contoh penelitian kualitatif
TRANSCRIPT
TUGAS 2
PROPOSAL PENELITIAN
ANALISIS PROSES BERPIKIR REFLEKTIF SISWA
DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA NONRUTIN
PADA MATERI ATURAN PENCACAHAN DI KELAS XI MIA
SMAN 1 TELLU SIATTINGE KABUPATEN BONE
DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF
(Disusun dalam rangka memenuhi
tugas mata kuliah penelitian pendidikan matematika)
MUH. ALFIANSYAH
161050701024
KELAS 02
PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
MAKASSAR
2016
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 9
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 10
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 12
A. Berpikir Reflektif ................................................................ 12
B. Gaya Kognitif ..................................................................... 17
C. Matematika Nonrutin .......................................................... 21
D. Pemecahan Masalah Matematika ....................................... 23
E. Langkah-Langkah Berpikir Reflektif dalam Pemecahan ..
Masalah Matematika Nonrutin ............................................ 28
F. Aturan Pencacahan ............................................................. 32
G. Penelitian yang Relevan ..................................................... 35
H. Kerangka Pikir ..................................................................... 38
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 41
A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................. 41
B. Jenis Penelitian ................................................................... 41
C. Subjek Penelitian ................................................................ 41
D. Data Penelitian .................................................................... 43
E. Tehnik Pengumpulan Data ................................................. 44
F. Validasi Data ...................................................................... 45
G. Tehnik Analisis Data .......................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 48
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika memiliki peranan penting dalam kehidupan sebagai ilmu yang
dapat membantu manusia untuk dapat berfikir logis, obyektif, analitis, kritis,
kreatif dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi (Tisngati, 2015). Kaitannya
dengan dunia pendidikan yaitu salah satu tujuan pembelajaran matematika di
sekolah adalah agar siswa memiliki pemahaman pemecahan masalah, yakni
memahami konsep matematika, mampu menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
menggunakan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,
dalam pemecahan masalah (Permendikbud Nomor 59, 2014).
Namun, menurut Suwasti (2016), pembelajaran matematika di sekolah
belum sepenuhnya memberikan konstribusi kepada siswa untuk mengembangkan
pemecahan masalah. Proses pembelajaran matematika masih dipahami sebagai
hasil aktivitas kognitif saja, yakni pemberian rumus dan mengerjakan soal latihan
(latihan penerapan rumus yang diajarkan). Selama ini kecenderungan para siswa
hanya terfokus pada hafalan rumus untuk menyelesaikan masalah. Umumnya
siswa berpikir hanya dengan menghafalkan rumus bisa menemukan solusi dari
permasalahan. Padahal, hal itu belum tentu bisa terealisasikan. Oleh sebab itu,
perlu membelajarkan siswa untuk menyelesaikan masalah matematika sehingga
kemampuan berpikir siswa perlu dikembangkan (Lutfiananda, 2016).
Menurut Subandar (2009) dalam mempelajari matematika siswa harus
berpikir agar mampu memahami konsep-konsep matematika yang telah dipelajari
2
serta menggunakannya dengan tepat untuk menyelesaikan permasalahan
matematika yang dihadapi. Proses berpikir dalam menyelesaikan masalah
matematika yang dimaksud terkait dengan kemampuan mengingat, mengenali
hubungan antar konsep, hubungan sebab akibat, hubungan analogi atau
perbedaan, yang selanjutnya dapat menimbulkan gagasan-gagasan original
sehingga berpengaruh dalam penarikan keputusan atau kesimpulan.
Keterampilan berpikir menjadi hal yang diperlukan siswa dalam
mempelajari berbagai hal khususnya matematika. Melalui keterampilan berpikir
yang baik, siswa dapat memahami masalah matematika yang dihadapinya untuk
selanjutnya dapat menerapkan konsep yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Siswa juga diharapkan memperoleh kesimpulan yang baik sehingga
siswa tidak sekadar menguasai apa yang dilakukannya untuk mendapatkan
jawaban dari masalah yang dihadapi, tetapi juga pengetahuan baru yang
bermanfaat bagi dirinya (Lutfiananda, 2016).
Salah satu kemampuan berpikir yang mendukung keterampilan pemecahan
masalah siswa dalam pembelajaran matematika adalah berpikir reflektif. Noer
(2008) menjelaskan bahwa teori tentang berpikir reflektif dimulai dari eksplorasi
John Dewey saat mendiskusikan proses mental tertentu yaitu memfokuskan dan
mengendalikan pola pikiran. Dewey menamai hal tersebut dengan istilah "berpikir
reflektif". Dalam hal ini proses yang dilakukan bukan sekadar suatu urutan dari
gagasan-gagasan, tetapi suatu proses yang berurutan sedemikian sehingga masing-
masing ide mengacu pada ide terdahulu untuk menentukan langkah berikutnya.
Dengan demikian, semua langkah berurutan, saling terhubung, saling mendukung
3
satu sama lain dan berperan untuk menuju pada penarikan kesimpulan terhadap
solusi permasalahan yang diberikan.
Gurol (2011) mendefinisikan berpikir reflektif sebagai proses kegiatan
terarah dan tepat yakni siswa menyadari, menganalisis, mengevaluasi,
memotivasi, mendapatkan makna yang mendalam, menggunakan strategi belajar
yang tepat dalam proses belajarnya sendiri. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Skemp (Nasriadi, 2016) mengemukakan bahwa berpikir reflektif dapat
digambarkan sebagai proses berpikir yang merespon masalah dengan
menggunakan informasi atau data yang berasal dari dalam diri (internal), dapat
menjelaskan apa yang telah dilakukan, memperbaiki kesalahan yang ditemukan
dalam memecahkan masalah, serta mengkomunikasikan ide dengan simbol bukan
dengan gambar atau objek langsung.
Melalui proses berpikir reflektif dapat diketahui proses siswa dalam
memecahkan suatu masalah secara lebih mendalam, sebab proses berpikir reflektif
tidak sekadar menuntut jawaban dari suatu masalah tetapi juga konsep, fakta dan
alasan yang logis, serta pengambilan keputusan yang rasional dalam setiap proses
pemecahan masalah yang dilakukan. Berpikir reflektif sangat penting bagi siswa
untuk mengevaluasi proses belajarnya sendiri khususnya dalam memecahkan
masalah. Sementara itu, guru perlu mengetahui proses berpikir reflektif siswa
untuk memperoleh informasi tentang kesalahan yang dihadapi siswa sehingga
dapat membantu dalam perbaikan kualitas pembelajaran (Lutfiananda, 2016).
Gurol (2011) menyatakan bahwa berpikir reflektif sangat penting bagi siswa
dan guru. Namun, hal ini sangat berbeda dengan fakta di lapangan, bahwa berpikir
4
reflektif belum menjadi salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah
(Lutfiananda, 2016). Hal tersebut sesuai dengan temuan Sabandar (2009) bahwa
kemampuan berpikir reflektif masih jarang diperkenalkan oleh guru atau
dikembangkan untuk siswa sekolah menengah. Lebih lanjut, Suharna, dkk.,
(2013) melaporkan bahwa dalam pembelajaran matematika, berpikir reflektif
kurang mendapat perhatian guru. Terkadang guru hanya memperhatikan hasil
akhir dari penyelesaian masalah yang dikerjakan siswa, tanpa memperhatikan
bagaimana siswa menyelesaian masalah. Jika jawaban siswa berbeda dengan
kunci jawaban, biasanya guru langsung menyalahkan jawaban siswa tersebut
tanpa menelusuri mengapa siswa menjawab demikian.
Selain itu, rendahnya kemampuan berpikir reflektif juga tercantum pada
studi pendahuluan yang dilakukan oleh Nindiasari (Nindiasari, dkk., 2014)
terhadap sejumlah siswa SMA di Tanggerang pada tahun 2010 memperoleh
beberapa temuan di antaranya: 1) guru lebih banyak memberikan rumus, konsep
matematika yang sudah siap digunakan dan tidak mengajak siswa berpikir untuk
menemukan rumus dan konsep matematika yang dipelajarinya, 2) hampir lebih
dari 60% siswa belum mampu menyelesaikan tugas berpikir reflektif matematis,
misalnya tugas menginterpretasi, mengaitkan, dan mengevaluasi.
SMAN 1 Tellu Siattinge merupakan salah satu dari dua sekolah di
Kabupaten Bone yang telah menerapkan kurikulum 2013 selama empat tahun.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam kurikulum 2013 menekankan proses
pembelajaran tidak hanya berfokus pada pemantapan aktivitas prosedural siswa
tetapi juga telah memberikan perhatian khusus pada pengembangan pengetahuan
5
dan keterampilan siswa dalam pemecahan masalah matematika. Berdasarkan hasil
wawancara dengan guru matematika kelas XI MIA SMAN 1 Tellu Siattinge
diperoleh informasi bahwa meski telah menerapkan kurikulum 2013 selama
empat tahun, namun pembelajaran matematika yang dilakukan masih dikatakan
kurang dalam menggali pengetahuan dan keterampilan pemecahan masalah
matematika siswa. Selama ini guru masih sering sekadar melatih aktivitas
prosedural siswa akibat beberapa kendala yang dihadapi. Selain itu, berpikir
reflektif masih belum menjadi salah satu tujuan pembelajarn matematika. Guru
hanya menilai kemampuan siswa dari jawaban tes yang diberikan tanpa menggali
lebih jauh proses yang dilakukan siswa hingga sampai pada jawaban tersebut. Hal
ini sejalan dengan temuan para ahli (peneliti terdahulu) mengenai berpiki reflektif
yang diungkapkan pada paragraf sebelumya.
Selain memperhatikan kemampuan berpikir reflektif, guru juga perlu
memperhatikan gaya kognitif siswa saat memecahkan masalah, sebab menurut
Panjaitan (Nasriadi 2016) pemecahan masalah dapat dipahami sebagai suatu
proses kognitif yang memerlukan usaha dan konsentrasi pikiran, karena dalam
memecahkan masalah siswa mengumpulkan, mengidentifikasi dan menganalisis
informasi yang relevan dan akhirnya mengambil keputusan. Oleh sebab itu,
menurut Nasriadi (2016) gaya kognitif berhubungan dengan cara penerimaan dan
pemrosesan informasi siswa, sehingga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
siswa memecahkan masalah.
Kogan (Warli, 2009) mendefinisikan gaya kognitif sebagai variasi siswa
dalam merasa, mengingat, dan berpikir, atau sebagai cara membedakan,
6
memahami, menyimpan, menginterpretasikan, dan memanfaatkan informasi.
Sejalan dengan hal tersebut, Suryanti (2014) berpendapat bahwa gaya kognitif
adalah gaya siswa dalam berfikir yang melibatkan kemampuan kognitif dalam
kaitannya menerima, menyimpan, mengolah dan menyajikan informasi, dimana
gaya tersebut akan terus melekat dengan tingkat konsistensi yang tinggi serta akan
mempengaruhi perilaku dan aktivitas siswa baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Para psikolog mengembangkan berbagai jenis gaya kognitif diantaranya
berdasarkan konseptual tempo (kecepatan dalam berpikir) yakni gaya kognitif
reflektif-impulsif. Kagan dan Kogan (Warli, 2009) mendefinisikan reflektif-
impulsif adalah derajat/tingkat subjek dalam menggambarkan ketepatan dugaan
penyelesaian masalah yang mengandung ketidakpastian jawaban. Mengacu pada
definisi impulsif-reflektif tersebut, terdapat dua aspek penting yang harus
diperhatikan dalam mengukur impulsif-reflektif, yaitu: Aspek pertama, dalam
mengukur impulsif reflektif dilihat dari variabel waktu yang digunakan siswa
dalam menyelesaikan masalah. Aspek kedua, frekuensi siswa dalam memberikan
jawaban sampai mendapatkan jawaban betul.
Sesungguhnya bila aspek waktu (variabel waktu) dibedakan menjadi dua,
yaitu cepat dan lambat, kemudian aspek frekuensi menjawab dibedakan menjadi
cermat/akurat (frekuensi menjawab sedikit) dan tidak cermat/tidak akurat
(frekuensi menjawab banyak), maka siswa dapat dikelompokkan menjadi 4
(empat) kelompok yakni Reflektif, Impulsif, Fast Accurate dan Slow Inaccurate.
Nama gaya kognitif ini adalah reflektif-impulsif, menurut Warli (2009) mungkin
7
proporsi anak yang menempati kategori reflektif dan impulsif itu terbesar. Lebih
lanjut, Warli mengutip beberapa hasil penelitian terdahulu dalam tulisannya,
seperti: penelitian Reuchlin di tahun 2005 menemukan proporsi anak impulsif-
reflektif sebesar 70%, demikian juga penelitian Rozencwajg & Corroyer di tahun
2005 menemukan proporsi anak impulsif-reflektif sebesar 76,2%.
Kagan (Widadah, dkk., 2013) berpendapat bahwa siswa yang memiliki
karakteristik menggunakan waktu yang relatif lama dalam menyelesaikan
masalah, tetapi cermat atau teliti sehingga jawaban yang diberikan cenderung
benar dan unik (tidak umum), disebut siswa yang bergaya kognitif reflektif. Siswa
yang memiliki karakteristik menggunakan waktu yang relatif singkat dalam
menyelesaikan masalah, tetapi kurang cermat sehingga jawaban cenderung salah,
disebut siswa yang bergaya kognitif impulsif. Siswa yang fast accurate adalah
siswa yang memiliki karakteristik menggunakan waktu singkat dalam menjawab
masalah, tetapi cermat/teliti sehingga jawaban yang diberikan cenderung benar,
sedangkan siswa slow inaccurate adalah siswa yang memiliki karakteristik
menggunakan waktu yang lama dalam menjawab masalah, tetapi tidak/kurang
cermat sehingga jawaban cenderung salah.
Untuk melatih kemampuan pemahaman pemecahan masalah siswa maka
selain memperhatikan kemampuan berpikir dan gaya kognitifnya, bentuk soal
yang digunakan dalam proses pemecahan masalah ikut serta sebagai aspek yang
memiliki peranan penting. Menurut Marchis (2012) siswa belajar matematika
dengan menyelesaikan soal atau masalah agar memperoleh pengetahuan dan
pemahaman yang lebih mendalam serta mengembangkan keterampilan
8
matematikanya. Bentuk soal dan masalah dalam matematika memiliki perbedaan
satu sama lain. Menurut Milgram (Marchis, 2012) masalah matematika dibedakan
dari suatu soal matematika karena tidak memiliki prosedur yang pasti/umum
diketahui dalam menyelesaikannya.
Menurut Wahyudi dan Budiono (2012) pada umumnya masalah matematika
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu masalah rutin dan masalah nonrutin.
Masalah rutin adalah soal latihan biasa yang dapat diselesaikan dengan prosedur
yang dipelajari di kelas atau prosedurnya umum diketahui. Masalah jenis ini
banyak terdapat dalam buku ajar dan dimaksudkan hanya untuk melatih siswa
menggunakan prosedur yang sedang dipelajari di kelas. Sedangkan masalah
nonrutin adalah soal yang dalam proses menyelesaikannya diperlukan pemikiran
lebih lanjut karena prosedurnya tidak sama dengan prosedur yang dipelajari di
kelas. Dengan kata lain, masalah nonrutin ini menyajikan situasi baru yang belum
pernah dijumpai oleh siswa sebelumnya. Situasi baru tersebut memuat tujuan
yang jelas yang akan dicapai, tetapi cara mencapainya tidak segera muncul dalam
benak siswa.
Memberikan masalah nonrutin kepada siswa berarti melatih mereka
menerapkan berbagai konsep matematika dalam situasi baru sehingga pada
akhirnya mereka mampu menggunakan berbagai konsep ilmu yang telah mereka
pelajari untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Jadi masalah
nonrutin inilah yang dapat digunakan sebagai soal pemecahan masalah.
Pemecahan masalah dalam pengajaran matematika dapat diartikan sebagai
penggunaan berbagai konsep, prinsip, dan keterampilan matematika yang telah
9
atau sedang dipelajari untuk menyelesaikan masalah nonrutin (Wahyudi dan
Budiono 2012).
Namun, menurut Suandito, dkk. (2009), pada kenyataannya yang selama ini
diajarkan di sekolah adalah kebanyakan masalah matematika yang rutin. Masalah
rutin tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan prosedur yang dapat
dikatakan standar. Akibatnya timbul persepsi yang agak keliru terhadap
matematika. Matematika dianggap sebagai pengetahuan yang pasti, terurut dan
prosedural. Sebab, siswa cenderung jarang diperkenalkan untuk menganalisis
serta menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, tidak
sedikit guru yang masih bergantung pada buku ajar termasuk dalam pemilihan
materi tes untuk evaluasi siswa.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan topik “Analisis Proses Berpikir Reflektif Siswa dalam
Memecahkan Masalah Matematika Nonrutin pada Materi Aturan Pencacahan di
Kelas XI MIA SMAN 1 Tellu Siattinge Kabupaten Bone Ditinjau dari Gaya
Kognitif”.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah yang diuraikan pada bagian
pendahuluan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses berpikir reflektif siswa kelas XI MIA SMAN 1 Tellu
Siattinge bergaya kognitif reflektif dalam memecahkan masalah matematika
nonrutin?
10
2. Bagaimana proses berpikir reflektif siswa kelas XI MIA SMAN 1 Tellu
Siattinge bergaya kognitif impulsif dalam memecahkan masalah matematika
nonrutin?
3. Bagaimana proses berpikir reflektif siswa kelas XI MIA SMAN 1 Tellu
Siattinge bergaya kognitif fast accurate dalam memecahkan masalah
matematika nonrutin?
4. Bagaimana proses berpikir reflektif siswa kelas XI MIA SMAN 1 Tellu
Siattinge bergaya kognitif slow inaccurate dalam memecahkan masalah
matematika nonrutin?
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya tujuan penelitian ini adalah mencari jawaban atas masalah
penelitian yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan:
1. Proses berpikir reflektif siswa kelas XI MIA SMAN 1 Tellu Siattinge bergaya
kognitif reflektif dalam memecahkan masalah matematika nonrutin.
2. Proses berpikir reflektif siswa kelas XI MIA SMAN 1 Tellu Siattinge bergaya
kognitif impulsif dalam memecahkan masalah matematika nonrutin.
3. Proses berpikir reflektif siswa kelas XI MIA SMAN 1 Tellu Siattinge bergaya
kognitif fast accurate dalam memecahkan masalah matematika nonrutin.
4. Proses berpikir reflektif siswa kelas XI MIA SMAN 1 Tellu Siattinge bergaya
kognitif slow inaccurate dalam memecahkan masalah matematika nonrutin.
11
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan dapat menjadi sumbangan positif terhadap pembelajaran
matematika dalam proses berpikir reflektif dan pemecahan masalah.
b. Diharapkan dapat menambah literatur kepustakaan bidang penelitian
pendidikan matematika.
c. Diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti lain dalam
melaksanakan penelitian selanjutnya, khususnya terkait proses berpikir
reflektif dalam pemecahan masalah nonrutin siswa.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan dapat menjadi tambahan wawasan dan pengetahuan bagi siswa
sehingga mampu meningkatkan kemampuan matematika serta
keterampilan pemecahan masalahnya.
b. Diharapkan dapat menjadi tambahan informasi bagi guru dalam
merancang pembelajaran untuk melatih keterampilan pemecahan masalah
siswa serta masukan positif bagi kepala sekolah serta pihak terkait untuk
memfasilitasi pembelajaran.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Berpikir Reflektif
Menurut John Dewey (1910), definisi mengenai berpikir reflektif yang
selama ini digunakan adalah: “active, persisten, and careful consideration of any
belief or supposed from of knowledge in the light of the grounds that support it
and the conclusion to which it tends”. Berpikir reflektif merupakan pemikiran
secara aktif, terus menerus, gigih, dan mempertimbangkan dengan saksama
tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya atau format yang diharapkan
tentang pengetahuan apabila dipandang dari sudut pandang yang mendukungnya
dan menuju pada suatu kesimpulan.
Menurut Noer (2008), berpikir reflektif dalam belajar adalah kemampuan
siswa dalam memberi pertimbangan tentang proses belajarnya. Apa yang
diketahui, apa yang diperlukan untuk mengetahui, dan bagaimana menjembatani
kesenjangan selama proses belajar. Berpikir reflektif dalam prosesnya melibatkan
pemecahan masalah, perumusan kesimpulan, memperhitungkan hal-hal yang
berkaitan, dan membuat keputusan. Langkah-langkah yang dilakukan dapat dibagi
dalam 3 fase yaitu:1) Reactin, 2) Elaborating, 3) Contemplating.
Berpikir reflektif memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan
tentang proses berpikir mereka. Menurut Kurniawati, dkk. (Masamah, dkk., 2015)
bahwa kemampuan berpikir reflektif sangat diperlukan bagi siswa dalam proses
pemecahan masalah, sebab siswa harus memprediksi jawaban benar dengan
segera sehingga dapat mengeksplorasi masalah dengan mengidentifikasi konsep
13
matematika yang terlibat dalam masalah yang diberikan dan menggunakan
berbagai strategi. Ketika strategi telah dipilih oleh siswa, mereka perlu
membangun ide, menarik kesimpulan, menentukan validitas argumen, memeriksa
kembali solusi, dan mengembangkan strategi alternatif.
Selanjutnya, Zehavi dan Mann (Nindiasari, dkk., 2014) merinci kemampuan
berpikir reflektif meliputi kegiatan: menganalisis penyelesaian masalah,
menyeleksi teknik, memonitor proses solusi, insight, dan pembentukan konsep.
Sejalan dengan itu Nindiasari (2011) berpendapat bahwa proses berpikir reflektif
diantaranya adalah kemampuan untuk meninjau kembali, memantau dan
memonitor proses solusi di dalam pemecahan masalah.
Tisngati (2015) berpendapat bahwa dalam berpikir reflektif siswa dapat
merasakan dan mengidentifikasi masalah, membatasi dan merumuskan masalah,
mengajukan beberapa kemungkinan alternatif solusi pemecahan masalah,
mengembangkan ide untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan
data yang dibutuhkan, melakukan tes untuk menguji solusi pemecahan masalah
dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan membuat kesimpulan.
Berpikir reflektif membantu siswa untuk mengetahui kesesuaian
pelaksanaan maupun solusi pemecahan masalah yang diperoleh dengan informasi
awal yang diketahui pada soal. Lochhead (Lutfiananda, 2016) menyatakan bahwa
inti dari berpikir logis adalah berpikir reflektif sehingga berpikir reflektif dapat
digunakan untuk memeriksa kembali apa yang telah dilakukan dalam proses
pemecahan masalah. Berpikir reflektif bertujuan untuk mengetahui alasan atau
bukti yang mendukung setiap keputusan yang diambil dalam proses pemecahan
14
masalah. Oleh sebab itu, siswa yang mampu berpikir reflektif dapat melaksanakan
tugas atau belajar matematika secara mandiri untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Hal ini dikarenakan aktivitas belajar yang dilakukan dapat
direncanakan dengan baik dengan melihat proses belajar yang telah dilakukan,
informasi atau pengetahuan apa yang diketahui, apa yang masih perlu diketahui
dan bagaimana cara menghubungkan kedua hal tersebut agar sampai pada
penarikan kesimpulan solusi terhadap masalah yang diberikan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa berpikir
reflektif merupakan kegiatan berpikir matematis secara aktif, terus menerus dan
penuh pertimbangan untuk memahami masalah disertai dengan alasan yang jelas
dan rasional yang bertujuan untuk menarik suatu kesimpulan atau memecahkan
masalah dengan menghubunkan informasi yang ada dengan pengetahuan
terdahulu yang dimiliki, merepresentasikan masalah dengan simbol-simbol,
mengkomunikasikan secara matematis, menalar dan memecahkan masalah.
Hubungan Berpikir Reflektif dengan Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif
Kemampuan berpikir reflektif dalam matematika memuat kemampuan
berpikir kritis dan berpikir kreatif sama seperti kemampuan berpikir lainnya.
Kedua kemampuan berfikir ini dipandang sangat essensial dalam
mengembangkan kemampuan-kemampuan lain dalam belajar matematika dan
dapat dikembangkan ketika siswa sedang berada dalam proses yang intens tentang
pemecahan masalah. Dengan kata lain, pembelajaran matematika di kelas sedapat
mungkin menyentuh aspek pemecahan masalah dan dilakukan secara sengaja dan
terencana. Misalnya menurut Masson dalam (Saragih, 2008) dalam pemecahan
15
masalah, langkah looking back dari Polya adalah suatu tahap berpikir reflektif,
yaitu secara sengaja belajar dari pengalaman, tetapi sering tidak dilakukan secara
efektif dan tersulit diperkenalkan pada orang.
a. Berpikir Kritis
The National Council Exelence in Critical Thinking (Tunakotta, 2011)
mendefinisikan berpikir kritis sebagai proses intelektual berdisiplin yang secara
aktif dan cerdas mengonseptualisasikan, menerapkan, menganalisis, mensinte-
sakan, atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan atau dihasilkan melalui
observasi, pengalaman, refleksi (perenungan kembali), nalar, atau komunikasi
sebagai panduan mengenai yang dipercaya dan tindakan yang diambil.
Menurut Saragih (2008) berfikir kritis ditandai dengan mampu memberikan
alasan ketika mengemukakan pendapat dan mengapa hal ini demikian (terjadi)
tatkala menerima atau mendapatkan suatu informasi. Dengan demikian, tujuan
berfikir kritis adalah mengevaluasi tindakan yang terbaik dan diyakini.
Jacob dan Sam (2008) mendefinisikan empat tahapan proses berpikir kritis
dalam pemecahan masalah, yaitu:
1) Clarification: tahap dimana siswa merumuskan masalah dengan tepat dan jelas.
2) Assesment: tahap dimana siswa menemukan pertanyaan yang penting dalam
masalah.
3) Inference: tahap dimana siswa membuat kesimpulan berdasarkan informasi
yang telah diperoleh.
4) Strategies: tahap dimana siswa berpikir secara terbuka dalam menyelesaikan
masalah.
16
b. Berpikir Kreatif
Menurut Saragih (2008) berpikir kreatif sesungguhnya adalah suatu
kemampuan berpikir yang berawal dari adanya kepekaan terhadap situasi yang
sedang dihadapi, bahwa di dalam situasi itu terlihat atau teridentifikasi adanya
masalah yang ingin atau harus diselesaikan. Selanjutnya ada unsur originalitas
gagasan yang muncul dalam benak seseorang terkait dengan apa yang
teridentifikasi. Hasil yang dimunculkan dari berpikir kreatif itu sesungguhnya
merupakan suatu yang baru bagi yang bersangkutan serta merupakan sesuatu yang
berbeda dari yang biasanya dia lakukan. Untuk mencapai hal ini orang harus
melakukan sesuatu terhadap permasalahan yang dihadapi, dan tidak tinggal diam
saja menunggu.
Indikator kemampuan berpikir kreatif menurut Saragih (2008) sebagai
berikut:
1) Fluency (Kelancaran) dalam memunculkan gagasan atau pertanyaan yang
beragam serta menjawabnya, ataupun merencanakan dan menggunakan
berbagai strategi penyelesaian pada saat menghadapi masalah yang rumit serta
kebuntuan. Dalam situasi seperti ini dimana tersedia berbagai kemungkinan
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, kelenturan dalam memilih dan
menggunakan strategi yang lain, sering harus muncul. Artinya, ketika
tertumbuk pada kebuntuan, seseorang tidak segan dan memutuskan untuk
mengganti strateginya dengan strategi yang lain.
2) Flexibility (kelenturan) dapat dipandang juga sebagai suatu variasi yang
sesungguhnya menunjukkan kekayaan ide atau alternatif dan usaha dari yang
17
bersangkutan dalam membangun gagasan menuju pada solusi yang
diharapkannya. Kadang-kadang ia ingin memperoleh solusi cara yang singkat
atau praktis informal, tetapi juga ia dapat menginginkan cara yang formal.
3) Originality (Keaslian) dipandang sebagai munculnya gagasan dari yang
bersangkutan tanpa memperoleh bantuan dari orang lain. Keaslian ini muncul
dalam berbagai bentuk, dari yang sederhana atau yang informal untuk
kemudian dapat dikembangkan menjadi lebih lengkap. Originalitas dalam hal
ini adalah relatif. Karena bagi yang bersangkutan hal tersebut adalah sesuatu
yang original (baru bagi dirinya), namun untuk orang lain tidaklah sesuatu
yang baru.
4) Elaboration (Keterampilan Memperinci): ciri-ciri keterampilan memperinci
adalah mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk,
menambahkan atau memperinci secara detil subjek, gagasan atau situasi
sehingga menjadi lebih menarik.
B. Gaya Kognitif
Secara psikologis terdapat perbedaan cara seseorang memproses dan
memberlakukan kegiatannya, perbedaan ini dapat mempengaruhi aktivitas belajar
siswa di sekolah. Perbedaan ini dikenal dengan nama gaya kognitif (Rahman,
2008). Gaya kognitif merujuk pada cara siswa memperoleh informasi dan
menggunakan strategi untuk merespon suatu tugas. Disebut sebagai gaya dan
tidak sebagai kemampuan karena merujuk pada bagaimana siswa memproses
informasi dan memecahkan masalah serta bukan merujuk pada bagaimana cara
terbaik dalam memproses informasi dan memecahkan masalah (Nurdin, 2005).
18
Kogan (Warli, 2009) mendefinisikan gaya kognitif sebagai variasi individu
dalam gaya merasa, mengingat, dan berpikir, atau sebagai cara membedakan,
memahami, menyimpan, menjelmakan, dan memanfaatkan informasi. Sedangkan
Coop (Nurdin, 2005) mengemukakan bahwa istilah gaya kognitif merujuk pada
kekonsistenan pola yang ditampilkan seseorang dalam merespon berbagai situasi
dan penedekatan intelektual dan/atau strategi dalam menyelesaikan masalah.
Nasution (2000) mengemukakan bahwa gaya kognitif adalah cara yang
konsisten yang dilakukan oleh seorang siswa dalam menangkap stimulus atau
informasi, cara mengingat, berpikir dan memecahkan masalah. Sedangkan Winkel
(1996) mengemukakan pengertian gaya kognitif sebagai cara unik yang
digunakan seseorang dalam mengamati dan beraktivitas mental dibidang kognitif,
yang bersifat individual dan sering tidak disadari dan memiliki kecenderungan
untuk bertahan terus.
Suryanti (2014) berpendapat bahwa gaya kognitif adalah gaya siswa dalam
berfikir yang melibatkan kemampuan kognitif dalam kaitannya menerima,
menyimpan, mengolah dan menyajikan informasi, dimana gaya tersebut akan
terus melekat dengan tingkat konsistensi yang tinggi serta akan mempengaruhi
perilaku dan aktivitas siswa baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan beberapa uraian definisi gaya kognitif tersebut, disimpulkan
bahwa gaya kognitif adalah karakteristik siswa dalam hal merasa, mengingat,
mengorganisasikan, memproses, dan pemecahan masalah.
Para psikolog mengembangkan berbagai jenis gaya kognitif diantaranya
berdasarkan konseptual tempo (kecepatan dalam berpikir) yakni gaya kognitif
19
reflektif-impulsif. Kagan dan Kogan (Warli, 2009) mendefinisikan reflektif-
impulsif adalah derajat/tingkat subjek dalam menggambarkan ketepatan dugaan
penyelesaian masalah yang mengandung ketidakpastian jawaban. Mengacu pada
definisi impulsif-reflektif tersebut, terdapat dua aspek penting yang harus
diperhatikan dalam mengukur impulsif-reflektif, yaitu: Aspek pertama, dalam
mengukur impulsif reflektif dilihat dari variabel waktu yang digunakan siswa
dalam menyelesaikan masalah. Aspek kedua, frekuensi siswa dalam memberikan
jawaban sampai mendapatkan jawaban betul.
Sesungguhnya bila aspek waktu (variabel waktu) dibedakan menjadi dua,
yaitu cepat dan lambat, kemudian aspek frekuensi menjawab dibedakan menjadi
cermat/akurat (frekuensi menjawab sedikit) dan tidak cermat/tidak akurat
(frekuensi menjawab banyak), maka siswa dapat dikelompokkan menjadi 4
(empat) kelompok yakni Reflektif, Impulsif, Fast Accurate dan Slow Inaccurate.
Nama gaya kognitif ini adalah reflektif-impulsif, menurut Warli (2009) mungkin
proporsi anak yang menempati kategori reflektif dan impulsif itu terbesar. Lebih
lanjut, Warli mengutip beberapa hasil penelitian terdahulu dalam tulisannya,
seperti: penelitian Reuchlin di tahun 2005 menemukan proporsi anak impulsif-
reflektif sebesar 70%, demikian juga penelitian Rozencwajg & Corroyer di tahun
2005 menemukan proporsi anak impulsif-reflektif sebesar 76,2%.
Kagan (Widadah, dkk., 2013) berpendapat bahwa siswa yang memiliki
karakteristik menggunakan waktu yang relatif lama dalam menyelesaikan
masalah, tetapi cermat atau teliti sehingga jawaban yang diberikan cenderung
benar dan unik (tidak umum), disebut siswa yang bergaya kognitif reflektif. Siswa
20
yang memiliki karakteristik menggunakan waktu yang relatif singkat dalam
menyelesaikan masalah, tetapi kurang cermat sehingga jawaban cenderung salah,
disebut siswa yang bergaya kognitif impulsif. Siswa yang fast accurate adalah
siswa yang memiliki karakteristik menggunakan waktu singkat dalam menjawab
masalah, tetapi cermat/teliti sehingga jawaban yang diberikan cenderung benar,
sedangkan siswa slow inaccurate adalah siswa yang memiliki karakteristik
menggunakan waktu yang lama dalam menjawab masalah, tetapi tidak/kurang
cermat sehingga jawaban cenderung salah.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa siswa yang bergaya kognitif
reflektif cenderung lebih berhati-hati dalam menyelesaikan masalah apabila
memiliki waktu yang diperkirakan cukup untuk menyelesaikannya guna
mempertimbangkan setiap keputusan yang akan diambil berdasarkan pada alasan
yang jelas dan rasional, sedemikian sehingga solusi yang diberikan cenderung
benar. Siswa yang bergaya kognitif impulsif cenderung cepat dalam mengambil
keputusan untuk menyelesaikan masalah tanpa disertai pertimbangan yang jelas
dan rasional akibatnya cenderung melakukan kesalahan dalam memutuskan solusi
suatu permasalahan. Siswa yang bergaya kognitif fast accurate cenderung cepat
dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah, keputusan diambil
berdasarkan pertimbangan yang jelas dan rasional sedemikian sehingga solusi
yang diputuskanpun cenderung benar. Sedangkan siswa yang bergaya kognitif
slow inaccurate cenderung lambat dalam mengambil keputusan terhadap solusi
suatu permasalahan serta keputusan yang diambil tidak melalui pertimbangan
yang matang akibatnya solusi yang diputuskan cenderung salah.
21
C. Matematika Nonrutin
Hartatiana dan Darmawijoyo (2011) berpendapat bahwa ada dua jenis
masalah dalam matematika yaitu masalah rutin dan masalah nonrutin. Masalah
atau soal rutin biasanya mencakup aplikasi suatu prosedur matematika yang sama
atau mirip dengan hal yang baru dipelajari. Sedangkan dalam masalah nonrutin
untuk sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran yang lebih
mendalam. Sementara masalah nonrutin sering membutuhkan pemikiran yang
lebih jauh, karena prosedur matematika untuk menyelesaikannya tidak sejelas
dalam masalah rutin. Soal-soal nonrutin merupakan soal yang sulit dan rumit,
serta tidak ada metode standar untuk menyelesaikannya. Akibatnya guru tidak
dapat mengajari siswa prosedur-prosedur khusus untuk menyelesaikan soal-soal
tesebut, guru hanya mengarahkan dan membantu siswa dalam mengembangkan
kemampuan problem solving yang nantinya mungkin dapat membantu mereka
dalam menciptakan strategi mereka sendiri.
Holmes (Wardhani, 2010) mengungkapkan perbedaan masalah rutin dan
masalah nonrutin dalam matematika. Masalah rutin dapat dipecahkan dengan
metode yang sudah ada. Masalah rutin sering disebut sebagai masalah
penerjemahan karena deskripsi situasi dapat diterjemahkan dari kata-kata menjadi
simbol-simbol. Masalah rutin dapat membutuhkan satu, dua atau lebih langkah
pemecahan. Lebih lanjut, Holmes (Wardhani, 2010) menguraikan pendapat
Charles bahwa masalah rutin memiliki aspek penting dalam kurikulum, karena
hidup ini penuh dengan masalah rutin. Oleh karena itu tujuan pembelajaran
22
matematika yang diprioritaskan terlebih dahulu adalah siswa dapat memecahkan
masalah rutin.
Untuk masalah nonrutin Holmes (Wardhani, 2010) menguraikan pendpat
dari Kouba et.al yang menyatakan bahwa masalah nonrutin kadang mengarah
kepada masalah proses. Masalah nonrutin membutuhkan lebih dari sekadar
penerjemahan masalah menjadi kalimat matematika dan penggunaan prosedur
yang sudah diketahui. Masalah nonrutin mengharuskan siswa untuk membuat
sendiri metode pemecahannya. Harus merencanakan dengan seksama bagaimana
memecahkan masalah tersebut. Strategi-strategi seperti menggambar, menebak
dan melakukan cek, membuat tabel atau urutan kadang perlu dilakukan. Holmes
(Wardhani, 2010) menyatakan bahwa, masalah nonrutin dapat berbentuk
petanyaan open ended sehingga memiliki lebih dari satu solusi atau pemecahan.
Masalah tersebut kadang melibatkan situasi kehidupan atau membuat koneksi
dengan subyek lain.
Menueurt Budhayanti, dkk., (2008) masalah tidak rutin adalah masalah yang
disusun dengan maksud untuk memperluas wawasan sebagai aplikasi suatu
konsep dalam memecahkan masalah nyata yang dihadapi, baik masalah yang
berhubungan secara langsung dengan konsep tertentu maupun dengan disiplin
ilmu yang lain. Selanjutnya Budhayanti, dkk., (2008) menguraikan pendapat
Polya yang menyatakan bahwa memecahkan masalah rutin tidak memberikan
kontribusi pada perkembangan mental siswa dan untuk memberikan kesempatan
bagi siswa mengembangkan pemikiran tingkat tinggi dalam proses pemahaman,
analisis eksploratif, dan penerapan konsep-konsep matematika, masalah nonrutin
23
harus digunakan. Namun, siswa umumnya takut mengeluarkan ide untuk
memecahkan masalah nonrutin karena masalah ini biasanya tidak standar (tidak
biasa/tidak baku), yang melibatkan solusi yang tidak biasa dan tak terduga.
Menurut Yeo (Musdhalifah, 2013) masalah matematika nonrutin adalah
masalah kompleks yang untuk menyelesaikannya diperlukan pemikiran lebih
lanjut dan mengaitkan beberapa konsep matematika yang telah dipelajari karena
menyajikan situasi baru yang belum pernah dijumpai siswa sebelumnya. Masalah
nonrutin merupakan masalah yang kompleks tetapi dapat dijangkau dan tidak
menuntut tingkatan matematika tertentu yang tinggi, mengharuskan siswa untuk
menggunakan strategi heuristik untuk mencapai masalah, memahami, serta
menemukan penyelesaiannya.
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa masalah
matematika nonrutin merupakan masalah matematika yang tidak dapat diketahui
secara langsung prosedur yang digunakan dalam menyelesaikannya. Oleh sebab
itu, masalah nonrutin memungkinkan diselesaikan dengan prosedur-prosedur yang
tidak biasa dan tanpa harus terikat pada aturan-aturan tertentu.
D. Pemecahan Masalah Matematika
Menurut Turmudi (2009) pemecahan masalah artinya proses yang
melibatkan suatu tugas yang metode pemecahannya belum diketahui lebih dahulu.
Sementara menurut Woolfolk (Suwasti, 2016) pemecahan masalah didefinisikan
sebagai memformulasikan jawaban baru, yang lebih dari sekadar penerapan
sederhana dari aturan-aturan yang sudah dipelajari sebelumnya untuk mencapai
suatu tujuan. Sementara pemecahan masalah dalam matematika, Nasriadi (2016)
24
mendefinisikannnya sebagai suatu proses atau sekumpulan aktifitas siswa yang
dilakukan untuk menemukan solusi dari suatu permasalahan. Lebih lanjut Suharna
(2013) mengungkapkan bahwa pemecahan masalah matematika merupakan proses
yang meliputi prosedur: memahami masalah, memikirkan rencana/ merencanakan,
melaksanakan rencana, dan evaluasi terhadap hasil pemecahan.
Menurut Turmudi (2009) dalam pemecahan masalah matematika untuk
mengetahui penyelesaiannya siswa hendaknya memetakan pengetahuannya dan
melalui proses tersebut siswa cenderung mengembangkan pengetahuan baru
tentang matematika. Melalui pemecahan masalah dalam matematika siswa
diharapkan memperoleh cara-cara berfikir, kebiasaan untuk tekun dan
menumbuhkan rasa ingin tahu, serta percaya diri dalam situasi tak dikenal yang
akan mereka gunakan di luar kelas.
Zhu (2007) berpendapat bahwa pemecahan masalah tidak sekadar
membutuhkan pengetahuan (kemampuan kognitif) untuk merepresentasikan
situasi permasalahan, menyusun prosedur penyelesaian masalah, memproses
berbagai jenis informasi yang berbeda, dan menjalankan kemampuan komputasi.
Namun, diperlukan kemampuan mengidentifikasi masalah serta pengelolaan
berbagai strategi yang mungkin digunakan. Oleh karena itu, pemecahan masalah
dapat melatih kemampuan analisis, eksplorasi dan aplikasi dari konsep
matematika serta melatih kemampuan berpikir siswa.
Pemecahan masalah merupakan komponen yang sangat penting dalam
matematika (Susanto dalam Ansori dan Aulia, 2015). Secara umum, dapat
dijelaskan bahwa pemecahan masalah merupakan proses menerapkan
25
pengetahuan yang telah diperoleh siswa sebelumnya ke dalam situasi yang baru.
Pemecahan masalah juga merupakan aktivitas yang sangat penting dalam
pembelajaran matematika karena tujuan yang ingin dicapai dalam pemecahan
masalah berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, Wardhani dkk.,
(2010) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah pengelolaan masalah
dengan suatu cara sehingga berhasil menemukan tujuan yang dikehendaki.
Polya mengajukan empat langkah fase penyelesaian masalah yaitu
memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah dan
melakukan pengecekan kembali semua langkah yang telah dikerjakan.
Selanjutnya Susanto (Ansori dan Aulia, 2015) menguraikan pendapat dari Polya
yang menyatakan bahwa ada empat langkah dalam pedekatan pemecahan
masalah, yaitu:
a. Memahami masalah
Tahap kegiatan pemecahan masalah diarahkan untuk membantu siswa
menetapkan apa yang diketahui pada permasalahan dan apa yang ditanyakan.
Beberapa pertanyaan perlu dimunculkan kepada siswa untuk membantunya dalam
memahami masalah ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain:
1) Apakah yang diketahui dari soal?
2) Apakah yang ditanyakan soal?
3) Apakah saja informasi yang diperlukan?
b. Merencanakan penyelesaian
Pendekatan pemecahan masalah tidak akan berhasil tanpa perencanaan yang
baik. Pada perencanaan pemecahan masalah, siswa diarahkan untuk dapat
26
mengidentifikasi strategi-strategi peme-cahan masalah yang sesuai untuk
menyelesaikan masalah. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul ke-pada siswa untuk
membantunya dalam merencanakan penyelesaian adalah:
1) Pernahkah anda menemukan soal seperti ini sebelumnya?
2) Rumus mana yang dapat digunakan dalam masalah ini?
3) Perhatikan apa yang ditanyakan?
4) Apakah strategi tersebut berkaitan dengan permasalahan yang akan
dipecahkan?
c. Melaksanakan rencana
Jika siswa telah memahami permasalahan dengan baik dan sudah
menentukan strategi pemecahannya maka langkah selanjutnya adalah
melaksanakan penyelesaian soal sesuai dengan yang telah direncanakan.
Kemampuan siswa memahami substansi materi dan keterampilan siswa
melakukan perhitungan matematika akan sangat membantu siswa untuk
melaksanakan tahap ini.
d. Memeriksa kembali
Langkah memeriksa ulang jawaban yang diperoleh merupakan langkah
terakhir dari pendekatan pemecahan masalah matematika. Langkah ini penting
dilakukan untuk mengecek apakah hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan
ketentuan dan tidak terjadi kontradiksi dengan yang ditanyakan. Langkah penting
yang dapat dijadikan pedoman untuk dalam melaksanakan langkah ini, yaitu:
1) Mencocokkan hasil yang diperoleh dengan hal yang ditanyakan.
2) Dapatkah diperiksa kebenaran solusinya.
27
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa pemecahan
masalah matematika merupakan upaya siswa untuk menyelesaikan permasalahan
yang dihadapinya dengan menggunakan konsep dan keterampilan matematika
dengan melibatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang dimiliki saat solusi
atau metode penyelesaiannya belum tampak jelas.
Karakteristik pemecahan masalah nonrutin pada penelitian ini diadaptasi
dari langkah polya yang telah dirumuskan oleh Lutfiananda (2016). Langkah
karakteristik pemecahan masalah lebih diperjelas agar diperoleh informasi yang
lebih detail dan mendalam, agar informasi yang diperoleh tidak sekadar pada
strategi atau solusi namun juga cara berpikir, kesulitan atau proses lain yang
memungkinkan terjadi. Kriteria pemecahan masalah matematika nonrutin yang
dimaksud ditunjukkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kriteria Pemecahan Masalah Matematika Nonrutin
Langkah Uraian Indikator
Memahami
masalah
Membaca masalah
nonrutin yang
diberikan dan
memahami
maksudnya
Dapat mengucapkan kembali
permasalahan yang diberikan dengan
kalimat sendiri.
Mengidentifikasi
informasi atau
syarat yang sudah
terpenuhi maupun
yang belum
terpenuhi dari soal.
a. Dapat menentukan informasi atau
syarat yang sudah terpenuhi dari
masalah yang diberikan.
b. Dapat menentukan informasi atau
syarat perlu yang masih belum
terpenuhi dari masalah yang
diberikan.
c. Dapat menentukan informasi yang
tidak diperlukan dari masalah yang
diberikan.
Mengidentifikasi
apa yang
ditanyakan dari
masalah yang
a. Dapat menentukan tujuan yang ingin
dicapai dari masalah yang diberikan.
b. Dapat menentukan keterkaitan antara
informasi yang telah diketahui
28
Langkah Uraian Indikator
diberikan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Merancang
strategi
Menyusun rencana
atau strategi
pemecahan
masalah.
Dapat mengaitkan infromasi yang
diperoleh pada tahap sebelumnya atau
dari pengalaman untuk menyusun strategi
pemecahan masalah sebagai pedoman
dalam emmecahkan masalah.
Melaksa-
nakan
strategi.
Melaksanakan
strategi pemecahan
masalah yang telah
disusun untuk
mendapatkan
solusi.
a. Dapat menerapkan strategi pemecahan
masalah yang telah disusun dengan
konsep matematika maupun
komputasi yang benar untuk
mendapatkan solusi.
b. Dapat menerapkan strategi pemecahan
masalah yang telah disusun untuk
menjawab semua pertanyaan pada
masalah dengan menggunakan semua
informasi atau syarat yang ada.
Memeriksa
kembali
Memeriksa
kembali setiap
langkah pemecahan
masalah yang telah
dilaksanakan.
a. Dapat menunjukkan kesesuaian
langkah pemecahan masalah dengan
informasi atau syarat yang ada dan
strategi yang telah disusun.
b. Dapat menunjukkan kesesuaian solusi
pemecahan masalah yang diperoleh
dengan informasi atau syarat yang
diketahui dan ditanyakan.
c. Dapat menemukan alternatif strategi
pemecahan masalah dengan
menggunakan informasi yang ada.
E. Langkah-Langkah Berpikir Reflektif dalam Pemecahan Masalah
Matematika Nonrutin
Langkah-langkah berpikir reflektif dalam pemecahan masalah matematika
yang digunakan pada penelitian ini diadaptasi dari delapan langkah berpikir
kreatif yang dirmuskan oleh Primrose (Kashinath, 2013) sebagai berikut:
1. Mendefinisikan masalah
Tahap ini dilakukan untuk memahami tujuan yang akan dicapai dari
pemecahan masalah tersebut. Jika terdapt istilah dalam soal yang menimbulkan
29
perbedaan penafsiran maka terlebih dahulu diperjelas agar diperoleh pernyataan
yang pasti dan dapat dipahami dengan baik.
2. Menganalisis masalah
Tahap menganalisiw masalah dilakukan untuk memperoleh informasi yang
diketahui dan ditanyakan dalam soal dan memperjelas interpretasi atau penafsiran
terhadap masalah sehingga mempermudah dalam menyusun strategi.
3. Menentukan kriteria
Tahap ini dilaksanakan dengan menggambarkan secara ringkas karakteristik
kemungkinan jawaban. Karakteristik tersebut disusun disertai alasan rasional
untuk mengklasifikasikan informasi yang perlu diperhatikan agar mengarah
kepada solusi yang diharapkan.
4. Menganalisis informasi
Tahap ini dilaksanakan dengan mengidentifikasi informasi yang telah
diketahui pada soal dan yang masih diperlukan untuk mendapatkan solusi.
5. Mengusulkan solusi pemecahan masalah
Tahap ini dilaksanakan dengan mengusulkan sebanyak mungkin
kemungkinan solusi yang berbeda. Kemungkinan solusi tersebut diperiksa
kesesuaiannya dengan informasi yang telah dianalisis untuk diperoleh alasan
rasional yang mendukung kemungkinan jawaban tersebut.
6. Menentukan solusi pemecahan masalah
Selanjutnya dengan banyak kemungkinan solusi yang diperoleh, akan
ditentukan solusi sebenarnya dari masalah tersebut. Pemilihan solusi tentunya
memperhatikan kesesuaian dengan informasi pada soal dan disertai alasan yang
30
rasional. Solusi pemecahan yang dimaksud juga dimungkinkan lebih dari satu
jawaban.
7. Menerapkan solusi pemecahan masalah
Setelah menentukan solusi pemecahan masalah, selanjutnya dipilih metode
menggunakan operasi matematika untuk memperoleh solusi. Pelaksanaan strategi
juga disertai analisis agar penerapannya tepat.
8. Menganalisis kembali
Pada tahap ini dilakukan evaluasi terhadap solusi yang diperoleh. Hal
tersebut dilaksanakan dengan memeriksa setiap langkah penyelesaian dari awal
hingga diperoleh solusi yang sesuai dengan ketentuan dari masalah yang
diberikan.
Berdasarkan definisi proses berpikir reflektif dan kriteria pemecahan
masalah nonrutin sebelumnya maka diperoleh karakteristik proses berpikir
reflektif dalam pemecahan masalah. Hal tersebut dilakukan agar informasi yang
diperoleh dapat diuraikan lebih lengkap dan sistematis. Karakteristik proses
berpikir reflektif pemecahan masalah matematika nonrutin dalam penelitian ini
ditunjukkan dalam Tabel 2.2 (Lutfiananda, 2016).
Tabel 2.2. Karakteristik Proses Berpikir Reflektif Pemecahan Masalah
Langkah Indikator Pemecahan Masalah Proses Berpikir Reflektif
Memahami
masalah
a. Dapat mengucapkan kembali
permasalahan yang diberikan
dengan kalimat sendiri.
b. Dapat menentukan informasi
atau syarat yang sudah
terpenuhi dari masalah yang
diberikan.
c. Dapat menentukan informasi
Mengidentifikasi Masalah
a. Menyatakan masalah dengan
kalimat sendiri atau melalui
representasi simbol-simbol
dengan cermat dan detail
(Elaboration-Berpikir Kreatif).
b. Mengidentifikasi fakta-fakta
yang diberikan dengan jelas dan
31
Langkah Indikator Pemecahan Masalah Proses Berpikir Reflektif
atau syarat perlu yang masih
belum terpenuhi dari masalah
yang diberikan.
d. Dapat menentukan informasi
yang tidak diperlukan dari
masalah yang diberikan.
e. Dapat menentukan tujuan
yang ingin dicapai dari
masalah yang diberikan.
f. Dapat menentukan keterkaitan
antara informasi yang telah
diketahui dengan tujuan yang
ingin dicapai.
logis (Clarification-Berpikir
Kritis).
Menganalisis Masalah
c. Menemukan pertanyaan yang
penting dalam soal berdasarkan
informasi yang dibutuhkan.
(Assesment-Berpikir Kritis).
d. Menentukan informasi yang
diperlukan dan yang masih
belum terpenuhi disertai alasan
yang logis dan jelas (Assesment-
Berpikir Kritis).
e. Menghubungkan informasi
yang diperoleh dengan
pengetahuan yang dimiliki
untuk memahami situasi
(Elaboration-Berpikir Kreatif).
Merancang
strategi
Dapat mengetahui informasi
yang diperoleh pada tahap
sebelumnya atau dari
pengalaman untuk menyusun
strategi pemecaahan masalah
sebagai pedoman dalam
memecahkan masalah
Menentukan Kriteria
a. Merepresentasikan masalah
dalam simbol-simbol
(Inference-Berpikir Kritis).
Menganalisis Informasi
b. Menyusun strategi pemecahan
masalah disertai dengan alasan
yang logis dan jelas (Inference-
Berpikir Kritis).
Mengusulkan Solusi Pemecahan
Masalah
c. Menghubungkan informasi
yang diketahui dengan konsep
atau pengalaman yang dimiliki
(Elaboration-Berpikir Kreatif).
d. Mampu mengusulkan berbagai
solusi untuk pemecahan
masalah dengan tepat (Fluency-
Berpikir Kreatif).
Melaksanakan
strategi.
a. Dapat menerapkan strategi
pemecahan masalah yang
telah disusun dengan konsep
matematika maupun
komputasi yang benar untuk
mendapatkan solusi.
b. Dapat menerapkan strategi
Menentukan Solusi Pemecahan
Masalah
a. Menerapkan strategi pemecahan
masalah disertai alasan yang
logis dan jelas (Inference-
Berpikir Kritis).
b. Mampu memberikan solusi
32
Langkah Indikator Pemecahan Masalah Proses Berpikir Reflektif
pemecahan masalah yang
telah disusun untuk menjawab
semua pertanyaan pada
masalah dengan menggunakan
semua informasi atau syarat
yang ada.
yang beragam dengan tepat
(Flexibility-Berpikir Kreatif).
c. Mampu memberikan solusi
yang berbeda atau solusi yang
jarang/tidak terpikirkan oleh
siswa yang lain (Originality-
Berpikir Kreatif).
Menerapkan Solusi Pemecahan
Msalah
d. Mengkomunikasikan
pelaksanaan strategi pemecahan
masalah dengan representasi
simbol-simbol (Inference-
Berpikir Kritis).
Memeriksa
kembali
a. Dapat menunjukkan
kesesuaian langkah
pemecahan masalah dengan
informasi atau syarat yang ada
dan strategi yang telah
disusun.
b. Dapat menunjukkan
kesesuaian solusi pemecahan
masalah yang diperoleh
dengan informasi atau syarat
yang diketahui dan
ditanyakan.
c. Dapat menemukan alternatif
strategi pemecahan masalah
dengan menggunakan
informasi yang ada.
Menganalisis Kembali
a. Menghubungkan apa yang telah
dilakukan dan apa yang masih
dapat dilakukan untuk
mengembangkan pemecahan
masalah yang telah dilakukan
(Elaboration-Berpikir Kreatif).
b. Membedakan antara kesimpulan
yang didasarkan pada logika
yang valid/tidak valid
(Strategies-Berpikir Kritis)
c. Menyampaikan alternatif
strategi atau solusi dari
pemecahan masalah dengan
disertai alasan yang logis dan
jelas (Strategies-Berpikir
Kritis).
d. Memeriksa kembali alternatif
solusi yang diberikan.
F. Aturan Pencacahan
Aturan pencacahan merupakan salah satu pokok bahasan matematika di
kelas XI SMA yakni pada bab VIII semester genap berdasarkan kurikulum 2013,
sebelumnya aturan pencacahan terintegrasikan dalam materi peluang. Kaidah
pencacahan membantu dalam memecahkan masalah untuk menghitung berapa
33
banyaknya cara yang mungkjin terjadi dalam suatu percobaan. Kaidah pencacahan
meliputi aturan pengisian tempat, permutasi dan kombinasi (Nurhadi, 2013).
1. Aturan Pengisian Tempat
Jika suatu kejadian dapat terjadi dalam m cara dan kejadian kedua dapat
terjadi dalam n cara, pasangan kejadian dapat terjadi dalam mn cara. Prinsip ini
dapat digeneralisasikan untuk memasukan banyak kejadian yang dapat terjadi
dalam n1, n2, n3, . . . nk cara. Banyaknya k kejadian dapat terjadi dalam n1, n2, n3, .
. . nk cara.
Contoh: Gunakan Asas Perkalian untuk menyelesaikan masalah ini.
Setiap Minggu sebuah surat kabar mempublikasikan daftar 15 buku fiksi
terbaik dan 10 buku non fiksi terbaik. Dalam berapa cara yang berbeda dalam
memilih satu buku fiksi dan non fiksi dari daftar?
Penyelesaian
Buku fiksi dapat dipilih dalam 5 cara dan buku non fiksi dalam 10 cara.
Buku fiksi dan non fiksi dapat dipilih dalam 15 x 10 cara, atau 150 cara.
2. Permutasi
a. Definisi: Permutasi
Permutasi dari sejumlah objek adalah susunan objek dalam urutan berhingga.
b. Definisi: Notasi Faktorial
Simbol n! dengan n bilangan asli, dibaca “n faktorial” digunakan untuk
menyatakan perkalian dari n bilangan asli pertama, yaitu ( )(
)
Demikian juga, 0! = 1
34
Contoh:
1) 5! = 1.2.3.4.5.= 120
2) 3! (7-5)! 3!.2! = 6.2 = 12
3) 241
24
1
4.3.2.1
!0
!4
4) Penugasan kepada 4 karyawan untuk mengemudikan 3 kendaraan dapat
dilakukan dengan 24 cara. Jika dikaitkan dengan informasi soal ini dan
notasi faktorial maka diperoleh 1
4.3.2.1
!1
!4
)!34(
!424
c. Definisi: Notasi nPr
Banyaknya permutasi dari n objek diambil r unsur pada suatu saat adalah nPr
=)!(
!
rn
n
dalam kasus r = n diperoleh nPn = n!
1) Permutasi dengan pengulangan
Permutasi dengan pengulangan adalah permutasi dari n objek
diambil r tetapi dari n objek tersebut ada beberapa yang terulang.
Banyaknya permutasi dari n objek dengan n1 objek sama, n2 objek
lain sama, … dan nr objek lain lagi sama adalah =!!...!.,
!
2 rnnn
n
2) Permutasi siklik
Banyaknya permutasi siklik dari n objek yang ditempatkan dalam
bentuk melingkar adalah (n-1)!
3) Sampel Terurut
Jika sebuah bola diambil dari wadahnya sebanyak r kali maka yang
dipilih adalah sampel terurut berukuran r.
35
a) Sampling dengan pengambilan
Banyaknya cara untuk pemilihan sebanyak r kali dari n objek
adalah n.n.n … n = nr
b) Sampling tanpa pengembalian
Pemilihan sampel sebanyak r tanpa pengembalian dari n objek
merupakan permutasi n objek diambil r, banyak cara yang diperoleh.
nPr = n(n-1) (n-2) … (n – r + 1) = )!(
!
rn
n
3. Kombinasi
Kombinasi adalah pengaturan sejumlah berhingga objek yang dipilih tanpa
memperhatikan urutannya. Banyaknya kombinasi dari n objek diambil r unsur
pada suatu saat adalah )!(!
!
!
Pr
rnr
n
r
n
dalam kasus atau ,
dan . Kombinasi ( ) atau
n
r
G. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Immas Metika Alfa Lutfiananda (2016) yang
berjudul “Ana-lisis Proses Berpikir Reflektif Siswa dalam Memecahkan
Masalah Non Rutin di Kelas VIII SMP Islamic International School Pesantren
Sabilil Muttaqien (IIS PSM) Magetan Ditinjau dari Kemampuan Awal” yang
menyelidiki bagaimana proses berpikir reflektif siswa SMP dalam
memecahkan masalah matematika nonrutin berdasarkan kemampuan awal
matematikanya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan perbedaan proses
berpikir reflektif siswa yang berkemampuan awal tinggi, sedang dan rendah
dalam memecahkan masalah matematika non-rutin yang diberikan.
36
Terdapat hubungan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu proses
berpikir reflektif siswa menentukan pengambilan strategi dalam memecahkan
masalah matematika nonrutin. Penelitian ini akan meneliti bagaimana berpikir
reflektif siswa SMA dalam memecahkan masalah matematika nonrutin pada
materi Peluang ditinjau dari gaya kognitif siswa. Perbedaan penelitian ini
dengan Immas Metika Alfa Lutfiananda (2016) yaitu subjek penelitiannya
dipilih berdasarkan kemampuan awal siswa, sedangkan pada penelitian yang
akan dilaksanakan subjek penelitian dipilih berdasarkan gaya kognitif
konseptual tempo siswa. Selain itu, subjek penelitiannya siswa SMP,
sedangkan penelitian ini subjek penelitian yang direncanakan adalah siswa
SMA kelas XI dalam memecahkan masalah nonrutin pada materi peluang.
Peneliti memilih subjek berdasarkan gaya kognitif konseptual
temponya, sebab mengingat adanya perbedaan gaya kognitif reflektif, gaya
kognitif impulsif, gaya kognitif fast accurate dan gaya kognitif slow
inaccurate tersebut, peneliti tertarik untuk melihat keterkaitan atau hubungan
antara keempat gaya kognitif tersebut dengan berpikir reflektif.
Selain itu, peneliti menggunakan subjek penelitian siswa SMA karena
sejauh ini, berdasarkan penelusuran peneliti pada jurnal-jurnal penelitian
mengenai proses berpikir reflektif siswa, pada umumnya peneliti terdahulu
memilih siswa SMP sebagai subjeknya. Beberapa peneliti mengungkapkan
bahwa hal tersebut disebabkan oleh, teori perkembangan kognitif dari Piaget
yang menyatakan siswa SMP berada pada tahap operasional formal, sehingga
mampu berpikir lebih abstrak dan mampu untuk menyatakan hubungan-
37
hubungan yang ada, seperti menceritakan kembali apa yang telah dilakukan
(dalam pikirannya). Oleh sebab itu, peneliti ingin melakukan hal yang berbeda
yakni menerapkannya kepada siswa SMA kelas XI.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Nasriadi (2016) yang berjudul
“Berpikir Reflektif Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah Matematika
Ditinjau dari Perbedaan Gaya Kognitif”. Bertujuan untuk mengetahui
bagaimana berpikir reflektif siswa SMP dalam memecahkan masalah
matematika ditinjau dari perbedaan gaya kognitif. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan perbedaan proses berpikir reflektif siswa yang bergaya kognitif
reflektif dan bergaya kognitif implusif dalam memecahkan masalah
matematika yang diberikan.
Terdapat hubungan dengan penelitian yang dilakukan yaitu proses
berpikir reflektif siswa menentukan pengambilan strategi dalam memecahkan
masalah matematika ditinjau dari gaya kognitif. Penelitian ini akan meneliti
bagaimana berpikir reflektif siswa SMA dalam memecahkan masalah
matematika nonrutin pada materi peluang ditinjau dari gaya kognitif.
Perbedaan penelitian ini dengan Ahmad Nasriadi (2016) yaitu subjek
penelitiannya siswa SMP, sedangkan penelitian ini subjek penelitiannya
adalah siswa SMA, jenis masalah yang diberikan dalam pemecahan masalah
tidak dijelaskan secara detail sedangkan penelitian ini memfokuskan pada
jenis masalah nonrutin dan kemapuan proses berpikir refletif siswa ditinjau
dari gaya kognitifnya hanya pada gaya kognitif reflektif dan gaya kognitif
impulsif sedangkan penelitian ini meninjau dari empat gaya kognitif
38
berdasarkan konseptual tempo (reflektif, impulsif, fast accurate dan slow
inaccurate).
Peneliti menggunakan jenis masalah nonrutin sebab berdasarkan kajian
literatur, masalah nonrutin dianggap tepat untuk menggalih kemampuan
proses berpikir reflektif siswa dalam pemecahan masalah matematika. Melalui
masalah nonrutin siswa tidak bisa menebak langsung prosedur yang
digunakan dalam penyelesaian masalah. Namun, siswa harus menggunakan
kemampuan berpikirnya untuk menggalih terdahulu informasi yang diketahui
dan yang masih dibutuhkan, menghu-bungkan informasi tersebut untuk
sampai pada solusi yang diharapkan.
H. Kerangka Pikir
Pemecahan masalah menjadi salah satu prinsip dasar dalam pembelajaran
matematika bagi siswa kelas XI dikarenakan siswa menjadi lebih aktif, inistif,
kreatif dan mandiri dalam proses belajar. Masalah matematika yang bersifat
nonrutin menjadi salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan matematika
siswa. Masalah nonrutin membuat siswa berpikir lebih mendalam terkait konsep
yang digunakan strategi dan alternatif solusi terbaik disertai dengan argumen yang
rasional. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa, guru
sebaiknya membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir yang salah
satunya berpikir reflektif.
Proses berpikir reflektif merupakan kegiatan berpikir matematis secara aktif,
terus menerus dan penuh pertimbangan untuk memahami masalah disertai dengan
alasan yang jelas dan rasional yang bertujuan untuk menarik suatu kesimpulan
39
atau memecahkan masalah dengan menghubunkan informasi yang ada dengan
pengetahuan terdahulu yang dimiliki, merepresentasikan masalah dengan simbol-
simbol, mengkomunikasikan secara matematis, menalar dan memecahkan
masalah. Selain melibatkan kemampuan berpikir reflektif, dalam pemecahan
masalah ikut serta melibatkan gaya kognitif siswa, sebab pemecahan masalah
dapat dipahami sebagai suatu proses kognitif yang memerlukan usaha dan
konsentrasi pikiran, karena dalam memecahkan masalah siswa mengumpulkan,
mengidentifikasi dan menganalisis informasi yang relevan dan akhirnya
mengambil keputusan. Perbedaan gaya kognitif siswa memungkinkan terjadinya
perbedaan kecepatan dan keakuratan memahami informasi pada masalah yang
diberikan sehingga berimplikasi pada proses pengolahan informasi dan
pengambilan keputusan untuk memperoleh solusi. Gaya kognitif siswa
dikategorikan: gaya kognitif reflektif, impulsif, fast accurate dan slow inaccurate.
Kemampuan berpikir reflektif merupakan hal yang diperlukaan saat
menghadapi masalah karena siswa dapat memeriksa kembali dan berpikir ulang
tentang pemecahan masalah yang telah dilakukan dan bagaimana seharusnya
strategi yang tepat dan sesuai untuk mendapatkan solusi. Melalui proses berpikir
reflektif dapat diketahui proses siswa dalam memecahkan suatu masalah dengan
lebih mendalam karena proses berpikir reflektif tidak hanya menuntut jawaban
namun juga konsep, fakta dan alasan yang logis, serta pengambilan keputusan
yang rasional dalam setiap langkah yang dilakukan.
Untuk mendapatkan informasi tentang proses berpikir reflektif siswa dalam
memecahkan masalah matematika nonrutin, dalam penelitian ini digunakan teknik
40
wawancara. Siswa diberikan tugas pemecahan masalah matematika nonrutin
kemudian diwawancara terkait proses berpikir reflektif yang dilakukan saat
memecahkan masalah tersebut. Wawancara dilaksanakan sebanyak dua kali untuk
memperoleh data yang valid. Hasil wawancara yang diperoleh selanjutnya
dianalisis. Analisis hasil wawancara terkait proses berpikir reflektif dalam
memecahkan masalah dilaksanakan berdasarkan karakteristik proses berpikir
reflektif dalam memecahkan masalah nonrutin yang telah ditentukan.
Dengan adanya pembahasan tentang proses berpikir reflektif dalam
memecahkan masalah nonrutin pada setiap kategori kemampuan awal, diharapkan
dapat diperoleh informasi tentang kelebihan dan kekurangan tentang proses
berpikir reflektif maupun keterampilan pemecahan masalah siswa. Dengan
demikian, untuk selanjutnya diharapkan dapat menjadi masukan tersendiri bagi
guru, sekolah dan pihak terkait untuk memaksimalkan potensi yang ada dan
menyelesaikan hal-hal yang masih perlu diperbaiki.
41
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di kelas XI MIA SMAN 1 Tellu Siattinge
Kabupaten Bone pada semester genap tahun ajaran 2016/2017.
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggambarkan data kualitatif dan
dideskripsikan untuk menghasilkan gambaran yang mendalam serta terperinci
mengenai berpikir reflektif siswa SMA dalam memecahkan masalah matematika
nonrutin ditinjau dari gaya kognitif siswa.
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini dipilih dari siswa kelas XI MIA SMAN 1 Tellu
Siattinge pada semester genap tahun ajaran 2016/2017. Pemilihan siswa kelas XI
dikarenakan siswa dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman pada
materi matematika dasar, selain itu siswa dianggap mampu mengkomunikasikan
pemikiran secara lisan maupun tulisan dengan baik sehingga upaya eksplorasi
proses berpikir reflektif siswa dalam memecahkan masalah nonrutin dapat
dilakukan. Penentuan subjek dalam penelitian menggunakan teknik purposive
sampling yakni merupakan suatu cara pengambilan subjek dengan pertimbangan
tertentu (tingkat kemampuan, jenis kelamin dan kemampuan siswa dalam
berkomunikasi).
42
Untuk menentukan subjek penelitian, maka peneliti melakukan pemilihan
subjek dengan cara menggunakan instrumen tes gaya kognitif MFFT (Mathcing
Familiar Figures Test) yang dikembangkan oleh Warli (2010) yang sudah teruji
validitas dan reliabelitasnya. Subjek penelitian yang akan dipilih adalah sebanyak
empat orang siswa. Tes gaya kognitif diberikan kepada seluruh siswa kelas XI
MIA SMAN 1 Tellu Siattinge secara perorangan kemudian siswa dikelompokkan
menjadi empat kelompok, yaitu kelompok reflektif, impulsif, fast accurate dan
slow inaccurate. Setelah keempat kelompok tersebut terisi, kemudian dipilih 1
siswa dari masing-masing kelompok. Penggolongan siswa kedalam satu tipe gaya
kognitif yakni: satu siswa yang bergaya reflektif diambil dari kelompok siswa
reflektif yang catatan waktunya paling lama dan paling cermat (paling banyak
benar) dalam menjawab seluruh masalah. Satu siswa bergaya impulsif diambil
dari kelompok siswa impulsif yang catatan waktunya paling singkat tetapi paling
tidak cermat/akurat (paling banyak salah) dalam menjawab seluruh masalah. Satu
siswa yang bergaya fast accurate diambil dari kelompok siswa fast accurate yang
catatan waktunya paling cepat dan paling cermat (paling banyak benar) dalam
menjawab seluruh masalah. Satu siswa bergaya slow inaccurate diambil dari
kelompok siswa impulsif yang catatan waktunya paling lama dan paling tidak
cermat/akurat (paling banyak salah) dalam menjawab seluruh masalah.
Selain itu, penetapan subjek penelitian juga diambil dengan
mempertimbangkan tingkat kemampuan matematika yang setara, berjenis kelamin
sama, dan kemampuan berkomunikasi yang baik agar pengungkapan proses
berpikir reflektif siswa berjalan seperti yang diharapkan. Data kemampuan
43
matematika diperoleh dari nilai tes kemampuan matematika siswa. Kemampuan
matematika subjek penelitian dikatakan setara jika nilai tes kemampuan
matematika keduanya berada pada selang 0 sampai 10 dengan skala 0 sampai 100.
untuk kemampuan komunikasi siswa berdasarkan pertimbangan guru matematika
kelas XI MIA SMAN 1 Tellu Siattinge yang mengacu pada kriteria pemilihan
subjek dalam penelitian ini yakni mampu mengkomunikasikan pemikiran secara
lisan dan tulisan dengan baik, mampu menunjukkan ekspresi verbal ketika
mengerjakan soal, serta mempunyai cukup pengetahuan dan pengalaman tentang
materi matematika dasar.
D. Data Penelitian
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data hasil tes gaya
kognitif berdasarkan konseptual tempo siswa yakni reflektif, impulsif, fast
accurate dan slow inaccurate, hasil tes tertulis siswa dalam memecahkan masalah
matematika nonrutin pada materi aturan pencacahan yang diberikan dan data hasil
wawancara berdasarkan jawaban tertulis siswa. Sumber data utama dalam
penelitian ini adalah subjek penelitian yakni siswa kelas XI MIA SMAN 1 Tellu
Siattinge Tahun Ajaran 2016/2017.
Subjek penelitian diwawancarai berdasarkan jawaban tertulis dari masalah
matematika nonrutin yang diberikan. Sumber data lain dalam penelitian ini adalah
guru matematika sebagai informan awal, hasil atau transkrip wawancara subjek
penelitian, atau catatan observasi. Dokumen tetang kemampuan matematika siswa
juga digunakan untuk menentukan subjek penelitian.
44
E. Tehnik Pengumpulan Data
Berdasarkan data yang diperlukan dalam penelitian maka tehnik
pengumpulan data yang digunakan berupa wawancara langsung kepada siswa
yang memenuhi kriteria sebagai subjek. Waktu wawancara ditentukan dengan
menyesuaikan jadwal belajar siswa melalui informasi atau saran guru.
Wawancara dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi tentang proses
berpikir reflektif siswa dalam memecahkan masalah matematika nonrutin. Teknik
wawancara dalam penelitian ini adalah adalah teknik wawancara mendalam yakni
bersifat terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam suasana formal dan bisa
dilakukan berulang pada ojek yang sama. wawancara dalam penelitian ini bersifat
semi terstruktur yakni wawancara dengan garis besar pertanyaan yang telah
disiapkan peneliti. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. instrumen utama
Instrumen utama dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah
peneliti sendiri. Karena pada penelitian ini, peneliti melakukan wawancara untuk
menggali lebih mendalam tentang berpikir reflektif siswa dalam memecahkan
masalah ditinjau dari gaya kognitif siswa. Jadi hanya penelitilah yang
berhubungan langsung dengan subjek penelitian, dan hanya peneliti yang mampu
memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan melalui observasi dan
wawancara. Sehingga tidak dapat diwakilkan kepada orang lain.
b. Instrumen pendukung
1) Tes MFFT
Tes MFFT diberikan kepada calon subjek untuk mendapatkan subjek
penelitian yang bergaya kognitif reflektif dan subjek penelitian yang bergaya
45
kognitif impulsif. Soal tes terdiri dari 13 butir soal dengan 8 macam gambar
dimana hanya ada satu gambar yang benar-benar sama dengan gambar utama.
Soal tes menggunakan MFFT yang sudah dimodifikasi oleh Warli (2010) yang
sudah di uji validitas dan reabilitasnya.
Untuk penelitian ini siswa akan diberi tes 13 soal dengan waktu ( ) 14,6
menit. Jawaban siswa dikatakan banyak salahnya jika jawaban salah ( ) soal
atau soal sehingga jawaban dikatakan banyak benarnya jika jawaban yang
salah soal atau soal. Jadi, siswa dikategorikan reflektif jika
menit dan soal, siswa dikategorikan impulsif jika menit dan
soal, siswa dikatakan fast accurate jika menit dan soal dan
siswa dikatakan slow inaccurate jika dan .
2) Tes pemecahan masalah
Tes pemecahan masalah berupa soal cerita. Tes pemecahan masalah
diberikan kepada subjek penelitian yang bertujuan untuk menilai berpikir reflektif
siswa dalam penyelesaian masalah. Tes pemecahan masalah yang diberikan
kepada subjek penelitian ada dua, yaitu berupa masalah 1 dan masalah 2. Kedua
masalah tersebut adalah masalah yang setara.
3) Pedoman wawancara
Secara garis besar pertanyaan yang ingin disampaikan dalam kegiatan
wawan cara ini tidak disusun secara terstruktur. Pertanyaan yang diajukan
disesuaikan dengan kondisi hasil kerja subjek didik setelah mengerjakan soal yang
diberikan. Pedoman wawancara merujuk pada deskriptor dari berpikir reflektif.
46
Untuk mengetahui proses berpikir reflektif siswa dalam memecahkan
masalah, maka dilakukan tes tertulis (tugas pemecahan masalah) dan wawancara.
Tes tertulis adalah pemberian tugas pemecahan masalah matematika, sedangkan
wawancara yang dilakukan mengacu pada langkah-langkah polya yaitu: a)
memahami masalah, b) membuat rencana c) melaksanakan rencana dan d)
memeriksa kembali.
Wawancara tidak hanya dilakukan untuk memverifikasi data hasil tes tulis,
termasuk juga di dalamnya menggali informasi baru yang mungkin tidak
diperoleh pada tes tertulis, bisa saja yang dipikirkan siswa tidak dituliskannya, hal
ini mungkin bisa terungkap pada wawancara. Agar tidak ada informasi yang
terlewatkan dan data yang diperoleh terjamin keabsahannya, maka dilakukan
perekaman suara saat wawancara.
F. Validasi Data
Untuk menguji kreadibilitas data (kepercayaan terhadap data), peneliti
melakukan triangulasi. Dalam penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah
triangulasi metode. Untuk triangulasi metode, informasi yang diperoleh dicek
kembali derajat kepercayaannya melalui metode yang berbeda dalam suatu
penelitian kualitatif. Data yang dibandingkan dalam penelitian ini adalah data
hasil tes tertulis dengan hasil wawancara. Data dikatakan valid jika data yang
diperoleh dari metode tes sama dengan data yang diperoleh dari metode
wawancara. Data dari hasil tes tertulis yang berbeda dengan data dari hasil
wawancara kemudian dikatakan sebagai data yang tidak valid dan akan direduksi
dalam penelitian.
47
G. Teknik Analisis Data
Selanjutnya Data yang diperoleh diperoleh dari hasil kerja siswa dianalisis
dengan menggunakan tahap-tahap kegiatan dalam menganalisis data kualitatif
yaitu tahap reduksi data, tahap penyajian data dan tahap penarikan kesimpulan.
Dalam penelitian ini analisis secara keseluruhan dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan bentuk analisis yang bertujuan untuk menajamkan,
menyeleksi, memfokuskan, mengabstaksikan, dan mentransformasikan data
mentah yang diperoleh di lapangan menjadi data bermakna. Dalam penelitian ini
data mentah yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan direduksi untuk
mendapatkan data yang benar-benar dibutuhkan dalam mendeskripsikan berpikir
reflektif siswa dalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari perbedaan
kemampuan awal.
b. Tahap penyajian data
Kumpulan data setelah direduksi diorganisir dan dikategorikan. Pada tahap
ini data lebih sederhana disajikan dalam bentuk naratif yang lebih ringkas,
sehingga memungkinkan untuk ditarik kesimpulan dari data tersebut.
c. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan adalah kegiatan merangkum data serta memeriksa
kebenaran data yang telah dikumpulkan tentang bagaimana berpikir reflektif siswa
dalam memecahkan masalah metematika ditinjau dari perbedaan kemampuan
awal.
48
DAFTAR PUSTAKA
Ansori, Hidayah dan Irsanti Aulia. 2015. Penerapan Model Pembelajaran
Missouri Mathematics Project (MMP) Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa di SMP. Edu-Mat Jurnal Pendidikan Matematika, (Online),
Vol.3, No.1, (http://ppjp.unlam.ac.id, diakses 25 November 2016).
Budhayanti, Clara Ika Sari, Josef Tjahjo Baskoro, Edy Ambar Roostanto dan
Bitman Simanullang. 2008. Bahan Ajar Cetak, Pemecahan Masalah
Matematika. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Dapartemen Pendidikan
nasional.
Dewey, John. 1910. “How We Think”. Boston: D.C. Heath & Co.; selections
from Part One, “The Problem of Training Thought,”spelling and grammar
modestly modernized, (Online), (http://rci.rutgers.edu/~tripmcc/phil/dewey-
hwt-pt1-selections.pdf, diakses 6 November 2016).
Gurol. Aysun. 2011. Determining the reflective thinking skills of pre-service
teachers in learning and teaching process. Energy Education Science and
Technology Part B: Social and Educational Studies, (Online), Vol.3, No.3,
(http://www.yarbis1.yildiz.edu, diakses 29 Oktober 2016).
Jacob, S. M. & Sam, H. K. 2008. “Measuring Critical Thinking in Problem
Solving Through Online Discussion Forums in First Year University
Mathematics”. Proceedings of the Internasional Multiconference of
Engineers and Computer Scientists 2008, Vol. 1, Hongkong.
Lutfiananda, Immas Metika Alfa. 2016. Analisis Proses Berpikir Reflektif Siswa
dalam Memecahkan Masalah Matematika Non Rutin di Kelas VIII SMP
Islamic International School Pesantren Sabilil Muttaqien (IIS PSM) Magetan
Ditinjau dari Kemampuan Awal. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: PPs
Universitas Sebelas Maret.
Marchis, I. 2012. “Non-Routine Problems in Primary Mathematics Workbooks
from Romania”. Acta Didactica Napocensia, (Online), Vol.5, No.3,
(http://dppd.ubbcluj.ro , diakses 5 November 2016).
Masamah, Ulfa, Imam Sujadi dan Riyadi. 2015. Proses Berpikir Reflektif Siswa
Kelas X MAN Ngawi dalam Pemecahan Masalah Berdasarkan Langkah
Krulik dan Rudnick Ditinjau dari Kemampuan Awal Matematika. JMEE,
(Online), Vol.5, No.1 (https://eprints.uns.ac.id, diakses 4 November 2016).
Musdhalifah, Umi, Sutinah dan Ika Kurniasari. 2013. Analisis Kesalahan Siswa
Kelas VII dalam Memecahkan Masalah Non Rutin yang Terkait Dengan
Bilangan Bulat Berdasarkan Tingkat Kemampuan Matematika di SMPN 31
Surabaya. Universitas Negeri Surabaya, (Online), (http://ejournal.unesa.ac.id
/article/6282/30/article.pdf, diakses 6 November 2016).
Nasriadi, Ahmad. 2016. Berpikir Reflektif Siswa dalam Memecahkan Masalah
Matematika Ditinjau dari Perbedaan Gaya Kognitif. Prodi Pendidikan
49
Matematika, STKIP Bina Bangsa Getsempena, (Online), Vol.3, No.1, (http://
numeracy.stkipgetsempena.ac.id, diakses 17 Oktober 2016).
Nasution. 2000. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar.
Jakarta: Bumi Aksara.
Nindiasari, Hepsi, Yaya Kusumah, Utari Sumarmo dan Jozua Subandar. 2014.
Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Reflektif Matematis Siswa SMA. Edusentris Jurnal Ilmu Pendidikan dan
Pengajaran, (Online), Vol.1, No.1 (http://ejournal.sps.upi.edu, diakses 4
November 2016).
Nindiasari. 2011. Pengembangan Bahan Ajar dan Instrumen untuk Meningkatkan
Berpikir Reflektif Matematis Berbasis Pendekatan Metakognitif pada Siswa
Sekolah Menengah Atas (SMA). Makalah dipresentasikan dalam Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, (Online),
(http://eprints.uny.ac.id73781p-23.pdf, diakses 6 November 20016).
Noer, Sri Hastuti. 2008. Problem-Based Learning dan Kemampuan Berpikir
Reflektif dalam Pembelajaran Matematika. Semnas Matematika dan
Pendidikan Matematika, (Online), (http://eprints.uny.ac.id , diakses 17
Oktober 2016).
Nurdin. 2005. Analisis Hasil Belajar Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif
Guru dan Gaya Kognitif Siswa pada Kelas II SMU Negeri 3 Makassar. Jurnal
Pendidikan don Kebudayaan,(Online), No. 055, (http://www.pdii.lipi.go.id/,
diakses 2 November 2016).
Nurhadi. 2013. Permutasi, Kombinasi dan Peluang. http://blog.uny.ac.id/nurhadi
/files/2013/09/Bab-4.-Permutasi-Kombinasi-Peluang.pdf. Diakses 18 Desem-
ber 2016.
Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014.
Rahman. A. 2008. Analisis Hasil Belajar Matematika Berdasarkan Perbedaan
gaya Kognitif Secara Psikologis dan Konseptual tempo pada siswa Kelas X
SMA Negeri 3 Makassar. Jurnal Pendidikan don Kebudayaan,(Online), No.
072, (http://www.pdii.lipi.go.id/, diakses 2 November 2016).
Ratnawati, Heri. 2009. Pengaruh kemampuan Awal dan Kemampuan Berpkir
Logis/Penalaran terhadap Kemampuan Matematika (Studi Komparasi
Sensitivitas Program Lisrel 8.51 dan Amos 6.0). Makalah, (Online), (http://
staff.uny.ac.id, diakses 5 November 2016).
Sabandar, Jozua. 2009. Berpikir Reflektif dalam pembelajaran Matematika. Prodi
Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI, (Online),
(http://file.upi.edu, diakses 31 Agustus 2016).
Saragih, Sehatta. 2008. Mengembangkan Keteram-pilan Berpikir Matematika.
Semnas matematika dan pendidikan Matematika 2008. Universitas Negeri
Yokyakarta.
50
Suandito, Billy, Darmawijoyo dan Purwoko. 2009. Pengembangan Soal
Matematika Non Rutin di SMA Xaverius 4 Palembang. Jurnal Pendidikan
Matematika, (Online), Vol.3, No.2, (http://ejournal.unsri.ac.id, diakses 17
Oktober 2016).
Suharna, Hery, Toto Nusantara, Subanji dan Santi Irawati. 2013. Berpikir
Reflektif Mahasiswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika. KNPM V,
Himpunan Matematika Indonesia, (Online), Vol.1, No.1 (http://fmipa.um.
ac.id, diakses 31 Agustus 2016).
Suharna, Hery. 2012. Berpkir Reflektif (Reflective Thinking) Siswa SD
Berkemampuan Matematika Tinggi dalam Pemahaman Masalah Pecahan.
Makalah Dipresentasikan dalam Seminar Nasional matematika dan
Pendidikan Matematika. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Suryanti, Nunuk. 2014. Pengaruh Gaya Kognitif Terhadap Hasil Belajar
Akuntansi Keuangan Menengah 1. JURNAL Ilmiah Akuntansi dan Humanika,
(Online), Vol.4, No.1, (http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJA/article
/download/4601/3529, diakses 30 Oktober 2016).
Suwasti, Petra. 2016. Aktivitas Metakognisis Siswa SMA dalam Memecahkan
Masalah Program Linear Ditinjau dari Gaya Kognitif Reflektif-Implusif dan
Jenis Kelamin. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: PPs Universitas Sebelas
Maret.
Tisngati, Urip. 2015. Proses Berpikir Reflektif Mahasiswa dalam Pemecahan
Masalah pada Materi Himpunan Ditinjau dari Gaya Kognitif Berdasarkan
Langkah Polya. Jurnal Pendidikan Matematika, (Online), Vol.8, No.2,
(http://ejurnal.iainmataram.ac.id/index.php/beta, diakses 17 Oktober 2016).
Tuanakotta, Theodorus M. 2011. Berpikir Kritis dalam Auditing. Jakarta: Salemba
Empat.
Turmudi. 2009. Pemecahan Masalah Matematika. Materi Disampaikan dalam
Rangka Pengembangan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah di IAIN
Arraniri Banda Aceh, (Online), (http://file.upi.edu, diakses 7 November
2016).
Wahyudi dan Inawati Budiono. 2012. Pemecahan Masalah Matematika. Salatiga:
Widya Sari Press.
Wardhani, Sri, Sapon Suryo Purnomo dan Endah Wahyuningsih. 2010. Modul
Matematika SD Program Bermutu, Pembelajaran Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika di SD. Yogyakarta: Kementerian Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(PPPPTK) Matematika.
Warli. 2009. Pembelajaran Kooperatif Berbasis Gaya Kognitif Reflektif-Impulsif
(Studi Pendahuluan Pengembangan Model KBR-I). Prosiding Seminar
Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA,
51
Universitas Negeri Yogyakarta, (Online), (http:eprints.uny.ac.id, diakses 28
Oktober 2016).
Widadah, Sofifil, Dian Septi Nur Afifah dan Suroto. 2013. Profil Metakognisi
Siswa dalam Menyelesaikan Soal Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
Berdasarkan Gaya Kognitif. Jurnal Pendidikan Matematika STKIP PGRI
Sidoarjo, (Online), Vol.1, No.1, (http://iej.com.au, diakses 7 November
2016).
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Zhu, Zheng. 2007. “Gender Differencen in Mathematical Problem Solving,
Patterns: A Review of Literature. International Education Jurnal, (Online),
Vol.8, No.2, (http://iej.com.au, diakses 7 November 2016).