cr kiki
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai
oleh adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada
orang tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang
melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi. Namun
presentasinya dapat polimorfik dan dapat terjadi kesalahan diagnosa, terutama
pada tahap awal penyakit atau di varian atipikal, di mana bula biasanya tidak ada.
Dalam kasus ini, penegakan diagnosis PB memerlukan tingkat pemeriksaan yang
tinggi untuk kepentingan pemberian pengobatan awal yang tepat. Antigen target
pada antibodi pasien yang menunjukkan dua komponen dari jungsional adhesi
kompleks-hemidesmosom ditemukan pada kulit dan mukosa.
Pemfigoid Bulosa (PB) ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan
berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3
(komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG
sirkulasi dan antibody IgG yang terikat pada basement membrane zone.
Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di
lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut
"membran basal." Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal
disebut antigen hemidesmosomal PB dan ini menarik sel-sel peradangan
(kemotaksis). Pasien pemfigoid bulosa biasanya terjadi pada usia 60 tahunan
namun dapat terjadi pada anak-anak. Pengobatan sangatlah penting karena
penyakit ini bersifat kronik dan dapat terjadi remisi spontan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Insiden dan Epidemiologi
Sebagian besar pasien dengan Pemfigoid Bulosa berumur lebih dari 60 tahun
dengan puncak insiden terjadi pada usia sekitar 80 tahun. Meskipun
demikian, Pemfigoid Bulosa jarang terjadi pada anak-anak, dan laporan di
sekitar awal tahun 1970 (ketika penggunaan immunofluoresensi untuk
diagnosis menjadi lebih luas) adalah tidak akurat karena kemungkinan besar
data tersebut memasukkan anak-anak dengan penanda IgA, daripada IgG, di
zona membran basal. Tidak ada predileksi etnis, ras, atau jenis kelamin yang
memiliki kecenderungan terkena penyakit Pemfigoid Bulosa. Insiden
Pemfigoid Bulosa diperkirakan 7 per juta per tahun di Prancis dan Jerman.
2.2. Etiologi
PB adalah contoh dari penyakit yang dimediasi imun yang dikaitkan dengan
respon humoral dan seluler yang ditandai oleh dua self-antigen: antigen PB
180 (PB180, PBAG2 atau tipe kolagen XVII) dan antigen PB 230 (PB230
atau PBAG1.
Etiologi PB adalah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi produksi
autoantibodi pada Pemfigoid Bulosa masih belum diketahui. Sistem imun
tubuh kita menghasilkan antibodi untuk melawan bakteri, virus atau zat asing
yang berpotensi membahayakan. Untuk alasan yang tidak jelas, tubuh dapat
menghasilkan antibodi untuk suatu jaringan tertentu dalam tubuh. Dalam
Pemfigoid Bulosa, sistem kekebalan menghasilkan antibodi terhadap
membran basal kulit, lapisan tipis dari serat menghubungkan lapisan luar kulit
(dermis) dan lapisan berikutnya dari kulit (epidermis). Antibodi ini memicu
aktivitas inflamasi yang menyebabkan kerusakan pada struktur kulit dan rasa
gatal pada kulit.
Tidak ada penyebab khusus yang memicu timbulnya PB, namun beberapa
faktor dikaitkan dengan terjadinya PB. Sebagian kecil kasus mungkin dipicu
obat seperti furosemide, sulphasalazine, penicillamine dan captopril. Suatu
studi kasus menyatakan obat anti psikotik dan antagonis aldosterone termasuk
dalam faktor pencetus Pemfigoid Bulosa. Belum diketahui apakah obat yang
berefek langsung pada sistem imun, seperti kortikosteroid, juga berpengaruh
pada kasus Pemfigoid Bulosa. Sinar ultraviolet juga dinyatakan sebagai faktor
yang memicu PB ataupun memicu terjadinya eksaserbasi PB. Beberapa faktor
fisik termasuk suhu panas, luka, trauma lokal, dan radioterapi dilaporkan
dapat menginduksi PB pada kulit normal.
2.3. Anatomi Kulit
Gambar 2.1. Anatomi kulit
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu
lapisan epidermis, lapisan dermis dan lapisan subkutis. Lapisan epidermis
terdiri atas : stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum
spinosum dan stratum basal.
Anatomi yang terlibat pada penyakit Pemfigoid Bulosa adalah stratum basale.
Stratum basal terdiri atas sel – sel berbentuk kubus yang tersusun vertikal
pada perbatasan dermo – epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini
merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Lapisan ini terdiri atas dua
jenis sel yaitu sel berbentuk kolumnar dan sel pembentuk melanin. Pada sel
basal dalam membran basalis, terdapat hemidesmosom. Fungsi
hemidesmosom adalah melekatkan sel – sel basal dengan membrana basalis.
2.4. PATOFISIOLOGI
Gambar 2.2 : Mekanisme pembentukan bula di Pemfigoid Bulosa (PB).
Gambar atas menggambarkan beberapa struktur protein membran basal
epidermis yang berfungsi sebagai autoantigen utama dalam penyakit kulit
autoimun subepidermal bulosa. Autoantigens utama pada pasien PB adalah
antigen PB 230 (PB230) dan antigen PB 180.
Autoantibodi PB terakumulasi dalam jaringan dan mengikat antigen pada
membran basal. Pasien dengan PB mengalami respon sel T autoreaktif untuk
PB180 dan PB230, dan ini mungkin penting untuk merangsang sel B untuk
menghasilkan autoantibodi patogen.
Setelah pengikatan autoantibodi terhadap antigen target, pembentukan bula
subepidermal terjadi melalui rentetan peristiwa yang melibatkan aktivasi
komplemen, perekrutan sel inflamasi (terutama neutrofil dan eosinofil), dan
pembebasan berbagai kemokin dan protease, seperti metaloproteinase
matriks-9 dan neutrofil elastase.
Pemfigoid Bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon imun
seluler dan humoral yang bersatu menyerang antigen pada membran basal.
Antigen PB merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal,
diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian BMZ (basal membrane zone)
epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal
dengan membrane basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom.
Terdapat dua jenis antigen Pemfigoid Bulosa yaitu dengan berat molekul
230kD disebut PBAg1 (Pemfigoid Bulosa Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD
dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan dari pada
PB180.
Terbentuknya bula akibat komplemen yang beraktivasi melalui jalur klasik
dan alternatif, yang kemudian akan mengeluarkan enzim yang merusak
jaringan sehingga terjadi pemisahan epidermis dengan dermis.
Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada pemfigus
bulosa terjadi dalam lamina lucida, di antara membrane basalis dan lamina
densa. Terbentuknya bula pada tempat tersebut disebabkan hilangnya daya
tarikan filament dan hemidesmosom.
Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibodi terhadap
antigen Pemfigoid Bulosa. Fiksasi IgG pada membran basal mengaktifkan
jalur klasik komplemen. Aktifasi komplemen menyebabkan kemotaksis
leukosit serta degranulasi sel mast. Produk-produk sel mas menyebabkan
kemotaksis dari eosinofil melalui mediator seperti faktor kemotaktik eosinofil
anafilaksis. Akhirnya, leukosit dan protease sel mast mengakibatkan
pemisahan epidermis kulit. Sebagai contoh, eosinofil, sel inflamasi dominan
di membran basal pada lesi Pemfigoid Bulosa, menghasilkan gelatinase yang
memotong kolagen ekstraselular dari PBAG2, yang mungkin berkontribusi
terhadap pembentukan bula.
2.5. DIAGNOSA
A. GAMBARAN KLINIS
Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit PB bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit
nonbulosa, tanda dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal ringan
sampai parah atau dalam hubungannya dengan eksema, papul dan atau
urtikaria, ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa minggu atau bulan.
Gejala nonspesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda
penyakit.
Fase Bulosa
Tahap bulosa dari PB ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula pada kulit
normal ataupun eritematosa yang tampak bersama-sama dengan urtikaria dan
infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar.
Bula tampak tegang, diameter 1 – 4 cm, berisi cairan bening, dan dapat
bertahan selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi
seringkali memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada aspek lentur
anggota badan dan tungkai bawah, termasuk perut. Perubahan post inflamasi
memberi gambaran hiper- dan hipopigmentasi serta, yang lebih jarang, miliar.
Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa
hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang terpengaruh.
Pada sekitar 50% pasien, didapatkan eosinofilia darah perifer.
Perjalanan penyakit biasanya ringan dan keadaan umum penderita baik.
Penyakit PB dapat sembuh spontan (self-limited disease) atau timbul lagi
secara sporadik, dapat generalisata atau tetap setempat sampai beberapa
tahun. Rasa gatal kadang dijumpai, walaupun jarang ada. Tanda Nikolsky
tidak dijumpai karena tidak ada proses akantolisis. Kebanyakan bula ruptur
dalam waktu 1 minggu, tidak seperti pemfigus vulgaris, ia tidak menyebar
dan sembuh dengan cepat.
Lesi kulit
Eritem, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula.
Bula besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau
yang eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat
bersifat lokal maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga berkelompok
dalam pola serpiginosa dan arciform.
Tempat Predileksi
Aksila; paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah.
Gambar 2.3: Pemfigoid Bulosa. Bula tegang diatas kulit yang eritema.
Gambar 2.4 : Pemfigoid Bulosa.
Gambar 2.5: Pemfigoid Bulosa.
Gambar 2.6: Pemfigoid Bulosa.
Gambar 7: Pemfigoid Bulosa.
2.6. Pemeriksaan Laboratorium
Pemfigus bulosa harus dibedakan dengan pemfigus, dermatosis linear IgA,
eritema multiforme, erupsi obat, dermatitis herpetiformis dan epidermolisis
bulosa. Penderita harus melakukan Biopsi kulit dan titer antibodi serum untuk
membedakannya. Biopsi sangat penting untuk membedakan penyakit-
penyakit ini karena mempunyai prognosis yang tidak sama.
a) HISTOPATOLOGI
Kelainan yang dini pada Pemfigoid Bulosa yaitu terbentuknyacelah di
perbatasan dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang
utama adalah eosinofil.
b) IMUNOLOGI
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun
seperti pita di BMZ (Base Membrane Zone). Pewarnaan Immunofluorescence
langsung (IF) menunjukkan IgG dan biasanya juga C3, deposit dalam lesi dan
paralesional kulit dan substansi intraseluler dari epidermis.
2.7. Diagnosis Banding
1. Pemfigus vulgaris (PV), adalah sebuah penyakit autoimun yang serius,
dengan bulla, dapat bersifat akut ataupun kronis pada kulit dan membran
mukosa yang sering berakibat fatal kecuali diterapi dengan agen
imunosupresif. Penyakit ini adalah prototype dari keluarga / golongan
pemfigus, yang merupakan sekelompok penyakit bula autoimun
akantolitik. Gambaran lesi kulit pada pemfigus vulgaris didapatkan bula
yang kendur di atas kulit normal dan dapat pula erosi. Membran mukosa
terlibat dalam sebagian besar kasus. Distribusinya dapat dibagian mana
saja pada tubuh. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran
akantolisis suprabasalis. Pada pemeriksaan imunopatologi, diperoleh IgG
dengan pola interseluler.
Gambar 2.8: Lesi utama pemfigus vulgaris bula yang lembek.
Gambar 2.9: Pemphigus vulgaris. Erosions and flaccid bullae pada kulit normal.
2. Pemfigus foliaseus (PF) adalah bentuk superfisial penyakit pemfigus
dengan akantolisis pada lapisan granulosum epidermis. Lesi kulit pada
pemfigus foliaseus berupa krusta dan adakalanya berupa vesikel yang
kendur. Membran mukosa jarang terlibat. Distribusi lesinya pada bagian
tubuh yang lebih terbuka dan bagian tubuh yang memiliki banyak kelenjar
sebasea. Pada gambaran histopatologi, terlihat gambaran akantolisis pada
stratum granulosum. Pada pemeriksaan imunopatologi diperoleh IgG
dengan pola intraseluler.
3. Pemfigus vegetans (PVeg), memberikan gambaran lesi berupa plak
granulomatosa, dan adakalanya terdapat vesikel di pinggiran lesi.
Membran mukosa terlibat pada sebagian besar kasus. Distribusi lesi pada
daerah intertriginosa, daerah perioral, leher, kepala dan aksila. Pada
pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran akantolosis suprabasal dan
abses-abses intraepidermal yang berisi eosinofil. Pada pemeriksaan
imunopatologi, didapatkan hasil seperti Pemfigus vulgaris.
4. Epidermolisis Bulosa (EB), adalah sebuah penyakit bula subepidermal
kronik yang berkaitan dengan autoimunitas pada kolagen tipe II dalam
fibrin pada zona membrane basal. Lesi kulit berupa bula yang berdinding
tegang dan erosi, gambaran noninflamasi ataupun menyerupai pemfigus
bulosa, Dermatitis herpetiformis, atau Dermatosis IgA linear. Membran
mukosa terlibat pada kasus yang parah. Distribusi lesinya sama dengan
Pemfigoid Bulosa. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan bula
subepidermal. Pada pemeriksaan imunopatologi diperoleh IgG linear pada
zona membrane basal.
5. Dermatitis herpetiformis (DH), adalah erupsi pruritus yang kronis,
rekuren, dan intensif yang muncul secara simetris pada ekstremitas dan
pada badan dan terdiri dari vesikel-vesikel kecil, papul, dan plak urtika
yang tersusun berkelompok, serta berkaitan dengan gluten-sensitive
enteropathy (GSE) dan deposit IgA pada kulit. Lesi kulit berupa papul
berkelompok, urtikaria, vesikel serta krusta. Membran mukosa tidak
terlibat. Lesi terdistribusi pada daerah siku, lutut, glutea, sakral dan
skapula. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran mikroabses di
papilla dermis, dan vesikel subepidermal. Pada pemeriksaan
imunopatologi, didapatkan IgA berbentuk granula pada ujung papilla.
Gambar 2.11: Dermatitis Herpetiformis dicirikan oleh kelompok vesikel intens
pruritic, papula, dan lesi urtikaria seperti biasanya didistribusikan secara simetris
pada permukaan ekstensor. Sariawan Celiac hadir dalam 75 sampai 90% dari
pasien tetapi asimtomatik dalam banyak kasus.
6. Dermatosis IgA linear, adalah penyakit kulit dengan bula subepidermal
yang dimediasi sistem imun, dan merupakan kasus yang cukup jarang
ditemukan. Penyakit ini ditandai dengan adanya deposit IgA linear yang
homogen pada zona membran basal kutaneus. Gambaran lesi kulitnya
berupa vesikel yang anular, berkelompok dan dapat berupa bula. Membran
mukosa terlibat dan biasanya terdapat erosi dan ulkus pada mulut, serta
erosi dan pada konjungtiva. Distribusi lesinya bisa dimana saja. Pada
pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran bula subepidermal dan
disertai neutrofil. Pada pemeriksaaan imunopatologi, didapatkan IgA
linear pada zona membran basal.
2.8. Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri dari prednisone sistemik, sendiri atau dalam kombinasi
dengan agen lain yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil atau tetracycline.
Obat-obat ini biasanya dimulai secara bersamaan, mengikuti penurunan
secara bertahap dari prednison dan agen steroid setelah remisi klinis tercapai.
Kasus ringan mungkin hanya memerlukan kortikosteroid topikal.
Methrotrexate mungkin digunakan pada pasien dengan penyakit berat yang
tidak dapat bertoleransi terhadap prednison. Dosis prednisolon 40-60 mg
sehari, jika telah tampak perbaikan dosis di turunkan perlahan-lahan.
Sebagian kasus dapat disembuhkan dengan kortikosteroid saja.
Terapi steroid sistemik biasanya diperlukan, tetapi tidak seperti Pemfigus,
dimungkinkan untuk menghentikan terapi ini setelah 2 sampai 3 tahun. Dosis
awal 60-100 mg prednisolon atau setara harus secara bertahap dikurangi ke
jumlah minimum yang akan mengendalikan penyakit ini. Azatioprine juga
berpotensi memberikan efek samping yang buruk seperti prednison. Suatu
kajian menjelaskan jika glukokortikoid sistemik diberikan pada penderita
dengan dosis tinggi tanpa dilakukan tapering selama 4 minggu, kombinasi
dengan azatioprine kurang memberi manfaat tetapi sebaliknya penderita
harus menanggung efek samping obat tersebut.
Pada penderita lanjut usia dengan gejala yang tidak progresif, obat
imunosupresif ini bisa digunakan pada terapi awal tanpa dikombinasikan
dengan prednison. Glukokortikoid sistemik biasanya diperlukan pada
penderita dengan gejala yang berat dan progresif supaya penderita bisa
ditangani dengan cepat. Efek pemakaian glukokortikoid sistemik sangat cepat
yaitu hanya beberapa hari.
Terapi dosis tinggi metilprednisolon intravena juga dilaporkan efektif untuk
mengontrol dengan cepat pembentukan bula yang aktif pada Pemfigoid
Bulosa. Sulfon mungkin efektif pada setengah pasien dengan Pemfigoid
Bulosa. Tidak banyak pasien yang berespon terhadap dapson.
2.9. Prognosis
Pemfigoid Bulosa ialah penyakit kulit kronis yang bisa menetap selama
beberapa bulan atau beberapa tahun, namun secara umum prognosisnya baik.
Walaupun mayoritas pasien yang mendapatkan terapi akan mengalami remisi
spontan, tingkat mortalitas dipertimbangkan pada pasien yang sudah lanjut
usia.
Usia tua dan kondisi umum yang buruk telah terbukti secara signifikan
mempengaruhi prognosis. Secara historis, dinyatakan bahwa prognosis pasien
dengan Pemfigoid Bulosa jauh lebih baik dari pasien dengan pemfigus,
terutama Pemfigus Vulgaris dengan Pemfigoid Bulosa dimana tingkat
mortalitasnya sekitar 25% untuk pasien yang tidak diobati dan sekitar 95%
untuk pasien dengan penyakit Pemvigus Vulgaris saja tanpa pengobatan.
Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa penelitian di Eropa pada kasus
Pemfigoid Bulosa menunjukkan bahwa bahkan dengan perawatan, pasien
Pemfigoid Bulosa memiliki prognosa seburuk penyakit jantung tahap akhir,
dengan lebih dari 40% pasien meninggal dunia dalam kurun 12 bulan. Dari
studi terbaru, kemungkinan bahwa penyakit penyerta dan pola praktek
(penggunaan kortikosteroid sistemik dan / atau obat imunosupresif) juga
mempengaruhi keseluruhan morbiditas dan mortalitas penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Borradori L, Bernard P. Bullous pemphigoid in Bolognia. J L Jorizzo, J L Rapini, R P. Dermatology, vol 1 2nd Edition by Mosby. 2. Fenella Wojnarowska R A J
2. Eady & Susan M Burge. Bullous Eruption in Champion. RH Burton, J L Burns, D A Breathnach S.M. Textbook of Dermatology
3. John R Stanley. Pemphigus in Freedberg. I M Eisen, A Z Wolff, K Austen, K F Goldsmith, L A and Katz S.I. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine vol. 1 6th Edition. (McGraw-Hill, New York, 1999)
4. Habif T P. Clinical Dermatology, a Color Guide to Diagnosis and Therapy 4th edition (October 27, 2003) by Mosby
5. Djuanda A. Pemfigoid Bulosa. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kelima. Jakarta: Balai penerbit FK-UI 2010. P.210-211.
6. William H, Bigby M, Diepgen T, Herxheimer A, Naldi L, Rzany B. Evidence- Based Dermatology. p. 660 – 663 (BMJ Book, London)
7. Wolff K, Johnson R A. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: Mc Graw-Hill. 2007
8. MacKie M. R. Clinical Dermatology. 4th Edition. Oxford medical publications;1997. P. 233-235.
9. Bickle M. K, Roark R. Tom, Hsu, S. Autoimmune Bullous Dermatoses. [online]. 2002 May 01. [cited 2012 Aug 31]; [16 pages]. Available from: URL: http//www.amfamphysician.org/education/rg_cme.html.
10. Kumar V, Cotran R S, Robbins, S L. Robbins Basic Pathology 7th Edition. p. 796-798. Elsevier, New Delhi, 2004
11. Schachner A L, Hansen C R. Pediatric Dermatology. 2th Edition. Beers M H, Porter RS, Jones T V, Kaplan J L, Berkwits M. The Merck Manual 18th Edition Volume. pp. 947-950 (Elsevier, New Jersey, 2006)
12. Bullous pemphigoid : American Osteopathic College of Dermatology. Available from: URL:http://www.aocd.com/index.html#ed
13. Swerlick A R, Korman J N. Bullous Pemphigoid: Journal of Investigative Dermatology . [online]. 2004 May 04 [cited 2012 Aug 31]; [10 Pages]. Available from: URL: http://www.nature.com/jid/journal/v122/n5/index.html#ed
14. Bernard Philippe, Ziad Reguia. Risk Factors for Relapse in Patients With Bullous Pemphigoid in Clinical Remission. [online]. 2009, May [cited 2011 Aug 31]; [11 pages]. Available from: URL: http://archderm.ama-assn.org/