congenital larynx anomaly

Upload: baim-muach

Post on 09-Jan-2016

230 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

laring

TRANSCRIPT

Anomali Laring KongenitalSidrah M. Ahmad, BS, Ahmed M.S. Soliman, MDOtolaryngol Clin N Am 40 (2007) 177191Anomali laring kongenital relatif jarang dijumpai. Namun, fenomena tersebut dapat terjadi dan bisa mengakibatkan ancaman jiwa karena masalah respirasi yang ditimbulkannya terutama pada periode awal kelahiran. Masalah terkait dengan fonasi (pembentukan suara) dan refleks menelan dapat menghambat perkembangan bayi. Stridor merupakan tanda yang paling umum pada obstruksi laring1. Sumber obstruksi dapat diperkirakan berdasarkan karakteristik stridor yang muncul. Obstruksi supraglotis atau glotis biasanya mengakibatkan stridor inspirasi. Stridor bifasik menandakan sebuah penyempitan antara glotis dan trakhea ekstratoraks. Aliran udara yang turbulen (tidak teratur) di bagian distal trakhea atau bronkus utama dapat menimbulkan stridor ekspirasi.EmbriologiSebagian besar pemahaman tentang perkembangan embriologi laring, berasal dari hasil tulisan Tucker dan koleganya2, Zaw-Tun3 serta Hollinger dan koleganya4. Berdasarkan sistem stadium Carnegie, perkembangan laring dibagi kedalam 2 periode5,6. Periode embrio terdiri atas 8 minggu pertama perkembangan intrauterus. Laring pertama kali tampak sekitar hari ke 25-28 kehamilan sebagai suatu penebalan epitel sepanjang bagian ventral dari foregut, disebut sebagai primordium respirasi. Seiring dengan perkembangan primordium respirasi, divertikulum respirasi, sebuat kantung luar dari luman foregut tumbuh ke dalamnya. Divertikulum respirasi berkembang pada area yang disebut lantai primitif faring setinggi letak glotis orang dewasa. Lantai faring dan lantai faring primitif dipisahkan oleh laringofaring primitif yang berkembang menjadi supraglotis orang dewasa.Seiring dengan berjalannya waktu, divertikulum respirasi meluas ke arah inferior dan dipisahkan dari jantung dan hati yang sedang berkembang oleh septum transversal, dan dipisahkan dengan esofagus oleh septum trakheoesofagus. Septum trakheoesofagus tumbuh dari arah kaudal ke kranial. Jika pertumbuhan ke arah kranial terhambat, maka akan terbentuk celah trakheoesofagus atau fistula trakheoesofagus. Perkembangan abnormal dari divertikulum respirasi sendiri, dapat menyebabkan agenesis trakhea, stenosis trakhea atau cincin trakhea komplit. Obliterasi dari lumen ventral dari laringofaring primitif akan digantikan oleh munculnya lamina epitel. Duktus faringoglotis terletak di sebelah dorsal dari lamina epitel, yang berkembang menjadi nodul interaritenoid dan glotis posterior. Sekum laring terletak di sebelah anterior dari lamina epitel yang akan menjadi vestibulum laring. Lamina epitel kemudian mengalami rekanalisasi sehingga sekum laring dan duktus faringogotis akan bersatu. Kegagalan rekanalisasi akan menyebabkan stenosis laring atau laryngeal web (Gambar 1).Selama periode fetus, proses pembentukan vokal berasal dari aritenoid, sel goblet dan kelenjar submukosa berkembang, dan kartilago epiglotis yang matur berubah menjadi sebuah struktur fibrokartilago7. Periode fetus berakhir dalam 32 minggu. Menjelang akhir kehamilan, kartilago cricoid berubah dari pertumbuhan interstisiil menjadi perikondrium.

Gambar 1. Stenosis laringJenis-Jenis Anomali Laring1. LaringomalasiaLaringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi dan bertanggungjawab atas 60%-75% anomali laring kongenital (Gambar 2)8-11. Laringomalasia pertama kali dijelaskan oleh Jackson dan Jackson pada tahun 1942 sebagai suatu kelainan dimana jaringan supragotis kolaps ke dalam glotis saat inspirasi12. Kelainan tersebut menghasilkan stridor inspirasi bernada tinggi selama 2 minggu pertama kehidupan ekstrauterus dan secara spontan sembuh menjelang usia 12-24 bulan8-11,14,15. Dalam kasus laringomalasia yang berat, seorang anak akan menderita akibat kejadian apneu, hipertensi pulmonal atau kegagalan untuk berkembang. Dalam kasus tersebut, intervensi bedah dianjurkan, termasuk supraglotiplasti, pemisahan lipatan aryepiglotis atau epiglotipeksi9-11. Laringomalasia didiagnosa dengan memakai endoskopi yang dilengkai fiber optik fleksibel8. Diklasifikasikan ke dalam tipe 1, tipe 2, tipe 3 berdasarkan pola kekolapsan supraglotis8-10. Pada laringomalasia tipe 1, mukosa supraglotis prolaps; laringomalasia tipe 2 ditandai dengan pemendekan lipatan aryepiglotis; tipe 3 menunjukkan adanya pergeseran ke arah posterior dari epiglotis.Laringomalasia tipe 1 diterapi dengan melakukan supraglotiplasti, dimana sisa mukosa epiglotis, lipatan aryepiglotis atau mukosa aritenoid dieksisi8. Prosedur tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan bedah mikro, laser karbondioksida atau microdebrider laring10-11,13,16. Supraglotiplasti memakai laser karbondioksida menghasilkan eksisi yang teliti dari jaringan sisa dengan perdarahan yang minimal11,13. Supraglotiplasti endoskopi dengan microdebrider laring akan menghasilkan tekanan negatif yang berhubungan dengan inspirasi yang disimulasikan oleh suction, oleh karena itu dokter bedah akan memiliki lapang pandang yang lebih baik dan dapat melakukan eksisi jaringan sisa dengan tepat6. Laringomalasia tipe 2 diterapi dengan insisi pada lipatan aryepiglotis untuk menghasilkan ekspansi jalan nafas11. Biasanya dilakukan eksisi pada tepi lipatan aryepiglotis, namun Loke dan koleganya17 menunjukkan bahwa insisi sederhana dengan memisahkan lipatan aryepiglotis sudah cukup untuk mengatasi obstruksi jalan nafas. Pemisahan lipatan aryepiglotis dapat dilakukan dengan memakai gunting mikrolaring atau dengan laser karbondioksida. Laringomalasia tipe 3 dapat diterapi secara efektif dengan metode epiglotipleksi, dimana epiglotis dilekatkan pada basis lidah, sehingga mengoreksi pergeseran posterior dari epiglotis11. Tidak semua kasus dapat diklasifikasikan dengan mudah ke dalam kategori tunggal, oleh karena itu, kombinasi dari pilihan terapi bedah dapat dipertimbangkan.Penyakit refluks gastroesofagus diduga berhubungan dengan laringomalasia8,10,18. Tidak jelas apakah penyakit refluks gastroesofagus yang menyebabkan laringomalasia dengan menginduksi edema difus laring, atau laringomalasia yang justru menyebabkan penyakit refluks gastroesofagus dengan menginduksi tekanan negatif intrapleura yang tinggi dan oleh karenanya mencegah sfingter esofagus bawah berfungsi dengan baik. Dalam kedua kasus terseut, akan lebih baik jika terapi pasien laringomalasia yang menderita akibat penyakit refluks gastroesofagus didasarkan pada ukuran antirefluks.

Gambar 2. Laringomalasia kombinasi

2. Imobilitas plika vokalis kongenitalKelainan laring kongenital paling umum ke-2 yaitu gangguan pergerakan plika vokalis, yang bertanggungjawab atas 10%-20% dari semua anomali laring kongenital8,19,20. Imobilitas plika vokalis unilateral biasanya terjadi dengan gejala tangisan yang lemah dan berisik, kesulitan minum, dan aspirasi8,20. Imobilitas plika vokalis bilateral, lebih jarang, biasanya dengan gejala stridor bifasik dan tangisan yang tertahan20. Beberapa neonatus dengan imobilitas plika vokalis bilateral membutuhkan intubasi saat lahir karena distress pernafasan berat, sedangkan tipe yang lain biasanya disertai dengan sedikit toleransi pada jalan nafas.Kebanyakan kasus imobilitas plika vokalis bersifat idiopatik, namun kelainan dapat merupakan akibat trauma lahir, anomali sistem saraf pusat atau tepi dan anomali kardiovaskular20. Gangguan sistem saraf pusat dan tepi dapat mengakibatkan imobilitas plika vokalis unilateral atau bilateral15,20. Gangguan sistem saraf pusat yang berhubungan dengan imobilitas plika vokalis biasanya akibat adanya disgenesis batang otak atau serebri, hidrocephalus, enchephalocele, leukodistrofi, meningomyelocele, spina bifida, cerebral plasy dan Arnold-Chiari malformation (ACM). ACM biasanya akan menyebabkan imobilitas plika vokalis bilateral20. Gangguan sistem saraf tepi yang berkaitan dengan imobilitas plika vokalis biaanya akibat adanya myasthenia gravis, fascioscapulohumeral myopati, dan spinal muskular atrofi. Anomali kardiovaskular yang berhubungan dengan imobilitas plika vokalis yaitu ventrikular septal defek, Tetralogy of Fallot, kardiomegali, Ortner syndrome, vascular rings, arcus aorta ganda, dan paten duktus arteriosus15,20.Imobilitas plika vokalis bilateral herediter, telah berhasil diidentifikasi20. Pada tahun 1978, Mace dan kolega21 mengusulkan pewarisan gen autosom dominan dalam beberapa kasus imobilitas plika vokalis bilateral. Pada tahun 2001, Manaligod dan kolega22 mengidentifikasi kromosom 6q16 sebagai lokus yang bertanggungjawab atas imobilitas plika vokalis bilateral herediter. Namun belum ada kasus genetik yang berhasil diidentifikasiuntuk kasus imobilitas plika vokalis unilateral20. Endoskopi penting untuk mengevaluasi jalan nafas dan pergerakan plika vokalis15,20,23. Kombinasi laringoskopi fleksibel dengan bronkhoskopi kaku dibawah pengaruh anestesi telah diusulkan15,20. Pada evaluasi yang lengkap, arytenoid sebaiknya dipalpasi untuk menentukan mobilitas dari sendi cricoaryteoid20,24. Tes tambahan termasuk video esofagografi dengan kontras untuk menilai fungsi menelan, dan elektromiografi laring untuk membantu membedakan antara fiksasi plika vokalis dengan paralisis plika vokalis15,20,24,25. Bayi dengan kerusakan pergerakan plika vokalis bilateral sebaiknya menjalani foto kranial baik dengan CT-scan, USG maupun MRI untuk menegakkan patologi pada batang otak. Sedangkan pemeriksaan fisik yang teliti pada leher dan foto thoraks diperlukan untuk menegakkan patologi di daerah mediastinum. Pada pasien yang mengalami imobilitas plika vokalis akibat sekunder gangguan medis lain, maka penyebab utamanya harus diterapi terlebih dulu15,20. Dalam kebanyakan kaus, imobilitas plika vokalis kongenital idiopatik sembuh secara spontan dalam 6-12 bulan pertama kehidupan, meskipun penyembuhan yang berhasil didokumentasikan yaitu 11 tahun kemudian dari kehidupan awal 1,20,23. Untuk kasus tersebut, terapi bersifat onservatif. Pada kasus dengan toleransi jalan nafas yang signifikan, trakheotomi mungkin dibutuhkan hingga penyembuhan spontan dari pergerakan plika vokalis terjadi8,20,23.Pada pasien dengan imobilitas plika vokalis unilateral dan resiko terjadi aspirasi, maka dapat dipasang nasogastric tube atau gastrotomi untuk memastikan intake nutrisi yang cukup19. Injeksi medialisasi pada plika vokalis yang paralisis dengan memakai spons gelatin absorbable (Gelfoam) atau kolagen juga efektif dalam mengurangi aspirasi pada anak usia lebih tua 1,20,23. Tiroplasti tipe I memberikan alternatif disamping injeksi medialisasi1,20. Banyak kontrovesi mengenai penggunaan prosedur tersebut pada pediatrik. Pada bayi dan anak-anak, medialisasi plika vokalis parese dapat memperburuk jalan nafas. Efek medialisasi laringoplasti pada perkembangan laring belum diketahui20+.Pada pasien dengan imobilitas plika vokalis bilateral, pilihan terapi meliputi lateralisasi plik vokalis, kordektomi parsial, arytenoidektomi melalui pendekatan endoskopi atau eksternal serta ekspansi kartilago cricoid melalui pemisahan cricoid antreior dengan penempatan graft1,8,26. Friedman dan kolega26 telah menunjukkan penggunaan laser akrbondioksida untuk melakukan kordektomi parsial transver posterior dimana bagian plika vokalis posterior diangkat setelah mengeluarkan ligamentum vokalis dan muskulus vokalis dari kartilago arytenoid. Laser karbondioksida telah digunakan dengan sukses untuk prosedur tersebut pada populasi orang dewasa selama bertahun-tahun. Hal tersebut dapat menjadi pilihan pada anak-anak dengan toleransi jalan nafas yang signifikan dan dengan kemungkinan kecil kembalinya fungsi plika vokalis yang cukup.

3. Kista laringKista laring muncul dengan derajat obstruksi jalan nafas yang bervariasi, serak, dan disfagia27-29. DeSanto dan koleganya30 mengelompokkan kista laring ke dalam bentuk sakular, duktal atau kista foramina kartilago tiroid. Pada tahun 1997, Arens dan kolega31 menciptakan sebuah sistem klasifikasi baru dimana lokasi dari kista dan histomorfologinya dipertimbangkan. Dalam sistem klasifikasi tersebut, kista laring diklasifikasikan ke dalam kelompok kongenital, retensi atau inklusi.Akhir-akhir ini, Forte dan koleganya28 mengusulkan sebuah sistem klasifikasi baru untuk kista laring kongenital sebagai usaha dalam menuntun terapi yang berdasarkan klasifikasi. Dalam sistem tersebut, klasifikasi berdasarkan pada luasnya kista dan asal dari jaringan embriologis. Kista yang melekat pada laring dan terdiri dari elemen endodermal diklasifikasikan sebagai tipe 1 dan dapat dieksisi dengan endoskopi secara komplit. Kista dengan perluasan ekstralaring diklasifikasikan sebagai tipe 2 dan untuk eksisi komplitnya memerlukan pendekatan dengan bedah terbuka. Kista tipe 2 dikelompokkan lagi kedalam subkelompok 2a dan 2b. Kista subkelompok 2a berasal secara embriologis dari elemen endodermis, sedangakan kista subkelompok 2b berasal baik dari elemen endodermal dan mesodermal, sebagaimana terlihat dalam duplikasi laringotrakheal atau divertikulum. Dalam jurnal ini, penulis memakai sistem klasifikasi DeSanto.

a. Kista sakularSakula merupakan kantung membranosa yang terletak diantara plika ventrikularis dan permukaan dalam kartilago tiroid32. Permukaan membran mukosa sakula yang normal tertutup, dengan bagian terbuka yang bermuara ke dalam 60 atau 70 glandula pada mukosa. Kompresi sakula oleh muskulus di sekitarnya akan menghasilkan sekresi mukus untuk melubrikasi permukaan plika vokalis. Kista sakular berasal dari obstruksi orificium/lubang daru sakula laring di dalam ventrikulus, yang mengakibatkan retensi mukus pada sakula (Gambar 3)28. Meskipun kista sakula dapat diidentifikasi dengan radiografi, endoskopi merupakan gold standard untuk penegakan diagnosis23. Evaluasi endoskopi mengungkap adanya lesi kistik yang mengandung cairan mukoid tebal, yang muncul dari belakang plika aryepiglotis pada kista lateral, atau dari ventrikulus dan masuk ke dalam lumen laring, pada kista yang letaknya anterior8,33. Aspirasi jarum mungkin bermanfaat untuk mendiagnosa lesi, namun drainase kista hanya merupakan terapi sementara23,33. Marsupialisasi merupakan pilihan terapi untuk kista sakular yang berukuran kecil. Namun, pada kasus kista kambuhan atau yang berukuran besar, endoskopi atau eksisi bedah terbuka dibutuhkan untuk mengangkat jaringan secara komplit5,25.

Gambar 3. Kista sakular

b. Kista valekularKebanyakan neonatus dengan kista valekular (Gambar 4.) muncul dengan keluhan stridor dalam beberapa minggu pertama kehidupan1. Gejala yang lain meliputi batuk, kesulitan makan, episode sianosis dan kegagalan pertumbuhan. Diantara banyak teori mengenai patogenesis kista valekular, kondisi yang paling mungkin yaitu akibat obstruksi kelenjar mukosa yang terletak di dasar lidah29. Sekresi mukosa dari kelenjar di sekeliling kista menyebabkan ukuran kista bertambah besar.CT scan dapat bermanfaat untuk menunjukkan lokasi dan perluasan kista29. Namun, endoskopi penting untuk mendiagnosis secara akurat kista valekular dan menyingkirkan lesi valekular lain seperti kista dermoid, teratoma, tyroid lingual, limfangioma atau hemangioma1,29. Evaluasi endoskopi mengungkap sebuah masa lokal yang halus dalam ruang valekular. Scan tyroid radionukleotida mungkin dapat membantu untuk melokalisasi fungsi jaringan tyroid.Terapi definitif dari kista valekular meliputi eksisi endoskopi atau marsupialisasi1,29. Aspirasi kista bermanfaat dalam mengamankan jalan nafas, namun sering menyebabkan kekambuhan.

Gambar 4. Kista valekular

c. Kista duktus tyroglosusMeskipun kista ini didapatkan umumnya di daerah leher, kista duktus tyroglosus juga bisa muncul di daerah valekula dan mengakibatkan obstruksi jalan nafas1. Kista tersebut dilapisi epitel pseudostratifikasi bersilia atau epitel skuamous. Stromanya mengandung kelenjar mukosa dan folikel tyroid. Identifikasi folikel tyroid dapat membantu membedakan antara kista duktus tyroglosus dari kista valekular.d. Kista duktusKista yang berasal dari obstruksi kelenjar submukosa-mukosal disebut dengan istilah kista duktus1,29. Seperti jenis kista yang lain, terapinya dengan melakukan marsupialisasi atau eksisi lesi secara komplit.e. LaryngoceleLaryngocele merupakan akibat dilatasi abnormal sakulus laring223. Tidak seperti kista sakular, laryngocele berhubungan dengan lumen laring23,34,35. Laryngocele dipenuhi oleh udara sehingga sakulus membesar ke arah lumen laryng mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan tangisan yang lemah. Sakulus yang beridilatasi dapat membesar dan meluas ke dalam leher lewat membrana tyroid.Foto radiografi dapat mengungkapkan sebuah kantong berisi udara pada plika aryepiglotis atau di leher bagian luar. Evaluasi endoskopi penting untuk menyingkirkan lesi laring lainnya, seperti kista duplikasi laring, hamartoma, choristoma, dan teratoma yang memiliki penampakan mirip27,34. Marsupialisasi endoskopi cukup untuk mengontrol sebagian besar laryngocele23,28,35. Jika terdapat komponen eksternal, pendekatan dengan bedah terbuka diperlukan untuk mengangkat lesi secara komplit35.

4. Atresia laring dan stenosis

Atresia laring merupakan kondisi yang jarang dijumpai, biasanya akibat kegagalan laring dan trakhea mengalamai rekanalisasi selama embriogenesis5. Gejala yang timbul khas saat lahir yaitu distress pernafasan berat. Atresia laring dapat didiagnosa selama masa pre natal berdasarkan USG, dengan mengidentifikasi tanda kongenital yang disebut dengan high airway obstruction syndrome (CHAOS), yaitu pembesaran paru hiperekogenik, pendataran diafragma, paru-paru yang dipenuhi air, dilatasi jalan nafas di bagian distal dari segmen yang mengalami obstruksi, hidrops fetalis dan polihidramnion36-38. USG Doppler bermanfaat untuk melokalisasi derajat obstruksi dengan mendeteksi hilangnya aliran udara pada trakhea selama pernafasan fetus.Trakheotomi darurat diperlukan segera setelah lahir untuk mengamankan jalan nafas. Diagnosis pre natal dari CHAOS memungkinkan penggunaan prosedur ex utero intrapartum treatment (EXIT) untuk mengevaluasi dan mengamankan jalan nafas saat lahir36,37. Pada prosedur tersebut, plasenta dipertahankan setelah kelahiran sampai jalan nafas berhasil diamankan. Umumnya, rekonstruksi laringotrakheal dilakukan pada tahap usia selanjutnya5,6. Anomali yang terkait diantaranya yaitu fistel trakheoesofagus, atresia esofagus, abnormalitas traktus urinarius, defek ekstremitas kaki, encephalocele, ginjal tapalkuda, telinga letak-rendah5,37. Pada neonatus dengan kelainan fistel trakheoesofagus, dapat dilakukan pengamanan jalan nafas sementara menggunakan intubasi esofagus.

10