coba

13
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi dibidang informasi spasial dan fotogrametri menuntut sumber data yang berbentuk digital, baik berformat vector maupun raster. Hal ini dapat dilihat dari melimpahnya citra satelit dan makin meluasnya foto udara dalam bentuk digital. Teknologi digital memacu perkembangan peralatan maupun sistem di hampir semua bidang termasuk fotogrametri. Peralatan restitusi fotogrametri berkembang dengan cepat dari sistem analog berganti menjadi sistem digital. Sistem digital menawarkan banyak aplikasi pengolahan citra, antara lain peningkatan kualitas data, penghitungan statistik, pengenalan objek atau pola (pattern), dan pencocokan citra (image matching) secara otomatis. Dengan kegiatan tersebut akan mempermudah untuk memproses citra sesuai dengan yang diinginkan. 1.2 Rumusan masalah Rumusan masalah yang menjadi dasar dalam tugas ini adalah bagaimana menerapkan pengolahan citra digital pada citra hasil dari pemotretan fotogrametri jarak dekat. Manfaat Manfaat dari tugas ini adalah pembaca dapat memahami proses dan metodologi dalam suatu pengolahan citra digital fotogrametri jarak dekat dan diharapkan mampu mengaplikasikannya bilamana mendapatkan suatu pekerjaan mengenai pengolahan citra BAB II PEMBAHASAN 2.1 Citra Citra merupakan istilah lain untuk gambar sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Citra mempunyai karakteristik yang tidak dimiliki oleh data teks, yaitu citra kaya dengan informasi. Ada sebuah peribahasa yang berbunyi “sebuah gambar bermakna lebih dari seribu kata” (a picture is more than a thousand words) . Maksudnya tentu sebuah gambar dapat memberikan informasi yang lebih banyak daripada informasi tersebut disajikan dalam bentuk kata-kata (tekstual). Secara umum, citra adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan, atau imitasi dari objek. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal – sinyal video seperti gambar pada monitor televisi atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu media penyimpanan.

Upload: hady-umar

Post on 06-Dec-2015

222 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

testing

TRANSCRIPT

Page 1: coba

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi dibidang informasi spasial dan fotogrametri menuntut sumber data yang berbentuk digital, baik berformat vector maupun raster. Hal ini dapat dilihat dari melimpahnya citra satelit dan makin meluasnya foto udara dalam bentuk digital. Teknologi digital memacu perkembangan peralatan maupun sistem di hampir semua bidang termasuk fotogrametri. Peralatan restitusi fotogrametri berkembang dengan cepat dari sistem analog berganti menjadi sistem digital. Sistem digital menawarkan banyak aplikasi pengolahan citra, antara lain peningkatan kualitas data, penghitungan statistik, pengenalan objek atau pola (pattern), dan pencocokan citra (image matching) secara otomatis. Dengan kegiatan tersebut akan mempermudah untuk memproses citra sesuai dengan yang diinginkan.

1.2 Rumusan masalahRumusan masalah yang menjadi dasar dalam tugas ini adalah bagaimana menerapkan pengolahan

citra digital pada citra hasil dari pemotretan fotogrametri jarak dekat.

1.3 ManfaatManfaat dari tugas ini adalah pembaca dapat memahami proses dan metodologi dalam suatu pengolahan

citra digital fotogrametri jarak dekat dan diharapkan mampu mengaplikasikannya bilamana mendapatkan suatu pekerjaan mengenai pengolahan citra

BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Citra

Citra merupakan istilah lain untuk gambar sebagai salah satu komponen multimedia memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Citra mempunyai karakteristik yang tidak dimiliki oleh data teks, yaitu citra kaya dengan informasi. Ada sebuah peribahasa yang berbunyi “sebuah gambar bermakna lebih dari seribu kata” (a picture is more than a thousand words). Maksudnya tentu sebuah gambar dapat memberikan informasi yang lebih banyak daripada informasi tersebut disajikan dalam bentuk kata-kata (tekstual). Secara umum, citra adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan, atau imitasi dari objek. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal – sinyal video seperti gambar pada monitor televisi atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu media penyimpanan.

2.2 Citra Analog

Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada monitor televisi, foto sinar X, foto yang tercetak dikertas foto, lukisan, pemandangan alam. Citra analog tidak dapat direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa diproses di komputer secara langsung. Oleh sebab itu, agar citra ini dapat diproses di komputer, proses konversi analog ke digital harus dilakukan terlebih dahulu. Citra analog dihasilkan dari alat – alat analog, seperti video kamera analog, kamera foto analog, webcam, sensor rontgen untuk foto thorax dan sensor gelombang pendek pada sistem radar.

2.3 Citra Digital

Citra digital adalah citra yang bersifat diskrit yang dapat diolah oleh komputer. Citra ini dapat dihasilkan melalui kamera digital dan scanner ataupun citra yang telah mengalami proses digitalisasi. Sebuah citra berukuran 150 x 100 pixel dapat dinyatakan dengan matriks yang berukuran sesuai dengan pikselnya atau biasa dinyatakan dalam ukuran N x M dimana N untuk baris dan M untuk kolom. Misalnya diambil suatu kotak kecil dari bagian citra direpresentasikan dengan matriks berukuran 9 x 9, seperti terlihat pada Gambar 2.1.

Page 2: coba

Gambar 2.1 Representasi Citra Digital

2.4 Pengolahan Citra Digital

Pengolahan citra merupakan proses untuk menghasilkan citra sesuai dengan keinginan atau kualitasnya menjadi lebih baik. Inputannya adalah citra dan keluarannya juga citra tapi dengan kualitas lebih baik daripada citra masukan. Misal citra warnanya kurang tajam, kabur (blurring) dan mengandung noise (misal bintik-bintik putih) sehingga perlu ada pemrosesan untuk memperbaiki citra karena citra tersebut menjadi sulit diinterpretasikan karena informasi yang disampaikan menjadi berkurang. Adapun contoh dari implementasi pengolahan citra digital seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Citra Lena yang agak kabur (a), Citra Lena yang diperbaiki (b)

Sumber : Gonzales, Rafael C, Richard E. Woods (2003 : 36)

Umumnya, operasi-operasi pengolahan citra diterapkan pada citra bila :

1. Perbaikan atau modifikasi citra untuk meningkatkan kualitas visual atau menonjolkan beberapa aspek informasi yang terkandung dalam citra.

Page 3: coba

2. Elemen di dalam citra perlu di kelompokkan, dicocokkan atau diukur.

3. Sebagian citra perlu digabung dengan bagian citra yang lain.

Di dalam bidang komputer, ada tiga bidang studi yang berkaitan dengan citra, namun tujuan ketiganya berbeda, yaitu :

1. Grafika Komputer

Grafika komputer adalah proses untuk menciptakan suatu citra berdasarkan deskripsi maupun latar belakang yang terkandung dalam citra tersebut, seperti terlihat pada Gambar 2.3, di mana grafika komputer sangat berperan dalam visualisasi dan virtual reality.

Gambar 2.3 Grafika Komputer

2. Pengolahan Citra

Pengolahan Citra merupakan proses perbaikan atau modifikasi citra dilakukan untuk meningkatkan kualitas penampakan citra tersebut, seperti terlihat pada Gambar 2.4. Contoh aplikasi dari pengolahan citra antara lain perbaikan kontras gelap, perbaikan tepian objek, penajaman dan pemberian warna semu. Steganography dan watermarking juga termasuk dalam bagian studi citra ini.

Gambar 2.4 Pengolahan Citra

Sumber : Baxes, Gregory (1994 : 63)

3. Pengenalan Pola

Pengenalan Pola adalah proses mengelompokkan data numerik dan simbolik (termasuk citra) secara otomatis oleh komputer, seperti terlihat pada Gambar 2.5. Tujuan dari pengelompokkan adalah untuk mengenali suatu objek di dalam citra. Komputer akan menerima masukan berupa citra objek yang akan diidentifikasi kemudian memproses citra tersebut dan memberikan keluaran berupa informasi atau deskripsi objek di dalam citra.

Gambar 2.5 Pengenalan Pola

Sumber : Baxes, Gregory (1994 : 67)

Operasi-operasi yang dilakukan di dalam pengolahan citra banyak ragamnya. Namun, secara umum, operasi pengolahan citra dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis sebagai berikut:

a. Perbaikan kualitas citra (image enhancement).

Jenis operasi ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas citra dengan cara memanipulasi parameter-parameter citra. Dengan operasi ini, ciri-ciri khusus yang terdapat di dalam citra lebih ditonjolkan. Contoh-contoh operasi perbaikan citra :

1. Perbaikan kontras gelap / terang

Page 4: coba

2. Perbaikan tepian objek (edge enhancement)

3. Penajaman (sharpening)

4. Pemberian warna semu (pseudocoloring)

5. Penapisan derau (noise filtering)

Gambar 2.6 di bawah ini adalah contoh operasi penajaman. Operasi ini menerima masukan sebuah citra yang gambarnya hendak dibuat tampak lebih tajam. Bagian citra yang ditajamkan adalah tepi-tepi objek.

Gambar 2.6 (a) Citra Lena asli, (b) Citra Lena setelah ditajamkan

Sumber : Gonzales, Rafael C, Richard E. Woods (2003 : 53)

b. Pemugaran citra (image restoration).

Operasi ini bertujuan menghilangkan/meminimumkan cacat pada citra. Tujuan pemugaran citra hampir sama dengan operasi perbaikan citra. Bedanya, pada pemugaran citra penyebab degradasi gambar diketahui. Contoh-contoh operasi pemugaran citra:

1. Penghilangan kesamaran (deblurring).

2. Penghilangan derau (noise)

Gambar 2.7 di bawah ini adalah contoh operasi penghilangan kesamaran. Citra masukan adalah citra yang tampak kabur (blur). Kekaburan gambar mungkin disebabkan pengaturan fokus lensa yang tidak tepat atau kamera bergoyang pada pengambilan gambar. Melalui operasi deblurring, kualitas citra masukan dapat diperbaiki sehingga tampak lebih baik.

Gambar 2.7 Citra Lena yang kabur (blur) (a), citra Lena setelah deblurring (b)

Page 5: coba

Sumber : Gonzales, Rafael C, Richard E. Woods (2003 : 74)

c. Pemampatan citra (image compression).

Jenis operasi ini dilakukan agar citra dapat direpresentasikan dalam bentuk yang lebih kompak sehingga memerlukan memori yang lebih sedikit. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemampatan adalah citra yang telah dimampatkan harus tetap mempunyai kualitas gambar yang bagus. Contoh metode pemampatan citra adalah metode JPG, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8. Gambar sebelah kiri adalah citra kapal yang berukuran 258 KB. Hasil pemampatan citra dengan metode JPG dapat mereduksi ukuran citra semula sehingga menjadi 49 KB saja.

Gambar 2.8 (a) Citra boat.bmp (258 KB) sebelum dimampatkan, (b) citra boat.JPG (49 KB) sesudah dimampatkan

Sumber : Gonzales, Rafael C, Richard E. Woods (2003 : 84)

d. Segmentasi citra (image segmentation).

Jenis operasi ini bertujuan untuk memecah suatu citra ke dalam beberapa segmen dengan suatu kriteria tertentu. Jenis operasi ini berkaitan erat dengan pengenalan pola.

e. Pengorakan citra (image analysis)

Jenis operasi ini bertujuan menghitung besaran kuantitif dari citra untuk menghasilkan deskripsinya. Teknik pengorakan citra mengekstraksi ciri-ciri tertentu yang membantu dalam identifikasi objek. Proses segmentasi kadangkala diperlukan untuk melokalisasi objek yang diinginkan dari sekelilingnya. Contoh-contoh operasi pengorakan citra:

1. Pendeteksian tepi objek (edge detection)

2. Ekstraksi batas (boundary)

3. Representasi daerah (region)

Gambar 2.9 di bawah ini adalah contoh operasi pendeteksian tepi pada citra camera. Operasi ini menghasilkan semua tepi (edge) di dalam citra.

Gambar 2.9 (a) Citra camera, (b) Citra hasil pendeteksian seluruh tepi

Page 6: coba

Sumber : Gonzales, Rafael C, Richard E. Woods (2003 : 91)

f. Rekonstruksi citra (image reconstruction)

Jenis operasi ini bertujuan untuk membentuk ulang objek dari beberapa citra hasil proyeksi. Operasi rekonstruksi citra banyak digunakan dalam bidang medis.Misalnya beberapa foto rontgen dengan sinar X digunakan untuk membentuk ulang gambar organ tubuh.

2.5 Image Processing

Pengertian sederhana dari image processing adalah manipulasi dan analisis suatu informasi gambar oleh komputer. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi gambar di sini adalah gambar visual dalam dua dimensi. Segala operasi untuk memperbaiki, menganalisis, atau mengubah suatu gambar disebut image processing(Awcock, G.J. and Thomas, R., 1996: 5).

Konsep dasar dari sistem dari image processing diambil dari kemampuan indera penglihatan manusia yang selanjutnya dihubungkan dengan kemampuan otak manusia. Dalam sejarahnya, image processing telah diaplikasikan dalam berbagai bentuk, dengan tingkat kesuksesan yang cukup besar. Seperti berbagai cabang ilmu lainnya, image processing menyangkut pula berbagai gabungan cabang-cabang ilmu, seperti optik, elektronik, matematika, fotografi, dan teknologi komputer.

Pada umumnya tujuan dari image processing adalah melakukan transformasi atau menganalisis suatu gambar sehingga informasi baru tentang gambar dibuat lebih jelas. Ada banyak cara yang dapat diaplikasikan dalam suatu operasi imageprocessing, yang sebagian besar dalam bentuk optical.

Berbagai bidang telah banyak menggunakan aplikasi dari image processing baik dibidang komersial, industri, dan medis. Bahkan bidang militer telah menggunakan perkembangan dunia digital image processing ini. Pada umumnya tujuan dari image processing adalah melakukan transformasi atau menganalisis suatu gambar sehingga informasi baru tentang gambar dibuat lebih jelas. Ada banyak cara yang dapat diaplikasikan dalam suatu operasi image processing.

Hampir sebagian besar dalam bentuk optical. Gambar optical dikonversikan menjadi sinyal elektrik dengan menggunakan kamera video atau peralatan lain sejenisnya. Konversi ini merubah representasi gambar dari suatu cahaya optik menjadi sinyal elektrik kontinyu. Sinyal elektrik ini disebut sinyal analog. Lebih lanjut, gambar analog dapat didigitalkan dan berubah menjadi data digital. Operasi pada sistem image processing dapat diaplikasikan pada suatu gambar dengan bentuk optical, analog, atau digital.

2.6 Pencocokan Citra Digital

Teknologi fotogrametri terus mengalami perkembangan dari sistem fotogrametri analog hingga sistem fotogrametri digital yang lebih praktis, murah dan otomatis. Proses otomatisasi pada fotogrametri digital ditujukan untuk mengurangi proses pengambilan informasi dalam rangkaian kerja fotogrametri. Identifikasi titik sekawan pada fotogrametri digital dapat dilakukan dengan otomatis menggunakan metode pencocokan citra (image matching). Problem dalam otomatisasi sistem fotogrametri digital adalah sulit untuk mengidentifikasi titik sekawan secara otomatis pada citra homogen yang bertampalan. Pekerjaan mencocokan titik sekawan dalam fotogrametri analog membutuhkan seorang operator yang memiliki keahlian khusus untuk mengenali karakteristik kesamaan citra kiri dan kanan pada pasangan foto stereo. Otomatisasi pencocokan citra fotogrametri digital diharapkan menjadi solusi terhadap masalah campur tangan dan kelelahan operator sehingga faktor ketelitian dan kecepatan dapat ditingkatkan.

Pencocokan citra adalah dasar proses otomatisasi pada rangkaian proses fotogrametri. Pencocokan citra dapat diaplikasikan untuk orientasi dalam dengan menentukan tanda tepi secara otomatis antara foto yang memiliki tanda tepi (fiducial marks) dan bagian citra lain yang bertampalan sehingga menghasilkan posisi yang ideal dari tanda tepi tersebut. Pencocokan citra juga dapat digunakan dalam proses orientasi relatif untuk menentukan titik sekawan sebanyak minimal 5 titik pada citra yang bertampalan dengan mencocokan matriks pada citra kiri dengan titik sekawan pada citra kanan. Titik sekawan tersebut didefinisikan pada dua foto udara yang bertampalan sebagai titik indikator untuk mengetahui kelayakan model 3D hasil orientasi relatif.

Page 7: coba

Pencocokan citra dalam orientasi absolut berperan dalam pengukuran titik kontrol utama dengan menghasilkan bagian citra lainnya (citra kanan) dari titik utama dibandingkan dengan bagian kecil dari foto udara. Pencocokan citra juga digunakan untuk menghasilkan Digital Elevation Model (DEM). Dengan mengotomatisasi serangkaian titik objek pada citra dipilih dalam satu bentuk DEM grid teratur untuk dipasangkan dengan serangkaian titik pada citra sebelahnya.

Metode pencocokan citra yang banyak dipakai untuk keperluan proses fotogrametri adalah berbasis area (area-based) dan berbasis unsur (feature-based). Metode berbasis real time menggunakan komposisi nilai derajat keabuan (gray level) citra sebagai sampel yang akan diuji dalam penelitian. Metode area based matchingdigunakan dalam penelitian ini karena merupakan metode yang paling mudah dilakukan dan memberikan hasil pencocokan yang relatif cepat (Ilham, 2007). Metode ini juga memiliki akurasi yang cukup tinggi untuk area yang memiliki tekstur baik dan unik, dan pada beberapa kasus tingkat akurasi dari kecocokan dapat dinyatakan kuantitasnya dalam unit matrik. Area based matching pada dasarnya membandingkan nilai derajat keabu-abuan (gray level) suatu bentuk kecil matriks citra dimana pusat matriksnya merupakan lokasi gray value dari titik yang akan dicocokan.

Proses pengidentifikasian titik sekawan dilakukan dengan cara memilih titik di citra kiri pada objek yang mudah dikenal. Titik yang dipilih tersebut dibandingkan dengan titik citra di kanan pada objek yang sama di citra kiri. Pusat sub-citra tersebut merupakan lokasi nilai keabu-abuan dari titik yang akan dicocokkan. Sampel titik diambil dari citra pada sistem koordinat lokal dalam bentuk posisi kolom-baris. Pada pencocokan citra berbasis area, setiap titik yang akan dicocokan adalah pusat dari sebuah jendela pixel yang kecil pada citra acuan, dan jendela ini dibandingkan dengan jendela yang lain pada citra pencarian dengan ukuran tertentu. Ukuran kecocokan dilihat dengan kecilnya perbedaan nilai yang dihasilkan. Keunikan objek merupakan penentu keberhasilan pencocokan citra. Salah satu penentu keunikan objek adalah ukuran Sub Citra Acuan (SCA). Semakin besar ukuran sub citra acuan, detail yang merupakan bagian dari objek semakin banyak. Ketika ukuran citra acuan diperbesar dapat dilihat adanya keunikan lain dari area yang dikategorikan mewakili jenis objek. Keunikan tersebut dapat berupa objek yang berbeda dan memiliki nilai kecerahan.yang berbeda pula. Berdasarkan hal tersebut, rentang nilai kecerahan citra acuan akan melebar sehingga nampak semakin heterogen (Putra, 2008).

Proses pencocokan citra diasumsikan berhasil jika diperoleh nilai korelasi ≥ 0.7 (Wolf, 2000). Dengan memperbesar ukuran sub citra acuan, akan diperoleh karakteristik objek yang makin unik sehingga nilai korelasi akan meningkat dan mendukung tercapainya keberhasilan pencocokan citra. Dengan adanya keunikan tersebut, pencarian area paling berkorelasi dapat lebih mudah dan terhindar dari kesalahan posisi pusat area yang paling berkorelasi. Keunikan yang dimaksud dapat objek tersebut memiliki sebagian area heterogen. Secara umum, makin besar ukuran citra acuan, makin banyak keunikan objek yang terlihat sehingga makin besar pula rentang nilai kecerahan citra acuannya.

Teknik mengevaluasi pencocokan citra berbasis area adalah dengan menggunakan teknik korelasi maksimal. Nilai korelasi yang dihasilkan bertujuan untuk mengukur derajat kesamaan antara dua atau lebih citra foto yang bertampalan. Citra pertama adalah Sub Citra Acuan (SCA) pada citra kiri sedangkan sub citra kedua merupakan Sub Citra Pencarian (SCP) yang dibatasi oleh Citra Pencarian (CP) di dalam citra foto kedua. Proses pencocokan citra berlangsung semi otomatis, posisi titik awal diambil secara manual untuk citra kiri dan citra kanan. Titik tengah SCA dan CP menjadi pusat dari area citra yang akan dicari. Nilai pergeseran maksimum SCA pada CP digunakan persamaan (1), nilai berguna dalam algoritma pencocokan citra tahap selanjutnya.

dengan D = nilai pergeseran maksimum, CP = Citra Pencarian, SCA = Sub Citra Acuan m = baris dann = kolom.

Page 8: coba

Gambar 2.10 Sub Citra Acuan dan Sub Citra Pencarian

Sumber : Baxes. Gregory ( 1994 : 71)

Sub Citra Pencarian akan bergerak dalam citra pencarian, kemudian dihitung nilai korelasi SCA dan semua SCP pada CAP dan nilai korelasi antar kedua citra mempunyai rentang nilai 0 sampai +1 (0 ≤ ρ ≤ 1). Secara umum nilai pembatas dari nilai koefisien korelasi adalah lebih besar sama dengan 0.7 atau 70% yang dinyatakan cocok atau derajat kesamaannya tinggi.

Sampel citra berupa komposisi nilai keabuan array citra yang akan diuji derajat kecocokannya dihitung melalui suatu persamaan matematis untuk kemudian disimpan sebagai nilai korelasi. Metode korelasi dari pencocokan citra berkerja dengan memilih CA dari citra kiri berdasarkan karakteristik tertentu dan jarak objek / area dari titik utama citra untuk dicocokan, dan pencarian posisi yang sekawan akan dilakukan oleh jendela yang bergerak (SCP) pada CP dari citra kanan.

Gambar 2.11 Hubungan Citra Foto, SCA dan CP

Sumber : Baxes. Gregory ( 1994 : 73)

2.7 Edge Detection

Edge Detection (deteksi garis tepi) adalah pendekatan yang paling umum digunakan untuk mendeteksi diskontinuitas gray level. Hal ini disebabkan karena titik ataupun garis yang terisolasi tidak terlalu sering dijumpai dalam aplikasi praktis.

Page 9: coba

Suatu edge adalah batas antara dua region yang memiliki gray level yang relatif berbeda. Pada dasarnya ide yang ada di balik sebagian besar teknik edgedetection adalah menggunakan perhitungan local derivative operator.

Gradien dari suatu citra f(x,y) pada lokasi (x,y) adalah vektor, yang dirumuskan sebagai berikut :

dimana ∇f = vektor, Gx = gradien x dan Gy = gradien y.

Dalam edge detectionnilai yang penting di sini adalah magnitude dari vektor, yang biasanya hanya disebut dengan gradien dan dituliskan dengan ∇f, yang dirumuskan sebagai berikut :

dimana ∇f = vektor, mag = magnitude, Gx = gradien x dan Gy = gradien y.

Pada umumnya digunakan pendekatan nilai gradien tersebut dengan nilai absolut :

dimana ∇f = vektor, Gx = gradien x dan Gy = gradien y.

Rumus tersebut lebih mudah diimplementasikan, khususnya jika menggunakan hardware untuk pemrosesan. Arah dari vektor gradien juga merupakan kuantitas yang penting. Jika α(x,y) menunjukkan arah sudut vektor ∇f pada (x,y), maka dari analisa vektor :

dimana α(x,y) = arah sudut, Gx = gradien x dan Gy = gradien y.

Arah sudut diukur terhadap sumbu x. Derivatif juga bisa diimplementasikan secara digital dengan menggunakan operator Sobel, yaitu dengan menggunakan mask seperti terlihat pada Gambar 2.12 dan Gambar 2.13.

Gambar 2.12 Mask Untuk Menghitung Nilai Gx

Page 10: coba

Gambar 2.13 Mask Untuk Menghitung Nilai Gy

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas maka dapat simpulkan bahwa dalam suatu proses pengolahan citra terdapat beberapa langkah yang harus dilakuan seperti :

1. Perbaikan atau modifikasi citra untuk meningkatkan kualitas visual atau menonjolkan beberapa aspek informasi yang terkandung dalam citra.

2. Elemen di dalam citra perlu di kelompokkan, dicocokkan atau diukur.

3. Sebagian citra perlu digabung dengan bagian citra yang lain.

Dimana dengan proses tersebut dapat menghasilkan suatu citra yang harapkan sesuai dengan standart dalam suatu pekerjaan di bidang fotogrametri jarak dekat.

3.2 Saran