caping+cari angin+kolom tempo 7.12.2014-13.12.2014

Upload: ekho109

Post on 02-Jun-2018

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    1/26

    Pagar

    Senin, 08 Desember 2014

    Hanya pengembara dan penjelajah yang tahu: dunia tak dapat dipaparkan dengan batas yang

    keras. Ruang kehidupan tak pernah ajek. Hidup tak dibangun dengan pagar.

    Tapi Kant memang bukan pengembara. Filosof ini, yang mengibaratkan pengetahuan

    manusia sebagai "sebuah pulau dengan banyak tapal batas", lahir di Kota Koenigsberg di

    timur laut Jerman dan meninggal di kota yang sama. Sejak 1724 sampai dengan 1804--sejak

    jabang bayi sampai dengan jadi jenazah--ia tak pernah keluar satu meter pun dari kota yang

    tak jauh dari Laut Baltik itu. Ia orang yang menetap.

    Ketika usianya kian lanjut, lelaki bertubuh kecil ini (tingginya tak sampai 1,6 meter, kurus,

    dengan dada yang cacat) bahkan memilih hidup yang serba tetap. Tiap pagi pelayannya

    membangunkannya (ia perintahkan agar jangan sungkan mengentakkannya dari tidur) supaya

    ia bisa tepat waktu berangkat berjalan kaki menyusuri jalanan Koenigsberg. Konon menit dan

    detiknya begitu persis hingga para tetangga menyetel jam mereka berdasarkan kebiasaan

    Kant.

    Yang rutin, yang rata, yang rapi--dan tentu itu-itu saja. Sepeninggal Kant, tak ditemukan

    catatan harian. Mungkin karena ia sendiri tak tertarik merekam hidupnya sehari-hari yang

    tanpa drama, tanpa gejolak. Kita tak akan bisa menulis kisah hidup Kant, kata penyairHeinrich Heine mencemooh, karena orang ini tak punya kisah dan tak punya hidup.

    Setidaknya ia tak punya hidup yang diperlihatkannya ke luar. Kant tampak memagari

    hidupnya yang privat dari bagian dirinya yang terbuka buat umum, yakni karya-karyanya.

    Pagar, itulah pola yang berulang pada pemikiran yang termaktub dalam buku-bukunya.

    Pagar, patok, pembagian: sesuatu yang perlu dan niscaya. Bagi Kant, dunia pemikiran filsafat

    yang disebut "metafisika"--yang mengatasi ilmu-ilmu sosial dan fisika--semula adalah ibarat

    "ratu" bagi semua ilmu, seperti di masa Aristoteles. Sang "ratu" bertakhta tanpa batas,

    mutlak, dan pada akhirnya mirip dogma.Dalam perkembangan pengetahuan kemudian, metafisika tak berkuasa seperti itu lagi. Ilmu-

    ilmu itu tak lagi butuh tuntunannya. Namun apa yang kemudian terjadi juga bisa berbahaya.

    Para pembangkang, yang meragukan segala pengetahuan sebagai dogma, para skeptis itu,

    "ibarat suku-suku pengembara yang membenci penghunian yang permanen dan cara hidup

    yang mapan".

    Untung jumlah mereka tak banyak, kata Kant. Untung, karena ia ingin menegakkan

    metafisika sebagai satu bangunan baru yang mapan, tapi yang juga sadar akan batasnya

    sendiri. Dan itu hanya bisa dicapai dengan membangun pemikiran yang sistematis, terukur,

    dan tekun. Metafisika ini tak boleh bercampur dengan--harus dibatasi secara jelas--

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    2/26

    "kebenaran" yang dicapai dengan Schwarmereiyang tak rasional, yang dengan gairah

    langsung menggapai ke mana-mana, juga ke dalam hal-hal "yang tak terpikirkan".

    Dengan perspektif itu pula Kant menolak mistisisme, alam pikiran para sufi.

    Ia kembali kepada pagar, patok, pembatasan. Kant tak hendak bertualang ke dunia yang

    "ganjil". Ia ingin berada dan menetap di Koenigsberg pikirannya, dengan kecemasan kepada

    "suku-suku pengembara" yang mengganggu alam pikiran.

    Yang menarik, dan saya kira relevan dengan abad ke-21, kita kemudian tahu pemikir Abad

    Pencerahan ini tak cukup lepas dari latar gelap Eropa di zamannya--latar yang bertahan

    sampai hari ini: pandangan curiga, bingung, dan marah kepada orang dari luar. Ian Almond,

    dalamHistory of Islam in German Thought (Routledge, 2011),sebuah telaah yang tajam dan

    cerah, memperlihatkan bagaimana Kant mendekatkan "suku-suku pengembara" bukan cuma

    sebagai kiasan tentang orang-orang yang skeptis, tapi juga dengan bangsa nomad: orang Arab

    dan Yahudi.Kant bahkan mengaitkan Schwarmereidengan Muhammad, pendiri Islam, bukan untuk

    menunjukkan sisi sufisme dalam ajarannya. Schwarmereidalam diri Muhammad bukan saja

    tak rasional, melainkan sebuah gelora hati, antusiasme, yang membawanya ke ambisi lahiriah

    ("eksternal") dan sensual. Tak kurang dari itu, kata Schwarmereijuga dihubungkannya

    dengan sikap tak rasional lain: fanatisme.

    Kant di Koenigsberg: sebuah kota pelabuhan yang di masa lampau didatangi pelbagai bangsa,

    tapi riwayatnya tak selamanya ditandai ruang yang tenang dan terbuka. Kota ini didirikan

    setelah bangsa Prusia dibasmi para kesatria Teuton di abad ke-13. Kemudian, kemudian

    sekali, 9 November 1938, di kota Kant itu malam "Kristallnacht" terjadi, ketika kaca-kaca

    toko dan rumah Yahudi dipecahkan dan kaum Nazi membakar buku, memukuli dan

    membunuh orang "lain" itu.

    Fanatisme, Schwarmerei,tak hanya datang seperti gerombolan lebah dari luar. Pagar yang

    membedakan kita dan mereka tak pernah benar-benar jelas di mana.

    Goenawan Mohamad

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    3/26

    Etika

    Minggu, 07 Desember 2014

    Putu Setia, @mpujayaprema

    Cucu Romo Imam menangis tersedu-sedu. Bocah itu diberi tahu ibunya, sepedanya hilang

    digondol maling. Dia minta dibelikan sepeda baru. "Sudah setahun lebih anak itu tak pernah

    naik sepeda, dipikirkan pun mungkin tidak. Begitu tahu sepedanya hilang, langsung

    menangis," demikian komentar Romo, enteng. "Ya, anak kecil-anak besar sama saja. Baru

    ingat kalau sudah hilang. Saya juga begitu, baru kangen sama SBY setelah tak lagi berkuasa."

    Saya tersentak. "Maksud Romo kangen dengan Pak Susilo Bambang Yudhoyono?" Romotertawa: "Ya, betul. Sepuluh tahun menjadi presiden saya kurang perhatian secara khusus.

    Biasa-biasa saja, saya tak suka memuji tapi juga tak suka memaki. Tapi, begitu beliau tak lagi

    menjadi presiden, kok tiba-tiba kangen. Saya merasa kehilangan. Apalagi saat SBY dikibuli

    soal kesepakatan Perppu Pilkada."

    Saya tersenyum maklum. Pasti Romo membaca tweetyang diunggah SBY soal penolakan

    Golkar terhadap Perppu Pilkada. Romo punya akun Twitter tapi tak suka nge-tweet, hanya

    suka membaca. Orang yang "lurus" seperti Romo Imam pasti bersedih bagaimana SBY bisa

    dikibulibegitu saja soal Perppu Pilkada. Selaku Ketua Umum Partai Demokrat, SBY

    memerintahkan Fraksi Demokrat untuk bergabung dengan Koalisi Merah Putih dalammenentukan pimpinan DPR dan MPR. Tapi dengan syarat mutlak, Koalisi Merah Putih

    mendukung perppu. Setelah pimpinan DPR dan MPR disikat habis Koalisi Merah Putih,

    ternyata sekarang Golkar menolak perppu. Juga pernyataan politikus Gerindra, Desmon, yang

    menyebut tak ada kesepakatan itu, dan menuduh SBY berbohong. Akan halnya politikus

    Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah, dia menyebut partainya dulu setuju perppu karena

    saat itu perppu belum dibaca.

    "Itu aneh, kurangpintermencari alasan," kata Romo untuk alasan Fahri Hamzah. Tapi saya

    mengingatkan Romo, Fahri Hamzah itu wakil ketua DPR, tak mungkin orang bodoh berada

    dalam kedudukan tersebut. "Bodoh atau tidak, mereka tak punya etika. Lihat tweetSBY yangmengatakan: politik juga soal kebenaran, politik akan indah jika pelakunya memegang etika

    dan juga bisa dipercaya," kata Romo.

    Etika, suatu kata yang berangsur hilang dari negeri ini. Kesepakatan soal perppu yang

    ditandatangani pada 1 Oktober, yang dengan mudah diingkari, memang menabrak etika

    umum. Namun cara memandang etika itu sendiri juga berbeda-beda. Orang yang lagi mabuk

    dan berada dalam kekuasaan mungkin tak melihat dirinya menabrak etika.

    "Apakah elite politik sekarang punya etika?" tiba-tiba Romo menghentikan renungan saya.

    Saya tersenyum belum mampu menjawab. "Saya yakin tidak lagi," kata Romo. "Lihat saja

    ruang paripurna DPR, tak ada gambar Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    4/26

    Di pilar gedung, semua foto presiden terdahulu dipasang, tapi tak ada foto Jokowi. Saya

    yakin Jokowi rapopo, tapi etikanya di mana? Itu simbol negara, suka atau tidak kepada

    pribadinya, simbol harus dihormati. Itu etika berbangsa."

    Kalau Romo lagi "panas", saya biasanya diam. "Kenapa hakim dalam sidang dipanggil Yang

    Mulia? Karena ada simbol keadilan atas nama Tuhan di sana. Itu etika, tak ada dalamundang-undang. Kenapa anggota DPR diembel-embeli Yang Terhormat? Itu pun etika dan

    sopan santun kenegaraan karena mereka mengemban amanat rakyat. Kalau anggota DPR tak

    mau lagi menghormati simbol presiden dan melecehkan etika berbangsa, apa mau mereka

    dipanggil Yang Terbrengsekatau Yang Terbego?"

    "Romo, Romo, eling...." saya mencoba menenangkan. Romo minum. Setua apa pun orang,

    seperti Romo Imam atau SBY, marah masih wajar asal sesuai dengan kadarnya.

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    5/26

    Kisah Polisi Melawan Korps

    Senin, 08 Desember 2014

    Budi Hatees,bekerja pada SAHATA Institute

    Kisah Brigadir Rudy Siok mencari keadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh

    Kepolisian Daerah NTT mengulang kembali cerita lama tentang para pemegang sumpah Tri

    Bratha yang melawan institusinya.

    Kisah semacam itu tak jarang berhenti di tengah jalan. Ketika Susno Duadji merasa

    dikriminalkan oleh Mabes Polri dalam kasus korupsi, mantan Kabareskrim Mabes Polri ini"melawan". Ia beberkan aib sejumlah perwira tinggi Polri. Publik mengingat aib itu sebagai

    kasus rekening gendut.

    Media massa senang atas bocornya daftar rekening para perwira tinggi (pati) Polri itu. Mabes

    Polri justru gerah, karena pati yang terindikasi sebagai pemilik rekening gendut itu ternyata

    para rising stardi Akademi Kepolisian (Akpol). Mereka pejabat dan calon pejabat tinggi di

    lingkungan Polri, orang-orang yang diharapkan akan menjalankan amanat reformasi Polri.

    Aib itu merusak citra Polri. Mungkin karena itu, "perlawanan" Susno dihentikan. Soal

    rekening gendut dengan sendirinya berhenti. Tapi aib itu menyejarah. Publik memakainya

    untuk menyikapi dengan kritis para pati Polri yang ingin jadi pejabat di Polri. Konon, KPK

    juga memakai daftar pemilik rekening gendut itu untuk memberi tanda merah pada nama

    calon menteri Kabinet Kerja Joko Widodo.

    Meskipun "perlawanan" Susno terhenti, hasilnya layak dicatat. Momentum ini membuat

    publik semakin kritis terhadap Polri. Publik berharap aparat penegak hukum harus benar-

    benar taat hukum. Untuk itu, budaya menghormati hukum aparat penegak hukum harus

    diperbaiki. Caranya, sanksi hukum terhadap aparat penegak hukum yang melanggar hukum

    harus maksimal; bukan sekadar sanksi disiplin yang persidangannya acap tertutup diMahkamah Militer.

    Kisah Susno kini berulang lagi lewat sosok Brigadir Rudy. Mantan penyidik Direktorat

    Kriminal Khusus Polda NTT ini mengadukan atasannya, Direktur Direktorat Krimsus Polda

    NTT Kombes Mochammad Slamet, ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia karena diduga

    terlibat kasus perdagangan manusia.

    Pengaduan Brigadir Rudy ini salah satu bentuk "perlawanan" terhadap institusinya. Ketika

    Polda NTT menetapkannya sebagai tersangka, ia "bernyanyi" kepada publik bahwa dirinya

    dikriminalkan karena berhasil mengungkap keterlibatan atasannya dalam kasus perdagangan

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    6/26

    manusia.

    Benarkah dugaan Brigadir Rudy mengenai atasannya itu? Benarkah Brigadir Rudy

    melakukan penganiayaan terhadap tersangka?

    Dua kasus yang melibatkan dua anggota Polri di lingkungan Polda NTT ini harus diungkap

    satu per satu. Penganiayaan tersangka oleh Brigadir Rudy bukan cuma kriminalitas, tapi juga

    melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Peraturan Kapolri Nomor 8/2009 tentang Implementasi

    Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara

    Republik Indonesia harus ditegakkan secara maksimal. Sedangkan kasus Kombes

    Mochammad Slamet, jika benar terlibat, juga melanggar hak asasi manusia.

    Karena itu, agar publik tak menuduh Mabes Polri tidak menghargai HAM, perlu akuntabilitas

    dan transparansi dalam mengusut kedua kasus ini. Apa pun hasilnya, publik berharap Polri

    bisa menegakkan hukum setegak-tegaknya terhadap anggota yang melakukan malpraktek. *

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    7/26

    Arus Balik

    Senin, 08 Desember 2014

    Anton Kurnia,penulis

    Jika kita berkaca ke sejarah, pada masa jaya Sriwijaya dan Majapahit, Nusantara merupakan

    salah satu penguasa maritim terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Arus

    bergerak dari selatan ke utara. Semua bermula dari Nusantara di selatan ke "Atas Angin" di

    utara.

    Namun kemudian zaman berubah. Arus berbalik. Bukan lagi dari selatan ke utara, melainkansebaliknya dari utara ke selatan. Utara (baca: Eropa) menaklukkan Selatan, menguasai urat

    nadi kehidupan Nusantara. Perpecahan dan ketamakan penguasa menjadi awal ketaklukan.

    Dan semua itu diperikan dengan dahsyat dalam novel monumental Pramoedya Ananta Toer,

    Arus Balik(1995).

    Protagonis novel ini, Wiranggaleng, seorang pemuda desa sederhana yang menjelma menjadi

    senapati cerdas gagah berani, berkata, "Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal

    besar. Kapal besar dibuat hanya oleh kerajaan besar, kapal kecil oleh kerajaan kecil,

    menyebabkan arus tidak bergerak lagi dari selatan ke utara. 'Atas Angin' sekarang unggul,

    membawa segalanya ke Jawa, termasuk kehancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama

    kapal-kapal kita makin kecil untuk kemudian tidak mempunyai lagi .... Semasa jaya Gajah

    Mada, arus bergerak dari selatan ke utara; segala-galanya: kapal-kapalnya, manusianya,

    amal perbuatannya, cita-cita dan citranya-bergerak dari Nusantara di selatan ke 'Atas

    Angin' di utara, sebab Nusantara bukan saja kekuatan darat tetapi juga kerajaan laut

    terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ...."

    Dalam novel ini Pramoedya, salah satu sastrawan terbesar kita, sama sekali tak ingin

    memuja-muja kebesaran masa lalu. Dia juga tak merindukan kejayaan masa silam. Namun

    dia berangan-angan akan masa depan bersama yang cerah. Baginya, sejarah merupakancermin paling jernih untuk suatu perubahan guna membangun masa depan yang lebih baik.

    Pramoedya menulis betapa kekuatan maritim Nusantara pernah berjaya dan mengibarkan

    bendera megah ke utara. Tapi kemudian arus raksasa menggelombang dari utara mengempas

    Nusantara mundur ke selatan, ke kawasan pesisir pantai. Bahkan lebih jauh lagi mundur

    sampai ke pedalaman, ke desa-desa di kaki-kaki pegunungan. Kemunduran itu tak hanya

    secara geografis, tapi lebih-lebih lagi secara psikis dan spiritual.

    Dengan slogan "Revolusi Mental", pemerintah Jokowi berupaya mengembalikan Indonesia

    menjadi negara yang berdaulat lahir dan batin dengan berbasis maritim. Terkait dengan hal

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    8/26

    itu, salah satu gebrakan Jokowi adalah mengangkat Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan

    dan Perikanan. Menteri Susi membuat terobosan dengan bersikap tegas terhadap kapal-kapal

    asing yang kerap merampok kekayaan hasil laut kita dan merugikan kita puluhan triliun

    rupiah setiap tahun. Presiden Jokowi mendukungnya dengan mengancam akan

    menenggelamkan kapal-kapal asing yang merampok kekayaan kita itu.Pernyataan tegas itu sempat menuai kecaman dari negara tetangga kita, Malaysia. Namun

    upaya tegas dalam menegakkan kedaulatan kita memang harus dilakukan. Sudah terlalu lama

    kita sebagai bangsa maritim melempem di lautan. Sudah saatnya kita menegakkan kembali

    semboyan lama "Jalesveva jayamahe". Justru di laut kita seharusnya berjaya.

    Kebenaran dan kedaulatan harus kita tegakkan. Jadi, mengapa kita ragu dalam menindak para

    pencoleng yang selama ini merugikan kita? *

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    9/26

    Batas Negosiasi Perubahan Iklim

    SENIN, 08 DESEMBER 2014

    Jeffrey D. Sachs,Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB mengenai Millennium

    Development Goals.

    Dibutuhkan pendekatan baru jika dunia benar-benar hendak menyelesaikan krisis perubahan

    iklim. Saat ini negara-negara besar memandang perubahan iklim sebagai soal negosiasi siapa

    yang harus mengurangi emisi CO2-nya (terutama dari penggunaan batu bara, minyak, dan

    gas). Semua sepakat mengurangi sedikit emisi CO2-nya seraya mendorong negara-negara

    lain mengurangi lebih banyak. Amerika Serikat, misalnya, bersedia mengurangi sedikit--jikaCina berbuat sama.

    Selama dua dekade, kita telah terjebak dalam mindsetsedikit dan banyak yang keliru ini

    dalam dua hal. Pertama, gaya di atas tak mungkin dilaksanakan. Emisi CO2 sekarang ini

    meningkat, bukan menurun. Industri perminyakan di dunia sedang berpesta-pora--mengolah,

    mengebor, bereksplorasi di Kutub Selatan mengubah batu bara menjadi gas, dan membangun

    sarana gas alam cair (LNG) yang baru. Dunia telah merusak sistem suplai pangan dan iklim

    ini.

    Kedua, dekarbonisasi sistem energi itu secara teknologi rumit. Persoalan riil yang dihadapiAmerika bukanlah persaingan yang datang dari Cina, melainkan rumitnya menggeser suatu

    ekonomi senilai US$ 17,5 triliun dari bahan bakar fosil ke bahan bakar alternatif rendah

    karbon. Persoalan yang dihadapi Cina juga bukan Amerika, melainkan bagaimana menyapih

    ekonomi kedua terbesar di dunia ini (bergantung pada data yang mana yang digunakan) lepas

    dari ketergantungan yang besar pada batu bara. Ini merupakan masalah rekayasa, bukan

    masalah negosiasi.

    Yang pasti, raksasa-raksasa ekonomi ini bisa melakukan dekarbonisasi jika mereka

    mengurangi outputsecara tajam. Tapi, baik Cina maupun Amerika tidak bersedia

    mengorbankan jutaan pekerja dan triliunan dolar pendapatan. Pertanyaannya adalah

    bagaimana melakukan dekarbonisasi tanpa harus mengubah pendapatan ekonomi. Para juru

    runding iklim tidak bisa menjawab pertanyaan itu, tapi para inovator, seperti Elon Musk dari

    Tesla dan ilmuwan seperti Klaus Lackner dari Columbia University, bisa.

    Dekarbonisasi sistem energi dunia membutuhkan tindakan untuk mencegah produksi listrik

    dunia yang besar dan terus membengkak serta meningkatkan emisi CO2 atmosfer.

    Dekarbonisasi juga mensyaratkan peralihan ke armada transportasi nol-karbon dan lebih

    besarnya produksi listrik per kilowatt-jam energi. Listrik nol-karbon ada dalam jangkauan

    kita. Tenaga surya dan angin sudah bisa menghasilkan semua itu, tapi sebelumnya perlu

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    10/26

    ditetapkan dulu kapan dan di mana ia dibutuhkan. Kita perlu terobosan penyimpanan sumber

    energi bersih yang tidak setiap saat bisa diperoleh ini.

    Tenaga nuklir, suatu sumber energi nol-karbon penting lainnya, juga perlu memainkan peran

    yang besar di masa depan--sekaligus menunjukkan perlunya meningkatkan kepercayaan

    publik akan keamanannya. Bahkan bahan bakar fosil pun bisa menghasilkan listrik nol-

    karbon jika strategi carbon capture and storage(CCS, atau tangkap dan simpan karbon) itu

    digunakan. Lackner merupakan tokoh terkemuka di dunia dalam menyusun strategi CCS

    yang baru.

    Elektrifikasi transportasi sudah lama kita kenal, dan Tesla dengan kendaraan listriknya yang

    canggih telah menarik minat dan imajinasi masyarakat. Namun kemajuan teknologi lebih

    lanjut diperlukan untuk menurunkan biaya kendaraan listrik ini, meningkatkan keandalannya,

    dan memperluas jangkauannya. Musk, yang ingin sekali mempercepat pengembangan

    kendaraan ini, membuat sejarah pekan lalu ketika ia membukakan pintu digunakannya patenmilik Tesla oleh pesaing-pesaingnya.

    Teknologi juga menawarkan terobosan-terobosan baru efisiensi energi. Desain bangunan

    yang baru telah memangkas biaya penghangatan dan penyejukan gedung dengan lebih

    banyak mengandalkan penyekatan, ventilasi alami, dan tenaga surya. Kemajuan di bidang

    nanoteknologi menawarkan prospek bahan bangunan yang lebih ringan yang tidak banyak

    membutuhkan energi untuk diproduksi, sehingga membuat baik bangunan maupun kendaraan

    lebih efisien energi.

    Dunia butuh dorongan bersama untuk mengadopsi listrik rendah karbon ini. Semua negaraperlu teknologi rendah karbon yang baru dan banyak di antaranya masih di luar jangkauan

    komersial. Maka itu negosiasi iklim harus fokus pada bagaimana bekerja sama memastikan

    tercapainya terobosan teknologi yang membawa manfaat kepada semua negara.

    Mereka harus mengambil pelajaran dari kasus-kasus di mana pemerintah, ilmuwan, dan

    industri bergandengan tangan menghasilkan perubahan-perubahan besar. Jika kita minta

    pemerintah dan ilmuwan melakukan kerja sama mengenai teknologi perang, tidakkah kita

    harus berbuat hal yang sama untuk menyelamatkan planet bumi ini dari polusi karbon?

    Dekarbonisasi yang dalam dan terarah merupakan tugas semua pemangku kepentingan,termasuk industri bahan bakar fosil. Dan kita semua harus berpihak pada kelanjutan hidup

    dan kesejahteraan manusia. *

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    11/26

    Penganten Ali

    Rabu, 10 Desember 2014

    Antyo Rentjoko, bekas narablog (@PamanTyo)

    Emah, mempelai perempuan, terjatuh dari tandu saat melintasi wotatawa jembatan. Ali,

    mempelai pria, melompat ke sungai deras untuk menyelamatkan Emah. Mereka hilang

    terbawa arus.Koran Tempo(8 Desember 2014) mengisahkan riwayat nama Jalan Penganten

    Ali di Ciracas, Jakarta Timur, itu.

    Rezim Google sudah memasukkan jalan itu ke dalam peta, lengkap dengan Street View(bit.ly/1u6l30h) rekaman April 2013. Tentu pelat nomor mobil/sepeda motor dan wajah

    warga sudah dikaburkan. Nomor rumah? Tetap tampak. Misalnya nomor 21 di warung rokok,

    sebelah warung bubur Pancarasa. Kita tak tahu apakah akan menjumpai nomor itu dalam

    captcha, sebuah cara penyandian yang menyalin angka dan huruf dalam gambar menjadi

    ketikan teks. Bisa saja secara acak ReCaptcha Google menggabungkan foto nomor rumah

    Anda di Jurangmangu, Banten, dan rumah entah siapa di Derby Line, perbatasan Amerika-

    Kanada.

    Kini, jika alamat Anda tak ada dalam peta Google dan layanan panduan GPS (global

    positioning system), sebagian orang akan menganggapnya terra incognita--untuk

    mencapainya harus menggunakan "GPS" versi ledekan kaum muda: "Guide Penduduk

    Setempat". Pada era kertas, yakni peta Jabodetabek yang dirintis dan diproduksi orang

    Jerman Gunther W. Holtorf sejak 1980-an, ledekannya adalah, "Kalau belum masuk petanya

    orang Jerman berarti antah berantah."

    Mulanya Holtorf mengikuti penamaan jalan versi pemerintah. Tapi akhirnya dia

    berkompromi: juga menggunakan penamaan versi penduduk. Misalnya Jalan Dokter Ratna

    untuk mengaliaskan Jalan Wibawa Mukti 3 di Jatiasih, Bekasi (Peta Jabotabek, edisi ke-11,

    1997, hal. 68).

    Dokter Ratna? Mulanya itu penamaan oleh sopir angkot dalam menawarkan trayek: "Ratna!

    Ratna! Ratna!" Ratna adalah nama klinik di Jalan Wibawa Mukti 3. Kini Peta Google

    menyebutnya Jalan Dr Ratna, dengan Street View rekaman Agustus 2013.

    StreetDirectory.co.idmenyebutnya "Dr Ratna". Penamaan versi pemerintah daerah pun

    kalah.

    Bagaimana di Yogyakarta? Dalam Google Map masih ada Jalan Gejayan, membujur dari

    Demangan di selatan hingga Jalan Lingkar Luar di utara, sepanjang hampir 4 kilometer.Padahal Gejayan akhirnya hanya ada di wilayah Kota, sekitar 200 meter, dan sisanya di

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    12/26

    wilayah Sleman menjadi Affandi sejak 2007. Untunglah Wikimapia lebih cermat: ada batas

    Gejayan dan Affandi di antara gardu PLN (Kota) dan Auditorium RRI (Sleman).

    Apa boleh buat, toponimi juga memuat tarik-menarik penamaan. Nama yang hidup dalam

    masyarakat belum tentu menjadi resmi. Velbak di Jakarta Selatan, bukan nama jalan, tempatTempoberkantor, adalah penyebutan lidah lokal untuk "vuilnisbak" (bahasa Belanda, tempat

    pembuangan sampah;Koran Tempo, 8 September 2014).

    Namun penamaan resmi untuk jalan pun belum tentu terpahami oleh warga. Tak semua orang

    Salatiga, Jawa Tengah, kenal Osa Maliki yang diabadikan untuk jalan sepanjang hampir 2

    kilometer sejak 1970. Beberapa teman kelahiran Bogor, Jawa Barat, tak tahu siapa itu Kapten

    Muslihat.

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    13/26

    Penenggelaman Kapal dan Hukum di Laut

    RABU, 10 DESEMBER 2014

    Ardinanda Sinulingga, analis di Founding Father House, saat ini sedang menyelesaikan

    Program Pascasarjana Maritime Security di Universitas Pertahanan (Unhan)

    Indonesia negeri kaya akan ironi. Laut adalah jati diri, ruang ekonomi, sekaligus sumber

    masalah itu sendiri. Sudah lama kita seolah larut dalam pujian semu sebagai negara yang

    memiliki potensi besar di bidang kemaritiman, tapi kita tak berdaya ketika banyak kapal

    berbendera asing menguras isi laut Indonesia. Kini, optimisme kembali hadir seiring dengan

    komitmen pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla yang menegaskan kembali visi berbasiskanmaritim sebagai arus utama pembangunan, artinya laut adalah halaman depan sekaligus

    sumber masa depan Indonesia.

    Pekan lalu (5 Desember), tiga kapal berbendera Vietnam ditenggelamkan di perairan

    Anambas, Kepulauan Riau, sesudah terlebih dulu ditangkap dan menjalani proses hukum

    hingga akhirnya disita menjadi milik negara. Pemerintah berargumen bahwa penenggelaman

    ini sudah sesuai dengan proses hukum dan diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi para

    pencuri ikan secara ilegal di laut Indonesia.

    Upaya memberantas illegal fishingdan menenggelamkan kapal ini haruslah dimaknai dalamdua hal. Pertama, kita pantas berharap penegakan hukum dan kedaulatan negara, terutama di

    laut, menjadi fokus utama pemerintahan saat ini. Bagaimanapun setiap negara memiliki

    kewenangan untuk melaksanakan proses penegakan hukum di wilayah kedaulatannya sendiri

    sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara masing-masing, yang dalam hal ini UU

    Perikanan Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 69 (4) sebagai dasar hukum penenggelaman kapal

    tersebut.

    Kedua, pesan politik ke dunia internasional. Tentunya penenggelaman kapal ikan asing

    tersebut akan mulai berdampak pada perspektif negara lain terhadap kebijakan luar negeri

    Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi. Karena itu, upaya penindakan tegas terhadap

    pelaku illegal fishingini mestilah disampaikan kepada dunia internasional bukan sebagai

    suatu sifat arogansi Indonesia dalam tata cara pergaulan internasional tanpa memperhatikan

    hukum internasional yang berlaku, dalam hal ini UNCLOS.

    Illegal fishingdan penenggelaman kapal sesungguhnya bukan masalah yang baru dalam

    konteks Indonesia. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan

    dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Dirjen PSDKP KKP), sejak 2007-2012

    sudah ada 38 kapal asing yang ditenggelamkan.

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    14/26

    Secara internasional pelanggaran penangkapan ikan di laut umumnya dapat dikelompokkan

    menjadi tiga macam, yaitu illegal, unregulated, and unreported, yang kemudian disebut

    dengan IUU Fishing. Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan illegal

    adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu

    perairan yurisdiksi suatu negara tanpa izin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan unreportedadalah kegiatan penangkapan ikan yang tidak melaporkan

    hasil tangkapan kepada instansi yang berwenang atau dilaporkan secara tidak benar atau tidak

    sesuai dengan prosedur pelaporan yang ditetapkan. Dan unregulatedadalah suatu kegiatan

    penangkapan ikan pada suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan

    pelestarian.

    Ternyata, mengacu pada pengelompokan demikian, data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

    menunjukkan upaya pemerintah dalam hal mengawasi dan menindak tegas para pelaku IUU

    Fishing masih jauh dari optimal. Sepanjang 2011, misalnya, hanya 14,21 persen dari 2.344

    laporan dari pengusaha perikanan yang melaporkan hasil tangkapannya.

    Keterbatasan instrumen pengawasan, seperti Vessel Monitoring System, keterbatasan olah

    gerak kapal pengawasan, keterbatasan sumber daya pengawas, serta sarana dan prasarana

    pengawasan ataupun anggaran, menyebabkan belum mampunya aparat pengawas mencegah

    dan mengawasi kapal asing ilegal ke wilayah Indonesia.

    Setidaknya keterbatasan tersebut dapat dilihat dari minimnya jumlah peralatan dan anggaran

    yang dimiliki pemerintah untuk mengawasi 3,5 juta kilometer persegi wilayah laut Indonesia.

    TNI AL hanya mempunyai 143 kapal perang dan kapal patroli. Dari segi spesifikasi kapal,

    untuk mampu mengawasi sampai dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia tentunyamasih jauh dari tatanan ideal.

    Kerja pemberantasan IUU Fishing mestilah diiringi dengan strategi jangka panjang, terutama

    pembenahan pada hulu masalah maritim Indonesia, yaitu aspek kebijakan terutama

    pemenuhan anggaran yang mumpuni untuk mengawasi laut Indonesia hingga wilayah ZEE,

    pengadaan alustista, dan pembenahan koordinasi antar-instansi yang masih banyak tumpang

    tindih dalam pengelolaan dan penegakan hukum di laut.

    Pembenahan koordinasi UU Kelautan Nomor 32 Tahun 2014 telah mengamanatkan

    dibentuknya satu badan keamanan laut (Bakamla) yang haruslah diiringi dukungan terhadap

    kemampuan dari segi sumber daya manusia sampai dengan peralatan yang dimiliki untuk

    mengawasi laut Indonesia.

    Sekali lagi, penenggelaman kapal hanyalah salah satu cara dari upaya penindakan hukum di

    laut yang diharapkan dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Dengan alur pemikiran

    demikian, masalah mendasar yang harus diselesaikan pemerintah terletak pada aspek

    kebijakan sebagaimana yang penulis uraikan di atas. Bagaimanapun, optimisme publik

    memiliki "batas waktu" terhadap satu pemerintahan. Jangan sampai upaya penenggelaman

    kapal pelaku illegal fishingtersebut terkesan seremonial tahunan belaka.

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    15/26

    Berharap pada Pajak Kekayaan

    Rabu, 10 Desember 2014

    Chandra Budi,bekerja di Ditjen Pajak

    Ada fakta yang mengejutkan, seperti dirilis oleh salah satu media nasional, bahwa salah satu

    aset orang kaya berupa nilai simpanan di bank umum per September 2014 meningkat sebesar

    36,6 persen dibanding pada 2012. Sementara itu, nilai pembayaran pajak individual pada

    2013 hanya naik 16,5 persen dibanding pada 2012. Karena itu, wajar jika dalam berbagai

    kesempatan pelaksana tugas Ditjen Pajak, Mardiasmo, mengatakan pihaknya akan fokus

    mengejar pajak dari orang-orang kaya tersebut.

    Namun sayangnya selama ini Ditjen Pajak selalu gagal menggali potensi itu. Sebab,

    tambahan kekayaan atau aset bukanlah obyek pajak, sehingga tidak dapat dikenai aturan

    pajak. Menurut undang-undang, pajak penghasilan (PPh) didefinisikan sebagai tambahan

    kemampuan ekonomis untuk konsumsi atau menambah kekayaan. Tambahan kemampuan

    ekonomis yang dimaksudkan dapat berasal dari gaji, honor, serta imbalan lain atau dividen.

    Adapun segala bentuk kekayaan yang dimiliki, selama tidak berpindah tangan ( transfer of

    wealth), tidak akan dikenai pajak.

    Lantas bagaimana cara mengkonversi sebagian kecil harta milik orang kaya ini menjadi

    pajak? Ada instrumen yang dapat dipertimbangkan, yaitu pemberlakuan pajak atas kekayaan.

    Pajak atas kekayaan sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia. Pada 1932, melalui

    Ordonansi Pajak Kekayaan, Indonesia pernah menerapkan pajak kekayaan ini sampai era

    1980-an. Setiap batasan tertentu dari kekayaan yang dimiliki wajib pajak akan dikenai pajak

    setiap tahun. Sejak reformasi sistem administrasi pajak pada 1983, yang melahirkan UU

    Pajak Penghasilan, pajak kekayaan tidak lagi dikenal di Indonesia.

    Penerapan pajak atas kekayaan dapat ditinjau dari sisi keadilan, sosial, moral, dan politik.

    Orang kaya akan mempunyai kemampuan membayar pajak lebih besar dibanding orang yangtidak kaya, meski jumlah pajak yang dibayarkan cenderung sama. Orang kaya hanya

    membayar pajak dari penghasilannya selaku komisaris perusahaan atau dari perolehan

    dividen atas saham yang dimilikinya. Sebaliknya, pekerja atau eksekutif di perusahaan yang

    sama harus membayar pajak sama besar dengan sang pemilik perusahaan karena gaji yang

    diterimanya relatif besar. Padahal, keduanya memiliki kemampuan membayar pajak yang

    berbeda. Pajak kekayaan akan membuat orang kaya membayar pajak sesuai dengan

    kemampuan yang dimilikinya serta memenuhi unsur keadilan dalam membayar pajak.

    Pajak kekayaan juga diharapkan menghapus salah satu modus penghindaran pajak yang

    pernah terjadi. Ada kecenderungan orang kaya menghindari pembayaran pajak dengan nilai

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    16/26

    lebih besar dengan cara mengubah angka penghasilan yang diterimanya dalam bentuk saham

    atau dividen, sehingga tarif pajaknya lebih kecil ketimbang tarif normal. Belum lagi,

    ditengarai kepemilikan saham merupakan upaya untuk menumpuk kekayaan (bunker)

    sehingga tidak bisa tercium oleh pajak.

    Selain itu, pajak kekayaan dapat berperan sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan sosial.

    Dengan tambahan dana yang diperoleh dari pajak kekayaan, pemerintah dapat lebih agresif

    dalam mengurangi kesenjangan sosial melalui serangkaian program pemberantasan

    kemiskinan. Di beberapa negara maju, penerapan pajak kekayaan bahkan berhasil

    mengurangi kapitalisme dan gejolak politik. *

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    17/26

    Kurikulum untuk Siapa?

    Rabu, 10 Desember 2014

    Junaidi Abdul Munif,penulis

    Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan akhirnya memutuskan

    untuk menghentikan penerapan Kurikulum 2013 (K-13) di sebagian besar sekolah.

    Alasannya, belum ada kajian mendalam tentang K-13, baik dari segi konsep maupun

    substansi, sehingga pemberlakuannya terkesan dipaksakan. Ada 6.221 sekolah yang dijadikan

    proyek percontohan pelaksanaan K-13. Menteri Anies tampaknya "rikuh" jika harus

    menghentikan total K-13 dan mengumumkan kembalinya Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan (KTSP) 2006.

    Sebetulnya terlalu dini untuk menilai apakah K-13 berhasil atau tidak ketika belum semua

    sekolah melaksanakannya. Namun banyak pengamat menilai K-13 salah konsep dan

    substansi. Yang paling fatal adalah penyatuan beberapa mata pelajaran yang rentan

    menghilangkan keunikan pelajaran tertentu.

    Bagi yang pro dengan K-13, kurikulum ini memang disiapkan untuk jangka panjang, alias

    menyiapkan generasi emas pada 2045. Siswa dilatih untuk "berpikir kritis, kreatif, inovatif,

    dan efektif" (Sukemi,Koran Sindo, 3/12).

    Saat hiruk-pikuk K-13 merebak, di manakah anak-anak kita? Mereka masih hidup dalam

    ruang riuh tugas sekolah, buku ajar, dan les. Anak-anak diletakkan sebagai obyek an sichdari

    kurikulum. Seperti yang dikatakan guru-guru mereka, tugas pelajar adalah belajar, tak peduli

    kurikulum apa yang digunakan.

    Ada dua model pendekatan kurikulum bagi siswa. Pertama, kedisiplinan melalui mata

    pelajaran, yang mementingkan pelatihan dan keterpelajaran guru. Kedua, minat anak didik,

    yang melandaskan diri pada pemahaman guru atas naluri-naluri alamiah anak (John Dewey,1999). Dari sini, tampak K-13 berjalan pada ranah yang pertama. Karena itu, yang digenjot

    adalah guru, sehingga mereka memahami betul kurikulum yang diterapkan dan mampu

    mengimplementasikan K-13 pada anak didik.

    Apa sebetulnya substansi kurikulum? Kita mengenal CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), KBK

    (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan K-

    13. Ada arah dan tujuan yang sama, yakni membentuk siswa yang aktif, entah itu bertanya,

    mengamati, menalar, ataupun mencipta, seperti halnya yang diusung K-13.

    Apa yang terjadi di dalam ruang kelas sampai hari ini? Kelas yang sunyi, siswa yang tidak

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    18/26

    berani bertanya, serta ketiadaan motivasi dan antusiasme belajar. Ruang kelas memang terasa

    agak menjemukan. Para siswa duduk di bangku yang berurutan. Jika ada satu murid yang

    bertanya, yang lain diam mendengarkan. Dengan mayoritas suasana kelas seperti itu, kita

    patut skeptis bahwa kurikulum apa pun yang diterapkan, hasilnya sama saja atau tak jauh

    berbeda. K-13 mensyaratkan situasi pembelajaran yang berfokus pada siswa sebagai pihakyang aktif bertanya.

    Mungkin bisa diterapkan beberapa model kurikulum sekaligus dalam sistem pendidikan

    nasional melalui payung hukum. Saya rasa, perubahan pada KTSP dan K-13 tidak banyak.

    Keduanya hanya menyempurnakan apa yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, akan

    teruji dengan sendirinya mana kurikulum yang bagus. Kalau perlu, KBK juga bisa

    dihidupkan kembali. Pemerintah selayaknya menjadi fasilitator dengan pola desentralisasi.

    Dalam artian, sekolah menjadi lembaga yang independen.

    Merumuskan konsep kurikulum pada akhirnya harus berpijak pada konsep kita dalam

    memandang anak-anak itu sendiri, apakah anak-anak merupakan obyek sang guru atau rekan

    sang guru. *

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    19/26

    Rekonsiliasi Golkar, Mungkinkah?

    Rabu, 10 Desember 2014

    M. Alfan Alfian,Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

    Sepanjang sejarah politik era Reformasi, baru kali ini Golkar, yang kemudian menjadi Partai

    Golkar, diterpa badai perpecahan yang sangat parah. Terlepas dari dalih masing-masing pihak

    yang berseteru, fakta membuktikan Golkar telah terbelah menjadi dua kepengurusan hasil dua

    musyawarah nasional (munas) yang diselenggarakan dalam waktu yang berdekatan, yakni

    Munas Bali dan Jakarta. Masing-masing pihak telah menyampaikan susunan kepengurusan

    ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk disahkan. Dari sini, pemerintah dituntutbersikap obyektif dan netral, sementara konflik terus berlanjut di ranah pengadilan.

    Pola konflik seperti ini nyaris sama dengan yang tengah dialami Partai Persatuan

    Pembangunan. Kesamaan juga terletak pada konteks perkembangan politik setelah pemilihan

    presiden 2014. Kebetulan, PPP dan Golkar dalam pilpres tersebut berada dalam satu perahu

    untuk mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang kemudian membentuk

    suatu koalisi yang menegaskan posisi politik mereka di luar pemerintah sebagai

    penyeimbang. Pecahnya PPP dan Golkar tidak menutup spekulasi adanya kepentingan

    pemerintah dalam mengubah peta politik.

    Faktor eksternal atau perkembangan politik di luar partai tentu tidak dapat dinafikan dalam

    mencermati pola perpecahan aneka parpol kita dewasa ini. Umumnya, pembelahan terjadi

    saat kelompok yang tetap ingin berada di luar pemerintah berhadapan dengan pihak yang

    ingin sebaliknya. Dalam kasus Golkar dan, dalam batas-batas tertentu, PPP, konflik yang ada

    diwarnai isu demokrasi internal. Namun yang mengejutkan adalah keberanian masing-masing

    kelompok melakukan manuver politik yang berujung pada dua versi munas dan perang klaim.

    Terlepas dari klaim ideologis dan dalih masing-masing pihak, motif kepentingan pragmatis

    antara pihak-pihak yang bertikai terasa mengemuka. Hal ini sesungguhnya mempertegas sajafenomena yang sama dengan pecahnya aneka parpol pada era Reformasi, yang bermuara

    pada terbentuknya aneka parpol baru. Apakah kasus pecahnya Golkar dan juga PPP dewasa

    ini juga akan berujung pada muara yang sama? Apakah akhir dari kisah konflik mereka

    adalah parpol-parpol baru? Jawabnya bisa ya, bisa juga tidak. Mengapa demikian? Sebab,

    baik Golkar maupun PPP masih punya peluang untuk melakukan rekonsiliasi.

    Bagaimana peluang rekonsiliasi Golkar? Karena pola konfliknya relatif bersifat elitis, peran

    para elite Golkar dari kedua kubu sangat menentukan. Rekonsiliasi Golkar merupakan

    sesuatu yang niscaya justru karena masing-masing elite dibayangi oleh kebesaran partainya.

    Karena itu, polazero sum gamemasih bisa dihindari. Kendalanya memang lebih besar.

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    20/26

    Ketika proses penyatuan kembali parpol dilakukan, konflik yang merebak telah berkembang

    begitu jauh dan melembaga.

    Namun kendala demikian masih bisa dirobohkan asalkan masing-masing pihak menurunkan

    ego politik dan posisi tawar masing-masing sembari berikhtiar mencari titik temu yangelegan. Karena politik terkait dengan konteks kekuasaan, rekonsiliasi nantinya juga tidak

    lepas dari rumus politik Harold D. Laswell, yakni "siapa mendapat apa dan bagaimana".

    Perspektif demikian tidak dapat dilepaskan, kecuali ada motif ideologis yang lebih besar

    ketimbang motif pragmatis yang mengemuka secara merata di kalangan elite yang bertikai.

    Motif ideologis pernah mengemuka pada masa berdirinya Sekretariat Bersama (Sekber)

    Golkar pada 20 Oktober 1964. Organisasi yang digerakkan oleh Angkatan Darat ini

    merupakan wadah bagi kelompok-kelompok anti-komunis. Pada era Orde Baru, unsur

    pragmatis mulai mengemuka, meski Golkar sekadar berposisi sebagaiparty of the ruleralias

    parpolnya penguasa, bukan the ruling partyatau parpol yang berkuasa. Pada masa Reformasi

    awal, ketika Akbar Tandjung menjadi pemimpin, motif mempertahankan eksistensi Golkar

    lebih dominan, meski setelah Munas Bali pada akhir 2004 motif pragmatis semakin besar

    hingga dewasa ini.

    Meski demikian, Golkar memiliki para sesepuh dan tokoh-tokoh senior yang berpotensi

    mempersatukan kembali elite-elite yang bertikai. Keberadaan mereka penting, mengingat

    partai ini berbeda dengan beberapa partai lainnya. Golkar memang bukan bercorak "partai

    dinasti", yang ditandai oleh sosok sentral yang kuat. Mereka harus turun gunung untuk

    mengupayakan terwujudnya Golkar bersatu. Namun inisiatif rekonsiliasi Golkar juga bisahadir dari kalangan muda. Misalnya, di lingkup kalangan muda, kedua kubu melebur dalam

    gerakan rekonsiliasi dan mendesak elite-elite yang bertikai untuk merekat kembali dalam satu

    Golkar milik semua.

    Karena sudah ada dua versi kepengurusan Golkar saat ini, dalam konteks rekonsiliasi, kedua

    belah pihak yang bertikai sebaiknya berikhtiar mendinginkan suasana. Konflik harus disikapi

    secara damai sehingga tidak terjadi lagi kekerasan fisik. Kesabaran para elite yang

    menginginkan rekonsiliasi dari kedua kubu memang diuji betul dalam konflik Golkar kali ini.

    Namun ikhtiar rekonsiliasi tetap ada batasnya. Rekonsiliasi bisa terwujud lebih cepat ataubersamaan dengan persiapan menjelang Pemilu 2019. Namun, kalau lebih dari itu, polazero

    sum game-lah yang terjadi. Walhasil, hal itu berarti mungkin akan ada parpol baru baik

    sebelum maupun sesudah 2019.

    Apa pun ujung dari perpecahan Golkar kali ini, semua pihak tetap harus dapat menarik

    pelajaran soal mengapa parpol bisa pecah dan betapa pentingnya parpol yang kuat. Golkar

    bisa kembali bersatu dan tetap menjadi parpol besar, atau memilih menjadi fosil. Semua itu

    bergantung pada para elitenya, terutama seberapa canggih mereka merekonsiliasi diri.*

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    21/26

    Takdir Golkar

    Kamis, 11 Desember 2014

    Geger Riyanto,Esais dan Peneliti di Purusha Research Cooperatives

    Bagi orang-orang yang terkejut oleh bentrok Golkar, seolah-olah tak sepantasnya terjadi, ada

    sebuah ungkapan lama dalam dunia politik kita: Golkar tak pernah tidak pecah. Sejarah partai

    berlambang beringin ini adalah halaman-halaman yang tak pernah absen dari perseteruan

    internal. Mengapa?

    Kita tak harus menjadi pakar politik untuk menyadari bahwa Demokrat berada di bawahbayang-bayang SBY. Kata-kata SBY adalah kata-kata partai. Apa yang dikehendaki SBY

    untuk Demokrat, terjadilah untuk Demokrat. Demikian juga dengan Gerindra dengan

    Prabowo sebagai figur sentralnya. Pun demikian PDIP dengan Mega sebagai sosok

    panutannya.

    Namun, hal yang sama tak bisa kita katakan untuk Golkar. Bila partai-partai di Indonesia

    menjadi besar berkat dikatrol oleh figur karismatik tertentu, Golkar bukanlah partai dalam

    pengertian yang lazim di Indonesia. Partai ini adalah mesin politik yang dalam rezim Orde

    Baru tak sebentar dimanfaatkan untuk membangun simbiosis dengan pemimpin kultural,

    ulama, jago, pengusaha, maupun warga awam setempat untuk mengamankan kekuasaan

    Soeharto.

    Dan Akbar Tandjung dalam bukunya pernah menyampaikan bahwa Golkar punya merit

    system yang memberi penghargaan setimpal kepada kader yang berdedikasi dan berprestasi.

    Sampai dengan pengertian tertentu, hal ini benar. Elite-elite lokal yang punya kapasitas

    memenangkan atau membesarkan Golkar, entah bagaimana caranya, akan memperoleh

    tempat yang dihormati dalam strukturnya. Dengan warna aliran atau ideologi yang kabur,

    hanya sistem yang apresiatif yang akan memastikan mesin partai bekerja.

    Berkat jejaring warisan ini, Golkar sejak Reformasi menikmati kedudukan sebagai partai

    yang perolehan suaranya paling ajek. PDIP boleh saja menguasai Pemilu 1999. Demokrat

    boleh saja memenangi Pemilu 2009. Tapi Golkar, yang sumber daya lokalnya bekerja tanpa

    terusik isu nasional, akan selalu membuntuti di urutan kedua atau menjadi yang pertama saat

    yang lain sedang tidak diuntungkan oleh situasi politik sesaat. Golkar, selaku sebuah mesin

    politik dalam pengertian yang sesungguhnya, tak mengenal apa yang disebut Anas

    "musimnya".

    Dengan usianya yang kini melampaui umur rezim-rezim yang membidani dan

    membesarkannya, jelas saja partai ini tak bisa dikatakan sebagai milik siapa-siapa. Yang

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    22/26

    terjadi, justru sebaliknya, para figur berebut menunggangi partai ini untuk membesarkan

    dirinya, memperluas aksesnya, mencapai tujuannya. Golkar tidak pernah kehilangan Akbar

    Tandjung, JK, saat sosok-sosok ini sudah tak menjabat. Sosok-sosok ini yang justru

    kehilangan tapakannya di ranah politik selepas masa jabatannya di partai berakhir. Sementara

    itu, apakah kita bisa membayangkan Demokrat selepas dipimpin SBY dan PDIP selepasdipimpin Megawati?

    Dan adalah hal yang sangat tidak mengherankan bila partai ini, saat ini, tengah menjadi

    medan pertikaian sengit pihak-pihak berkepentingan. Pertaruhan yang sudah disorongkan

    masing-masing pihak terlalu besar. Siapa pun yang berhasil meyakinkan bahwa partai

    Golkarnya sah, akan memperoleh seisi kue yang diharapkannya, dan yang lainnya, tersingkir-

    -sebagaimana yang sudah-sudah. Sebagaimana yang akan terus menjadi takdir partai ini. *

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    23/26

    Demokrasi dan Model Cina

    Kamis, 11 Desember 2014

    A. Dahana,Guru Besar Sinologi Universitas Bina Nusantara

    Dua dasawarsa pertama abad ke-21 adalah masa suram buat demokrasi. Ambil contoh di

    negeri-negeri yang mengklaim sudah memasuki era di mana kedaulatan rakyat menjadi

    kekuasaan tertinggi. Di sana demokrasi lebih cocok disebut democrazy--atas nama konsep

    itu, orang boleh bersikapsemau gue.

    Demokrasi juga berarti politik uang dan ideologi buat keuntungan pribadi atau kepentingangolongan. Karena itu, demokrasi yang mestinya dijalankan dengan adu argumentasi kini lebih

    merupakan konflik beraroma kekekerasan. Bahkan, di Amerika Serikat, negeri yang

    diagungkan sebagai kampiun demokrasi, Partai Demokrat dan Partai Republik saling piting

    dan saling blokir program. Telah berulang kali pemerintah harus ditutup lantaran rencana

    anggaran belanja diblokir oposisi, sehingga berbagai program kemaslahatan rakyat harus

    terhenti.

    Dalam situasi seperti itu, sekarang ini banyak yang menoleh ke "model Cina." Slogannya

    "Belajar dari Cina" (Xiang Zhongguo Xuexi). Inilah model sistem politik dan pemerintahan

    yang nyeleneh. Dulu, sudah jadi argumentasi yang tak bisa ditawar bahwa kemakmuran tak

    akan tercapai tanpa didampingi demokrasi.

    Karena itulah, begitu Uni Soviet bubar, Francis Fukuyama mengibarkan bendera kemenangan

    demokrasi dan kapitalisme. Ilmuwan sosial-politik Amerika itu kurang-lebih mengatakan

    kapitalisme plus demokrasi telah berjaya dalam perebutan pengaruh melawan sosialisme.

    Dan, karena itu, pencarian manusia atas aturan kehidupan telah berakhir.

    Namun, di Cina kita menyaksikan fenomena sebaliknya. Kesuksesan pembangunan ekonomi

    Cina malah diraih karena mereka menyandingkan dua ajaran yang menurut konsep lama takmungkin bersatu. Itulah otoritarianisme dan kapitalisme. Partai Komunis Cina (PKC) mampu

    menciptakan keamanan dan ketertiban--dua dari sekian banyak prasyarat bagi pembangunan

    ekonomi.

    Lalu, di bawah kebijakan baru itu muncullah slogan "sosialisme berkarakter Cina" (Zhongguo

    tese de shehuizhuyi) dan "ekonomi pasar dengan karakter Cina" (Zhongguo tese de shichang

    jingji). Di bawah sistem ekonomi yang diperkenalkan mendiang Deng Xiaoping itu, orang

    Cina didorong untukxiahai atau terjun ke lautan ekonomi dan bisnis. Itu dilakukan di bawah

    slogan lain: "menjadi kaya mulia" (zhifu guangrong) dan "sosialisme tak berarti kemiskinan"

    (pinqiong bu shi shehuizhuyi). Padahal, selama 1957-1980, Mao dan para pemujanya

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    24/26

    menganggap itu sebagai perbuatan haram.

    Sebagai akibat dari kebijakan baru itu, perekonomian Cina dalam 30 tahun terakhir ini terus

    berkembang dengan angka pertumbuhan rata-rata di atas 7 persen per tahun. Hasilnya, Cina

    telah berubah dari sebuah negara Dunia Ketiga menjadi raksasa ekonomi global, nomor duasetelah Amerika. Bahkan, diperkirakan paling lambat menjelang 2050, negara ini akan

    melampaui Amerika dan akan menjadi satu-satunya negara adikuasa di bidang ekonomi,

    politik, dan militer. Apakah resep kesuksesan pembangunan yang begitu besar itu?

    Jawabannya bisa macam-macam. Tetapi faktor-faktor inilah yang barangkali bisa

    dikemukakan. Ada argumen bahwa PKC telah berkuasa di daratan Cina lebih dari 65 tahun.

    Partai ini telah berakar kuat dan dalam di segala lapisan masyarakat dan birokrasi. Partai ini

    juga tak pernah memberi peluang kepada adanya kekuatan sosial dan politik yang pada suatu

    saat punya kekuatan buat menyainginya. Pembantaian Tiananmen 1989 dan peristiwa Fa Lun

    Gong pada 1990-an adalah contoh tentang PKC yang tak memberi peluang kepada perbedaan

    pendapat.

    Contoh mutakhir adalah peristiwa yang sedang berlangsung di Hong Kong sekarang.

    Pemerintah bekas jajahan Inggris itu ditekan untuk tak toleran terhadap para pendemo

    Revolusi Payung yang menuntut pemilihan bebas buat menunjuk seorang pemimpin

    eksekutif. Sebab, sekali pendemo Hong Kong itu diberi hati, gemanya akan terasa di Cina

    sendiri, Makau, dan Taiwan. Namun, di sisi lain, PKC cukup fleksibel. Ketika Deng

    mengubah pedoman PKC dari "politik sebagai panglima" ke "ekonomi sebagai panglima,"

    hal itu berlangsung tanpa banyak krisis.

    PKC tak akan kekurangan pemimpin, lantaran kaderisasi berjalan dengan sangat menuruti

    aturan. Itu didukung oleh fakta bahwa Cina merupakan sebuah negara yang penduduknya

    homogen. Dari sekitar 1,4 miliar manusia, posisi mayoritas, atau 93 persen, dipegang suku

    Han. Sisanya terdiri atas berbagai suku minoritas yang jumlahnya maksimum 7 persen.

    Karena itu, menurut argumentasi ini, relatif mudah bagi PKC untuk melakukan rekayasa

    sosial. Memang ada masalah dengan suku Tibet yang Buddhis dan orang Xinjiang yang

    muslim. Namun, karena jumlahnya minim, relatif mudah bagi pemerintah Cina untuk

    mematahkan segala perlawanan kedua suku militan itu.

    Jurus yang dipakai antara lain dengan memberi cap kepada para pembangkang sebagai "kaum

    separatis." Hasilnya, mereka tak banyak mendapat dukungan masyarakat internasional. Usaha

    lain untuk mematahkan oposisi kaum minoritas itu adalah dengan migrasi suku Han ke

    wilayah-wilayah yang dihuni mereka. Hal itu dikombinasikan dengan asimilasi. *

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    25/26

    Tragedi Miras Oplosan

    SABTU, 13 DESEMBER 2014

    J. Sumardianta, Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta

    Sebanyak 36 orang mati konyol di Garut, Sumedang, dan Purwakarta, Jawa Barat akibat

    menenggak minuman keras (miras) oplosan. Bencana miras sebelumnya juga merajalela di

    Yogyakarta, Solo, Semarang, Medan, dan Manado.

    Keterpurukan menuju alkoholisme murahan cenderung semakin menerpa kalangan

    masyarakat miskin di pedesaan ataupun perkotaan. Fenomena miras merupakan fatalisme

    (hampa norma) dan nihilisme (ketiadaan makna). Fatalisme pecandu miras sama absurdnya

    dengan perilaku lanun seorang lelaki yang membunuh pacarnya saat bercinta di Denpasar,Bali. Ada juga nihilisme seorang lelaki muda di Jakarta yang melacurkan pacarnya demi

    membayar cicilan sepeda motor.

    Bencana miras murahan Indonesia hanya bisa ditandingi oleh bencana bangladi India.

    Bangla dijajakan di warung-warung di perkampungan kumuh serta dibuat dari limbah sayur

    dan buah-buahan yang dipulung dari tempat pembuangan sampah akhir, semacam TPA

    Bantar Gebang, Bekasi.Bangladifermentasi dalam tong dengan campuran segala macam

    bangkai hewan. Miras ini menjadi pelarian bagi kaum urban miskin buat membasuh

    penderitaan sosial-ekonomi mereka.

    Masyarakat Eropa tidak mengenal istilah miras. Mereka menyebut minuman beralkohol

    dengan istilahspiritatausurvival kit, semangat atau peranti untuk bertahan hidup. Ada

    beragam spirit yang mengandung alkohol dengan kadar 15-40 persen dijualbelikan di wine

    and spirit shop, dari yang paling mahal sampai termurah. Kadar alkoholnya bisa diurut dari

    yang tertinggi sampai terendah, yakni brendi, cognac, wiski, vodka, liquer, wine, sampanye,

    serta bir.

    Masyarakat kalangan bawah di kota ataupun desa di Indonesia menjadikan miras sebagai

    bagian dari strategi adaptasi untuk tetap bertahan hidup. Miras, seperti halnya judi dan

    prostitusi murahan, merupakan strategi orang susah agar bisa berdamai dengan penderitaan

    dan menerima kemiskinan. Miras--meminjam ungkapan antropolog James Scott--menjadi

    semacam weapon of the weakatau senjata terakhir bagi orang yang kalah.

    Ini berbeda dengan orang Eropa, Amerika, Kanada, atau Australia yang mengkonsumsi

    berbagai jenisspiritdalam rangka beradaptasi dengan lingkungan alam yang ganas pada

    musim dingin. Darah orang Rusia, yang dipaksa hidup pada suhu minus 50 derajat Celsius,

    bakal beku bila tidak mengkonsumsi vodka.

    Kultur bangsa barat tidak bisa lepas dari alkohol. Di meja hidangan mereka bahkan selalutersedia dua jenis anggur sebagai penjemput selera makan. Anggur merah buat pembuka

  • 8/10/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 7.12.2014-13.12.2014

    26/26

    santapan dengan menu daging ayam, kambing, dan sapi. Anggur putih untuk pendamping

    hidangan laut. Alkohol dalam kadar moderat menyehatkan jiwa dan raga.

    Kepala Polda Jawa Barat merasa malu ditegur Kepala Polri karena di wilayahnya berjatuhan

    korban miras oplosan. Di Kabupaten Garut sampai ada deklarasi anti-miras. Secara

    substansial, miras merupakan strategi kaum miskin dalam bertahan hidup. Ia tidak bisa

    diperangi dengan gerakan deklarasi artifisial yang hanya menyelesaikan persoalan permukaan

    sesaat.

    Wabah madat seolah selesai sudah dengan sendirinya setelah didramatisasi oleh aparat.

    Diakui ataupun tidak, gawat darurat miras juga tidak mempan diatasi lewat deklarasi atau

    atraksi pertunjukan menggilas ribuan botol sitaan dengan kendaraan berat di halaman Markas

    Polres.*