contoh opini public

20
CONTOH OPINI PUBLIC 03.30 Diposkan oleh arjamudin Babak Baru Skandal Korupsi BI Thursday, 30 October 2008 Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada akhirnya dijatuhkan untuk Burhanuddin Abdulah. Lima tahun penjara dan denda Rp250 juta. Angka itu sangat jauh dari ancaman maksimal yang diatur undang- undang.Hakim mengatakan, Burhanuddin terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999 jo Pasal 55 ke-1 KUHP. Kita tahu,ancaman maksimal pasal ini adalah seumur hidup atau 20 tahun. Dari kacamata integrated criminal justice system, putusan ini tentu tidak dapat dipisahkan dari tuntutan jaksa yang juga rendah, kurang dari setengah ancaman maksimal (8 tahun). Perdebatan rendah, ketidakpuasan atau sebaliknya atas sebuah tuntutan,dan putusan memang masih terjadi sampai saat ini. Jaksa penuntut umum (JPU) dengan subjektivitasnya punya kewenangan menuntut tinggi atau rendah, demikian juga hakim.Akan tetapi, masyarakat sangat ingin setiap koruptor divonis maksimal.Agar ada sebuah deterrence effect atau efek jera, baik bagi pelaku atau pun masyarakat luas. Harapannya, koruptor akan berpikir ulang untuk melakukan korupsi.Apalagi, mereka yang menduduki puncak jabatan publik. Memerhatikan tren putusan dan tuntutan di Pengadilan Tipikor, agaknya nanti perlu dibuat sebuah standardisasi bagi JPU agar menuntut maksimal. Perlu juga mungkin digagas penyusunan semacam surat edaran untuk kalangan hakim di Pengadilan Tipikor agar mempertimbangkan untuk memutus maksimal.Tentu juga tetap memperhatikan asas independensi dan imparsialitas hakim. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, rata-rata vonis di Pengadilan Tipikor sampai pertengahan 2008 adalah 4,4 tahun.

Upload: igusti-ayu-pratiwi

Post on 23-Nov-2015

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Opini Publik

TRANSCRIPT

CONTOH OPINI PUBLIC

03.30 Diposkan oleh arjamudin

Babak Baru Skandal Korupsi BI

Thursday, 30 October 2008

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada akhirnya dijatuhkan untuk Burhanuddin Abdulah. Lima tahun penjara dan denda Rp250 juta.

Angka itu sangat jauh dari ancaman maksimal yang diatur undang-undang.Hakim mengatakan, Burhanuddin terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999 jo Pasal 55 ke-1 KUHP. Kita tahu,ancaman maksimal pasal ini adalah seumur hidup atau 20 tahun.

Dari kacamata integrated criminal justice system, putusan ini tentu tidak dapat dipisahkan dari tuntutan jaksa yang juga rendah, kurang dari setengah ancaman maksimal (8 tahun). Perdebatan rendah, ketidakpuasan atau sebaliknya atas sebuah tuntutan,dan putusan memang masih terjadi sampai saat ini.

Jaksa penuntut umum (JPU) dengan subjektivitasnya punya kewenangan menuntut tinggi atau rendah, demikian juga hakim.Akan tetapi, masyarakat sangat ingin setiap koruptor divonis maksimal.Agar ada sebuah deterrence effect atau efek jera, baik bagi pelaku atau pun masyarakat luas.

Harapannya, koruptor akan berpikir ulang untuk melakukan korupsi.Apalagi, mereka yang menduduki puncak jabatan publik. Memerhatikan tren putusan dan tuntutan di Pengadilan Tipikor, agaknya nanti perlu dibuat sebuah standardisasi bagi JPU agar menuntut maksimal.

Perlu juga mungkin digagas penyusunan semacam surat edaran untuk kalangan hakim di Pengadilan Tipikor agar mempertimbangkan untuk memutus maksimal.Tentu juga tetap memperhatikan asas independensi dan imparsialitas hakim. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, rata-rata vonis di Pengadilan Tipikor sampai pertengahan 2008 adalah 4,4 tahun.

Tidak terlalu memuaskan sebenarnya, meskipun masih dapat dikategorikan berprestasi dibanding peradilan umum yang hanya 20 bulan. Namun, dalam konteks afirmasi dan keseriusan kita menempatkan korupsi sebagai musuh bersama, angka tersebut tentu masih sangat rendah.

Tesis ini bukan tak beralasan. Selain sangat rendah secara kasatmata, vonis di bawah 10 tahun dinilai tidak akan signifikan memberi tekanan dan efek jera bagi koruptor. Karena sebenarnya, setelah selesai dari fase pengadilan, pemberantasan korupsi dihadapkan pada satu yurisdiksi mafia baru, yaitu Rumah Tahanan atau Lembaga Permasyarakatan. Fasilitas khusus terhadap koruptor bukan kabar baru.

Ruangan yang lega,AC, izin keluarbaik legal atau ilegalhingga kesempatan untuk berkomunikasi dengan telepon seluler (ponsel) menjadi rahasia umum.Pasalnya sederhana,koruptor punya akses besar pada petinggi lembaga pemasyarakatan karena uang. Selain itu, fasilitas legal, seperti remisi yang menjadi langganan di setiap momen khusus akan mengurangi secara signifikan efek penghukuman untuk koruptor.

Tidak jarang, narapidana hanya menjalani sekitar setengah masa vonis yang dijatuhkan kepadanya. Sebagai pedagang, koruptor akan berhitung, potensi kentungan dan risiko yang akan dihadapi jika melakukan korupsi.Poin inilah yang menjadi salah satu latar belakang belum efektifnya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pelaku lain

Apakah Burhanuddin sendirian? Tentu tidak. Divonisnya mantan Gubernur BI ini akan menegaskan fakta hukum, bahwa norma penyertaan dalam pidana seperti diatur pada Pasal 55 ke-1 KUHP terbukti benar.Dengan begitu,semua pihak yang melakukan, ikut melakukan, dan menyuruh melakukan harus bertanggung jawab.

Ada sejumlah nama yang harus ditindaklanjuti statusnya menjadi tersangka,minimal orang-orang yang menandatangani penyediaan dan penyaluran Rp100 miliar dari Bank Indonesia. Dari fakta persidangan dan empat dokumen surat rapat Dewan Gubernur, maka Syahril Sabirin, Anwar Nasution,Miranda Goeltom, Maulana Ibrahim,Bunbunan Hutapea,Maman Sumantri, Oey Hoey Tiong, Aslim Tadjudin,Roswita Roza, Rusli Simanjuntak, dan Purwantari Budiman harus diproses oleh KPK.

Sebagian di antaranya memang sudah menjadi tersangka. Seperti diketahui, beberapa saat setelah vonis Burhanuddin,KPK langsung menetapkan empat mantan Dewan Gubernur lain sebagai tersangka (Aulia Pohan,Aslim Tadjudin,Maman Sumantri, dan Bunbunan Hutapea). Publik tentu harus mengapresiasi tindakan ini.

Tapi,cukupkah? Sulit mengatakan cukup. Berangkat dari asas equality before the law dan kepastian hukum, akan timbul pertanyaan pada KPK. Bagaimana dengan Dewan Gubernur lain yang juga menandatangani skandal Rp100 miliar tersebut? Bagaimana pula dengan 52 anggota Komisi IX DPR periode 19992004 yang menerima gratifikasi haram itu? Termasuk di situ dua menteri aktif di kabinet SBY-JK.

Sebuah Pesan

Tapi apakah sebuah rapat mendadak yang dilakukan Presiden bersama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan staf khusus pada hari itu berhubungan dengan perumusan sikap pemerintah pascaputusan skandal BI? Mungkin ya, mungkin juga tidak.Apa pun itu,mau tidak mau ketegasan Presiden sangat dibutuhkan.

Perihal ditetapkannya Aulia Pohan sebagai tersangka, SBY harus konsisten dengan ucapannya dan komitmen antikorupsi. Kita tidak persis paham, apakah momen ini justru akan digunakan untuk kampanye tentang program pemberantasan korupsi kabinetnya. Lalu perihal dua menteri aktif, SBY sebaiknya tidak menunggu penetapan sebagai tersangka untuk memberhentikan dua pembantunya tersebut.

Fakta persidangan sudah membenarkan bahwa aliran uang benar terjadi. Dengan demikian, demi pembersihan kabinet di ujung pemerintahan,Presiden tidak boleh memelihara kekuatan koruptif dalam jajarannya. Pertaruhan ini harusnya dijawab dengan ketegasan.

Dua tindakan, baik dari sisi KPK untuk memproses tanpa tebang pilih maupun dari sisi Presiden untuk segera memberhentikan dua menteri yang diindikasikan kuat terlibat, sangat dibutuhkan demi membuka babak baru skandal di bank sentral ini.(*)

FEBRI DIANSYAH Peneliti Hukum dan Anggota Badan Pekerja ICW

Akankah Irak Menjadi Vietnam Kedua?*Oleh A Fatih Syuhud

BERITA tentang helikopter Chinook yang ditembak jatuh oleh rudal, menewaskan 16 personel tentara AS (termasuk dua wanita), merupakan kabar buruk bagi AS. Kemudian, Black Hawk ditembak jatuh dekat Tikrit, pada Jumat, menewaskan enam pasukan AS. Berita itu cukup mengkhawatirkan Washington.

Pentagon segera mengerahkan artileri dan serangan udara di Tikrit, di mana kedua helikopter itu diserang. Ini merupakan, salah satu alasannya, kemarahan institusional; Chinooks ditembak jatuh di siang hari bolong, dan saat ini terdapat 25 sampai 30 serangan pada pasukan Amerika Serikat (AS) setiap harinya. Pada bulan Oktober, sebanyak 33 tentara Amerika terbunuh di Irak, lebih dua kali lipat korban pada bulan September; dan bulan November sudah dimulai dengan sangat tidak menyenangkan. Dalam masa tujuh hari bulan November, 35 personel pasukan AS tewas dalam perang gerilya yang efektif dan meluas. Korban kematian AS sudah mendekati angka 400. Artileri dan jet tempur F-16 kembali beroperasi, untuk pertama kalinya sejak George W Bush mengumumkan Mission Accomplished pada 1 Mei. Siapa saja yang membaca sejarah mulai melihat kemiripan dengan dua kisah masa lalu.

Pertama dari Vietnam, di mana Pentagon, dengan konsisten dan terkadang brutal, membalas dendam pada warga sipil atas hukuman yang menimpa pasukan militer AS. Di Irak, AS tidak menghadapi tentara kasatmata, dan karena itu menyimpulkan bahwa seluruh Kota Tikrit menjadi target mereka. Apabila tujuan mereka adalah shock and awe, AS sama sekali tidak belajar di Irak. Pentagon mengubah warga sipil menjadi musuh mereka.

Sebuah think tank Amerika, Project on Defence Alternatives, telah melakukan survei ekstensif guna memberikan estimasi jumlah rakyat Irak yang terbunuh sejak dimulainya perang Irak dan jatuhnya Baghdad, hasilnya: antara 10.800 dan 15.100 tentara, dan antara 3.200 dan 4.300 warga sipil. Hitungan jumlah korban tahap kedua sekarang sudah dimulai.

Kedua, dari Eropa. Pendudukan Eropa yang pertama atas Irak terjadi pada Perang Dunia I ketika Inggris mengalahkan Turki dan mencapai Baghdad via Basrah. Warga Arab lokal saat itu percaya bahwa mereka sedang dibebaskan dari Turki.

Ketika Inggris menolak pemerintahan independen Arab, seluruh Irak pun bangkit menentang imperialisme Inggris. Senjata dan organisasi kalangan perlawanan waktu itu sama sekali tidak canggih, tetapi Inggris harus mengerahkan Royal Air Force (RAF) dan gas kimiawi sebelum mereka berhasil menstabilkan kawasan dan kemudian menyerahkan kekuasaan pada seorang keturunan keluarga Bani Hasyim, Faisal.

Karena itu, hendaknya kita tidak kaget apabila muncul sejumlah kemiripan di kemudian hari. Sudah ada beberapa bisik-bisik yang hendak menjadikan keturunan Bani Hasyim, Pangeran Hasan, yang tidak berhasil menggantikan saudaranya, Raja Hussein di Jordan, menjadi raja Irak yang dapat diandalkan. Kita lihat nanti.SAAT ini kita melihat apa yang tidak pernah terpikirkan menjadi realitas yang berkembang di Irak. Salah satu alasan mengapa hal ini tidak terprediksi adalah karena kalangan neokonservatif yang membentuk kebijakan soal Irak buat Bush hampir sama sekali tidak menyembunyikan penghinaannya pada orang Arab, baik rakyat maupun pemerintahnya. Komparasi dengan Vietnam saya kira kurang tepat, tetapi sedikitnya ada kesamaan dalam satu hal: AS tidak memahami lawan-lawannya di Vietnam, dan ia juga tidak tahu siapa atau apa yang mereka lawan di Irak. AS berpikir ia sedang memerangi pasukan Merah di Vietnam. Tidak ada satu pun di Washington yang diberi tahu bahwa Cina justru negara yang paling tidak disukai Vietnam. Baik di Vietnam maupun di Irak, isme terpenting adalah nasionalisme: Komunisme dan Islam melebur dalam nasionalisme.

Perang AS saat ini adalah melawan sebuah musuh yang singkatnya disebut Al Qaeda. Semua hal dikaitkan dengan Al Qaeda. CNN dan BBC (8/11/03) menyiarkan peringatan dari AS bahwa Al Qaeda kemungkinan sedang berencana untuk membajak pesawat kargo. Kedutaan AS di Arab Saudi ditutup karena Al Qaeda. Sejumlah kebebasan di land of freedom dibatasi. Bahkan, Kongres AS sekalipun tidak mendapat informasi memadai karena ketakutan pada Al Qaeda. Budaya berahasia telah berubah menjadi paranoia.

Di sisi lain, apa Al Qaeda itu? Sungguh sulit dipercaya bahwa sebuah organisasi yang dipimpin seseorang yang bersembunyi di pegunungan di Afganistan atau Pakistan, dapat menjadi jaringan internasional yang begitu solid yang dapat mengancam AS, baik antarbenua maupun di jantung AS sendiri. Bagaimana Osama bin Laden berkomunikasi dengan begitu banyak tentara bayangannya yang tersebar, apabila sedikit saja kontak dengan alat teknis dapat dideteksi teknologi AS? Bagaimana Osama dapat mengotaki pembajakan pesawat kargo di AS sekarang?

Al Qaeda tidak lagi mewakili sebuah fakta, tetapi memang ia mewakili sebuah ide. Ia telah menjadi simbol bagi suatu realitas yang mengkhawatirkan AS jauh lebih besar dibanding apa yang pernah diperbuat Osama. Sebagaimana invasi Rusia di Afganistan telah menyinergikan kelompok , atau individu Muslim yang tidak saling terkait, untuk memilih Afganistan sebagai medan tempur mereka, pendudukan AS di Irak telah meyakinkan sejumlah besar Muslim bahwa ancaman atas kemerdekaan negara Islam saat ini datang dari AS. Tidak ada mastermind. Yang ada master-objective.

Salah satu pengakuan yang paling mengejutkan tahun ini adalah bahwa George W Bush merasa kaget ketika pada kunjungan luar negerinya baru-baru ini menyadari bahwa umat Islam tidak menyukainya. Tampaknya Bush disanitasi dari informasi. Ia pasti tidak membaca atau melihat media apa pun. Berbagai berita pasti disuguhkan padanya dalam bentuk kliping.

Menurut Gedung Putih, rekonstruksi mulai berjalan baik di Irak, dan ini berarti baik juga buat AS. Pertanyaannya sekarang, mengapa diperlukan konstruksi? Jawabnya jelas, karena adanya destruksi yang diakibatkan oleh perang AS. Diberitakan bahwa sebanyak 87 miliar dollar AS telah dialokasikan untuk Irak. Berapa banyak dari jumlah ini yang akan sampai ke Irak setelah untuk membayar angkatan bersenjata AS? Dan, berapa banyak uang yang dialokasikan untuk kerja sipil akan tersangkut di korporasi AS?

Satu komentar relevan yang dibuat Bush adalah konsekuensi nyata dari perang Irak hanya akan diketahui setelah 50 tahun. Apa yang dikatakannya tidak salah. Sayangnya, konsekuensi itu mungkin akan kurang menyenangkan pada kalangan Gedung Putih saat itu. Bush hendaknya merasa cukup beruntung bahwa saat ini tidak ada demokrasi di 22 negara Arab. Seandainya saja negara Arab memiliki pemerintahan demokratis yang mewakili aspirasi rakyat, akan terdapat 22 negara Arab yang sangat antipati pada Gedung Putih-nya Bush.***

Kompas, Sabtu, 15 November 2003

Peluang Abbas Atasi Krisis Palestina

Posted on February 15, 2005

A Fatih SyuhudMedia Indonesia, Selasa, 15 Februari 2005

PERTEMUAN sejumlah pemimpin negara Timur Tengah di Sharm el-Sheikh beberapa waktu lalu, yang melibatkan Presiden Mesir Husni Mubarak, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Raja Abdullah II dari Jordania, dan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon telah membuka era baru hubungan Israel-Palestina. Usai konferensi itu, Mahmoud Abbas mengatakan, Apa yang kami umumkan hari ini adalah awal dari pelaksanaan butir-butir peta perdamaian yang diprakarsai kuartet perdamaian, dan hal itu pula merupakan langkah penting untuk membuka peluang baru bagi bergulirnya proses perdamaian, seperti sedia kala. Sedangkan Ariel Sharon mengatakan, Di depan kita adalah kesempatan untuk menjauhi pertumpahan darah yang telah menghinggapi kita selama empat tahun terakhir ini.

Prestasi di Sharm el-Sheikh itu tidak lepas dari peranan presiden baru Palestina, Mahmoud Abbas atau Abu Mazen yang merupakan figur pragmatis dan moderat. Semua pihak, tidak hanya Israel, AS, dan Eropa, tetapi juga kalangan Islamis semacam Hamas, menginginkan dia memenangkan pemilu yang baru diadakan untuk jabatan Presiden Otoritas Palestina.Abbas mengejutkan banyak pengamat dengan melakukan kampanye pemilu yang lihai di mana selama kampanye sempat menyebut Israel sebagai Zionist enemy. Israel mengenal Abbas dengan baik untuk tidak menganggap retorika pemilu semacam itu sebagai isu besar. Abbas akan merasa lebih nyaman seandainya ia memenangi pemilu dengan 70% suara, bukan 62%. Akan tetapi, jelas dia telah mendapat mandat cukup untuk mengimplementasikan dan memenuhi manifesto pemilunya.

Pemilu pasca-Arafat yang pertama ini melahirkan fakta menarik. Gerakan mainstream Fatah, komponen utama PLO, telah berhasil menciptakan imej baru di tubuh Palestina. Gerakan ekstremis ini memberi ruang pada kelompok moderat. Terjadinya marjinalisasi kalangan Islamis garis keras diharapkan menjadi awal yang baik bagi dimulainya dan berkembangnya pembicaraan damai.

Dalam banyak hal, alasan faktor Arafat tidak lagi ada bagi Ariel Sharon, yang akan berada di bawah tekanan AS. George W Bush pasti ingin sekali melihat berhasilnya proses Peta Damai di Timteng untuk alasan historis dan sebagai cara kompensasi penyelamat muka atas kekacauan di Irak.

Memang pertemuan di Sharm el-Sheikh itu telah melewati perjalanan panjang, karena sempat diwarnai sejumlah insiden seperti yang terjadi di Karni, Jaluar Gaza, di mana enam Israel tewas. Insiden itu sempat mengendurkan semangat Israel untuk melanjutkan gagasan pertemuan dengan pemimpin negara Timur Tengah. Namun, di tengah-tengah kemasygulan itu, masyarakat internasional berharap insiden di Karni tidak akan mengakibatkan perubahan strategis dalam proses perdamaian, tetapi hanya sebuah penundaan taktis. Pemerintahan Sharon mengeluarkan pernyataan menyusul insiden Karni, tetapi sampai sejauh ini beberapa tindakannya tidak terlalu drastis. Abbas tidak cenderung menggunakan kekuatan untuk menundukkan kelompok radikal dan memilih untuk membujuk mereka untuk menyepakati gencatan senjata sebagaimana yang pernah dia lakukan semasa menjadi perdana menteri era Arafat. Dan akhirnya, pertemuan tingkat tinggi yang melibatkan Israel, Mesir, Jordania, dan Palestina itu terjadi juga.

***

Sharon tentunya akan semakin memperkuat posisi Abbas seandainya Sharon menawarkan untuk melepaskan sejumlah tahanan Palestina dalam jumlah signifikan. Secara emosional, ini merupakan satu-satunya isu paling penting bagi rakyat Palestina.

Bantuan Sharon berikutnya adalah dengan membongkar sejumlah pos pemeriksaan, blokade ekonomi dan rintangan lain untuk rakyat Palestina. Namun, adalah salah besar apabila bersikeras menuntut penghentian aktual seluruh kekerasan sebagai prasyarat bagi dimulainya pembicaraan damai, tidak hanya karena hal itu tidak realistis mengharapkan Abbas dapat mengontrol seluruh elemen radikal, tetapi juga karena peta jalan tidak menuntut hal tersebut.

Peta jalan, dalam tahap pertama, menuntut diakhirinya kekerasan oleh kedua belah pihak dan juga diakhirinya seluruh aktivitas perkampungan ilegal, termasuk perluasan perkampungan yang sudah ada dan pembongkaran sejumlah kamp militer di Tepi Barat. Penghentian kekerasan oleh Palestina bukanlah prasyarat bagi Israel untuk menaati kewajibannya dalam soal perkampungan. Keduanya harus diimplementasikan secara serentak.

Rencana Sharon untuk mundur dari Jalur Gaza merupakan langkah brilian. Hal ini pada dasarnya dimotivasi oleh keinginan untuk mengurangi korban dan menyelamatkan nyawa rakyat Israel sendiri. Rencana penarikan dari Jalur Gaza juga memiliki keuntungan tambahan untuk membangun imej Sharon, orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal di Sabra dan Shatilla, sebagai sosok moderat di mata masyarakat internasional ketika banyak kalangan di dalam partainya menentang rencana itu.

Memang dari pertemuan di Sharm el-Sheikh itu Ariel Sharon mendapatkan momentum karena ia bisa hadir di negara Arab terbesar (Mesir) dengan diapit tiga pemimpin Arab, padahal selama ini Sharon dicitrakan sebagai tokoh Yahudi yang tangannya penuh dengan lumuran darah Arab. Kecuali itu, Sharon juga mendengar sendiri deklarasi Presiden Abbas tentang berakhirnya segala bentuk kekerasan dan kemungkinan kembalinya Duta Besar Mesir dan Jordania ke Tel Aviv. Namun, di atas bangunan tersebut, sebenarnya Presiden Abbas mendapatkan keuntungan lipat ganda karena sesungguhnya deklarasi itu menguntungkan gerakan perlawanan Palestina karena gerakan perlawanan itu memberikan gencatan senjata kepada Presiden Abbas bukan kepada PM Sharon. Di situlah kepiawaian seorang Abbas. Memang, meskipun Palestina kini memiliki tokoh sekaliber Abbas, namun masa depan penyelesaian konflik di negeri itu sangat tergantung dari komitmen warga Palestina dan Israel untuk patuh dan taat kepada deklarasi Sharm el-Sheikh tersebut. Karena itu, pekerjaan rumah bagi Presiden Abbas setelah memenangi pemilu dan menjadi arsitek konferensi Sharm el-Sheikh, adalah bagaimana menjaga manuver kubu garis keras agar tidak mematuk fondasi perdamaian itu. ***

Medali Emas itu bernama Holocaust

Posted on October 24, 2005

Oleh A Fatih Syuhud *Harian Pelita, Senin 24 Oktober 2005

Israel bisa saja berlindung di balik Amerika, tetapi sinyal buat Tel Aviv dari seluruh dunia sangatlah lantang dan jelas. Tidak hanya pemerintahan Ariel Sharon sedang menggiring negaranya ke jurang dalam menghadapi rakyat Palestina tetapi metode Israel dalam melibatkan negara lain dengan berkedok Holocaust, bencana pembunuhan atas enam juta Yahudi oleh Nazi Jerman, semakin menjadi kontraproduktif.

Tidak ada yang lebih benar dalam konteks hubungan kompleks antara Yahudi dan Jerman. Jerman sedang berusaha melawan Israel yang selalu bersikeras untuk mengabadikan apa yang pernah diperbuat Nazi pada kaum Yahudi. Bermula dari Willy Brandt, Republik Federal Jerman secara lantang memproklamirkan pertanggungjawaban dan penyesalan kolektif bangsa atas tragedi Holocaust. Dengan kekuatan Yahudi Amerika, kaum Yahudi juga menuntut kompensasi finansial dari perusahan Jerman yang terlibat dalam kriminal tersebut. Pada waktu yang sama, Jerman memberlakukan hukum yang keras terhadap berbagai aktivitas neo-Nazi dan bahkan pemujaan atas Hitler.Adaptasi besar yang harus dilakukan Jerman Timur setelah reunifikasi telah menggiring sebagian kalangan mudanya terlibat dalam aktivitas neo-Nazi sebagai bentuk protes yang juga dilakukan sebagian kecil di Jerman bagian barat. Ironisnya, Yahudi, sekitar setengah juta sebelum Perang Dunia II, saat ini justru membanjiri Jerman. Dari jumlah 15.000 pada akhir perang dan 33.000 pada 1990, jumlah mereka telah mencapai 200.000 saat ini. Fakta menunjukkan, terdapat lebih banyak Yahudi yang bermigrasi ke Jerman daripada ke Israel.

Generasi baru Jerman sekarang mempertanyakan mengapa mereka harus memikul tanggung jawab atas apa yang dilakukan Hitler. Mengeritik warga Yahudi dianggap tabu di Jerman, tetapi semakin banyak suara yang memprotes sikap ini. Sebagai contoh, Martin Walser, salah satu penulis paling dihormati di Jerman, mengeluh sekitar tujuh tahun lalu atas terlalu seringnya Holocaust dipakai sebagai pagar moral dalam perdebatan Majalah Economist, London, mengutip seorang pejabat Jerman mengatakan tahun lalu: We are defencless. Kami tidak dapat mengungkapkan kebenaran; kami selalu takut (terhadap Yahudi).

Pada akhir tahun 2003, seorang jenderal Jerman, Reinhard Guenzel, dicopot jabatannya karena dia menulis pada seorang anggota parlemen membenarkan komentarnya tentang Yahudi. Politisi tersebut, Martin Hohmann dari partai oposisi Christian Democratic Union (CDU), mengatakan bahwa Yahudi, yang terbunuh dalam jumlah jutaan pada Revolusi Bolshevik 1917, adalah bangsa yang melakukan kejahatan sama dengan yang dilakukan Jerman pada era Hitler. Partai CDU terpaksa memecat Hohmann dengan suara 195 banding 28. Perlu dicatat, bahwa di samping suara yang menentang, terdapat 28 suara abstain, dan empat dinyatakan tidak sah karena kertasnya rusak dan lima Anggota Parlemen tidak hadir. Dan kantor partai CDU dipenuhi oleh banyak email yang mendukung Hohmann.

Tentunya Israel akan menafsiri hal ini sebagai tanda anti-Semitisme. Tentunya lebih bijaksana bagi Israel untuk berintrospeksi dan mempertimbangkan kembali keuntungan mengeksploitasi masa lalu mereka untuk keuntungan politik. Pertanyaan yang akan berkembang adalah: Bagaimana sebuah bangsa yang lahir dari tragedi Holocaust dapat melakukan hal yang sama?

Jawabannya diberikan oleh rakyat Palestina, sebagian kalangan Israel sendiri dan dunia. Empat mantan kepala agen keamanan Israel, Shin Bet, telah memperingatkan Perdana Menteri Ariel Sharon bahwa kebijakan represif pemerintah terhadap rakyat Palestina akan mengakibatkan bencana bagi Israel. Mereka merujuk pada berbagai tindakan pemerintah yang merencanakan solusi dua-negara. Dalam negara tunggal, Yahudi akan kalah jumlahnya dengan rakyat Palestina; yang terakhir akan dipaksa untuk hidup di perkampungan ala sistem apartheid.

Saat ini, terdapat 150 perkampungan ilegal di mana sekitar 230.000 pemukim Yahudi tinggal di kawasan pendudukan Tepi Barat. Tidak hanya warga Israel membangun pagar mirip Tembok Berlin untuk mengalienasi rakyat Palestina, yang dalam prosesnya juga membantu mereka menguasai bagian luas tanah dan rumah warga Palestina, tetapi mereka juga memperluas perkampungan ilegal. Dengan kata lain, solusi dua-negara yang banyak didengungkan semakin menjadi lelucon, dengan rakyat Palestina yang bertahan pada pandangan negara tunggal yang menaungi Yahudi dan Arab. Palestina dapat memperjuangankan hak yang sama di negara baru itu. Sekitar satu juta Arab Palestina yang tinggal di Israel sebagai warga kelas dua.

Tidak heran bahwa orang Eropa banyak menentang perilaku Israel. Survei yang diadakan baru-baru ini menyatakan bahwa tujuh dari 10 orang Eropa menganggap Israel sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian dunia, mengungguli Korea Utara dan Iran. Kendati demikian, Jerman termasuk negara Eropa yang paling kecil anti-Semit-nya. Sebuah survei yang diadakan American Jewish Committee tahun lalu menyatakan bahwa hanya 17 persen warga Jerman yang mengatakan bahwa mereka lebih memilih tidak bertetangga dengan Yahudi dan tujuh dari 10 rakyat Jerman mengatakan bahwa adalah sangat penting kalau Jerman belajar dari tragedi Holocaust.

Namun demikian, tindakan Israel terhadap warga Palestina dan propaganda negara atas Holocaust sebagai lencana kehormatan semakin mendorong rakyat Jerman untuk mempertanyakan basis kerentanan negara mereka sendiri. Satu penjelasan dari pemungutan suara yang menentang pemecatan Hohmann dari CDU adalah bahwa itu merupakan suara mewakili masyarakat yang terbuka. Bangsa Jerman telah membayar hutang mereka pada Yahudi atas tindakan Nazi, tidak hanya melalui penerimaan tanggung jawab kolektif secara publik tetapi juga dengan menawarkan kompensasi finansial.

Akibat adanya bom bunuh diri yang dilakukan warga Palestina, kamp perdamaian di Israel menjadi sekarat, tetapi tanda-tanda pemberontakan semakin meningkat yang menjadi salah satu motivasi Sharon untuk menarik diri dari Jalur Gaza.

Terlepas dari sejumlah peringatan dari mantan direktur, agen rahasia, KASAD Israel, Letjen Moshe Yaalon, yang dinyatakan bulan lalu bahwa jaringan restriksi atas warga Palestina telah mengakibatkan meningkatnya militansi. Sebanyak 27 pilot cadangan Angkatan Udara Israel mengatakan pada September tahun lalu bahwa mereka menentang serangan udara di kawasan padat penduduk yang ditempati kalangan militan Palestina. Begitu juga, beberapa ratus tentara cadangan Israel menolak bertugas di Tepi, beberapa dari mereka dipenjarakan.

Tetapi kalangan penentang ini kalah jauh jumlahnya dalam kondisi Israel saat ini; begitu juga tidak ada alasan untuk optimistik akan adanya perubahan cara pandang Israel terhadap mereka sendiri. Kemauan generasi muda Israel untuk menjadi sebuah bangsa yang normal berbenturan dengan keunikan Israel sebagai bangsa yang disemati label Holocaust. Banyak orang Israel percaya bahwa sepanjang mereka masih di bawah perlindungan AS, mereka dapat berbuat apa saja.

Mantan Penasihat Keamanan Nasional AS, Zbigniew Brzezinski, pernah menggambarkan sikap pimpinan politik AS atas Israel sebagai kepengecutan politik. Kepengecutan itu berasal dari cengkeraman kelompok Yahudi dalam proses politik Amerika.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Agra University, India

Seabad Perjuangan Wanita di Panggung Politik

Posted on November 24, 2003

Oleh A Fatih SyuhudBali Post, Senin Wage, 24 Nopember 2003

BULAN Oktober seratus tahun yang lalu, sekelompok wanita di Inggris melancarkan kampanye menuntut diberikannya hak pilih bagi wanita. Perjuangan itu dipimpin oleh Emmeline Pankhurst dan Women Social and Political Union (WSPU) serta putrinya, Christabel, pada Oktober 1903. Perjuangan mereka akhirnya berhasil menelorkan Equal Franchise Act yang disahkan pada 2 Juli 1928, 25 tahun kemudian dan hanya beberapa minggu sebelum Emmeline meninggal dunia.

WSPU menggunakan cara non-kekerasan dan kekerasan untuk mencapai perjuangan mereka. Kelompok pejuang wanita itu kemudian ditahan. Mereka terus melakukan mogok makan. Pada saat tertentu, Emmeline ditahan hampir setiap bulan dalam setahun. Tetapi pada akhir usaha mereka, kelompok wanita ini berhasil mendapatkan hak pilihnya. Memang, kalangan suffragist (kebalikan dari aliran suffragett yang dianut Emmeline) memperjuangkan hal yang sama dengan menggunakan cara yang lebih halus. Saat ini, Fawcett Society, yang dibentuk oleh Millicent Fawcett, masih eksis dan terus berjuang untuk mendapatkan quota representasi wanita yang lebih besar dalam politik Inggris. Mereka berpendapat ada empat C yang mencegah wanita dari berpartisipasi secara lebih luas dalam dunia Politik, yaitu Culture (budaya), Childcare (pemeliharaan anak), Cash (dana) dan Confidence (kepercayaan diri).

Di era kontemporer saat ini, ide dan pemikiran bahwa wanita merupakan makhluk yang lebih rendah dibanding lelaki dan karenanya tidak pantas untuk memilih dan dipilih, tampak aneh dan lucu. Namun, ide itu eksis dan terjadi baru seratus tahun lalu, di salah satu bangsa yang dianggap lebih maju peradabannya.

Dewasa ini, kaum wanita sudah menganggap lumrah terhadap banyak hal. Di negeri ini, wanita tidak perlu lagi berjuang untuk mendapatkan hak pilihnya. Persamaan hak politik dijamin dalam Konstitusi UUD 45. Kendati penghalang legal atas persamaan wanita dan lelaki sudah tidak ada, kita tahu bahwa rintangan mental masih eksis. Jauh di dalam psikis kaum lelaki, kaum wanita masih dianggap sebagai agak inferior dalam banyak segi: dari perspektif gender, ketidakmampuan dalam menggunakan rasionalitas, dalam berpartisipasi di berbagai proses politik dan ekonomi sebagai manusia dewasa. Tidak ada yang akan mengatakan hal ini secara terbuka karena akan dianggap blunder secara politis. Tetapi kalau kita tengok di bawah permukaan, pancinglah kaum lelaki dalam soal ini ketika mereka lagi kurang waspada, maka sikap asli mereka akan tampak.

Kontroversi tentang sah tidaknya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI pada pemilu 1999 yang diluncurkan oleh sejumlah parpol, menguatkan sinyalemen ini.

Hal-hal lain yang memperkuat asumsi ini terbukti dalam debat berkepanjangan di DPR tentang quota kursi bagi wanita di DPR. Kita tetap memakai alasan yang sama. Apa hukum yang mendasari? Formula apa yang akan dipakai? Apakah sepertiga, seperempat, separuh atau tidak sama sekali? Setelah ritual diskusi, debat, dan polemik yang berkepanjangan di berbagai media, hasilnya tetap sama. Sikap kita tetap tidak berbeda dengan seratus tahun lalu.

Isu Sulit

Perbuatan bukan perkataan adalah motto kaum wanita yang memperjuangkan hak pilih mereka di Inggris. Emmeline Pankhurst adalah seorang wanita yang mengesankan, hidup dan perjuangannya bergaung sampai detik ini. Dia menikah dengan Richard Pankhurst, seorang pengacara di Manchester yang memprakarsai rancangan undang-undang hak pilih wanita pertama. Ia juga memformulasikan Married Womens Property Act tahun 1870 dan 1882 yang membolehkan wanita untuk memiliki harta hasil keringat sendiri dan juga benda-benda yang mereka beli sendiri sebelum atau sesudah perkawinan.

Berbagi kekuasaan politik dengan wanita masih tetap menjadi isu yang sulit, termasuk di negeri semacam Inggris, tempat kelahiran gerakan suffragett (hak pilih). Ketika lebih dari 100 wanita terpilih di Parlemen Inggris pada 1997, yang mengantar kemenangan Partai Buruh pimpinan Tony Blair, media langsung merendahkan wanita-wanita ini dengan menyebut mereka sebagai Blairs Babes. Implikasi di balik deskripsi itu adalah bahwa wanita-wanita tersebut menjadi anggota parlemen karena jasa dari pendekar politik mereka (baca, Tony Blair) dan bukan karena kemampuan mereka sendiri.

Wanita juga terpilih dalam jumlah besar di Wales dan Skotlandia pada 1999. Tetapi mereka tidak mendapatkan perlakuan yang merendahkan seperti dalam kasus wanita di Westminster. Baik di Wales maupun Skotlandia, wanita malah mengalahkan jumlah anggota parlemen laki-laki. Setelah pemilu 2003, parlemen Welsh menjadi yang pertama di dunia di mana wanita sama jumlahnya dengan laki-laki di parlemen. Tetapi di Westminster jumlah anggota parlemen wanita menurun pada pemilu 2001 dan Partai Buruh, yang berperan sangat signifikan dalam menambah jumlah wanita di Parlemen, hanya berhasil mendapatkan 95 kursi bagi anggota parlemen wanita, dibanding 100 kursi lebih pada pemilu sebelumnya.

Jumlah ini mungkin tampak kurang signifikan tetapi dengan adanya fakta bahwa wanita bekerja keras untuk menambah jumlah mereka untuk mencapai 18 persen di parlemen, hilangnya satu kursi sekalipun menjadi penting. Secara historis antara tahun 1918, ketika wanita pertama terpilih menduduki kursi parlemen Inggris sampai tahun 2001, hanya 173 wanita yang pernah terpilih.

Apakah dari paparan di atas kita dapat berkesimpulan bahwa pembagian kekuasaan (power-sharing) antara lelaki dan wanita dapat diterima sepanjang tidak berisiko tinggi?

Menarik untuk dicatat bagaimana kasus sejumlah kecil politisi wanita, khususnya yang pernah terlibat skandal korupsi, secara konstan dimunculkan sebagai alasan untuk tidak memberikan konsesi khusus pada wanita. Tetapi perjuangan kalangan gerakan suffraget bukanlah menuntut keistimewaan khusus. Yang mereka inginkan adalah kesamaan hak sebagaimana yang dimiliki lelaki. Senada dengan ini, adanya tuntutan bahwa semakin banyak wanita yang memasuki lembaga parlemen bukanlah berdasarkan asumsi bahwa wanita memiliki hak-hak khusus atau bahwa mereka akan menjadi pemimpin yang lebih baik (kendati terkadang itulah yang terjadi). Tetapi bahwa mereka memiliki hak yang sama untuk berada di sana sebagaimana juga lelaki.

Dalam medan permainan yang tidak sejajar, membantu mereka untuk mendapatkan kursi dewan melalui quota atau cara lain adalah perlu dan hendaknya tidak dilihat sebagai perlakuan khusus. Sayangnya, ketika emosi irasional terlibat, maka argumen rasional biasanya tidak akan jalan. Dalam bidang partisipasi wanita dalam dunia politik, rasionalitas selalu menjadi korban pertama.

Penulis, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Agra University, India

Universalisme Demokrasi

Posted on December 10, 2012

Oleh A Fatih Syuhud

Natan Sharansky, disiden terkenal Yahudi Soviet yang dibebaskan setelah hukuman penjara sembilan tahun, terkadang dianggap sebagai inspirasi untuk kebijakan perubahan rezim neo-konsevatif. Khusus mengenai pandangannya pada rasionalisasi neo-imperialisme terbaru dalam mencegah terjadinya prinsip kedaulatan nasional dengan atau tanpa intervensi bersenjata, dan tentang keefektivan aktual dalam menghasilkan perdamaian yang stabil.

Argumen Sharansky, seperti tersebut dalam bukunya The Case for Democracy: The Power of Freedom to Overcome Tyranny and Terror (dengan Ron Dermer, Public Affairs, New York 2004) adalah berdasarkan pada keyakinan bahwa apa pun rezim atau budaya, seluruh umat manusia pada dasarnya mencintai kebebasan, dan akan memilihnya apabila diberi kesempatan, sebagaimana yang terjadi pada Eropa Timur pada 1989. Dia juga berpendapat bahwa disiden di era moral hitam putih Uni Soviet membutuhkan kekuatan batin untuk melawan kejahatan. Dalam membagi bangsa-bangsa ke dalam masyarakat yang bebas dan masyarakat yang takut (fear society), dia menggambarkan pemerintahan pada kelompok kedua sebagai merampas kebebasan, hak milik, budaya dan sejarah rakyatnya. Ketika teror internal tidak lagi ada, pemerintah semacam itu akan menciptakan lawan eksternal, baik riil atau hanya persepsi, guna memelihara dukungan populer. Dalam menghadapi ancaman eksternal, rakyat akan secara sukarela tunduk pada segala bentuk deprivasi dan ongkos yang mesti diemban: negara sebebas Amerika sekalipun telah mentoleransi perampasan hak kebebasan sipil pasca-11/9.

Mekanisme demokrasi menciptakan pemimpin yang bertanggung jawab yang tidak dapat terpilih kembali apabila mereka mengadopsi kebijakan agresif tanpa dukungan dari publik. Dengan demikian, demokrasi lebih enggan melakukan perang sekalipun apabila kepentingan nasionalnya sendiri memaksa melakukannya. Sharansky menyimpulkan bahwa karena sistem demokrasi bertindak sebagai rem pada individu agresif, maka hanya demokrasi yang dapat menjadi basis menuju perdamaian murni dalam bentuk apa pun.

Tesisnya ini didukung oleh kajian empiris yang menunjukkan bahwa masyarakat demokratis tidak akan berperang satu sama lain. Semuanya tergantung pada bagaimana demokrasi itu didefinisikan, dan dengan merasuknya demokrasi ke dalam berbagai budaya yang berbeda, banyak hal yang perlu direkonsiliasikan.

Ada dua hal berbeda yang cukup penting antara agenda Sharansky dan agenda yang dianut AS di Irak. Untuk melunakkan negara yang berpotensi ancaman, dia mendukung sanksi dan tekanan diplomatik yang dikaitkan dengan HAM, bukan intervensi militer langsung. Kedua, dia tidak sepakat dengan pengadaan pemilu di negara yang baru dibebaskan. Sebaliknya, dia lebih memilih periode interim selama tiga sampai empat tahun untuk membangun institusi sipil, membangun sistem kebebasan baru. Karena tesisnya ini berkaitan dengan masyarakat yang telah terbebas, maka teori ini tentunya tidak berlaku untuk kasus Irak saat ini.

Berbeda dengan kalangan realis, Sharansky menekankan perlunya moralitas dalam hubungan internasional. Akan tetapi pemahamannya atas moralitas berbeda dengan kalangan liberal Amerika dan Eropa yang kritiknya atas Reagan dan Bush dia anggap sebagai pembasmian moral, yang berdasar pada kurangnya analisis atas karakter sebenarnya dari totalitarianisme.

Kebebasan bukanlah ketakutan, tapi tatanan. Kebebasan harus dijaga dari pembusukan kebebasan mutlak dan kekacauan. Sebagaimana tatanan dari sikap opresif dan kejam. Akan tetapi kebutuhan sosial atas tatanan sama validnya dengan butuhnya individual atas kebebasan.

Kondisi tak stabil dapat membuka jalan ketertiban melalui rezim totalitarian, otoritarian, atau despot. Hal ini pada gilirannya akan mengecewakan dan mengaktifkan kemauan untuk bebas. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan ketertiban, khusus untuk dunia ketiga, bagi pembangunan ekonomi.

Sharansky membuat dikotomi terlalu tajam antara demokrasi dan tirani, karena sejumlah rezim non-demokratik ada juga yang menghormati HAM.

Bangsa Tibet pada prakemerdekaan 1949, sebagai contoh, tidak dapat memenuhi separuh dari empat poin tes kebebasan Sharansky. Pertama, rakyat tidak dapat berbicara terus terang apabila itu bertujuan untuk mengeritik Dalai Lama. Kedua, mereka tidak dapat mempublikasikan (menyiarkan) opini yg menentang. Tetapi mereka, ini yang ketiga, bebas mengamalkan agama dan kepercayaan. Keempat, bebas mempelajari sejarah dan budaya mereka.

Begitu juga, Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew yang dikritik tajam karena mengekang kebebasan berpolitik, tapi berhasil gemilang dalam mengantar penduduk negara-kota itu menjadi terdidik, terintegrasi, makmur dan tenang.

Memang, humanisme modern dengan fondasi HAM mendapat tempat ekspresi terbaiknya pada sistem demokrasi. Akan tetapi paradigma HAM seperti yang terdapat dalam Universal Declaration itu sendiri agak kontroversial mengingat konsepsi dasarnya diambil dari nilai-nilai Yudeo-Kristen, yang dipandang oleh sebagian kalangan sebagai berbau kental nuansa kultur dan sosial barat dan karena itu bukan murni bernilai universal. Kehendak untuk tidak ditindas dan dikekang, keinginan untuk bebas dari rasa takut, jelas bernilai universal. Tetapi kebebasan dalam sistem demokrasi termasuk di dalamnya bebas untuk tak jarang bertentangan dengan budaya lokal, dan dapat dianggap sebagai ancaman pada kultur dan tatanan sosial yang ada.

Dengan demikian, proyek demokratisasi tampaknya menjadi tantangan pada esensi pluralisme umat manusia, kecuali apabila dibuat pemisahan jelas antara politik dan kultur, yang cukup problematik. Dalam dunia kontemporer, demokrasi sedang mendapat tempat sebagai bentuk pemerintahan ideal. Apabila ia terbukti fleksibel untuk beradaptasi, dan kultur setempat dapat menerima separonya saja, maksa aplikasinya dapat terus meningkat.

Apabila lebih banyak lagi negara yang terdemokratisasi tanpa serangan pada kedaulatan mereka, tidak seperti dalam kasus Irak, maka skenario terciptanya kesepakatan internasional semakin dimungkinkan. Ini bukan jaminan 100 persen menuju perdamaian, tetapi jelas dapat mengurangi potensi konflik.***