cervical intraepithelial neoplasia atau neoplasia intraepitelial serviks

10
SUJONO, I11112061 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA CERVICAL INTRAEPITHELIAL NEOPLASIA ATAU NEOPLASIA INTRAEPITELIAL SERVIKS I. PATOGENESIS Dari penelitian prospektif di dapat kesan bahwa kanker serviks jenis skuamosa bermula sebagai keadaan yang di sebut displasia. Displasia mencakup berbagai lesi epitel yang secara sitologik dan histologik berbeda dari epitel normal, tetapi belum mempunyai kriteria keganasan. Displasia di bagi menjadi 3 tingkatan : 1. Displasia ringan, bila kelainan dari epitel terbatas pada lapisan basal. 2. Displasia sedang, bila lesi melebihi ½ dari lapisan epitel. 3. Displasia berat, bila seluruh lapisan epitel sudah terkena. (3,5) Karena displasia berat sukar dibedakan dengan karsinoma in-situ (KIS), Richart mengusulkan pemakaian istilah Cervical- Intra epithelial Neoplasia (CIN) atau Neoplasia Intra epitel Serviks (NIS) dan di bagi menjadi : 1. NIS I : untuk displasia ringan. 2. NIS II : untuk displasia sedang. 3. NIS III : untuk displasia berat dan KIS. (2,4)

Upload: johnssujono

Post on 14-Sep-2015

63 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

aaaaaaaa

TRANSCRIPT

SUJONO, I11112061 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURACERVICAL INTRAEPITHELIAL NEOPLASIA ATAU NEOPLASIA INTRAEPITELIAL SERVIKS

I. PATOGENESIS

Dari penelitian prospektif di dapat kesan bahwa kanker serviks jenis skuamosa bermula sebagai keadaan yang di sebut displasia.Displasia mencakup berbagai lesi epitel yang secara sitologik dan histologik berbeda dari epitel normal, tetapi belum mempunyai kriteria keganasan.Displasia di bagi menjadi 3 tingkatan :1. Displasia ringan, bila kelainan dari epitel terbatas pada lapisan basal.1. Displasia sedang, bila lesi melebihi dari lapisan epitel.1. Displasia berat, bila seluruh lapisan epitel sudah terkena.(3,5)

Karena displasia berat sukar dibedakan dengan karsinoma in-situ (KIS), Richart mengusulkan pemakaian istilah Cervical-Intra epithelial Neoplasia (CIN) atau Neoplasia Intra epitel Serviks (NIS) dan di bagi menjadi :1.NIS I: untuk displasia ringan.2.NIS II: untuk displasia sedang.3.NIS III: untuk displasia berat dan KIS.(2,4)

NIS atau CIN ialah gangguan diterensiasi sel pada lapisan epitel skuamosa serviks, dan mempunyai potensi menjadi karsinoma invasif. Dengan menemukan NIS dan mengobatinya maka dapat di cegah timbulnya karsinoma serviks invasif.Menurut Dexeus dkk, perkembangan kanker serviks sangat bervariasi, waktu yang diperlukan oleh penderita displasia untuk menjadi KIS : (1)

Tingkat displasiaWaktu dalam bulan

Sangat ringanRinganSedangBerat85 ( + 7 tahun)58 ( + 5 tahun)38 ( + 3 tahun)12 ( + 1 tahun)

Sedang dari KIS menjadi invasif memerlukan waktu 3-20 tahun.

II. PATOFISIOLOGI

Kanker serviks invasif berkembang dari keadaan preinvasive dan disebut sebagai neoplasia intraepitelial serviks (NIS). NIS 1 merupakan displasia ringan dan diklasifikasikan sebagai lesi derajat rendah, NIS 2 dan 3 merupakan dysplasia moderat sampai berat.61. GenetikWanita yang memiliki saudara yang terkena kanker serviks memiliki risiko 2 kali lipat untuk menderita kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki saudara dengan kanker serviks. 7Perubahan genetik dalam beberapa kelas gen telah dikaitkan dengan kanker serviks. Tumor necrosis factor (TNF) yang terlibat dalam proses apoptosis sel, dan gen TNFa-8, TNFa-572, TNFa-857, TNFa-863, dan TNF G-308A telah dikaitkan dengan insiden yang pada kanker serviks. Polimorfisme dalam gen lain yang terlibat dalam apoptosis dan perbaikan gen, TP53, telah dikaitkan dengan tingginya peningkatan infeksi HPV untuk menjadi kanker serviks. 7Ada beberapa anomali gen HLA yang dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi HPV berkembang menjadi kanker dan juga yang memberi efek perlindungan. Reseptor-2 kemokin (CCR2) pada kromosom 3p21 dan gen pada kromosom 10q24.1 juga dapat mempengaruhi kerentanan genetik terhadap kanker serviks, dengan mengganggu respon kekebalan terhadap HPV. Gen CASP8 (juga dikenal sebagai FLICE atau MCH5) memiliki polimorfisme di wilayah promotor yang telah dikaitkan dengan penurunan risiko kanker serviks.7

2. HPV (Human Papilloma Virus) Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7. 7Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari 50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif. Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7.8,9Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit. Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan lesi prakanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV dan seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker serviks.8

3. HIV Patogenesis kanker serviks dalam hubungannya dengan HIV tidak sepenuhnya dipahami. Namun, infeksi HIV bekerja dengan menekan tingkat imunitas yang telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh virus HPV.7Kanker serviks setidaknya 5 kali lebih sering terjadi pada perempuan yang terinfeksi HIV, dan ini peningkatan ini tetap tidak berubah meskipun dengan penggunaan terapi antiretroviral. Penelitian telah menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada penderita yang terinfeksi HPV dengan HIV-seropositif dibandingkan dengan wanita dengan HIV-seronegatif. Prevalensi HPV adalah berbanding lurus dengan kadar CD4 + T-sel yang rendah.7

III. GEJALA DAN TANDATidak ada gejala dan tanda yang spesifik dari neoplasia intraepitelial serviks. Diagnosis hanya dapat dibuat jika telah dilakukan pemeriksaan sitologi. Semua lesi yang abnormal yang terlihat di serviks perlu dibiopsi. Jika telah terjadi kanker maka dapat timbul gejala metrorrhagia, pendarahan pasca senggama, ulserasi serviks. Dapat juga ditemukan cairan yang berbau, purulent. Gejala lanjutan dapat terjadi gangguan BAB dan BAK ataupun fistula. 10

IV. KLASIFIKASI NEOPLASIA INTRAEPITELIAL SERVIKSTabel berikut menunjukkan klasifikasi neoplasia intraepitelial serviks:

Ket : CIN/NIS: cervical intraepithelial neoplasia/neoplasia intraepitelial servikalis; LSIL: low-grade squamous intraepithelial lesion; HSIL: high-grade squamous intraepithelial lesion; ASC-US: atypical squamous cells of undetermined significance; ASC-H: atypical squamous cells: cannot exclude a high-grade squamous epithelial lesion.11Keterangan:1. Negatif (Kelas I): hasil apusan negatif tanpa adanya sel abnormal atau tidak dapat terlihat. Hasil apusan bersih dan tidak terdapat sel inflamasi dan tidak memiliki bukti keganasan (kanker).121. Atipikal (Kelas II): Hal ini lebih lanjut dibagi menjadi dua istilah: sel Atypical squamous cells, cannot exclude high grade lesions (ASC-H) dan atypical squamous cells of uncertain significance (ASC-US). Kriteria sitologi untuk diagnosis ASCUS termasuk pembesaran nukleus ukuran 2,5-3 kali lipat dari sel intermediate dengan sedikit peningkatan rasio nukleus / sitoplasma, terdapat variasi ringan dalam ukuran nukleus dan kontur, dan sedikit hyperkromasia dengan kromatin.Kriteria sitology untuk ASC-H yaitu sel skuamosa dengan inti membesar dan kurang sitoplasma dengan kontur nuklir tidak teratur.Mungkin ada bukti regenerasi sel-sel pada serviks atau perubahan sel yang berhubungan dengan infeksi atau trauma persalinan. Tergantung pada deskripsi lain ahli patologi mungkin diperlukan pengobatan untuk infeksi, pengecekan ulang pap smear, tes DNA, observasi, atau tes diagnostik dengan kolposkopi.12,131. Low-grade squamous intraepithelial lesion(Kelas III, displasia ringan): Klasifikasi ini untuk sel-sel abnormal, yang dapat dianggap sebagai displasia ringan atau dengan ringan potensial "premaligna". Displasia adalah perubahan prakanker, dan temuan ini membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Jika dibiarkan saja, perubahan ini mungkin kembali ke normal, mungkin tetap sama, atau bisa berkembang menjadi keganasan selama periode tahunan. Interval untuk pengembangan keganasan dari displasia adalah dari 3 sampai selama 10 tahun. Kolposkopi, menggunakan mikroskop untuk melihat serviks, mungkin akan direkomendasikan. Biopsi juga dapat dilakukan. Jika hanya perubahan ringan yang dikonfirmasi, biasanya tidak ada perawatan yang diperlukan. Dalam beberapa kasus lesi besar atau perubahan terus-menerus, pengobatan akan direkomendasikan.1. High-grade squamous intraepithelial lesion (Kelas III, IV): Klasifikasi ini merupakan indikasi dari perubahan tingkat tinggi prakanker. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan kolposkopi. Pengobatan dengan pembekuan atau eksisi biasanya diperlukan.121. Kanker (Kelas V): Klasifikasi ini menunjukkan probabilitas tinggi kanker dan diperlukan evaluasi lengkap untuk menentukan sejauh mana lesi kanker. Sebuah rencana perawatan untuk hasil terbaik dapat ditentukan.12

DAFTAR PUSTAKA

1. Aziz MF, Ketahanan Hidup Penderita Kanker Serviks Uteri Di RSCM, Jakarta, MOGI, vol 21, No. 3 1997, hal 182-183.1. Sutoto Strategi Skrining Neoplasia Intraepitelial Serviks, KOGI X, Padang, 1996.1. Mardjikoen. P, Karsinoma Serviks Uteri, Ilmu Kandungan, edisi kedua, Yang Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1994, hal 380-388.1. Hatch Kenneth, Cervical And Vaginal Cancer, Novaks Gynecology, Twelfth edition, William & William & Wilkins Company, 1996, p 1111-1122.1. Burke. L, Cervical Intraepithelial Neoplasia, Colposcopy Text And Atlas, Norwalk, Appleton & Lange, 1991. p 83-991. Jin XW. Cervical Cancer Screening and Prevention. Center for Continuing Education [cited on 22 January 2013]. 2010. Available from: http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/womens-health/cervical-cancer/#top 1. Boardman C. Cervical Cancer [cited on 22 January 2013]. 2012. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/253513-overview#aw2aab6b2b3 1. Gomez DT, Santos JL. Human papillomavirus infection and cervical cancer: pathogenesis and epidemiology. 2007:680-6881. Liverani CA, Ciavattini A, Monti E, et al. High risk HPV DNA subtypes and E6/E7 mRNA expression in a cohort of colposcopy patients from Northern Italy with high-grade histologically verified cervical lesions. 2012:452-4571. Mackay HT. Gynecologic Disorder. Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: McGrawHill; 2009:661-6631. World Health Organitation. Comprehensive Cervical Cancer Control. Geneva: WHO; 2006: 28-32,391. Pfenninger J. Pap Smear Information. [cited on 18 Februari 2013].2011. Available from: http://www.mpcenter.net/patient_ed/pap_smear_info.html1. Tewari L, Chaudary C. Atypical Squamous Cell of Undetermined Significance: A Follow Up Study. 2010: 225-227