagian perifer. Kornea mempunyai kekuatan

refraksi 43 Diopri atau 70% dari kekuatan refraksi total. Kornea dewasa rata-rata

mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi, dan diameternya

sekitar 11,5 mm. 4, 3

Kornea terdiri dari 5 lapis, yaitu : lapisan epitel, membran bowman,

stroma, membran descement, dan lapisan endotel.1, 4

3

Page 4: Css Pterigium

Gambar 1. potongan melintang kornea

Sumber : Direproduksi dengan ijin, dari Wolf E: Anatomy of The Eye and Orbit,4th ed.Blakiston-McGraw, 1054. Dalam buku Vaughan DG, Oftalmologi Umum, ed 14,1096: Halaman 11.

2.1.2.1. Lapisan epitel

- Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak

bertanduk yang saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel

poligonal dan sel gepeng.

- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda

ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke

depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di

sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan

malkula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit

dan glukosa yang merupakan barrier.

- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat

erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi

rekuren

4

Page 5: Css Pterigium

- Epitel berasal dari ekdorm permukaan

2.1.2.2. Membran bowman

- Merupakan lapisan tipis dan homogen, terdiri dari serat

kolagen pendek dan fibril halus. Tebalnya 10-16 µm dan mempunyai

pori-pori yang dilewati ujung-ujung saraf. Lapisan ini resisten

terhadap trauma dan merupakan sawar bagi kornea terhadap invasi

mikroorganisme maupun sel tumor. Bila lapisan ini rusak, tidak

mampu berregenarasi tetapi diganti oleh lapisan tipis denagn stuktur

yang mirip

2.1.2.3. Stroma

- Merupakan lapisan yang paling tebal dan membentuk 90% dari

ketebalan kornea, terdiri dari lamel (merupakan susunan kolagen

sejajar satu dengan lainnya) dan keratosit (merupakan sel stroma

kornea yang merupakan fibroblas terletak diantara serat kolagen

stroma)

2.1.2.4. Membran descement

- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma

kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

- Sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai

ketebalan 40 µm

- Lapisan descement berakhir menjadi cincin Schwalbe yang

merupakan akumulasi sirkular dari serat kolagen. Lapisan ini dibagi

menjadi zona anterior/zona pembalut dan zona posterior yang terdiri

dari substansi lamina basalis.

2.1.2.5. Lapisan endotel.

- Berasal dari mesetellium, berlapis satu, bentuk heksagonal,

besar 20-40 µm. Endotel melekat pada membran descement melalui

hemidesmosom dan zonula okluden.

5

Page 6: Css Pterigium

Kornea dipersarafi oleh saraf sensoris terutama berasal dari saraf silia

longus, N. nasosiliaris, N. ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk

kedalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan selubung

Schwannya.

2.2 Definisi Pterigium

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di

bagian sentral atau di daerah kornea.6

2.3 Sejarah

Berdasarkan literature pengetahuan, pterigium telah ditemukan lebih dari

ribuan tahun yang lalu. Dokter-dokter terkenal dari masa lalu tertarik dengan

pterigium dan menggambarkan dengan tepat berbagai macam kondisi klinisnya.

Pterigium terpisah dengan kondisi lain yang mempunyai gambaran yang sama.

Dokter pada masa itu menyadari kepentingan klinisnya dan keseringan

kekambuhannya.5

Susruta, dokter dari mesir 1000 SM, mendeskripsikan secara akurat

pterigium. Diberikan terapi garam bubuk, dan stimulasi dengan cabang pohon

palem. Ketika pterigum terinflamasi dan membesar, dia merobeknya dengan

tarikan dan memindahkan jaringan dengan minyak. Kkhawatiran muncul saat lesi

muncul kembali. 5

Hippocrates (400 SM), menyarankan pengunaan tetes mata mengandung

timah, besi, tembaga, zinc, empedu, urin dan susu.

Celso (50 M) dan Galeno (131 M) menyarankan terapi topical

menggunakan larutan anggur putih, vinegar, air, gulaair fennel nitrat, dan

pengangkatan. 5

Paolo Eginata (660 M) dan Avicenna (1037 M) menyarankan pemotongan

pterigium dengan gunting.

Abad XVIII pterigium diobati dengan tembaga sulfat, Pada abad XIX

dengan silver nitrat dan asetat. Atropine ditambahkan untuk penyembuhan ulkus

kornea. 5

6

Page 7: Css Pterigium

Kenyon 1085 dapat mencegah rekurensi dengan mencangkokkan

autologus konjungtiva ke limbus. 5

2.4 Epidemiologi

Pterigium lebih sering muncul pada area tropis, ditempat lain

prevalensinya rendah, dizona beriklim sedang, prevalensi populasinya kurang

lebih 2 %, sedangkan zona tropis, prevalensinya mencapai minimal 6 % s.d 20%.

Pterigium paling sering terjadi pada zona equator antara 30th Northern dan

Southern paralles. Selain zona ini prevalensi berkurang. 5

Pesentasi terendah antara 0% s.d. 1,9% di Scandinavia, Jerman, Rusia,

UK, Prancis utara, Kanada, Amerika Utara. Persentasi sedang Spanyol utara, Ilalia

selatan, Afrika utara, Amerika tengah. Persentasi tinggi 5-10 % dia Amerika

selatan, Mesir dan Cina. Persentasi sangat tinggi >10% di Australia, India,

Pakistan, equatorial afrika, Amerika tengah. 5

Penelitian epidemilologi pada populasi dengan area geografi yang luas ini

dipengaruhi oleh factor lingkungan pada pathogenesis dari pterigium yang dapat

diidentifikasikan menjadi factor resiko mayor dan minor. 5

Hubungan antara pemaparann sinar UV dengan kejadian pterigium telah

disetujui. Pterigium dapat berkembang karena pemaparan sinar UV, setiap hari

dan terus menerus selama bertahun-tahun. Dewasa muda berusisa 20 tahunan

berisiko tinggi terhadap pemaparan UV. Sinar UV berhubungan dengan patologi

hiperplastik dan degenerative dan tumor pada permukaan kulit. 5

Faktor risiko utam pterigium dapat diidentifikasikan berdasarkan gaya

hidup dan pekerjaan pasien. 5

Pterigium dapat ditransmisikan dengan factor puri-hereditary dengan

penetrasi inkomplit dan ekpresi yang bervariasi. 5

Faktor risiko dapat dibagi menjadi 2 kelompok :

1. Faktor intrinsic

Faktor intrinsik meliputi factor herediter, perubahan kuantitatif dan

kualitatif dari lakrimal film dan konjungtivitis iritan kronis. Beberapa

7

Page 8: Css Pterigium

defisiensi, misalnya defisiensi vitamin A, bertanggung jawab terhadap

perubhan mukosa lakrimal dan pergantian sel epitel kornea-konjungtiva

dan dipertimbangkan sebagai factor intrinsic. 5

2. Faktor Ekstrinsik

Faktor ekstrinsik karena terpapar dengan UV light dan mikrotrauma kronis

pada permukaan mata yang sering disebabkan oleh pekerjaan pasien.

Pengaruh pemaparan mikrotrauma di lingkungan kerja missal seperti

allergen, angin, debu, rokok dan stimuli toksik lain, petani, pelaut, tukang

kayu termasuk dalam kelompok beresiko tinggi terhadap pemaparan.

Infeksi mikroba dan virus tidak signifikan tetapi pada populasi tertentu

misalnya seperi trakoma berpengaruh terhadap perubahan sekunder dari

lakrimal film dan predisposisi kerusakan konjungtiva. 5

2.5 Etiologi

Teori etiologi dan patogenesis terbagi atas : 5

1. Faktor herediter : Pterigum ditransmisikan oleh gen dominan dari

penetrasi inkomplit. Factor herediter dicurigai karena terdapatnya insidensi

yang tinggi pada keluarga tertentu yang meneurun dari generasi ke

generasi. Komponen herediter sebagai factor predisposisi dari konuntiva

yang bereaksi abnormal karena adanya stimuli lingkungan.

2. Pinguecular : Teridentifikasinya lesi pterigium primer primer pada

pingeucula, mikrolesi pada limbus dikarenakan lingkungan atau factor

lakrimal yang memprovokasi konjungtiva dan menyebabkan reaksi

pertahanan sel untuk bermigrasi ke konjungtiva lalu dengan spontan

meliputi konjungtiva. Lesi saat melibatkan kornea akan menyebabkan

edema dan mendorong migrasi dari keratoblas limbal yang terlihat di

stroma kornea sebagai selular islet.

Fuchs berdasarkan hipotesisnya bahwa pterigium berasal dari transformasi

pinguekula karena mempunyai gambaran histopatologi yang mirip satu

sama lain. Dan dipengaruhi rangsangan dari luar, seperti sinar matahari,

8

Page 9: Css Pterigium

panas, angi, debu yang dapat menyebabkan terjadinya pinguekula dan

pterigium.4

3. Inflamasi : mikrolesi pada limbus yang diprovokasi oleh lingkungan dan

stimuli pekerjaan menyebabkan aktivasi konjungtiva dengan inflamasi

subklinis untuk memperbaiki lesi tersebut.

Bocckman berpendapat bahwa pterigium terjadi karena ada jaringan

sub/konjungtiva melekat pada sklera. Friede berpendapat konjungtivitis

menahun sebagai faktor predisposisi dari terjadinya pterigium. Kamel

menganggap pterigium sebagai suatu inflamasi yang dimulai di

konjungtiva bulbi daerah fisura intrapalpebra berupa konjungtivitis

kronik.2

4. Muskular : pterigium berasal dari reaksi degenerative tendon muskulus

rektus medialis.

5. Anomali dari Lakrimal Film : diskontinuitas dari lakrimal film dengan

pembentukan lembah kecil dan epitel mikrolesi. Hal ini dapat

menyebabkan stimulasi awal dari proliferasi jaringan fibrovaskular

subkonjungtival. Perubahan keunatitatif dan kualitatif dari lakrimal film

oleh karena itu selalu ada pada pteriggium.

6. Tumoral : Pterigium adalah tumor ganas yang terlokalisasi di jaringan

subkonjungtival. Jaringan hiperplastik fibrilar kelihatan menginvasi

kornea dengan destruksi aktif epithelium, bowman’s dan stroma.

Von Artha menduga bahwa pterigium merupakan neoplasma kornea

dengan ciri hipertropi lamella subepitelial. Christiansen berpendapat

bahwa pterigium merupakan tumor jinak pada konjungtiva.2

7. Neurotropik : iritasi kronis dari limbus menyebabkan neuritis pada saraf

corneal di bagian nasal sehingga terjadi ulserasi tropic. Perbaikan dari lesi

limbus melalui konjungtiva bulbi dapat menumbulkan lesi primer, dan

retraksi jaringan parut menimbulkan diskontinuitas terlokalisasi dengan

ulserasi limbus.

9

Page 10: Css Pterigium

Lamoine (dalam Priyanto.TH) bahwa irritasi menahun pada kornea dan

konjungtiva di daerah fisura intrapalpebralis mengakibatkan gangguan

saraf yang menuju ke kornea sehingga terjadi gangguan neurotropik pada

kornea sehingga timbul ulkus kecil pada kornea dan pembuluh darah

akanmenuju kornea disertai lipatan konjungtiva yang akan menutupi ulkus

tersebut.2

8. Diet/Gizi : pterigium disebabkan oleh modifikasi tropic epitel, karena

defisiesnsi kolin dan vitamin A. Pterigium merupakan defisiensi yang

berhubungan dengan dysplasia epitel.

9. Faktor jaringan angiogenetik : iritasi berulang dari limbus dapat

memproduksi factor angiogenetik yang meningkatkan kejadian pterigium.

Faktor angiogenetik diperoleh dari denaturasi protein kolagen dipengaruhi

oleh efek UV

10. Virus : Pada area eografik dimana tidak terjadi endemic pteigum, Papova

virus dapat diisolasi pada pasien dengan pterigium.

11. Immunitas : ketidakseimbangan sel imun mediated di konjungtiva. Pada

jaringan pterigium didapatkan populasi sel imunologis dengan prevalensi

sel limfosit CD3. Pada konjungtiva normal, rasio sel helper dan sel

suppressor adalah 1;1,5. Pada pterigium rasio sel helper dan sel supresor

adalah 1;2,7. Adanya IgE, IgG, dan sel imunologis, mengindikasikan

adanya reaksi hipersensitivitas pada pterigium.

12. Pemaparan sinar UV : merupakan teori yang diakui. Hipotesis terjadinya

pterigum adalah karena efek kumulatif sinar UV yang diabsorbsi oleh

permukaan mata. Pemaparan sinar UV, menyebabkan perubahan dari

jaringan epitel kornea dan jaringan submukosal konjungtiva. Selain itu

juga bertanggung jawab terhadap patologis kronis konjungtiva dan kornea.

Radiasai UV antara 290-320 nm diabsorbsi selektif oleh lapisan epitel dan

subepitel permukaan mata. Efek fototoksik sinar UV, lebih besar untuk

UVA, kerusakan karena UVA dapat ditambah oleh substansi psoralenic

endogen dan eksogen. UV dosis tinggi single menyebabkan akut aktinik

keratokonjungtivitis, dengan gambaran klinis pengelupasan epitel kornea

10

Page 11: Css Pterigium

dan konjungtiva. Dosis harian kronis sinar UV dapat menyebabkan

kerusakan permanen dari permukaan mata, degenerasi membrane bowman

dan lamella stromal superficial dapat pula memprovokasi neovaskularisasi

di stromal.

13. Teori Limbal : Pengobatan pada komponen konjungtiva sering

mengakibatkan rekurensi, sebaliknya pengobatan limbus memberikan

hasil pengobatan yang baik. Imunohistokimia menggunakan antibody

monoclonal spesifik untuk sitokeratine sel epitel konjungtiva dan kornea

memperlihatkan bahwa pterigium berasal dari stem sel limbus. Sel ini

normalnya terfiksasi, tetapi dibawah efek sinar UV dan melalui efek

mediator jaringan, menyebabkan sel anak bermigrasi dibawah membrane

basalis dari epitel konjungtiva dan kornea. Selama perluasannya ke kornea,

sel dapat merusak dan menghancurkan membrane bowman dan

berinfiltrasi ke lamella stromal superficial. Selama migrasinya, keratoblas

tidak memiliki aktivitas fibroblastic, tapi aktivitas itu akan dimiliki pada

akhir migrasi.

2.6 Histopatologi

Pterigium mempunyai gambaran histopatologi yang khas yaitu terdapatnya

jaringan ikat fibovaskular yang abnormal. Epitel di atasnya dapat menebal atau

menipis, tetapi biasanya normal.9

Kolagen dari jaringan subepitel konjungtiva mengalami degerasi elstotik.

Istilah ini diambil karena jaringan ini meskipun bukan jaringan elstin tetapi dapat

terwarnai oleh zat pewarna elastin serta tidak lisis oleh enzim elatase. 9

Bagiam apeks ditutupi oleh epitel konjungtiva dan terdiri dari sel fibroblas

avaskular yang akan menyebar ke kornea, membagi epitel dan lapisan Bowman

denagn substansia propia. Pada pterigium yang menyebar ke kornea, lapisan

Bowman diganti oleh Pannus fibrovaskular dan terjadi degenerasi hialin pada

daerah stroma.

11

Page 12: Css Pterigium

Pterigium yang mengalami tumbuh ulang mempunyai gambaran

histopatologi yang berbeda dari pterigium primer, yaitu terdapatnya parut

fibrovaskular yang tumbuh dari tempat eksisi dan komposisinya mengandung

fibroblas dan banyak mengandung pembuluh darah sehingga gambaran ini mirip

keloid pada kulit. 9

2.7 Gambaran klinis dan klasifikasi

Gambaran morfologis dari pterigium dan keterlibatan kornea,

menimbulkan klasifikasi dari beberapa bentuk klinis. Ada tiga tipe utama.

Klasifikasi dibaggi berdasrkan evolusi dan keparahan gambaran klinis (dari

stadium awal sampai stadium lanjut.5

Gambaran klinis untuk klasifikasi adalah berdasarkan ukuran,

vaskularisasi dan perluasan ke permukaan corneal, kterlibatan optical zone dan

komplikasi. 5

Small Primary Pterigium (type 1)

Meliputi stadium awal dari pterigium primer. Lesi hanya terbatas pada

limbus dan menginvasi kornea marginal. Pada bentuk ini, gejala dan komplikasi

jarang terjadi. Bentuk stasioner dengan perkembangan klinis yang sangat lambat.

Morfologi dengan slitlamp menunjukkan tiga tipe pterigia yang berbeda.

a. Fibrous

b. Pingeucular

c. Classical

Advanced primary or recurrent pterydium with no optical zone involvement (Type

II)

Tipe yang paling sering terjadi, meliputi bentuk primer dan rekuren. Pada

jenis pterigium ini memungkinkan dibedakan semua struktur anatominya dengan

jelas. Menginvasi kornea sampai ke optic zone, infiltrasi ke sekeliling dapat

dilihat oleh mata. Badan disilang oleh kapiler yang berdilatasimembentuk

vaskularisasi yang menyebar sampai ke internal canthus. Iritasi terjadi terus

12

Page 13: Css Pterigium

menerus dan penurunan visus yang disebabkan karena astigmatisme terinduksi

oleh fenomena difraksi cahaya. 5

Advanced primary atau rekurensi Pterygium dengan kterlibatan zone optical

(Type 3)

Bentuk paling lanjut dari pterigium. Berinvasi sampai ke zona optikal.

Pertumbuhan pterigium, dengan apex menginvasi lapang pupil dan menginfiltrasi

stroma kurang lebih 30% dari ketebalan kornea. Penurunan penglihatan biasanya

terjadi dan disebabkan oleh astigmatisme dan keterlibatan zone optic. Gambaran

morfologi dari tipe III pterigium adalah : collarate yang jelas meluas 8-10 mm di

limbus. Tubuh pterigium meluas ke seluruh medial canthus. Fibrosis

subkonjungtival yang meluas sampai ke forniks. 5

GEJALA

Keparahan gejala dari pterigium bersamaan dengan gambaran klinisnya.

Pada pterigium tipe I, gejala hamper tidak ada. Tetapi pada bentuk lanjut

dilaporkan adanya iritasi dan gangguan visus. 5

Penurunan visus sangat mengganggu, bervariasi antara pterigium tipe II

dan III, pada kasus ini, kepala pterigium menyebabkan astigmatisme ireguler atau

berinvasi ke zona optikal.

Iritasi nonspesifik ; photophobia, sensasi terbakar pada pemaparan dingin

dan panas, sensasi benda asing dengan sporadic atau mata berair secara kontinyu.

Gejala sangat menonjol selama fase inflamasi dari pterigium dan

berhubungan dengan nyeri yang diprovokasi oleh mikroulserasi kornea yang

meliputi seluruh kepala pterigium. 5

Penurunan dari visus diobservasi saat pertumbuhan pterigium pada kornea

mencapai 3-4 mm.

Sebelum terjadi penurunan visus, pasien mengeluhkn gangguan generic

berupa kesilauan yang dideskripsikan sebagai kesulitan menyetir malam hari atau

efek cahaya radiasi. Gangguan ini sering terjadi, bahkan dapat terjadi pada

pterigia dengan dimensi kecil dan disebabkan oleh penurunan sensitivitas kontras.

13

Page 14: Css Pterigium

Tidak ada hubungan antara derajat kesilauan dengan perluasan pterigium ke

kornea. 5

Pada pterigium, karena opasitas kornea perifer dan perubahan lakrimal

film, terdapat difraksi yang besar dari cahaya dan sensitivitas terhadap kontras

berkurang.

Difraksi dan perubahan penglihatan muncul dan dapat diobservasi saat

diameter upil mencapai 6 mm.

Penurunan penglihatan pada pterigium di provokasi oleh dua factor

astigmatisme terinduksi dan invasi ke zona optik. Astigmatisme pada pterigium

dikarenakan oleh beberapa factor yang dapat berdiri sendiri atau berhubungan.

Pertumbuhan kepala pterigium ke kornea selalu menimbulkan deformasi

pada kelengkungan kornea. 5

2.8 Diagnosa Banding

Pterigium mempunyai gambaran tipikal dengan slit lamp, sehingga tidak

sulit menentukan diagnosa. Tetapi ada beberapa kelainan patologi dari perifer

kornea dan limbus yang memberikan gambaran sama seperti pterigium, karena itu

perlu dilakukan diagnosis banding. Diagnosis banding diantara kelaianan patologi

adalah : 5

1. Phlyctenular keratokonjungtivitis

Neoformasi dari konjungtiva, kecil, berbatas tegas. Dengan gambaran

seperti gel, dikelilingi oleh twisted capillary. Berhubungan dengan hiperemi

konjungtival. Pathogenesis berhubungan dengan reaski hipersensitivitas tipe

lambat dari bakteri atau protein makanan. Kelaianan patologi ini umumnya

terlokalisasi, tetapi pada beberapa kasus dapat menimbulkan pembentukkan

pembuluh darah baru di kornea, menyebabkan opasitas permukaan. Biasanya

terdapat pada bayi atau anak-anak.

2. Squamous cell carcinoma of the limbus

14

Page 15: Css Pterigium

Kelainan patologis yang sangat jarang, tetapi diagnosis bandingnya sangat

sulit dibedakan dari kelainan patologis lain pada limbus termasuk pterygium.

Seperti pterigium, muncul setelah pemaparan kronis sinar UV. Tempat paling

umum terjadi adalah di zona infero temporal dari limbus. Diagnosis pasti

didapatkan dari pemeriksaan histology.

3. Pingeucula

Kelainan patologi jinak yang sangat umum. Bentuknya bulat, berwarna

keputihan atau kekuningan. Tempat paling umum terjadi di limbus. Twisted

capillary dapat ditemukan didalamnya. Dari pemeriksaan histology pingeukula

adalah degenerasi hyaline dari jaringan konektif konjungtiva. Normalnya

asimtomatik tapi dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan iinflamasi, dengan

gejala terbakar, lakrimasi dan foreign body sensation. Diagnosis bandingnya

dengan pterigium tipe I dengan gambaran pinguecular. 5

4. Pseudo pterigium

Gambaran klinis pseudopterigium dengan pterigium adalah sama, tetapi

pathogenesis dari keduanya berbeda. Pseudopterigium dihasilkan dari perbaikan

ulkus kornea purifier. Atau inflamasi limbus karena berbagai penyebab ( kimia,

panas, mikrobiologikal, autoimun). Dapat didefinisikan sebagai konjungtivalisasi

dari permukaan corneal dan muncul pada semua zona kornea. Tidak terdapat

perkembangan lesi. Tetapi apabila kerusakan mencapai limbus maka akan meluas.

Lapisan fibrovaskular dapat menutupi seluruh kornea. Tidak dibutuhkan untuk

menghilangkan pseudopterigium, kecuali kerusakan telah mencapai zona optikal.

Pada beberapa kasus pseudopterigium adalah komplikasi dari dilakukannya

operasi pterigium. 5

5. Lymphoma dari konjungtiva.

Lesi yang sangat jarang terjadi meliputi bagian inferior dn nasal dari

konjungtiva. Lesi subkonjungtival salmon pink ini memperoleh sedikit

15

Page 16: Css Pterigium

vaskularisasi dan hamper datar. Diagnosa pasti diperoleh dari pemeriksaan

histology. 5

6. Bowen’s epithelioma

Merupakan proliferasi neoplastic limbus dengan keganasan local.

Cenderung menginfiltrasi kornea dan konjungtiva. Diagnosis pasti diperoleh dari

pemeriksaan histology. 5

7. Dermoid Limbal.

Merupakan kelaianan patologi congenital yang jarang terjadi.

Memperlihatkan neoformasi bulat merah kekuningan antara limbus dan tepi

kornea. Tidak ada vaskularisasi yang abnormal. Tempat yang sering terjadi adalah

dermoid bagian inferotemporal.

8. The papiloma

Merupakan neovaskularisasi kecil aktif berbentuk kembang kol kecil.

Vaskularisasi tinggi dan mudah berdarah. Dibandingkan dengan pterigium

diagnosis banding sangat mudah tetapi diagnosis pasti diperoleh setelah

pemeriksaan histologi berasal dari virus.

9. Nodular episcleritis

Inflamasi episklera dan konjungtiva, dalam bentuk nodular akan

terlokalisasi. Sering terjadi pada wanitadewasa muda, kelainan patologi

memperlihatkan merah terang, hamper berupa nodul datar. Terdiri dari twisted,

injeksi konjungtiva dan pembuliuh darah kapiler episklera. Ketika pertama kali

muncul, episkleritis berhubungan dengan nyeri tetapi lama kelamaan menghilang

setelah beberapa minggu pengobatan dengan obat antiinflamasi. Terdapat

kecenderungan rekurensi.

2.9 Pengobatan Pterigium

16

Page 17: Css Pterigium

2.9.1 Tindakan non bedah

Tindakan non bedah meliputi pemberian lubrikasi dengan tetes mata

buatan atau tetes mata dekongestan untuk mengurangi keluhan iritasi, tetes mata

dan salep steroid juga dapat di berikan untuk mengurangi reaksi peradangan,

tetapi tidak dapat diberikan dalam jangka panjang, karena dapat menimbulkan

komplikasi. Tetes mata vasokonstriktor juga dapat diberikan untuk mengurangi

keluhan mata merah. Obat-obat ini tidak menghambat progresifitas pterigium. 8,9

2.9.2 Tindakan bedah

Pengobatan pterigium tipe progresif yang merah, tebal dan meradang lebih

sulit bila dibandingkan dengan tipe nonprogresif yang putih, tipis dan avaskular.

Beberapa peneliti menganjurkan pemberian obat-obat, seperti obat steroid topikal

sebelum tindakan bedah. 8

Tindakan bedah dapat dilakukan bila pterigium menyebabkan gangguan

vissu, keluhan iritasi kronik, gangguan pergerakan bulbus okuli yang

mengakibatkan diplopia dan gangguan kosmetik.8

Pembedahan pterigium dilakukan menurut enam cara yaitu : Avulsi,

Trasposisi apeks pterigium, Rotasi flep konjungtiva, Bare sclera, Cangkok

konjungtiva otologus dan cangkok membran amnion homologus. 8, 9.

A. Avulsi

Avulsi adalah suatu cara untuk mengangkat pterigium sebelum

berkembangnya teknik dan instrument bedah mikro, keuntungan teknik ini adalah

sederahana dan cepat.

Setelah dilakukan anestesi local dengan epinefrin di bawah korpus

pterigium, dilakukan diseksi dari sklera sampai limbus denagnn gunting wescott

secara tumpul. Kemudian apeks pterigium di pegang dengan penjepit bergigi dan

selanjutnya ditarik dari kornea di bawahnya. Bila terdapat sisa pterigium harus

diangkat dengan bantuan pisau beaver. Teknik ini tidak dianjurkan untuk

pterigium yang mengalami tumbuh ulang, karena jaringan pterigium sangat tebal

17

Page 18: Css Pterigium

sehingga ketebalan kornea di bawahnya tidak dapat di nilai dan jaringan pterigium

melekat erat pada kornea, sehingga resiko perforasi kornea tinggi.8,9

B. Transposisi apeks pterigium

Desmarres yang pertama kali memperkenalkan teknik ini. Dibuat insissi

konjungtiva di sebelah bawah, apeks pterigium dilepaskan dari kornea kemudian

ditanamkan pada celah tersebut, lalu dijahit seperti flep pedikel.9

Knapp melakukan modifikasi teknik, yaitu dibuat insisi secara horizontal

pada apeks sehingga menjaaadi 2 bagian, kemudian bagian atas dijahit pada

konjungtiva sebelah atas sedang bagian bawah dijahit ke konjungtiva sebelah

bawah.9

Mcreynold membelokkan dan menanam apeks pterigium di bawah

konjungtiva inferior. Blakovics melakukan modifikasi dengan melipat apeks

pterigium kemudian dibawah korpus pterigium.8,9

C. Rotasi flep konjungtiva

Bangeretr, melakukan insisi konjungtiva superior dan inferior secara radier

kemudian ke dua sisi konjungtiva didekatkan dengan jahitan kromik 8-0 atau

nilon 10-0.

Bila sklera yang terpapar diperkirakan tidak dapat tertutup dengan cara

seperti itu, Atatoon melakukan teknik conjundtival pedicle flap yaitu setelah

dilakukan eksisi pterigium dibuat flep di atas limbus berbentuk trpesium dengan

ukuran panjang sama dengan diameter kornea dan lebarnya sepertiga diameter

kornea. mulai dari bagian lateral, flep konjungtiva dipisahkan dari subkonjungtiva

dengan gunting tumpul. Flep tersebut dipindahkan ke luka operasi pterigium,

kemudian dilakukan penjahitan sebanyak 8-10 buah. 9

D. Teknik Bare Sclera

D’Ombrain mengajukan teknik bare sclera. Setelah dilakukan eksisi apeks,

leher dan korpus pterigium dilakukan eksisi jaringan subkonjungtiva sampai

sklera. Tepi konjungtiva yang bebas dijahitkan ke episklera di bawahnya dan

sklera dibiarkan terbuka denagn harapan dapat menghambat tumbuh ulang. 9

18

Page 19: Css Pterigium

E. Cangkok konjungtiva otologus

Pada teknik ini pterigium dieksisi dengan teknik bare sclera. Setelah

jaringan subkonjungtivitis bersih, dilakukan pengambilan jaringan konjungtiva

donor dari konjungtiva supertemporal, yang luasnya disesuaikan dengan daerah

pterigium. Jaringan konjungtiva donor kemudian dijahitkan pada daerah tadi

dengan jahitan terputus. 10

F. Cangkok membran anmnion homologus

Penggunaan membran amnion homologus sebagai pencakokan alternatif

setelah di eksisi pterigium. Luas daerah pterigium yang di eksisi diukur dan

disesuaikan luasnya denagn donor membran amnion yang sudah diawetkan.

Kemudian donor dijahitkan pada daerah tersebut dengan vikril 8-0 atau nilon 9-0

secara terputus. 7

2.10.3 Pengobatan pasca bedah pterigium

Upaya untuk menurunkan angka tumbuh ulang pterigium pasca bedah,

antara lain dengan radiasi sinar β, laser argon, tio-tepa, kortikosteroid, mitomisin

C atau dilakukan cangkok konjungtiva dengan melibatkan jaringan limbus.

A. Radiasi sinar β

Pembetukan jaringan granulasi memegang peranan penting untuk

terjadinya tumbuh ulang pasca pterigium. Tanda terjadinya jaringan granulasi

ialah terbentuknya kapiler baru. Radiasi sinar β dengan dosis 7-10 ribu rep (rotgen

equivalent phycal) dapat menghancurkan pembuluh darah yang sudah terbentuk. 9

Pemberian radiasi sinar β dapat menurunkan angka tumbuh ulang dari

30%-50% menjadi 0,5%-33%. Komplikasi pasca radiasi sinar β antara lain

teleangiektasi pembuluh darah konjungtiva dan episklera, keratitis, jaringan parut

pada kornea, dan katarak.8,9

B. Laser Argon

19

Page 20: Css Pterigium

Laser argon digunakan untuk mengablasi neovaskular yang tumbuuh ke

arah kornea pasca bedah pterigium. Tujuan penggunaan laser ini adalah untuk

mengablasi pembuluh darah tanpa menyebabkan kerusakan akibat suhu yang

panas di sekitar jaringan yang diablasi sehingga tidak menambah jaringan fibrosis

dan peradangan. Pengobatan dengan laser argon dilakukan setelah keadaan mata

cukup tenang dan dapat diulang setelah 1-2 minggu. 7, 9

C. Tio-tepa

Tio-tepa (triethylenethiophosphoramide) adalah obat radiomimetic,

mempunyai efek terhadap proses penyembuhan jaringan seperti radiasi sinar β.

Komplikasi yang pernah dilaporkan meliputi iritasi dan infeksi

konjungtiva, granuloma, reaksi alergi, infeksi bakteri dan depigmentasi palpebra

yang permanen. 9

D. Kortiksteroid

Pemberian kortikosteroid topical pasca bedah pterigium akan menurunkan

terbentuknya jaringan sikatrik, seperti simblefaron dan restriksi pergerakan bulbus

okuli juga akan menghambat terjadinya edema kornea dengan memelihara

stabilitas permeabilits pembuluh darah dan menurunkan pembentukan

neovaskularisasi dengan menghambat reaksi inflamsasi. Tetapi sulit untuk

menetapkan peran kortikosteroid dalam menekan tumbuh ulang pasca bedah

pterigium. 7, 9

E. Mitomisin C

Mitimisin C (MMC) merupakan suatu antibiotik yang di isolasi dari

streptomises caespitosus dan pertama kali diisolasi oleh Waikiki dkk tahun 1058.

Mempunyai khasiat onkostatik dan dapat menekan pembentukan jaringan

garanulasi pada kornea dan konjungtiva. Obat ini stabil dalam panas dan larut

dalam pelarut organik. Obat ini tersedia dalam bentuk bubuk sehingga harus

dilarutkan terlebih dahulu. MMC secara selektif menghambat sintesa DNA dan

proliferasi fibroblast.7

20

Page 21: Css Pterigium

Kunitomo dan Mori berhasil mengurangi angka tumbuh ulang petrigium

dengan menggunakan tetes mata MMC 0,4mg/ml pasca bedah, 3 kali sehari

selama 2 minggu. Dengan diberikannya MMC pasca bedah petrigium, akan

menghambat fase aktif penyembuhan jaringan konjungtiva dan subkonjungtiva,

sehingga fase aktif penyembuhan jaringan konjungtiva dan subkonjungtiva,

sehingga akan membantu reepitalisasi kornea yang adekuat dan terbentuknya

jaringan parut yang halus pada limbus sehingga akan menghambat tumbuh ulang.7

F. Cangkok konjungtiva dengan melibatkan jaringan limbus

Jaringan limbus yang mengandung SC (Stem cell) merupakan sumber

utama regerasi epitel kornea dan juga berfungsi sebagai junctional barrier antara

kornea dan epitel konjugntiva. Oleh karena itu cangkok konjungtiva dengan

melibatkan jaringan limbus pada aksisi ptrigium, mempunyai tujuan bahwa SC

limbus akan menciptakan suatu barier limbus yang sehat, sehingga dapat

menurunkan tumbuh ulang pterigium.7

2.10. Tumbuh Ulang

Faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko tinggi terjadinya tumbuh

ulang pasca bedah adalah pterigium dengan ukuran besar, pertumbuhannya cepat

atau progresif, pernah tumbuh ulang, pasien usia muda, tinggal di daerah tropis

dan operasi yang kurang adekuat. 8

Hayasaka menyatakan bahwa tumbuh ulang adalah setiap pertumbuhan

jaringan fibrovaskular yang mirip dengan pterigium asli, dari limbus ke kornea

pada daerah yang sebelumnya ada pterigium atau terlihat adanya neovaskularisasi

di daerah limbus. 13

21

Page 22: Css Pterigium

Pterigium yang mengalami tumbuh ulang cenderung lebih besar, lebih

tebal, lebih hiperemis dan lebih agresif daripada lesi primernya. Sering

menyebabkan simblefaron sehingga terdapat gangguan pergerakan bulbus okuli. 8

Secara histopatologi pterigium yang tumbuh ulang berbeda dengan

pterigium asli, terdapat jaringan parut fibrovaskular yang tebal, mengandung

fibroblas dan pembuluh darah. 8

2.11 Komplikasi Pterigium

2.11.1. Komplikasi intraoperasi :

A. Perforasi kornea, dapat terjadi bila pembedahan menggunakan

pisau yang ujungnya tajam atau bila dilakukan pembedahan pada

pterigium dengan apeks dan korpus yang tebal dan melekat erat

pada kornea. Bila terjadi perforasi, maka apeks yang sudah

terlepas harus dijahit kembali pada tempat semula

B. Rusaknya otot rektus horizontal, sebaiknya pada saat melakukan

pembuangan jaringan subkonjungtiva harus hati-hati dimana

tendo otot rektus harus dapat diidentifikasi dulu sebelum

melakukan eksisi.7

2.11.2. Komplikasi pasca operasi :

Infeksi, granula piogenik, dellen sklera/dellen kornea. Infeksi pasaca

bedah jarang terjadi bila sterilitas terjamin.

Dellen tampak sebagai jaringan ireguler dan terdapat lekukan. Dapat

terjadi pada orang tua dan pada pterigium yang sangat tebal.

Pengobatan dilakukan dengan menutup mata sehingga dellen

mengalami rehidrasi. Penutupan mata dilakukan sampai konjungtiva

dan episklera di sekitar dellen menjadi rata kembali dan menutupi

dellen.7

22

Page 23: Css Pterigium

BAB III

PENUTUP

23

Page 24: Css Pterigium

24

Page 25: Css Pterigium

25

Page 26: Css Pterigium

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke tiga. Jakarta : Balai penerbit

FKUI

26

Page 27: Css Pterigium

2. Priyanto TH. 1090. Pengaruh Ekstirpasi Pterigium Terhadap Perubahan

Kelengkungan Kornea. Tesis. Bandung. FK-UNPAD

3.

4. Vaughan, Daniel. 2000. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta : Wijaya

medika.

5.

6. Ilyas S. 2003. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke dua. Jakarta : Balai penerbit

FKUI

7. Rahim DH. 1099. Keberhasilan Cangkok Konjungtiva Dibandingkan

dengan Bare Sclera pada Eksisi Pterigium Primer Tipe Progresif. Tesis.

Bandung. FK-UNPAD.

8. yhr

9. yo

10. tid

10.Pedoman Pelayanan Medis Rumah Sakit Mata Cicendo. Edisi II. Bandung.

2006. Hal 13-14.

27