caping+cari angin+kolom tempo 8.6.2014-14.6.2014

Upload: ekho109

Post on 03-Jun-2018

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    1/42

    Air KelapaSenin, 09 Juni 2014

    Ada sesuatu yang menarik bila kekuasaan bermula dari cerita tentang kata dan air kelapa.Kita menemukannya dalam dongeng Jawa tentang pendiri Kerajaan Mataram.

    Tersebutlah pada suatu pagi Ki Ageng Giring, seorang peladang, memanjat pohon nyiur dihalamannya untuk memetik sebutir kelapa. Ia ingin membuat santan. Tapi di pucuk pohon itutiba-tiba terdengar suara: "Barang siapa yang meminum air kelapa yang kau pegang itu, akania turunkan anak-cucu yang berkuasa di kerajaan masa depan."

    Dengan gemetar Ki Ageng Giring memetik nyiur itu, meluncur turun, dan pulang. Tapi harimasih pagi; ia belum haus. Buah kelapa itu hanya ia lubangi untuk bisa direguk airnya nanti,lalu ia letakkan di para-para dapur. Ia pun kembali ke kebun untuk mencangkul.

    Tak disangka-sangka, tetangga dan sahabat karibnya, Ki Ageng Pemanahan, yang baru sajasibuk membersihkan semak-semak, mampir. Karena haus tak tertahan, melihat nyiur yangsudah disiapkan di dapur itu, ia mengambilnya dan mereguk airnya.

    Dan demikianlah jadinya: Ki Ageng Pemanahan adalah progenitor pendiri KerajaanMataram. Anaknya, seorang pemuda cerdik dan pemberani, Sutawijaya, menjadi seorang

    prajurit yang makin lama makin dipercaya di Kerajaan Pajang. Ia berhasil menewaskan AryaPenangsang, seorang bangsawan yang tak mau takluk. Atas jasanya, Sutawijaya diberi gelarPanembahan Senapati dan sebentang wilayah. Berangsur-angsur, daerah itu ia kembangkan

    jadi kerajaan yang disebutnya dengan nama "Mataram", seperti kerajaan Jawa dari zamankeemasan sebelum Islam. Ia memerintah dari 1584 sampai meninggal pada 1601.

    Bagi saya, yang penting dalam cerita itu adalah sepatah kata dalam kalimat yang didengar KiAgeng Giring: "Barang siapa...". Tak ada nama tertentu yang disebut. Kekuasaan padahakikatnya sebuah peruntungan yang terbuka. Tak ada pintu tertutup bagi orang atau kaum

    tertentu. Jika Ki Ageng Pemanahan yang mendapatkan karunia itu, itu berarti asal-usulkekuasaan bermula pada nasib yang tak eksplisit dan sebuah kebetulan. Kata-kata gaib danair kelapa sebagai bagian awal cerita tentang kejayaan dan kejatuhan raja-raja Jawa agaknyauntuk pengingat bahwa kekuasaan sekaligus mengandung misteri dan hal sehari-hari.

    Dengan kata lain, tak ada fondasi yang kukuh kekal yang menentukan seseorang untuk berada di atas takhta atau di bawahnya. Sumber legitimasi kekuasaan ibarat datang darisebuah liang tambang tua yang kosong tapi penuh kabut. Sejarah kekuasaan adalah sejarahkecemasan.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    2/42

    Itu sebabnya kekuasaan perlu punya aura, dan aura perlu mithos. Harus ada sesuatu yangakan memberi alasan bahwa ia sah, bahwa ia patut diterima siapa saja kapan saja. Itu berarti,dalam kecemasannya, kekuasaan tak bisa cuma sebuah monolog. Ia butuh Liyan yangmengakuinya. Dengan demikian sebenarnya ia mengakui bahwa ada pihak lain yang

    dianggap setara, atau lebih luhur, yang punya daya untuk memberi pengakuan ataumenolaknya.

    Di zaman demokrasi, Liyan itu "rakyat": himpunan yang tak sepenuhnya dapat dihadirkanselain secara simbolis. Di abad ke-16 itu, Liyan itu dilambangkan secara lain: seorang ratugaib dari laut selatan. Salah satu dongeng terkenal tentang Panembahan Senapati adalahhubungannya dengan Nyai Roro Kidul. Dikisahkan, pada suatu saat putri alam gaib itumendatangi Baginda. Mereka bercintaan. Tapi pada saat yang sama dikatakan juga bahwa

    Nyai Roro Kidul menyerah ke dalam wibawa sang penguasa Mataram: sor prabawa lanwong agung ngeksiganda.

    Kekuasaan Senapati dan auranya, takhta, dan legitimasinya menjadi menguat dengandongeng itu. Tapi tampak: seorang penguasa harus berjuang secara rumit dan subtil buatmemperoleh hegemoni.

    Dongeng di atas bisa ditafsirkan untuk menggugat thesis bahwa perjuangan hegemonisepenuhnya ditandai antagonisme. Sebab yang terjadi adalah jalin-menjalin yang tegangantara persaingan dan pertalian. Memang ada konflik yang tersamar, tapi hegemoni takmungkin hanya dicapai dengan keris yang berdarah.

    Kita tahu apa yang terjadi. Kekuasaan penerus dinasti Mataram, Amangkurat I (1646-1677), praktis adalah titah yang berdarah. Babad Tanah Jawi mengisahkan suasana kerajaan yangmuram dan menakutkan yang segera disusul sebuah akhir yang dramatis. Riwayat KerajaanMataram tamat ditutup pemberontakan Trunajaya. Legitimasi hilang, hegemoni runtuh.

    Para pendongeng kemudian berkisah, dalam perjalanan melarikan diri dari istananya,Amangkurat I mati karena meminum air kelapa yang beracun. Mungkin ini juga sebuahtamsil: rasa haus akan kekuasaan di saat yang tepat akan berhasil; rasa haus kekuasaan di saatyang salah akan membuat binasa dan orang tak selalu tahu kapan saat yang salah itu.

    Goenawan M ohamad

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    3/42

    Perang

    Sabtu, 07 Juni 2014

    Toriq Hadad, Wartawan @thhadad

    Belakangan ini, ketika orang semakin sengit saling menjagokan calon presiden, hidup terasatambah repot. Pakai baju putih dikira mendukung nomor satu. Pakai "kotak-kotak" disangkasuporter nomor dua. Mau kirim sandek sekarang tak bisa sembarangan. Pernah pesan pendekseorang kawan hanya saya jawab: ha ha. Yang terima pesan memprotes: kenapa "ha" dua

    kali? Emangnya mendukung nomor dua? Demi pertemanan, sejak itu saya tulis ha ha ha. Tigakali, kadang kala empat kali.

    Segala hal yang dulu tak jadi soal, sekarang jadi masalah. Misalnya soal kebiasaan di bulan puasa yang sebentar lagi datang. Seorang kawan bertanya: berapa butir kurma yang kamumakan waktu berbuka? Saya jawab, dua. Di luar dugaan, kawan itu bilang begini: ikuti

    sunnah , pilihlah bilangan ganjil. Saya bingung. Akhirnya saya jawab, saya berbuka dengankurma California yang besar itu. Satu kurma tak cukup, tiga kelewat kenyang. Dua paling

    pas.

    Pernah saya dikritik teman-teman bursa saham lantaran saya pakai kata "pertarungan" untuk"pilpres" itu. Mereka bilang kata itu dekat maknanya dengan gontok-gontokan, perkelahian,kegaduhan, ketegangan, perbenturan.

    Menurut mereka, semua kata berkonotasi "keras" punya akibat negatif pada saham. "Setelahmereka bertarung, yang babak-belur harga saham. Ekonomi bisa merosot. Apalagi kalau yangmenang si X," ujar seorang pialang. Saya bertanya lebih lanjut, siapa si X itu. Dia menyebutnama, tapi tak bisa disebutkan di sini. Takut dituduh pengawas pemilu menyebarkan blackcampaign , meskipun yang sudah jelas-jelas menyebarkan tabloid berita bohong tak kunjung

    ditindak.

    Walhasil, langkah dan kata sekarang penting benar dijaga. Itu sebabnya saya kaget sewaktuAmien Rais, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN), mengatakan

    pertarungan pemilu presiden 9 Juli nanti layaknya Perang Badar, bukan seperti Perang Uhud.

    Kekagetan saya sedikit berkurang setelah Drajad Wibowo, Wakil Ketua Umum PAN, buru- buru menjelaskan maksud Amien. Yang ditunjuk rupanya niat atawa nawaitu -nya. PerangBadar dilakukan dengan niat ikhlas, tanpa berharap imbalan jabatan. Sedangkan dalamPerang Uhud, pasukan Islam berperang untuk memperebutkan harta.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    4/42

    Kalau penjelasan itu benar, artinya kedudukan "niat" yang ikhlas dalam sejarah agama sepertiPerang Badar sangat penting, melebihi perhitungan akibat yang ditimbulkan. Agama memangmesti ditegakkan dengan pengorbanan apa pun, termasuk jiwa dan nyawa. Meskipun dijalanidengan niat yang ikhlas, dalam Perang Badar itu pasukan Islam kehilangan 14 jiwa,

    menewaskan sedikitnya 70 orang lawan.

    Sementara itu, pemilihan presiden, meskipun perlu dimenangi dengan niat ikhlas membangunnegeri, merupakan hajatan demokrasi yang wajib diperhitungkan akibatnya. Ini bukan urusanagama. Bukan soal hidup-mati. Tak perlu mengorbankan segala-galanya, apalagi sampai

    jiwa-raga pengikut kedua calon presiden.

    Sesungguhnya kita memang perlu perang. Bukan serupa Perang Bubat, Perang Paregreg, atauPerang Diponegoro, melainkan perang yang lebih berat: melawan korupsi, melawan

    pelanggaran hak asasi manusia, melawan ketidakadilan. Kita punya daftar panjang dalam tiga

    hal itu: rasuah yang sudah menjangkiti sejumlah kementerian, penculikan aktivis yang belumterungkap, pengadilan yang masih jauh dari tempat mencari keadilan, dan seterusnya.

    Hari-hari ini, tiba-tiba saya teringat satu perang lagi: melawan kebodohan yang membuatsepak bola kita selalu gagal maju ke Piala Dunia.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    5/42

    Nomor Cantik

    Senin, 09 Juni 2014

    Iwel Sastra , komedian, @iwel_mc

    Istilah nomor cantik populer di masa telepon seluler menjadi tren di Indonesia. Penjual kartu perdana menawarkan aneka nomor cantik dengan harga beragam. Semakin cantik sebuahnomor, harganya semakin mahal. Nomor cantik semakin mahal bila angkanya mudah diingatatau susunan angkanya menarik. Padahal, untuk telepon seluler, nomor cantik itu sudah tidak

    ada artinya ketika seseorang menyimpannya beserta nama kita di pesawat teleponnya. Saatmenelepon, yang keluar bukan lagi nomor cantik, melainkan nama. Namun saya belum

    pernah menemukan ada yang menjual nama cantik.

    Nomor cantik juga menjadi tren untuk pelat nomor kendaraan. Biasanya pelat nomor cantikdihubungkan dengan tanggal lahir atau nama si pemilik. Ketika membeli mobil baru, seorangteman yang baru menikah memesan pelat nomor dengan memasang tanggal pernikahandiakhiri inisial huruf namanya dan pasangan. Sayang, rumah tangga teman ini tak bertahanlama. Saya ingin tahu apakah dia kemudian mengganti pelat nomornya dengan tanggal

    perceraian. Seniman Sys Ns menggunakan rangkaian B 515 NS untuk pelat nomorkendaraannya. Terinspirasi oleh Sys Ns, saya pun memesan pelat nomor B 1 WEL.Sayangnya, permintaan saya ditolak karena saya belum memesan mobil.

    Selain angka yang menjadi nomor cantik, kita mendengar mitos angka sial, yaitu angka-angka yang biasanya dihindari untuk digunakan. Di Cina, angka 4 dihindari karena angka 4disebut "shi", yang bermakna kematian. Di Indonesia, banyak yang menilai angka 9 adalahangka bagus, namun masyarakat Jepang menghindari angka 9 karena pengucapan "ku" untukangka 9 berarti penderitaan. Angka 13 di Amerika dihindari karena dianggap sebagai angkasial. Di Indonesia, secara umum banyak orang yang menghindari angka 13. Bagi saya, semua

    angka baik dan memiliki perannya sendiri. Bahkan saya termasuk orang yang berani memilihangka 13 dalam berbagai pilihan hidup saya. Pernah saya diminta memilih honor manggung 10 atau 13 juta, maka saya dengan berani memilih angka 13 juta.

    Nomor cantik juga berlaku di ranah politik. Pada pemilu legislatif 9 April 2014 lalu ada beberapa partai politik yang mengincar nomor urut tertentu. Biasanya nomor urut yangdiincar adalah nomor urut kecil. Ini tidak ada hubungannya dengan keberuntungan, hanyauntuk memudahkan mengacungkan jari ketika kampanye. Mendapatkan nomor urut antara 1sampai 5 selama kampanye cukup mengacungkan satu tangan serta mengembangkan jari

    sesuai dengan nomor urut partai. Bagi yang dapat nomor urut 6 sampai 10 sedikit repotmengacungkan dua tangan sambil mengembangkan jari sesuai dengan nomor urut partai.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    6/42

    Yang mendapatkan nomor urut di atas 10, tentu lebih repot lagi.

    Dalam pemilihan presiden 9 Juli 2014 hanya tersedia dua nomor urut, yaitu 1 dan 2. Sayamenilai kedua nomor urut ini sama cantiknya. Ini terlihat dari kreativitas para tim sukses

    capres yang mengolah nomor urut menjadi bahan kampanye. Prabowo-Hatta mengajak calon pemilih menyerukan "satu-satunya pilihan adalah nomor satu". Jokowi-JK menyebar pesan"kesehatan nomor satu, presiden nomor dua". Menurut saya, yang paling penting bagi capres

    bukanlah nomor urut cantik, melainkan program cantik. Program-program yang dikemascantik dan berpihak kepada rakyat, bukan kepada partai koalisi maupun pemodal. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    7/42

    Etika dan Tingginya Harga Benda Seni

    Senin, 09 Juni 2014

    Peter Singer , Guru Besar Bioetika pada Princeton University di New York

    Di New York bulan lalu, balai lelang Christie's menjual benda-benda seni kontemporer dan pasca-perang senilai US$ 745 juta, jumlah tertinggi yang pernah tercapai dalam satu sesilelang. Di antara karya-karya berharga tinggi yang terjual termasuk lukisan-lukisan olehBarnett Newman, Francis Bacon, Mark Rothko, dan Andy Warhol, masing-masing terjual

    dengan harga lebih dari US$ 60 juta. Menurut harian New York Times , kolektor- kolektor dariAsia memainkan peran menonjol dalam mendongkrak harga.

    Sudah pasti beberapa di antara para kolektor ini menganggap apa yang mereka beli itusebagai investasi, sama seperti saham atau properti, atau emas batangan. Kalau begitu,apakah harga yang mereka bayar itu terlalu berlebihan atau wajar bergantung pada seberapatinggi pasar bersedia membayar harga barang seni itu di kemudian hari.

    Tapi, bila laba bukan motifnya, mengapa ada orang yang mau membayar puluhan juta dolar

    untuk benda-benda seni seperti ini. Karya-karya seni ini tidak indah, tidak juga iamenunjukkan keterampilan artistik yang ulung. Ia bahkan bukan luar biasa menurut ukurankarya seorang seniman.

    Sepuluh tahun yang lalu, Metropolitan Museum of Art di New York membayar US$ 45 jutauntuk sebuah lukisan Madonna and Child oleh Duccio. Setelah itu, saya menulis, dalam bukuyang saya karang, The Life You Can Save , bahwa ada hal-hal lebih baik yang bisa dilakukan

    para donor yang membiayai pembelian benda-benda itu dengan uang mereka.

    Saya belum mengubah pandangan saya mengenai hal ini, tapi lukisan Madonna and Child itudilukis dengan indah dan sudah berusia 700 tahun. Duccio adalah seorang tokoh utama yangmelukis di masa transisi penting dalam seni di dunia Barat, dan tidak banyak lukisannya yangmasih ada saat ini.

    Meski demikian, pentingnya seni pasca perang ini mungkin terletak pada kemampuannyamenantang ide-ide yang kita pegang. Pandangan demikian diekspresikan oleh Jeff Koons,yang karyanya ditawarkan dalam lelang Christie's itu. Dalam wawancara pada 1987 dengan

    pengamat seni, Koons merujuk pada karya yang terjual bulan lalu yang dinamakannya "JimBeam's Work" (Karya Jim Beam). Koons telah memamerkan karya ini-suatu kereta api

    mainan tanpa karat dan berukuran sangat besar yang sarat dengan minuman keras Bourbon-dalam sebuah pameran yang dinamakan "Luxury and Degradation" (Kemewahan dan

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    8/42

    Degradasi) yang, menurut New York Times, membedah "kedangkalan, ekses, dan bahayakemewahan 1980-an yang melambung tinggi itu."

    Dalam wawancara tersebut, Koons mengatakan karya Jim Beam itu "menggunakan metafora

    kemewahan untuk mendefinisikan struktur kelas." Pengamat seni Helena Kontova kemudian bertanya kepadanya bagaimana "niat sosial-politik"-nya itu berkaitan dengan Ronald Reagan,Presiden AS saat itu. Koons menjawab, "Dengan Reaganisme, mobilitas sosial sudah ambruk,dan sebagai gantinya bukan terbentuk suatu struktur yang terdiri atas kelas bawah, menengah,dan atas, sekarang kita telah jatuh ke dalam kelas bawah dan kelas atas saja. Karya saya

    berdiri tegas menentang kecenderungan ini." Seni sebagai bentuk kritik terhadap kemewahandan ekses! Seni sebagai oposisi terhadap makin lebarnya kesenjangan antara yang kaya danyang miskin! Betapa mulia dan berani kedengarannya.

    Jika seniman, pengamat seni, dan kolektor benda seni benar-benar berkepentinganmengurangi kesenjangan yang makin lebar antara yang miskin dan yang kaya, mereka akanmeluangkan waktu mereka di negara-negara berkembang dan dengan seniman setempat, dimana mengeluarkan beberapa ribu dolar saja untuk membeli karya-karya seni di sana besarartinya bagi kesejahteraan seluruh warga desa.

    Di semua budaya, dan dalam segala situasi, orang menghasilkan karya seni, bahkan ketikamereka tidak bisa memuaskan kebutuhan dasar fisik mereka.

    Tapi kita tidak perlu kolektor benda seni mengeluarkan jutaan dolar untuk mendorong orang

    berbuat begitu. Sebenarnya, tidak sulit memberikan argumentasi bahwa harga setinggi langittelah membawa pengaruh yang mengkorup ekspresi artistik.

    Soal mengapa kolektor mengeluarkan uang yang begitu besar, saya kira mereka berpikir bahwa memiliki karya-karya seni asli seniman-seniman terkenal akan meningkatkan statusdiri mereka. Kalau begitu, ini bisa membuka jalan melakukan perubahan: redefinisi statusyang mengikuti garis-garis yang lebih kuat berlandaskan etika. Dalam sebuah dunia yanglebih etis, mengeluarkan puluhan atau jutaan dolar untuk karya seni justru akan menurunkanstatus, bukan meningkatkan status.

    Perilaku demikian membuat orang bertanya: di sebuah dunia di mana lebih dari 6 juta anakmeninggal dunia setiap tahun karena ketiadaan air minum yang bersih dan kelambu untukmelindungi diri dari sengatan nyamuk, atau karena mereka tidak diimunisasi terhadapcampak, tidakkah Anda akan mencari sesuatu yang lebih baik dengan uang yang Andamiliki? *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    9/42

    Jurnalis di Simpang Jalan

    Senin, 09 Juni 2014

    Dian R. Basuki , peminat masalah sains

    Pemilihan presiden tahun ini telah menjadi batu ujian bagi para jurnalis: mampukah para jurnalis membebaskan diri dari tarikan-tarikan kepentingan politik pihak mana pun dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang diajarkan sejak menjadi jurnalis belia.

    Siapa pun yang memilih jadi jurnalis telah diajarkan sejumlah prinsip. Dua di antaranya,sebagaimana disarikan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of

    Journalism . Pertama, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.

    Tentu saja, ini bukan kebenaran yang mutlak. Meski demikian, para jurnalis telah dilengkapidengan seperangkat cara untuk menyaring sekian banyak informasi yang ia peroleh dari faktayang ia lihat, ucapan yang ia dengar, interaksinya dengan banyak orang. Cara-cara itu antaralain mencakup verifikasi agar informasi yang ia himpun akurat. Jurnalis juga harusmemeriksa sumber-sumbernya secara kritis dan memberi kesempatan kepada sumber-sumber

    yang berbeda pandangan untuk berpendapat secara berimbang.

    Namun hal itu tidaklah cukup. Tak kalah penting, dalam mengejar kebenaran itu, jurnalistidak dititipi oleh kepentingan tertentu ( disinterested pursuit of truth ). Begitu pula tatkala

    jurnalis mengkomunikasikannya melalui media apa pun. Jurnalis harus mengedepankan penyampaian kebenaran yang sejauh mungkin ia upayakan untuk akurat.

    Prinsip kedua yang sangat penting berkaitan dengan loyalitas. Loyalitas pertama jurnalismeialah kepada warga ( citizens ). Pencarian kebenaran dalam prinsip pertama ditujukan untukmelayani warga-bukan untuk memuaskan keinginan penguasa atau pemerintah, partai politik,

    pemilik modal, politikus, lembaga survei, perusahaan, juga bukan untuk menuruti kemauan pemilik media tempat jurnalis bekerja.

    Jurnalis harus bekerja semata-mata untuk kepentingan publik. Di tengah lalu-lalang informasiyang sangat cepat dan padat, pers yang bebas dan independen berperan sangat krusial dalammenyajikan informasi yang benar (dalam koridor dan ukuran kaidah-kaidah jurnalistik),

    berimbang, dan tidak insinuatif. Menyaring informasi dengan menggunakan prinsip dankaidah jurnalistik adalah bagian dari tanggung jawab jurnalis kepada warga.

    Pers yang bebas dan independen, yang dipandang sebagai salah satu pilar demokrasi, hanya bisa ditegakkan oleh jurnalis yang bebas dan independen. Para jurnalis yang setia kepada

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    10/42

    kedua prinsip tadi seharusnya menolak rekayasa pemberitaan yang kini dikemas dengansemakin piawai. Media televisi, yang memiliki pengaruh sangat besar dalam membentuk

    persepsi publik, menyajikan beragam acara yang menunjukkan kecondongan-kecondongan politik kepada salah satu kontestan.

    Peristiwa politik ini memang menempatkan para jurnalis di persimpangan jalan, tetapi para jurnalis tetap punya pilihan: memenuhi kemauan pemilik media dengan berpihak kepadasalah satu calon presiden atau setia kepada prinsip jurnalistik dengan segala konsekuensinya.

    Bila para jurnalis tetap setia pada prinsip-prinsip jurnalisme yang diajarkan sejak menjadi jurnalis belia, para jurnalis telah menorehkan catatan penting dalam sejarah negeri ini. Para jurnalis telah sanggup mempertahankan kebebasan dan independensinya demi menyajikankebenaran kepada warga di tengah hiruk-pikuk perburuan kuasa. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    11/42

    Kembali ke Visi

    Agung Baskoro , Analis Politik Poltracking

    Bila menelusuri kekuatan figur masing-masing calon presiden-wakil presiden, dialektikaHegel, yakni tesis-antitesis-sintesis, dapat digunakan sebagai pisau analisis guna memahamikedua pasangan kandidat ini.

    Pertama, bila mencermati latar belakang masing-masing capres-cawapres, terdapat satu benang merah yang sama, bahwa empat figur yang maju dalam pemilihan presiden nanti tiga

    di antaranya berlatar belakang pengusaha. Mereka adalah Hatta, Jokowi, dan JK. Prabowo taktermasuk karena meretas kariernya di jenjang militer.

    Kehadiran pengusaha dalam panggung politik ini sebenarnya relevan dengan tesis AniesBaswedan (2006) mengenai rulling elite Indonesia. Dalam tesisnya tersebut, Aniesmengidentifikasi elite dalam kategori intelektual, angkatan bersenjata, aktivis, dan terakhir

    pengusaha yang kini mendominasi peta politik karena tren pasar yang hegemonik.

    Tesis pengusaha ini setidaknya dapat memvisualisasi kekuatan karakter dasar yang dimilikioleh para capres-cawapres ini kepada publik, dari sikap kreatif, cermat menghitung risiko,tepat mengambil keputusan, hingga kemampuan berjejaring dan memiliki sumber daya yang

    baik.

    Kedua, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK hadir sebagai antitesis dari sosok PresidenYudhoyono. Bila selama ini Presiden Yudhoyono dianggap kurang tegas dalam memimpin,ketegasan itu kini ditemukan dalam sosok Prabowo. Begitu pula ketika Presiden Yudhoyonodinilai berjarak dengan rakyat ( high context ), figur Jokowi hadir sebagai simbol yangmerakyat.

    Realitas ini sebenarnya berulang dan bila melihat siklus pergantian rezim di negeri ini, akankita dapati satu kesimpulan bahwa figur antitesis selalu terjadi sebagaimana PresidenSukarno-Presiden Soeharto, Presiden Soeharto (dan Presiden Habibie)-PresidenAbdurrahman Wahid, Presiden Abdurrahman Wahid (dan Presiden Megawati)-PresidenYudhoyono.

    Ketiga, rentang tahun kelahiran pasangan capres-cawapres saat ini adalah 1942 (JK), 1951(Prabowo), 1953 (Hatta), dan 1961 (Jokowi). Jika diakumulasikan dengan usia dewasaataupun usia politik seorang manusia, yakni 17 tahun, tercatat, dalam rentang 1959-1978,kandidat seperti JK sempat merasakan masa kepemimpinan Presiden Soekarno dan

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    12/42

    berikutnya, sosok seperti Prabowo, Hatta, dan Jokowi mulai memahami periode pemerintahan negeri ini sejak Presiden Soeharto hingga Presiden Yudhoyono.

    Artinya, visi Membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta bermartabat milik Prabowo-Hatta dan visi Jalan Perubahan untuk Indonesia yang berdaulat,mandiri, dan berkepribadian milik Jokowi-JK menjadi sintesis secara keseluruhan ide para

    presiden sebelumnya.

    Di titik inilah penelusuran realisasi visi ini menjadi penting. Sebab, visi ini harus tetapmembumi. Menurut Max DePree (2004), tugas pertama seorang pemimpin adalahmendefenisikan realitas, membuat mimpi menjadi masuk akal, dan bisa mewujudkannyamelalui tahapan rasional-kalkulatif yang terejawantah melalui visi.

    Artinya, realisasi visi melalui misi atau melaksanakan delapan agenda dan program nyata

    Prabowo-Hatta serta sembilan agenda prioritas Jokowi-JK harus diuji, apakah relevan dengan penganggaran atau realistis untuk diimplementasikan dalam konteks kebangsaan yang lebihholistik. Jangan sampai sembilan halaman dan 41 halaman yang terlampir sebagai visi milik

    para capres-cawapres ini hanya untaian wacana yang enak dibaca dan indah untukdibayangkan.

    Susunan tim sukses, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, perlu diperhatikan karenamempengaruhi realisasi visi akhirnya. Saat pra-pilpres, penentuan siapa yang terlibat danmasuk dalam tim sukses dapat menjadi pertimbangan tersendiri bagi publik.

    Sebab, selain rekam jejak ( track record ) para capres-cawapres, hari ini pemilih perlumengetahui siapa orang-orang di belakang para pemimpinnya. Merekalah lingkar utama yangmenjadi sumber informasi para pemimpin dalam berpikir, bersikap, dan berbuat. Jangansampai sejak awal para capres-cawapres sudah tersandera oleh masa lalu ataupun dosa politikanggota tim sukses, karena ini akan menjadi preseden buruk dalam memulai kebaikan untukrakyat secara konsisten.

    Berikutnya, ketika memasuki pasca-pilpres, tim sukses ini menjadi salah satu referensi bagi presiden dan wakil presiden terpilih dalam pengisian pos-pos penting dan strategis, baik di

    kabinet maupun di luar kabinet. Walaupun hal ini menjadi hak prerogatif presiden, kedekatanyang dibangun capres-cawapres dengan tim sukses merupakan hubungan personal yangdibangun sejak lama dan telah melewati berbagai tantangan.

    Pada fase ini, ujian kepemimpinan publik untuk para capres-cawapres ini akan terlihathasilnya. Apakah basis profesionalitas (aspirasi publik) menjadi utama atau proporsionalitas(akomodasi politik) tetap menjadi logika dasarnya?

    Mengutip kata Rendra (1997), dan perjuangan adalah pelaksanaan kata -kata. Selamat berjuang me-nyata-kan kata-kata, wahai para capres-cawapres! *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    13/42

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    14/42

    para sejarawan, harus melayani kekuasaannya.

    Tidak mengherankan, selepas lengsernya Pak Harto pada 21 Mei 1998, bermunculan beraneka penulisan sejarah untuk melawan sejarah yang ditulis pada era Orba. Misalnya,

    berbagai buku sejarah yang ditulis dari sudut pandang korban.

    Niat Prabowo hanyalah cermin betapa kita kerap salah dan gagal mengelola sejarah masalalu. Simak saja ucapan para politikus yang membodohi lewat ajakan untuk melupakankejadian yang telah lalu demi menyongsong masa depan bangsa yang lebih cerah. Ajakan itu

    baik-baik saja, jika diucapkan oleh para motivator gadungan.

    Tapi, jangan lupa, masa depan tidak bisa diraih sebelum kita mau menerima kenyataan danmau belajar dari sejarah masa silam. Masih ada warisan kasus pelanggaran HAM masa silam

    pada era Soeharto, dari peristiwa 1965, Talangsari Lampung, dan peristiwa Mei 1998 yangterus disangkal.

    Kita perlu membereskan masa lalu untuk melangkah lebih baik ke masa depan. Dalam ilmu psikologi, kita bisa belajar bahwa masa kanak-kanak sangat menentukan masa selanjutnya.Mempahlawankan Soeharto silakan saja, asalkan berbagai kasus pelanggaran HAM masasilam di eranya juga dituntaskan. Tanpa keadilan terhadap korban, niat mempahlawankan PakHarto bisa dibaca sebagai upaya untuk melanjutnya ideologi totalitarianisme dan praksis

    politik yang sarat KKN dan pembusukan hukum. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    15/42

    Mendidik Generasi Toleran

    Selasa, 10 Juni 2014

    Paulus Mujiran , Penulis

    Menggejalanya praktek intoleransi keagamaan belakangan ini terjadi karena dilupakannya pendidikan toleransi bagi generasi muda. Berdasarkan kovenan Agama dan KepercayaanPBB 1981, diskriminasi dan intoleransi diartikan sebagai pembedaan, pengecualian, dan

    pembatasan yang didasarkan pada keyakinan yang mengakibatkan terganggunya penikmatan,

    pengakuan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental secara setara.Intoleransi, karena itu, berada dalam ranah pengetahuan, pembatinan nilai yang mempribadi,sementara prakteknya berupa aksi kekerasan yang terungkap terhadap orang lain.

    Generasi yang toleran dan empati kepada orang lain dibentuk melalui proses panjang pendidikan dan campur tangan banyak orang. Sering ada anggapan, menghormati merekayang berbeda pandangan dan keyakinan terjadi secara otomatis seiring dengan perkembangankedewasaan seseorang. Ternyata tidak demikian. Menjadi sosok yang toleran harusdibudayakan melalui kebiasaan yang ditanamkan dalam praksis pendidikan. Hidup bersamaorang lain tidak otomatis menjadi rukun manakala masing-masing pihak tidak pernahmengusahakannya.

    Yang menjadi persoalan, pendidikan kerap kali justru memicu bibit-bibit intoleransi kepadaorang lain. Praktek intoleransi tidak hanya berakar pada persoalan agama, tapi juga berurat-

    berakar pada kesenjangan sosial, ekonomi, serta perubahan-perubahan yang diakibatkan olehmodernisasi/globalisasi.

    Pertama, mendidik generasi toleran dapat dimulai dengan pendidikan di bangku sekolah.Kurikulum pendidikan dan tenaga pengajar perlu disiapkan sejak dini untuk membentuk

    generasi baru yang toleran.

    Sekolah dengan komunitas heterogenitasnya menjadi tempat yang paling memungkinkan.Eksplorasi perbedaan sebagai kekayaan hidup bersama dapat dimulai di sekolah. Perjumpaandengan keyakinan lain, sosial-ekonomi orang lain, dapat diarahkan untuk menyemaikan

    penghargaan bahwa perbedaan itu indah. Perbedaan itu memperkuat dan memperkaya hidup bersama. Keterampilan guru dalam mendidik generasi toleran akan berbuah manis di masadepan.

    Kedua, generasi muda toleran juga dapat dibentuk dalam kehidupan masyarakat. Lembaga-lembaga yang sudah ada, seperti karang taruna, forum anak desa, dan perkumpulan-

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    16/42

    perkumpulan remaja, dapat dipergunakan untuk menyemaikan toleransi di antara sesama.Perjumpaan antar-anak muda perlu dipikirkan melibatkan orang lain lintas iman. Kegiatanyang hanya melibatkan orang seagama, seperti yang selama ini dikembangkan, justrusemakin memperkuat kesenjangan dengan agama-agama lain. Harus disediakan forum-forum

    lintas iman sejak masih muda.

    Ketiga, forum lintas iman yang selama ini sudah ada perlu lebih diberdayakan. Selama ini,gerakan-gerakan semacam ini baru dipandang penting setelah ada kejadian buruk. Masalahyang sebenarnya sepele dibesar-besarkan, karena besarnya kesenjangan dan tiadanya

    jembatan. Pendidikan generasi toleran memang harus disiapkan secara lebih sungguh-sungguh. Memelihara iman anak-anak muda penting, tapi jangan dilupakan untukmembentuknya menjadi generasi yang lebih peduli dan toleran.

    Generasi toleran adalah kekuatan bagi bangsa masa depan. Investasi dalam mendidik anak-anak muda ini akan sangat bermanfaat di masa mendatang. Karena itu, gerakan-gerakanmendidik generasi toleran yang mulai berkembang perlu terus didukung. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    17/42

    Tentang Kuda

    Anton Kurnia, pengarang

    Dalam khazanah sastra dunia, ada novel klasik berjudul Black Beauty (1877). Novel karyaAnna Sewell yang terjual 50 juta eksemplar di seluruh dunia itu adalah "memoar" seekorkuda hitam bernama Black Beauty yang "mengajarkan" pentingnya kebaikan, empati, dansaling menghargai.

    Adapun dalam bahasa kita, kuda hitam adalah ungkapan yang digunakan untuk menyebut

    pihak tak diunggulkan yang berhasil keluar sebagai pemenang. Konteksnya biasanya dalam pertandingan olahraga. Dalam bahasa Inggris, ada idiom serupa, yakni " dark horse " (bukan"black horse ").

    Pada putaran final Piala Dunia 2014 yang digelar di Brasil, Juni-Juli ini, tim favorit adalahtuan rumah yang sudah lima kali juara dunia serta juara bertahan Spanyol yang juga kampiunPiala Eropa 2008 dan 2012. Namun tim lain seperti Rode Duivels (Setan Merah)-julukanBelgia-yang diperkuat pemain-pemain muda penuh semangat bagai kuda teji yang trengginasmacam Romelu Lukaku dan Eden Hazard berpeluang menjadi kuda hitam yang bisamembuyarkan perhitungan di atas kertas.

    Bukan hanya di arena olahraga, istilah kuda hitam bisa dipakai juga di bidang lain, terutama politik. Di Amerika Serikat, Jimmy Carter menjadi kuda hitam dalam pemilihan presiden pada 1976. Dia, yang semula kurang dikenal dan hanya populer di daerah asalnya, Georgia,ternyata berhasil unggul.

    Kita juga bisa menyebut sosok Jokowi alias Joko Widodo, yang semula hanya anak bawangdalam peta perpolitikan nasional dengan jabatan kecilnya sebagai Wali Kota Solo danmerangkak naik menjadi Gubernur Ibu Kota, sebagai kuda hitam yang melesat menjadi

    kandidat favorit menurut lembaga survei dalam pemilihan presiden kali ini yang digelar tepat pada "Tahun Kuda" dalam kalender lunar.

    Berdasarkan perhitungan astronomi dalam budaya Cina, tahun 2014-bertepatan dengan tahunImlek 2565-adalah Tahun Kuda Kayu, yang konon berkarakter keras dan dingin. Kuda adalahsimbol kecepatan dan kerja keras. Maka tahun ini momen yang bagus bagi para pekerja kerasyang tahan banting. Lalu bagaimana kaitan Tahun Kuda dengan dua kandidat presidenRepublik Indonesia yang sibuk pasang kuda-kuda untuk bertarung memperebutkan suararakyat yang konon adalah suara Tuhan?

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    18/42

    Jika ditilik dari shio -nya, Jokowi yang dilahirkan pada 1961 ber- shio kerbau yang sepertikuda merupakan simbol pekerja keras yang ulet. Sedangkan Prabowo Subianto, mantan

    jenderal kelahiran 1951 yang dikenal penggemar kuda dan memiliki koleksi kuda berhargamiliaran rupiah per ekor, dinaungi shio kelinci yang melambangkan kelincahan.

    Manakah yang lebih beruntung antara "kerbau" dan "kelinci" di Tahun Kuda ini?

    Bagi rakyat, yang paling penting tentulah siapa pun yang terpilih sebagai presiden nantinyaakan membawa perubahan lebih baik bagi negeri dan bangsa ini, berhasil mewujudkanIndonesia yang adil, makmur, sejahtera berdasarkan kesetaraan, dan tanpa penindasan.Rakyat tak ingin terus diperkuda oleh penguasa yang lalim. Rakyat juga tak mau jadi kudalumping yang terpaksa makan beling hanya untuk bisa bertahan hidup. Rakyat ingin

    pemimpin yang mau bekerja keras bagai kuda untuk rakyatnya. Selain itu, jangan sampaisang pemimpin terpilih nantinya ingkar janji dan nekat memakai kacamata kuda, tak mau

    mendengar kritik dan saran dari kiri-kanan.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    19/42

    Pertumbuhan Ekonomi 10 Persen

    Rabu, 11 Juni 2014

    Kadir , Bekerja di Badan Pusat Statistik

    Pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta berjanji bakal meningkatkan pendapatan per kapitanasional minimal Rp 60 juta dibanding pendapatan per kapita saat ini sebesar Rp 35 juta.Untuk mewujudkannya, pertumbuhan ekonomi nasional ditargetkan pada kisaran 7-10 persen

    per tahun ( The Jakarta Post , 22 Mei 2014). Apakah hal ini realistis untuk diwujudkan?

    Statistik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) padaFebruari lalu menyebutkan, pada triwulan I 2014, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,21

    persen. Hal ini menunjukkan, perlambatan ekonomi bakal menjadi tantangan pemerintahmendatang. Berdasarkan rilis BPS tersebut, Bank Indonesia merevisi target pertumbuhanekonomi nasional pada kisaran 5,1-5,5 persen, dari semula 5,5-5,9 persen.

    Jika pada 2014 ekonomi Indonesia tumbuh 5,5 persen, produk domestik bruto (PDB)Indonesia diperkirakan bakal mencapai Rp 2.922,7 triliun atas dasar harga konstan, atau Rp9.967 triliun atas dasar harga berlaku, bila inflasi total (PDB) diperkirakan sekitar 4 persen

    pada 2014.

    Selanjutnya, pendapatan per kapita minimal Rp 60 juta dan target pertumbuhan ekonomi 10 persen bisa dicapai dengan skenario laju pertumbuhan ekonomi nasional dalam lima tahunmendatang (paling realistis untuk diwujudkan) seperti berikut: 6 persen pada 2015, 7 persen

    pada 2016, 8 persen pada 2017, 9 persen pada 2018, dan 10 persen pada 2019.

    Hasil perhitungan penulis menunjukkan, bila diasumsikan besarnya inflasi sekitar 4 persen per tahun sepanjang 2014-2019, target pendapatan per kapita minimal Rp 60 juta bakal

    dicapai pada 2019. Saat itu, pendapatan per kapita diperkirakan sekitar Rp 66 juta, dan PDBatas dasar harga berlaku diperkirakan sekitar Rp 17.809,9 triliun. Artinya, selama lima tahunmendatang ekonomi Indonesia harus diupayakan meningkat sekitar Rp 7.800 triliun atau Rp1.600 triliun per tahun.

    Di atas kertas, skenario ini tidak mudah (baca: sulit) untuk diwujudkan, butuh upaya yangsangat serius dari pasangan Prabowo-Hatta. Pasalnya, data statistik menunjukkan, selama2004-2013, PDB Indonesia hanya meningkat di kisaran Rp 700-1.000 triliun per tahun.

    Persoalan yang juga timbul, sektor mana yang harus ditingkatkan secara drastis pertumbuhannya. Menguras sumber daya alam tentu bukan pilihan yang bijak. Begitu pula

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    20/42

    dengan mengandalkan sektor jasa ( tradable )-yang cenderung padat modal dan sedikitmenyerap tenaga kerja-tentu sangat tidak sejalan dengan target pasangan Prabowo-Hatta yanglain, yakni meningkatkan pemerataan ekonomi, yang tecermin melalui penurunan rasio Ginidari 0,41 menjadi 0,31.

    Karena itu, menurut penulis, target pertumbuhan ekonomi sebesar 7-10 persen per tahun bakal membebani pasangan Prabowo-Hatta jika dipercaya oleh rakyat untuk memimpinnegeri ini pada periode mendatang. Daripada memaksakan diri, akan lebih realistis bilakeduanya menargetkan pertumbuhan rata-rata 7 persen per tahun dalam lima tahunmendatang. Sebab, toh, dengan skenario ini, target pendapatan per kapita minimal Rp 60 juta

    per tahun masih bisa direngkuh. Di atas itu semua, yang terpenting adalah bagaimanamewujudkan pertumbuhan inklusif, yang hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh lapisanmasyarakat. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    21/42

    Punahnya Roh Pembelajar di Sekolah

    Rabu, 11 Juni 2014

    Yanto Musthofa , Anggota Majelis Pengurus Pusat ICMI

    Visi dan misi kedua pasang calon presiden dan wakil presiden belum memperlihatkan suatutawaran yang menjanjikan bagi dunia pendidikan. Uraian konsep tentang arah pendidikanhanya dalam dua-tiga paragraf itu belum menyentuh esensi perubahan paradigmatik

    pendidikan yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini.

    Satu pasangan lebih menitikberatkan pada aspek fasilitas pendanaan pendidikan. Yangsatunya menyinggung problem kurikulum, tapi belum secara kategoris melepaskan diri dari

    paradigma pendidikan yang berlaku saat ini. Siapa pun pemegang otoritas pendidikan nantiharus menyentuh tataran paradigmatik agar terhindar dari kubangan rutinitas ganti-menteri-ganti-kurikulum dengan sederet akibatnya yang rutin pula: debat tanpa ujung, kebingungan

    pelaksana di bawah, dan pemborosan energi secara sia-sia, terutama murid.

    Bila godaan untuk membuat kebijakan baru tak terbendung, ujilah inisiatif itu dengan pertanyaan dasar: sejalankah dengan pengertian, prinsip, fungsi, dan tujuan pendidikan dalamUndang-Undang No. 20 Tahun 2003? Pengertian: "...usaha sadar dan terencana untukmewujudkan SUASANA BELAJAR dan PROSES PEMBELAJARAN agar peserta didiksecara aktif mengembangkan potensi dirinya..." dst. Tujuan: "...menjadi manusia yang

    beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

    jawab."

    Tak perlu menjadi peneliti andal untuk melihat betapa iklim persekolahan sekolah kita saatini nyaris memunahkan elemen-elemen dasar pendidikan itu. Persekolahan telah lama

    kehilangan roh pembelajar. Suasana belajar dan proses pembelajaran tergusur oleh orkestraambisi orangtua-guru-sekolah-pejabat dalam satu lagu tunggal: mencapai angka tinggi nilaiujian akhir di setiap jenjang.

    Sepanjang hayat, seluruh energi dan potensi murid dikerdilkan hanya untuk menuju tiga hari penentu nasib, menjadi petarung ujian terbaik ( best test-taker ). Tak ada ruang untukmemandang diri, kehidupan dan alam di sekitarnya, lalu merumuskan secara mandiri bekalkehidupan ( life skills ) apa saja yang perlu dia raih untuk mengaktualisasi peran dirinya.

    Tak ada pilihan lain karena sistem persekolahan telah membagi ruang-ruang nasib masadepan berdasarkan angka-angka ujian nasional. Inilah situasi di mana ujian lebih berarti dari

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    22/42

    pembelajaran. Ujian, yang seharusnya lebih merupakan instrumen pengukur akuntabilitas penyelenggara pendidikan, telah dialihkan menjadi beban intimidasi bagi peserta didikmenyangkut masa depan mereka. Ujian menjadi semacam perebutan tiket undian nasib masadepan bagi anak.

    Dalam iklim yang demikian, tak relevan lagi pertanyaan apakah sistem pendidikan sejalandengan tujuan pendidikan seperti disebutkan di atas. Ada dua ekses alamiah yang mustahilditepis. Pertama, para pihak dalam orkestra ambisi akan menggunakan segala cara dan energiuntuk memastikan angka-angka nilai ujian tertinggi. Bila dicermati lebih dalam dan dengan

    jujur, di sinilah salah satu sumber utama kehancuran moral bangsa ini.

    Kedua, kecuali sekelompok kecil murid yang sukses menjadi the best test-takers , makaselebihnya telah diterima ( taken-for-granted ) menjadi limbah pendidikan. Kelompok besaryang tersingkir itu berlabel cacat ( flawed ) versi kompetisi resmi dan tidak layak masuksekolah atau universitas unggulan. Maka, bila di kemudian hari ada sebagian limbah

    pendidikan yang bangkit menyadari jati dirinya dan menemukan jalan hidup sukses, bisadipastikan itu tidak ada hubungannya dengan sistem pendidikan.

    Semoga pemegang otoritas pendidikan baru nanti berlapang hati mau mengembalikansekolah sebagai penyedia tempat sekaligus proses pembelajaran. Untuk itu, ada satu

    pertanyaan yang lebih mendasar yang perlu dijawab, yaitu apakah pendidikan nasional akantetap berparadigma selective-system schooling berikut perangkat tes terstandarkan( standardized testing ) yang intimidatif dan distortif itu, atau beralih ke paradigma

    comprehensive system schooling ?

    Model yang disebut belakangan mengedepankan local autonomy sekolah yang berbasis padakebutuhan peserta didik dan kekhasan daerah. Dalam jumlah yang sangat minoritas, modelini sudah ada dan tumbuh sehat di Indonesia. Salah satunya adalah paradigma MetodeSentra/Pembelajaran Berbasis Proyek yang hampir dua dekade dieksperimenkan di negeri ini.Yang menarik, walau "terpaksa" tetap mengikuti mandatory testing berupa ujian nasional,sekolah dengan model itu sudah terbukti tak punya masalah dengan target angka-angka.

    Keunggulannya, tidak ada lulusan yang dicampakkan dengan label pecundang. Sejak dinisetiap anak membangun kepercayaan diri sebagai makhluk yang sudah dibekali SangPenciptanya. Dalam suasana bahagia, setiap anak bergairah mengembangkan diri untukmenjemput peran yang pasti tersedia baginya.

    Adakah kemuliaan pendidikan yang tersisa jika di hari pertama sekolah anak sudah menatapintimidasi nasib menjadi limbah pendidikan? *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    23/42

    Pasar Beringharjo

    Kamis, 12 Juni 2014

    Purnawan Andra , peminat kajian sosial-budaya masyarakat

    Beberapa waktu lalu, calon presiden Joko Widodo kembali berkunjung ke pasar tradisional.Kali ini, ia ke Pasar Beringharjo di Yogyakarta, sebelum menemui Sultan HamengkuBuwono X di keraton. Mantan Wali Kota Solo ini memang dikenal kerap blusukan ke pasar-

    pasar tradisional yang disebutnya sebagai "etalase kehidupan masyarakat".

    Dalam konteks kebudayaan, Beringharjo menyediakan semua penjelasan tentang ontologidan kosmologi masyarakat Jawa yang ada di sekitarnya. Ia menempati posisi yang sangatvital bagi tata ruang dan waktu orang Yogya. Ia salah satu titik penting dari sumbu imajineryang berawal dari Laut Kidul (Selatan), Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pancer ,hingga ke Gunung Merapi sebagai ujung tertinggi.

    Di garis yang melalui Parangkusuma-Panggung Krapyak-Kraton-Beringharjo-Tugu Pal Putihhingga Merapi inilah orang Jawa menciptakan hubungan antara Jagad Ageng (makrokosmos)

    dan Jagad Alit (mikrokosmos), antara manusia dan penciptanya dalam ajaran yang disebutdengan sangkan paraning dumadi . Ia menjadi perjalanan hidup manusia, sejak ia lahir (di bawah/selatan), melakukan kehidupan sosial dengan manusia dan alam lingkungannya hinggamati (mencapai keabadian di atas/utara).

    Seturut logika Heri Priyatmoko (2014), Beringharjo, apabila dimaknai sebagai ruang sosial,merupakan "rumah asri" yang mewadahi dan memotret kohesi sosial dari berbagai komunitassosial dari waktu ke waktu. Pasar bukan sebatas tempat transaksi ekonomi. Dalam kontekskekinian, Beringharjo bak laboratorium yang menyediakan bahan penting bagi ilmuwansosial guna mengkaji bagaimana proses pembauran masyarakat lintas kelas dan etnik.

    Pasar pada dasarnya, mengadopsi spirit dagang Jawa yang mengedepankan rasa persaudaraan, yaitu bathi sanak tuna satak (rugi uang seratus tidak apa-apa, asalkan beruntung mendapat saudara). Proses jual-beli model demikian ini menjadi medium interaksidan menyebabkan kerukunan sosial terjalin secara alami. Berbeda dengan mal danhipermarket, lantaran di situ pembeli dan penjual tak berdialog menentukan harga, karenaharga sudah tertera di tubuh barang dagangan.

    Beringharjo juga menjadi identitas kota, sebuah citra mental yang terbentuk dari ritme

    biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu ( sense of time ), yangditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    24/42

    kota itu sendiri (Lynch, 1960 & 1972). Beringharjo menjadi ruang publik yang memiliki peran melahirkan dan menghidupi seni kehidupan yang lebur dalam pengertian tata ruang danspirit aktivitas ekonomi di pasar. Beringharjo menjadi locus dan situs yang mempresentasikanlakon hidup manusia dari dunia individual dan sosial.

    Maka, ketika arus globalisasi dan kuasa kapitalisme menjadi suatu keniscayaan, pasar dengan basis nilai-nilai kultural yang dimilikinya bisa memainkan peran untuk memadukan sistemekonomi yang dijalankannya dalam orientasi kerakyatan dan kesejahteraan. Beringharjo bisamerealisasi keberadaan pasar tradisional sebagai ruang transaksi ekonomi, ruang interaksisosial, ruang komunikasi, dan ruang hiburan komunal. Pasar adalah kesadaran terhadap nilai-nilai tradisi, kearifan lokal, multikulturalisme, demokrasi, dan ekonomi kerakyatan.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    25/42

    Debat dan Reputasi

    Kamis, 12 Juni 2014

    Katamsi Ginano , penulis adalah penggemar buku dan penasihat senior di A+ CSRIndonesia. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

    Dua pasang calon presiden-calon wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan JokoWidodo-Jusuf Kalla, berhadapan dalam debat yang digagas oleh Komisi Pemilihan Umum(KPU) di Balai Sarbini Jakarta, Senin malam lalu. Stasiun-stasiun televisi menyiarkan

    langsung, membetot perhatian khalayak, dan barangkali menyadarkan sebagian kita ihwalmudahnya tafsir dan makna kata dibelokkan.

    Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga terbitan DepartemenPendidikan dan Balai Pustaka (2005), debat adalah "pembahasan dan pertukaran pendapatmengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing." Menonton debat pertama, dari rangkaian adu pendapat yang dirancang KPU untukcapres-cawapres 2014-2019, tahulah kita kata ini telah menemukan pengertian baru. Diadapat pula diartikan sebagai wawancara yang melibatkan dua pihak atau lebih dengan

    pendapat yang boleh sama atau berbeda.

    Lupakan elaborasi gagasan yang disampaikan ringkas, padat, dan kokoh. Debat capres-cawapres Indonesia kemasan KPU tidak mementingkan adu argumen. Dua pasang kandidatyang dihadirkan cukup ditanyai pendapatnya, lalu orang banyak dipersilakan menilai siapayang tampak pintar, terencana, punya kemampuan komunikasi mumpuni, dan bernas.Selebihnya, atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, mari berdoa kecerdasan, kewarasan, dankesadaran masyarakat Indonesia dengan serta-merta menyimpulkan pasangan mana yanglayak dipilih sebagai presiden dan wakil presiden.

    Padahal substansi ditampilkannya capres-cawapres berhadap-hadapan dan saling menakar(juga diuji setidaknya oleh moderator dan panel penilai) adalah menguak lebih dari apa yangdalam masa kampanye dikemas seapik-apiknya. Debat atau cuma wawancara umum yangdisaksikan masyarakat luas mestinya sejauh mungkin menjadi ujian visi, misi, perilaku,

    praktek, dan konsistensi capres-cawapres.

    Singkatnya, debat capres-cawapres, yang bila terpilih menjadi penentu hitam-putih negeri inidan masyarakatnya lima tahun ke depan, adalah wahana yang tepat untuk mempertanyakanreputasi mereka sebagai individu, politikus yang jadi bagian dari entitas politik, dan

    pemimpin yang pantas ditumpui harapan. Dengan mencecar reputasi Prabowo-Hatta sertaJokowi-JK, publik mendapat pendidikan politik sebenarnya. Memilih juara Indonesian Idol

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    26/42

    pun kita menginginkan yang terbaik, apalagi presiden-wakil presiden. Kian teruji integritasdan minim cacat-celahnya, semakin baik bagi kemaslahatan bangsa dan negara ini.

    Reputasi bukan urusan sepele. Dia tak hanya tentang rekam-jejak seseorang atau entitas

    tertentu. Reputation Management (Routledge, 2007) yang ditulis oleh John Doorley danHelio Fred Gracia mendefinisikan, " reputation = sum of images = performance + behavior +communication ". Kinerja seperti apakah yang telah ditunjukkan selama ini? Bagaimanakonsistensi perilakunya? Seperti apa kinerja dan perilaku itu dikomunikasikan?

    Keberadaban dan sopan-santun debat bukanlah tentang mimik welas-asih , kata-kata dankalimat yang tertata, atau sikap sesaat yang satu-dua jam mati-matian dipertahankanterkontrol. Debat harus dilakukan selayaknya norma, etika, dan substansinya. Tatkala salahsatu pasangan capres-cawapres menyuarakan, misalnya, demokrasi, kepatuhan hukum,

    penghormatan terhadap hak asasi manusia, pihak yang berseberangan (juga orang banyak) berhak menelisik lebih jauh: benarkah kinerja, perilaku, dan yang dikomunikasikan demikianadanya? Tidakkah yang indah dan manis itu hanya paket kampanye?

    Partai politik pengusung pasangan capres-cawapres mesti pula didadah reputasinya. Sungguhderita tak tertahankan bila menyaksikan puja-puji pasangan capres-cawapres terhadap entitas

    politik pendukungnya, sedangkan pada saat bersamaan ingatan kolektif kita sebagai bangsamenderingkan fakta yang bertolak belakang.

    Contohnya adalah klaim dan tekad antikorupsi capres-cawapres serta partai politik

    pengusung, yang adalah penistaan terhadap akal sehat jika dihadapkan dengan kenyataansiapa dan dengan latar apa umumnya gerombolan koruptor yang telah dan dalam proseshukum Komisi Pemberantasan Korupsi. Agar isu-isu semacam korupsi, aktor-aktornya, dan

    bagaimana mereka diproses tidak cuma bedak pemanis citra capres-cawapres dan partai pendukung. Gagasan melawan kejahatan ini layak dikuak dengan serius dan detail hingga keakar-akar fundamentalnya.

    Tapi ilusi dan gegar (juga histeria) hasil kemasan kampanye adalah keniscayaan yang selalu berulang dan membuat kita lupa setiap kali dinamika politik memuncak. ''Peringatan''sastrawan Ceko, Milan Kundera ( The Book of Laughter and Forgetting , 1979), bahwa

    perjuangan seumur hidup manusia adalah perlawanan terhadap lupa, sungguh potret faktualkebebalan kontemporer siklus lima tahunan politik Indonesia.

    Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK adalah tokoh-tokoh yang tak mendadak ditetas dari batu.Bertahun-tahun masing-masing mereka telah memproduksi pengetahuan, ingatan, danrekaman tertentu di benak kita. Begitu juga partai yang menjadi pengusungnya. Pengetahuan,ingatan, dan rekaman itulah yang selayaknya dikedepankan dan diuji agar yang loyang danemas bukanlah konklusi emosional belaka.

    Adalah kebohongan dan penipuan publik ketika debat secara terencana dan sadar direduksimenjadi tak lebih dari lalu lintas pertanyaan dan jawaban normatif. Pendidikan dan

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    27/42

    pencerahan politik macam apa yang dapat dipetik dari seolah-olah adu pendapat yang sekadarmenunjukkan demokrasi di negeri ini memang berupaya mengadopsi dan menerapkan

    praktek yang lazim dan mustahak di negara-negara maju?

    KPU mesti dengan serius mengevaluasi model dan format pada seri berikutnya debat capres-cawapres 2014-2019. Bila tidak, lembaga ini hanya pontang-panting berkeras melestarikan persepsi (yang akhirnya jadi reputasi) sebagai tukang yang pura-pura mengawal demokrasidan prosesnya. Bahkan, lebih jauh lagi, KPU pantas diperiksa KPK, sebab menggunakanuang negara tidak sesuai dengan peruntukannya.***

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    28/42

    Pertanian dalam Arti Luas

    Kamis, 12 Juni 2014

    Agus Pakpahan , ekonom kelembagaan

    Hidup di zaman informasi atau digital ini, kita wajib bersyukur bahwa capres-cawapresPrabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla masih menempatkan pertaniansebagai prioritas pembangunan nasional. Bahkan kita perlu memanfaatkan zaman informasiatau digital ini sebagai bagian utama guna mengatasi ketertinggalan kita di bidang pertanian.

    Salah satu intinya adalah revolusi di bidang pendidikan, research and development , serta penciptaan dan penataan pasar.

    Dalam tulisan ini, saya menempatkan konservasi pada urutan pertama. Alasannya adalah pertanian dan konservasi adalah menyatu untuk menginternalisasi keberlanjutan lingkungan,di mana keduanya tak terpisahkan. Apalagi untuk Indonesia yang berada dalam konfigurasiwilayah kepulauan. Luas lahan daratan kita sangatlah sempit. Selain itu, konservasi di daratanakan menyelamatkan laut dari polusi atau penyebab kerusakan lingkungan lainnya yangdikirim dari daratan. Konservasi tanah dan air, misalnya, juga merupakan investasi yang bisameningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja serta mendorong pertumbuhan ekonomi.Meluasnya hutan rakyat di Jawa dapat dijadikan sebagai satu contoh, nilai output kayusengon per hektare bisa lebih dari Rp 150 juta. Artinya, dalam lima tahun, waktu tunggu per1 juta hektare di Jawa akan menghasilkan Rp 150 triliun.

    Mutu lingkungan yang baik akan memberi kesempatan yang lebih banyak, menurunkan biaya produksi, dan menjamin keberlanjutan sistem ekonomi. Pertanian berlandaskan konservasi diatas menciptakan prakondisi untuk kemajuan peradaban yang dilanjutkan oleh lahirnyaindustrialisasi, perdagangan, serta seni dan budaya yang lebih tinggi. Jadi, pertanian bukanlahkegiatan ekonomi yang sempit. Ia bukan pula sejajar dengan kegiatan ekonomi lainnya,

    melainkan sebagai prakondisi kemajuan di seluruh bidang kehidupan.

    Pangan sebagai output pertanian juga tidak hanya berarti beras, telur, atau daging. Panganlebih baik bila kita artikan sebagai penentu kehidupan yang sehat, suasana aman dan damai,serta gambaran kita sebagai bangsa yang kuat dan beradab. Itulah "nilai tukar" pangan.

    Kalau demikian, apa kaitannya dengan pertanian? Sangat jelas, input dan proses produksiserta transaksi antara pertanian dan non-pertanian harus dijamin berada dalam kondisi terbaikdalam hal eksistensinya, fungsinya, dan kesejahteraannya. Misalnya, tidak mungkin pangan

    produksinya naik apabila faktor-faktor produksinya, seperti lahan dan teknologi, menurun.Tidak mungkin pertanian maju apabila petani dan keluarganya miskin.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    29/42

    Produk primer pertanian adalah produk biologis. Karena itu pula, semua produk pertanian

    bisa menghasilkan banyak produk, termasuk energi, baik dalam bentuk gas, cair, atau padat.Sangat menarik untuk menentukan pilihan kebijakan dan strategi untuk memanfaatkan

    produk pertanian sebagai sumber energi.

    Satu di antara banyak input hasil pertanian untuk energi ini adalah pemanfaatan limbah atausampah biologis/organik. Dengan menetapkan prinsip zero waste , manfaat limbah/sampahuntuk energi ini sangat terbuka. Termasuk di dalamnya adalah memanfaatkan limbah organikrumah tangga di perkotaan.

    Kita bisa membuktikan bahwa pertanian adalah pencipta kondisi untuk kemajuan sektor laindan kemajuan peradaban secara umum. Pertanian maju, maka negara akan kaya, kuat, aman,dan damai. Tinggal kebijakan dan strateginya saja untuk mewujudkan hal tersebut.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    30/42

    Lirik Lagu Politik

    Kamis, 12 Juni 2014

    Bandung Mawardi , Esais

    Laguku ini ingin kupersembahkan pada paduka jang agung serta mulia/'Kan kudoakan kehadirat Ilahi semoga paduka tetap sejahtera selalu/Betapa bahagia rakjat Indonesia dalambimbingan paduka jang mulia....

    Siapa masih ingat lirik lagu politik tentang pujian untuk Sukarno? Lilis Surjani melantunkanlagu Untuk PJM Presiden Soekarno dengan suara merdu dan impresif. Pujian bagi Sukarnoadalah resonansi dari perhatian Sukarno untuk pemuliaan seni di Indonesia, berlatar agenda-agenda politik.

    Ingatan lirik lagu politik dari masa silam bersambung ke situasi politik mutakhir. Paraseniman turut menggubah lagu. Lirik sengaja memuat propaganda. Diksi cenderung lugasdan tebar pujian. Kehadiran lirik lagu politik membuat politik memiliki irama dan sensasi.

    Marzuki Mohamad dan Balance Perdana P. menggarap lagu berjudul Bersatu Padu Coblos Nomor Dua . Lagu dipersembahkan untuk Joko Widodo-Jusuf Kalla. Lagu sengaja masuk keurusan politik. Agenda seni dalam politik selalu berisiko. Lagu menjadi pertaruhan"kesenimanan" dalam permainan imaji-imaji politik.

    Seni bergerak untuk pemenuhan misi politik. Lirik pun mesti mengekspresikan keberpihakandan anutan ideologi. Lagu Bersatu Padu Coblos Nomor Dua memuat pesan dan pujian:

    Badannya kurus, wajah kampungan/ Namun hatinya sinar harapan/ Dengan kerja nyata kau jawab keraguan/ Karena janji-janji sudah membosankan/ Citramu sederhana apa adanya/Cerminan sikap dari nuraninya....

    Lirik mengandung sugesti untuk memberi persepsi keunggulan. Pilihan kata dimaksudkanmembentuk konstruksi biografis, merangsang orang memberi persetujuan dan keberpihakan.Persembahan lagu membuktikan bahwa seniman mengekspresikan hak politik berdalihmempengaruhi publik agar mencapai konsensus untuk memilih capres-cawapres pada 9 Juli2014. Seruan memilih Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapat pesan kritis di ujung lagu: Setelah

    pilihan dan kemenangan/ Kami akan mundur menarik dukungan/ Membentuk barisan parlemen jalanan/ Mengawasi amanah kekuasaan. Pujian tak harus berlebihan. Kritik tetapdiajukan sebagai selebrasi demokrasi.

    Persembahan lagu untuk Joko Widodo juga dilakukan oleh F. Ida Retnowati, seniman asal

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    31/42

    Sukaharjo, Jawa Tengah. Lagu berjudul Jokowi Presidenku digarap sebagai pujian dankeberpihakan. Propaganda dalam lirik lagu: Pilih yang bersih, bersih tidak korupsi/ Pilih

    yang merakyat tak dibuat-buat/ Pekerja keras yang tak banyak bicara/ Sederhana, tampilapa adanya . Lirik lagu tampak gamblang dan terang. Lagu turut menguatkan ekspresi politik,

    berharap mempengaruhi publik agar menetapkan pilihan ke Joko Widodo- Jusuf Kalla.

    Di kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, lirik lagu juga berperan untuk propaganda. Rhoma Irama menggubah lagu berjudul Kita Adalah Satu . Lagu mengisahkanIndonesia dan pemihakan untuk capres dan cawapres. Berikut ini petikannya: Walau kitabeda dalam bahasa/ Walau kita beda dalam budaya/ Walau kita beda dalam agama/ Kitaadalah satu/ Kita adalah satu/ Kita adalah satu/ Kita adalah satu/ Prabowo-Hatta/

    Prabowo-Hatta . Lagu memicu publik memberi pujian sambil berjoget bersama Raja Dangdutdi panggung politik.

    Lagu-lagu bermisi propaganda. Lirik lagu menjadi ejawantah sikap politik. Kita pun mulaimengerti bahwa lagu selalu ada dalam episode-episode politik di Indonesia.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    32/42

    Kampanye Positif-Faktual-Rasional

    Kamis, 12 Juni 2014

    Zainul Maarif , Dosen Filsafat Komunikasi

    Akhir-akhir ini, kehidupan privat dan publik kita digaduhi oleh kampanye politik. Beragamorang berbicara politik, bahkan ada yang "mendadak politik". Pelbagai media punmemaparkan kampanye politik, terutama media sosial, "men-jaelangkung-kan" politik.

    "Keserbahadiran" kampanye politik yang cenderung "datang tak diundang" itu pada titiktertentu menarik kita hanyut ke dalamnya. Awalnya, kita mungkin hanya komunikan(penerima kampanye), tapi kemudian menjadi komunikator (pengujar kampanye). Setelahkita masuk ke pusaran kampanye, kadang objektivitas kita kandas, akal kita tumpul, pikirankita keruh, dan tindakan kita kacau.

    Kampanye dapat didefinisikan sebagai bujukan kepada orang lain untuk memilih sesuatudan/atau menolak sesuatu lain. Bujukan untuk memilih sesuatu dapat disebut dengankampanye positif. Bujukan untuk menolak yang lain dapat disebut dengan kampanye negatif.Jadi, kampanye, secara sederhana, dapat dikategorikan menjadi dua: kampanye positif dankampanye negatif.

    Kampanye positif dilakukan dengan menunjukkan sisi baik sesuatu untuk dipilih. Kampanyenegatif dilancarkan dengan menunjukkan sisi buruk hal lain untuk ditolak. "Positif" di siniidentik dengan kebaikan, pilihan, dan diri; sedangkan "negatif" identik dengan keburukan,

    penolakan, dan liyan ( orang lain). Jadi, kampanye dapat dikatakan sebagai perseteruan antaradiri dan liyan , antara kebaikan dan keburukan, di mana diri dan kebaikan diharapkan untukdipilih, sementara liyan dan keburukan diharapkan untuk ditolak.

    Tapi, sejatinya, diri tak selalu baik dan liyan tak selalu buruk. Yang ada pada diri takselamanya layak dipilih. Yang ada pada liyan tak selamanya layak ditolak. Keburukanterkadang melekat pada diri, sebagaimana kebaikan kadang berada pada liyan . Maka, seringkali yang terjadi pada kampanye hanyalah "klaim" tentang diri sebagai representasi kebaikan,dan "klaim" tentang liyan sebagai perwakilan keburukan.

    Selaku klaim, sumber kampanye mungkin fakta, mungkin juga fiksi. Kalau sudah begini,kampanye dapat dimasukkan ke dua kategori lain: kampanye faktual dan kampanye fiktif.

    Karena berdasarkan pada fakta yang sebenarnya, kampanye faktual tentu lebih benar daripadakampanye fiktif. Kampanye fiktif mungkin lebih kreatif daripada kampanye faktual. Tapi,

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    33/42

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    34/42

    Seharusnya komunikator dan komunikan kampanye politik menghindar dari kampanyenegatif-fiktif-irasional. Sebab, kampanye negatif hanya memenuhi ruang publik dengankeburukan. Kampanye fiktif menjejali audiens dengan karangan yang jauh dari fakta. Dankampanye irasional hanya menghadirkan orang sesat yang menyesatkan.

    Sebaliknya, komunikator dan komunikan kampanye politik seharusnya menerapkan danmendekat pada kampanye positif-faktual-rasional. Dengan kampanye positif-faktual-rasionalyang tampak hanyalah kebaikan-kebaikan penuh harapan, yang punya landasan kenyataan,serta mendorong semua pihak menjadi cerdas dan mencerdaskan.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    35/42

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    36/42

    menghalangi usaha pemadaman dan mengubahnya sehingga usaha itu tidak melanggar peraturan yang ada.

    Perekonomian tak terpengaruh, tidak ada bank yang kemudian ikut kolaps, tidak ada pegawai

    bank atau pegawai debitor bank yang terpaksa menggantikan dasinya dengan celemek didapur untuk mencari nafkah. Tapi tahun ini, para pemadam kebakaran tersebut tengah diadili,dituduh bersalah mengubah peraturan agar "pemadaman kebakaran" dapat berjalan.

    Banyak fakta yang mulai terbuka di pengadilan kasus Century. Ada "anggota pemadamkebakaran" yang menerima uang dari pemilik rumah yang diselamatkan dan ternyata datakebutuhan biaya penyelamatan yang disampaikan BI ke pemerintah tidak akurat, jauh lebih

    besar dari perhitungan awal.

    Oknum yang menggunting dalam lipatan, baik sebelum maupun sesudah krisis, telahmengkhianati ketulusan perjuangan para pemadam kebakaran lain, dan tentu perlu mendapathukuman yang setimpal. Kelalaian dalam menghitung jumlah biaya penyelamatan BankCentury juga demikian. Namun para "pemadam kebakaran" itu tidak boleh dihukum karenamengubah peraturan.

    Hantu Bank Century akan muncul di setiap krisis perbankan masa mendatang. Bila kita adadi permukiman itu nanti, dan pemadam kebakaran tidak kunjung bertindak, mungkin kitahanya bisa menatap api menjalar sambil mengingat-ingat apakah kita termasuk pihak yangmenghukum para pemadam kebakaran pada 2008. *

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    37/42

    Sisi Gelap Toleransi Kita

    J.B. Kleden, Pegawai negeri Kanwil Kementerian Agama NTT

    Good news is a bad news . Barangkali karena itulah peristiwa penyerangan oleh sekelompokintoleran kepada umat Katolik yang sedang beribadah Doa Rosario di rumah JuliusFelicianus, Direktur Galang Press, Kompleks Perumahan STIE YKPN Sleman, DaerahIstimewa Yogyakarta, 29 Mei lalu, meski membuat kita miris, tidak menjadi headline atautop news . Kekerasan agama bukan lagi bad news karena "sudah biasa" dan tidak lagimengejutkan di Indonesia.

    Kurang-lebih 67 tahun di Amerika terbit sebuah novel berjudul Knock on Any Door . Sinopsis pada halaman depan novel karya Willard Molley (1947) itu berhasil menarik minat pembacadan menjadikannya the best-known novel karena mengungkapkan rahasia kehidupan kota.Kota adalah sebuah dunia kecil. Ia selalu tampak megah, semarak, dan serentak jorok,melarat. Banyak pintu masuk kota, tapi banyak pula hal dan peristiwa tersembunyi di balik

    pintu-pintu itu. Pelbagai warna kehidupan dijumpai di sana, tapi tidak sedikit kematianterjadi. Dari dulu warna kota seperti itu-itu juga. Rakyat dan pelancong datang silih berganti,mondar-mandir campur aduk. Yang tampak di mata cuma taman-taman indah. Tapi apa yang

    terjadi di balik taman dan di lorong-lorong kota tak seorang pun tahu.

    Toleransi antar-umat beragama di Indonesia, tidak salah bila diibaratkan dengan eksistensikota, seperti tergambar dalam novel tersebut. Menyimpan sisi indah, megah, dan serentak

    jorok-memilukan. Di atas kertas, dalam rumusan undang-undang, juga gelegar retorikanegara, toleransi kita dipromosikan dan mendapat penghargaan internasional. Tapi ada sisigelap yang memilukan. Sisi ini terungkap, bukan oleh novel Knock on Any Door dariAmerika, melainkan oleh kasus kekerasan di Sleman dan beberapa kasus serupa di tempatlain dalam NKRI yang ber-Ketuhanan yang Mahaesa dan Berperikemanusiaan yang Adil danBeradab ini.

    Jika sungguh jujur, kita akan mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap umat yang sedangmelakukan ibadat di Sleman, dan kasus kekerasan serupa lainnya, sulit dijelaskan dengandalil "keliru" atau "telanjur". Sayangnya, negara merasa telah berbuat banyak denganmenjelaskan "ini bukan kekerasan agama, ini kriminal murni".

    Mungkin selama ini kita sengaja mengabaikan sisi gelap dalam toleransi kita karena takutmenimbulkan luka dan peradangan yang berkepanjangan. Namun, dengan menyepelekankasus-kasus keagamaan hanya sebagai kriminal murni oleh mereka yang posisinya palingmenentukan jatuh-bangunnya negeri ini, justru akan memperbesar potensi kekerasan agama

    berikutnya.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    38/42

    Kita tidak membutuhkan seorang penulis novel Knock on Any Door untuk membongkarsemua sisi gelap dalam toleransi kita dan mengubahnya. Kita hanya membutuhkan saling

    pengertian yang tuli untuk sejauh dapat mengurangi dan, kalau mungkin, menghilangkan sisigelap yang semakin membesar bagi kehidupan beragama di Tanah Air kita.

    Yang memilukan adalah tragedi yang melukai umat Katolik ini terjadi persis saat umat Nasrani merayakan Kenaikan Isa Al Masih dan umat muslim memperingati Isra Mikraj.Terlepas dari dogmatik Islam dan Kristen, peristiwa Isra dan Mikraj, terutama Mikraj Nabidan Kenaikan Isa Al Masih, dalam tafsiran rohaniah umum dimaknai sebagai peristiwanaiknya kedua nabi melampaui sesuatu yang ada di bawah, yang material dalam kehidupanduniawi untuk "manunggal" dengan "Yang Melampaui Segala Ada".

    Koinsidensi kedekatan peringatan Mikraj Nabi dan Kenaikan Yesus Kristus semestinyamenjadi momentum bagi untuk "melampaui" atau "menembus" identitas masing-masing yang

    terbatas untuk merengkuh identitas umat yang lebih luas dan dalam, yakni sebagai citraAllah. Kedua peristiwa ini mengajak kita untuk berani melihat sisi lain, berani melampaui

    pengkotak-kotakan yang tercipta karena situasi kehidupan nyata agar mencapai esensikebenaran yang melampaui kotak-kotak itu.

    Dalam situasi negara yang semakin kompleks dan fragmentaris tanpa suatu konsensus padalevel moral dan religius, agama yang banyak di Indonesia harus saling bergandengan tangan.Kalau kita enggan, kita pasti ditegur sang Khalik. Dan dunia pun tertawa karena agama-agama yang banyak di Indonesia justru semakin mandul memecahkan masalah di Indonesia.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    39/42

    Meyakinkan Si Peragu

    Sabtu, 14 Juni 2014

    Wawan Sobari , Dosen Prodi Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Mahasiswa S3 di FlindersUniversity of South Australia dan sedang meneliti perilaku memilih terhadap inkumbendalam pilkada.

    Koalisi dan kampanye merupakan dua faktor yang diyakini dominan mengubah peta persaingan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) 2014. Koalisi melahirkan gabungan

    kekuatan mesin politik dan pemilih partai politik pendukung capres-cawapres. Sedangkankampanye terkait dengan upaya-upaya meyakinkan calon pemilih, termasuk lewat kampanyenegatif dan kampanye hitam terhadap para kandidat.

    Secara sederhana perubahan itu bisa diketahui dari hasil-hasil riset opini ( polling ) antarasebelum dan setelah pendaftaran calon (20 Mei 2014). Polling yang dilakukan Saiful MujaniResearch & Consulting (SMRC), LSI Lingkaran, Indikator Politik Indonesia (IPI), dan PusatData Bersatu (PDB) sebelum pendaftaran calon menunjukkan median (nilai tengah)

    perbedaan elektabilitas antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo sebesar 15,6 persen.

    Nilai perbedaan itu menurun cukup tajam setelah keduanya menentukan pasangan cawapresdan melakukan pendaftaran capres-cawapres. Polling Populi Center yang dilakukan pada 24-29 Mei 2014 memperlihatkan jarak elektabilitas kedua pasangan calon tinggal 6,9 persen.Setali tiga uang dengan angka swing voters atau calon pemilih yang belum menentukan

    pilihannya ( the undecided ). Median swing voters sebelum pendaftaran calon sebesar 31,95 persen dan setelahnya merosot tinggal 21,6 persen.

    Semakin mendekatnya jarak perbedaan elektabilitas antarkedua pasangan kandidat terkait pula dengan loyalitas pemilih. PDIP, yang tergolong memiliki pemilih loyal, mengeluarkan

    dana kampanye sangat efisien. Dalam pemilu legislatif (pileg) 2014, PDIP hanyamengeluarkan rasio biaya kampanye Rp 17.089/suara. Setelah berkongsi dengan empat

    parpol lain untuk mengusung Jokowi dan Jusuf Kalla (JK), rasionya meningkat hingga Rp31.294/suara (efisiensi menurun).

    Sebaliknya, nilai efisiensi kampanye Partai Gerindra meningkat dari Rp 29.469/suara menjadiRp 26.624/suara seusai penetapan koalisi Prabowo-Hatta bersama lima parpol lainnya. Rasioefisiensi biaya kampanye ini berguna untuk mendiagnosis loyalitas pemilih parpol yangsemestinya sejalan dengan pilihan terhadap figur yang dicalonkan parpol.

    Berdasarkan penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara pileg 2014 bisa diketahui pula

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    40/42

    tingkat persebaran pemilih ( voters distribution ). Sistem proporsional terbuka dalam pileg2014 memungkinkan parpol yang mempunyai kantong suara terdistribusi merata di setiapdaerah pemilihan memperoleh kursi DPR lebih optimal. Rasio distribusi suara PDIP menurundari 5,75 persen (jumlah kursi dibagi persentase perolehan suara) menjadi 4,80 persen setelah

    koalisi pilpres dengan tiga parpol yang lolos ambang batas elektoral. Sementara itu, rasiodistribusi suara Gerindra turun tipis dari 6,18 persen menjadi 6,13 persen setelah koalisi.

    Maka, berdasarkan penghitungan rasio tersebut, bisa dijelaskan bahwa pemilih parpol koalisiPrabowo-Hatta lebih menyebar dibanding pemilih parpol koalisi Jokowi-JK. Indikasinya,rasio suara per kursi DPR parpol koalisi Prabowo-Hatta sebesar 203.884,7 lebih optimalketimbang parpol koalisi Jokowi-JK sebesar 277.240,9. Terkait dengan pilpres, pemilih yangterdistribusi dan loyal berperan lebih krusial karena penentuan capres-cawapres terpilihmerujuk pada akumulasi dan persebaran suara.

    Analisis data hasil pileg 2014 dan jajak pendapat sejumlah lembaga polling akan bergunaselama 32 hari masa kampanye pilpres, terutama untuk menggaet sekitar 21,6 persen suara si

    peragu. Meyakinkan para peragu menjadi sangat krusial karena perbedaan elektabilitasantarkedua pasangan kandidat semakin kecil.

    Juga, rentang waktu pencoblosan di bilik suara yang hanya berkisar dua hingga lima menit,memaksa pemilih memantapkan pilihannya sebelum hari pemungutan suara. Karena itu, tim

    pemenangan capres-cawapres mesti jeli menganalisis karakter pemilih peragu.

    Pertama, tim pemenangan harus lebih detail memahami karakter swing voters . Merekasebenarnya bukan saja para pemilih yang belum menetapkan pilihannya. Mereka bisa pulamengidentifikasikan dirinya sebagai kumpulan individu non-afiliasi/non-partisan ( politicalindependents ) dan pemilih berpindah ( party switchers ) (Mayer, 2007). Menurut polling LSILingkaran pada awal Mei lalu, mayoritas mereka adalah perempuan, berpendidikan dasarsaja, tinggal di pedesaan, dan berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta.

    Kedua, berdasarkan pemetaan swing voters , kampanye yang menonjolkan figur capres-cawapres, termasuk debat resmi, harus berhasil meyakinkan mereka yang masih ragu, non-

    partisan, dan berpindah. Tak ketinggalan, strategi dan organisasi kampanye capres-cawapressemestinya mampu pula mempertahankan para pemilih loyal parpol koalisi.

    Menggarap swing voters secara serius akan lebih menentukan karena hasil pilpres tidakmembobot tingkat partisipasi. Atau, tingginya pemilih absen dan suara tak sah tidakmengurangi kesempatan calon untuk meraih kursi presiden dan wakil presiden.

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    41/42

    Begadang demi Piala Dunia

    Sabtu, 14 Juni 2014

    Endang Suarini , Penggemar Sepak Bola dan Pemerhati Kesehatan

    Johnny Rep, bekas pemain sepak bola Belanda dalam Piala Dunia 1974 dan 1978, pernahmengatakan, dari waktu ke waktu dampak Piala Dunia makin menggila. Seluruh kehidupandunia ini seakan dikuasai oleh kegilaan dalam pesta sepak bola terakbar ini. Gaung PialaDunia 2014 yang diselenggarakan di Brasil terdengar di mana-mana.

    Seperti kita tahu, Piala Dunia Brasil berlangsung dari 13 Juni hingga 14 Juli 2014 dan diikuti32 negara. Berdasarkan jadwal, memang ada beberapa pertandingan Piala Dunia yangdimainkan pada pukul 05.00 atau 08.00 WIB. Tapi, sebagian besar dari 64 pertandingandigelar pada pukul 23.00 dan 02.00 WIB. Meski biasanya ada cuplikan hasil pertandingan

    pada tayangan berita sepak bola di televisi, bagi gibol (penggila bola) sejati tidak afdal kalautidak menonton langsung di televisi. Aktivitas menonton atau begadang demi bola hukumnyawajib!

    Apalagi tontonan Piala Dunia sudah menjadi hiburan gratis sekaligus menjadi ajangmelupakan kesumpekan hidup akibat kenaikan harga bahan pokok dan hiruk-pikuk kampanye

    pilpres yang banyak ditandai dengan kampanye hitam berbau SARA (suku, agama, ras, danantargolongan).

    Padahal menonton pertandingan sepak bola pada malam atau dinihari jelas berisiko bagikesehatan. Akibat begadang, tentu saja porsi tidur normal sekitar 6-8 jam per hari menjadi

    berkurang. Bagi yang tidak bekerja, tentu kehilangan jam tidur bisa diganti dengan tidursiang pada keesokan harinya. Namun bagi karyawan kantor atau buruh pabrik, menontonPiala Dunia pada malam hari membawa konsekuensi yang tidak ringan. Tidak mengherankan

    jika selama Piala Dunia akan muncul fenomena "mengantuk" berjamaah. Orang-orangdengan tampang loyo dan mata sayu akan memenuhi negeri ini.

    Maka, Rhoma Irama, dalam lagu Begadang , berpesan: "Jadilah itu sayangi badan. Jangan begadang setiap malam" Dampak nonton Piala Dunia bukan hanya fisik, tapi juga psikis.Kebanyakan orang yang kurang tidur sering bangun tidak fresh. Kondisi jiwa labil ataumuncul perasaan bad mood atau " bete ".

    Jelas dampak negatif itu tidak akan mampu menghentikan orang untuk tidak menyukai sepak

    bola. Jadi, mari lihat juga dampak positifnya. Menurut Dr Andrew McCulloch dari MentalHealth Foundation, tontonan sepak bola bisa mengasah hati dan rasa kemanusiaan kita,

  • 8/12/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 8.6.2014-14.6.2014

    42/42

    terlepas dari segala dampak buruknya. Michel Platini juga berharap Piala Dunia bisamerekatkan relasi antaranggota keluarga. Simak saja, Piala Dunia juga menyatukan tujuhmiliar warga dunia.

    Nah, agar sisi-sisi positif itu kian tergali, selama menonton 64 pertandingan di Piala Dunia2014, para bolamania perlu memberi tambahan nutrisi atau vitamin untuk tubuh. Jadi, silakanmenonton, asalkan jangan mengorbankan kesehatan. Selamat menonton Piala Dunia 2014.