contoh layout buku understanding exposure

4
50 APERTURE APERTURE DAN DEPTH-OF-FIELD 51 A perture adalah sebuah “lubang” yang ditempatkan di dalam lensa, yang juga dikenal sebagai diafragma. Lubang ini ter- bentuk oleh serangkaian enam bilah logam tumpang tindih. Tergantung pada kamera masing-masing, Anda bisa membuat pe- nyesuaian aperture pada lensa atau pada kamera. Saat Anda melakukannya, ukuran lubang di lensa entah membesar atau me- nyempit. Hal ini, pada gilirannya, memung- kinkan masuknya lebih banyak atau lebih sedikit cahaya ke dalam lensa yang kemu- dian mengenai media digital (atau film). Bagi semua lensa, angka aperture terke- cil—entah 1.4, 2, 2.8, atau 4, tergantung pada lensanya—merefleksikan bukaan ter- lebar dan akan selalu membiarkan masuknya sejumlah besar cahaya. Setiap kali menyetel lensa pada angka aperture terkecil (atau f-stop), Anda memotret dengan “bukaan lebar.” Ketika Anda mengganti setelannya dari angka aperture kecil ke yang lebih besar, berarti Anda mengurangi ukuran bukaan dan “menurunkan stop lensa.” Angka aperture terbesar biasanya 16, 22, atau 32 (atau hanya 8 atau 11 pada kamera digital berlensa tetap). Mengapa Anda harus bisa mengubah ukuran bukaan lensa? Yah, selama berta- hun-tahun, aliran pemikiran yang umum mengatakan demikian, bahwa berhubung tingkat cahaya bervariasi dari cerah ke gelap, maka Anda harus bisa mengontrol aliran cahaya yang mencapai sensor. Dan, Aperture dan Depth-of-Field PILIHAN tentang latar belakang itu berada di tangan Anda sendiri, jika Anda mengetahui cara menentukan ruang tajam. Hal ini terutama berlaku ketika Anda menggunakan lensa telephoto. Saya membuat gambar di atas pada bukaan sempit f/32, memastikan agar tidak hanya dahannya yang fokus tajam tapi juga latar belakangnya lebih jernih dibandingkan dengan gambar di halaman berikutnya karena bertambahnya ruang tajam sebagai akibat dari bukaan lensa yang sempit. Saya lebih memilih latar belakang yang kurang jernih. Kedua foto menggunakan lensa 80–400mm pada 400mm. f/32, 1/30 detik. Halaman berikutnya: f/5.6, 1/1000 detik. tentu saja, cara melakukannya adalah de- ngan membuat lubangnya (aperture) men- jadi lebih sempit atau lebih lebar. Logika ini menunjukkan bahwa ketika Anda memotret pada hari yang cerah di pantai Karibia yang berpasir putih, Anda harus menurunkan stop lensa, membuat bukaan lensanya menjadi sangat kecil. Pada kamera film zaman dulu, melakukan hal itu akan memastikan bahwa tingkat kecerahan pasir tidak “membolongi” film, dan karena Anda tentu tidak ingin membolongi sensor digital Anda saat ini, menurunkan stop akan mencegah masuk- nya terlalu banyak cahaya ke dalam objek. Dengan logika yang sama maka ketika Anda berada dalam katedral abad keempat belas yang temaram, Anda harus mengatur buka- an lensanya lebar-lebar supaya ada sebanyak mungkin cahaya yang masuk ke lensa dan mengenai media digital ataupun film. Meskipun saran ini bertujuan baik, saya tidak sependapat lagi dengan mereka. Mereka menjebak para fotografer pada hasil yang tidak konsisten. Mengapa? Karena mereka tidak mempertimbangkan fungsi aperture yang jauh lebih penting, yaitu kemampuannya untuk menentukan depth- of-field (DoF), ruang tajam. Apa itu depth-of-field? Itu adalah ruang tajam (dari dekat ke jauh) di dalam sebuah foto. Seperti yang pasti Anda sadari saat mengamati foto-foto, ada beberapa gambar yang mengandung banyak ketajaman. Anda mungkin terkesima oleh “teknik” yang digunakan fotografer profesional untuk merekam ketajaman ekstrem di seluruh gambar—sebagai contohnya, dari bunga pada latar depan sampai pegunungan di kejauhan. Ketika Anda mencoba untuk men- capai ketajaman secara menyeluruh dalam komposisi seperti ini, Anda mungkin me- nemukan bahwa ketika Anda berfokus pada bunga di latar depan, latar belakang pegu- nungannya akan tampak out-of-focus; dan ketika Anda berfokus pada pegunungan, bunganya akan menjadi out-of-focus. Se- lama bertahun-tahun, ada lebih dari satu siswa yang berkata kepada saya, “Andai saja aku memiliki salah satu kamera ‘profesional’ itu yang akan memungkinkanku untuk Understanding Eksposur Booklet.indb 3-4 26/04/2013 15:37:35

Upload: pt-serambi-ilmu-semesta

Post on 21-May-2015

172 views

Category:

Design


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Contoh Layout Buku Understanding Exposure

50 APERTURE APERTURE dAn dEPTh-of-fiEld 51

Aperture adalah sebuah “lubang” yang ditempatkan di dalam lensa, yang juga

dikenal sebagai diafragma. Lubang ini ter­bentuk oleh serangkaian enam bilah logam tumpang tindih. Tergantung pada kamera masing­masing, Anda bisa membuat pe ­nyesu aian aperture pada lensa atau pada kamera. Saat Anda melakukannya, ukuran lubang di lensa entah membesar atau me ­nyempit. Hal ini, pada gilirannya, memung­kinkan masuknya lebih banyak atau lebih sedikit cahaya ke dalam lensa yang kemu­dian mengenai media digital (atau film).

Bagi semua lensa, angka aperture terke­cil—entah 1.4, 2, 2.8, atau 4, tergantung pada lensanya—merefleksikan bukaan ter­lebar dan akan selalu membiarkan masuknya

sejumlah besar cahaya. Setiap kali menyetel lensa pada angka aperture terkecil (atau f-stop), Anda memotret dengan “bukaan lebar.” Ketika Anda mengganti setelannya dari angka aperture kecil ke yang lebih besar, berarti Anda mengurangi ukuran bukaan dan “menurunkan stop lensa.”

Angka aperture terbesar biasanya 16, 22, atau 32 (atau hanya 8 atau 11 pada kamera digital berlensa tetap).

Mengapa Anda harus bisa mengubah ukuran bukaan lensa? Yah, selama berta­hun­tahun, aliran pemikiran yang umum me ngatakan demikian, bahwa berhubung ting kat cahaya bervariasi dari cerah ke gelap, maka Anda harus bisa mengontrol aliran cahaya yang mencapai sensor. Dan,

Aperture dan Depth-of-Field

Pilihan tentang latar belakang itu berada di tangan Anda sendiri, jika Anda mengetahui cara menentukan ruang tajam. Hal ini terutama berlaku ketika Anda menggunakan lensa telephoto. Saya mem buat gambar di atas pada bukaan sempit f/32, me mastikan agar tidak hanya dahannya yang fokus tajam tapi juga latar belakang nya lebih jernih dibanding kan dengan gam bar di halaman berikutnya karena bertambah nya ruang tajam sebagai akibat dari bukaan lensa yang sempit. Saya lebih memilih latar belakang yang kurang jernih.

Kedua foto menggunakan lensa 80–400mm pada 400mm. f/32, 1/30 detik. Halaman berikutnya: f/5.6, 1/1000 detik.

tentu saja, cara melakukannya adalah de ­ngan membuat lubangnya (aperture) men­jadi lebih sempit atau lebih lebar. Logika ini menunjukkan bahwa ketika Anda memotret pada hari yang cerah di pantai Karibia yang berpasir putih, Anda harus menurunkan stop lensa, membuat bukaan lensanya menjadi sangat kecil. Pada kamera film zaman dulu, melakukan hal itu akan memastikan bahwa tingkat kecerahan pasir tidak “membolongi” film, dan karena Anda tentu tidak ingin membolongi sensor digital Anda saat ini, menurunkan stop akan mencegah masuk­nya terlalu banyak cahaya ke dalam objek. De ngan logika yang sama maka ketika Anda berada dalam katedral abad keempat belas yang temaram, Anda harus mengatur buka­ an lensanya lebar­lebar supaya ada sebanyak mungkin cahaya yang masuk ke lensa dan mengenai media digital ataupun film.

Meskipun saran ini bertujuan baik, saya tidak sependapat lagi dengan mereka. Mereka menjebak para fotografer pada hasil yang tidak konsisten. Mengapa? Karena mereka tidak memper timbangkan fungsi

aperture yang jauh lebih penting, yaitu kemampuannya untuk me nen tukan depth-of-field (DoF), ruang tajam.

Apa itu depth-of-field? Itu adalah ruang tajam (dari dekat ke jauh) di dalam sebuah foto. Seperti yang pasti Anda sadari saat mengamati foto­foto, ada beberapa gambar yang mengandung banyak ketajaman. Anda mungkin terkesima oleh “teknik” yang di gunakan fotografer profesional untuk me rekam ketajaman ekstrem di seluruh gam bar—sebagai contohnya, dari bunga pada latar depan sampai pegunungan di kejauhan. Ketika Anda mencoba untuk men­capai ketajaman secara menyeluruh dalam komposisi seperti ini, Anda mungkin me ­nemukan bahwa ketika Anda berfokus pada bunga di latar depan, latar belakang pegu­nungannya akan tampak out-of-focus; dan ketika Anda berfokus pada pegunungan, bunganya akan menjadi out-of-focus. Se ­lama bertahun­tahun, ada lebih dari satu siswa yang berkata kepada saya, “Andai saja aku memiliki salah satu kamera ‘profesional’ itu yang akan memungkinkanku untuk

Understanding Eksposur Booklet.indb 3-4 26/04/2013 15:37:35

Page 2: Contoh Layout Buku Understanding Exposure

52 APERTURE APERTURE dAn dEPTh-of-fiEld 53

menda patkan ketajaman yang jernih dari depan­ke­belakang.” Mereka tidak percaya begitu saya memberitahukan bahwa me ­reka sudah punya kamera semacam itu! Yang perlu mereka lakukan hanyalah me ­manfaatkan depth-of-field! Demikian pula, eksposur bunga tunggal dengan latar be ­lakang yang out-of-focus (lihat halaman 63) merupakan hasil langsung dari penggunaan DoF secara kreatif.

Apa tepatnya yang memengaruhi depth-of-field? Ada beberapa faktor yang berperan: panjang fokal lensa, jarak antara Anda dan subjek yang ingin Anda fokuskan, dan aperture yang Anda pilih. Saya merasa yakin bahwa dari ketiga elemen tersebut, aperture­lah yang terpenting.

Secara teori, sebuah lensa mampu mem fokuskan hanya pada satu objek pada satu waktu; sedangkan untuk semua objek dalam komposisi Anda, semakin jauh me ­reka dari subjek terfokus—apakah itu di depan atau di belakangnya—akan semakin out-of-focus mereka jadinya. Berhubung teori ini berdasarkan pada cara melihat sebuah pemandangan melalui bukaan lensa yang terbesar, penting bagi Anda untuk memahami pemilihan aperture. Ya, cahaya yang memantul dari subjek menciptakan sebuah citra pada media digital (atau film), namun aperture terpilihlah yang menen­tukan seberapa baik citra ini “terbentuk” pada sensor. Hukum optikal menyatakan bahwa semakin kecil bukaan setiap lensa (yaitu dengan angka f-stop besar—16, 22, atau 32), semakin besar atau dalam ruang tajam di dalam foto. Ketika menggunakan aperture pada bukaan lebar (yaitu dengan angka f-stop kecil—2.8, 4, atau 5.6), hanya cahaya yang jatuh pada subjek terfokus

yang akan dianggap sebagai “tajam”; semua cahaya lain dalam pemandangan akan “ber­hamburan” di sepanjang sensor digital atau film. Sebagai akibatnya, cahaya ini terekam sebagai gumpalan, bayangan kabur, dan cahaya yang out-of-focus.

Sebaliknya, saat objek yang sama difoto pada bukaan lensa sangat kecil, seperti f/22, ledakan cahaya yang memasuki lensa ber­kurang jauh. Gambar yang dihasilkan me ­muat area ketajaman dan detail yang lebih luas karena cahaya tidak “berhamburan” di sensor (atau bidang film) tetapi terbatas pada lubang kecil saat melintas melalui lensa. Bayangkan Anda menggunakan co ­rong dengan bukaan sangat kecil dan me ­nuangkan satu galon kaleng cat melaluinya ke dalam sebuah ember kosong. Bandingkan proses ini dengan menuang satu galon cat ke ember kosong yang sama tanpa bantuan corong. Tanpa corong, cat masuk ke ember lebih cepat, tapi juga menciprati sisi­sisi ember. Dengan corong, pemindahan cat ke dalam ember jauh lebih bersih dan lebih efisien.

Dengan mengingat hal ini, Anda dapat melihat bahwa ketika cahaya dibiarkan melewati bukaan kecil di lensa, hasilnya selalu berupa ruang tajam dan detail yang lebih besar. Apakah ini berarti bahwa Anda harus selalu berusaha untuk menembak gambar “rapi” dibandingkan dengan gambar “berantakan yang isinya menciprat ke mana­mana”? Tentu saja tidak! Materi subjek dan kedalaman bidang ketajaman yang ingin Anda rekam akan menentukan pilihan aperture­nya—dan ini berbeda­beda antara gambar yang satu dengan gambar yang lain.

KetiKa duduk di dekat api unggun, saya dikunjungi oleh seekor Nutcracker Clark, atau “perampok perkemahan,” seperti yang sering disebut bebe rapa peserta kemah—dan alasannya juga tepat, karena burung-burung ini terkenal sangat berani dan dapat melarikan barang-barang kecil. Setelah menyetel panjang fokal saya pada 300mm, saya dapat membatasi kompo sisi hanya pada puncak pohon dan burungnya. Berhubung jarak saya dengan si burung relatif dekat, dan berhubung pepohonan di latar bela kangnya sekitar enam meter dari pohon tempat nya bertengger, burung itu benar-benar tampak terisolasi. Aperture f/5.6 ikut membantu memisah kan burung dari latar belakangnya.

Lensa 75–300mm pada panjang 300mm, f/5.6, 1/500 detik.

MeMotret matahari terbenam di sepanjang garis pantai Oregon pada bulan Oktober sama seperti memenangkan lotere, dan wajar untuk mengatakan bahwa siswa-siswa workshop saya dan saya sendiri mengambil angka lotere yang tepat pada akhir pekan ini, karena keadaannya terus-menerus cerah selama tiga hari! Untungnya bagi saya, salah satu siswa saya sedang memotret sekawanan camar di utara tepat saat saya baru saja bersiap-siap memotret sungai kecil yang mengalir ke laut. Bentuk siluetnya tidak hanya menjadi daya tarik utama tetapi juga memberikan kesan skala dan kedalaman bagi komposisi keseluruhan. Tidak seperti foto di atas, gambar ini secara jelas menyampaikan ketajaman dari latar depan sampai latar belakang tak terbatas, dan inilah sebagian besar alasan untuk penggunaan bukaan diafragma kecil.

Lensa 12–24 mm pada panjang 14mm, ISO 200, f/22, 1/30 detik, filter graduated ND 3-stop

Understanding Eksposur Booklet.indb 5-6 26/04/2013 15:37:37

Page 3: Contoh Layout Buku Understanding Exposure

54 APERTURE APERTURE BERcERiTA 55

Ada tiga situasi pengambilan­gambar di mana pilihan aperture Anda men­

jadi sangat penting. Yang pertama adalah apa yang saya sebut sebagai komposisi ‘bercerita’. Sesuai namanya, ini merupakan gambar yang menyampaikan suatu cerita. Dan seperti cerita­cerita yang bagus lainnya, di dalam foto itu terdapat bagian awal (subjek di latar depan), bagian tengah (sub jek di latar tengah), dan akhir (subjek di latar belakang). Pada gambar tersebut mungkin saja ada bertangkai­tangkai gan­dum (latar depan/awal) yang berfungsi sebagai pengantar menuju sebuah rumah pertanian yang berada 15 sampai 30 meter di belakangnya (subjek utama di latar te ­ngah/tengah), yang berdiri dengan latar langit biru dan gumpalan awan putih (latar belakang/akhir.)

Jika menggunakan kamera digital de ­ngan sensor full-frame, fotografer profesional ataupun amatir yang berpengalaman sering kali menggunakan lensa zoom bersudut lebar—seperti lensa dengan panjang fokal 35mm, 28mm, 24mm, dan 20mm—untuk merekam komposisi yang bercerita. Jika menggunakan kamera digital dengan sen­sor non-full frame, fotografer yang berpe­ngalaman akan menggunakan rentang 12–18mm. Salah satu alasan utama lensa zoom bersudut lebar menjadi begitu populer adalah bahwa lensa ini sering mencakup seratus persen dari kisaran panjang fokus yang akan digunakan sang fotografer saat pengambilan citra gambar yang bercerita—yaitu, 17–35mm dengan sensor full-frame ataupun yang lebih umum digunakan 10–22mm atau 12–24mm.

Ada kalanya sebuah komposisi yang bercerita harus diambil dengan lensa tele-photo sedang (75–120mm) atau dengan lensa berpanjang fokal “normal” (45–60mm).

Tetapi terlepas dari pilihan lensanya, ada satu kekonstanan ketika membuat komposisi yang bercerita: Bukaan lensa sempit (angka f-stop paling besar) merupakan hal yang paling penting!

Setelah Anda mulai memfokuskan per­hatian pada komposisi yang bercerita, Anda mungkin bertanya­tanya: “Di mana seha­rusnya aku memfokuskan bidikan?” Ketika Anda berfokus pada tangkai gandum di latar depan, sebagai contohnya, rumah pertanian merah dan langitnya akan out-of-focus. Dan ketika Anda fokus pada rumah pertanian merah dan langitnya, tangkai gandum di latar depan akan menjadi out-of-focus. Solusi bagi dilema yang umum ini sederhana saja: Jangan fokuskan lensa nya. Sebagai gantinya, Anda melakukan preset fokus lewat distance setting.

Ada suatu masa ketika sebagian besar fotografer menggunakan lensa berpanjang­fokal­tunggal alih­alih zoom hanya karena

lensa ini lebih tajam. Sebagai tambahan, semua lensa berpanjang­fokal­tunggal dari dulu sampai sekarang memiliki apa yang disebut sebagai skala depth-of-field. Skala DoF membuat preset fokus menjadi sangat mudah, dan itu memastikan bahwa Anda akan mendapatkan ruang tajam yang Anda inginkan dalam gambar Anda. Tetapi de ­ngan perkembangan lensa zoom berkualitas tinggi, sebagian besar fotografer telah me ninggalkan lensa berpanjang­fokal­tung­gal. Tebusannya, tentu saja, adalah kita berburu gambar dengan lensa yang tidak memiliki skala depth-of-field.

Aperture Bercerita Tetapi kita punya distance setting. Se ­perti skala DoF, distance setting memung­kinkan Anda melakukan preset ruang tajam sebelum mengambil gambar. Dan berhubung setiap komposisi yang bercerita meng­andalkan ruang tajam maksimal, pertama­tama Anda akan memilih aperture pada bukaan f/22 dan kemudian menyelaraskan jarak di atas penanda distance-setting pada lensa. Panjang fokal akan menentukan jarak mana yang Anda pilih.

UntUK pemandangan seperti ini, saya tahu saya membutuhkan depth-of-field yang dalam untuk men -capai ketajaman di seluruh bidang gambar. Jadi di sini, dengan lensa 20–35mm, saya menyetel aperture pada bukaan f/22 dan melakukan preset fokus supaya jarak 60 sentimeter langsung diselaraskan di atas tanda tengah di dekat bagian depan lensa. Tentu saja, ketika saya melihat melalui jendela bidik, peman dangannya terlihat jauh dari tajam. Ini karena jendela bidik pada kamera masa kini memungkinkan untuk melihat lebar-lebar, yang berarti bahwa meski pun aperture-nya f/22, gambar di jendela bidik terlihat pada aperture bukaan lebar (f/2.8). Lensa tidak akan menurunkan stop untuk mengambil gambar pada aperture f/22 sebelum tombol pelepas rana ditekan. Pada titik itulah ketajamannya akan direkam. Saya memperoleh depth-of-field yang diingin kan bukan dengan mem fokus ulang lensa tapi de ngan aperture yang ber cerita dan melakukan preset fokus lewat skala jarak.

Kedua foto menggunakan: Lensa 20–35mm pada panjang fokal 20mm, f/22, 1/30 detik.

Understanding Eksposur Booklet.indb 7-8 26/04/2013 15:37:40

Page 4: Contoh Layout Buku Understanding Exposure

56 APERTURE APERTURE BERcERiTA 57

f/22 pada pembesaran 200 persen f/8 pada pembesaran 200 persen

KedUa gambar ini diambil dengan lensa yang sama pada panjang fokal yang sama, dan memiliki eksposur yang sama persis dalam nilai kuantitatifnya. Tetapi lihat, bukankah ada perbedaan yang mencolok dalam ketajamannya secara keseluruhan?! Gambar pertama diambil dengan aperture f/22 “yang menjadi momok” dan kedua dengan f/8 “yang sangat direkomendasikan.”

Saya tidak tahu bagai-mana dengan Anda, tapi saya memilih gambar yang diambil dengan bukaan f/22 karena menampilkan seluruh area ketajaman yang benar-benar perlu kita sampaikan di sini—depan ke belakang. Dalam gambar yang diambil pada aperture f/8, jelas kita tidak men dapat kan ketajaman dari depan-ke-belakang. Anda takkan pernah merekam gambar lanskap-lanskap hebat kecuali Anda memilih f/22.

Dan mari kita lihat detail-detailnya pada pem besaran 200 persen, di halaman seberang. Perbedaan dalam ketajamannya nyaris nihil, meskipun saya mengakui bahwa memang ada sedikit lebih banyak kontras pada kulit pohon dalam ambilan gambar pada f/8 (halaman seberang, kanan)—tapi sekali lagi, ini pembesaran 200 persen. Saya dan begitu banyak fotografer cerdas lain bisa menanggung hilangnya sedikit kontras.

Kedua foto menggunakan: Lensa 12–24mm, pada panjang fokal 12mm, ISO 200.Atas: f/22, 1/100 detik. Bawah: f/8, 1/800 detik.

Difraksi Versus kepuasan!Hampir setiap minggu, ada saja surel dari siswa-siswa kursus online, juga dari para pembaca buku-buku saya, yang “cemas dengan memotret menggunakan aperture f/16 atau f/22.”

Kelihatannya beberapa situs web forum fotografi “besar” telah mengeluarkan ber-ita lama bahwa ketika sebua lensa disetel pada aperture terkecil, seperti f/16 atau f/22, difraksi lensanya akan lebih terlihat. Dalam istilah kaum awam, difraksi lensa berarti hilangnya kontras dan ketajaman.

Jadi, saya ingin meluruskan berita miring soal difraksi lensa dan berbagi apa yang diketahui fotografer komersial freelance di seluruh dunia: Memotret pada f/22 bisa menjadi ide bagus, dan kekhawatiran apa pun tentang hilangnya ketajaman dan kon-tras sama berlebihannya dengan gembar-gembor Y2K!

Selama lebih dari 35 tahun memotret secara komersial, saya tak pernah ingat ada klien yang mengatakan: “Bryan, apa pun yang kaulakukan, jangan memotret dengan aperture f/22, ya.” Saya juga tidak ingat satu

contoh pun ketika Getty atau Corbis (agensi stok foto terbesar di dunia) menelepon saya untuk mengatakan, “Bryan, jangan kirimi kami foto-fotomu kalau diambil dengan aperture f/22.” Dan alasan mengapa saya tidak dapat mengingatnya adalah karena itu tidak pernah terjadi dan tak akan pernah terjadi.

Aperture f/22 menghasilkan ruang tajam yang sangat dalam, terutama ketika dikom-binasikan dengan lensa bersudut lebar. Saat menggunakan lensa lebar, jika Anda memiliki sedikit kreativitas saja, ada baiknya Anda menghadirkan daya tarik di latar depan yang akan menciptakan ilusi kedalaman dan selanjutnya memberi perspektif dalam gambar Anda. Dan satu-satunya cara untuk merekam ke tajaman dari depan-ke-belakang yang mencakup latar depan terdekat adalah menggunakan f/22.

Menggunakan f/22 tidak pernah menjadi ma salah di era kamera film, dan seharus-nya tidak menjadi masalah saat ini. Difraksi adalah hal nyata, namun sebaiknya hal itu tidak menghalangi Anda membuat komposisi yang membutuhkan ruang tajam yang sangat dalam. Anda akan puas. Maka, pergilah memotret dan jadilah kreatif dengan f/22!

Understanding Eksposur Booklet.indb 9-10 26/04/2013 15:37:45