caping+cari angin+kolom tempo 6.2.2014-15.2.2014

Upload: ekho109

Post on 04-Jun-2018

246 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    1/64

    Douch

    Senin, 10 Februari 2014

    Apa yang dapat dikatakan tentang seorang algojo?

    Sudah kita saksikan Anwar Congo dalam film dokumenter The Act of Killing Joshua

    Oppenheimer: preman Medan yang dengan bangga mengaku telah membantai banyak orang

    "komunis" di pertengahan 1960-an, tapi di adegan terakhir hampir sepenuhnya diam, hanya

    batuknya yang terdengar di rumah bekas tempat pembunuhan itu, hanya tubuh tuanya yang

    lelah menuruni tangga.

    Ketika film berakhir, tak ada cerita tentang apa yang terjadi dengan Anwar Congo di saat itu,

    setelah itu. Akhirnya manusia tak bisa lengkap didokumentasikan, pikir saya. Anwar Congo

    tak hanya satu.

    Mungkin begitu juga Douch. Nama sebenarnya Kang Kek Iew. Dalam sejarah Kamboja yang

    berlumuran darah selama dasawarsa 1970-an, ia pejabat Khmer Merah yang memimpin

    Penjara Tuol Sleng, yang juga disebut "S-21". Ia tokoh kebengisan yang tak kalah

    mengerikan.

    Selama empat tahun Partai Komunis berkuasa di Kamboja, ribuan disekap di tempat yangberarti "bukit pohon beracun" itu.

    Douch, direktur "S-21" sejak 1975, adalah sang pencabut nyawa. Ketika Khmer Merah kalah

    dan ia ditangkap dan diadili, bukti-bukti ditunjukkan: ada perintah tertulisnya, misalnya,

    untuk "menghantam sampai hancur" 17 tahanan (8 pemuda belasan tahun dan 9 anak-anak).

    Dalam daftar 20 tahanan perempuan ia menulis instruksi di bawah tiap nama: "bawa untuk

    dieksekusi"; "terus diinterogasi"; "untuk eksperimen medis".

    Douch juga mengakui: anak buahnya merenggutkan bayi dari ibu mereka dan membenturkan

    kepala orok itu ke pohon, sampai mati.

    Dari sekitar 17 ribu tahanan, hanya tujuh yang hidup.

    Pejabat yang dulu seorang guru matematika ini orang yang teliti tampaknya. Hampir tiap

    korban dicatat dan dipotret. Ketika Khmer Merah meninggalkan Phnom Penh, lari dari

    pasukan Vietnam yang masuk dan membentuk pemerintahan sosialis baru, Douch tak sempat

    membakar dokumentasi itu-dan itu yang menjeratnya.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    2/64

    Mengapakah kekejaman itu harus direkam? Ekspresi sadisme seorang jagal? Atau bagian

    desain masa depan yang diperkirakan akan perlu bukti pembantaian itu-masa depan yang

    akan membenarkannya?

    Douch percaya, itulah yang akan terjadi: masa depan akan membenarkannya. Baginya,

    kekejaman tak terelakkan untuk menggerakkan sejarah. Bukankah revolusi Prancis

    "memenggal beratus-ratus kepala"? "Tak peduli besarnya korban," kata Douch, "yang penting

    adalah keagungan tujuan itu sendiri."

    Ia katakan semua itu di suatu malam, di sebuah sudut hutan, di depan orang yang

    ditangkapnya dengan tuduhan "mata-mata CIA": Franois Bizot.

    Bizot, antropolog muda dari Prancis, sedang mempelajari Buddhisme di pedalaman Kamboja.

    Itu tahun 1971: bukan periode yang aman bagi siapa pun. Kelompok komunis lokal, "Khmer

    Merah", baru bangkit, dan makin kuat justru karena pengeboman Amerika. Berada di sekitarAngkor Wat yang mereka kuasai, Bizot ditangkap. Ia dirantai di sebuah kamp tahanan kecil

    di hutan.

    Dua temannya, orang Kamboja, juga ditangkap (dan kemudian dibunuh). Bizot dibiarkan

    hidup. Bahkan akhirnya setelah tiga bulan disekap, ia dibebaskan. Sekitar 30 tahun kemudian,

    setelah lama diam, ia menulis buku tentang pengalamannya itu, Le Portail-sebuah buku yang

    ditulisnya dengan "kepahitan yang tak terhingga".

    "Kepahitan" agaknya bukan datang dari Douch. Orang yang ia sebut "penyiksa" ini

    membiarkan Bizot mandi di sungai dan berjalan-jalan di sekitar kamp. Bizot bisa berbahasa

    Khmer, Douch berbahasa Prancis. Berangsur-angsur, ada semacam kecocokan di antara

    mereka berdua.

    Di malam menjelang Bizot dibebaskan, Douch membuat pesta: pidato, lagu-lagu, dan

    jamuan, dengan 13 ekor ayam dipotong. Dan sampai fajar merekah, si tahanan dan si algojo

    duduk bercakap-cakap di depan api unggun yang pelan-pelan padam.

    Apa yang bisa dikatakan tentang Douch? Ia lelaki yang amat yakin tentang masa depan dan

    pada umur 29 tahun bersiap jadi pembunuh. Tapi Douch juga yang mempertaruhkannyawanya sendiri ketika ia mengusulkan kepada para atasannya yang bertangan besi agar

    Bizot dibebaskan.

    Ketika kemudian Douch tertangkap dan dibawa ke depan mahkamah, ada pertanyaan:

    maukah Bizot bersaksi? Kepada koran Libration ia menjawab "ya, jika pihak penuntut

    memintanya, ya, jika pihak pembela memintanya".

    Sikap yang mendua, tentu. Sebab baginya, jagal di Kamp "S-21" itu tokoh yang tragis,

    "seorang anak yang memberanikan diri hidup di antara serigala". Agar hidup terus, "ia

    minum susu mereka, dan belajar melolong seperti mereka". Sejak itu, Teror berkuasa dan"membujuknya untuk memakai wajah moralitas dan ketertiban".

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    3/64

    "Moralitas" berarti keyakinan komunis yang murni semurni-murninya, "ketertiban"

    membasmi apa saja yang dianggap cacat. Douch hidup dengan ekologi kekerasan sejarah

    modern Kamboja: kolonialisme, Perang Dingin, intervensi Amerika dengan

    bombardemennya, Perang Vietnam, Revolusi Kebudayaan Cina, kebrutalan penguasa, dan

    kesengsaraan di pedalaman.

    Dari semua itu lahir niat dengan ideologi untuk mengubah dunia, dengan iman yang mutlak

    dan menggelegak. Dunia pun dibelah: ada yang "lama" dan yang "baru", "patriot" dan

    "pengkhianat", "proletar" dan "borjuis". Sejarah adalah cerita dua kubu yang saling

    menghantam untuk jadi Merah atau Hitam.

    Dengan pandangan itu, seorang Douch tak akan tertegun bila sadar bahwa selama

    pemerintahan Khmer Rouge sekitar dua juta orang Kamboja dibunuh. Dan kita pun akan

    ingat semua kebengisan sejak 1914 dan kata-kata Elias Canetti: "It is a mark of fundamental

    human decency to feel ashamed of living in the 20th century."

    Agaknya itulah dasar "kepahitan yang tak terhingga" yang mengiringi Bizot menulis.

    Goenawan Mohamad

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    4/64

    Saksi

    Sabtu, 08 Februari 2014

    Putu Setia

    Polemik soal saksi partai dengan dana negara merangsang saya untuk mewawancarai saksi

    partai di kampung. Astaga, orang itu sok nyentrik, hanya mau menjawab pertanyaan saya

    secara tertulis. "Nanti saya buat pengakuan bergaya puisi esai," katanya. Saya tertawa. Seharikemudian, saya terima pengakuan berikut ini.

    Namaku Pardanem, bukan nama asli. Pekerjaan tukang sortir kopi luak di lereng Batukaru

    yang dingin. Kemiskinan menyebabkan aku tak bisa meneruskan sekolah. Syukur aku lancar

    berbahasa Melayu dan badan gempal, aku sudah dua kali menjadi saksi partai politik saat

    pemilu. Nanti pun dipakai lagi. Pardanem namaku, nama jelek tapi ada artinya. Pemilu harus

    menambah rezeki. Aku tak peduli apakah saksi partai dibayar lagi oleh pemerintah. Kusebut

    lagi, karena yang membayari aku sudah ada. Pimpinan partai di kecamatan mengupah aku Rp

    150 ribu. Ini pemilu 2009, nanti bisa lebih.

    Rezeki sampingan tentu ada. Seperti pemilu yang lalu, aku dekati caleg nomor urut satu.

    Kukatakan, pemilih tua di kampung repot mencoblos nomor urut. Mereka tak mau ribet,

    hanya coblos gambar partai. "Mau beri uang saksi berapa supaya coblosan itu sah dan masuk

    ke nomor satu?" kataku. Caleg itu memberiku uang Rp 50 ribu sambil membentak:

    "Peraturan memang begitu, kamu kerja yang benar." Dan aku, Pardanem, bukan orang yang

    mudah dibentak. Kubentak balik dia: "Kerjaku seharian. Kalau aku ngantuk, saksi lain bisa

    bermain." Lalu uang yang kuterima ditambah.

    Aku tak peduli hasil pemilu, tak ada pengaruhnya buat kehidupan di kampungku. Jangan

    dikira perhitungan suara dilakukan serius seperti di kota. Kami semua bercanda, kami dari

    kampung yang sama. Masyarakat yang menyaksikan juga tak ada. Mereka datang ke tempat

    pemungutan suara saja sudah syukur, menggemukkan kambing lebih penting dari melihat

    hasil pemilu. Maka, diam-diam kudekati lagi caleg nomor urut dua, atau tiga, atau seterusnya,

    tergantung yang bisa dibohongi. Ah, para caleg itu kan pembohong juga.

    "Memangnya, kalau yang dicoblos gambar partai saja, kamu bisa alihkan ke nomorku?"

    Tanya caleg itu. Aku tertawa, ini akting, aku kan pemain drama gong. "Itu sepele. Yang

    penting ada sangu," kataku. Caleg itu memberiku uang dan janji kalau terpilih akan memberi

    hadiah. Uang kuterima, janji tak pernah kuingat: mana ada caleg memenuhi janjinya?

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    5/64

    Namaku Pardanem, artinya berakal banyak. Yang tadi itu kan caleg untuk DPR, belum lagi

    DPRD provinsi dan DPRD kabupaten. Yang ini todonganku lebih besar, kan calonnya ada

    banyak. Orang di kampungku, kalau mencoblos caleg nomor empat dan seterusnya, mengaku

    malas menghitung baris-baris. Aku berjanji akan membantu caleg di nomor urut susah, dari

    lima ke atas. Janji gombalku dalam praktek berhasil meraup uang.

    Yang masalah, calon Dewan Perwakilan Daerah. Yang dicoblos gambar orangnya. Pemilu ini

    di Bali ada 41 calon, bingung orang desa memilih. Mereka itu hantu, balihonya ada di desa,

    orangnya tak pernah muncul. Di antaranya, sepuluh lebih orang Bali tinggal di Jakarta. Dia

    bisa ditodong juga, asal aku berhasil mencari kontaknya.

    Apakah kutak-katik surat suara ini akan ketahuan, kalau kami bermain? Sekali lagi

    kuberitahu, petugas di tempat pemungutan suara itu orang-orang kampung yang baik. Mereka

    tahu pemilu harus dimanfaatkan untuk mencari uang. Toh para caleg semuanya mencari

    rezeki, gombal besar kalau mereka berjuang untuk rakyat. Kalau pemilu mau serius, kamipun bisa. Tapi, wakil rakyat yang terpilih, serius juga dong memikirkan nasib kami. Aku,

    Pardanem, jangan dikira orang tolol.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    6/64

    Garis Nasib

    Jum'at, 07 Februari 2014

    Idrus F. Shahab, [email protected]

    Seolah-olah menepati janjinya tahun lalu, banjir kembali menggenangi Ibu Kota. Di

    rumahnya, Wak Lihun terduduk di bangku panjang, menyaksikan benda-benda asing itu-

    sandal jepit tipis, botol susu bayi, sepasang kaus kaki hitam, dompet laki-laki, serta cakrampadat Lady Gaga dan H Rhoma Irama-berenang di air tak harum itu.

    Beberapa jam yang lalu, benda-benda itu mungkin milik seorang janda beranak banyak di

    Bogor sana, atau seorang pensiunan pegawai negeri yang tinggal di perumahan bank yang

    masih satu kelurahan dengan rumahnya.

    Setiap benda mewakili satu keluarga, dan masing-masing keluarga menyimpan potongan

    biografi, cerita manusia, yang selalu menarik. Namun Wak Lihun tak peduli. Dengan

    matanya yang lelah, kini ia menatap pantulan wajahnya yang kusut pada genangan air cokelat

    dan kotor itu.

    Seperti ada yang menggiring, perlahan pandangan matanya bergerak ke sebuah sudut di mana

    sebuah album foto keluarga tampak timbul-tenggelam di air berlumpur itu. Ia melupakan rasa

    letihnya, dan sejurus kemudian album itu pun sudah berada di tangannya. Wak Lihun

    terpesona menatap foto dirinya pada 1955: seorang anak berumur 6 tahun yang bangga akan

    seragam dokter kecil dengan stetoskop mini di lehernya.

    Seumur-umur ia akhirnya tidak pernah menyandang gelar dokter, tapi ia cepat

    menyimpulkan: seperti para tetanggaku yang bermimpi jadi tentara, cita-cita cukup menjadihiasan dalam hidup, tak perlu menjadi kenyataan. Wak Lihun menyebutnya garis hidup, tapi

    orang lain mengatakan faktor ekonomilah yang menggagalkannya merengkuh cita-cita.

    Menahan berat album, tangan Wak Lihun yang keriput itu bergetar keras, tapi ia tak hendak

    berhenti. Album foto itu seperti sebuah harapan bahwa satu momen akan diikuti momen lain,

    satu babak diikuti babak lain, seperti rangkaian gerbong kereta kehidupan yang tidak berhenti

    di satu titik-kecuali jika kematian muncul, membubuhkan tanda titik terakhir.

    Album juga menyimpan semacam peringatan bahwa kejadian-kejadian yang tragis,

    menyedihkan, dan traumatik itu telah berlalu dan tak akan muncul kembali. Album memang

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    7/64

    tak sama dengan film dokumentasi. Sebuah album akan lebih menenangkan ketimbang

    mengguncang. Mungkin inilah keajaiban sang waktu.

    Sejak 1955, sudah sepuluh pemilihan umum dilalui Wak Lihun, dari pemerintahan Bung

    Karno yang senantiasa gegap-gempita, Soeharto yang selalu membenci demokrasi yang"berisik", kemudian berturut-turut Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga yang terakhir, Susilo

    Bambang Yudhoyono, Wak Lihun menjalani hidupnya yang tak kunjung berubah. Mungkin

    perubahan yang dialaminya cuma satu: dulu bapak dan engkong menarik oplet milik seorang

    pria keturunan, kini ia menarik mikrolet milik seorang lelaki pribumi.

    Wak Lihun punya banyak alasan untuk tak menyumpahi hidup ini. Ia memang tak pernah jadi

    dokter, tapi ia cukup bangga pernah bekerja sebagai sopir pribadi seorang dokter umum yang

    membuka praktek di dekat rumahnya. Dan ia tidak pernah lupa, untuk sementara waktu bisa

    menikmati ongkos pengobatan dan obat gratis dari sang dokter.

    Wak Lihun tidak percaya pemilihan umum akan mengubah garis nasibnya. Namun ia jarang

    mengatakan kepada orang lain bahwa ia selalu berdoa agar nasib anak-anaknya lebih baik

    daripada nasibnya.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    8/64

    Indonesia tanpa Tawa

    Kamis, 06 Februari 2014

    Bandung Mawardi, Penulis

    Hari-hari menjelang 9 April 2014, orang-orang di jagat politik Indonesia mengalami

    ketegangan, frustrasi, dan depresi. Situasi politik muram dan serius, menjelaskan ada gejala-

    gejala "sakit" dan "sengsara". Berpolitik dipahami mengkonstruksi negara-bangsa dengankesantunan, formalitas, ketertiban, dan kepatuhan. Politik hampir diserupakan dengan ibadah,

    menggunakan tata cara ketat dan berdalil "kewajiban".

    Bahasa dan aksi politik di Indonesia semakin mengelak dari tawa atau penghiburan. Urusan

    itu diserahkan ke artis-artis di pelbagai acara tak bermutu di televisi. Situasi di televisi tak

    bakal bisa memberi kontribusi guna mengubah politik di Indonesia agar bergelimang tawa,

    tapi beradab dan manusiawi. Politik tetap merupakan salinan dari halaman-halaman

    kepustakaan: resmi dan kaku.

    Kelik M. Nugroho (Koran Tempo, 6 Januari 2013) menganggap politik memerlukan humor.

    Apakah makna humor bagi politik? Humor politik diakui bernilai ketimbang pesan-pesan

    politik secara langsung atau vulgar. Berpolitik tanpa tawa bisa membuat Indonesia merana

    sepanjang masa. Ingat humor politik, ingat Gus Dur. Dulu, Gus Dur adalah kolumnis,

    intelektual, dan ulama dengan selera humor. Omongan tentang politik, ekonomi, pendidikan,

    seni, dan agama yang sering mengandung sindiran dan kritik, disampaikan dengan humor.

    Gus Dur, saat menjadi presiden, tak melupakan humor politik. Kita pun jadi "terhibur" meski

    mengalami dilema dan polemik politik. Gus Dur jadi representasi tandingan dari "politik-

    resmi" dan "politik-tertib". Ingat, Gus Dur pernah membuat pengantar untuk penerbitan buku

    Mati Ketawa ala Rusia. Peran itu justru berbalik ke Gus Dur. Orang-orang pun membuatsebutan: "mati ketawa ala Gus Dur". Warisan terbesar Gus Dur adalah humor politik? Siapa

    menjadi ahli waris?

    Sejarah kekuasaan pada masa Orde Baru pernah bernuansa humor oleh omongan dan ulah

    Gus Dur. Masa itu berlalu. Sekarang, penguasa sulit merangsang tawa dan penghiburan,

    memilih pamer pidato serius, lagu, dan puisi. Para politikus juga sering pamer omongan klise,

    berlagak menampilkan diri secara cerdas dan berwibawa. Para pimpinan partai politik sibuk

    muncul di iklan-iklan politik, menebar pesan tanpa tawa. Kehidupan berpolitik, sejak

    keruntuhan Orde Baru, mengalami "kesengsaraan". Politik tanpa tawa tentu takmencerdaskan.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    9/64

    Ingat Orde Baru, ingat majalah-majalah humor pada masa lalu. Hidup pada masa Orde Baru

    dengan penguasa sangar tetap bisa dinikmati dengan tawa sepanjang hari. Sekarang, koran

    dan majalah selalu berisi berita-berita panas dan menggugah emosi. Kita jarang menemukan

    ada ajakan menghibur diri dalam situasi politik tegang. Tawa hampir hilang.

    Tahun 2014 bakal menjadi "tahun politik membosankan" jika tak ada humor. Bahasa dan aksi

    politik selalu bernalar picisan, abai penghiburan cerdas. Kita tentu mengerti bahwa partai

    politik tak membuat acara pembekalan caleg dengan materi humor. Mereka memilih

    membuat paket-paket acara politik, menghadirkan pakar dan konsultan politik. Para capres

    juga tak berkehendak menghibur publik. Mereka memilih menampilkan keperlentean,

    kewibawaan, dan kegagahan. Kita merasa salah zaman, merindu masa lalu saat humor adalah

    ekspresi berpolitik, mengandung kebajikan dan hiburan. Oh Indonesia, negeri serius tanpa

    tawa.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    10/64

    Humor Politik

    Senin, 06 Januari 2014

    Kelik M. Nugroho, @KelikMNugroho

    Humor politik menemukan lahan baru untuk berkecambah di media sosial Twitter. Sebuah

    koran nasional berkomentar dalam rubrik Pojok, kurang-lebih begini: Mendagri berencana

    melantik Hambith Bintih (bupati terpilih) di rumah tahanan di Jakarta. Di media sosial,Mendagri disebut Menteri Dagelan RI. Humor ini dikutip dari media sosial-salah satunya

    Twitter.

    Memang, Twitter adalah media digital yang canggih, yang memungkinkan orang

    mengekspresikan pendapat apa saja, termasuk humor politik, secara bebas dan berefek seluas

    jumlah pengikutnya, ditambah pengikut yang mengirim ulang kicauan. Twitter juga media

    komunikasi yang bersifat egaliter-siapa saja dengan ragam status sosial bisa saling

    berinteraksi. Sifat egaliter inilah yang menjadikan humor politik seperti menemukan

    panggungnya.

    Contoh humor politik dari orang kebanyakan adalah kicauan orang berakun @yozeroo: Satu

    lagi produk asli indonesia farhatabbaslaw :)) #HumorPolitik. Humor ini menyindir tingkah

    laku pengacara Farhat Abbas yang sering membuat sensasi. Contoh lain datang dari akun

    @candatawacom: Partai SRI gagal lolos verifikasi, Srimulyani dikabarkan frustrasi dan

    berniat masuk Srimulat! #humorpolitik. Humor ini mencandai nasib partai yang mendukung

    mantan menteri Sri Mulyani.

    Kita juga bisa menemukan humor-humor politik yang dilontarkan langsung oleh pejabat

    tinggi dan pesohor-fenomena baru berkat Twitter. Contoh kicauan komedian ButetKartaredjasa via akun @masbutet: Yang paling menarik usulan Susilo Gandrik untuk

    koruptor, "dihukum gantung 5 tahun lamanya". #mbathang.

    Salah satu menteri yang aktif di jagat Twitter adalah Dahlan Iskan. Pola komunikasinya

    egaliter dan apa adanya, sehingga sering tampak melucu. Lihat saja kicauan via akun

    @iskan_dahlan ini: Asyiiiik, siapa lagi yang mau daftar jadi calo? Cepetan daftar hahaha .

    Kicauan ini menanggapi kicauan akun @TrioMacan2000: calo pemeras di BUMN itu antara

    lain:.

    Humor politik yang saya contohkan tersebut merupakan sebagian dari kicauan yang

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    11/64

    berseliweran di linimasa akun Twitter saya sepanjang 2013. Berkat teknologi yang disediakan

    Twitter, saya mampu menyimpan kicauan yang berisi humor politik yang mampir di linimasa

    melalui menu Favorite-yang kebetulan saya baca di sela-sela kemacetan Jakarta, ketika

    nongkrong di kafe-kafe mal, atau ketika malam menjelang tidur. Sayangnya, belum banyak

    orang yang berkicau dengan tagar (tanda tematik) #HumorPolitik. Ketika saya mencari dijagad Twitter dengan tagar ini, hanya muncul 50 kicauan.

    Humor politik, menurut saya, lebih bernilai daripada pesan-pesan politik yang langsung atau

    kadang bahkan disertai makian. Humor politik terasa lebih bergaya, berselera, dan cerdas

    dibanding pesan-pesan politik yang vulgar. Apalagi di Twitter tak ada sensor.

    Dengan humor, kita dapat memberikan suatu wawasan yang arif sambil tampil menghibur.

    Humor dapat pula menyampaikan siratan menyindir atau suatu kritik bernuansa tawa. Humor

    juga dapat menjadi sarana persuasi untuk mempermudah masuknya informasi atau pesan

    yang ingin disampaikan sebagai sesuatu yang serius dan formal (Dick Gauter via Didiek

    Rahmanadji).

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    12/64

    Mereka Bukan SyuhadaOleh: Kelik M. Nugroho, wartawan Tempo

    Sumber: Koran Tempo, 11 November 2008

    Ribuan orang menyambut keranda jenazah Amrozi, terpidana mati yang telah dieksekusi

    karena kasus Bom Bali I, di sebuah pekuburan di Lamongan dengan teriakan takbir, atau

    uluran tangan yang membopong keranda, atawa ekspresi tubuh yang bergetar. Peristiwa itu

    tentulah bisa disaksikan manusia sedunia melalui layar kaca atau video YouTube ruang

    mayantara. Mereka yang tak mengerti psikologi umat niscaya geleng-geleng kepala

    menyaksikan emosi massa yang tumpah dalam halaman takziah. Bagaimana bisa jenazah

    teroris menyihir ribuan orang untuk bertakziah dan menyambutnya bagai seorang tokoh

    agama, semacam Kiai Ahmad Sidiq dari Jember, yang memang layak dimuliakan.

    Amrozi, Ali Gufron, dan Imam Samudra, trio pelaku Bom Bali I, wajarlah bila berpendapat

    bahwa tindakan mereka mengebom Sari Club di wilayah Kuta, Denpasar, yang menewaskan

    ratusan orang (termasuk muslim), sebagai tindakan jihad. Wajar jika mereka mengajukanalasan-alasan teologis untuk membenarkan tindakan mereka karena mereka membela diri di

    depan dakwaan melakukan tindakan pidana yang membuat mereka akan dieksekusi dengan

    tembakan mati. Namun, bagaimana dengan mereka yang tak tersangkut-paut dengan

    kepentingan itu, mengapa mereka membenarkan tindakan pembunuhan ratusan orang yang

    tak punya sangkut-paut dengan permusuhan dengan apa pun dan dengan siapa pun?

    Memang, kerumunan ribuan orang yang melayat penguburan jenazah Amrozi, Ali Gufron,

    dan Imam Samudra tentu tidak dalam maqam (koordinat) sentimen keagamaan yang sama.

    Seperti kata Profesor Azyumardi Azra, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, di

    televisi bahwa ribuan orang tersebut tak bisa disamaratakan sebagai pendukung Amrozi dan

    kawan-kawan secara ideologis. Di antara mereka mungkin ada yang sekadar memiliki

    kedekatan sebagai tetangga, teman, kenalan, atau sekadar tinggal dekat. Atau mungkin

    banyak yang terpiuh oleh berita-berita televisi tentang para pelaku Bom Bali I yang

    ditayangkan secara massif. Atau mungkin motif lain yang beragam.

    Namun, harus diakui bahwa banyak di antara para pentakziah itu yang menyambut jenazah

    trio pelaku Bom Bali I layaknya martir suci yang tewas. Bahkan Ustad Abubakar Baasyir,

    mantan Amir Majelis Mujahidin Indonesia, sebuah kelompok Islam pendukung penerapan

    syariat sebagai ideologi, berani menyatakan bahwa kematian Amrozi dan kawan-kawansebagai mati syahid. Mati syahid adalah prestasi positif bagi pejuang Islam yang wafat di

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    13/64

    medan perang. Sementara itu, Ustad Abu, seperti diketahui, pernah dikait-kaitkan sebagai

    bagian dari konspirasi terorisme di Indonesia.

    Mata sebagian penduduk dunia niscaya menyaksikan peristiwa eksekusi trio pelaku Bom Bali

    I sebagai peristiwa penting karena para korban dari berbagai negara, sedangkan masalah

    terorisme berlatar radikalisme agama sedang menjadi sorotan dunia pascapenyerangan

    gedung kembar Word Trade Center, New York. Mata sebagian penduduk dunia tentu akan

    merasa lega setelah hukum positif berupa eksekusi mati terhadap trio pelaku Bom Bali I

    dilaksanakan. Terlepas dari keberatan sejumlah aktivis hak asasi manusia atas pelaksanaan

    hukuman mati, pesan kepada dunia telah disampaikan: terorisme tak mendapat tempat di

    Indonesia.

    Adanya histeria pendukung Amrozi secara ideologis adalah sebuah pertanda. Pertama,

    sebagian muslim di Indonesia belum bisa membedakan antara sebuah tindakan dikategorikan

    pembunuhan dan bukan. Kedua, telah terjadi kerancuan logika dalam beragama karenadomain teologi bertabrakan dengan domain sosial. Ketiga, di kalangan muslim muncul

    kecenderungan cara-cara Machevialistis (tujuan menghalalkan cara), padahal dalam ushul

    fiqih Islam diajarkan bahwa tujuan tak bisa menghalalkan segala cara.

    Kerancuan dalam cara memandang tindakan peledakan Bom Bali I ini tentu menyisakan

    ancaman bagi dunia bahwa ternyata sebagian muslim masih menganut nilai-nilai yang

    berbahaya bagi pergaulan kemanusiaan. Kalangan ulama mestinya bertanggung jawab

    mengajarkan kepada umat Islam bahwa pengeboman di Bali itu merupakan tindakan

    terorisme dan tak bisa dikategorikan jihad karena dilakukan di Indonesia yang bukan wilayah

    perang.

    Majelis Ulama Indonesia pada 2003 memang pernah mengeluarkan fatwa yang

    mengharamkan terorisme. Dalam banyak kesempatan Kiai Maruf Amin, Ketua Dewan

    Fatwa Majelis Ulama Indonesia menyatakan, karena Indonesia bukan wilayah perang,

    terorisme merupakan perbuatan haram. Fatwa itu jelas dan eksplisit. Toh, fatwa MUI ini

    tampaknya kalah populer dibanding pernyataan-pernyataan Imam Amrozi, Ali Gufron, dan

    Imam Samudra di televisi, seperti terbukti dengan banyaknya pelayat yang menyambut

    jenazah mereka dengan takbir. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah membentuk tim sosialisasi

    pemahaman jihad, yang salah satunya melibatkan cendekiawan Komaruddin Hidayat, yangsekarang menjabat Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta. Tim ini lama tidak terdengar

    programnya. Apakah masih aktif?

    Pemandangan histeria dalam upacara penguburan jenazah Amrozi dkk harus menjadi

    pengingat tim ini bahwa tugas mereka belum selesai. Masih diperlukan sosialisasi dan

    pendidikan yang panjang untuk mengembalikan cara berpikir sebagian umat yang salah, yang

    berjumlah mungkin ribuan orang. Mereka yang berpendapat bahwa pengeboman yang

    dilakukan Amrozi dkk sebagai jihad perlu merenungkan komentar Khusnul Khotimah,

    korban Bom Bali I yang cacat seumur hidup. Saya juga seorang muslim. Ketiganya (Amrozi

    dkk) salah menganggap bahwa perbuatan mereka jihad. Itu pembunuhan, kata Khusnul di

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    14/64

    televisi. Mereka yang masih ngotot berkeyakinan bahwa perbuatan Amrozi dkk sebagai jihad

    mungkin perlu belajar menjadi korban pengeboman dulu untuk memahami arti jihad. *

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    15/64

    Mbah Man

    Kamis, 06 Februari 2014

    Bagja Hidayat, @hidayatbagdja

    Namanya Rahman. Kami memanggilnya Mbah Man. Januari lalu, usianya genap 70 tahun.

    Dalam berkas catatan RT, ia mencantumkan pekerjaannya: buruh, dengan huruf kapital.

    Waktu kami membangun masjid, ia menggali tanah untuk fondasi. Staminanya mengalahkan

    kami semua, anak-anak muda 30 tahunan.

    Tubuh Mbah Man kecil dan ramping. Rambut memutih seluruhnya. Giginya tinggal empat.Tapi hanya itu organnya yang kalah oleh usia. Sisanya, Mbah Man tak pernah sakit. Sekali

    masuk rumah sakit ketika ia diseruduk mobil yang sopirnya mengantuk.

    Di kompleks ini, dialah orang terakhir yang tidur. Jika tak ada musuh adu gaple, ia

    nongkrong di pos satpam, lalu keliling mengecek sudut-sudut gelap. Ia baru merem selepas

    subuh dan bangun lagi pukul 7. Setelah itu, ia bekerja. Menukang, mencangkul, dan

    membetulkan genteng bocor. Jika ada pekerjaan di Jakarta, ia menempuh Bogor-Jakarta

    bolak-balik dengan sepeda motor.

    Kami curiga ia tidur sedikit itu karena umur. Semakin tua tubuh, kita semakin tak mengantuk.

    Kian uzur, tubuh kita tak membutuhkan istirahat lebih. Tapi, kata Mbah Man, ia sudah tidur

    sedikit sejak di pesantren di Sumenep. Saat remaja, ia pindah ke kampung ibunya di

    Situbondo, lalu kawin dan merantau ke Jakarta di usia 40. Bekerja apa saja, terutama kerja

    otot jadi kuli angkut.

    Sampai hari ini, ia makan apa saja. Sore makan durian, malamnya tak segan menyantap gulai

    kambing, juga rokok dan kopi yang tak henti. Dan ia tak limbung akibat kolesterol

    menyumbat pembuluh darah. "Setelah makan yang enak-enak itu, saya makan pepaya, itu

    saja penawarnya," katanya tadi malam, sewaktu kami mengobrol di pos satpam.

    Tentu saja bukan cuma pepaya yang membuat tubuhnya liat di usia senja. "Kuncinya pikiran

    ringan," katanya. Mbah Man selalu gembira. Ia bercanda dengan siapa saja. Setua itu, dia bisa

    tiba-tiba bilang, "Terus gue harus bilang wow, gitu?" Dan, ini yang penting, "Saya tak pernah

    menilai orang lain."

    Dengan menilai, katanya, pikiran akan membuat standar untuk diri sendiri dan orang lain,

    lalu timbul iri, kemudian dengki, arkian benci. Sikap begini, kata Mbah Man, membuat

    pikiran dan hati tak bebas. Mbah Man karena itulah tak gampang sakit hati. Jika ia dipecatdari pekerjaan karena dinilai tak becus, ia akan menerima dan berpikir bukan rezekinya.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    16/64

    Karena sikap sumeleh seperti itu, Mbah Man banyak teman. Sebab itu pintu rezekinya

    terbuka lebar. Enam anaknya ia sekolahkan, sudah mandiri, dan punya pekerjaan tetap. Dan,

    saya kira, Mbah Man masih sehat di usia tua itu karena disokong istrinya yang pengertian.

    Sejak dinikahinya 50 tahun lalu, Mbah Putri hanya sekali mencarinya, ketika Mbah Man takpulang tiga hari karena keasyikan main gaple. "Jangan-jangan kami awet berumah tangga itu

    karena Mbah Putri tak pernah menuntut apa pun dari saya," katanya.

    Mata Mbah Man masih menyala ketika saya menguap berkali-kali menjelang pukul 12

    malam. Saya pamit karena besok harus kerja. Saya, yang belum 40 tahun, butuh tidur

    setidaknya 5-6 jam sehari agar di kantor tak tersiksa menahan kantuk. Saya berdoa semoga

    Mbah Man panjang umur dan selalu sehat juga terus bergembira, seperti arti namanya.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    17/64

    Mitos Gilgamesh dan Banjir Jakarta

    Jum'at, 07 Februari 2014

    Endang Suryadinata, Penggemar Sejarah

    Sebagaimana sejarah berulang, demikian pula banjir di Jakarta. Setelah banjir besar pada

    2002 dan 2007, Ibu Kota RI kini kebanjiran lagi. Banjir selama Januari dan Februari sudah

    membawa dampak multidimensi, dari jalan rusak, terendam, dan macet. Lalu air bersih sulit,

    beragam penyakit muncul, dan berbuntut kerugian ekonomi.

    Sejarah umat manusia salah satunya memang ditandai dengan banjir atau air yangmenggenangi permukaan tanah. Dari Yunani hingga Cina, ada mitologi banjir. Kita tentu

    tahu kisah air bah Nabi Nuh. Sebelum era agama-agama samawi, di Mesopotamia (Irak kuno)

    juga ada kisah Gilgamesh, yang juga diperintah membangun bahtera agar selamat dari banjir

    besar.

    Hebatnya, kisah Gilgamesh dan Nabi Nuh sama-sama disatukan dalam benang merah bahwa

    di Kota Ur, yang saat ini dikenal sebagai Tall Al Uhaimer atau Kota Shuruppak di sebelah

    selatan Mesopotamia-saat ini bernama Tall Far'ah-menyimpan jejak-jejak nyata bahwa dulu

    memang terjadi banjir besar di kota itu, seperti disimpulkan arkeolog Erich Schmidt dari

    Universitas Pennsylvania 1922-1930.

    Al-Quran dan Injil menyebutkan, gara-gara manusia mulai menyimpang jauh dari Tuhan,

    bahkan berani melawan Tuhan, banjir besar didatangkan sebagai hukuman. Ini masih

    diyakini. Di media sosial, misalnya, banyak komentar menyebut maraknya korupsi,

    kemaksiatan, serta praktek bisnis atau politik yang menghalalkan segala cara menjadi

    penyebab banjir Jakarta.

    Jika menengok sejarah, sejak awal abad ke-20, sudah ada upaya melawan banjir di Jakarta

    (dulu bernama Batavia). Ada nama Prof Dr Herman van Breen, yang tercatat sebagai perintismelawan banjir. Dia menyusun rencana pencegahan banjir, yang dibentuk kantor dinas

    pengairan pemerintah kolonial Belanda pada 1918. Itu dilakukan setelah Batavia dilanda

    banjir besar yang merenggut banyak nyawa.

    Van Breen bersama timnya menyusun konsep yang sistematis untuk menanggulangi banjir di

    seluruh wilayah Batavia, yang luasnya 2.500 hektare. Van Breen berhasil menyusun strategi

    pencegahan banjir. Dia berhasil mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi

    volume air yang masuk kota.

    Namun, sebagai ibu kota negeri ini sejak 1945, perluasan kota seperti menjadi keniscayaan.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    18/64

    Bayangkan luas Jakarta sekarang mencapai 65 ribu hektare. Jadi puluhan kali lipat dibanding

    luas pada masa Van Breen. Luasnya kota tentu mengundang kompleksitas permasalahan.

    Ada penelitian yang menyebutkan, konon, kebiasaan membuang sampah sembarangan di

    Jakarta menjadi penyebab banjir. Ada yang menyalahkan hujan, meski menurut BMKG curahhujan dua bulan terakhir justru lebih rendah dibanding tahun lalu. Gubernur Jokowi

    menyalahkan kiriman banjir dari Bogor, sebagaimana para Gubernur Jakarta terdahulu.

    Sedangkan yang lain, ganti menyalahkan Jokowi.

    Nah, daripada saling menyalahkan, mari belajar dari Nabi Nuh atau Van Breen bagaimana

    menghadapi air bah secara bijak, dengan mencari solusi yang tepat. Jika rekayasa cuaca atau

    hujan tidak efektif, mungkin rencana Jokowi membangun sembilan waduk bisa dicoba. Atau

    kita terima banjir ini bukan sebagai bencana, sehingga kita perlu berdamai dengan banjir?

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    19/64

    Binatangisme dan Politik Kita

    Jum'at, 07 Februari 2014

    M. Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

    Man is by nature a social animal; an individual who is unsocial naturally and not

    accidentally is either beneath our notice or more than human. (Aristotle, Politics)

    Ketika foto seekor singa mati tergantung di kandangnya di Kebun Binatang Surabaya beredar

    di media massa baru-baru ini, saya teringat akan novel George Orwell, Animal Farm. Tetapi,

    lebih dari itu, lebih teringat judul terjemahannya oleh Mahbub Djunaidi, Binatangisme

    (1983). Judul yang terakhir itu tampak lebih provokatif ketimbang aslinya, walaupun pesan

    utama Orwell tak jauh pula dari upayanya mengingatkan kita semua akan ekspresi-ekspresipolitik kebinatangan dan bahaya totalitarianisme.

    Tapi tentu semua itu merupakan sindiran belaka bagi politik manusia yang sering kali lebih

    kejam. Mahbub Djunaidi banyak mengajak kita membandingkan politik dengan binatang.

    Tulisannya yang berjudul "Dinamisasi via Binatang" (Tempo, 26 Maret 1972), barangkali

    merupakan kolomnya yang pertama kali menyinggung peran binatang dalam modernisasi, isu

    yang populer ketika itu. Namun kolomnya, "Ibarat Hewan Apakah Kita Ini?" (Tempo, 9 Juni

    1973), tampak lebih menukik. Dalam tulisan ini, ia mencatat perumpamaan W. Trotter

    (1916), bahwa orang Jerman itu bak serigala, sedangkan orang Inggris melantik singa sebagaisimbol nasionalnya. Tapi, G.J. Renier (1931) mencatat orang Inggris lebih garang di negeri

    jajahan, bukan kampung halaman.

    Soal simbol binatang ini, kata Mahbub lagi, Cina dimisalkan naga, dan bagaimana pula

    dengan bangsa kita? Seumpama hewan apakah dia? Dia menulis, dari sudut beranak-pinak,

    Indonesia lazim diumpamakan marmut, walau sebenarnya babi lebih gawat dalam hal angka

    kelahiran. Dari sudut kepatuhannya yang serampangan, lebih tepat bebek, walau tidak

    selamanya perlambang buruk. Kalimat "bebek pulang sore ke kandang sendiri", isyarat

    masyarakat makmur adanya.

    Lagi pula, kata Mahbub, UUD tak menyinggung nama hewan. Tidak garuda, tidak pula

    banteng. Garuda, kata Yamin (almarhum), "sebenarnya lambang pembangun dan

    pemelihara". Katanya pula, kitab Morawangsa dari kerajaan Kedah dan kerajaan Merina di

    Madagaskar memandang hewan ini sebagai lambang pemelihara. Kalau banteng, secara resmi

    bukan perlambang bangsa, seperti singa Inggris atau naga Cina, melainkan lambang

    demokrasi "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

    permusyawaratan/perwakilan".

    Kalimat-kalimat Mahbub itu segera kita tangkap bahwa tidaklah politik itu lepas sama sekalidari simbol-simbolnya. Binatang pun tak selalu berkonotasi negatif sebagai simbol politik.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    20/64

    Soal perilaku binatang yang perlu dipelajari tersendiri, Mahbub sebagai kolumnis berlatar

    belakang politikus, menulis saran menarik dalam artikelnya, "Buku Petunjuk Pendidikan

    Politik Sejak Dini" (Kompas, 18 Maret 1981).

    Dalam artikelnya tersebut, pendekar kolom yang telah wafat pada 1995 itu menulis begini:Apabila seorang anak sudah duduk di kelas V sekolah dasar, paling lambat di kelas VI,

    ajaklah dia ke kebun binatang. Begitu menginjak pintu gerbang, segera bisikkan di

    kupingnya, "Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu,

    kan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu

    namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia."

    Ya, Mahbub mengajak kita ke rumusan klasik filsuf Yunani, Aristoteles, bahwa manusia itu

    sejatinya "binatang sosial". Kalau tidak ada rem atau batasan-batasan aturan main yang ketat,

    yang tidak sekadar etika, bisa jadi naluri kebinatangan sosial inilah yang merambah ke ranah

    politik kita. Apalagi sistem kepolitikan yang ada demikian longgar bagi praktek-praktek

    pragmatisme-transaksional yang menjangkau lapisan-lapisan masyarakat secara luas.

    Masih dalam kolom Buku Petunjuk, mungkin petuah Mahbub agar kita barang setengah jam

    berdiri di depan kandang monyet-barangkali bisa menjadi inspirasi untuk memilih pemimpin.

    Kata dia, "Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala,

    pemimpin monyet-monyet lain di kandang itu. Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu

    bisa disebabkan beberapa faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling pintar.

    Tetapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu

    membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnyabisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya

    bangsa manusia. Ini kedunguan warisan."

    Dalam pemilu atau pilpres, tentu kita tidak sedang memilih monyet. Tapi tidak ada salahnya

    kalau ranah karakter kepolitikan binatang sedemikian, jadi bahan pertimbangan. Calon

    pemimpin yang akan kita pilih, pun belum tentu yang "paling perkasa dan paling mampu

    membanting lainnya". Mungkin yang paling cerdas, kendatipun definisi cerdas itu luas.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    21/64

    Gerobak

    Sabtu, 08 Februari 2014

    Irfan Budiman, @IrfanBud

    Menyantap kembali ketoprak semestinya menjadi nostalgia yang menyenangkan. Di masa

    kecil, saya sangat menikmati duduk di bangku si penjual makanan yang terdiri atas bihun,

    tauge, dan ketupat yang digulingkan dalam bumbu kacang ini.

    Gerobak ketoprak, tempat si penjual melayani para pembelinya, teramat unik. Ukurannya

    besar-mungkin karena tubuh saya masih kecil. Namun, yang sangat menarik adalahbentuknya yang mirip perahu. Ya, layaknya sebuah perahu, di bagian belakang ada dapur,

    yakni kompor untuk memanaskan tahu. Bagian depannya berbentuk moncong, seperti kepala

    perahu.

    Adapun bagian kiri dan kanannya adalah tempat si penjual mengulek bumbu. Di depannya

    adalah kami, para pembeli. Di atas papan yang memanjang itu, pembeli duduk berjajar

    menikmati makanan yang khas dengan bawang putih itu.

    Kini semuanya nyaris hilang. Gerobak perahu yang sangat mempesona itu telah berubah

    menjadi sebuah gerobak yang tampil seadanya. Tak ada lagi moncong yang mempesonakan

    itu. Warna biru dan merah yang menjadi ciri khas gerobak ini pun hilang. Persis seperti

    gerobak kebanyakan penjual makanan lainnya.

    Pedagang punya alasan. Selain ongkos pembuatannya lebih murah, mereka bisa lebih mudah

    berkeliling. Saat mereka mangkal, gerobak baru ini tidak terlalu banyak makan tempat.

    Memang, bukan hanya perkembangan zaman yang membuat semuanya menjadi compact.Me-

    reka pun membutuhkan fleksibilitas bergerak sehingga bisa menjangkau para pelanggannya

    dengan waktu yang lebih cepat pula. Mereka melakukan banyak modifikasi gerobak.

    Sebagian pedagang bakso melakukan modifikasi ekstrem. Mereka membuang roda dan

    menaikkan gerobaknya ke atas motor. Mereka berjualan dengan sepeda motornya. Si

    penjualnya pun rela duduk di ujung jok dekat setang karena sebagian joknya habis termakan

    oleh modifikasi gerobak yang berada di sisi kiri-kanan joknya.

    Namun, bapak penjual bakso ini juga punya alasan. Dia ingin berkeliling dan bisa

    menjangkau para pelanggannya dengan waktu yang lebih cepat pula. Pedagang lainnya,

    seperti penjual siomay ataupun sayur-mayur yang menjadi sahabat kaum ibu, juga menyulapgerobaknya menjadi lebih compact dan bisa dipasangkan di sepeda motornya.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    22/64

    Tapi itu juga belum cukup. Penjual roti pun tidak lagi berteriak brood atau boti, melainkan

    menekan tombol untuk membunyikan rekaman potongan jingle produk mereka.

    Pedagang es krim, bacang (penganan dari beras yang dibungkus daun), sampai pedagangayam goreng pun melakukan hal yang sama. Musik yang keluar dari speaker layaknya brand

    identity produk ini.

    Suara musik itu membedakan dengan pukulan kentongan dari penjual mi dokdok, suara

    piring dengan sendok dari tukang ketoprak, atau mangkuk yang dipukul dengan sendok oleh

    penjual es atau bubur sumsum. Semua produk butuh identitas untuk dirinya.

    Usaha mereka memang harus lebih keras lagi. Maklum, pesaingnya tidak lagi dari kalangan

    mereka sendiri. Restoran makanan cepat saji atau pedagang makanan berwaralaba

    menggempur berbagai tempat. Mereka pun mampu mengantarkan barang dagangannya

    hingga ke depan rumah. Hanya dengan menekan nomor-nomor telepon, makanan yang

    dipesan bisa segera sampai di rumah pemesan dalam keadaan hangat.

    Bisakah dilawan? Gerobak nan compact dan modifikasi sepeda motor adalah cara mereka

    berupaya untuk tidak kehilangan pelanggan.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    23/64

    Murry Sang Legenda

    Sabtu, 08 Februari 2014

    E.H. KARTANEGARA, Wartawan

    Satu set drum Ludwig putih seolah berdiri dalam kesendirian di antara ingar-bingar musik

    rock di panggung besar Jambore Band IMK, di Istora Senayan, Jakarta, 7 November 1970.

    Ribuan penonton, yang saat itu mulai keranjingan hard rock, sama sekali tak menyangka dari

    balik drum itu akan muncul kejutan yang gemanya bukan hanya menjangkau masa depan

    perkembangan band di Indonesia, melainkan juga melahirkan legenda baru seorang penabuh

    drum.

    Drummer itu tak lain adalah Kasmuri, yang kemudian dipanggil Murry. Kejutan lebih besar

    datang dari Koes Plus. Metamorfosis Koes Bersaudara (KB) itu dengan "berani"

    membawakan lagu ciptaan mereka,Derita danManis dan Sayang, yang waktu itu belum

    begitu dikenal publik.

    Di mata Erwin Gutawa, yang menggarap album dan konser "Salut untuk Koes Plus",

    permainan drum Murry sangat modern (Rolling Stone, November 2008). Pukulannya jernih,

    bertenaga, bernas, galak, berani, dan memiliki fill-in yang mantap.

    Kemunculan Koes Plus dalam Jambore Band itu sebenarnya didasari oleh sikap "rendah

    hati." Di panggung musik pop Indonesia, grup musik anak-anak Koeswoyo bukan lagi kelas

    jambore. Sejak 1962, mereka mengibarkan bendera KB, yang sudah populer dengan sejumlah

    hit sepertiBintang Kecil, Pak Tani, Pulau Bali, Telaga Sunyi, Bis Sekolah, danDara

    Manisku.

    Mereka merupakan grup musik pertama dalam sejarah musik pop Indonesia yang berformat

    band, bukan sekadar pengiring penyanyi sebagaimana banyak kelompok musik lain

    sezamannya. KB merupakan band pelopor yang dalam lipatan sejarah politik Orde Lamamenanggung dosa subversif: dituduh apolitis, kontra-revolusi, dan anti-nasionalisme, "hanya"

    karena memainkan musik ngak-ngik-ngok, rock and roll.

    Mereka (Tonny, Nomo, Yon, dan Yok) dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses

    pengadilan. Dalam telaah Krishna Sen dan David T. Hill dalam Media, Budaya, dan Politik di

    Indonesia (2001), untuk pertama kalinya sebuah band pop menjadi korban kemelut politik.

    Ini merupakan sebuah preseden ganjil sekaligus buruk yang hanya terjadi di Indonesia.

    Dibebaskan dari penjara pada September 1965, hal ini malah menyulut nyali mereka untukmelakukan perlawanan lewat musik. KB yang semula memainkan musik pop manis berubah

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    24/64

    menjadi keras dengan meneriakkanPoor Clowndan To Tell So Called All the Guilties

    (1967). Ini merupakan dua lagu keras pertama dalam sejarah musik pop Indonesia (E.H.

    Kartanegara, "Lagu Keras, Perlawanan Sebisanya", Koran Tempo, 14 September, 2002).

    Lagu-lagu mereka lekas populer di kalangan kaum muda lewat stasiun-stasiun radio amatiryang menjamur di berbagai kota, bersamaan dengan euforia gerakan perlawanan pelajar dan

    mahasiswa selepas tumbangnya rezim Orde Lama.

    Bintang mereka mencorong terang, tapi sekaligus meredup. Pemain drum Nomo Koeswoyo,

    yang kemudian diikuti Yok, berhenti bermain musik. Hidup sebagai pemusik tak jelas masa

    depannya. Dia memilih berbisnis.

    Bagi Tonny, arsitek utama KB, problem besar bukan kemiskinan, melainkan musikalitas.

    Hampir tak mungkin mempertahankan musikalitas KB dengan mengandalkan harmoni duet

    vokal Yon dan Yok, yang menjadi trade mark dan kelak melegenda. Duet Yon-Yok tak

    ubahnya John-Paul dalam The Beatles yang tak tergantikan oleh siapa pun.

    Saat krisis itulah muncul nama Kasmuri, drummer grup musik Patas. "Mas Tonny naksir

    banget permainan Murry. Pukulannya keras, karakternya kuat," tutur Yon. Bersama Murry

    dan pemain bas baru, Totok AR, mereka menelurkan rekaman album pertama:Dheg Dheg

    Plas(1969). Perhatikan diksi judul itu: artikulasi bunyi drum Murry. Itulah esensi, filosofi,

    dan makna distingtif kata "plus" di belakang nama "Koes" yang akhirnya menjadi paten Koes

    Plus.

    Ais Suhana, sahabat Murry sejak 1975 dan sering "mengawal" konser Koes Plus, mengenang

    Murry sebagai pemain drum yang tidak pernah rewel soal alat. Drum putih itu simbolisasi,

    penghormatan etis Tonny kepada Murry.

    Menurut Ais, kelebihan Murry sebagai legenda adalah kepribadiannya. "Dia sangat rendah

    hati, ikhlas, loyal, hidupnya sederhana. Saat miskin dia tak malu jualan nasi uduk," tutur dia.

    Totalitasnya dalam berkarya melampaui batas seorang profesional. Ribuan penggemar yang

    membentuk klub-klub dan komunitas, yang bangga menyebut diri sebagai Koes Plus Mania,

    merasakan kehangatan pergaulan Murry yang rajin menyapa dan mengunjungi mereka di

    berbagai kota.

    Kepribadian itu adalah sisi humanis dan makna altruistik Murry yang memegang kredo "a

    man behind the drum". Gitaris Led Zeppelin, Jimmy Page, menyebut keunggulan para

    legenda bukan cuma pada kepiawaian dan keunggulan teknis. Mereka memiliki dignity. "You

    are on your own." Mereka memainkan musik yang tak bisa dipelajari di sekolah dan harus

    dipelajari sendiri dengan totalitas kemampuan diri sendiri pula. Di situlah, kata dia, letak

    daya tariknya, sehingga musik itu bermartabat.

    Saat Murry meninggal (1 Februari 2014), martabat yang menjadikan Koes Plus distingtif itubermakna: menyejarah. Banyak nilai diwariskan oleh para legenda yang, meminjam istilah

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    25/64

    Kuntowijoyo (2006), selayaknya menjadi ilmu, buku, dan riwayat "sejarah kejiwaan." Bukan

    cuma selesai begitu ditulis pada selembar halaman obituari.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    26/64

    Ibu Negara

    Sabtu, 08 Februari 2014

    Gracia Dwinita, Penulis

    Baru-baru ini, sebagian pemilik akun media sosial Instagram menggunjingkan aktivitas Ibu

    Negara Ani Yudhoyono. Dalam bahasa Inggris, istri presiden disebutfirst ladyatau "nyonya

    pertama". Istilah ini sepertinya mengurangi beban moral dibanding istilah "ibu negara" yang

    mengandaikan sebagai ibu yang merawat negara. Seakan-akan ini adalah jabatan yang

    mensyaratkan kemampuan dan moralitas tertentu. Padahal, jabatan ini hanya ada karena yang

    bersangkutan kebetulan adalah istri dari laki-laki yang menjadi presiden.

    Kita tidak sungguh-sungguh mengetahui kerja Ibu Negara, kecuali bahwa ia terlihat aktif

    dalam kegiatan sosial ini-itu dan terlihat bersanggul dan berkebaya di sebelah presiden.

    Perbedaannya, kini kita bisa berkomunikasi langsung dengan Ibu Negara. Pencitraan menjadi

    semakin kompleks, karena tiap gerakan Ibu Negara di ruang publik dapat tersiar tanpa filter.

    Indonesia yang pernah memiliki presiden perempuan membuat kita bisa membandingkan istri

    dan suami presiden. Istri presiden seakan tidak dapat mengembangkan identitas sosial-

    politiknya, meskipun memiliki kesempatan. Selama 30 tahun, Ibu Tien Suharto hanya dikenal

    sebagai perempuan yang membawa "wahyu" sehingga suaminya dapat berkuasa. Apakah istri

    presiden Indonesia lainnya dapat membangun identitas sosial dan politiknya sendiri?

    Sementara itu, almarhum Taufik Kiemas sebagai bapak negara tidak perlu aktif dalam

    organisasi suami-suami kabinet gotong royong, namun berperan dalam partai dan menjabat

    Ketua MPR, ketika istrinya tidak lagi menjadi presiden.

    Istri presiden seharusnya memiliki identitasnya atau program sosial-politiknya, terlepas dari

    suaminya. Carla Bruni, mantan Ibu Negara Prancis, meneruskan kariernya sebagai penyanyi.

    Hillary Clinton adalah contoh Ibu Negara yang mengembangkan program politiknya sendiri.

    Ia menjadi senator New York dan Menteri Luar Negeri pada masa kepemimpinan Obama.

    Sayangnya, sejarah menuliskan istri-istri diktator ikut menindas. Elena, istri presiden

    Rumania Nicolae Ceausescu selama 25 tahun, ditembak bersama suaminya pada Natal 1989

    atas kejahatannya terhadap kemanusiaan. Elena membangun identitasnya sebagai penguasa

    ilmu dan teknologi di Rumania dengan memalsukan 17 gelar doktor, menjadi pejabat partai,

    serta hidup mewah di tengah penderitaan perempuan Rumania. Ia mendapat inspirasi dari

    istri diktator lainnya (Elena bertemu Jian Qing, istri Presiden Cina, Mao Zedong, pada 1971).

    Jian Qing menyingkirkan saingan politik dan mencari posisi dengan cara-cara suaminya.Pada 1966, Jiang Qin menempati posisi wakil ketua revolusi kebudayaan. Keinginannya

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    27/64

    harus selalu terpenuhi (kolam renangnya di Canton harus hangat saat kota terkena badai

    salju). Ia dihukum pada 25 Januari 1981 dan bunuh diri.

    Tidak ada data yang menunjukkan apakah presiden Indonesia dipertimbangkan berdasarkan

    siapa istrinya. Namun perempuan, khususnya istri presiden dan istri pejabat pada umumnyasampai tingkat terbawah, terpaksa menjalani fungsi istri dalam organisasi, terutama dalam

    institusi istri militer. Sebagai negara patriarkis yang menganut ibuisme, peran wajib

    perempuan sebagai istri dan ibu harus dipertontonkan. Mereka tidak mempunyai pilihan

    kecuali yang telah ditetapkan secara sosial. Bagaimana perempuan Indonesia dapat

    menemukan identitas dan kesetaraannya melalui panutan seperti ini?

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    28/64

    Darurat Jalan RusakSenin, 10 Februari 2014

    Tulus Abadi,

    Anggota Pengurus Harian YLKI dan Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta.

    Akibat banjir bandang yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia, kerusakan jalan tak

    terelakkan lagi. Memperbaiki jalan rusak, yang jumlahnya massal dan waktunya berbarengan,

    memang bukan perkara gampang. Langkah tanggap darurat yang dilakukan oleh Presiden

    Yudhoyono untuk memperbaiki jalan rusak, patut dihargai.

    Dari sisi pembiayaan, seharusnya Presiden Yudhoyono mendorong mewujudkan sebuah

    instrumen kebijakan yang bernama road fundalias dana jalan. Undang-Undang tentang Lalu

    Lintas dan Angkutan Jalan sudah mengusung adanya road fund. Berbasis road funditu,

    segala dana kerusakan jalan bisa diambilkan dari dana road fundyang dikelola secara

    independen dan tepercaya (trust body). Jika ada jalan rusak, langsung diambilkan dari slot

    dana dari kantong road fund tersebut, tanpa harus menunggu berlama-lama dari

    APBN/APBD, yang terbukti jumlahnya sangat terbatas dan mekanisme pencairannya pun

    berbelit-belit. Inilah salah satu penghambat renovasi jalan rusak menjadi sangat lama dan

    tambal-sulam pula. Sementara itu, jika dibiarkan tanpa perbaikan, dampak kerusakan jalan

    kian eskalatif.

    Setidaknya ada dua sumber dana yang bisa dijadikan sumber road fund, yakni pajak

    kendaraan bermotor dan/atau pajak bahan bakar minyak. Ini potensi pendapatan yang sangatbesar. Kita hitung saja, saat ini secara nasional terdapat tidak kurang dari 60 juta kendaraan

    bermotor, dengan rata-rata pertumbuhan per tahun mencapai sebesar 10 juta unit untuk

    sepeda motor dan 1 juta unit untuk mobil pribadi. Sedangkan penggunaan bahan bakar

    minyak bersubsidi saja mencapai 46 juta kiloliter. Di negara-negara Eropa Barat, hal ini

    sudah lazim dikenakan, yakni bernamagasoline tax(untuk pajak bahan bakar) dan

    congestion pricing/road pricinguntuk pajak kendaraan bermotor. Keduanya dimasukkan ke

    satu kotak bernama road fund.

    Kebijakan road funddalam jangka panjang akan sangat bermanfaat, tidak hanya untukmerenovasi jalan rusak, tapi juga untuk pembangunan jalan baru. Sehingga jalan sebagai

    infrastruktur pembangunan akan mengalami percepatan. Apalagi jika pemerintah secara

    perlahan terus mengurangi besaran slot subsidi bahan bakar minyak, kemudian dikonversikan

    langsung untuk merenovasi kerusakan dan/atau membangun jalan.

    Sisi teknis yang lain-dan ini tidak boleh dilupakan-adalah membangun sistem drainase di

    sepanjang jalan, termasuk jalan tol sekalipun. Sebab, kerusakan jalan akibat banjir/hujan

    deras juga dipicu oleh jeleknya fungsi sistem drainase. Akibatnya, air hanya menggenang di

    sepanjang jalan, tidak teralirkan melalui drainase (termasuk di sekitar Istana). Perbaikan

    dan/atau pembangunan jalan, tanpa diiringi dengan pembangunan sistem drainase, hanya

    akan mempercepat kerusakan jalan.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    29/64

    Sebagai infrastruktur, jalan adalah alat vital urat nadi perekonomian. Akses jalan yang

    memadai adalah prasyarat mutlak untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi.

    Politik pembangunan infrastruktur jalan harus bersifat komprehensif dan sinergis, tak hanya

    bersifat tambal-sulam dan sektoral. Tidak cukup hanya menggelontorkan sejumlah dana, tapitanpa keberpihakan politik anggaran yang jelas.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    30/64

    Panggung LibrisidaSenin, 10 Februari 2014

    Munawir Aziz,

    Alumnus Sekolah Pascasarjana UGM

    Nalar apa sebenarnya yang mengukuhkan gerakan librisida? Pembantaian buku (librisida)

    dalam sejarahnya digerakkan oleh iktikad buruk memandang pengetahuan dan tipikal

    vandalisme. Membantai buku, dengan segala macam modelnya: merusak, membakar,

    melarang peredaran, hingga membubarkan paksa diskusi buku, merupakan catatan hitam

    dalam sejarah peradaban manusia, di mana pun dalam wangsa apa pun. Pembantaian buku

    merupakan kabar buruk dalam historiografi pengetahuan umat manusia.

    Kabar buruk itu kali ini datang dari Surabaya. Jumat (7 Februari 2014) sore, sekumpulan

    orang yang berjubah dan mengatasnamakan kelompok agama menggeruduk gedung

    Perpustakaan C2O, yang sedianya menyelenggarakan diskusi buku karya Herry A. Poeze.

    Hasil riset Poeze-sejarawan Belanda-yang mendokumentasikan pikiran dan gerak sejarah Tan

    Malaka, menjadi topik perbincangan. Buku Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi

    Indonesia (edisi 4, penerbit Obor) sedianya menjadi teks pemicu. Tapi diskusi buku ini

    terpaksa dibatalkan karena ancaman dari orang-orang yang mengatasnamakan FPI (Front

    Pembela Islam).

    Gerakan kekerasan untuk menghajar sebuah perhelatan diskusi hasil riset sejatinya adalah

    bagian dari pembantaian buku. Dalam perkembangan peradaban di muka bumi ini,pembantaian buku menjadi catatan hitam dalam historiografi pengetahuan. Fernando Baez

    (2013) dengan jeli mencatat tragedi-tragedi pembantaian buku dalam sejarah umat manusia.

    Baez dengan jeli melacak asal mula perkembangan buku, serta titik historis di mana buku

    dibantai dengan kekerasan. Justru-menurut Baez-mereka yang menyebut dirinya kaum

    intelektual, berjasa dalam agenda pembantaian buku. Kaum intelektual membantai buku-

    buku yang tidak segaris dengan alam pikirannya, dengan ideologinya.

    Penghancuran National Library of Bagdad, Irak, terjadi pada detik-detik runtuhnya kekuasaan

    Saddam Hussein antara tanggal 9 dan 10 April 2003. Pembantaian buku pada masa Antik diSumeria, 4100-3300 SM, merupakan catatan arkeologis terkait dengan librisida. Catatan

    sejarah ini membuka tabir gelap sejarah pembantaian buku, yang telah terjadi ribuan tahun

    yang lalu.

    Di bagian periode yang lain, vandalisme menjadi motif untuk membakar dan merusak buku

    dalam sejarah pengetahuan manusia. Buku karya Marco Kartodikromo, Student Hidjo, juga

    dibantai oleh penguasa kolonial, pada paruh pertama abad XX. Buku-buku Pramoedya

    Ananta Toer juga terkena nasib yang sama: dibantai oleh penguasa dan rezim militer.

    Politik ideologi Orde Baru yang menganggap segala macam hal yang berbau komunis wajib

    diberangus menjadi pemicu pembantaian buku oleh rezim Soeharto. Akibatnya, hingga kini,

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    31/64

    komunisme merupakan bayang-bayang misterius bagi sebagian warga negeri ini. Tidak

    adanya data penyeimbang menjadi penyebab misteri tentang peristiwa September 1965.

    Tragedi pembantaian buku sejatinya wajib dihentikan, jika ingin pengetahuan berkembang.

    Librisida merupakan catatan hitam di tengah usaha membangun pengetahuan dan peradabannegeri ini. Semoga kasus di Perpustakaan C2O Surabaya menjadi yang terakhir dalam tragedi

    librisida di negeri ini. *

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    32/64

    Pemimpin dan Bahasa RakyatSenin, 10 Februari 2014

    Seno Gumira Ajidarma,

    Wartawan

    Ketika melihat daftar calon presiden, yang meskipun belum resmi tapi popularitasnya sudah

    diteliti, terbentuk suatu klasifikasi dalam kepala saya, yakni (1) pemimpin elitis; (2)

    pemimpin merakyat; dan (3) pemimpin nanggung.

    Seperti apakah pemimpin elitis itu? Sebagai pribadi sudah jelas elegan: bukan sekadar bahasa

    Inggrisnya fasih dan bahasa Indonesianya tidak beraksen, busana formal maupun

    nonformalnya tidak pernah "salah", dan pengorbanan dirinya untuk tetap tersenyum kepada

    orang yang paling menjengkelkan sangat mengharukan, tapi juga bahwa sikap yang

    diambilnya dalam menghadapi persoalan seolah-olah "otomatis demokratis".

    Sebagai nilai tambah, bisa disebutkan bahwa keluarganya pun elitis, yang sekali sebut semua

    orang sudah tahu, barangkali orang tua atau kakek-neneknya ngomong Belanda, dan wajar

    pula bisa memainkan repertoar musik klasik dengan salah satu instrumen. Jika mau

    "merakyat", doi mungkin bisa nge-blues. Kenapa tidak? Mungkin memang tidak semua buku

    wajib dalam peradaban Barat (Shakespeare? Tolstoy?) telah dibacanya, tapi semua "buku

    global" mutakhir, dari Francis Fukuyama, Stephen Hawking, sampai Dan Brown, ada

    kemungkinan sudah-karena bisa disambar di bandara.

    Dilengkapi pendidikan di luar negeri yang semestinyalah tamat, si doi adalah prototipe

    pemimpin ideal. Namun kenapa popularitasnya kemper alias berlari paling belakang dalam

    balapan? (Indonesia Indicator, April-Desember 2013). Jawaban ditunda dengan

    memperhatikan para pemimpin yang tergolong merakyat.

    Biasanya mereka bukan lulusan luar negeri, bahasa Inggris pas banderol, bahasa

    Indonesianya mencerminkan bahasa daerah yang dikuasainya, cara berbusana pokoknya ikut

    yang banyak, jauh lebih spontan ketimbang elegan, dan lebih mengikuti naluri beserta "nalar

    berdasarkan pengalaman" ketimbang mengacu prinsip-prinsip "demokrasi". Pemimpin sepertiini mengandalkan "musyawarah dan mufakat" ketimbang voting, dalam arti mencermati

    peranan sistem nilai tradisional dalam berorganisasi, tanpa harus berkonfrontasi dengan

    demokrasi itu sendiri.

    Pemimpin merakyat tidak cuma satu jenisnya, ibarat gaya tari Jawa, sama-sama kesatria, ada

    yang alusan, ada yang gagahan. Dalam wayang orang, wawansabda tokoh-tokoh alusan

    menunjukkan tingginya peradaban, tetapi jika dialog macet dan terjadi konflik, klimaks

    pertunjukan adalah gaya gagahan yang memperlihatkan pula kaki menendang. Prosedur ini

    diikuti dengan setia oleh pemimpin merakyat, dan adegan menendang itu jarang diperlukan.

    Jika ada pemimpin gagahan yang suka menendang sebagai pesaing, dalam situasi damai

    pemimpin alusan itulah yang lebih menenteramkan.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    33/64

    Sikap "pura-pura elegan" justru selalu terdapat pada para pemimpin "nanggung". Benar

    berijazah, tapi intelektualitasnya pas-pasan; inteligensia mungkin tinggi, tapi tanpa

    keberanian moral untuk melakukan perubahan. Pemimpin seperti ini memang "nanggung",

    tidak elitis dan tidak merakyat. Asalnya memang dari rakyat, tetapi doi punya ekspresi sepertimengingkarinya, selalu berusaha menunjukkan diri sebagai berkelas elite-yang hanya mampu

    dicapai (dengan membeli) simbol-simbolnya saja. Betapa pun, dalam kekosongan "pasar

    pemimpin", pemimpin nanggung ini bisa mengecoh, dan hanya kemunculan pemimpin

    merakyat akan menunjukkan belangnya.

    Pemimpin elitis sebetulnya bisa sangat dipercaya integritas moralnya dan nyaris memiliki

    semua, kecuali satu hal, yakni bahasa rakyat-itulah kekurangannya yang vital sekaligus fatal

    dalam persaingan dengan pemimpin merakyat. Bahasanya bahasa diskusi, kelas sosial yang

    tertunjukkan oleh cara berbahasanya terlalu berjarak dari orang kebanyakan, sehingga

    gagasan-gagasan barunya yang paling membumi pun tidak dapat ditangkap dengan baik.

    Bersaing dengan pemimpin merakyat maupun pemimpin nanggung, pemimpin elitis tidak

    akan menang. Kenapa?

    Pasar politik sama saja dengan pasar bisnis, para pemimpinnya dipasarkan, terutama melalui

    media, dan para konsumen menanggapi trik-trik pemasaran ini seperti menghadapi barang

    komoditas sehari-hari: bahwa para konsumen itu membeli berdasarkan politik identitasnya

    sendiri, yakni seberapa jauh para pemimpin yang dipasarkan itu dapat mengukuhkan

    keberadaan dirinya.

    Maka para konsumen hanya akan memilih pemimpin yang bahasanya mewakili bahasa

    mereka, seorang pemimpin yang kepadanya mereka bisa melakukan identifikasi diri mereka.

    Berlangsung konversi dari "konsumsi saya adalah saya" menjadi "pemimpin saya adalah

    saya". Adalah bahasa, bukan dalam pengertian linguistik, melainkan dalam segala penanda

    yang meruap daripadanya, terutama cara berpikirnya, yang pertama-tama akan dirujuk oleh

    rakyat, yang sedang memilih-milih pemimpin mana yang bisa menjadi representasi dirinya. *

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    34/64

    Menghidupkan Ciliwung

    Selasa, 11 Februari 2014 | 01:06 WIB

    Harry Surjadi,Pendiri Amrta Institute for Water Literacy

    Berita banjir menyita halaman surat kabar, majalah, dan waktu siar televisi ataupun radio.

    Tidak ada penjelasan sedikit pun "apa itu banjir". Media berasumsi semua pembaca,

    pendengar, dan pemirsa sudah tahu pengertian banjir.

    Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai mendefinisikan banjir sebagai

    "peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai" (Pasal 1 ayat 7). Definisi ini masih

    tidak menjelaskan banjir dengan pas.

    Danau Sentarum, Kalimantan Barat, saat musim kemarau menjadi dataran kering. Danau

    Sentarum bisa dijelajahi dengan sepeda motor sampai bagian tengah danau karena danau

    mengering. Ketika musim hujan, seluruh wilayah Danau Sentarum penuh dengan air. Apakah

    Danau Sentarum kebanjiran? Tidak. Banjir terjadi ketika air merendam lingkungan buatan

    manusia. Jika air merendam wilayah yang tidak ada manusianya atau lingkungan hidup tanpa

    manusia, namanya bukan banjir.

    Cara mengatasi banjir sederhana: jangan membuat rumah di dataran banjir (floodplain).

    Namun prakteknya tidak sesederhana itu karena sungai sebenarnya hidup. Sungai yang hidup

    (living river) itu dinamis, menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sungai

    yang hidup berkelok-kelok, dan kelokan ini bisa berubah. Sungai Ciliwung, yang terpecah

    menjadi 13 anak sungai, sudah sekarat. Aliran anak Ciliwung di utara sudah mati. Airnya

    hitam, berbau, dan tidak punya oksigen.

    Sungai Napa melintasi wilayah California bagian tengah sebelum berakhir di Teluk San

    Francisco, Amerika Serikat. Setelah penduduk Kota Napa 22 kali kebanjiran dalam kurun

    150 tahun, pemerintah federal menugaskan US Army Corps of Engineers (Corps) untuk

    mengatasi banjir di daerah aliran Sungai Napa. Corps mengajukan sungai yang lebih dalamdan lurus melintasi Kota Napa. Tiga kali warga menolak usul Corps, yakni pada 1976, 1977,

    dan setelah banjir besar pada 1986.

    Warga Napa membentuk Community Coalition for Napa Flood Management yang kemudian

    menyepakati rencana mengatasi banjir dengan menerapkan prinsip living river (sungai yang

    hidup), yaitu prinsip yang menghargai pentingnya kehidupan ikan dan kehidupan liar lainnya,

    keterkaitan antara sungai dan dataran banjir, serta hubungan manusia dengan sungai itu.

    Program itu memindahkan lebih dari 70 rumah dan 30 gedung komersial, menyediakan 160

    hektare wilayah genangan, 60 hektare lahan basah musiman, dan mengembalikan 243 hektare

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    35/64

    dataran banjir yang sebelumnya dilindungi dari air dengan tanggul. Hasilnya: lebih dari 3.000

    bangunan terlindungi dari banjir 100 tahunan, biaya asuransi turun drastis, bisnis-bisnis baru

    yang berkaitan dengan sungai bermunculan, dan 37 jenis ikan berkembang biak dengan

    subur.

    Mengatasi banjir Jakarta berarti menghidupkan kembali Ciliwung. Menghidupkan Ciliwung

    bukan hanya secara ekologis (ikan dan makhluk air bisa hidup). Menghidupkan Ciliwung

    juga berarti mengembalikan nilai sosial, ekonomi, dan politik sungai itu.

    Langkah pertama, menentukan seberapa luas dan di mana saja dataran banjir dengan

    menggunakan data banjir periodik dan data satelit. Tidak boleh ada bangunan di dataran

    banjir. Salah satu daerah dataran banjir yang perlu dinormalkan adalah pesisir utara Jakarta.

    Kesalahan penguasa lama adalah memberikan izin alih fungsi dataran banjir di utara menjadi

    perumahan mewah, sehingga tersisa suaka margasatwa Muara Angke seluas 25 hektare.

    Batalkan rencana reklamasi pantai utara Jakarta dan pembuatan polder. Membangun polder

    atau dinding tinggi di sebelah utara Jakarta malah akan menyulitkan air genangan mengalir

    ke laut. Dan lupakan ide membuat saluran bawah tanah. Selain biayanya mahal, secara logika

    air tidak mungkin mengalir ke tempat yang lebih tinggi tanpa pompa.

    Langkah kedua, bangunan di daerah banjir (berdasarkan peta daerah banjir), di sepanjang

    sempadan Ciliwung di Jakarta, harus dipindahkan.

    Rehabilitasi pinggir sungai berlanjut hingga ke bagian hulu Ciliwung di Bogor, mengikutiPeraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011. Tanggung jawab dan program di wilayah hulu

    (Jakarta) berbeda dengan di hilir (Depok dan Bogor hingga Gunung Gede Pangrango).

    Lanjutkan pembongkaran bangunan (vila) yang tidak sesuai dengan RTRW-RBWK di

    Puncak, Bogor.

    Alokasikan juga sebagian wilayah hulu (Depok, Bogor, dan Puncak) untuk danau. Daerah

    Sempur di Bogor sangat cocok untuk dijadikan danau yang bisa menampung cukup banyak

    air Ciliwung.

    Langkah ketiga, mengeluarkan peraturan yang lebih pro-lingkungan dan memasukkan

    prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan sebagai roh dari peraturan. Misalnya, ubah ketentuan

    iuran sampah. Kalau sebelumnya iuran sampah flat, harus diubah sesuai dengan jumlah

    sampah yang dibuang. Anjuran mengolah sampah organik sendiri menjadi relevan dan ada

    insentif bagi keluarga yang tidak menghasilkan sampah. Slogan baru: kurangi sampah.

    Menghidupkan kembali Sungai Ciliwung bukan pekerjaan setahun-dua tahun. Ini merupakan

    pekerjaan jangka panjang yang membutuhkan konsistensi, termasuk konsistensi

    kepemimpinan di daerah-daerah yang dilalui Ciliwung. Dan jangan lupa libatkan warga

    dengan selalu memberikan informasi. *

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    36/64

    Menyoal Dana Optimalisasi

    Selasa, 11 Februari 2014 | 01:05 WIB

    W. Riawan Tjandra,Pengajar Universitas Atma Jaya

    Dana optimalisasi pada 2014 untuk tambahan belanja bagi seluruh kementerian/lembaga

    dianggarkan senilai Rp 27 triliun. Angka itu meningkat dibanding pada tahun-tahun

    sebelumnya, yang hanya berkisar Rp 11-13 triliun. Dana Rp 27 triliun itu didapat dari

    berbagai penghematan belanja. Misalnya, nilai belanja pegawai turun Rp 12,7 triliun dari Rp

    276,7 triliun dalam RAPBN 2014 awal menjadi Rp 264 triliun dalam APBN. Begitu juga

    dengan belanja barang-sebelumnya mencapai Rp 203,7 triliun-turun Rp 1,8 triliun menjadi

    Rp 201,9 triliun. Belanja subsidi turun Rp 2,6 triliun, dari sebelumnya Rp 336,2 triliunmenjadi Rp 333,7 triliun. Hal ini terjadi terutama akibat penurunan nilai subsidi energi

    sebanyak Rp 2,6 triliun menjadi Rp 282,1 triliun.

    Istilah "dana optimalisasi" muncul dari salah satu ketentuan dalam Peraturan Menteri

    Keuangan (Permenkeu) Nomor 32/PMK.02/2013, yang menggunakan istilah hasil

    optimalisasi, yaitu hasil lebih atau sisa dana yang diperoleh setelah pelaksanaan dan/atau

    penandatanganan kontrak dalam suatu kegiatan yang target sasarannya telah dicapai. Secara

    "cerdik", dana optimalisasi disisipkan sebagai klausul dalam Permenkeu tersebut sebagai

    tindak lanjut peluang perubahan anggaran yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2012

    tentang APBN Tahun Anggaran 2013, PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja

    Pemerintah, dan PP Nomor 90 Tahun 2012 tentang Penyusunan RKA Kementerian/Lembaga.

    Dana optimalisasi tersebut, jika dicermati secara mendalam, sejatinya hanya merupakan

    kemasan baru dari Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang pernah diatur

    melalui Permenkeu Nomor 25/PMK.07/2011 dan Permenkeu Nomor 140/PMK.07/2011

    tentang Alokasi dan Pedoman Umum Penggunaan Dana Percepatan Pembangunan

    Infrastruktur Daerah Tahun Anggaran 2011 (DPPID). DPID dan DPPID tersebut telah

    membuka praktek-praktek korupsi politik karena memungkinkan Badan Anggaran DPR

    menjadi "pemain" dalam alokasi kedua jenis dana tersebut dan menyeret sejumlah namaanggota Badan Anggaran DPR dalam kasus korupsi. DPR, yang seharusnya menjadi

    pengawas, justru menjadi pemain dalam alokasi anggaran tersebut.

    Sementara pada masa tersebut dana politik itu diatur dalam peraturan khusus, kini melalui

    dana optimalisasi, ketentuan yang membuka peluang terjadinya korupsi politik yang nyaris

    identik dengan sebelumnya disisipkan dalam mekanisme peraturan yang mengatur masalah

    perubahan anggaran. Peluang perubahan anggaran yang diatur dalam beberapa pasal dalam

    Permenkeu Nomor 32/PMK.02/2013 memungkinkan terjadinya praktek-praktek korupsi

    politik yang sejenis dengan kasus DPID dan DPPID.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    37/64

    Modus korupsi politik melalui DPID/DPPID pada masa lalu, yang kini berubah wujud

    menjadi dana optimalisasi, menyerupai modus dana "gentong babi" (pork barrel) yang di

    beberapa negara dimanfaatkan oleh politikus untuk memperluas dan memperkuat basis

    dukungan politik mereka dalam pemilihan umum.

    Keberadaan dana optimalisasi yang sudah telanjur dilegalkan melalui Permenkeu Nomor

    32/PMK.02/2013 diindikasikan tak lepas dari strategi pembiayaan politik dari para politikus

    dalam menyongsong hajatan politik pada 2014. Cara-cara ala pork barrel tersebut tak urung

    akan melanggengkan siklus korupsi politik di negeri ini, yang akan menyebabkan Trias

    Politika di negeri ini menjelma menjadi "Trias Koruptika" dengan "bancakan" dana

    optimalisasi sembari berpesta demokrasi. *

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    38/64

    Balada Pemasang Baliho

    Selasa, 11 Februari 2014 | 01:06 WIB

    Putu Setia,@mpujayaprema

    Mobil pikap itu datang lagi. Sopirnya bergegas menurunkan setumpuk bahan baliho sebagai

    alat peraga calon legislator. Pan Darma, yang sedang membelah bambu, menyambut dengan

    sigap. "Ini ada lagi empat baliho caleg, masing-masing dua puluh, terserah mau dipasang di

    mana," kata sang sopir.

    Tak perlu lagi dialog lain. Sopir itu adalah karyawan perusahaan digital printing yang tumbuh

    menjamur. Mesin cetaknya bahkan ada di kota/kecamatan. Biaya cetak pun murah, hanya Rp15 ribu per meter persegi. Spanduk dari kain yang disablon dianggap lebih mahal dan sudah

    kedaluwarsa. Pan Darma adalah tukang pasang baliho paling top di kampung itu. Dia punya

    kebun bambu.

    Ratusan baliho yang telah dipasang Pan Darma memenuhi pinggir-pinggir jalan. Puluhan

    pula baliho yang tumbang oleh angin, tapi dia tak peduli. Kontrak kerjanya hanya membuat

    bentangan baliho dan memasangnya. Urusan lain-roboh oleh angin atau dirobohkan orang-ia

    tak peduli. Pan Darma hanya menjual jasa plus menjual bambunya.

    Dia juga sering tak peduli akan wajah caleg pada baliho itu, bahkan tak memedulikan pemilu

    itu sendiri. Toh, Pan Darma kerap heran lantaran wajah dan slogan atau apa pun namanya

    yang tertulis pada baliho itu hampir seragam. "Mohon doa restu dan dukungannya", lalu ada

    wajah manis dengan tangan seperti mengemis. Kalau pun ada kalimat lain, semuanya

    gombal. "Berjuang meningkatkan kehidupan petani dan wong cilik." Puih, Pan Darma sering

    meludah ketika memasang bentangan bambu pada baliho itu.

    Kali ini, tatkala dia membuka sebuah outdoor banner untuk mengetahui besar bentangannya,

    dia kaget. Wajah perempuan itu dikenalnya betul. "Ini teman SMA-ku, gobloknya selangit,"

    ia mengumpat dalam hati. Tapi memang cewek caleg itu terkenal sebagai pemain dramagong, dan ketika drama tak laku lagi, dia menjadi penari "joged binal", yang hanya bisa

    mengangguk-angguk. "Betul dia populer, tapi bisa apa? Saya lebih pantas jadi wakil rakyat,

    tapi saya tak punya uang dan tentu saja karena saya orang waras."

    Pan Darma sering menonton televisi yang mengumbar caleg artis. Yang ia ingat adalah Angel

    Lelga dan Camel Petir, keduanya penyanyi. Pan Darma pun bertanya, kalau mereka betul

    menjadi wakil rakyat bersama penari joged goblok ini, seperti apa wajah Tanah Air? Dia tak

    bisa membayangkan, bagaimana wakil rakyat seperti itu akan memilih hakim agung,

    gubernur bank sentral, duta besar, Ketua KPK, dan seterusnya?

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    39/64

    Seperti ada yang menyuruh, Pan Darma membuka bahan baliho dari ikatan yang lain. "Ya

    ampun, dia jadi caleg?" Cetakan digital itu sempat dibantingnya. Dia tahu lelaki itu. Penjudi

    sabung ayam dan makelar togel. Memang lelaki itu dekat dengan pejabat. Entah ia berkuliah

    di mana, tiba-tiba pada balihonya ada gelar S.Sos.

    Tiba-tiba ada rasa menyesal pada diri Pan Darma, kenapa dia mau menjadi tukang pasang

    baliho kalau yang dipajang itu orang-orang tak layak semua? Ia seperti mengkampanyekan

    orang-orang buruk. Pasti masih ada caleg yang baik, tapi mereka enggan memasang baliho,

    atau bisa jadi tak punya biaya. Bagaimana masyarakat memilih caleg yang baik kalau mereka

    tidak dikenal. Balihonya tak ada, televisi dan koran tak memajang wajah mereka yang tak

    kuat beriklan. Tapi Pan Darma tak mau pula disalahkan. "Kalau saya salah, pemilik televisi

    lebih salah lagi. Kenapa caleg seperti itu dipamer-pamerkan?" Dia cuma membatin.

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    40/64

    Menjaga Warisan Arkeologi

    Rabu, 12 Februari 2014

    Djulianto Susantio,Arkeolog

    Arkeologi dipandang sebagai ilmu yang kering karena sering diidentikkan dengan

    penanganan benda-benda budaya masa lampau dari dalam tanah saja. Negara kita yang

    sangat luas, dengan masa lampau yang cemerlang, menjadikan ladang penelitian begitu

    beragam. Hal itu pula yang menyebabkan arkeologi sebenarnya tidak kering. Yang kering

    justru anggaran yang diterima dari pemerintah untuk konservasi.

    Di lain pihak, kita menghadapi kendala minimnya apresiasi masyarakat terhadap warisan-

    warisan masa lampau. Kemungkinan banyaknya pelecehan terhadap warisan-warisan

    arkeologi disebabkan oleh masih sangat terbatasnya tenaga arkeolog yang ada. Bayangkan,

    kita memiliki 30-an provinsi, sebaliknya jumlah arkeolog yang ada begitu minim. Ada

    berbagai penyebab kelangkaan tenaga arkeolog. Pertama, karena penerimaan tenaga arkeolog

    tidak dibuka setiap tahun, meskipun satu per satu arkeolog senior mulai pensiun. Di pihak

    lain, para arkeolog muda enggan ditempatkan di daerah terpencil. Masalah penghasilan bisa

    saja menyebabkan banyak arkeolog enggan berkiprah di bidangnya.

    Begitulah, sejak dulu banyak sekali pencemaran atau pelecehan terhadap warisan-warisan

    arkeologi karena kurangnya tenaga pengawas, penyuluh, penjaga, pelestari, dan lain

    sebagainya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana agar kita bisa memberdayakan

    masyarakat.

    Di banyak tempat, terlihat pola pikir masyarakat sudah berubah, umumnya menjadi

    konsumtif dan ekonomis. Karena pola pikir inilah ketidakpedulian sering terjadi. Meskipun di

    suatu tempat ada situs, misalnya, bila mereka ingin menanam, ya, mereka akan tetap

    menanam. Kasus seperti ini selalu berulang di perkebunan kentang yang terdapat di situsPercandian Dieng.

    Masyarakat di sekitar Trowulan umumnya tahu bahwa bata-bata merah yang tersisa adalah

    peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun mengapa mereka tetap menggerusinya untuk

    dijadikan bahan baku pembuatan semen merah, ya, karena masalah ekonomi dan kebutuhan

    perut: konsumtif dan ekonomis.

    Bukan hanya rakyat kecil, pengusaha kelas kakap pun sama saja. Situs Rancamaya di daerah

    Bogor sudah banyak disorot di media cetak sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran. Apa

    yang terjadi kemudian? Di area situs tetap berdiri berbagai perumahan mewah, sehingga

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    41/64

    menenggelamkan upaya pemahaman akan masa lampau masyarakat Sunda. Padahal banyak

    intelektual terdapat di jajaran perusahaan real estat itu. Mereka seolah-olah tidak tahu, tidak

    mau tahu, pura-pura tidak tahu, atau tidak mau peduli, entahlah.

    Memberdayakan masyarakat tentu bukanlah hal yang mudah. Padahal, kalau masyarakatsadar betul bahwa di daerahnya terdapat situs, yang untung adalah masyarakat sekitar juga.

    Artinya begini, bila situsnya terpelihara, maka bisa mendatangkan wisatawan, sehingga desa

    tersebut menjadi terkenal. Banyak wisatawan berarti banyak lapangan pekerjaan.

    Berbicara arkeologi tentulah tidak bisa dipisahkan dari kepariwisataan. Memberdayakan

    masyarakat juga tidak ubahnya meningkatkan taraf hidup mereka. Menjaga warisan arkeologi

    sekaligus meningkatkan kegiatan pariwisata, jelas perlu rumusan-rumusan tertentu.*

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    42/64

    Kemerdekaan Pers

    Rabu, 12 Februari 2014

    Achmad Fauzi,Aktivis Multikulturalisme

    Pers Indonesia harus merdeka! Pekik harapan ini mengemuka dalam setiap momen Hari Pers

    Nasional, 9 Februari. Dalam perjalanannya, pers acap dipandang secara tidak proporsional.

    Benar, doktrin kebebasan pers dijamin di Indonesia, namun pada saat yang sama

    keberlangsungan pers selalu disudutkan oleh penguasa.

    Setiap Hari Pers, Presiden kerap mengapresiasi kiprah pers nasional yang dianggap mampumenjalankan fungsi pers sebagai bagian dari proses check and balanceterhadap penggunaan

    kekuasaan di Indonesia. Namun, ketika pers menjalankan fungsi kontrol, tak jarang penguasa

    mengecamnya, sehingga pers (baca: media) kehilangan independensi, kehilangan pembaca,

    pendengar, pemirsa, dan iklan.

    Pemerintah hanya melanggengkan media yang dianggap mendukung politik pencitraan.

    Sementara itu, harapan membangun pilar pers yang merdeka dengan memelihara nalar

    kritisnya hanyalah cita-cita utopis. Padahal, peran pers menjadi tumpuan utama dalam

    penyelesaian persoalan bangsa. Kemerdekaan pers, menurut Bagir Manan (2010), merupakankebebasan dalam menjalankan tugas jurnalistik yang meliputi kebebasan mendapatkan

    berita, mengolah dan menyusun berita, serta menyiarkan berita. Dengan demikian, semua

    bentuk pengerdilan otoritas pers, baik pembatasan bersifat preventif maupun represif yang

    dilakukan tanpa mengikuti prinsip demokrasi dan negara hukum, adalah pembatasan yang

    sewenang-wenang, karena itu dilarang.

    Selama ini pers atau media dianggap terlalu "kebablasan" dan kerap mengkritik pemerintah.

    Ini menjadi mimpi buruk kebebasan pers di Indonesia dan awal mula robohnya pilar pers

    kita. Sebab, media tidak mungkin mengkritik pemerintah tanpa dasar, karena ketika pers

    "ngawur" memberitakan kebobrokan suatu rezim tanpa didukung oleh fakta, secara alamiah

    pers akan ditinggalkan masyarakat. Pers dijamin tidak akan dipercayai lagi kredibilitasnya.

    Pemerintah tidak perlu pusing menanggapi jamaknya kritik dari media. Sebab, pemerintahan

    yang baik akan tetap baik di mata masyarakat, kendati media menjelek-jelekkannya.

    Cukuplah menjawab kritik itu dengan kerja keras dan karya nyata. Terlalu mahal jika energi

    pemerintah terkuras habis hanya karena polemik tentang politik pencitraan, sementara agenda

    besar yang direncanakan terbengkalai.

    Ketidakharmonisan hubungan pers dengan kekuasaan sejatinya akan menimbulkan beberapaimplikasi. Pertama, pengecaman atas fungsi kontrol pers akan melanggengkan rezim otoriter,

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    43/64

    sehingga berpotensi memunculkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Kedua, pers sebagai

    unsur kekuasaan sosial akan kehilangan napas untuk hidup di alam demokrasi, yang dalam

    jangka panjang akan melemahkan tingkat keberdayaan masyarakat. Seperti kita ketahui,

    masyarakat banyak mengetahui informasi penting, terutama berkaitan dengan kebijakan

    pemerintah, karena peran media. Ketika pers menjalankan perannya dalam memberi kritikyang obyektif dan berimbang kepada penguasa, sesungguhnya pers sedang mewakili suara

    masyarakat. Dengan kata lain, pers menjadi instrumen demokrasi untuk menyuarakan

    mereka yang tidak mampu lagi bersuara. *

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    44/64

    Sistem Penyiaran Belum Optimal

    Rabu, 12 Februari 2014

    Sabam Leo Batubara,Koordinator Tim Perancang RUU Penyiaran 1999-2000

    Sebagai hasil gerakan reformasi, sistem penyelenggaraan penyiaran kita sudah cukup baik.

    Regulasinya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan

    Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Persoalan pokoknya, terjadi banyak pelanggaran

    terhadap sistem oleh sejumlah stasiun televisi, tapi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak

    mampu menegakkan sanksi yang adil dan "memaksa" penyelenggara penyiaran untuk

    menghormati dan mentaati aturan main penyiaran.

    Ketidakmampuan itu ditunjukkan oleh bagaimana KPI menyikapi pelanggaran oleh enam

    dari 10 stasiun televisi nasional. Temuan KPI tentang pelanggaran sudah cukup akurat dan

    benar, tapi sanksinya tidak efektif melindungi kepentingan masyarakat.

    Menjawab pengaduan masyarakat terhadap enam stasiun televisi, KPI mengeluarkan

    keputusan berikut ini.

    Pertama, KPI memberi sanksi administratif teguran tertulis kepada enam stasiun televisiberikut ini karena dinilai melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program

    Siaran (P3&SPS). Siaran iklan "ARB_Golkar versi 49 Tahun Golkar" yang ditayangkan TV

    One (24/10/2013) dan ANTV (25/10/2013) dinilai telah memenuhi unsur kampanye yang

    dilarang disiarkan di luar masa kampanye resmi.

    Program Kuis Kebangsaan yang hadiahnya disediakan oleh WIN_HT (1/12/2013) dinilai

    melanggar P3&SPS karena dibiayai oleh Partai Hanura. Program Kuis Indonesia Cerdas di

    Global TV (26/11/2013) dinilai melanggar karena dibiayai Partai Hanura. Siaran Iklan

    "WIN_HT versi Pakaian Adat" di MNCTV (30/11/2013) dinilai melanggar karena disiarkan

    di luar masa kampanye resmi.

    Program siaran jurnalistik Headline News pukul 11.00 WIB di Metro TV (11/11/2013) dan

    juga banyak ditemukan dalam program berita lain, dinilai telah melanggar larangan

    pemanfaatan program siaran untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok pemilik lembaga

    penyiaran. Beberapa iklan Metro TV dinilai melanggar karena disiarkan (11/11/2013) di luar

    masa kampanye resmi. Tapi KPI tidak memberi sanksi, hanya meminta Metro TV tidak lagi

    menayangkan iklan-iklan tersebut.

    Kedua, KPI menilai keenam stasiun televisi melanggar peraturan bahwa program siarandilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan

  • 8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014

    45/64

    dan atau kelompoknya. Pelanggaran TV One dan ANTV karena kuantitas dan frekuensi iklan

    kampanye. Pelanggaran oleh RCTI, Global TV, MNC TV, dan Metro TV karena

    pemberitaan.

    Paradoksnya, KPI memberi sanksi administratif teguran tertulis hanya kepada Metro TV dantidak memberi sanksi kepada lima media lain. KPI hanya memintanya mempedomani

    P3&SPS.

    Bagaimana KPI mampu mengawal media penyiaran dalam upaya mewujudkan well informed

    voters dalam Pemilu 2014, jika media penyiaran yang tidak netral dan mengutamakan

    kepentingan golongan tertentu tidak diberi sanksi yang