cardi

35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Anatomi Reproduksi Laki – Laki Pada sebagian besar spesies mamalia, termasuk manusia, organ reproduksi eksternal jantan adalah skrotum dan penis. Organ reproduksi internal terdiri atas gonad yang menghasilkan gamet ( sel – sel sperma ) dan hormon, kelenjar aksesoris yang mensekresikan produk yang esensial bagi pergerakan sperma, dan sekumpulan duktus yang membawa sperma dan glandular. ( Campbell, Neil A. ) Gonad jantan, atau testes ( tunggal, testis ), terdiri atas banyak saluran yang melilit – lilit yang dikelilingi oleh beberapa jenis jaringan ikat. Saluran tersebut adalah tubula seminiferus ( seminiferous tubule ), tempat sperma terbentuk. Sel – sel leydig ( leydig cells ) yang tersebar di antara tubula seminiferus menghasilkan testosterone dan androgen lain, yang merupakan hormon seks jantan. Produksi sperma yang normal tidak akan dapat terjadi pada suhu tubuh sebagian besar mamalia, dan testes manusia dan banyak mamalia kain dipertahankan berada di luar rongga abdomen, tepatnya di dalam skrotum, yang merupakan pelipatan dinding tubuh. Suhu dalam skkrotum adalah sekitar 2ºC dibawah suhu rongga abdomen. Testes berkembang jauh di dalam rongga abdomen dan turun kedalam skrotum persis sebelum kelahiran.

Upload: dewida-dewet-maulidatu

Post on 31-Jul-2015

76 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: cardi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Reproduksi Laki – Laki

Pada sebagian besar spesies mamalia, termasuk manusia, organ reproduksi eksternal

jantan adalah skrotum dan penis. Organ reproduksi internal terdiri atas gonad yang

menghasilkan gamet ( sel – sel sperma ) dan hormon, kelenjar aksesoris yang mensekresikan

produk yang esensial bagi pergerakan sperma, dan sekumpulan duktus yang membawa sperma

dan glandular. ( Campbell, Neil A. )

Gonad jantan, atau testes ( tunggal, testis ), terdiri atas banyak saluran yang melilit – lilit

yang dikelilingi oleh beberapa jenis jaringan ikat. Saluran tersebut adalah tubula seminiferus

( seminiferous tubule ), tempat sperma terbentuk. Sel – sel leydig ( leydig cells ) yang tersebar

di antara tubula seminiferus menghasilkan testosterone dan androgen lain, yang merupakan

hormon seks jantan.

Produksi sperma yang normal tidak akan dapat terjadi pada suhu tubuh sebagian besar

mamalia, dan testes manusia dan banyak mamalia kain dipertahankan berada di luar rongga

abdomen, tepatnya di dalam skrotum, yang merupakan pelipatan dinding tubuh. Suhu dalam

skkrotum adalah sekitar 2ºC dibawah suhu rongga abdomen. Testes berkembang jauh di dalam

rongga abdomen dan turun kedalam skrotum persis sebelum kelahiran. Pada banyak hewan

pengerat, testes ditarik kembali kedalam rongga abdomen dan pematangan spermaa diinterupsi

diantara musim kawin. Beberapa mamalia yang suhu tubuhnya cukup rendah untuk

memungkinkan untuk pematangan sperma, seperti monotrema, paus, dan gajah, menahan

testes tetap berada di dalam rongga abdomen secara permanen.

Dari tubulus seminiferus testis, sperma lewat ke dalam saluran mengulir pada epididimis.

Diperlukan sekitar 20 hari bagi sperma untuk menyelesaikan perjalanan di sepanjang saluran

epididimis sepanjang 6m milik seorang laki – laki. Selama perjalanan ini, sperma menjadi

motil dan mendapatkan kemampuan untuk membuahi. Selama ejakulasi, sperma di dorong

dari epididimis melalui vas deferens berotot. Kedua duktus ini ( satu dari setiap epididimis )

berawal dari skrotum di sekitar dan di belakang kandung kemih, dimana masing – masing

Page 2: cardi

menyatu dengan duktus dari vesikula seminalis , yang membentuk dukltus ejakulasi

( ejaculatory duct ) yang pendek. Duktus ejakulasi itu membuka ke dalam uretra, yaitu saluran

yang mengosongkan isi sistem ekskresi dan sistem reproduksi. Uretra terdapat di sepanjang

penis dan membuka keluar pada ujung penis.

Kumpulan kelenjar aksesoris ( vesikula seminalis, prostat, dan kelenjar bulbouretralis )

menambahkan sekresi ke semen yaitu cairan yang diejakulasikan. Sepasang vesikula seminalis

( seminal vesicle ) menyumbangkan sekitar 60% total volume semen. Cairan dari vesikula

seminalis itu kental, kekuningan, dan alkalis ( bersifat basa ). Cairan tersebut mengandung

mucus, gula fruktosa ( yang menyediakan sebagian energy yang digunakan oleh sperma ),

enzim pengkoagulasi, asam askorbat, dan prostaglandin.

Kelenjar prostat ( prostate gland ) adalah kelenjar pensekresi semen terbesar. Kelenjar itu

mensekresikan produknya secara langsung ke dalam uretra melalui beberapa saluran kecil.

Cairan prostat bersifat encer dan seperti susu, mengandung enzim antikoagulan, sitrat

( nutrient bagi sperma ), dan sedikit asam. Kelenjar prostat merupakan sumber beberapa

permasalahan medis yang umum bagi laki – laki diatas 40 tahun. Pembesaran tak berbahaya

( nonkanker ) pada prostat terjadi pada lebih dari separuh laki – laki dalam kelompok usia ini

±dan pada hamper semua laki – laki diatas 70 tahun. Kanker prostat merupakan salah satu

kanker yang paling umum terjadi pada laki – laki. Kanker ini umumnya diobati dengan

pembedahan atau dengan menggunakan obat – obatan yang menghambat gonadotropin yang

menyebabkan penurunan aktivitas dan ukuran prostat.

Kelenjar bulbouretralis ( bulbourethral gland ) adalah sepasang kelenjar kecil yang

terletak di sepanjang uretra, dibawah prostat. Sebelum ejakulasi, kelenjar tersebut

mensekresikan mucus bening yang menetralkan setiap urin asam yang masih tersisa dalam

uretra. Cairan bulbouretralis juga membawa sebagian sperma yang dibebaskan sebelum

ejakulasi, yang merupakan salah satu alas an tingginya laju kegagalan metode keluarga

berencana atau kontrol kelahiran dengan cara menarik penis sebelum ejakulasi ( withdrawal

method ).

Seorang laki – laki umumnya mengejakulasikan ± 2 sampai 5 ml semen, dan tiap milliliter

mengandung sekitar 50 sampai 130 juta sperma. Saat telah berada dalam saluran reproduksi

betina, prostaglandin dalam semen mengencerkan mukus pada pembukaan uterus dan

merangsang kontraksi otot uterus yang membantu menggerakkan semen masuk kedalam

Page 3: cardi

uterus. Semen bersifat sedikit alkalis, dan hal ini membantu menetralkan lingkungan vagina

yang asam, sehingga melindungi sperma dan meningkatkan motilitasnya. Ketika pertama kali

diejakulasi, semen berkoagulasi, sehingga memudahkan kontraksi uterus untuk

menggerakkannya, kemudian antikoagulans mencairkan semen dan sperma mulai berenang

melalui saluran perempuan.

Penis manusia tersusun dari tiga silinder jaringan erektil mirip spons yang berasal dari

vena dan kapiler yang dimodifikasi. Selama kebangkitan gairah seks, jaringan erektil itu akan

terisi dengan darah dari arteri. Ketika jaringan ini terisi, peningkatan tekanan akan menutup

vena yang mengalirkan darah keluar dari penis, sehingga penis dipenuhi dengan darah. Ereksi

yang dihasilkan sangat penting untuk pemasukkan penis kedalam vagina. Pada beberapa

hewan mamalia mempunyai bakulum ( baculum ), yang merupakan tulang yang terdapat di

dalam penis, dan membantu mengeraskan penis. Impotensi temporer, yaitu kondisi ( yang

masih dapat dihilangkan ) dimana seorang pria tidak mampu mencapai ereksi, dapat

disebabkan oleh konsumsi alkohol, obat – obatan tertentu, dan permasalahan emosi. Beberapa

obat dan peralatan untuk dimasukkan kedalam penis juga tersedia bagi laki – laki yang

mengidap impotensi permanen akibat system saraf atau permasalahan sirkulasi.

Batang utama penis ditutupi oleh kulit yang relatif tebal. Kepala zakar atau glands penis,

mwmpunyai penutup yang jauh lebih tipis sehingga menjadi lebih sensitif terhadap

rangsangan. Sebagai preputium ( prepuce ), yang dapat dibuang pada saat khitan atau sunat

yang diverifikasi untuk dalam hal kesehatan.

II.2 Spermatogenesis

Spermatogenesis, atau produksi sel – sel sperma dewasa adalah proses yang terus –

menerus dan prolific pada jantan dewasa. Setiap ejakulasi laki – laki mengandung 100 – 650

juta sel sperma dan seorang laki – laki dapat mengalami ejakulasi setiap hari dengan

kemampuan untuk membuahi yang hanya berkurang sedikit.

Struktur sel sperma sesuai dengan fungsinya pada sebagian besar spesies, kepala yang

mengandung nucleus haploid ditudungi oleh badan khusus, yaitu akrosom ( acrosome ) yang

mengandung enzim yang membantu sperma menembus sel telur dibelakang kepala. Sel

sperma mengandung sejumlah besar mitokondria ( atau sebuah mitokondria yang besar, pada

beberapa spesies ) yang menyediakan ATP untuk pergerakkan ekor yang berupa sebuah

Page 4: cardi

flagella. Bentuk sperma mamalia bervariasi dari spesies ke spesies, dengan kepala berbentuk

kepala tipis, berbentuk oval ( seperti pada sperma manusia ) atau berbentuk hamper bulat.

Spermatogenesis terjadi dalam tubula seminiferus testis.

Pada jantan, hormon kelamin utama adalah androgen, yang paling penting diantaranya

adalah testosterone. Androgen hormon steroid yang sebagian besar dihasilkan oleh sel – sel

leydig testes, secara langsung bertanggung jawab atas karakteristik seks primer dan sekunder

jenis kelamin jantan. Karakteristik seks primer adalah tanda – tanda yang berkaitan dengan

system reproduksi, perkembangan vas deferens dan duktus – duktus lain, perkembangan

struktur reproduksi eksternal, dan produksi sperma. Karakteristik seks sekunder adalah cirri

yang tidak secara langsung berkaitan dengan sistem reproduksi, yang meliputi perubahan

suara menjadi besar, persebaran rambut di muka dan di pubis, dan pertumbuhan otot

( androgen merangsang sintesis protein ). Androgen juga menjadi penentu kuat perilaku bpada

mamalia dan vertebra lain. Hormon dari pituitary anterior dan hipotalamus mengontrol

sekresi androgen maupun produksi spema oleh testis.

Gambar ini mengkorelasikan tahapan meiosis dalam perkembangan sperma ( kiri ) dengan

struktur tubula seminiferus. Sel – sel kecambah ( germinal ) primordial testis embrio

berdiferensiasi menjadi spermatogonia yaitu sel diploid yang merupakan precursor sperma.

Terletak di dekat dinding bagian luar tubula seminiferus, spermatogonia mengalami mitosis

berulang – ulang, yang menghasilkan sperma potensial dalam jumlah besar. Pada jantan

dewasa, sekitar 3 juta spermatogonia berdiferensiasi menjadi spermatosit primer. Jumlah

kromosom berkurang sepatuh ketika spermatosit ptimer mengalami pembelahan meiosis

pertama. Dalam diagram yang disederhanakan ini jumlah diploid ( 2n ) hanya 4, jumlah 2n

sesungguhnya pada manusia adalah 46. Perhatikanlah bahwa masing – masing spermatosit

sekunder hanya mempunyai dua kromosom ( jumlah haploid ), dan kromosom ini masih tetap

di duplikasi, dan masing – masing terdiri atas dua kromatin yang identik. Pembelahan meiosis

kedua menghasilkan empat spermatid, masing – masing dengan dua kromosom tunggal.

Spermatid itu kemudian berdifernsiasi menjadi spermatozoa dewasa atau sel sperma. Hal

tersebut melibatkan asosiasi sperma yang sedang berkembang dengan sel sertoli besar, yang

memindahkan nutrien spermatid. Selama spermatogenesis, sperma yang berkembang ini

secara perlahan – lahan di dorong ke arah tubula seminiferus dan menuju epididimis, tempat

Page 5: cardi

sperma mendapatkan motilitasnya ( kemampuan bergerak ). Proses tersebut dari pembentukan

spermatogonia hingga ke sperma yang motil, memerlukan waktu hingga 65 – 75 hari pada

laki – laki.

II.3 Pemeriksaan Analisis Sperma

II.3.1 Pengolahan Siapan

Para teknisi laboratorium harus menyadari bahwa semen mungkin mengandung virus

yang membahayakan ( misalnya HIV dan virus penyebab hepatitis dan herpes ) dan oleh

karena itu harus diperlakukan dengan hati – hati. ( WHO, 1992 )

II.3.2 Pengamatan Makroskopi Pertama

II.3.2.1 Pencairan ( Likuefaksi )

Sediaan semen normal mencair dalam waktu 60 menit pada suhu kamar. Pada beberapa

kasus, pencairan sempurna tidak terjadi dalam waktu 60 menit. Hal tersebut perlu dicatat.

Adanya serat – serat musin ( mucous steaks ), merupakan suatu tanda pencairan yang tidak

sempurna, dapat mengganggu tata cara pencacahan. Siapan semen normal mungkin

mengandung butir – butir seperti agar – agar ( jelly – like grains ), atau badan agar – agar

( glatinous body ) yang tidak mencair. Arti penemuan butir – butir seperti agar – agar belum

diketahui.

Kadang – kadang sediaan tidak mencair, dalam hal demikian mungkin perlu diberi

perlakuan tambahan ( yaitu pemberian bromelin 1g / l, atau plasmin 0,35 – 0,50 casein unit /

ml, atau krimotripsin 150 USP / ml ) agar sediaan lebih mudah diperiksa. Namun demikian,

tidak diketahui apakah ada pengaruh perlakuan ini terhadap fungsi sperma atau terhadap

biokimia plasma semen.

Sediaan harus diaduk dengan baik dalam wadah penampungannya. Pengadukan yang

tidak sempurna mungkin merupakan penyebab utama adanya kesalahan dalam menentukan

jumlah sperma. Pengadukan yang berkesinambungan selama pencairan dengan pemutaran

wadah siapan dapat mengurangi kesalahan tersebut ( de Ziegler, dkk., 1987 )

Page 6: cardi

II.3.2.2 Penampilan

Sediaan harus segera diperiksa setelah pencairan atau dalam waktu satu jam setelah

ejakulasi, pertama – tama melalui pemeriksaan sederhana pada suhu kamar. Sediaan normal

tampak putih kelabu homogen. Sediaan mungkin tampak jernih jika jumlah sperma terlalu

sedikit, atau tampak coklat jika ada sel darah merah.

II.3.2.3 Volume

Volume ejakulat harus diukur baik dengan gelas ukur atau dengan cara menyedot seluruh

sediaan kedalam pipet bermulut lebar melalui peralatan mekanik. Jika akan dilakukan

pembiakan semen atau sediaan akan dipersiapkan untuk assay biologi, inseminasi intrauterine

atau fertilisasi in vitro, maka harus dipakai bahan – bahan steril pada pengolahan sediaan

semen tersebutu. Jarum suntik hipodermik dan semprit plastic jangan digunakan karena akan

mempengaruhi anlisis semen, khususnya motilitas sperma.

II.3.2.4 Konsistensi

Konsistensi ( sering disebut viskositas ) sediaan yang telah mencair ditaksir dengan cara

menyedot siapan secara perlahan kedalam pipet 5 ml dan kemudian biarkan semen menetes

karena gaya berat dan diamati panjang benang dari tetesan tersebut. Sediaan normal akan

keluar dari pipet sebagi tetesan – tetesan kecil, sedangkan untuk kasus konsistensi abnormal

tetesan akan membentuk benang yang panjangnya dapat lebih dari 2 cm. Konsistensi dapat

juga dinilai dengan cara memasukkan batang kaca ke dalam sediaan dan kemudian mengamati

benang yang terbentuk pada saat batang tersebut dikeluarkan. Panjang benang tidak boleh

lebih dari 2 cm.

Konsistensi yang tidak normal, misalnya dikarenakan bayak mengandung musin, dapat

mengganggu penentuan berbagai cirri semen misalnya motilitas dan jumlah sperma, dan

pengujian antibody pelapis sperma.

II.3.2.5 pH

Setetes semen disebarkan secara merata di atas kertas pH ( kisaran pH 6,1 – 10,0 ).

Setelah 30 detik warna daerah yang dibasahi akan merata dan kemudian dibandingkan dengan

kertas kalibrasi untuk dibaca pH – nya.

Page 7: cardi

Kertas pH apapun yang dipakai, ketelitiannya harus diuji terlebih dahulu terhadap patokan

yang trelah diketahui sebelum dipakai secara rutin.

pH harus diukur dalam waktu satu jam setelah ejakulasi dan harus berada dalam kisaran

7,2 – 7,8. Jika pH kurang dari 7,0 pada sediaan azoospermia perlu dipikirkan kemungkinan

adanya disgenesis vas deferens, vesika seminalis atau epididimis.

II.3.3 Pemeriksaan Mikroskopi Pertama

Pada pemeriksaan mikroskopi pertama sediaan, dilakukan perkiraan dari jumlah, motilitas

dan aglutinasi sperma, dan adanya elemen sel lain daripada sperma. Batas jumlah lekosit yang

apabila terlampaui akan mengganggu fertilitas adalah sulit untuk ditentukan. Pengaruh sel –

sel ini tergantung dari tempat dimana lekosit masuk semen , tipe lekosit dan keadaan

pengaktifan lekosit tersebut. Dari sudut ketahanan sperma manusia terhadap pengaruh

oksidasi, adanya neutrofil tampaknya bersifat merusak, khususnya jika terjadi infiltrasi pada

tingkat rete testis atau epididimis. Sebaliknya, masuknya lekosit pada waktu ejakulasi melalui

prostat atau vesiska seminalis, kemungkinan kurang membahayakan karena kuatnya pengaruh

antioksidan plasma semen ( jones, dkk., 1979 ). Sebagai petunjuk umum, ejakulat normal tidak

diperkenankan mengandung lebih dari 5 sel bulat / ml, sementara jumlah lekosit tidak boleh

melebihi 1 x 106 / ml.

Telah ditentukan beberapa teknik untuk menilai besarnya populasi lekosit dalam semen.

Contohnya : criteria biokimiawi seperti pengukuran konsentrasi elastase menggunakan assay

imunosorben terikat enzim yang terbukti bermanfaat ( Wolff, dkk., 1990 ). Perlu dicatat bahwa

teknik peroksidase memberikan jumlah yang kurang dari yang diperoleh dengan menggunakan

antibody monoclonal pan – lekosit.

Hubungan antara jumlah lekosit dan adanya infeksi saluran genital masih diperdebatkan.

Apabila semen mengandung lekosit melebihi 1 x 106 / ml, uji mikrobiologi perlu dilakukan

untuk menyelidiki apakah ada infeksi kelenjar assesori. Uji demikian meliputi pemeriksaan

urin yang dikeluarkan pertama kali, yang kedua kali, cairan prostat dan urin hasil pengurutan

prostat ( Meares & Stamey, 1972 ). Juga mencakup analisis biokimia plasma semen, karen

infeksi kelenjar assesori sering menyebabkan fungsi sekretori yang tidak normal ( Comhaire,

dkk., 1980 ). Namun demikian tidak adanya lekosit [tidak menutup kemungkinan adanya suatu

infeksi kelenjar assesori.

Page 8: cardi

II.3.4 Pemeriksaan Mikroskopi Lanjutan

II.3.4.1 Vitalitas Sperma

Vitalitas sperma digambarkan dalam proporsi sperma hidup yang tidak terpulas atau

kapasitas osmoregulasi dibawah kondisi hipo – osmotik.

II.3.4.1.1 Pemulasan Sperma Hidup

Jika jumlah sperma yang tidak motil melebhi 50%, maka proporsi sperma hidup harus

ditentukan dengan menggunakan tekik pulasan yang berdasarkan prinsip bahwa sel mati

dengan membrane plasma yang rusak akan dimasuki zat warna.

100 sperma dicacah dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa atau mikroskop beda –

fase untuk membedakan sperma hidup ( tidak terpulas ) dan mati ( terpulas ). Teknik pulasan

ini memungkinkan untuk membedakan sperma tidak motil tetapi masih hidup dengan sperma

yang mati.

Cara tersebut juga merupakan suatu uji ketelitian penilaian motilitas karena persentase sel

mati tidak boleh melebihi persentase sperma tidak motil. Selain itu dijumpai banyak sperma

hidup dapat merupakan petunjuk adanya kelainan pada struktur flagel.

II.3.4.1.2 Uji Pembengkakan Hipo – osmotik ( HOS )

Ini adalah uji sederhana yang berdasarkan sifat semi permeable membrane sel yang utuh,

yang memungkinkan sperma mengalami ‘pembengkakan’ di bawah kondisi hipo – osmotic,

jika ada influx air yang menyebabkan pertambahan volume sel ( Devius & Eriksson, 1966 ).

Diperkenalkan sebagai uji klinis oleh Jeyendran, dkk ( 1984 ). Uji HOS seharusnya tidak

digunakan srbagai uji fungsi sperma tetapi boleh dipakai sebagai uji pilihan, sebagai tambahan

untuk uji vitalitas. Uji ini mudah dikerjakan dan gampang untuk membuat skor dan

memberikan informasi tambahan tentang integritas dan kekuatan membran sel dari ekor

sperma.

Page 9: cardi

II.3.4.2 Pencacahan Sperma

Jumlah sperma dapat ditentukan dengan memakai metode hemositomer. Pada tata cara ini

dipakai pengenceran 1 : 20 untuk setiap sediaan yang telah diaduk dengan baik dengan jalan

mengencerkan 50 μl semen dengan 950 μlzat pengencer yang terdiri atas : 50 g natrium

bikarbonat ( Na2HCO3 ), 10 ml 35% ( v / v ), formalin ( jika diinginkan dapat juga dibubuhi

0,25 g tripan biru ( C. I. 23850 ) atau 5 ml larutan jenuh gentian violet dibubuhi akuades

menjadi 1000 ml ). Zat warna tidak perlu dibubuhkan jika memakai mikroskop beda fase.

Jika pemeriksaan pertama member petunjuk bahwa jumlah sperma sangat tinggi atau

sangat rendah, maka pengenceran sediaan harus disesuaikan. Dengan demikian untuki sediaan

dengan jumlah sperma kurang dari 20 x 106 / ml, dapat dilakukan pengenceran 1 : 10. Untuk

sediaan dengan jumlah sperma lebih dari 100 x 106 / ml, pengenceran 1 : 50 lebih sesuai. Pipet

lekosit dan pipet otomatis yang tergantung pada pemindahan udara adalah kurang akurat untuk

melakukan pengenceran volumentrik untuk bahan kental seperti semen. Perlu menggunakan

pipet jenis pemindahan positif.

Sediaan yang telah diencerkan harus diaduk dengan baik dan kemudian satu tetes

diletakkan di tiap kamar hemositomer ‘improved neubauer’ dan ditutup dengan kaca tutup.

Hemositomer dibiarkan selama 5 menit dalam kamar yang lembab untuk mengurangi

pengeringan. Selama waktu itu sel – sel mengendap dan kemudian dicacah dengan memakai

mikroskop cahaya atau beda – fase dengan pembesaran 200 – 400 x. Hanya sperma ( sel benih

berekor yang secara morfologi telah matang ) yang dicacah, kepala jarum pentul atau kepala

tak berekor tidak dicacah.

Tata – cara pencacahan sperma dalam kamar hemositomer ialah sebagai berikut : segi

empat utama dari kisi – kisi hemositomer ‘improved’ neubauer terdiri atas 25 segi empat besar

yang masing – masing terdiri atas 16 segi empat yang lebih kecil. Jika sediaan mengandung

kurang dari 10 sperma setiap segi empat besar, maka seluruh 25 segi empat besar harus

dicacah. Jika siapan mengandung 10 – 40 sperma setiap segi empat besar, maka harus dicacah

10 segi empat besar dan untuk sediaan mengandung 40 sperma setiap segi empat besar, maka

5 segi empat besar dicacah. Sperma yang terletak di atas garis pemisah 2 segi empat dicacah,

jika terletak pada sisi atas atau kiri segi empat yang sedang diamati.

(gambar)

(table)

Page 10: cardi

Kedua kamar hemositomer dinilai dan rata – rata pencacahan dihitung, memberikan

perbedaan antara kedua pencacahan yang tidak melebihi 1/20 dari jumlah kedua pencacahan

( yaitu perbedaan kedua pencacahan kurang dari 10% ). Jika perbedaan kedua pencacahan

tidak sampai 10%, maka hasil tidak dipakai, sediaan diaduk ulang dan hemositomer lainnya

disiapkan dan dilakukan pencacahan ulang.

Untuk menentukan jumlah spermatozoa dalam sediaan semen aslinya dalam juta / ml,

bagilah jumlah rata – rata sperma dengan factor konversi yang sesuai pada tabel. Sebagai

contoh, jika sediaan diencerkan 1 + 19 dan jika 162 dan 170 spermatozoa telah dicacah dalam

10 segi empat besar dalam tiap kamar, selanjutnya jumlah setiap spermatozoa dari sediaan

semen asalnya adalah 83 x 106 ( yaitu 166 dibagi dengan 2 ). Untuk hemositomer yang lain

ada factor koreksi yang berbeda tergantung dari volume setiap segi empat.

Tata – cara untuk menentukan jumlah sperma menggunakan kamar pencacah khusus.

Meskipun kamar demikian, misalnya kamar ‘Makler’ ( Makler, 1980 ) atau ‘microcell’

( Ginsburg & Annant, 1990 ), adalah memudahkan karena dapat digunakan tanpa pengenceran

sediaan, ketelitian kurang dibandingkan dengan kekentalan tinggi dan atau heterogen, jika

kamar tersebut digunakan. Ketelitian dan keakuratan yang memadai harus ditegakkan melalui

perbandingan dengan hemositomer.

II.3.4.3 Analisis Ciri – Ciri Morfologi Sperma

Meskipun keragaman morfologi sperma manusia sangat menyulitkan pencacahan beda

morfologi sperma, pengamatan atas sperna pilihan yang diambil dari saluran reproduksi

wanita ( khususnya dari getah servik pasca – senggama ) telah membantu penentuan

penampilan sperma normal.

Banyak sperma dengan morfologi abnormal mempunyai beragam kelainan. Sebelumnya,

apabila ada beragam kelainan, hanya satu yang dicatat dengan prioritas diberikan kepada

kelainan kepala sperma daripada kelainan bagian tengah dan bagian ekor. Namun demikian

telah ditunjukkan bahwa jumlah rata – rata kelainan per sperma, suatu penilaian yang disebut

indeks teratospermia, adalh penduga yang bermakna dari fungsi sperma baik in vivo maupun

in vitro ( Jouannet, dkk., 1988 ; Mortimer, dkk., 1990 ). Oleh karena itu pengamatan morfologi

harus multiparametrik untuk setiap sperma, dicacah masing – masing kelainan secara terpisah.

Page 11: cardi

II.3.4.3.1 Klasifikasi Morfologi Sperma Manusia

Sperma manusia dapat diklasifikasikan menggunsksn mikroskop pencahayaan biasa untuk

spesimen yang telah dipulas atau mikroskop beda fase berkualitas tinggi ( total pembesaran

paling sedikit 600 x ) pada sediaan basah.

Kepala sperma manusia yang dipulas sedikit lebih kecil daripada kepala sperma hidup

dalam semen asalnya, meskipun bentuknya tidak berbeda benar ( Katz, dkk., 1986 ). Kriteria

yang tepat harus dilakukan pada waktu pengamatan kenormalan morfologi suatu sperma.

Kepala normal haruslah berbentuk oval. Sedikit pengerutan akibat fiksasi dan pemulasan

diperkenankan, panjang kepala harus 4,0 – 5,5 μm, dan lebarnya 2,5 – 3,5 μm. Perbandingan

panjang dengan lebar haruslah 1,50 – 1,75. Nilai ini meliputi 95% batas yang dapat diterima

dari data perbandingan untuk kepala sperma hidup dan dipulas dengan Papanicolaou ( Katz,

dkk., 1986 ). Ada daerah akrosom yang jelas meliputi 40 – 70% area kepala. Tidak ada

kelainan leher, bagian tengah atau ekor dan tidak ada tetesan sitoplasma lebih dari sepertiga

ukuran kepala sperma normal. Skema klasifikasi ini dibutuhkan karena semua bentuk pada

garis batas ( borderline ) dianggap abnormal.

Karena pengamatan morfologi yang dianjurkan memberikan perhatian pada daerah sel

sperma yang berfungsi, maka dianggap tidak perlu secara rutin membedakan antara semua

keragaman ukuran dan bentuk kepala atau antara berbagai kelainan ekor. Namun demikian,

apabila bagian dari sperma adalah abnormal pada sebagian besar sel, perlu diberikan komentar

untuk kelainan – kelainan yang mencolok. Kategori – kategori berikut dari kelainan suatu

sperma yang harus dinilai :

(a) Bentuk kepala / kelainan ukuran, meliputi kepala besar, kecil, berbentuk lisong

( tapering ), berbentuk seperti bola lampu ( piryform ), amorf, berongga ( > 20% dari

daerah kepala ditempati oleh daerah berongga yang tidak terpulas ) atau kepala kembar

atau bentuk kombinasi yang lain dari yang telah disebut di atas.

(b) Kelainan leher dan bagian tengah, termasuk sperma tidak berekor ( tampak sebagai kepala

bebas ( free ) atau kepala lepas ( loose ) ), ekor yang tidak tersisip ( non – inserted ) atau

ekor bengkok ( ekor membentuk sudut sekitar 90% dengan sumbu panjang kepala ),

bagian tengah yang membengkak / irreguler / bengkok, secara abnormal bagian tengah

tipis ( misalnya : tak ada sarung mitokondria ) atau berbagai kombinasi dari berbagai

kelainan tersebut.

Page 12: cardi

(c) Kelainan ekor, meliputi ekor pendek, ganda, berbentuk seperti tusuk rambut, patah

( dengan sudut > 90º ), lebar tidak teratur atau ekor tergulung, atau ekor – ekor dengan

tetesan pada ujungnya, atau kombinasi dari berbagai kelainan tersebut.

(d) Sisa sitoplasma lebih besar dari sepertiga daerah kepala sperma normal. Sisa sitoplasma

lebih besar dari sepetiga daerah kepala sperma normal. Sisa sitoplasma biasanya terletak

di bagian leher / bagian tengah sel, walaupun beberapa sperma muda dapat mempunyai

sisa sitoplasma pada lokasi lain sepanjang ekor.

II.3.4.3.2 Melakukan Pencacahan Beda Morfologi Sperma

Paling sedikit 100, dan lebih baik 200 sperma yang dicacah. Dengan sediaan yang telah

dipulas harus dipakai lensa obyektif dengan pembesaran 100 x berlapangan terang diberi

minyak imersi tanpa cincin fase.

Biasanya hanya sperma yang dapat dikenali yang dicacah. Sel – sel muda sampai pada

dan termasuk tahap Sd, spermatid tidak dicacah sebagai sperma. Sperma tanpa kepala dicacah

sebagai bentuk abnormal ( di bawah kelainan bagian tengah dan leher ) tetapi tidak untuk yang

berekor. Jika insiden kepala jarum pentul ( pinheads ) tinggi ( relatif insiden terhadap sperma

> 20% ), keadaan ini harus dicatat secara terpisah, kepala jarum pentul tidak dicacah sebagai

kelainan kepala karena sperma tersebut hanya jarang memiliki kromatin ataupun struktur

kepala bagian depan sampai bagian basal.

Tingginya insiden dari ekor tergulung dapat menunjukkan bahwa sperma telah terkena

pengaruh hipo – osmotik, walaupun ekor menggulung juga berkaitan dengan sperma yang

menua.

II.3.4.3.3 Kelainan ‘Sterilizing’ yang Spesifik

Pada jenis hewan peliharaan, berbagai kelainan ‘sterilizing’ telah diuraikan yang mana

secara pokok semua sperma yang diproduksi mempunyai kelainan struktur yang khusus yang

menyebabkan kelainan fungsi sperma. Beberapa kasus yang sama telah diuraikan [pada

manusia, mungkin yang paling diketahui adalah kelainan kepala bundar atau

‘globozoospermia’.

Page 13: cardi

II.3.4.4 Metode Pemulasan Sperma Manusia

Pulasan dapat dilakukan dengan cara memakai cara giemsa, modifikasi pulasan

papanicolaou untuk sperma, modifikasi Bryan – Leishman atau pulasan Shorr. Pulasan

Giemsa mengevaluasi jenis – jenis sel lekosit lebih baik daripada sperma. Pulasan

papanicolaou adalah metode pulasan yang banyak digunakan dalam laboratorium andrologi.

Pulasan tersebut dapat memulas daerah akrosom dan pasca – akrosom kepala sperma, bagian

tengah dan ekor dan dapat dipakai bahkan untuk sediaan yang kental. Pulasan Bryan –

Leislunan memulas sperma secara memadai, terutama baik untuk penentuan sel – sel benih

muda dan membedakannya dari sel – sel lekosit. Pulasan Shorr mudah dilakukan dan cukup

untuk menilai morfologi sperma rutin.

Meskipun telah tersedia tata cara pulasan satu tahap siap pakai di pasaran, beberapa di

antara pulasan apusan tersebut tidak dapat disimpan untuk acuan mendatang dan lainnya tidak

memberikan kualitas yang sama dari apusan seperti yang dianjurkan di penuntun ini.

Teknik ‘feathering’ tradisional ( dimana tepi kaca obyek kedua digunakan untuk menarik

tetesan semen sepanjang permukaan kaca obyektif bersih ) dapat digunakan unutuk membuat

apusan sperma, tetapi harus hati – hati jangan membuat apusan yang terlalu tebal. ‘Feathering’

baik untuk bahan yang kurang kental seperti darah atau suspense sperma yang telah dicuci

tetapi sering tidak cocok untuk semen yang kental. Cara lain yaitu dengan meletakkan setetes

semen pada bagian tengah kaca obyektif yang telah dibersihkan dan kemudian kaca obyektif

kedua dengan permukaan yang telah dibersihkan dan menghadap ke bawah diletakkan di atas

kaca obyektif pertama sehingga semen menyebar sepanjang kedua kaca obyektif. Kedua kaca

obyektif kemudian dipisahkan pelan – pelan dengan cara menarik kedua obyektif dengan arah

yang berlawanan untuk membuat dua apusan secara bersamaan.

Gambaran semua bagian sperma harus dengan mudah dapat dibedakan. Dalam sediaan

pulasan papanicolaou, kepala sperma terpulas biru pucat di daerah akrosom dan biru tua di

daerah pasca akrosom. Bagian tengah tampak pulasan agak merah, tetapi dianggap abnormal

hanya apabila bagian tengah bengkak dan tidak teratur. Ekor juga akan terpulas biru. Sisa

sitoplasma, biasanya terletak di belakang kepala dan sekitar bagian tengah akan berwarna

hijau.

Page 14: cardi

II.3.4.5 Pengujian terhadap Antibody – Pelapis Sperma

Adanya anti – sperma antibody – pelapis sperma merupakan tanda khas dan spesifik

untuk infertilitas yang disebabkan factor imunologi ( Jones, 1986 ). Antibody sperma dalam

semen tergolong dua kelas imunologi : IgA dan IgG. Antibodi IgA mempunyai anti klinis

lebih penting daripada antibody IgG ( Kramer & Jager, 1980 ). Antibodi IgM jarang dijumpai

di dalam semen disebabkan ukuran molekulnya yang besar.

Pengujian terhadap adanya antibody tersebut dilakukan pada siapan semen segar dengan

menggunakan uji butir imun atau uji reaksi antiglobulin campuran ( uji MAR : untuk ulasan

lihat Branson, dkk., 1984 )

Agar uji – uji tersebut sahih paling sedikit harus ada 100 sperma dengan motilitas gerak

maju untuk pencacahan. Sediaan yang banyak mengandung mucus dapat mempengaruhi uji

ini. Hasil dari uji butiir imun dan uji MAR tidak selalu sama. Uji butir imun berkorelasi baik

dengan aglutinasi sperma dan uji imobilisasi yang dilakukan untuk serum. Apabila uji – uji ini

positif, uji tambahan ( uji kontak sperma – getah servik, uji tabung kapiler sperma – getah

servik, atau titrasi antibodi sperma dalam serum ) akan memberikan nilai tambah dan

memperkuat diagnosis.

II.3.4.5.1 Uji Butir Imun

Antibodi yang ada pada permukaan sperma dapat diketahui dengan uji butir imun. Uji

butir imun merupakan poliakrilamida yang terikat dengan ikatan kovalen immunoglobulin anti

– manusia kelinci. Adanya antibodi IgG, IgA, dan IgM dapat diteliti sekaligus dengan uji ini.

Sperma dicuci terlebih dahulu agar bebeas dari cairan semen dengan cara sentrifugasi

berulang – ulang dan kemudian diresuspensikan dalam larutan dapar. Suspense sperma

dicampur dengan suspense butir imun. Sediaan tersebut diamati dengan pembesaran 400 x di

bawah mikroskop beda – fase. Karena sperma berenang dalam suspense tersebut, butir imun

melekat pada sperma motil yang mempunyai ikatan antibodi pada permukaannya. Proporsi

sperma dengan antibodi permukaan kemudian ditentukan dengan menggunakan jenis – jenis

butir imun yang berbeda. Jenis lain butir imun, asalnya digunakan untuk pelabelan sel B total,

juga dapat digunakan sebagai uji penyaringan satu tahap untuk isotope IgG, IgA, dan IgM dari

antibody permukaan sperma ( Pattinson & Motimer, 1987 ).

Page 15: cardi

Uji tersebut dianggap positif apabila 20% atau lwbih sperma motil memiliki ikatan butir

imun. Namun demikian, penetrasi sprma kedalam getah servik dan fertilisasi in vitro

cenderung tidak mengurangi kemaknaan kecuali 50% atau lebih dari sperma motil memiliki

antibody yang terikat padanya ( Ayvaliotis, dkk., 1985 ; Clarke, dkk., 1985 ). Atas dasar ini,

paling sedikit 50% sperma motil harus dilapisi dengan butir imun sebelum uji tersebut

dianggap bermakna secara klinis. Lagipula terikatnya butir imun terbatas pada ujung ekor

tidak berhubungan dengan gangguan fertilitas dan dapat berada dalam semen beberapa pria

fertile.

II.3.4.5.2 Uji MAR

Uji MAR IgG dilakukan dengan mencampur semen segar dengan partikel lateks atau sel

eritrosit domba yang dilapisi dengan IgG manusia. Suatu antiserum IgG anti – manusia yang

monospesifik kemudian dibubuhkan kepada campuran tersebut. Terbentuknya gumpalan

campuran antara partikel dan sperma motil merupakan bukti adanya antibodi IgG pada

sperma. Diagnosis infertilitas karena sebab imunologi perlu dipikirkan jika 10 – 50% sperma

motil mempunyai partikel yang melekat.

Uji – Uji Pilihan

Uji – uji pada bagian ini dikhususkan dan leterkaitan uji – uji tersebut masih perlu

ditegakkan seutuhnya. Karena alas an ini, uji – uj tersebut biasanya tidak dianjurkan untuk

analisis semen rutin.

II.3.4.6 Biakan Semen

Sediaan semen yang akan dibiak harus dikumpulkan dengan melakukan perhatian khusus

untuk mencegah kontaminasi. Sebelum mengumpulkan sediaan, penderita diminta untuk

mengeluarkan air seninya terlebih dahulu. Segera setelah itu ia harus mencuci tangan dan

penisnya dengan sabun, kemudian membilasnya serta mengeringkannya dengan handuk

bersih. Wadah semen harus steril. Pemeriksaan lengkap sediaan harus dilakukan di

laboratorium mikrobiologi untuk pengujian yang mana tidak dilakuikan di laboratorium

andrologi. Biakan plasma semen untuk mengamati organisme aerob dan anaerob dapat

membantu menegakkan diagnosis infeksi kelenjar asesori, terutama prostat ( Mobley, 1975 )

Page 16: cardi

Biakan bakteri aerobic saja dapat dilakukan dengan atau tanpa pengenceran sediaan

semen pada suatu kaca obyek yang dilapisi media biakan ( dipslide ) atau pada agar darah.

Jika jumlah bakteri lebih dari 1000 unit pembentuk koloni ( CFU ) per ml, jenis koloni perlu

diperiksa. Jika koloni tampak seragam, identifikasi lebih jauh dan kepekaan terhadap

antibiotic perlu dilakukan melalui laboratorium mikrobiologi yang khusus. Jika koloni –

koloni tersebut tampak berbeda, perlu dicurigai adanya kontaminasi, dan biakan semen kedua

perlu dilakukan dengan menginstruksikan secara jelas kepada penderita untuk mencegah

kontaminasi.

Apabila jumlah bakteri kurang dari 1000 CFU / ml, biakan tersebut dianggap negative

sehubungan dengan bakteri aerob. Infeksi organ reproduksi memerlukan keterlibatan

laboratorium mikrobiologi yang khusus ( Brunner, dkk., 1983 ; Krieger, 1984 ; Weidner, dkk.,

1985 ).

II.3.4.7 Analisis Biokimia

II.3.4.7.1 Plasma Semen

Komposisi plasma semen berbeda pada setiap orang dan bahkan dapat berbeda dalam

setiap waktu pada orang yang sama. Kandungan plasma semen adalah :

Asam askorbat ( vitamin C untuk

memelihara jaringan tubuh

Kelompok darah antigen ( untuk

system kekebalan )

Kalsium ( mineral )

Khlorin ( perantara oksidase )

Kolesterol ( alcohol steroid yang

dihasilkan oleh cairan tubuh )

Kholin ( bagian dari vitamin B

komplek )

Asam Sitrat ( terbentuk selama

terjadinya metabolism sel )

Keratin ( substansi nitrogen yang

terdapat di dalam otot )

DNA

Fruktosa

Glutathione ( asam amino

peptide )

Hyaluronidase

Inositol ( gula yang terdapat di

dalam otot )

Asam laktat ( produk sampingan

dari penggunaan otot )

Page 17: cardi

Magnesium , fosfor, potassium,

seng ( mineral )

Nitrogen ( gas yang terdapat

dalam jaringan semua makhluk

hidup )

Purin ( kumpulan asam uric )

Pirimidin ( bahan dasar organic )

Asam piruvik ( terbentuk dari

glukosa dan glikogen )

Sodium ( garam )

Sorbitol ( alcohol tubuh )

Spermidin ( enzim katalis )

Spermin ( kumpulan ammonia

yang terdapat pada sperma )

Urea ( dari urin )

Vitamin B12 ( untuk menjaga

keseimbangan susunan saraf dan

metabolisme )

II.3.4.8 Pengujian Sperma dengan Bantuan Komputer ( CASA )

II.3.4.8.1 Pendahuluan

Secara umum diterima bahwa analisis gerak sperma yang baku, akurat dan teliti akan

meningkatkan prognosi dan kemungkinan aktivitas diagnosis laboratorium andrologi.

Teknologi visi computer dan video memproduksi peralatan baru yang dapat mengidentifikasi

dan melacak sel – sel sperma dan kemudian menghitung sejumlah parameter mencirikan

kinematik ( yaitu geometri bergantung waktu ) gerak sperma ( Boyers, dkk., 1989 ; Katz, dkk.,

1989 ; Gagnon, 1990 ; Mortimer, 1990 ). Peralatan demikian menggunakan computer untuk

memproses isyarat elektris yang didapat melalui kamera video yang dihubungkan dengan

sebuah mikroskop, baik melalui analisis langsung isyarat tersebut atau melalui analisis isyarat

yang sesuai dengan rekaman kaset video ( Boyers, dkk., 1989 ). Teknologi CASA dan

pemakaiannya belum dikembangkan sebagaimana mestinya untuk digunakan secara luas

dalam tata cara rutin. Apabila digunakan secara layak, CASA memberikan ketelitian analisis

gerak sperma lebih baik dibandingkan dengan pengamatan visual yang subyektif, dan

persesuaian dalam penilaian dari berbagai laboratorium dapat tercapai ( Davis, dkk., 1992 ;

Davis & Katz, 1992 )

Page 18: cardi

II.3.4.8.2 Penilaian Sperma Melalui CASA

System CASA dirancang untuk mendapatkan penilaian jumlah sperma, persentase sperma

motil dan parameter yang mencirikan corak dan figure gerak kepala sperma sepanjang jalur

renangnya. Beberapa system juga dapat diperluas untuk menilai morfologi kepala sperma.

Keakuratan penentuan CASA akan jumlah sperma terganggu oleh elemen – elemen

selular dan unsur lain dari sperma yang merupakan ciri semen manusia ( Boyers, dkk., 1989 ).

Oleh karena itu dtidak dianjurkan saat ini menggunakan CASA untuk menilai jumlah sperma

dalam semen manusia, meskipun kemajuan teknik diharapkan. Untuk saat ini, pemakaian

hemositomer tetap dianjurkan.

Penilaian CASA terhadap persentase sperma motil juga terganggu oleh unsur nonsperma

dalam semen, karena peralatan tersebut mendapat kesulitan dalam membedakan sperma dari

unsure demikian. Selanjutnya, batasan CASA dari sperma motil berdasarkan semata – mata

atas pencapaian ambang batas dari kecepatan gerak maju. Sebaliknya, pengamatan visual

sperma motil sering dipengaruhi oleh adanya aktifitas flagella, meskipun jika sel tidak

bergerak maju. Sebagai akibatnya, CASA dan penilaian visual persentase motilitas semen

mungkin berbeda, CASA biasanya menghasilkan nilai – nilai yang lebih rendah ( Davis &

Katz, 1992 ). Oleh karena itu dianjurkan untuk melakukan penaksiran visual secara langsung

dari persentase motilitas sebagai tambahan pengukuran yang diperoleh dalam analisis CASA.

Nilai khusus dari system baru CASA adalah dalam menggambarkan secara rinci

kinematik kepala sperma yang mana sejumlah parameter kinematik dapat diperhitungkan.

II.4 Nilai Normal Variabel Semen

Untuk setiap uji laboratorium, sebaiknya masing – masing laboratorium menentukan nilai

normalnya sendiri untuk setiap variable. Untuk penentuan nilai normal variable semen harus

digunakan sediaan yang diperoleh dari suami yang baru saja menghamili istrinya, lebih baik

lagi jika hal itu terjadi dalam waktu 12 bulan setelah berhenti melakukan kontrasepsi.

Kadang – kadang dijumpai kesulitan untuk mendapatkan jumlah pria semacam itu yang

cukup ( 50 – 100 orang ) sehingga perlu memakai data dipublikasikan oleh laboratorium lain.

Walaupun banyak penelitian demikian yang memnyangkut data dari banyak pria, biasanya

waktu yang diperlukan untuk terjadinya kehamilan tidak dicatat. Sampai sekarang belum

ditemukan bukti adanya factor suku yang mempengaruhi batas terendah nilai normal. Kriteria

Page 19: cardi

berikut menunjukkan batasan normal untuk sediaan semen yang dianalisis sesuai dengan

metode yang diuraikan pada penuntun ini yang lazim dipakai :

Uji – uji baku

Volume 2,0 ml atau lebih

pH 7,2 – 7,8

Jumlah Sperma / ml 20 x 106 sperma / ml atau lebih

Jumlah Sperma / ejakulat 40 x 106 sperma / ejakulat atau lebih

Motilitas 50% atau lebih bergerak maju ( kategori a dan b ) atau

25% atau lebih bergerak maju dengan cepat ( kategori a )

dalam waktu 60 menit setelah ejakulasi

Morfologi 30% atau lebih bermorfologi normal

Vitalitas 70% atau lebih hidup, yaitu tidak terwarna dengan

pewarnaan supravital V

Sel Lekosit Kurang dari 1 x 106 / ml

Uji Butir Imun Perlekatan pada butir imun kurang dari 20% sperma

Uji MAR Perlekatan pada butir imun kurang dari 10% sperma

Uji – uji pilihan :

α – glukosidase ( netral ) 20 µU atau lebih per ejakulat

Seng Total 2,4 µmol atau lebih per ejakulat

Asam Sitrat ( total ) 52 µmol atau lebih per ejakulat

Asam Fosfatase ( total ) 200 U atau lebih per ejakulat

Fruktosa ( total ) 13 µmol atau lebih per ejakulat

Walaupun belum ada studi klinik yang lengkap, pengalaman dari sejumlah pusat

penelitian menunjukkan persentase morfologi normal perlu disesuaikan lebih rendah apabila

dilakukan dengan kriteria yang lebih ketat. Nilai acuan empiris menunjukkan 30% atau lebih

bermorfologi normal.

Page 20: cardi

II.5 Nomenklatur untuk Beberapa Variabel Semen

Karena sering sulit untuk menguraikan semua penyimpangan variable semen normal

dengan kata dan angka, maka telah disusun suatu nomenklatur untuk menjelaskan perubahan

yang dibicarakan ( Eliasson, dkk., 1970 ). Penting untuk diingat bahwa nomenklatur ini hanya

menguraikan beberapa variabel semen dan tidak menyatakan suatu hubungan sebab akibat.

Dengan catatan tersebut, maka nomenklatur ini dapat digunakan sebagai berikut :

Normozoospermia Ejakulat normal

Oligozoospermia Jumlah sperma kurang dari 20 x 106 / ml

Asthenozoospermia < 50% sperma dengan gerak maju ( kategori

(a) dan (b) atau < 25% sperma dengan gerak

kategori (a) )

Teratozoospermia Morfologi normal sperma kurang dari 30%

Oligoasthenoterato Ditemukan kelainan pada ketiga variabel

zoospermia ( kombinasi yang terdiri hanya

dua awalan dapat juga dipakai )

Azoospermia Tidak ada sperma dalam ejakulat

Aspermia Tidak ada ejakulat

II.6 Alasan pemeriksaan sperma

Sperma yang sering disebut juga mani atau semen adalah ejakulat yang berasal

dari seorang pria berupa cairan kental dan keruh, berisi sekret dari kelenjar prostat,

kelenjar-kelenjar lain dan spermatozoa. Pemeriksaan sperma merupakan salah satu

elemen penting. Alasan pria melakukan pemriksaan sperma yaitu untuk mengetahui

masalah fertilitas dan infertilitas atau untuk tingkat kesuburan dan pengenalan cara

penilaian kesuburan pada semen seorang pria. (Anonim. 1988)

Page 21: cardi

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

III.2 Saran

Buku adalah gudangnya ilmu, membaca adalah kuncinya. Referat ini hanyalah

kumpulan informasi yang berhasil disusun oleh penulis untuk dapat membantu para

pembaca mendapat bahan atau materi mengenai Pemeriksaan Analisis Sperma.

Namun, untuk dapat memahami materi ini dibutuhkan sumber-sumber bacaan lain

yang terkait dengan materi ini, maka sebagai penyempurnaan ilmu pengetahuan yang

telah didapatkan alangkah bijaknya apabila para pembaca mau mempelajarinya lebih

dalam melalui sumber-sumber bacaan lain.

Page 22: cardi

Daftar Pustaka

Anonim. 1988. Penuntun Laboratorium WHO untuk Pemeriksaan Semen Manusia dan Interaksi Semen Getah Serviks. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.