cerpen.docx
DESCRIPTION
bahasaTRANSCRIPT
Kembali pada peristiwa pagi tadi. Cha Sik
meminta maaf karena ia terlihat seperti
preman yang sedang berkeliling menagih uang.
Sambil membungkukkan badan segala XD
“Tapi apa yang salah dengan pakaianku?”
tanyanya polos. “Jika Nyonya memberitahu,
Nyonya akan melihat gaya berpakaianku
meningkat.”
“Kau ini bodoh atau kau ingin
mempermalukannya (Yoo Seul)?”
Tidak keduanya, jawab Cha Sik sambil
tersenyum. Yoo Seul yang sudah memilihnya.
Jadi ini adalah tekadnya untuk tidak
mengecewakan Yoo Seul.
“Aku tidak bisa tiba-tiba berpakaian dengan
baik, tapi aku akan berusaha sebaik-baiknya
hingga Nyonya menyukai cara saya
berpakaian,” kata Cha Sik tegas sambil
membungkukkan badan.
Ia memegang tangan Yoo Seul dan
memasukkannya ke saku jasnya. Mereka pun
pergi.
Ibu masih mengomel sendiri. Tapi setelah
keduanya pergi, ia melihat mereka dengan
tatapan melembut. Sepertinya ia mulai
tersentuh dengan sikap Cha Sik.
Dalam perjalanan, Yoo Seul bertanya adakah
yang Cha Sik inginkan. Ia merasa ia berhutang
banyak pada Cha Sik juga atas perlakuan
ibunya. Ia merasa tak enak dan ia tak tahan
merasa berhutang pada orang lain.
“Tidak apa, kau tidak perlu minta maaf” kata
Cha Sik. Tapi lalu ia mendapat ide. Ia berkata
ada sesuatu yang ia ingin Yoo Seul lakukan
dibandingkan dengan minta maaf.
Cha Sik membawanya ke depan piano nyentrik
dalam terowongan. Cha Sik ingin mendengar
Yoo Seul bermain piano.
“Tidak mau. Sudah kubilang aku berhenti main
piano.”
“Ayolah, kau bilang kau ingin impas tapi
ternyata itu tidak benar. Kau berhutang banyak
padaku tapi sepertinya kau biasa saja. Kau ini
berlawanan dengan kata-katamu sendiri.”
“Baik! Aku akan mainkan untukmu!” kata Yoo
Seul kesal.
Cha Sik dengan gembira membimbing Yoo Seul
ke depan piano. Dalam hatinya Yoo Seul
bertanya-tanya apakah ia bisa memainkannya.
“Kuharap kau memainkan lagu yang kutahu,”
kata Cha Sik.
“Memangnya ada lagu yang kautahu?” sergah
Yoo Seul.
Yoo Seul menekan beberapa tuts dan berkata
suaranya persis seperti suara Cha Sik. Murahan
dan jelek.
“Hei! Apa kau dan ibumu bersekongkol
mengataiku!” protes Cha Sik. Ia berkata ini sih
bukan permintaan maaf namanya.
Yoo Seul menjawabnya dengan memainkan
jarinya pada piano.
“Whoah, daebak!!” seru Cha Sik kagum.
Yoo Seul melarang Cha Sik memberitahu
siapapun kalau ia memainkan piano di sana.
Cha Sik berkata ia akan membawa rahasia ini
ke kuburnya.
“Memangnya Ibumu ini kuburanmu?” ujar Ibu
sambil tersenyum geli saat Cha Sik
menceritakan kejadian itu malam harinya.
Keduanya sedang menempel iklan jasa menulis
ibu di tiang-tiang listrik.
Apa maksudnya, tanya Cha Sik bingung. Ini
anak pinter atau ngga sih hahaha^^
“Kau bilang kau akan membawa rahasia itu ke
kuburmu tapi sekarang kau membocorkannya
pada Ibu.”
Membocorkan? Cha Sik tidak terima. Ia berkata
ia membagi rahasia ini hanya dengan ibunya.
Ibu berkata jika Cha Sik menyimpan rahasia
darinya maka Cha Sik sudah dewasa. Sekarang
ia tidak yakin apakah Cha Sik sudah dewasa.
“Iya..iya..maaf aku sudah seperti anak kecil.
Aku akan jadi dewasa. Jadi aku tidak akan lagi
membagi rahasia dengan ibu. Senang
sekarang?” Cha Sik merajuk.
“Aduh, Tuan Jeong…Tuan Jeong, kau ngambek
lagi. Apa kau ngambek?” tanya Ibu. Cha Sik
cemberut tak mau menjawab.
“Jadi bagaimana? Apa ia bermain piano dengan
baik?” tanya ibu pelan.
Haha..Cha Sik langsung berceloteh mengenai
kehebatan Yoo Seul. Menurutnya Yoo Seul
adalah pianis terbaik ke-2 setelah ayahnya.
“Apa Ibu tahu rasanya? Seperti pelangi yang
terdengar indah. Luar biasa indah….hingga
mengubah manusia menjadi malaikat, dan
membuat dunia menjadi seperti surga,” Cha Sik
memejamkan matanya mengingat kembali
suara indah yang diperdengarkan Yoo Seul
melalui alunan pianonya. Yoo Seul memainkan
Symphony No. 9 Beethoven (yang kemudian
bagian akhirnya digunakan pada lagu Joyful
Joyful We Adore Thee).
Cha Sik berkata ia merasa sangat bahagia hanya
dengan melihatnya. Seperti pelangi yang tak
pernah ia inginkan untuk berlalu.
“Pasti sangat indah,” kata ibu.
“Iya, dan Ibu tahu apa yang lucu? Aku mulai
mendengar lagu yang sama dalam mimpi-
mimpiku akhir-akhir ini.”
Ibu bertanya mimpi apa itu. Cha Sik menahan
senyumnya sambil berkata ia tidak tahu karena
ia lupa begitu ia bangun. Heee…mencurigakan
;p
“Kau bilang kau lupa tapi bagaimana kau ingat
musiknya?”
“Aku tidak tahu, aku hanya ingat musiknya,”
kata Cha Sik.
Ibu mendapat telepon dari seorang kliennya
yang marah-marah karena tidak diterima
bekerja. Menurut klien itu, ia tidak diterima
bekerja di mana pun gara-gara CV yang dibuat
ibu. Ibu terpaksa berkata ia akan
mengembalikan uang klien tersebut.
Cha Sik kesal setelah mendengar hal itu. Ia
hendak memarahi balik klien ibunya. Tapi
ibunya menenangkannya. Ia berkata mungkin
kliennya memang benar.
“Bagaimana bisa ia benar? Ia seharusnya tidak
menyalahkan Ibu padahal salahnya sendiri ia
tidak mendapat pekerjaan.”
“Jujur saja, jika ibu menulis CV yang bagus, ibu
tidak akan hidup seperti ini pada usia seperti
ini. Aku seharusnya sudah bekerja dan bisa
membeli rumah,” giliran Ibu yang terlihat
sedih.
Dan kesedihan ibunya adalah kesedihan Cha
Sik. Tapi ia tidak akan membiarkan ibunya
larut dalam kesedihan.
“Nyonya Jung,” bujuknya. “Ibu, tunggulah. Aku
akan mencari banyak uang, membeli bangunan
dan membuat Ibu pemilik gedung paling kaya.
Dan ibu tidak perlu melakukan ini lagi. Ibu
tidak perlu lagi berkeliaran malam-malam
menempel poster. Ibu tidak akan menerima
telepon seperti tadi lagi. Ibu tidak perlu
memasak dan bersih-bersih. Dan aku akan
membuat Ibu pergi jalan-jalan dan belanja ke
luar negeri,” katanya sungguh-sungguh.
Ibu tersenyum. Ia bisa merasakan betapa
bagusnya Yoo Seul memainkan piano. Karena
kata-kata Cha Sik tadi terdengar seperti pelangi
itu. Pelangi yang membuat dunia terlihat
seperti surga. Cha Sik tersenyum senang.
Murid-murid perempuan di kelas Yoo Seul
mengganti seragam mereka dengan seragam
olahraga di kelas. Sementara para murid pria
disuruh keluar di saat mereka berganti pakaian.
Gyoo Sun (murid yang melihat Jin Mok
membenahi sandal Yoo Seul) menyadari Yoo
Seul tidak ada di kelas. Tapi yang lain tidak
peduli karena Yoo Seul memang terbiasa
berganti pakaian sendirian di tempat lain. Gyoo
Sun tetap khawatir karena Yoo Seul sekarang
tidak bisa melihat.
Cha Sik mengantar Yoo Seul ke kelas kosong.
Tadinya ia hendak berjaga-jaga di kelas itu tapi
tentu saja Yoo Seul mengusirnya.
Setelah menutup pintu, Yoo Seul mulai melepas
seragamnya. Ia tidak tahu kalau ada murid
iseng yang merekamnya dengan ponsel.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil
murid iseng tersebut. Untunglah Yoo Seul baru
membuka seragam luarnya. Ia cepat-cepat
berjongkok begitu mendengar suara.
Orang itu membawa si murid iseng pergi
dengan alasan tidak tahu di mana kelas
olahraga hari ini. Ia adalah Jin Mok yang
memergoki perbuatan memalukan murid iseng
tersebut.
Setelah jauh, Jin Mok menegur murid tersebut
dengan keras. Murid itu berkata ia hanya
mengambil foto sambil lewat. Jin Mok merebut
ponsel murid tersebut lalu membantingnya ke
lantai.
“Bersyukurlah aku tidak membawanya ke
polisi,” kata Jin Mok.
Tapi murid itu berkata apa yang ia lakukan
bukanlah apa-apa. Ia menyalahkan Yoo Seul
yang mengundang perbuatan semacan itu
karena berganti pakaian di tempat terbuka.
“Dan lagi ia tidak bisa melihat, jadi ia tidak
akan tahu.”
Jin Mok marah dan menyerang murid tersebut.
Keduanya hampir berkelahi jika tidak
dipisahkan oleh murid-murid lain.
Jin Mok pulang dengan tangan berbalut perban
akibat pertengkaran tadi. Ia bergabung dengan
keluarganya untuk makan malam. Ayahnya
bertanya apakah ia sudah siap untuk bermain
piano dalam acara pernikahan salah satu
kerabat mereka.
Jin Mok menunjukkan tangannya yang terluka
dan berkata sepertinya akan sulit baginya
untuk bermain piano. Ibunya bertanya apa
yang sudah terjadi.
“Ada ketidaksepahaman dengan seorang
teman,” jawab Jin Mok menenangkan.
Tapi yang lebih dikhawatirkan ayahnya adalah
Jin Mok yang tidak bisa bermain pada
pernikahan itu. Ia menyuruh ibu Jin Mok
menelepon kerabat mereka untuk memberitahu
situasi ini.
“Apakah mereka bisa mencari gantinya dalam
waktu 2 hari?” ujarnya. Ia menyuruh kakak Jin
Mok untuk mencari soal itu.
“Apakah hanya itu yang Ayah khawatirkan?”
tanya Jin Mok. “Apakah Ayah lebih
mengkhawatirkan hal itu daripadaku? Puteramu
yang seorang pianis terluka tangannya.
Tidakkah Ayah seharusnya bertanya bagaimana
dan kenapa aku bisa terluka? Seorang Ayah
seharusnya seperti itu.”
Ayahnya menghela nafas panjang dan bertanya
apakah Jin Mok sedang merengek lagi.
“Iya, aku merengek lagi. Kukira Ayah akan
khawatir padaku begitu melihat tanganku,” kata
Jin Mok emosi.
Ayah bertanya apakah Jin Mok merengek
seperti ini karena tidak cukup percaya diri
sebagai pianis.
“Biasanya seorang pengecut merasa terluka jika
diabaikan. Mereka memohon dan merengek
minta perhatian. Seperti yang kaulakukan
sekarang. Kau membodohi dirimu dan mulai
bermain piano karena menganggap dirimu
tidaklah buruk. Jika kau terus membodohi
dirimu sendiri, kau hanya semakin terluka. Kau
akan kehilangan kepercayaan diri dan pada
akhirnya kau akan semakin merengek. Apa
Ayah salah?”
Jin Mok terdiam.
Ia melampiaskan kekesalannya dengan bermain
piano kuat-kuat meski tangannya terluka.
Cha Sik melihat para murid mengerubungi
sebuah poster. Karena penasaran, ia bergabung
dengan mereka. Itu adalah poster kompetisi 2
piano.
“Bukankah itu saat 2 orang memainkan piano
bersama-sama?” tanyanya.
“Memangnya kaupikir 12 orang memainkan 2
piano?” Sang Pil balik bertanya dengan ketus.
“Apa ini untuk tahun ini?” Cha Sik terus
bertanya
“Memangnya kau pikir mereka akan menempel
poster untuk tahun kemarin? Kau ini…”
Cha Sik mendekati poster itu. Kompetisi akan
diadakan 3 bulan lagi. Ia menyentuh poster itu.
“Ini seperti mimpiku. Apa yang harus
kulakukan agar aku bisa ikutan?” tanyanya
bersemangat.
“Dilahirkan kembali,” jawab Jin Mok mendekat.
Murid-murid yang lain tertawa membenarkan.
“”Berhenti bercanda dan beritahu aku apa yang
harus kulakukan,” protes Cha Sik kesal.
Jin Mok berkata ia tidak bercanda. Tidak masuk
akal untuk orang tak berotak seperti Cha Sik
ingin ikut kompetisi. Cha Sik berkeras ia
dilahirkan berbakat.
“Atas dasar apa? Apa peramal yang mengatakan
kau berbakat seni? Atau golongan darahmu
sesuai dengan takdir seorang seniman?” olok
Jin Mok.
Murid-murid yang lain ikut mengolok Cha Sik.
Akhirnya Cha Sik tak tahan lagi dan berkata
ayahnya adalah Hyun Myung Sae. Semua
terdiam.
“Bagaimana? Apa masih tedengar seperti
seperti gurauan? Apa sekarang aku terlihat
berbeda?” tanya Cha Sik.
“Hei, kau itu harus berpikir lebih dulu sebelum
berbohong,” kata Sang Pil. “Hyun Myung Sae
itu tidak menikah. Bagaimana bisa kau
mengarang cerita seperti itu?”
Cha Sik memperlihatkan foto ibunya bersama
Hyun Myung Sae. Apa sekarang mereka
percaya?
Gyoo Sun berkata jika hanya foto itu buktinya
maka akan ada jutaan anak yang mengaku anak
Hyun Myung Sae karena pianis itu selalu
berfoto dengan fans-nya setelah pertunjukan.
Murid lain mengaku bibinya juga memiliki foto
seperti itu. Ada juga yang menganggap foto itu
hasil rekayasa.
Ada yang berkata Cha Sik bisa dituntut Hyun
Myung Sae karena merusak nama baiknya. Dan
ada yang mengolok Cha Sik terlalu banyak
nonton TV.
“Delusional seperti ini merupakan penyakit
jiwa, tahu?”
Diolok dan diejek seperti itu membuat Cha Sik
marah.
“Jika aku memenangkan juara pertama
kompetisi ini, apakah itu akan membuktikan
aku puteranya?!” tantangnya.
“Juara pertama itu berlebihan. Aku akan
percaya jika kau bisa melewati tahap awal,”
kata Jin Mok. Murid-murid lain setuju.
Oke setuju, kata Cha Sik. Ia pergi setelah
menepuk bahu Jin Mok.
Setelah Cha Sik pergi, murid-murid
membicarakannya. Gyoo Sun bertanya-tanya
apakah Cha Sik akan lolos tahap awal. Tidak
mungkin, kata Sang Pil.
“Dia tidak akan bisa menemukan partner.”
“Bagaimana jika ia berpasangan dengan Yoo
Seul?” tanya Gyoo Sun.
“Yoo Seul? Dia akan berkata begini: apa kau
gila?” Sang Pil meniru gaya Yoo Seul.
Dan itulah yang dikatakan Yoo Seul ketika Cha
Sik memberitahunya perihal kompetisi itu. Ia
menyuruh Cha Sik mencari dokter jiwa.
“Aku lebih dari normal saat ini,” kata Cha Sik.
“Tidak. Sejak aku bertemu denganmu, kau tidak
pernah normal. Apa kau tahu apa artinya
normal? Bagaimana bisa kau selalu gila?”
Cha Sik berkata waktu kompetisi masih 3 bulan
lagi dan lagi mereka hanya perlu memainkan
satu lagi. Jika ia latihan mati-matian, ia akan
bisa bermain cukup baik untuk ikut kompetisi.
Yoo Seul berkata masalahnya bukan Cha Sik
anak Hyun Myung Sae atau bukan.
“Bahkan anak Mozart tidak akan bisa
melakukannya. Aku tidak tertarik terlibat dalam
taruhanmu. Jika kau ingin orang-orang percaya
kau puteranya, ikuti tes DNA. Itu lebih masuk
akal.”
“Apa kau pikir aku akan kalah?”
“Apa aku pikir kau akan kalah? Cobalah berpikir
dari sudut pandangku. Jika aku berlatih lompat
galah selama 3 bulan untuk mengikuti
kompetisi, apa menurutmu aku akan menang?”
Tidak, Cha Sik mengakui. Yoo Seul berkata
beberapa hal memang tidak bisa dipaksalan.
Kompetisi adalah untuk pianis yang sudah 10
tahun belajar piano.
“Berpikir kau bisa menyusul dalam waktu 3
bukan hanya ceroboh, tapi tak sopan.”
“Begitu…kau benar, aku tak sopan. Aku minta
maaf,” kata Cha Sik pelan.
Sikap Cha Sik yang tak biasanya membuat Yoo
Seul jadi tak enak hati. Apalagi sepanjang
perjalanan pulang, Cha Sik sangat diam.
Cha Sik teringat percakapan malam itu dengan
ibunya. Sebenarnya ia ingat mimpinya namun
tidak menceritakan pada ibunya. Ia menyimpan
rahasia dari ibunya.
“Dalam mimpiku, aku bermain piano dengan
Yoo Seul. Dalam mimpiku aku tidak terlihat
seperti berandalan dan tidak terlihat seperti
preman. Tentu saja, aku mungkin terlihat
seperti seorang playboy, tapi aku tetap terlihat
sebagai pianis hebat.
Dalam mimpiku, Yoo Seul tidak kehilangan
penglihatannya. Terkadang ia melihatku dan
tersenyum. Dan senyumnya sangat menawan.
Mimpi itu begitu indah hingga aku ingin hidup
di dalam mimpi itu.”
Ia menghentikan sepedanya di depan piano
nyentrik dalam terowongan. Yoo Seul bertanya
mengapa Cha Sik berhenti.
“Yoo Seul, jika aku bisa memainkannya apakah
itu artinya aku memiliki potensi?” tanyanya.
“Bagaimana kau bisa memainkannya?
Berhentilah bicara omong kosong.”
“Jadi jika aku bisa memainkannya, tolong
berikan persetujuanmu, ya?”
Yoo Seul bertanya bagaimana bisa Cha Sik
begitu percaya diri seperti ini. Ia terpikir
sesuatu dan turun dari sepeda sambil
tersenyum mengerti.
“Cha Sik, kau pasti berpikir aku gampangan ya?
Apa aku terlihat mudah tertipu? Aku tahu ada
seseorang di sini yang akan memainkan piano
untukmu sementara kau berpura-pura
memainkannya.
Jangan coba-coba membodohiku. Siapa
sekutumu? Sebaiknya kau mengaku. Gyoo Sun?
Sang Pil? Tidak mungkin Jin Mok, kan?? Tidak
mungkin…psikopat itu tidak akan berurusan
dengan orang sepertimu.”
Cha Sik turun dari sepeda. Lalu menggendong
Yoo Seul dan mendudukkannya di depan piano.
Yoo Seul meronta-ronta pada awalnya.
Cha Sik meraih tangan Yoo Seul dan
menaruhnya di tangannya sendiri. Lalu ia mulai
menekan tuts piano. Yoo Seul terpaku. Itu
adalah melodi Symphony No. 9 yang pernah ia
mainkan.
“Itu adalah mimpi yang sangat singkat. Tapi itu
adalah mimpi yang akan kuingat seluruh
hidupku. Aku tidak bisa membiarkannya hanya
menjadi mimpi.”
Ternyata Cha Sik telah berlatih sendiri bermain
piano. Mulai dari posisi jari dan cara menekan
tuts. Berhari-hari ia berlatih. Berkali-kali ia
gagal tapi ia tidak putus asa dan mencoba lagi.
Hingga jarinya terluka dan penuh perban.
Bahkan pada malam hari saat tak ada siapapun
ia berlatih sendirian.
“Meski membutuhkan waktu lama, aku bertekad
untuk menjadi pianis betulan.”
Cha Sik menyelesaikan permainan pianonya
dengan baik. Perasaan Yoo Seul campir aduk
mendengarnya.
“Apa kau masih tidak percaya padaku?” tanya
Cha Sik.
“Kurasa aku percaya padamu.”
“Mari kita mengikuti kompetisi bersama, Yoo
Seul.”
Yoo Seul mengangguk sambil tersenyum. Cha
Sik balas tersenyum.
“Mimpiku mulai menjadi kenyataan….”