chapter 175 gambaran umum penyakit bakterial

16
Chapter 175 Gambaran Umum Penyakit Bakterial Selayang Pandang Infeksi Bakterial Kulit Bakteri menyebabkan penyakit dengan invasi langsung ke jaringan, dan dengan adanya respon imunologik menimbulkan gambaran klinis penyakit. Sistem imun bawaan sangat penting dalam pertahanan awal melawan bakteri memasuki kulit. Virulensi dan patogenisitas bakteri tergantung dari kemampuan bakteri untuk melawan sistem imun bawaan atau resisten terhadap sel imun host. Imunosupresi khususnya neutropenia menyebabkan host sangat rentan terhadap infeksi kuman, beberapa infeksi sangat jarang terjadi kecuali pada host yang imunokompromise. Mempertimbangkan faktor host dan faktor virulensi bakteri sangat penting untuk memilih terapi yang aman dan efektif untuk melawan infeksi. Ada banyak kondisi noninfeksi yang menyerupai gambaran klinis infeksi bakteri. Pertimbangkan diagnosa banding noninfeksi secara bijak. Menggunakan basis data komputer yang terbaru tentang resistensi bakteri dan guideline terapi sangat penting dalam memilih terapi antibiotik empiris. Mikroba yang hidup di tubuh manusia secara kolektif disebut sebagai mikrobiom manusia. Beberapa mikroba yang tergolong mikrobiom manusia dapat menyebabkan penyakit sementara sisanya tidak atau hidup komensal. Mikrobiom kulit adalah suatu kompleks dan keragaman mikroba yang meliputi mikroba patogen dan komensal. Proyek Microbiome manusia bekerja menggunakan sequencing metagenomik yang menggambarkan mikrobiom kulit secara rinci yang sebelumnya tak terbayangkan. Efek dari berbagai faktor seperti sekresi sebum, lokasi tubuh, kandungan lipid, pH, sekresi keringat secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan bakteri di kulit. Efek dari penyakit kulit seperti psoriasis juga mempengaruhi komposisi mikrobiom

Upload: bertouw

Post on 30-Jan-2016

224 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Bab 175

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter 175 Gambaran Umum Penyakit Bakterial

Chapter 175

Gambaran Umum Penyakit Bakterial

Selayang Pandang Infeksi Bakterial Kulit Bakteri menyebabkan penyakit dengan invasi langsung ke jaringan, dan dengan

adanya respon imunologik menimbulkan gambaran klinis penyakit. Sistem imun bawaan sangat penting dalam pertahanan awal melawan bakteri

memasuki kulit. Virulensi dan patogenisitas bakteri tergantung dari kemampuan bakteri untuk

melawan sistem imun bawaan atau resisten terhadap sel imun host. Imunosupresi khususnya neutropenia menyebabkan host sangat rentan terhadap

infeksi kuman, beberapa infeksi sangat jarang terjadi kecuali pada host yang imunokompromise.

Mempertimbangkan faktor host dan faktor virulensi bakteri sangat penting untuk memilih terapi yang aman dan efektif untuk melawan infeksi.

Ada banyak kondisi noninfeksi yang menyerupai gambaran klinis infeksi bakteri. Pertimbangkan diagnosa banding noninfeksi secara bijak.

Menggunakan basis data komputer yang terbaru tentang resistensi bakteri dan guideline terapi sangat penting dalam memilih terapi antibiotik empiris.

Mikroba yang hidup di tubuh manusia secara kolektif disebut sebagai mikrobiom manusia. Beberapa mikroba yang tergolong mikrobiom manusia dapat menyebabkan penyakit sementara sisanya tidak atau hidup komensal. Mikrobiom kulit adalah suatu kompleks dan keragaman mikroba yang meliputi mikroba patogen dan komensal. Proyek Microbiome manusia bekerja menggunakan sequencing metagenomik yang menggambarkan mikrobiom kulit secara rinci yang sebelumnya tak terbayangkan. Efek dari berbagai faktor seperti sekresi sebum, lokasi tubuh, kandungan lipid, pH, sekresi keringat secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan bakteri di kulit. Efek dari penyakit kulit seperti psoriasis juga mempengaruhi komposisi mikrobiom kulit. Jelas bahwa banyak mikroba yang hidup di kulit manusia lebih dari yang dibayangkan sebelumnya. Mengetahui faktor yang berperan pada kesehatan kulit dan penyakit kulit akan membantu pengobatan dan mencegah infeksi kulit dan mungkin penyakit kulit noninfeksi.

Relasi bakteri dan kulit dibagi kedalam 4 kategori: 1. Infeksi kulit primer, 2. Infeksi kulit sekunder akibat penyakit kulit primer (contoh: dermatitis atopi terinfeksi), 3. Lesi kulit akibat manifestasi infeksi primer di organ lain misalnya darah, 4. Reaksi kulit akibat infeksi dari mana saja (contoh: eritema nodosum karena faringitis streptococcal). Karena itu, keseimbangan imun host dan pertumbuhan bakteri menentukan keparahan penyakit kulit infeksi. Mengontrol keparahan penyakit kulit, seperti dermatitis atopi secara signifikan menurunkan infeksi kulit akibat kerusakan barier kulit. Sebaliknya, mengontrol infeksi kulit dengan pemutih yang diencerkan dan salep mupirocin juga menurunkan keparahan dermatitis atopi.

Perlu diingat bahwa tidak semua pasien infeksi kulit datang dengan keluhan supuratif tetapi dapat pula dalam bentuk reaktif misalnya eritema nodosum. Sama pentingnya, tidak

Page 2: Chapter 175 Gambaran Umum Penyakit Bakterial

semua masalah kulit supuratif merupakan infeksi kulit primer misalnya hidradenitis supuratif. Perlu dicatat tidak semua lesi kulit kemerahan merupakan infeksi misalnya stasis dermatitis. Pentingnya kulit sebagai cerminan infeksi sistemik juga tidak dapat diabaikan terutama saat gejala klinik klasik dikaburkan oleh kondisi imunokompromise. Cepatnya menyadari tanda bakteremia mencegah penyebaran infeksi yang mengancam nyawa seperti pseudomonas aeruginosa, vibrio vulnificus, salmonella typhi, staphylococcus aureus, dan neisseria meningitidis.

Patogenesis Infeksi Kulit oleh Bakteri

Infeksi bakteri meliputi 3 faktor utama: 1. Portal of entry dan barier kulit, 2. Pertahanan host dan respon inflamasi terhadap invasi mikroba, 3. Patogenisitas mikroba.

Portal Entry:

Kulit anak-anak dan dewasa yang intak relatif resisten terhadap infeksi dan kebanyakan infeksi kulit terjadi bilamana terjadi kerusakan barier kulit. Maserasi, bercukur, luka kronik, ekskoriasi akibat garukan dan rusaknya barier epidermis akibat infeksi patogen lain merupakan beberapa cara yang membuat bakteri mampu menembus barier kulit. Contohnya, trauma kulit, maserasi di antara jari-jari atau tinea pedis dapat menjadi faktor predisposisi selulitis tungkai bawah bahkan pada orang sehat yang tidak memiliki kelainan vena dan ulkus pada kaki.

Karakteristik respon inflamasi kulit terhadap bakteri dipengaruhi oleh bagaimana bakteri itu mencapai daerah lesi. Inflamasi lokal dan supurasi biasanya akibat infeksi langsung bakteri ke kulit. Pada kasus sepsis, dinding pembuluh darah merupakan lokasi primer infeksi pada kulit; pendarahan dan trombosis pada infark merupakan manifestasi awal penyebab ulkus. Bakteri lain dapat menimbulkan respon yang jauh dari portal of entry tanpa ada reaksi lokal, contohnya yersinia pestis, streptobacillus moniliformis (rat-bite fever), bahkan pada individu sehat. Pada sepsis streptococcus pyogenes berat menimbulkan lesi seukuran peniti atau abrasi yang tidak menginduksi respon lokal signifikan.

Resistensi Alami Kulit:

Kulit normal yang intak pada individu sehat sangat resisten terhadap invasi kebanyakan bakteri. Sangat susah untuk mengalami impetigo, furunkulosis atau selulitis jika kulit intak. Organisme patogen seperti S. pyogenes (group A streptococcus, GAS) and S. aureus menimbulkan karakteristik lesi selulitis atau furunkulosis pada host dengan kerusakan barier kulit. Adanya sutura seukuran benang menurunkan sebasar faktor 10.000 pada kasus S. aureus dibutuhkan untuk menimbulkan abses pada kulit.

Bakteri tidak mampu menembus lapisan keratin kulit normal, ketika menyentuh permukaan jumlahnya menurun secara drastis. Maserasi dan oklusi yang meningkatkan pH, kadar karbondioksida, dan kandungan air epidermis menyebakan penurunan flora normal kulit. Beberapa bakteri seperti bakteri gram negatif, hanya dapat ditemukan di lokasi tertentu sehingga disimpulkan bahwa kulit normal membatasi pertumbuhan kuman ini. Kulit normal

Page 3: Chapter 175 Gambaran Umum Penyakit Bakterial

yang relatif kering secara spesifik membatasi pertumbuhan kuman khususnya basil gram negatif.

Lipid pada permukaan kulit juga memiliki sifat antibakteri. Menurunkan kandungan lipid permukaan kulit dengan pelarut topikal meningkatkan jumlah s. aureus di kulit. Asam lemak bebas, asam linoleik dan linolenik lebih menginhibisi s. aureus daripada staphylococcus koagulase negatif, komponen normal flora normal kulit. Sphingosine, glucosylceramides, and cis-6-hexadeconic acid memiliki aktifitas antimikroba terhadap s. aureus. Keterlibatan bakteri (efek supresi spesise bakteri yang satu terhadap kolonisasi bakteri lain) merupakan faktor mayor komposisi flora kulit.

Organisme yang mampu bertahan dan memperbanyak diri dalam jumlah tertentu di kulit membentuk flora normal kulit. Sebagai contoh, distribusi spesies yang berbeda dari staphylococcus koagulase negatif bervariasi tergantung lokasi, dan usia. Pada orang dewasa Staphylococcus epidermidis merupakan spesies stahylococcus utama di kepala, wajah, dada dan axilla. Pada penelitian mikrobiom kulit dewasa sehat sekitar 98% bakteri kulit terdiri dari (1) Actinobacteria (51.8%), (2) Firmicutes (24.4%), (3) Proteobacteria (16.5%), dan (4) Bacteroidetes (6.3%). Meskipun 205 genus hanya didentifikasi pada 20 individu, 3 berhubungan dengan lebih 62% sekuens: (1) Corynebacteria (22.8%; Actinobacteria), (2) Propionibacteria (23.0%; Actinobacteria), dan (3) Staphylococci (16.8%; Firmicutes).

Peptida Antimikroba:

Kulit manusia terdiri dari berbagai protein yang memiliki efek antimikroba. Antimikroba peptida (AMP) disekresikan ke permukaan kulit sama halnya dengan keringat dan saliva. Keratinosit yang aktif memproduksi AMP. AMP yang diproduksi keratinosit di keluarkan ke permukaan kulit di badan lamellar, dan penampakannya di permukaan kulit sangat berkaitan dengan produksi lipid stratum korneum. Protein kecil ini memiliki karakteristik fisik: adanya susunan ampifatik dengan satu sisi kation dan mampu mengikat membran bakteri, dan sisi lainnya bersifat hidrofobik yang mampu mengikat membran lipid kuman. Pengikatan ke membran menyebabkan kerusakan dan kematian bakteri. Prinsip kedua AMP adalah bahwa mereka diproses setelah dilepas oleh enzim di permukaan kulit, hasilnya adalah multipeptida dengan berbagai aktivitas dan target yang berbeda. Prinsip ketiga AMP bahwa mereka tidak hanya membunuh mikroba secara langsung, tetapi juga aktivator poten respon imun host. Ada banyak AMP dengan aktivitas di kulit manusia. Dua AMP utama di kulit cathelicidins (LL-37) dan the defensins. Jumlahnya menurun pada kulit yang inflamasi pada pasien dengan dermatitis atopi mungkin berhubungan dengan mudahnya pasien atopi terinfeksi dengan s. aureus, herpes simpleks virus, dan virus vaccinia. Sitokin T-helper 2 secara spesifik menekan produksi AMP, menjelaskan kenapa kulit psoriasis memiliki kadar AMP normal atau meningkat membuat infeksi bakteri dan virus lebih jarang.

Gambaran Spesifik Respon Inflamasi Host terhadap Infeksi Kulit:

Sistem imun adapatif, yang membutuhkan adanya target sel dan antibodi sangat efektif dalam memproteksi seseorang dari infeksi bilamana efektor sel dan antibodi sudah diproduksi. Tetapi, butuh beberapa hari, dan bakteri bereplikasi dan menginvasi dalam waktu

Page 4: Chapter 175 Gambaran Umum Penyakit Bakterial

jam. Adanya sistem imun bawaan menjelaskan kemampuan organisme untuk merespon infeksi bakteri sebelum sistem imun adapatif terbentuk. Sistem imun bawaan ditemukan di tumbuhan, invertebrata, dan vertebrata. Sistem ini terdiri dari serangkaian proses pengenalan reseptor (PRRs) yang mengenali bentuk molekul patogen (PAMPs) yang tidak ada pada molekul diri sendiri. Pengikatan PRRs dengan PAMPs menimbulkan opsonisasi dan aktivasi sistem komplemen sekaligus menginduksi jalur sinyal inflamasi. Proses ini melibatkan 3 PRRs: AMPs, Toll like receptor (TLRs), dan sistem komplemen. 3 sistem ini melawan bakteri ketika memasuki kulit dan dengan komunikasi dan sinyal neutrofil dan sel imun lainnya sangat vital dalam menuju ke lokasi infeksi guna menghancurkan patogen.

TLRs adalah bentuk reseptor pengenal. Reseptor ini ada di membran sel dan mengenali berbagai ligan eksogen yang unik pada mikroorganisme penginvasi dan tidak ditemukan pada host. Mereka memainkan peranan penting sebagai sensor primer. Sederhananya, TLR2 mengenali peptidoglikan permukaan kuman gram positif, TLR4 mengenali lipopolisakarida bakteri gram negatif, dan TLR5 mengenali flagelin, unik untuk bakteri berflagella. Elemen struktural bakteri penginvasi esensial menentukan patogenisitasn dan oleh karena itu susah untuk mengeliminasi keterlibatan dasar evolusi. TLRs tidak hanya melawan penginvasi tetapi juga menentukan respon imun apa yang ditimbulkan. TLRs melakukannya dengan menginstruksikan antigen presenting cell yang dimiliki organisme untuk mengeluarkan sitokin yang menentukan respon imun dan respon imun adaptif. Jalur sinyal alternatif menghasilkan respon imun yang berbeda tergantung TLRs yang identik.

Komplemen aktif ketika mannin-binding lectin terikat ke molekul karbohidrat bakteri dan mengaktifkan C2 dan C4. Aktivasi C3 menghasilkan C3a dan C3b. C3b pada membran memicu opsonisasi dan memicu fagositosis. Sebagai tambahan, pembelahan C5 menghasilkan C5a, aktivator neutrofil poten dan stimulator sitokin proinflamasi, termasuk IL-1 dan IL-8. Membran attack complex dibentuk oleh sistem komplemen dan membunuh kuman penginvasi. Tidak heran, komplemen juga memodulasi sistem imun, dan mengganggu stimulasi jalur aktivasi TLRs. Melalui mekanisme ini, host memiliki kemampuan untuk membentuk respon spesifik terhadap berbagai agen infeksi yang belum dikenali host. Sebagai tambahan, sistem imun bawaan lewat komplemen dan TLR memicu sistem imun adaptif sebagai respon terhadap mikroba penginvasi. Hal ini menjelaskan respon imun bawaan berespon terhadap respon klinik sejumlah infeksi bakteri yang sudah dijelaskan sebelumnya. Agen infeksi, lokasi infeksi, dan respon inflamasi memberikan gambaran lesi klinis.

Patogenisitas Bakteri:

Untuk menginvasi host, mikroba harus memiliki akses. S. aureus menggunakan asam teichoid dan protein permukaan lainnya yang membantu pelekatan ke mukosa hidung. Bakteri kemudian bebas mengkontaminasi kulit, berikatan dengan fibronektin pada luka. Kapasitas menyebabkan penyakit oleh bakteri disebut virulensi. Materi genetik mengkode faktor virulensi dan toksin telah ada pada elemen genetik disebut pulau patogenisitas. Bakteriofag membawa elemen genetik dari satu bakteri ke yang lainnya (Panton-Valentine leukocidin sebagai contoh). Panton-Valentine leukocidin adalah citotoksin untuk melawan sel imun host. Berhubungan dengan furunkulosis yang dalam dan inflamasi berlebihan, dan

Page 5: Chapter 175 Gambaran Umum Penyakit Bakterial

sekarang dikorelasikan dengan methicilin resistant s. aureus (MRSA). Sekitar 37% pasien dengan infeksi purulen CA-MRSA mengkolonisasi pada lokasi lain pada organisme. Sebagai tambahan, banyak spesien bakteri memiliki elemen DNA yang didesain untuk lari, menginaktivasi atau menekan respon imun host, khususnya dengan resisten terhadap neutrofil dan mengeluarkan sejumlah produk. Produk gen ini biasanya terdiri dari kaskade interaksi dua protein melibatkan sensor dan protein respon. Ini disebut sistem regulasi gen dua komponen. Pada kasus s. aureus, sejumlah substansi spesifik memiliki target terhadap serangan imunitas bawaan host. Staphylokinase (SAK) menginaktif defensin. Aureolysin A memecah LL-37. Gen OatA mengkode protein membran yang membuatnya resisten terhadap lisosim. S.aureus adalah bakteri katalase positif dan pigmen kuning s. aureus (karotenoid) melindungi dari oksidasi oleh neutrofil. SAK juga mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin. Plasmin permukaan memecah C3b dan IgG, merusak molekul opsonin dari permukaan bakteri. Protein inhibisi kemotaksis s. aureus berikatan dengan C5a memblok aktivasi neutrofil. Staphylococcal complement inhibitor berikatan dengan C3 konvertase pada permukaan bakteri untuk melindungi pembelahan C3 dan aktivasi kaskade komplemen. SAKS protein inhibisi kemotaksis dan Staphylococcal complement inhibitor dibawa oleh gen dalam pulau patogenisitas.

Meskipun penting untuk membedakan penyakit yang disebabkan oleh toksi dan yang disebabkan oleh invasi langsung dan faktor virulensi, kebanyakan infeksi kuman merupakan kombinasi antara invasi dan sifat toksigenik organisme. Contoh toksin yang disekresi secara lokal menunjukkan karakteristik lesi yang terinfeksi s. aureus (impetigo bullosa), Corynebacterium diphtheriae, dan Bacillus anthracis. Manifestasi sistemik sekresi toksin dilihat pada staphylococcal scalded skin syndrome dan tetanus. Pada kasus Clostridium perfringens, elaborasi sejumlah toksin ekstraseluler dan enzim (alfa toxin atau lecithinase, protease, colagenase) tampaknya memainkan peranan penting dalam penyebaran lesi kulit yang cepat dan manifestasi sistemik clostridial myonecrosis. S. pyogenes, khususnya GAS, juga memiliki sejumlah gen yang membantu untuk menembus sistem imun bawaan. Yang termasuk dalam genome tersebut seperti protein M, yang menghalangi fagositosis oleh neutrofil, dan yang memicu profaga seperti exotoksin A. Produksi Dnase SdaD2 melindungi GAS dari neutrofil dan berperang penting dalam infeksi kulit. Invasi jaringan dan penyebaran sistemik diperkuat oleh streptokinase. GAS streptokinase hanya aktif melawan plasminogen manusia yang berperan dalam menghambat infeksi GAS pada manusia. Kecenderungan streptococcus untuk berbagi materi genetik yang berisi faktor virulensi kepada strain lain telah mengaburkan penghambatan tipe streptococcus terhadap pola penyakit. Sekarang, pada beberapa negara, grup G streptococcus adalah penyebab utama faringitis dan memiliki gen virulensi yang memberi GAS untuk menyebabkan kondisi ini.

Bakteri gram negatif (Escherichia coli, S. typhi , N. meningitidis, Neisseria gonorrhoeae, Brucella melitensis, and others) memiliki endotoksin, atau kompleks fosfolipid-polisakarida (LPS) sebagai protein integral membran bakteri. Endotoksin, tidak seperti eksotoksin, dilepas hanya ketika sel bakteri hancur. Toksisitasnya berhubungan dengan fraksi lipid, dimana determinant antigenik ditentukan oleh komponen polisakarida. Telah banyak diketahui mekanisme efek biologis LPS pada infeksi sistemikkarena bakteri gram negatif atau

Page 6: Chapter 175 Gambaran Umum Penyakit Bakterial

infeksi luas yang bisa menimbulkan sindrom sepsis. Efeknya adalah toksik dan imunologik. Dua sitokin yang berperan penting dalam efek toksik dan proinflamasi dari LPS yang diproduksi oleh Makrofag teraktivasi LPS, yaitu Tumor necrosis factor (TNF alfa) dan IL-1. TNF alfa menginisiasi kaskade sitokin proinflamasi. TNF alfa mengaktivasi sistem koagulasi melalui efeknya pada endotel dan menurunkan tekanan darah dan perfusi jaringan melalui penurunan kontraktilitas miokard dan merelaksasi otot polos. Tingginya kadar TNF alfa didemonstasikan pada pasien meningococcemia dan bentuk sepsis berat lainnya. Pemberian infus TNF alfa murni konsentrasi tinggi dapat menyebabkan syok dan kematian. Kemampuan LPS, melalui produksi TNF alfa, untuk mengiduksi leukosit untuk melekat ke endotel kapiler dan menginduksi deposisi fibrin telah dianggap sebagai dasara pembentukan lesi kulit hemoragik nekrosis (dengan atau tanpa invasi bakteri secara langsung) yang kadang-kadang muncul ketika terjadi bakteremia bakteri gram negatif dan pada meningococcemia. Purpura fulminan muncul pada 10%-20% kasus sepsis oleh meningococcus dan pada kasus berat mungkin menyebabkan trombosis pembuluh darah besar dengan infark jari-jari.

Perubahan Pola Infeksi Kuman pada Kulit:

Tiga faktor telah meningkatkan prevalensi dan virulensi infeksi bakteri. Pertama, patogen baru seperti Bartonella spp, yang sebelumnya tidak diketahui dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Kedua, bakteri menjadi semakin virulen dan resisten terhadap antibiotik. Ketiga, peningkatan jumlah pasien imunokompromise karena meningkatnya pasien usia tua dan rentan, infeksi HIV, dan imunosupresi iatrogenik. Sebagai tambahan dari patogen yang biasa, berbagai bakteri nonpatogenik kulit dapat menyebabkan penyakit pada pasien rentan dan yang mengalami gangguan imunitas humoral dan selular. Sebagai contoh, ektima ganggrenosum karena destruksi lokal atau sistemik oleu pseudomonas aeruginosa selalu terlihat pada kasus neutropenia. Pada pasien imunokompeten, folikulitis sementara dan dapat sembuh sendiri disebabkan oleh organisme sejenis. Bartonella henselau menyebabkan cat -scratch disease, suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri pada pasien imunokompeten. Pada pasien AIDS lanjut (CD4< 50), B. Henselau menyebabkan angiomatosis basiler dan perluasan secara sistemik dapat berakibat fatal bila tidak diterapi.

Pengaruh Hipersensitivitas terhadap Reaksi Inflamasi Kulit pada Antigen Bakteri:

Kemampuan bakteri untuk menginduksi respon imun menjelaskan berbagai jenis sindrom yang terjadi pada host. Rasa terbakar pada dermatitis atopi diinduksi oleh s. aureus mungkin disebabkan oleh perubahan profil sitokin pada lesi yang diinduksi oleh infeksi kuman. Hal yang sama, infeksi streptococcus pada faring dapat menginduksi respon imun yang memicu psoriasi guttata melalui aktivasi sistem imun.

Kondisi Neutrofilik sebagai Respon Kutaneus terhadap Infeksi Sistemik:

Respon inflamasi pada pembuluh darah kecil di kulit mungkin ada pada beberapa infeksi bakteremia meskipun tidak ada lokalisasi bakteri pada lokasi ini. Lesi papul dan petekia pada meningococcemia kronik, dan infeksi gonococcal diseminata, dan munculnya vaskulitis leukositoklastik mengikuti terapi endokarditis yang adekuat sebagai contoh. Lesi sindrom Sweet dan eritema nodosum bisa memiliki neutrofilia jaringan yang menonjol,

Page 7: Chapter 175 Gambaran Umum Penyakit Bakterial

meskipun infeksi awal (misalnya faringitis streptococcus) terletak jauh. Nodus Osler dan peteki dari endokarditis akut, disebabkan oleh streptococcus viridans merupakan contoh hubungan vaskulitis pembuluh darah kecil dengan bakteremia. Secara histologis, lesi-lesi ini lebih mengarah ke vaskulitis dibandingkan emboli. Munculnya lesi ini dalam jumlah banyak, terlokalisasi pada ekstremitas bawah, mendukung konsep inflamasi pembuluh darah kulit dibandingkan embolisasi.

Klasifikasi Infeksi Bakteri pada Kulit:

Ditemukannya bakteri spesifik penyebab penyakit infeksi kulit, klasifikasi telah dibuat berdasarkan bakteri patogen dibandingkan morfologi. Pada banyak kasus, agen penginfeksi akan diidentifikasi berdasarkan kultur dan hasilnya tidak diketahui dalam 1 hari. Contohnya, impetigo, selulitis, dan necrotizing fasciitis adalah 3 contoh dimana patogen multipel menyebabkan gejala klinis yang sama dan diterapi sesuai patogen penyebabnya. Oleh karena itu, klasifikasi berdasarkan morfologi lesi kulit masih penting dan dapat menjadi petunjuk awal untuk tes diagnostik dan terapi antibiotik empiris. Karena itu, klasifikasi lesi kulit yang diakibatkan infeksi bakteri dibagi ke dalam: 1. Infeksi primer (pioderma); 2. Infeksi sekunder; 3. Manifestasi infeksi sistemik pada kulit; 4. Kondisi reaktif dari infeksi dari tempat yang jauh. Infeksi primer bakteri dihasilkan dari invasi pada kulit yang seolah-olah normal oleh satu spesies bakteri patogen. Pada infeksi ini, biasanya tidak ada keraguan akan peran etiologi primer pada patogenesis lesi. Terapi ditujukan untuk mengobati lesi. Impetigo, erisipelas, dan furunkulosis adalah contoh umum infeksi kulit primer. Pada infeksi sekunder, infeksi terjadi pada kulit yang sudah mengalami kerusakan. Meskipun bakteri tidak menjadi penyebab penyakit kulit, proliferasi dan invasi pada area luka mungkin memperlama durasi penyakit. Infeksi sekunder dapat timbul jika keutuhan kulit telah rusak, atau imunitas lokal terganggu oleh kondisi primer kulit, memudahkan infeksi kulit. Kebalikan dengan infeksi primer, infeksi sekunder menunjukka campuran bakteri pada kultur, dan tidak jarang sulit menentukan penyebab pastinya. Penting untuk mengetahui kondisi mana yang memulihkan bakteri patogen dan yang mana yang kurang berespon terhadap terapi antibiotik. Pada dermatitis atopi, penurunan jumlah s. aureus di permukaan kulit dengan antibiotik sering dihubungkan dengan perbaikan dermatitis. Sebaliknya, para ahli lapangan kurang setuju terhadap kultur bakteri patogen dari ulkus kaki kronik. Pada kasus infeksi sekunder, morfologi penyakit kulit primer mungkin sedikit terganggu, dan hadirnya bakteri patogen pengeksaserbasi hanya diperkirakan buruknya respon terhadap terapi atau kondisi yang tidak dapat dijelaskan.

Strategi Diagnostik

Pemeriksaan Langsung Aspirat dan Biopsi:

Identifikasi bakteri dari lesi kulit menyediakan informasi yang penting akan penyebab infeksi. Meskipun tidak praktis pada banyak kondisi, pewarnaan gram dari lesi kulit terinfeksi dapat menjadi petunjuk dalam memutuskan terapi awal antibiotik sebelum ada hasil kultur. Untuk tujuan ini, investigasi bakteriologik sangat penting untuk evaluasi awal pasien dengan lesi kulit dan pengambilan sampel, interpretasi pewarnaan gram, dan menggunakan mediu selektif untuk kultur.

Page 8: Chapter 175 Gambaran Umum Penyakit Bakterial

Pewarnaan gram merupakan metode yang cepat untuk menidentifikasi sampel untuk jumlah dan jenis bakteri seperti halnya karakter eksudat inflamasi pustul steril. Memperoleh spesimen yang tepat untuk studi mikroskopik dan kultur dibutuhkan kehati-hatian untuk mencegah kontaminasi. Kultur bakteri dari selulitis dan erisipelas biasanya tidak berguna. Aspirat atau biopsi dari selulitis hanya positif pada kultur sekitar 16% pasien. Meskipun tidak rutin dilakukan, penemuan pada aspirasi jarum, ketika positif dapat menjadi dasar terapi. Jika salin steril diinjeksikan ke lesi untuk diagnosis kultur cairan tanpa sifat bakteriostatik harus diikutkan. Pada kondisi tidak ada data aspirasi jarum, biopsi mungkin memberikan informasi yang dapat menyelamatkan nyawa. Pada kasus bioterorisme, ledakan infeksi antraks di United States, diagnosis spesifik dan cepat penyakit kulit dilakukan dengan punch biopsi dari plak yang eritem dan meninggi dan pewarnaan gram jaringan ditemukan basil gram positif, yang dikonfirmasi sebagai B. Anthracis dengan analisa imunohistokimia. Lesi lokal pada kulit dan jaringan subkutan pada pasien imunokompromise harus selalu dilakukan biopsi bila aspirasi gagal menentukan bakteri patogen. Mendukung hasil laporan pasien dengan suspek necrotizing fasciitis yang menjalani biopsi untuk mengkonfirmasi diagnosis infeksi yang merusak.

Prosedur Diagnostik Lain

Antibodi Fluoresen:

Kegunaan praktis dari prosedur ini penyakit kulit bakterial mulai dibatasi. Spiroceta dapat ditemukan (dengan teknik langsung dan tidak langsung) pada chancre. N. gonorrhoeae, Actinomyces israelii, Legionella sp., Francisella tularensis, B. anthracis, dan Y. pestis telah diidentifikasi dengan metode pewarnaan rapid direct fluorescent antibody. Kegunaannya yang paling bermanfaat dalam mendiagnosis secara spesifik infeksi serius yang jarang.

Metode Imunologi Lain:

Berbagai tes serologi sangat membantu dalam mendiagnosis infeksi bakteri pada kulit. Tes ini penting pada kondisi dimana manifestasi kulit merupakan sekunder dari penyakit sistemik (contohnya rose spot pada demam tipoid). Infeksi Bartonella rutin didiagnosis dengan cara ini.

Polymerase Chain Reaction:

Polymerase chain reaction (PCR) dapat diaplikasi untuk mendiagnosis sampel dari punch biopsi kulit dan aspirat pada lesi vesikulobulous sama halnya teknik ini sudah digunakan dalam mendiagnosis infeksi cairan tubuh (cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan darah). Penting untuk menghindari kontaminasi selama pengambilan sampel. Kegunaan dari prosedur ini sangat membantu ketika spesies bakteri yang langka diperkirakan dan primer yang tepat tersedia. Kasus seperti ini terjadi pada pasien dengan lesi kulit selama bioterorisme antraks mewabah.

Terapi Antibiotik

Page 9: Chapter 175 Gambaran Umum Penyakit Bakterial

Pemilihan antibotik yang tepat didasarkan pada penampakan lesi kulit, karakteristik penyakit sistemik, dan pewarnaan gram jika tersedia. Hasil kultur dan sensitivitas dari patogen biasany didapatkan dalam waktu 24-48 jam. Faktor epidemiologi (riwayat perawatan atau residensi di rumah rawat, riwayat penggunaan antibiotik, dan status imun) harus dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik awal. Juga penting untuk membuat pilihan berdasarkan data dari daerah setempat dan dari sumber terbaru tentang pola resistensi spesies bakteri. Penggunaan sistem komputer dalam mengambil keputusan, sistem referensi penyakit infeksi, guideline, atau basis data farmakologi harus dipertimbangkan ketika memilih terapi empiris untuk infeksi bakteri.

Dosis: Metode Pemberian dan Ekskresi

Infeksi kulit primer ringan sampai sedang berat dapat diterapi dengan terapi lokal, obat topikal, antibiotik oral, atau kombinasi. Infeksi sangat berat dengan atau tanpa manifestasi sistemik harus diterapi dengan antibiotik parenteral dengan dosis adekuat. Pada host yang imunokompromise, terapi parenteral selalu direkomendasikan.

Sejumlah faktor harus diperhatikan ketika memberi antibiotik: terapi oral memiliki kekurangan absorpsi yang terbatas dan gangguan gastrointestinal; hipotensi dan penyakit kulit yang luas dapat diberikan melalui rute intramuskular; dan obat tertentu hanya diberikan dengan rute spesifik. Profil metabolisme pemberian antibiotik harus selalu dipertimbangkan untuk mencegah dosis kurang atau akumulasi toksik pada organ spesifik (misal: gangguan hepar atau ginjal).

Toksisitas:

Toksisitas antibiotik harus dipertimbangkan pada tiap individu tetapi beberapa masalah dilakukan pada semua antibiotik. Reaksi hipersensitif umum terjadi dan dapat terjadi ruam kulit, demam, atau manifestasi yang lebih berat seperti anafilaksis atau eritroderma exfoliatif. Penisilin dan sulfonamid paling sering menyebabkan masalah ini. Harus ditanyakan riwayat alergi sebelumnya. Semua antibiotik dapat mengganggu keseimbangan flora, khususnya antibiotik spektrum luas seperti sefalosporin. Gangguan gastrointestinal dan lesi membran mukosa mulut merupakan masalah utama disamping gangguan flora. Ini adalah sejumlah reaksi potensial obat (ginjal, hematologi, hepar, dan saraf) antibiotik yang mungkin masih diterima bila keuntungan lebih besar dibanding resiko. Ini merupakan tanggung jawab dokter untuk berhati-hati terhadap manifestasi toksik yang biasa dan tidak biasa dari penggunaan antibiotik dan efek yang tidak diduga pada individu. Penggunaan rekam medik elektronik dengan sistem peringatan dokter akan membantu meningkatkan keamanan efek negatif.

Resistensi Antibiotik:

Sifat resistensi terhadap antibiotik multiple yang dapat dipindahkan telah menjadi masalah global. Mekanisme resistensi ini terjadi melalui beberapa cara. DNA asing yang berisi gen resistensi antibiotik dapat ditransfer secara (a). transfer secara horizontal ke resipien dengan beberapa cara, (b). Konjugasi sel, (c). Transformasi DNA plasmid atau DNA

Page 10: Chapter 175 Gambaran Umum Penyakit Bakterial

linier dari sel mati atau, (d). Transduksi. Resistensi terhadap antibiotik juga dapat terjadi secara mutasi de novo. Usaha untuk meminimalisir penggunaan antibiotik dan penggunaan agen antibiotik dengan spektrum sempit yang tepat.

Agen Antibakterial Topikal:

Agen antibakteri topikal umum digunakan untuk mencegah, seperti halnya menekan pertumbuhan kuman pada lesi dan luka operasi. Pada kasus luka sutura pada kulit, antibiotik topikal biasanya tidak lebih baik dari petrolatum dan memiliki efek terbatas dalam menurunkan infeksi pada kulit. Neomicin dan basitrasin topikal dapat memicu dermatitik kontak dan harus dihindari. Dermatitis kontak umum terjadi pada antibiotik ini bila diaplikasikan pada ulkus kaki akibat insufisiensi vena.

Diantara semua agen antibiotik topikal yang paling berguna adalah asam asetat (1%-5% untuk infeksi pseudomonas pada kuku), gentamicin (0,17% krim) berguna pada pasien dengan infeksi bakteri gram negatif yang butuh supresi lokal (misalnya erosi interdigitalis blastomisetika) dan mupirocin (2% krim atau salap) untuk berbagai streptococcus dan s. aureus. Sejumlah antiseptik spektrum luas juga tersedia sediaan topikal seperti betadin efektif dalam melawan bakteri gram positif dan negatif tetapi tidak berlangsung lama. Klorheksin glukonat (larutan 4%) dikombinasikan dengan antibakteri spektrum luas dengan efek yang lama. Sediaan alkohol umumnya efektif, tidak diabsorbsi ke dalam darah, dan tidak mengiritasi kulit. Antiseptik spektrum luas dapat digunakan sebagai profilaksis atau merawat luka yang bersifat lokal dan infeksi dermatosis superfisial