crs operkulitis, perikoronitis dan impaksi gigi.docx
TRANSCRIPT
CLINICAL REPORT SESSION
IMPAKSI GIGI, PERIKORONITIS, DAN
OPERKULITIS
Disusun oleh:
Indrayudha Pramono
Rizcky Ramdhani D.P.
Viletta Fitria Savatwini
Balqisha Sylvia R.
Refa Setiadi
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RSUD AL IHSAN BANDUNG
2013
1
2
BAB I
KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. JAW
Usia : 20 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : PNS
Alamat : Bojong kunci
Tanggal Pemeriksaan : 19 Maret 2013
ANAMNESIS
Keluhan utama : Bengkak yang di ujung gusi kiri bawah
Sejak 4 hari sebelum datang ke poliklinik, pasien mengeluh bengkak di
ujung gusi kiri bawah. Pasien juga merasa ada nyeri pendarahan disangkal,
sehingga pasien hanya mengunyah dengan menggunakan gigi sisi kanan saja.
Keluhan nyeri terutama dirasakan oleh pasien saat mengunyah. Keluhan
demam dan sulit membuka mulut disangkal oleh pasien. Pasien 3 tahun yang lalu
memiliki riwayat pencabutan gigi kanan bawah.
Pasien memiliki kebiasaan menyikat gigi 2 kali sehari ketika pagi hari dan
malam sebelum tidur, lamanya kurang lebih 3 menit. Kebiasaan merokok, minum
alkohol, mengigit-gigit kuku atau pulpen, menggeretakan gigi, dan mengkorek-
3
korek gigi dengan tusuk gigi disangkal oleh pasien. Pasien belum melakukan
pengobatan untuk keluhan ini.
Tidak terdapat riwayat penyakit berat seperti penyakit jantung, darah
tinggi, dan kencing manis. Pasien memiliki riwayat maag dan alergi.
GENERAL SURVEY
Keadaan umum : Tampak sakit ringan.
Kesadaran : Komposmentis.
Tanda vital : Dalam batas normal
EXTRA ORAL
Wajah simetris.
Temporomandibula joint tidak ada kelainan.
Terdapat pembengkakan KGB sinistra
INTRA ORAL
Oral higiene : Sedang
Bibir : Normotonus
Mukosa bukal : Posterior sinistra terdapat edema, hiperemis
Gingiva : 38 hiperemis dan edema
Lidah : Ukuran normal, permukaan licin, tidak atrofi, warna
merah muda, papil normal
Dasar mulut : Tidak hiperemis, tidak bengkak, tidak ada lesi, ranula -/-
Palatum : Tidak hiperemis, torus -/-, kedalamanan sedang
4
Tonsil : T1 – T1
STATUS LOKALIS
Gigi 38 terdapat gusi yang menutupi gigi
Karies -
Sondasi -
Dingin -
Perkusi -
Tekanan -
Palpasi Nyeri (+) , berbenjol (+), fluktuasi (-)
Mobility -
5
Jaringan Sekitar
• Gusi 38 hiperemis dan edema
USULAN PEMERIKSAAN
Rongent Panoramic
DIAGNOSA BANDING
1. 38 Operkulitis
2. 38 Perikoronitis
3. 38 Gingivitis
DIAGNOSA KERJA
38 Operkulitis
RENCANA PERAWATAN & TERAPI
- Pro rujuk ke dokter gigi
- Pro rontgen
- Pro resep : Antibiotik à amoksisilin 500 mg 3x1 selama 5 hari, Analgetik
à paracetamol 500 mg 3x1 jika terasa nyeri
KONSELING
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit, dibutuhkan rontgen gigi,
cara penanganannya, serta akan dikonsulkan ke dokter gigi.
Cara ,Waktu dan alat menyikat gigi yang baik dan benar
6
Dental check up 6 bulan sekali (ada atau tidak ada keluhan)
PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad malam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
IMPAKSI GIGI
Definisi
Impaksi gigi adalah gagalnya gigi untuk tumbuh secara sempurna pada
posisinya. Adanya gigi yang terpendam di dalam tulang rahang atau terhalang
jaringan gusi dan tidak berhasil muncul ke permukaan.
Epidemiologi
Seorang ahli bernama Ricketts (1980) menyatakan bahwa evolusi manusia
menyebabkan berkurangnya ukuran rahang yang berhubungan dengan kondisi
dan kebiasaan diet/makanan. Jadi ukuran rahang manusia sekarang cenderung
makin kecil sehingga kasus gigi geraham bungsu yang impaksi sekarang
cenderung meningkat.
Etiologi
Lokal
1. Faktor Genetik (ketidaksesuaian antara ukuran rahang yang kecil dengan
bentuk gigi yang besar).
2. Posisi gigi disebelahnya.
3. Kepadatan tulang atau jaringan lunak berlebih yang menutupinya.
4. Ankilosis, perlekatan gigi pada tulang.
8
5. Odontogenic tumor.
6. Cleft lip and palate.
7. Supernumerary teeth.
Sistemik
1. Syndrome cleidocranial dysplasia.
2. Defisiensi hormone-hormon endokrin.
3. Down syndrome.
4. Radiasi.
Gejala-gejala
1. Nyeri kepala.
2. Ketegangan atau nyeri pada leher.
3. Nyeri telinga.
4. Nyeri lokal, rasa sakit, atau rasa kaku pada rahang di area gigi yang
impaksi.
5. Trismus.
6. Pembengkakan pada gusi di atas gigi yang impaksi.
7. Bau mulut akibat adanya infeksi.
Klasifikasi
Menurut Pell & Gregory
Berdasarkan hubungan antara ramus mandibula dengan molar kedua
dengan cara membandingkan lebar mesio-distal molar ketiga dengan jarak antara
bagian distal molar kedua ke ramus mandibula.
Kelas I : Ukuran mesio-distal gigi molar ketiga lebih kecil dibandingkan
jarak antara distal gigi molar kedua dengan ramus mandibula.
9
Kelas II : Ukuran mesio-distal gigi molar ketiga lebih besar dibandingkan
jarak antara distal gigi molar kedua dengan ramus mandibula.
Kelas III : Seluruh atau sebagian besar molar ketiga berada di dalam
ramus mandibula.
Gambar 1. Posisi Impaksi Gigi Menurut Pell & Gregory
Berdasarkan Relasi Antar Gigi
Berdasarkan letak molar ketiga di dalam tulang:
Posisi A : Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada setinggi garis oklusal.
Posisi B : Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada di bawah bidang
oklusal tapi masih lebih tinggi daripada garis servikal molar
kedua.
Posisi C : Bagian tertinggi molar ketiga terletak di bawah garis servikal
molar kedua.
10
Kedua klasifikasi ini digunakan biasanya berpasangan. Misalkan kelas I
tipe B, artinya panjang mesio-distal gigi molar ketiga lebih kecil dibandingkan
jarak distal molar kedua ke ramus mandibula dan posisi molar ketiga berada di
bawah garis oklusal tapi masih di atas servikal gigi molar kedua.
Gambar 2. Posisi Impaksi Gigi Menurut Pell & Gregory Berdasarkan
Kedalaman M3 Bawah Terhadap Tulang Mandibula
Menurut George Winter
Klasifikasi yang dicetuskan oleh George Winter ini cukup sederhana. Gigi
impaksi digolongkan berdasarkan posisi gigi molar ketiga terhadap gigi molar
kedua. Posisi-posisi ini dinamakan vertikal, horizontal, inverted, mesioangular
(miring ke mesial), distoangular (miring ke distal), buko angular (miring ke
bukal), linguoangular (miring ke lidah), dan posisi tidak biasa lainnya yang
disebut unusual position.
11
Gambar 3. Posisi Impaksi Gigi Berdasarkan Sumbu Panjang Gigi Molar
Ketiga Rahang Bawah Menurut George Winter
Menurut Archer
Archer memberikan klasifikasi untuk impaksi yang terjadi di rahang atas.
Klasifikasi ini sebetulnya mirip dengan klasifikasi Pell & Gregory. Bedanya,
klasifikasi ini berlaku untuk gigi atas.
Kelas A : Bagian terendah molar ketiga setinggi bidang oklusal molar
kedua.
Kelas B : Bagian terendah molar ketiga di atas bidang oklusal gigi molar
kedua tapi masih di bawah garis servikal molar kedua.
12
Kelas C : Bagian terendah molar ketiga lebih tinggi dari garis servikal
molar kedua.
Klasifikasi untuk impaksi kaninus rahang atas diantaranya:
1. Kelas I : Kaninus terletak di palatum.
2. Kelas II : Di bukal.
3. Kelas III : Di daerah palatum dan bukal/labial.
4. Kelas IV : Prosesus alveolaris.
5. Kelas V : Daerah tidak bergigi.
Komplikasi
1. Pericoronitis.
Posisi gigi yang belum erupsi sempurna akan memudahkan makanan,
debris dan bakteri terjebak di bawah gusi yang di bawahnya terdapat gigi bungsu
sehingga menyebabkan infeksi pada gusi yang disebut pericoronitis. Jika tidak
segera ditangani infeksi tersebut akan menyebar ke tenggorokan atau leher.
2. Crowding gigi/berjejal.
Gigi impaksi dapat mendorong gigi-gigi lain di depannya sehingga
bergerak dan berubah posisi.
3. Gigi berlubang.
Posisi gigi impaksi sulit dijangkau sehingga sulit dibersihkan dan menjadi
berlubang.
13
4. Merusak gigi depannya.Tidak hanya gigi impaksinya saja yang berlubang tetapi gigi di depannya
juga berlubang karena sulit dibersihkan.
5. Infeksi pada tulang sekitarnya.
6. Kista.
Para ahli menyatakan bahwa 50% kasus kista berhubungan dengan gigi
geraham impaksi pada rahang bawah. Mahkota gigi impaksi tumbuh dalam suatu
selaput. Jika selaput tersebut menetap dalam tulang rahang akan terisi oleh cairan
yang akhirnya membentuk kista yang dapat merusak tulang, gigi, dan saraf.
7. Tumor / Karsinoma.
Penanganan
Pemeriksaan posisi gigi dibutuhkan dengan menggunakan foto panoramik.
Kalsifikasi gigi geraham bungsu terjadi mulai umur 9 tahun dan mahkota
gigi selesai terbentuk umur 12-15 tahun. Jadi gigi geraham bungsu sudah dapat
dilihat melalui rontgen pada umur 12-15 tahun walaupun gigi tersebut belum
tumbuh.
Dengan demikian pencabutan gigi geraham bungsu yang impaksi dapat
dilakukan antara umur 12-18 tahun atau setelah gigi molar / geraham kedua
tumbuh. Tentu saja sebagai persiapannya dilakukan rontgen foto sebelum
dilakukan pencabutan. Pencabutan gigi geraham bungsu pada usia 12-18 tahun
dikenal dengan pencabutan preventif dan ini sangat dianjurkan mengingat pada
usia tersebut akar gigi masih pendek sehingga memudahkan operasi dan
mempercepat waktu penyembuhan dan menghindari terkenanya saraf pada
rahang. Setelah operasi gigi geraham bungsu pasien akan mengalami
14
pembengkakan 3-4 hari yang merupakan reaksi normal dari tubuh untuk
penyembuhan. Pasien tidak perlu khawatir karena pembengkakan yang tidak
disertai demam bukan merupakan gejala infeksi dan pembengkakan ini akan
hilang tanpa meninggalkan bekas. Pasien yang menjalani operasi gigi geraham
bungsu cukup mendapat antibiotika, analgetik / penahan sakit, dan obat anti
inflamasi / anti radang. Selama pembengkakan pasien dapat makan makanan
lunak, melakukan aktivitas sehari-hari seperti sekolah, atau bekerja tetapi tidak
diperkenankan untuk olah raga terlebih dahulu. Setelah satu minggu benang
jahitan dapat dibuka dan obat sudah dapat dihentikan.
Dengan demikian pencabutan gigi geraham bungsu merupakan tindakan
yang bijaksana sebab mencegah komplikasi yang lebih buruk dan kekhawatiran
akan efek operasi tidak akan terjadi sebab dilakukan pada usia yang tepat.
15
PERIKORONITIS
Definisi
Perikoronitis adalah suatu peradangan pada gusi di sekitar mahkota dari
gigi yang sedang mengalami erupsi sebagian. Definisi lain menyebutkan bahwa
perikoronitis merupakan peradangan jaringan lunak di sekeliling gigi yang akan
erupsi. Apabila sudah timbul pernanahan maka disebut abses perikoronal.
Perikoronitis paling sering terjadi pada erupsi gigi molar ketiga yang biasa
terjadi pada akhir masa remaja atau pada awal usia 20 tahun. Perikoronitis
merupakan suatu kondisi yang umum terjadi pada molar impaksi dan cenderung
muncul berulang, bila molar belum erupsi sempurna. Akibatnya, dapat terjadi
destruksi tulang di antara gigi molar dan geraham depannya.
Gambar 4. Contoh Kasus Perikoronitis
16
Epidemiologi
Pericoronitis lebih sering mengenai M3 pada rahang bawah dibandingkan
M3 rahang atas. Hal ini disebabkan insidensi terhadap impaksi partial pada rahang
atas lebih jarang terjadi dan juga berhubungan dengan jarak dengan anterior
border mandibula.
Predileksi perikoronitis terhadap M3 berkaitan dengan umur erupsi gigi.
Sebagian besar kasus sering terjadi pada umur dewasa muda. Tercatat dari 245
pasien didapatkan 81% berumur 20-29 tahun dan 13% berumur 30-39 tahun.
Gambar 5. Lokasi Perikoronitis
17
Faktor Risiko
Faktor risiko perikoronitis menurut British Association of Oral and
Maxillofocal Surgeons meliputi :
1. Keadaan dimana gigi sedang mengalami erupsi, terutama gigi molar 3.
2. Terbentuknya lapisan gusi karena erupsi gigi.
3. Keadaan gigi yang bersinggungan dengan jaringan perikoronal gigi yang
tidak erupsi atau erupsi sebagian.
4. Riwayat perikoronitis sebelumnya.
5. Oral hygiene yang buruk.
6. Infeksi saluran nafas.
Etiologi
Perikoronitis merupakan suatu proses infeksi yang sampai saat ini
penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Beberapa literatur menghubungkan
penyebab infeksi ini dari flora normal mulut. Adanya keterlibatan Streptococcus
viridans, Spirochaeta dan Fussobacteria. Penelitian lain mengatakan adanya
campuran infeksi Prevotella intermedia, Peptostreptococcus micros,
Fusobacterium nucleatum, Actinomycetes comitans, Veilonella dan
Capnosytopaga. Walaupun infeksi perikoronitis berhubungan juga dengan bakteri
anaerob, tetapi penyebab mikro organismenya berbeda dengan yang melibatkan
periodontitis. Hal ini berkaitan erat dengan patogenesis dimana peradangan terjadi
akibat adanya celah pada perikoronal yang menjadi media subur bagi koloni
bakteri, disertai berbagai trauma dari gigi yang bersebelahan. Faktor lain yang
18
berperan diantaranya stress emosional, merokok, daya tahan tubuh yang rendah,
penyakit sistemik, dan infeksi saluran pernafasan atas.
Patogenesis
Proses inflamasi pada perikoronitis terjadi karena terkumpulnya debris dan
bakteri di saku gusi perikoronal gigi yang sedang erupsi atau impaksi. Adanya
akumulasi dari plak dan sisa-sisa makanan di saku gusi perikoronal sulit diraih
saat membersihkan gigi.
Pada saku gusi perikoronal ini akan terjadi proses inflamasi akut dengan
gejala-gejala inflamasi, sedangkan bila proses inflamasi kronis bisa timbul gejala
ataupun tanpa gejala. Apabila debris dan bakteri terperangkap jauh ke dalam saku
gusi perikoronal maka akan terbentuk abses. Inflamasi bisa juga terjadi karena
trauma yang dihasilkan dari erupsi gigi molar rahang atas.
Gambar 6. Patogenesis Perikoronitis
19
Manifestasi klinis
Biasanya terjadi secara unilateral. Perikoronitis terbagi dalam bentuk
manifestasi :
a. Perikoronitis Akut:
- Rasa sakit menusuk yang hilang timbul.
- Trismus dan disfagia.
- Operkulum gingiva di daerah infeksi bengkak, hiperemis, dan disertai
supurasi.
- Limfadenopati submandibular.
- Rasa sakit yang pada mulanya lebih terlokalisasi dan selanjutnya
menyebar ke bagian telinga, tenggorokan, serta dasar mulut.
- Sakit pada palpasi.
- Rasa tidak enak (foul taste).
b. Perikoronitis subakut:
- Peradangan dan supurasi di operkulum berkurang.
- Rasa sakit tumpul yang terus menerus.
- Gambaran sistemik seperti peningkatan suhu, nadi, frekuensi pernapasan,
dan sakit pada nodul submandibular.
c. Perikoronitis kronik:
- Rasa sakit tumpul yang kambuh secara periodik.
- Pemeriksaan radiologis menunjukkan gambaran kawah yang radiolusen.
- Pembentukkan kista paradental.
20
Perawatan
Fokus perawatan adalah menanggulangi infeksi. Namun strategi perawatan
tergantung dari dua faktor, pertama dari beratnya infeksi dan yang kedua
penyebaran dari infeksi tersebut. Untuk infeksi yang telah menyebar ke KGB atau
rongga fasialis maka membutuhkan terapi yang lebih ekstensif.
Perikoronitis yang terlokalisasi dan dalam tahap ringan-sedang dapat
ditangani secara konservatif yaitu dengan debridemen dan drainase dari
pericoronal pocket. Jika terdapat abses maka harus dilakukan drainase yang
dilakukan dengan cara insisi. Monitoring pasca perawatan diperlukan untuk
memastikan resolusi dari fase akut. Setelah itu perlu dilakukan koreksi secara
operatif, salah satunya adalah reseksi jaringan perikoronal untuk mencegah
berulangnya infeksi. Umumnya debridemen dan drainase memberikan hasil
berupa pengurangan gejala namun beberapa klinisi menggunakan antibiotik
sistemik dan sebagian lagi menggunakan antibiotik topikal walaupun keuntungan
baik dari segi efektifitas dan biaya belum diketahui.
Jika gigi yang terkena nonfungsional atau dianggap tidak dapat digunakan
karena malposisi atau alasan lain ekstraksi biasanya dianggap patut untuk
dilakukan. Jika perikoronitis terbatas dan tidak ada tanda-tanda abses, maka dapat
langsung dilakukan ekstraksi atau ditunggu sampai fase akut terlewati namun jika
terdapat pus sebelumnya dilakukan irigasi dan drainase, dan jika dalam keadaan
gawat darurat perlu diberikan antibiotik profilaksis sesudah ektraksi.
Dalam keadaan perikoronitis dengan tanda adanya penjalaran regional
maka terapi dilakukan seperti diatas dan ditambah dengan terapi antimikroba
secepatnya. Ekstraksi ditunda sampai infeksi telah terlokalisir atau hilang.
21
Komplikasi
- Perikoronal abses terjadi apabila peradangan / infeksi lebih terlokalisasi.
- Disfagia terjadi apabila infeksi menyebar ke arah posterior menuju ke
ruang oropharyngeal atau kearah medial pada bagian dasar lidah.
- Trismus terjadi karena kelainan pada TMJ.
- Komplikasi toksik sistemik seperti demam, leukositosis, dan malaise.
- Pembesaran kelenjar getah bening submaxilla, servikal posterior, deep
cervical, dan retrofaring.
Prognosis
Prognosis penyakit perikoronitis biasanya baik. Kebanyakan faktor lokal
dapat diobati dengan obat-obatan dari golongan antibiotik jika disebabkan oleh
infeksi.
Pada kasus perikoronitis berulang sebaiknya dilakukan pencabutan untuk
menghindari berbagai komplikasi yang kemungkinan akan timbul jika tidak
dilakukan pencabutan sedini mungkin.
22
OPERKULITIS
Definisi
Merupakan peradangan sebagian kecil gusi yang terdapat di oklusal gigi,
biasanya terdapat pada gigi molar tiga bawah.
Epidemiologi
Operkulitis paling sering terjadi pada erupsi gigi molar ketiga yang biasa
terjadi pada akhir masa remaja atau pada awal usia 20 tahun.
Patofisiologi
Operkulitis terjadi karena tidak sempurnanya resorpsi jaringan lunak di atas
gigi sehingga membentuk kantung gigi yang menyebabkan makanan dapat terselip
dan menimbulkan proses inflamasi.
Gejala
Pada operkulitis biasanya tidak disertai gejala, pasien hanya merasakan nyeri
pada struktur gigi yang terlibat tanpa disertai dengan pembengkakan.
23
Terapi
Terapi yang dapat dilakukan adalah menenangkan proses infeksi. Bila
ruangan tidak cukup untuk erupsi gigi maka dilakukan ekstraksi gigi. Bila ruangan
cukup untuk erupsi, maka dapat dilakukan operkulektomy.
Prognosis
Prognosis penyakit operkulitis biasanya baik. Kebanyakan faktor lokal dapat
diobati dengan obat-obatan dari golongan antibiotik jika disebabkan oleh infeksi.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Kamus Kedokteran Dorland edisi ke 20. Jakarta: EGC.
2. Mansjoer Arif, dkk: Kapita Selekta Kedokteran. Editor Arif Mansjoer, dkk, Edisi 3, Volume 1, Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 2000.
3. Topazian et al. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. Philadelphia: Saunders. 2002.
4. Pericoronitis. [email protected].
5. Newman, dkk. Carranza’s Clinical Periodontology. 10th ed. Saunders Elsevier. 2006.