colitis tb acc

Upload: mamad-trihatmowidjoyo

Post on 08-Jul-2015

398 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SEORANG PENDERITA TB PARU DENGAN SPONDILITIS TB DAN COLITIS TB Muhammad Trihatmowijoyo Bundjali Titong Sugihartono PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis (MTB). MTB berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3- 0,6m dan panjang 1-4 m (Aditama, 2006). TB paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada manusia (Amin & Bahar, 2009). Laporan World Health Organization (WHO) menyatakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman MTB dengan adanya 8.8 juta kasus baru TB di dunia pada tahun 2002 dan 3.9 juta kasus diantaranya adalah kasus Batang Tahan Asam (BTA) positif. Dan menurut WHO, jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia. Indonesia setiap tahunnya terdapat 250.000 kasus baru TB dan masih menempati urutan ke-3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Diperkirakan kematian akibat TB di dunia terjadi pada negara-negara berkembang dan Indonesia sendiri terdapat sekitar 140.000 kematian akibat TB setiap tahunnya. Di Indonesia, TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia (Yinski & Widiyanto, 2010). Penularan TB terutama terjadi melalui udara, apabila penderita batuk, bersin, atau meludah. Droplet yang dikeluarkan bersifat infeksius, dan dikeluarkan dalam jumlah besar dengan potensi penularan di setiap dropletnya. Kemungkinan transmisi tergantung dari jumlah droplet infeksius, lama paparan, serta virulensi strain. Memang sebagian besar kuman MTB menyerang paru, karena kuman MTB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Disamping manifestasi pada paru, keadaan umum yang buruk dapat menyebabkan bakterimia dan mengenai organ tubuh yang lainnya (ekstrapulmoner). TB ekstrapulmoner paling Laporan Kasus Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSU dr. Soetomo Surabaya, 2011 sering menyerang kelenjar getah bening, pleura, traktus urinarius, tulang & persendian, selaput otak, peritoneum, pericardium dan saluran cerna/ intestinal TB (ITB) (Rasjad, 2003;Amin & Bahar, 2009;Yinski & Widiyanto, 2010;Herchline, 2011). 1

Berikut ini dilaporkan kasus seorang penderita laki-laki muda dengan TB paru yang disertai TB tulang belakang dan TB saluran cerna. KASUS Tn.M, Laki-laki, 39 tahun, suku Jawa, Islam, pekerjaan sebagai tukang bangunan, tinggal di Surabaya, masuk rumah sakit (MRS) pada 5 Februari 2011, dengan keluhan utama diare. Dari anamnesis didapatkan keluhan diare disertai nyeri perut hilang timbul yang mulai dirasakan sejak sekitar satu bulan yang lalu, kemudian pasien dirawat di RSUD. Sidoarjo selama 2 minggu yang kemudian dirujuk ke RSUD dr. Soetomo karena alasan kehabisan alat. Diare awalnya sehari hanya 3 sampai 4 kali sehari, kemudian semakin lama semakin sering. Diare berwarna kuning encer, awalnya tanpa darah, namun kemudian kadang- kadang disertai sedikit darah dan lendir. Pasien mengeluh adanya benjolan di punggungnya sejak 3 tahun yang lalu, yang kini dirasakan nyeri cekot-cekot. Beberapa bulan terakhir pasien merasakan kelemahan pada kedua kakinya, namun pasien masih dapat berjalan. Nafsu makan dirasakan menurun , mual dirasakan kadang-kadang saja, keluhan demam tidak didapatkan. Pasien merasa berat badannya menurun sejak tahun 2007. Didapatkan keluhan batuk lama disertai dahak tanpa darah, tidak didapatkan keluhan sesak, nyeri dada, maupun keringat malam. Buang air kecil: dalam batas normal. Riwayat penyakit dahulu: Tahun 2007, penderita sudah mengeluh batuk berulang disertai berat badan menurun namun hanya satu kali saja periksa ke dokter (belum sempat diberi obat). Januari 2011, Penderita MRS di RSUD. Sidoarjo kemudian dilakukan kolonoskopi dengan gambaran dicurigai sebagai penyakit Crohns (Crohns disease/ CD). Riwayat minum obat TB sejak MRS di RSUD. Sidoarjo. Riwayat merokok sejak SMA, 1 pak/hari. Riwayat sering sariawan, kencing manis dan darah tinggi disangkal. Riwayat keluarga dengan diare dan batuk lama disangkal,

Riwayat penyakit keluarga: Pada pemeriksaan Fisik didapatkan keadaan umum cukup, compos mentis, berat badan 45 kg, tinggi badan 160 cm, tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 96 kali per menit teratur, pernapasan 20 kali per menit, suhu aksiler 37C. Pada pemeriksaan kepala dan leher tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan thoraks tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan perut terkesan flat, tidak didapatkan pembesaran hepar maupun lien, bising usus yang 2

meningkat. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat, kering dan tidak didapatkan edema. Status neurologis: GCS : 456 Reflek cahaya : Pupil bulat 5 1 5 1 isokor 3mm/3mm Motorik :

Sensorik: sulit dievaluasi (tidak kooperatif) Reflek fisiologis: dalam batas normal Reflek patologis: Babinski positif pada plantar pedis dekstra. Autonom nervous sistem: dalam batas normal Status Lokalis: - Pada regio Thoraco lumbal: didapatkan ulkus ulceratif, gibbus dengan diameter 5 cm dan pus. - Pada regio Sacrum: didapatkan ulkus ulceratif, tanpa adanya gibbus dan pus. Pemeriksaan penunjang didapatkan hasil Hb 9,3 g/dL, lekosit 5.300/uL, granulosit 64,2%, Diff. Count (Eos/Bas/Stab/Seg./Limf/Mon) -/-/-/ 96%/ 4%/-. Hct 38,6%, Trombosit 221.000/uL, GDA 118 mg/dL, BUN 24 mg/dL, SK 0,4 mg/dL, SGOT 23 U/L, SGPT 21 U/L, Alb 2,2 g/dL, T.Bil 0,4 mg/dL, D.Bil 0,1 mg/dL, Ind.Bil 0,3 mg/dL, natrium 136 mmol/l, kalium 4,3 mmol/l, dan klorida 101 mmol/l. Urine lengkap dan sedimen urine: dalam batas normal. foto thorax (5 Januari 2011, RSUD. Sidoarjo) didapatkan Fibroinfiltrat pada kedua lapangan paru, mengesankan TB paru. Foto Thoracolumbal AP & Lateral (5 Januari 2011, RSUD. Sidoarjo) menyokong Spondilitis dengan paravertebra abses. Pada elektrokardiogram didapatkan irama sinus 100x/menit dengan axis normal. Konsultasi dengan bagian Paru saat di IRD (5 Februari 2011) didapatkan penderita dengan TB Paru dengan kecurigaan spondilitis TB. Berdasarkan data yang tersedia maka diagnosis kerja pasien ini saat itu: TB paru + Gastro Enteritis (GE) kronis, suspect Colitis TB, dd CD + Suspect Spondilitis TB + Anemia + HipoAlbumin. Terapi: Diet Tinggi kalori tinggi protein (TKTP) 1900 kalori/hr, Infus RL 7 tetes/menit, tranfusi PRC 2 kolf/hr sampai dengan HB 10 g/dL, drip Albumin sampai dengan 3 g/dL, Obat

3

anti TB

kategori I (Rifampisin 1x450 mg, Isoniazid 1x300 mg, Ethambutol 1x750mg,

Pirazinamid 1x1000 mg). Selama perawatan di ruangan penderita di konsultasikan dengan divisi gastro dan dirawat bersama dengan departemen Saraf, departemen Bedah Orthopaedi & departemen Rehabilitasi Medik. Hasil konsultasi dengan Divisi Gastroenterohepatologi: kolonoskopi ulang dan biopsi yang akan dilakukan pada tanggal 14-2-2011. Konsultasi dengan bagian Saraf (8 Februari 2011) didapatkan pasien dengan kesadaran baik tanpa tanda rangsang meningeal + Paraparese UMN (Suspect Spondilitis TB). Konsultasi dengan bagian Bedah Orthopaedi (9 Februari 2011) didapatkan pasien dengan Spondilitis vertebra thoracal IX-XII, Fr. Corpus + Ulcus Decubitus Thoracal + Colitis TB. Untuk sementara belum dapat dilakukan terapi operatif (surgical debridemant dan stabilisasi posterior) oleh karena terdapat ulcus decubitus dan multiple ekskoriasi pada area operasi. Pasien akan kami alih rawat setelah BTA negatif. Konsultasi dengan bagian Rehabilitasi Medik (10 Februari 2011) didapatkan pasien dengan problem list: immobilisasi, kelemahan alat gerak bagian bawah (AGB) dekstra/ sinistra (D/S), gibbus area Thoracal + ulcus gr.II. Dengan penanganan sebagai berikut: proper positioning, log rolling/ 2 jam, Breath exercise aktif, Active Range of Movement (AROM) & Strengthening alat gerak bagian atas (AGA) D/S, Aktif assist AGB D/S. PERJALANAN PENYAKIT 7-2-2011 (Perawatan hari ke-3) Keluhan: didapatkan diare >4x. Diagnosis: tetap. Terapi : Diet TKTP 1900 kalori/hr, Infus RL 7 tetes/menit, tranfusi PRC 2 kolf/hr sampai dengan HB 10 g/dL, drip Albumin sampai dengan 3 g/dL, Obat anti TB kategori I (Rifampisin 1x450 mg, Isoniazid 1x300 mg, Ethambutol 1x750mg, Pirazinamid 1x1000 mg), Rawat luka. 8-2-2011(Perawatan hari ke-4) Keluhan: tetap. Dengan mm/jam. 4 hasil laboratorium Hb: 11,7 g/dL, Lekosit 14.000/uL, Diff. Count (Eos/Bas/Stab/Seg./Limf/Mon) -/-/ 3%/ 61%/ 22%/ 6%, Trombosit 266.000/uL, LED 40

Diagnosis: TB paru + GE kronis, suspect Colitis TB, dd CD + Suspect Spondilitis TB + Sepsis. Terapi: Diet TKTP 1900 kalori/hr, Infus RL 7 tetes/menit, Amoxyclav 3x1 gr iv, drip Albumin sampai dengan 3 g/dL, Obat anti TB kategori I (Rifampisin 1x450 mg, Isoniazid 1x300 mg, Ethambutol 1x750mg, Pirazinamid 1x1000 mg). 9-2-2011(Perawatan hari ke-5) Keluhan: tetap. Dengan hasil laboratorium Lekosit 17.200/uL, Diff. Count (Eos/Bas/Stab/Seg./Limf/Mon) -/-/ 4%/ 67,4%/ 29%/10,4%, Albumin 2,4 g/dL, LED 105, ICT TB +, VCT: Negatif Diagnosis: TB paru + GE kronis, suspect Colitis TB, dd CD + Spondilitis TB + HipoAlbumin + Sepsis. Terapi: tetap. 10-2-2011(Perawatan hari ke-6) Keluhan: diare mulai berkurang. Dengan hasil laboratorium Lekosit 16.800 /uL, Diff. Count (Eos/Bas/Stab/Seg./Limf/Mon) -/-/ 3%/ 69%/ 29%/ 8%, Albumin 2,5 g/dL, Feces Lengkap: lendir- darah- mikroskopis: Ery-, leko-, telur cacing- ,larva- ,amoeba- ,kista- ,darah samar tinja + . Kultur urine: Klebsiella Pneumoniae. 14-2-2011(Perawatan hari ke-10) Keluhan: diare mulai berkurang. Dengan hasil laboratorium Lekosit 14.400/uL, Diff. Count (Eos/Bas/Stab/Seg./Limf/Mon) -/-/ 3%/ 67%/ 29%/ 7,4%, Albumin 2,7 g/dL, LED 30 mm/jam Pasien menjalani kolonoskopi ulang (RSUD.dr.Soetomo) dengan hasil: Scope masuk dari anus sampai caecum: Anus: hemoroid-, Rectosigmoid: mulai insersi 10 cm didapatkan mukosa sembab cenderung pucat, Colon Descendens: Mulai insersi 20 cm didapatkan mukosa sembab dan pucat dengan gambaran seperti tekstur tanah yang pecah-pecah, Colon Transversum: Didapatkan mukosa sembab dan kasar dengan membentuk tonjolan-tonjolan yang tidak bertangkai, Colon Ascendens:Mukosa sembab dengan tekstur kasar dan bercak kemerahan, Caecum: Mukosa sembab dan kemerahan, Kesimpulan: Pancolitis, dd: kolitis TB, Crohns disease, Divertikulitis. Dilakukan biopsi. Pada pemeriksaan patologi anatomi, Makroskopik: Diterima potongan-potongan jaringan kecil bentuk tidak teratur, berat < 5 gram, ukuran: 0,1x0,2x0,1 cm 0,5x0,2x0,2 cm , warna putih abu-abu, padat lunak. Diproses semua 1 kaset. Mikroskopik: Menunjukan potongan-potongan jaringan colon dan epitel mukosa sebagian intak, sebagian erosi dengan pendarahan. Tampak lamina propia dengan sebukan sel-sel radang 5

mononuclear, plasma, tidak tampak amuba dan timbunan limfoid. Tidak tampak proses spesifik maupun tanda-tanda keganasan. Kesimpulan: Colitis Kronis dengan area erosi. Sukar menentukan Diagnosa Chrons dari bahan biopsi. Diagnosis: TB Paru + Spondilitis reg. vertebra thoracal IX-XII, Fr. Corpus + Ulkus Dekubitus (gr.III reg,Thoracolumbal + gr.II reg. Sacrum) + Colitis TB + Hipoalbumin + Sepsis (membaik) Terapi: tetap. 16-2-2011(Perawatan hari ke-12) Hb 11,3 g/dL, Lekosit 13.200/uL, Diff. Count (Eos/Bas/Stab/Seg./Limf/Mon) -/-/ 3%/ 60%/ 21%/ 6%, LED 22 mm/jam, Albumin 2,8 g/dL, BTA: ZN I: 3+ ZN II: 3+ ZN III: 2+ . Kultur darah: Negatif. Kultur pus: negatif. 18-2-2011(Perawatan hari ke-14) Keluhan: buang air besar 2-3 kali sehari, agak lembek, sudah tidak cair lagi. Dengan hasil laboratorium Hb 11,5 g/dL, Lekosit 8.800/uL, Diff. Count (Eos/Bas/Stab/Seg./Limf/Mon) -/-/ 1%/ 59%/ 21%/ 5%, LED 21 mm/jam, Albumin 3,1 g/dL Penderita dipulangkan dengan diagnosa akhir : TB Paru + Spondilitis vertebra thoracal IX-XII, Fr. Corpus + Ulkus Dekubitus gr.III Thoracolumbal, gr.II Sacrum (membaik) + Colitis TB. Terapi: Obat anti TB kategori I. Penderita direncanakan untuk kontrol poli Peny. Dalam, Poli Paru, Poli Bedah Orthopaedi dan Poli Rehabilitasi Medik. PEMBAHASAN TB paru cukup mudah dikenali dari keluhan-keluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisik, kelainan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis. Keluhan pada penderita TB bermacam-macam atau tanpa keluhan. Keluhan yang terbanyak adalah: 1) Demam, biasanya subfebril namun juga dapat mencapai 40-41C, keadaan ini dipengaruhi daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi TB; 2) Batuk/batuk darah, mulai dari batuk kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Batuk darah terjadi karena pembuluh darah yang pecah, seringkali terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus; 3) Sesak napas, dapat ditemukan pada penyakit yang infiltrasinya sudah meliputi sebagian paru-paru; 4) Nyeri dada, jarang ditemukan, timbul bila terjadi pleuritis; 5) Malaise, berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam (Amin & Bahar, 2009).

6

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan suhu badan subfebris, serta badan kurus. Bila sarang penyakit terletak didalam > 4 cm, hantaran getaran/suara sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Adanya infiltrat yang agak luas, didapatkan perkusi yang redup, serta pada auskultasi didapatkan suara napas bronkial, juga ronki basah, kasar, dan nyaring. Namun, bila infiltrat diliputi penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikuler melemah (Amin & Bahar, 2009). Pada pemeriksaan radiologis dada, lokasi lesi TB umumnya di daerah apeks paru, tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau di daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, berupa bercak-bercak seperti awan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat seperti bulatan dengan batas yang tegas sebagai tuberkuloma. Pada tuberkulosis yang sudah lanjut, pada satu foto dada didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema (Amin & Bahar, 2009). Diagnosis TB paru masih banyak ditegakkan berdasar kelainan klinis dan radiologis saja. Hal tersebut, menyebabkan kesalahan diagnosis yang cukup banyak. Oleh sebab itu, dalam diagnosis TB paru sebaiknya dicantumkan status klinis, bakteriologis, radiologis serta pengobatan, seperti pada kriteria WHO tahun 1991, yaitu : a) Pasien dengan BTA positif: 1. pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan, atau 2. satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai gambaran TB aktif, atau 3. satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif. b) Pasien dengan sputum BTA negatif: 1. pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA, setidaknya pada 2 kali pemeriksaan, tetapi gambaran radiologis yang sesuai dengan TB aktif atau, 2. pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi biakannya positif (Amin & Bahar, 2009). Pada penderita ini, dari anamnesa tidak didapatkan keluhan demam, keringat malam maupun sesak, akan tetapi penderita mengeluh batuk lama sejak 3 tahun yang lalu, penurunan nafsu makan , riwayat merokok, dan penurunan berat badan . Dari pemeriksaan fisik didapatkan badan penderita kurus dengan Body Mass Index (BMI): 17,5 kg/m2. Namun tidak didapatkan kelainan dari pemeriksaan secara palpasi, perkusi, maupun auskultasi. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran radiologis foto thorax dengan fibroinfiltrat pada 7

kedua lapangan paru yang mengarah sebagai TB paru dan didukung oleh hasil pemeriksaan sputum BTA positif. Maka penderita didiagnosa sebagai TB. TB tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tempat lain ditubuh dan 50% dari musculoskeletal TB yang terjadi (Rasjad, 2003). Di Los Angeles dilaporkan terdapat sebanyak 118 pasien dengan TB tulang belakang yang diantaranya ditemukan 65 pasien pada lokasi lumbal, 45 pasien pada lokasi thorakal, 6 pasien pada servikal, dan 2 pasien pada lokasi sakral (Leonard & Blumberg, 2005). TB tulang terjadi oleh karena penyebaran secara hematogen. Penyebaran bisa juga secara inokulasi kuman langsung atau penyebaran dari jaringan terdekat. Metafisis atau bagian pertumbuhan tulang adalah bagian yang terbanyak menerima aliran darah, sehingga bagian ini merupakan yang paling sering terkena infeksi. Infeksi ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisal korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya gibbus. Jika infeksi berkembang tanpa terapi yang adekuat bisa menimbulkan abses yang disebut cold abscess (Rasjad, 2003). Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu (Rasjad, 2003): 1. Stadium implantasi Setelah bakteri berada dalam tulang, bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra. 2. Stadium destruksi awal. Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi proses destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung 3-6 mingu. 3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa dan pus yang berbentuk cold absces, yang terjadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya gibbus. 8

4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya gibbus yang terjadi, tetapi ditentukan oleh tekanan abses pada kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis TB. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegi, yaitu : Derajat I sensoris. Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaan. Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktifitas penderita serta hipoestesia/anesthesi. Derajat IV : Terjadinya gangguan saraf sensoris dan motoris. 1. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan. Secara klinis gejala spondilitis TB hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebris) terutama malam hari serta nyeri pada punggung (Rasjad, 2003) Pada stadium awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks Babinski. Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis ialah akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis ataupun nyeri radiks saraf. Tanda yang biasa ditemukan diantaranya adalah adanya gibbus, bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan diatas (Rasjad, 2003;Cabral, 2005;Aditama, 2006) Perlu diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terkena (Javahery RJ, 2006). 9 : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi kerusakan saraf

Diagnosis spondilitis TB sebenarnya dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Namun untuk kelengkapan pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu: 1) pemeriksaan klinik dan neurologis yang lengkap, 2) Foto tulang belakang posisi AP dan Lateral, 3) Foto polos toraks posisi PA, 4) Uji Mantoux, 5) Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa (Rasjad, 2003). Berdasarkan data yang diambil dari pasien ini didapatkan batuk lama, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan. Pasien belum pernah mendapat terapi obat anti TB sebelumnya. Kemudian pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan dipunggung sejak sekitar 3 tahun yang lalu di Vertebra Thoracal IX-XII dirasakan nyeri cekot-cekot. disertai gangguan neurologis berupa kelemahan di kedua kakinya, namun pasien masih bisa berjalan dan reflex Babinski positif pada plantar pedis dextra. Sesuai dengan teori dimana penderita dengan infeksi TB paru yang tidak mendapat terapi adekuat atau tidak diobati dapat menyebar ke ekstra pulmonal secara hematogen. Maka disimpulkan pasien ini menderita spondilitis stadium deformitas residual dengan gangguan neurologis derajat II. MTB adalah patogen yang bertanggung jawab pada sebagian besar kasus ITB. Membedakan CD dari ITB terutama di daerah endemik TB adalah hal yang menantang. Sekitar 20-25% dari pasien TB paru aktif yang timbul bersamaan ITB. Meskipun TB masih merupakan masalah umum di daerah tertinggal di dunia dan kurang umum di negara maju, namun geografi penyakit ini mulai berubah (Almadi, 2008). Pasien ITB memberikan keluhan yang tidak khas seperti, nyeri perut, mual, muntah dan pucat. Nyeri adalah keluhan paling umum pada sekitar 85% penderita, penurunan berat badan (66%), demam (35-50%), diare (20%) dan hematochezia didapatkan pada kurang dari sepertiga pasien. Keluhan lain dari ITB adalah perubahan dari bowel habits. Komplikasi yang paling sering didapatkan pada ITB yaitu: obstruksi dikarenakan mengecilnya lumen usus yang disebabkan hyperplasi dari mukosa, striktur atau adhesi dari mukosa usus dan malabsorbsi adalah akibat dari kelainan tersebut. Malabsorbsi dapat juga disebabkan bacteria overgrowth dan permukaan penyerapan mukosa berkurang karena adanya ulserasi. Sebagian besar pasien ITB biasanya datang dengan gejala mulai dari 1 bulan lebih (Almadi, 2008; Sharma & Ahuja, 2009). ITB terjadi ketika organisme menembus mukosa baik setelah menelan dahak yang terinfeksi dengan TB paru aktif atau dari mengkonsumsi susu yang telah terkontaminasi. Sebuah studi kasus menyebutkan lokasi tersering Abdominal TB terletak pada saluran pencernaan atas 10

(8.5%), usus kecil (33.8%), usus besar (22,3%), peritoneum (30,7%) dan di hati (14,6%) (Almadi, 2008). Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan pada penderita yang dicurigai ITB yaitu dilakukan kultur jaringan, namun sebagian besar menunjukkan hasil kultur negatif terhadap MTB, walaupun penderita memberikan respon positif setelah pemberian obat anti TB (Lau, 1998;Djojoningrat, 2009;Jin, 2010). Skor untuk diferensiasi CD dan ITB. Skor yang dikembangkan untuk mendiagnosa dan membedakan antara CD dan ITB, yaitu dengan skor dari 0,3 hingga 9,3 dengan nilai cutoff pada 5,1. Skor yang lebih dari 5,1 memprediksikan kemungkinan ITB lebih besar. Rumus ini memiliki nilai sensitivitas 83% dan spesifisitas 79,2% (Makharia, 2010). Skor : (-2,5 x involvement of sigmoid colon) - (2,1 x blood in stool) + (2,3 x weight loss) (2,1 x focally enhanced colitis) + 7 Pasien : (-2,5 x 0) (2,1 x 1) + (2,3 x 1) (2,1 x 1) + 7 : 5,1 Tuberculosis usus Presentasi klinis Diare Pendarahan anus Demam Penyakit perianal Durasi gejala-gejala Ciri-Ciri endoskopi/kolonoskopi Longitudinal ulcers Aphthous ulcers Cobblestones appearance Scars dan pseudopolips Ciri-Ciri histologis Confluent granulomas Caseous nekrosis Granuloma besar Ulser dibatasi conglomerate epitheloid histiocytes Disproporsional inflamasi submukosal ++ + +++ 7.2 3.4 bulan + + + + ++ ++ +++ +++ +++ Penyakit crohn ++++ ++ + ++ 58.1 9.8 bulan +++ ++ +++ ++ + + + Pasien + + 1 bulan +

CiriCiri Klinis, endoskopik dan histologis dalam diferensiasi CD dan ITB Keterangan : - =0% ,+ =1-25%, ++ =26-50%, +++ = 51-75% ,++++ = 76-100%. Data berdasarkan laporan studi Penyakit Crohn dan Tuberkolusis usus (Almadi, 2008). Pada riwayat penyakit sekarang dan dahulu pada pasien ini didapatkan diare disertai nyeri perut hilang timbul sejak satu bulan yang lalu, yang kadang-kadang disertai darah, 11

penurunan berat badan dan perubahan pola/jadwal buang air besar (bowel habits). Pada pemeriksaan fisik didapatkan badan penderita kurus yang dapat disebabkan oleh malabsorbsi. Pada pemeriksaan penunjang dengan kolonoskopi didapatkan hasil: Rectosigmoid: mukosa sembab cenderung pucat, Colon Desc.: mukosa sembab dan pucat dengan gambaran seperti tekstur tanah yang pecah-pecah, Colon Transversum: mukosa sembab dan kasar dengan membentuk tonjolan-tonjolan yang tidak bertangkai, Colon Ascendens:Mukosa sembab dengan tekstur kasar dan bercak kemerahan, Caecum: Mukosa sembab dan kemerahan. Kemudian secara histologis didapatkan jaringan lesi yang telah mengalami erosi. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksan kultur jaringan dari biopsi jaringan karena menurut literatur yang ada mengatakan bahwa sebagian besar akan menunjukkan hasil yang negatif, ditambah lagi pasien ini memiliki nilai yang tepat berada di titik cutoff untuk skor diferensiasi CD & ITB sebesar 5,1. Laporan kasus ini membuktikan bahwa diagnosis colitis TB membutuhkan indeks kecurigaan yang tinggi, dimana ada keraguan tentang diagnosis CD. Pada saat kita kesulitan untuk mendiagnosa, khususnya CD yang mirip dengan ITB maka tidak tertutup kemungkinan para dokter mengalami under-diagnosed atau justru dapat terjadi over-diagnosed tentang kedua penyakit tersebut. Maka obat anti TB dapat diberikan sebagai trial pengobatan terlebih dahulu selama 8 minggu karena obat anti TB tidak memperburuk CD. Kita harus hati-hati untuk pemberian obat steroid bila curiga CD karena justru dapat memperparah penyebaran TB bila penderita tersebut memiliki infeksi TB (Almadi, 2008). Pada pasien ini memiliki riwayat diare disertai pendarahan dan gambaran histologis yang sulit untuk dibedakan antara ITB dengan CD, namun pada literatur dianjurkan dilakukan trial terapi berupa pemberian obat anti TB selama 8 minggu. Ini karena pemberian kortikosteroid pada pasien dengan ITB dapat memunculkan hasil-hasil yang berbahaya seperti menyebabkan penyebaran TB yang semakin meluas. Pada kenyataannya, terapi obat anti TB yang telah diberikan selama lebih kurang 6 minggu sudah memberikan respon positif berupa kondisi klinis yang membaik, diare berkurang dan hasil laborat membaik. RINGKASAN Dilaporkan seorang penderita Tn. M, 39 tahun, diketahui keluhan awal penderita adalah diare. Diagnosis pasti ditegakkan berdasar anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang memenuhi kriteria sebagai TB Paru. Lalu diagnosa spondilitis TB ditegakkan berdasarkan data yang diambil dari pasien yang menderita TB paru lalu pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan dipunggung sejak lebih 3 tahun yang lalu di Vertebra Thoracal IX-XII 12

dirasakan nyeri cekot-cekot yang disertai gangguan neurologis. Kemudian, dikarenakan gambaran klinis, skoring dan histologis pasien ini mirip dengan CD, maka diagnosa Colitis TB ditegakkan setelah penderita memberikan respon positif dengan pemberian obat anti TB di minggu ke-6. Selama perawatan pasien diberikan terapi suportif dan medikamentosa. Dan pada saat minggu ke-6 mengkonsumsi obat anti TB, keluhan diare berkurang, dan kondisi klinisnya membaik. Penderita dipulangkan dengan direncanakan kontrol poli Peny. Dalam, Poli Paru, Poli Bedah Orthopaedi dan Poli Rehabilitasi Medik. DAFTAR PUSTAKA Aditama TY dkk. (2006) Tuberkulosis. Dalam Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Bab I, hlm 1-4 Alamadi MA, et al (2008). Differentiating Intestinal Tuberculosis From crohns Disease: A Diagnostic Challenge. American Journal Gastroenterology; Vol.104: 1003-1012 Amin Z & Bahar (2009).Tuberkulosis Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat jilid III edisi V. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Bab 357, hlm 2230-2239 Cabral et al (2005). Tuberculous spondylitis in teenager. J.Bras. Pneumol.Vol.31: 1-6 Djojoningrat D (2009). Inflammatory bowel Disease: Alur Diagnosis & Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat jilid III edisi V. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Bab 93 hlm 591-598 Herchline (2006). Tuberkulosis. Available at www.medscape.com (accesed on April 29,2011) Javahery RJ ,et al (2006). Spinal Intradural Infections. In text book:b The Spine. Vol.2 Fifth Edition. Editor : Herkowitz HN, Garfin SR, Eismony FJ, Bell GR, Balderstone RA.Saunders Elsevier Publishing, Chapter 81 pp 1368-1379

Jin XJ (2010). Histopathology and TB-PCR kit analysis in differentiating the diagnosis of intestinal tuberculosis and Crohns disease. World J Gartroenterology Vol. 16: 2469-2503 Lau CF (1998). A Case of colonic Tuberculosis Mimicking Crohns Disease. Hong Kong Medical Journal Vol. 4: 63-66 Leonard MK & Blumberg HM (2005) Musculoskeletal Tuberculosis. In text book of Tuberculosis and non Tuberculosis Mycobacterium infection. Fifth edition. Editor: Schossberg D. Mc.Graw-Hill Publishing. pp 242-259 13

Makaharia GK et al. (2010) Clinical, Endoscopic, and Histological Differentiations Between Crohns Disease and Intestinal Tuberculosis. American Journal Gastroenterology; Vol.105: 642-651 Rasjad C (2003) Spondilitis Tuberculosa. Dalam : Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Bab 7 edisi II. Editor: Bintang Lamumpatue, Makassar. hlm 139-162 Sharma MP & Ahuja V (2009) Abdominal (gastrointestinal tract) tuberculosis in adults. In : Textbook of Tuberculosis. Saunders Elsevier Publishing. 1st edition. Editor: Schaaf and Zumla. pp 424-430 Yinski T & Widiyanto T (2010) Epidemiologi dan Patofisiologi Tuberculosis. Available at: www.exomedindonesia.com (accesed on july 6, 2011)

14