case cedera kepala

48
KASUS CEDERA KEPALA PEMBIMBING : dr. Ibnu Benhadi, Sp.BS DISUSUN OLEH : ARISTA STHAVIRA 030.08.042 KEPANITERAAN KLINIK BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 3 SEPTEMBER – 10 NOVEMBER 2012

Upload: dinda24

Post on 07-Aug-2015

181 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

laporan kasus cedera kepala berat

TRANSCRIPT

Page 1: case cedera kepala

KASUS

CEDERA KEPALA

PEMBIMBING : dr. Ibnu Benhadi, Sp.BS

DISUSUN OLEH :

ARISTA STHAVIRA

030.08.042

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 3 SEPTEMBER – 10 NOVEMBER 2012

STATUS PASIEN BEDAH

Page 2: case cedera kepala

FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

Nama Mahasiswa : Arista Sthavira Tanda Tangan:

NIM : 030.08.042

Dokter Pembimbing : dr. Ibnu Benhadi, Sp.BS

IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : An. I Jenis kelamin : Laki-Laki

Umur : 16 tahun Suku bangsa : Jawa

Status perkawinan : Belum Menikah Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar Pendidikan : SMK

Alamat : Kalibata Tanggal masuk RS : 21 September 2012

Tanggal Keluar RS : 28 September 2012

A. ANAMNESIS

Diambil dari autoanamnesis, tanggal 22 September 2012, Pukul 06.30 WIB

Keluhan Utama

Jatuh dari motor sejak 5 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

OS datang ke Poli Bedah Saraf RSUD Budhi Asih dengan keluhan jatuh dari

motor sejak 5 hari SMRS. OS terjatuh dari motor setelah tertabrak mobil. Posisi

terjatuh terlentang dengan kepala terlebih dahulu menyentuh aspal dan OS memakai

helm. Setelah terjatuh OS mengaku sempat pingsan kurang dari 15 menit dan segera

dibawa ke RS Bogor. Setelah kecelakaan OS sempat muntah beberapa kali. Tidak ada

cairan yang keluar dari hidung maupun telinga. Pengelihatan tidak bertambah buram

dan berbicara tidak pelo. Terdapat luka-luka lecet pada lengan dan kaki. Tidak ada

luka pada bagian kepala. BAK dan BAB normal. Tidak ada keluhan kesemutan dan

kelumpuhan. Setelah dilakukan foto rontgen kepala OS pulang dari RS Bogor dan

menjalani rawat jalan di rumah. Setelah beberapa hari OS merasa nyeri kepala

2

Page 3: case cedera kepala

semakin hebat dan benjolan di kepala sisi kanan atas semakin membesar, maka OS

dan keluarga memutuskan untuk berobat ke Poli Bedah Saraf RSUD Budhi Asih.

Riwayat Penyakit Dahulu

OS tidak pernah mengalami kecelakaan sebelumnya. OS tidak merokok, tidak

minum alcohol dan tidak mengkonsumsi narkoba. OS tidak memiliki riwayat alergi

makanan dan alergi obat-obatan.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat darah tinggi, kencing manis dan penyakit jantung dalam

keluarga.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Umum

Tinggi Badan : 165 cm

Berat Badan : 50 kg

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Nadi : 92 kali/menit

Suhu : 36,5 C

Pernafasan : 25 kali/menit

Keadaan Gizi : Kurang (IMT = 18,3)

Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)

Sianosis : -

Edema Umum : -

Habitus : Astenikus

Cara Berjalan : Wajar

Mobilitas : Aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai Umur

Kulit

Warna : Sawo Matang

Effloresensi : Tidak ada Ptekie : Tidak Ada

Jaringan Parut : Tidak ada Pigmentasi : Merata

Pertumbuhan rambut : Merata Lembab/Kering : Lembab

3

Page 4: case cedera kepala

Suhu Raba : Hangat Pembuluh darah : Tidak

melebar

Keringat : Ada

Turgor : Baik

Lapisan Lemak : Merata Ikterus : Tidak ada

Oedem : Tidak ada Lain-lain : Tidak ada

Kelenjar Getah Bening

Submandibula : tidak teraba membesar

Supraklavikula : tidak teraba membesar

Lipat paha : tidak teraba membesar

Leher : tidak teraba membesar

Ketiak : tidak teraba membesar

Kepala

Normocephali, tidak terdapat luka maupun bekas jahitan. Terdapat benjolan pada

parietal kanan berukuran 9x4 cm, lunak, mobilitas -, fluktuasi +, nyeri tekan -.

Wajah

Kerutan dahi simetris. Saat berbicara mulut tidak tertarik ke salah satu sisi.

Lipatan nasolabial simetris

Mata

Pupil isokor, CA -/- , SI -/- , RCL +/+ , RCTL +/+ .

Hidung

Tidak tampak adanya deformitas

Tidak tampak adanya secret dan darah

Telinga

Tuli : -/- Selaput pendengaran : intak

Lubang : lapang Penyumbatan : -/-

Serumen : -/- Perdarahan : -/-

Cairan : -/-

Mulut

4

Page 5: case cedera kepala

Bibir : kering Tonsil : T1 –T1 tenang

Langit-langit : tidak ada tonjolan Bau pernapasan : tidak ada

Gigi geligi : OH baik Trismus : tidak ada

Faring : tidak hiperemis Selaput lendir : tidak ada

Lidah : licin, atrofi papil (-)

Leher

Terpasang Collar Neck

Dada

Bentuk : Normal, simetris

Pembuluh darah : tidak tampak

Buah dada : simetris

Paru – Paru

Pemeriksaan Depan Belakang

Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis

Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi Kiri - Tidak ada benjolan

- Fremitus taktil simetris

- Tidak ada benjolan

- Fremitus taktil simetris

Kanan - Tidak ada benjolan

- Fremitus taktil simetris

- Tidak ada benjolan

- Fremitus taktil simetris

Perkusi Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru

Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi Kiri - Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

- Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

Kanan - Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

- Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

Jantung

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis

Palpasi : Teraba iktus cordis pada sela iga V, 1 cm medial linea midklavikula kiri,

tidak kuat angkat

5

Page 6: case cedera kepala

Perkusi :

Batas kanan : sela iga V linea parasternalis kanan.

Batas kiri : sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula kiri.

Batas atas : sela iga II linea parasternal kiri.

Auskultasi: Bunyi jantung I-II murni reguler, Gallop (-), Murmur (-).

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis : teraba pulsasi

Arteri Karotis : teraba pulsasi

Arteri Brakhialis : teraba pulsasi

Arteri Radialis : teraba pulsasi

Arteri Femoralis : teraba pulsasi

Arteri Poplitea : teraba pulsasi

Arteri Tibialis Posterior : teraba pulsasi

Arteri Dorsalis Pedis : teraba pulsasi

Perut

Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada bekas operasi, datar, simetris, smiling umbilicus

(-), dilatasi vena (-)

Palpasi Dinding perut : supel, tidak ada defens muskular, tidak teraba adanya

massa / benjolan, tidak ada nyeri tekan maupun nyerilepas.

Hati : tidak teraba

Limpa : tidak teraba

Ginjal : ballotement (-), nyeri ketok costovertebral (-)

Nyeri tekan : negatif

Murphy sign : negatif

Nyeri lepas : negatif

Shifting dullness : negatif

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

6

Page 7: case cedera kepala

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot

Tonus : normotoni normotoni

Massa : tidak ada tidak ada

Sendi : bebas bebas

Gerakan : aktif aktif

Kekuatan : +5 +5

Oedem : tidak ada tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka : tidak ada tidak ada

Varises : tidak ada tidak ada

Otot

Tonus : normotoni normotoni

Massa : tidak ada tidak ada

Sendi : bebas bebas

Gerakan : aktif aktif

Kekuatan : +5 +5

Oedem : tidak ada tidak ada

Refleks

7

Page 8: case cedera kepala

PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM RUTIN

Hasil Pemeriksaan Lab dari RSUD Budhi Asih tanggal 21 September 2012

Hematologi

Hb : 15,7 g/dL (13.7-17.5g/dL)

Leukosit : 11.200/uL (4.200-9.100/uL)

Hematokrit : 47 % (40-51%)

Trombosit : 342.000/uL (163.000-337.000/uL)

LED : 5 (<10)

Kimia

Fungsi Hati

SGOT/ASAT : 12 U/L (13-33)

SGPT/ALAT : 7 U/L (6-30)

Fungsi Ginjal

Kreatinin : 0,71 mg/dL (0,6-1,1)

Ureum : 32 mg/dL (17-43)

Diabetes

8

Pemeriksaan Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks Patologis Negatif Negatif

Page 9: case cedera kepala

Glukosa Sewaktu : 70 mg/dL (60-110)

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Hasil Pemeriksaan CT-Scan tanggal 25 September 2012 di RSUD Budhi Asih

Dilakukan CT-Scan kepala potongan aksial tanpa kontras dengan tebal irisan 5 dan 10

mm.

Tampak lesi hipodens di parietal sinistra.

Sistem ventrikel lateralis III dan IV baik.

Basal ganglia baik.

Fissura, sulci dan Gyrus baik.

Pons dan cerebellum baik.

Soft tissue swelling di parietal dextra.

Kesan : Perdarahan intracerebri di parietal sinistra.

Subgaleal hematom.

RINGKASAN

9

Page 10: case cedera kepala

Seorang laki-laki bernama An. I, berumur 16 tahun, datang ke poliklinik Bedah

Saraf RSUD Budhi Asih dengan keluhan jatuh dari motor 5 hari sebelum masuk rumah

sakit. Dari anamnesis didapatkan bahwa beberapa saat setelah kecelakaan OS sempat

pingsan kurang dari 15 menit dan sempat muntah beberapa kali dan segera dilarikan ke

RS Bogor. Setelah keadaan membaik OS menjalani rawat jalan. Dalam 4 hari nyeri

kepala yang dirasakan OS semakin hebat dan benjolan di kepala juga makin membesar.

Setelah melakukan konsultasi dengan ahli bedah saraf maka OS setuju untuk dirawat

inap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis. Terdapat benjolan

pada parietal kanan dengan ukuran 9x2 cm, fluktuasi +, mobilitas -, nyeri tekan -. Pada

pemeriksaan laboratorium tidak didapatkan hasil yang abnormal. Pada pemeriksaan CT-

Scan kepala didapatkan kesan : perdarahan intracerebri di parietal sinistra dan subgaleal

hematoma.

DIAGNOSIS KERJA

Contusio cerebri di parietal sinistra dan subgaleal hematoma.

DIAGNOSIS BANDING

Commotio cerebri

PENATALAKSANAAN

1. Tirah baring

2. IVFD Asering/12 jam

3. Rantin 2x1

4. Nonflamin 3x1

5. Cefixime 2x100

6. Fenitoin

7. Novalgin 3x1

8. Ketopain 2x1

9. Citicoline 125 mg 1x1

10. Ketesse 3x1

11. Manitol

PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad bonam

10

Page 11: case cedera kepala

Ad Fungsionam : Dubia ad bonam

Ad Sanationam : Dubia ad bonam

FOLLOW UP

Tanggal Subjektif Objektif Analisis Perencanaan

22/09/12 - Nyeri kepala

hebat

- Sulit tidur

TD : 120/80

N : 92x

RR : 28x

S : 36,5

Collar neck

terpasang

Status neurologis

CM (E4V5M6)

Pupil bulat isokor

RCL +/+ RCTL +/+

Refleks Fisiologis

++/++

Refleks Patologis

-/-

Motorik

555/555

555/555

CKR - Rantin 2x1

Nonflamin 3x1

Cefixime 2x1

Fenitoin 3x100

Citicoline 1x500

Ketesse 3x1

Novalgin 3x1

- Saran untuk

dilakukan CT-Scan

24/09/12 - Nyeri kepala hebat TD : 110/70

N : 72x

RR : 19x

S : 36,1

Collar neck masih

terpasang

Status neurologis

CM (E4V5M6)

Pupil bulat isokor

RCL +/+ RCTL +/+

Refleks Fisiologis

++/++

Refleks Patologis

-/-

CKR Rantin 2x1

Nonflamin 3x1

Cefixime 2x1

Fenitoin 3x100

Citicoline 1x500

Novalgin

Ketesse 3x1

Manitol

Neulin

- Saran untuk

dilakukan CT-Scan

11

Page 12: case cedera kepala

Motorik

555/555

555/555

26/09/12 - Nyeri kepala

sudah

berkurang

- Telinga

kanan

berdenging

TD : 110/70

N : 64x

RR : 18x

S : 36,3

Collar neck sudah

dilepas

Status neurologis

CM (E4V5M6)

Pupil bulat isokor

RCL +/+ RCTL +/+

Refleks Fisiologis

++/++

Refleks Patologis

-/-

Motorik

555/555

555/555

Status lokalis telinga

kanan

Liang telinga lapang,

tidak edema, tidak

hiperemis, serimen

prob -

CKB Rantin 2x1

Nonflamin 3x1

Cefixime 2x1

Fenitoin 3x100

Citicoline 1x500

Ketesse 3x1

Novalgin 3x1

- Hasil CT-Scan

sudah ada

28/09/12 - nyeri kepala

sudah tidak

dirasakan

- telinga sudah

tidak

berdenging

TD : 120/80

N : 92x

RR : 28x

S : 36,5

Status neurologis

CM (E4V5M6)

Pupil bulat isokor

RCL +/+ RCTL +/+

Refleks Fisiologis

++/++

Refleks Patologis

CKB Rantin 2x1

Nonflamin 3x1

Cefixime 2x1

Fenitoin 3x100

Citicoline 1x500

Ketesse 3x1

Novalgin 3x1

12

Page 13: case cedera kepala

-/-

Motorik

555/555

555/555

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan

fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer

ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepalaa

adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun

degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang

dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan

kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

II. Anatomi Kepala

a. Kulit

Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari line nuchalis superior pada os

occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Kulit kepala terdiri dari lima

lapis jaringan :

Kulit yang tipis kecuali didaerah occipitale, mengandung banyak kelenjar

keringat serta folikel rambut.

Jaringan ikat (connective tissue) yang merupakan lapis subkutan , memiliki

banyak pembuluh darah dan saraf.

Aponeusis atau galea aponeurotica adalah selembar jaringan ikat yang kuat

dan merupakan lembar tendo dari muskulus occipitalis dan muskulus

13

Page 14: case cedera kepala

frontalis.

Loose areolar tissue jaringan ikat jarang yang menyerupai spons.

Pericranium adalah periosteum dari tulang tengkorak. Sepanjang garis

sutura pericranium berlanjut menjadi endosteum. Karena itu, subperiosteal

hematom terbentuk pada tulang tengkorak.

b. Tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari

beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria

khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot

temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian

dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga

tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,

fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah

batang otak dan serebelum.6

c. Meninges

Selaput meninges membungkus seluruh bagian otak dan terdiri atas 3 lapisan

yaitu:

14

Page 15: case cedera kepala

1) Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan

endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras,

terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam

cranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka

terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara

duramater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.5

Pada cedera otak pembuluh – pembuluh vena yang berjalan pada

permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah atau disebut

Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan

subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus

transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus – sinus tersebut dapat

menimbulkan perdarahan hebat.5

Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari

cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepalaa dapat

menyebabkan laserasi pada arteri – arteri tersebut dan menyebabkan

perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera arteri meningea

media yang terletak di fossa temporalis (fossa media).5

2) Selaput arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan selaput yang tipis dan tembus pandang.

Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater

sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh

ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium

sub arakhnoid yang terisi liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid

umumnya disebabkan oleh cedera kepala.7

3) Piamater

Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah

membrana vaskuler yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyrus dan

masuk kedalam sulcus yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf

otak dan menyatu dengan epineuriumya. Arteri – arteri yang masuk

kedalam subtansi otak juga diliputi oleh piamater. 5

15

Page 16: case cedera kepala

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa 14 kg.

Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari

serebrum dan diensefalon (bagian terbesar yang terdiri dari thalamus dan

hypothalamus) merupakn bagian sentral otak. Mesensefalon (midbrain) dan

rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla oblongata dan

serebelum.

III.Aspek Fisiologis Cedera Kepala

a. Tekanan intrakranial

Tekanan intrakranial dapat meningkat oleh beberapa proses patologi yang

selanjutnya dapat menggangu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap

penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang

menggangu fungsi otak. Tekanan intrakranial normal kira – kira 10 mmHg,

Tekanan intrakranial lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal. Semakin

tinggi tekanan intrakranial setelah cedera kepalaa, semakin buruk prognosisnya.7

b. Hukum Monroe – Kellie

Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari

tulang tengkorak yang tidak elastis. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan

jumlah total volume komponen – komponennya yaitu volume jaringan otak (V br),

volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (V bl).

Vic = V br + V csf + V bl.

Volume tekanan intrakranial pada dewasa 1500 mL, karena volume intrakranial

tetap, tekanan dalam kompartemen tersebut karena beberapi tindakan kompensasi

terjadi, seperti penurunan komponen intrakranial.4

c. Tekanan Perfusi otak

Tekanan perfusi otak merupakn selisih antara tekanan arteri rata – rata (mean

arteral pressure) dengan tekanan intrakranial. Pada otak manusia normal tekanan

perfusi otak adalah konstan dikisaran 50 – 150 mmHg, hal ini dipengaruhi karena

autoregulasi arteiol. Apabila tekanan perfusi otak kurang dari 50 mmHg atau lebih

besar dari 150 mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.4

d. Aliran darah otak

16

Page 17: case cedera kepala

Aliran darah otak normal kira –

kira 50 ml/100 gr jaringan otak

permenit. Bila aliran darah otak

menurun sampai 20 – 25 ml/100

gr/menit EEG (sebagai alat

pemantau fungsi otak melalui sinyal

yang dipancarkan) akan

menghilang. Apabila aliran

darah otak sebesar 5 ml/100 gr/menit

maka sel – sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.4

IV. Patofisiologi Cedera Kepala

Kerusakan otak pada penderita cedera kepalaa dapat terjadi dua tahap yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan awal cedera otak sebagai

akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan langsung kepalaa dengan

suatu benda keras.

Mekanisme cedera kepalaa dapat terjadi peristiwa coup dan countercoup. Cedera

primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak pada daerah

sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan

akan terjadi lesi countercoup. Akselarasi-deselarasi terjadi akibat kepalaa bergerak

dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas

antara tualng tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)

17

Page 18: case cedera kepala

menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.

Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam

tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countercoup).5

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis

yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,

edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan

intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

V. Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3

deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan

morfologinya.

a. Mekanisme cedera kepala

Berdasarkan mekanisme cedera kepalaa dibagi atas cedera kepala tertutup dan

cedera kepala terbuka. Cedera kepala tertutup biasanya berkaitan dengan

kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.

Sedangkan untuk cedera kepala terbuka disebabkan oleh peluru atau tusukan.10

b. Beratnya cedera kepala

Derajat kesadaran secara kuantitatif dapat diukur dengan metode GCS.

Glasgow Coma Scale merupakan salah satu komponen yang digunakan sebagai

acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien

serta memiliki peranan penting untuk memprediksi resiko kematian diawal

trauma.3 Glasgow Coma Scale yang digunakan meliputi 3 kategori yaitu respon

membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor ditentukan oleh jumlah

skor dimasing – masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor minimum

3, adalah sebagai berikut:

1. Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepalaa berat. (Koma –

sopor)

2. Cedera kepalaa sedang memiliki nilai GCS 9 – 13. (Somnolen)

3. Cedera kepalaa ringan dengan nilai GCS 14 – 15. (Composmentis)

c. Morfologi cedera

Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi

18

Page 19: case cedera kepala

intrakranial.

1. Fraktur tulang tengkorak

Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak

(basis cranii), dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau

tertutup

a. Fraktur Linier

Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang

meliputi seluruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan radiologi akan

terlihat sebagai garis radiolusen.5

b. Fraktur Distase

Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi pemisahan sutura

kranial. Fraktur ini sering terjadi pada anak usia 3 tahun.5

c. Fraktur Comminuted

Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur. Ketiga fraktur di atas

tidak memerlukan tindakan khusus, kecuali jika disertai lesi intrakranial

seperti epidural hematoma, subdural hematoma, dll. Jika disertai dengan

laserasi SCALP, maka perlu dilakukan debrimen yang baik dan luka

dapat segera ditutup dengan penjahitan.5

d. Fraktur Depressed

Fraktur tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur terletak di

bawah level anatomi normal dari tabula interna tulang tengkorak

sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur ini terjadi jika energi benturan

relatif besar terhadap area yang relatif kecil. Misalnya benturan oleh

martil, kayu, batu, pipa besi.

e. Fraktur Konveksitas

Fraktur yang terjadi pada tulang – tulang yang membentuk koveksitas

(kubah) tengkorak seperti os. Frontalis, os. Temporalis, os. Parietalis, dan

os. Occipitalis.

f. Fraktur Basis Cranii

Fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar tengkorak.

Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian yaitu:

19

Page 20: case cedera kepala

1. Fossa anterior.

2. Fossa media.

3. Fossa posterior

Fraktur pada masing – masing fossa akan memberikan manifestasi yang

berbeda.

a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior

Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os. Sphenoid,

processus clinoidalis anterior dan jugum sphenoidalis.

Manifestasi klinis:

Ecchymosis periorbita, bisa bilateral dan disebut ‘brill hematoma’

atau ‘racoon eyes’.

Eccymosis ini kadang – kadang sulit dibedakan dengan ecchymosis yang

timbul karena cedera langsung.5

b. Fraktur Basis Cranii Fossa Media

Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan

bagian posterior dibatasi oleh pyramida petrosus os. Temporalis,

processus clinoidalis posterior dan dorsum sella. Manifestasi klinis:

Ecchymosis pada mastoid (battle’s sign).

Otorrhea, pembuktiannya sama dengan rhinorahea.

Hemotympanum; jika membran tympani robek maka dijumpai

darah pada kanalis auricularis eksterna.

Kelumpuhan nervus fasialis (N. VII) dan atau nervus

vestibulococlearis (N. VIII), hal ini terjasi bila garis frakturnya

transversal terhadap aksis pyramida petrosus. Jenis ini hanya 25 %,

sedangkan sisanya longitudinal terhadap aksis pyramida petrosus.

Carotid – Cavernosus Fistula (CCF) yang ditandai dengan

chymosis, sakit kepalaa, adanya bruit, exopthalmus yang berdenyut

mengikuti irama jantung, gangguan visus dan gangguan gerakan

bola mata.

c. Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior

20

Page 21: case cedera kepala

Merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Adanya fraktur

pada daerah ini harus waspada terhadap kemungkinan timbulnya

hematoma. Sering tidak disertai dengan gejala dan tanda yang jelas,

tetapi dapat segera menimbulkan kematian karena penekanan terhadap

batang otak. Fraktur ini kadang – kadang juga menyebabkan memar

pada mastoid (battle’s sign).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penanganan

fraktur basis cranii antara lain:

1. Lakukan observasi terhadap adanya kebocoran LCS, biasanya

membaik secara spontan.

2. Tidak perlu memberikan antibiotika profilaksis karena:

a. Biasanya antibiotika tidak efektif mencegah terjadinya

meningitis.

b. Akan menseleksi organisme yang resisten terhadap

antibiotika yang diberikan, jika terjadi meningitis atau infeksi

intrakranial lainnya, akan sulit diatasi.

3. Jika setelah 2 minggu kebocoran CSS tidak berhenti atau

berkurang serta dinilai bahwa usaha atau penatalaksanaan secara

konservatif gagal, maka dilakukan operasi untuk memperbaiki

dura yang bocor tersebut oleh ahli bedah saraf.5

2. Lesi intrakranial

Lesi intrakranial dapat duiklasifikasikan sebagai fokal atau difus, walau

kedua bentuk cedera tersebut sering terjadi secara bersamaan. Lesi fokal

termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusio (hematoma

intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difus menunjukan koma di

klinis.12

a. Hematoma epidural

Hematoma epidural terjadi akibat fraktur tulang kepalaa yang dapat

merobek pembuluh darah terutama arteri meningea media yang masuk

kedalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara

duramater dan tulang di permukaan os. Temporal. Pada bayi hematom

21

Page 22: case cedera kepala

epidural ini dapat dilihat bila ubun – ubun bayi mengembung setelah

trauma terjadi.12 Robeknya arteri meningea media menimbulkan

hematom epidural dan desakan oleh hematom memisahkan duramater

dari tulang kepalaa sehingga hematom dapat bertambah besar dan dapat

menekan batang otak hingga terjadi kematian.12 Penderita akan

mengalami sakit kepalaa, mual dan muntah diikuti dengan penurunan

kesadaran setelah trauma. Gejala neurologik yang terpenting adalah

pupil mata anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar, terjadi pula

kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran

menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami

pelebaran sampai ahkirnya kedua pupil tidak menunjukan reaksi

terhadap cahaya.9

Ciri khas hematom epidural murni adalah terdapatnya jarak waktu

antara saat terjadinya trauma dan munculnya tanda hematom epidural.

Jeda waktu yang terjadi selama beberapa menit hingga jam. Diagnosis

didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto

Roentgen kepalaa. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis hematom

epidural bila sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar,

garis fraktur dapat menunjukan lokasi hematom.9

b. Hematom subdural (SDH)

Hematom subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara

duramater dan arakhnoid. Sekitar 30 % hematom subdural terjadi pada

kasus cedera kepalaa berat. Hematom tesebut terjadi akibat robeknya

vena penghubung (bridging veins) antara korteks serebri dan sinus

dura. Hematom tersebut biasanya terjadi pada kasus cedera karena

pukulan. Hematom subdural terbagi menjadi kaut dan kronis.12

1). Hematom subdural akut

Hematom subdural akut biasanya berkaitan dengan riwayat trauma

yang jelas dan yang paling sering terjadi pada regio frontoparietal.12

2). Hematom subdural kronis

22

Page 23: case cedera kepala

Terjadi pada riwayat trauma yang tidak jelas, hematom tersebut

sering berkaitan dengan atrofi otak, yang pada akhirnya

meningkatkan mobilitas otak di dalam kubah tengkorak sehingga

vena penghubung menjadi semakin mudah robek.12

c. Hematom intraserebral.

Hematom intraserebral adalah perdarahan yang terjadi dalam

jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau

kontusio jariagan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh

darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling

sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat

terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya (countercoup).

Defisit neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung

pada lokasi dan luas perdarahan.9

Penyebab yang paling sering dari hematom intraserebral adalah

penyakit hipertensi vaskuler, perdarahan paling sering terjadi pada

ganglia basalis (80% kasus), batang otak, serebelum dan korteks

serebral. Hematom yang mengisi ruang menyebabkan kenaikan

intrakranial. Sebagian besar perdarahan intraserebral yang terjadi pada

penderita hipertensi, akibat dari ruptur pada arteriol kecil, terutama

pada cabang lentikulostriata dari arteri serebral media.13

23

Page 24: case cedera kepala

Kontusi serebral murni biasanya jarang terjadi. Selanjutnya kontusi

otak hampir selalu berkaitan dengan hematom subdural akut. Sebagian

besar kontusi terjadi pada lobus frontal dan temporal, walau dapat

terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.

Perbedaan antar kontusi dan hematom intarserebral traumatika tidak

jelas batasnya. Bagaimana pun, terjadi zona peralihan, dan kontusi

dapat secara lambat laun menjadi hematom intraserebral dalam

beberapa hari.

d. Kontusio Serebral

Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak

yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam

jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis

dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup)

atau pada sisi lainya `(countercoup). Defisit neurologis yang didapatkan

sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.14

e. Edema Serebral

Edema serebral traumatika merupakan keadaan dan gejala patologis

pada penderita cedera kepalaa dan terjadi akibat pergeseran otak (brain

shift) dan peningkatan intrakranial. Terdapat dua terminologi yaitu

edema dan swelling yang sering diartikan sama yaitu bengkak. Edema

otak menadakan adanya penambahan kandungan air didalam jariungan

otak, sedangkan brain swelling merupakan keadaan yang diakibatkan

hiperemia dan dilatasi sistem serebrovaskular.14

f. Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI)

Cedera ini terjadi karena terputusnya dan tertariknya prosesus

neuron akibat dari gerak putar otak di dalam tengkorak kepalaa.

Keadaan ini sering terjadi tanpa adanya fraktur tulang tengkorak dan

kontusio serebral. Cedera aksonal difus terjadi pada hampir keseluruhan

24

Page 25: case cedera kepala

cedera kepalaa fatal. Cedera aksonal difus terjadi pada hampir

keseluruhan cedera kepalaa berat, dua komponen penting yang

ditemukan , yaitu

Lesi perdarahan kecil dalam korpus kalosum dan kuadran

dorsolateral batang otak.

Kerusakan difus pada akson, yang hanya dapat dideteksi dengan

pemeriksaan mikroskopis yang berbentuk bola retraksi aksonal.13

VI. Pemeriksaan Neurologis Cedera Kepala

Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap penderita cedera

kepalaa setelah resusitasi meliputi:

1. Tingkat kesadaran.

25

Page 26: case cedera kepala

2. Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf kranial.

3. Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar.

4. Reaksi motorik terbaik.

5. Pola pernapasan.

Terapi harus diingat bahwa hasil penilaian yang paling prediktif dalam perkiraan

prognosis adalah penilaian yang dilakukan setelah 24 jam post resusitasi, karena

penilaian sebelumnya masih banyak dipengaruhi oleh keadaan sistemik yang belum

begitu stabil.

1. Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS. Penilaian tersebut harus dilakukan

secara periodik untuk menilai apakah keadaan penderita membaik atau

memburuk. Dari ketiga komponen GCS tersebut, motorik merupakan komponen

yang paling objektif. Komponen yang menjadi tolak ukur penilaian adalah reaksi

(respons) terbaik. Tingkat kesadaran tidak akan terganggu jika cedera hanya

terbatas pada satu hemisfer otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua

hemisfer mulai terlibat, atau juka ada proses patologis akibat penekanan atau

cedera pada batang otak.

2. Pupil dan Pergerakan bola mata , termasuk saraf kranial.

Reaksi pupil, konstriksi, dan dilatasi diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu

simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis mulai dari hipotalamus , melalui

batang otak terutama yang ipsilateral sampai ke thorakal medula spinalis pada

bagian intermediolateral. Sedangkan aferen parasimpatis berawal dari sel

ganglion retina, mengikuti nervus dan traktus optikus hingga mencapai

pretektum. Bagian eferen akan mengikuti saraf okulomotorius ke orbita. Dua

alasan penting penilaian pupil pada cedera kepalaa:

Karena batang otak yang mengendalikan kesadaran secara anatomis

terletak berdekatan dengan pusat yang mengendalikan reaksi pupil.

Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap gangguan

metabolik, sehingga ada tidaknya refleks cahaya merupakan tanda penting

untuk membedakan koma metabolik dan koma struktural.

26

Page 27: case cedera kepala

Reflek cahaya menunjukan fungsi mesensefalon. Lakukan juga penilaian

langsung dan tidak langsung. Reaksi langsung terjadi pada mata yang langsung

diberi rangsang cahaya, sedangkan reaksi tidak langsung pada mata kontralateral dari

mata yang diberi rangsang cahaya. Bandingkan antara yang kanan dengan kiri isokor

atau tidak.5

3. Reaksi Terhahadap berbagai rangsangan dari luar

Rangsangan dari luar merupakan mekanisme penting untuk menilai tingkat

kesadaran . Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu reaksi dari

penderita berbanding lurus dengan dalamnya penurunan kesadaran. Pada tahap

awal dapat dicoba dengan rangsangan suara pada berbagai tingkat intensitas, jika

tidak memberikan reaksi, dilanjutkan dengan goncangan ringan (light shaking),

kemudian dengan rangsang nyeri yang semakin progresif. Rangsang nyeri yang

diberikan antara lain:

- Dengan menggunakan batangan pensil, pulpen, gagang ‘refleks hammer’, atau

benda tumpul yang lain, melakukan penekanan pada kuku bagian proksimal

- Dengan melakukan penekanan tumpul pada sternum

- Dengan melakukan penekanan tumpul pada ‘supraorbita ridge’

4. Reaksi motorik terbaik

Pada keadaan normal, respons motorik diatur oleh korteks serebri yang bekerja

sama dengan berbagai pusat pengatur subkortikal lainnya. Penilaian reaksi

motorik terbaik sangat penting, karena memiliki nilai objektif yang tinggi.

Tingkat reaksi motorik dibagi atas:

a. Gerakan bertujuian jelas (puposeful movement)

b. Gerakana bertujuan tidak adekuat (semipurposeful movement)

c. Postur fleksor (dekortisasi)

d. Postur ekstensor (deserebrasi)

e. Diffuse musle flaccidity

Reaksi okulosefalik (Doll’s head eye phenomenon). Pemeriksaan nervus

trigeminus dan fasialis dapat dilakukan dengan dengan tes kapas pada kornea,

dilakukan dari samping.5

27

Page 28: case cedera kepala

VII. Pemeriksaan Penunjang

a. Foto polos kepala

Indikasi foto polos kepalaa tidak semua penderita dengan cedera kepalaa

diindikasikan untuk pemeriksaan kepalaa karena masalah biaya dan kegunaan

yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,

luka tembus(tembak/tajam), deformasi kepalaa (dari inspeksi dan palpasi), nyeri

kepalaa yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.

b. CT – Scan

Indikasi CT Scan adalah :

1. Nyeri kepalaa menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang

setelah pemberian obat – obatan analgesia/antimuntah.

2. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi

intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

3. Penurunan GCS lebih dari 1 point dimana faktor – faktor ekstrakranial

telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal syok,

febris, dll).

4. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

5. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

6. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.

c. MRI : digunakan sama seperti CT – Scan dengan atau tanpa kontas radioaktif.

d. Cereral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi serebral, seperti : perubahan

jaringan otak sekunder menjadi oedem, perdarahan dan trauma.

e. Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.

f. X – Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

VIII. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal penderita cedera kepalaa pada dasarnya memiliki tujuan

yang memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepalaa sekunder serta

memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu

28

Page 29: case cedera kepala

penyembuhan sel – sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepalaa tergantung

pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepalaa ringan, sedang, berat.

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam

penatalaksanaan survei primer hal – hal yang diprioristaskan antara lain airway,

breathing, circulation, disability, dan exposure yang kemudian dilanjutkan dengan

resusitasi. Pada penderita cedera kepalaa berat survei primer sangatlah penting untuk

mencegah cedera otak sekunder. 15

Tidak semua pasien cedera kepalaa perlu dirawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat

antara lain:

a. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam).

b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).

c. Penurunan tingkat kesadaran.

d. Nyeri kepalaa sedang hingga berat.

e. Fraktur tengkorak.

f. Kebocoran CSS, rhinorrhea.

g. Cedera penyerta yang jelas.

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepalaa dilakukan untuk

memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal – hal yang dilakukan

dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian

manitol, dan antikonvulsan.

a. Penggunaan Manitol pada cedera kepalaa.

Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial. Efek

tersebut diperoleh melalui peningkatan volume darah sirkulasi dan

pengenceran viskositas darah. Manitol diperkirakan memiliki tiga mekanisme

kerja yang saling melengkapi yaitu meningkatkan tekanan darah,

memperbaiki aspek rheologik sirkulasi, dan dehidrasi serebral. Manitol dapat

menurunkan kandungan air pada jaringan otak yang edema. Dosis manitol,

sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20 persen. Manitol diberikan

bolus 0,25-0,5/kgBB dalam 10-20 menit, dilakukan setip 6 jam.

29

Page 30: case cedera kepala

Indikasi pemberian, manitol dapat diberikan sebelum dilakukan

pengukuran ICP, yaitu jika terdapat tanda- tanda herniasi transtentorial atau

adanya perburukan pada keadaan neurologis yang disebakan oleh keadaan

sistemik seperti hipovolemia, dll. Pilihan utama untuk resusitasi awal pasien

cedera kepalaa yang disertai dengan hipotensi, dikenal dengan ‘small volume

resuscitation fluid’.5

Pada penanganan beberapa kasus cedera kepalaa memerlukan tindakan operatif.

Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor,

mengurangi tekanan intrakranial, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan

perdarahan. Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah

sebaga berikut :

Pengankatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.

Mengurangi tekanan intrakranial

Mengevakuasi bekuan darah

Mengontrol bekuan darah, dan

Pembenahan organ – organ intrakranial.

Tumor otak.

Perdarahan (hemorrhage)

Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysm)

Peradangan dalam otak

Trauma pada tengkorak

Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan

neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai

berikut:

a. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial

atau lebih 20 ml di daerah infratentorial.

b. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis.

c. Tanda fokal neurologis semakin berat.

d. Terjadi sakit kepalaa, mual dan muntah yang semakin berat.

IX. Prognosis

30

Page 31: case cedera kepala

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepalaa sudah mendapat

terapi yang agresif, terutama pada anak – anak biasanya memiliki daya pemulihan

yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempuyai kemungkinan yang lebih

rendah untuk pemulihan dari cedera kepalaa. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada

bagian kepalaa pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi

penderita.

KESIMPULAN

Cedera kepala merupakan masalah yang serius karena merupakan penyebab

kematian yang paling sering terutama pada kecelakaan kendaraan. Jenis dan beratnya

kelainan akibat cedera kepalaa tergantung pada lokasi dan beratnya kerusakan otak.

Terjadinya cedera kepalaa, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer

yang merupakan akibat langsung dari benturan, dan cedera sekunder yang terjadi akibat

proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak.

Aspek – aspek terjadinya cedera kepalaa dikelompokan menjadi beberapa

klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepalaa, beratnya cedera kepalaa dan

morfologinya. Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,

yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir)

atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang ditimbulkan juga tergantung pada

bagian otak mana yang terkena. Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam

gerakan, sensasi, berbicara, pengelihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang

difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, daan bisa menyebabkan

kebingunan dan koma. Untuk menentukan tingkat keparahan pada penderita cedera

kepalaa digunakan pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan skala koma glasgow

(GCS). Dengan jumlah yang paling kecil 3 dan paling besar 15 yang meliputi respon

verbal, respon motorik, respon membuka mata. Semakin kecil poin GCS maka semakin

berat cedera yang diderita.

31

Page 32: case cedera kepala

DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,

Anugrah P. EGC, Jakarta, 1995, 1014-10

2. Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI,

Jakarta, 2006, 359-366

3. Hafid A, Epidural Hemoatoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D.

EGC, Jakarta, 2004, 818-819

4. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,

Gajah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005, 314

5. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Klinis

Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259

32