Download - cardi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi Reproduksi Laki – Laki
Pada sebagian besar spesies mamalia, termasuk manusia, organ reproduksi eksternal
jantan adalah skrotum dan penis. Organ reproduksi internal terdiri atas gonad yang
menghasilkan gamet ( sel – sel sperma ) dan hormon, kelenjar aksesoris yang mensekresikan
produk yang esensial bagi pergerakan sperma, dan sekumpulan duktus yang membawa sperma
dan glandular. ( Campbell, Neil A. )
Gonad jantan, atau testes ( tunggal, testis ), terdiri atas banyak saluran yang melilit – lilit
yang dikelilingi oleh beberapa jenis jaringan ikat. Saluran tersebut adalah tubula seminiferus
( seminiferous tubule ), tempat sperma terbentuk. Sel – sel leydig ( leydig cells ) yang tersebar
di antara tubula seminiferus menghasilkan testosterone dan androgen lain, yang merupakan
hormon seks jantan.
Produksi sperma yang normal tidak akan dapat terjadi pada suhu tubuh sebagian besar
mamalia, dan testes manusia dan banyak mamalia kain dipertahankan berada di luar rongga
abdomen, tepatnya di dalam skrotum, yang merupakan pelipatan dinding tubuh. Suhu dalam
skkrotum adalah sekitar 2ºC dibawah suhu rongga abdomen. Testes berkembang jauh di dalam
rongga abdomen dan turun kedalam skrotum persis sebelum kelahiran. Pada banyak hewan
pengerat, testes ditarik kembali kedalam rongga abdomen dan pematangan spermaa diinterupsi
diantara musim kawin. Beberapa mamalia yang suhu tubuhnya cukup rendah untuk
memungkinkan untuk pematangan sperma, seperti monotrema, paus, dan gajah, menahan
testes tetap berada di dalam rongga abdomen secara permanen.
Dari tubulus seminiferus testis, sperma lewat ke dalam saluran mengulir pada epididimis.
Diperlukan sekitar 20 hari bagi sperma untuk menyelesaikan perjalanan di sepanjang saluran
epididimis sepanjang 6m milik seorang laki – laki. Selama perjalanan ini, sperma menjadi
motil dan mendapatkan kemampuan untuk membuahi. Selama ejakulasi, sperma di dorong
dari epididimis melalui vas deferens berotot. Kedua duktus ini ( satu dari setiap epididimis )
berawal dari skrotum di sekitar dan di belakang kandung kemih, dimana masing – masing
menyatu dengan duktus dari vesikula seminalis , yang membentuk dukltus ejakulasi
( ejaculatory duct ) yang pendek. Duktus ejakulasi itu membuka ke dalam uretra, yaitu saluran
yang mengosongkan isi sistem ekskresi dan sistem reproduksi. Uretra terdapat di sepanjang
penis dan membuka keluar pada ujung penis.
Kumpulan kelenjar aksesoris ( vesikula seminalis, prostat, dan kelenjar bulbouretralis )
menambahkan sekresi ke semen yaitu cairan yang diejakulasikan. Sepasang vesikula seminalis
( seminal vesicle ) menyumbangkan sekitar 60% total volume semen. Cairan dari vesikula
seminalis itu kental, kekuningan, dan alkalis ( bersifat basa ). Cairan tersebut mengandung
mucus, gula fruktosa ( yang menyediakan sebagian energy yang digunakan oleh sperma ),
enzim pengkoagulasi, asam askorbat, dan prostaglandin.
Kelenjar prostat ( prostate gland ) adalah kelenjar pensekresi semen terbesar. Kelenjar itu
mensekresikan produknya secara langsung ke dalam uretra melalui beberapa saluran kecil.
Cairan prostat bersifat encer dan seperti susu, mengandung enzim antikoagulan, sitrat
( nutrient bagi sperma ), dan sedikit asam. Kelenjar prostat merupakan sumber beberapa
permasalahan medis yang umum bagi laki – laki diatas 40 tahun. Pembesaran tak berbahaya
( nonkanker ) pada prostat terjadi pada lebih dari separuh laki – laki dalam kelompok usia ini
±dan pada hamper semua laki – laki diatas 70 tahun. Kanker prostat merupakan salah satu
kanker yang paling umum terjadi pada laki – laki. Kanker ini umumnya diobati dengan
pembedahan atau dengan menggunakan obat – obatan yang menghambat gonadotropin yang
menyebabkan penurunan aktivitas dan ukuran prostat.
Kelenjar bulbouretralis ( bulbourethral gland ) adalah sepasang kelenjar kecil yang
terletak di sepanjang uretra, dibawah prostat. Sebelum ejakulasi, kelenjar tersebut
mensekresikan mucus bening yang menetralkan setiap urin asam yang masih tersisa dalam
uretra. Cairan bulbouretralis juga membawa sebagian sperma yang dibebaskan sebelum
ejakulasi, yang merupakan salah satu alas an tingginya laju kegagalan metode keluarga
berencana atau kontrol kelahiran dengan cara menarik penis sebelum ejakulasi ( withdrawal
method ).
Seorang laki – laki umumnya mengejakulasikan ± 2 sampai 5 ml semen, dan tiap milliliter
mengandung sekitar 50 sampai 130 juta sperma. Saat telah berada dalam saluran reproduksi
betina, prostaglandin dalam semen mengencerkan mukus pada pembukaan uterus dan
merangsang kontraksi otot uterus yang membantu menggerakkan semen masuk kedalam
uterus. Semen bersifat sedikit alkalis, dan hal ini membantu menetralkan lingkungan vagina
yang asam, sehingga melindungi sperma dan meningkatkan motilitasnya. Ketika pertama kali
diejakulasi, semen berkoagulasi, sehingga memudahkan kontraksi uterus untuk
menggerakkannya, kemudian antikoagulans mencairkan semen dan sperma mulai berenang
melalui saluran perempuan.
Penis manusia tersusun dari tiga silinder jaringan erektil mirip spons yang berasal dari
vena dan kapiler yang dimodifikasi. Selama kebangkitan gairah seks, jaringan erektil itu akan
terisi dengan darah dari arteri. Ketika jaringan ini terisi, peningkatan tekanan akan menutup
vena yang mengalirkan darah keluar dari penis, sehingga penis dipenuhi dengan darah. Ereksi
yang dihasilkan sangat penting untuk pemasukkan penis kedalam vagina. Pada beberapa
hewan mamalia mempunyai bakulum ( baculum ), yang merupakan tulang yang terdapat di
dalam penis, dan membantu mengeraskan penis. Impotensi temporer, yaitu kondisi ( yang
masih dapat dihilangkan ) dimana seorang pria tidak mampu mencapai ereksi, dapat
disebabkan oleh konsumsi alkohol, obat – obatan tertentu, dan permasalahan emosi. Beberapa
obat dan peralatan untuk dimasukkan kedalam penis juga tersedia bagi laki – laki yang
mengidap impotensi permanen akibat system saraf atau permasalahan sirkulasi.
Batang utama penis ditutupi oleh kulit yang relatif tebal. Kepala zakar atau glands penis,
mwmpunyai penutup yang jauh lebih tipis sehingga menjadi lebih sensitif terhadap
rangsangan. Sebagai preputium ( prepuce ), yang dapat dibuang pada saat khitan atau sunat
yang diverifikasi untuk dalam hal kesehatan.
II.2 Spermatogenesis
Spermatogenesis, atau produksi sel – sel sperma dewasa adalah proses yang terus –
menerus dan prolific pada jantan dewasa. Setiap ejakulasi laki – laki mengandung 100 – 650
juta sel sperma dan seorang laki – laki dapat mengalami ejakulasi setiap hari dengan
kemampuan untuk membuahi yang hanya berkurang sedikit.
Struktur sel sperma sesuai dengan fungsinya pada sebagian besar spesies, kepala yang
mengandung nucleus haploid ditudungi oleh badan khusus, yaitu akrosom ( acrosome ) yang
mengandung enzim yang membantu sperma menembus sel telur dibelakang kepala. Sel
sperma mengandung sejumlah besar mitokondria ( atau sebuah mitokondria yang besar, pada
beberapa spesies ) yang menyediakan ATP untuk pergerakkan ekor yang berupa sebuah
flagella. Bentuk sperma mamalia bervariasi dari spesies ke spesies, dengan kepala berbentuk
kepala tipis, berbentuk oval ( seperti pada sperma manusia ) atau berbentuk hamper bulat.
Spermatogenesis terjadi dalam tubula seminiferus testis.
Pada jantan, hormon kelamin utama adalah androgen, yang paling penting diantaranya
adalah testosterone. Androgen hormon steroid yang sebagian besar dihasilkan oleh sel – sel
leydig testes, secara langsung bertanggung jawab atas karakteristik seks primer dan sekunder
jenis kelamin jantan. Karakteristik seks primer adalah tanda – tanda yang berkaitan dengan
system reproduksi, perkembangan vas deferens dan duktus – duktus lain, perkembangan
struktur reproduksi eksternal, dan produksi sperma. Karakteristik seks sekunder adalah cirri
yang tidak secara langsung berkaitan dengan sistem reproduksi, yang meliputi perubahan
suara menjadi besar, persebaran rambut di muka dan di pubis, dan pertumbuhan otot
( androgen merangsang sintesis protein ). Androgen juga menjadi penentu kuat perilaku bpada
mamalia dan vertebra lain. Hormon dari pituitary anterior dan hipotalamus mengontrol
sekresi androgen maupun produksi spema oleh testis.
Gambar ini mengkorelasikan tahapan meiosis dalam perkembangan sperma ( kiri ) dengan
struktur tubula seminiferus. Sel – sel kecambah ( germinal ) primordial testis embrio
berdiferensiasi menjadi spermatogonia yaitu sel diploid yang merupakan precursor sperma.
Terletak di dekat dinding bagian luar tubula seminiferus, spermatogonia mengalami mitosis
berulang – ulang, yang menghasilkan sperma potensial dalam jumlah besar. Pada jantan
dewasa, sekitar 3 juta spermatogonia berdiferensiasi menjadi spermatosit primer. Jumlah
kromosom berkurang sepatuh ketika spermatosit ptimer mengalami pembelahan meiosis
pertama. Dalam diagram yang disederhanakan ini jumlah diploid ( 2n ) hanya 4, jumlah 2n
sesungguhnya pada manusia adalah 46. Perhatikanlah bahwa masing – masing spermatosit
sekunder hanya mempunyai dua kromosom ( jumlah haploid ), dan kromosom ini masih tetap
di duplikasi, dan masing – masing terdiri atas dua kromatin yang identik. Pembelahan meiosis
kedua menghasilkan empat spermatid, masing – masing dengan dua kromosom tunggal.
Spermatid itu kemudian berdifernsiasi menjadi spermatozoa dewasa atau sel sperma. Hal
tersebut melibatkan asosiasi sperma yang sedang berkembang dengan sel sertoli besar, yang
memindahkan nutrien spermatid. Selama spermatogenesis, sperma yang berkembang ini
secara perlahan – lahan di dorong ke arah tubula seminiferus dan menuju epididimis, tempat
sperma mendapatkan motilitasnya ( kemampuan bergerak ). Proses tersebut dari pembentukan
spermatogonia hingga ke sperma yang motil, memerlukan waktu hingga 65 – 75 hari pada
laki – laki.
II.3 Pemeriksaan Analisis Sperma
II.3.1 Pengolahan Siapan
Para teknisi laboratorium harus menyadari bahwa semen mungkin mengandung virus
yang membahayakan ( misalnya HIV dan virus penyebab hepatitis dan herpes ) dan oleh
karena itu harus diperlakukan dengan hati – hati. ( WHO, 1992 )
II.3.2 Pengamatan Makroskopi Pertama
II.3.2.1 Pencairan ( Likuefaksi )
Sediaan semen normal mencair dalam waktu 60 menit pada suhu kamar. Pada beberapa
kasus, pencairan sempurna tidak terjadi dalam waktu 60 menit. Hal tersebut perlu dicatat.
Adanya serat – serat musin ( mucous steaks ), merupakan suatu tanda pencairan yang tidak
sempurna, dapat mengganggu tata cara pencacahan. Siapan semen normal mungkin
mengandung butir – butir seperti agar – agar ( jelly – like grains ), atau badan agar – agar
( glatinous body ) yang tidak mencair. Arti penemuan butir – butir seperti agar – agar belum
diketahui.
Kadang – kadang sediaan tidak mencair, dalam hal demikian mungkin perlu diberi
perlakuan tambahan ( yaitu pemberian bromelin 1g / l, atau plasmin 0,35 – 0,50 casein unit /
ml, atau krimotripsin 150 USP / ml ) agar sediaan lebih mudah diperiksa. Namun demikian,
tidak diketahui apakah ada pengaruh perlakuan ini terhadap fungsi sperma atau terhadap
biokimia plasma semen.
Sediaan harus diaduk dengan baik dalam wadah penampungannya. Pengadukan yang
tidak sempurna mungkin merupakan penyebab utama adanya kesalahan dalam menentukan
jumlah sperma. Pengadukan yang berkesinambungan selama pencairan dengan pemutaran
wadah siapan dapat mengurangi kesalahan tersebut ( de Ziegler, dkk., 1987 )
II.3.2.2 Penampilan
Sediaan harus segera diperiksa setelah pencairan atau dalam waktu satu jam setelah
ejakulasi, pertama – tama melalui pemeriksaan sederhana pada suhu kamar. Sediaan normal
tampak putih kelabu homogen. Sediaan mungkin tampak jernih jika jumlah sperma terlalu
sedikit, atau tampak coklat jika ada sel darah merah.
II.3.2.3 Volume
Volume ejakulat harus diukur baik dengan gelas ukur atau dengan cara menyedot seluruh
sediaan kedalam pipet bermulut lebar melalui peralatan mekanik. Jika akan dilakukan
pembiakan semen atau sediaan akan dipersiapkan untuk assay biologi, inseminasi intrauterine
atau fertilisasi in vitro, maka harus dipakai bahan – bahan steril pada pengolahan sediaan
semen tersebutu. Jarum suntik hipodermik dan semprit plastic jangan digunakan karena akan
mempengaruhi anlisis semen, khususnya motilitas sperma.
II.3.2.4 Konsistensi
Konsistensi ( sering disebut viskositas ) sediaan yang telah mencair ditaksir dengan cara
menyedot siapan secara perlahan kedalam pipet 5 ml dan kemudian biarkan semen menetes
karena gaya berat dan diamati panjang benang dari tetesan tersebut. Sediaan normal akan
keluar dari pipet sebagi tetesan – tetesan kecil, sedangkan untuk kasus konsistensi abnormal
tetesan akan membentuk benang yang panjangnya dapat lebih dari 2 cm. Konsistensi dapat
juga dinilai dengan cara memasukkan batang kaca ke dalam sediaan dan kemudian mengamati
benang yang terbentuk pada saat batang tersebut dikeluarkan. Panjang benang tidak boleh
lebih dari 2 cm.
Konsistensi yang tidak normal, misalnya dikarenakan bayak mengandung musin, dapat
mengganggu penentuan berbagai cirri semen misalnya motilitas dan jumlah sperma, dan
pengujian antibody pelapis sperma.
II.3.2.5 pH
Setetes semen disebarkan secara merata di atas kertas pH ( kisaran pH 6,1 – 10,0 ).
Setelah 30 detik warna daerah yang dibasahi akan merata dan kemudian dibandingkan dengan
kertas kalibrasi untuk dibaca pH – nya.
Kertas pH apapun yang dipakai, ketelitiannya harus diuji terlebih dahulu terhadap patokan
yang trelah diketahui sebelum dipakai secara rutin.
pH harus diukur dalam waktu satu jam setelah ejakulasi dan harus berada dalam kisaran
7,2 – 7,8. Jika pH kurang dari 7,0 pada sediaan azoospermia perlu dipikirkan kemungkinan
adanya disgenesis vas deferens, vesika seminalis atau epididimis.
II.3.3 Pemeriksaan Mikroskopi Pertama
Pada pemeriksaan mikroskopi pertama sediaan, dilakukan perkiraan dari jumlah, motilitas
dan aglutinasi sperma, dan adanya elemen sel lain daripada sperma. Batas jumlah lekosit yang
apabila terlampaui akan mengganggu fertilitas adalah sulit untuk ditentukan. Pengaruh sel –
sel ini tergantung dari tempat dimana lekosit masuk semen , tipe lekosit dan keadaan
pengaktifan lekosit tersebut. Dari sudut ketahanan sperma manusia terhadap pengaruh
oksidasi, adanya neutrofil tampaknya bersifat merusak, khususnya jika terjadi infiltrasi pada
tingkat rete testis atau epididimis. Sebaliknya, masuknya lekosit pada waktu ejakulasi melalui
prostat atau vesiska seminalis, kemungkinan kurang membahayakan karena kuatnya pengaruh
antioksidan plasma semen ( jones, dkk., 1979 ). Sebagai petunjuk umum, ejakulat normal tidak
diperkenankan mengandung lebih dari 5 sel bulat / ml, sementara jumlah lekosit tidak boleh
melebihi 1 x 106 / ml.
Telah ditentukan beberapa teknik untuk menilai besarnya populasi lekosit dalam semen.
Contohnya : criteria biokimiawi seperti pengukuran konsentrasi elastase menggunakan assay
imunosorben terikat enzim yang terbukti bermanfaat ( Wolff, dkk., 1990 ). Perlu dicatat bahwa
teknik peroksidase memberikan jumlah yang kurang dari yang diperoleh dengan menggunakan
antibody monoclonal pan – lekosit.
Hubungan antara jumlah lekosit dan adanya infeksi saluran genital masih diperdebatkan.
Apabila semen mengandung lekosit melebihi 1 x 106 / ml, uji mikrobiologi perlu dilakukan
untuk menyelidiki apakah ada infeksi kelenjar assesori. Uji demikian meliputi pemeriksaan
urin yang dikeluarkan pertama kali, yang kedua kali, cairan prostat dan urin hasil pengurutan
prostat ( Meares & Stamey, 1972 ). Juga mencakup analisis biokimia plasma semen, karen
infeksi kelenjar assesori sering menyebabkan fungsi sekretori yang tidak normal ( Comhaire,
dkk., 1980 ). Namun demikian tidak adanya lekosit [tidak menutup kemungkinan adanya suatu
infeksi kelenjar assesori.
II.3.4 Pemeriksaan Mikroskopi Lanjutan
II.3.4.1 Vitalitas Sperma
Vitalitas sperma digambarkan dalam proporsi sperma hidup yang tidak terpulas atau
kapasitas osmoregulasi dibawah kondisi hipo – osmotik.
II.3.4.1.1 Pemulasan Sperma Hidup
Jika jumlah sperma yang tidak motil melebhi 50%, maka proporsi sperma hidup harus
ditentukan dengan menggunakan tekik pulasan yang berdasarkan prinsip bahwa sel mati
dengan membrane plasma yang rusak akan dimasuki zat warna.
100 sperma dicacah dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa atau mikroskop beda –
fase untuk membedakan sperma hidup ( tidak terpulas ) dan mati ( terpulas ). Teknik pulasan
ini memungkinkan untuk membedakan sperma tidak motil tetapi masih hidup dengan sperma
yang mati.
Cara tersebut juga merupakan suatu uji ketelitian penilaian motilitas karena persentase sel
mati tidak boleh melebihi persentase sperma tidak motil. Selain itu dijumpai banyak sperma
hidup dapat merupakan petunjuk adanya kelainan pada struktur flagel.
II.3.4.1.2 Uji Pembengkakan Hipo – osmotik ( HOS )
Ini adalah uji sederhana yang berdasarkan sifat semi permeable membrane sel yang utuh,
yang memungkinkan sperma mengalami ‘pembengkakan’ di bawah kondisi hipo – osmotic,
jika ada influx air yang menyebabkan pertambahan volume sel ( Devius & Eriksson, 1966 ).
Diperkenalkan sebagai uji klinis oleh Jeyendran, dkk ( 1984 ). Uji HOS seharusnya tidak
digunakan srbagai uji fungsi sperma tetapi boleh dipakai sebagai uji pilihan, sebagai tambahan
untuk uji vitalitas. Uji ini mudah dikerjakan dan gampang untuk membuat skor dan
memberikan informasi tambahan tentang integritas dan kekuatan membran sel dari ekor
sperma.
II.3.4.2 Pencacahan Sperma
Jumlah sperma dapat ditentukan dengan memakai metode hemositomer. Pada tata cara ini
dipakai pengenceran 1 : 20 untuk setiap sediaan yang telah diaduk dengan baik dengan jalan
mengencerkan 50 μl semen dengan 950 μlzat pengencer yang terdiri atas : 50 g natrium
bikarbonat ( Na2HCO3 ), 10 ml 35% ( v / v ), formalin ( jika diinginkan dapat juga dibubuhi
0,25 g tripan biru ( C. I. 23850 ) atau 5 ml larutan jenuh gentian violet dibubuhi akuades
menjadi 1000 ml ). Zat warna tidak perlu dibubuhkan jika memakai mikroskop beda fase.
Jika pemeriksaan pertama member petunjuk bahwa jumlah sperma sangat tinggi atau
sangat rendah, maka pengenceran sediaan harus disesuaikan. Dengan demikian untuki sediaan
dengan jumlah sperma kurang dari 20 x 106 / ml, dapat dilakukan pengenceran 1 : 10. Untuk
sediaan dengan jumlah sperma lebih dari 100 x 106 / ml, pengenceran 1 : 50 lebih sesuai. Pipet
lekosit dan pipet otomatis yang tergantung pada pemindahan udara adalah kurang akurat untuk
melakukan pengenceran volumentrik untuk bahan kental seperti semen. Perlu menggunakan
pipet jenis pemindahan positif.
Sediaan yang telah diencerkan harus diaduk dengan baik dan kemudian satu tetes
diletakkan di tiap kamar hemositomer ‘improved neubauer’ dan ditutup dengan kaca tutup.
Hemositomer dibiarkan selama 5 menit dalam kamar yang lembab untuk mengurangi
pengeringan. Selama waktu itu sel – sel mengendap dan kemudian dicacah dengan memakai
mikroskop cahaya atau beda – fase dengan pembesaran 200 – 400 x. Hanya sperma ( sel benih
berekor yang secara morfologi telah matang ) yang dicacah, kepala jarum pentul atau kepala
tak berekor tidak dicacah.
Tata – cara pencacahan sperma dalam kamar hemositomer ialah sebagai berikut : segi
empat utama dari kisi – kisi hemositomer ‘improved’ neubauer terdiri atas 25 segi empat besar
yang masing – masing terdiri atas 16 segi empat yang lebih kecil. Jika sediaan mengandung
kurang dari 10 sperma setiap segi empat besar, maka seluruh 25 segi empat besar harus
dicacah. Jika siapan mengandung 10 – 40 sperma setiap segi empat besar, maka harus dicacah
10 segi empat besar dan untuk sediaan mengandung 40 sperma setiap segi empat besar, maka
5 segi empat besar dicacah. Sperma yang terletak di atas garis pemisah 2 segi empat dicacah,
jika terletak pada sisi atas atau kiri segi empat yang sedang diamati.
(gambar)
(table)
Kedua kamar hemositomer dinilai dan rata – rata pencacahan dihitung, memberikan
perbedaan antara kedua pencacahan yang tidak melebihi 1/20 dari jumlah kedua pencacahan
( yaitu perbedaan kedua pencacahan kurang dari 10% ). Jika perbedaan kedua pencacahan
tidak sampai 10%, maka hasil tidak dipakai, sediaan diaduk ulang dan hemositomer lainnya
disiapkan dan dilakukan pencacahan ulang.
Untuk menentukan jumlah spermatozoa dalam sediaan semen aslinya dalam juta / ml,
bagilah jumlah rata – rata sperma dengan factor konversi yang sesuai pada tabel. Sebagai
contoh, jika sediaan diencerkan 1 + 19 dan jika 162 dan 170 spermatozoa telah dicacah dalam
10 segi empat besar dalam tiap kamar, selanjutnya jumlah setiap spermatozoa dari sediaan
semen asalnya adalah 83 x 106 ( yaitu 166 dibagi dengan 2 ). Untuk hemositomer yang lain
ada factor koreksi yang berbeda tergantung dari volume setiap segi empat.
Tata – cara untuk menentukan jumlah sperma menggunakan kamar pencacah khusus.
Meskipun kamar demikian, misalnya kamar ‘Makler’ ( Makler, 1980 ) atau ‘microcell’
( Ginsburg & Annant, 1990 ), adalah memudahkan karena dapat digunakan tanpa pengenceran
sediaan, ketelitian kurang dibandingkan dengan kekentalan tinggi dan atau heterogen, jika
kamar tersebut digunakan. Ketelitian dan keakuratan yang memadai harus ditegakkan melalui
perbandingan dengan hemositomer.
II.3.4.3 Analisis Ciri – Ciri Morfologi Sperma
Meskipun keragaman morfologi sperma manusia sangat menyulitkan pencacahan beda
morfologi sperma, pengamatan atas sperna pilihan yang diambil dari saluran reproduksi
wanita ( khususnya dari getah servik pasca – senggama ) telah membantu penentuan
penampilan sperma normal.
Banyak sperma dengan morfologi abnormal mempunyai beragam kelainan. Sebelumnya,
apabila ada beragam kelainan, hanya satu yang dicatat dengan prioritas diberikan kepada
kelainan kepala sperma daripada kelainan bagian tengah dan bagian ekor. Namun demikian
telah ditunjukkan bahwa jumlah rata – rata kelainan per sperma, suatu penilaian yang disebut
indeks teratospermia, adalh penduga yang bermakna dari fungsi sperma baik in vivo maupun
in vitro ( Jouannet, dkk., 1988 ; Mortimer, dkk., 1990 ). Oleh karena itu pengamatan morfologi
harus multiparametrik untuk setiap sperma, dicacah masing – masing kelainan secara terpisah.
II.3.4.3.1 Klasifikasi Morfologi Sperma Manusia
Sperma manusia dapat diklasifikasikan menggunsksn mikroskop pencahayaan biasa untuk
spesimen yang telah dipulas atau mikroskop beda fase berkualitas tinggi ( total pembesaran
paling sedikit 600 x ) pada sediaan basah.
Kepala sperma manusia yang dipulas sedikit lebih kecil daripada kepala sperma hidup
dalam semen asalnya, meskipun bentuknya tidak berbeda benar ( Katz, dkk., 1986 ). Kriteria
yang tepat harus dilakukan pada waktu pengamatan kenormalan morfologi suatu sperma.
Kepala normal haruslah berbentuk oval. Sedikit pengerutan akibat fiksasi dan pemulasan
diperkenankan, panjang kepala harus 4,0 – 5,5 μm, dan lebarnya 2,5 – 3,5 μm. Perbandingan
panjang dengan lebar haruslah 1,50 – 1,75. Nilai ini meliputi 95% batas yang dapat diterima
dari data perbandingan untuk kepala sperma hidup dan dipulas dengan Papanicolaou ( Katz,
dkk., 1986 ). Ada daerah akrosom yang jelas meliputi 40 – 70% area kepala. Tidak ada
kelainan leher, bagian tengah atau ekor dan tidak ada tetesan sitoplasma lebih dari sepertiga
ukuran kepala sperma normal. Skema klasifikasi ini dibutuhkan karena semua bentuk pada
garis batas ( borderline ) dianggap abnormal.
Karena pengamatan morfologi yang dianjurkan memberikan perhatian pada daerah sel
sperma yang berfungsi, maka dianggap tidak perlu secara rutin membedakan antara semua
keragaman ukuran dan bentuk kepala atau antara berbagai kelainan ekor. Namun demikian,
apabila bagian dari sperma adalah abnormal pada sebagian besar sel, perlu diberikan komentar
untuk kelainan – kelainan yang mencolok. Kategori – kategori berikut dari kelainan suatu
sperma yang harus dinilai :
(a) Bentuk kepala / kelainan ukuran, meliputi kepala besar, kecil, berbentuk lisong
( tapering ), berbentuk seperti bola lampu ( piryform ), amorf, berongga ( > 20% dari
daerah kepala ditempati oleh daerah berongga yang tidak terpulas ) atau kepala kembar
atau bentuk kombinasi yang lain dari yang telah disebut di atas.
(b) Kelainan leher dan bagian tengah, termasuk sperma tidak berekor ( tampak sebagai kepala
bebas ( free ) atau kepala lepas ( loose ) ), ekor yang tidak tersisip ( non – inserted ) atau
ekor bengkok ( ekor membentuk sudut sekitar 90% dengan sumbu panjang kepala ),
bagian tengah yang membengkak / irreguler / bengkok, secara abnormal bagian tengah
tipis ( misalnya : tak ada sarung mitokondria ) atau berbagai kombinasi dari berbagai
kelainan tersebut.
(c) Kelainan ekor, meliputi ekor pendek, ganda, berbentuk seperti tusuk rambut, patah
( dengan sudut > 90º ), lebar tidak teratur atau ekor tergulung, atau ekor – ekor dengan
tetesan pada ujungnya, atau kombinasi dari berbagai kelainan tersebut.
(d) Sisa sitoplasma lebih besar dari sepertiga daerah kepala sperma normal. Sisa sitoplasma
lebih besar dari sepetiga daerah kepala sperma normal. Sisa sitoplasma biasanya terletak
di bagian leher / bagian tengah sel, walaupun beberapa sperma muda dapat mempunyai
sisa sitoplasma pada lokasi lain sepanjang ekor.
II.3.4.3.2 Melakukan Pencacahan Beda Morfologi Sperma
Paling sedikit 100, dan lebih baik 200 sperma yang dicacah. Dengan sediaan yang telah
dipulas harus dipakai lensa obyektif dengan pembesaran 100 x berlapangan terang diberi
minyak imersi tanpa cincin fase.
Biasanya hanya sperma yang dapat dikenali yang dicacah. Sel – sel muda sampai pada
dan termasuk tahap Sd, spermatid tidak dicacah sebagai sperma. Sperma tanpa kepala dicacah
sebagai bentuk abnormal ( di bawah kelainan bagian tengah dan leher ) tetapi tidak untuk yang
berekor. Jika insiden kepala jarum pentul ( pinheads ) tinggi ( relatif insiden terhadap sperma
> 20% ), keadaan ini harus dicatat secara terpisah, kepala jarum pentul tidak dicacah sebagai
kelainan kepala karena sperma tersebut hanya jarang memiliki kromatin ataupun struktur
kepala bagian depan sampai bagian basal.
Tingginya insiden dari ekor tergulung dapat menunjukkan bahwa sperma telah terkena
pengaruh hipo – osmotik, walaupun ekor menggulung juga berkaitan dengan sperma yang
menua.
II.3.4.3.3 Kelainan ‘Sterilizing’ yang Spesifik
Pada jenis hewan peliharaan, berbagai kelainan ‘sterilizing’ telah diuraikan yang mana
secara pokok semua sperma yang diproduksi mempunyai kelainan struktur yang khusus yang
menyebabkan kelainan fungsi sperma. Beberapa kasus yang sama telah diuraikan [pada
manusia, mungkin yang paling diketahui adalah kelainan kepala bundar atau
‘globozoospermia’.
II.3.4.4 Metode Pemulasan Sperma Manusia
Pulasan dapat dilakukan dengan cara memakai cara giemsa, modifikasi pulasan
papanicolaou untuk sperma, modifikasi Bryan – Leishman atau pulasan Shorr. Pulasan
Giemsa mengevaluasi jenis – jenis sel lekosit lebih baik daripada sperma. Pulasan
papanicolaou adalah metode pulasan yang banyak digunakan dalam laboratorium andrologi.
Pulasan tersebut dapat memulas daerah akrosom dan pasca – akrosom kepala sperma, bagian
tengah dan ekor dan dapat dipakai bahkan untuk sediaan yang kental. Pulasan Bryan –
Leislunan memulas sperma secara memadai, terutama baik untuk penentuan sel – sel benih
muda dan membedakannya dari sel – sel lekosit. Pulasan Shorr mudah dilakukan dan cukup
untuk menilai morfologi sperma rutin.
Meskipun telah tersedia tata cara pulasan satu tahap siap pakai di pasaran, beberapa di
antara pulasan apusan tersebut tidak dapat disimpan untuk acuan mendatang dan lainnya tidak
memberikan kualitas yang sama dari apusan seperti yang dianjurkan di penuntun ini.
Teknik ‘feathering’ tradisional ( dimana tepi kaca obyek kedua digunakan untuk menarik
tetesan semen sepanjang permukaan kaca obyektif bersih ) dapat digunakan unutuk membuat
apusan sperma, tetapi harus hati – hati jangan membuat apusan yang terlalu tebal. ‘Feathering’
baik untuk bahan yang kurang kental seperti darah atau suspense sperma yang telah dicuci
tetapi sering tidak cocok untuk semen yang kental. Cara lain yaitu dengan meletakkan setetes
semen pada bagian tengah kaca obyektif yang telah dibersihkan dan kemudian kaca obyektif
kedua dengan permukaan yang telah dibersihkan dan menghadap ke bawah diletakkan di atas
kaca obyektif pertama sehingga semen menyebar sepanjang kedua kaca obyektif. Kedua kaca
obyektif kemudian dipisahkan pelan – pelan dengan cara menarik kedua obyektif dengan arah
yang berlawanan untuk membuat dua apusan secara bersamaan.
Gambaran semua bagian sperma harus dengan mudah dapat dibedakan. Dalam sediaan
pulasan papanicolaou, kepala sperma terpulas biru pucat di daerah akrosom dan biru tua di
daerah pasca akrosom. Bagian tengah tampak pulasan agak merah, tetapi dianggap abnormal
hanya apabila bagian tengah bengkak dan tidak teratur. Ekor juga akan terpulas biru. Sisa
sitoplasma, biasanya terletak di belakang kepala dan sekitar bagian tengah akan berwarna
hijau.
II.3.4.5 Pengujian terhadap Antibody – Pelapis Sperma
Adanya anti – sperma antibody – pelapis sperma merupakan tanda khas dan spesifik
untuk infertilitas yang disebabkan factor imunologi ( Jones, 1986 ). Antibody sperma dalam
semen tergolong dua kelas imunologi : IgA dan IgG. Antibodi IgA mempunyai anti klinis
lebih penting daripada antibody IgG ( Kramer & Jager, 1980 ). Antibodi IgM jarang dijumpai
di dalam semen disebabkan ukuran molekulnya yang besar.
Pengujian terhadap adanya antibody tersebut dilakukan pada siapan semen segar dengan
menggunakan uji butir imun atau uji reaksi antiglobulin campuran ( uji MAR : untuk ulasan
lihat Branson, dkk., 1984 )
Agar uji – uji tersebut sahih paling sedikit harus ada 100 sperma dengan motilitas gerak
maju untuk pencacahan. Sediaan yang banyak mengandung mucus dapat mempengaruhi uji
ini. Hasil dari uji butiir imun dan uji MAR tidak selalu sama. Uji butir imun berkorelasi baik
dengan aglutinasi sperma dan uji imobilisasi yang dilakukan untuk serum. Apabila uji – uji ini
positif, uji tambahan ( uji kontak sperma – getah servik, uji tabung kapiler sperma – getah
servik, atau titrasi antibodi sperma dalam serum ) akan memberikan nilai tambah dan
memperkuat diagnosis.
II.3.4.5.1 Uji Butir Imun
Antibodi yang ada pada permukaan sperma dapat diketahui dengan uji butir imun. Uji
butir imun merupakan poliakrilamida yang terikat dengan ikatan kovalen immunoglobulin anti
– manusia kelinci. Adanya antibodi IgG, IgA, dan IgM dapat diteliti sekaligus dengan uji ini.
Sperma dicuci terlebih dahulu agar bebeas dari cairan semen dengan cara sentrifugasi
berulang – ulang dan kemudian diresuspensikan dalam larutan dapar. Suspense sperma
dicampur dengan suspense butir imun. Sediaan tersebut diamati dengan pembesaran 400 x di
bawah mikroskop beda – fase. Karena sperma berenang dalam suspense tersebut, butir imun
melekat pada sperma motil yang mempunyai ikatan antibodi pada permukaannya. Proporsi
sperma dengan antibodi permukaan kemudian ditentukan dengan menggunakan jenis – jenis
butir imun yang berbeda. Jenis lain butir imun, asalnya digunakan untuk pelabelan sel B total,
juga dapat digunakan sebagai uji penyaringan satu tahap untuk isotope IgG, IgA, dan IgM dari
antibody permukaan sperma ( Pattinson & Motimer, 1987 ).
Uji tersebut dianggap positif apabila 20% atau lwbih sperma motil memiliki ikatan butir
imun. Namun demikian, penetrasi sprma kedalam getah servik dan fertilisasi in vitro
cenderung tidak mengurangi kemaknaan kecuali 50% atau lebih dari sperma motil memiliki
antibody yang terikat padanya ( Ayvaliotis, dkk., 1985 ; Clarke, dkk., 1985 ). Atas dasar ini,
paling sedikit 50% sperma motil harus dilapisi dengan butir imun sebelum uji tersebut
dianggap bermakna secara klinis. Lagipula terikatnya butir imun terbatas pada ujung ekor
tidak berhubungan dengan gangguan fertilitas dan dapat berada dalam semen beberapa pria
fertile.
II.3.4.5.2 Uji MAR
Uji MAR IgG dilakukan dengan mencampur semen segar dengan partikel lateks atau sel
eritrosit domba yang dilapisi dengan IgG manusia. Suatu antiserum IgG anti – manusia yang
monospesifik kemudian dibubuhkan kepada campuran tersebut. Terbentuknya gumpalan
campuran antara partikel dan sperma motil merupakan bukti adanya antibodi IgG pada
sperma. Diagnosis infertilitas karena sebab imunologi perlu dipikirkan jika 10 – 50% sperma
motil mempunyai partikel yang melekat.
Uji – Uji Pilihan
Uji – uji pada bagian ini dikhususkan dan leterkaitan uji – uji tersebut masih perlu
ditegakkan seutuhnya. Karena alas an ini, uji – uj tersebut biasanya tidak dianjurkan untuk
analisis semen rutin.
II.3.4.6 Biakan Semen
Sediaan semen yang akan dibiak harus dikumpulkan dengan melakukan perhatian khusus
untuk mencegah kontaminasi. Sebelum mengumpulkan sediaan, penderita diminta untuk
mengeluarkan air seninya terlebih dahulu. Segera setelah itu ia harus mencuci tangan dan
penisnya dengan sabun, kemudian membilasnya serta mengeringkannya dengan handuk
bersih. Wadah semen harus steril. Pemeriksaan lengkap sediaan harus dilakukan di
laboratorium mikrobiologi untuk pengujian yang mana tidak dilakuikan di laboratorium
andrologi. Biakan plasma semen untuk mengamati organisme aerob dan anaerob dapat
membantu menegakkan diagnosis infeksi kelenjar asesori, terutama prostat ( Mobley, 1975 )
Biakan bakteri aerobic saja dapat dilakukan dengan atau tanpa pengenceran sediaan
semen pada suatu kaca obyek yang dilapisi media biakan ( dipslide ) atau pada agar darah.
Jika jumlah bakteri lebih dari 1000 unit pembentuk koloni ( CFU ) per ml, jenis koloni perlu
diperiksa. Jika koloni tampak seragam, identifikasi lebih jauh dan kepekaan terhadap
antibiotic perlu dilakukan melalui laboratorium mikrobiologi yang khusus. Jika koloni –
koloni tersebut tampak berbeda, perlu dicurigai adanya kontaminasi, dan biakan semen kedua
perlu dilakukan dengan menginstruksikan secara jelas kepada penderita untuk mencegah
kontaminasi.
Apabila jumlah bakteri kurang dari 1000 CFU / ml, biakan tersebut dianggap negative
sehubungan dengan bakteri aerob. Infeksi organ reproduksi memerlukan keterlibatan
laboratorium mikrobiologi yang khusus ( Brunner, dkk., 1983 ; Krieger, 1984 ; Weidner, dkk.,
1985 ).
II.3.4.7 Analisis Biokimia
II.3.4.7.1 Plasma Semen
Komposisi plasma semen berbeda pada setiap orang dan bahkan dapat berbeda dalam
setiap waktu pada orang yang sama. Kandungan plasma semen adalah :
Asam askorbat ( vitamin C untuk
memelihara jaringan tubuh
Kelompok darah antigen ( untuk
system kekebalan )
Kalsium ( mineral )
Khlorin ( perantara oksidase )
Kolesterol ( alcohol steroid yang
dihasilkan oleh cairan tubuh )
Kholin ( bagian dari vitamin B
komplek )
Asam Sitrat ( terbentuk selama
terjadinya metabolism sel )
Keratin ( substansi nitrogen yang
terdapat di dalam otot )
DNA
Fruktosa
Glutathione ( asam amino
peptide )
Hyaluronidase
Inositol ( gula yang terdapat di
dalam otot )
Asam laktat ( produk sampingan
dari penggunaan otot )
Magnesium , fosfor, potassium,
seng ( mineral )
Nitrogen ( gas yang terdapat
dalam jaringan semua makhluk
hidup )
Purin ( kumpulan asam uric )
Pirimidin ( bahan dasar organic )
Asam piruvik ( terbentuk dari
glukosa dan glikogen )
Sodium ( garam )
Sorbitol ( alcohol tubuh )
Spermidin ( enzim katalis )
Spermin ( kumpulan ammonia
yang terdapat pada sperma )
Urea ( dari urin )
Vitamin B12 ( untuk menjaga
keseimbangan susunan saraf dan
metabolisme )
II.3.4.8 Pengujian Sperma dengan Bantuan Komputer ( CASA )
II.3.4.8.1 Pendahuluan
Secara umum diterima bahwa analisis gerak sperma yang baku, akurat dan teliti akan
meningkatkan prognosi dan kemungkinan aktivitas diagnosis laboratorium andrologi.
Teknologi visi computer dan video memproduksi peralatan baru yang dapat mengidentifikasi
dan melacak sel – sel sperma dan kemudian menghitung sejumlah parameter mencirikan
kinematik ( yaitu geometri bergantung waktu ) gerak sperma ( Boyers, dkk., 1989 ; Katz, dkk.,
1989 ; Gagnon, 1990 ; Mortimer, 1990 ). Peralatan demikian menggunakan computer untuk
memproses isyarat elektris yang didapat melalui kamera video yang dihubungkan dengan
sebuah mikroskop, baik melalui analisis langsung isyarat tersebut atau melalui analisis isyarat
yang sesuai dengan rekaman kaset video ( Boyers, dkk., 1989 ). Teknologi CASA dan
pemakaiannya belum dikembangkan sebagaimana mestinya untuk digunakan secara luas
dalam tata cara rutin. Apabila digunakan secara layak, CASA memberikan ketelitian analisis
gerak sperma lebih baik dibandingkan dengan pengamatan visual yang subyektif, dan
persesuaian dalam penilaian dari berbagai laboratorium dapat tercapai ( Davis, dkk., 1992 ;
Davis & Katz, 1992 )
II.3.4.8.2 Penilaian Sperma Melalui CASA
System CASA dirancang untuk mendapatkan penilaian jumlah sperma, persentase sperma
motil dan parameter yang mencirikan corak dan figure gerak kepala sperma sepanjang jalur
renangnya. Beberapa system juga dapat diperluas untuk menilai morfologi kepala sperma.
Keakuratan penentuan CASA akan jumlah sperma terganggu oleh elemen – elemen
selular dan unsur lain dari sperma yang merupakan ciri semen manusia ( Boyers, dkk., 1989 ).
Oleh karena itu dtidak dianjurkan saat ini menggunakan CASA untuk menilai jumlah sperma
dalam semen manusia, meskipun kemajuan teknik diharapkan. Untuk saat ini, pemakaian
hemositomer tetap dianjurkan.
Penilaian CASA terhadap persentase sperma motil juga terganggu oleh unsur nonsperma
dalam semen, karena peralatan tersebut mendapat kesulitan dalam membedakan sperma dari
unsure demikian. Selanjutnya, batasan CASA dari sperma motil berdasarkan semata – mata
atas pencapaian ambang batas dari kecepatan gerak maju. Sebaliknya, pengamatan visual
sperma motil sering dipengaruhi oleh adanya aktifitas flagella, meskipun jika sel tidak
bergerak maju. Sebagai akibatnya, CASA dan penilaian visual persentase motilitas semen
mungkin berbeda, CASA biasanya menghasilkan nilai – nilai yang lebih rendah ( Davis &
Katz, 1992 ). Oleh karena itu dianjurkan untuk melakukan penaksiran visual secara langsung
dari persentase motilitas sebagai tambahan pengukuran yang diperoleh dalam analisis CASA.
Nilai khusus dari system baru CASA adalah dalam menggambarkan secara rinci
kinematik kepala sperma yang mana sejumlah parameter kinematik dapat diperhitungkan.
II.4 Nilai Normal Variabel Semen
Untuk setiap uji laboratorium, sebaiknya masing – masing laboratorium menentukan nilai
normalnya sendiri untuk setiap variable. Untuk penentuan nilai normal variable semen harus
digunakan sediaan yang diperoleh dari suami yang baru saja menghamili istrinya, lebih baik
lagi jika hal itu terjadi dalam waktu 12 bulan setelah berhenti melakukan kontrasepsi.
Kadang – kadang dijumpai kesulitan untuk mendapatkan jumlah pria semacam itu yang
cukup ( 50 – 100 orang ) sehingga perlu memakai data dipublikasikan oleh laboratorium lain.
Walaupun banyak penelitian demikian yang memnyangkut data dari banyak pria, biasanya
waktu yang diperlukan untuk terjadinya kehamilan tidak dicatat. Sampai sekarang belum
ditemukan bukti adanya factor suku yang mempengaruhi batas terendah nilai normal. Kriteria
berikut menunjukkan batasan normal untuk sediaan semen yang dianalisis sesuai dengan
metode yang diuraikan pada penuntun ini yang lazim dipakai :
Uji – uji baku
Volume 2,0 ml atau lebih
pH 7,2 – 7,8
Jumlah Sperma / ml 20 x 106 sperma / ml atau lebih
Jumlah Sperma / ejakulat 40 x 106 sperma / ejakulat atau lebih
Motilitas 50% atau lebih bergerak maju ( kategori a dan b ) atau
25% atau lebih bergerak maju dengan cepat ( kategori a )
dalam waktu 60 menit setelah ejakulasi
Morfologi 30% atau lebih bermorfologi normal
Vitalitas 70% atau lebih hidup, yaitu tidak terwarna dengan
pewarnaan supravital V
Sel Lekosit Kurang dari 1 x 106 / ml
Uji Butir Imun Perlekatan pada butir imun kurang dari 20% sperma
Uji MAR Perlekatan pada butir imun kurang dari 10% sperma
Uji – uji pilihan :
α – glukosidase ( netral ) 20 µU atau lebih per ejakulat
Seng Total 2,4 µmol atau lebih per ejakulat
Asam Sitrat ( total ) 52 µmol atau lebih per ejakulat
Asam Fosfatase ( total ) 200 U atau lebih per ejakulat
Fruktosa ( total ) 13 µmol atau lebih per ejakulat
Walaupun belum ada studi klinik yang lengkap, pengalaman dari sejumlah pusat
penelitian menunjukkan persentase morfologi normal perlu disesuaikan lebih rendah apabila
dilakukan dengan kriteria yang lebih ketat. Nilai acuan empiris menunjukkan 30% atau lebih
bermorfologi normal.
II.5 Nomenklatur untuk Beberapa Variabel Semen
Karena sering sulit untuk menguraikan semua penyimpangan variable semen normal
dengan kata dan angka, maka telah disusun suatu nomenklatur untuk menjelaskan perubahan
yang dibicarakan ( Eliasson, dkk., 1970 ). Penting untuk diingat bahwa nomenklatur ini hanya
menguraikan beberapa variabel semen dan tidak menyatakan suatu hubungan sebab akibat.
Dengan catatan tersebut, maka nomenklatur ini dapat digunakan sebagai berikut :
Normozoospermia Ejakulat normal
Oligozoospermia Jumlah sperma kurang dari 20 x 106 / ml
Asthenozoospermia < 50% sperma dengan gerak maju ( kategori
(a) dan (b) atau < 25% sperma dengan gerak
kategori (a) )
Teratozoospermia Morfologi normal sperma kurang dari 30%
Oligoasthenoterato Ditemukan kelainan pada ketiga variabel
zoospermia ( kombinasi yang terdiri hanya
dua awalan dapat juga dipakai )
Azoospermia Tidak ada sperma dalam ejakulat
Aspermia Tidak ada ejakulat
II.6 Alasan pemeriksaan sperma
Sperma yang sering disebut juga mani atau semen adalah ejakulat yang berasal
dari seorang pria berupa cairan kental dan keruh, berisi sekret dari kelenjar prostat,
kelenjar-kelenjar lain dan spermatozoa. Pemeriksaan sperma merupakan salah satu
elemen penting. Alasan pria melakukan pemriksaan sperma yaitu untuk mengetahui
masalah fertilitas dan infertilitas atau untuk tingkat kesuburan dan pengenalan cara
penilaian kesuburan pada semen seorang pria. (Anonim. 1988)
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
III.2 Saran
Buku adalah gudangnya ilmu, membaca adalah kuncinya. Referat ini hanyalah
kumpulan informasi yang berhasil disusun oleh penulis untuk dapat membantu para
pembaca mendapat bahan atau materi mengenai Pemeriksaan Analisis Sperma.
Namun, untuk dapat memahami materi ini dibutuhkan sumber-sumber bacaan lain
yang terkait dengan materi ini, maka sebagai penyempurnaan ilmu pengetahuan yang
telah didapatkan alangkah bijaknya apabila para pembaca mau mempelajarinya lebih
dalam melalui sumber-sumber bacaan lain.
Daftar Pustaka
Anonim. 1988. Penuntun Laboratorium WHO untuk Pemeriksaan Semen Manusia dan Interaksi Semen Getah Serviks. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.