csr

30
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. CSR atau TJSL sebagai suatu konsep, berkembang pesat sejak 1980 an hingga 1990 an sebagai reaksi dan suara keprihatinan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringan tingkat global untuk meningkatkan perilaku etis, fairness dan responsibilitas korporasi yang tidak hanya terbatas pada korporasi, tetapi juga pada para stakeholder dan komunitas atau masyarakat sekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR harus melibatkan seluruh stakeholder secara aktif dalam kegiatan CSR. Bahwa harus ada keseimbangan antara kegiatan bisnis dan nilai-nilai bisnis dan harus beyond filantrophy. CSR bukan untuk menolong pihak yang lebih lemah tetapi merupakan strategi bisnis perusahaan. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability. Kalangan bisnis telah menyuarakan penolakan dimasukkannya pasal tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam undang-undang PT yang baru. Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) dipopulerkan oleh Jhon Elkington, (1997) melalui bukunya “Cannibal with Forks, the Tripple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line Universitas Sumatera Utara

Upload: amilya-putri

Post on 28-Dec-2015

87 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Csr

TRANSCRIPT

Page 1: Csr

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah

suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan

perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap

sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. CSR atau TJSL sebagai suatu

konsep, berkembang pesat sejak 1980 an hingga 1990 an sebagai reaksi dan suara

keprihatinan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringan tingkat global

untuk meningkatkan perilaku etis, fairness dan responsibilitas korporasi yang tidak

hanya terbatas pada korporasi, tetapi juga pada para stakeholder dan komunitas atau

masyarakat sekitar wilayah kerja dan operasinya.

CSR harus melibatkan seluruh stakeholder secara aktif dalam kegiatan CSR.

Bahwa harus ada keseimbangan antara kegiatan bisnis dan nilai-nilai bisnis dan harus

beyond filantrophy. CSR bukan untuk menolong pihak yang lebih lemah tetapi

merupakan strategi bisnis perusahaan. Corporate Social Responsibility (CSR)

merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan

kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan

sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar

profitability. Kalangan bisnis telah menyuarakan penolakan dimasukkannya pasal

tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam undang-undang PT yang baru.

Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) dipopulerkan oleh Jhon

Elkington, (1997) melalui bukunya “Cannibal with Forks, the Tripple Bottom Line of

Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Csr

dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Definisi

dari CSR, pertama dalam Pemerintah Inggris, dikatakan ”Voluntary action that

bussines can take over and above compliance with minimum requirement,”. Inti dari

CSR adalah dijalankan beyond compliance to law (melampui kepatuhan terhadap

hukum).

Melalui buku tersebut, Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan

yang ingin berkelanjutan, haruslah memperhatikan “3P”. Selain mengejar profit,

perusahaan juga mesti memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan

masyarakat (people) dan turut berkonstribusi aktif dalam menjaga kelestarian

lingkungan (planet). Hubungan ini kemudian diilustrasikan dalam bentuk segitiga

sebagai berikut:

Gambar 1. Hubungan Garis Segitiga (Triple Bottom Line)

Sumber: Elkington,(1997)

Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi diharapkan pada tanggung

jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan

dalam kondisi financial-nya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan

Lingkungan (Planet)

Ekonomi (Profit)

Sosial (people)

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Csr

lingkungannya. Perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang

berpijak hanya pada single bottle lines yaitu, nilai perusahaan (corporate value) yang

direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja, tetapi tanggung jawab

perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines, yaitu berupa: finansial, sosial dan

lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh

dan berkembang secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan akan

terjamin apabila korporasi juga turut memperhatikan demensi sosial dan lingkungan

hidup; Masuknya konsep CSR ke dalam wacana dan praktik perusahaan tampaknya

membawa berkah perubahan.

Tak dapat disangkal lagi, ada kekuatan besar yang mengubah perilaku

banyak perusahaan di hadapan para pemangku kepentingannya. Tekanan yang

diberikan oleh para aktivis telah membuat perusahaan-perusahaan mengubah strategi

bisnisnya dari single bottom line pencarian keuntungan menuju triple bottom line

keseimbangan ranah ekonomi-sosial-lingkungan. Tentu saja hal ini patut disyukuri,

namun juga harus tetap dikawal dengan ketat. Bagaimanapun kecenderungan banyak

perusahaan untuk mengedepankan keuntungan ekonomi bagi dirinya dibandingkan

keadilan sosial dan lingkungan tetaplah besar. Melihat hal ini, banyak akademisi

yang kemudian mengingatkan bahwa skeptisisme yang sehat terhadap perilaku

perusahaan khususnya berkaitan dengan peran mereka dalam pembangunan haruslah

tetap dijaga.

Watt dan Zimmerman (1978), Abbot dan Monsen (1979), Ulmann. C.A

(1985) menyatakan bahwa biaya sosial (social cost) yang dikeluarkan perusahaan

memiliki kemanfaatan meningkatkan citra perusahaan dimata masyarakat,

meningkatkan laba perusahaan dan dapat mengurangi munculnya negetive

externalities.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Csr

Khasali Reinald (2007) menyatakan bahwa umumnya sering terjadi

ketidaksepahaman antara perusahaan dengan masyarakat tentang tanggungjawab

social (social responsibility). Lebih lanjut dinyatakan, bahwa perlu sosialisasi efektif

lewat berbagai kegiatan sosial maupun pelaporan perusahaan, agar terjadi

pemahaman batasan tanggungjawab sosial (social responsibility) secara simetris. Hal

itu, menentukan efektifitas tanggungjawab sosial (social responsibility) yang telah

dilakukan perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan.

Freedman dan Jaggi (1974) menyatakan bahwa perusahaan perlu melakukan

keterbukaan atas aktivitas social yang telah dilakukan. Lebih lanjut dinyatakan,

bahwa tingkat pengungkapan social dapat meningkatkan legitimasi stakeholders

sehingga dapat menurunkan legitimacy gap, dan ketidak-seimbangan pemahaman

dan informasi. Menurut Philip Kotler dan Nancy Lee ada 6 (enam) pilihan dalam

menjalankan CSR, yaitu cause promotion, cause related marketing, corporate social

marketing, corporate philanthropy, community volunteering, dan social resposible

business practices. Beberapa pilihan tersebut telah dipilih untuk dijalankan oleh

perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Achwan (2006), mengemukakan dua tesis yang melatarbelakangi

perkembangan wacana CSR, yang pertama adalah bahwa konsep CSR merupakan

suatu bentuk kemampuan adaptasi perubahan perusahaan modern dalam

menyesuaikan dirinya dengan perubahan sosial politik yang berkembang di tengah-

tengah masyarakat. Tesis kedua mengatakan, konsep CSR sebagai bentuk respon

perusahaan modern dalam ekonomi pasar untuk mempertahankan dominasinya

terhadap setiap tantangan publik yang mengganggu kekuasaannya (Corporate

Power) dengan membangun aliansi dengan lembaga atau aktor strategis.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Csr

Pergulatan wacana tersebut bermuara pada tiga definisi dan praktik CSR,

definisi pertama berangkat dari asumsi the business of business is business, bahwa

setiap perusahaan pada hakekatnya memiliki tujuan tunggal yaitu memaksimalkan

keuntungan kepada pemiliknya dan keberadaannya dipercaya dapat menciptakan

lapangan pekerjaan. Inti dari definisi yang pertama ini lebih merupakan penolakan

terhadap prinsip-prinsip kedermawanan perusahaan, Community Development atau

donasi yang dianggap bertentangan dengan hakekat perusahaan.

Definisi kedua adalah Corporate Voluntarism yang menekankan aspek

kebajikan (virtue) dalam mengejar keuntungan. Asumsi dasar definisi ini yang

pertama adalah bahwa setiap perusahaan dengan sukarela sesuai dengan kekuatan

dan kelemahannya dapat mengembangkan CSR dan menolak campur tangan negara

dalam mengatur perusahaan. Asumsi yang kedua beranggapan bahwa kepedulian

terhadap masyarakat atau konsumen dapat mendorong keuntungan ekonomi suatu

perusahaan, dan yang ketiga adalah bahwa keberadaan perusahaan tidak dapat

dilepaskan dari masyarakat tempat perusahaan beroperasi.

Defenisi ketiga adalah Corporate Involuntarism dengan asumsi dasar bahwa

setiap perusahaan memiliki kewajiban menjalankan tanggung jawab sosial yang

harus dituangkan dalam bentuk undang-undang karena self regulation dan

voluntarism dianggap sudah tidak lagi mencukupi karena dalam konteks kekinian

pengaruh multi national corporation dianggap jauh berpengaruh dibanding negara/

bangsa.

LEAD Indonesia dan LABSOSIO FISIP UI (2005), menyebutkan bahwa

dalam banyak kasus yang melibatkan industri ekstraktif dengan masyarakat sering

kali program Community Development mendominasi praktek CSR sebagai upaya

pendekatan khusus untuk mencegah konflik. Hal tersebut menyebabkan konsepnya

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Csr

menjadi tersederhanakan atau disamakan dengan kegiatan Community Development,

padahal CSR merupakan konsep yang mencakup berbagai kegiatan dimana salah

satunya adalah kegiatan Community Development.

Putusan undang-undang Nomor 53/PUU-IV/2008 Sifat CSR/TJSL yang

voluntairly perlu terus menerus di tingkatkan dengan tidak mengubahnya menjadi

kewajiban hukum (legal obligation). Ada beberapa problema dan kelemahan dasar

bilamana merumuskan CSR menjadi tanggung jawab hukum, antara lain:

1. Memaknai CSR sebagai kewajiban hukum dapat membuktikan

pemahaman yang dimiliki Pemerintah terhadap CSR/TJSL semata-mata

hanya karena peluang sumber daya finansial yang dapat segera diberikan

perusahaan untuk memenuhi kewajiban atas regulasi yang berlaku.

Akibatnya aktivitas CSR/TJSL akan menjadi kewajiban legal yang bersifat

normatif dan formal.

2. Mengubah prinsip dasar voluntairly CSR menjadi bersifat mandatory.

Tindakan sedemikan, apapun alasannya, akan meniadakan atau setidaknya

meminimalisasi ruang dan medium pilihan yang ada berikut kesempatan

masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik.

3. Adanya perubahan CSR sebagai tindakan yang berlandaskan tanggung

jawab etik menjadi kewajiban hukum akan potensial mengarahkan

program CSR hanya pada formalitas untuk pemenuhan suatu kewajiban

saja.

4. Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia mengatur CSR sebagai

kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh suatu korporasi yang prinsip

dasarnya bersifat voluntair.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Csr

5. Menempatkan CSR sebagai kewajiban hukum menimbulkan kerancuan dan

kebingungan, karena CSR itu sendiri sudah merupakan tindakan yang

melebihi apa yang dipersyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku

(beyond legal compliance).

Pelaksanaan CSR yang melebihi pemenuhan hukum dan peraturan, berarti

memiliki batas yang “tak terhingga” yang tidak dapat dijangkau oleh hukum dan

peraturan yang dinormatifkan menjadi kewajiban. Korporasi itu sendiri yang dapat

menentukan batas atas yang ingin dicapainya dan pelaksanaannya dilakukan secara

sukarela.

Priyanto (2008) ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha mesti

merespon dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi

usahanya.

Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya

wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan mesti

menyadari bahwa mereka beroperasi dalam suatu tatanan lingkungan masyarakat.

Kegiatan sosial ini berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas

penguasaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang

kadang bersifat ekspansif dan ekploratif, di samping sebagai kompensasi sosial

karena timbulnya ketidaknyamanan (discomfort) pada masyarakat, semua ini

diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum, dan aturan yang memaksa

karena adanya market driven. Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan

CSR ini menjadi tren seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat

global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan

memperhatikan kaidah-kaidah sosial.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Csr

Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang

bersifat simbiosa mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat,

setidaknya license to operate, wajar bila perusahaan juga dituntut untuk memberikan

kontibusi positif kepada masyarakat sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan

bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan. Implementasikan program

karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven), perusahaan

telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi

untuk menciptakan keuntungan (profit) demi kelangsungan bisnisnya, melainkan

juga tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk

meredam bahkan menghindari konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat

dampak operasional perusahaan ataupun akibat kesenjangan struktural dan ekonomis

yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan, dan dipraktekkan

lebih karena faktor eksternal (external driven). Hampir bisa dipastikan implementasi

adalah sebagai upaya dalam konteks kehumasan (public relation) merupakan

kebijaksanaan bisnis yang hanya bersifat kosmetik.

(Cropanzano, Byrne, Bobocel and Rupp, 2001). Dalam konsep Tanggung

Jawab Sosial menurut ISO 26000, ditetapkan adanya 7 (tujuh) prinsip Tanggung

Jawab Sosial yang merupakan perilaku yang berdasarkan standar, panduan atau

peraturan berperilaku yang dikenal sebagai bermoral dan benar, khususnya pada

konteks situasi tertentu. Ketujuh prinsip tersebut adalah:

1. Akuntabilitas: organisasi sebaiknya akuntabel akan dampaknya terhadap

masyarakat dan lingkungan.

2. Tranparansi: organisasi sebaiknya transparan akan keputusan dan aktivitasnya

yang berdampak terhadap pihak lain.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Csr

3. Perilaku etis: organisasi sebaiknya berperilaku etis sepanjang waktu.

4. Stakeholder: organisasi sebaiknya menghargai dan mempertimbangkan

kepentingan stakeholdernya.

5. Peraturan hukum: organisasi sebaiknya menghormati hukum yang berlaku.

6. Norma internasional: organisasi sebaiknya menghormati norma internasional

yang relevan, bila norma ini lebih mendukung pembangunan berkelanjutan

dan kesejahteraan masyarakat, dan

7. Hak asasi manusia: organisasi sebaiknya memahami pentingnya dan

universalnya hak asasi manusia.

Implementasi CSR di perusahaan pada umumnya dipengaruhi beberapa

faktor. Yang pertama, adalah terkait dengan komitmen pimpinannya. Yang kedua,

menyangkut ukuran dan pematangan perusahaan, Ketiga, regulasi dan sistem

perpajakan yang diatur oleh pemerintah.

Kotler (2005), mengungkapkan bahwa CSR hendaknya bukan merupakan

aktivitas yang hanya merupakan kewajiban perusahaan secara formalitas kepada

lingkungan sosialnya, namun CSR seharusnya merupakan sentuhan moralitas

perusahaan terhadap lingkungan sosialnya. Selanjutnya Philip Kotler dan Nancy Lee

(2005), berpendapat bahwa aktivitas CSR haruslah berada dalam koridor strategi

perusahaan yang diarahkan untuk mencapai bottom line business goal seperti

mendongkrak penjualan dan pangsa pasar, membangun positioning merk, menarik,

membangun, memotivasi loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional hingga

membangun citra korporat dipasar modal. Dengan argumentasi tersebut dapat dilihat

bahwa CSR bukan merupakan aktivitas tempelan atau yang terpinggirkan, tapi

merupakan denyut nadi perusahaan.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Csr

Arif Siregar (2004) mengatakan bahwa dalam CSR mengandung empat

prinsip, yaitu ekonomi, hukum, etis dan filantropis. Ekonomi adalah inti dari

kegiatan perusahaan dimana lebih banyak dibicarakan dibandingkan filantropis dan

hukum wajib dipatuhi oleh setiap korporasi. Bahwa pada praktik di bidang

pertambangan, sejak awal masuk ke suatu daerah perusahaan sudah menerapkan

prinsip CSR walaupun tanpa ada aturan dari Pemerintah. Dalam melakukan

eksploitasi terhadap suatu daerah, perusahaan selalu menggunakan tenaga kerja local.

Bahwa harus dipisahkan antara kewajiban Pemerintah dan kewajiban lokal,

konsekuensi jika CSR diatur, maka apa yang diharapkan masyarakat belum tentu

tercapai. Bahwa CSR tidak dapat dibakukan, karena setiap daerah berbeda.

Kegiatan CSR kompleks bukan hanya masalah filantropis saja tetapi

seluruhnya. Bahwa perusahaan sadar socialize diperlukan demi keberlanjutan suatu

usaha. Dana CSR tidak disetorkan ke Pemerintah, jika ini ditambah terus maka akan

melemahkan perusahaan. Motivasi dari suatu perusahaan yang mendorong untuk

mempunyai kepedulian terhadap keadilan dan kemudian terlibat dalam kegiatan

melaksanakan CSR adalah adanya:

a. Instrumental motives.

b. Relational motives.

c. Morality-based motives.

Instrumental motives didorong oleh kepentingan pribadi (self-interest),

relational motives diarahkan oleh kepedulian akan status dan pengakuan atas

keberadaannya di dalam suatu kelompok, dan morality motives didorong oleh

perilaku etis serta kesejahteraan dari kelompok yang lebih besar hingga mencakup

kesejahteraan dunia.(Cropanzano, Byrne, Bobocel and Rupp, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Csr

Poerwanto (2006), menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial adalah

tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan perusahaan dalam interaksi dengan

lingkungannya yang didasarkan pada etika. Secara umum etika dipahami sebagai

aturan tentang prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral yang mengarahkan perilaku

seseorang atau kelompok masyarakat mengenai baik atau buruk dalam pengambilan

kebijakan atau keputusan.

Terdapat tiga pendekatan dalam proses pembentukan tanggung jawab sosial

tersebut:

1. Pendekatan moral, yaitu kebijakan atau tindakan yang didasarkan pada prinsip

kesantunan dengan pengertian bahwa apa yang dilakukan tidak melanggar atau

merugikan pihak-pihak lain secara sengaja.

2. Pendekatan kepentingan bersama, yaitu bahwa kebijakan-kebijakan moral harus

didasarkan pada standar kebersamaan, kewajaran dan kebebasan yang

bertanggung jawab.

3. Pendekatan manfaat, adalah konsep tanggungjawab sosial yang didasarkan pada

nilai-nilai bahwa apa yang dilakukan oleh perusahaan menghasilkan manfaat

besar bagi pihak-pihak berkepentingan secara adil.

Suharto (2005), menyebutkan konsep CSR merupakan bentuk kepedulian

perusahaan terhadap masyarakat di seputar perusahaan yang keberadaannya telah

memunculkan masalah sosial ekonomi yang tajam antara ‘masyarakat’ perusahaan

dengan penduduk lokal, dan pemiskinan struktural masyarakat setempat lewat

ekploitasi dan perusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan.

Munculnya konsep tanggung jawab sosial perusahaan didorong oleh

terjadinya kecenderungan pada masyarakat industri yang dapat disingkat sebagai

fenomena DEAF (dalam Bahasa Inggris disebut tuli) sebuah akronim dari

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Csr

Dehumanisasi, Equalisasi, Aquariumsasi dan Feminisasi (Suharto, 2005), dimana

munculnya fenomena-fenomena tersebut adalah karena terciptanya persoalan

hubungan, tuntutan dan lain-lain antara masyarakat perusahaan dan masyarakat

sekitar perusahaan.

Carrol dalam Poerwanto (2006) membagi Tanggung Jawab Sosial

perusahaan ke dalam empat kriteria:

1. Tanggung jawab sosial ekonomi, dimana perusahaan harus dioperasikan dengan

berbasis laba serta dengan misi tunggal untuk meningkatkan keuntungan selama

berada dalam batas-batas peraturan pemerintah.

2. Tanggung jawab sosial sebagai tanggungjawab legal, dimana kegiatan bisnis

diharapkan untuk memenuhi tujuan ekonomi para pelaku dengan berlandaskan

kerangka kerja legal maupun nilai-nilai yang berkembang di masyarakat secara

bertanggung jawab.

3. Tanggung jawab sosial sebagai tanggungjawab etika, yang didefinisikan sebagai

kebijakan dan keputusan perusahaan yang didasarkan pada keadilan, bebas dan

tidak memihak, menghormati hak-hak individu, serta memberikan perlakuan

berbeda untuk kasus yang berbeda yang menyangkut tujuan perusahaan.

4. Tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab sukarela atau diskresioner,

dimana kebijakan perusahaan dalam tindakan sosial yang murni sukarela dan

didasarkan pada keinginan perusahaan untuk memberikan kontribusi sosial yang

tidak memiliki kepentingan timbal balik secara langsung.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Csr

Tanggungjawab Sukarela

Tanggungjawab Etik

Tanggungjawab Legal

Tanggungjawab Ekonomi

Gambar 2. Empat Kriteria Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Model Carrol

Sumber: Poerwanto,(2006)

Dari keempat kriteria tanggung jawab sosial perusahaan tersebut, tanggung

jawab sosial sebagai tanggung jawab sukarela menjadi kriteria ideal untuk

membangun suatu pola kemitraan dalam suatu model program pemberdayaan

masyarakat. Melalui kriteria tersebut kemitraan akan menjadi garis tegas yang

memisahkan motif tanggung jawab sosial perusahaan, antara tindakan ekonomi

untuk memaksimalkan keuntungan dengan tindakan sosial sukarela.

Sebagai tindakan sosial sukarela, kemitraan cenderung akan melibatkan

partisipan yang tidak berorientasi ekonomi seperti pemerintah, lembaga swadaya

masyarakat serta masyarakat itu sendiri. Sebaliknya apabila tanggung jawab sosial

lebih berorientasi pada pencapaian tujuan ekonomi perusahaan maka partisipan yang

terlibat tentunya merupakan pelaku-pelaku ekonomi. Tindakan sosial sukarela akan

menjamin adanya kesesuaian tindakan masing-masing partisipan dengan tujuan

pemberdayaan masyarakat sebagai tujuan bersama, sementara dalam tindakan

ekonomi masing-masing partisipan lebih menyesuaikan tindakannya dengan nilai

ekonomi yang diharapkan dari kemitraan.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Csr

Konsep tanggungjawab sosial pada perkembangannya telah memunculkan

konsep baru, yakni konsep Investasi Sosial Perusahaan (Corporate Social

Investment). Konsep ini lebih merupakan suatu kritik terhadap konsep CSR yang

dianggap filantropis dengan hanya melibatkan program-program sosial jangka

pendek dan pemberian uang atau barang dari perusahaan bagi sekelompok

masyarakat. Konsep CSI (Corporate Social Investment) umumnya memiliki dampak

yang berdimensi lebih luas dan jangka panjang (sustainable).

Konsep CSI juga tidak dipandang semata-mata sebagai bentuk pelunasan

tanggung jawab sosial perusahaan, namun lebih jauh sebagai bagian dari rekayasa

sosial dan strategi perusahaan yang rasional, terencana dan berorientasi pada

keuntungan sosial jangka panjang bagi pihak perusahaan maupun masyarakat.

Masyarakat juga mempunyai peran penting sebagai pendukung sosio-ekonomi

sustainability dimana masyarakat diharapkan dapat mengoreksi dampak negatif

perusahaan serta aktif menjadi dinamisator keberdayaan publik. Partisipasi aktif dari

komunitas lokal dalam setiap pelaksanaan CSR sangat diperlukan sehingga memberi

manfaat hubungan timbal balik (mutual benefit) dengan perusahaan atau korporasi.

Peran pemerintah sangat menentukan dalam membangun usaha yang

kondusif dan tidak manipulatif. Sinergi yang paling diharapkan adalah kemitraan

antara perusahaan, pemerintah dan komunitas (masyarakat) yaitu sinergi yang

disebut kemitraaan tripartit. Warhurst (1998), mengajukan prinsip-prinsip Corporate

Sosial Responsibility (CSR) dengan adanya prioritas corporate, manajemen terpadu,

proses perbaikan, pendidikan bagi karyawan, pengkajian, produk dan jasa, informasi

publik, fasilitas operasi, penelitian, prinsip pencegahan, kontraktor dan pemasok,

siaga menghadapi darurat, transfer best practise, memberi sumbangan, dan

keterbukaan serta pencapaian dalam pelaporan. Dow Jones Sustainability Group

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Csr

Indexes mengembangkan prinsip-prinsip sebagaimana yang tertuang pada tabel

berikut ini :

Tabel 1. Prinsip-prinsip keberlanjutan Perusahaan

Prinsip-prinsip Keberlanjutan Komponen

1. Teknologi Kreasi, Produksi dan pengiriman barang dan jasa yang

didasarkan pada organisasi dan teknologi inovatif yang

memanfaatkan sumber-sumber daya alam, financial dan social

secara efektif, efisien, dan ekonomis dalam jangka panjang

2. Tata Pamong Keberlanjutan perusahaan didasarkan pada standar tertinggi

tata pamong termasuk tanggung jawab manajemen, kapasitas

organisasional, kultur korporat dan hubungan dengan stake

holders

3. Pemegang Saham Tuntutan pemegang saham hendaknya sesuai dengan

kebutuhan balikan (return) financial, pertumbuhan ekonomi

berjangka panjang, menjamin daya kompetitif global, dan

member sumbangan pada capital intelektual.

4. Industri Perusahaan-perusahaan yang berkelanjutan hendaknya

mengarahkan industrinya untuk beralih pada keberlanjutan

dengan menunjukkan komitmennya dan mempublikasikannya

kinerja yang unggul

5. Masyarakat Perusahaan-peruahaan yang berkelanjutan hendaknya

mendorong kesejahteraan social yang abadi melalui respons

yang cepat dan tepat terhadap perubahan social yang cepat,

peningkatan demografis, arus migrasi, pergeseran pola- pola

cultural dan kebutuhan pada pendidikan sepanjang hayat dan

pendidikan berkelanjutan.

Sumber : Dow Jones Sustainability Group Indexes, (1999)

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Csr

Kasali (2005), menyatakan stakeholders bisa berarti pula setiap orang yang

mempertaruhkan hidupnya pada perusahaan. Ibarat sebuah jagad yang di kelilingi

planet-planet, maka perusahaan juga di kelilingi dengan stakeholders dan membagi

stakeholders menjadi 5 bagian yaitu :

1. Stakeholders internal yaitu stakeholders yang berada didalam lingkungan

organisasi seperti karyawan, manajer, dan shareholders atau pemegang

saham. Sedangkan stakeholders eksternal adalah yang berada di luar

lingkungan organisasi atau perusahaan seperti masyarakat, pemerintah,

pers, dan lain-lain

2. Stakeholders Primer, stakeholders sekunder, stakeholders marginal.

Ketiga stakeholders ini disusun berdasarkan skala prioritas.stakeholders

yang paling penting adalah primer, sekunder baru marjinal.urutan ini bisa

berubah ubah dari waktu kewaktu

3. Stakeholders Tradisional dan stakeholders masa depan.karyawan dan

masyarakat adalah stakeholders tradisional sedangkan stakeholders masa

depan adalah yang diperkirakan memberikan pengarung pada organisasi

seperti mahasiswa, peneliti, dan konsumen potensial.

4. Proponents, opponents dan uncommitted.Proponents merupakan

kelompok yang memihak organisasi, menentang organisasi adalah

opponents dan pihak yang tidak peduli yaitu uncommitted.

5. Silent majority dan vocal minority. Silent majority adalah memberikan

dukungan secara pasif sedangkan vocal minority adalah mendukung

secara aktif.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Csr

Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada di dalam lingkungan

organisasi perusahaan, misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham

(shareholder) serta keluarga karyawan. Stakeholders eksternal adalah pihak-pihak

yang berada di luar kendali perusahaan (uncontrollable). Pemimpin perusahaan perlu

membekali diri dengan teknik untuk mendesain organisasinya sesuai dengan keadaan

lingkungan eksternalnya. Beberapa stakeholders eksternal diantaranya adalah

konsumen, penyalur, pemasok, pemerintah, pers, pesaing dan komunitas atau

masyarakat. Mempraktekkan CSR dengan cara yang paling sederhana dapat dimulai

dari aktivitas karitas (charity).

Langkah awal bisa dimulai dari lingkungan internal perusahaan dengan

memperhatikan kebutuhan karyawan. Programnya misalnya memberikan fasilitas

kerja karyawan diatas standar, menyediakan beasiswa untuk anak-anak karyawan

dan menyediakan ruang perawatan bayi atau taman bermain anak dan setelah itu baru

melihat dan mengimplementasikan CSR ke luar perusahaan secara eksternal

(Koestoer, 2007 dalam www. swa.co.id)

2.2. Pengembangan Masyarakat (Community Development) dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

Twelvetrees (1991) membagi perspektif pengembangan masyarakat kedalam

2 bingkai, yakni pendekatan professional dan pendekatan radikal. Pendekatan

professional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan

memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam rangka relasi-relasi sosial.

Sedangkan pendekatan radikal lebih berfokus kepada upaya mengubah

ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok-

kelompok lemah.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Csr

Suharto (1997) terdapat 3 model-model pengembangan masyarakat yakni,

penembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial, aksi sosial.

1. Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditunjukan untuk

menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat itu

sendiri.pengembangan masyarakat local pada dasarnya merupakan proses

interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi pekerja-

pekerja sosial.

2. Perncanaan sosial adalah proses pragmatis untuk menentukan keputusan

dan menetapkan tindakan dalam memecahkan masalah sosial tertentu

seperti kemiskinan, kesehatan masyarakat, pengangguran, kenekalan

remaja. Pekerja sosial berperan sebagai perencanan sosial yang

memandang mereka sebagai “konsumen”. Para perencana sosial

dipandang sebagai ahli dalam melakukan penelitian, menganalisis

masalah dan kebutuhan masyarakat, serta dalam mengidentifikasi,

meleksanakan dan mengevaluasi program-program pelayanan

kemanusiaan.

3. Aksi sosial adalah perubahan-perubahan fundamental dalam kelembagaan

dan struktur masyarakat, melalui proses pendistribusian kekuasaan,

sumber distribusi, dan pengambilan keputusan.

Rukminto (2008) Pengembangan Masyarakat (Community Development)

dapat digambarkan sebagai berikut: dari aspek keterlibatan masyarakat, praktek

Community Development dapat dikelompokkan ke dalam 3 bentuk, yaitu:

development for community, development with community dan development of

community.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Csr

Development for community adalah bentuk Community Development dimana

masyarakat pada dasarnya menjadi objek pembangunan karena berbagai inisiatif,

perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor luar.

Aktor luar ini dapat saja telah melakukan penelitian, melakukan konsultasi, dan

melibatkan tokoh setempat namun apabila keputusan dan sumber daya pembangunan

berasal dari luar maka pada dasarnya masyarakat tetap menjadi objek.

Development with community ditandai secara khusus dengan kuatnya pola

kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil

merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua

belah pihak.

Development of community adalah proses pembangunan yang baik inisiatif,

perencanaan, dan pelaksanaannya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat

membangun dirinya sendiri. Peran aktor dari luar dalam kondisi ini lebih sebagai

sistem pendukung bagi proses pembangunan.

Ketiga pendekatan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan akhir yang sama,

yaitu memperbaiki kualitas kehidupan dan kelembagaan masyarakat lokal. Perbedaan

yang ada lebih berada pada sarana (means) yang dipakai. Efektivitas sarana ini

sangat ditentukan oleh konteks dan karakteristik masyarakat yang dihadapi. Pada

masyarakat tertentu mungkin pendekatan development for community lebih sesuai

sementara pada masyarakat yang lain development with community justru yang

dibutuhkan.

Ke depan, dengan memperhatikan kompleksnya permasalahan masyarakat,

program CSR mestinya dapat bersinergi dengan program-program yang sudah ada.

Dalam aspek pengentasan kemiskinan misalnya, program ini bisa menopang

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Csr

komitmen Indonesia untuk mencapai salah satu target dalam Millenium

Development Goals (MDGs) yaitu mengatasi kemiskinan sebelum 2015.

Di beberapa daerah, program ini juga dapat menunjang program lainnya yang

di sesuaikan dengan permasalahan dan karakteristik daerah masing-masing. Di

wilayah masyarakat, program CSR masih diperlukan khususnya dalam memberi

solusi terhadap berbagai persoalan yang secara riil ada di lapangan. Misalnya

beasiswa pendidikan bagi yang berprestasi dari keluarga tidak mampu, bantuan bagi

perbaikan sarana umum atau sarana ibadah, bantuan bagi bencana alam, program

kelestarian lingkungan, dan lain-lain. Program yang bersifat insidental ini

memerlukan respons yang cepat dengan birokrasi yang mudah.

Faktor utama yang menentukan pemilihan ketiga pendekatan tersebut adalah

seberapa jauh kelembagaan masyarakat telah berkembang. Pada masyarakat yang

kelembagaannya sudah lebih berkembang development of community akan lebih

tepat.

Pada saat ini community development telah mengalami proses pengkayaan

sehingga menjadi sebuah pendekatan yang multi aspek, dan sekarang secara umum

terdiri dari beberapa aspek kunci sebagai berikut:

a. Adalah sebuah proses ”akar rumput”.

b. Menjadi lebih swadaya (self reliance).

c. Berkembang menjadi komunitas pembelajar (learning Community).

d. Berkurangnya kerentanan dan kemiskinan.

e. Terciptanya peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan.

f. Menguatnya modal sosial.

g. Tercapainya keseimbangan tujuan sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Csr

Sering terjadi Pengembangan Masyarakat (Community Development) justru

mengubah keseimbangan elemen-elemen dalam masyarakat yang ada dalam jangka

panjang akan merugikan masyarakat. Community Development sebaiknya

dilaksanakan dengan mempertahankan perspektif keseimbangan yang ada dalam

masyarakat lokal.

Secara umum Pengembangan Masyarakat (Community Development) dapat

didefinisikan sebagai kegiatan pengembangan masyarakat yang diarahkan untuk

memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi untuk mencapai kondisi

sosial-ekonomi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelum adanya

kegiatan pembangunan, sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan dapat

meningkatkan kesejahteraannya.

Dengan community development sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih

bermakna dari pada sekedar aktivitas charity ataupun dimensi-dimensi lainnya,

antara lain yaitu community relation yang hanya mengembangkan hubungan yang

dinamis. Dalam pelaksanaan community development bersama-sama antara

perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktifitas dan keberlanjutan.

Dalam aktualisasi Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate

Governance/GCG), kontribusi dunia usaha untuk turut serta dalam meningkatkan

kesejahteraan masyarakat harus mengalami metamorfosis, dari aktivitas yang bersifat

charity menjadi aktivitas yang lebih menekankan penciptaan kemandirian

masyarakat, yakni program pemberdayaan.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Csr

Tabel 2. Karakteristik Tahap-tahap Kedermawanan Sosial

Paradigma Charity Philanthropy Good Corporate Citizenship

(GCC) Motivasi Agama, tradisi,

adaptasi Norma, etika dan hukum universal

Pencerahan diri & rekonsiliasi dengan ketertiban sosial

Misi Mengatasi masalah setempat

Mencari dan mengatasi akar masalah

Memberikan kontribusi kepada masyarakat

Pengelolaan Jangka pendek, mengatasi masalah sesaat

Terencana, terorganisir dan terprogram

Terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan

Pengorganisasian Kepanitiaan Yayasan/dana abadi/ profesionalitas

Keterlibatan baik dana maupun sumber daya lain

Penerima Manfaat

Orang miskin Masyarakat luas Masyarakat luas dan perusahaan

Kontribusi Hibah sosial Hibah pembangunan

Hibah (sosial & pembangunan serta keterlibatan sosial)

Inspirasi Kewajiban Kepentingan bersama Kepentingan

bersama Sumber: Zaidi,(2003)

2.3. Kemitraan dalam Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dan Governance

Perlunya upaya aktif diarahkan pada pemberdayaan potensi dan kekuatan

sosial-ekonomi masyarakat dan butuh dukungan dari usaha skala besar (perusahaan)

dan bermitra dengan pemerintah sebagai fasilitator, dinamisator, stimulator dan

koordinator dalam perekayaaan perkembangan masyarakat dalam pengentasan

masyarakat miskin (proverty community).

Sulistiyani (2004), menyatakan model kemitraan idealnya mencerminkan

pembagian yang setara kepada tiga aktor pembangunan, yaitu pemerintah, swasta

dan masyarakat. Model kemitraan yang setara akan memberi citra positif bagi

pemerintah dengan berlaku transparan dan mengembangkan kemitraan yang

partisipatif.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Csr

Budimanta, Prasetijo dan Rudito (2004), mengibaratkan corporate social

responsibility dan good governance sebagai dua sisi dari satu mata uang yang

menjadikan masyarakat sebagai komunitas dan sebagai warga negara sebagai

fokusnya serta pendekatan stakeholders sebagai pelakunya. Konteks implementasi

corporate sosial responsibility, partisipasi masing-masing stakeholdelrs sangat

menentukan berjalannya usaha pengembangan masyarakat yang sekaligus juga

memberikan keuntungan bagi perusahaan dan masyarakat.

Lebih jauh mengenai prinsip kemitraan Budimanta (2004) juga menjelaskan

bahwa kemitraan menciptakan keuntungan bersama, dan tidak menciptakan

persaingan negatif yang berpengaruh pada keberlanjutan perusahaan. Kemitraan

yang berwujud interaksi antar stakeholders pada dasarnya merupakan suatu bentuk

pemberdayaan masyarakat (community development) sebagai muara dari corporate

sosial responsibility. Pemberdayaan dimaksud sebagai upaya peningkatan

kemampuan atau kualitas anggota-anggotanya yang tergabung dalam komuniti-

komuniti untuk dapat bermitra dan berfungsi satu dengan lainnya sebagai

keseluruhan anggota masyarakat. Konsep partisipasi menyangkut kesamaan dan

kesepakatan program dalam struktur pengembangan yang sudah terpadu dan

terencana dalam program community development yang dibangun secara bersama.

Tiga skenario kemitraan menurut Wibisono (2007), yaitu kemitraan antara

perusahaan dengan pemerintah maupun dengan komunitas/masyarakat sebagai

berikut:

1. Pola Kemitraan Kontra Produktif

Pola ini akan terjadi jika perusahaan masih berpijak pada pola konvensional

yang hanya mengutamakan kepentingan pemilik modal (shareholders) yaitu

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Csr

mengejar keuntungan (profit) sebesar-besarnya. Fokus perhatian perusahaan

memang lebih tertumpu pada bagaimana perusahaan bisa meraup kentungan

secara maksimal, sementara hubungan dengan pemerintah dan komunitas

atau masyarakat hanya sekedar pemanis belaka.

2. Pola Kemitraan Semi Produktif

Dalam skenario ini pemerintah dan komunitas atau masyarakat dianggap

sebagai obyek dan masalah di luar perusahaan. Perusahaan tidak tahu

program-program pemerintah, pemerintah juga tidak memberikan iklim yang

kondusif kepada dunia usaha dan masyarakat yang bersifat pasif. Pola

kemitraan ini masih mengacu pada kepentingan jangka pendek dan belum

atau tidak menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) di pihak

masyarakat dan low benefit dipihak pemerintah. Kerjasama lebih

mengedepankan aspek kariatif atau public relation dimana pemerintah dan

komunitas atau masyarakat masih lebih dianggap sebagai objek.

3. Pola Kemitraan Produktif

Pola kemitraan ini menempatkan mitra sebagai subjek dan dalam paradigma

kepentingan umum (common interest). Prinsip saling menguntungkan

(simbiosis mutualisme) sangat kental pada pola ini. Perusahaan mempunyai

kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi, pemerintah memberikan iklim

yang kondusif bagi dunia usaha dan masyarakat memberikan support positif

kepada perusahaan. Bahkan bisa jadi mitra dilibatkan pada pola hubungan

berbasis sumber daya (resource-based partnership) dimana mitra diberi

kesempatan menjadi bagian dari shareholders.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Csr

Menurut Parson (2005), sistem delivery model campuran sektoral,

merupakan model yang sangat dinamis dan paling sempurna. Sistem ini terdiri dari

campuran tanggung jawab publik dan privat, dan antara sektor sukarela (lembaga

swadaya) dengan agen komunitas. Kerjasama keempat sektor tersebut sangat

dimungkinkan terjadi dalam bidang kebijakan yang bersifat sosial dengan sifat

hubungan yang saling menguntungkan.

Mulyadi (2003) rendahnya tingkat partisipasi stakeholders, khususnya

masyarakat dan pemerintah daerah, mengakibatkan tidak terkoordinasinya program

yang dijalankan perusahaan dengan program pembangunan regional yang dijalankan

pemerintah daerah serta ketidak sesuaian program dengan kebutuhan masyarakat.

Namun sebaliknya, banyaknya stakeholders yang terlibat sebagai partisipan dalam

program CSR perusahaan dapat menjadi potensi konflik baru apabila setiap

stakeholders memiliki kepentingan yang berbeda, saling berseberangan dan sangat

mungkin saling merugikan satu sama lain.

Prinsip saling mendukung dalam sebuah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

(CSR) melalui garis hubungan antar sektor (secara timbal-balik) dengan memahami

fungsi masing-masing sektor dan sektor di sebelahnya. Hubungan dari berbagai

pihak tersebut dapat dilihat pada skema garis hubungan di bawah ini

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Csr

Legitimasi DAU, Desentralisasi OTDA

Demokrasi pelayan pajak, royalty

publik demokrasi konsesi.regulasi kemitraan kepercayaan investasi,lisensi

Tenaga kerja, Jaminan Keamanan

TSP (CSR)

Keamanan + Promosi

Gambar 3. Garis Hubungan antar sektor dalam Program Corporate Social

Responsibility Sumber : Modifikasi dari Soepomo, (2002)

Pemerintah pusat (Government)

Pemerintah daerah (Government)

Masyarakat (Community)

Perusahaan (Corporate)

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Csr

Dwiyanto (2004) menyebutkan tiga dimensi yang menjadi ciri governance:

1. Dimensi kelembagaan dimana sistem administrasi dilaksanakan dengan

melibatkan banyak pelaku (multi stakeholders) baik dari pemerintah maupun

dari luar pemerintah.

2. Dimensi nilai yang menjadi dasar tindakan administrasi lebih kompleks dari

sekedar pencapaian efisiensi dan efektifitas namun lebih mengakodomir nilai-

nilai universal seperti keadilan, partisipasi, kesetaraan, demokratisasi dan

nilai-nilai lain yang terkandung dalam norma kehidupan masyarakat.

3. Dimensi proses, dimana proses administrasi merupakan suatu tindakan

bersama yang dikembangkan dalam bentuk jaringan kerja untuk merespon

tuntutan dan kebutuhan publik melalui upaya formulasi dan implementasi

kebijakan publik.

Selanjutnya Dwiyanto (2004) menekankan konsep governance pada

pelaksanaan fungsi memerintah (governing) yang dilaksanakan secara bersama-sama

(kolaboratif) oleh lembaga pemerintah, semi pemerintah, dan non pemerintah yang

berlangsung setara (balance) dan multi arah (partisipatif).

2.4. Penelitian Terdahulu

Ichsan (2007), dalam penelitiannya yang berjudul Implementasi Program

Community Development di Pertamina UPMS IV Semarang menyimpulkan bahwa

kinerja implementasi program community development tidak berjalan dengan baik,

sehingga program tersebut gagal dan perlu ditinjau ulang dalam pelaksanaan

program, karena terdapat bias dari implementasi program community development

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Csr

tersebut dilihat dari indikator output, disebabkan Pertamina tidak memiliki

mekanisme dan kriteria standar baku yang dibuat menjadi kebijakan formal.

Josua (2007), dalam penelitiannya yang berjudul ”Pola Kemitraan dalam

praktek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada Program Community Development

PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. di Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir”

menyimpulkan bahwa motif utama PT. Toba Pulp Lestari Tbk. menggulirkan

kebijakan paradigma baru sebagai deskripsi tanggung jawab sosialnya adalah untuk

mengamankan operasional pabrik. Motif tersebut mengaburkan aspek kerelaan

(voluntarism) dan kemitraan yang dibangun atas dasar hubungan sub ordinasi,

dimana masing-masing partisipan memiliki status, kemampuan dan kekuatan yang

tidak seimbang. Yayasan yang dibentuk idealnya adalah merupakan representasi dari

sektor sukarela (voluntary) yang berperan sebagai agen pembaru (change agent)

untuk mendinamisasi program dalam rangka pemberdayaan masyarakat, namum

kenyataannya lebih cenderung sebagai korporasi negara.

Zaleha (2008), dalam penelitiannya yang berjudul ”Peranan Corporate Social

Responsibility (CSR) PT. Inalum Divisi PLTA Siguragura Terhadap Pengembangan

Sosio Ekonomi Masyarakat Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir ”

menyimpulkan bahwa CSR PT. Inalum belum memiliki dokumen perencanaan dan

strategi, masih dianggap biaya (cost) dan belum dianggap sebagai Investasi Sosial

(Social Investment), tingkat pengetahuan (awareness) dan keterlibatan masyarakat

masih rendah dan belum memiliki konsep pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Pendidikan, pendapatan nominal dan pendapatan riil karyawan sebelum dan sesudah

adanya program CSR berbeda nyata. Pendidikan dan pendapatan nominal masyarakat

sebelum dan sesudah adanya program CSR berbeda nyata, tetapi pendapatan riil

masyarakat tidak berbeda nyata. Peningkatan pendidikan masyarakat lebih tinggi dari

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Csr

karyawan karena didukung oleh faktor sosial budaya masyarakat (Batak Toba) yang

sangat mengutamakan pendidikan anak.

Ditinjau dari pendapatan nominal, bantuan memberi peran terhadap ekonomi

karyawan dan masyarakat, namun secara riil belum berperan akibat inflasi yang

tinggi pada tahun 2005. Peran CSR terhadap pengembangan ekonomi lokal (local

economic development) adalah adanya 17 unit usaha mitra kontraktor sebagai

rekanan PT. Inalum yang dapat menyerap tenaga kerja masyarakat. Korelasi modal

CSR terhadap aktivitas (buka jam) pasar berbeda secara nyata (signifikan) dengan

nilai korelasi negatif. Hal ini menunjukkan aktivitas pasar cenderung turun seiring

kenaikan modal CSR, karena pembangunan pasar sebagai pusat aktivitas ekonomi

masyarakat dan infrastruktur pendukung lainnya tidak bermanfaat dalam

mengembangan masyarakat. Program CSR yang diluncurkan masih lebih banyak

bersifat konsumtif.

Penelitian Louise (2009), dalam penelitiannya yang berjudul Peranan

Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Adonara Bakti Bangsa Libek Project

Terhadap Pendapatan Masyarakat Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis. Dari

hasil penelitian yang dilakukan terhadap peran CSR terhadap pendapatan masyarakat

Kecamatan Mandau, disimpulkan Konsep pelaksanaan CSR yang telah

diimplementasikan PT. ABB Libek Project kepada masyarakat adalah: PT. ABB

belum memiliki dokumen perencanaan dan strategi dalam pencapaian target dan

masih dianggap sebagai biaya (cost) sehingga belum memiliki program yang mampu

memandirikan dan memberdayakan masyarakat melalui program-program yang

diluncurkannya. Tingkat pengetahuan dan keterlibatan masyarakat terhadap

keberadaan Program CSR PT. ABB masih rendah menunjukkan PT. Libek Project

belum melakukan pendekatan dalam proses pembentukan tanggung jawab sosial

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Csr

melalui etika moral, keputusan bersama dan etika manfaat. Proses pembentukan

program CSR baik bidang sosial (kerohanian dan pendidikan) belum melibatkan

komite sekolah) dan proses Pengembangan Ekonomi Masyarakat (CSR bidang

ekonomi) masih bersifat karitas (charity) dan belum dapat menggalang partisipasi

aktif masyarakat.

2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian

Berkenaan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka digambarkan

kerangka pemikiran yang menjelaskan Dampak Corporate Social Responsibilty

(CSR) PT. Toba Pulp Lestari terhadap Kesejahteraan masyarakat Kabupaten Toba

Samosir (studi kasus : kecamatan Porsea).

\

PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL)

CSR PT. Toba Pulp Lestari 1. Bidang Pengembangan

Ekonomi 2. Bidang Sosial (Pendidikan,

Sosial dan SDM) 3. Bidang Pembangunan

Infrastruktur 4. Bidang Keamanan

Lingkungan

Metode/Pendekatan PT. Toba Pulp Lestari • Pendekatan Ekonomi • Pendekatan Agama • Pendekatan Sosial

Pendapatan Tenaga Kerja Pendidikan

PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL)

Universitas Sumatera Utara