caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
TRANSCRIPT
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
1/42
Universitas
Senin, 24 Februari 2014
Selama lebih dari setengah abad, mungkin tak lebih dari 50 orang yang pernah datang ke
ruang di Pod vodrenskou vezi 4 di Kota Praha itu.
Sejak tahun 1958, di sana tersimpan 315 jilid kitab suci dari Tibet, bagian dari perpustakaan
Pusat Studi Dunia Timur di Republik Cek itu. Tapi sebenarnya tak jelas adakah di sana
Tibetologi diminati secara luas, dan apa pula manfaatnya bagi bangsa yang jutaan kilometer
terpisah dari Asia itu.
Tapi "manfaat" adalah kata yang tak selamanya pantas dipakai. Seorang filosof Cina tigaabad sebelum Masehi pernah dikutip mengatakan, "Orang semua tahu manfaatnya hal yang
bermanfaat, tapi mereka tak tahu manfaatnya hal yang tak bermanfaat." Simon Leys
mengingatkan kita akan kearifan Zhuang Zi itu dalam kumpulan esainya yang asyik dan
pintar yang ia beri judul (tentu saja) The Hall of Uselessness.
Leys berbicara tentang universitas-sebuah lembaga yang di mana saja didirikan dengan
pengharapan yang muluk. Tapi, bagi Leys, itu juga lembaga yang seharusnya bebas dari kata
"manfaat". "Kegunaan yang tertinggi dari universitas," tulis Leys, "terletak pada apa yang
oleh dunia dianggap sebagai ketidakbergunaannya."
Bisa kita bayangkan Menteri Pendidikan, para anggota parlemen yang mengurus anggaran
sekolah tinggi, serta orang tua yang mengidamkan anaknya lulus dan punya karier yang tajir
di perusahaan ternama akan terenyak merenungkan paradoks itu: universitas itu penting
untuk dilihat sebagai sesuatu yang tak berguna.
Soal ini soal lama, sebab Leys bukan orang pertama yang mengemukakannya. Lebih terkenal
lagi Kardinal Newman. Rohaniwan ini pada 1854 menjadi Rektor Catholic University of
Ireland. Empat tahun kemudian, setelah pensiun, ia menerbitkan kuliah-kuliahnya dalam The
Idea of a University: sebuah karya klasik yang mempertahankan prinsip bahwa "pengetahuanmampu menjadi tujuannya sendiri". Dengan itu, Newman menegaskan universitas sebagai
dunia keilmuan yang tak dilecut prinsip "semua-mesti-mengandung-guna", semangat
utilitarianisme yang menganggap bahwa yang "tak berguna" sama dengan "tak bernilai".
Kita ingat 315 jilid kitab suci kuno dari Tibet yang dirawat terus di perpustakaan yang tak
mencolok di Kota Praha itu: benda-benda yang tak pernah digugat buat apa, tapi selalu bisa
ditelaah oleh seorang dua orang yang dalam kesendirian mereka mengerti, ada sebuah nilai
lain dalam hidup.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
2/42
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
3/42
Dalam tulisannya yang saya kutip di atas, Leys mengambil sikap. Ketika universitas tempat
ia mengajar menyebut mahasiswa sebagai "konsumen", ia tahu itu saatnya ia harus
mengundurkan diri. Universitas memang akan guyah ketika ia jadi mall.
Goenawan Mohamad
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
4/42
Mahkamah
Minggu, 23 Februari 2014
Putu Setia
Romo Imam sedang mengajari cucunya berhitung ketika saya datang. "Dua kali dua hasilnya
sama dengan dua ditambah dua, empat," kata Romo sambil menepuk cucunya. Romo
mengerling saya, lalu berkata, "Tapi dua kali dua bisa jadi enam kalau Mahkamah Konstitusi
memutuskan begitu." Anak kecil itu tampak bingung dan berlari ke arah ibunya. Ia takut
melihat tampang saya yang berjenggot.
"Romo mengajarkan hal yang salah," saya nyeletuk. Setelah kami duduk, barulah Romo
menjawab: "Salah dan benar di negeri ini sekarang ditentukan oleh delapan hakim konstitusi.Apa pun yang mereka putuskan, itulah kebenaran yang mutlak, tak bisa dibantah. Mantan
Ketua MK Mahfud MD, berkali-kali bilang, apa pun keputusan MK harus dihormati,
diterima, final, dan tak bisa didebat."
"Tapi itu hanya berkaitan dengan konstitusi, Romo, bukan masalah matematika," potong
saya. Romo menjawab, "Siapa tahu ada yang memohon uji coba ke MK, dua kali dua harus
enam, agar tidak bertentangan dengan Pasal 31 ayat 5 UUD 1945 hasil amendemen yang
berbunyi: Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan seterusnya. Kalau hakim MK
menganggap untuk memajukan ilmu pengetahuan harus ada revisi soal perkalian, kan harusdihormati."
Saya tertawa. "Romo mengada-ada. Etika dari mana itu?" Romo makin serius: "Apa sekarang
hakim MK tak mengada-ada dan punya etika? Pemerintah capek membuat Perpu untuk
menyelamatkan MK, DPR sibuk bersidang mengesahkan Perpu menjadi UU. Ini melibatkan
banyak orang, kok delapan orang hakim itu bisa membatalkan? Etikanya, tentu, janganlah
mengadili diri sendiri untuk menguntungkan kedudukan sendiri." "Mungkin maksud hakim
MK agar undang-undang tentang MK itu yang direvisi," saya memotong. Romo menjawab,
"Kalau revisi undang-undang itu dibuat, lalu ada lagi yang mengajukan uji coba, ditolak lagi
oleh MK jika dianggap merugikan dirinya, bisa pula kan?"
Saya kehabisan argumentasi. Romo meneruskan, "Satu-satunya cara memperbaiki MK hanya
mengamendemen lagi UUD 1945, menambah ayat lebih rinci di pasal 24C yang mengatur
hakim konstitusi. Tapi perlu waktu panjang, dan selama rentang waktu itu, hakim MK tak
bisa diutak-atik dan, kalau ada yang pensiun, syarat penggantinya memakai undang-undang
lama. Lihat saja sekarang, politikus ramai-ramai mencalonkan diri. Padahal politikus itu
bukan negarawan, tapi itu sah karena belum diatur konstitusi. MK akan terus dikuasai orang-
orang partai."
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
5/42
"Kok orang partai nafsu betul jadi hakim MK?" tanya saya polos. Romo yang kini tertawa:
"Jelas dong, sengketa pemilu dan pilkada akan banyak, dan hakim dari partai pasti membela
partainya. Kalaupun motifnya bukan itu, ya, sabetan dari sengketa itu, contohnya ya Akil."
"Romo berprasangka," kata saya. "Saya pakai akal sehat," jawab Romo cepat. "Sidang pleno
untuk vonis di MK itu dihadiri seluruh hakim. Apakah di era Akil Mochtar jadi Ketua MK,
ke delapan hakim lainnya cuma manggut-manggut saja dengan keputusan Akil yang
dibayangi suap miliaran? Apakah delapan hakim lainnya dihipnotis oleh Akil atau dihipnotis
oleh sesuatu?"
Saya tak bisa menjawab. Romo berkata datar: "Pasal 24C ayat 5 UUD 1945 menyebutkan,
hakim MK haruslah negarawan. Mestinya negarawan itu bebas dari kepentingan partai, bebas
dari godaan harta benda, bebas dari perbedaan suku agama, dan sebagainya. Negarawan kok
masih terima suap, silau dengan kemewahan. Dan negarawan kok masih sibuk
mempertahankan jabatannya."
Saya hanya melongo. Tapi saya tetap cinta Indonesia, meski sebuah negeri dengan
mahkamah yang ngeri-ngeri sedap.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
6/42
Empati Sosial
Senin, 24 Februari 2014
Fauzi Sukri,Penulis
"Ora butuh difoto, butuhe bantuan." Saya mendapatkan kata-kata itu dalam foto headlinedi
harian Kompas (18/02/2014) -yang ditulis pada papan tripleks berlatar rumah warga yang
terkena dampak erupsi Gunung Kelud dan dipasang di pinggir jalan yang penuh abu vulkanis.
Warga Desa Puncu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tampaknya sudah begitu paham akan
aktivitas sosial kita saat terjadi bencana, kecelakaan, atau tindak kriminal: kita lebih suka
melihat-lihat atau memotret daripada melakukan tindakan penyelamatan, mengorganisasikanpengumpulan derma, ataupun berempati.
Pola komunikasi atau keterlibatan dan kepedulian sosial kita dengan orang lain lebih banyak
mengarah ke ekshibisionisme dan narsisisme asosial. Di depan bencana, kecelakaan, atau
kriminalitas, terkadang kita lebih suka mengedepankan mata daripada rasa, apalagi tindakan.
Mata seakan haus akan hal-hal yang sensasional, mengejutkan, dan luar biasa, tapi rasa
empati sering kali disurutkan ke belakang.
Majalah Tempo edisi 24 Juli 1982 pernah secara khusus memuat headlinesampul ini: "OrangIndonesia Memotret". Pada tahun itu, sebelum kamera digital murah dikenal dan "hape" yang
berkamera belum ada, "Lebih seperempat juta kamera diimpor Indonesia tiap tahun." Dan
pada tahun itu, "Jebret! Bunyi itu kini terdengar di mana-mana di Indonesia." Ini terjadi
sekitar 31 tahun silam dan sekarang pasti sangat berbeda juga jauh lebih gemebyar, apalagi
mendapat sokongan dan tambahan tenaga jejaring sosial.
Laku hidup di depan kamera adalah perilaku yang berjarak, bahkan menjauh dari obyek agar
obyek bisa diintai, dibidik, dan difoto. Foto-juga alat perekam lainnya-dibuat agar
menghasilkan efek statis, tak bergerak. Dan, walaupun manusia pemegang kamera ada di
tempat kejadian, kamera tetap membuatnya harus berjarak. Kamera tak pernah bisa menyatu
dengan obyeknya, selalu harus diberi jarak. Hadir tapi tetap berjarak, tak hendak terlibat,
seakan semuanya tidak bisa menimpa diri kita semua, seperti kamera di hadapan obyeknya.
Maka, pola komunikasi atau keterlibatan sosial ala kamera ini sering kali tak simpatik dan tak
membawa rasa empati-dalam beberapa kasus seperti kejadian di area yang sangat terpencil
atau terisolasi, tentu saja kamera terkadang mampu membawa empati.
Seperti abu vulkanis yang menimpa kita yang berada sekian ribu kilometer dari Gunung
Kelud, hidup kita selalu dalam keterlibatan, keterkaitan, dan ketergantungan pada alam dan
orang lain. Empati menjadi sesuatu yang sudah seharusnya, bahkan barangkali sudah menjadinaluri hidup kita. Maka, dalam empati, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi orang
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
7/42
lain; kita ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain.
Setidaknya, berempati berarti membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang
lain. Dengan empati, kita berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan seperti
orang lain merasakannya (Jalaluddin Rakhmat (1992: 132).
Dengan ini, akan timbul gerak dalam hati dan pikiran kita, berempati dalam tubuh-batin.
Gerak ini kemudian akan mengerahkan saraf-saraf kita untuk ikut serta dalam bentuk
tindakan, berderma, atau berdoa. Berempati memberi rasa aman kepada orang lain dan
membuat orang merasa tidak sendirian dalam bencana. Ada kita bersama mereka. *
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
8/42
Tabur Bunga dan Sejarah yang
Membebaskan
Senin, 24 Februari 2014
Moeldoko,Panglima TNI
Empat dekade silam, tepatnya pada 28 Mei 1973, pemimpin dan Perdana Menteri Singapura
Lee Kuan Yew dengan hikmat melangkah memasuki Taman Makam Pahlawan Kalibata, di
Jakarta Selatan. Hari itu ia menabur bunga di pusara dua prajurit KKO, Usman Haji
Mohamed Ali dan Harun Said.
Lima tahun sebelumnya, pada 17 Oktober 1968, Usman dan Harun menjalani hukuman
gantung yang dijatuhkan pemerintah Singapura. Sejarah mencatat bahwa keduanya tak
menampik meledakkan bom di MacDonald House, Orchard Road, pada 10 Maret 1965.
Peledakan itu memang menjatuhkan korban penduduk sipil yang tak disangka, dan salah satu
permintaan Usman serta Harun sebelum eksekusi adalah, mereka bisa dipertemukan dengan
keluarga korban dan memohon maaf.
Peristiwa Usman dan Harun memang harus dilihat dalam kerangka konfrontasi. Konfrontasi
di sini bukan hanya berupa perang dingin, yang menularkan demam ke berbagai belahan
dunia, tapi juga konfrontasi antara ide besar tentang pelaksanaan tugas yang diemban oleh
abdi negara dan kedaulatan bangsa yang harus ditegakkan. Ide-ide besar seperti ini bisa
memancing reaksi yang sangat emosional dan berskala luas. Dan kebesaran seorang
negarawan akan ditentukan oleh bagaimana ia menghadapi reaksi emosional itu sambil tetap
menjunjung ide pelaksanaan tugas dan kedaulatan sebuah bangsa.
Jatuhnya korban sipil memang layak disesali. Pemerintah serta rakyat Singapura berhak
merasa terluka dan wajib menegaskan kedaulatannya. Tapi, pada 28 Mei 1973 itu, Lee Kuan
Yew bersedia mengatasi luka tersebut. Dengan menabur bunga, ia ikut mengukuhkantindakan pemerintah Indonesia yang mengangkat martabat Usman dan Harun sebagai
pahlawan nasional. Langkah khidmat dan taburan bunga tersebut menunjukkan betapa Lee
Kuan Yew bersedia melepaskan diri dari sejarah masa silam yang sedih untuk menyiapkan
masa depan yang kian mengukuhkan kelangsungan hidup dan kesejahteraan bangsanya.
Jika kita mengenang taburan bunga Bapak Pendiri Singapura Modern Lee Kuan Yew di
Kalibata itu, kita memang bisa agak tersentak oleh reaksi rekan-rekan di Singapura berkaitan
dengan penyematan nama "Usman Harun" di salah satu fregat Indonesia. Penyematan itu
sungguh sejajar dengan taburan bunga: penghormatan kepada mereka, termasuk prajuritkecil, yang telah melaksanakan tugas negara sebaik-baiknya. Penyematan itu sama sekali
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
9/42
bukan tanda untuk menyerbu tetangga terdekat.
Kita sudah hidup di abad ke-21, dan abad ini berlimpah dengan pelajaran sejarah yang
menunjukkan bahwa niat menyerbu secara militer ke negara tetangga bukanlah niat yang
patut dan beradab. Saya sepakat bahwa perang fisik bukanlah kelanjutan dari diplomasi yangbuntu, melainkan buah pahit dari kegagalan inteligensi (failure of intelligence). Operasi
militer hanya absah jika lawan sudah berhenti menggunakan inteligensinya.
Kegagalan inteligensi selalu bermula dari kegagalan membebaskan diri dari kungkungan
sejarah, dan dari ketakmampuan menghargai harkat hidup orang lain, bangsa lain. Indonesia
tidak mungkin lagi menyerbu Singapura. Indonesia bahkan berkepentingan agar Singapura,
dan negara tetangga lain, berada dalam keadaan damai dan stabil. Sebab, hanya dalam
perdamaian yang kukuh Indonesia bisa menegaskan kedaulatan negara dan kesejahteraan
rakyatnya.
Betapapun juga, Indonesia dan Singapura adalah dua dari lima negara pendiri ASEAN.
Perhimpunan kawasan yang semakin dihormati ini, kita tahu, didirikan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan negara-negara
anggotanya. Juga, tentu saja, untuk memajukan perdamaian dan stabilitas di tingkat regional
serta meningkatkan kesempatan untuk membahas perbedaan di antara para anggotanya
dengan damai.
Sejak didirikan, ASEAN secara formal telah menyediakan ruang bagi para anggotanya untuk
membicarakan perbedaan-perbedaan dan membereskannya dengan damai. Ada yangmengatakan bahwa itulah cara Timur, tepatnya Asia modern, untuk menyelesaikan
konfliknya. Ruang seperti ini mungkin tak memuaskan semua pihak, tapi ia terbukti dapat
menopang upaya mendorong pembangunan dan perdamaian di kawasan ASEAN.
Ruang seperti ini tak mungkin lahir jika para negarawan pendiri ASEAN membiarkan diri
mereka terkungkung dalam sejarah yang membuat kita semua kehilangan kemampuan untuk
merespons secara wajar kejadian-kejadian di sekitar kita. Kita memang tak dapat
membiarkan masa silam memenjarakan masa depan kita. Di Kalibata, PM Lee Kuan Yew,
yang mengikuti syarat yang diajukan Presiden Soeharto, berhasil menunjukkan bahwa
pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa memperlakukan sejarah secara bijak untuk bisa
membebaskan masa depan bangsanya. *
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
10/42
Plagiat
Senin, 24 Februari 2014
Amarzan [email protected]
Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan "plagiat" sebagai "pengambilan karangan
(pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri,
misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri". Pemahaman apa yang
bisa ditarik dari penjelasan ini?
Pertama, plagiat adalah perbuatan lancung. Karangan yang merepresentasikan pendapatatawa buah pikiran melekat pada hak individual sang pengarang yang, sesungguhnya,
dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Plagiator, dengan demikian, sudah menginjak-
injak hak individual itu.
Kedua, plagiat menunjukkan kemiskinan intelektual. Di kolong langit ini, kata Julius Caesar,
"Tak ada hal yang tidak menarik; yang ada ialah orang-orang yang tidak tertarik." Tugas
intelektual adalah mengangkat masalah-masalah yang luput dari ketertarikan awam, dan
menjadikannya bahan rujukan yang mencerahkan dan menginspirasi-tanpa mencederai
martabat intelektualitasnya.
Ketiga-dan ini yang paling berat-plagiat merupakan "kejahatan terencana". Tidak ada
tindakan spontan dalam proses plagiarisme. Sang plagiator (penjiplak) pastilah membaca
lebih dulu karangan yang akan dijiplaknya, sebelum merasa tertarik mencaplok karangan itu
dan mengakuinya sebagai karangan sendiri. Dalam proses "ambil alih" itu, sebetulnya
plagiator masih berusaha menghapus jejak dengan mengubah satu-dua kalimat, atau satu-dua
alinea, atau mengubah susunan alinea. Tapi biasanya mereka gagal karena-dan ini juga
merupakan kejahatan-memandang rendah khalayak sasarannya.
Pada tingkat apakah sebuah karangan bisa disebut plagiat? Ada berbagai jenjang yang
sekaligus bisa digunakan untuk "menentukan" derajat plagiat. Jenjang pertama adalah yang
biasa disebut "copy paste", ketika lebih dari 70 persen karangan, alinea demi alinea dan
secara berurutan, sama dengan karya yang diplagiat.
Jenjang kedua meliputi "pilihan kata", yang diikuti penempatan kata dalam pengkalimatan.
Seorang pengarang yang sudah terbiasa mempublikasikan karya tulisnya di media massa
mudah dikenali kekayaan-atau sebaliknya, kemiskinan- kosakatanya. Kesamaan kosakata,
apalagi menyangkut kata yang unik, khas, dan tidak biasa, layak dicurigai sebagai bentuk
plagiat yang berada setingkat di bawah "copy paste".
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
11/42
Jenjang ketiga meliputi "gaya", sesuatu yang sesungguhnya sulit dipakai sebagai bahan
pembuktian plagiat. Kecenderungan kesamaan gaya lebih mudah dikategorikan sebagai
"keterpengaruhan"-sesuatu yang dianggap biasa-biasa saja dalam dunia tulis-menulis.
Jenjang keempat meliputi kesamaan penggunaan metafora, termasuk pepatah-petitih dantamsil ibarat. Jika dalam dua karangan yang berbeda terdapat lebih dari tiga metafora yang
sama, sudah selayaknya kedua tulisan itu disimak secara lebih saksama, seraya mencari
persamaannya yang lain.
Terakhir adalah kesamaan gagasan, yang bisa dihisabkan kepada bentuk plagiat yang paling
ringan. Kesamaan gagasan merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi secara kebetulan,
dan mencari gagasan yang sepenuhnya "orisinal" nyaris mustahil dalam lalu lintas ide yang
semakin dinamis. Karena itu, menggunakan kategori ini untuk menentukan plagiarisme
merupakan pekerjaan yang tidak mudah dipertanggungjawabkan.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
12/42
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
13/42
sesuai dengan tuntutan pasar. Salah satu syarat mutlak ujian seleksi itu: harus menghibur.
Syarat lainnya yang bisa jadi nilai tambah: berpenampilan menarik, bersuara bagus, syukur-
syukur bisa nyambi jadi penyanyi, dan alhamdulillahkalau punya diferensiasi (gaya
penyampaian yang beda, unik, dan kalau perlu juga punya jargon-jargon antik).
Kita jadi tahu, jadi ustad-dai itu tak mudah. Sedikit orang yang bisa menyampaikan ajaran
moral dengan gaya yang disukai banyak orang. Untuk bisa memasarkan dakwahnya, cara-
cara yang ditempuh para dai tentu tak mudah.
Itulah cara alternatif pertama untuk berbaik sangka. Opsi dalam berbaik sangka yang kedua,
mungkin saja ada konspirasi Tuhan yang sedang bermain di sana. Melalui adegan smackdown
ustad terhadap operatorsound-systemitu, Tuhan sedang ingin agar umat memikirkan kembali
pengertian mereka tentang ustad.
Lagi-lagi kita mesti bersyukur, kenyataanya publik masih cukup waras. Ada kesadaran yang
pelan-pelan kini menyeruak: ustad harusnya begini, bukan begitu. Kejadian itu menjadi
blessing in disguise, sehingga publik mulai mengarahkan kritiknya kepada cara media
menyeleksi dai-dainya. *
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
14/42
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
15/42
antara Napoli dan Diego Maradona di dalamnya dengan AC Milan yang mengandalkan Trio
Belanda (Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten) lebih layak diikuti ketimbang
"persaingan" Golkar, PPP, dan PDI (belum pakai "Perjuangan") saat itu.
Sinisme? Ya, yang syukurlah gugur, karena politik Indonesia kini rupanya sudah bukan"sepakbola gajah" lagi. Persaingannya beneran, meskipun uang masih dipakai juga. Artinya,
politik Indonesia sudah lebih "layak tonton". Pertanyaannya sekarang, dalam asumsi bahwa
dengan segala aspek politisnya sepak bola tetap dipandang sebagai hiburan, terlacaknya
popularitas berita-berita politik menunjukkan gejala apa? Sepak bola tersaingi oleh politik
sebagai hiburan potensial, ataukah politik sudah lebih dihargai sebagai wacana serius yang
boleh lebih diperhatikan daripada sepak bola?
Dapat saya ringkaskan, meskipun konstruksi struktural persaingan politik dan sepak bola itu
sama, hasil akhirnya mempunyai akibat berbeda: kalah-menangnya Barcelona, Real Madrid,
Manchester United, Chelsea, dan Manchester City barangkali penting bagi kebahagiaan
pendukungnya-artinya mempunyai dampak "spiritual", tapi tidak memberi akibat konkret
dalam kehidupan praktis. Sebab, sepak bola jika dikembalikan kepada "hakikat"-nya (astaga!)
memang adalah "main bola" (baca: keterampilan memainkan bola dengan kaki) sahaja,
betapapun telah menjadi fenomena bisnis hiburan (sekali lagi: via media) yang spektakuler.
Adapun dalam politik, menang-kalahnya Jokowi atau Prabowo agaknya dianggap akan
memberi akibat langsung bagi kehidupan masing-masing (rumah sakit gratis, sekolah gratis,
dan tunjangan kemiskinan?), meskipun suka atau tidak suka kepada kepribadiannya yang
maha-dahsyat (awas, via media!) itu tetap merupakan faktor determinan tak teringkari.Berbeda dengan masa Orde Baru, ketika rakyat begitu apatis terhadap politik "sepak bola
gajah", politik Indonesia masa kini tak lagi sekadar "layak tonton". Dengan demikian, nama
Prabowo bisa menyaingi popularitas Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, tapi juga telah
dihargai dalam harkat politik itu sendiri: hasil akhir yang ikut kita tentukan akan
mempengaruhi kehidupan kita bersama. Mungkin kesadaran semacam ini akan membuat
angka golput berkurang dalam Pemilu 2014.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
16/42
Pesohor
Selasa, 25 Februari 2014
Indra Tranggono,Pemerhati Kebudayaan
Layaknya raja-raja, kini para koruptor pun dikelilingi oleh para perempuan, termasuk pesohor
(selebritas). Dengan uang yang melimpah, para koruptor mampu membeli kehangatan relasi
emosional dari para perempuan penghibur (penyanyi, foto model, bintang sinetron, dan
lainnya), baik yang sudah punya nama atau pendatang baru.
Motif relasi personal antara pesohor dan koruptor pun bermacam-macam, dari sebatas temanbiasa, hubungan profesional, pacar gelap, sampai istri simpanan yang dinikahi secara siri.
Perbedaan status itu bisa jadi hanya sekadar predikat untuk konsumsi publik demi
menghindar dari stigma buram. Misalnya, perselingkuhan atau jual-beli jasa seksual. Namun,
apa pun statusnya, para pesohor itu mengaku mendapat guyuran uang dalam jumlah besar,
dari puluhan sampai ratusan juta. Mereka pun mendapatkan barang-barang mewah: mobil,
perhiasan, alat-alat elektronik, rumah, dan lainnya.
Dalam proses hukum, selama ini status mereka baru sebatas saksi. Mereka masih aman,
belum dijerat dengan pasal pencucian uang. Kepada KPK, mereka pun dengan "suka rela"mengembalikan uang dan barang yang pernah mereka terima dari koruptor. Uniknya, sambil
menyerahkan barang dan uang itu, mereka memberi pernyataan yang gagah: ikut gigih
melawan korupsi. Tak jarang, layaknya pengkhotbah agama, mereka pun berbicara tentang
pentingnya moralitas, etika, dan norma.
Relasi intim antara pesohor dan koruptor bukan hal baru. Dalam masyarakat tradisional, para
pesohor yang dikenal sebagai ledhek (perempuan penghibur) sudah biasa menjalin relasi
emosional dengan para penguasa dari kelas demang, tumenggung, adipati, patih, sampai raja.
Mereka ada yang dijadikan gundik oleh penguasa.
Tradisi relasi ledhek-penguasa ekonomi dan politik itu mengalami transformasi dalam era
modern.Ledhekmenjelma menjadi selebritas/pesohor berhabitat dunia industri hiburan
(budaya pop/massa). Mereka menjadi kelangenanpublik dan para pemilik otoritas di
berbagai lembaga pemerintah/negara. Mereka memasuki kehidupanjet-set layaknya para
sosialita. Mereka bisa menjalin hubungan intim dengan orang-orang parlemen, birokrat,
hakim, jaksa, polisi, dan pengusaha. Otomatis, mereka pun tumbuh dan besar dalam atmosfer
kelas menengah, akibat cipratan rezeki yang berupa uang dan akses.
Hedonisme menjadi ideologi yang mengatur dan menentukan langgam hidup mereka.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
17/42
Gaya hidup serba mewah demi pelampiasan hedonisme akhirnya memakan diri dan integritas
para pesohor. Biaya hidup yang sangat tinggi mengendurkan prinsip-prinsip moral, sehingga
mereka menjadi permisif terhadap iming-iming dari para koruptor. Kehormatan pun
digadaikan demi meraih kemewahan. Mereka dengan sadar memposisikan para koruptor
sebagai sponsor bagi pemuasan hedonismenya.
Mereka baru kaget dan malu ketika para pemberi uang dan barang yang selama ini dikenal
sebagai orang baik itu ternyata tak lebih dari pemangsa uang negara. Mereka pun sibuk cuci
nama dengan berbagai pernyataan yang intinya menjelaskan bahwa, terhadap para koruptor,
hubungan mereka netral tanpa kepentingan. Namun, hukum dan penegak hukum (KPK) tidak
gampang dibohongi. Hukum mestinya tidak meletakkan mereka sebagai korban, melainkan
pihak atau orang yang turut menikmati hasil perampokan uang negara. Jika, terbukti bersalah,
para pesohor hitam ini layak dihukum. *
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
18/42
Monorel Bukan Angkutan Massal
Rabu, 26 Februari 2014
Agus Pambagio,Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
Dalam beberapa tulisan atau komentar di berbagai media, saya sering menyampaikan bahwa
monorel bukanlah alat transportasi massal yang layak dipakai di kota sebesar Jakarta, seperti
layaknya bus kota, kereta api, MRT, dan sebagainya.
Monorel merupakanpeople moveratau alat angkut terbatas berbasis rel yang biasanya
dioperasikan di antara terminal di bandara atau di taman wisata, dan daerah perbelanjaan,seperti di Bandara Changi Singapura, Disneyland di AS, serta pusat belanja George Street di
Sydney.
Untuk kota sebesar dan sepadat Jakarta, monorel sangat tidak cocok karena investasinya
mahal dengan penumpang terbatas, dan akan menghasilkan tarif per orang yang sangat
mahal. Apalagi monorel Jakarta adalah investasi swasta, jadi tidak berhak atas subsidi
pemerintah. Artinya, kerugian bagi pengelola ada di depan mata.
Proyek monorel Jakarta ini awalnya memang sudah penuh masalah setelah TemasekSingapura, yang semula akan membangunnya, mundur pada 2004/2005. Setelah itu sempat
bergonta-ganti investor, akhirnya proyek PT Jakarta Monorel (JM) ini mangkrak pada masa
Foke menjadi Gubernur DKI Jakarta. Padahal pembangunannya dipayungi oleh Keputusan
Presiden (Kepres).
Pada masa awal Gubernur Joko Widodo (JKW) pada 2013, penulis sempat diundang ke Balai
Kota untuk mendengarkan paparan dari Proyek Jakarta Monorel yang seyogianya akan
dibangun oleh Konsorsium BUMN. Namun tiba-tiba muncul rombongan PT JM, yang
katanya datang atas undangan JKW. Panitia sempat bingung, begitu pula Tim Monorel
Konsorsium BUMN yang dipimpin oleh PT Adhi Karya Persero Tbk (AK). Mereka berniat
hengkang dari pertemuan tersebut.
Di sini sudah terlihat betapa kencangnya PT JM melobi Gubernur JKW. Pada akhirnya
memanggreen linedan blue linediserahkan kembali ke PT JM oleh Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta dengan investor Ortus Holdings milik Edward Soeryajaya. Mereka akhirnya
berhasil melakukangroundbreakingbersama Gubernur JKW di Kuningan pada 16 Oktober
2013.
Ternyata, eh ternyata, upaya PT JM bersama Ortus Holdings kali ini juga kembali bermasalahdan "mangkrak", yang ditengarai disebabkan oleh adanya kemacetan pembayaran ganti rugi
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
19/42
dari PT JM ke PT AK karena adanya perbedaan nilai pembayaran tiang-tiang monorel yang
dibangun oleh PT AK. Maka Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara PT JM dan Pemprov DKI
Jakarta sampai hari ini belum bisa ditandatangani.
Sebagai informasi, kontrak antara PT JM dan PT AK untuk pembangunan monorel dilakukandalam mata uang dolar Amerika (US$). Berdasarkan due diligenceBPKP Provinsi DKI
Jakarta No. LAP-3178/PW.09/5/2010 tertanggal 21 April 2010, biaya pembangunan,
termasuk PPN 10 persen, adalah US$ 14.887.252,10 atau Rp 233.188.159,00.
Kemudian, berdasarkan hasil laporan Kantor Jasa Penilai Publik Amin-Nirwan-Alfiantori dan
Rekan tertanggal 7 Februari 2013, nilainya adalah Rp 193.662.000,00. Sedangkan
berdasarkan Minute of Meeting (MoM) antara PT JM dan PT AK tertanggal 18 Maret 2013,
disepakati angka final Rp 190.000.000.000, termasuk PPN 10 persen.
Namun ternyata, sampai hari ini, PT JM masih ingkar janji dengan menyatakan bahwa utang
PT JM ke PT AK hanya Rp 130 miliar. PT JM melalui Presiden Komisarisnya menyatakan
bahwa angka Rp 190 miliar itu termasuk Rp 50 miliar untuk biaya pembuatan stasiun yang
tidak pernah ada wujudnya. Karena itu, PT JM hanya mau membayar Rp 130 miliar.
Berdasarkan penjelasan Dirut PT AK: "Yang dimaksud dengan stasiun adalah hitungan
fondasi dan tiang di lokasi stasiun yang berbeda dengan lokasi yang non-stasiun, bukan
bangunan stasiun, yang memang belum pernah dibangun." Menurut saya, PT JM memang
mencari-cari masalah karena sejak awal saya ragu perusahaan ini mempunyai dana sebesar
Rp 16 triliun untuk membangun monorel.
Keraguan saya diperkuat oleh pencantuman ridership(penumpang) di brosur mereka, yang
menurut saya "lebay". Dalam brosur dinyatakan bahwa per gerbong monorel dapat
mengangkut 253 penumpang (lebih besar daripada MRT dan KRL). Patut diduga bahwa
jumlah ridershipdigelembungkan supaya mendapatkan angka tarif per penumpang yang
terjangkau, misalnya Rp 9.000 per penumpang.
Menurut hitung-hitungan bodo saya, jika angka ridership-nya wajar, tarif sekali naik monorel
bisa mencapai lebih dari Rp 30 ribu per penumpang. Ini tarif yang tidak akan terjangkau oleh
publik, dan pasti JKW juga tidak akan setuju.
Saran saya untuk Gubernur, batalkan saja Proyek Jakarta Monorel ini karena, selain monorel
bukan angkutan umum, PT JM tampaknya tidak akan sanggup membangunnya. Apalagi
ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga tidak akan memberikan fasilitas apa-apa kepada
investor.
Masalah utang-piutang sebaiknya segera diselesaikan saja. Jika PT JM menolak hitung-
hitungan yang sudah disepakati (Rp 190 miliar), gunakan saja angka resmi dari BPKP dalam
mata uang dolar Amerika, yaitu US$ 14.887.252,10. Ini angka sah, bukan angka hasilnegosiasi.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
20/42
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
21/42
Warren Buffett Versus Singkong Emas
Rabu, 26 Februari 2014
Burhan [email protected]
Siapa yang tak ingin kaya mendadak? Bahkan konglomerat-konglomerat dunia, syekh-syekh
asal Timur Tengah, atau taipan dari Cina pun masih bermimpi bisa melipatgandakan
kekayaannya dalam tempo singkat. Cara mereka macam-macam. Ada yang menyerbu lantai
bursa Wall Street, ada juga yang menyuntikkan modal ke perusahaan baru seperti Facebook.
Zhao Danyang, seorang pemilik perusahaan investasi dari Hong Kong, punya cara lain lagi.Pada 2010, dia rela merogoh kocek dalam-dalam dan membayar US$ 2,6 juta (Rp 31,2
miliar) untuk mencari ilmu kaya lewat acara Dinner with Warren Buffettt. Zhao ingin makan
malam sambil berguru kepada Buffettt, yang sering disebut manusia setengah dewa di dunia
investasi. Bertahun-tahun Buffett memang selalu menempati posisi teratas sebagai orang
terkaya sejagat.
Mimpi menjadi kaya instan itu meracuni hampir semua kalangan di seluruh kolong jagat, tak
terkecuali di Indonesia. Dulu, orang berbondong-bondong ke Gunung Kawi untuk mencari
pesugihan. Namun kini, orang menyerbu pelatihan-pelatihan untuk kaya secara kilat. "Kayaadalah hak setiap orang," begitu kata mereka. Jangan heran, pelatihan-pelatihan seperti "Beli
properti tanpa modal, tanpa DP (down payment)" selalu laris-manis. Ada lagi tawaran
pelatihan yang sedang ramai: "Berkebun Emas".
Demam berinvestasi itu menjadi makanan empuk para penipu ulung. Tahun lalu, misalnya,
ada investasi bodong PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) dan investasi emas
Raihan Jewellery. GTIS membawa kabur Rp 2 triliun duit masyarakat.
Kini, dugaan penipuan investasi bodong juga muncul lagi. Kali ini modusnya adalah titip
modal untuk budi daya singkong, ayam super, dan budi daya lainnya. Menjadi heboh ripuh
karena kasus ini melibatkan sebuah perusahaan perencana keuangan yang sedang ngetren.
Dugaan investasi bodong itu dilakukan CV Panen Mas asal Sukabumi. Tawarannya sangat
menggoda. Titip modal Rp 47 juta untuk tanam singkong, pada bulan ke-11 akan
menghasilkan Rp 99 juta. Investasi ini menghasilkan 110,6 persen dalam sebelas bulan.
Dahsyat!
Para insinyur pertanian pasti ternganga melihat tawaran yang musykil itu. "Itu singkong
emas?" Hanya orang yang terhipnotis yang percaya investasi di singkong, atau produk
pertanian lain, bisa menghasilkan duit sebanyak itu. "Hukum rimba" di Indonesia membuatmargin laba petani nyaris tak pernah di atas angka 15-20 persen dari harga produk. Dengan
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
22/42
harga singkong cuma Rp 700 per kilogram, sungguh mustahil investasi itu bisa menghasilkan
laba 110 persen dalam 11 bulan.
Sudah banyak contoh investasi bodong, tapi masyarakat tak jera juga. Bahkan Stephen
Spielberg dan perusahaan raksasa di Wall Street pun pernah dibodohi oleh Bernard Madoff.Madoff meraup keuntungan US$ 65 miliar (Rp 78 triliun) lewat skema Ponzi. Skema yang
berasal dari nama mafia Italia itu menjanjikan imbal hasil yang tinggi, yang duitnya dibayar
dari investor yang datang belakangan. Investasi bodong model Panen Mas memakai cara
seperti itu.
Tawaran laba yang luar biasa kerap membuat mata investor hijau dan lupa akan logika
sederhana: masuk akal tidak tawarannya?
Apa pun yang instan-kopi, bubur, apalagi investasi-terasa kurang sedap. Jika ingin kaya, kata
Warren Buffett, pahami bisnisnya. *
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
23/42
Politik Minus Kebajikan
Rabu, 26 Februari 2014
Buni Yani,Peneliti dari Universitas Leiden, Belanda
Politikus-politikus busuk sedang merancang siasat untuk melumpuhkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak lagi efektif memberantas korupsi. Yang paling
sistematis dan tentu saja konstitusional adalah dengan merevisi Undang-Undang KPK.
Apakah mereka orang-orang tua dan berasal dari partai Orde Baru? Bukan. Mereka termasuk
anak-anak muda yang menikmati kebebasan politik akibat runtuhnya Soeharto yang duludilawan karena korupsi.
Logika politik ini absurd dan gila, tak bisa diterima akal sehat. Bagaimana mungkin
menentang sesuatu yang dulu diperjuangkan, lalu bergabung dengan penjahat dan menistakan
diri ke dalam kubangan politik yang kotor?
Anak-anak SD Banten menyeberang jembatan bambu yang bergoyang di atas sungai yang
airnya deras bertaruh nyawa, sementara gubernurnya mengoleksi barang-barang mewah
berharga puluhan bahkan ratusan juta rupiah yang dibeli di luar negeri dengan uang korupsi.
Harapan menyehatkan anak bangsa dengan mengkonsumsi protein jadi kandas karena harga
daging sapi setinggi langit, bahkan lebih tinggi daripada negara-negara Barat karena suap dan
korupsi penyelenggara negara yang diotaki oleh parpol. Kisruh pilkada bisa meledak di
mana-mana karena sengketa yang diputuskan MK didasarkan pada siapa yang berani
membayar lebih tinggi. Daftar keculasan dan penderitaan yang diakibatkannya ini bisa
diperpanjang, dan semuanya disebabkan oleh korupsi.
Pertanyaannya, apakah politikus-politikus yang tidak terhormat ini ingin bangsanya
terbelakang, bodoh, miskin, dan diremehkan bangsa lain karena tak punya harga diri?
Kini sebagian besar ruang publik politik dan ekonomi dikangkangi mereka yang sedang
menikmati keistimewaan melalui korupsi. Sesedikit apa pun langkah masyarakat madani
untuk mengubah kondisi ini merupakan ancaman yang akan ditanggapi secara reaksioner
oleh mereka.
Bagi para politikus busuk ini, politik bukanlah kebajikan yang akan menuntun mereka kelak
menuju surga di akhirat. Politik bukanlah ibadah yang ketika setiap kali datang rapat,
menemui konstituen, dan membuat undang-undang sama nilainya dengan pengabdian kepadaTuhan.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
24/42
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
25/42
Bencana versus Sabda Alam
Kamis, 27 Februari 2014
Sujiwo Tejo,Dalang
Sudah saatnya kita tak terus-terusan kurang ajar kepada alam. Menyebut letusan gunung
berapi, tanah longsor, banjir bandang, tsunami, dan sejenisnya sebagai bencana alam adalah
bentuk kekurangajaran itu. Dengan istilah bencana alam, sadar atau tidak, terkandung
kemarahan atau minimal kekesalan kita kepada alam.
Bukankah letusan gunung, hujan abu, dan sebagainya hanyalah peristiwa fisika-kimia biasaagar alam secara keseluruhan senantiasa mencapai keseimbangan baru? Hal yang sudah
niscaya dalam hukum alam seperti itu, sama halnya dengan pemuaian, penguapan, gravitasi,
dan sebagainya, kok dengan sepihak dan sewenang-wenang kita tuding sebagai bencana?
Dengan istilah yang mengandung unsur penyalahan alam, aktivitas memindahkan manusia
terkesan sebagai kegiatan mengungsikan orang-orang dari ruang dan waktu milik mereka
sebelumnya yang kemudian direnggut oleh alam. Padahal, kesibukan itu hanyalah bahu-
membahu bagi sesama untuk sementara guna mengembalikan ruang dan waktu yang mereka
pinjam dari alam sebagai nyonya ruang dan waktu.
Saat letusan gunung, angin topan, dan semacamnya terjadi, selalu mengharukan melihat
polisi dan tentara rukun dalam membantu warga-pemandangan yang langka untuk "job-job"
lain. Sayang, pada saat serentak, selalu membuat sedih. Sedihnya, pekerjaan yang guyub-
sentosa itu sejatinya didorong oleh niat mengungsikan manusia dari hak milik ruang dan
waktunya. Yang dipindahkan pun mempunyai rasa serupa. Adegan lantas tak ubahnya
dengan pemandangan mengungsikan warga dari hak milik ruang dan waktunya yang
terenggut oleh peperangan.
Padahal, peperangan jelas-jelas berbeda dengan letusan gunung. Peperangan itu bencana.
Letusan gunung, seperti halnya angin puting-beliung dan sejenisnya, adalah sabda alam.
Mereka adalah keniscayaan-keniscayaan yang berlangsungnya tidak bergantung pada nafsu,
hasrat, cita-cita, dan lain-lain manusia.
Ini sama halnya sabda alam yang terucap dalam hukum gravitasi bumi. Buah apel akan jatuh
bila dilepas. Tak peduli apa harapan Galileo maupun Newton terhadap nasib buah tersebut.
Apakah jatuhnya apel adalah bencana? Rasanya semua akan sepakat untuk mengatakannya
tidak. Herannya, dalam musyawarah tata nilai, sadar maupun tidak, semua masih mufakatbahwa letusan gunung adalah bencana alam.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
26/42
Buntut lain dari penggunaan idiom bencana alam masih banyak. Di antaranya, kegiatan yang
dianggap sebagai pemulihan dari akibat letusan gunung dan semacamnya disebut
penanggulangan. Lahirlah, misalnya, lembaga yang dinamai Badan Nasional Penanggulangan
Bencana. Konsisten dengan anggapan sebagai bencana, letusan gunung pun dianggap sebagaimasalah. Masalah, sebagaimana lilitan utang, skripsi yang tak kunjung rampung, dan
sebagainya, harus ditanggulangi.
Padahal, sejatinya, yang bermasalah itu siapa? Yang mencari perkara, ya, kita. Kita semua
termasuk saya. Yang berkehendak tinggal di atas ribuan kilometer tapal kuda api. Kita sudah
berkehendak menjadi perkara itu sendiri jauh sebelum gunung meletus.
Alam tak demikian. Tanah yang labil lantaran tak ditahan oleh akar-akar maupun talut akan
tunduk pada sabda alam untuk mencari kestabilan baru dengan cara longsor. Gunung, sungai,
hutan, lautan, dan sebagainya tak punya kehendak. Mereka hanya tunduk pada hukum alam
untuk selalu mencapai, itu tadi, keseimbangan baru.
Konsekuensi menamai sabda alam terhadap semua itu termasuk gempa, sebagai ganti
bencana alam, tentu banyak. Antara lain, tak ada lagi nama Badan Nasional Penanggulangan
Bencana. Adanya Badan Nasional Penyelarasan Sabda Alam.
Sabda alam tak perlu ditanggulangi, tak perlu diatasi, apalagi dilawan. Sabda alam hanya
perlu diselarasi. Ini klop dengan doa agama-agama leluhur untuk tak minta apa-apa kecuali
memohon agar kita senantiasa sanggup menyelaraskan diri dan tunduk dalam harmoni hukumsemesta.
Harmonisasi terhadap hukum alam itu bisa ditempuh melalui jalan pengetahuan. Selama
tinggal di atas tapal kuda api itu, yang percaya ilmu pengetahuan model sekarang biarlah
menyimak petunjuk-petunjuk Mbah Rono dan sejawatnya.
Yang percaya ilmu pengetahuan model baheula biarlah menyimak petuah-petuah Mbah
Maridjan dan para sejawat serta penggantinya, yang melanggengkan cerita-cerita tentang
gegunung. Jangan sampai 129 gunung berapi di Nusantara ini kehabisan kisah. Jangan
sampai orang-orang berpikir bahwa Gunung Karangetang, Gunung Lokon, dan Gunung
Rokatenda sebentar lagi mungkin akan meletus. Tidak! Mereka tak akan pernah meletus.
Mereka, bahkan menurut Mbah Rono, hanya akan menepati janji-janjinya.
Ya, senantiasa mencari keseimbangan baru dan senantiasa menepati janji-janjinya.
Demikianlah sabda alam dalam dua cita rasa ilmu pengetahuan.
Soal penggantian bencana alam dengan sabda alam, atau dengan istilah lain kalau ada yang
lebih tepat, tidak susah. Mengafkir papan-papan nama departemen menjadi kementerian saja
bisa kok. Apalagi mengganti nama-nama yang kuat terkait dengan tata-krama kita terhadapalam. *
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
27/42
Memahami Megawati
Kamis, 27 Februari 2014 | 00:25 WIB
Flo. K. Sapto W.,Praktisi Pemasaran
Desakan kepada Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDIP untuk segera mengumumkan
kandidat RI-1 semakin kuat. Kristalisasi kandidat-seturut hasil sejumlah lembaga survei dan
desakan arus bawah-agaknya menguat pada sosok Jokowi. Namun agaknya Megawati masih
bergeming tidak hendak mengumumkannya. Apakah ini sebuah sikap politis yang strategis?
Dalam kajian pemasaran, produsen umumnya saling berlomba untuk merilis produknyasecepat mungkin. Tidak jarang, bahkan dilakukan dengan agak bombastis. Terlebih lagi jika
produk itu adalah inovasi terbaru. Semakin cepat produk dengan fitur-fitur terbaru
dikeluarkan, akan semakin berpeluang menguasai pangsa pasar. Itu sebuah iklim kompetisi
yang wajar. Namun apakah selalu pemenang bursa adalah yang lebih cepat melepas
produknya ke pasar?
Seturut pemahaman berdasarkan kategori outputyang dihasilkan, partai politik sebetulnya
adalah pemainsingle industry. Sebab, jenis produknya hanya satu, yaitu kader partai politik
(man power). Produk-produk hasil kaderisasi kemudian dijual ke publik dalam bursapemilihan umum. Sebagai bagian dari mekanisme pasar, tentu akhirnya ada kategori produk
yang sangat laku, cukup laku, dan kurang laku. Tidak jarang juga sebagian partai politik
justru memilih produk dari partai lain untuk dijual. Bisa karena terhambat regulasi (20 persen
perolehan suara legislatif), bisa juga karena tidak cukup yakin akan produk sendiri. Mungkin
pula karena kurang memiliki jaringan distribusi di semua segmentasi sehingga dikhawatirkan
tidak akan bisa menjangkau pangsa konsumen secara luas.
Di dalam perspektif inilah agaknya sikap Megawati bisa dipahami. Memaksakan sebuah
launchingsebelum lulus thresholdadalah sebuah keputusan politis yang tidak taktis. Sebab,
hanya akan menempatkan partai politik sebagai pecundang, jika kelak tidak melewati ambang
batas minimal itu. Meskipun wacana ini sebetulnya diterima dengan enggan oleh para elite
PDIP sendiri, terutama para calon legislator. Sebab, dengan adanya pencalonan Jokowi,
justru bisa mengangkat keterpilihan mereka dalam bursa pemilihan legislatif. Namun, sekali
lagi, Megawati bukanlah politikus kemarin sore. Optimalisasi kinerja mesin partailah yang
lebih diharapkan menentukan posisi PDIP. Bukan semata-mata karena faktor Jokowi. Jelas
bahwa pemikiran ini akan mendorong PDIP melangkah sebagai sebuah organisasi modern
karena lebih mengutamakan mekanisme organisasional daripada ketergantungan figural.
Di samping itu, siapa juga yang akan kehilangan kalau pencalonan prematur Jokowi malahberisiko adanya sebuah konspirasi pembunuhan terhadapnya? Fakta lain yang terlihat adalah
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
28/42
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
29/42
Peluang Kudeta Konstitusional Pemilu
2014
Jum'at, 28 Februari 2014
Soleman B. Ponto,Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI 2011-2013
Pada 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Namun, aneh tapi nyata, undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat itu oleh MK dinyatakan masih
dapat dipakai dalam pelaksanaan Pemilu 2014.
Dengan demikian, secara jelas masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pelaksanaan
Pemilu 2014, apabila masih menggunakan Undang-Undang Nomor 42/2008, hasilnya
inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik Presiden,
Wakil Presiden, maupun anggota DPR, semuanya tidak sah karena menggunakan produk
hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat.
Akibat inkonstitusional Pemilu 2014, sangat mungkin pihak terkait, baik para pendukung
status quo maupun yang kalah, memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat para
pemenang. Dalam kondisi demikian ini, dapat dipastikan akan terjadi dua kubu yang saling
klaim kemenangan dan kebenaran. Dua kubu ini berada pada jumlah, wilayah, dan kekuatan
politik yang hampir seimbang. Maka yang akan terjadi adalah keadaan chaos, yakni sebuah
kondisi yang mengarah ke pemberontakan bersenjata. Chaosbisa terjadi karena alamiah atau
bisa pula rekayasa oleh pihak yang mau mengambil atau mendapat keuntungan oleh kondisi
ini.
Dalam kondisi chaosinilah, apalagi kalau sudah menjurus ke arah pemberontakan bersenjata,
posisi TNI menjadi sangat penting. Dalam sumpah prajurit di hadapan Tuhan, dinyatakan
bahwa setiap anggota TNI akan setia kepada pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 serta tunduk kepada hukum. Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34/2004 tentang TNI
menyebutkan, "Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan
bangsa dan negara."
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
30/42
Sudah sangat jelaspositioningTNI. Pertama, TNI akan dan harus berpihak kepada pihak
yang mendukung pelaksanaan UUD45. Kedua, TNI harus tunduk kepada hukum, sehingga ia
harus menjaga keutuhan bangsa. Bila keutuhan bangsa Indonesia terancam oleh chaos, TNI
wajib melaksanakan Operasi Militer Selain Perang untuk mengatasi pemberontakan
bersenjata, seperti yang tertulis pada pasal 7 ayat 2 titik 2 Undang-Undang No. 34/2004.
Di sisi lain, dari aspek hukum humaniter, pemberontakan bersenjata atau chaosyang
mengarah ke perang saudara, karena menggunakan berbagai jenis senjata, masuk kategori
konflik bersenjata internal, di mana rezim hukum yang berlaku adalah rezim hukum
humaniter. Ini artinya, kekuasaan penuh berada di tangan militer. Dengan demikian, bila hal
ini terjadi di Indonesia, kewenangan dan kewajiban untuk bertindak mengatasi chaosberada
di tangan TNI.
Bila TNI tidak bertindak, pemimpin TNI (dalam hal ini Panglima) dapat dituntut sebagai
pelanggar HAM karena melakukan pembiaran yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban.
Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana para perwira TNI yang bertugas di Timor-Timur
dituduh sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran sehingga menyebabkan
perang saudara setelah jajak pendapat. Apalagi saat ini sangat jelas perintah undang-undang
kepada TNI agar menegakkan kedaulatan negara yang berdasarkan UUD 1945 serta menjaga
keutuhan bangsa. Dan, yang tidak kalah penting, setiap anggota TNI akan dikutuk Tuhan
apabila tidak melaksanakan sumpahnya.
Memang, dalam UU TNI Pasal 17 ayat (1) disebutkan, "(1) Kewenangan dan tanggung jawab
pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden." Juga dalam Pasal 7 ayat 3 disebutkanbahwa ketentuan tentang operasi militer untuk perang maupun selain perang dilaksanakan
berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Pertanyaan besarnya, bagaimana TNI
harus tunduk ketika posisi presiden maupun DPR dianggap tidak berdasarkan UUD 1945?
Dengan demikian, sangatlah jelas keputusan MK--yang membenarkan penggunaan undang-
undang yang bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
dalam Pemilu 2014--akan mengakibatkan chaos, baik terjadi secara alamiah maupun
memang dengan sengaja direkayasa oleh pihak-pihak yang diuntungkan. Bila chaosterjadi,
terbuka peluang TNI melakukan "kudeta" konstitusional atau kudeta yang diperintah oleh
undang-undang.
Nah, supaya hal ini tidak terjadi, pelaksanaan pemilu serentak harus dilaksanakan pada
Pemilu 2014 ini. Karena itulah yang konstitusional. Lebih baik tertunda daripada tidak
legitimated.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
31/42
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
32/42
bergelimang imajinasi, seperti dongeng, cerita binatang, dan legenda, tidak masuk daftar
buku untuk belajar. Buku-buku ini tidak akan menghuni meja belajar. Pun tidak akan
menambah prestasi sekolah atau sekadar naik pangkat menjadi hadiah untuk menggantikan
buku tulis. Tidak dapat disangkal bahwa buku memang menjadi salah satu produk kemajuan
zaman. Dulu, anak-anak dikelilingi oleh cerita-cerita lisan dan tembang-tembang dolananyang dinyanyikan orang tua. Namun kini, anak-anak semakin kehilangan keduanya.
Pada abad ke-21, buku dan cerita-cerita lisan tertinggal jauh. Petuah dan nasihat tersegel
tanpa terbaca. Sedangkan produk percepatan dan teknologi berkejaran mendapat perhatian
dari anak-anak. Dan, apa yang dikatakan oleh Joko Pinurbo (1999) tak akan teralami oleh
anak-anak dan imajinasinya. "Masa kecil kau rayakan dengan membaca. Kepalamu
berambutkan kata-kata." *
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
33/42
Mengkritisi Jokowi
Jum'at, 28 Februari 2014
Tulus Abadi,Anggota Pengurus Harian YLKI
Gaya kepemimpinan Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) hingga detik ini masih menjadi
idola sebagian publik. Terbukti elektabilitas Jokowi bertengger pada posisi tertinggi versi
hasil survei calon presiden. Aktivitas blusukan Jokowi menjadi trademarkbahkan menjadi
kosakata baru dalam ranah bahasa Indonesia. Mimik dan bahasa tubuh yang terkesan ndeso
juga menjadi oasis di tengah sikap jumawa para politikus yang duduk asyik di singgasana
kekuasaan.
Namun, khususnya warga Jakarta, seyogianya sudah mulai kritis terhadap performa (kinerja)
Jokowi dalam mengelola kompleksitas permasalahan di Jakarta. Memori warga Jakarta harus
dibangunkan, mengingat usia politik Jokowi sudah hampir 1,5 tahun (16 bulan) dalam
memimpin DKI Jakarta, apalagi jika dikaitkan dengan janji Jokowi saat berkampanye sebagai
calon gubernur (2012). Misalnya Jokowi dengan tegas menyatakan "tak ada lagi kemacetan"
dan "tak ada lagi banjir" di Jakarta.
Dalam konteks janji kampanye "tak ada kemacetan di Jakarta...", ini nyaris belum tersentuh.Hingga detik ini, Jokowi belum menelurkan kebijakan apa pun untuk mengatasi kemacetan di
Jakarta. Memang, pada awal kepemimpinannya, Jokowi sempat menelurkan wacana
pemberlakuan sistem ganji- genap. Wacana ini tak sempat menguat, bak hilang ditelan bumi,
hingga sekarang. Ketidaksiapan infrastruktur dan sumber daya (kepolisian) menjadi alasan
utama gagalnya implementasi ganjil-genap.
Bahkan electronic road pricing(ERP), yang secara konsep dan regulasi lebih siap, pun tak
jelas juntrungannya. Potret pelayanan angkutan umum juga belum ada perubahan apa pun:
ngetem sembarangan, sopir ugal-ugalan, memutar sebelum tujuan akhir; masih menjadi
pemandangan sehari-hari. Metro Mini berkarat pun masih berseliweran di seantero Jakarta.
Janji Jokowi untuk mendatangkan 1.000 bus sedang hingga kini belum nongol satu pun.
Bahkan jadi atau tidak pun tidak diketahui.
Paling konyol adalah kasus impor bus baru Transjakarta (dari Cina) yang terbukti sudah
berkarat. Jokowi pun belum mampu menambah jalur/koridor baru Transjakarta. Standar
pelayanan minimal (SPM), yang drafnya sudah ada sejak Gubernur Fauzi Bowo, belum juga
diratifikasi. Akibatnya, kendati Transjakarta menjadi sistem BRT (bus rapid transit)
terpanjang di dunia (191 km), toh di sisi lain Transjakarta menjadi satu-satunya sistem BRT
yang beroperasi tanpa SPM.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
34/42
Rencana membangkitkan kembali pembangunan monorel juga terancam gagal akibat tidak
akuratnya penghitungan jumlah modal dan jumlah penumpang. Bahkan, sejak awal,
pembangunan monorel--jika diestimasikan untuk mengatasi kemacetan di Jakarta--tak banyak
mendulang dukungan. Sebaliknya, Jokowi justru merestui pembangunan dua ruas tol dalam
kota di area Jakarta Utara, dan ini merupakan pemantik untuk melanjutkan pembangunanenam ruas tol dalam kota.
Sekali lagi, sudah 16 bulan Jokowi memimpin Jakarta, tapi janji untuk mewujudkan "Jakarta
Baru" belum tampak, khususnya jika diukur dengan parameter manajemen transportasi dan
mengatasi banjir. Apalagi, jika Jokowi benar-benar turut berkompetisi dalam pilpres
mendatang (seandainya terpilih), semangat mewujudkan Jakarta Baru hanya akan menjadi
dongeng belaka. Apakah ini yang akan diwariskan oleh Jokowi untuk warga Jakarta? *
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
35/42
Negarawan
Kamis, 27 Februari 2014
Putu Setia,@mpujayaprema
Ada 12 calon hakim konstitusi yang sudah mendaftarkan diri di Komisi Hukum Dewan
Perwakilan Rakyat. Mereka akan bersaing untuk mengisi dua kursi yang ditinggal Akil
Mochtar dan Harjono. Akil kini sedang diadili dalam perkara suap, sedangkan Harjono akan
segera pensiun.
Dari 12 calon hakim itu, sembilan orang adalah dosen yang mengajar di fakultas hukum,seorang pensiunan di Kementerian Hukum, seorang notaris, dan seorang lagi anggota DPR
dari fraksi PPP, Dimyati Natakusumah. Gembar-gembor sebelumnya menyebutkan, ada
empat anggota DPR yang akan "melamar pekerjaan" sebagai hakim MK, tiga yang tidak jadi
itu adalah Benny Kabur Harman dari Fraksi Demokrat, Ahmad Yani dari Fraksi PPP, dan
Taslim Chaniago dari Fraksi PAN.
Hakim konstitusi adalah negarawan, UUD 1945 menyebutkan demikian. Apakah mereka
negarawan? Menarik ketika Dimyati, dalam sebuah tayangan di televisi, menyebutkan dirinya
seorang negarawan. Alasannya, pernah menjadi pejabat negara, yakni bupati dua periode diKabupaten Pandeglang dan menjadi wakil rakyat. Bagi dia, itulah negarawan, seperti halnya
sastrawan adalah pengarang sastra dan dermawan adalah orang yang suka bederma.
Kalau negarawan seperti itu, camat dan lurah pun bisa disebut negarawan. Dimyati sepertinya
tak bisa membedakan antara negarawan dan orang yang bekerja untuk negara. Yang terakhir
ini umum disebut pegawai negeri. Padahal negarawan bisa juga tokoh yang tak pernah
menjadi pegawai negeri.
Mari buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Negarawan adalah ahli dalam
kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin yang secara taat asas
menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah
negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Ada beberapa unsur di sini: ahli, taat asas, bijaksana, dan berwibawa. Beda dengan sastrawan,
yang dalam kamus disebut: (1) ahli sastra dan (2) pengarang prosa dan puisi. Tak disebutkan
apakah mereka harus taat asas dalam menulis puisi, apalagi dikaitkan dengan wibawa.
Wartawan dalam KBBI disebut: orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita, juru
warta. Apakah sudah ahli dalam jurnalistik dan punya kewibawaan? Tak dipersoalkan.
Dermawan dalam KBBI disebut: pemurah hati, orang yang suka bederma. Bahkan dramawanhanya dengan dua kata: pemain drama.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
36/42
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
37/42
Pelukis Tamu Agung
Sabtu, 01 Maret 2014
Agus Dermawan T.,Pengamat Budaya dan Seni
Beberapa hari lalu saya mendapatkan berita yang memprihatinkan. I.B. Said, 80 tahun, sang
Pelukis Tamu Agung (Tamu Negara), yang selama 46 tahun bekerja untuk Istana
Kepresidenan, sedang sakit keras, bahkan terkena stroke. Pelukis itu dirawat di rumah
anaknya, setelah beberapa minggu tergolek di rumah sakit sederhana di kawasan Jakarta
Selatan. Kondisi ekonominya yang relatif lemah menyebabkan ia tersengal-sengal untuk
merawat dirinya sendiri. Biaya perawatan dirasakan sungguh mahal bagi seorang Said, yangselama hidupnya bermukim di rumah kontrakan di bilangan Haji Ung, Kemayoran, Jakarta
Pusat.
Dari situ lalu muncullah rentengan keheranan lewat SMS. Misalnya: "Ganjil rasanya seorang
Pelukis Tamu Agung Istana Presiden harus merana di hari-tuanya. Padahal ia telah membantu
negara dalam tempo begitu lama". "Di luar negeri, seorang Pelukis Tamu Agung adalah ikon
Istana Kepresidenan yang harus dijamin penuh kehidupannya".
Namun SMS-SMS itu cuma berujung sebagai gumam kekecewaan. Lantaran, dalamkenyataannya, selama empat setengah dekade bekerja keras untuk Istana Presiden, Said
hanya diganjar honorarium ala kadarnya, yang sangat kecil dibanding kerja keras dan
kemampuannya. Upah yang berpatuh pada administrasi negara itu terhitung menyedihkan
apabila dikomparasi dengan perintah kerja yang nyaris selalu mendadak dan serba tergesa-
gesa.
Menengok masa silam, alkisah, setelah belajar seni di Malang, Yogyakarta, dan Bandung,
Said lantas ke Jakarta pada 1960. Di sini ia bergabung dengan Panitia Negara pimpinan Henk
Ngantung yang tugasnya memperindah kota. Dua tahun kemudian kariernya sebagai Pelukis
Tamu Agung dimulai. "Saya mengawali dengan melukis kancing-kancing baju Presiden
Sukarno dan busana tamu agung yang akan hadir di Jakarta," ujarnya.
Lalu jalan hidup kepelukisannya semakin jelas. Potensinya dalam melukis potret mengangkat
dirinya dipilih Sekretariat Negara sebagai "pelukis tetap" tamu agung. Lukisan itu mirip
baliho berukuran 5 x 4 meter, yang difungsikan sebagai potret penyambutan di beberapa jalan
protokol. Semua itu disertai lukisan berukuran 90 x 70 sentimeter, yang dipajang di Istana
Negara tatkala sang tamu agung dijamu. Tentu prestasi yang tiada dua di dunia ketika
diketahui bahwa Said telah melukis lebih dari 220 tamu agung. Pekerjaan ini dilakoni dengan
setia dari 1962 sampai 2008.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
38/42
Dan, sesuai dengan aturan, lukisan-lukisan tamu agung itu selalu didampingi lukisan potret
presiden Indonesia dan ibu negara, yang juga ciptaannya. Lalu era Orde Baru pun
memunculkan realitas yang luar biasa: Said harus melukis potret Presiden Soeharto dan Ibu
Tien sebanyak hampir 500 kali! Hitungannya, dalam setahun ia melukis sepasang penguasa
ini sekitar 16 kali. Jumlah ini dikali dengan masa Pak Harto menjabat presiden, 32 tahun.Alhasil, ketika Pak Harto lengser, prestasi Said ini diceritakan oleh berbagai media massa
Indonesia dan internasional, seperti CNBC, Reuters, dan AFP. Bahkan ada yang
mengusulkan agar Said diganjar "Soeharto Award". Namun, ha-ha-ha!, jangankan "Soeharto
Award". Ganjaran paling mendasar seperti "Kecukupan Award" saja belum sempat ia terima.
Tampaknya dedikasi Said sebagai Pelukis Tamu Agung Istana Presiden (sejak dulu) tidak
dianggap istimewa oleh pemerintah. Atau jangan-jangan, nasib Said adalah potret nasib
semua seniman pengabdi negara Indonesia.
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
39/42
Sikap Risma, Kebisuan Mega
Sabtu, 01 Maret 2014
Bawono Kumoro,Peneliti Politik The Habibie Center
Satu lagi kepala daerah mencuri perhatian publik. Setelah Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo, kini nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mencuat menjadi bahasan utama
berbagai pemberitaan di media massa. Beberapa hari belakangan, Risma-sapaan akrab
Rismaharini--memang tengah mendapatkan sorotan publik terkait dengan isu rencana
pengunduran dirinya dari jabatan Wali Kota Surabaya. Rencana itu menjadi isu nasional
lantaran berembus kabar adanya tekanan-tekanan politik terhadap Risma.
Harus diakui, sejak terpilih sebagai Wali Kota Surabaya atas sokongan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam pemilukada 2010, Risma segera mencuri perhatian
publik. Berbagai kebijakan dan langkah berani diambil Risma demi membenahi wajah Kota
Pahlawan. Sejumlah kebijakan dan langkah berani itu antara lain menutup lokalisasi
prostitusi Dolly dan menolak pembangunan ruas jalan tol dalam kota atas alasan
pembangunan sarana transportasi massal. Bahkan, dalam sejumlah kesempatan, tanpa rasa
canggung, Risma turun langsung ke lapangan melayani masyarakat, seperti membagikan
masker kepada masyarakat ketika terjadi erupsi Gunung Kelud.
Tidak kalah penting catatan positif lain dari Risma adalah bersih dari tindak pidana korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Risma pernah dengan tegas menolak titipan sejumlah nama camat dan
lurah untuk dipromosikan di jajaran birokrasi Pemerintah Kota Surabaya, meski titipan nama-
nama itu berasal dari PDIP.
Berbagai catatan positif kinerja Risma di atas tentu menjadi nilai plus tersendiri bagi PDIP.
Belum lagi catatan positif yang dimiliki Gubernur DKI Jakarta sekaligus bekas Wali Kota
Solo Joko Widodo. Alhasil, PDIP pun berpeluang menuai dukungan elektoral terbesar dalam
pemilu legislatif 2014.
Apresiasi positif publik dengan segala puja-puji terhadap kedua kepala daerah asal PDIP
tersebut tentu merupakan berkah tersendiri menjelang pelaksanaan pemilu legislatif April
mendatang. Untuk itu, sudah semestinya PDIP "menjaga" mereka dengan cara selalu
memberikan dukungan politik terhadap segala langkah dan kebijakan yang diambil oleh
kedua kepala daerah tersebut.
Dengan selalu memberikan dukungan terhadap Joko Widodo dan Risma, PDIP akan
tercitrakan sebagai partai politik yang memperjuangkan kepentingan publik luas danmemiliki semangat antikorupsi. Namun kesempatan untuk memperoleh citra positif itu
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
40/42
perlahan mulai menjauh seiring dengan keputusan PDIP mengajukan Ketua DPC PDIP Kota
Surabaya Wisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota menggantikan Bambang Dwi Hartono
yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur.
Segera setelah Wisnu ditunjuk sebagai wakil wali kota, Risma langsung bereaksimenunjukkan rasa ketidaksukaan dengan tidak menghadiri pelantikan sang wakil. Sudah
menjadi rahasia umum bila secara politik Risma dan Wisnu cenderung berseberangan dan
bertolak belakang. Saat masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kota Surabaya, Wisnu merupakan salah satu inisiator hak interpelasi terhadap Risma. Hak
interpelasi diajukan sebagai respons terhadap kebijakan Risma menaikkan pajak papan
reklame. Selain itu, Wisnu dikenal sebagai pendukung pembangunan ruas jalan tol dalam
kota yang ditolak Risma. Dari sini kemudian berembus kabar bahwa Risma memiliki rencana
untuk mengundurkan diri.
Di tengah dukungan publik Kota Pahlawan dan sejumlah pihak, termasuk Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), agar Wali Kota Terbaik Dunia Februari 2014 versi The City
Mayors Foundation tersebut tidak mengundurkan diri, PDIP justru terlihat pasif. Bahkan,
sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri pun terlihat membisu.
Wajar jika kemudian muncul sejumlah pertanyaan di benak publik. Mengapa PDIP bersikap
pasif terhadap kegelisahan Risma? Apa maksud politik PDIP mengajukan Wisnu
mendampingi Risma sebagai wakil wali kota, padahal mereka mengetahui kedua tokoh itu
sangat berseberangan dalam sikap politik?
Sikap pasif PDIP dan kebisuan Megawati hanya akan mengundang kecurigaan publik bahwa
PDIP tidak tulus mendukung Risma sebagai wali kota dalam pemilukada empat tahun lalu.
Lebih dari itu, rasa curiga publik terhadap sikap pasif PDIP juga dapat berujung pada
penilaian bahwa Risma sesungguhnya memang tengah dinantikan untuk segera
mengundurkan diri oleh partai berlambang moncong putih tersebut.
Jika langkah pengunduran diri diambil oleh Risma, maka Wisnu, yang dinilai lebih mudah
dikendalikan, dapat didorong untuk menduduki kursi wali kota. Apabila kelak hal itu
memang benar terjadi, akan menjadi sebuah blunder politik serius bagi PDIP menjelang
pelaksanaan pemilu legislatif April mendatang.
Keberpihakan PDIP terhadap Wisnu dalam konflik politik dengan Risma akan berpotensi
membawa dampak buruk terhadap pencapaian elektoral PDIP di Kota Pahlawan atau bahkan
juga di tingkat nasional. Hal itu tidak mustahil terjadi mengingat selama ini Risma--bersama
Joko Widodo--telah mengukuhkan (kembali)positioningpolitik PDIP sebagai partai wong
cilik. *
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
41/42
Sertifikasi Halal
Sabtu, 01 Maret 2014
Benni Setiawan,Dosen Universitas Negeri Yogyakarta
Memalukan. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan "jual-beli" sertifikasi halal oleh
oknum Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI, sebagai kumpulan orang alim (berilmu) dan
menjadi corong umat Islam, ternyata belum mampu membentengi diri terhindar dari "urusan
dunia". Mereka seakan tidak ada bedanya dengan manusia lain yang culas dan korup. Mereka
hidup bergelimang kemewahan dan kedudukan yang diraih tanpa kerja keras dan
menggadaikan idealisme. Ironisnya, dalam sertifikasi halal, mereka menjual ayat-ayat Tuhandengan harga murah.
Terungkapnya "jual-beli" sertifikasi halal ini mengingatkan saya akan perkataan Profesor M.
Amin Abdullah enam tahun lalu. Saat perkuliahan "Pendekatan dalam Pengkajian Islam",
mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga itu menyatakan, sertifikasi halal selayaknya diberikan
kepada universitas (perguruan tinggi). Guru besar bidang filsafat Islam itu beralasan, melalui
pengkajian berbasis integratif-interkoneksi, labelisasi/sertifikasi halal/haram dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Lebih lanjut, ia menyatakan sertifikasi halal bukan hanya domain ilmu agama. Tapi juga
berhubungan dengan ilmu-ilmu lain. Pasalnya, dalam menyatakan bahwa daging babi itu
haram tidak hanya berdasar pada narasi besar dalam teks Al-Quran. Tapi juga perlu
pengkajian tentang ilmu biologi, kimia, dan gizi. Pengkajian ilmu itu tentu menjadi
keseharian akademisi di perguruan tinggi.
Pendapat tersebut tentu sangat beralasan. Pasalnya, jika sertifikasi halal mutlak hanya
menjadi milik MUI, yang terjadi adalah "monopoli fatwa". Artinya, perspektif kehalalan
hanya muncul dari satu bidang ilmu. Padahal ilmu tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan dengan
bidang ilmu lain.
Monopoli fatwa ini pun cenderung menyeret oknum di dalamnya bersikap tidak independen.
Mereka akan mudah tergoda oleh banyaknya uang yang digelontorkan pengusaha demi
mendapatkan stempel halal.
Uang pun kembali menunjukkan kuasanya. Ia dapat membeli kehendak seseorang. Uang
mengendalikan alam bawah sadar dan kesalehan menuju pengingkaran keimanan dan
kemaslahatan (kepentingan orang banyak).
Oleh karena itu, sudah selayaknya sertifikasi halal tidak hanya menjadi pekerjaan utama
-
8/12/2019 caping+cari angin+kolom tempo 23.2.2014-1.3.2014
42/42
MUI. MUI seyogianya menyerahkan pengkajian kehalalan kepada perguruan tinggi.
Sertifikasi halal yang dilakukan oleh perguruan tinggi pun dapat menjauhkan ulama dari
kepentingan duniawi. Kedudukan ulama dikembalikan sebagai lentara umat. Ia senantiasa
menerangi dan menyatu dalam nadi kehidupan bermasyarakat.
Labelisasi ulamasuu'(buruk) pun akan lenyap dengan sendirinya. Pasalnya, ulama jauh dari
"pekerjaan" yang dapat menyeret mereka ke dalam lembah kenistaan.
Lebih dari itu, sertifikasi halal merupakan pintu masuk ketenteraman batin umat Islam. Guna
menjamin itu, meminjam istilah Imam al-Ghazali (w. 1111 M)-dalam merumuskan tujuan
adanya syariat (maqasid syariah)--aktivitas penghalalan selayaknya juga mencerminkan kerja
intelektual yang menjamin pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs) dan menjamin optimalisasi kerja
akal (hifz al-aql).
Pada akhirnya, dugaan "jual-beli" sertifikasi halal oleh oknum MUI selayaknya menyadarkan
semua pihak bahwa kehalalan bukan hanya menjadi ranah keagamaan an sich, tapi juga
berkaitan erat dengan produk keilmuan lain (hajat hidup orang banyak).