contoh bab ii

Upload: guz-habib

Post on 02-Nov-2015

30 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

contoh bab 2 skripsi

TRANSCRIPT

29

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Pengertian Berbicara

Berbicara adalah kemampuan anak untuk membentuk bahasa menggunakan artikulasi kata-kata yang dapat digunakan untuk menyampaikan maksud dan tujuan. (Haida,1995:55) (dalam Ula,2010:15). Di dalam kemampuan anak yang harus diperhatikan meliputi mengucapkan kata-kata secara benar, menambah kosa kata dan merangkai kata menjadi kalimat sehingga dapat mengaitkan arti dengan bunyi yang dihasilkan.Berbicara adalah suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik dan linguistik, secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat yang paling penting bagi kontrol bersosial manusia.Berbicara secara umum dapat diartikan suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain(Depdikbud, 1984:3/1985:7). Pengertiannya secara khusus banyak dikemukakan oleh para pakar. Henry Guntur Tarigan (2008:16), mengemukakan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.2.1.1.1.Fase-Fase Berbicara

Menurut Mieke Pronk-Boerma (1995) membagi periode perkembangan bicara menjadi periode pra-verbal dan periode verbal. Periode pra-verbal menurutnya merupakan periode yang sangat penting, yang dibaginya menjadi:

1.Minggu ke 0 - 6 : menangis

2.Minggu ke 6 hingga bulan ke 4 : vokalisasi : ah, uh

3.Bulan ke 4 - 8 : babbling atau mengoceh (bunyian vocal terus menerus),misalnya: gagaggagagag..aaaaaa,...tatatatatatata. Pada periode ini bunyi bahasa ibu juga diproduksinya. Si anak juga akan mengikuti apa yang ibu ucapkan, sambil ia mengikuti ucapan ibu atau pengasuhnya, segera ia akan mengucapkan papa, mama. Seorang bayi yang tuli, juga akan melakukan babbling ini, tetapi kemudian akan berhenti di usianya yang ke 8 -9 bulan.

4.Bulan ke 8 12 : social bubbling, yaitu mengoceh dengan cara dimana pola bunyian dari sekitarnya akan diambil alihnya, ia juga akan melakukan imitasi pola bunyian kalimat. Pola bunyian yang tidak termasuk dalam bahasa ibu akan segera hilang. Kemudian anak akan mendengarkan, mengoceh dan mengikuti, terus menerus hingga terjadilah pemahaman terhadap kata-kata, dan penggunaan kata-kata; pemahaman kata akan dengan sendirinya kemudian diucapkannya. Dalam periode ini muncul bentuk yang disebut echolalia yaitu si anak hanya mengulang apa kata pengasuh tanpa kata-kata tersebut mempunyai maksud tertentu atau tanpa arti apa-apa. 2.1.1.2.Periode verbal mempunyai beberapa fase yaitu: 1.bulan ke 12 - 15 : yang merupakan fase kalimat dengan satu kata. Misalnya seorang anak mengatakan: "Mobil!" Maksudnya adalah: "Saya minta sebuah mobil!" atau: "Beri saya mobil itu!" atau: "Itu mobil bagus!" dan sebagainya. Si anak akan menanyakan nama-nama segala sesuatu dengan cara menunjuk-nunjuk dan dengan cara tertentu ia menyebutkannya kembali. Si anak belum menyangkal dengan kata, tetapi sudah membuat gerakan menggeleng dengan kepala.

2. Bulan ke 15 - 2 tahun: fase kalimat dengan dua kata. Seorang anak usia dua tahun biasanya sudah mempunyai 270 kata. Ia juga bertanya dengan intonasi bertanya. Ia mulai menyangkal dengan kata-kata. Banyak kata-kata yang masih terpotong , misalnya "minum" menjadi "mium".

3.Usia 2 - 3 tahun: yang merupakan fase kalimat dengan banyak kata. Kalimat terdiri dari kata benda dan kata kerja. Apa yang diucapkan lebih kepada arti atau maksud kalimat yang diucapkan, namun belum dalam bentuk kalimat yang benar. Tetapi dalam usia ini daftar kata yang dimiliki akan meningkat dengan pesat. Suku kata akan diucapkan dengan lebih baik. Ia juga mulai menggunakan bentuk kamu-dan saya. Kadang ia masih menggunakan bentuk -kamu jika berkata pada dirinya sendiri. :"Mana bonekamu? padahal maksudnya: "Dimana boneka itu saya taruh?".

4.Usia 3 - 4 tahun: si anak akan banyak mengerti berbagai hal, dan banyak bercerita. Ia juga sudah bisa mengucapkan bunyian berbagai huruf kecuali /s/l/r. Juga masih ada beberapa kesalahan dengan pengucapan kata sambung,tetapi sudah bisa berbicara dengan aturan sebuah kalimat termasuk urutan kata, imbuhan, dan pemotongan kalimat. Kata jamak juga bisa dibentuk. Seringkali masih ada kata-kata yang diulang -ulang karena berpikir baginya lebih cepat daripada mengucapkan kalimat. Nampaknya seperti seorang anak yang gagap, tetapi sebetulnya bukan.

5.Usia 4 - 6 tahun: Di usia enam anak-anak ini akan semakin baik mengucapkan berbagai huruf, juga untuk huruf-huruf yang sulit seperti s dan r. Ia juga semakin membaik dengan aturan pembuatan kalimat, termasuk juga penggunaan kata penghubung: dan, tapi, atau, karena, sebab. Dalam usia ini anak juga mulai dengan menyampaikan pemikiran dari abstraksinya.2.1.1.3.Faktor Penyebab Anak Sulit Berbicara Faktor Penyebab Mengapa Anak Terlambat /Sulit Belajar Bicara

1. Perkembangan Otot yang Lambat

Ketika anak mengalami keterlambatan perkembangan otot sangat sulit atau berat bagi anak untuk melakukan gerakan yang cepat yang dibutuhkan untuk berbicara dan produksi suara.

2. Anak Jarang Berinteraksi Dengan Orang Lain

Beberapa anak kurang banyak bergaul dengan orang lain disekelilingnya, sehingga waktu untuk berinteraksi berkurang sehingga anak tidak bisa mempraktekkan ketrampilan bicaranya dengan orang lain.3. Bahasa Non Verbal Berkembang Duluan Pada keluarga tertentu anak diajari untuk berbahasa dengan gesture atau isyarat.efektif di rumah tetapi tidak bisa diterapkan di teman-temannya akhirnya anak jarang menggunakan kata-kata..

4.Harapan atau Ekspektasi dari Keluarga atau yang lain Rendah

Banyak orang di sekeliling anak tidak berbicara dengan anak karena mereka tidak mengharapkan anak harus ngomong pada mereka atau pembicaraannya harus dimengerti oleh anak, akhirnya anak juga tidak ngomong. 5.Tidak Banyak Waktu Untuk Bicara.Nah kebiasaan ini dialami ketika orang tua tidak memberikan jeda waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan anak untuk merespon apa yang akan dikatakan..akhirnya orang tua atau pengasuh tidak sabar. Jika anak tidak diberi kesempatan untuk ngomong atau merespon anak akan males juga akan pasif karena mereka tidak diberi kesempatan untuk merespon.

6. Stimulasi yang Berlebihan atau Overstimulation

Sering kita menginginkan anak kita menjadi superkids, dirumah ngomong dengan anak berbagai bahasa yang orangtuanya punya latar belakang bahasa Mandarin, English, Indonesia, Jawa, mereka campur adukkan. ketika berbicara dengan anak, biar anak pinter ahli bahasa. Anak bingung bahasa mana yag harus diikuti.

7. Terlalu Banyak Berbahasa Dengan Bahasa Akademik atau School Language,

Anak tidak cukup waktu berbicara dengan communicative language. Bagi kita yang buru-buru memasukkan anak kita ke sekolah atau terapi banyak diajari ABA dengan materi angka-angka, warna, bentuk, geometri dll, padahal hal itu bukan terminologi yang kita pakai sehari-hari, materi itu lebih banyak dipakai di sekolah.

8. Terlalu Banyak Bahasa Demonstrasi Perilaku Dan Tidak Banyak Memakai Bahasa Social

Ada beberapa anak yang menggunakan bahasa untuk menampilkan perilaku tanpa berbicara sehingga anak kurang praktek berbicara untuk menjalin persahabatan. Jadi amatilah anak ketika bermain, bagaimana berperilaku, berbicara, berinteraksi, dll.

9. Anak Bermain Sendiri

Anak dibiarkan main sendiri. Entah pengasuhnya sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, anak tidak diurusin, atau tidak mau repot. Pokoknya anak diam. Sementara anak dibiarkan nonton TV sendiri, bermain mainan sendiri.Untuk bisa berkomunikasi anak harus berinteraksi atau bermain dengan orang lain termasuk dengan orang tua, pengasuh, dllDari beberapa faktor tersebut bisa diketahui mengapa anak tersebut terlambat ataupun kurang dalam kemapuan berbicaranya. Secara garis besar pengaruh kemampuan berbicara anak dipengaruhi oleh 2 hal yakni faktor internal ( Fisik anak) serta faktor stimulus atau faktor lingkungan.

2.1.1.4.Pelafalan Kata-Kata

Sering kita jumpai anak dibawah tiga tahun (batita) berkosakata banyak. Setiap kata yang terucap dari mulut orang lain, baik langsung maupun lewat media (audio), ia tirukan. Sebisa-bisanya meniru. Kadang pengucapan kata tiruan itu kurang tepat. Terdengar lucu karena bisa jadi, misalnya, kata mancing berbunyi mancin, kata laler terucap lalel, dan sebagainya. Fenomena demikian kita jumpai pada banyak anak. Hanya yang sering terjadi, sadar atau tidak, orang yang lebih dewasa dan telah mengerti benar pengucapan kata-kata, justru terbawa ke alam ucapan anak-anak itu. Turut mengucapkan kata secara kurang tepat. Mungkin membeo gaya pengucapan anak dianggap sebagai bentuk perhatian, ungkapan kasih sayang, menghayati emosi anak, atau sekadar bermain-main. Memang harus diakui bahwa pembeoan seperti itu mampu membangun hubungan lebih komunikatif, akrab. Karena Anak akan langsung mengerti apa yang diucapkan oleh orang dewasa yang berbicara itu. Apa yang didengar persis dengan apa yang sering ia ucapkan. Persamaan ucapan itu memiliki nilai ikatan pengetahuan yang erat. Anak tidak akan salah mengerti. Coba kalau misalnya maksud yang serupa, tapi kata yang digunakan terucap secara berbeda, tentu anak akan mengalami kesulitan memahami.Yang, akhirnya menimbulkan komunikasi yang terputus. Akan tetapi, di sisi lain.

Pembeoan (yang dilakukan orang dewasa) dalam rentang waktu yang berlarut-larut ternyata menutup kemungkinan anak untuk memperoleh pelafalan benar atas kata dalam waktu yang relatif lebih singkat.(Sungkowoastro, 2010:07).Dalam pikiran anak mungkin sikap berbahasa yang dilakukan selama ini telah dianggap benar. Dan karenanya ia tak mau berubah. Padahal, (jelas) ini bukan sebuah pembelajaran yang menguntungkan.Yang menguntungkan mungkin apabila orang dewasa melafalkannya dengan cara yang benar sejak awal ketika membangun komunikasi dengan si kecil. Mancing ya mancing, misalnya, atau laler ya laler. Si kecil awalnya tentu akan merasa kesulitan dalam meniru pelafalan kata secara benar itu. Tetapi, tak apa. Sebuah perubahan memang menuntut adanya risiko. Dan, saya berpikir, risiko si kecil untuk mengubah kebiasaan melafalkan kata secara salah menjadi benar, tidaklah berakibat fatal. Kesulitan itu hal yang biasa karena sulit bukan berarti tidak bisa sama sekali. Pasti bisa, hanya mungkin perlu bersabar sedikit karena sebuah proses selalu membutuhkan waktu. Memang benar jika si kecil melafalkan kata-kata tertentu sering memunculkan kelucuan yang kita rindukan. Ada kekhasan yang unik dari ucapan si kecil. Yang, bisa saja menjadikan kesuntukan pikiran dan kelelahan fisik kita hilang. Lantas muncul kesegaran kembali, yang memungkinkan kita beraktivitas aktif lagi. Tapi, agaknya kurang pas kalau hendak membangun kesegaran kita kembali lantas membiarkan si kecil berlafal salah berlama-lama bahkan kita (sengaja) membeonya. Sikap demikian barangkali malah akan memperlambat pengenalan anak terhadap pengucapan kata secara benar. Saya mencoba memberikan contoh mengucapkan kata klimis, klakson, dan klepon dengan pengucapan agak lambat karena sengaja di antara konsonan kl saya sisipi abjad e. Jadi bunyinya, kelimis, kelakson, dan kelepon. Ternyata si bungsu bisa mengikuti ucapan itu. Saya sadar bahwa pelafalan demikian itu salah, karena yang benar memang klimis, klakson, dan klepon (tanpa abjad e). Tapi, bagi saya sebagai tahap awal untuk mengenalkan pengucapan menuju pelafalan yang sebenarnya tidaklah salah jika memberi umpan terlebih dahulu. Tentu lebih baik si bungsu mengucapkan kelimis daripada kimis, kelakson ketimbang kakson, dan kelepon daripada kepon. Sementara itu, pengucapan coklat menjadi cokelet tak menimbulkan masalah karena memang demikian seharusnya. Yang masih menjadi persoalan hingga kini adalah saat mau mengajarkan pengucapan laler, yang selalu (saja) diucapkan lalel. Berkali-kali lalel...lalel....lalel.... Tapi, menarik memang ketika mau mencermati si kecil belajar bahasa.

2.1.1.5.Kelancaran Berbicara

Dari pembahasan kemampuan berbicara anak yang sudah dibahas diatas, maka dapat kita ketahui sejauh mana kelancaran anak dalam berbicara. Di usia prasekolah, kosakata yang dikuasai seorang anak harusnya sudah sangat banyak. Namun, adakalanya hambatan datang menghadang. Sebagian masyarakat kita percaya pada mitos yang mengatakan anak laki-laki lebih lambat menguasai kemampuan bicara dibanding anak perempuan. Padahal penelitian yang ada menunjukkan prosentase kemampuan bicara antara anak laki-laki dengan anak perempuan sama saja. Apalagi, kemampuan bicara manusia sebetulnya sudah terlihat sejak ia dilahirkan, ditandai dengan tangisan bayi begitu keluar dari rahim ibunya. Mitos itu mungkin muncul karena keterlambatan bicara pada anak laki-laki lebih cepat terdeteksi ketimbang pada anak perempuan. Bukankah, perilaku anak laki-laki yang lebih aktif dan agresif mampu menarik perhatian orang di sekitarnya, sehingga kalau ada sesuatu yang terjadi pada mereka akan lekas ketahuan. Berbeda halnya dengan bayi perempuan yang kebanyakan lebih kalem walaupun tidak mesti begitu. Terlepas dari persoalan yang diangkat mitos tersebut, anak usia prasekolah umumnya sudah dapat bicara dengan lancar.

Kosakata yang dikuasainya sudah lebih dari 1.000 kata. Anak usia ini pun sudah mengenali sopan santun dalam bicara. "Ia sudah bisa membedakan bagaimana cara berbicara dengan teman atau bagaimana menjawab pertanyaan orang tua,". Kendati pada beberapa anak masih ada pelafalan kata yang belum jelas benar, umumnya baik pemilihan kata maupun penggunaan tata bahasa sudah mendekati kemampuan orang dewasa. Jadi, setelah tahapan ini anak tak banyak mengalami perkembangan kemampuan bicara sampai ia kelak dewasa. Walaupun kemampuan bicara anak tidak dapat digeneralisir berdasarkan usia, orang tua hendaknya mulai waspada bila anaknya menunjukkan keterlambatan perkembangan kemampuan bicara. "Harusnya usia empat tahun ke atas, anak sudah cerewet dan banyak omong. Bila anak baru bisa mengucapkan sepatah dua patah kata dengan tata bahasa yang belum benar, orang tua harusnya waspada. Pada dasarnya gangguan kemampuan bicara anak dibedakan menjadi dua, yakni si anak memang mengalami gangguan bicara atau sekadar keterlambatan biasa. (Vera, 2009: 19).Menurut Idakrisna, 2009. Deteksi dini bisa dilakukan sendiri oleh orang tua di rumah dengan memperhatikan beberapa keadaan berikut:

1.Organ pendengaran anak pancing dengan pertanyaan terbuka, misalnya, "Ini gambar apa Sayang?" Pertanyaan terbuka memungkinkan orang tua mengeksplorasi dan menilai kemampuan bicara sekaligus organ pendengaran anak. Bila anak tidak menunjukkan reaksi sama sekali, maka orang tua harus waspada dengan segera memeriksakannya ke dokter THT. Anak dengan gangguan pendengaran tidak akan memberi respons terhadap bunyi-bunyian di sekitarnya, seperti suara gemerincing, suara musik dan sebagainya.2.Otot bicara Bila lafal bicara anak tak kunjung sempurna, orang tua sebaiknya waspada dengan membawa anak ke dokter untuk diperiksa apakah otot bicaranya mengalami gangguan. Bisa jadi otaknya sudah memerintahkan untuk menjawab dengan benar, tapi yang keluar dari mulut tetap tidak jelas karena adanya gangguan neurologis atau persarafan.3.Kemampuan kognitif Patut dicatat bahwa perkembangan kemampuan bicara anak erat hubungannya dengan perkembangan kognitif. Anak yang sudah bisa bicara berarti sudah mampu merepresentasikan objek yang dilihat dalam bentuk image. Bila ada gangguan kognitif, maka image tersebut tidak akan terbentuk. Bisa jadi anak memang mempunyai keterbatasan pada intelegensinya dan ini bias dideteksi sendiri oleh orang tua dengan melihat kemampuan motorik anak. Misalnya, anak yang mengalami gangguan bicara biasanya juga kurang mampu melakukan aktivitas lain. Jika ia kurang terampil memakai sepatu, contohnya, sudah hampir bisa dipastikan anak bermasalah dengan kemampuan kognitifnya. Pada gilirannya akan ada hubungan timbal balik antara kemampuan bicara dengan perkembangan kognitif anak. Macam gangguan dan cara penanganan. Disamping gangguan yang disebabkan kerusakan organ tubuh, ada juga gangguan yang disebabkan faktor psikologis. Menurut Pratiwi,2008. Beberapa gangguan bicara banyak dijumpai pada anak usia prasekolah, antara lain:

a.Cadel.

Cadel sendiri dibedakan menjadi 2, yaitu cadel karena faktor psikologis dan cadel karena faktor neurologis. Cadel yang disebabkan faktor neurologis berarti disebabkan adanya gangguan di pusat bicara. Untuk mengatasinya, anak dengan gangguan ini harus segera dibawa ke neurolog. Pada prinsipnya, gangguan ini masih bisa ditangani. Namun bila kerusakannya termasuk parah, bukan tidak mungkin akan terbawa sampai dewasa. Cadel yang kedua adalah cadel yang disebabkan faktor psikologis. Karena kehadiran adik, contohnya, maka untuk menarik perhatian orang tua, anak akan menunjukkan kemunduran kemampuan bicara dengan menirukan gaya bicara adik bayinya. Untuk mengatasinya, orang tua harus menunjukkan bahwa perhatian padanya tidak akan berkurang karena kehadiran adik. Selain itu, orang tua juga harus terus mengajak anak bicara dengan bahasa yang benar, jangan malah menirukan pelafalan yang tidak tepat. Pada kasus yang parah, sebaiknya segera bawa anak ke ahlinya agar bias tergali apa masalah yang melatarbelakanginya.

b.Gagap

Bila anak bicara dengan cara "aaa...aaakkuu", "eee..eebaju" ataumungkin, "mak...mak...makkann", anak bisa dikategorikan sebagai anak gagap. Gagap juga bisa disebabkan faktor neurologis. Untuk penanganannya anak harus segera dibawa ke dokter agar mendapat pengobatan lebih intensif. Gagap yang disebabkan faktor psikologis biasanya dialami anak-anak yang mengalami tekanan. Entah orang tuanya terlalu otoriter, keras, bahkan kasar. Gagap psikologis ini akan bertambah parah bila anak mendapat hukuman dari lingkungan. Semisal ditertawakan temannya, dikagetin atau tiap kali gagap orang tua langsung melotot sambil membentak, "Ayo, bicara yang benar!" Anak akan makin tegang dan gagapnya makin menjadi-jadi. Ketegangan emosional ini berhubungan langsung dengan ketegangan otot bicaranya. Makin tegang otot-otot bicaranya, anak akan makin kesulitan. Cara menangani anak dengan gangguan ini adalah dengan mengajaknya tenang, ambil napas dan konsentrasi pada apa yang akan diucapkannya. Kalau perlu elus-elus punggungnya untuk memberi rasa tenang. Sedangkan pada kasus anak gagap yang parah, sebaiknya libatkan ahli.

c.Gangguan PervasifAdalah gangguan bicara dimana ucapan seorang anak berlangsung melompat-lompat dan tidak konsisten. Bisa jadi anak seperti ini sebetulnya mengalami gangguan ADD (attention defisit disorder).

Anak yang mengalami keterbatasan atensi ini mengalami masalah di pusat sarafnya. Gangguan ini biasanya tidak berdiri tunggal, tapi dibarengi ciri-ciri lain, semisal pekerjaannya tidak pernah tuntas, sulit atau tidak bisa konsentrasi dan sebagainya. Yang juga termasuk dalam gangguan ini adalah para penderita autis. Namun untuk memastikannya, tak ada cara lain kecuali mendatangi ahli.

d.TunawicaraGangguan bicara yang paling berat adalah tunawicara. Usia ini merupakan saat yang paling tepat untuk mengetahui apakah anak mempunyai kelainan tersebut atau tidak karena pada usia ini kemampuan bicara anak umumnya sudah bagus. Jika ia hanya mengeluarkan bunyi-bunyi khas tanpa makna, semisal "uuh..uuh", "eeh...ehh", untuk menjawab/menunjuk semua benda, hal ini bisa dijadikan indikator kalau dia belum bisa bicara sama sekali. Bila sudah ada gejala seperti itu, sebaiknya anak segera dibawa ke dokter. Untuk langkah pertama bisa dibawa ke dokter anak sebelum mendapatkan penanganan yang lebih intens.

Gangguan-gangguan tersebut dapat diminimalisasi apabila orang tua tanggap terhadap setiap fase perkembnagan anak. Setiap kejanggalan yang terjadi pada anak diharapkan bisa dideteksi sejak dini sehingga dapat di ketahui cara penanganan yang tepat terhadap gangguan tersebut. 2.1.2.Metode Bermain Peran

2.1.2.1.Pengertian Bermain

Bermain adalah Suatu aktivitas yang langsung, spontan di mana seorang anak berinteraksi dengan orang lain, benda-benda di sekitarnya, dilakukan dengan senang (gembira), atas inisiatif sendiri, menggunakan daya khayal (imaginatif), menggunakan panca indera, dan seluruh anggota tubuhnya. (e-BinaAnak, 3 September 2008, Volume 2008, No. 398).

Kegiatan bermain pada anak merupakan kegiatan yang paling menyenangkan dan mendasar dalam proses perkembangan dan pertumbuhanya. Dengan kegiatan bermain, anak mendapat pengalaman, informasi yang baik dan sangat dibutuhkan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan anak tersebut. 2.1.2.2. Pengertian Peran

Pe-ran adalah 1 pemain sandiwara (film): -- utama;2 tukang lawak pada permainan makyong; 3 perangkat tingkah yg diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2010 : 205)2.1.2.3. Bermain peranDefinisi metode bermain peran yang lebih luas dikemukakan oleh Supriyati dalam Winda Gunarti, dkk, (2008:10.10) bahwa metode bermain peran adalah permainan yang memerankan tokoh-tokoh atau benda sekitar anak sehingga dapat mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan.

Tedjasaputra (1995:43) memiliki pendapat yang sejalan dengan Supriyati bahwa bermain peran merupakan salah satu jenis bermain aktif, diartikan sebagai pemberian atribut tertentu terhadap benda, situasi, dan anak memerankan tokoh yang ia pilih. Apa yang dilakukan anak melibatkan penggunaan bahasa yang dapat diamati dalam tingkah laku yang nyata.

Menurut Dawson yang dikutip oleh Moedjiono & Dimyati (1992:80) mengemukakan bahwa simulasi merupakan suatu istilah umum berhubungan dengan menyusun dan mengoperasikan suatu model yang mereplikasi proses-proses perilaku. Permainan peran(bahasa Inggris: role-playing game disingkat RPG) adalah sebuah permainanyang para pemainnya memainkan peran tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama. (e-BinaAnak, 3 September 2008, Volume 2008, No. 398). Para pemain memilih aksi tokok-tokoh mereka berdasarkan karakteristik tokoh tersebut, dan keberhasilan aksi mereka tergantung dari sistem peraturan permainan yang telah ditentukan. Asal tetap mengikuti peraturan yang ditetapkan, para pemain bisa berimprovisasi membentuk arah dan hasil akhir permainan ini. Berdasarkan kutipan tersebut, berarti metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang di dalamnya menampakkan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat dan atau peniruan situasi dari tokoh-tokoh sejarah sedemikian rupa. Dengan demikian metode bermain peran adalah metode yang melibatkan siswa untuk pura-pura memainkan peran atau tokoh yang terlibat dalam proses sejarah.1.jenis Bermain PeranAnak-anak sangat senang bermain peran (alias main pura-puraan atau jadi-jadian).Ada dua jenis bermain peran, yaitu mikro dan makro.

a..Bermain peran mikro, Anak-anak belajar menjadi sutradara, memainkan boneka, dan mainan berukuran kecil seperti rumah-rumahan, kursi sofa mini, tempat tidur mini (seperti bermain boneka barbie). Biasanya mereka akan menciptakan percakapan sendiri.

b.Dalam bermain peran makro,

Anak berperan menjadi seseorang yang mereka inginkan. Bisa mama, papa, tante,polisi, sopir, pilot, Saat bermain peran ini bisa menjadi ajang belajar bagi mereka, baik belajar membaca, berhitung, mempelajari proses atau alur dalam mengerjakan sesuatu, mengenal tata tertib atau tata cara di suatu tempat, yang semua ada dalam kehidupan kita. Tentu saja kita hanya cukup memberikan informasi sebelum mereka mulai bermain, dan atau lebih baik kalo kita terlibat dalam permainan tersebut agar kita bisa menggali imaginasi dan mengenalkan informasi yang ingin kita kenalkan. (Yudistira)2.1.2.4.Manfaat Bermain Peran

pendapat Djahri, dalam buku Didaktik Metodik di Taman Kanak-kanak (Depdiknas, 2003:41) disebutkan bahwa tujuan bermain peran yaitu:

(1) melatih daya tangkap; (2) melatih anak berbicara lancar; (3) melatih daya

konsentrasi; (4) melatih membuat kesimpulan; (5) membantu perkembangan

intelegensi; (6) Membantu perkembangan fantasi; dan (7) menciptakan suasana yang menyenangkan.

Tujuan Bermain peran Anak dapat bersosialisasi dan berinteraksi dengan teman dan lingkungan sekitar dan mengembangkan kemampuan berbahasa secara optimal. Dalam bahasa psikologi dikenal istilah bermain peran atau socio-dramatic. Permainan ini lazim dilakukan anak-anak usia 3-5 tahun. permainan ini sangat bagus untuk si kecil. di usia tersebut kemampuan berfantasi, kognitif, emosi, dan sosialisasi anak tengah berkembang. dengan bermain peran, seluruh kemampuan tersebut dapat dikembangkan oleh anak, menurut Iman Dharma atau nakita,. Berikut adalah manfaat bermain peran :1.Salah satu manfaat bermain peran. Ialah anak bisa mempelajari banyak peran di sekeliling mereka dan lingkungan di luar mereka. Misalnya, menjadi dokter, perawat, polisi, guru, dan sebagainya. "Mereka juga akan berfantasi dan kemudian meniru, sehingga perkembangan kognitif mereka pun berkembang baik,"

2.Bermain peran juga membuat perkembangan intelektual anak.

Sangat terbantu. Misalnya, "Dokter itu ngapain , sih? Oh, dokter itu menyembuhkan pasien." Nah, pemahaman tersebut diperoleh, salah satunya lewat bermain peran. Bahkan, penelitian di Amerika membuktikan, anak yang bermain peran, IQ-nya lebih tinggi dibanding anak-anak yang melakukan permainan tradisional seperti menggunting atau melipat.

3.Bermain peran juga bermanfaat bagi perkembangan moral anak "Misalnya, sambil bermain dokter-dokteran, anak diajar mengenal nilai-nilai kemanusiaan, harus saling menolong, dan sebagainya." Anak juga belajar tentang mana yang benar dan salah.

4.Manfaat lain dari bermain peran ialah membantu anak menyadari perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, terang Rosa, secara kodrati ada perbedaan antara ibu dan ayah. "Akan lebih baik bila sejak kecil anak sudah diberi tahu, yang namanya perempuan, tipikalnya secara unik adalah mengasuh anak.

(Sumber:http//www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Anak/Manfaat-Bermain-Peran)2.1.2.5.Alat Atau Media yang Digunakan dalam Bermain Peran

Media atau alat yang digunakan dalam kegiatan bermain peran dapat disesuaikan dengan berbagai keadaan dan kondisi lingkungan sekitar dan menurut jenis bermain peran itu sendiri. Orang tua, sebaiknya juga ikut melibatkan diri, sejauh anak memerlukan figur dan model. Selain lebih meningkatkan kedekatan antara orang tua dengan anak, si anak juga belajar model dari orang yang paling tepat, yakni orang tua".(Hasto prianggoro,(2010:45). Anak pun akan senang jika orang tuanya ikut bermain. Adapun media atau alat yang digunakan disesuaikan dengan jenis permainan yang akan dimainkan .1.Main Peran Mikro Bahan-bahan main berukuran kecilContoh : Rumah boneka; perabotan dan ruang ,Kereta api; rel, lokomotif dan gerbong-gerbongnya ,Bandar udara; pesawat dan truk-truk , Kebun binatang; boneka-boneka binatang liar, Jalan-jalan kota; jalan, orang, dan mobil.

2.Main Peran MakroAlat berukuran seperti sesungguhnya yang digunakan anak untuk menciptakan dan memainkan peran.

Contoh : Dokter, perawat, Polisi, Pemadam Kebakaran Pak Pos Sekretaris Pedagang Penjual bunga. 2.1.2.6.Tata Cara Bermain PeranBermain peran (role playing) yakni memainkan peranan dari peran-peran yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu, yang dimaksudkan untuk menciptakan kembali situasi sejarah/peristiwa masa lalu, menciptakan kemungkinan-kemungkinan kejadian masa yang akan datang, menciptakan peristiwa mutakhir yang dapat diperkaya atau mengkhayal situasi pada suatu tempat dan atau waktu tertentu (Moedjiono & Dimyati ,1992:80).

Adapun tata cara atau tahapan dalam pelaksanaan kegiatan bermain peran adalah : 1.Pendidik menyiapkan bahan yang dibutuhkanBermain peran merupakan sebuah permainan untuk mampu bersikap sebagaimana peran yang disandang. Misalnya untuk sebuah cerita dengan tema binatang. Ada beberapa peran yang bisa di mainkan. Misalnya kucing, gajah, kelinci, harimau, kuda, sapi, ayam, burung, kijang, monyet dan lain-lain. Setiap anak memerankan satu hewan.

2.Pendidik mengatur anak untuk membagi peran setiap anakSebagai contoh seorang anak memerankan seekor kucing dari cerita diatas. Anak harus bisa memerankan seekor kucing yang berkarakter kepemimpinan dan peka terhadap binatang lain. Pendidik mengarahkan anak mulai dari percakapan hingga kostum yang dipakainya.

3.Pendidik mengawasi jalanya bermain peran.2.1.2.7.Alur Cerita yang Digunakan dalam Bermain Peran

Alur cerita yang digunakan dalam bermain peran ini bisa digunakan untuk berbagai jumlah anak. Jika satu anak, maka peran yang bisa dimainkan adalah seorang presenter, pembawa acara ataupun peran seorang trainer. Jika jumlah anak adalah dua atau lebih, kita bisa mencarikan cerita yang dimainkan oleh sejumlah anak yang ada. Alur cerita yang digunakan dalam bermain peran ini bisa disesuaikan dengan keadaan dan situasi. 2.1.3 Hubungan antara Metode Bermain peran dengan meningkatkan kemampuan berbicara

Anak berlatih menggunakan bahasa ekspresif (berbicara) dan reseptif (mendengarkan) melalui bermain peran. Menurut Gunarti dkk, (2008:10.11)

bermain peran bertujuan untuk memecahkan masalah melalui serangkaian tindakan pemeranan. Sebagaimana yang telah disebutkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan berbicara bahwa di dalam area drama, anak-anak memiliki kesempatan untuk bermain peran dalam situasi kehidupan yang sebenarnya serta mempraktikkan kemampuan berbahasa.

Pelaksanaan metode bermain peran dalam pengembangan bahasa pada anak usia dini menurut Dhieni (2007:7.33) dalam Halida (2011) bertujuan:

1. Melatih Daya Tangkap

Metode bermain peran dapat melatih anak untuk menangkap banyak hal melalui interaksi yang terjadi dengan lawan main ketika permainan berlangsung.

2. Melatih Anak Berbicara Lancar

Keterampilan berbicara anak dapat meningkat dengan metode bermain peran. Hal ini disebabkan ketika anak bermain peran terjadi interaksi baik interaksi dengan permainannya maupun interaksi yang terjadi dengan lawan mainnya.

3. Melatih Daya Konsentrasi.

Jenis permainan drama merupakan jenis permainan yang membutuhkan konsentrasi sehingga bermain drama dapat melatih daya konsentrasi anak.

4. Melatih Membuat Kesimpulan.

Cerita dari peran yang dimainkan anak dapat melatih anak menyimpulkan banyak hal mengenai tokoh yang dimainkannya.

5. Membantu Perkembangan Intelegensi

Aspek kognitif dapat dikembangkan melalui bermain drama karena dalam bermain drama dibutuhkan ide-ide yang kreatif.

6. Membantu Perkembangan Fantasi

Daya khayal anak sangat dibutuhkan ketika bermain peran. Hal ini dapat membantu perkembangan fantasi anak.

Uraian mengenai fungsi metode bermain peran dalam pengembangan keterampilan berbicara menekankan bahwa metode bermain drama dapat mengembangkan keterampilan berbicara. Metode bermain drama dapat menjadi media untuk memberikan kesempatan pada anak mengekspresikan imajinasinya.2.2. Hipotesis TindakanHipotesis penelitian adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Atau hipotesis adalah merupakan jawaban terhadap masalah penelitian yang secara teoritis dianggap paling mungkin dan paling tinggi tingkat kebenarannya (Sumadi Suryabrata, 1992:69). Hipotesa dari penelitian ini yaitu bahwa perkembangan kemampuan berbicara anak kelompok A TK Bunga Harapan Sumberwudi Kecamatan Karanggeneng Tahun Pelajaran 2014/2015 di duga dapat ditingkatkan melalui metode bermain peran

7