case spes word

29
BAB 1 LEMBAR KASUS 1.1 Identitas Pasien Nama : Tn. A Jenis Kelamin : Laki-Laki Usia : 38 Tahun Alamat : Jl Swadaya II RT 08/01 PD Ranggon Pekerjaan : Buruh Agama : Islam Status Perkawinan : Menikah Pendidikan Terakhir : SMP 1.2 Anamnesa Keluhan Utama : Kejang badan sebelah kanan Keluhan Tambahan : Kelemahan pada tungkai kanan Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke RS Bhayangkara TK.1 Raden Said Sukanto dengan keluhan kejang badan sebelah kanan + 2 jam SMRS. Kejang dialami pasien secara tiba-tiba dan ketika pasien sedang beristirahat. Sebelumnya, pasien pernah mengalami hal seperti ini sekitar 4 bulan yang lalu. Pasien mengaku kaki kanannya lemah dan mengalami kesulitan saat berjalan. Pasien menyangkal adanya pusing, nyeri kepala, 1

Upload: nabila

Post on 16-Feb-2016

229 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Case SPES Word

TRANSCRIPT

Page 1: Case SPES Word

BAB 1

LEMBAR KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. A

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 38 Tahun

Alamat : Jl Swadaya II RT 08/01 PD Ranggon

Pekerjaan : Buruh

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Pendidikan Terakhir : SMP

1.2 Anamnesa

Keluhan Utama : Kejang badan sebelah kanan

Keluhan Tambahan : Kelemahan pada tungkai kanan

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RS Bhayangkara TK.1 Raden Said Sukanto dengan keluhan kejang

badan sebelah kanan + 2 jam SMRS. Kejang dialami pasien secara tiba-tiba dan ketika pasien

sedang beristirahat. Sebelumnya, pasien pernah mengalami hal seperti ini sekitar 4 bulan

yang lalu.

Pasien mengaku kaki kanannya lemah dan mengalami kesulitan saat berjalan. Pasien

menyangkal adanya pusing, nyeri kepala, pingsan, demam, mual muntah, penglihatan kabur

dan pasien mengaku tidak ada gangguan saat berkemih dan buang air besar.

Tidak ditemukan adanya gangguan penghidu dan gangguan dalam berbicara. Pasien

mengeluh bicara pelo sesaat setelah terjadinya kejang. Kemampuan ingatan pasien tidak

terganggu dan tidak terdapat gangguan emosi dan mental.

Riwayat Penyakit Dahulu

1

Page 2: Case SPES Word

Pasien mengaku tidak pernah mengalami cidera pada daerah kepala pasien. Terdapat

riwayat kejang sekitar 4 bulan yang lalu. Pasien menyangkal adanya penurunan berat badan

yang drastis, riwayat darah tinggi dan riwayat diabetes.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien menyangkal adanya penyakit yang sama yang dirasakan oleh keluarga pasien.

1.3 Pemeriksaan Fisik

1. Status generalis

a. Keadaan umum : tampak sakit ringan

b. Tanda vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 84 x/menit

Pernafasan : 20 x/menit

Suhu : 36.5oC

c. Kepala

Bentuk : normocephal

Simetris : simetris

Nyeri tekan : tidak ada

d. Mata

Exoftalmus -/-, edema palpebra -/-, Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil

bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+

e. Leher

Sikap : normal

Pulsasi a. carotis : teraba

Limfanodi : tidak teraba membesar

f. Thorax : normochest

g. Jantung : iktus cordis teraba di pertengahan axillaris anterior kiri sela iga 5,

bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

h. Paru : bunyi nafas vesikular, ronki -/-, wheezing -/-

i. Abdomen : supel, datar, nyeri tekan -, BU+

2

Page 3: Case SPES Word

j. Hepar : tidak teraba pembesaran hepar

k. Lien : tidak teraba pembesaran lien

l. Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time kurang dari 2 detik, edema (-),

sianosis (-).

2. Status neurologis

a. Kesadaran : Compos Mentis

b. GCS 15 : (E4M6V5)

c. Sikap tubuh : berbaring terlentang

d. Cara berjalan : sulit berjalan karena kelemahan pada tungkai kanan

e. Gerakan abnormal : tidak ada

Gejala rangsang meningeal:

a. Kaku kuduk : -/-

b. Laseque : -/-

c. Kernig : -/-

d. Brudzinsky I : -/-

e. Brudzinsky II : -/-

Syaraf kranialis:

a. Nervus I (N. Olfactorius)

Daya penghidu: normosmia/ normosmia

b. Nervus II (N. opticus)

Ketajaman penglihatan : normal / normal

Pengenalan warna : normal / normal

Lapang pandang : normal / normal

Funduskopi : tidak dilakukan

c. Nervus III, IV, VI (N. occulomotorius/ trochlearis/ abdusens)

Ptosis : -/-

Strabismus : -/-

Nistagmus : -/-

Eksoftalmus :-/-

3

Page 4: Case SPES Word

Enoptalmus : -/-

Gerakan bola mata: normal ke segala arah

Pupil

- Bentuk pupil : bulat/ bulat

- Isokor/ anisokor : isokor

- Posisi : di tengah/ di tengah

- Refleks cahaya langsung : -/-

- Refleks cahaya tidak langsung : -/-

- Refleks akomodasi/ konvergensi : sulit dinilai

d. Nervus IV (N. Trochlearis)

Gerakan bola mata (bawah lateral) : Baik

e. Nervus V (N. trigeminus)

Motorik

- Menggigit : baik

- Membuka mulut : simetris

Sensorik

- Rasa nyeri : baik

- Rasa raba : baik

- Rasa suhu : baik

Refleks

- Refleks masseter : baik

- Refleks kornea : +/+

f. Nervus VI (N. Abdusen)

Pergerakan bola mata (lateral) :Baik

g. Nervus VII (N. fasialis)

Pasif

- Kerutan kulit dahi : simetris

- Kedipan mata : simetris

- Lipatan nasolabial : simetris

- Sudut mulut : simetris

4

Page 5: Case SPES Word

Aktif

- Mengerutkan dahi : simetris

- Menutup mata : simetris

- Menyeringai : tidak simetris

- Menggembungkan pipi : tidak simetris

- Daya pengecapan lidah 2/3 depan: tidak dinilai

- Hiperlakrimasi : tidak ada

- Lidah kering : tidak ada

h. Nervus VIII (N. acusticus)

Suara gesekan jari tangan : baik

Mendengarkan detik jam arloji : baik

Tes rinne : tidak dinilai

Tes weber : tidak dinilai

Tes swabach : tidak dinilai

i. Nervus IX (N. glossopharyngeus)

Arkus faring : tidak dinilai

Posisi uvula : tidak dinilai

Daya pengecap lidah 1/3 belakang : tidak dinilai

Refleks muntah : tidak dinilai

j. Nervus X (N. vagus)

Sulit dinilai

k. Nervus XI (N. assesorius)

Memalingkan kepala : baik

Sikap bahu : simetris

Mengangkat bahu : simetris

l. Nervus XII (N. hipoglosus)

Menjulurkan lidah : deviasi (-)

Atrofi lidah : tidak ada

Artikulasi : baik

Tremor lidah : tidak ada

5

Page 6: Case SPES Word

Motorik:

a. Gerakan : Terbatas Terbatas

Terbatas Terbatas

b. Kekuatan : 5 5

3 5

c. Tonus otot : Normotonus Normotonus

Normotonus Normotonus

d. Trofi : Eutrofi Eutrofi

Eutrofi Eutrofi

Refleks fisiologis:

a. Refleks tendon:

Refleks biseps : +/+

Refleks triseps : +/+

Refleks patella : +/+

Refleks archilles : +/+

Refleks Patologis:

a. Hoffman Trommer : -/-

b. Babinski : -/-

c. Chaddock : -/-

d. Oppenheim : -/-

e. Gordon : -/-

f. Schaefer : -/-

g. Gorda : -/-

Sensibilitas:

a. Eksteroseptif:

Nyeri : +/+

Suhu : +/+

Taktil : +/+

6

Page 7: Case SPES Word

b. Propioseptif:

Posisi : sulit dinilai

Vibrasi : sulit dinilai

Tekanan dalam : sulit dinilai

1.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium (4 Mei 2015)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

HEMATOLOGI 1

Hemoglobin

Leukosit

Hematokrit

Trombosit

15.0 g/dl

14.100 u/l

44%

219.000 /ul

13 – 16 g/dl

5.000 – 10.000 u/l

40 – 48%

150.000 – 400.000 /ul

KIMIA KLINIK

Glukosa Glukometer 117

KIMIA KLINIK

RENAL FUNGSI TEST

Ureum

Creatinine

Asam Urat

26 mg/dl

0,7 mg/dl

3,7 mg/dl

10 – 50 mg/dl

0,5 – 1,5 mg/dl

3,4 – 7,0 mg/dl

1.5 Resume

Tn. A 38 tahun diantar oleh keluarganya ke RS Bhayangkara TK.1 Raden Said Sukanto

dengan keluhan kejang badan sebelah kanan + 2 jam SMRS, pasien mengalami kejang secara

tiba-tiba.

Pasien mengaku kaki kanannya lemah dan mengalami kesulitan saat berjalan. Pasien

menyangkal adanya pusing, nyeri kepala, pingsan, demam, mual muntah, penglihatan kabur

dan pasien mengaku tidak ada gangguan saat berkemih dan buang air besar.

Tidak ditemukan adanya gangguan penghidu dan gangguan dalam berbicara.Pasien

mengeluh bicara pelo sesaat setelah terjadinya kejang. Pasien mengaku pernah mengalami

7

Page 8: Case SPES Word

hal yang sama 4 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan didapatkan parese N.VII sentral dan

monoparese pada ekstremitas kanan.

Kesadaran : Compos mentis

GCS 15 : E4M6V5 = 15

Tanda vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 84 x/menit

Pernafasan : 20 x/menit

Suhu : 36.5oC

Tanda rangsang meningeal : (-)

Nervus Kranialis

Nervus VII (N. fasialis)

Aktif

- Mengerutkan dahi : simetris

- Menutup mata : simetris

- Menyeringai :tidak simetris

- Menggembungkan pipi :tidak simetris

- Daya pengecapan lidah 2/3 depan: tidak dinilai

- Hiperlakrimasi : tidak ada

- Lidah kering : tidak ada

Motorik :

a. Kekuatan : 5 5

3 5

1.6 Diagnosis

Diagnosis Klinis :

- Parese Nervus VII central

- Monoparese ekstremitas bawah kanan

Diagnosis Topis : Hemispher cerebri

Diagnosis Etiologi : Simple partial epileptic seizures

8

Page 9: Case SPES Word

1.7 Diagnosis Banding

Temporal lobe epilepsy

1.8 Penatalaksanaan

1. Phenitoin 100, 3 x 1

1.9 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo ad sanam : dubia ad malam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

9

Page 10: Case SPES Word

2.1. DEFINISI

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol

yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for

Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai

oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan

neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi

ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.

Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa

disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan kejang.

2.2 . EPIDEMIOLOGI

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima

puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara

berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara

berkembang mencapai 100/100,000.

Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan

apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.

Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut

di atas 65 tahun (81/100.000 kasus).

2.3. ETIOLOGI

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi

anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang

canggih kelompok ini makin kecil

Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya :

post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi

10

Page 11: Case SPES Word

otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,

toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.

Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk

disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik

2.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy

(ILAE) 1981:

I . Kejang Parsial (fokal)

A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

1.         Dengan gejala motorik

2.         Dengan gejala sensorik

3.         Dengan gejala otonomik

4.         Dengan gejala psikik

B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

1.         Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

b. Dengan automatisme

2.         Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang

a. Dengan gangguan kesadaran saja

b. Dengan automatisme

C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau

klonik)

1.         Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum

2.         Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum

3.        Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan

berkembang menjadi kejang umum

II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)

a) lena/ absens

b) mioklonik

11

Page 12: Case SPES Word

c) tonik

d) atonik

e) klonik

f) tonik-klonik

III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :

I. Berkaitan dengan letak fokus

A. Idiopatik

Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes

Childhood epilepsy with occipital paroxysm

B. Simptomatik

Lobus temporalis

Lobus frontalis

Lobus parietalis

Lobus oksipitalis

II. Epilepsi Umum

A. Idiopatik

Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions

Benign myoclonic epilepsy in infancy

Childhood absence epilepsy

Juvenile absence epilepsy

Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)

Epilepsy with grand mal seizures upon awakening

Other generalized idiopathic epilepsies

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik

West’s syndrome (infantile spasms)

12

Page 13: Case SPES Word

Lennox gastaut syndrome

Epilepsy with myoclonic astatic seizures

Epilepsy with myoclonic absences

C. Simtomatik

Etiologi non spesifik

Early myoclonic encephalopathy

Specific disease states presenting with seizures

2.5. PATOFISIOLOGI

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada

sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan

depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran

aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih

stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi

dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter

inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh

kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan

istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan

polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan

melepas muatan listrik.

Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu

fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan

ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas

muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh

sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas

serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi.

Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga

sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-

13

Page 14: Case SPES Word

menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu

serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting

untuk fungsi otak.

Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000

2.6 GEJALA

Kejang parsial simplek

Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:

14

Page 15: Case SPES Word

- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.

- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan

- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubuh

tertentu.

- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu

- Halusinasi

Kejang parsial (psikomotor) kompleks

Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama.

Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu

serangan. Gejalanya meliputi:

- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah

- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya

- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan

seperti sedang bingung

- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang

- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku

diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami

tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan

perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-

kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran,

kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang

jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot

yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat

dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun

ingin tidur setelah serangan semacam ini.

15

Page 16: Case SPES Word

2.7 DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil

pemeriksaan EEG dan radiologis.

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis

menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,

ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekuensi serangan

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti

trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau

difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan

16

Page 17: Case SPES Word

umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan

adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh

dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan

penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi

epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung

oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural

di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya

kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal

gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya

gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami

serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video

EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan

untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat

untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk

kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat

diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur

otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan

17

Page 18: Case SPES Word

secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus

kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.

2.8 TERAPI

Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan pengobatan

yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian . Definisi

dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan tetapi untuk penanganannya

dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit.

Algoritme manajemen status epileptikus:

18

Page 19: Case SPES Word

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. Prinsip terapi

farmakologi epilepsi yakni:

OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali

bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan

kemungkinan efek sampingnya.

Terapi dimulai dengan monoterapi

19

Page 20: Case SPES Word

Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif

tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan

tidak terkontrol dengan dosis efektif.

Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,

ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE

pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.

Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi

dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan

kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat

epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan

pertama merupakan status epileptikus.

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :

Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)

Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau

aktivitas neurotransmiter.

Penghentian pemberian OAE

Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun

bebas serangan. Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:

Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2

tahun bebas bangkitan

Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan

dalam jangka waktu 3-6 bulan

Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang

bukan utama

Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme kerja sebagai pembuka

saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran kalium di otak. Akan tetapi mekanisme unik ini

memiliki beberapa efek toksik yang biasanya tidak terdapat pada obat kejang lainnya seperti

20

Page 21: Case SPES Word

retensi urin.Hal inilah yang menyebabkan US Food and Drug Administration's (FDA's) masih

mempertimbangkan obat ini.

Mekanisme kerja OAE:

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.epilepsy.ca/eng/content/sheet.html

2. http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf

3. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita

Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005. p119-127.

4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric Neurology:

Essentials for General Practice. 1st ed. 2007

5. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15816939

21

Page 22: Case SPES Word

6. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development

and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.

7. http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf

8. http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm

9. http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-epilepsi-pada-

anak-2

10. http://www.epilepsysociety.org.uk/AboutEpilepsy/Whatisepilepsy/Causesofepilepsy

11. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in

Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005

12. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6.

Jakarta: EGC

13. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.

14. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005

15. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008

16. http://www.medscape.com/viewarticle/726809

17. Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia: Saundres

Elsevier. 2008. 593(6)

22