cdk 049 seminar penelitian penyakit tidak menular (i)

62

Upload: revliee

Post on 07-Jun-2015

6.861 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)
Page 2: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

No. 49, 1988

Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma

Daftar Isi : 2. Editorial

Artikel:

3. Masalah Penyakit Tidak Menular serta Kebijaksanaan Penanganannya dalam Pelita IV

8. Registrasi Kanker 13. Karsinogen Kimiawi dan Mikokarsinogen 18. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan terjadinya Kanker

Payudara Pada Wanita di Beberapa Rumah Sakit di Jakarta

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Karya Sriwidodo 22. Pengukuran "Output" Radiasi Pesawat Radioterapi Pada Rumah Sakit di Seluruh Indonesia

25. Penelitian Radiasi dan Kesehatan 27. Penelitian Bidang Radiologi dan Kesehatan

30. Aktivitas Iodium Sebagai Germisida 33. Taman Penitipan Anak 37. Kelainan Jantung Pada Penyakit Kawasaki 41. Ilmu Kedokteran Pencegahan dalam Upaya Pemberantasan

Diare di Puskesmas Kabupaten Malang 44. Malaria Berat 47. Pengamatan Virus Dengue di Beberapa Kota di Indonesia,

1986 49. Pehanganan, Pengelolaan dan Pengembangbiakan Hewan

Percobaan 55. Pengalaman Praktek 57. Humor Ilmu Kedokteran 59. Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran 60. Abstrak-abstrak

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandang-an/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis

Alamat redaksi: Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp.4892808 Penanggung jawab/Pimpinan umum: Dr. Oen L.H. Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani, Dr.Budi Riyanto W. Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bam-bang Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR. Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs. VictorSiringoringo. Redaksi Kehormatan: Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro, Dr. R.P. Sidabutar, Prof. DR.B.Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo, Prof.Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I. Sadrach. No. Ijin : 151/SK/Dit Jen PPG/STT/1976, tgl.3 Juli 1976. Pencetak : PT. Temprint.

Page 3: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan yang terpenting di negara-negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Akan tetapi, dengan berubahnya pola kehidupan masyarakat yang berwujud sebagai urbanisasi, meningkatnya sarana pendidikan; disertai tindakan-tindakan di bidang kesehatan seperti perbaikan transportasi antara desa dan kota, masuk-nya listrik ke desa, makin efektifnya usaha-usaha pencegahan seperti imuni-sasi, perbaikan gizi dan pencegahan lingkungan; maim kasus-kasus penyakit menular secara relatif akan berkurang, dan penyakit penyakit yang tergolong tidak menular cenderung untuk meningkat.

Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengem-bangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, telah mengadakan Seminar Penyakit Tidak Menular selama enam hari, yaitu dari tanggal 5 Oktober 1987 sampai dengan 7 Oktober 1987, dan dari tanggal 21 Oktober 1987 sampai dengan 14 Oktober 1987. Topik-topik yang diseminar-kan itu akan dimuat dalam majalah Cermin Dunia Kedokteran secara ber-sambung.

Untuk bagian pertama ini, akan dibahas tujuh topik, antara lain – Masalah Penyakit Tidak Menular serta Kebijaksanaan Penanganannya

dalam Pelita IV – Registrasi Kanker – Karsinogen Kimiawi dan Mikokarsinogen – Faktor-faktor yang berhubungan dengan Terjadinya Kanker Payudara

Pada Wanita di Beberapa Rumah Sakit di Jakarta – Pengukuran "Output" Radiasi Pēsawat Radioterapi Pada Rumah Sakit di

Seluruh Indonesia – Penelitian Radiasi dan Kesehatan – Penelitian Bidang Radiologi dan Kesehatan.

Selamat membaca ! Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 49, 1988 2

Page 4: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Artikel

Perkembangan Masalah AIDS

Suriadi Gunawan Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan salah satu segi dari kualitas hidup yang tercermin pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi sandang, pangan, perumahan, kesehatan, ke-sempatan memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang layak, kebebasan dari rasa takut dan rasa tidak tentram, kebebasan memeluk agama/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesempatan untuk mengembangkan daya cipta serta berkreasi, yang sesungguhnya merupakan tujuan dan sasaran pokok pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Derajat kesehatan merupakan hasil interaksi dari empat faktor: yakni faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.

Upaya kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan penderita, secara berangsur-angsur berkembang ke arah kesatuan upaya kesehatan yang mencakup upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang terpadu dan berkesinambungan.

Upaya kesehatan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, social budaya, ekonomi dan biologik yang bersifat dinamis dan kompleks.

Untuk menghadapi tanīangan upaya kesehatan ini, perlu disusun Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang merupakan tatanan yang mencerminkan upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan mencapai derajat kesehatan yang optimal, sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Dasar-dasar pembangunan kesehatan nasional menurut SKN adalah: 1) Semua warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal, agar dapat bekerja dan hidup layak sesuai dengan martabat manusia. 2) Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam

memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat. 3) Penyelenggara upaya kesehatan diatur oleh pemerintah dan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat, serta dilaksanakan terutama melalui upaya peningkatari dan pencegahan yang dilakukan secara terpadu dengan upaya penyembuhan dan pemulihan yang diperlukan. 4) Setiap bentuk upaya kesehatan harus berasaskan peri-kemanusiaan yang berdasarkan -Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan mengutamakan kepentingan nasional, rakyat banyak dan bukan semata-mata kepentingan golongan atau perorangan. 5) Sikap, suasana kekeluargaan, kegotong-royongan serta semua potensi yang ada diarahkan dan dimanfaatkan sejauh mungkin untuk pembangunan di bidang kesehatan. 6) Sesuai- dengan asas adil dan merata, hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan kesehatan harus dapat dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk. 7) Semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan wajib menjunjung tinggi dan mentaati segala ketentuan perundang-undangan dalam bidang kesehatan. 8) Pembangunan kesehatan nasional berlandaskan pada ke-percayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta ber-sendikan kepribadian bangsa. POLA PENYAKIT DAN KECENDERUNGANNYA MEN-JELANG TAHUN 2000

Menurut survai kesehatan rumah tangga 1980, sebab-sebab kematian yang terpenting ialah radang saluran per-nafasan, diare, tetanus, tuberkulosis dan penyakit kardio--

vaskulerr . Kurang lebih separuh dari semua kematian di Indonesia

terjadi pada bayi dan anak di bawah lima tahun (balita). Angka kematian bayi di Indonesia telah menurun. akan tetapi masih cukup tinggi, kira-kira 90 per 1000 kelahiran

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 3

Page 5: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

hidup. Sedangkan angka kematian balita umur 1–4 tahun masih kira-kira 20 per 1000.

Lebih dari 70% kematian bayi disebabkan radang saluran nafas, diare dan tetanus yang sebenarnya dapat dihindar kan' dengan usaha preventif yang lebih efektif, antara lain meliputi imunisasi, perbaikan gizi dan penyehatan lingkungan. Pelayanan kuratif/pengobatan dalam hal ini sangat ter-baths peranannya. ̀

Usaha-usaha menurunkan angka kematian telah mulai menunjukkan hasilnya dan hal ini antara lain dilihat dari meningkatnya umur harapan hidup waktu lahir yang kini mencapai 55,5 tahun pada pria dan 57,2 tahun untuk wanita.

Faktor penting yang akan mempengaruhi kesehatan ialah terjadinya perubahan pola kehidupan masyarakat yang makin 4cepat. Listrik dan televisi sudah/akan masuk desa, transportasi yang lebih baik akan mendekatkan desa dengan kota dan kesempatan memperoleh pendidikan menimbulkan harapan-harapan buru.

Pulau Jawa dalam tahun 2000 akan menyerupai Island City. Ditambah dengan pusat-pusat urbanisasi di luar Jawa, Indonesia akan mengalami pengaruh urbanisasi. Perubahan gaya hidup yang terjadi akibat urbanisasi dan meningkatnya umur harapan hidup waktu lahir akan merubah polapenyakit. Penyakit menular secara relatif akan berkurang, tetapi penyakit tidak menular antara lain penyakit kardiovaskuler, kw-ricer, diabetes, kecelakaan, keracunan, penyakit jiwa, penyakit -sendi, degeneratif cenderung untuk meningkat.

Menurut survai kesehatan rumah tangga, dalam kurun waktu tersebut telah terjadi kenaikan yang nyata dari penyakit tidak menular (tabel 1 dan 2). Tabel 1. Pola sebab kematian penduduk menurut survai Kesehatan Ramah Tangga tahun 1972 dan 1980.

No. DIAGNOSA 1972 (%) 1980 (%)

1. Radang akut saluran pernapasan bagian bawah 12,0 19,9

. 2. Penyakit diare 16,9 18,8 3. Penyakit kardiovaskuler 5,1 9,9 4. Tuberkulosis 6,0 8,4 5. Tetanus 4,6 6,5 6. Penyakit susunan saraf 5,1 5,0 7. Kelainan hati – 4,2 8. Cedcra dan kecelakaan 2,1 3,5 9. Neoplasma/kanker 1,3 3,4

10. Tifus perut 2,1 3,3 11. Penyakit tnfeksi dan parasit lain – 3,0 12. Komplikasi kehamilan dan persalinan 2,2 2,5 11. Penyakit neonatal 2,4 14. Lain-lain 40,0 6,8

15. Tidak jelas – 4,8

Jumlah 100,0 100,0

• Penyakit kardiovaskuler,. menyebabkan 9,9% dari semua kematian, dan prevalensinya 5,9 per 1000 penduduk. Tahun

Tabel 2. Perbandingan pola penyakit yang prevalen menurut Survai Kesehatan Ruttish Tangga dalam Tahun 1972 dan 1980.

1972 1980

No. Penyakit Jumlah Pende-

rita

per 100

Jumlah Pende-

rita

Per 100

1. Radang saluran pernafasan bagian atas 980 0,9 3.796 3,1

2. Penyakit kulit 721 0,6 1.013 0,8 3. Radang saluran pernafasan bagian bawah 422 0,4 1.041 0,9

4. Penyakit diare 297 0,3 947 0,8 5. Tuberkulosis 577 0,5 732 0,6 6. Radang mata 244 0,2 451 0,4 7. Penyakit kardiovaskuler 120 0,1 717 .0,6 8. Penyakit susunan otot rangka dan jaringan ikat lain 26 0,0 442 0,4

9. Malaria 279 0,2 219 0,2 10. Anemia 182 0,2 250 0,2 11. Penyakit susunan saraf 74 0,1 254 0,2 12. Penyakit rematik 94 0,1 321 0,3 13. Penyakit gigi dan jaringan

penyangga 70 0,1 293 0,2 14. Penyakit infeksi dan parasit 170 0,1 268 0,2 15. Kecelakaan 55 0,1 248 0,2 16. Lain-lain 1.319 1,2 2.937 2,4

Jumlah 5.547 13.929

1980 diperkirakan terdapat 855.000 penderita penyakit kardiovaskuler dan 177.000 kematian. Sejak tahun 1970 terjadi perubahan pola penyakit kardiovaskuler, di mana penyakit jantung iskemik menggeser penyakit jantung rematik pada tempat pertama. Di suatu desa di Jawa Tengah, prevalensi penyakit jantung 1,8% dari penduduk; 46,4% penyakit jantung iskemik; 17,9% penyakit jantung rematik; 14,3% penyakit jantung hipertensi; 10,7% Penyakit jantung bawaan dan 7,1% penyakit jantung pulmonik .

Faktor risiko penting untuk penyakit jantung iskemik ialah merokok, hipertensi, hiperkolesterolemi, obesitas, diabetes dan ketegangan jiwa/stres. Faktor-faktor tersebut di atas cenderung meningkat dhnasa yang akan datang. Hipertensi cukup luas terdapat di Indonesia, di man berbagai survai menghasilkan prevalensi yang berkisar antara 6 – 15%. Prevalensi tersebut meningkat dengan umur, sehingga pada golongan usia di atas 50 tahun mencapai lebih dari 20%. Diabetes mellitus juga menjadi faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung. Survai Universitas Diponegoro menunjukkan, 1,46% dari penduduk di atas 14 tahun di Semarang menderita diabetes3. Penyakit jantung pulmonik masih sering dijumpai dan faktor pen3iebabnya ialah penyakit paru-paru menahun, merokok dan polusi udara. Penyakit jantung bawaan diperkirakan mempunyai insidensi sebesar 0,8% dari jumlah kelahiran. Diperkirakan setiap tahun lahir sekitar 45.000 bayi dengan kelainan jantung bawaan.

• Penyakit kanker, mempunyai insidensi minimal 50 per 100.000 penduduk. Insidensi yang lebih realistik untuk Indonesia diperkirakan 100 per 100.000 penduduk4. Di-perkirakan akan terjadi 10.000 kasus kanker baru dalam tahun 1985. Jumlah kasus seluruhnya diperkirakan sekitar

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 4

Page 6: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

400.000 orang. Dalam survai kesehatan rumah tangga tahun 1972, ditemukan 1,4% dari kematian disebabkan kanker, sedangkan dalam tahun 1980 angka tersebut mencapai 3,9%. Lokasi kanker yang paling sering ditemukan ialah: leher rahim, payudara, kulit, nasofaring, hati, kelenjar getah bening, paru-paru, indung telur, usus besar/rektum dan kelenjar gondok. Dengan perkembangan sisio-ekonomi dan peningkatan umur harapan hidup, pola penyakit 1 anker akan berubah. Secara relatif kanker paru, payudara, indung telur, badan rahim, usus besar, pankreas dan prostat akan bertambah. Sebaliknya kanker hati, leher rahim, mulut dan kulit akan berkurang. Di Rumah Sakit Soetomo Surabaya penderita kanker merupakan 2,3% dari semua penderita yang dirawat dan dalam tahun 1974 – 1978 terjadi kenaikan rata-rata 20% pertahun. Sebagian besar penderita datang dalam stadium lanjut, dan. yang datang stadium dini (stadium II ke bawah) hanya 17,4% untuk kanker payudara dan 23,3% untuk kanker leher rahims.

• Kecelakaan/cedera, prevalensinya diperkirakan 2 per 1000 penduduk, sedangkan kematian akibat kecelakaan/ cedera merupakan 3,5% dari semua kematianl. Kecelakaan lalu lintas terus bertambah setiap tahun antara 9,1% sampai 13,8% (1970–.1980). Dalam tahun 1980 terjadi 51.387 kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 11.456 kematian dan 59.771 luka-luka6. Penderita kecelakaan/cedera yang dirawat di Rumah Sakit merupakan 10% dari semua pen: derita yang dirawat dalam tahun 1980 dan 4% dari morbiditas di Lombok dan 7% di Yogjakarta disebabkan kecelakaan.

Penderita yang dirawat di bagian bedah rumah-sakit Karyadi Semarang akibat kecelakaan lalu lintas adalah : cedera otak 60%, patah lengan atas 9%, patah tulang tengkorak/ punggung/dada 7,5% dan cedera bagian dada/perut/pinggul 2%7. Penelitian di 11 rumah sakit di Jakarta dalam tahun 1972 menemukan 437 kasus keracunan dengan case fatality rate 4,2%. Sebab-sebab keracunan terpenting yang ditemukan ialah jenf,kol, minyak tanah, barbiturat, singkong, salisilat dan pestisida . • Psikosis, diperkirakan prevalensinya 1–3 per 1000 pen-

duduk dan Neurosis 40–60 per 1000 penduduk9. Penelitian di Kecamatan Tambora, Jakarta menunjukkan sekitar 20% dari pengunjung Puskesmas menderita gangguan mental emosi-onal. • Karies dentis, sangat tinggi prevalensinya, 57% pada

penduduk berumur 8 tahun (DMFT rata-rata 1,23) dan meningkat menjadi 83% pada penduduk usia 35–44 tahun (DMFT rata-rata 5,27)9.

UPAYA PEMBERANTASAN PENYAKIT TIDAK MENULAR

Salah satu pokok upaya kesehatan menurut SKN ialah pen-cogahan dan pemberantasan penyakit yang bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah akibat buruk lebih .lanjut dari penyakit10. Dalam menentukan penyakit mana yang diberantas dipertimbangkan halhal sebagai berikut : a. Angka kesakitan atau angka kematian yang tinggi b. Yang dapat menimbulkan wabah c. Yang terutama menyerang anak-anak, ibu dan angkatan

kerja

d. Yang terutama menyerang daerah-daerah pembangunan sosial ekonomi

e. Adanya metode dan teknologi efektif f. Adanya ikatan internasional. Tujuan dan sasaran upaya pemberantasan penyakit tidak me-nular dalam Repelita IV ialahll

1) Mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler, kanker, kecelakaan dan penyakit tidak menular lainnya. 2) Meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat dan menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan. 3) Peningkatan sarana kesehatan untuk mengatasi penyakit tidak menular. 4) Perbaikan mutu lingkungan hidup yang menjamin kesehat-an/mencegah penyakit. Kebijaksanaan yang perlu ditempuh ialah sebagai berikut: 1) Upaya didasarkan pada preventif dan promotif. 2) Kegiatan pelayanan kuratif dan rehabilitatif diutamakan pada pengobatan jalan. 3) Upaya kesehatan dilakukan dengan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat guna, dan biayanya dapat dipikul oleh masyarakat dan negara. 4) Pelayanan kesehatan diutamakan untuk golongan masya-rakat yang berpenghasilan rendah dengan peran serta aktif dari masyarakat. 5) Upaya dilaksanakan dalam kerjasama lintas sektoral dengan semua bidang yang berkaitan dengan kesehatan/masalah pe-nyakit tidak menular. Langkah-langkah yang perlu diambil meliputi : 1) Pengumpulan data dan penelitian tentang masalah penyakit tidak menular. 2) Menyiapkan wadah dalam struktur Departemen Kesehatan untuk menanggulangi masalah penyakit tidak menular. 3) Pengaturan dan koordinasi berbagai kegiatan penyuluhan untuk memberantas penyakit tidak menular, antara lain usaha untuk mengurangi kebiasaan merokok, mengurangi kecelakaan dan sebagainya. 4) Peningkatan sarana untuk menanggulangi penyakit tidak menular. 5) Mengadakanpilot project screeningselektif untuk menemu-kan golongan risiko tinggi antara lain untuk hipertensi, kanker tertentu, diabetes dan penyakit lainnya pada Puskesmas di daerah tertentu. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

Upaya penelitian dan pengembangan kesehatan bertujuan untuk memberikan sarana cipta ilmiah dan teknologi yang di-perlukan dalam pembangunan kesehatan dan diharapkan mampu memberi masukan berupa : 1) Pengertian yang lebih baik mengenai masalah-masalah ke-sehatan di negara kita. 2) Saran mengenai kebijaksanaan untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan yang ada atau yang mungkin timbul. 3) Teknologi yang lebih efisien dan efektif dari pada yang dipakai sekarang. 4) Pemikiran yang inovatif di bidang pemberian pelayanan kesehatan supaya lebih merata dan terjangkau oleh masyarakat.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 5

Page 7: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

5) Informasi mengenai segala sesuatu yang akan menghambat atau dapat mempercepat pencapaian tujuan dan sarana pem-bangunan kesehatan.

Upaya litbang kesehatan juga merupakan salah satu komponen sistem ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Semua langkah yang diambil harus searah dengan kebijaksana-an Menteri Negara Riset dan teknologi dalam mengembangkan kemampuan nasional di bidang riset dan teknologi dalam rangka menunjang transformasi masyarakat agraris menuju industrialisasit 2

Masalah penelitian yang perlu ditangani dapat dikelom-pokkan dalam permasalahan yang menyangkut derajat ke-sehatan, upaya kesehatan- serta manajemen upaya kesehatan dan partisipasi masyarakat, yang meliputi antara lain :

1)1Conseptualisasi dan pengertian kualitas hidup dalam konteks pembangunan kesehatan. 2) Monitoring derajat kesehatan untuk mengetahui kecen-derungannya. 3) Perkiraan masalah dan gangguan kesehatan pada waktu ini dan masa yang akan datang dan perumusan strategi pe-nanggulangannya. 4) Pengembangan berbagai teknologi atau metode untuk menanggulangi masalah kesehatan yang menyangkut rakyat banyak. 5) Pengkajian cara-cara tradisional mengenai penggunaan obat dan pengobatan untuk dipadukan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern guna mempercepat tercapainya sasaran pembanguhan kesehatan. 6) Pengkajian mengenai kondisi sosial budaya dan potensi swadaya masyarakat untuk mengatasi masalah kesehatannya sendiri. 7) Penelitian untuk memperoleh pengertian tentang proses pengambilan keputusan di berbagai tingkat pemerintahan maupun masyarakat. 8) Penelitian mengenai sistem pelayanan kesehatan serta pembiayaannya. 9) Telaah mengenai peranan hukum di bidang kesehatan yang meliputi hak, kewajiban dan keadilan yang menyangkut kesehatan. 10) Pengembangan usaha preventif/promotif dan cara-cara hidup sehat yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakatl3. PENELITIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR

Penelitian penyakit tidak menular diarahkan untuk me-ngetahui besarnya masalah dan mengembangkan metodologi penanggulangannya yang dilaksanakan dengan mengutamakan pertibahan perilaku masyarakat, perbaikan lingkungan hidup dan periggunaan teknologi secara tepat guna. Langkah-langkah yang perlu diambil meli puti antara lain: 1) Mengembangkan standardisasi, klasifikasi dan registrasi penyakit. 2) Melaksanakan studi epidemiologi (deskriptif dan analitik). 3) Mengembangkan studi intervensi misalnya dalam bentuk proyek panduan. 4) Mengembangkan studi evaluatif program dan kegiatan yang dilaksanakan.

Beberapa kelompok penyakit yang perlu mendapat per-hatian ialah :

1. Penyakit kanker. 2. Penyakit kardiovaskuler. 3. Penyakit endokrin dan metabolik antara lain diabetes

dan penyakit kelenjar tiroid. 4. Penyakit gigidan mulut. 5. Kecelakaan dan penyakit akibat pekerjaan. 6. Penyakit jiwa dan syaraf. 7. Penyakit alatpancaindera. 8. Penyakit respiratorik kronik. 9. Penyakit sendi dan rernatik. 10. Penyakit bawaan & keturunan. 11. Penyakit akibat radiasi. 12. Lain-lain penyakit dan gangguan kesehatan kronik.

Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular (PPPTM) di-bentuk dengan SK Menteri Kesehatan No. 558/Menkes/SK/ 1984 tanggal 31 Oktober 1984 sebagai lanjutan dari Pusat Penelitian Kanker dan Pengembangan Radiologi.

PPPTM bertugas melaksanakan penelitian penyakit tidak menular berdasarkan kebijaksanaan. teknis Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan peraturan per-undang-undangan yang bt:rlaku. Pada saat ini PPPTM mem-punyai lima puluh orang pegawai yang setengahnya adalah tenaga teknis (sarjana dan sarja muda) tetapi baru tiga orang yang berstatus fungsional peneliti.

Anggaran rutin PPPTM tahun 1985/1986 berjumlah Rp. 81,8 juta dan Rp. 58,8 juta di antaranya ialah untuk belanja pegawai.

Anggaran pembangunan (proyek penelitian penyakit tidak menular) tahun 1985/1986 berjumlah Rp. 45.887.000,00 dan ini merupakan 5% dari DIP Badan Litbang Kesehatan sebesar Rp. 841.275.000,00.

Untuk meningkatkan kegiatan penelitian penyakit tidak menular perlu dikembangkan suatu jaringan kerjasama antara Departemen Kesehatan, Universitas/Konsorsium Ilmu Kesehat-an, dan badan-badan lain, baik pemerintah maupun swasta. Lampiran

Proyek Penelitian 1982–1985 Pusat Penelitian penyakit Tidak Menular

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

1. Penelitian epidemiologi kecelakaan lalu lintas di Jakarta. 2. Penelitian 131–I uptake dan scanning normal kelenjar gondok di

Sukabumi. 3. Survai penyakit periodontal pada penduduk usia produktif di

Jawa Barat. 4. Penelitian registrasi kanker Population Based di Yogjakarta. 5. Survai beberapa• faktor risiko dari penyakit jantung koroner di

Jakarta. 6. Penelitian kalibrasi output pesawat radioterapi. 7. Penelitian kesehatan pegawai negeri yang menduduki jabatan

eselon I, II dan III di Jakarta. 8. Survai kesehatan kerja pada industri kecil dan petani di wilayah Jabotabek. 9. Penelitian frekuensi dan jenis gangguan mental emosional pada

pengunjung Puskesmas Tambora, Jakarta. 10. Penelitian pola penyakit pada penduduk di daerah slum Jakarta. 11. Penelitian gangguan metabolisme pada pasien retardasi mental

di Jakarta. 12. Survai kesehatan gigi pada anak SD UKGS dan Non UKGS di

Jawa Tengah dan di DKI Jakarta.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 6

Page 8: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

13. Survai penyakit jantung pada masyarakat pedesaan di Ungaran Jawa Tengah.

14. Penelitian pengobatan otitis media akutadengan H2O2 di Surabaya. 15. Penelitian prevalensi hipertensi di Depok. 16. Penelitian pengetahuan dan sikap ibu rumah tangga mengenai

kanker di Cimanggis, Jawa Barat. 17. Penelitian eksplorasi terhadap sebab-sebab terjadinya kebiasaan

merokok pada masyarakat Surakarta. 18. Penelitian registrasi kanker Hospital Based di Bandung, Jogjakarta

dan Surabaya. 19. Penelitian registrasi kanker di 17 laboratorium patologi. 20. Penelitian pengaruh erobik terhadap derajat kesehatan jasmani

pada beberapa kelompok masyarakat di Surakarta. 21. Penelitian penyakit jantung koroner pada dokter RSCM/FKUI.

KEPUSTAKAAN 1. Rencana pokok Program Pembangunan Jangka Panjang Bidang

Kesehatan 1983/1984 – 1988/1989: Departemen Kesehatan RI Jakarta, 1983.

2. Rencana Pembangunan 5 tahun ke empat 1984/1985 – 1988/ 1989. Buku III khususnya Bab. 22 (Ilmu Pengetahuan, teknologi dan penelitian) dan Bab. 23 (kesehatan). Departemen Penerangan RI, Jakarta 1984.

3. Kebijaksanaan dan rencana Jangka Panjang Pengembangan Penelitian bidang Kesehatan, Konsorsium Ilmu Kedokteran. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta, 1982.

4. Pola Dasar Pengembangan Kemampuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Badan Litbang Kesehatan, Jakarta

1985. 5. Loedin AA. Pendekatan baru dalam penelitian kesehatan badan

Litbangkes. Jakarta, 1981. 6. Ratna P Budiarso click. Laporan Survai Kesehatan Rumah Tangga

1980. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta, 1981.

7. Djokomoeljanto R et al. A Community study of diabetes mellitus in an urban population in Semarang, Indonesia Second Symposium of Diabetes in Asia, Japan, 1975.

8. Boedhi Darmojo R. Penyakit Kardiovaskuler di Indonesia Makalah Seminar. Penyakit Kardiovaskuler, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta, 28 – 29 September 1981.

9. Suriadi Gunawan; Laporan Hasil Penelitian Bidang Penyakit Tidak Menular dan Radiologi 1975 – 1983. Pusat Penelitian Kanker dan Pengembangan Radiologi Badan Litbang Kesehatan, Jakarta, 1983.

10. Sistem Kesehatan Nasional. Departemen Kesehatan R.I. Jakarta, 1982.

11. Suriadi Gunawan. Program Penelitian Penyakit Tidak Menular. Makalah Penataran Tenaga Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan, 10 Februari – 1 Maret 1986.

12. Munir R dkk. Morbiditas dan Mortalitas di Indonsia; Suatu penelitian pada 6 desa di Yogjakarta dan Lombok, 1980. Lembaga Demografi FEUI, Jakarta.

13. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran : Penelitian sebab sebab kematian di masyarakat, Kotamadya Bandung. Laporan Penelitian Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Universitas Padjadjaran 1981/1982, Bandung.

14. Sukarja IDG. Masalah Kanker di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya. Naskah Seminar Kanker Badan Litbangkes., tanggal 28–29 Agustus 1980, Jakarta.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 7

Page 9: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Registrasi Kanker

Dr Marwoto Partoatmodjo Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular Badan Penelitfan dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Jakarta.

Penanggulangan penyakit kanker di Indonsia belum di-masukkan dalam program yang diprioritaskan dalam upaya kesehatan nasional, karena masih banyak masalah-masalah lain yang lebih mendesak yang harus ditanggulangi seperti penyakit infeksi, angka kematian yang tinggi pada anak balita, dan lain sebagainya.

Ini tidak berarti bahwa masalah kanker tidak ada di Indo-nesia, sebab di kemudian hari bila masalah-masalah penyakit infeksi, dan lain-lainnya sudah dapat diatasi, maka masalah kanker akan tampak lebih menonjol. Tidaklah benar anggapan yang berpendapat, kanker adalah suatu penyakit di negara-negara industri Barat saja. Diperkirakan setengah dari insidensi kanker setiap tahun, yang.berjumlah 5,8 juta kasus di seluruh dunia, berasal dari negara sedang berkembang dan bagian ini dperkirakan akan terus bertambah, antara lain karena per-ubahan demografik (pertambahan penduduk, pertambahan golongan manula) dan'perubahan lingkungan (bertambahnya urbanisasi dan meniru-niru cara hidup dan kebiasaan Barat).

Sebelum dapat direncanakan suatu program penanggulang-an penyakit kanker yang lebih baik, pertama-tama hells ada gambaran dari pola penyakit tersebut untuk itu perlu data statistik dari penyakit kanker yang diperoleh dari registrasi. Statistik yang baik dapat membantu menentukan program-program mana yang harus diprioritaskan dalam menanggulangi masalah kesehatan, apakah itu penyakit kanker atau masalah kesehatan yang lain. Sedangkan untuk masalah kanker sendiri, jenis jenis mana yang harus diprioritaskan dalam penang-gulangannya. Selain itu juga dipakai untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang menanggung risiko tinggiuntuk suatu jenis kanker tertentu, yang perlu program penanggulangan khusus. Juga dapat dipakai sebagai dasar dalam penilaian keberhasilan suatu program penanggulang-an.

Variasi pola penyakit kanker sangat dipengaruhi oleh

lingkungan, masyarakat (manusianya) dan waktu. Maka bila. registrasi sudah dapat dilakukan dengan baik, tidaklah mus-

tahil jika nanti dijumpai variasi pola kanker yang berbeda-beda untuk daerah-daerah di Inaonesia.

Suatu registrasi yang dapat mencerminkan insidensi se-benarnya dari suatu penyakit adalah suatu Population Based Registration. Suatu Population Based Cancer Registration di Indonesia yang bersifat nasional masih terlalu sulit pe-laksanaannya, baik yang menyangkut segi biaya, tenaga maupun sarana.

Suatu Hospital Based Cancer Registration tampaknya lebih mudah dikerjakan karena biayanya akan lebih sedikit namun, masih diperlukan tenaga yang berdedikasi dan kerja-sama yang baik. Bagian Catatan Medik suatu rumah sakit akan dapat membantu banyak dalam pelaksanaan registrasi ini, bila mendapat tambahan tenaga tersebut dan ada kerja sama yang baik antara bagian-bagian dengan bagian Catatan Medik dari rumah sakit. Namun angka yang diperoleh bukanlah angka insidensi nasional. Data yang diperoleh lebih banyak dipakai untuk keperluan rumah sakit itu sendiri, antara lain untuk memudahkan follow up, memperoleh data mengenai penderita yang sembuh mengenai cara pengobatan dan riwayat penyakitnya, untuk merencanakan rumah sakit itu sendiri, namun juga untuk membantu penyelenggaraan registrasi yang lebih luas (Population Based Registries) dan sebagainya.

Registrasi yang lebih sederhana ialah Pathology Based Cancer Registration. Lebih sederhana karena jumlah laborato-rium masih terbatas, dan data hasil pemeriksaannya telah ter-sedia. Namiin, kegunaannya juga terbatas yaitu minimum insidensi frekuensi relatif, distribusi geografis jenis-jenis tumor, dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi masalah kanker di suatu daerah atau untuk menilai hasil dari suatu program penanggulangannya. Agar diperoleh-hasil yang lebih baikperlu diikutsertakan juga bagian-bagian sitologi dan hematologi.

Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, bekerja sama dengan peneliti dari bagian lain di luar Badan Litbang telah melakukan penelitian registrasi kanker, baik Population Based maupun

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 8

Page 10: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Hospital Based dan Pathology Based.

REGISTRASI KANKER DI RUMAH SAKIT CIPTO MA-NGUNKUSUMO TAHUN 1975–1978

Penelitian registrasi ini bersifat prospektif dan dilakukan selama 3 tahun. Data diambil dari flap Bagian atau Unit di RSCM. Untuk melaksanakan tugas tersebut telah dibentuk suatu panitya yang susunannya ditentukan oleh Kepala RSCM dan Dekan FKUI. Oleh panitia dibuat suatu forn}ulir registrasi yang mencatat 30 variabel mengenai kasus kanker. Formulir dikumpulkan sebulan sekali. Hasilnya adalah sebagai berikut : – Tahun 1975–1976 tercatat 492 kasus. – Tahun 1976–1977 tercatat 962 kasus. – Tahun 1977–1978 tercatat 1152 kasus. – Jumlah seluruhnya ada : 2606 kasus, laki-laki ada 846 dan perempuan 1760. Urutan kelompok umur penderita adalah sebagai berikut umur 40-49 tahun (20,87%) umur 30-39 tahun (15,54%) dan umur 50–59 tahun (13,28%). Berdasarkan lokasi urutannya adalah serviks uteri (ICD 180) 24,3%, payudara (ICD 174) 14,7% dan nasofaring (lCD 147) 4,8%. Data tersebut di atas belum lengkap, karena variabel dalam formulir yang tersedia tidak dapat diisi sepenuhnya hanya sebagian saja dari data yang dapat diisi. Hal ini disebab-kan karena data yang ada di catatan medik belum lengkap, antara lain karena koordinasi antara Bagian-bagian dengan Catatan Medik Pusat belum berjalan sebagaimana mestinya. Untuk registrasi kanker yang baik di rumah sakit-rumah saldt perlu sarana yang lengkap di Catatan Medik Pusat dengan petugas-petugas yang dididik/terlatih, penuh dedikasi dan biaya yang cukup. SURVEI KANKER DI 17 RUMAH SAKIT DI JAKARTA

Telah dilakukan survei penyakit kanker yang bersifat retrospektif pada tahun 1978 di 17 rumah sakit di Jakarta untuk penderita yang dirawat selama tahun 1977 berdasar data dari Catatan Medik Pusat dan dilakukan di bawah pengawasan dokter (Lihat Tabel 1). Hasilnya adalah sebagai berikut :

Variabel yang dapat diisi hanya 30–40%. Kasus yang di-laporkan berjumlah 2056 kasus, ini merupakan 1,2% dari semua penderita, untuk semua penyakit yang dirawat. Per-bandingan penderita wanita : pria, kurang lebih 3 : 2 (1183 : 873). Kelompok umur berkisar antara 0 . sampai lebih dari 80 tahun. Kasus terbanyak, pada kelompok umur 30 sampai 59 tahun, dengan puncak pada umur 45 sampai 50 tahun (Lihat Tabel 2). Dari semua kasus hanya 747 kasus mendapat pemeriksaan histopatologik, 202 kasus sitologik dan 147 kasus hematologik. Pada wanita, kanker serviks uteri merupa-kan yang terbanyak 36.5%, payudara 15,3%, dan ovarium 5,6%. Sedang pada pria kanker paru menduduki tempat ter-atas 18,1%, hati 17.9%, dan nasofaring 14,3%. Urutan sepuluh macam kanker terbanyak berdasarkan lokasi dan umur dapat dilihat pada Tabel 2. Dari 45 kelompok lokasi, kasus di sepuluh lokasi terbanyak berjumlah 75% (1577/2056) dari seluruh kasus kanker yang dilaporkan. Dari 1577 kasus ini, 454 penderita tidak ditantum-kan suku bangsa (Lihat tabel 3). Berdasarkan pekerjaan dari 1577 kasus, 647 penderita disertai

Tabel 1. Jumlah kasus kanker berdasarkan jenis kelamin di 17 Rumah Sakit di Jakarta tahun 1987.

Jumlah penderita

Nama rumah sakit

Wanita Pria Jumlah

1. Cipto Mangunkusumo 520 237 757 2. St. Carolus 117 108 2253. Kanker 129 72 2014. Sumber Waras 82 109 1915. Persahabatan 54 100 1546. Husada 54 76 1307. Cikini 65 53 1188. Gatot Subroto 72 37 1109. Fatmawati 28 27 55

10. Pertamina 13 14 2711. Pelni 11 11 2212. Islam 7 14 2113. Budi Kemulyaan 13 0 1314. Jakarta 7 4 1115. Mintoharjo 7 4 1116. Koja 2 4 67. Atmajaya 1 3 4 Jumlah 1.183 873 2.056

keterangan mengenai jenis pekerjaan, yang masih dicantumkan sebagai status penderita, bukan jenis pekerjaan yang sebenar-nya. PENELITIAN REGISTRASI "HOSPITAL BASED" DI RUMAH SAKIT-RUMAH SAKIT KABUPATEN JAWA BARAT.

Penelitian ini bersifat retrospektif dengan mengumpulkan penderita kanker yang dirawat di 7 rumah sakit selama tahun 1978. Hasilnya adalah sebagai berikut : 1. RSU Bekasi (Kabupaten Bekasi) 7 kasus 2. RSU Kerawang (Kabupaten Kerawang) 65 kasus 3. RSU PMI (Kabupaten Bogor) 115 kasus 4. RSU Syamsudin (Kabupaten Sukabumi) 83 kasus 5. RSU Serang (Kabupaten Serang) 15 kasus 6. RSU Kebon Jati (Kabupaten Bandung) 39 kasus 7. RSU Tasikmalaya (Kabupaten Tasikmalaya) 42 kasus'

Jumlah kasus 367 kasus Kanker terbanyak yang dilaporkan berdasarkan lokasi adalah 1. Payudara (ICD 174) 16,3% 2. Serviks uteri (ICD 180) 8,9% 3. Kulit (ICD 173) 5,1% 4. H a t i (ICD 155) 4,9% 5. Jaringan lunak (ICD 171) 5,1% Berdasarkan umur penderita, kanker terbanyak pada wanita adalah kelompok umur 40–49 tahun dan pria umur 50–59 tahun. Pengisian variabel dalam formulir hanya sekitar 35% saja. PENELITIAN REGISTRASI KANKER "PATHOLOGY BASED" PADA TAHUN 1979 DI 13 PUSAT PATOLOGI DI INDONESIA Data yang diinginkan dikelompokkan menjadi 3 golongan I. Data umum penderita, II. Data klinis,

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 9

Page 11: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Tabel 2. Jumlah kasus kanker terbanyak berdasarkan lokasi dan umur di 17 rumah sakit di Jakarta tahun 1977.

Umur No. ICD

IX Lokasi 0 10– 20– 30– 40– 50– 60– 70– 80+ N.S.

Total

1. 180 Serviks Uteri – – 10 109 136 105 56 8 8 . 3 432 2. 162 Paru-paru 4 5 15 50 66 57 19 6 – 222 3. 155 Hati 3 4, 10 46 39 55 36 16 2 3 214 4. 174 Payudara 1 2 5 47 56 45 18 6 2 – 182 175

5. 147 Nasofaring 2 5 13 34 60 44 11 4 – – 173 6. 154 Rektum – – 6 18 17 19 17 5 – 2 84 7. 208 Lekemia 7 1-7- 16 8 18 8 5 4 – – 77 8. 200 Limfosarkoma 1 4 6 17 20 18 3 6 1 – 76

9. 183

dst Ovarium

7

10

9

18

15

6

1

1

67

10. 153 Kolon – – 9 7 5 10 11 6 2 – 50 Total 14 37 90 310 419 282 220 75 22 8 1577

N.S. : Not Specified (Tanpa keterangan). 2 Kanker payudara pada pria. 10 kasus terbanyak 1577 3 semua kasus = 2056 = 4 Tabel 3. Jumlah kasus kanker terbanyak berdasarkan golongan etnik

di 17 rumah sakit di Jakarta tahun 1977.

Etnik No. Lokasi

ICD IX Jawa Sumatra Cina Lain N.S. Jumlah

1. Cerviks Uteri 186 22 110 23 91 432 2. Paru-paru 99 23 50 10 40 2223. Hati 97 18 33 8 58 214 4. Payudara 49 8 18 4 103 182 5. Nasofaring 81 18 26 9 39 1736. Rektum 26 3 15 6 34 847. Lekemia 28 6 15 7 21 778. Limposarkoma 24 8 5 6 33 76

9. dst Qvarium

45

2

12

8

67

10. Kolon 6 3 14 – 27 50 Jumlah 641 111 1 298 73 454 1577

N.S. : Not Specified (Tanpa keterangan). 454 Tanpa keterangan = 29%.

III. Data Bagian Patologi Anatomik, dengan kurang lebih 35 variabel. Penelitian ini merupakan survei retrospektif untuk kasus-kasus kanker tahun 1977; 1978 dan 1979. Jumlah kasus yang terkumpul 24711 dengan perincian seperti tercantum dalam Tabel 5.

Jumlah kasus terbanyak di 10 lokasi dapat dilihat pada rabel 6. Pengisian formulir dinilai kurang, walaupun data mengenai laboratorium asal, tahun diagnosa, jenis kelamin, umur dan No.mor ICD dapat dilengkapi. Dari data ini masih dapat diketahui frekuensi relatif dan insidensi minimum di masingmasing daerah.

Suatu registrasi kanker population based pernah dilakukan oleh Suripto dkk. dari Universitas Gajah Mada Jogjakarta dengan Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan.

Tempat penelitian adalah Kotamadya Jogjakarta dan Kabu-paten Bantul. Semua Rumah sakit (6 buah) dokter praktek swasta, Puskesmas-puskesmas, Laboratorium patologi anato-mik (2 buah) dan fasilitas kesehatan lainnya diikutsertakan dalam penelitian ini.

Di Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul (26.641 jiwa) dilakukan survai dari rumah ke rumah terhadap semua penduduk dengan mengerahkan tenaga mahasiswa Fakultas Kedokteran tingkat akhir, dengan menggunakan formulir bagi semua orang yang diperiksa. Bagi penduduk yang dicurigai sebagai penderita kanker yang diketemukan di rumah sakit, puskesmas, praktek swasta dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan yang lain, disiapkan pula formulir tersendiri untuk diteliti lebih Ianjut. Pada mass persiapan diberikan penjelasan dan latihan cara pengisian formulir pada semua pelaksana registrasi ini.

Tujuan penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. menentukan insidensi di Kabupaten Bantul dan Jogjakarta 2. menentukan insidensi di Kecamatan Srandakan 3. menentukan insidensi secara intensif dengan mengikut

sertakan instansi formal dan informal. Hasil yang diperoleh selama 1½ tahun adalah 19 kasus

kanker baru di Kotamadya Jogjakarta dan 384 kasus di Kabu-paten Bantul. Dengan perhitungan ASR dikemukakan kesim-pulan sebagai berikut (Soeripte et al) .

Insidensi Aged Standardised Rate (ASR) kanker wilayah Kodya Jogjakarta dan Kabupaten Bantul (Hospital Based) mempunyai pola distribusi yang tidak berbeda dengan di Daerah Istimewa Jogjakarta.

Inidensi ASR kanker di Kecamatan Srandakan yang di-dapat dari survai Population Based mempunyai distribusi mendekati pola kanker di wilayah Kotamadya Jogjakarta dan Kabupaten Bantul (Tabel 7).

Studi intensif Population Based menunjukkan bahwa insidensi ASR yang didapat jauh lebih tinggi dari pada yang didapat dari studi Hospital Based (2 sampai 4 kali lebih tinggi). TAHUN 1983 REGISTRASI KANKER "PATHOLOGY BASED"

Formulir yang digunakan lebih sederhana sesuai petunjuk UICC (Lyon) yang terdiri atas 7 variabel , 1. nomor registrasi,

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 10

Page 12: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Tabel 4. Sepuluh jenis kanker terbanyak berdasarkan pekerjaan penerita di 17 rumah sakit di Jakarta tahun 1977. Jenis Pekerjaan

o. Lokasi I

bu R

Pak.

k

Swas-

t

Bu-

r

Pela-

j

Tani

Dok-

t

Lain-

l

N.S.

Jumlah

Serviks Ut i

162

14

21

– – – – 19

216

432Paru- – 3 2 . – – – 1 1 222Hati – 3 1 7 – – – 2 1 214Payudar 1 1 1 – – – – 1 1 182Nasofari – 2 2 – – 2 – 3 7 173Rektum – 8 7 2 – – – 2 6 84Lekemia – 8 9 – 9 6 4 77Limfosar

koma– 1

18 – 2 – 2 5

376

Ovarium 2 3 3 ; 3 67

0Kolon 2 – 2 – – – 3 4 3

950

Jumlah 205

152

123

15

11

21

3 117

930

1577N.S. : (Not Specified) Tanpa keterangan.

930 Tanpa keterangan : 59%. R.T.: Rumah tangga.

Semula, tujuan penelitian diharapkan dapat berlangsung

terus untuk memperoleh data kanker yang dapat dipergunakan antara lain mengetahui insidens mini-mum, frekuensi relatif, perubahan pola kanker dari tahun ke tahun, menentukan daerah dengan masalah kanker tertentu dan juga untuk mengetahui hasil usaha penanggulangan kanker di suatu daerah.

Dalam Tabel 8 dapat dilihat 10 lokasi kasus kanker terbanyak pada pria dan wanita. Pada 13 kasus tidak dicantumkan jenis kelaminnya. Jumlah semua kasus 6386 dan 13 kasus yang tidak dicantumkan jenis kelaminnya (6399).

Dui Surabaya baru diterima data satu triwulan, sebanyak 419 kasus, jika pada triwulan-triwulan berikutnya jumlah ka - .susnya sama karenayang belum diterima adalah 1257 (3 x 419). Dengan demikian

Tabel 6. Lokasi terbanyak pada _hasil registrasi tahun 1977–1979 dari 13 Laboratorium Patologi di Indonesia.

label S. Jumlah penderita kanker yang telah

diregistrasi pada laboratorium Patologi menurut tempat dan jenis kelamin pada tahun 1977 – 1979*

1977 1978 1979

oTempat P W P W P W Ju

mlahMedan 46 8

32

78

15

61

0139

4Padang 10 1 1 1 1 1 85Palemba 11 1 1 2 1 1 87Bandung 29 5 2 6 2 5 26Jogjakart 12 1 1 1 1 1 78Semaran 33 5 2 4 2 4 22Solo 28 1 1 2 1 3 94

Surabaya 51 9 3 6 3 6 23Malang 83 2 1 4 1 4 15Denpasar 11 1 9 1 1 1 85Ujung 11 1 1 2 2 4 12Manado 62 9 7 1 4 1 50Jakarta 10 1 1 1 1 1 84Jumlah 29

994

8292

8295

0343

4325

58524

711* Angka-angka ini adalah jumlah data dari 3 tahun. 2. jenis kelamin, 3. umur, 4. golongan etnik, 5. lokasi

kanker, 6. diagnosa patologi dan 7. sifat/penyebaran. Ikut serta dalam penelitian ini 15 Laboratorium Patologi

Ana tomik : 12 dari Fakultas Kedokteran Negeri, dan 3 Laboratoriurn Patologi Anatomik lain yang tidak terkait dengan rumah sakit pendidikan Fakultas Kedokteran Negeri. Ke 12 Bagian Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Negeri menjadi koordinator dalam pengumpulan data di wilayah masing-masing. Tidak semua laboratorium swasta ikutserta, yaitu dari laboratorium swasta Medan, Bandung, dan Ujung Pandang. Demikian pula tidak diperoleh data dari Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan

Laboratorium swasta di Jakarta.

o.Lokasi Jumlah Frekuensi

RelatifServiks uteri 4161 16,8% Payudara 3152 12,8%Kulit 1954 7,9%Nasofaring 1397 5,6%Limfosarkoma 1243 . 4,7%Ovarium din 1150 3,9%Limfe sekunder 960 3,7%Rektum dan 911 3,7%Hati . 900 3,6%Jaringan ikat .476 1,9%Lain-lain 8407 34,1% Jumlah 24711 100,0%

Tabel 7. Age Standardised Rate (ASR) Kanker di kecamatan Srandakan (Population Based) dibandingkan dengan ASR kanker di wilayah Kotamadya Jogjakarta dan Kabupaten Bantul (Hospital Based) di Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta 1980-1981.

ICD Lokasi ASR Kanker

di

ASR Kanker

Kodya

ASR Kanker

di kan Kabu

paten Jogjakart

aPria 147

Nasofaring ,

9,21 3,01 4,95

153 Kolon 9,21 2,08 0,85154 Rektu 9,13 3,94 3,11173 Kulit 18,26 4,54 4,70Wani

taKulit " 8,17 3,41 3,71

174 PayudWanit 24,55 13,97 6,67

180 Servikuteri 8,17 11,32 7,69

183 Ovariu 5,42 6,53 2,89

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 11

Page 13: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 12

Page 14: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Tabel 8. Registrasi kanker Pathology Based di Indonesia 1983 dengan 20 urutan terbanyak jenis kanker berdasarkan lokasi.

No. Lokasi Jumlah ICD

1052 754 532 505 406 307 257 247 191 189 145 142 127 106 103 92

180 174 .173 190 147 183 154 200 171 193 155 182 172 170 160 153

90 190 86 181

78 146

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19: 20.

Serviks uteri Payudara Kulit Limfe sekunder Nasofaring Ovarium Rektum Limfo sarkoma dst Jaringan ikat Tiroid Hati Korpus uteri Melanoma Tulang Hidung Usus besai Mata Plasenta Orofaring Kandung kemih 69 188

jumlah semua kasus dalam 1 tahun ada 7643 kecuali yang 13. Kanker terbanyak berdasarkan lokasi pada wanita ialah: serviks uteri (ICD 180) : 1052, payudara (ICD 174) : 754 dan ovārium (ICD 183) : 307. Pada pria urutannya ada-I'ah sebagai berikut : limfe sekunder (ICD '196) 306, nasofaring (ICD 147) : 287 dan kulit (ICD 173) : 285. (Tabel 9 dan 10). Hal yang menarik dari hasil registrasi ml antara lain ialah tingginya kasus nasofaring pada wanita yang menempati urutan pertama di Medan. Data dari Medan ini.belum termasuk data'laboratorium swasta.

Tabel 9. Registrasi kanker Pathology Based 1983 dengan 10 urutan

jenis kanker terbanyak berdasarkan lokasi pada wanita di Indonesia.

No. Lokasi Jumlah ICD

1. Serviks uteri 1052 180 2. Payudara wanita 754 1743. Ovarium 307 1834. Kulit 274 1735. Limfe sekunder 199 1966. Tiroid' 142 1937. Korpus uteri 140 1828. Nasofaring 119 1479. Rektum 117 154

10. Limfo sarkoma dst 103 200

Tabel 10. Registrasi kanker Pathology Based 1983 dengan 10 urutan jenis kanker terbanyak berdasarkan lokasi pada pria di Indonesia

No. Lokasi Jumlah ICD

1. Limfe sekunder 306 196 2. Nasofaring 287 1473. Kulit 258 1734. Limfosarkoma dst 144 2005. Rektum 140 1546. Hati 109 1557. Jaringan ikat 94 1718. Melanoma 64 1729. Hidung 59 160

10. Kandung kemih 59 188

KESIMPULAN

Secara keseluruhan terlihat bahwa (diluar kanker kulit) kanker serviks dan payudara masih merupakan kanker yang paling banyak diketemukan, baik dengan penelitian Pathology Based, Hospital Based maupun penelitian Population Based, sedang kanker nasofaring, termasuk dalam 5 jenis tumor ter-banyak. Tetapi ada perbadaan dalam urutan dari kanker hati pada penelitian Pathology Based dan Hospital Based. Pada penelitian Hospital Based kanker ini menempati urutan ke 3, sedang pada Pathology Based, kanker hati secara keseluruhan tidak termasuk dalam 5 jenis tumor terbanyak. Perbedaan ini tampak lebih nyata pada tumor ganas paru-paru, yang me-nempati urutan ke 2 di 17 rumah sakit di Jakarta, tetapi tidak termasuk dalam 10 jenis tumor terbanyak pada penelitian Pathology Based.

Mengingat keterbatasannya pada saat ini, penggunaan data penelitian Pathology Based harus dilakukan dengan hatihati.

Banyak hambatan dijumpai dalam upaya mengumpulkan data kanker ini. Bila penelitian tersebut akan ditingkatkan menjadi suatu registrasi, perlu adanya biaya yang memadai, kemauan dan kerjasama yang baik.

KEPUSTAKAAN

1. Didit Tjindarbumi dkk. Registrasi Kanker di Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo tahun 1975-1978. Rumah Sakit Ciptomangun-kusumo/Pusat Penelitian dan Pengembangan Radiologi, Jakarta 1980.

2. Soeripto dkk. Penelitian • Registrasi Kanker Population Based di Daerah Istimewa Jogyakarta. l,akultas Kedokteran Universitas Gajah Mada & Kanwil Departemen Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Jogyakarta. 1985

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 13

Page 15: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Karsinogen Kimiawi dan Mikokarsinogen

DR. Iwan T. Budiarso DVM., M.Sc *

Staf Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I, Jakarta

PENDAHULUAN

Telah diketahui, tubuh manusia atau hewan terdiri dari berbagai alat tubuh dan jaringan. Alat tubuh atau jaringan ter-sebut tersusun dari unit-unit yang sangat kecil, disebut sel. Sel-sel ini mempunyai fungsi yang berlainan, akan tetapi mereka memperbanyak jumlahnya dengan cara pembelahan yang sama. Dalam keadaan normal, proses pembelahan itu diatur sedemikian rupa sehingga jumlah sel barn yang dibentuk ada-lah sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan untuk menggantikan sel-sel yang sudah usang atau mati, agar bentuk alat tubuh atau jaringan tersebut tetap tersusun dalam proporsi yang seimbang dan serasi. Bilamana proses pembelahan sel itu menyimpang dan tidak dapat dikendalikan, akan menimbulkan pertumbuhan yang abnormal. Pertumbuhan abnormal ini disebut neoplasia atau tumbuh ganda. Penyebab dan/atau faktor-faktor penyelewengan proses pembelahan sel itu banyak macamnya, di antaranya yang sekarang sering diperbincangkan ialah yang disebabkan oleh bahan-bahan bersifat kimia dan mikotoksin. Karsinogen Kimiawi 1) Teer

Tahun 1775, Percival Pott dengan sangat jeli dalam peng-amatannya dapat menghubungkan bahwa karsinoma skrotum tukang pembersih cerobong asap rumah'adalah akibat debu jelaga cerobong yang menempel pada kulit skrotum, sehingga ia adalah orang yang pertama mengetahui tentang bahan karsinogenik.

Tahun 1918, Yamagiwa dan Ichikawa adalah tim peneliti pertama yang melaporkan bahwa bila teer dioleskan pada te-linga kelinci akan mengakibatkan karsinoma kulit.

Tahun 1933, Cook, Hewett dan Hieger dapat mengidentifi-kasikan bahwa 3,4 Benzopyrene adalah salah satu konstituen

Staf Peneliti/Dosen Part Time, Bagian Patologi Anatomi, Fakultas

Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta

karsinogenik yang terkandung di dalam teer. Tahun 1981 kelompok keija dari IARC/WHO melaporkan,

sampai mat ini telah ditemukan lebih dari 500 bahan yang bersifat karsinogenik pada hewan percobaan (IARC Mono-graphs on the Evaluation of the Carsinogenic Risk of Chemi-cals to Humans Volume 1 – 28). Walaupun tidak mungkin untuk mengekstrapolasikan hasil penelitian ini untuk meng-hitung risikonya terhadap manusia, akan tetapi ini adalah cukup betalasan untuk mengambil kesimpulan bahwa sesuatu bahan yang sudah menunjukkan sifat karsinogenik pada lebih dari satu jenis hewan percobaan, dapat juga bersifat karsinogenik pada manusia.

Antara 1971 dan 1981, kelompok kerja dari IARC telah dapat mengumpulkan berbagai data hasil penelitian mengeiiai beberapa jenis bahan kimiawi dan hasil ikutan industri yang dapat bersifat karsinogenik pada manusia. Data tersebut setelah dianalisis dan dikaji secara seksama, menunjukkan, dari jumlah 5672 bahan kimia yang dievaluasi ternyata 43 macam di antaranya diduga kemungkinan besar berhubungan erat dengan timbulnya kanker pada manusia. Ke 43 bahan tersebut terdapat dalam tabel yang terlampir. Kebanyakan bahanbahan tersebut di atas (label 1) diidentifikasikan berdasarkan padā penelitian epidemiologik atau laporan kasus. 2) Sakarin (Saccharin)

Sakarin adalah bubuk kristal putih, tidak berbau dan sangat manis, kira-kira 550 kali lebih manis dari pada gula biasa. Oleh karena itu ia sangat populer dipakai sebagai bahan pengganti gula.l

Tikus-tikus percobaan yang diberi makan 5% sakarin se-lama lebih dari 2 tahun, menunjukkan kanker mukosa kandung kemih (dosisnya kira-kira setara 175 gram sakarin sehari untuk orang dewasa seumur hidup).

Sekalipun hasil penelitian ini masih kontroversial, namun kebanyakan para epidemiolog dan peneliti berpendapat, sakarin memang meningkatkan derajat kejadian kanker kandung kemih pada manusia kira-kira 60% lebih tinggi pada para pemakai, khususnya p.ada lcaum laki-laki. Oleh karena itu,

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 14

Page 16: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Tabel 1 Chemicals. Groups of chemicals, industrial processes and occupational exposures associated with (or strongly suspected to be associated with) the induction of cancer in humans (compiled from Volume 1–28 of the IARC Monographs on the Evaluation of the -Carcinogenic Risk of Chemicvals to Humans).

I. Chemicals, group of chemicals, industrial processes and occupational

exposures that are carcinogenic for humans. -. 1. Aminobiphenyl 2. Arsenic and arsenic compounds 3. Asbestos 4. Auramino (manufacture of) 5. Benzene 6. Benzidine 7. N.N. Nis (2-chlorocthyl)–2 daphtylamina 8. Bis (chioromethyl) other and technical grade chloromethyl

methyl ether 9. Bood and shoe manefacture and repair (certain occupations) 10. Chromium and certain chromium compounds 11. Conjugated oestrogens 12. Diethylstilbestrol 13. The furniture and cabinet making industry (certain occu pations) 14. Haematite mining (radon?) 15. Isopropyl alcohol (manufacture of using the strong acid process) 16. Melphalan 17. Mopp 18. Mustard gas 19. 2 – Naphthylamine 20. Nickel refming 21. Rubber manufacturing industry (certain occupations) 22. Soots, tars and oils 23. Vinylchloride

II. Chemicals or groups of chemicals that are probably carcinogenic for humans SUB GROUP A – HIGHER DEGREE OF HUMAN EVIDENCE. 1. Alflatoxins 2. Azathioprine 3. Cadmium and certain cadmium compounds 4. Chlorambucil 5. Nickel and certain nickel compounds 6. Tris (1–aziridinyl) phosphine sulphide (thiotepa) 7. Treosulphan SUB GROUP B – LOWER DEGREE OF HUMAN EVIDENCE 1. Acryloritrile 2. Amitrc ie 3. Auraminc 4. Beryllium and certain beryllium compounds 5. Carbon tetrachloride 6. Dimethyl carbamoyl chloride 7. Dimethyl sulphate 8. Ethylene oxide 9. Iron dextran complex 10. Oxymetholone 11. Phenacetin 12. Polychlorinated biphenyls a. This table does not include known human carcinogens such an is

tobacco smoke, betel quid and alcoholic never a go since they have not yet been included within the Monographs diagramme.

b. Added by the secretariat subsequent to the ad hoc IARC Working Group held in January 1979.

c. Nitrogen mustard, vincristine and procarbasine. Food and Drug Administation (FDA), AS menganjurkan untuk membatasi penggunaan sakarin hanya bagi para penderita kencing manis dan obesitas. Dosisnya agar tidak melampaui 1 gram setiap harinya.'

3) Siklamat (Cyclamate) Siklamat adalah bubuk kristal putih, tidak berbau dan kira-

kira 30 kali lebih mains dari pada gula tebu (dengan kadar siklamat kira-kira 0,17%). Bilamana kactar larutan dinaikkan sampai dengan 0,5%, maka akan terasa getir dan pahit.2

Siklamat dengan kadar 200 u gram per ml dalam medium biakan sel leukosit dan monolayer manusia (in vitro) dapat mengakibatkan krbmosom sel-sel tersebut pecah. Tetapi hewan percobaan yang diberi sikiamat dalam jangka lama tidak me nunjukkan pertumbuhan ganda.

Barkin dkk., disiter oleh Reynolds dan Prasod melapor kan bahwa pada 3 orang laki-laki yang konsumsi sodium Siklamat dengan dosis 50–75 mg/kg bb setiap han selama 18 bulan sampai 6 tahun mengakibatkan kanker kandung kemth dan tumor multipel lain.

Di Inggris penggunaan Siklamat untuk makanan dan minum an sudah dilarang, demikian pula di beberapa negara Eropah dan Amerika Serikat. 4) Nitrosamin

Sodium nitrit adalah bahan kristal yang tak berwama atau sedikit semu kuning. ra dapat berbentuk sebagal bubuk, butir butir atau bongkahan dan tidak berbau. Garam mi sangat di gemari sebagai bahan p dan untuk mempertahankan warna ash daging serta memberikan aroma yang khas umpama nya seperti sosis, keju, kornet, dendeng, ham d11

Untuk pembuatan keju dianjurkan supaya kandungan sodium nitrit tidak melampaui 50 ppm, sedangkan untuk bahan pengawet daging dan pemberi aroma yang khas ber variasi antara 150 – 500 ppm.

Sodium nitrit adahah precursor dan nitrosamines, dan nitrosammes sudah dibuktikan bersifat karsinogenik pada berbagai jenis hewan percobaan. Oleh karena itu, pemakaian sodium nitrit harus hati-hati dan tidak boleh melampaui 500 ppm. Makanan bayi sama sekali dilarang mengandung sodium nitrit. 5) Zat Pewarna Sintetis

Dari hasil pengamatan di pasar-pasar ditemukan 5 zat pe-warna sintetis yang paling banyak digemari di Indonesia adalah warna merah, kuning, jingga, hijau dan coklat. Dua dari lima4 zat pewarna tersebut, yaitu merah dan kuning adalah Rhodamine-B dan metanil yellow. Kedua zat pewarna ini ter-masuk golongan zat pewarna industri untuk mewarnai kertas, tekstil, cat, kulit dsb. dan bukan untuk makanan dan minuman. -

Hasil penelitian Sihombing–Nainggolan dkk4,5 menunjuk-kan bahwa pemberian kedua zat warna tersebut kepada tikus dan mencit mengakibatkan limfoma. 6) Monosodium Glutamat

Monosodium glutamat (MSG) atau vetsin adalah penyedap masakan dan sangat populer di kalangan para ibu rumahtangga, waning nasi dan rumah makan. Hampir setiap jenis makanan masa kini dari mulai mil-milan untuk anak-anak seperti chiki, taro dan sejenisnya, mie bakso, masakan cina sampai makanan tradisional sayur asam, lodeh dan bahkan sebagian masakan padang sudah dibubuhi MSG/vetsin.

MSG/Vetsin pertama kali dilaporkan oleh DR. Hob dapat menyebabkan Chinese Restaurant Syndrome. Sejak itu bet-puluh-puluh laporan, baik bersifat anekdot maupun penelitian

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 15

Page 17: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

menunjang laporan tersebut.7,8,9

MSG/Vetsin secara konsisten mengakibatkan degenerasi dan nekrosi sel-sel neuron di dalam hipotalamus pada bayi mencit, tikus, kera dan ayaml0-18. Ia juga mengakibatkan retinopati pada mencit dan juga mengakibatkan degenerasi dan nekrosis sel-sel syaraf lapisan dalam retina secara in vitro19,20. Di samping itu, yang lebih penting dan berbahaya ialah bahwa hasil- pirolisa MSG/vetsin menghasilkan 2 zat kimia baru, yakni 2-amino 6 metil-dipirido-imidazole (Glu-P-1) dan 2 amino dipirido-imidazole (Glu-P-2)21. Kedua zat ini dibuktikan oleh Matsumoto dkk22 menyebabkan mutagenik dengan uji Ames pada strain Salmonella typhimurium TA 98.

Takayama dkk23 melaporkan, kedua zat tersebut dapat mengakibatkan terutama kanker koloh dan hati, di samping kanker ginjal, otak dan jaringan lemak pada tikus dan mencit. Micokarsinogen 1) Islanditoksin dan Luteoskirin

Setelah perang dunia II selesai, Jepang sebagai negara kalah perang terpaksa menerima bantuan dari negara tetangganya, dan beras- bantuan yang diterima Jepang seringkali kualitasnya kurang baik karena tercemar cendawan sehingga berwarna kuning, dan disebut dengan nama Yellow Rice Disease. Cendawan penyebabnya ialah Penicellium islandicum. Bilamana tikus-tikus diberi makan beras kuning ini, dalam waktu satu bulan saja akan mengalami radang hati. Bila dibiarkan terus makan lebih lama, setelah lewat 4 bulan banyak hewan percobaan tersebut mengidap kanker hati24.

P. Islandicum menghasilkan 2 macam metabolit beracun dan diberi nama masing-masing islanditoksin dan luteoskirin. Islanditoksin adalah siklopeptida yang mengandung gugusan khlorin (cyclochloretin). Toksin ini menyebabkan degenerasi perilobuler dan nekrosis pada hati. Sedangkan luteoskirin

adalah derivat hidroksiantrasinon dan mengakibatkan degenerasi lemak dan nekrosi sentrolobuler. Dan kedua-duanya dapat menimbulkan kanker hati. 2) Aflatoksin

Pada tahun 1960 di Inggris tiba-tiba dilanda suatu wabah keracunan, makanan pada peternakan ayam kalkun dan me-nelan korban tidak kurang dari 100.000 ekor. Lancaster dkk.25 menemukan, penyebabnya adalah racun cendawan Aspergillus flavus. Kemudian Nesbitt dkk.26 dapat mengisolir dan memumikan racun tersebut dan diberi nama aflatoksin. Aflatoksin terdiri dari 4 macam komponen, yaitu : B1, B2,,G 1 dan G2. Tiap-tiap komponen dapat dipisahkan satu sama lain secara murni. Aflatoksin B disebut demikian karena meman-carkan warna biru (blue) dan G karena bersinar hijau (green) bila disinari dengan sinar ultra-violet. Struktur kimianya terdiri dari inti counmarin yang disenyawakan dengan cincin bifuran.

Dari ke-4 komponen, BI adalah yang paling beracun dan juga bersifat karsinogen yang ekstrim. Bilamana 15 ppb (part per billion) B1 diberikan pada tikus, setelah 7–70 minggu akan timbul kanker , haM. Hampir semua hewan percobaan seperti bebek, kalkun, marmot, kelinci, anjing dan bahkan ikan sangat peka terhadap aflatoksin. Mencit pun dapat kena, akan tetapi ia jauh lebih resisten bila dibandingkan hewan lain.

Aflatoksin di samping dihasilkan oleh A. flavus, ia juga dapat dihasilkan oleh A. oryzea, A. ochraceus, A. niger, Peni-cillium pubarum dan rhizopus sp.

Dari hasil penelitian epidemiologi di Mosambik27, Swazi-lan28, Thailand29,30 dan Uganda menunjukkan, jumlah afla-toksin yang termakan penduduk berkorelasi positif dengan kejadian kanker hati. Umpamanya di Uganda di mana telah dikumpulkan 480 contoh makanan rakyat dan setelah dianalisa terhadap aflatoksinnya, 30% dari contoh tersebut adalah positif aflatoksin dan di antaranya 4% kadarnya melebihi 400 ppm (part.per million). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa distribusi kejadian kanker hati di antara penduduk berbanding lurus dengan derajat pencemaran aflatoksin di dalam makanan mereka. Di Indonesia, Pang31,32,33 telah melaporkan mengenai hubungan pencemaran aflatoksin dalam makanan terhadap kejadian kanker hati. Ia menyatakan, derajat kontaminasi racun ini berbanding lurus dengan kejadian kanker pada hati. Hasil analisa beberapa contoh bahan makanan yang dikumpulkan dad beberapa pasar di Bogor (Tabel 2) dan tempat lain (Tabel 3 dan 4) menunjukkan bahwa makanan yang mengandung aflatoksin kadarnya sering kali jauh melampaui safety margin. Safety margin di Indonesia belum diadakan, akan tetapi di negara-negara barat ditetapkan berkisar antara 5–20 ppb. 3) Sterigmatosistin

Mikotoksin ini dihasilkan oleh Aspergilies versicolor, A. nidurans dan Bipolaris sp. Racun ini kira-kira berkekuatan sepersepuluh aflatoksin. Hasil eksperimen menunjukkan, sterigmatosistin dapat menimbulkan kanker hati pada berbagai jenis hewan percobaan dalam waktu kira-kira 42 minggu, dengan dosis berkisar antara 0,3 sampai 0,5 mg/kg/hari 4.4) Patulin dan Penicillic Acid

Kedua mikotoksin ini dihasilkan oleh berbagai jenis Peni-cillium dan Aspergillus. LD 50-nya berkisar antara 10–25 mg/kg berat badan dan disuntikkan secara intravenus. Bilamana toksin ini disuntikkan dengan dosis berulang secara subkutan pada tikus, maka ia akan menimbulkan sarkoma di tern-pat bekas suntikan35

5) Rugulosin Mikotoksin ini dihasilkan Penicillium rugulosum dan P.

Brunneum36

Rumus bangun kimia dan sifat toksinnya mirip sekali luteoskirin yang dihasilkan P. islandicium. Bilamana diberikan pada hewan percobaan ia dapat menimbulkan kanker hati. 6) Griseofulvin

Griseofulvin adalah metabolit Penicillium griseofulvum. Ia berkhasiat sebagai antibiotika dan sampai sekarang ' masih di-gunakan sebagai obat pemberantas infeksi cendawan superfisial (superfical mycosis) terutama yang disebabkan trichophyta pada jari jari kuku. Di lain pihak ia juga bersifat mikokarsino-gen, karena bila disuntikkan secara subkutan atau dicampurkan dalam makanan dan diberikan pada mencit-mencit dalam jangka lama, akan menimbulkan kanker hati dengan incedence rate tinggi37,38. 7) Penicillium viridicatum

P. viridicatum strain Purdue di samping dapat mengakibat-

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 16

Page 18: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Tabel 2 Kadar Aflatoksin pada beberapa jenis Bahan Makanan & Jamu

Jenis Bahan Kadar Aflatoksin (ppb)*

1. Kacang tanah 40–4100 2. Oncom 5–1300 3. Tempe 0–28 4. Kecap 0–43 5. Tahu 0 6. Jamu 0–1190

t ppb = part per billion Data Label ini diperoleh dari Pusat Penelitlan dan Pengembangan Gizi, Sedan Litbang Kesehatan, Dep. Kes. Jalan Semboja, Bogor. Tabel 3 Kadar Aflatoksin pada kacang tanah, bungkil kacang, minyak kacang dan oncom Bandung*

Jenis Bahan Jumlah Contoh B1 G1

1. Kacang Tanah 20 180 353 2. Būngkil Kacang 20 126 174 3. Minyak Kacang 20 61 82 4. Oncom Mentah 39 67 120 5. Oncom Goreng 16 41 –

Tabel 4. Kadar Aflatoksin pada makanan asal kacang tanah*

Jenis Makanan Jumlah Contoh B1 G1

1. Kacang Goreng 4 0 0 2. Kacang Goreng Tepung 3 0 3

3. Enting-enting Kacang 2 170 93

4. Tauco 5 83 49 5. Pindakaas 3 13 0

* Data pada Tabel 3 dan 4 berasal dari laporan Joint FAO/WHO/ UNDP Cont. on Mycotxin. Kenyatta Center, Nairobi, Kenya 1977 kan hepatorenopati, bila ia dimakankan pada mencit-mencit dalam kadar rendah dan jangka panjang (52–55 minggu) akan menimbulkan adenoma dan adenokarsinoma pada paru-paru dengan incidence rate lebih dari 50%3? P. viridicatum. strain Purdue adalah tidak sama seperti strain Denmark, karena ia tidak menghasilkan okratoksin A,aflatoksin atau sterigmatoistin Jadi toksin yang dihasilkan strain Purdue pasti Jens ksin lain dan sampai sekarang belum diketahui identitasnya.

KESIMPULAN dengan hanya menyajikan beberapa contoh bahan kimia

rsinogenik, disamping bahan kimia industri lain, yang sehari- hari dipergunakan sebagai zat tambahan makanan (food Meditives) dan dipakai secara meluas di kalangan masyarakat banyak (karena harganya relatif sangat murah), maka bahaya dalam jangka panjang sudah dapat diramalkan. Untuk pen- cegahan hal ini, lembaga yang berwenang harus sudah berani

melakukan tindakan preventif mulai sekarang dan jangan menunggu-nunggu kalau sudah ada korban. Bahan-bahan kimia yang dikemukakan .umumnya adalah bersifat hepato-karsinogenik, jadi tidak mustahil dalam 2 dasawarsa yang akan datang kasus-kasus hematoma akibat food additives akan sangat meningkat.

Hal lain yang perlu diingatkan, cara pemakaian MSG/ vetsin yang sudah sangat meluas dan berlebihan pada saat ini perlu mendapat perhatian khusus, karena hasil pirolisa MSG menghasilkan 2 zat kimia barn; Glu–P–I dan Glu-P-2, adalah sangat mutagenik dan karsinogenik, khusus terhadap hati dan kolon, disamping terhadap ginjal, otak dan lain-lain.

Demikian pula dengan beberapa contoh tentang mikokar-sinogen, dapatlah dimengerti bahwa makanan yang diolah dan disimpan secara sembarangan akan dicemari oleh berbagai jenis cendawan. Hal ini disamping dapat membahayakan manusia dan ternak, ia jugs dapat mengakibatkān kerugian ekonomi dan man power yang besar.

Banyak kejadian tumbuh ganda di beberapa negara, khiisusnya di daerah tropik, yang dahulu tidak diketahui sebabnya, kemungkinan besar sekarang ialah akibat golongan mikotoksin, apabila kausa agen lain seperti bakteri, virus, kimia dan nutrisi sudah dapat disingkirkan.

Bilamana kita memperhatikan adat kebiasaan dan ke-gemaran di Indonsia akan makanan yang berasal daripada hasil proses peragian seperti tempe, oncom, tauco, tape, dan sebagainya dan hasil pengawetan makanan seperti trasi, ikan asin, dendeng dan sebagainya, dimana seringkali cara peng-olahannya begitu sederhana dan kurang memperhatikan soal kebersihan, sehingga tidak mustahil bahwa makanan dan hasil pengolahan tersebut tercemari oleh berbagai jenis cendawan saprofit. Begitu juga cara proses pengeringan dan penyimpanan hasil pertanian dan ikutannya seperti kacang tanah, bungkil kacang, kopra, bungkil kopra, gaplek dan sebagainya, biasanya kurang kering, sehingga bahan makanan yang demikian di-makan oleh manusia dan hewan dapat membahayakan kesehat-annya.

Dengan demikian bila penelitian dapat diarahkan ke bahan kimia khusus food additives dan mikotoksin, tidak mustahil dalam waktu yang tidak lama akan ditemukan, bahwa kelainan tumbuh ganda yang dahulu tidak tahu apa faktornya, sekarang mungkin dapat diterangkan.

KEPUSTAKAAN

1. Reynolds JEF and Prasad AB. Saccharin, dalam buku: Martindale the Extra Pharmacopocia, 28 th Ed. 1982. hal. 429 – 430.

2. Reynolds JEF and Prasad AB. Sodium Syclamate, dalam; buku: Martindale the Extra Pharmacopoeia, 28 ch, ed. 1982 hal. 430 – 431.

3. Reynolds JEF and Prasad AB. Sodium Nitrite, dalam buku: Martindale the Extra Pharmacopocia, 28 ch ed. 1982. hal. 392:

4. Sihombing G. .An Exploratory study on three Synthetie colouring matters commonly used as food colours in Jakarta. M.Sc. thesis. Seameo and Faculty of medicine, University of Indonesia, Jakarta, 1978.

5. Budiarso IT, Nainggolan Sihombing G, Oey Kam Nio. Kelainan Patologi Pada Mencit dan tikus disebabkan zat warn Rhodamine-B dan Metanil Yellow, Bulletin Penelitian Kesehatan, 1983; 11 = 36 – 43.

6. Ho Man Kwok R. Chinese restaurant sysdrome. New Engl J Med,

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 17

Page 19: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

1968; 278 : 296. 7. KenneyRA & Tridball CS. Human susceptibility to oral monosodium

glutamate. AM J Clin Nurt. 1972; 25 : 140–146. 8. Schaumburg hh & Byck R. Sin cib-syn Accent on glutamate. New Engl J

Med 1968; 279: 105. 9. Schaumburg HH, Byck, Gerstl R. & Mashman JH. Monosodium glutamate

: its Pharmacology and role in the chinese restaurant syndrome. Science, 1969; 163 : 828.

10. Burde RM, B & J. Acute effect of oral and subcutaneous administration of monosodium glutamate on the arcuate nucleus of the hypothalamus in mice and rats. Nature, 1971; 233s: 58 – 60.

11. Lemkey–Johnson N, Reynold WA. Nature and extent of brain lesions ingestion of monosodium glutamate. A light and electron microscope study. J neuropath Exp Neuro. 1974; 33 : 74–97.

12. Mushahwar IK. & Koeppe RE. The texiciy of monosodium glutamate in young rats. Biochem Biophys Acta, 1971; 244 : 318-321.

13. Onley JW & Sharpe LG. Brain lesion in an infant rhesus monkey treated with monosidium glutamate. Science, 1969; 166–386–388.

14. Onley JW. Brain lesions, obesity and other distrubances in mice treated with monosodium gluta mate. Science. 1969; 164 : 719–721.

15. Onley JW & Ho OL. Brain damage in infanct mice following oral intake of glutamate, aspartate or cysteine. Natural, 1970; 277 : 609–610.

16. Onley JW, Sharpe LG & Feigin RD. Glutamate–induced brain damage in infant primates. J Neuropath Exp Neuro, 1972; 31 : 464–488.

17. Robinson B, Snapir N & Perek M. Age–bependent sensitivity to monosodium gluta nate including brain damage in the chicken. Poultry Science. 1974; 53 : 1539 – 1542.

18. Snapir N, Robinson B & Perek M. Development of brain damage in the male domestic fowl injected with monosodium glutamate at five days of age. Path Europ. 1973; 8 : 265 – 275.

19. Lucas DR & Newhouse JP. The toxic effect of monosodium glutamate on the inner layers of the retina. AMA Opth, 1957; 58 : 193 – 201.

20. Onley JW. Glutamate–induced ratinal degeneration in neonatal mice. Electron microscopy of the acute evolving lesion. J Neuropath Expl Neuro. 1969; 28 : 455 – 474.

21. Yamamoto T. Tsuji K Kosuge T, et al. Isolation and Structure determination of mutagenic substance in L–glutamic acid pyrolysate, Prec, Japan Acad 54. Ser. B, 1978.

22. Matsumoto T Yoshida, D Migusaki S and Okamoto H. Mutagenic Activity of amino Acid Pyrolyrates in salmonella typhimurium TA 98. Mutation Research, 1977; 48 : 279 – 286.

23. Takaya S, Masuda M,-Mogami M, Ohgaji H, Sato S and Sugimura T. Induction of cancers in the intestine, liver and various other Organs of Rats' by feeding mutagens from glutamic acid pyrolysate. Gann 1984; 75 : 207 213.

24. Miyake M,. and Saito M. Liver injury and liver tumors induced by toxins of Penicillium islandicium Sopp. growing on yellowed rice. Dalam buku Mycotoxins in foods tuffs ED GN. Wogen the MIJ Press : 1965; Hal. 133 – 146.

25. Lancester MC, Jenkins FP and Philp JM. Toxicity associated with certain samples of groundnuts. Nature, 1981; 192 : 1095.

26. Nesbitt BFL, Kolly. A Toxic metabolites of Aspergillus flevus. Nature, 1962; 195 : 1063.

27. Van Rensburg SJ, Vander Watt JJ, Purchase P, Cuotinbo L and Markam fl. Primary liver cancer rate and aflatoxin in cake in a high area. So Afr Med J. 1974; 48 : 2508a–2508d.

28. Keen P and Martin P. Is aflatoxin carcinogenic in man The avidence in Swaziland. Trop Geog Med. 1971; 23 : 44–53.

29. Shank RC, Bourgeois CH, Keschamras N and Chedavimol P. Aflatoxins in autopsy specimens from Thai children with an acute disease of unknown aetiology, Fd Cosmet Toxicol, 1971; 9 : 501–607.

30. Shank RC, Bhamarapravati N, Gordon JE and Wogen GM. Dietery aflatoxins and human liver. cancer In Incidence of primary liver cancer in two municipal population of Thailand. Fd Cosmet, Toxicol 1972; 10 : 171 – 179.

31. Pang RTL, Purwokoesoemo SH and Karyadi D. Aflatoxin and primary cancer of liver in men. A study on 9 cases. Paper presen-

ted at the 4th Asian Pacific Conprase of Gestroenterologi, 5–12 Februaria. 32. Pang RTL, Huseini and Karyadi F. Aflatoxin and primary hepatic cancer

in Indonesia. Paper presented at the V World Congress of Gestroenterology, 13 – 19 October 1974, Mexico.

33. Pang RTL. Aflatoxin dalam epidemiologi karsinoma hati primer. Kertas kerja yang disajikan pada Simposium Nasional Kanker Saluran Makanan, Jakarta, 24 – 26 Nopember 1977.

34. Kurata H. Carcinogenic mycotoxin and sterigmatocyctin. Modern Media 1972; 18 : 546.

35. Dickens F and Jones HEH. Carcinogenic activity of series of reactive lactones and related substaances, Brit J Cancer, 1961; 51: 85.

36. Breen J. Studies in the biochemistry of microorganisme. XIV. Rugulasin a crustalline coloring matter of Penicillium rugulosum. Biochem J. 1955; 60 : 618 – 626.

37. - Epstein SS, Andreas J, Joshi S and Mantel N. Hepato carcinogenicity of griseofulvin following parenteral administration to infanct mice. Cancer Res 1967; 27 : 1900.

38. Hurst EW and Paget GE. Protoporphyrin, cirrhosis and hepatoma in the livers of mice givin griseofulvin. Brit J Derm. 1963; 75:105.

39. Zwicker GM and Carlton WW. Prolonged administration of Penicillium viridicatum to mice Prelimanary report of carcinogenicity. fd. Cosmet Toxicol. 1973; 11 : 989 – 994.

40. Forgac .1 and Carll WT. Mycotoxicoses, Adv Vet Sci,1962; 7 : 273-382. 41. Greenberg SR. The Vascular effect of monosodium glutamate. Am J Clin

Nutr, 1973; 26 : 1 – 2. 42. Shibata S and Udagawa S. Metabolic products of fungi. XII Isolation of

rugulosin from Penicillium brunneum Udegawa. Chain. Pharm Bul. 1963;11: 402 – 403.

Ucapan Terima Kasih. Penulis mengucapkan ban yak terima kasih kepada Bapak Kepala

Bagian Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, yang telah menyediakan dana untuk pengumpulan rufukanrujukan untuk penulisan naskah inf.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 18

Page 20: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Kanker Payudara pada Wanita

di Beberapa Rumah Sakit di Jakarta

Dra. Reflinar Rosfein, MSc Staf Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN

Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang penting dibandingkan dengan kanker lain yang banyak terdapat pada wanita.

Di Amerilca Serikat, menurut the American Cancer Society Inc. dalam tahun 1957 terdapat 22.459 wanita yang meninggal karena kanker payudara dan pada tahun 1958 terdapat 60.000 yang menderita kanker tersebut. Dalam tahun 1980 lebih dari 108.000 wanita didiagnosa menderita kanker payudara dan lebih dari 35.000 wanita meninggal disebabkan kanker tersebut.

Angka insidensi kanker payudara (carcinoma mammae) yang umurnya telah disesuaikan dengan penduduk dunia (age-adjusted world insidence) tidak sama pada semua negara; seperti di Hawaii,Manitoba, Connecticut, 60 per 100.000 pen-duduk wanita, dan di Jepang di bawah 20 per 100.000 pen-duduk.

Kematian karena kanker payudara yang paling tinggi adalah di Inggris, Belanda, Irlandia, Americka Serikat, sedangkan di Asia Tenggara angka kematian rendah, kurang dan 10 per 100.0001.

Di Uni Soviet, kanker payudara wanita pada tahun 1979 menduduki urutan kedua terbanyak2, dan di Singapura me-rupakan urutan pertama dari 10 kanker terbanyak pada wanita3.

Di Indonesia angka insidensi kanker yang sesungguhnya belum diketahui dengan pasti, namun data yang telah dikum-pulkan di Rumah Sakit-Rumah Sakit besar menunjukkan pe-ningkatan prevalensi 2–8% penderita kanker setahun4.

Hasil penelitian yang diadakan oleh Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular (d/h. Pusat Penelitian Kanker dan Radiologi), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di 17 Rumah Sakit di Jakarta tahun 1977 menunjukkan, kanker payudara menduduki urutan kedua dari 10 kanker terbanyak pada wanitas .

Data kanker payudara di beberapa Bagian Patologi Anatomi

dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 : Data kanker payudara pada wanita di beberapa Pusat Patologi Anatomi

Urutan Terbanyak No. Pusat Patologi

Anatomi Tahun 1 2 3 4

1. FK-UNAND Padang 1978 1 – – – 2. FK-UI Jakarta 1968–1976 1 – – –3. FK-UNHAS Ujung 1977–1981 1 – – –

4.Pandang FK-UNPAD Bandung

1970–1973

1

5. FK-UNDIP Semarang 1977–1981 – 1 – –6. FK -UNBRAW Malang 1977–1981 – 1 – – 7. FK-UGM Yogyakarta 1970–1973 – 1 –8. FK-UNUD Bali 1977–1979 1 – –9. FK-UNSTRATManado 1977–1981 – 1 – –10. FK-USU Medan 1977–1981 – – – 1

Data tersebut di atas hanya menggambarkan frekuensi

relatif kanker payudara pada wanita dan belum menggambar-kan keadaan sebenarnya di masyarakat. Sampai saat ini belum diketahui penyebab yang pasti kanker payudara, tetapi David et. al menyebutkan beberapa faktor yang berhubungan dengan etiologi kanker antara lain suku bangsa, status perkawinan, umur melahirkan anak pertama, riwayat keluarga, status sosial ekonomi, obesitas, usia haid pertama dan tumor jinak payu-dara6.

Penelitian yang pernah diadakan di negara-negara lain, se-cara deskriptif, studi kasus kontrol (retrospektif) dan prospek-tif, menunjukkan faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan terjadinya kanker payudara antara lain ialah hormonal, reproduktif, genetik/riwayat keluarga, riwayat tumor jinak payudara, radiasi pengion, trauma payudara, terpapar pada zat-zat karsinogenik, virus, obesitas dan status sosial ekonomi.

Maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mempelajari apakah faktor-faktor tersebut juga mempengaruhi wanita Indonesia.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 19

Page 21: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui beberapa faktor

yang berhubungan dengan terjadinya kanker payudara pada wanita dan faktor-faktor mana yang penting. Definisi kasus

Kasus adalah semua penderita kanker payudara yang di-kumpulkan atas dasar pemeriksaan klinik dan patologi anato-mik baik yang dirawat maupun berobat jalan dan yang masih hidup serta bertempat tinggal di wilayah D.K.I. Definisi kontrol

Kontrol adalah penderita wanita yang pernah sakit penyakit lain tetapi bukan kanker payudara yang sedang dirawat atau berobat jalan di bagian bedah rumah sakit-rumah sakit tersebut. Penderita dijodohkan menurut umur dengan interval 5 tahun dan jenis kelamin. Bahan dan Metoda

Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol yang dilakukan di 12 rumah sakit di Jakarta dengan data yang di-kumpulkan antara Januari 1984 – Juli 1985. Perhitungan jumlah sampel dipakai rumus Two Sample Case Study' .

Setelah dilakukan perhitungan jumlah sampel yang diperlukan berdasarkan penelitian terdahulu, maka jumlah sampel minimum untuk masing-masing kelompok kasus dan kontrol sebanyak 194 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara melalui penggunaan kuesioner. Analisa data dilakukan dengan Odds ratio, Mc Nemar Chi Square Test dan regresi ganda binair menurut Feld-stein.

HASIL PENELITIAN Dari Bagian Medical Record di 12 Rumah sakit (Januari

1984 - Juli 1985) diperoleh sebanyak 236 kasus. Kasus yang berhasil ditemui di lapangan hanya - 77 orang (32,6%). Pen-derita yang tidak berhasil ditemukan karena rtieninggal dunia 87, pindah alamat 32, tidak dikenal sama sekali oleh Rt. 38 dan tidak bersedia diwawancarai 2 orang. Untuk melihat karakteristik sampel yang "hilang" dilakukan pengujian me-nurut umur, agama dan pekerjaan, dengan uji Chi Square. Hal ini penting supaya sampel yang diperoleh dapat ,digeneralisir untuk seluruh sampel. Karakteristik kasus yang ditemukan dan "hilang" menurut umur, agama dan pekerjaan dengan uji Chi Square tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.

Dari hasil uji kemaknaan Mc Nemar's test dari 15 faktor yang diuji dan diperkirakan mempunyai hubungan atau pe-ngaruh yang bermakna terhadap terjadinya kanker payudara ternyata hanya ada 4 faktor saja (Tabel 2) yaitu : 1. Umur antara 18–35 tahun mempunyai risiko tinggi dari-

pada umur melahirkan di bawah 18 tahun. 2. Riwayat keluarga yang pernah menderita kanker payudara. 3. Riwayat menderita tumōr jinak payudara, 4. Riwayat pernah mengalami radiasi pengion. Selanjutnya dilakukan analisa regresi ganda binair (Full model, α = 0,05). Hasil yang menunjukkan mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian kanker payudara adalah : 1. Usia melahirkan anak 18–35 tahun 2. Riwayat trauma 3. Riwayat tumor jinak 4. Radiasi pengion

Juga dilakukan perhitungan nilai ajusted rate, dan adjusted

ratio dari masing-masing variabel bebas berdasarkan nilai koefisien regresi yang diperoleh untuk melihat dengan jelas pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap terjadinya kanker payudara.

Tabel 2 : Hull Analisa Odds ratio dan Uji Mc Memar Untuk Seluruh Variabel Penderita Kanker Payudara Wanita Dari 12 Rumah sakit di Jakarta 1984–1985

Keterangan Risiko No. Varlabel

Rendah Tinggi odds Ratio

(Range) X2

1. Menarche > 13 th < 13 th 0,67

(Umur haid I) (0,24–1,9) 0,27

2. Status Kawin Tak kawin 2,33Perkawinan (0,60–8,99) 0

3. Melahirkan Pemah Tak pernah 1,67anak (0,60–4,63) 0,56

4. Jumlah anak Banyak Sedikit 0,7 (0,35–1,30) 0,74

5. Usia <18 th 18–35 th 5melahirkan (3,31–7,55) 4,08*

6. Usia 18–35 th > 35 th 1melahirkan (0,14–7,10) 0

7. Menyusukan Ya Tidak 1,25 (0,50–3,14) 0,06

8. Pil KB Tidak Ya 1,375 (0,55–3,41) 0,21

9. Operasi Ya Tidak 1indung telur (0,32–3,13) 0

10. Riwayat Tidak ada Ada 8Keluarga (1,00–64,0) 4*

11. Tumor Tak pernah Pernah 5,2 payudara (2,00–13,6) 12*

12. Obesitas Negatif Positif 1,13 (0,42–2,85) 0

13. Sosial Rendah Tinggi 0,94ekonomi (0,47–1,87) 0

14. Trauma Tak pernah Pernah 0,71 (0,23–2,22) 0,08

15. Radiasi Tak pernah Pernah 0,34 (0,18–0,65) 10,03*

* = Bermakna.

PEMBAHASAN Dari 12 Rumah Sakit jumlah kasus yang tercatat dari

catatan medik sebanyak 236 penderita kanker payudara dan yang ditemui_ sebanyak 77 kasus dan cukup representatif untuk jumlah sampel minimum.

Dari 15 variabel dalam penelitian ini hanya 4 variabel yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian kanker payudara yaitu :

1) Usia melahirkan anak pertama merupakan salah satu faktor terjadinya kanker payudara.

Dari perhitungan adjusted rate dan ratio dari nilai-nilai koefisien regresi, dapat dilihat, melahirkan anak pertama pada umur 18–35 tahun mempunyai risiko 2,15 kali lebih besar dari pada yang melahirkan anak pertama pada usia di bawah 18 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulus.

Sastrawinata dan Bratakoesoema9 menemukan, perkawin-an dan kehamilan pada usia di bawah 18 tahun mengakibatkan antara lain : anemia, hipertensi, meningkatnya frekuensi partus lama, meningkatnya frekuensi partus buatan dan tinggi-

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 20

Page 22: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Tabel 3 : Perhitungan Adjusted Rate dan Ratio dari Koefisien Regresi Penderita Kanker Payudara Wanita di 12 Rumah Sakit di Jakarta 1984-1985

Variabel . n1 bl Jl. b1n1Jl. b1n1

N (3)–(5)

AdjustedRate = Crude

Rate + 6

Ratio

1 2 3 4 5 6, 7 8

Haid pertama X14 = 1

15

–0,3917

–5,8755

–0,0382

–0,3535

0,1465

0,27 X34 = 0 139 0 0,0382 0,8382 Status perkawinan X 1 = 1

10

0,0435

–0,435

0,0029

0,0424

0,0424

1,10 X1 = 0 144 0 –0,0029 0,4971 Melahirkan anak X15 = 1

18

0,4622

8,3196

0,0542

0,4082

0,9082

2,02 X15 = 0 136 0 –0,054 0,45 Jumlah anak X2 = 1 56 0,028 5,7568 0,0374 0,0654 0,0654 1,22

X2 = 0 98 0 –0,0374 0,4626 Usia melahirkan 18–35 tahun X3 = 1

119 0,3041 36,1879 0,2349 0,0692 0,8382 2,15

0,0701 –0,2382 X3 = 0 35 0 –0,2349 0,265 1 Usia melahirkan > 35 tahun X4 = 1

2

]

0,2546

0,5092

0,0033

0,2513

0,7513

1,51 X4 = 0 152 0 –0,0033 0,4967 Menyusukan anak X5 = 1

24

0,2202

–5,2848

–0,0343

–0,1879

0,3121

0,67 X5 = 0 130 0 –0,0343 0,4657 Makan pil X6 = 1

21

–0,0106

–0,2226

–0,0145

–0,0915

0,49085

0,98

X6 = 0 133 0 +0,0145 0,50145 Operasi indung telur X7 = 1

142

–0,0206

–2,9252

0,019

–0,0016

0,4984

0,96 X7 = 0 12 0 0,019 0,519 Riwayat keluarga X11 = 1

11

0,1834

2,0174

0,0131

0,1703

0,6703

1,38 X11 = 0 143 0 –0,0131 0,4869 Tumor jinak X12 = 1

35

0,4390

15,365

0,0998

0,3392

0,8392

2,10

X12 = 0 119 0 –0,0998 0,4002 Obesitas X10 = 1 .

17

0,1862

3,1654

0,0206

0,1656

0,6656

1,39

X 10 = 0 137 0 –0,0029 0,4794 Sosial ekonomi X9 = 1

91

–0,0598

–5,44186

0,0353

–0,0245

0,4755

0,89

X9 = 0 63 0 +0,0353 0,5353 Trauma X8 = 1

14

–0,3391

–4,7474

–0,0308

–0,2983

0,2017

0,38

X8 = 0 140 0 +0,0308 0,5308 Radiasi pengion X13 = 1

65

–0,3001

19,5065

–0,1267

–0,1834

0,3166

0,51

X13 = 0 89 0 +0,1267 0,627

Keterangan : Crude rate = 15477 = 0,5

n l = frekwensi faktor penyebab ke/adian kanker payudara. b1 = nilai regresi masing-masing faktor Jl. b1n1 = /umlah b1 dikalikan n1N = jumlah seluruh kejadian kanker dan kontrol 154 orang. nya angka kematian pada ibu. Dari penelitian ini diperoleh juga hasil ibu-ibu yang melahirkan di atas 35 tahun mempunyai risiko kanker payudara lebih rendah 1,51 kali, melahirkan pada usia 18-35 tahun risiko 2,15 kali. 2) Riwayat menderita tumor jinak payudara merupakan faktor terpenting untuk terjadinya kanker payudara pada wanita dibandingkan variabel-variabel lainnya(Tabel 3). Dari perhitungan adjusted rate dan ratio, terlihat, wanita yang pernah menderita tumor jinak payudara mempunyai risiko 2,10 kali lebih besar daripada wanita yang tak pernah menderita tumor jinak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di luar negeril . 3) Trauma pada payudara memberi kontribusi kurang lebih 34% terjadinya kanker payudara bila nilai variabelvariabel independen lainnya tetap (koefisien regresi -0,3391). Dalam penelitian ini ternyata trauma memperkecil risiko terjadinya kanker payudara, hal ini mungkin karena dari hitungan adjusted rate dan ratio wanita yang pernah mendapat trauma pada payudara mempunyai risiko 0,38 kali lebih kecil daripada wanita yang tidak pernah mendapatkan trauma. Akan tetapi para ahli m_asih berbeda pendapat tentang hal ini, bahwa trauma dapat memperbesar risiko terjadinya kanker payudara'' . Mungkin definisi operasional trauma kurang tepat dan jelas karena trauma bisa berbentuk macam-macam. 4) Radiasi pengion memberikan kontribusi kurang lebih 30% terjadinya kanker payudara bila nilai variabelvariabel lainnya tetap (koefisien regresi -0,30001). Dari perhitungan adjusted rate dan ratio, bahwa wanita yang pernah mendapat radiasi pengion mempunyai risiko 0,51 kali lebih kecil untuk mendapatkan kanker payudara daripada wanita yang tidak pernah diradiasi. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian di luar negeri, di mana kenaikan frekuensi kanker payudara barn terlihat setelah masa laten kurang lebih 16 tahun12. Dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kasus dan kontrol, karena tidak diketahui kapan penderita dan kontrol diradiasi dan berapa kali. KESIMPULAN

Dari 12 Rumah sakit jumlah kasus yang tercatat dari catatan medik sebanyak 236 penderita kanker payudara dan yang ditemui.sebanyak 77 kasus.

Hanya ditemukan 4 faktor yang.terbukti mempunyai hubungan yang bermakna terjadinya kanker payudara, yaitu usia melahirkan anak, riwayat menderita trauma payudara, riwayat tumor jinak payudara dan riwayat radiasi pengion.

KEPUSTAKAAN

1. Doll R, Muir C, Waterhouse J. Cancer incidence in five

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 21

Page 23: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

1. continents. Vol IL Springer-Verlag Berlin-Heidelberg-New York, 1970.

2. Parkin DM, M. Smans cs Muir, Cancer Incidence in the US SR, International Agency for Research on Cancer Lion, 1962, Edited in Lyon.

3. Shanmugaratnam KHP, Lee & NE Day W. Davis. Cancer Incidence in Singapore 1958-1977.

4. Hoepoedio, RS. Penanggulangan kanker terpadu, Medika, Nomor 4, Tahun 11, April 1985.

5. Saleh, Soekoyo. Registrasi kanker di 17 Rumah Sakit di Jakarta Tahun 1977, Pusat -Penelitian Kanker dan Radiologi Badan Peneli- tian dan Pengembangan Kesehatan.

6. David, L. Levin, et. al. Cancer Rates and Risks, 2nd ED. US. De- partment of Health, Enducation and Welfare Public Health Service. National Institutes of Health, 1974.

7. Sutrisna, Bambang MHS. Kuliah Epidemiologi Penyakit Kronis Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia 1984.

8. Mac Mahon, et al. Age at First Birth and Breast Cancer Risk, Bull World Health Org. 1970, 43, p. 208.

9. Sastrawinata, Sulaiman dan Dinan S. Bratakoesoemah. Faktor-

faktōr dan Implikasi dari perkawinan dan kehamilan pada wanita muda usia di •Indonesia, ditinjau dari sudut kesehatan ibu. IAKMI. Jakarta, 1982.

10. Commbs LJ, Lilienfeld AM. A prospective study of the relation- ship between benign breast diseases and breast carcinoma. Prev Med 1979; 8 : 40-52.

11. Lane-Claypon JE. A futher report on cancer of the breast, with special reference to its assosiated antecedent condition. Report on the Ministry of Health, London, No. 32, 1926.

12. Tokunaga M Norman JE, Asano M et al. Malignant breast tumors among atomic bomb survivor, Hiroshima and Nagasaki. J. Natl Cancer Inst 1979:62 : 1347-1359.

Ucapan terima kasih

Terima kasih ban yak saya ucapkan kepada Dr. Suriadi Gunawan, DPI!, Kepala Pusat penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Litbang Kesehatan, kepada DR. ,Bucharl Lapau, Dr. Bambang Sutrisna, MHSc yang telah memberi izin dan membimbing saya sehingga penelitian ini dapat terlaksana, dan juga kepada seluruh staf FKM-UI, serta semua pihak yang telah membantu saya sampai selesainya penelitian ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 22

Page 24: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Pengukuran "Output" Radiasi Pesawat Radioterapi

pada Rumah Sakit di Seluruh Indonesia

Wasono Sumosastro*, Mulyadi Rachmad** *) Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Departemen Kesehatan RI, Jakarta. **) Badan Tenaga A torn Nasional, Pusat Dosimetri dan Standardisasi.

PENDAHULUAN

Radioterapi, dewasa ini hampir digunakan dalam peng-obatan kanker dan mempunyai daya penyembuh cukup tinggi jika digunakan secara tepat dan dalam stadium dini. Sebagian besar penderita kanker di negara-negara berkembang jenisnya radiosensitif dan banyak pasien mendapat manfaat. Maka, radioterapi merupakan satu keharusan dalam program penyakit kanker.

Pengobatan- kanker dengan radioterapi diperlukan upaya untuk memperoleh hasil secara maksimal, dengan komplikasi sekecil mungkin. Faktor-faktor yang perlu diketahui secara tepat, ialah distribusi dosis, laju dosis, fraksi penyinaran, lama pengobatan, macam jaringan/organ, volume tumor dan kualitas radiasi.

Pengobatan kanker dengan radioterapi perlu data output (keluaran) radiasi yang tepat dari setiap pesawat yang diguna-kan dan ini diperoleh melalui kalibrasi (peneraan) dengan menggunakan dosimeter yang telah diukur terhadap alat acuan tingkat nasional.

Pesawat radioterapi di Indonsia pada saat ini ada tiga jenis,. 1) sinar–X, 2) teleterapi gamma dan 3) accelerator (Linac).

Pesawat radioterapi sinar–X, menurut energi yang dihasil-kan ada 2 jenis 1) sinar–X dengan energi rendah, (10 – 125 KV) ini disebut kontak terapi dan, 2) sinar–X energi menengah, (125 – 300 KV) dan dinamakan sinar–X orthovoltage.

Menurut jenis isotop sebagai sumber sinar gamma, pesawat telerapi gamma ada dua jenis: 1) teleterapi Co–60 dengan energi gamma, 1,33 Mev dan 1,17 Mev. dan 2) teleterapi Cs–137. dengan energi gamma : 0,662 Mev. Linac merupakan pesawat radioterapi tercanggih di Indo-

nesia, yang dapat menghasilkan. dua macam radiasi bertenaga tinggi secara bergantian, yaitu elektron dan sinar–X.

Pesawat teleterapi Co–60 dan Cs–137 setiap tahun terjadi penyimpangan/error sebesar 5%. Selzab itu perlu di kalibrasi setiap 6 bulan. Pesawat sinar–X penyimpangannya lebih besar lagi, maka perlu dikalibrasi sekurang-kurangnya satu bulan sekali.

Penyimpangan output radiasi pesawat teleterapi Co–60 dan Cs–137 terjadi karena . a. Geometri dari isotop berbentuk silinder, bukan bola. b. Berkas radiasi yang digunakan ialah berkas terkolimasi. Penyimpangan yang terjadi pada pesawat sinar–X disebabkan oleh umur tabung pesawat yang menyebabkan berkurangnya arus elektron dari filament akibat pemanasan terus-menerus.

Problema yang dihadapi oleh fasilitas-fasilitas radioterapi di Indonsia, ialah tidak dilakukan kalibrasi rutin, tidak ada sarana dosimeter yang terkalibrasi dan tidak tersedianya ahli yang mampu melakukan kalibrasi. Maka, dipertanyakan apakah selama ini tidak terjadi penyimpangan dosis penyinaran?

Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu dilakukan pengukuran output radiasi terhadap semua pesawat radioterapi di rumah sakit-rumah sakit yang memiliki fasilitas radioterapi.

CARA PENGUKURAN Pengukuran keluaran radiasi setiap pesawat radioterapi

harus disesuaikan dengan kondisi tabel penyinaran yang ada di setiap fasilitas, misalnya, Kv, mA, filter, jarak sumber ke per-mukaan fantom (SSD), dan luas lapangan.

• Pengukuran Output Radiasi Pesawat Sinar–X Orthovoltage Nilai output radiasi yang dihasilkan pesawat sinar–X ber-

energi menengah (orthovoltage), digunakan bagan eksperimen seperti di bawah ini s (Lihat Gambar 1)

Selama pengukuran tabung detektor diletakkan di dalam air. Penyinaran dilakukan pada kondisi harga KV, mA, filter dan SSD, seperti tercantum pada tabel penyinaran yang ada

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 23

Page 25: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Gambar 1. Skema pengukuran keluaran radiasi untuk pesawat radio- terapi sinar X berenergi menengah.

a = pusat sumber b = fantom' air sebagai medium tempat pengukuran c = posisi tabung detektor ionisasi dalam fantom air d = Iarak antara permukaan fantom air dengan tabung detektor SSD = jarak sumber/pesawat dengan permukaan fantom air pada fasilitas bersangkutan. Pengukuran dilakukan sekurang-kurangnya 3 kali ulangan. Pada awal dan akhir pengukuran dicatat kondisi temperatur, tekanan dan kelembaban udara. Data tersebut digunakan untuk menetapkan nilai faktor koreksi Kpt dan fh pada hasil bacaan alat ukur. Kpt = faktor koreksi perbedaan temperatur dan tekanan

udara tempat pengukuran output radiasi dengan tem- pat mengkalibarasi tabung detektor

fh = faktor koreksi perbedaan kelembaban udara tempat pengukuran keluaran radiasi dengan tempat meng- kalibrasi tabung detektor.

• Pengukuran Keluaran Radiasi pesawat radioterapi Cobalt- 60 dan Caesium-137

Pengukuran output radiasi pesawat radioterapi Co-60 dan Cs-137 digunakan bagan eksperimen seperti Gambar 1.

Penyinaran tabung detektor dilakukan dengan dua variasi, yaitu 1) luas lapangan dan 2) SSD. Pengambilan luas lapangan dan SSD disesuaikan dengan tabel penyinaran yang tersedia.

Pengukuran keluaran radiasi dilakukan 3 kali ulangan. Pada awal dan akhir pengukuran dilakukan pencatatan tem-peratur, tekanan dan kelembaban udara. Data ini digunakan untuk menetapkan nilai faktor koreksi Kpt dan fh pada hasil pembacaan ukur.

• Pengukuran Keluaran Radiasi Pesawat Radioterapi LINAC Pesawat Linac menghasilkan berkas radiasi elektron yang

dipercepat atau foton sinar–X bertenaga tinggi. Sebelum me-lakukan pengukuran output perlu diketahui berkas mana akan diukur, karena cara pengukuran kedua berkas tersebut tidak sama, dalam metode maupun peralatan yang digunakan untuk pengukuran.

Sebelum dilakukan pengukuran, perlu dilakukan pengece-kan energi berkas, apakah sama dengan energi berkas pada panel kontrol. Jika terdapat perbedaan maka perlu dilakukan penyesuaian energi dengan memutar tombol pengatur.

Pengecekan energi foton yang dihasilkan pesawat Linac, perlu dilakukan pengukuran dosis pada kedalaman 10 dan 20 cm dalam fantom air. Dari hasil pengukuran ini ditetapkan nilai perbandingan D10/D20-nya, lalu dicari energi fotonnya melalu kurva D10/D20 vs energi foton.

Pengukuran energi foton dilakukan pada 3 buah pesawat Linac, 1 pesawat Varian di RS Gatot Subroto dengan energi foton 10 MV dengan pengukuran pada SSD = 100 cm dan luas lapangan 10 x 10 cm2 dan 2 buah pesawat Linac -di RSCM (Mevatron 74 dan Mevatron 60), dengan energi foton 10 MV

dan 4 MV dengan pengukuran pada SSD = 80 cm dan luas lapangan 10 x 10 cm2.

Pengecekan energi berkas elektron pada pesawat Mevatron . 74 di RSCM dilakukan pada energi 5 Mev, 6 Mev, 7 Mev dan 8 Mev, dan dilaksanakan dalam medium fantom fleksi glas dengan cara menentukan bentang (range) energi elektron di dalam fantom tersebut. Dari bentang energi elektron tersebut, ditetapkan energi elektron rata-rata dengan menggunakan rumus Ro . (Z/A)eff = 0,285 Eo-0,37 dan E = Eo–3,51 . (Z/A)eff . tRo = jangkauan energi elektron makstmum (range energy) dalam

fantom padat (cm). (Z/A)eff = perbandingan harga efektif Z dengan A medium fantom padat. E = energi rata-rata elektron (Mev) Eo = energi elektron pada permukaan fantom padat (Mev) t = kedalaman elektron pada permukaan fantom padat (cm).

Sedangkan pada pesawat Linac Varian di RSGS tidak dapat dilakukan pengukuran energi berkas elektron maupun nilai keluarannya, karena kondisi pesawat dalam keadaan rusak.

Penetapan. nilai keluaran berkas radiasi foton sinar–X bertenaga tinggi dipergunakan metode seperti pesawat sinar–X orthovoltage, hanya saja ada sedikit perbedaan,. yaitu letak tabung detektor di dalam fantom air. Pada berkas foton dengan tenaga kurang dari 11 MV, dilakukan pengukuran pada ke dalaman detektor 5 cm di bawah permukaan fantom air. Sedang untuk berkas foton dengan energi 11 MV s/d 25 MV dan 26 MV s/d 50 MV dilakukan pengukuran pada kedalaman detektor 7 cm dan 10 cm.

Penetapan nilai keluaran berkas elektron dari pesawat Linac dilakukan pengukuran dosis serap pada energi elektron

5 Mev, 6 Mev, 7 Mev dan 8 Mev. Pengukuran nilai keluaran, tabung detektor diletakkan pada kedalaman 9 mm untuk energi elektron 5 Mev, 11 mm untuk energi elektron 6 Mev, 15 mm untuk energi elektron 7 Mev dan 166 mm untuk energi elektron 8 Mev.

PEMBAHASAN A. Pesawat Sinar–X

Harga output hasil pengukuran dari pesawat di Rumah Sakit Cikini lebih kecil dari tabel penyinaran karena umur tabel penyinaran lebih dad 5,5 tahun.

Menurut Waldeskog dan Seelentag, pesawat sinar-.X dapat merubah nilai keluaran lebih dari 5% per tahunnya. Karena itu dianjurkan agar pesawat sinar–X selalu dikalibrasi (minimal) sekali dalam satu bulan. Data hasil kalibrasi tersebut digunakan untuk penyusunan tabel penyinaran pesawat yang bersangkutan.

Perubahan nilai keluaran pada pesawat sinar--X terjadi akibat umur tabung pesawat, yaitu target makin lama makin aus, akibat ditembaki elektron berkecepatan tinggi, dan ber-kurangnya arus filamen dari proses pemanasan yang terus-menerus. B. Pesawat Caesium–137 a) Hash pengukuran keluaran radiasi dari pesawat Caesium-137 di Rumah Sakit Elisabeth, Medan, Rumah Sakit Yauri Yusuf Putra, Ujung Pandang dan Rumah Sakit Cikini, Jakarta, nilai keluaran lebth kecil dari pada tabel penyinaran. Menurut buku acuan Waldeskog dan Seelentag, untuk pesawat radio-

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 24

Page 26: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

terapi Co-60 dan Cs-137 dalam satu tahunnya dapat merubah nilai keluaran kurang dari 5%, ternyata hasil nilai perbedaan yang ditimbulkan pada 3 Rumah Sakit tersebut di atas melebihi 5% per tahun.Kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut 1. Penyusunan tabel penyinaran tidak,didasarkan pada data

hasil pengukuran tetapi hanya secara perhitungan, dengan menggunakan nilai faktor koreksi peluruhan isotop sewak- tu penginstalasian pesawat, atau nilai faktor koreksi peluruhan isotop berdasarkan data sertifikat.

2. Penyusunan tabel mungkin dilakukan dari data hasil peng-ukuran keluaran pesawat, tetapi dalam pengukurannya menggunakan tabung detektor dengan masa kalibrasi yang telah kadaluwarsa.

3. Pengukuran nilai keluaran pesawat mungkin tidak meng-gunakan metode yang baik, dengan menggunakan faktor- faktor koreksi yang dapat mempengaruhi hasil selama di lakukan pengukuran..Seperti di Rumah Sakit Cikini Jakarta, di man dalam 10 bulan saja telah te,jadi perbedaan nilai keluaran antara hasil pengukuran dengan tabel penyinaran antara 22,3% s/d 99,5%.

b) Untuk Rumah Sakit Umum Surakarta, Rumah Sakit Dr. Sutomo dan Rumah Sakit Dr. Sardjito, nilai keluaran hasil pengukuran lebih besar dari nilai keluaran tabel penyinaran. Ke jadian ini mungkin disebabkan oleh penyusunan tabel penyi naran yang tidak benar, yaitu menyusun tabel penyinaran dad data hasil pengukuran, dengan menggunakan tabung detektor yang telah kadaluwarsa masa kalibrasinya. C. Pesawat Cobalt-60

Dari hasil pengukuran keluaran pesawat radioterapi Co-60 di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang dan Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya, data keluaran pesawat menurut tabel pe-nyinaran pada kedua rumah sakit tersebut, lebih besar dad data hasil pengukuran.

Hal ini mungkin disebabkan oleh : 1. Dalam melakukan pengukuran untuk menyusun tabel pe

nyinaran, tidak pernah dilakukan koreksi temperatur, te-kanan dan kelembaban udara, karena pada setiap fasilitas radioterapi tidak tersedia barometer, termometer dan hygrometer.

2. Mungkin sebab yang lain adalah kondisi pengukuran yang tidak benar, misalnya dalam menentukanjarak antara pusat sumber dengan detektor, posisi detektor dalam medan radiasi, jarak sumber dengan dinding/lantai sewaktu peng-ukuran keluaran pesawat dan juga pemakai data faktor kali-brasi untuk kondisi luas medan yang bervariasi kurang diperhatikan.

D. Pesawat Linac Pada pengukuran energi berkas, baik berkas foton maupun

elektron, ternyata berkas foton pada pesawat Varian (RSGS) din Mevatron 74 (RSCM), terdapat kesamaan. energi antara energi foton hasil pengukuran dengan energi foton pada panel kontrol pesawat, yaitu sebesar 10 MV. Sedang untūk peng-ukuran energi foton pada pesawat Mevatron 60, diperoleh energi foton yang tidak sama antara hasil pengukuran (3 MV) dengan panel kontrol (4 MV).

Pengukuran energi berkas elektron pada pesawat Mevatron

74, didapat energi elektron hasil pengukuran tidak sama de-ngan energi elektron pada panel kontrol.

Pengukuran keluaran radiasi (baik radiasi foton maupun elektron), diperoleh nilai keluaran yang tidak sama antara hasil pengukuran dengan tabel penyinaran. Perbedaan energi berkas (baik foton ataupun. elektron) dan juga nilai keluaran pesawat antara hasil pengukuran dengan panel kontrol/tabel penyinaran, disebabkan oleh adanya perubahan nilai frekuensi gelombang radio penggetar elektron dalam tabung pemercepat elektron, sebagai akibat tidak dipenuhinya persyaratan tern-peratur bagi pesawat tersebut. KESIMPULAN

Untuk mendapatkan nilai keluaran pesawat yang benar, perlu dilakukan pengukuran keluaran pesawat dengan meng-gunakan cara/metode yang baik serta menggunakan tabung detektor yang telah terkalibrasi dan niasa kalibrasinya masih berlaku. Disamping itu, perlu disediakan peralatan barometer, termometer dan hygrometer untuk dipakai menentukan faktor koreksi udara tempat pengukuran; Data tabel penyinaran sebaiknya disusun dari data hasil pengukuran. Pengukuran keluaran pesawat, untuk pesawat sinar–X sebaiknya dilakukan satu minggu sekali, pesawat caesium dan Cobalt satu bulan sekali dan pesawat linac sebelum digunakan untuk penyinaran. Fasilitas-fasilitas radioterapi hendaknya memiliki alat pengukur (dosimeter) sendiri dan harus selalu dikalibrasi ulang. Di samping itu tempat penyimpanan dosimeter perlu mendapat perhatian yang serius, agar terjamin keandalan dari alat tersebut.

Page 27: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Penelitian Radiasi dan Kesehatan

C.J. Sugiarto Danusupadmo Badan Tenaga Atom Nasional, Pusat Standardisasi Penelitian Kesehatan Radiasi, Jakarta.

PENDAHULUAN

Sumber radiasi pengion utama yang memapari penduduk adalah

• Radiasi latar alamiah, dengan dosis seluruh tubuh ~ 100 mrem/tahun (= 1 mSv/tahun), sedang pada individu tertentu dosisnya bervariasi dalam fungsi altitude maupun latitude. Terdiri dari ~ 30% radiasi kosmik, ~ 30% radiasi tanah (k-40, nuklida anak uranium dan torium), dan ~ 40% unsur radioaktif penyusun tubuh manusia (BEIR, 1980). • Radiasi buatan manusia natara lain dipakai dalam ke-

dokteran, fasilitas nuklir dan industri tertentu, pekerjanya secara profesi terpapari radiasi boleh jadi melampaui dosis latas beberapa kali lipat (BEIR, 1980) (Tabel4). • Radiasi dan radionuklida akibat ledakan nuklir, pe-

perangan dan uji cobi. HASIL DAN PEMBAHASAN

Masalah yang dihadapi di Indonesia

Masalah yang dihadapi di Indonesia, yang berhubungan dengan keselamatan adalah : • Instalasi penelitian dan industri nuklir

Penggunaan radiasi maupun radionuklida dalam penelitian (Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi = PAIR; Pusat Penelitian Teknik Nuklir = PPTN; Pusat Penelitian Nuklir Yogyakarta = PPNYJ dan operasi reaktor serta produksi isotop di pusat industri nuklir Serpong, Pusat Reaktor Serba Guna = PRSG; Pusat Elemen Bahan N.uklir = PEBN; Pusat Produksi Radio-isotop = PPR; Pusat Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif = PTPLR), sudah diatur sehingga paparan radiasi berlebih dan cemaran radionuklida sangat kecil.

Apabila terjadi kecelakaan nuklir, khususnya yang berkaitan dengan kompleks RSG di Serpong dan Pusat-pusat pendukungnya, perlu mendapat perhatian khusus, sehingga keadaan darurat nuklir tersebut dapat diatasi. Kecelakaan nuklir yang mungkin terjadi adalah:

Tabel 1 : Paparan radiasi terhadap rata-rata anggota penduduk di Amerika Utaxa akibat beberapa aktivitas hldupnya. (MARKO, 1982).

Aktivitas Dosis radius rata-rata dalam mrem/th

Satu kali naik pesawat jet p.p./ tahun Washington – San Pransisco Hidup kurang dari 500 km dad stasiun pembangkit daya berkekuatan 1000 MW dengan bahan bakar batu bara Menggunakan fosfat di USA untuk – pupuk – bahan bangunan Mengunakan mated radioaktif untuk jarum jam, keramik, detektor asap Menggunakan alat elektronik mis. TV

3,0

0,1

0,0004 0,2

1,0 1,0

Tabel 2 : Paparan radiasi rata-rata pada epitel bonkhus (MARKO,. 1982)

Sumber radiasi Dosis radiasi rata-rata dalam mrem/tahun

Sinai kosmik Radiasi tanah (terestrial) Menghirup nuklida anak radon – 5 jam/hari di luar rumah – 19 jam/hari di dalam rumah K–40 dan radionuklida intern lain

31 32 0,005 WLM 0,16 WLM 25

Total 88 mrem + 0,165 WLM

WLM = "Working level month" ditentukan dalam fungsi konsentrasi nuklida anak randon dalam udara, penghiru pan udara yang mengandung nuklida anak radon yang setara dengan >3,7 Bq randon/1 oleh pekerja dewasaselama 170 jam.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 26

Page 28: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

1. Kegagalan operasi reaktor Umpamanya gangguan pada pendinginan salah satu pe-

rangkat elemen bahan bakar terjadi, mengakibatkan terlepasnya sejumlah kecil radionuklida. 2. Gangguan produksi isotop

Dapat terjadi karena kegagalan pengambilan Mo–99 dan hasil fisi lainnya dari U–235 di hot cell, sehingga sejumlah radionuklida hasil fisi akan terlepas. Andaikata pada saat yang sama sistem penyaring ventilasi tidak berfungsi, maka sejumlah radionuklida akan keluar, khususnya radionuklida yang lamban, yodium dan partikel lainnya. 3) Kegagalan operasi pengolahan limbah

Dapat terjadi karena kegagalan antara lain akibat tangki evaporasi mengalami kebocoran atau pecah. 4) Kegagalan operasi fabrikasi elemen bakar.

Dapat terjadi karena terjadi reaksi fisi spontan dalam waktu singkat sehingga menghasilkan radiasi gamma dan neutron. Secara keseluruhan fabrikasi elemen bakar tidak melepaskan radionuklida hasil fisi atau buatan. Keduanya tidak memberi dampak yang berarti secara ekstern, tetapi dampak radiasi intern cukup tinggi. 5) Kegagalan pengangkutan limbah radioaktif.

Kecelakaan dapat terjadi pada pengangkutan limbah cair, sehingga zat radioaktif sebagian terlepas ke udara (aerosol/gas) dan sebagian lain tersebar pada permukaan atau meresap ke dalam tanah. Tabel 3 . Paparan rata-rata radiasi dari unsur-unsur radioaktif pe- nyusun tubuh (MARKO, 1982).

Radionuklida Dosis radiasi dalam mrem/ tahun

Sumsum

T 0,5 (dalam tahun) Sumsum Gonad

K-40 (primordia) U-238 (primordia) 1,3 x 109 27 15

dart niklida anak Th-232 (primordia) 4,5 x 109 19 15

dan nuklida anak 14,0 x 109 7 1,4Rb-87 (primordia) 60,0 x 109 0,4 0,8C-14 (kosmogenik) 5700 2,2 0,5Na-22 (kosmogenik) 2,6 0,002 0,02H3 (kosmogenik) 12 0,001 0,001

Tabel 4 : Paparan radiasi (di atas latar) yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas (MARKO, 1982)

Paparan rata-rata radiasi pertahun (negara-negara barat)

Pekerjaan seluruh tubuh

(mrem) Epitel bronkhus

(WLM)

Pekerja tambang uranium Pckcrja tambang bukan uranium Pckcrja reaktor nuklir Pekcrja industri arloji yang menggunakan tritium Pekerja litbang nuklir Penerbang jet dan awak pesawat Radiografi industri Pekerja medik (radiologi, terapi, kedokteran nuklir)

1000 rendah 600 – 1000 400 – 1500 100 – 750 250 – 500 40 – 600 10 – 500

1 – 4 0,4 – 4

– – – –

– Dari tabel, paparan. < 5 rem = 5000 mrem/th, artinya sesuai dengan ketentuan ICRP.

Aplikasi dalam kedokteran dan industri Menurut data yang dikumpulkan para inspektur BATAN

(sebagai Ahli Proteksi Radiasi) pada rumah sakit-rumah sakit yang melakukan radioterapi sering terdapat kekurangan dalam hal: 1) Fasilitas (ruangan sinar X yang kurang luas, dinding kurang tebal atau dengan bahan bangunan yang kurang memadai, flow of personnel dan pasien tidak memenuhi syarat), dan sebagainya. 2) Personil: kenyataannya para Petugas Proteksi Radiasi adalah para operator pesawat itu sandhi yang kurang memenuhi persyaratan teknis. Sehingga perlu ada medical/hospital physicist yang khusus. 3) Peralatan, khususnya peralatan keselamatan (survey meter, alat ukur output) pada umumnya tidak ada.

Timbul pertanyaan, apakah sampai demikian jauh belum ada keluhan dari para petugas pekerja radiasi?

Dari kalangan pasien yang memperoleh radioterapi apakah tidak timbul ekses, atau apakah ekses tersebut hanya dianggap sebagai risiko yang tidak dapat dihindarkan?

Tetapi dari sudut pandang proteksi radiasi, kiranya, bila ada, hārus mendapat perhatian yang cukup.

Dalam hubungan ini, kerjasama antara BATAN – DEP-KES dalam Komisi Karma yang sudah ada perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar, sehingga dapat berhasil guna, di-samping status radiologi yang lebih ditingkatkan.

Aplikasi dalam industri adalah: penggunaan torium oksid dalam produksi kaos lampu, krom radioaktif untuk studi hidrologi (pendangkalan pelabuhan, arus sungai, erosi, air tanah, air dam), radiografi (uji talc merusak) dalam industri.

Sekalipun para petugas sudah dilatih dan diberitahu per-aturan-peraturan yang harus ditaati, tetapi kecelakaan karena kelalaian pernah terjadi sehingga harus dijaga agar tidak ter-ulang lagi. Industri non-nuklir

Diketahui bahwa fosfat alam yang diimpor dari Maroko, USA, yang digunakan dalam produksi pupuk mengandung radioaktivitas, begitu pula batubara. Penghirupan debu fosfat, khususnya dalam bentuk tepung gips dan radon dari batubara oleh para pekerja perlu mendapat perhatian. Sumber lain = Radioaktivitas alam

KESIMPULAN 1. PSPKR khususnya dan BATAN umumnya tetap beranggap-

an, keselamatan pekerja radiasi dan penduduk harus secara berkelanjutan diperhatikan, sekalipitn telah ada peraturan-peraturan yang mencoba mengurangi paparan radiasi sampai batas yang serendah-rendahnya.

2. Kerjasama BATAN–DEPKES–DEPNAKER sangat diperlu-kan sekali.

KEPUSTAKAAN

1. BATAN--PPIN. Pedoman penanggulangan kedaruratan nuklir di RSGLP di kawasan Puspitek Serpong, 1987 p. 73

2. Committee on The Biological Effects of Ionizing Radiations (BEIR). The effects on population of exposure to low levers of ionizing radiation. Washington: Nat Acad Press 1980 p. 524.

3. Marko AM (ed). Biological effects of ionizing radiation. AECL, 1982.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 27

Page 29: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Penelitian Bidang Radiologi di Indonesia

Marnansjah Daini Rachman, Sudarmo S. Purwohudoyo

dan Iwan Ekayuda Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Penelitian berperanan sangat panting dalam usaha mening-katkan kesejahteraan manusia. Bila dibandingkan kehidupan beberapa puluh tahun yang lalu dengan kehidupan sekarang dirasakan ada perbedaan yang besar sekali.

Beberapa puluh tahun yang lalu life expectancy di berbagai negara rata-rata antara 40 – 50 tahun, tetapi sekarang di negara-negara maju life expectancy naik sampai di atas 70 tahun.

Sebelum tahun 1930, apabila seseorang menderita luka infeksi, kemungkinan besar ia meninggal karena septikemia, karena belum ada obat yang dapat membunuh kuman-kuman patogen. Dengan ditemukannya sulfonamide tahun 1932 dan penisilin tahun 1928, maka penderita septikemia dapat ter-tolong.

Penghidupan manusia terus makin sejahtera, tetapi masih juga banyak masalah yang menyebabkan penderitaan. Hal ini terasa sekali di negara-negara berkembang. Untuk mengatasi-nya diperlukan orang-orang yang cerdas, berdedikasi, penuh tanggung jawab, kreatif dan inovatif yang diberi tugas melak-sanakan penelitian untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut di atas. Dan disinilah terletak tantangan yang dihadapi oleh para peneliti.

Di dalam bidang kedokteran dan kesehatan, khususnya bidang radiologi masih banyak hal yang harus diselidiki dan dikembangkan.

Lloyd. menulis sebagai berikut : "Research is mental, laboratory work is the lesser important step in research. Creative thinking, the conceiving of a new idea, is the essence of research".

Penelitian dimulai di otak, bukan di perpustakaan maupun di laboratorium. Penelitian dimulai dengan observasi suatu fenomena yang menimbulkan suatu pertanyaan. Berdasarkan pertanyaan ini kemudian disusun suatu hipotesis atau beberapa hipotesis, yang merupakan dasar untuk menyusun suatu rancangan percobaan. Setelah kita memilih rancangan per-cobaan yang paling sesuai, kita mulai melakukan eksperimen-eksperimen untuk mengumpulkan data. Data yang terkumpul ditata secara sistemik dan diolah secara statistik. Berdasarkan

data ini dibuatlah suatu interprestasi sehingga dapat ditarik kesimpulan yang menunjang atau menolak hipotesa yang telah dibuat. Seorang peneliti yang baik harus mempunyai daya kreativitas atau inovasi yang kuat.

Kreativitas adalah suatu proses mental, proses berfikir yang mengakibatkan timbulnya berbagai macam ide-ide dengan gagasan-gagasan yang orisinil.

Inovasi adalah aplikasi praktis dari gagasan-gagasan sehingga menghasilkan produk-produk atau cara kerja yang lebih efisien. Sebagai contoh : orang yang sangat kreatif adalah Leonardo da Vinci, ia sekaligus seorang seniman, ahli mate-matika, pelukis dan pemahat, ahli teknik mekanik dan seorang pemikir.

Orang-orang Jepang adalah inovatif, tetapi kurang kreatif. Mereka mengambil ide-ide yang dicetuskan oleh dunia barat dalam berbagai produk misalnya alat potret, mobil dan lain-lain. Melalui proses inovasi, mereka dapat menghasilkan pro-duk-produk yang lebih sempurna, praktis, lebih mungil, lebih efisien dan lebih murah.

Penelitian di bidang radiologi di Indonsia masih dalam taraf permulaan, karena terbatasnya tenaga peneliti, fasilitas radiologi, fasilitas alat-alat peneliti radiologi dan dana yang tersedia.

Salah satu program Tri Darma Perguruan Tinggi adalah penelitian, dan banyak aktivitas penelitian yang dilakukan oleh ahli bidang radiologi baikyang bekerja di fakultas-fakultas kedokteran negeri atau swasta.

Data dikumpulkan dengan bekerjasama Ikatan Ahli Radio-logi Indonesia (IKARI)–Pusat, untuk menelaah hasil penelitian dalam bidang ilmu radiologi sebagai bahan analisa dan tolok ukur dalam penyusunan makalah ini. MATERI DAN METODA

Telah disusun kuesioner singkat dan dibagikan ke seluruh ahli radiologi di Indonesia untuk mendapat data penelitian serta dilakukan wawancara para ahli-ahli dan peneliti radiologi, khususnya di fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Dalam angket kuesioner diperinci jabatan peneliti dalam 6 kelompok, yaitu :

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 28

Page 30: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

A. Ahli Radiologi : – Bidang radiodiagnostik – Bidang radioterapi – Bidang ultrasonografi – Bidang kedokteran nuklir – Bidang CT-Scan dan imaging lainnya.

B. Ahli fisika C Penata rontgen D. Tenaga dokter bukan ahli radiologi E. Tenaga paramedis bukan penata rontgen F. Tenaga lainnya Penelitian tersebut dibagi dalam 3 kelompok : a. Penelitian yang sudah dilaksanakan b. Penelitian yang sedang dilaksanakan c. Penelitian yang akan dilaksanakan. Setiap penelitian diperinci dengan mencantumkan : 1. Judul penelitian 2. Katagori penelitian yang meliputi :

Radiodiagnostik (d) Radioterapi (Th) Kedokteran Nuklir (KN) Ultrasonografi (U) CT-Scan dan imaging (CT)

3. Peneliti dan asisten peneliti 4. Jabatan peneliti; baik di fakultas Kedokteran atau di rumah

sakit-rumah sakit lainnya 5. Jumlah dana yang dibutuhkan 6. Sumber keuangan 7. Kendala (hambatan-hambatan) 8. Keterangan tambahan lainnya. HASIL PENGUMPULAN DATA

Responden diambil secara acak sebanyak 200 orang. Responden adalah orang-orang yang diduga melakukan peneli-tian di bidang radiologi.

Sistem pengumpulan data dilakukan 3 macam, yaitu : a. Dengan sistem angket kuesioner b. Dengan sistem wawancara, baik wawancara berhadapan

muka atau melalui telepon c. Kombinasi sistem a & b.

Angket kuesioner dikirimkan melalui pos pada urinal 5 September dan-tanggal 27 September 1987 mendapat jawaban kembali. Karena jawaban yang kembali hanya 35 buah, maka dilakukan teknik wawancara, khususnya terhadap responden yang berada di Jakarta.

Sistem pengumpulan data kombinasi (c) hanya dilakukan di Jakarta tanggal 1 Oktober 1987 sampai 8 Oktober 1987 dengarl jawaban 20 responden.

Dari 200 responden yang dihubungi, jawaban yang diterima kembali 87 responden (43,5%), di mana responden yang meiakukan penelitian 39 responden (29,5%) dan yang tidak memkukan penelitian 58 responden (24%). Dari 39 kelompok peneliti dapat dibagi menjadi 2 kelompok : a Penelitian yang dilakukan sendiri (peneliti tunggal) : 12 bran& b. Penelitian yang dilakukan berkelompok : 27 kelompok. Analisa dari jabatan peneliti baik peneliti tunggal maupun pe-neliti kelompok :

– Ahli radiologi 36 orang – Dokter spesialis lainnya 12 orang – Dokter umum, termasuk asisten ahli radiologi 18 orang – Penata rontgen 8 orang – Ahli fisika 2 orang – Tenaga paramedis lainnya 4 orang – Lain-lain 2 orang

Jabatan peneliti utama umumnya ahli radiologi, sedangkan asisten peneliti adalah dokter spesialis, dokter umum, pinata rontgen, ahli fisika, tenaga paramedis dan tenaga-tenaga lain. Jenis penelitian, dibagi 2 kelompok, yaitu : a. Penelitian retrbspektif b. Penelitian prospektif.

Dari 39 kelompok peneliti telah dilaporkan 154 penelitian, baik yang sudah, sedang dan akan dikerjakan, di mana peneliti-an dalam bidang radiodiagnostik dan bidang radioterapi men-dapat perhatian cukup banyak. KENDALA Kendala yang sering dikemukakan responden adalah : 1. Masalah tenaga peneliti dan asistēn peneliti :

a. waktu terbatas b. peminat penelitian kurang c. pengetahuan metode penelitian masih kurang d. tenaga pengunjung pasien terbatas.

2. Masalah manajemen & fasilitas : a. terbatasnya fasilitas penelitian seperti : film rontgen

habis, peralatan yang rusak, zat kontras terbatas, zat radioaktif sukar didapat dli.

b. data pasien (medical record) tidak lengkap c. administrasi rumah sakit kurang memadai.

3. Masalah penderita : a. penderita tidak mau melakukan pemeriksaan ulang

(kontrol) b. penderita kontrol tidak teratur c. penderita tidak sanggup membayar biaya pemeriksaan d. alamat penderita berubah-ubah, sehingga menyulitkan

kontrol ulang. 4. Masalah dana :

a. kurang tersedia dana penelitian b. penghentian dana sebelum proyek selesai c. kurang informasi mengenai pusat-pusat yang menyedia-

kan dana d. penderita minta imbalan dana e. dana penelitian pribadi terbatas.

5. Sumber dana : Sumber dana responden didapat dari :

a. Dana pribadi 62% b. W.H.O 4% c. Litbang P & K 9% d. Litbang DepKes 5% e. Fakultas Kedokteran setempat 10% f. BATAN 4% g. Sponsor lainnya (Perusahaan Film, dll) 6%

PEMBICARAAN Tinjauan hasil-hasil penelitian

Dari 200 responden yang memberikan jawaban kembali 87, mungkin karena formulir yang dikirim tidak/terlambat sampai

.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 29

Page 31: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

ke alamat responden. Sebagian responden yang tidak melakukan penelitian tidak

membalas kuesioner. Dari 87 responden ada 39 yang melaku-kan penelitian baik sebagai peneliti tunggal maupun peneliti berkelompok. Dari seluruh hasil penelitian radiodiagnostik dan radioterapi lebih banyak diteliti dibandingkan dengan kedokteran nuklir, ultrasonografi dan CT-Scan, karena fasilitas-fasilitas masih sangat terbatas. Ultrasonogrrafi meskipun sudah banyak, tetapi penempatan alat tersebut di Bagian Radiologi belum banyak dilakukan, terutama di rumah sakitrumah sakit swasta.

Penelitian restrospektif sebanyak 84,41% sisanya 15,59% penelitian prospektif. Dari 62% dana adalah dana pribcdi, karena keterbatasan dana ini hanya penelitian retrospektif yang dapat dilakukan. Karena ini cukup murah, sebab hanya menganalisa film rontgen dari filing yang telah ada.

Kendala-kendala (hambatan) yang ditemukan antara lain ialah: 1) Tenaga peneliti, khususnya dalam bidang ilmu radiology

masih sangat kurang, karena harus merangkap tugas-tugas lain seperti tersurat dalam konsep Tridarma Perguruan Tinggi.

2) Manajemen (pengelolaan) dan fasilitas penelitian masih ter-gantung pada rumah sakit-rumah sakit baik bagi alat-alat biaya untuk maintenence pesawat dan pembelian maupun tenaganya,. sehingga prioritas penelitian menempati urutan kedua.

Untuk lebih meningkatkan pengorganisasian yang rapi antara lain mencakup 3 aspek yaitu : a. Bagian yang menghimpun para pemikir supaya melahirkan

ide-ide baru yang segar. b. Bagian yang menghimpun para pekerja laboratorium dan di

lapangan. c. Bagian yang mencari dana. Materi penelitian adalah pasien yang umumnya golongan ekonomi lemah yang banyak yang sering tidak disiplin untuk melakukan kontrol ulang, dan alamatnya berubah-ubah dan lain-lain. Untuk mengatasinya perlu dicarikan jalan keluar ter-sendiri. Dana merupakan suatu kendala yang cukup berat, terlihat dari banyak ,proyek penelitian yang menggunakan dana pribadi dengan nilainya tidak sampai 1 juta rupiah. Sedangkan penggunaan dana dari sumber-sumber lain masih sangat terbatas, karena : informasi yang disampaikan pada peneliti sangat sedikit atau keterbatasan dana dari lembagalembaga tersebut: Kebutuhan penelitian pada mass yang akan datang

Dalam menghadapi penelitian pada masa-masa yang akan datang diperlukan peningkatan-peningkatan berbagai faktor antara lain . 1) Meningkatkan tenaga-tenaga peneliti khususnya tenaga tenaga peneliti ilmu radiologi agar menjadi lebih profesio nal :

– meningkatkan kualitas peneliti – mengembangkan bakat kreatif & inovatif

2) Meningkatkan komunikasi antara Badan/Lembaga peneliti-an (baik pemerintah maupun swasta) dengan para peneliti.

3) Menata kembali jenjang karier para peneliti 4) Memberi penghargaan bagi para peneliti yang terbaik 5) Meningkatkan management intern Badan/Lembaga peneliti-

an

6) Menyediakan sarana (fasilitas) penelitian antara lain me-ngembangkan sebuah rumah sakit penelitian baik yang di-Iola oleh pemerintah maupun swasta.

7) Mencari dan menghimpun dana untuk membiayai proyek-proyek penelitian.

KEPUSTAKAAN

1. Hadi S. Metodologi Research, Jilid I, Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta, 1978.

2. Koento I. Dasar Metodologi Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 1978.

3. Oemijati S, Setiabudy, Budijanto A. Pedoman Etik Penelitian Kedokteran Indonesia, Jakarta, 1987.

4. Santoso SI. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Sinai Hudaya, Jakarta, 1977.

5. Surakhmad W. Dasar dan Teknik Research. Tarsito, Bandung, 1978. 6. Tjokronegoro A, Sudarsono S. Metodologi Penelitian Bidang Ke-

dokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1987.

Page 32: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Aktivitas lodium Sebagai Germisida Sarkoidosis

Drs Usman Suwandi

Pusat Penelitian dan Pengembangan PT Kalbe Farma, Jakarta

PENDAHULUAN

Germisida merupakan substansi yang mampu membunuh mikroorganisme, sehingga substansi yang bersifat Germisida harus mempunyai aktivitas anti mikroba. Banyak substansi yang mempunyai kemampuan antimikroba, salah satu di antaranya yaitu Iodium. Atas dasar sifat-sifat antimikroba yang dimilikinya, iodium banyak dipakai untuk berbagai ma-cam tujuan. Seperti dikatakan oleh Gershenfeld (1968) bahwa iodium telah digunakan dalam berbagai hal, yaitu :

1. Antiseptik pada kulit, luka danmukosa permukaan tubuh. 2. Untuk sterilisasi udara dan benda-benda lain. 3. Sebagai pencegah dan terapi penyakit yang disebabkan oleh bakteri; fungi dan virus. 4. Untuk disinfeksi berbagai pemakaian air seperti air minum dan air kolam renang. 5. Untuk sanitasi alat-alat makan dan minum.

Sebagai Antiseptik, Iodium mempunyai peranan dalam menciptakan kondisi aseptik, hal ini disebabkan oleh aktivi-tasnya sebagai antimikroba. Iodium merupakan antiseptik yang diunggulkan, karena sifat-sifat yang dimilikinya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Harvey S.C. (1980), Iodium sebagai antiseptik merupakan agen yang sangat berharga karena efektivitasnya, nilai ekonomisnya dan toksisitasnya rendah terhadap jaringan. Selain itu, larutan yang mengandung elemen iodium merupakan antiseptik dengan aktivitas antimikroba berspektrum luas, walaupun aktivitas mereka akan berkurang dengan adanya substansi lain yang bersifat alkali dan adanya zat organikl .

Aktivitas Iodium pada beberapa kulit cenderung me-nyebabkan rasa panas dan membakar , apabila penanganannya kurang hati-hati, akan dapat menyebabkan rasa panas sekali. Disamping itu iodium berisfāt iritan terhadap inemb ran yang halus. Walaupun demikian, beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan teknik biakan, pada kulit dan membran manusia dan binatang, memperlihatkan bahwa iodium relatif tidak toksik2. AKTIVITAS IODIUM SEBAGAI ANTI–BAKTERI

Karakteristik yang menyolok dari Iodium sebagai bakteri-

sida antara lain, kurang selektifnya mereka memusnahkan bakteri yang berbeda, sehingga hampir semua bakteri mati pada konsentrasi yang hampir sama. Seperti pernah disebutkan oleh McCulloch (1945), bahwa konsentrasi iodium yang dibutuhkan sebagai desinfektan tidak terlalu bervariasi terhadap spesies microorganisme yang berbeda, Ini telah dibuktikan dalam penelitian Gershenfeld dan Witlin, (1949a), dengan menggunakan larutan iodium babas 2% (1 ml) mampu memati-kan secara efektif dalam waktu 1 menit terhadap staphylococ-cus aureus, Salmonella typhosa, Escherichia coli dan Pseudo-monas aeruginosa volume 20 ml serta Bacillus mesentericus volume 10 ml dalam biakan "FDA broth" yang berumur 24 jam3.

Walaupun banyak senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas antibakteri, namun hanya beberapa saja yang mem-punyai aktivitas antibakteri memadai. Iodium merupakan salah satu antibakteri yang baik, seperti telah dibuktikan oleh Lebduska dan Pidra (1940), mereka telah memeriksa 128 senyawa untuk mengetahui kemampuan mereka menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang diinokulasikan pada plate agar. Hasilnya didapatkan bahwa iodium, trikhlorofenol dan salisilaldehide mampu menekan pertumbuhan bakteri dengan sempurna. Sedangkan fenol, O–kresol, timol, khloralhidrat, hidroksikuinolin dan karvakrol hanya mampu menghambat sebagian2. AKTIVITAS IODIUM SEBAGAI ANTI–FUNGI

Iodium sebagai antifungi telah ditunjukkan oleh banyak peneliti. Mereka telah mencoba menggunakan berbagai spesies fungi untuk menguji efektifitas. Iodium sebagai antifungi. Se-bagai antifungi, Iodium ternyata efektip terhadap Trichophyton gypseum, Monflia albicans, Epidermophyton inguinale, Monilia, Torula dan fungi lainnya. Konsentrasi letal lodium terhadap setiap spesies sedikit bervariasi. Sebagai contoh kon-sentrasi iodium yang diperlukan memusnahkan berbagai jenis fungi yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti dapat dilihat pada tabel 1.

Atas dasar kemampuannya sebagai antifungi, claim bidang medis, iodium sering dipakai untuk pengbbatan infeksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 31

Page 33: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Tabel 1. Konsentrasi iodium sebagai antifungi3.

Konsentrasi Iodium Fungi Peneliti

1 : 3000 Trichophytin gypseum Monilia albicans

Emmons, 1933

1 : 85000 Epidermophyton inguinale Schamberget, 1931 1 : 715 Monilia

Tortilla Epidermaphyton Tricophyton

Comez–vega, 1935

1 : 1430 Saccharomycetes Gomes–vega, 1935

jamur. Seperti yang dikatakan oleh Harvey S.C., (1980), bahwa -tincture iodium dapat digunakan untuk pengobatan berbagai bentuk mycoses superficial cutaneous4 kering dan larutan iodium dapat dipakai untuk bentuk basah. Bahkan Vilanova (1953), lebih spesifik lagi menyebutkan, larutan 1% iodium dalam alkohol dapat dipakai untuk pengobatan Tinea versicolor atau Panus . AKTIVITAS IODIUM SEBAGAI GERMISIDA LAINNYA

Selain dapat membunuh bakteri dan fungi dari berbagai macam jenis dengan konsentrasi bervariasi, iodium juga mem-punyai sifat sporasida, virusida, protozoasida dan metazoasida.

Sebagai sporasida iodium termasuk efektip. Bahkan karena aktivitasnya sebagai sporasida dan bakterisida yang efektip, iodium pernah dianjurkan sebagai Emergency sterilizing Agent untuk alat-alat bedah3. Banyak bukti aktivitas sporasida telah ditunjukkan dengan berbagai percobaan. Beberapa peneliti telah menggunakān beberapa jenis spora dan konsentrasi iodium yang bervariasi. Untuk melihat aktivitas sporasida iodium dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Waktu yang diperlukan untuk mem~asnahkan beberapa spora dengan berbagai konsentrasi Iodium .

Konsentrasi Iodium

Jenis Spora

waktu untuk Mematikan Spora Peneliti

40 ppm 288 ppm 67 ppm 35 ppm 2%

B. metiens B. metiens B. metiens B. metiens B. subtilis B. anthracis B. mesentericus B. megatherium Clostiridum tetani

2,2 – 5 menit 5,1 menit 18 menit 33 menit 90 menit s/d `lebih 5,5 jam

Wyss & strands- kov (1945). Allawala & Rie- gelman (1953). Gershenfeld & Witlin (1949 a).

Sebagai virusida Iodium telah digunakan sebagai pencegah

terhadap virus influenza dan herpes, serta sebagai terapi terhadap variola (small pox)dan varicela (chicken pox)3. Demi-

. 'kin juga chang dan Morris (1953) telah mengatakan, beberapa PPM iodium akan mampu menginaktivasi virus polio myelitis dalam waktu 5–10 menit2.

Sebagai protozoasida dan metazoasida, Iodium beserta

devirat dan kombinasinya telah digunakan terhadap amoeba, trichomonad dan terhadap berbagai jenis cacing seperti Strongyloides, trichuris dan oxyuris3. CARA BEKERJANYA IODIUM DAN PENGHAMBAT AKTIVITAS IODIUM

Banyak bukti-bukti yang menunjukkan iodium sebagai anti mikroba yang efektip. Namun adanya zat-zat tertentu akan dapat menghambat aktivitas iodium sebagai anti mikroba. Seperti dikatakanoleh Kojima (1940), adanya zat-zat organik dan anorganik tertentu akan menetralisir efek iodium. Senyawa organik penetralisir efek iodium antara lain : serum, gliserin, syrup, feses, telur, susu, urine, dahak dan sebagainya, sedang substansi anorganik penetralisir efek iodium antara lain sodium tiosulfat, logam merkuri dan ammonia. Selain zatzat tersebut, keefektifan iodium juga dapat berubah dengan adanya protein atau zat-zat organik yang lain3 .

Dengan adanya zat organik, iodium berikatan secara kovalen, tetapi kebanyakan berikatan tidak kuat, sehingga iodium dapat dilepaskan denan lambat. Oleh karena itu efektifitasnya sedikit berkurang .

Cara bekerjanya Iodium membunuh bakteri belum dapat diketahui dengan pasti. Namun demikian, McCulloch (1932) percaya, iodium tnemusnahkan mikroorganisme dengan cara membentuk garam dengan protein melalui halogenasi langsung. Sedangkan Sollman (1948)mengatakan,elemen iodium akan mempresipitasi protein sebagian iodium akan diabsorpsi, sebagian iodium berikatan tidak kuat dan sebagian akan di- ubah menjadi ion-ion iodida. Karena ia berikatan tidak kuat, ia akan terus menetrasi sehingga aktivitasnya meluas ke dalam3 . PENGGUNAAN IODIUM SEBAGAI ANTIMIKROBA Sebagai antiseptit kulit

Penggunaan iodium sebagai antiseptik kulit, merupakan salah satu pemanfaatan sifat antimikroba yang dimilikinya. Sebagai antiseptik kulit, sediaan iodium digunakan untuk mendukung . keadaan aseptik yang dikehendaki, seperti di-katakan oleh Walter (1948). Sediaan tincture atau larutan iodium merupakan antipseptik yang ideal dan aman untuk keperluan disenfeksi kulit sebelum pengambilan darah untuk transfusi atau tujuan penelitian3.

Selain itu larutan iodium 0,1% atau 0,05% telah digunakan secara efektip sebagai antiseptik mouthwashes, gargling the throat, Vaginal douch dan pencuci daerah badan lainnya. Bahkan tincture atau larutan iodium juga dapat dipakai pada waktu akan memberikan obat secara ' parenteral terutama intravena, intrateka dan intramuscular3.

Pemakaian tunggal iodium 2% dalam alkohol 70% sebagai disinfeksi kulit dapat dicapai dalam 15 - 20 detik. Bahkan iodium 0,5% dalam air atau alkohol yang dipakai untuk meng-usap kulit (swabbing) dan dibiarkan sampai kering, ternyata masih bersifat lethal terhadap staphilococcus aureus setelah 2 jam2

Iodium tersedia dalam berbagai macam bentuk. Di antara bentuk-bentuk sediaan Iodium, tingtur alkohol merupakan sediaan yang paling baik, seperti disebutkan oleh Harvey S.C. (1980)s bahwa iodium dalam bentuk tingtur dengan vehicle alkohol adalah sediaan yang paling baik, ini disebabkan sifat penetrasi dan penyebarannya. Sebagai contoh sediaan yang digunakan untuk menangani infeksi kutan (kulit) yang di-

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 32

Page 34: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

sebabkan oleh bakteri dan fungi dapat digunakan larutan iodium atau tinctur iodium USP.

Potensi iodium sebagai anti mikroba selain tergantung pada bentuk sediaannya, juga tergantung pada konsentrasinya. Pada kulit, tingtur iodium 1% akan membunuh 90% bakteri dalam waktu 90 detik, sedang larutan iodium 5% akan membunuh dalam waktu 60 detik dan untuk tincture iodium 7% dalam waktu 15 detik4 . Iodium sebagai disinfeksi air dan alat-alat lain

Sebagai desinfeksi air, Chang & Morris (1953)2 meng-anjurkan kandungan Iodium 8 ppm, karena dalam waktu 10 menit sudah mampu membunuh patogen water-borne, termasuk amuba dan virus pada temperatur normal. Kemam-puan iodium sebagai disenfeksi air, telah dimanfaatkan untuk disinfeksi kolam renang. Penelitian yang pernah dilakukan Campbell et. al. (1961) melaporkan iritasi mata menjadi berkurang dari 80,2% pada air yang diklorinasi menjadi 23,4% pada air yang diiodinasi. Selain itu dari penelitian Favero & Drake (1964) mengatakan, iodium kelihatan lebih efektip dari pada klorin terhadap indikator standar bakteri fekal, Coliform, Enterococci dan Staphylococi3.

Sebagai disinfeksi air minum, iodium dapat digunakan untuk membuat air minum menjadi aman untuk diminum, seperti yang dikatakan oleh Harvey (1980), dengan menambah 3 tetes tingtur iodium per quart air, sudah mampu membunuh amuba dan bakteri dalam 15 menit, tanpa menyebabkan air menjadi tidak enak"4

Untuk peralatan tertentu, terutama alat-alat yang di-pengaruhi oleh panas; iodium pernah dianjurkan sebagai emergency sterilizing agent, karena efisiensi dan kecepatan bakterisidanya. Untuk sterilisasi dingin termometer klinis Gershetife'ld (1968) menyebutkan, tingtur iodium USP XIV atau larutan iodium NF IX ternyata lebih efektip dari pada etil alkohol atau isopropil alkohol4 . PENUTUP Sebagai Germisida, iodium telah terbukti efektip sebagai bakterisida, fungisida, sporasida, virusida, protozoasida dan metazoasida.

Iodium sebagai antimikroba memang dapat diandalkan dan telah banyak dibuktikan dalam berbagai penelitian. Ke-mamptian tersebut telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai tujuan, di antaranya untuk pencegahan atau terapi berbagai infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri dan fungi. Bahkan dengan memanfaatkan sifat Fungisidanya, tingtur iodium telah digunakan untuk pengobatan infeksi jamur superfisial seperti panu' atau tinea versikolor.

Larutan iodium lemah sering digunakan untuk petolongan pertama luka-luka kecil atau lecet, namun bekerjanya akan cepat diinaktifkan oleh substansi-substansi jaringan.

Pada saat ini, banyak sediaan yang mengandung iodium, derivat atau kombinasinya secara resmi dicantumkan dalam monograp berbagai farmakope. Sediaan tersebut biasanya bertujuan sebagai antibakteri, antifungi, antiseptik ekstern dam sebagainya6 .

Efek toksik iodium relatif rendah. Karena iodium mem-punyai sifat korosif, maka efek toksik tersebut sebagian besar mungkin disebabkan kegiatan lokal elemen-elemen dalam

saluran pencernaan2. Kebanyakan iodium bila diberikan pada kulit, akan menimbulkan rasa panas, apalagi pemakaian tingtur Iodium pada permukaan yang lecet, akan menimbulkan rasa sangat lnenyengat.

KEPUSTAKAAN

1. AMA Division Of Drugs, Dermatologic preparations dalam : AMA drug

Evaluation 5 th. ed. Philadelphia WB Saunders Company, 1983 : 1385 – 1386.

2. Sykes G. Disinfection and Sterilization. London , D. Van Nostrand Company, Inc. 1958. 325 – 333.

3. Gershenfeld L. Iodine dalam Disinfection, sterilization and Preservation. Editors Lawrence CA and SS Block. Philadelphia : Lea & Febiger 1968 : 529 – 343.

4. Harvey *SC. Antiseptics and Disinfectans Fungicides . Ectoparasiticides dalam The Pharmacological Basic of Therapeutics 6 th. ed. editor : Gilman AG et. at. New York . Memillian Publishing Co. Inc. 1980. 964 – 987.

5. Vilanova X and Cardenal C. Tinea versicolor dalam Handbook of Tropical Dermatology and medical Mycology vol II. editor : RDG. Simons., Elsevier Publishing Company 1953. 1103 – 1112.

6. Farmakope Indonesia 3 ed., Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1979.

7. DEPARTMEN OF PHARMACEUTICAL SCIENCES Iodine dalam Martindale Extra Pharmacopoeia 28 th. ed., Editor : Reynolds, JEF The Pharmaceutical Press. 1982: 862 – 863.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 33

Page 35: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Taman Penitipan Anak

Dr Husain Albar dan Dr P. Palada

Lembaga 1/mu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ RSU Ujung Pandang, Ujung Pandang

PENDAHULUAN

Dalam tahun 1965 di Amerika Serikat, dari 1 juta anak di bawah umur 14 tahun, 40.000 balita tinggal di rumah tanpa pēngasuh karena ibunya bekerja. Selama periode 1970–1980, pekerja wanita mencakup ibu-ibu anak balita meningkat men-jadi 2x lipat sehingga jumlah anak yang memerlukan tempat penitipan sebagai sarana pengganti sementara peranan ibu ber-tambah sekitar 11 juta1,2.

Indonesia mempunyai angka kematian bayi dan anak yang tinggi dan angka harapan hidup yang rendah. Hasil survey Depkes RI (1980) menunjukkan angka kematian kasar berkisar 21,1 per 1000 penduduk dalam kurun waktu 1 tahun, di antaranya 41,7% anak balita. Ini berarti kemungkinan balita meninggal tiap tahun 3x lebih banyak daripada kelompok umur lain3.

Dalam rangka peningkatan derajat kesehatan anak sekali-gus menurunkan angka kematian, pemerintah berusaha me-ningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan kesehatan, antara lain: program pengembangan imunisasi, kesejahteraan ibu dan anak, peningkatan gizi, penanggulangan diare, keluarga berencana dan lain-lain yang dilakukan secara tervadu melalui pos pelayanan kesehatan terpadu (pos yandu)4.

Dengan meningkatnya tenaga kerja wanita khusus ibu-ibu anak balita, timbul kendala baru dalam upaya peningkatan ke-sejahteraan anak. Peter dan Mayling Gardiner (1980) .melapor-kan, peran serta wanita Indonesia pada pendidikan dan tenaga kerja berdasarkan standar Asia tergolong tinggi..

Sekitar 25% pegawai negeri dan 4,5 juta kepala keluarga adalah wanitas . Sedangkan dari hasil sensus Biro Pusat Statis-tik (1981) terdapat tenaga kerja wanita umur 20–40 tahun sebanyak 7.637.493 orang, sebagian besar ibu rumah tangga6 .

Selma kerja, kesempatan mengasuh dan membimbing anak tersita sehingga anak akan tumbuh dan berkembang tanpa asuhan, bhnbingan dan kasih sayang yang sangat diperlukan dalam masa balita untuk pembentukan kepribadian6 .

Tulisan ini menguraikan sekedar perihal Taman Penitipan Anak (TPA).

DEFINISI, MAKSUD DAN TUJUAN TPA adalah suatu lembaga pelayanan kesejahteraan sosial

yang memberikan pelayanan kepada anak-anak ibu pekerja dalam bentuk asuhan, bimbingan dan perawatan agar anak terhindar dari keterlantaran serta terhambatnya perkembangan fisik, mental dan sosial, dan memberikan bimbingan dan konsultasi pada ibu pekerja2,5,6,7

Pengertian tersebut mencerminkan, pelayanan TPA tidak saja untuk anak tetapi juga ibu sebagai suatu kesatuan keluarga dalam mencapai kesejahteraan. MAKSUD DAN TUJUAN TPA5,6,8,9

1) Merawat dan melindungi anak ibu pekerja sebagai pelayan-an pengganti untuk meningkatkan kesejahteraan anak dalam perkembangan fisik, mental dan sosial menuju pembentukan kepribadian. 2) Membantu ibu pekerja agar memperoleh ketenangan kerja dan mencapai prestasi kerja yang optimal. 3) Memberikan pelayanan pada anak sedemikian rupa sehingga merasa berada dalam keluarganya sendiri. 4) Menumbuhkan dan memantapkan kerjasama masyarakat sekitar TPA. JENIS-JENIS TPA

TPA dapat digolongkan menurut status dan lokasi6°',aA. Menurut status, TPA terdiri atas 3 jenis: 1. TPA Pemerintah

Pengelolaan dan pembiayaan oleh pemerintah pusat dan daerah. 2. TPA swasta-bersubsidi

Pengelolaan oleh lembaga swasta dan pembiayaan sebagian dibantu pemerintah. 3. TPA swasta

Pengelolaan dan pembiayaan secara penuh oleh lembaga swasta yang menaunginya.

B. Pembagian TPA menurut lokasi 1. TPA Kantor

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 34

Page 36: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Lokasi di gedung perkatoran atau sekitarnya untuk melayani anak ibu pekerja kantor. 2. TPA Pasar

Terdapat di sekitar pasar, melayani anak ibu pedagang yang membawa anaknya ke pasar. 3. TPA Industri

Lokasi di sekitar industri untuk anak-anak pekerja industri. 4. TPA Perkebunan

Bertempat di daerah perkebunan, melayani anak ibu buruh perkebunan yang membawa anaknya ke tempat kerja. 5. TPA Lingkungan

Terdapat di daerah pemukiman penduduk, melayani anak anak pekerja di sekitar lokasi tersebut, misalnya pabrik dan lain-lain. 6. TPA Keluarga

TPA yang bertempat di rumah pengasuh sendiri, khusus me- layani 1–6 anak dan diasuh oleh ibu tidak terlatih. Selain TPA ini, umumnya melayani 10–75 anak balita. FUNGSI TPA

TPA merupakan sarana pembinaan kesejahteraan anak yang berfungsi sebagai6 : 1) Pusat pelayanan kesejahteraan anak: a. Pencegahan

Ditujukan untuk pembinaan lingkungan sosial anak agar terhindar dari pola tingkah laku agresif dan tercapai tingkah laku yang wajar. b. Perlindungan

Melindungi anak dari keterlantaran, perlakuan kejam dan eksploitasi orang tua serta meningkatkan kemampuan ke-luarga dalam mengasuh dan melindungi perpecahan anak dalam keluarga.

c. Pengembangan Mengembangkan kepribadian anak mencakup peranan, tanggung jawab dan kepuasan anak karena kegiatan yang dilakukannya.

d. Pengganti Sebagai pengganti sementara peranan ibu dalam mengasuh anak meliputi perlindungan, perawatan, pengawasan dan pemeliharaan anak.

2) Pusat informasi dan konsultasi kesejahteraan anak: Ini merupakan fungsi jangka panjang yang bersifat mem-berikan informasi dan konsultasi mengenai kesejahteraan sosial anak.

Kegiatan yang dilakukan: a. Pengumpulan data

Meliputi pendataan secara menyeluruh keperluan anak, masalah yang dihadapi dan peranannya dalam suatu ke-giatan.

b. Penyebaran informasi tentang usaha kesejahteraan anak Informasi yang disebarkan berkaitan erat dengan pelayanan anak dan sumber pelayanan dalam masyarakat sekitarnya. Maksud informasi untuk penyempurnaan kebijakan pro-gram pelayanan 'kesejahteraan anak di dalam maupun luar TPA, pengembangan pengetahuan, ketrampilan dan pening-

katan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam upaya ppningkatan kesejahteraan anak, baik perorangan, kelom-pok maupun lembaga sosial swasta.

c. Peran serta aktif. dalam pemecahan masalah kerawanan sosial lingkungan melalui pertemuan di dalam dan luar TPA.

d. Bimbingan dan konsultasi kepada ibu penitip untuk me-ningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pembinaan kesejahteraan keluarga terutama pengembangan kepribadian anak.

3) Pusat pengembangan ketrampilan : TPA berfungsi untuk pengembangan fisik dan kepribadian

anak, meningkatkan ketrampilan keluarga dalam pembinaan dan pelaksanaan kesejahteraan anak serta menumbuhkan peran serta aktif masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial, terutama anak. SASARAN TPA

TPA bertujuan untuk pelayanan kesejahteraan sosial anak-anak ibu pekerja dari umur 3 bulan sampai 5 tahun5,6,8

CARA DAN PELAKSANAAN PELAYANAN

Prinsip dasar TPA yaitu memberikan pelayanan kepada anak sebagai sarana penunjang dalam menutupi kesenjangan asuhan selama ibunya bekerja dan ibu agar memperoleh ke-tenangan kerja. Dalam proses pelayanan anak dan ibu diguna-kan beberapa cara yang meliputi fase pendekatan awal, pe-nerimaan .dan bimbingan sosials,6,10

1) Fase pendekatan awal: Selama fase dilakukan pengamatan terhadap masalah

keluarga, keadaan ekonomi dan sosial para calon penitip; konsultasi dengan instansi berwenang; pengenalan masalah anak dan ibu, keadaan dan tempat tinggal keluarga; motivasi keluarga agar mengikuti pertemuan dan anjangsana yang bet-hubungan dengan masalah sosial anak; dan pertemuan calon penitip yang diterima. Penitip selanjutnya mengisi formulir pendaftaran, keterangan kesehatan anak, penghasilan dan ke-adaān lingkungan keluarga. 2) Fase penerimaan:

Rangkaian kegiatan yang dilakukan setelah anak diterima: a. Registrasi. b. Penelahaan/pengungkapan masalah anak dan ibu. c. Penempatan anak dan ibu dalam sistem pelayanan yang sesuai dengan masalah yang dihadapi. 3) Fase bimbingan sosial:

Selama fase ini dilakukan bimbingan sosial perorangan atau kelompok terhadap: a. Anak agar terhindar dari keterlantaran dan dapat mengem-

bangkan kepribadian yang wajar. b. Ibu dan keluarga agar terjamin ketenangan kerja, serta ter-

cipta kondisi keluarga harmonis dan sejahtera. c. Masyarakat agar aktif berperan serta .dalam menumbuhkan

minat dan meningkatkan pengetahuan dalam usaha kesejah-teraan sosial.

PELAKSANAAN PELAYANAN TPA MELIPUTI5,6,10: 1) Pendidikan anak

Meningkatkan kemampuan anak dalam berinteraksi secara verbal, penghayatan nilai-nilai sosial, pengembangan tingkah laku dan sikap disiplin melalui kegiatan terjadwal. 2) Pekerjaan sosial

Meliputi bimbingan sosial perorangan, kelompok maupun masyarakat, agar dapat memahami masalah anak atau keluarga untuk peningkatan penyesuaian sosial antar keluarga, mem-

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 35

Page 37: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

berikan kesempatan saling menukar pengalaman para ibu pe-nitip melalui diskusi kelompok dan dapat menciptakan jalur hubungan saling menunjang melalui bantuan sosial dan pe-nanggulangan dengan rujukan. PELAYANAN TERHADAP ANAK DAN IBU 1) Pelayanan terhadap anak a. Asuhan Pemenuhan keperluan fisik dan psikik serta penanaman disiplin hidup sehat, tertib pribadi dan sosialisasi. b. Perawatan Usaha mencegah dan pengobatan penyakit ringan. c. Bimbingan sosial Usaha peningkatan daya motorik, pengembangan inteli-gensia dan kepribadian anak serta penciptaan kelompok bermain. 2) Pelayanan terhadap ibu Pelayanan ini dilakukan dalam bentuk konsultasi, ceramah dan pertemuan atau tukar informasi antar ibu penitip, keluarga dan masyarakat agar mampu mengetahui masalah kesehatan anak seutuhnya maupun mengasuh bayi dan anak di rumah sebagai-mana cara TPA sehingga tercapai keseimbangan antara pe-layanan di rumah dan TPA yang akan memantapkan tumbuh kembang anak.

ORGANISASI, SARANA DAN PRASARANA A. Struktur Organisasi dan Sistem Pelayanan TPA5-8,10 :

Sistem pelayanan TPA bersifat terbuka karena anak berada di TPA hanya dalam waktu relatif singkat dan perlunya penggunaan fasilitas diluar TPA. Juga dapat memberikan ke-sempatan pada masyarakat memakai fasilitas TPA, seperti ruang pertemuan. Struktur Organisasi TPA terdiri atas: 1. Pimpinan

Pimpinan harus mengetahui aspek perkembangan, pendidik-an dan keperluan bayi dan anak serta bertanggung jawab terhadap terlaksananya seluruh proses pelayanan TPA.

2. Petugas Tata-Usaha Mengurus tata-usaha, kepegawaian, keuangan Ian rumah tangga.

3. Pengasuh dan Pendidik Bertugas dalam pengembangan fisik, perawatan dan pen-didikan anak.

4. Pekerja Sosial Melakukan bimbingan dan konsultasi dalam pemecahan masalah serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ibu dalam mengasuh anak.

5. Psikolog Mengawasi tingkah laku dan menangani masalah perkem-bangan anak sehingga anak mampu menumbuhkan kepri-badian, rasa percaya diri dan tertip pribadi/disiplin sesudah keluar TPA. Selain itu, memberikan konsultasi pada ibu penitip tentang tumbuh kembang anak agar mampu meng-asuh dan merawat bayi dan anak sebagaimana mestinya. Tenaga ini penting namun tidak berarti harus tetap berada dalam TPA. Tenaganya bisa dipenuhi melalui kerjasama dengan instansi lain.

6. Tenaga medis Terdiri atas dokter, perawat dan bidan. Melakukan perawat

an kesehatan dalam bentuk pencegahan/imunisasi dan pe-ngobatan penyakit ringan. Dokter Anak sangat penting tetapi tidak selalu harus diperlukan. Tenaganya dapat dipenuhi melalui konsultasi.

7. Tenaga pembantu Terdiri atas tukang masak, tukang cuci, tukang kebun, pesuruh, penaga malam dan pengemudi. Jumlah dan tugas-nya diatur oleh pirnpinan.

Untuk mencapai daya dan tepat guna dalam pelayanan TPA, perlu diperhatikan perbandingan antara jumlah pe-ngasuh/petugas dan bayi/anak. Misalnya seorang pengasuh untuk 4 orang bayi atau 10 anak, seorang pendidik untuk 20 anak dan seorang perawat untuk 10 bayi atau 25 anak. B. Sarana dan Prasarana TPA2,3,4,5,7

Sarana fisik sebuah TPA meliputi luas bangunan sekitar 400–500 m2 di atas tanah seluas 1000–2000 m2. Lokasinya disesuaikan dengan pemukiman yang mempunyai tenaga kerja wanita padat khususnya ibu-ibu anak balita. Bangunan TPA harus cukup luas yang terdiri atas ruang kantor berupa ruang pimpinan, tata-usaha dan ruang tamu, :uang dokter termasuk kamar periksa, ruang konsultasi, ruang serba guna atau per-temuan, ruang istirahat bayi dan anak, ruang makan, kamar mandi dan WC, dapur dan gudang. Selanjutnya diperlukan pula lapangan, perlengkapan bermain, air, tilpon dan mobil. Venti-lasi dan peneranganruangan harus memenuhi syarat kesehatan. Jam kerja pelayanan umumnya dimulai pk 07.00 sampai pk. 17.00 tiap hari kecuali jumat din sabtu berturut-turut sampai pk 11.30 dan 14.00, hari raya dan minggu tutup.

Biaya diperoleh dari pemerintah, uang pangkal dan iuran bulanan penitip bagi TPA pemerintah. TPA swasta-bersubsidi memperoleh biaya selain bantuan pemerintah juga uang pang-kal dan iuran bulanan penitip serta sumbangan lembaga sosial atau donatur syah yang tidak bertentangan dengan ketentuan lembaga sosial yang menaunginya dan TPA swasta penuh mendapat dana dari lembaga sosial yang menaunginya, donatur tetap dan pungutan dari ibu penitip.

Syarat-syarat untuk mendirikan sebuah TPA ialah: • Harus ada izin tertulis Departemen Sosial daerah berwenang. • Luas bangunan 400–500 m2, di atas tanah seluas 1000 – 2000 m2. • Bangunan harus memenuhi syarat kesehatan dan tidak

mudah terbakar. • Mempunyai organisasi lengkap dan peralatan/perlengkapan

cukup. • Perbandingan antara petugas dan jumlah bayi atau anak

harus sesuai, misalnya seorang petugas untuk 6 anak umur kurang dari 2 tahun, 10 anak umur 2–4 tahun dan 15 anak umur 4–5 tahun.

HAMBATAN-HAMBATAN TPA Selain manfaat yang diperoleh baik anak maupun ibu pe-

nitip, ditemukan pula hambatan dan kerugian dalam pelayanan TPA terutama bila diasuh oleh tenaga tidak terlatih. Hambatan dan kerugian yang dapat dialami seorang anak dalam TPA ialah1,7,,10,11 : 1) Anak akan tumbuh dan berkembang dengan respons emosi-onal yang salah sehingga mengganggu pembentukan kepribadi-annya. 2) Meskipun trampil petugas dan sempurna organisasi TPA

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 36

Page 38: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

ini tidak sama dengan asuhan ibunya sendiri. 3) Anak akan mempunyai risiko relatif tinggi mendapat pe-nularan penyakit yang biasanya terjadi karena petugas kurang/ tidak terlatih, kerja berlebihan dan tidak memperhatikan higiene.

Yang pernah dilaporkan mewabah di lingkungan TPA ialah diare ,oleh shigella/salmonella, virus dan giardia lamblia, hepatitis virus A, radang saluran napas bagian atas oleh Haemophilus influenzae dan streptokok grup A, juga batuk rejan, campak, cacar air dan mumps. PROSPEK MASA DEPAN TPA

Dengan bertambahnya tenaga kerja wanita oleh faktor-faktor, antara lain demografik dan sosiologik, kesempatan ibu dalam mengasuh anak makin berkurang terutama dalam era perkembangan teknologi yang pesat. Hal inilah yang me-nyebabkan animo masyarakat terhadap TPA makin meningkat

RINGKASAN

TPA mempunyai peranan penting dalam membantu ibu- ibu pekerja sebagai sarana pengganti sementara asuhan anak titipan sehingga tercipta suasana kerja relaks dan bergairah. Selain manfaat terdapat pula kerugian pada anak titipan ter- utama dalam asuhan petugas tidak terlatih, seperti gangguan pembentukan kepribadian dan penyebaran penyakit menular.

Meskipun sarana TPA sudah sempurna, namun ini tidak dapat menggantikan kedudukan ibu sendiri dalam hal asuhan.

KEPUSTAKAAN

1. Bartlett AV. Public Health Consideration of Infectious Diseases. in Child

Day Cace Centers. J Pediatr 1984; 105 : 683. 697. 2. Peters AD. Day Care: A Child Development Service In: Maternal and

Child. Health Practices. Springfield Illinois, USA: Charles C Thomas Publisher 1973; pp 744, 749, 753, 757.

3. Sampoerno D. Tolok Ukur Pelaksanaan Kesejahteraan Ibu dan Anak. Majalah Kesehatan Masyarakat 1985; 3 : 170.

4. Utomo B dan Iskandar WB. Masalah Utama Kesehatan dan Penyebab Kematiana Anak di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat 1985; 3 : 155.

5. Farid Kaspan M. Taman Pentipan Anak. Kursus Khusus Ilmu Kesehatan Anak I FK–UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya 1985, hal 73–77, 87–88.

6. Direktorat Bina Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Usia Lanjut Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial R.I.: Petunjuk Teknik Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Keluarga Melalui Sarana Penitipan Anak, Jakarta 1986.

7. Li Ki, Dashefsky B and Wald ER. Haemophilus influenzae type B Colonization in Household Contacts of Infected and Colonized Children Enrolled in Day Care Pediatr 1986; 78 : 15–16.

8. BIKA FK–UI. Kumpulan Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, cetakan ke-2, Bagian I 1974; hal 109–110.

9. Helmy D. Taman Penitipan Anak adalah satu cara untuk Mendukung Program Tahun Anak-anak PBB. Majalah Kesehatan 1979; 77 26–27,40.

10. Fernandez JA. The Medical Day Care Centers. Kursus Khusus Ilmu Kesehatan Anak I FK–UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya 1985; hal. 61–66.

11. Pickering LK, Woodward WE, Dupont HL and Sullivan P. Occurrence of Giardia Lamblia in Children in Day Care Centers J Pediatr 1984; 104 : 522.

Page 39: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Kelainan Jantung Pada Penyakit Kawasaki

Dr Candra K. Siregar dan Dr J.M.Ch. Pelupessy

Lembaga Emu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ RS Ujung Pandang, Ujung Pandang

PENDAHULUAN

Penyakit Kawasaki (PK) atau mucocutaneous lymphnodes syndrome (MCLS) ialah suatu penyakit peradangan pada anak yang ditandai oleh demam persisten, peradangan mucocuta-neous dan adenopati servikalis' . Tomisaku Kawasaki yang per-tama kali melaporkan di Jepang dalam tahun 1967. Sejak 1974, penyakit ini sudah banyak dikenal di Amerika Serikat, Jerman Barat, Kanada dan beberapa daerah Asia Timur2'3. Di Indonesia belum pernah dilaporkan.

PK umumnya menyerang anak berusia kurang dari 5 tahun, terutama 1–2 tahun dan lebih sering pada lelaki daripada perempuan, 1,5 : 12,3,4. Anak Jepang berpredisposisi untuk penyakit ini2,3.

Di Jepang, insidensi lebih dari 15 kasus per 100.000 anak di bawah umur 5 tahun. Di Amerika Serikat 1,6–5,6 kasus (pada epidemi 13,5 – 16,4 kasus per 100.000 anak). Pada umur kurang dari 8 tahun, ternyata anak Amerika–Asia lebih sering diserang daripada anak kulit hutam (3:1), demikian pula lebih sering daripada anak kulit putih, 6 : 12,3,5

Penyakit ini banyak menarik perhatian,. karena meng-akibatkan lesi arteri koronaria asimtomatik sebagai sekuele pada 5–10% kasus. Demikian pula, meskipun PK tidak disertai sekuele iskhemik koronaria, namun dapat menjadi predisposisi untuk mengalami obstruksi arteri koronaria pada usia dewasa6.

Makalah ini membahas secara singkat beberapa aspek,PK serta kelainan jantung yang diakibatkannya. ETIOLOGI

Penyebab PK belum diketahui dengan pasti. Karena PK tidak dapat menular dari, orang ke orang, maka bila penyebab-nya agen infeksi, mungkin berhubungan dengan toksin atau sebagai reaksi abnormal sistem imunolōgik terhadap agen infeksi2.

Walaupun Rickettsia-like bodies telah ditemukan pada jaringan beberapa penderita, tetapi uji serologik urnumnya

negatif, demikian pula biakan negatif. Penyebab lain yang juga menjadi perkiraan antara lain strain Pro pionibacterium acnes yang dipindahkan oleh tungau ke manusia, reaksi imun abnormal terhadap virus Epstein-Barr, rubeola, rubella, hepa-titis, parainfluensa, toksin yang diproduksi oleh atau reaksi imunologik terhadap streptokokus sanguis, treponema palli-dum, leptospira, brucella atau mycoplasma2.

Karena gambaran klinik dan hispopatologik PK hampir sama dengan penyakit autoimun yang lain, maka telah di-lakukan uji serologik terhadap antinuklear-antibodi, namun hasilnya negatif, demikian pula 'tidak ditemukan peninggian

titer antistreptolisin ()I's .Pengaruh faktor lain seperti polusi, toksin, bahan kimia,

pestisida, logam berat dan lain-lain belum dapat dibuktikan2 .

PATOLOGI Pada _PK dijumpai radang akut dengan angitis kapiler,

arteri kecil dan sedang. Pada otopsi biasanya ditemukan aneurisma dan trombosiskoronaria dengan atau tanpa disertai kelainan arteri sistemik6.

Pada pemeriksaan biopsi jaringan yang meradang tidak terdapat bakteri, hanya infiltrasi sel-sel radang polimorfo-nuklear9.

GAMBARAN KLINIK Pada prinsipnya PK mempunyai 6 gejala karakteristik,

yaitu3 : 1. demam lebih dari 5 hari (38–40°C) tanpa respon terhadap

antibiotika. 2. kongesti bilateral konyungtiva bulbi. 3. kelainan bibir dan rongga mulut. • bibir kering, kemerahan dan pecah-pecah. • strawberry tonzue. • hiperemi mukosa mulut dan farings.

4. perubahan bagian perifer anggota gerak. • telapak tangan dan kaki kemerahan (stadium awal).

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 38

Page 40: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

• udem dan indurasi (stadium awal). • deskuamasi membrana ujung jari-jari tangan dan kaki

(stadium rekonvalesen). 5. Eksantema polimorf tanpa bentuk vesikel dan krusta pada

badan. 6. Pembesaran kelenjar limfa servikalis yang akut, non-puru-

len, besar diameter ≥ 1,5 cm. Beberapa gejala lain yang sering ditemukan, ialah3,9:

a. Karditis terutama miokarditis dan perikarditis. b. Arthralgia atau arthritis.

Nyeri sendi terutama kalau berjalan atau banyak bergerak, sering mengenai sendi siku, pergelangan tangan, lutut; sendi tidak bengkak & eritema tidak ditemukan. c. Diare. d. Proteinuria dan peninggian lekosit dalam urin. e. Laboratorium darah: • lekositosis dengan pergeseran ke kiri. • penurunan kadar Hb dan jumlah eritrosit. • laju endapan darah meninggi. • protein C-reaktif positif. • peninggian alpha-2 globulin. • titer antistreptolisin 0 negatif.

f. Kadang-kadang dijumpai: – Meningitis aseptik.

Selain tanda-tanda rangsang menigs dapat juga ditemukan paresis saraf kranialis yang akan menghilang bila penyakit sembuh. Kadar protein dan glukosa dalam likuor normal, sel sedikit meninggi (12-43/mm3) dengan sel polimorfonuklear yang dominan.

– Ikterus ringan atau transaminase serum sedikit meninggi. Peninggian kadar bilirubin dalam darah karena gangguan fungsi hati, kandung empedu atau penyumbatan saluran empedu. Peninggian transaminase serum di-. sebabkan oleh gangguan fungsi hati. g. Manifestasi klinik yang lain:

– Sebagian penderita mengeluh batuk-batuk pada stadium demam akut, tetapi padu foto toraks tidak dijumpai tanda-tanda infiltrat.

– Otitis media. Membrana timpani normal tanpa cairan di belakangnya dan pertumbuhan bakteri.

– Pankreatitis. Pernah dilaporkan Stoler dkk dengan gejala-gejala muntah, nyeri perut dan punggung serta peninggian amilase serum. Kelainan ini dapat dibuktikan dengan ultrasonografil0

KELAINAN JANTUNG SEBAGAI SEKUELE PK Kematian mendadak dan gangguan fungsi jantung serta

pembuluh darah yang berat merupakan masalah serius pada anak6. Kelainan jantung yang paling serius ialah aneurisma, obstruksi koronaria, infark miokard dan kelainan katup yang berat. 1) Aneurisma Koronaria (AK) Insidensi AK pada PK 7–40%1. Frekuensi sama pada anak lelaki: dan perempuan, dapat ditemukan pada semua umur11 Timbulnya AK biasanya pada hari ke 8–15 perjalanan pe-nyakitl. Demam pada penderita AK yang mendapat AK ber-langsung lebih lamal,11 Kelainan ini dapat dideteksi dengan

ekokardiografi 2 dimensi atau angiografi6. Pada stadium akut, lebih dari setengah penderita PK menunjukkan dilatasi koro-naria, namun hanya 10–20% yang mendapat AK pada akhir stadium akut. Timbulnya AK tidak berarti menyebabkan gangguan iskhemik atau disfungsi jantung. Di antara penderita AK tersebut, setengahnya menunjukkan perbaikan pada pe-meriksaan angiografi berulang-ulang setelah 1–2 tahun. Hanya 3% yang mendapat sekuele dengan kemungkinan penyakit jantung iskhemik . Bentuk AK yang dapat menjadi faktor risiko obstruksi koro-naria ialah: • ukuran aneurisma (diameter lebih 8 mm). • bentuk bola, sausage atau aneurisma multipel. • kasus yang tidak diobati antitrombosis sejak stadium akut.

2) Obstruksi Arteri Koronaria (OK) Kliniknya sangat bervariasi, dari asimtomatik sampai

gejala angina, infark miokard atau mati mendadak6. Kelainan ini dapat dideteksi dengan ekokardiografi atau angiografi' koro-naria6. Pada angiografi ternyata kebanyakan penderita infark miokard yang meninggal menunjukkan obstruksi pada arteri koronaria kiri atau kanan dan desendens anterior. Pada kasus yang hidup obstruksi seringkali mengenai satu pembuluh darah, terutama arteri koronaria kanan12 . 3) Infark Miokard (IM)

IM biasanya timbul dalam tahun pertama "onset" penyakit6 tetapi dapat juga setiap saat dan berhubungan dengan stenosis A.koronaria6. Seringkali serangan IM timbul waktu tidur malam atau istirahat, disertai tanda-tanda renjatan, pucat, muntah-muntah, nyeri perut, sesak napas dan nyeri dada. Sekitar 37% kasus IM tidak bergejala12.

Pada foto toraks dapat ditemukan pembesaran jantung. EKG dapat menunjukkan perubanan gelombang Q dan lokasi IM13. Pada ekokardiografi 2 dimensi dapat ditemukan gerakan abnormal dinding ventrikel kiri13. Kateterisasi jantung dan angiokardiografi merupakan pemeriksaan yang paling tepat untuk mendeteksi lesi koronaria dan evaluasi fungsi ventrikel kiri. Pada angiografi koronaria dapat dijumpai obstruksi arteri koronaria. Kebanyakan penderita IM menunjukkan pembesaran dan berkurangnya fungsi ventrikel kiri13

Dengan "thallium 201 myocardial scintigraphy" dapat diperlihatkan defek perfusi miokardium13. Pemeriksaan ensim jantung seperti kreatin kinase menunjukkan kadar yang me- ninggi 2.

Angka kematian IM akut ialah 20-30%, kematian terjadi terutama pada kasus dengan obstruksi arteri koronaria kiri atau stenosis berat pada arteri koronaria desendens anterior kiri dan arteri koronaria kanan6. 4) Kelainan Katup Jantung

Pada PK k-adang-kadang ditemukan kelainan katup seperti regurgitasi mitial (RM) dan aorta; yang terakhir ini sangat jarang6,13 Insidensi RM 1%. RM yang ringan terdapat pada stadium akut umumnya sembuh, sedangkan yang berat dapat berakhir dengan payah jantung yang disertai gangguan miokard dan koroner6.

Penyebab RM ialah valvulitis, peradangan atau iskhemik otot-otot papilla dan dilatasi ventrikel kiri. 5) Miokarditis

Kebanyakan penderita PK menunjukkan tanda-tanda

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 39

Page 41: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

miokarditis pada stadium akut, terutama pada minggu per-tams dan kedua serta tidak bergantung kepada ada. tidaknya kelainan arteri koronaria6.

Pada kelainan ini dijumpai irama gallop, bunyi jantung melemah, aritmia pada EKG, ekografk yang abnormal dan peninggian kreatin kinase dalam serum. Umumnya kelainan ini akan sembuh sendiri sesudah stadium akut dan jarang menetap atau bertambah berat6. 6) Perikarditis

Tigapuluh persen semua penderita PK mendapat perikar-ditis pada minggu pertama dan kedua. Pada kebanyakan pen-derita terdapat efusi perikard yang ringan dengan ekokardio-grafi. Tamponade jantung jarang ditemukan6. 7) Aneurisma Arteri Yang Lain

Aneurisms dapat pula terjadi pada arteri sistemik yang lain. Insidensi kurang 3% dan predisposisi pada arteri axillaris, iliaka, renalis, mammaria interna, femoralis dan subskapula-ris6''4. Umumnya gejala-gejala sangat kurang. Bila mengenai arteri renalis, hal ini dapat menimbulkan hipertensi renalis6. DIAGNOSIS

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik. Diag-nosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang disusun oleh "MCLS Research Committee 1980", yaitu: demam lebih 5 hari, kongesti bilateral konyungtiva bulbi, kelainan bibir dan rongga mulut; perubahan bagian perifer anggota gerak, eksantem polimorf tanpa vesikel dan krusta pada badan, pembesaran kelenjar limfa servikalis, harus terdapat sekurangkurangnya 5 dad 6 gejala utama3.

Sebagai diagnosis banding dipertimbangkan beberapa penyakit infeksi laih seperti pascastreptokokus, pascastafi-lokokus dan sindroma Stevens–Johnson3. Untuk mengetahui apakah ada kelainan kardiovaskuler dilakukan pemeriksaan fisik, foto toraks, EKG, ekokardiografi, angiografi, kateterisasi, thallium 201 myocardial scintigraphy dan ensim'"3'12

Bila dengan ekokardiografi kelainan arteri koronaria tidak dapat ditentukan, dipakai sistem skor jantung menurut Asai & Kusakawa atau modifikasinya (tabel 1). Menurut penelitian di Jepang, pemeriksaan ekokardiografi labih dipercayai dari pada sistem skor jantung untuk mendeteksi AK3. Tabel 1. Modifikasi Sistem Skor Jantung menurut Asai & Kusakawa11

S k o r gejala

2 1 0

umur < 1 tahun kelamin demam (hari) LED (mm/jam) kenaikan LED (hari) Hb<100 g/1 lekosit (x 10./L) aritmia kardiomegali (CTR > 50%) kelainan EKG

– –

> 16 > 101 > 30

– > 30

+ – +

+ laki-laki 14–15 60-100

– +

26–30 – + –

– –

< 13 <60

– –

<26 – – –

skor ≥ 6 : kemungkinan risiko tinggi AK

PENGOBATAN Salisilat sangat bermanfaat untuk PK. Obat ini efektif se-

bagai anti–piretik dan anti–inflamasi pada stadium akut dan sebagai anti–koagulasi dengan menghambat agregasi trombosit pada masa subakut dan konvalesen15 . Ternyata komplikasi AK kurang pada penderita yang diobati salisilat dari pada kortikos-teroid atau antikoagulasi3.

Masih belum ada kesepakatan tentang dosis salisilat. Di Jepang diberikan 30–50 mg/kg BB/hari pada masa demam akut, kemudian dikurangi menjadi 10–30 mg/kg BB/hari sampai hasil pemeriksaan darah dan EKG menjadi normal. Bila terdapat vaskulitis koronaria, salisilat dilanjutkan 30 mg/ kg BB tiap 2 hari atau 10 mg/kg BB/Ix/hari selama 4–6 minggu3. Salisilat dosis tinggi dapat memperpendek masa demam, sedangkan dosis rendah tidak menunjukkan efek anti–inflamasi.

Salisilat dosis anti–inflamasi dapat mengurangi komplikasi pada jantung' . Selain itu telah dipakai pub obat-obat anti–trombotik seperti flurbiprofen, dipiridamol secara luas3. Akhir-akhir ini gammaglobulin (GG) telah digunakan pada pengobatan PK berdasarkan efek anti–inflamasi. Diberikan dosis tinggi imunoglobulin sulfonat 400 mg/kg BB/hari se-lama 2–5 hari pada masa dini untuk memperoleh perbaikan gejala dengan cepat serta mencegah AK yang berat15

Mekanisme kerja GG dosis tinggi untuk mencegah vasku-litis belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga dengan cara menghambat aktivasi imunologik atau reaksi radang yang langsung terhadap permukaan pembuluh darah, saturasi re-septor Fc pada trombosit atau sel-sel retikuloendotelial atau menyiapkan suatu antibodi spesifik terhadap bahan penyebab PK yang belum diketahui, GG dapat juga menurunkan demam dengan cepat, mungkin karena sekurang-kurangnya bekerja mengubah sistem imun.

Leung dkk telah menunjukkan bahwa sesudah infus GG dosis tinggi terjadi aktivasi balik sel–T dan sel–B. Keadaan tidak terjadi sesudah pemberian salisilat15

Bila ditemukan tanda-tanda IM, dianjurkan istirahat dan diberikan 02, heparin 300–400 unit/kg BB/hari iv atau uro-kinase 10.000 unit/kg BB/hari3,6

Untuk mengatasi renjatan kardiogendc dan gagal jantung, katekolamin (dopamine, dobutamine), vasodilator (nitro-gleserin, nitroprussid) dan diuretik dapat digunakan. Aritmia yang berat dapat diatasi dengan infus lidocaine6.

RM dengan gagal jantung dapat diobati dengan digitalis, diuretik & vasodilator. Perikarditis ditanggulangi dengan di-uretik atau perikardiosentesis6. Aortocoronary bypass merupa-kan tindakan bedah yang efektif terhadap obstruksi berat atau lesi progresif pada bagian proksimal arteri koronaria. Operasi plastik valvula dapat dilakukan.pada RM yang berat. Tindakan bedah dapat Fula dikerjakan pada aneurisma ventrikel kiri dan obstruksi arteri perifer yang lain6. PROGNOSIS

PK ialah suatu penyak# yang dapat sembuh sendiri jika tidak berkomplikasi. Biasanya penyakit itu berlangsung antara 2 minggu sampai beberapa minggu dengan kemungkinan re-kuren 2–3%. Angka kematian 1–2% oleh komplikasi pada arteri koronaria dan jantung3 .

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 40

Page 42: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

RINGKASAN Penyakit Kawasaki ialah suatu penyakit peradangan multi-

sistem yang penyebabnya belum diketahui. Gejala-gejala utama terdiri atās demam lebih 5 had, kongesti bilateral konyungtiva bulbi, kelainan bibir dan rongga mulut, perubahan bagian perifer anggota gerak, eksantem polimorf tanpa vesikel dan krusta pada badan, dan limfadenopati servikalis.

Untuk diagnosis harus terdapat sekurang-kurangnya 5 dari 6 gejala tersebut ("MCLS Research Committee").

AK, OK, IM dari kelainan katup jantung yang berat me-rupakan komplikasi yang paling serius. Penderita yang diobati dengan salisilat dan GG dosis tinggi kurang mendapat komplikasi kardiovaskuler. Tindakan bedah dapat dikerjakan pada kasus tertentu. Yang tidak disertai komplikasi, mem-punyai prognosis baik.

KEPUSTAKAAN

1. Daniels SR, Specker B, Capannani TE. Correlates of Coronary Artery Aneurysm Formation in Patients with Kawasaki Disease Am J Dis Child 1987; 141 : 205–207.

2. Feigin RD, Barron KS. Treatment of Kawasaki Syndrome New Engl J Med 1986; 7 : 388–390.

3. Lee DB. Kawasaki’s Disease: Symptoms, Diagnosis and Manage ment J Pediatr Obat Gynaecol 1984; 10 : 7–10.

4. Farmer K. Kawasaki ,Disease Mucocutaneous Lymph Nodes Syndrome J Pediatr Obst Gynaecol 1987; 13 : 37–40.

4. Takahashi M, Mason W. Kawasaki Syndrome, Reye Syndrome, and Aspirin Pediatrics 1986; 77 : 616–617.

5. Takao A. Kawasaki Disease: Introduction, International Survey and Therapeutic Guidelina Naskah Lengkap Simposium dan Seminar Kardiologi Anak Semarang 1986.

6. Dean AG,, Melish ME, Hicks R, Palumbo NE. An Epidemic of Kawasaki Syndrome in Hawai J Pediatr 1982; 100 : 552–557.

7. Lee AL, Burns J, Glode M, Harmon C. No Autoantibodies to Nuclear Antigens in the Kawasaki Syndrome New Engl J Med 1983; 308 : 1034.

8. Meade R, Brandt L. Manifestations of Kawasaki Disease in New England Outbreak of 1980 J Pediatr 1982; 100 : 558–562.

9. Stoler J, Biller JA, Grand RJ. Pancreatitis in Kawasaki Disease Am J Dis Child 1987; 141 : 306–308.

10. Koren G, Lavi S, Rose V, Rowe R. Kawasaki Disease: Review of Risk Factors for Corpnary Aneurysms J Pediatr 1986; 108 : 338-392.

11. Kato H, Inhinose E, Kawasaki T. Myocardial Infarction in Kawasaki Disease: Clinical Analysis in 195 Cases J Pediatr 1986; 108 : 923–927.

12. Kato H, Inhinose E, Kawasaki T. Myocardial Infarction in Ka wasaki Disease: Clinical Analysis in 195 Cases J Pediatr 1986; 108 : 923–927.

13. Nakano H. Saito A, Ueda K, Nojima K. Clinical Characteristics of Myocardial Infarction Following Kawasaki Disease: Report of 11 Cases J Pediatr 1986; 108 : 198–203.

14. Sasaguni Y, Kato H. Regression of Aneurysms in Kawasal i Disease A Pathological Study J Pediatr 1982; 100 : 225–231.

15. Newberger JW, Takahashi M, Burns J. The Treatment of Kawasaki Syndrome with Intravenous Gammaglobulin New Engi I Med 1986; 315 : 341–347.

Page 43: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Ilmu Kedokteran Pencegahan Dalam Upaya Pemberantasan Diare di Puskesmas

Kabupaten Malang

Dr. H. Bachtiar Azhari

Pegawai Dinas Kesehatan Daerah Tiingkat II, Kabupaten Malang

PENDAHULUAN

Ilmu kedokteran pencegahan telah berkembang lama dan dikembangkan untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Pada ta-hap awal di Indonesia sebagai sarana pelayanan kesehatan me-manfaatkan Puskesmas. Salah satu fungsi pokok puskesmas adalah pemberantasan penyakit diare. Di Indonesia, penyakit diare merupakan penyakit endemis dan menjadi masalah ke-sehatan. Upaya pemberantasan yang telah dilakukan meng alami beberapa hambatan, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan dan perilaku masyarakat. Pendekatan yang dilaku-kan secara epidemiologi ditujukan pada penjamu = host, agent = bibit penyakit dan lingkungan.

Menurut survey tahun 1980, angka kesakitan diare di Indonesia 10.000 per 100.000 penduduk, dan 70–90% pen-derita banyak menyerang anak balita, dan 24.5% anak balita meninggal karena diare.l Di Jawa Timur, upaya pemberantasan dengan memanfaatkan semua sumber daya khususnya unsur manusia meliputi upaya penemuan dan pengobatan secara dini, peningkatan kesehatan dengan melibatkan unsur sektoral, penyuluhan kesehatan berperilaku sehat, memasyarakatkan penggunaan garam oralit, peningkatan jangkauan pelayanan lebih mantap melalui posyandu, peningkatan mutu pelayanan, meningkatkan kualitas lingkungan dengan penyediaan air bersih dan sarana jamban keluarga. Harapan yang akan dicapai dapat menurunkan angka kesakitan dan menurunkan angka kematian di bawah 1%.2

Studi ini untuk melihat secara diskriptip pendaya gunaan amber daya manusia disalah satu Puskesmas Kabupaten Dati Ii Malang secara retrospektif3 . BAHAN DAN CARA

Bahan tulisan ini diambil dari data sekunder di Puskesmas Pakisaji Kabupaten Dati II Malang pada tahun 1985dan 1986 ewaktu penulis bekerja di Puskesmas tersebut. Data sekunder tersebut meliputi kasus diare dari semua umur dan penanggu-langannya di Puskesmas melalui pemanfaatan sumber daya

yang ada. Data diagnosis penyakit di Puskesmas disalin pada tabulasi dan dilakukan pengolahan data sederhana dan disaji-kan dalam bentuk tabel. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi Puskesmas Pakisaji terletak ± 11 km ke arah selatan kota Malang terletak di jalan arteri Surabaya – Blitar dengan luas wilayah 39.458.357 m2 terdiri 75.7% dataran rendah dan 24.3% dataran tinggi, dengan kepadatan penduduk 1393 jiwa/ Km2. Sampai tahun 1986 jangkauan air bersih di bawah 60%, karena sulitnya sumber atau air tanah. Air bersih saat ini berasal dari sumber di luar kecamatan Pakisaji dialirkan melalui perpipaan didistribusi pada konsumen, dan saat ini telah dikelola PDAM. Pada kedaan sebelum 1985 penyakit' diare merupakan urutan pertama sedangkan mulai tahun 1985 menempati urutan kedua dan selanjutnya pada tahun 1986 penyakit diare menempati urutan keempat dari 10 penyakit. tabel 1. PoLA 10 besar penyakit di Puskesmas Pakisaji.

Tahun 1985 1986

Jenis Jumlah Rank Jumlah Rank

Influenza Diare Scabies Penyakit pulpa & jaringan apikal Penyakit kulit & jaringan bawah kulit Conjunctivitis Penyakit lain pada sistem pencernaan Karies gigi Penyakit Gusi & Jaringan periodental Penyakit-penyakit lain/ke- adaan lain

10.065 3.777 2.086

2.086

1.594 1.517

1.230 550

396

5.770

1 2 3

4 5

6 7

8

9

10

8549 2499 2752

2312 1859

1368 1307

676

307

7667

1 4 3 5 6 7 8

10 9 2

Page 44: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Sumber data ktporan tahunan Puskesmas.

Penurunan penyakit diare melalui suatu konsep ihnu kedok-teran pencegahan sebagai berikut 1) Penjamu (=host) dalam hal ini yang berperan adalah ma-nusia, sehingga upaya kegiatannya berupa a) Penyuluhan yang ditujukan pada perorangan dan keluarga.

Perorangan agar penderita mampu menolong dirinya sendiri dan dapat membantu masyarakat. Keluarga agar membiasa-kan menolong dan memasyarakatkan penggunaan garam oralit dalam keluarga.

b) Simulasi yang ditujukan pada kader kesehatan desa secara langsung, sedangkan yang tidak langsung melalui lintas sektoral.

2) Sumber infeksi dengan kegiatan menghilangkan sumber infeksi dengan meningkatkan kebersihan lingkungan. 3) Lingkungan melalui peningkatan sarana air bersih atau sarana jamban keluarga dan menghilangkan kebiasaan mem-buang kotoran di setiap tempat misalnya di sungai. Kecenderungan penurunan pada tabel 1 di atas, menurut Bachtiar Azhari, T. Haryanto dkk (1985), bahwa ketepatan informasi tentang penyakit menular dan upaya pencegahannya didapat dari tokoh informal : formal:68.72% : 31.28% khususnya di pēdesaan lebih menonjol dan keterlibatan unsur-unsur masyarakat dalam merujuk bila didapatkan kasus secara dini ke Puskesmas` .

Pada tabel 2 nampak menurunnya rawat tinggal dari 33.75% BOR menjadi 14.86% BOR dengan memperpendek hari perawatan dengan cara rehidrasi yang cepat dan tepat dalam meningkatkan mutu pelayanan rawat tinggal sebagai upaya rujukan pertama penderita diare dan pelayanan dasar yang diberikan Puskesmas. Lama perawatan pada tahun 1985 rata-rata 5–6 hari, sedangkan pada tahun 1986 menjadi 4 hari perawatan, sehingga nampak penggunaan RL yang lebih me-ningkat pada tahun 19865.

Tabel 2. Penderita dime dan pemanfaatan sarana di Puskesmas Pakisaji

Macam tahun 1985 tahun 1986

1. Prevalensi 2. C.F.R. 3. Cholera positip 4. Rawat tinggal 5. Pemakaian RL 6. Oralit

4.3% <1% 0.03% 33.75% BOR 40 1129

3.5% <1% 0.04% 14.86%,BOR 315 989

Sumber data laporan Puskesmas tahun 1985 dan 1986.

Dari tabel 3 nampak penurunan kader aktip tetapi mempunyai daya guna yang optimal maka berarti kader makin sedikit tetapi mempunyai daya guna maksimal. (Tabel 3).

keluaran 1 keluaran 2 Daya guna = ––––––––– : ––––––––––

sarana 1 sarana 2

Sedangkan penyuluhan yang effektip bila melalui penyuluhan melalui kelompok at risk diare yang mencakup sasaran maupun frekuensi penyuluhannya6,7.

Dukungan penyuluhan ditingkakan pada lintas sektoral secara terpadu dengan metode lebih ditujukan pada penyuluhan perorangan atau kelompok dengan jumlah frekwensi lebih ba-

Tabel 3. Kader aktip dan jumlah posyandu.

Jumlah tahun 1985 tahun 1986

1. Kader 2. Kader aktip 3. Kader drop out 4. Posyandu

360 296 17,7% 24

360 159 55.83% 24

Sumber data Laporan Puskesmas Pakisaji.

Tabel 4. Penyuluhan kesehatan masyarakat tahun 1985–1986.

Kegiatan tahun 1985 tahun 1986

1. Lintas sektoral 2. Metode 3. Lokasi Posyandu 4. Pameran 5. Siaran keliling 6. Sasaran: – Masyarakat umum – Penduduk dengan resiko

14 X Indiidu/Kelompok 19 X 4 X 24 X 15.423 (Frek=40X) 4.271 (Frek=101X)

14 X Individu/Kelom- pok 76 X 4 X 33 X 11.439 (Frek = 37X) 5.165 (Frek = 112X)

Sumber data laporan Puskesmas Pakisafi.

nyak, akan tetapi cenderung sasaran masyarakat pada yang risiko terkena diare. Metode yang dilakukan terhadap kader berupa simulasi mengenai pencegahan diare, dengan penyedia-an paket oralit pada setiap pos kesehatan desa dengan formulir rujukan dan catatan penderita diare di pedesaan, sehingga mempercepat pelacakan secara dini dan tindakan pemberan-tasannyaa. Perbaikan kesehatan lingkungan lebih mengupaya-

kan peningkatan sarana fisik yang mendukung kebersihan lingkungan melalui dua arah, berupa pemberian sarana secara inpres, tetapi kemudian dengan menurunnya pembiayaan berupa inpres, maka lebih diprioritaskan melalui peran serta masyarakat untuk mengembangkan jumlah sarana bantuan dengan cara swadaya melalui pendekatan edukatip, sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar dalam upaya peningkatan kesehatan perorangan maupun keluarga, khususnya agar angka kesakitan karena diare dapat menurun. Dalam mengembangkan pendekatan edukatip peranan lintas sektoral sangat berperan disamping peranan tokoh informal yang ada di dalam. masyarakat, dengan demikian masyarakat mampu mengidentifikasi kebutuhan serta mengorganisasi kegiatan masyarakat serta mampu menumbuhkan kegiatan-kegiatan kesehatan yang menunjang pembangunan desa secara keseluruhan yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesehatan lingkungan yang lebih baik9.

Penderita diare ternyata banyak diderita anak balita di-perkirakan 70–90% dari angka kesakitan diare, dan 24.5% anak balita meninggal karena diare. Tetapi di daerah penulis CFR kurang dari 1% karena catatan ini kurang terekam secara baik, hal ini disebabkan penderita diare kalau meninggal biasanya di rumah atau di rumah sakit dengan pulang paksa, sehingga sering terjadi tidak tercatat. Penanganan diare pada anak balita dalam upaya penurunan angka kesakitan melalui pendekatan posyandu dengan peran serta aktip PKK, agar ibu balita mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 43

Page 45: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

serta perilaku mengutamakan ASI sebagai makanan bayi sampai dengan umur 2 tahun10

Tabel 5. Saran kesehatan lingkungan.

Sarana tahun 1985 tahun 1986

1. Jaga 1.1. Inpres 123 101.2. Pengembangan 289 127 2. SPAL 2.1. Inpres

11

14

2.2. Pembangunan 123 16 3. SABER 3.1. Inpres

28

28

3.2. Pembangunan 3 •)

Sumber data lapdran kes. lingkungan Puskesmas Pakisaji.

*) Pengembangan mulai kenurun karena masuknya sarana air bersih perpipaan yang dikelola PDAM Kabupaten Malang.

Lingkungan biologis yang berhubungan dengan iklim atau cuaca maka nampak meningkat penderita diare pada bulan-bulan Januari – Pebruari dan bulan Juni – Juli, sedangkan gambaran secara Nasional pada bulan Nopember – Desember-Januari dan pada bulan Mei Juni – Juli ( z <–1.44 atau z 1.44 atau p = 0.0793) sangat berarti, sehingga pada saat bulan yang bersangkutan kewaspadaan perlu mendapat perhatian, khususnya tim gerak cepat di tingkat kecamatan, serta persiapan-persiapan pembagian oralit pada pos kesehatan desa melalui ketua atau koordinator kader didesa yang di pantau melalui Lembaga Kesehatan Masyarakat Desa (LKMD)" . Upaya pemberantasan berpedoman petunjuk Dinas Kesehatan Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur sebāgai berikut a) Upaya penemuan dan pengobatan secara dini. b) Peningkatan kewaspadaan terjdinya letupan diare dengan melibatkan unsur sektoral dan pamong desa. c) Upaya penyuluhan kesehatan masyarakat agar berperilaku sehat untuk dirinya, keluarga dan masyarakat. d) Pencegahan terjadinya dehidrasi dengan program rehidrasi dengan memasyarakatkan pemakaian garam oralit, didukung dengan penyediaan yang cukup, mudah didapat dan cepat dimanfaatkan. e) Strategi pendekatan keterpaduan program dan sektoral, lebih diarahkan pada kelompok sasaran umur rawan melalui posyandu. f) Peningkatan jangkauan pelayanan melalui peningkatan mobilitas pelayanan dan sarana pelayanan yang merata. g) Meningkatkan kualitas lingkungan dengan penyediaan air bersih dan kebersihan lingkungan, termasuk rumah, pembuang-an kotoran hewan/manusia atau sampak sesuai dengan tempat atau sarana yang tersedia. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1) Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit diare di-tujukan pada manusianya dengan sasaran perorangan, keluarga dan masyarakat, khususnya yang dengan risiko pada anak di bawah lima tahun atau anak balita.

2) Kegiatan ini harus simultan dengan penanganan peningkat-an kualitas lingkungan secara terpadu, keterlibatan lintas sēktoral dan peranan tokoh informasi masyarakat. 3) Masyarakat diharap mampu mendeteksi secara dini kejadian diare, sehingga terhindar dari kejadian luar biasa atau letupan penyakit diare, dengan memasyarakatkan penggunaan garam oralit. 4) Peranan rujukan oleh kader sedini mungkin bila didapatkan kasus diare untuk segera dikirim be,robat di Puskesmas, sedangkan rujukan pengetahuan. kader berupa upaya tepat guna dengan menggunakan sumberdaya yang ada pada masyarakat. Saran 1) Perlu dipikirkan adanya pos kesehatan yang menyediakan oralit disetiap RT dan PKK persepuluhan dapat berperanserta dalam pemberantasan diare. 2) Untuk pemerataan, oralit pack yang saat ini beredar dapat dibuat untuk 200 cc air matang.

KEPUSTAKAAN

1. Adiyatma. Berita Epidemiologi Departemen Kesehatan. Jakarta Dirjen P–

2M dan PLP, 1986. 2. Jawa Timur. Dinas Kesehatan Daerah Tingkat I. Berita Epidemiologi.

Surabaya ; Sub Dins pemberantasan penyakit menular, 1986. 3. Malang. Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II. Pencatatan dan Pelaporan

Puskesmas Pakisaji. Sie P–2M, 1986. 4. Azhari B, Haryanto T dkk. Faktor kepemimpinan masyarakat desa dalam

program pencegahan penyakit menular di Puskesmas Pakisaji. Seminar Penelitian laboratorium ilmu kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran. Malang Universitas Brawijaya, 198S.

5. Moeloek FA dkk. Seminar ketrampilan klinik. (Ed. I) Jakarta PB IDI Yayasan penerbit, 1985.36–39.

6. Jawa Timur. Dinas Kesehatan Daerah Tingkat I. Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa. Surabaya : Proyek penyuluhan kesehatan masyarakat I–II, 1981.

7. Lapau B. Peranan Epidemiologi dan Pelayanan Kesehatan. Majalah Ilmu Kesehatan Masyarakat Indonesia; XV (19) Pebruari 1986.

8. Indonesia. Departemen Kesehatan. Pedoman pengamatan dan pe-nanggulangan kejadian luar biasa di Indonsia. Jakarta : Depkes RI, 1985.

9. Solita Sarwono dkk. Pengantar pendidikan kesehatan masyarakat. Disunting sebagai bahan kuliah fakultas pasca sarjana program studi kesehatan masyarakat dan anthropologi kesehatan. Jakarta : FKMUI, 1984.

10. Ranuh IGN Gde. Pediatri sosial, suatu pendekatan yang tepat. dalam menanggulangi infeksi pada anak. Continuing education ilmu kesehatan anak. I. Surabaya . Bagian IKA–FK Unair, 1980; 33-39.

11. Azhari B, Haryanto T dkk. Evaluasi sistem distribusi bubuk oralit dipedesaan, suatu studikasus kecamatan Pakisaji. Seminar penelitian lab. ilmu kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran. Malang : Universitas Brawijaya, 1985.

Page 46: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Malaria Berat

Dr Emiliana Tjitra, MSc Pusat Penelitian PenyakitMenular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

PENDAHULUAN

Di Indonesia sudah banyak ditulis makalah-makalah tentang malaria yang meliputi segi epidemiologi, entomologi, resistensi terhadap obat-obat malaria atau insektisidanya, dan lain-lain, tetapi tidak banyak yang membicarakan malaria klinis terutama bentuk dari malaria berat. Selama ini mungkin banyak kasus malaria berat yang terlupakan atau tak diketahui yang sebenarnya tak perlu terjadi karena kekurang-telitian dan keterbatasan pengetahuan kita. Oleh sebab itu malaria berat perlu diketahui untuk dapat dibuat diagnosa sendini mungkin sehingga tindakan yang tepat dapat segera dilakukan untuk mencegah kematian. Hal ini penting terutama untuk tenaga medis yang bekerja di daerah endemis malaria dan dirumah sakit rujukan. Definisi malaria berat

Menurut Hall (1977) malaria berat adalah malaria yang menyebabkan kematian atau yang akan berakibat fatal jika tidak diberi pengobatan yang cepat. Sedangkan menurut Garnham (1980) malaria falsiparum adalah penyebab kesakitan dan kematian tertinggi diantara jenis malaria lain. Jadi umumnya malaria berat berhubt ngan dengan malaria falsiparum.

Dalam beberapa buku dinyatakan bahwa malaria berat merupakan komplikasi" malaria falsiparum (Manson dkk, 1983; Miller, 1984; dan WHO. 1986) atau sebagai malaria per-nisiosa (Maegraith, 1980). Secara laboratorik malaria perni-siosa biasanya terjadi bila dari 5% eritrosit terinfeksi parasit malaria, atau bila 10% dari eritrosit yang terinfeksi me-ngandung lebih dari satu parasit dalam satu eritrosit, atau bila banyak sison dalam peredaran darah tepi (Maegraith, 1980).

Bentuk-bentuk malaria berat

Menurut Chongsuphajaisiddhi (198f), patofisiologi dari malaria falsiparum berat adalah komplek dan tergantung

sistem organ yang terkena. Malaria otak Malaria otak sering timbul sebagai malaria berat yang me-nyebabkan kematian. Gejala yang timbul dapat tampak sebagai penurunan kesadaran dari somnolen sampai koma, kejang-kejang atau psikosis organik (Chipman dkk, 1967). Penyebab malaria otak masih merupakan hipotesa yaitu akibat eritrosit yang mengandung parasit menjadi lebih mudah melekat pada dinding pembuluh kapiler (Miller, _ 1972). Hal ini disebabkan karena menurunnya muatan listrik permukaan eritrosit (Conrad, 1969) dan pembentukan tonjolan-tonjolan kecil dipermukaan eritrosit sehingga terjadi bendungan di pembuluh darah otak kecil (Miller, 1972). Semakin matang parasit dalam eritrosit semakin besar daya lekat eritrosit tersebut, terutama di organ dalam tetapi tidak di peredaran darah, yang memungkinkan penyakit menjadi berat walaupun konsentrasi eritrosit yang terinfeksidi peredarandarah rendah (Hall, 1977). Melekatnya eritrosit yang terinfeksi pada pembuluh darah kapiler dapat mengakibatkan terhambatnya aliran darah otak dan oedema (Maegraith, 1974). Oedema otak ini sering ditemukan pada waktu otopsi, tetapi gejala klinik dari peningkatan tekanan intrakranial jarang sekali ditemukan (Harinasuta dkk, 1982) dan CT scan tidak menyokong oedema sebagai gambaran primer dari malaria otak (Looareesuwan dkk, 1983). Sedangkan Schmutzhard dkk (1984) menemukan gejala sisa saraf yang cukup lama dari sindroma psikosaorganik, heminaresia atau hemihipestesia dan epilepsi. Kelainan darah Hemolisis dapat disebabkan oleh malaria dan obat anti malaria. Hemolisis dapat juga disebabkan karena meningkatnya fragili-tas osmotik dari eritrosit yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, sehingga umur eritrosit menurun (Fogel, 1966). Pada penderita dengan defisiensi glukosa–6–pospat dehidrogenase dan hemo-globin abnormal, hemolisis yang terjadi meningkat dalam peng-obatan dengan anti malaria (Pinder, 1973). Sedangkan Black Water Fever yang sebenarnya yaitu hemolisis tanpa adanya

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 45

Page 47: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

defisiensi G6PD, jarang terjadi dan selalu disertai adanya hemoglobinuria, hemolisis intravaskuler, kegagalan ginjal dan infeksi berat malaria (Bell, 1983).

Anemia terjadi akibat meningkatnya eritrosit yang rusak (hemolisis), fagositosis eritrosit dan penurunan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang (Srichaikul dkk, 1967).

Trombositopenia mungkin disebabkan oleh memendeknya umur platelet (Skudowitz dkk, 1973), juga didūga karena Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) akibat hemolisis (Fletcher dkk, 1972) sehingga menimbulkgn perdarahan pada kulit, mukosa dan kadang-kadang pida retina (Harinasuta, dkk, 1982). Perdarahan dapat jugs disebabkan karena kerusakan berat_hati yang terinfeksi malaria sehingga timbul gangguan koagulopati. Edema paru Edema paru merupakan komplikasi yang sering dan hampir selalu menyebabkan kematian. Patogenesisnya belum jelas, mungkin berhubungan dengan menurunnya volume aliran darah yang efektif, tidak berfungsinya aliran pembuluh, darah kecil paru-paru, meningkatnya permeabilitas kapiler, volume cairan intravena yang berlebihan (Brooks dkk, 1968) DIC atau uremia (Punyagupta dkk, 1974). Kegagalan hati Pembesaran hati, jaundice, dan kelainan fungsi hati sering ter-jadi pāda malaria falsiparum (Ramachandran dkk, 1976). Jaundice yang timbul umumnya karena kelainan sel hati, biasanya ringan, kadang-kadang berat. Transaminase yang meningkat jarang melebihi 200 IU (WHO, 1980). Peningkatan yang cukup tinggi dari beberapa kadar ensim serum dan bilirubin mungkin sebagian disebabkan karena hemolisis (Hall dkk, 1975). Sedangkan perpanjangan masa protrombin disebabkan karena. DIC atau akibat efek dari kina (Pirk dkk, 1945). Kegagabn ginjal Kelainan fungsi ginjal sering ditemui pada malaria falsiparum berat seperti proteinuria, oliguria, anuria dan uremia. Kef gagalan ginjal hampir selalu disebabkan oleh nekrosis tubulus akut yang diperkirakan akibat kelainan perfusi ginjal karena hipovolemi atau berkurangnya peredaran darah pada pembuluh darah kapiler ginjal (Sitprija dkk, 1967). Glomerulonefritis akut terjadi sebagai komplikasi malaria falsiparum karena'terjadi nefritis imun kompleks (Bhamarapravati dkk, 1973). Diare Kurang berfungsinya penyerapan usus pada malaria disebabkan karena adanya kelainan mukosa berupa edema, kongesti, perdarahan petechiae dan terdapat banyak eritrosit yang ter-infeksi sehingga terjadi nekrosis dan ulserasi usus (Hall, 1977). Malabsorpsi diketemukan selama fase akut malaria falsiparum E oleh Karney dkk (1972). Hipoglikemia Sering ditemukan pada penderita malaria falsiparum sedang, berat dan tersering pada wanita hamil. Kemungkinan penyebab hipoglikemi adalah karena konsumsi glukosa oleh parasit dan iangsangan pengeluaran insulin oleh obat anti malaria (White dkk, 1983). Kelaparan yang timbul akibat tak mau makan dan muntah-muntah serta penggunaan glikogen hati memungkinkan terjadinya hipoglikemia tersebut.

Abortus, Kelahiran prematur, stillbirth dan bayi berat lahir rendah Keadaan-keadaan ini mungkin disebabkan karena berkurang-nya aliran darah plasenta akibat kongesti dan timbunan eritrosit yang terinfeksi serta makrofag di dalam villus-villus plasenta dan sinus-sinus vena (McGregor dkk, 1983). Eritrosit yang mengandung parasit banyak terdapat pada aliran darah bagian maternal dan biasanya talc terlihat pada bagian fetal (Hall, 1977). Menurut McGregor (1984) hiperpireksia dapat juga mengakibatkan terjadinya abortus. Cara penanggulangan malaria bent

Mashaal (1986) membuat pedoman cara penanggulangan malaria berat sebagai berikut : • Penanggulangan malaria berat pada saat penderita datang. 1. Bila diperlukan dirawatdi ruanglntensive Care Unit. 2. Berikan kina (quinine dihidrochloride) 10 mg basa/kgBB

(maksimal 500 mg) dalam cairan garam isotonis 10 ml/ kgBB (maksmal 500 ml), intravena, dalam waktu 2–4 jam.

3. Ukur cairan yang masuk dan keluar, jika perlu dipasang kateter dan diukur berat jenis urin.

4. Transfusi darah diberikan bila : – parasitemia > 10%, sebanyak 5–10 unit darah. – parasitemia > 50%, exchange blood transfusion.

5. Hemodialisa atau dialisa peritoneal dilakukan bila terjadi gagal ginjal anuri.

6. IPPR (Intermittent Positive Pressure Respiration) dengan intubasi endotrakea, bila terjadi koma yang dalam.

7. Infus plasma dan platelet bits terjadi perdarahan hebat. Yang perlu diperhatikan pada pengobatan tahap ini, tidak diperkenankan memberi deksametason, karena akan mem-periambat penyembuhan dan meningkatkan komplikasi (Warren dkk, 1982), dan juga pemberian antikoagulan tidak dianjurkan. • Penanggulangan malaria berat selanjutnya. 1. Pengobatan dengan kina

Diberikan 5–10 mg&kgBB (maksimal 500 mg) setiap 12– 24 jam tergantung pada :

– penurunan parasitemia, dimana perhitungan parasit darah dilakukan dua kali sehari. – efek samping atau keracunan kina, seperti tuli, tinitus, muntah-muntah, sakit perut, penglihatan berkurang dan koma. – konsentrasi kina di dalam plasma, dibandingkan sebelum dan sesudah pemberian kina intravena. – fungsi hati seperti kadar bilirubin, albumin dan transa- minase. – fungsi ginjal seperti kadar ureum dan kreatinin.

Jadi dosis kina intravena perlu dikurangi bila parasitemia telah menurun, penderita masih dalam keadaan koma, ada kelainan fungsi hati, atau kelainan fungsi ginjal. Jika keadaan tersebut sudah diatasi, pertimbangan untuk menaikkan dosis kina oral dari tiap 12 jam menjadi tiap 8 jam, untuk mengurangi terjadi-nya rekrudesen. 2. Transfusi darah

Transfusi darah sebanyak 4 unit, dalam waktu lebih dari 12 jam bila, kadar I-lb < 7 g% dan parasitemia sudah negatif.

3. Bila hiperpireksia dikompres dan dianginkan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 46

Page 48: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

4. Bila kejang-kejang dilakukan intubasi endotrakea dan suntikan diazepam.

5. Bila terjadi edema paru akut, hentikan cairan infus, beri oksigen dan suntikan diuretika intravena.

6. Bila terjadi hipoglisemia beri suntikan dekstrosa 50% di-lanjutkan dengan infus dekstrosa 5–10%.

PENUTUP

Dengan mengetahui bentuk-bentuk dan cara penang gulangan malaria berat, diharapkan angka kematian karena penyakit ini dapat diturunkan dengan menegakkan diagnosa sedini mungkin dan pemberian pengobatan yang tepat dan adekwat.

KEPUSTAKAAN

1. Bell DR. Malaria In Lecture Notes on Tropical Medicine. ist ed. Oxford, London, Edinburgh, Boston, Melbourne : Blackwell Scientific Publication, 1983; 9-10.

2. Bhamarapravati N, Boonpuncknavig S, Boonpuncknavig V, Yaem-boonruang C. Glomerular change in acute Plasmodium falciparum infection, an immunipathologic study.: Pathol 1973; 96: 289.

3. Brooks MH, Kiel FW, Sheehy TW, dan Barry KG. Acute pulmonary edema in falciparum malaria. A Clinicopathological correlation. N Engl J Med 1968; 279 : 732–737.

4. Chipman M, Cadigen FC, Benyapongse W. Involvement of the nervous system in malaria in Thailand. Trop Geographi Med 1967; 19 : 8–14.

5. Chongsuphajaisiddhi T. Pathophysiology of malaria, Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 1981; 12: 298-307.

6. Conrad ME. Pathophysiology of malaria : Hematologic observation in human and animal studies. Ann Intern Med 1969; 70 : 134–141.

7. Fletcher JR, Butler T, Kpriva CJ, dkk. Acute Plasmodium falciparum malaria : Vital capacity blood gases and coagulation. Arch Intern Med 1972i 129 : 617–619.

8. Fogel BJ, Shields CE, dan Doenhoff VAER. The osmotic fragility of erythrocytes in experimental malaria. Am J Trop Med Hyg, 1966; 15 : 269–274.

9. Garnham PCC. Plasmodium falciparum. In : Krier JP Malaria I, eds Epidemiology, Chemotherapy, Morphology and Metabilism. New York, London, Toronto, Sydney, San Francisco : Academic Press, 1980; 104–109.

10. Hall AP, Schneider RJ, Nanakom A, West HJ. Jaundice in Falciparum malaria. Annual Report SEATO Medical Research Labotarory, 1975; 234-236.

11. Hall AP. The treatment of severe falciparum malaria. Transanction; of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 1977; 71 : 367–379.

12. Harinasuta T, Dixon KE, Warrel DA, dan Doberstyn. Recent advance in malaria with special reference to Southeast Asia. Southeast Asia Journal of Tropical Medicine and Public Health, 1,982;13 : 1–34.

13. Karney WW, Tong MJ. Malabsorption in Plasmodium falciparum malaria. Am J Trop Med Hyg, 1972; 21 (1) : 1–5.

14. Looareesuwan S. Cerebral malaria : Management and Care. Far East Health, 1984; 16–18.

15. Maegraith BG. Other pathological process in malaria. Bulletin of World Health Organization, 1974; 50 : 187–193.

16. Maegraith BG. Malaria. In : Adams & Maegraith 7th ed. Clinical Tropical Diseases. Oxford, London, Edinburgh, Melbourne : Blackwell Scientific Publications, 1980; 240.

17. Manson–Bahr PEC & Apted FIC. Malaria and Babesiosin. In: .18th ed. Manson's Tropical Disease. London: The English Language Book Society and Bailliere Tindall, 1983; 38–69.

18. Mashaal H. Clinical Malariology : Southeast Asian Medical Information Center. International Medical Foundation of Japan, 1986; 366-367.

19. McGregor IA, Wilson ME, Billewicz WZ. Malaria infection of the placenta in the Gambia, West Africa, its incidence and relation-ship to stillbirth, birthweight and placental weigth. Transanctions on the Royak Society of Tropical Medicine and Hygiene, 1983; 77 : 232–244.

20. McGregor IA. Epidemiologu, Malaria and Pregnancy. Am J Trop Med Hyg, 1984; 33 (4) : 517–525.

21. Miller LH, Chien S, Usami S. Decreased deformability of Plasmo- dium coatneyi-infected red cells and its possible realtion to cere- bral malaria. Am J Trop Med Hyg, 1972; 21 : 133–137.

22. Miller LH. Malaria. In:. 1st eds. Tropical and Geographical Medi- cine. New York : Mc Graw-Hill Book Company, 1984; 223–239.

23. Pinder RM. Malaria Parasites. In: 1st ed. Malaria. Bristol : Scien- technica Ltd, 1973; 38–40.

24. Pirk LA, Engelberg R. Hypoprothrombinemic action of quinine sulphate. J Am Med Ass 1945; 128: 1093.

25. Punyagupta S, Srichaikul T, Nitiyanat P, Petchclai B. Acute pul- monary insufficency in falciparum malaria: summary 12 cases with evidence of DIC. J Trop Med Hyg, 1974; 23 (4) : 551–559.

26. Ramachandran S, Perera MV. Jaundice and hevatomeealy in primary malaria. Am J Trop Med Hyg, 1999; 79: 207–210.

27. Schmutzhard E, Gerstenbrand F. Cerebral malaria in Tanzania. Its epidemiology, clinical symptoms and neurological longterm sequeleae in the light of 66 cases. Transanctions of the Royal of Tropical Medicine and Hygiene 1984;'78 : 351-353.

28. Sitprija V. Renal involvement in malaria. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 1970; 64 (5): 695–699.

29. Skudowitz RB, Katz J, Lurie A, Levin J. dan Metz J. Mechanisms of thrombocytopenia in Malignant tertian malaria. Br Med J, 1973;2 : 515–517.

30. Srichaikul T, Panikbutr N, dan Jeumtrakul P. Bone-marrow changes in human malaria. Ann Trop Med Parasitol, 1967; 61 : 40–51.

31. Warrel DA, Looareesuwan S. Warrel MJ, et al. Dexamethasone proves deleterious in cerebral malaria. A double blind trial in 100 comatous patients. The N Eng J Med, 1982; 306 : 313–319.

32. White NJ, Warrel DA; Chanthavanich P, dkk. Severe hypoglycemia and hyperinsulinemia in falciparum malaria. N Eng J Med, 1983; 309 : 61–66..

33. WHO. The clinical management of acute malaria. WHO-SEARO 1980;9. 34. WHO. The clinical management of acute malaria. 2nd eds. New Delhi:

WHO Regional Publications, South-East Asia, 1986; 9 : 19–22.

Kalender Kegiatan Ilmiah International Hospital Federation Regional Conference,Indonesia Hospital Association 4th Congress, 5th Inter-national Hospital Expo. Tanggal : .19 – 13 Juni 1988 Tempat : Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Sekretariat: OC – RS PGI "TJIKINI"

Jalan Raden Saleh 40 Jakarta 10330 Tel. 324663, 337104 Hospex 88 – RS SUMBER WARAS Jalan Kyai Tapa, Grogol Jakarta 11440 Tel. 596011 ext. 138

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 47

Page 49: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Pengamatan Virus Dengue Beberapa Kota di Indonesia, 1986

Drh Suharyono Wuryadi, MPH

Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (PBD) yang pertama

kali dilaporkan dari Jakarta dan Surabaya pada tahun 1969, saat ini telah menyebar ke 26 dari 27 provinsi di Indonesia. Kalau mula-mula penyakit ini hanya dilaporkan dari kota-kota besar saja, akhir-akhir ini penyakit DBD juga dilaporkan dari daerah-daerah pedesaan, bahkan dari daerah-daerah yang ter-pencil.

Jumlah kasus makin meningkat dari tahun ke tahun. Untuk lima tahun terakhir kasus DBD dilaporkan antara 13.000 sampai 15.000 per tahunnya dengan angka kematian (CFR) sekitar 4%.

Mekanisme terjadinya penyakit ini belum diketahui jelas. Demikian juga mekanisme terjadinya wabah, endemisitas, dan daerah bebas (DBB), masih belum jelas. Satu-satunya hal yang diketahui dengan pasti adalah bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes egypti/Aedes albopictus, sehingga pem-berantasannya dapat dilakukan dengan membasmi kedua nyamuk tersebut, baik bentuk dewasanya maupun jentik-jentiknya.

Per1u,diketahui pengamatan secara terus-menerus terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit tersebut, baik dari segi penderita, vektor, maupūn virusnya sendiri agar dapat membantu mengatasi masalah-masalah yang belum diketahui.

Di slid kami akan melaporkan kegiatan pengamatan, ter-hadap virus Dengue, dengan jalan mengisolasi virus tersebut dari penderita-penderita DBD dari berbagai tempat di Indo-nesia. Pengamatan ini merupakan lanjutan dari pengamatan terhadap virus Dengue yang telah dilakukan sejak tahun 1975. CARA KERJA

Untuk Jakarta contoh •dikumpulkan dari RSCM dan RS Sumber Waras, bagian Ilmu Kesehatan Anak. Untuk Yogya contoh dikumpulkan dari RS Dokter Sardjito juga Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Sedang untuk Medan, mengingat sulitnya di dapatkan kasus-kasus DBD, maka contoh diambil dari penderita-penderita panas yang tidak diketahui sebabnya

(kurang dari 5 had) dari poliklinik-poliklinik. Untuk diagnosa klinik kasus-kasus di Jakarta dan Yogya

dipakai kriteria WHO sedangkan untuk kasus-kasus panas yang tidak diketahui sebabnya (FUO, Fever of Unknown Origin) diambil dari kriteria untuk FUO.

Contoh dari Jakarta dikirim langsung ke Puslit Penyakit Menular dalam bentuk darah dalam termos yang berisi es, sedang untuk Yogya dan Medan, setelah darah diambil dari penderita, serumnya dipisahkan dan dimasukkan dalam vial dan disimpan dalam liquid nitrogen container, yang kemudian dikirim dengan pesawat ke Jakarta.

Contoh akut dan konvalesen dites secara bersama-sama dengan metoda HI test (Haemagglutinasitnhibisi Test), dengan menggunakan 4–8 unit antigen. Serum yang menunjukkan HI positif dipakai untuk isolasi virus. Isolasi virus dilakukan dengan menggunakan teknik penyuntikan pada nyatnuk. Di sini dipakai nyamuk Toxorhynchites ambionensis. Identifikasi flavivirus dilakukan dengan Teknik fluorescein antibody secara langsung.Sedang identifikasi serotype dilakukan dengan teknik fluorescein antibody secara tidak langsung dengan menggunakan antibodi monoklonal. HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama periode 1986 dapat dikumpulkan sebanyak 875 contoh dengan perincian: Jakarta 662, Yogya 123, dan Medan 90. (Lihat Tabel 1). Hasil Tes HI menunjukkan bahwa dari Jakarta terdapat 310 yang positif, Yogya 61 dan Medan 22. Dari yang positif Tes HI, dari Jakarta 1,3% adalah reaksi Tabel 1. Jumlah contoh DBD/FUO yang terkumpul dari Jakarta, Yogya

dan Medan serta hasil Tes HI-nya, tahun 1986

Lokasi Jumlah Contoh

Tes HI Positif

lnfeksi Primer

Jakarta Yogya Medan

662 123 90

310 61 22

4 ( 1,3%) 2 ( 3,2%) 4 (18,2%)

Total 875 393 10 ( 3,0%)

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 48

Page 50: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

primer. Sedangkan Yogya 3,2% adalah reaksi primer dan Me-dan 18,9%. Hal ini menunjukkan bahwa endemisitas di Medan jauh lebih rendah. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan mengapa di Medan tidak dijumpai banyak kasus DBD.

Apabila kita lihat hasil isolasi virus, dari ketiga kota ter-sebut terisolasi sebanyak 80 virus Dengue (Lihat Tabel 2). Terlihat bahwa untuk Jakarta, Dengue 3 masih lebih dominan dibanding serotipe yang lain, disusul oleh Dengue 2 dan ke-mudian Dengue 1 dan terakhir Dengue 4. Untuk Yogya, Dengue 3 juga merupakan serotipe yang dominan, demikian juga Dengue 1, bare disusul oleh Dengue 2 dan yang terakhir Dengue 4. Sedangkan untuk Medan Dengue 2 merupakan serotipe yang dominan disusul oleh Dengue 3 dan Dengue 1. Pada periode ini di Medan tidak terisolasi Dengue 4. Kalau kita lihat secara keseluruhan Dengue 3 tetap merupakan serotipe yang dominan, disusul oleh Dengue 2, Dengue 1 dan terakhir Dengue 4.

Tabel 2. Hasil isolasi virus dan serotipe dad penderita DBD di Jakarta, Yogya dan Medan, 1986

Serotipe Lokasi

D1 D2 D3 D4 Total

Jakarta Yogya Medan

4 11 1

16 8 3

21 11 2

1 2 –

42 32 6

Total 16 27 34 3 80

Kalau kita lihat hubungan antara berat ringannya penyakit

dengan serotipe virus, kita dapati bahwa Dengue 3 dan Dengue 2 merupakan serotipe yang banyak berhubungan dengan kasus-kasus yang berat, sedang Dengue 4 hanya berhubungan dengan kasus-kasus yang ringan saja. (Lihat Tabel 3). Tabel 3. Hubungan antara bent ringan penyakit dengan serotipe virus

dengue dad penderita DBD dari Jakarta, Yogya dan Medan, 1986

Serotipe Derajat/grade

D1 D2 D3 D4 Total

Derajat 1/DF Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4

9 3 – –

12 11 4 –

9 16 6 1

3 – – –

33 30 10 1

Total 12 27 32 3 74

Pada tahun 1986 terjadi kejadian luar biasa berupa wabah

DBD di Kotamadya Bandung, Jawa Barat. Selama periode wabah tersebut (8 bulan), 'dilaporkan sebanyak 1331 kasus dengan kematian 3,2%. Satu hal yang menarik dari wabah tersebut, adalah diketemukannya kasus-kasus dewasa/remaja (di atas 15 tahun). Adanya kasus DBD pada remaja/dewasa sudah lama dilaporkan tetapi pada wabah di Bandung pe-ningkatan penderita remaja/dewasa sangat menyolok (505 orang). Kasus-kasus dewasa banyak terdapat pada orang-orang

berumur 30 tahun ke atas, bahkan di atas 50 tahun. Meskipun kasus-kasus dewasa meningkat, tetapi angka kematiannya relatif rendah.

Hasil isolasi virus dari penderita remaja/dewasa dari wabah di Bandung dapat dilihat pada label . Tabel 4. Hasil isolasi virus dan serotipe dad penderita DBD pada waktu

wabah di Bandung, Jawa Barat, 1986

Serotipe Lokasi

DI D2 D3 D4 Total

Kodya Bandung 1 6 5 1 13

Terliha bahwa keempat serotipe dapat diisolasi. Dengue 2

dan Dengue 3 merupakan serotipe yang dominan disusul oleh Dengue 1 dan Dengue 4. Berhubung data klinis tidak dapat diperoleh maka hubungan antara serotipe dengan berat ringannya penyakit tidak dapat dilihat.

Kalau kita bandingkan dengan hasil pengamatan pada kegiatan serupa dari tahun-tahun sebelumnya, temyata bahwa virus Dengue pada periode 1986 mempunyai pola yang sama dengan tallun-tahun sebelumnya, yaitu Dengue 3 merupakan serotipe yang selalu dominan dibandingkan dengan serotipe yang lain, diikuti oleh Dengue 2, Dengue 1 dan kemudian Dengue 4. Dengue 2 pada waktu-waktu tertentu menyamai Dengue 3 dalam predominansi, bahkan kadang-kadang me-lebihi. Dengue 4 selama pengamatan selalu merupakan serotipe yang paling tidak dominan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena infeksi Dengue 4 memperlihatkan manifestasi klinik yang ringan. Sedang kalau kita lihat hubungan antara berat ringannya penyakit dengan serotipe 'masih terlihat bahwa Dengue 3 paling banyak berhubungan dengan kasus-kasus yang berat, disusul oleh Dengue 2. KESIMPULAN 1. Semua serotipe masih endemis di Indonesia. 2. Dengue 3 masih merupakan serotipe yang dominan disusul

Dengue 2, Dengue 1 dan kemudian Dengue 4. 3. Dengue 2 dan Dengue 3 juga masih merupakan serotipe

yang banyak berhubungan dengan kasus-kasus yang berat. 4. Semua serotipe, dapat menyebabkan Demam Berdarah

Dengue pada remaja/dewasa.

KEPUSTAKAAN

1. Anon. Dengue Haemorrhagic Fever Diagnose, Treatment and Contro

WHO Geneve, 1986. 2. Anon. Laporan Hasil Pemberantasan Vektor DBD di Kodya Ban-

dung. Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 1986.

3. Suharyono W. Surveillance Virus Dengue di Beberapa Kota di Indonesia, 1986. Laporan Penelitian Pusat Penelitian Penyakit Menular, Jakarta, 1987.

4. Suharyono W. Sepuluh Tahun Pengamatan Virus Dengue di Indo- nesia, 1975–1985. Simposium Demam Berdarah Dengue, Jakarta, 26 Juli 1986.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 49

Page 51: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Peranan, Pengelolaan dan Pengembangbiakan Hewan Percobaan

Edhie Sulaksono Pusat Penelitian Penyalit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang 1imiliki ataupun yang dipakai sebagai Animal model oleh suatu laboratorium medis baik itu dibidang fannasi, phisiologi, ekologi, mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi dan sebagainya di negara manapun merupakan suatu "modal dasar" dan "model hidup" yang mutlak dalam berbagai kegiatan penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah yang digunakan sebagai alat penilai atau merupakan "model hidup" dal= suatu kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium baik medis maupun non medis secara in vivo. Di dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengem-bangan flint' dan teknologi, kebutuhan akan sumber hayati ini (hewan percobaan) makin hari makin meningkat terutama untuk kepentingan riset biomedis maupun pendidikan baik di idalam maupun di luar negeri. Bahkan secara nasional negara kita adalah salah satu negara pensuplai kebutuhan tersebut (misalnya kera). Dipihak lain belum banyak usaha yang ter-padu & programatis dalam penanganan hewan percobaan baik dalam kwalitas maupun kwantitas, kecuali pada phak yang benar-benar mengerti dan sadar akan kepentingan ini. Salah satu hal yang nampaknya kontroversiil ialah pemanfaatan hewan percobaan untuk kepentingan penejitian dan pendidikan di Indonesia masih belum berkembang. Kera adalah alternatip terakhir sebagai animal model yang masih diperlukan penyempurnaan jaringan distribusi dart pengembangan-biakan-nya melalui beberapa alternatip seperti program pembiakan di kandang (in captivity). Di negara yang sudah maju (Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa), masalah hewan percobaan tidak hanya ditangani oleh pihak pemerintah tetapi juga swasta (dengan berdirinya commercial breeder). Hal yang lain adalah adanya sementara pihak yang menggunakan hewan untuk percobaan, dimana hewan tersebut diperoleh dan pasar hewan yang tidak diketahui asal usulnya apalagi sistim pe-ngembangbiakkannya.Oleh karena itu usaha di dalam melawan hal-hal yang nampaknya kontroversiil tersebut, merupakan usaha yang mendesak dilakukan supaya sumber hayati ter-

sebut baik small laboratory animal maupun large laboratory animal dapat dimanfaatkan secara optimal. MACAM HEWAN PERCOBAAN(Terlampir pada Lampiran) 1) Peranan Hewan Percobaan Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan nasional bahkan internasional, dalam rangka keselamatan umat manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki.

Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan yang meng-gunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya di-

Lampiran I.

Jenis hewan yang tergolong hewan percobaan

No. Jenis hewan percobaan Spesies

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10.11.12.

13.14.15.16.17.18.19.20.21.22.23.

Mencit (Laboratory mince) Tikus (Laboratory Rat) Golden (Syrian) Haruster Chinese Haruster Marmut Kelinci Mongolian gerbil Forret Tikus kapas (cotton rat) Anjing Kucing Kera ekor panjang (Cynomolgus) Barak Lutung/monyet daun Kera rhesus Chimpanzee Kera Sulawesi Babi Ayam Burung dara Katak Salamander Dan lain-lain

Mus musculus Rattus norvegicus Mescoricetus auratus Cricetulus griseus Cavia porcellus (Cavia cobaya) Oryctolagus cuniculus Meriones unguiculatus Mustela putorius furo Sigmodon hispidus Canis familiaris Fells catus Macaca fascicularis (Macaca irus) Macaca nemestrina Presbytis ctistata Macaca mulata Pan troglodytes Macaca nigra Sus scrofa domestica Gallus domesticus Columba livia domestica Rana sp. Hynobius sp.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 50

Page 52: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

lakukan percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia, sehingga dengan demikian jelas hewan per-cobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya me-nunjang program keselamatan umat manusia melalui suatu penelitian biomedis.

Selain itu berdasarkan deklarasi tersebut, cukup beralasan pula bila penelitian lain misalnya tentang aspek fisiologis, patologis, dan penyakit pada manusia, nutrisi, virus, penelitian perilaku dan sebagainya, dapat dilakukan pada hewan percobaan sebagai modelnya dengan segala persyaratan tertentu.

Berdasrakan referensi data yang diperoleh dari National Institute of Health Primate Research centers, 1978, syarat utama dalam pemilihan hewan percobaan yang sesuai dan dapat dipakai sebagai model adalah bahwa proses yang terjadi pada hewan percobaan tersebut mirip atau banyak ke-samaannya dengan proses yang terjadi pada manusia. Di-. samping itu mudah didapat , mudah dikembang-biakkan dan relatip murah harganya.

Secara terperinci peranan hewan percobaan berorientasi kepada kegiatan penelitian maupun pemeriksaan laboratorium medis, misalnya dalam hal : 1. Bio assay dari produk biologi (vaksin, sera dan sebagainya)

yaitu tentang dosis efektipnya, efek sampingannya (safety test), pemeniksaan keracunan (toxicity test) dan lain se- bagainya.

2. Pemeriksaan kemampuan suatu obat dan bahan makanan, bahkan obat tradisionil.

3. Pembuatan vaksin dan produk biologi lainnya (antibiotik, hormon, vitamin dan lain sebagainya).

4. Pemeriksaan penyakit (kanker). 5. Bahan praktek anatomi mahasiswa Kedokteran dan Biologi. Pada dasarnya hewan percobaan dapat merupakan suatu kunci dalam mengembangkan suatu vaksin dan telah banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan kedokteran, khususnya pengetahuan tentang berbagai macam penyakit seperti: malaria, filariasis, demam berdarah, TBC, gangguan jiwa dan semacam bentuk kanker. Hewan percobaan tersebut adalah kera (Macaca fas-cicularis) oleh karena sebagai alternatip terakhir sebagai animal model. Kara memiliki kemiripan dengan manusia bail( anatomis maupun fisiologis. Satelah melihat beberapa ke-mungkinan peranan hewan percobaan, maka dengan ber-kurangnya atau bahkan tidak tersedianya hewan percobaan, akan berakibat . penurunan standar keselamatan obat-obatan dan vaksin, bahkan dapat melumpuhkan beberapa riset medis yang sangat dibutuhkan manusia. Pengelolaan Hewan Percobaan Pada dasamya pengelolaan hewan percobaan dititikberatkan pada: 1. Kondisi bangunan. Persyaratan ini sangat menentukan

kondisi hewan percobaan, karena bentuk, ukuran serta bahan yang dipakai merupakan elemen dalam physical environment bagi hewan percobaan. Bangunan harus di-rancang sedemikian rupa sehingga hewan dapat hidup dengan tenang, tidak terlalu lembab, dapat menghasilkan-peredaran udara yang baik, suhu cocok, ventilasi lengkap

dengan insect proof screen (kawat nyamuk). 2. Sanitasi. Dari bangunan tersebut diambil manfaatnya

dengan dapat terselenggaranya sistim sanitasi yang baik, sistim drainase yang baik, tersedianya fasilitas desinfektan, misalnya dengan jalan menempatkan tempat khusus yang berisi desinfektan (lysol 3–5%) atau disebut dengan Foot baths. (Macam bahan desinfektan lihat lampiran 2). Sanitasi kandang atau peralatan lainnya dilakukan dengan teratiir. Disamping itu bagi tenaga pengelola perlu mengenakan lab jas (Protective clothing) atau peralatan proteksi lainnya seperti masker dan sebagainya. Peralatan sanitasi lainnya seperti halnya autoclave pembakar bangkai, fumigator bahkan fasilitas shower dan toilet bila perlu diusahakan ada.

3. Tersedianya makanan hewan percobaan yang nitritiv dan dalam jumlah yang cukup. Penyimpanannya harus baik, terhindar dari lingkungan yang lembab, diusahakan bebas dari insekta atau hewan penggerek lainnya, karena dengan adanya ini dapat merupakan petunjuk adanya kerusakan bahan makanan hewan dan sebagai usaha pencegahannya adalah makanan ditempatkan dalam kantong-kantong plastik yang waterproof, bila perlu dalam kondisi anaerob (dengan menggunakan vaccum pump) dan tertutup rapat. Bentuk makanan bila perlu diusahakan berbentuk pellet (cetakan seperti pil atau berbentuk silinder) dengan dia- meter tertentu tergantung macam hewannya. Keuntungan- nya adalah dapat disimpan lama (lebih-lebih bila anaerob), makanan bisa habis termakan (dibandingkan bila dalam bentuk mess atau powder) serta kontrol terhadap makan- an yang dimakan lebih mudah dan lain-lain keuntungan.

4. Kebutuhan air dapat diperoleh dengan mudah dan lancer dan usahakan tidak terlalu tinggi kandungan mineralnya serta bersih.

5. Sirkulasi udara. Dengan adanya sistim ventilasi yang baik, sirkulasi udara dapat diatur lebih-lebih bila dipasang ex-haust fan.

6. Penerangan diperlukan sekali terutama dalam pengaturan proses reproduksi hewan Haruster, karena siklus estrus (siklus reproduksinya) sangat tergantung oleh penerangan dan bila tidak terdapat penerangan akan menyebabkan terhambatnya proses reproduksi.

7. Kelembaban dan temperatur ruangan. Adapun kelembaban dan temperatur ruangan yang direkomendasikan bagi maiing-masing hewan percobaan adalah sebagai berikut: (Lihat Tabel 1).

8. Keamanan. Maksud dari pada keamanan ini adalah menjaga jangan sampai terjadi infeksi penyakit baik yang berasal dari hewan maupun manusia. Sehingga sebagai usaha pencegahan tidak diperkenankan semua orang keluar masuk ruangan hewan (lebih-lebih bila hewannya adalah bebas kuman atau yang disebut dengan Germ Free Animals tanpa suatu keperluan apapun.

9. Training/kursus bagi personiL Dalam program pemelihara-an hewan percobaan diperlukan tenaga yang terlatih dan berpengalaman yang cukup, karena ilmu yang menyangkut hewan percobaan dapat melibatkan banyak aspek ilmu, sehingga diperlukan sekali adanya kursus baik tenaga administrasi maupun tenaga teknis.

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 51

Page 53: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Lampiran 2. Desinfektan

(Zat kimia anti penularan penyakit)

Disinfektan Konsentrasi (ukuran kemampuan) Tingkat kemajuan Catatan dalam penggunaannya.

1 2 3 4

1. Formaldehyde 10–20% – Manjur terhadap bakteri, kuman – Dapat meracuni kulit. tuberculi dan virus. – Rangsangan gatal. – Penjeladan pada bahan-bahan or-

ganik. 2. Yodium tintur. Yodium 0,5% – Manjur terhadap bakteri dan virus – Timbul karat pada logam.

Alkohol 70% – Kurang manjur untuk kuman – Mewarnai padajaringan kulit dan tuberculi. bahan-bahan lainnya.

3. Alkohol ethyle. 70–90% – Manjur terhadap bakteri, kuman- – Bekerja cepat. kuman tuberculi dan beberapa – Mudah menguap. macam virus. – Peka terhadap panas.

4. Isopropyl alkohol. 30–50% – s.d.a. – – Timbul rangsangan terhadap mata dan kulit.

– Meracuni lewat udara pernafasan. 5. C h I o r i n e. 500–5000 p.p.m. – Manjur terhadap bakteri dan'virus – Kurang manjur bila bercampur – Kurang manjur untuk pertumbuh- dengan bahan organik. an bakteri dan jamur. – Timbul karat pada logam. – Tidak manjur terhadap kuman – Timbul gatal pada kulit. tuberculi. – Meinpunyai sifat memutihkan.

6. P h e n o 1 1–3% – Manjur terhadap bakteri dan ku- – Mempunyai kemampuan sebagai man tuberculi. disinfeksi yang tetap. – Kurang manjur terhadap jamur – Sedikit bau dan merangsang. dan pertumbuhan bakteri. – Sangat manjur bila bercampur – Tidak manjur terhadap virus. dengan bahan organik.

Timbul karat pada logam. Timbul gatal pada kulit.

7. Benzolkonium chloride lebih – Manjur terhadap bakteri gram- – Makin ringan. dari 0,01%. positip (+). – Daya racun yang rendah. Benzethonium chloride lebih – Kurang manjur terhadap bakteri – Tidak manjur bila dicampur de- dari 0,01%. gram negatif (–). ngan sabun. Cetyl trimethylammonium – Tidak manjur terhadap pertumbu- – Tahan terhadap adanya serat. bronide 0,1 – 0,5%. han bakteri dan kuman tuberculi.

8. Dan lain-lain.

Cara memegang hewan (handling) dan penentuan jenis kelamin Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah ber,eda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya. Adapun cara memegang dan penentuan jenis kelamin untuk masing-masing hewan yang umum dipakai dalam percobaan adalah seperti pada gambar berikut ini. (Lihat gambar).

Bidang Binatang Percobaan Pusat Penelitian Penyakit Menula

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 52

Page 54: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Identiftikasi (Pemberian tanda pada hewan). Tujuan dari pada pemberian tanda pada hewan adalah di-samping untuk mencegah kekeliruan hewan dalam sistim pembiakannya juga untuk mempermudah pengamatan dalam percobaan. Bermacam-macam cara yang dipakai dalam iden-tifikasi tergantung kepada selera dan juga lama tidaknya hewan tersebut terpaki atau dipelihara. (marking, ear punching, too clipping, ear tags, tattocing, coat colors).

Berikut ini adalah contoh dari pada identifkasi dengan cara Ear punch (melobangi telinga dengan alat khusus).

Tabel 1. Kelembaban dan temperatur ruangan yang direkomendasikan bagi hewan percobaan

Recommended Range of

Species Tempera- ture, F

Relative Humidity Percent

Tempera-ture, F

Relative Humidity Percent

Mouse (Mencit) Rat (Tikus) Cotton Rat Mastomys Gerbils Haruster Guinea pig (Marmut) Ferret (Berang-berang) Rabbit (Kelinci) Cat (Kucing) Dog (Anjing) Monkeys (Kara) From Afrika- Cercopithecidae* Baboons* Chimpanzees* From India and Far East- Rhesus Cynamolgus* From the New World- Spider monkey* Capuchin*

72 72 72 72 72 72 70 63 65 63 60

80 75 80

70 80

80 80

50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50

55 55 58

50 58

55 55

68-72 65-75 65-75 65-75 65-75 65-75 65-75 60-65 62-68 60-65 55-65

78-85 65-78 78-82

68-72 78-85

78-82 78-82

45-55 45-55 45-55 45-55 45-55 45-55 45-55 45-55 45-55 45-55 45-55

50-60 50-60 55-60

45-55 55-60

50-60 50-60

(Short, D.J, 1963)

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 53

Page 55: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Pengembang Biakan (Breeding) Hewan Percobaan Pada dasarnya cara pengembangbiakkan untuk semua jenis

hewan percobaan ada dua macam : 1. Berdasarkan ratio hewan jantan dan betina dalam koloni. Terdiri dari tiga macam : a) Perkawinan 1 : 1 (monogamous pair mating), yaitu bila 1 ekor jantan dikawinkan dengan 1 ekor betina dalam satu koloni. b) Perkawinan 1 : 3 (trio mating), yaitu bila 1 ekor jantan dikawinkan dengan 3 ekor betina dalam satu koloni. c) Perkawinan harem (harem mating), yaitu satu ekor jantan mengawini lebih dari 4 ekor betina dalam koloni. Pada cara ini biasanya dilakukan untuk efisiensi tempat/box dan ruangan, hanya lebih riskan terjadi kanibalisme lebih-lebih bila terjadi malnutrisi. 2. Berdasarkan sistim, dapat dibagi menjadi : a) Pengembangbiakkan secara random/acak (Random bree-

ding). • Mencit Misalnya suatu lab medis akan mendirikan lab hewan per-cobaan sebanyak 3 (tiga) unit/grup baik monogamous pair mating, trio mating maupun harem mating. Maka sistimnya adalah sebagai berikut : Kemungkinan A

Unit 1 adalah terisi oleh d yang berasal dari unit 3 dan 9 dari unit 2, demikian seterusnya sehingga akan diperoleh randomi-zed animals. Adapun pengertian unit 1, 2 dan 3 adalah unit tersebut dapat dalam satu ruangan atau terpisah satu sama lainnya. Bila terpisah satu sama lainnya, maka sebagai resiko-nya dijaga jangan sampai terjadi kontaminasi penyakit dari unit satu ke unit lainnya.

Kemungkinan B

Berbeda dengan kemungkinan A, pada kemungkinan B ini hanya hewan betina saja yang berpindah dari ruangan/unit satu ke unit lainnya.

• Marmut (Guinea Pig) Pada hewan marmut pada prinsipnya adalah sama dengan cara yang dilakukan pada mencit. Hanya yang perlu diingat adalah dengan cara ini dapat dihindarkan kemungkinan terjadi per-kawinan antara saudara sekandung (brother sister mating). Demikian pula pada kelinci atau hewan-hewan lainnya, dan agar produksi dapat diperoleh dengan teratur, maka harus

diprogramkan sebagai berikut : Hewan Terbagi 3 Kelompok (A, B dan C).

Adapun sebagai data reproduksi hewan-hewan percobaan (betina) seperti yang terlampir. (Lihat Lampiran 3). b) Pengembangbiakkan secara garis murni (Inbreeding).

Tujuan dari pada inbreeding ini adalah untuk mendapatkan hewan yang homozygote (yang unggul dalam salah satu sifat, misalnya mempunyai kemampuan yang tinggi dalam kenaikan berat badan dan sifat ini menurun). Untuk itu diperlukan sistim perkawinan yang sama sekali berlainan dengan random breeding, yaitu dengan cara mengawinkan hewan yang sekandung (atau disebut brother sister mating) dan dalam 20 generasi sudah didapatkan hewan yang inbred. Untuk mengetahui hewan yang didapatkan sudah inbred atau belum salah satu cara adalah dengan skin graft test, yaitu dengan memindahkan kulit dari hewan situ ke hewan lainnya yang jenis kelaminnya sama. Adapun gambaran sistim ini adalah sebagai berikut : – Parallel line system.

Misalnya terdapat 5 kelompok hewan, masing-masing di-kawinkan monogamous pair mating dan dikembangbiakkan menurut garis keturunan yang terpisah satu sama lainnya.

dan seterusnya 20 gen

– Single line system Dari ke 5 kelompok hewan dipilihi satu pasang yang me-nunjukkan sifat genetis yang baik, kemudian dari kelompok dikembangkan menjadi 5 kelompok dimana masing-masing kelompok masih mempunyai hubui1gan saudara. Hal ini bisa dilakukan bila hewannya mencukupi. (Lihat gambar )

c) Pengembangbiakkan secara silang (Cross breeding). Yaitu suatu sistim perkawinan dari 2 atau lebih hewan yang berasal dari keluarga yang berbeda (tidak berkerabat). Tujuan-nya adalah untuk mendapatkan hewan yang unggul pada ke-

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 54

Page 56: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Lampiran 3. Data Breeding hewan percobaan (betina)

Spesies Umur saat dikawin-

kan

Berat rata-ratasaat dikawin-

kan

Lama kebun- tingan

Jumlah ke- lahiran

(litter zise)

Umur saat di disapih

Berat rata-ratasapihan

Saat kemungkin- an kawin kern-

bali (setelah par- tus).

Mencit (Mus musculus) Rat (Rattus norwegicus). Cavia Porcellus (Marmut) Keānci (Dryctolgus) Kelinci (type kecil) Golden Haruster (Mesocrice- tus auratus). Chinese Haruster (Cricetulus- griseus). Anjing (Canis familiaris). Kucing (Fells catus). Monyet (Macaca fascicularis).

6 minggu

70–80 hari 12 minggu

9 bulan

6 minggu 6 minggu

8–12 ming gu

14 bulan

7–9 bulan

0–4 tahun 0–3 tahun

18–20 g.

150 gr. -

500–550 gr. 2,5–3,5 kg

1.500–2.00 gr

1.000 gr

35–40 gr.

Variable

2,5 kg

4 kg. 2,5 kg

19 – 21 hari

20 – 22 hari 65 – 72 hari

32 hari

30 hari 16 hail

20 – 21 hari

60 hari

64 – 66 hari

4 – 5 bulan

8–11

9–11 3–4 6–8

6–8 5–7

4–8

4–8

3–6

1

21 hari

22 hari 14 hari

8minggu

6 minggu 21 hail

25 hari

8 minggu

6 minggu

3–4 bulan

10 – 12 gr

35 – 40 gr

180 – 200 gr 1.500 gr.

1.000 gr. 40 gram

6 – 8 gr

Variable

700 – 800 gr Hp. Variable

700 – 800 gr

Estrus setelah ke lahiran. – idem – – idem – 3 minggu me- nyusui. – idem – 28–32 hari se- sudah melahir- kan (akhir lak- tasi). Estrus sesudah kelahiran. Musim kawin be- rikutnya. 4 minggu me- nyusui. 3 bulan.

Bidang Binatang Percobaan Pusat Penelitian Penyakit Menular

turunan yang pertama, hal ini biasanya dilakukan pada hewan piaraan (livestock). PENUTUP

Tanpa memalingkan perhatian sedikitpun dari waktu ke waktu terasa cukup besar peranan hewan percobaan dalam dunia ilmu dan teknologi khususnya dunia medis. Setelah disadari benarbenar akan hal ini, maka kemungkinan akan tercipta suatu hewan percobaan yang mempunyai bobot mutu yang cukup tinggi apabila sistim pengelolaan maupun pengembang biakannya dengan tersedianya sarana dan fasilitas yang memadai, dapat dilakukan dengan baik (programatis), sehingga secara Gambar :

Kombinasi antara parallel dan single line system.

dan seterusnya 20 gen.

tidak langsung akan diperoleh hasil percobaannya yang benar-benar dapat dipercaya. KEPUSTAKAAN Daftar Kepustakaan dapat diminta pada penuils/redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 55

Page 57: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Pengalaman Praktek

Membanggakan Dosa Pada suatu senja yang mendun

tengah dimabuk kepayang dating kesebuah Sekolah Lanjutan Atas (SLA)

Mereka memang mengaku sedanyang terlalu intim maka sang putri ksementara dapat disimpulkan pendiagnosis, saya menganjurkan supaya

Saya sudah menduganya, pendesecara belak-belakan dia minta agademikian, saya masih berusaha mdibenarkan dari segi etika kedokteran

Belum selesai saya berbicara, pe"Rupanya dokter belum tahu bah

pernah melakukan MR tiga kali. YSekarang beliau sedang cuti. Biasa-bmembesar-besarkan masalah yang seb

Demikian gencarnya pasien menmenuju sasaran. Saya betul-betul mnapas untuk berbicara, penderita suda

"Apakah dokter tidak bisa memmencari dokter lain yang dapat meno

"Saya bisa dan senang menolonmenyedot ataupun isap-mengisap say

"Wah, jika begitu kami salah alaambang pintu mereka masih sempat selamat sore. Di wajahnya tidak terbbanggalah yang terlihat. Ya, barangka

Sehidup Semati Malam tak berbintang disertai

pada malam itu, tak ketinggalan pukomplek Puskesmas Taktakan yanPuskesmas yang ada di Pedesaan Malam itu membuat kita tidur siangnya kita met bina Pos Yandu.kita diketok beberapa kali dari lusambil membalasnya dengan ucapterlihat saat itu jam menunjukkan p1985. Pintu biasanya tidak terus kisetelah diperhatika.n situasi di luabeberapa orang yang mengharapka

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 56

g sepasang merpati (dua remaja) yang nampaknya tempat praktek saya. Keduanya adalah siswa pada Negeri di kota setempat. g ngebet-ngebetnya berpacaran. Akibat hubungannya ini terlambat haid 2 bulan. Dari hasil pemeriksaari

derita sedang hmmil. Namun untuk memastikan penderita melakukan tes kehamilan. rita akan menolak melakukan tes kehamilan bahkan r langsung disedot (istilah untuk MR). Walaupun emberikan pengertian bahwa tindakan itu tidak

... nderita sudah menjegalnya. wa saya sudah biasa melakukan hal seperti ini. Saya

ang mengerjakan adalah dokter 'X' langganan saya. iasa saja, tidak ada apa-apanya, kok. Janganlah dokter enarnya kecil!"

ceracau kata-katanya meluncur seperti peluru meriam erasa terpojok, .... dan belum sempat saya mengatur h memberondong lagi dengan pertanyaan. bantu kami. Kalau memang tidak bisa, kami akan

long kami !?" g orang .... tetapi maaf, kalau untuk urusan sedot-

a tidak bisa melayaninya!" kata saya rada berkelakar. mat" gerutunya sambil berdiri lalu ngeloyor keluar. Di menoleh kepada saya serta mengucapkan permisi dan ayang rasa penyesalan sama sekali, tetapi justeru rasa li mereka bangga dengan dosadosanya.

Dr. Ketut Ngurah Laboratorium Parasitologi FK-Unud, Denpasar

dingin yang mencekam, karena akan turun hujan la kesunyiin yang sepi, begitulah malam tersebut di g kami tempati, mungkin hal ini juga dialami di di seluruh Indonesia dengan waktu yang berbeda. nyenyak, ditambah lagi kecapekan oleh karena Pada saat titik kulminasi nyenyaknya tidur, rumah ar disertai ucapan "Assalamu'alaikum" kita terjaga an "Alaikum salam Warohmatullohi Wabarokatuh" ukul 4,00 pagi, tepatnya pada tanggal 11 Desember ta bukakan, tapi dibangunkan dulu isteri tersayang, r dari jendela, lalu kita bukakan pintu dan ada n bantuan dokter. Kita lakukan anamnesa tentang

Page 58: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

penderita dan kita dapati 2 hal yang meragukan dari mereka : – Menyatakan perlunya bantuan, akibat terjadinya keracunan suami isteri yang sudah

sangat krisis. – Menyatakan ingin mengetahui atau ingin diperiksa apakah keracunan suami isteri itu

sudah meninggal atau belum. Dari hasil Anamnesa singkat itu, mereka sangat mengharapkan bantuan dokter, lalu kita

persiapkan alat-alat untuk bantuan tersebut. Kampung Bojong desa Sayar yang letaknya kira-kira 25 Km dari Komplek Puskesmas menjadi Tujuan kita, yang dapat dicapai kira-kira 1 jam dengan kendaraan sepeda motor. Sesampainya di desa tersebut masyarakat telah berkumpul menantikan kedatangan dokter, lalu kita lakukan Anamnesa singkat dengan keluarga terdekat, kemudian kita lakukan pula pemeriksaan, ternyata penderita telah meninggal dunia. Kita kumpulkan keluarga terdekat almarhum, tokoh masyarakat, dan kepala desa serta aparatnya dan kita jelaskan tentang mayat tersebut serta langkah-langkah yang akan dijalankan : – Pada pemeriksaan kedua penderita, kita jelaskan, bahwa penderita sudah meninggal

dunia. – Kasus ini harus segera dilaporkan kepada Polisi setempat. – Mayat sementara tidak boleh dirubah posisinya serta barang-barang yang ada di

sekitarnya, karena perlu untuk pemeriksaan polisi dan Visum Et Repertum. Sekitar jam 8.00 pagi hadir Tripida dan Polies dari Serang, terus dilakukan pemeriksaan Intensif dan Visum Et Repertum lebih kita lengkapi, setelah selesai semuanya dianjurkan segera dikubur. Proses kejadian ini dapat kita simpulkan, yang kita perkirakan kemungkinan besar bahwa adanya sosial ekonomi yang membuat resah keluarga tersebut, yang akhirnya memilih jalan yang tidak baik.. Pada malam kejadian tersebut suami isteri berangkat ke kota sekitar jam 20.00 wib dan membeli susu dan i iangkok plastik, setelah mereka kembali dan di rumah mereka minum susu yang telah bercampur racun, seberapa banyak yang diminum, tidak dapat ditentukan, tapi jelas adalah susu yang dicampur dengan racun serangga, hal ini kita perkirakan dari hasil pemeriksaan di lapangan. Akhirnya kita terkesima buat kasus ini apakah mereka berdua dengan rencana sehidup – semati dengan pengertian mati bersama atau apakah yang satu ingin mati dan sekaligus sebagai si pembunuh. Kasus ini tidak terungkap secara tuntas, karena proses kejadian ini tidak sampai ke pengadilan, di mana pihak keluarga suami isteri tidak ada tuntutan di belakang hari tentang kasus ini, sehingga Allah Subahan Wata' ala yang maha mengetahui. (Wallohu 'aklam bissowab).

Dr. A.M. Hasibuan Taktakan, Serang

Page 59: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

HUMOR ILMU KEDOKTERAN

OBAT PILEK Suatu ketika seorang pekerja laborato- num meminta obat untuk menyem-buhkan penyakit pileknya pada TS. Seperti biasanya diambilnya satu bung-kus sampel obat untuk keperluan ter-sebut. Namun TS tadi lupa bahwa sampel yang berisi obat, sekarang ini sudah tidak ada lagi. Memang bungkus- nya masth persis seperti bungkus sampel obat seperti yang lalu. Se-hingga pekeija laboratorium tersebut kembali pada teman sejawat dan me-nanyakan: “Lho isinya kok plester, bukan obat pilek ?“ TS tadi agak malu juga waktu itu, tetapi dengan agak diplomatis dia men-jawab: “Ya sudah itu, plesternya kan dapat dipergunakan untuk menutup lubang hidung, untuk mencegah pilek-nya keluar”.

Adhi P. Semarang

PEMANASAN Ketika Dr Badrun sedang mempersiap-kan obat yang hendak disuntikkan ke-pada penderita, tiba-tiba penderita yang sedang berbaring ditempat tidur-nya berteriak keras-keras. Karena he-ran dr Badrun bertanya: “Lho kenapa berteriak-teriak? Apa takut disuntik?” Jawab penderita: “Tidak dok, saya berteriak sekedar untuk latthan pe-manasan saja, sehingga apabila nanti disuntik tidak usah berteriak lagi.” Dokter : ?!??

Adhi P Semarang

YANG DIKULTUR Seorang ibu datang ke poliklinik pam sebuah rumah sakit. Ibu mi telah dua bulan men- dapat obat anti tuberkulosis. Dokter : “Ibu, mana hasil reak yang dikultur ?“ Pasien : “Maksud dokter bagaimana?” Dokter : “Kan dua bulan yang lalu, waktu mulai diobati, Ibu disuruh memeriksa

reaknya, termasuk juga pemerlksaan reak yang ditanam yang dikultur. Nah, setelah dua bülan ini harusnya sudah ada hasilnya itu reak yang di- tanam. Apa Ibu sudah ambil ke laboratorium ?“ Pasien : “Memang dua bulan yang lalu dokter mengatakan bahwa reak saya harus ditanam. Tetapi ……..saya kira harus ditanam di rumah. Jadi sepulang dan dokter dua bulan yang lalu langsung saya tanam reak saya di halaman rumah !!“ Dokter : (Maksud saya mau menjelaskan bahwa dikultur itu hampir sama dengan

ditanam, eh, malah ditanam di halaman). Dr. Tjandra Yoga Aditama

Jakarta TARIP DOKTER Karena sudah agak lama usaha sang ayah untuk mengeluarkan biji jagung yang berada di hidung anaknya tak berhasil, Sang anak montang-manting kesakitán, terpaksa di bawa ke Dokter Puskesmas. Setelah diperiksa sebentar, maka hidung yang tidak ke- masukan biji jagung ditutup, mulut dibuka sedikit dan disebul (ditiup agak keras) blupp biji jagung keluar. “Berapa pak dokter ?“ - “Lima ribu”, jawab mas dokter kalem. “Lho mak blupp gitu kok Rp. 5.000,– itu piye to”?. “Ooo mak bluppnya cuma sepuluh rupiah, tapi yang Rp. 4.990,– adalah “ininya pak’ kata pak dokter sambil menekan kernng dengan ujung jan.

Pratomo Ulujami

YANG DIPILIH Seorang dokter mata menyuruh pasiennya mencoba beberapa macam kaca mata: Mana yang paling cocok dan memuaskan hati nona ?‘ Jawab pasien: “Yang paling memuaskan ?......... waktu dokter memasangkan sendiri kaca mata pada muka saya tadi ????????????????????????????

Juvelin Jakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 58

Page 60: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

K.B. dan I.P. Dalam diskusi akademik di Fakultas Kedokteran (F.K.) para dosen me-ngeluh bahwa Indeks Prestasi (I.P.) mahasiswa F.K. sekarang mi agak memprihatinkan. Namun salah satu peserta diskusi dengan gaya humoris-tik menyeletuk bahwa K.B. dapat membatasi I.P. Lho kok bisa Keluarga Berencana dthubungkan dengan Indeks Prestasi mahasiswa? Dengan sebagian besar peserta masih bengong dengan pemyataan itu, peserta tad! menerang-kan bahwa yang dimaksud dengan IP olehnya bukan indeks prestasi, tetapi IP (baca: Ipe, Jawa), yang artinya adalah ipar. Yah memang K.B. dapat membatasi IP. Ada-ada saja!

Adhi P. Semarang

KALAU DITRAPKAN Di depan para mahasiswa kedokteran, seorang dokter psikiatri memberi kuliah: Salah satu tanda-tanda sehat mental, orang harus mau menerima kekecewa-an tapi untuk pelajaran dan mem-perbaiki din di masa yang akan datang“ Tiba-tiba seorang mahasiswa tunjuk jan menanyakan: . Jadi dok misalkan seorang pasien, kita tarik rekening lima ribu rupiah, dan dia kecewa sekali karena merasa mahal, dia hams menerima keadaan Kernudian untuk lain kali dia tidak mau datang berobat pada dokter ter-sebut, . . . karena telah belajar ke- adaan !“ He?????????????????????

Juvelin Jakarta

TARIP DOKTER I Karena kurang puas ditarik mahal oleh seorang dokter maka berkatakan pasien : “Dok, kenapa sth anak saya ditarik Rp. 10.000,– padahal anak-anak yang lain tadi cuma sekitar Rp. 5.000,–”. Sambil menyilahkan duduk berkatalah dokter tadi “Begini pak, anak bapak saya tarik Rp. 10.000 perinciannya adalah sebagai berikut: – jasa saya Rp. 2.000,– – obat yang kental (AB) Rp. 1.500,– – obat turun panas Rp. 1.500,– – Tadi anak bapak menangis sehingga membuat resah pasien yang lain sehingga ter-paksa says menanik uang risih Rp. 1.500,– – Tadi ketika saya peniksa anak bapaic ngompol, Iho in! kan bikin pembantu saya

sewot maka terpaksa saya tambah Rp. 1.500,– – Bapak macuk kesini tad! memakal sepatu sehingga ruang in! jadi kotor, padahal

kebersihan pangkal kesehatan, maka ditambah Rp. 1.000,– – Dan yang senbu saya tank karena bapak duduk di kursi depan saya mi Pasien ??????!!!!!XXXX??????.

Pratomo Ulujami

KILAH SEORANG DOKTER PUSKESMAS. Pada waktu diadakan penutupan penataian ibu-ibu PKK mengenai gizi, maka dalam sambutannya itu ketua team penggerak PKK berkata: “Ibu-ibu sekallan, tadi Dan berbagal instansi telah menyanggupi untuk membenikan bantuan, maka kini Tiba giliran pak dokter selaku kepala puskesmas kami mohon untuk memberikan petuah sekalian saya harap bantuannya.” Pak dokter yang memang saat itu betul-betul baru lulus, bahkan selain lulus dokter juga lulus dani pondokan/alias betu1-b masth kere, maka dengan tergagap-gagap tanpa meninggalkan otak sarjananya, berkalah beliau: “Ibu-ibu, kalau tadi dari diperta membenikan bibit jeruk, dan llnas peternakan me- berii bibit ayam, dan dinas perikanan member! bibit ikan, maka dan! puskesmas ya biasanya memberi bibit. - . - penyakit. Nah kalah mau silahkan ambil.” Ibu-ibu dan para undangan: “Woooooooooooo kacau!”

Pratomo. Pemalang

HARI SENIN Sewaktu seorang dokter TKHI (Team Kesehatan Haji Indonesia) hendak mengirim rujukan ke numah sakit, lupa han! saat itu, karena kesibukannya. Untung saat itu ada jemaah yang didekatnya, maka berkatalah pak Dokter : “Pak, tolong numpang tanya, hari ini hari apa ya?” Yang dltanya kiranya samimawon (sama saja), tengok sana tengok sin! tiba-tiba dengan wajah cerah berkata: “Han! Senin pak dokter.” “Apa betul ?“ tanya pak dokter. “Betul,. iha itu ada yang pakal KORPRI berarti kan hari Senin” jawab jemaah mantap. “Tobat-tobat, Pàk in! sih di Mekah bukan di Indonesia, mungkin saja baju Korpri itulah yang masih banu buat Bapak tad!” kata pak Dokter sambil geli!.

Pratomo Ulujami

ANDAIKAN DOK Suatu ketika saya memeniksa pasien saya, stetoskop saya tempelkan di dadanya saya snruh bemafas dalam-dalam. Baru saja saya mau menulis resep, tiba-tiba pasien tersebut menanyakan: “Apa dok sebabnya, stetoskop dokten wannanya hitam ?“ Saya berfikir sebentar baru saya jawab: “Oo, itu hanya kebiasaan saja, supaya kelihatap cakep.” Sambil melihat stetoskop saya t ajam-tajam ia berkata: “Andaikan dok coklat. ... . sudah saya makan habis !!!“ ?‘799999

.Juvelin Jakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992 59

Page 61: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini????

1. Tujuan dan sasaran upaya penyakit tidak menular dalam Repelita IV ialah: a) Mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit

kardiovaskuler, kanker, kecelakaan dan penyakit tidak menular lainnya

b) Meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat dan menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan

c) Peningkatan sarana kesehatan untuk mengatasi pe-nyakit tidak menular

d) Perbaikan mutu lingkungan hidup yang menjamin ke-sehatan/mencegah penyakit

e) Semua benar 2. Yang tidak termasuk ke dalam jenis mikokarsinogen ada-

lah: a) Islanditoksin dan luteoskirin b) Aflatoksin c) Nitrosamin d) Sterigmatosistin e) Griseofulvin

3. Zat yang diduga dapat menyebabkan kanker kandung kemih, yaitu:

a) Teer b) Sakarin c) Siklamat d) Zat pewarna sintetis e) Monosodium glutamat

4. Dari hasil penelitian terhadap kanker payudara, pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya kanker payudara adalah sebagai berikut, kecuali: a) Riwayat menderita tumor jinak payudara b) Riwayat pernah mengalami radiasi pengion c) Riwayat trauma pada payudara d) Riwayat minum pil KB e) Usia melahirkan anak 18—35 tahun

5. Aktivitas iodium sebagai antimikroba dapat dihambat oleh adanya zat-zat baik zat organik maupun zat anorganik, seperti di bawah ini: a) Urin b) Dahak c) Susu d) Sodium tiosulfat e) Semua benar

6. Iodium terbukti tidak efektif sebagai: a) Germisida b) Fungisida

c) Sporasida d) Protozoasida e) Bukan salah satu di atas

7. Pada penyakit Kawasaki, pilih satu pernyataan yang tidak benar: a) Merupakan penyakit peradangan pada arak yang di-

tandai oleh demam persisten, peradangan mukokuta-neus dan adenopati servikalis

b) Terutama mengenai anak-anak usia kurang dari 5 tahun c) Wanita lebih sering daripada laid-laid d) Anak-anak Jepang berpredisposisi untuk penyakit ini e) Dapat mengakibatkan lesi arteri koronaria asimtomatik

sebagai sekuele 8. Syarat utama dalam pemilihan hewan percobaan yang se-

suai dan dapat dipakai sebagai model adalah: a) Mirip atau banyak kesemaannya dengan proses yang

terjadi pada manusia b) Tidak perlu mirip dengan manusia, asalkan harganya

murah dan mudah didapat c) Mudah dikembangbiakkan d) A dan C benar e) B dan C benar

9. Di antara desinfektan berikut di bawah ini, yang manjur terhadap bakteri, kuman tuberkuli dan virus: a) Formaldehida b) Benzolkonium klorida c) Klorine d) Tingtur iodium e) Semua benar

10. Pada penyakit demam berdarah dengue: a) Hānya serotipe tertentu yang masih endemis di Indo-

nesia b) Dengue 4 berhubungan dengan kasus-kasus yang berat c) Semua serotipe dapat menyebabkan demam berdarah

dengue pada remaja/dewasa d) Dengue 2 dan 3 berhubungan dengan kasus-kasus yang

ringah e) Bukan salah satu di atas

Page 62: Cdk 049 Seminar Penelitian Penyakit Tidak Menular (i)

ABSTRAK –ABSTRAK

AIR SUSU IBU TIDAK SELALU YANG TERBAIK Sejumlah obat dapat masuk dengan bebas dari plasma ke dalam air susu, sehingga akan membahayakan bayi yang meminumnya. Acebutolol suatu β— adrenergic blocking agent dengan indikasi untuk hipertensi berat, moderat dan ringan, angina pektoris, aritmia kardiak serta metabolit aktifnya diacetolol dapat masuk ke dalam air susu ibu. Suatu penelitian yang dilakukan terhadap 7 orang ibu penderita hipertensi yang minum acebutolol 200. sampai 1200 mg per hari menunjukkan bahwa konsentrasi acebutolol dan diacetolol dalam. air susu lebih tingngi dibandingkan dengan konsentrasinya dalam plasma, bahkan sampai 3 hari setelah tidak minum obat tersebut (European Journal of Clinical Phamacology 30 737, 1986). Salah satu dari bayi tersebut menunjukkan gejala-gejala /3—blockade. (hipotensi, bradikardia, transient tachypnoe). Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk ibu-ibu yang rninum acebutolol 400 mg per hari, terutama dengan gangguan fungsi ginjal menyusui bayinya. -

(Medical Progress October 1987) PAKISTAN MELARANG INJEKSI MULTIDOSIS Sejak tanggal 31 Desember 1987 produksi injeksi multidosis telah dilarang oleh Ke-menterian Kesehatan Federal Pakistan. Larangan tersebut dimaksudkan untuk membantu mencegah penyebaran penyakit AIDS, hepatitis dan penyakit-penyakit infeksi lainnya. Adapun penjualan produk-produk tersebut mulai tanggal 30 Juni 1988 tidak akan diizinkan lagi. Sementara itu Pakistan Chemist and Druggist Association (PCDA) dan Pakistan Pharmaceutical Manufacturers Association (PPMA) telah mendesak pejabat yang berwenang untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka. Menurut PCDA keputusan tersebut dapat mengakibatkan Pakistan kekurangan injeksi, mengingat dewasa ini kebutuhan akan ampul dosis tunggal per tahunnya mencapai 1000 juta, sedangkan kapasitas produksi hanya 100 juta per tahunnya. Sejumlah produk seperti insulin diimpor dandikemas dalam vial multidosis. Menurut PPMA dan PCDA untuk memproduksi injeksi dalam kemasan dosis tunggal diperlukan biaya delapan sampai sembilan kali lebih tinggi dibandingkan memproduksi injeksi dalam kemasan multidosis.

(SCRIP No. 1277, 1988) TRANQUILLISER DARI JAMU TRADISIONAL CHINA Menurut laporan dari South China Morning Post, peneliti pada Hong Kong Chinese University's Chinese Medicinal Material Research Centre (CMMRC) telah berhasil mengisolasi addiction free tranquilliser dari suatu jamu teradisional China yang nam-paknya memiliki sifat-sifat yang sama dengan diazepam dan chlordiazepoxide, tetapi tanpa efek samping seperti yang dimiliki oleh kedua obat tersebut. Selain tranquilliser, team yang dipimpin oleh Dr Lee Chi-ming tersebut juga menemukan bahan yang berguna untuk mengobati penyakit jantung koroner. Di RRC crude extracts tanaman tersebut telah dipergunakan secara intra-vena untuk mengobati penyakit jantung koroner akut pads sejumlah rumah sakit. Kedua bahan yang diketemukan di atas nampaknya mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan sebagai obat modern. Menurut Dr Lee sedang dibicarakan tentang kemungkinan lisensi tranquilliser tersebut dengan sejumlah industri faimasi. Penelitian lain yang sedang dilakukan terhadap jamu tradisionail yaifu kemungkinan adanya bahan yang bekerja sebagai imunomodulator dan yang menurunkan konsentrasi kolesterol darah.

(SCRIP No. 1278, 1988)