c05iis
TRANSCRIPT
PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU
(Hyposarcus pardalis)
Oleh :
Iis Istanti
C34101028
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
RINGKASAN
IIS ISTANTI (C34101028). Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Karakteristik Kerupuk Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis). Dibimbing oleh KOMARIAH TAMPUBOLON dan DJOKO POERNOMO.
Ikan sapu-sapu merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang ada di Indonesia. Ikan ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber pangan karena mempunyai kulit yang tebal dan keras. Untuk meningkatkan preferensi masyarakat terhadap ikan ini perlu adanya upaya diversifikasi menjadi produk yang digemari salah satu diantaranya adalah kerupuk. Produk kerupuk dapat mengalami kemunduran mutu setelah disimpan pada jangka waktu tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan terhadap sifat fisik, sensori dan perubahan kandungan gizi kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcsus pardalis).
Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Pada penelitian pendahuluan panelis lebih menyukai kerupuk dengan konsentrasi daging ikan sebesar 32,36 % berdasarkan uji sensori. Uji volume pengembangan terhadap kerupuk menunjukkan kerupuk ikan dengan konsentrasi 32,36 % memiliki pengembangan terkecil yaitu sebesar 185 %.
Pada penelitian lanjutan dilakukan uji sensori, sifat fisik dan nilai gizi (analisis kimia). Hasil uji sensori dianalisis statistik dengan metode Kruskal Wallis yang menunjukkan bahwa konsentrasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan dan warna kerupuk(minggu 1, 2, 3, 4); aroma (minggu ke-0, 1, 2, 3); rasa (minggu ke-0, 1, 2).
Analisis sifat fisik meliputi tingkat kekerasan, derajat putih, aktivitas air, kapang dan volume pengembangan. Tingkat kekerasan kerupuk ikan sapu-sapu dari minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4 berturut-turut sebesar 1,95; 1,85; 1,8; 1,65 dan 1,78. Derajat putih kerupuk ikan sapu-sapu dari penyimpanan minggu ke-0 hingga minggu ke-4 berturut-turut adalah sebesar 21,18 %; 21,55 %; 20,51 %; 21,10 % dan 20,64 %. Aktivitas air kerupuk ikan sapu-sapu dari penyimpanan minggu ke-0 hingga minggu ke-4 berturut-turut sebesar 0,559; 0,565; 0,570; 0,575; 0,580. Hasil pengamatan kapang secara visual pada permukaan kerupuk tidak ditemukan adanya pertumbuhan kapang. Volume pengembangan kerupuk ikan selama penyimpanan berturut-turut 211,69 %; 185,96 %; 203,83 %; 192,74 % dan 203,29 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kekerasan, aktifitas air, dan volume pengembangan kerupuk.
Analisis kimia kerupuk ikan sapu-sapu menunjukkan adanya peningkatan kadar air, kadar abu dan kadar lemak selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan ke-4, masing-masing : kadar air (7,66%, 7,97 %, 8,29%), kadar abu (1,32 %; 1,35 %; 1,39 %) dan kadar lemak (1,49 %; 1,49 %; 1,51 %). Sedangkan kadar protein dan karbohidrat mengalami penurunan selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan ke-4 adalah : kadar protein (6,60 %; 6,44 %; 6,41%) dan karbohidrat (82,93 %; 82,75 %; 82,40 %). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air kerupuk.
PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Iis Istanti
C34101028
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
Judul : PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis)
Nama Mahasiswa : Iis Istanti
Nomor Pokok : C34101028
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Hj. Komariah Tampubolon, MS Ir. Djoko Poernomo, BSc NIP.131 355 555 NIP. 131 288 097
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031
Tanggal lulus : 9 Desember 2005
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 14 Mei 1982
sebagai anak terakhir dari sepuluh bersaudara pasangan Bapak
Suminta dan Ibu Siti Salamah. Penulis menjalankan
pendidikan di SMU Negeri 1 Ciawigebang Kabupaten
Kuningan pada tahun 1998 hingga tamat tahun 2001.
Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan di terima pada
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Departemen Teknologi Hasil Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis
melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap
Karakteristik Kerupuk Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)”.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini
adalah hasil penelitian yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini berjudul ”Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Karakteristik
Kerupuk Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Ibu Ir. Hj. Komariah Tampubolon, MS dan Bapak Ir. Djoko Poernomo, BSc
selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan
bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS dan Ibu Ir. Nurjanah, MS yang telah menjadi
dosen penguji dan memberikan masukan kepada penulis.
3. Ibu Ir. Hj. Winarti Zahiruddin, MS yang telah menjadi moderator pada acara
seminar penulis.
4. Kedua orang tua, kakak-kakak dan seluruh keluarga atas doa, pengorbanan,
semangat dan kasih sayang yang telah diberikan.
5. Sahabat-sahabat penulis ”Desy, Yuyun, Nurul, Arin, Teni, T’Henti, Ira dan
Wini” atas bantuan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.
6. Teman-teman THP dan AHP angkatan 38, 39, 40 dan 41 atas bantuan dan
kerjasamanya. Serta semua pihak yang telah membantu penulis baik secara
moril maupun materiil, sehingga selesainya penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi
ini, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya dan untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.
Bogor, Desember 2005
Iis Istanti
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. x
1. PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)..... 3
2.2 Komposisi Kimia Daging Ikan......................................................... 4
2.3 Kerupuk........................................................................................... 6
2.4 Bahan-bahan dalam Pembuatan Kerupuk......................................... 7
2.4.1 Tepung tapioka ...................................................................... 7 2.4.2 Bahan tambahan..................................................................... 9
2.4.2.1 Bawang putih ............................................................ 10 2.4.2.2 Garam ....................................................................... 10 2.4.2.3 Gula .......................................................................... 11 2.4.2.4 Telur.......................................................................... 11
2.5 Proses Pembuatan Kerupuk.............................................................. 12
2.6 Pengeringan..................................................................................... 14
2.7 Penyimpanan ................................................................................... 15
2.8 Pengemasan..................................................................................... 16
2.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu Kerupuk........................... 19
2.10 Kerusakan pada Kerupuk ................................................................. 20
3. METODOLOGI ..................................................................................... 22
3.1 Waktu dan Tempat............................................................................ 22
3.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 22
3.3 Metode Penelitian............................................................................. 23
3.2.1 Penelitian pendahuluan. .......................................................... 23 3.2.2 Penelitian lanjutan................................................................... 23 3.2.3 Formula bahan. ....................................................................... 23 3.2.4 Prosedur pembuatan kerupuk ikan........................................... 23
3.3 Pengamatan dan Analisis Produk ...................................................... 25
3.3.1 Pengukuran rendemen............................................................. 25 3.3.2 Analisis sifat fisik. .................................................................. 25
3.3.2.1 Uji kekerasan metode penetrometri............................. 25 3.3.2.2 Uji volume pengembangan. ........................................ 27 3.3.2.3 Uji derajat putih.......................................................... 27
3.3.3 Analisis proksimat. ................................................................. 27
3.3.3.1 Kadar air. ................................................................... 28 3.3.3.2 Kadar abu. .................................................................. 28 3.3.3.3 Kadar lemak ............................................................... 28 3.3.3.4 Kadar protein.............................................................. 29 3.3.3.5 Kadar karbohidrat....................................................... 29
3.3.4 Uji kapang. ............................................................................. 30 3.3.5 Uji aktivitas air. ...................................................................... 30 3.3.6 Sensori.................................................................................... 30
3.4 Rancangan Percobaan........................................................................ 30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 33
4.1 Penelitian Pendahuluan..................................................................... 33
4.1.1 Rendemen daging ikan.......................................................... 33 4.1.2 Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis).......................................................... 33 4.1.3 Uji sensori kerupuk ikan........................................................ 35
4.1.3.1 Penampakan ........................................................... 35 4.1.3.2 Warna..................................................................... 36 4.1.3.3 Aroma .................................................................... 38 4.1.3.4 Rasa........................................................................ 39 4.1.3.5 Kerenyahan ............................................................ 41
4.1.4 Volume pengembangan kerupuk ikan.................................... 42
4.2 Penelitian Lanjutan .......................................................................... 43
4.2.1 Uji sensori kerupuk selama penyimpanan.............................. 43
4.2.1.1 Penampakan ........................................................... 44 4.2.1.2 Warna..................................................................... 45 4.2.1.3 Aroma .................................................................... 46 4.2.1.4 Rasa........................................................................ 47 4.2.1.5 Kerenyahan ............................................................ 49
4.2.2 Analisis sifat fisik kerupuk selama penyimpanan................... 50
4.2.2.1 Tingkat kekerasan................................................... 50 4.2.2.2 Derajat putih........................................................... 52 4.2.2.3 Aktivitas air............................................................ 54 4.2.2.4 Kapang ................................................................... 55
4.2.2.5 Volume pengembangan .......................................... 56
4.2.3 Analisis proksimat ................................................................ 57
4.2.3.1 Kadar air................................................................. 58 4.2.3.2 Kadar abu ............................................................... 59 4.2.3.3 Kadar lemak ........................................................... 61 4.2.3.4 Kadar protein.......................................................... 62 4.2.3.5 Kadar karbohidrat ................................................... 63
5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 65
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 65
5.2 Saran ............................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 67
LAMPIRAN ................................................................................................ 71
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan protein .............. 5
2. Kandungan gizi ikan sapu-sapu segar dari Waduk Cirata ....................... 6
3. Syarat mutu kerupuk ikan...................................................................... 7
4. Komposisi kimia tapioka per 100 gram bahan ....................................... 8
5. Komposisi kimia bawang putih (Allium sativum) per 100 g yang dapat dimakan................................................................................................. 10
6. Formula bahan dalam pembuatan kerupuk ikan ..................................... 23
7. Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu ( Hyposarcus pardalis) dari berbagai lokasi yang berbeda ................................................................ 34
8. Tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan (mm/ detik/g) ........... 50
9. Derajat putih kerupuk selama penyimpanan .......................................... 52
10. Hasil analisis proksimat kerupuk selama penyimpanan ......................... 58
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman
1. Gambar ikan sapu-sapu ......................................................................... 3
2. Alur proses pembuatan kerupuk ikan .................................................... 18
3. Skema pembuatan kerupuk ikan (modifikasi metode Wiriano 1984)..... 26
4. Histogram rata-rata uji sensori terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu ............................................................................................. 35 5. Histogram rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu. 37
6. Histogram rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu. 38
7. Histogram rata-rata uji sensori terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu .... 40
8. Histogram rata-rata uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu ............................................................................................. 41
9. Histogram rata-rata volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu 42
10. Histogram rata-rata uji sensori terhadap penampakan kerupuk selama penyimpanan ........................................................................................ 44
11. Histogram rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk selama penyimpanan ........................................................................................ 45
12. Histogram rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk selama penyimpanan ......................................................................................... 47
13. Histogram rata-rata uji sensori terhadap rasa kerupuk selama penyimpanan ........................................................................................ 48
14. Histogram rata-rata uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk selama penyimpanan ............................................................................ 49
15. Histogram nilai rata-rata tingkat kekerasan kerupuk selama
penyimpanan ......................................................................................... 51
16. Histogram rata-rata derajat putih kerupuk selama penyimpanan . 53
17. Histogram rata-rata aktivitas air kerupuk selama penyimpanan .. 54
18. Histogram rata-rata volume pengembangan kerupuk selama penyimpanan ...................................................................................... 56
19. Histogram nilai rata-rata kadar air kerupuk selama penyimpanan.......... 58
20. Histogram nilai rata-rata kadar abu kerupuk selama penyimpanan ........ 60
21. Histogram nilai rata-rata kadar lemak kerupuk selama penyimpanan .... 61
22. Histogram nilai rata-rata kadar protein kerupuk selama penyimpanan... 62
23. Histogram nilai rata-rata kadar karbohidrat kerupuk selama penyimpanan ....................................................................................... 64
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman
1. Score sheet uji sensori kerupuk ikan sapu-sapu .................................... 71
2a. Hasil uji sensori terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ............................. 72
2b. Hasil uji sensori terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ............................. 72
2c. Hasil uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ............................. 73
2d. Hasil uji sensori terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ............................. 73
2e. Hasil uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ............................. 74
3. Hasil uji Kruskal Wallis tingkat kesukaan terhadap kerupuk ikan sapu- sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ..................... 74
4a. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .................................................. 75
4b. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .......................................................... 76
4c. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .......................................................... 77
4d. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .......................................................... 78
5a. Hasil uji volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .......................................................................... 78
5b. Hasil analisis ragam volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .......................................................................... 78
6a. Hasil uji sensori terhadap penampakan kerupuk selama penyimpanan .. 79
6b. Hasil uji sensori terhadap warna kerupuk selama penyimpanan ...... 80
6c. Hasil uji sensori terhadap aroma kerupuk selama penyimpanan .......... 81
6d. Hasil uji sensori terhadap rasa kerupuk selama penyimpanan................ 82
6e. Hasil uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk selama penyimpanan ... 83
7a. Hasil uji Kruskal Wallis kerupuk ikan sapu-sapu selama penyimpanan 84
7b. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons kerupuk ikan sapu-sapu selama
penyimpanan ........................................................................................ 85
7c. Hasil uji Kruskal Wallis kerupuk kontrol selama penyimpanan ............. 87
7d. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons kerupuk kontrol selama penyimpanan ........................................................................................ 88
8a. Hasil analisis tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan.............. 89
8b. Hasil analisis ragam tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan ... 89
9a. Hasil analisis derajat putih kerupuk selama penyimpanan ..................... 89
9b. Hasil analisis ragam derajat putih kerupuk selama penyimpanan........... 89
10a. Hasil analisis aktivitas air kerupuk selama penyimpanan....................... 90
10b. Hasil analisis ragam aktivitas air kerupuk selama penyimpanan............ 90
11a. Hasil analisis volume pengembangan kerupuk selama penyimpanan..... 90
11b. Hasil analisis ragam volume pengembangan kerupuk selama penyimpanan ........................................................................................ 90
12a. Hasil analisis kadar air kerupuk selama penyimpanan ........................... 91
12b. Hasil analisis ragam kadar air kerupuk selama penyimpanan ................ 91
13. Gambar hasil penelitian ......................................................................... 92
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan
beranekaragam, namun potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Masih banyak potensi perikanan baik dari perikanan tawar maupun laut yang
belum dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan yang dapat
dikonsumsi, sehingga konsumsi produk hasil perikanan masih tergolong rendah.
Hal ini dapat dilihat dari tingkat konsumsi ikan rakyat Indonesia pada tahun 2000
sebesar 21,57 kilogram per kapita per tahun dan pada tahun 2003 sebesar 24,67
kilogram per kapita per tahun. Meskipun mengalami peningkatan, tingkat
konsumsi ini relatif masih rendah bila dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan
di negara tetangga ASEAN seperti Malaysia sudah mencapai 45 kilogram per
kapita per tahun dan Thailand sebesar 35 kilogram per kapita per tahun (Dahuri
2004).
Ikan sapu-sapu bukan merupakan ikan asli Indonesia melainkan
merupakan jenis ikan hasil introduksi dari Brazil (Susanto 2004). Ikan sapu-sapu
merupakan jenis ikan yang sering ditemukan di sungai, danau atau rawa. Ikan ini
paling bisa beradaptasi dengan perairan yang kandungan oksigen terlarutnya
rendah dimana pertumbuhannya relatif cepat tanpa membutuhkan pemeliharaan
yang intensif seperti jenis ikan lainnya. Selain itu ikan Sapu-sapu merupakan
hewan pemakan alga atau sisa-sisa pakan sehingga selama ini sebagian besar
masyarakat memanfaatkan ikan tersebut hanya sebagai pembersih akuarium. Ikan
ini belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai sumber pangan.
Belum adanya upaya pemanfaatan ikan sapu-sapu secara optimal sebagai
sumber pangan oleh masyarakat karena ikan sapu-sapu ini mempunyai kulit yang
keras sehingga sulit dalam penanganannya. Padahal ikan sapu-sapu ini memiliki
daging yang putih sehingga sangat baik jika dijadikan bahan makanan. Penelitian
terdahulu telah dilakukan yaitu pemanfaatan ikan sapu-sapu dalam pembuatan
produk nugget, bakso ikan, otak-otak dan menghasilkan produk yang memiliki
nilai gizi cukup baik serta warna cukup menarik. Upaya pemanfaatan ikan sapu-
sapu lainnya yang dapat dilakukan adalah berkaitan langsung dengan
penganekaragaman produk perikanan berbasis sumberdaya alam, dan
meningkatkan preferensi masyarakat terhadap ikan ini yaitu dengan adanya usaha
diversifikasi ikan sapu-sapu menjadi produk yang lebih digemari oleh masyarakat
seperti halnya kerupuk ikan.
Kerupuk ikan merupakan salah satu jenis makanan ringan yang sudah
cukup dikenal oleh masyarakat. Kerupuk ikan mempunyai rasa yang lezat dan
gurih sehingga banyak disukai oleh masyarakat. Disamping selain dapat dimakan
sebagai makanan selingan seperti halnya makanan camilan, kerupuk ikan juga
dapat dikonsumsi sebagai lauk pauk bersama nasi. Selain itu proses pembuatan
kerupuk ikan cukup sederhana, sehingga dapat dijadikan usaha pokok atau
sampingan bagi keluarga petani-nelayan.
Bahan pangan yang disimpan selama jangka waktu tertentu akan
mengalami perubahan baik secara fisik maupun nilai gizi yang terkandung pada
bahan pangan tersebut. Begitu pula dengan kerupuk ikan yang mengalami
penyimpanan dapat mengalami perubahan baik secara fisik maupun nilai gizi
yang terkandung pada kerupuk ikan, sehingga perlu adanya kajian mengenai
pengaruh lama penyimpanan terhadap sifat fisik, sensori dan komposisi kimia
kerupuk ikan yang dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mempelajari proses pembuatan kerupuk ikan sebagai salah satu upaya
pemanfaatan ikan sapu-sapu dalam diversifikasi produk perikanan.
2. Mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap karakteristik kerupuk
ikan sapu-sapu.
3. Mengetahui kandungan gizi kerupuk ikan sapu-sapu melalui analisis
proksimat pada saat awal, pertengahan dan akhir penyimpanan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Sapu-sapu
Menurut Kotellat et al (1993), klasifikasi ikan sapu-sapu adalah sebagai
berikut:
Filum: Chordata
Subfilum: Vertebrata
Kelas: Pisces
Ordo: Siluridea
Famili: Loricarinae
Genus: Hypostosmus
Hyposarcus
Spesies: Hypostosmus sp
Hyposarcus pardalis
Ikan sapu-sapu dari jenis Hyposarcus pardalis yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Ikan sapu-sapu
Ikan sapu-sapu memiliki tubuh yang ditutupi dengan sisik keras kecuali
bagian perutnya, bentuk tubuh pipih, kepala lebar, mulut terletak dibagian kepala
dan berbentuk cakram, memiliki adifose fin yang berduri. Semua sirip kecuali
ekor selalu diawali dengan jari-jari keras. Sirip punggung lebar dengan tujuh jari-
jari lemah (Hypostosmus sp) atau 10-13 jari-jari lemah (Hyposarcus pardalis),
warna tubuh cokelat atau abu-abu dengan bintik-bintik hitam diseluruh tubuhnya
(Kottelat et al 1993). Ikan sapu-sapu berasal dari Amerika Selatan tepatnya dari
Argentina Utara, Uruguay, Paraguay, dan Brazil bagian Selatan yaitu di sungai
Rio de Plate, Rio Paraguay, Rio Panama dan Rio Uruguay (Kottelat et al 1993).
Selain terdapat di kawasan Jakarta dan sekitarnya, ikan sapu-sapu (Hyposarcus
pardalis) sudah menyebar hingga di kawasan Depok bahkan daerah Bogor dengan
jumlah yang sangat besar (Prihardhyanto 1995).
Menurut Prihardhyanto (1995), keberadaan ikan sapu-sapu diperairan
umum di kawasan Jakarta dan sekitarnya tidak terlepas dari aktivitas penggemar
dan pembudidaya ikan hias yang mungkin tanpa sengaja melepas jenis ikan
tersebut di perairan umum.
Habitat asli ikan sapu-sapu adalah sungai dengan aliran air yang deras dan
jernih, tetapi dapat juga hidup di perairan tergenang seperti rawa dan danau
(Prihardyanto 1995). Ikan sapu-sapu dapat hidup di perairan dengan kadar
oksigen terlarut yang rendah, sehingga hanya sedikit spesies lain yang dapat hidup
di perairan tersebut (sampai hanya ikan sapu-sapu yang dapat bertahan hidup).
Jika diamati cara makan ikan sapu-sapu, gerakannya yang lambat dan
cenderung menetap di dasar perairan, dengan kemampuan hidup yang kuat, ikan
ini cenderung memiliki kandungan logam berat yang hampir sama dengan
lingkungan tempat hidupnya. Bila perairannya bersih, maka ikan ini aman untuk
dikonsumsi demikian juga sebaliknya. Berdasarkan ususnya yang panjang dan
tersusun melingkar seperti spiral, ikan sapu-sapu dapat dikelompokkan ke dalam
jenis ikan herbivora. Sedangkan berdasarkan relung makannya yang luas maka
ikan sapu-sapu dikelompokkan ke dalam jenis eurifagik (ikan pemakan
bermacam-macam makanan ) (Prihardhyanto 1995).
2.2 Komposisi Kimia Daging Ikan
Meskipun dikatakan daging ikan merupakan sumber protein dan lemak,
tetapi komposisinya sangat bervariasi antara ikan yang satu dengan ikan yang
lainnya. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), adanya variasi dan komposisi
baik jumlah maupun komponen penyusunnya disebabkan karena faktor alami dan
biologis. Faktor biologis (intrinsik), yaitu faktor-faktor yang berasal dari jenis
(individu) ikan itu sendiri. Yang termasuk golongan faktor ini adalah jenis atau
golongan ikan, umur, dan jenis kelamin. Jenis atau golongan ini sangat
berpengaruh terhadap variabilitas komposisi daging ikan.
Peranan umur dalam variabilitas komposisi kimiawi tampak nyata pada
kandungan lemak daging ikan. Makin tua ikan, kandungan lemaknya cenderung
makin banyak. Sedangkan pengaruh jenis kelamin terutama erat hubungannya
dengan kematangan seksualnya atau kedewasaannya. Demikian pula kebiasaan
makan ikan (feeding habit) sangat mempengaruhi komposisi dagingnya.
Faktor alami (ekstrinsik), yaitu semua faktor luar, yang tidak berasal dari
ikan, yang dapat mempengaruhi daging ikan. Golongan faktor ini terdiri atas
daerah kehidupannya, musim dan jenis makanan yang tersedia. Daerah
kehidupannya erat sekali hubungannya dengan sumber makanan baik dalam
jumlah maupun jenisnya (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Menurut Stansby dan
Olcott (1963), penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya.
Golongan Ikan Kadar lemak Kadar protein Lemak rendah - protein sedang < 5 15 – 20 Lemak sedang - protein sedang 5 – 15 15 – 20 Lemak tinggi - protein rendah > 5 < 15 Lemak rendah - protein tinggi < 5 > 20 Lemak rendah - protein rendah < 5 < 15
Sumber: Stansby dan Olcott (1963)
Lemak dan protein ikan dapat digolongkan menjadi ikan lemak rendah-
protein sedang, lemak sedang – protein sedang, lemak tinggi – protein rendah,
lemak rendah – protein tinggi dan lemak rendah – protein rendah. Lemak ikan
banyak mengandung asam lemak tak jenuh. Diantara asam-asam lemak tak jenuh
tersebut, yang paling banyak terdapat dalam ikan antara lain linoleat (C18:2),
linolenat (C18:3) dan arakhidonat (C20:4) yang merupakan asam-asam lemak
esensial (Zaitsev at al 1969). Adanya asam-asam lemak tak jenuh ini dapat
menimbulkan ketengikan karena asam lemak mudah teroksidasi.
Kandungan karbohidrat yang terdapat dalam daging ikan terutama dalam
bentuk glikogen. Jumlah glikogen dalam daging ikan hanya sedikit, yaitu berkisar
0,05 % - 0,86 %. Selain itu daging ikan juga mengandung garam-garam mineral,
vitamin, pigmen (berupa senyawa-senyawa yang larut dalam lemak, antara lain
karotenoid, xantofil, astaxanthin, yang warnanya bervariasi antara kuning sampai
merah) dan citarasa. Dari hasil penelitian Chaidir (2001), kandungan gizi ikan
sapu-sapu dari waduk Cirata dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi ikan sapu-sapu segar dari Waduk Cirata
Jenis uji Satuan Nilai Kandungan air % 77,50 Kandungan abu % 1,01 Kandungan lemak % 1,23 Kandungan protein % 19,71 Merkuri Mg/kg 0,006 mg/kg
Sumber : Chaidir (2001)
Kandungan gizi ikan sapu-sapu digolongkan pada kelompok ikan
berlemak rendah dan berprotein sedang (Stansby dan Olcott 1963). Sementara
kandungan logam merkuri masih berada dibawah ambang batas maksimum yang
ditetapkan Departemen Kesehatan RI maupun Badan Kesehatan Dunia (WHO)
yaitu sebesar 0,5 mg/kg, artinya ikan ini aman untuk dikonsumsi, walaupun
demikian perlu dilakukan pemantauan secara rutin.
2.3 Kerupuk
Kerupuk merupakan produk makanan yang dibuat dari tepung tapioka dan
tepung sagu dengan atau tanpa penambahan makanan dan bahan tambahan
makanan lain yang diijinkan. Produk ini disiapkan dengan cara menggoreng atau
memanggang sebelum disajikan.
Menurut Siaw et al (1985), pada dasarnya kerupuk diproduksi melalui
proses gelatinisasi pati dengan air pada tahap pengukusan. Adonan yang telah
homogen kemudian dicetak, dikukus, diiris dan dikeringkan. Kerupuk akan
mengalami pengembangan volume dan membentuk produk yang berongga selama
penggorengan. Kerupuk dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kerupuk sumber
protein dan kerupuk yang bukan sumber protein. Kerupuk sumber protein
merupakan kerupuk yang mengandung protein, baik protein hewani maupun
nabati. Sedangkan kerupuk bukan sumber protein, tidak ditambahkan bahan
sumber protein seperti ikan, udang, kedelai dan sebagainya dalam proses
pembuatannya.
Ikan dan udang yang ditambahkan ke dalam kerupuk dimaksudkan untuk
meningkatkan nilai gizi dan memperoleh cita rasa yang khas dari udang atau ikan.
Ikan dan udang merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral.
Perbandingan antara tepung ikan, ikan atau udang akan menentukan mutu kerupuk
yang dihasilkan (Djumali et al 1982).
Kerupuk ikan didefinisikan sebagai hasil olahan dari campuran yang
terdiri atas ikan segar, tepung tapioka dan bahan-bahan lain yang mengalami
perlakuan: pengadonan, pencetakan, pengukusan, pengangin-anginan, pengirisan
dan pengeringan. Ada juga sebagian yang menambahkan monosodium glutamat
sebagai penyedap.
Bahan baku kerupuk ikan adalah semua jenis ikan segar yang dapat
ditangani dan atau diolah untuk dijadikan produk berupa ikan segar. Jenis bahan
baku yang umumnya digunakan sebagai bahan baku kerupuk ikan adalah ikan
tenggiri, ikan gabus, ikan kakap, ikan gurami, ikan nila dan lain-lain. Bentuk
bahan baku kerupuk ikan berupa ikan segar utuh tanpa kepala. Syarat mutu
kerupuk ikan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat mutu kerupuk ikan
No Parameter Nilai 1. Aroma dan rasa Khas kerupuk ikan 2. Serangga dalam bentuk stadia dan potongan serta
benda asing Tidak nyata
3. Kapang Tidak nyata 4. Air (%) Maksimal 12 5. Abu, tanpa garam (%) Maksimal 1 6. Protein (%) Minimal 5 7. Serat kasar (%) Maksimal 1 8. BTM Tidak nyata 9. Logam berbahaya (Pb, Cu, Hg) dan As Tidak nyata
Sumber: Standar Nasional Indonesia 01-2713, 1999
2.4 Bahan-bahan dalam Pembuatan Kerupuk
2.4.1 Tepung tapioka
Tepung tapioka banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses
pembuatan kerupuk. Menurut Widowati (1987), tepung tapioka digunakan untuk
membuat kerupuk dikarenakan harganya yang relatif murah, mempunyai daya ikat
yang tinggi, serta membentuk tekstur yang kuat. Menurut Wiriano (1984), tepung
tapioka adalah pati yang diperoleh dari ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) atau
singkong segar setelah melalui proses pemarutan, penyairan serta penyaringan,
pengendapan pati dan kemudian pengeringan.
Tepung tapioka merupakan salah satu contoh bahan makanan yang banyak
mengandung karbohidrat. Jenis karbohidrat yang terdapat dalam tepung tapioka
adalah pati. Menurut Brautlecht (1953) diacu dalam Susilo (2001), tapioka terdiri
dari granula-granula pati yang berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak
mempunyai rasa. Semakin putih warna tepung pati, ternyata tepung pati akan
nampak semakin mengkilat dan terasa licin. Komposisi kimia tepung tapioka
per 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi kimia tapioka per 100 g bahan
Komponen Satuan Jumlah
Karbohidrat gram 86,9
Protein gram 0,5
Lemak gram 0,3
Air gram 12
Abu gram 0,3
Sumber: Anonim (1995) diacu dalam Susilo (2001)
Menurut Winarno (1984), pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan
dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut
amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan á-(1,4)-D-glukosa,
sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan á-(1,4)-D-glukosa
sebanyak 4 -5 % dari berat total.
Menurut hasil analisa Mulyandri (1992) diacu dalam Susilo (2001), tepung
tapioka mengandung 29,01 % (bk) amilosa dan 69,06 % (bk) amilopektin. Rasio
antara amilosa dan amilopektin yang menyusun molekul pati akan mempengaruhi
pola gelatinisasi. Menurut Haryadi (1989), tingginya kadar amilopektin akan
memberikan sifat mudah membentuk gel.
Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan
menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang diserap dan
pembengkakannya terbatas. Air yang diserap hanya dapat mencapai kadar 30 %.
Peningkatan volume granula pati yang sesungguhnya yaitu pada suhu
55 °C – 65 °C. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat
tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut
gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang
dapat dilakukan dengan penambahan air panas (Winarno 1992).
Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama
terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti
susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang
digunakan. Pati yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi
molekul-molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifatnya sebelum
gelatinisasi. Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati. Suhu gelatinisasi
pada tepung tapioka berkisar antara 52-64 °C (Winarno 1992).
Penggunaan sumber pati yang berbeda, akan menghasilkan daya kembang
kerupuk yang berbeda. Pati sagu dan tapioka menghasilkan pembengkakan
(swelling) yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Pada
proses pembuatan kerupuk, gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula
pati yang terjadi saat pengukusan adonan pada pembuatan kerupuk yang
mempengaruhi daya kembang kerupuk. Dengan adanya proses gelatinisasi ini
akan terbentuk struktur yang elastis yang dapat mengembang pada tahap
penggorengan (Lavlinesia 1995).
Mutu kerupuk yang dihasilkan seperti volume pengembangan, kerenyahan
dan tingkat kesukaan konsumen terhadap rasa dipengaruhi oleh mutu tepung yang
digunakan. Oleh karena itu digunakan tepung yang memenuhi persyaratan
organoleptik, seperti penampakan putih, kering, bersih dan tidak bau asam
(Wijandi et al 1975 diacu dalam Lavlinesia 1995).
2.4.2 Bahan tambahan
Bahan tambahan atau pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan
sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu termasuk ke dalamnya
adalah penyedap rasa, pewarna, pengawet pengental dan lain-lain. (Winarno
1992). Bahan tambahan yang diperlukan dalam pembuatan kerupuk antara lain
bawang putih, garam, gula dan telur.
2.4.2.1 Bawang putih (Allium sativum L.)
Bawang putih (Allium sativum L.) termasuk tanaman rempah yang bernilai
ekonomi tinggi karena memiliki beragam kegunaan. Manfaat utama bawang putih
adalah sebagai bumbu penyedap masakan yang membuat masakan menjadi
beraroma dan mengandung selera. Meskipun kehadiran dalam bumbu masak
hanya sedikit, namun tanpa kehadirannya masakan akan terasa hambar. Selain itu
juga bawang putih berfungsi untuk meningkatkan daya awet bahan makanan
(bersifat fungistatik dan fungisidal). Bau khas dari bawang putih berasal dari
minyak volatil yang mengandung komponen sulfur (Palungkun dan Budiarti
1992). Komposisi kimia bawang putih dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi kimia bawang putih (Allium sativum) per 100 g yang dapat dimakan.
Kandungan Satuan Jumlah Air gram 66,20 – 71,00 Energi kalori 95,00 – 122,00 Protein gram 4,50 – 7,00 Lemak gram 0,20 – 0,30 Karbohidrat gram 23,10 – 24,60 Kalsium (Ca) miligram 26,0 0– 42,00 Fosfor (P) miligram 15,00 – 109,00 Kalium (K) miligram 346,00
Sumber: Palungkun dan Budiarti (1992)
2.4.2.2 Garam
Istilah garam biasanya digunakan untuk garam dapur dengan nama kimia
natrium chlorida (NaCl). Pemakaiannya dipilih yang mempunyai mutu yang baik,
warna putih mengkilat, kotorannya sedikit dan sesuai dengan syarat mutu garam
yang telah ditentukan (Wiriano 1984). Garam mungkin terdapat secara alamiah
dalam makanan atau ditambahkan pada waktu pengolahan dan penyajian
makanan. Makanan yang mengandung kurang dari 0,3 % garam akan terasa
hambar dan tidak disukai (Winarno et.al 1980).
Fungsi garam dalam pembuatan kerupuk adalah untuk menambah cita rasa
dan mempertinggi aroma, memperkuat kekompakan adonan dan memperlambat
pertumbuhan jamur pada produk akhir. Banyaknya garam yang digunakan dalam
pembuatan kerupuk biasanya 2,5 – 3,0 %. Pemakaian yang berlebihan
menyebabkan warna kerupuk menjadi lebih tua dan tekstur agak kasar
(Wiriano 1984). Selain itu penggunaan garam yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya penggumpalan (salting out) dan rasa produk menjadi
asin.
2.4.2.3 Gula
Meskipun dalam jumlah sedikit, gula sangat berperan penting dalam
proses pembuatan kerupuk. Gula yang sering digunakan dalam pembuatan
kerupuk adalah gula pasir (gula tebu). Penambahan gula dalam pembuatan
kerupuk bertujuan untuk memberikan rasa manis, memberi warna pada produk
akhir sehingga menjadi lebih indah (Wiriano 1984).
Menurut Djumali et al (1982) penambahan gula dalam adonan kerupuk
berperan dalam memperbaiki mutu kerupuk, menambah nilai gizi dan sebagai
bahan pengikat. Selain itu dapat menurunkan kadar air yang sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Pemakaian gula dalam pembuatan kerupuk biasanya antara 2,0 - 2,5 %.
Pemakaian yang berlebihan menyebabkan makin sedikit kadar air yang diserap
oleh tepung di dalam adonan, sehingga waktu pengadukan perlu diperpanjang.
Selain itu pengembangan kerupuk pada waktu digoreng berkurang
(Wiriano 1984).
2.4.2.4 Telur
Menurut Buckle et al (1985), telur utuh mengndung 12 % protein, 10 %
lemak, 1 % karbohidrat, 1 % abu, 75-76 % air dan 213 mg kolesterol. Menurut
Sudaryani (2000) diacu dalam Rahayu (2004), kandungan gizi telur ayam dengan
berat 50 gram terdiri dari 6,3 gram protein, 0,6 gram karbohidrat, 5 gram lemak,
vitamin dan mineral. Selain mengandung protein dan lemak, telur juga
mengandung semua vitamin kecuali vitamin C dan vitamin K. Telur bukan hanya
sebagai sumber vitamin, melainkan juga bahan pangan yang kaya akan sumber
mineral. Kandungan mineral yang lengkap pada telur tidak dapat disamakan oleh
bahan makanan tunggal lainnya. Mineral yang terkandung di dalam telur
diantaranya besi, fosfor, kalsium, tembaga, yodium, magnesium, mangan,
potasium, sodium, seng, klorida dan sulfur.
Penambahan telur dalam pembuatan kerupuk bertujuan untuk
meningkatkan nilai gizi dari kerupuk yang dihasilkan. Kuning telur cenderung
lebih mengelastiskan bahan dibandingkan dengan putih telur, sedangkan putih
telur memberikan struktur yang berongga yang lebih dibanding dengan kuning
telur. Hasil penelitian Purnomo dan Choliq (1987), membuktikan bahwa
penggunaan putih telur dalam pembuatan kerupuk menghasilkan kerupuk dengan
volume pengembangan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan kuning
telur. Karena putih telur cenderung memberikan struktur yang berongga yang
lebih, sehingga menghasilkan volume pengembangan yang lebih besar daripada
kuning telur.
2.5 Proses Pembuatan Kerupuk
Dalam pembuatan kerupuk terdapat 4 tahap proses yang amat penting
dalam menentukan produk akhir yang dihasilkan, yakni pembuatan adonan,
pengukusan, pengeringan dan penggorengan.
a. Pembuatan adonan
Faktor terpenting dalam tahap pembuatan adonan adalah homogenitas
adonan, karena sifat ini akan mempengaruhi keseragaman produk akhir yang
dihasilkan, baik karakteristik fisik, kimia maupun organoleptik. Untuk itu pada
saat pencampuran bahan hendaknya dilakukan sampai benar-benar homogen.
(Siahaan 1988 diacu dalam Susilo 2001).
Menurut Liepa (1976) diacu dalam Susilo (2001), suhu adonan yang baik
untuk pembuatan lembaran adalah 26,7-76,7 °C. Kadar air adonan yang baik
untuk dapat mengahasilkan lembaran yang tipis adalah 25-55 % dan kadar air
yang terbaik berkisar antara 35 % sampai 45 %.
b. Pengukusan
Pengukusan termasuk salah satu dari cara pengolahan bahan makanan
yang menggunakan proses pemanasan (heating processes) dengan suhu tinggi dan
penambahan air. Interaksi dari penerapan dua proses tersebut menyebabkan
terjadinya proses gelatinisasi pati. Gelatinisasi adalah peristiwa pembengkakan
granula pati sedemikian rupa sehinggga granula tersebut tidak dapat kembali pada
kondisi semula (Winarno 1992).
Dalam pengukusan, panas dipindahkan ke produk melalui konveksi.
Pengukusan yang kurang atau berlebihan akan mengakibatkan penurunan mutu.
Pengukusan yang terlalu lama akan menyebabkan berkurangnya kadar air bahan,
menurunkan berat produk dan denaturasi protein. Lama pengukusan akan
mempengaruhi hilangnya kandungan air bahan sebesar 10 % sampai 40 % dari
berat total sebelumnya (Lund 1984).
c. Pengeringan
Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan sebagian air dari
suatu bahan dengan menggunakan energi panas (Winarno et al 1980).
Pengeringan kerupuk bertujuan untuk menyediakan bahan dengan kadar air
tertentu dimana adanya air akan mengurangi kualitas atau kapasitas kemekaran
kerupuk dalam proses penggorengan selanjutnya. Disamping itu, pengeringan
kerupuk bersifat mengawetkan dan mempertahankan mutu (Winarno et el 1980).
Produk yang digoreng tanpa pengeringan, akan menghasilkan produk yang
tidak mengembang, keras dan permukaan tidak merata. Agar dapat mengembang,
gel pati kerupuk memerlukan tekanan uap yang maksimum pada proses
penggorengan, untuk itu diperlukan tingkat kadar air tertentu pada kerupuk
mentah (Wiriano 1984). Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan
suatu alat pengering (artificial dryer) atau dengan penjemuran alami dengan sinar
matahari (sun drying).
d. Penggorengan
Penggorengan adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan dengan
menggunakan lemak atau minyak pangan (Ketaren 1986). Terdapat dua cara
menggoreng, yaitu menggoreng sangrai (tanpa minyak) dan deef fat frying (bahan
terendam minyak). Menggoreng dengan menggunakan minyak adalah suatu
teknik pengolahan pangan dengan memasukkan bahan ke dalam minyak panas
dan seluruh bagian permukaan bahan mendapat perlakuan panas yang sama,
sehingga berwarna seragam (Hallstrom 1980 diacu dalam Susilo 2001).
Minyak yang digunakan sebagai medium penggorengan berfungsi sebagai
penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi kalori dalam bahan
pangan (Winarno 1992). Menurut Weiss (1983) diacu dalam Susilo (2001), suhu
minyak yang baik untuk menggoreng berkisar antara 168-196 °C, tergantung dari
bahan yang digoreng. Suhu minyak yang rendah (kurang dari 168 °C) akan
menyebabkan terjadinya kekerasan yang tidak diinginkan (bantat). Suhu minyak
yang tinggi (lebih dari 196 °C) akan menyebabkan makanan gosong pada bagian
luar sedangkan pada bagian dalam belum matang.
Selama proses penggorengan berlangsung, terjadi penguapan air yang
terkandung dalam bahan. Ruang tempat air yang teruapkan itu lalu diisi oleh
udara yang dikenal dengan pengembangan (kemekaran). Alur proses pembuatan
kerupuk ikan dapat dilihat pada Gambar 2.
2.6 Pengeringan
Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air
tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air tersebut
dikurangi sampai batas agar mikroba tidak dapat tumbuh di dalamnya
(Winarno et al 1980).
Tujuan pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan sampai
batas dimana perkembangan mikroorganisme yang dapat menyebabkan
pembusukan terhambat, demikian juga perubahan-perubahan akibat aktivitas
enzim. Beberapa keuntungan dari pengeringan antara lain bahan menjadi awet,
dengan volume bahan yang lebih kecil sehingga memudahkan dan menghemat
ruang pengepakan dan pengangkutan dengan demikian diharapkan biaya produksi
menjadi lebih murah (Winarno et al 1980).
Disamping itu pengeringan juga dapat menyebabkan kerugian antara lain
hilangnya sifat asal dari bahan yang dikeringkan misalnya bentuk, sifat-sifat fisik
dan kimianya, penurunan mutu dan lain-lain. Menurut Buckle et al (1985),
faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan bahan pangan antara
lain:
1. Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komponen dan
kadar air).
2. Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat/media
perantara pemindah panas (seperti nampan untuk pengeringan).
3. Sifat-sifat fisik dari lingkungan dan alat pengering (suhu, kelembaban, dan
kecepatan udara).
4. Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan panas).
Pengeringan alami merupakan metode pengeringan yang memanfaatkan
energi matahari sebagai energi pengeringnya. Pengeringan ini biasanya dilakukan
dengan cara menjemur di bawah terik cahaya matahari dan pada umumnya
dilakukan diatas para-para yang terbuat dari berbagai bahan padat. Keuntungan
dari pengeringan alami yaitu tidak memerlukan peralatan yang khusus dan mahal
serta prosesnya mudah sehingga dapat dilakukan oleh siapapun. Sedangkan
kelemahannya adalah pengeringan berjalan lambat karena tergantung kepada
cuaca sehingga terjadi pembusukan sebelum produk kering.
2.7 Penyimpanan
Penyimpanan adalah usaha untuk melindungi bahan pangan dari kerusakan
yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain seperti mikroorganisme, serangga,
tikus dan kerusakan fisiologis atau biokimia (Damayanti dan Mudjajanto 1995).
Penyimpanan bahan pangan atau hasil pertanian merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari pengolahan, khususnya pengawetan dan pengemasan bahan
pangan. Penyimpanan berfungsi sebagai pengendali persediaan makanan.
Cara penyimpanan bahan pangan selama proses pengolahan dan tingkat
distribusi serta penjualan merupakan salah satu faktor dalam menentukan
keamanan dan mutu bahan pangan (Buckle et al 1985). Faktor yang sangat
berpengaruh selama penyimpanan bahan pangan adalah faktor biotik dan faktor
abiotik. Faktor biotik dapat disebabkan oleh serangga, tungau, hewan pengerat,
dan mikroorganisme (kapang, khamir dan bakteri). Sedangkan faktor abiotik
adalah suhu, kelembaban, O2, dan CO2 di tempat penyimpanan. Interaksi antara
kedua faktor tersebut akan menentukan kondisi penyimpanan selanjutnya
berpengaruh pada tingkat penyusutan bahan pangan yang disimpan (Sinha dan
Muir 1973 diacu dalam Erawaty 2001).
Penyimpanan terhadap produk pangan pada suhu kamar akan
mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kimia, mikrobiologi dan
organoleptik yang mencirikan berlangsungnya proses pembusukan yang relatif
cepat dengan berjalannya waktu penyimpanan (Suparno dan Martini 1980 diacu
dalam Lestari 2002).
Kerusakan bahan pangan dapat diartikan sebagai perubahan yang terjadi
pada pangan (mentah atau olahan) dimana sifat-sifat kimiawi, fisik dan
organoleptik bahan pangan telah ditolak oleh konsumen. Suatu bahan pangan
dikatakan rusak bila menunjukkan adanya penyimpangan yang melewati batas
yang dapat diterima secara normal oleh panca indera atau parameter lain yang
digunakan (Muchtadi 1989).
Menurut Winarno dan Jennie (1983) diacu dalam Amelia (2000)
menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyimpanan adalah
kadar air. Pengaruh kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari
makanan, karena faktor ini akan mempengaruhi sifat fisik (kekerasan dan
kekeringan) dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia (browning
non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan enzimatis terutama pada makanan
yang tidak diolah. Tumbuhnya kapang di dalam bahan pangan dapat mengubah
komposisi bahan pangan. Beberapa mikroba dapat menghidrolisa lemak sehingga
menyebabkan ketengikan. Jika makanan mengalami kontaminasi secara spontan
dari udara, maka akan terdapat campuran beberapa tipe mikroba (Muchtadi 1989).
2.8 Pengemasan
Pengemasan bertujuan untuk mencegah kebusukan, memudahkan dalam
transportasi, penyimpanan, pengawasan mutu, dan membuat produk menjadi lebih
menarik (Zaitsev et al 1969). Selain itu kemasan mempunyai peranan penting
dalam mempertahankan mutu bahan.
Kerusakan yang terjadi dalam bahan pangan dapat terjadi secara spontan
dan hal ini sering disebabkan oleh pengaruh keadaan dari luar. Pengemasan juga
digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan keadaan sekelilingnya
untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu tertentu (Buckle et al
1985).
Menurut Winarno dan Jenie (1983) diacu dalam Amelia (2000), faktor-
faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan
yang digunakan dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu pertama, kerusakan yang
ditentukan oleh sifat alamiah dari produk dan tidak dapat dicegah dengan
pengemasan, misalnya keruskan kimia, biokimia, fisik dan mikrobiologi. Kedua,
kerusakan yang ditentukan oleh lingkungan dan hampir seluruhnya dapat
dikontrol dengan pengemasan yang digunakan, misalnya kerusakan mekanis,
perubahan kadar air bahan, absorbsi dan interaksi dengan oksigen serta kehilangan
dan penambahan citarasa yang diinginkan.
Syarief et al (1989) menyatakan bahwa dalam pemilihan jenis kemasan
produk pangan harus dihindari adanya perubahan fisik dan kimia karena migrasi
dari bahan kemas seperti monomer plastik, timah putih dan korosi. Penggunaan
plastik sebagai bahan pengemas memungkinkan banyak variasi dan serba guna
seperti melindungi, mengawetkan, menyimpan dan memamerkan hasil. Bahan
kemasan yang dibutuhkan untuk mengemas produk-produk perikanan adalah yang
dapat mencegah kehilangan atau peningkatan kadar air dan tidak dapat
melewatkan komponen-komponen flavor yang berupa senyawa organik volatil.
Aroma dan flavor dari produk perikanan olahan kemungkinan dapat lolos melalui
permeabilitas bahan kemas, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran flavor
antara produk pangan yang berbeda dalam tempat penyimpanan (Saccharow dan
Griffin 1984).
Kemasan mempengaruhi nilai gizi bahan pangan dengan cara mengatur
derajat sejumlah faktor yang berkaitan dengan pengolahan, penyimpanan dan
penanganan zat yang dapat bereaksi dengan komponen bahan pangan. Faktor
pengolahan dan penyimpanan dapat dikendalikan oleh pengemas, termasuk
pengendalian cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air, pemindahan panas,
kontaminasi dan serangan makhluk hayati. Selain itu beberapa faktor seperti
interaksi pangan dengan pengemas timbul dari penggunaan kemasan itu sendiri
(Harris dan Karnas 1989). Kemasan yang baik untuk kerupuk adalah kemasan
yang tertutup rapat, tidak dipengaruhi atau mempengaruhi isi, aman selama
penyimpanan dan pengangkutan (Dept. Perindustrian 1989 diacu dalam Amelia
2000).
Ikan
Penyiangan dan pemfiletan
Daging ikan (skinless fillet)
Pelumatan
Tepung tapioka pencampuran (mixer)
Pengadonan
Pencetakan (dodolan)
Pengukusan sampai matang (1.5 – 2 jam, 80 °C)
pendinginan (suhu ruang, 24 jam)
pemotongan (2 – 3 mm)
pengeringan dengan sinar matahari (1 – 2 hari)
penggorengan (168-196 °C)
kerupuk ikan
Gambar 2. Alur proses pembuatan kerupuk ikan (Arsyad 1990)
Gula, telur, air, garam
2.9 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Mutu Kerupuk
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu kerupuk mentah
ataupun matang, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Kadar air
Kadar air yang terikat dalam kerupuk sebelum digoreng sangat
menentukan volume pengembangan kerupuk matang (Muliawan 1991 diacu
dalam Amelia 2000). Jumlah air yang terikat dalam bahan pangan akan
menentukan banyaknya letusan yang menguap selama penggorengan. Jumlah uap
air yang terdapat dalam bahan pangan ditentukan oleh lamanya pengeringan, suhu
penggorengan, kecepatan aliran udara, kondisi bahan dan cara penumpukan serta
penambahan air sewaktu pembuatan adonan pada proses gelatinisasi pati
(Lavlinesia 1995).
2) Volume pengembangan
Pengembangan merupakan salah satu parameter mutu kerupuk goreng
(Muliawan 1991 diacu dalam Amelia 2000). Sedangkan volume pengembangan
dipengaruhi oleh kadar air kerupuk mentah dan suhu pengorengan (Zulviani
1992). Volume pengembangan kerupuk juga dipengaruhi oleh adanya
penambahan jenis pengembang makanan pada adonan kerupuk mentah. Dari hasil
penelitian penggunaan soda kue, soda abu dan amoniak kue dapat meningkatkan
volume pengembangan kerupuk sekitar 20 % (Tahir 1985).
Menurut Lavlinesia (1995), daya kembang kerupuk dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain:
a. Sumber pati yang digunakan. Penggunaan sumber pati yang berbeda akan
menghasilkan daya kembang kerupuk yang berbeda. Penggunaan pati tapioka
dan sagu memberikan derajat pengembangan linear yang tinggi dibandingkan
dari jenis pati lainnya pada pembuatan kerupuk.
b. Kandungan dan jenis protein. Kandungan protein yang tinggi cenderung
menurunkan daya kembang kerupuk. Selain jumlah protein yang
mempengaruhi daya kembang kerupuk, sumber protein yang berbeda juga
berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk.
c. Kadar air. Pengembangan kerupuk selama digoreng sangat ditentukan oleh
kandungan air yang terikat pada kerupuk sebelum digoreng. Jumlah air yang
terikat dalam bahan akan menentukan banyaknya letusan yang menguap
selama penggorengan. Jumlah uap air yang terdapat di dalam bahan, selain
ditentukan oleh lamanya pengeringan, suhu penggorengan, kecepatan aliran
udara, kondisi bahan dan cara penumpukan. Selain itu juga dipengaruhi oleh
penambahan air sewaktu pembuatan adonan pada proses gelatinisasi.
d. Suhu penggorengan. Kerupuk yang digoreng dalam minyak yang kurang
panas dalam waktu yang lama akan dihasilkan pengembangan yang kurang
baik, sedangkan bila suhu penggorengan yang terlampau panas, walaupun
waktu dibutuhkan untuk mengembang lebih cepat akan tetapi kerupuk goreng
akan mudah hangus.
e. Penggunaan bahan pengembang. Penggunaan bahan pengembang seperti soda
kue, soda abu dan amoniak kue dapat meningkatkan kerupuk sekitar 20 %.
f. Faktor lain yang berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk adalah
pengadukan. Pengaruh pengadukan terhadap volume pengembangan adalah
selain hubungannya dengan pengumpulan udara dan gas juga berpengaruh
terhadap proses gelatinisasi pati.
3) Kemasan
Pengemasan berfungsi untuk melindungi produk dari pengaruh lingkungan
dan untuk memberi pengaruh visual. Selain itu pengemasan juga untuk
mempermudah penanganan serta distribusi dan memperpanjang masa simpan
produk yang dikemas (Nelson 1995 diacu dalam Amelia 2000). Syarief et al
(1989) menerangkan bahwa terdapat hubungan antara kemasan dengan mutu
produk yang dikemas. Pengemas akan menjaga produk dari perubahan aroma,
warna tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan oksigen.
2.10 Kerusakan pada Kerupuk
Bahan pangan selain sebagai sumber gizi bagi manusia juga menjadi
sumber makanan bagi perkembangan bakteri yang mengakibatkan berbagai
perubahan fisik maupun kimiawi yang tidak diinginkan. Bahan pangan dikatakan
rusak apabila telah mengalami perubahan cita rasa, penurunan nilai gizi, atau tidak
aman lagi untuk dikonsumsi karena dapat mengganggu kesehatan (Syarief et al
1989).
Kerusakan pada kerupuk ikan ditandai dengan berkurangnya kerenyahan
dan tumbuhnya kapang pada permukaan kerupuk mentah. Pertumbuhan kapang
pada permukaan kerupuk ditandai dengan adanya miselium berwarna putih yang
kemudian akan berubah warna menjadi kehitaman atau kehijauan. Kapang
membutuhkan kondisi fisik tertentu dalam melakukan pertumbuhannya antara lain
kelembaban, temperatur, pH, oksigen dan nutrisi. Kelembaban mempengaruhi
terjadinya perubahan kadar air dan aktivitas air produk selama penyimpanan
sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan kapang (Muchtadi 1989).
Menurut Banwart (1983), umumnya masing-masing jenis kapang
memerlukan kisaran aktivitas air tertentu untuk mengoptimalkan
pertumbuhannya. Berdasarkan nilai aktivitas air minimal, maka kapang yang
menginfestasi bahan simpanan dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:
a. Kapang hidrofilik ialah kapang yang sporanya berkembang pada aw diatas
0,9
b. Kapang mesofilik ialah kapang yang sporanya berkembang pada aw 0,8 –
0,9
c. Kapang xerofilik ialah kapang yang sporanya berkembang pada aw yang
lebih rendah dari 0,8
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Mei 2005 bertempat di
Laboratorium Penanganan dan Pengolahan, Laboratorium Industri, Laboratorium
Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Laboratorium Biokimia Departemen Teknologi Pangan dan Gizi,
Laboratorium Pilot Plan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi, serta
Laboratorium Biokimia Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga,
Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
3.1.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis) yang diperoleh dari sungai Cangkurawok yang terletak di
Desa Babakan, Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor dengan harga
Rp 1.000,./kg dengan ukuran ± 15 – 20 cm. Bahan lainnya yang digunakan
adalah tepung tapioka, gula, garam, bawang putih dan telur. Selain bahan-bahan
tersebut digunakan pula bahan-bahan lainnya yaitu minyak goreng dan bahan-
bahan untuk menganalisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, kadar
karbohidrat, volume pengembangan. seperti HCl, kjeltab, aquades, H2SO4 , pelarut
heksan, NaOH, H3BO3, indikator metil merah, NaCl dan lain-lain.
3.1.2 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, timbangan,
baskom, pisau, ember, talenan, blender, tempat pengukus atau dandang, wajan dan
kompor. Serta alat-alat lain di laboratorium yang digunakan untuk analisis
proksimat, uji kemekaran, uji sensori, uji derajat putih, aw dan uji kerenyahan.
Seperti jangka sorong, oven, timbangan analitik, desikator, cawan porselin,
pemanas kjeldahl, labu kjeldahl, destilator, erlenmeyer, kertas saring , pemanas
listrik, alat ekstraksi soxhlet dan lain-lain.
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi daging
ikan sapu-sapu terpilih. Konsentrasi daging ikan sapu-sapu yang digunakan
adalah 0 % (kontrol); 6,47 % (10 g); 12,94 % (20 g); 19,42 % (30 g), 25,89 %
(40 g) dan 32,36 % (50 g). Kemudian kerupuk yang dihasilkan dilakukan uji
sensori (skala hedonik) sehingga diperoleh konsentrasi daging ikan terpilih.
Selain itu, pada penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran terhadap rendemen
daging ikan dan volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu.
3.2.2 Penelitian lanjutan
Pada penelitian lanjutan dilakukan penyimpanan selama 4 minggu
terhadap kerupuk ikan sapu-sapu terpilih ternasuk kontrol berdasarkan uji sensori
pada penelitian pendahuluan. Pada penelitian lanjutan ini dilakukan uji sensori,
uji tingkat kekerasan, uji aktivitas air, uji derajat putih, pengukuran volume
pengembangan dan analisis proksimat.
3.2.3 Formula bahan
Formula bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk ikan adalah
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Formula bahan dalam pembuatan kerupuk ikan
Tepung tapioka Daging ikan Garam Putih telur Gula Bawang putih Air (gram) (gram) (%) (gram) (gram) (gram) (gram) (ml)
100 0 0 3 11 2,5 3 35 90 10 6,47 3 11 2,5 3 35 80 20 12,94 3 11 2,5 3 35 70 30 19,42 3 11 2,5 3 35 60 40 25,89 3 11 2,5 3 35 50 50 32,36 3 11 2,5 3 35
3.2.4 Prosedur pembuatan kerupuk ikan
Pada proses pengolahan kerupuk ikan terdapat dua metode yang biasa
digunakan yaitu metode panas dan metode dingin (Wiriano 1984). Pada
penelitian ini digunakan metode panas. Tahap-tahap pengolahan kerupuk dengan
proses panas adalah sebagai berikut: penyiapan bahan, pembuatan adonan,
pencetakan pengukusan, pendinginan, pengirisan dan penjemuran (pengeringan).
a. Penyiapan bahan
Ikan sapu-sapu yang digunakan dalam pembuatan kerupuk dicuci dan
disiangi sampai bersih selanjutnya dilakukan pengambilan daging dengan cara:
pembedahan ikan dilakukan dari perut bagian bawah yaitu dari mulai anus hingga
bagian kepala, kemudian jeroan dan kotoran yang terdapat dalam perut ikan
dibuang dan dibersihkan. Selanjutnya pengambilan daging ikan dilakukan dengan
menggunakan pisau yang tajam untuk memisahkan daging tersebut dari tulang
dan kulit ikan. Setelah itu daging ikan yang diperoleh dicuci dan kemudian
dihaluskan (dilumatkan).
b. Pembuatan adonan
Bumbu-bumbu (bawang putih, garam, gula dan monosodium glutamat)
yang telah dihaluskan dicampur dengan daging ikan yang telah dilumatkan.
Demikian pula dengan telur dan seperempat bagian tepung tapioka yang
dilarutkan dalam air ditambahkan ke dalam campuran daging ikan dan bumbu
yang sudah dihaluskan. Kemudian dipanaskan sampai suhu mencapai 55 – 60 º C
selama kurang lebih 5 menit atau sampai terjadi pembentukan gel dari tepung
tapioka tersebut (gelatinisasi) sambil diaduk hingga diperoleh campuran
berbentuk bubur. Selanjutnya sisa tepung tapioka ditambahkan kedalam adonan
dan dilakukan pengadukan sampai diperoleh adonan yang homogen, sehingga
mudah dicetak atau dibentuk menjadi dodolan. Apabila adonan tersebut dipegang
dengan tangan atau alat tidak lengket, menunjukkan pengadonan telah cukup.
c. Pencetakan
Adonan dicetak atau dibentuk dengan menggunakan tangan menjadi
bentuk lontongan (silinder) dengan panjang ± 15 cm dengan diameter ± 1,5 cm.
d. Pengukusan
Adonan dikukus dalam langseng bejana penangas selama 1,5 – 2 jam pada
suhu 80 – 90 °C sampai adonan benar-benar matang yaitu ditandai dengan
berubahnya warna adonan yang semula putih susu menjadi bening, dan apabila
adonan ditusuk dengan menggunakan lidi sudah tidak melekat.
e. Pengirisan
Setelah adonan selesai dimasak, yang ditandai dengan warna bening,
dodolan diangkat dari penangas kemudian diangin-anginkan selama kurang lebih
24 jam. Setelah dingin dodolan diiris dengan ketebalan 1 – 2 mm dengan
menggunakan pisau.
f. Pengeringan (penjemuran)
Pengeringan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pengeringan alami. Pengeringan alami yaitu pengeringan dengan
menggunakan sinar matahari, dimana dodolan yang telah diiris diatur diatas
tampah kemudian dijemur dibawah sinar matahari. Pengeringan dilakukan selama
2 hari. Untuk lebih jelasnya alur proses pembuatan kerupuk ikan dapat dilihat
pada Gambar 3.
3.3 Pengamatan dan Analisis Produk
Kerupuk ikan yang telah dikeringkan kemudian dikemas dengan
menggunakan plastik polipropilen setelah itu dilakukan penyimpanan dengan
lama penyimpanan yang berbeda-beda yaitu 0 minggu, 1 minggu, 2 minggu, 3
minggu dan 4 minggu.
3.3.1 Pengukuran rendemen (AOAC 1995)
Rendemen merupakan hasil akhir yang dihitung berdasarkan proses input
dan output. Rendemen dihitung berdasarkan berat basah.
% Rendemen = % 100 awalikan berat akhir dagingberat
x
3.3.2 Analisis sifat fisik
Analisis sifat fisik dilakukan pada setiap titik pengamatan yaitu pada
minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4. Analisis sifat fisik yang
dilakukan adalah kekerasan, volume pengembangan, dan derajat putih.
3.3.2.1 Uji kekerasan metode penetrometri (Ranganna 1986)
Uji kerenyahan dilakukan terhadap kerupuk matang dengan menggunakan
penetrometer. Kerupuk direntangkan pada dasar alat penetrometer, kemudian
ditusukkan jarum kedalam kerupuk selama 5 detik. Nilai kekerasan dapat dilihat
pada angka yang ditunjukkan oleh meter. Semakin kecil nilai yang didapatkan,
maka tingkat kekerasan semakin besar.
Ikan sapu-sapu segar
Penyiangan dan pengambilan daging
Pelumatan
Pencampuran
Pemanasan (55-60 °C, ± 5 menit)
Pengadonan (diuleni)
(+ ¾ bagian tepung tapioka)
Pencetakan (dodolan)
Pengukusan
(1,5 – 2 jam, 80 - 90 °C)
Pendinginan
(suhu ruang, 24 jam)
Pengirisan
(tebal : 1 – 2 mm)
Penjemuran
( 2 hari)
kerupuk ikan
Gambar 3. Skema proses pembuatan kerupuk ikan (Modifikasi metode Wiriano, 1984)
Daging lumat (0, 10, 20, 30, 40, 50 %)
Bawang putih , garam, gula, putih telur, air, ¼ bagian tepung tapioka
3.3.2.2 Uji volume pengembangan (Zulviani 1992)
Pengukuran volume mengembang kerupuk dilakukan dengan
menggunakan 5 keping kerupuk untuk setiap kali pengukuran. Sampel
dimasukkan dalam posisi vertikal dalam gelas ukur yang ¼ bagiannya telah diisi
manik-manik, kemudian gelas ukur diisi kembali dengan manik-manik sampai
penuh dengan membentuk permukaan yang rata. Volume manik-manik yang
digunakan baik tanpa atau dengan contoh diukur dengan gelas ukur. Volume jenis
kerupuk ditentukan dengan rumus:
Volume jenis kerupuk = sampel gram
V2 - V1
Keterangan: V1 = volume manik-manik dalam wadah gelas tanpa berisi contoh
V2 = volume manik-manik dalam wadah gelas berisi contoh
Selisih volume jenis kerupuk goreng dengan volume jenis kerupuk mentah
merupakan volume mengembang kerupuk yang dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
Volume mengembang kerupuk (%) = % 100 x Vm
Vm - Vg
Keterangan: Vg = volume jenis kerupuk goreng
Vm = volume jenis kerupuk mentah
3.3.2.3 Uji derajat putih (Kett Whiteness Electric Laboratory 1981 diacu dalam Nurhayati 1994)
Analisis derajat putih dilakukan terhadap kerupuk mentah. Sampel berupa
kerupuk dimasukkan kedalam cawan whiteness meter hingga padat dan penuh.
Kemudian cawan berisi sampel serta cawan berisi standar (berupa white plate atau
serbuk BaSO4) dimasukkan kedalam sistem Kett Whiteness Meter. Derajat putih
diukur dengan membandingkan warna sampel dengan warna kontrol, ditunjukkan
oleh jarum meter pada monitor.
3.3.3 Analisis proksimat
Analisis proksimat dilakukan terhadap kerupuk mentah yaitu pada awal
(minggu ke-0), pertengahan (minggu ke-2) dan akhir penyimpanan (minggu ke-4)
kecuali pada analisis kadar air dilakukan setiap kali pengamatan (minggu ke-0
hingga minggu ke-4)
3.3.3.1 Analisis kadar air (AOAC 1995)
Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan dalam oven selama 15
menit atau sampai didapat berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator
selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram ditimbang dan
diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3 – 4 jam pada
suhu 105-110 º C. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah
dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Kadar air (%) = B
BB 21− x 100 %
Keterangan :B = berat sampel (gram)
B1 = berat (sample + cawan) sebelum dikeringkan
B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan
3.3.3.2 Analisis kadar abu metode gravimetri (AOAC 1995)
Cawan kosong dipanaskan dalam oven kemudian didinginkan dalam
desikator selama 30 menit. Sampel ditimbang kurang lebih 3 gram dan diletakkan
dalam cawan, kemudian dibakar dalam kompor listrik sampai tidak berasap.
Cawan kemudian dimasukkan dalam tanur. Pengabuan dilakukan pada suhu 550 º
C selama 2-3 jam. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator, setelah dingin
cawan kemudian ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
% Kadar abu = % 100 x (g) sampelBerat
(g)abu Berat
3.3.3.3 Analisis kadar lemak (AOAC 1995)
Sampel sebanyak 0,5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring
dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang diatas kondensor serta
labu lemak dibawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak
secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks
selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak.
Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Lebu lemak yang berisi
lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105º C selama
5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit
dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus:
% Lemak = % 100 x (g) sampelBerat (g)lemak Berat
Berat lemak = (berat labu + lemak) – berat labu
3.3.3.4 Analisis kadar protein metode mikro kjeldahl (AOAC 1995)
Analisis kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode kjeldahl
mikro. Sampel sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml.
Kemudian ditambahkan K2SO4 (1,9 g), HgO (40 mg), H2SO4 (2,5 ml) serta
beberapa tablet kjeldahl. Sampel dididihkan sampai berwarna jernih (sekitar 1 –
1,5 jam); didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air
sebanyak 5 –6 kali dengan akuades (20 ml) dan air bilasan tersebut juga
dimasukkan dibawah kondensor dengan ujung kondensor terendam didalamnya.
Ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Cairan
dalam ujung tabung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi
larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran metil merah 0,2 % dalam alkohol
dan metilen blue 0,2 % dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang ada
dibawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml
destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat
dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal
yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein dapat dihitung dengan
menggunkan rumus sebagai berikut:
% Nitrogen = % 100 x sampel mg
14.007 x NHCl x blanko) - HCl (ml
% Protein = % N x faktor konversi (6,25)
3.3.3.5 Analisis kadar karbohidrat by difference (Winarno 1997)
Analisis kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil
pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar
lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal
ini karena karbohidrat sangat berpengaruh kepada zat gizi lainnya. Analisis kadar
karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
% Kadar karbohidrat = 100 % - (kadar air + kadar abu
+kadar lemak + kadar protein)
3.3.4 Kapang (SNI 1992)
Pengujian terhadap kapang dilakukan setiap kali pengamatan yaitu pada
minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4. Pengujian terhadap kapang ini
dilakukan secara visual yaitu dengan cara mengamati permukaan kerupuk dengan
menggunakan kaca pembesar (loupe).
3.3.5 Uji aktivitas air (Apriyantono et al 1989)
Analisa aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan aw meter
Shibaura WA-360. Sampel diletakkan dalam cawan pengukur aw. Setelah cawan
ditutup dan dikunci, kemudian aw meter di dijalankan. Sebelum digunakan untuk
pengukuran untuk terlebih dahulu aw meter dikalibrasi dengan menggunakan
garam NaCl (suhu 30 ° C).
3.3.6 Uji sensori (Soekarto 1985)
Pengujian sifat organoleptik dilakukan berdasarkan uji kesukaan berskala
hedonik. Sampel disajikan dengan memberi nomor secara acak dan panelis
sebanyak 30 orang diminta memberikan penilaian kesukaan terhadap warna,
aroma, rasa, kerenyahan dan penampakan kerupuk ikan setelah digoreng.
Pengujian organoleptik dilakukan pada setiap waktu penyimpanan.
3.4 Rancangan Percobaan (Steel dan Torrie 1993)
Rancangan percobaan yang digunakan untuk uji volume pengembangan
dalam penelitian pendahuluan yaitu adalah Rancangan Acak Lengkap Tunggal
dengan satu faktor yaitu konsentrasi daging ikan sapu-sapu. Bila hasil analisis
berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut BNJ untuk melihat perbedaan
antar perlakuan.
Model Rancangan: Yik = µµ + Ai + εεik
Keterangan:
Yik = respon percobaan karena pengaruh faktor A taraf ke-i, ulangan ke-k
µ = nilai tengah umum / rataan
Ai = pengaruh taraf ke-i faktor A (i = 1, 2,..n)
εik = kesalahan percobaan karena pengaruh faktor A taraf ke-i pada ulangan ke-k
Sedangkan rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian lanjutan
yaitu Rancangan Acak Lengkap pola faktorial dengan dua faktor sebanyak 2 kali
ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi daging ikan sapu-sapu (A) sebanyak
duan taraf yang terdiri dari 0 % (A0) dan 50 % (A1). Faktor kedua adalah lama
penyimpanan (B) sebanyak 5 taraf yang terdiri dari penyimpanan minggu ke-0
(B0), minggu ke-1 (B1), minggu ke-2 (B3), minggu ke-3 (B4) dan minggu ke-4
(B5). Model rancangan tersebut menurut Steel dan Torrie (1993) adalah sebagai
berikut:
Yij = µµ + ái + âj+ (áâ)ij+åijk
Keterangan:
Yijk = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor á dan taraf ke-j dari faktor â)
µ = nilai tengah populasi
ái = pengaruh perlakuan á taraf ke-i (i = 1, 2)
âj = pengaruh perlakuan â taraf ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)
(áâ)ij = pengaruh interaksi perlakuan á ke-i dan perlakuan â ke-j
εijk = pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi
perlakuan ij.
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis ragam untuk
mengetahui adanya pengaruh konsentrasi dan lama waktu penyimpanan terhadap
kerupuk ikan.
Data yang diperoleh dari uji sensori baik pada penelitian pendahuluan
maupun penelitian lanjutan dianalisis dengan menggunakan statistik non
parametrik dengan metode uji Kruskal-Wallis dan apabila berbeda nyata
dilakukan uji lanjut MultipleCcomparison (Steel dan Torrie, 1993).
Langkah-langkah metode pangujian Kruskal-Wallis adalah sebagai
berikut:
1. Rangking dari data yang terkecil sampai terbesar untuk seluruh perlakuan
dalam satu parameter.
2. Hitung total rangking untuk setiap perlakuan dan hitung pula rata-ratanya.
3. Data yang diperoleh dihitung dengan menggunakan rumus:
H = ∑ ++
1) (n 3 - ni
Ri
1) (n n 12 2
; H’ = pembagi
H
Pembagi = 1 - 1) (n n 1) -(n
T+
; T = (t –1) t (t + 1)
Keterangan:
ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan
Ri = jumlah rangking dalam perlakuan ke-i
t = banyaknya pengamatan seri dan kelompok
H’ = H terkoreksi
Uji Multiple Comparison:
Ri - Rj >><< Zαα / 2p 6k / 1) (n +
Keterangan:
Ri = rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i
Rj = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j
k = banyaknya ulangan
n = jumlah total data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui rendemen daging
ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis), komposisi kimia daging ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis) dan konsentrasi terpilih (tidak termasuk kontrol) yang
diperoleh melalui uji sensori yang selanjutnya akan digunakan pada penelitian
lanjutan. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian tahap awal meliputi
kontrol, penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 0 % (kontrol); 6,47 %;
12,94 %; 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %.
4.1.1 Rendemen daging ikan
Rendemen merupakan suatu parameter yang paling penting untuk
mengetahui nilai efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan rendemen
berdasarkan persentase perbandingan antar berat akhir dengan berat awal proses
(Amiarso 2003). Rendemen dapat dinyatakan dalam desimal atau persen.
Rendemen ikan yang dihitung berdasarkan persentase ikan sapu-sapu utuh
terhadap daging ikan sapu-sapu yang diperoleh adalah sebesar 26,06 %. Hal ini
menunjukkan bahwa ikan sapu-sapu memiliki nilai rendemen yang rendah, karena
ikan tersebut memiliki kulit yang sangat keras sehingga proses pengambilan
daging sulit untuk dilakukan. Rendemen daging ikan sapu-sapu salah satunya
dapat dipengaruhi oleh cara pengambilan daging yang dilakukan. Cara
pengambilan daging yang baik dapat dilihat dari sedikitnya daging ikan sapu-sapu
yang masih menempel pada kulit dan tulang. Semakin baik cara pengambilan
daging yang dilakukan maka semakin tinggi nilai rendemen daging ikan yang
dihasilkan.
4.1.2 Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
Ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang digunakan berasal dari sungai
Cangkurawok yang terletak di desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten
Bogor. Ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang digunakan mempunyai
ukuran panjang ± 15 – 20 cm dengan berat ± 225 g/ekor. Komposisi kimia daging
ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dari berbagai lokasi yang berbeda dan
dihitung berdasarkan berat basah adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dari berbagai lokasi yang berbeda
Nilai (%) Komposisi kimia Sungai Cangkurawok 1) Sungai Darmaga 2) Waduk Cirata 3)
Air 81,89 83,16 77,50 Abu 1,07 2,51 1,01 Lemak 1,02 0,03 1,23 Protein 13,48 11,97 19,71 Karbohidrat 2,54 2,33 0,55
Keterangan : 1) hasil penelitian 2) Mahdiah (2002) 3) Chaidir (2003)
Hasil analisis proksimat pada tabel diatas menunjukkan bahwa besarnya
kandungan gizi ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang digunakan pada
penelitian ini tergolong kedalam jenis ikan yang berlemak rendah dan berprotein
rendah (Stansby dan Olcott 1963). Besarnya komposisi kimia ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis) yang berasal dari Sungai Cangkurawok mempunyai
perbedaan nilai terhadap komposisi kimia ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
baik yang berasal dari Sungai Darmaga maupun Waduk Cirata. Ikan sapu-sapu
yang berasal dari Waduk Cirata memiliki kadar protein yang paling tinggi
dibandingkan dengan kadar protein ikan sapu-sapu dari Sungai Darmaga maupun
Sungai Cangkurawok. Ini dapat disebabkan oleh habitat tempat ikan tersebut
berada sehingga habitat ini erat sekali hubungannya dengan sumber makanan baik
dalam hal jumlah maupun jenisnya. Karena makanan yang dimakan oleh ikan
akan menentukan komposisi daging dari ikan tersebut (Muchtadi dan Sugiyono
1992).
Menurut Chaidir (2001), ikan sapu-sapu yang berada di Waduk Cirata
mendapatkan pakan yang cukup baik, karena waduk tersebut merupakan tempat
pemeliharaan ikan tawar lainnya antara lain ikan mas sehingga akan berpengaruh
terhadap komposisi kimia ikan tersebut. Sedangkan ikan sapu-sapu baik yang
berasal dari Sungai Cangkurawok maupun Sungai Darmaga hanya mendapatkan
pakan dari lingkungan sekitarnya. Menurut Zaitsev et al (1969), komposisi kimia
ikan dapat berbeda-beda tergantung dari spesies ikan, tingkat umur, habitat dan
kebiasaan makan ikan tersebut.
4.1.3 Uji sensori kerupuk ikan
Penerimaan konsumen terhadap suatu produk dapat diukur secara
subyektif yaitu dengan menggunakan alat indera. Pada penelitian ini
menggunakan uji sensori dengan penilaian skala hedonik (hedonic scale test)
skala 1 – 7. Uji skala hedonik dilakukan terhadap kerupuk matang untuk
mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap kerupuk ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis) yang dihasilkan yang meliputi kerupuk 0 % (kontrol);
6,47 %; 12,94 %; 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %. Berdasarkan uji sensori dengan
skala hedonik ini akan dipilih satu perlakuan terbaik dan bukan termasuk kontrol.
Adapun score sheet dan hasil dari penerimaan panelis dapat dilihat pada
Lampiran 1. Hasil uji sensori kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
secara rinci adalah sebagai berikut:
4.1.3.1 Penampakan
Uji sensori terhadap penampakan merupakan penilaian produk secara
menyeluruh. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis berdasarkan uji skala
hedonik terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
disajikan dalam Gambar 4.
6.476.436.335.475.375.37
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36
Kons e ntr as i (%)
Nila
i rat
a-ra
ta p
en
amp
akan
Gambar 4. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap penampakan kerupuk
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata uji sensori terhadap
penampakan kerupuk ikan sapu-sapu berkisar antara 5,37 sampai 6,47 yang secara
deskriptif berkisar antara agak suka sampai suka. Nilai rata-rata tertinggi terdapat
pada kerupuk ikan sapu-sapu dengan konsentrasi 32,36 % dan tingkat kesukaan
terkecil terdapat pada kerupuk kontrol dan kerupuk dengan penambahan daging
ikan 6,47 %. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tingkat
kesukaan panelis terhadap penampakan kerupuk semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya konsentrasi ikan sapu-sapu yang ditambahkan. Hal ini
disebabkan karena kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis) memiliki permukaan yang lebih halus dan kompak
dibandingkan dengan kerupuk kontrol (tanpa penambahan daging ikan).
Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 3) menunjukkan bahwa penambahan
daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) memberikan pengaruh yang berbeda
nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-
sapu (Hyposarcus pardalis). Hasil uji lanjut Multiple Comparison terhadap
penampakan kerupuk (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa penampakan kerupuk
dengan konsentrasi 0 %; 6,47 % dan 12,94 % berbeda nyata dengan kerupuk
19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %. Hal ini disebabkan karena penampakan kerupuk
ikan dengan konsentrasi 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 % memiliki permukaan
yang lebih kompak. dibandingkan dengan kerupuk dengan konsentrasi 0 %;
6,47 % dan 12,94 %. Sehingga perlakuan penambahan daging ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis) sebanyak 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 % merupakan
konsentrasi terbaik yang dapat memberikan penampakan kerupuk ikan terbaik.
4.1.3.2 Warna
Mutu bahan pangan pada umumnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut antara lain rasa, tekstur, nilai gizi, mikrobiologis, dan
warna. Sebelum faktor-faktor lain yang dipertimbangkan, secara visual faktor
warna akan tampil lebih dahulu (Winarno 1997). Nilai rata-rata uji sensori
terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang dihasilkan
disajikan pada Gambar 5.
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa hasil pengujian sensori terhadap warna
kerupuk ikan sapu-sapu diperoleh nilai rata-rata yang berkisar antara 4,97 sampai
6,33 dan secara deskriptif panelis menilai agak suka sampai suka. Tingkat
kesukaan warna terbesar terdapat pada kerupuk dengan penambahan daging ikan
sapu-sapu 32,36 % dan tingkat kesukaan warna terkecil terdapat pada kerupuk
ikan dengan konsentrasi 12,94 %.
5.10 4.97
6.075.60 6.20 6.33
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36
Kons e ntras i (%)
Nila
i rat
a-ra
ta w
arn
a
Gambar 5. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk
Pada umumnya panelis menyukai warna kerupuk dengan penambahan
konsentrasi daging ikan sebesar 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %. Penambahan
daging ikan cenderung memberikan kontribusi warna kecoklatan yang disebabkan
kandungan protein yang terdapat pada ikan tersebut, sehingga apabila terjadi
proses pemanasan akan terjadi reaksi Maillard. Reaksi Maillard adalah reaksi
yang terjadi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus asam
amina primer yang terdapat pada bahan sehingga akan menghasilkan bahan
berwarna coklat yang disebut melanoidin (Winarno 1997). Reaksi Maillard
sangat dipengaruhi oleh kadar air, pH, suhu, dan jenis gula yang berperan. Reaksi
ini diperlukan pada bahan pangan tertentu untuk mendapatkan warna, aroma dan
cita rasa tertentu (Lund 1989).
Penilaian terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
berdasarkan uji Kruskal Wallis (Lampiran 3) menunjukkan bahwa penambahan
daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) memberikan pengaruh yang berbeda
nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis). Uji lanjut Multiple Comparisons terhadap warna kerupuk
ikan sapu-sapu (Lampiran 4b) menunjukkan bahwa kerupuk kontrol berbeda nyata
dengan kerupuk yang mengalami penambahan daging ikan sebesar 32,36 %.
Karena kerupuk dengan konsentrasi 32,36 % memiliki warna sedikit kecoklatan.
Kerupuk ikan dengan konsentrasi 6,47 % dan 12,94 % berbeda nyata dengan
kerupuk yang mengalami penambahan daging ikan sebesar 19,42 %; 25,89 % dan
32,36 %.
4.1.3.3 Aroma
Aroma merupakan suatu hal yang menjadi daya tarik tersendiri dalam
menentukan rasa enak dari suatu produk makanan. Industri pangan menganggap
sangat penting untuk melakukan uji terhadap aroma dengan cepat memberikan
produknya disukai atau tidak disukai (Soekarto 1985).
Hasil uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu diperoleh nilai
rata-rata berkisar antara 5,0 sampai 5,9 yang secara deskriptif panelis menilai agak
suka terhadap kerupuk tersebut. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada kerupuk
ikan dengan penambahan daging ikan sebesar 32,36 %. Sedangkan nilai rata-rata
terendah terdapat pada kerupuk dengan penambahan daging ikan sebesar 6,47 %
dan 12,94 %. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan
sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dapat dilihat pada Gambar 6.
5.30
5.00 5.00
5.605.73
5.90
4.404.604.805.005.205.405.605.806.00
0 6,47 12 ,94 19 ,42 25 ,89 32 ,36
Kons e ntras i (%)
Nila
i ra
ta-r
ata
aro
ma
Gambar 6. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk
Dari histogram tersebut dapat dilihat bahwa nilai rat-rata uji sensori
terhadap aroma kerupuk mengalami penurunan dari kontrol sampai konsentrasi
12,94 % yang tidak terlalu signifikan. Walaupun terjadi penurunan dari kontrol
sampai konsentrasi 12,94 % tetapi nilai rata-rata penurunannya tidak terlalu besar.
Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mengalami peningkatan
dari kerupuk dengan konsentrasi 19,42 % sampai kerupuk dengan konsentrasi
32,36 %. Hal ini disebabkan karena konsentrasi daging ikan sapu-sapu yang
ditambahkan semakin meningkat yang dapat menyebabkan aroma kerupuk
mempunyai aroma khas kerupuk ikan. Adanya aroma khas dari kerupuk ikan
diduga disebabkan oleh kandungan protein yang terurai menjadi asam amino
khususnya asam glutamat akan menimbulkan rasa dan aroma yang lezat. Menurut
Winarno (1992), asam glutamat mempunyai peranan yang sangat penting dalam
pengolahan makanan, karena dapat menimbulkan rasa dan aroma yang lezat.
Selain itu adanya penambahan bumbu seperti bawang putih dan garam. Karena
bawang putih dan garam yang ditambahkan dalam pembuatan kerupuk salah
satunya berfungsi untuk mempertinggi aroma kerupuk.
Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 3) pada tingkat kesukaan panelis
terhadap aroma kerupuk menunjukkan bahwa penambahan daging ikan sapu-sapu
memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Uji lanjut Multiple Comparisons
menunjukkan bahwa kerupuk dengan penambahan daging ikan 6,47 % dan
12,94 % berbeda nyata dengan kerupuk yang mengalami penambahan daging ikan
sebesar 32,36 %. Hal ini disebabkan karena kerupuk dengan konsentrasi 32,36 %
memiliki aroma kerupuk yang lebih khas yaitu aroma kerupuk ikan. Hasil uji
lanjut Multiple Comparisons dapat dilihat pada Lampiran 4c.
4.1.3.4 Rasa
Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk
pangan. Faktor rasa memegang peranan penting dalam pemilihan produk oleh
konsumen (Winarno 1997). Dengan rasa tersebut, konsumen dapat memutuskan
menerima atau menolak produk tersebut. Hasil uji sensori terhadap rasa kerupuk
ikan sapu-sapu diperoleh nilai rata-rata yang berkisar antara 5,43 sampai 6,30
yang secara deskriptif berkisar antara agak suka sampai suka. Tingkat kesukaan
terhadap rasa tertinggi terdapat pada kerupuk ikan dengan konsentrasi 32,36 %
dengan nilai rata-rata sebesar 6,30. Sedangkan nilai rata-rata tingkat kesukaan
rasa terendah terdapat pada kerupuk kontrol dengan nilai rata-rata sebesar 5,4.
Histogram nilai rata-rata tingkat kesukaan terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu
dapat dilihat pada Gambar 7.
5.53 5.57
5.43
5.87
6.30
5.90
5.00
5.20
5.40
5.60
5.80
6.00
6.20
6.40
0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36
Kons e ntras i (%)
Nila
i rat
a-ra
ta r
asa
Gambar 7. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap rasa kerupuk
Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis
terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya konsentrasi daging ikan sapu-sapu yang ditambahkan. Hal ini
disebabkan karena adanya penambahan daging yang diberikan dapat
meningkatkan rasa kerupuk menjadi lebih memiliki rasa yang khas yaitu khas
kerupuk ikan. Rasa gurih yang terdapat pada kerupuk ikan dapat disebabkan oleh
kandungan protein yang terdapat pada kerupuk tersebut sehingga pada saat proses
pengukusan, protein akan terhidrolisis menjadi asam amino dan salah satu asam
amino yaitu asam glutamat dapat menimbulkan rasa yang lezat (Winarno 1992).
Menurut Somaatmadja (1976), pemanasan basah seperti merebus dan mengukus
dapat memberikan keuntungan karena akan menimbulkan hidrolisis pada protein
dan pelunakan pada makanan keseluruhan. Selain itu rasa yang terdapat pada
kerupuk dapat disebabkan karena adanya penambahan bumbu-bumbu seperti
bawang putih, gula, garam dan telur yang dapat meningkatkan citarasa kerupuk
ikan.
Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 3) terhadap rasa kerupuk ikan sapu-
sapu menunjukkan bahwa penambahan daging ikan sapu-sapu memberikan
pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap rasa kerupuk
ikan yang dihasilkan, karena penambahan daging ikan dapat meningkatkan
citarasa kerupuk. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons menunjukkan bahwa
kerupuk 0 %; 6,47 % dan 12,94 % berbeda nyata dengan konsentrasi 32,36 %.
Hal ini disebabkan karena kerupuk dengan konsentrasi 32,36 % memiliki rasa
yang paling gurih bila dibandingkan dengan kerupuk kontrol (0 %) dan kerupuk
yang mengalami penambahan konsentrasi daging ikan lebih sedikit. Hasil uji
lanjut Multiple Comparisons dapat dilihat pada Lampiran 4d.
4.1.3.5 Kerenyahan
Kerenyahan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat
penerimaan konsumen terhadap produk kerupuk. Hasil uji kesukaan terhadap
kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu diperoleh nilai rata-rata yang berkisar antara
6,13 sampai 6,47 yang secara deskriptif kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu
berkisar antara agak suka sampai suka. Histogram nilai rata-rata tingkat kesukaan
terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu disajikan pada Gambar 8.
6.47
6.33
6.27 6.276.23
6.13
5.90
6.00
6.10
6.20
6.30
6.40
6.50
0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36
Kons e ntras i (%)
Nil
ai
rata
-ra
ta k
ere
ny
ah
an
Gambar 8. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk
Dari histogram diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata uji sensori
terhadap kerenyahan semakin menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi
daging ikan. Kerenyahan kerupuk dapat dipengaruhi oleh volume pengembangan
kerupuk. Sedangkan volume pengembangan dapat dipengaruhi oleh kandungan
amilopektin dan kandungan protein yang terkandung pada bahan. Menurut
Rumbay diacu dalam Zulviani (1992), pada dasarnya kerupuk dengan kandungan
amilopektin yang lebih tinggi akan memiliki pengembangan yang tinggi, karena
pada saat proses pemanasan akan terjadi proses gelatinisasi dan akan terbentuk
struktur yang elastis yang kemudian dapat mengembang pada tahap penggorengan
sehingga kerupuk dengan volume pengembangan yang tinggi akan memiliki
kerenyahan yang tinggi. Kerupuk kontrol memiliki kandungan amilopektin yang
lebih besar daripada kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu,
sehingga memiliki kerenyahan yang lebih besar.
Selain kandungan amilopektin, volume pengembangan juga dapat
dipengaruhi oleh kandungan protein yang terdapat pada kerupuk. Menurut
Lavlinesia (1995), kandungan protein yang tinggi dapat menyebabkan kantong-
kantong udara kerupuk yang dihasilkan semakin kecil karena padatnya kantong-
kantong udara tersebut terisi oleh bahan lain yaitu daging ikan yang banyak
mengandung protein sehingga dapat menyebabkan volume pengembangan
semakin kecil yang akhirnya dapat menyebabkan kerenyahan semakin menurun .
Penilaian terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu berdasarkan uji
Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan daging ikan tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada kerenyahan kerupuk ikan sapu-
sapu yang dihasilkan. Artinya panelis memiliki tingkat kesukaan yang cenderung
sama terhadap kerenyahan untuk semua kerupuk ikan sapu-sapu. Hasil uji
Kruskal Wallis terhadap kerupuk ikan sapu-sapu dapat dilihat pada Lampiran 3.
4.1.4 Volume pengembangan
Volume pengembangan merupakan salah satu parameter mutu kerupuk
goreng. Nilai rata-rata volume pengembangan dari mulai 0 % hingga konsentrasi
32,36 % berturut-turut sebesar 328,67 %; 298,33 %; 283,67 %; 242,33 %;
217,33 % dan 185,00 %. Nilai rata-rata volume pengembangan kerupuk dapat
dilihat pada Gambar 9.
328.67298.33 283.67
242.33
185.00
217.33
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
300.00
350.00
0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36
Kons e ntras i (%)
Nila
i rat
a-ra
ta v
olu
me
p
en
ge
mb
ang
an (
%)
Gambar 9. Histogram nilai rata-rata volume pengembangan
Dari histogram diatas dapat dilihat bahwa volume pengembangan kerupuk
mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya konsentrasi daging ikan yang
ditambahkan. Kerupuk kontrol memiliki volume pengembangan yang lebih besar
dibandingkan dengan kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu. Hal
ini disebabkan karena kandungan amilopektin yang terdapat pada kerupuk kontrol
jauh lebih besar dibandingkan dengan kerupuk lainnya. Menurut Rumbay, diacu
dalam Zulviani (1992), pada dasarnya kerupuk yang memiliki kandungan
amilopektin yang tinggi mempunyai pengembangan yang tinggi.
Selain itu menurut Lavlinesia (1995), salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi volume pengembangan kerupuk adalah kandungan protein.
Kandungan protein yang tinggi cenderung menurunkan daya kembang kerupuk
sehingga dapat menyebabkan kantong-kantong udara kerupuk yang dihasilkan
semakin kecil karena padatnya kantong-kantong udara tersebut terisi oleh bahan
lain yaitu protein. Hal tersebut dapat dilihat dari Gambar 9 semakin tinggi
konsentrasi daging ikan yang digunakan, akan diperoleh volume pengembangan
yang semakin kecil.
Hasil analisis ragam (Lampiran 5b) menunjukkan bahwa penambahan
daging ikan sapu-sapu memberikan pengaruh yang berbeda nyata nyata terhadap
volume pengembangan kerupuk. Yang berarti bahwa penambahan daging ikan
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap volume pengembangan kerupuk,
karena penambahan daging ikan sapu-sapu menyebabkan kerupuk semakin tidak
renyah.
4.2 Penelitian Lanjutan
4.2.1 Uji sensori kerupuk selama penyimpanan
Uji sensori terhadap kerupuk ikan pada penelitian ini dilakukan secara
subyektif berdasarkan uji kesukaan dengan menggunakan alat indera terhadap
kerupuk ikan matang. Uji sensori dilakukan berdasarkan penilaian dengan skala
hedonik (hedonic scale test) dengan skala 1 – 7. Uji sensori terhadap kerupuk
ikan dilakukan selama 4 minggu yaitu dilakukan pada minggu ke-1, ke-2, ke-3
dan ke-4 berdasarkan penerimaan panelis terhadap penampakan, warna, aroma,
rasa dan kerenyahan kerupuk. Uji sensori dilakukan terhadap kerupuk kontrol dan
kerupuk ikan sapu-sapu yang telah digoreng dengan konsentrasi terbaik pada
penelitian pendahuluan yaitu kerupuk dengan konsentrasi ikan sapu-sapu sebesar
32,36 %. Hasil uji sensori secara rinci adalah sebagai berikut:
4.2.1.1 Penampakan
Hasil uji sensori terhadap penampakan kerupuk diperoleh bahwa nilai
rata-rata penampakan kerupuk kontrol berkisar antara 5,90 – 6,17 yang secara
deskriptif berkisar antara agak suka sampai suka. Sedangkan untuk kerupuk ikan
sapu-sapu berkisar antara 5,17 – 5,93 yang secara deskriptif panelis menilai agak
suka terhadap penampakan kerupuk ikan selama penyimpanan. Nilai rata-rata uji
sensori terhadap penampakan kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada
Gambar 10.
6.17 6.13 6.13
5.906.07
5.17
5.435.60
5.705.93
4.604.80
5.005.205.40
5.605.806.006.20
6.40
M0 M1 M2 M3 M4
Pe n yim p an an (m in g g u )
Nil
ai R
ata
-ra
ta P
en
am
pak
an
0
32,36 %
Gambar 10. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap penampakan
kerupuk selama penyimpanan
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata uji sensori terhadap
penampakan kerupuk menunjukkan penurunan dari mulai minggu ke-0 hingga
minggu ke-4. Penurunan nilai rata-rata penampakan ini berarti bahwa terjadi
penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan kerupuk selama
penyimpanan 4 minggu. Penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap
penampakan ini diduga disebabkan karena penampakan kerupuk yang semakin
kasar yang dapat disebabkan karena gelembung-gelembung udara yang terdapat
pada permukaan kerupuk semakin banyak sehingga permukaan kerupuk menjadi
tidak halus.
Hasil uji Kruskal Wallis terhadap kerupuk ikan menunjukkan bahwa
penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan
kerupuk ikan sapu-sapu. Hal ini disebabkan karena permukaan kerupuk menjadi
semakin tidak halus dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Uji lanjut
Multiple Comparisons menunjukkan bahwa penyimpanan pada minggu ke-0
berbeda terhadap penyimpanan pada minggu ke-4. Ini dapat disebabkan karena
penampakan kerupuk pada minggu ke-0 lebih halus dibandingkan penampakan
kerupuk pada minggu ke-4.
4.2.1.2 Warna
Hasil uji sensori terhadap warna krupuk diperoleh hasil bahwa nilai rata-
rata penerimaan panelis terhadap warna kerupuk kontrol berkisar antara 6,10 –
6,37 yang secara deskriptif panelis menilai suka terhadap kerupuk kontrol selama
penyimpanan. Sedangkan untuk kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-
sapu sebesar 32,36 % berkisar antara 5,23 – 6,13 yang secara deskriptif berkisar
antara agak suka sampai suka. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap
warna kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 11.
6.37 6.30 6.20 6.106.27
5.235.475.67
5.906.13
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
M0 M1 M2 M3 M4
Pe nyim panan (m inggu)
Nila
i Rat
a-ra
ta W
arn
a
0%
32,36 %
Gambar 11. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk
selama penyimpanan
Dari Gambar 11 terlihat bahwa terjadi penurunan warna kerupuk selama
penyimpanan baik pada kerupuk kontrol maupun pada kerupuk dengan
penambahan daging ikan sapu-sapu 32,36 %. Hal ini berarti tingkat kesukaan
panelis terhadap warna kerupuk mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya waktu penyimpanan. Terjadinya penurunan tingkat kesukaan
panelis terhadap warna kerupuk diduga disebabkan karena warna kerupuk
semakin coklat seiring bertambahnya penyimpanan. Hal tersebut dapat disebabkan
karena terjadinya reaksi browning non enzimatis yaitu reaksi maillard terhadap
kerupuk ketika digoreng sehingga menimbulkan warna kecoklatan. Selain itu
suhu yang digunakan pada saat penggorengan terlalu tinggi sehingga
menimbulkan kerupuk menjadi berwarna kecoklatan.
Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna kerupuk ikan. Hal ini disebabkan
karena kerupuk semakin berwarna kecoklatan dengan bertambahnya waktu
penyimpanan. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons menunjukkan bahwa
penyimpanan pada minggu ke-4 berbeda terhadap penyimpanan pada minggu ke-0
dan ke-1 serta penyimpanan minggu ke-3 berbeda terhadap penyimpanan pada
minggu ke-0. Hal ini dapat disebabkan karena warna kerupuk pada awal
penyimpanan lebih putih daripada kerupuk pada akhir penyimpanan.
4.2.1.3 Aroma
Aroma merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam menilai suatu
produk. Karena aroma akan menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa
enak dari suatu produk makanan (Soekarto 1985). Hasil uji sensori terhadap
aroma kerupuk selama penyimpanan diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata kerupuk
kontrol berkisar antara 5,13 – 5,83. Sedangkan kerupuk dengan penambahan
daging ikan sapu-sapu 32,36 % memiliki nilai rata-rata berkisar antara 5,50 – 6,17
yang secara deskriptif panelis menilai agak suka pada aroma kerupuk kontrol dan
kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu. Nilai rata-rata uji kesukaan
terhadap aroma kerupuk dapat dilihat pada Gambar 12.
5.90
5.135.275.405.60
5.83 6.006.175.70
5.50
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
M0 M1 M2 M3 M4
Pe nyim pan an (m ing gu)
Nil
ai
Ra
ta-r
ata
Aro
ma
0%
32,36 %
Gambar 12. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk
selama penyimpanan
Dari Gambar 12 diatas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan aroma
kerupuk selama penyimpanan. Adanya penurunan tingkat kesukaan panelis
terhadap aroma kerupuk diduga disebabkan karena kerupuk memiliki aroma agak
tengik yang dapat disebabkan karena minyak goreng yang digunakan pada saat
menggoreng sudah teroksidasi sehingga menimbulkan bau yang tidak enak. Hasil
uji Kruskal Wallis menunjukkan penyimpanan memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap warna kerupuk, baik kerupuk ikan sapu-sapu maupun
kerupuk kontrol, karena semakin lama penyimpanan dapat menimbulkan aroma
kerupuk menjadi semakin tidak sedap. Sedangkan uji lanjut Multiple
Comparisons terhadap kerupuk ikan sapu-sapu menunjukkan bahwa penyimpanan
pada minggu ke-4 berbeda nyata terhadap penyimpanan pada minggu ke-0, ke-1
dan ke-2 serta penyimpanan pada minggu ke-3 berbeda terhadap penyimpanan
pada minggu ke-0. hal ini berarti bahwa aroma kerupuk pada penyimpanan
minggu ke-4 memiliki aroma yang tidak sedap. Sedangkan untuk kerupuk kontrol
menunjukkan bahwa penyimpanan pada minggu ke-0 berbeda terhadap
penyimpanan pada minggu ke-3 dan ke-4.
4.2.1.4 Rasa
Rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam pemilihan produk oleh
konsumen, sehingga rasa dapat menjadi faktor penentu daya terima konsumen
sehingga konsumen dapat memutuskan menerima atau menolak produk tersebut
(Winarno 1997). Hasil uji kesukaan terhadap rasa kerupuk selama penyimpanan
diperoleh bahwa nilai rata-rata rasa pada kerupuk kontrol berkisar antara 5,87 –
6,33 yang secara deskriptif berkisar antara agak suka sampai suka.dan untuk
kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu 32,36 % berkisar antara 6,03
– 6,70 yang secara deskriptif panelis menilai suka terhadap rasa kerupuk ikan.
Nilai rata-rata uji kesukaan terhadap rasa kerupuk selama penyimpanan dapat
dilihat pada Gambar 13.
5.97
6.43
6.03
5.87
6.10
6.276.33
6.676.70
6.13
5.40
5.60
5.80
6.00
6.20
6.40
6.60
6.80
M0 M1 M2 M3 M4
Pe nyim panan (har i)
Nila
i Rat
a-ra
ta R
asa
0%
32,36 %
Gambar 13. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap rasa kerupuk selama
penyimpanan
Dari gambar 13 terlihat bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis
terhadap rasa kerupuk mengalami penurunan yang tidak signifikan. Adanya
penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap rasa kerupuk diduga dapat
disebabkan karena kerupuk memiliki bau dan rasa yang tengik. Rasa tengik ini
timbul dari proses autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak yang
dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang dapat disebabkan karena
adanya panas dan cahaya (Winarno 1997). Rasa tengik dapat dirasakan dengan
adanya rasa asam yang tidak disukai panelis.
Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa kerupuk, baik pada kerupuk ikan
sapu-sapu maupun pada kerupuk kontrol. Hal ini disebabkan karena semakin lama
penyimpanan menyebabkan rasa kerupuk menjadi tidak disukai karena adanya
bau dan rasa yang tengik. Uji lanjut Multiple Comparisons menunjukkan bahwa
penyimpanan pada minggu ke-3, dan ke-4 berbeda terhadap penyimpanan minggu
ke-0 dan ke-1 untuk kerupuk ikan sapu-sapu yang berarti bahwa kerupuk pada
penyimpanan minggu ke-3 dan ke-4 memiliki rasa yang lebih tidak enak
dibandingkan dengan kerupuk pada minggu ke-0 dan ke-1. Sedangkan uji lanjut
terhadap kerupuk kontrol menunjukkan bahwa penyimpanan pada minggu ke-0
berbeda dengan penyimpanan pada minggu ke-4.
4.2.1.5 Kerenyahan
Kerenyahan termasuk salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat
penerimaan konsumen terhadap produk kerupuk. Berkurangnya tingkat
kerenyahan merupakan tanda bahwa produk kerupuk tersebut telah mengalami
kerusakan (Muchtadi 1989).
Hasil uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk selama penyimpanan
diperoleh hasil bahwa kerupuk kontrol memiliki nilai rata-rata berkisar antara
6,20 – 6,70 yang secara deskriptif panelis menilai suka pada kerenyahan kerupuk
kontrol. Sedangkan kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu memiliki
nilai rata-rata berkisar antara 5,97 – 6,53 yang secara deskriptif panelis menilai
agak suka sampai suka terhadap kerenyahan kerupuk ikan selama penyimpanan 4
minggu. Nilai rata-rata hasil uji kesukaan terhadap kerenyahan kerupuk selama
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 14.
6.206.33
6.40
6.636.70
6.436.53
6.20
5.97
6.23
5.60
5.80
6.00
6.20
6.40
6.60
6.80
M0 M1 M2 M3 M4
Pe nyim panan (m ingg u)
Nila
i Rat
a-ra
ta K
ere
ny
ahan
0%
32,36 %
Gambar 14. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap kerenyahan
kerupuk selama penyimpanan
Dari Gambar 14 terlihat bahwa terjadi penurunan nilai rata-rata tingkat
kesukaan panelis terhadap kerenyahan kerupuk selama penyimpanan. Terjadinya
penurunan kerenyahan kerupuk disebabkan karena volume pengembangan
kerupuk yang semakin menurun selama penyimpanan. Menurut Lavlinesia
(1995), kerupuk yang mengembang akan memberikan kerenyahan yang lebih
baik. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa kerupuk. Hal ini menunjukkan bahwa
kerupuk semakin tidak mengembang dengan bertambahnya waktu penyimpanan.
Uji lanjut Multiple Comparisons menunjukkan bahwa penyimpanan pada minggu
ke-0 berbeda terhadap penyimpanan pada minggu ke-4 baik pada kerupuk ikan
sapu-sapu maupun kerupuk kontrol.
4.2.2 Analisis sifat fisik kerupuk selama penyimpanan
4.2.2.1 Tingkat kekerasan
Kekerasan kerupuk merupakan salah satu faktor mutu kerupuk yang
penting karena menentukan penerimaan panelis. Pengukuran tingkat kekerasan
kerupuk ini dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer dengan beban
sebanyak 148 gram dan waktu 5 detik terhadap kerupuk matang. Nilai rata-rata
tingkat kekerasan kerupuk kontrol selama penyimpanan berkisar antara 0,025–
0,035 mm/detik/g, sedangkan kerupuk ikan berkisar antara 0,024–0,026
mm/detik/g. Hasil analisis tingkat kekerasan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai rata-rata tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan (mm/dtk/g)
Penyimpanan Konsentrasi M0 M1 M2 M3 M4
0 % (Kontrol) 0,035 0,030 0,030 0,028 0,025 32,36% 0,026 0,025 0,024 0,022 0,024
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kerupuk dengan penambahan daging
ikan sapu-sapu mempunyai tingkat kekerasan yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan kerupuk kontrol. Nilai tingkat kekerasan yang rendah atau kecil
mempunyai arti bahwa kerupuk tersebut semakin keras. Sebaliknya makin tinggi
angka kekerasan maka tingkat kekerasan kerupuk tersebut semakin bagus
(renyah). Rendahnya tingkat kekerasan kerupuk ikan ini dapat disebabkan oleh
volume pengembangan kerupuk yang semakin menurun selama penyimpanan.
Sedangkan daya kembang kerupuk dipengaruhi oleh kandungan protein yang
terdapat pada kerupuk tersebut. Menurut Lavlinesia (1995), salah satu faktor yang
dapat menurunkan daya kembang kerupuk adalah banyaknya kandungan protein
yang terdapat pada kerupuk dan kerupuk yang mengembang akan memberikan
kerenyahan yang tinggi. Histogram nilai rata-rata kekerasan kerupuk selama
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 15.
0.035
0.030 0.030 0.028
0.025
0.0240.0220.0240.025
0.026
0.000
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
0.035
0.040
M0 M1 M2 M3 M4
Pe nyim p anan (m in g gu )
0%
32,36 %
Gambar 15. Histogram nilai rata-rata tingkat kekerasan kerupuk selama
penyimpanan
Histogram diatas menggambarkan bahwa nilai rata-rata tingkat kekerasan
kerupuk mengalami penurunan selama penyimpanan baik pada krupuk kontrol
maupun kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebanyak 32,36 %.
Terjadinya penurunan tingkat kekerasan kerupuk dapat disebabkan oleh kadar air
yang ada pada kerupuk tersebut yang semakin meningkat selama penyimpanan
dan kadar air tersebut dapat menyebabkan rongga-rongga udara pada proses saat
penggorengan tidak terbentuk dengan sempurna, sehingga menghasilkan kerupuk
yang kurang renyah.
Terjadinya peningkatan nilai kekerasan kerupuk ikan dari minggu ke-3
menuju minggu ke-4 diduga disebabkan karena ketebalan kerupuk yang tidak
seragam. Kerupuk yang disimpan selama 4 minggu memiliki ketebalan yang
lebih kecil dibandingkan dengan kerupuk yang disimpan selama 3 minggu. Selain
itu dapat juga disebabkan karena kerupuk yang disimpan selama 3 minggu
memiliki ketebalan yang tidak merata (salah satu sisi kerupuk mempunyai
ketebalan yang lebih besar). Ketebalan yang tidak merata ini dapat menyebabkan
kandungan air yang tidak merata pada kerupuk yang selanjutnya menyebabkan
volume pengembangan yang tidak merata.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan dan konsentrasi
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kekerasan kerupuk.
Hal tersebut dapat dilihat dari semakin kecilnya tingkat kekerasan kerupuk selama
penyimpanan, selain itu nilai kekerasan kerupuk ikan sapu-sapu lebih kecil
dibandingkan dengan kerupuk kontrol. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada
Lampiran 8b.
4.2.2.2 Derajat putih
Analisis derajat putih terhadap kerupuk ikan dilakukan untuk mengetahui
tingkat derajat putih kerupuk ikan dibandingkan dengan kerupuk kontrol. Hasil
analisis derajat putih dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai rata-rata derajat putih kerupuk selama penyimpanan
Nilai (%) Konsentrasi M0 M1 M2 M3 M4
0 % (Kontrol) 25,90 25,89 25,69 25,27 25,41
32,36 % 21,18 21,55 20,51 21,10 20,64
Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa derajat putih kerupuk ikan sapu-sapu
memiliki nilai yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kerupuk kontrol. Hal ini
dapat disebabkan karena kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu
memiliki warna yang lebih coklat bila dibandingkan dengan kerupuk kontrol.
Warna kecoklatan pada kerupuk ikan sapu-sapu disebabkan oleh adanya
kandungan protein yang terdapat dalam ikan tersebut sehingga apabila terjadi
proses pemanasan akan terjadi reaksi non enzimatis yaitu reaksi pencoklatan
(Maillard). Reaksi Maillard adalah reaksi yang terjadi antara karbohidrat
khususnya gula pereduksi dengan gugus asam amina primer yang terdapat pada
bahan sehingga akan menghasilkan bahan berwarna coklat yang disebut
melanoidin (Winarno 1997). Reaksi Maillard sangat dipengaruhi oleh kadar air,
pH, suhu, dan jenis gula yang berperan. Reaksi ini diperlukan pada bahan pangan
tertentu untuk mendapatkan warna, aroma dan cita rasa tertentu (Lund 1989).
Histogram nilai rata-rata derajat putih kerupuk dapat dilihat pada Gambar 16.
25.4125.2725.6925.8925.90
21.5521.3020.51 21.10 20.64
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
M0 M1 M2 M3 M4
Pe nyim panan (m inggu)
Nila
i rat
a-ra
ta d
era
jat
pu
tih
0%
32,36 %
Gambar 16. Histogram nilai rata-rata derajat putih kerupuk selama penyimpanan
Dari histogram diatas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan tingkat derajat
putih kerupuk selama penyimpanan. Perubahan yang terjadi dapat disebabkan
oleh ketebalan kerupuk yang tidak seragam. Ketebalan kerupuk akan berpengaruh
terhadap warna kerupuk yang dihasilkan. Semakin tebal kerupuk akan memiliki
warna yang semakin gelap, hal ini dapat disebabkan pigmen warna persatuan luas
kerupuk lebih banyak Lavlinesia (1995).
Meningkatnya nilai derajat putih kerupuk ikan dari minggu 0 menuju
minggu ke-1 dapat disebabkan karena kerupuk yang tidak disimpan (minggu 0)
mempunyai ketebalan yang lebih besar daripada kerupuk yang disimpan selama 1
minggu, sehingga memiliki warna yang lebih gelap. Begitu pula dengan kerupuk
kontrol yang mengalami peningkatan dari minggu ke-3 menuju minggu ke-4.
Kerupuk yang disimpan selama 3 minggu memiliki ketebalan yang lebih besar
daripada kerupuk yang disimpan selama 4 minggu, sehingga memiliki warna yang
lebih gelap.
Hasil analisis ragam terhadap nilai derajat putih kerupuk menunjukkan
bahwa penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
derajat putih kerupuk yang artinya bahwa derajat putih tidak dipengaruhi oleh
waktu penyimpanan selama 4 minggu. Sedangkan konsentrasi memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap derajat putih kerupuk. Hal ini dapat dilihat
dari nilai derajat putih kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu lebih
kecil bila dibandingkan dengan kerupuk kontrol. Hasil analisis ragam derajat
putih kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 9b.
4.2.2.3 Aktivitas air
Aktivitas air (Aw) termasuk salah satu faktor yang dapat menyebabkan
kerusakan bahan pangan. Aktivitas air merupakan jumlah air bebas yang tersedia
yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Winarno 1992).
Aktivitas air ini merupakan kandungan air yang terdapat dalam kerupuk tersebut
yang dapat mempengaruhi daya tahan kerupuk terhadap serangan mikroba. Nilai
rata-rata aktivitas air kerupuk kontrol berkisar antara 0,521 – 0,594, sedangkan
untuk kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu berkisar antara 0,559 –
0,580. Nilai rata-rata uji aktivitas air kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat
pada Gambar 17.
0.594
0.571
0.539
0.560
0.521
0.580
0.5750.5700.565
0.559
0.480
0.500
0.520
0.540
0.560
0.580
0.600
M0 M1 M2 M3 M4
Pe nyim panan (m inggu)
Nil
ai r
ata
-rat
a a
kti
vit
as
air
0%
32,36 %
Gambar 17. Histogram nilai rata-rata aktivitas air kerupuk selama penyimpanan
Gambar diatas menunjukkan bahwa nilai rata-rata aktivitas air kerupuk
mengalami kenaikan selama penyimpanan 4 minggu. Naiknya nilai aktivitas air
ini dapat disebabkan karena adanya interaksi kerupuk dengan udara disekitarnya,
meskipun kerupuk tersebut dikemas dengan menggunakan plastik. Menurut
Damayanti dan Mudjajanto (1995), aktivitas air bahan pangan cenderung
berimbang dengan kelembaban di lingkungan sekitarnya, sehingga aktivitas air
tersebut dapat mempengaruhi daya awet dari bahan pangan tersebut. Namun
meskipun mengalami kenaikan, aktivitas air kerupuk masih berada dibawah
aktivitas air minimal bagi pertumbuhan optimal kapang yaitu sebesar 0,6 – 0,7
(Winarno 1997).
Hasil analisis ragam (Lampiran 10b) menunjukkan bahwa penyimpanan
dan konsentrasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas air
kerupuk, baik kerupuk kontrol maupun kerupuk dengan penambahan daging ikan
sapu-sapu. Hal ini berarti bahwa aktivitas air akan terus meningkat selama
penyimpanan dan perbedaan konsentrasi daging ikan akan menyebabkan
peningkatan aktivitas air kerupuk yang berbeda. Kerupuk dengan konsentrasi
ikan kecil (kerupuk kontrol) memiliki peningkatan aktivitas air yang tidak stabil
karena kerupuk dengan kandungan karbohidrat yang lebih tinggi akan lebih rentan
terhadap lingkungan sekitarnya sehingga dapat dengan mudah menyerap air dari
sekelilingnya (Winarno 1992).
4.2.2.4 Kapang
Pertumbuhan dan aktivitas mikroba merupakan salah satu faktor yang
dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan (Muchtadi 1989). Kerusakan
kerupuk ikan dapat ditandai dengan berkurangnya kerenyahan dan adanya
pertumbuhan kapang pada permukaan kerupuk mentah. Hasil uji kapang secara
visual terhadap permukaan kerupuk, baik kerupuk ikan sapu-sapu maupun
kerupuk kontrol tidak ditemukan adanya pertumbuhan kapang. Hal ini dapat
dilihat pada permukaan kerupuk tidak ditemukan adanya jaringan halus yang
menyerupai kapas yang lama kelamaan akan berubah menjadi kehitaman atau
kehijauan.
Pertumbuhan kapang membutuhkan kondisi fisik tertentu seperti
kelembaban, temperatur, pH, nutrisi dan oksigen. Kelembaban mempengaruhi
terjadinya perubahan kadar air dan aktivitas air produk selama penyimpanan
sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan kapang (Muchtadi 1989). Kapang
membutuhkan aw minimum untuk pertumbuhannya adalah sebesar 0,6 – 0,7
(Winarno 1997). Pada kerupuk yang disimpan selama 4 minggu diperoleh
aw < 0,6. Hal ini menunjukkan bahwa kerupuk tersebut masih aman untuk
dikonsumsi karena pada kerupuk tersebut tidak ditemukan adanya kapang.
4.2.2.5 Volume pengembangan
Pada proses penggorengan kerupuk terjadi pengembangan kerupuk.
Terjadinya pengembangan ini dapat disebabkan oleh terbentuknya rongga-rongga
udara pada kerupuk yang telah digoreng karena pengaruh suhu, menyebabkan air
yang terikat dalam gel menjadi uap. Hasil uji terhadap volume pegembangan
kerupuk diperoleh bahwa nilai rata-rata volume pengembangan kerupuk ikan
sapu-sapu berkisar antara 190,74 % – 211,69 %, sedangkan volume
pengembangan kerupuk kontrol berkisar antara 289,11 %– 329,80 %. Nilai rata-
rata volume pengembangan kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada
Gambar 18.
289.11
292.67305.07322.96329.80
190.74192.74203.83206.90211.69
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
300.00
350.00
Mo M1 M2 M3 M4
Pe nyim panan (m inggu)
Nila
i rat
a-ra
ta v
olu
me
p
en
ge
mb
ang
an (
%)
0%
32,36 %
Gambar 18. Histogram nilai rata-rata volume pengembangan kerupuk
selama penyimpanan
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa kerupuk ikan sapu-sapu memiliki
volume pengembangan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kerupuk
kontrol. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan pati yang ada dalam kerupuk
ikan sapu-sapu lebih sedikit dibandingkan dengan kerupuk kontrol.
Pengembangan kerupuk ini dipengaruhi oleh gelatinisasi yang terjadi pada saat
pengukusan adonan. Dengan proses gelatinisasi ini akan terbentuk struktur yang
elastis yang dapat mengembang pada tahap penggorengan.
Nilai rata-rata volume pengembangan kerupuk semakin menurun seiring
dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Penurunan tersebut dapat disebabkan
karena kadar air kerupuk yang semakin meningkat selama penyimpanan, karena
kadar air dapat menyebabkan proses pengembangan yang tidak sempurna selama
penggorengan. Pengembangan kerupuk selama digoreng sangat ditentukan oleh
kandungan air yang terikat pada kerupuk sebelum digoreng.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap volume pengembangan kerupuk. Hal ini
berarti bahwa semakin lama penyimpanan, maka volume pengembangan kerupuk
akan semakin berkurang. Terjadinya pengurangan volume pengembangan
kerupuk ini dapat disebabkan oleh kadar air yang semakin meningkat pada
kerupuk sebelum digoreng selama penyimpanan.
Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa konsentrasi memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap volume pengembangan kerupuk. Selain
kadar air, jumlah dan jenis protein juga dapat mempengaruhi volume
pengembangan kerupuk. Kandungan protein yang tinggi cenderung menurunkan
daya kembang kerupuk (Lavlinesia 1995). Hal ini dapat dilihat dari volume
pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu lebih kecil dibandingkan dengan volume
pengembangan kerupuk kontrol. Karena kandungan protein pada kerupuk ikan
lebih besar dibandingkan dengan kandungan protein kerupuk kontrol. Hasil
analisis ragam terhadap volume pengembangan kerupuk dapat dilihat pada
Lampiran 11b.
4.2.3 Analisis proksimat
Pada penelitian ini dilakukan analisis proksimat terhadap kerupuk mentah
yang bertujuan untuk mengetahui perubahan nilai gizi kerupuk selama
penyimpanan 4 minggu. Karena nilai gizi dari suatu produk makanan merupakan
salah satu faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi mutu dari
makanan tersebut. Analisis kimia dilakukan pada awal, pertengahan dan akhir
dari penyimpanan kerupuk yaitu pada minggu ke-0 (M0), ke-2 (M2) dan minggu
ke-4 (M4). Analisis kimia dilakukan terhadap parameter kadar air, abu, lemak,
protein dan karbohidrat (by difference). Hasil analisis kimia dpat dilihat pada
Tabel 10.
Tabel 10. Hasil analisis proksimat kerupuk selama penyimpanan
Penyimpanan (minggu ke-) M0 M2 M4 Komponen
A0 A1 A0 A1 A0 A1
SNI (1999)
Air 7,18 7,66 7,88 7,97 8,60 8,29 maksimal 12 Abu 1,27 1,32 1,26 1,35 1,24 1,39 maksimal 1 Lemak 1,47 1,49 1,50 1,49 1,47 1,51 maksimal 0,8 Protein 2,13 6,60 2,21 6,44 2,36 6,41 minimal 6 Karbohidrat 87,94 82,93 87,15 82,75 86,33 82,40 -
Keterangan: A0 = kerupuk kontrol A1 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu 32,36 %
4.2.3.1 Kadar air
Kadar air merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang dapat
menentukan mutu suatu produk kerupuk, karena kadar air yang terikat dalam
kerupuk sebelum digoreng sangat menentukan volume pengembangan kerupuk
matang. Analisis terhadap kadar air kerupuk dilakukan pada minggu ke-0, ke-1,
ke-2, ke-3 dan ke-4. Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa kadar air
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan.
Peningkatan kadar air dari minggu ke-0 hingga minggu ke-4 berturut-turut adalah
sebesar 7,655; 7,755; 7,965; 8,150; dan 8,290 sedangkan kerupuk kontrol
mempunyai nilai rata-rata kadar air dari minggu ke-0 hingga minggu ke-4
berturut-turut sebesar 7,185; 7,690; 7,880; 8,580 dan 8,605. Nilai rata-rata kadar
air kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 19.
7.185
8.6058.580
7.8807.690
8.2908.150
7.9657.655
7.755
6.000
6.500
7.000
7.500
8.000
8.500
9.000
M0 M1 M2 M3 M4
Pe nyim panan (m inggu)
Nila
i rat
a-ra
ta k
adar
air
0%
32,36 %
Gambar 19. Histogram nilai rata-rata kadar air kerupuk selama penyimpanan
Dari Gambar 19 diatas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar air
kerupuk selama penyimpanan baik pada kerupuk kontrol maupun pada kerupuk
dengan penambahan daging ikan sapu-sapu. Peningkatan kadar air dapat
disebabkan oleh adanya interaksi kerupuk dengan lingkungan disekitarnya. Dari
gambar tersebut terlihat bahwa kerupuk ikan mengalami kenaikan kadar air
dengan stabil, sedangkan kerupuk kontrol mengalami fluktuasi kadar air yang
lebih tinggi. Ini dapat terlihat pada penyimpanan minggu ke-0 hingga minggu ke-
1 selain itu juga pada penyimpanan minggu ke-2 menuju penyimpanan minggu
ke-3 pada kerupuk kontrol.
Adanya peningkatan kadar air yang lebih terhadap kerupuk kontrol dapat
disebabkan karena kandungan pati yang terdapat pada kerupuk kontrol lebih besar
daripada kandungan pati yang terdapat pada kerupuk dengan penambahan daging
ikan sapu-sapu sehingga menyebabkan kerupuk kontrol lebih bersifat higroskopis,
karena bahan yang kandungan patinya lebih tinggi akan rentan terhadap
lingkungan sekitarnya sehingga dapat dengan mudah menyerap air dari
sekelilingnya (Winarno 1992). Sehingga ketika kemasan kerupuk dibuka, maka
dengan segera kerupuk yang mempunyai sifat higroskopis menyerap air dari
lingkungannya.
Hasil analisis ragam terhadap kadar air menunjukkan bahwa penyimpanan
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air kerupuk. Ini berarti
bahwa kadar air kerupuk dapat dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan. Semakin
lama penyimpanan maka kadar air kerupuk akan semakin meningkat. Meskipun
kadar air kerupuk mengalami peningkatan selama penyimpanan, namun kadar air
maksimal pada penyimpanan minggu ke-4 masih berada dibawah batas maksimal
kadar air yang telah ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2713
tahun 1999 dengan batas kadar air maksimal kerupuk sebesar 12 %.
4.2.3.2 Kadar abu
Abu adalah sisa yang tertinggal bila suatu bahan makanan dibakar dengan
sempurna didalam suatu tungku pengabuan. Kadar abu menggambarkan
banyaknya mineral yang tidak dapat terbakar dari zat yang dapat menguap
(Sediaoetama 1996). Hasil analisis kadar abu menunjukkan bahwa kerupuk
kontrol memiliki kadar abu selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan ke-4
berturut-turut adalah sebesar 1,27 %, 1,26 % dan 1,24 % sedangkan kerupuk ikan
sapu-sapu memiliki kadar abu selama penyimpanan minggu ke-0, ke-2 dan ke-4
berturut-turut adalah sebesar 1,32 %, 1,35 %dan 1,39 %.
Dari data tersebut diketahui bahwa penambahan daging ikan sapu-sapu
32,36 % pada pembuatan kerupuk dapat meningkatkan kadar abu kerupuk yang
dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan karena kadar abu yang terdapat pada daging
ikan sapu-sapu sebesar 1,07 % lebih besar dibandingkan dengan kadar abu tepung
tapioka 0,3 % (Anonim 1995 diacu dalam Susilo 2001). Kandungan abu yang
lebih besar pada daging ikan sapu-sapu daripada kandungan abu yang dimiliki
tepung tapioka tersebut menyebabkan kadar abu kerupuk ikan lebih besar. Hasil
analisis kadar abu kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 20.
1.35
1.39
1.241.261.27
1.32
1.15
1.20
1.25
1.30
1.35
1.40
1.45
M0 M2 M4
Pe nyim panan (m inggu)
Nil
ai
rata
-ra
ta k
ad
ar
ab
u (
%)
0%
32,36 %
Gambar 20. Histogram nilai rata-rata kadar abu kerupuk selama penyimpanan
Histogram menunjukkan bahwa kadar abu kerupuk ikan sapu-sapu
mengalami kenaikan selama penyimpanan, sedangkan kadar abu kerupuk kontrol
mengalami penurunan selama penyimpanan. Peningkatan dan penurunan kadar
abu kerupuk selama penyimpanan ini sangat kecil sekali. Adanya peningkatan
dan penurunan kadar abu dapat disebabkan oleh pengadukan yang kurang kalis
pada saat pengadonan sehingga adonan yang dihasilkan tidak homogen. Kadar
abu kerupuk yang dihasilkan tidak memenuhi syarat maksimal kadar abu yang
telah ditetapkan oleh SNI 01-2713 tahun 1999 yang menetapkan kadar abu
maksimal untuk kerupuk ikan sebesar 1 %.
4.2.3.3 Kadar lemak
Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga
kekebalan dan kesehatan tubuh manusia. Hasil analisis menunjukkan bahwa
kadar lemak kerupuk kontrol selama penyimpanan minggu ke-0, ke-2 dan ke-4
berturut-turut sebesar 1,47, 1,50 dan 1,47. Sedangkan kadar lemak kerupuk ikan
dari minggu ke-0, ke-2 dan ke-4 berturut-turut sebesar 1,49,1,50 dan 1,51. Hasil
analisis kadar lemak dapat dilihat pada Gambar 21.
1.47
1.50
1.47
1.51
1.49 1.49
1.451.46
1.471.481.491.501.51
1.52
M0 M2 M4
Penyimpanan (minggu)
Nila
i rat
a-ra
ta k
adar
lem
ak
0%
32,36 %
Gambar 21. Histogram nilai rata-rata kadar lemak kerupuk selama penyimpanan
Histogram menunjukkan bahwa penambahan daging ikan sapu-sapu dapat
meningkatkan kadar lemak kerupuk mentah yang dihasilkan meskipun
perbedaanya sangat kecil. Hal ini dapat dilihat pada gambar bahwa kerupuk
dengan penambahan daging ikan sapu-sapu memiliki kadar lemak yang lebih
besar daripada kerupuk kontrol. Tingginya kadar lemak pada kerupuk ikan sapu-
sapu ini diduga karena daging ikan sapu-sapu memiliki kandungan lemak yang
lebih besar (1,02 %) daripada kandungan lemak yang terdapat pada tepung
tapioka (0,3 %).
Kadar lemak kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu
mengalami kenaikan selama penyimpanan, sedangkan kadar lemak kerupuk
kontrol mengalami kenaikan pada minggu ke-2 kemudian mengalami penurunan
pada minggu ke-4. Adanya peningkatan dan penurunan kadar lemak pada
kerupuk diduga disebabkan oleh kandungan air yang mengalami perubahan.
Menurut Suzuki (1981), semakin tinggi kadar air, maka kandungan lemaknya
akan semakin rendah. Selain itu juga dapat disebabkan oleh pengadukan yang
kurang kalis pada saat pengadonan sehingga menyebabkan adonan tidak
homogen. Peningkatan dan penurunan kadar lemak kerupuk selama penyimpanan
ini sangat kecil sekali. Kadar lemak kerupuk yang dihasilkan tidak memenuhi
syarat maksimal kadar lemak yang telah ditetapkan oleh SNI 01-2713 tahun 1999
yang menetapkan kadar lemak maksimal untuk kerupuk ikan sebesar 0,8 %.
4.2.3.4 Kadar protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang paling penting bagi tubuh
karena berfungsi sebagai zat pengatur dan pembangun, selain itu protein juga
berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh. Kadar protein dalam makanan
merupakan suatu faktor yang dapat dijadikan bahan pertimbangan tersendiri bagi
konsumen.
Hasil analisis kadar protein menunjukkan bahwa kerupuk ikan sapu-sapu
memiliki kadar protein yang jauh lebih besar dari pada kerupuk kontrol. Kadar
protein kerupuk ikan sapu-sapu selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan
ke-4 berturut-turut sebesar 6,60 %, 6,44 %, dan 6,41 % sedangkan kadar protein
kerupuk kontrol pada penyimpanan minggu ke-0, ke-2 dan ke-4 berturut-turut
adalah sebesar 2,13 %, 2,21 %, 2,36 %. Nilai rata-rata kadar protein dapat dilihat
pada Gambar 22.
6.60 6.44 6.41
2.362.212.13
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
M0 M2 M4
Pe nyim panan (m ing gu)
Nila
i rat
a-ra
ta k
adar
pro
tein
(%
)
0%
32,36 %
Gambar 22. Histogram nilai rata-rata kadar protein kerupuk selama penyimpanan
Histogram diatas menunjukkan bahwa kerupuk dengan penambahan
daging ikan sapu-sapu memiliki kadar protein yang lebih besar dibandingkan
dengan kerupuk kontrol. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan protein pada
ikan lebih besar daripada tepung tapioka sehingga sumber protein bertambah dari
ikan sapu-sapu yang ditambahkan ke dalam produk. Kadar protein kerupuk ikan
sapu-sapu mengalami penurunan selama penyimpanan. Hal ini dapat disebabkan
karena adanya proses denaturasi protein pada kerupuk ikan. Menurut Winarno
(1997), denaturasi protein dapat terjadi akibat adanya panas, pH, bahan kimia,
mekanik, dan lain sebagainya. Masing-masing cara tersebut mempunyai pengaruh
yang berbeda-beda terhadap denaturasi protein. Kenaikan yang terjadi pada kadar
protein kerupuk kontrol ini sangat kecil sekali, sehingga kadar protein tersebut
dapat diasumsikan tetap. Adanya perubahan kadar protein juga dapat disebabkan
karena proses pengadukan yang kurang kalis pada saat pembuatan adonan
sehingga adonan yang dihasilkan tidak homogen. Penyimpanan kerupuk mentah
selama 4 minggu pada suhu ruang ini tidak memberikan pengaruh yang besar
terhadap kadar protein yang dikandungnya karena kenaikan atau penurunan yang
terjadi pada kadar protein kerupuk sangat kecil.
Standar Nasional Indonesia (01-2713-1999) menetapkan kadar protein
minimum untuk kerupuk ikan sebesar 6 %. Kerupuk ikan sapu-sapu yang
dihasilkan pada penelitian ini memiliki kadar protein diatas 6 % meskipun telah
terjadi penyimpanan selama 4 minggu. Hal ini berarti bahwa kerupuk ikan sapu-
sapu yang dihasilkan masih memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Standar
Nasional Indonesia.
4.2.3.5 Kadar karbohidrat
Kadar karbohidrat ditentukan dari hasil pengurangan 100 % dengan kadar
air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein (by difference) sehingga kadar
karbohidrat sangat tergantung dari faktor pengurangannya (Winarno 1997).
Kadar karbohidrat kerupuk kontrol selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2
dan ke-4 berturut-turut sebesar 87,94 %, 87,15 % dan 86,33 % sedangkan kadar
karbohidrat kerupuk ikan selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan ke-4
berturut-turut sebesar 82,93 %, 82,75% dan 82,40 %. kadar karbohidrat kerupuk
kontrol jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar karbohidrat kerupuk ikan
sapu-sapu.
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa penambahan daging ikan
sapu-sapu dapat menurunkan kadar karbohidrat kerupuk mentah yang dihasilkan.
Hal ini diduga karena kandungan karbohidrat yang terdapat pada daging ikan
sapu-sapu sebesar 2,54 % sedangkan kandungan karbohidrat tepung tapioka
sebesar 86,9 % sehingga menyebabkan kadar karbohidrat kerupuk ikan sapu-sapu
lebih kecil daripada kerupuk kontrol. Hasil analisis kadar karbohidrat dapat
dilihat pada Gambar 23.
86.3387.15
87.94
82.4082.7582.94
79.0080.0081.0082.0083.0084.0085.0086.0087.0088.0089.00
M0 M2 M4
Pe nyim panan (m inggu)
Nil
ai r
ata-
rata
ka
da
r k
arb
oh
idra
t (%
)
0%
32,36 %
Gambar 23. Histogram nilai rata-rata kadar karbohidrat kerupuk
selama penyimpanan
Dari histogram diatas dapat dilihat bahwa kadar karbohidrat baik pada
kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu maupun kerupuk kontrol
mengalami penurunan selama penyimpanan 4 minggu. Namun penurunan kadar
karbohidrat kerupuk selama penyimpanan ini sangat kecil sekali. Adanya
penurunan kadar karbohidrat kerupuk dapat disebabkan oleh adanya peningkatan
dan penurunan kandungan gizi lain selama penyimpanan karena kadar karbohidrat
sangat tergantung dari faktor pengurangannya (Winarno 1997).
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Rendemen daging ikan sapu-sapu yang diperoleh adalah sebesar 26,06 %
dengan komposisi kimia: kadar air (81,89 %), abu (1,07 %), lemak (1,02 %),
protein (13,48 %) dan karbohidrat (2,54 %). Panelis lebih menyukai kerupuk
dengan konsentrasi 32,36 % pada uji sensori. Volume pengembangan tertinggi
terdapat pada kerupuk kontrol sebesar 328,67 %, dan volume pengembangan
terendah yaitu kerupuk ikan dengan konsentrasi 32,36 % sebesar 185,00 %.
Selama penyimpanan terjadi penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap
penampakan, warna, aroma, rasa dan kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu.
Sedangkan sifat fisik kerupuk ikan sapu-sapu dari minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3
dan ke-4 berturut-turut adalah sebagai berikut: tingkat kekerasan (1,95; 1,85; 1,8;
1,65 dan 1,78), derajat putih (21,18 %, 21,55 %, 20,51 %, 21,10 % dan 20,64 %),
volume pengembangan (211,69 %, 185,96 %, 203,83 %, 192,74 % dan
203,29 %). Sedangkan aktivitas air (0,559; 0,565; 0,570; 0,575; 0,580). Hasil
pengamatan kapang secara visual, tidak ditemukan adanya pertumbuhan kapang.
Sedangkan
Analisis proksimat kerupuk ikan sapu-sapu menunjukkan adanya
peningkatan kadar air, kadar abu dan kadar lemak selama penyimpanan pada
minggu ke-0, ke-2 dan ke-4, masing-masing: kadar air (7,66%, 7,97 %, 8,29%),
kadar abu (1,32 %, 1,35 %, 1,39 %) dan kadar lemak (1,49 %, 1,49 %, 1,51 %).
Sedangkan kadar protein dan karbohidrat mengalami penurunan selama
penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan ke-4 adalah : kadar protein (6,60 %,
6,44 %, 6,41%) dan karbohidrat (82,93 %, 82,75 %, 82,40 %).
5.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan teknik pengambilan daging ikan sapu-sapu yang lebih praktis
dan efektif untuk memperoleh rendemen yang lebih besar dan waktu yang
cukup singkat tanpa menurunkan nilai gizi yang terkandung pada ikan sapu-
sapu tersebut.
2. Perlu dilakukan analisis kandungan merkuri pada ikan sapu-sapu untuk
melihat aman atau tidaknya ikan sapu-sapu tersebut untuk dikonsumsi.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh dari masing-masing
konsentrasi daging ikan sapu-sapu yang digunakan terhadap sifat fisik
kerupuk ikan sapu-sapu.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai umur simpan kerupuk ikan
sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dengan menggunakan metode akselerasi.
DAFTAR PUSTAKA
Amelia A. 2000. Kajian pengemasan kerupuk mentah siap goreng selama penyimpanan [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB.
Arsyad H. 1990. Penuntun Pengolahan Ikan (Suatu Rangkuman). Jakarta: PD. Mahkota.
Banwart GJ. 1983. Basic Food Microbiology. Westport, Connecticut: The AVI Publishing Company., Inc. London.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1985. Ilmu Pangan. Purnomo, A, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food Science.
Chaidir A. 2001. Pengaruh pencucian daging lumat (minced fish) ikan sapu-sapu (Hypostosmus sp) terhadap kualitas minced fish dalam pembuatan bakso ikan [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Dahuri R. 2004. Konsumsi ikan meningkat dalam tiga tahun terakhir. [tempo]. http://www.tempointeraktif.com. [17 Maret 2005]
Damayanti E, Mudjajanto ES. 1995. Teknologi Makanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Menengah. Jakarta: Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Peningkatan Pendidikan dan Kejuruan Non Teknik II.
Djumali ZN, Sailah F, Ma’arif MS. 1982. Teknologi Kerupuk. Buku Pegangan Petugas Lapang Penyebarluasan Teknologi Sistem Padat Karya. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Erawaty WR. 2001. Pengaruh bahan pengikat, waktu penggorengan dan daya simpan terhadap sifat fisik dan organoleptik produk nugget ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Harris RS, Karnas E. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pada Bahan Pangan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Hariyadi P. 1989. Mempelajari kinetika gelatinisasi pati sagu. [karya ilmiah]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Hlm. 27-181.
Kottelat M., Whitten AJ, Kartikasari SN, Wiroatmadja S. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Jerman: Periplus Edition. 377 hal.
Lavlinesia. 1995. Kajian beberapa faktor pengembangan volumetrik dan kerenyahan kerupuk ikan [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lestari DS. 2002. Pengaruh lama penyimpanan daging rajungan (Portunus pelagicus) rebus pada suhu kamar. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Lund DB. 1989. Pengaruh pengolahan panas terhadap zat gizi. Dalam Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Editor: E. Karmas dan R.S Harris. Penerjemah S. Akhmadi. Bandung: Penerbit ITB.
Mahdiah E. 2002. Pengaruh penambahan bahan pengikat terhadap karakteristik fisik otak-otak ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi TR. 1989. Teknologi Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Nurhayati T. 1994. Pengaruh asam dan bleaching terhadap mutu tepung ikan (fish flour) [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Palungkun R, Budiarti A. 1992. Bawang Putih Dataran Rendah. Jakarta: Penebar Swadaya.
Purnomo AH, Choliq A. 1987. Study Tentang Daya Kembang Kerupuk Ikan. [catatan penelitian]. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 43:45-50.
Prihardhyanto A. 1995. Beberapa Aspek Biologi Ikan Sapu-sapu (Hypostosmus sp dan Hyposarcus pardalis), Suatu Tinjauan Ringkas. Depok: Fakultas Matematika dan IPA, Universitas Indonesia. 17 hal.
Rahayu YS. 2004. Kondisi Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP), perbaikan mutu, dan penyimpanan kerupuk [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Ranganna. 1986. Handbook of Analysis and Quality Control for Fruit and Vegetables Product. Westport, Connecticut: The AVI Publishing Company.
Saccharow RS, Griffin RC. 1984. Principles of Food Packaging (2nd edition). AVI Publ.Co. Westport, connecticut.
Siaw CL, Idrus AZ, Yu SY. 1985. Intermediate technology for fish crecker (keropok) production. J.Food Technology. 20: 17-21.
Soediaoetama. 1996. Kimia Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Somaatmadja D. 1976. Kimia Pangan. Bogor: Biro Penataran. Institut Pertanian Bogor.
[SNI] Standar Nasional Indonesia 01-2713. 1999. Kerupuk Ikan. Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta: Departemen Perindustrian.
01-2713. 1992. Kerupuk Ikan. Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta: Departemen Perindustrian.
Stansby ME, Olcott. 1963. Compotition of Fish. Di dalam: M.E. Stansby dan J.A. Dassow. Editor. Industrial Fisheries Technology. New York: Reinhold Publ. Co.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Susilo H. 2001. Pembuatan kerupuk kerang hijau (Mytilus viridis L.) menggunakan telur itik sebagai bahan tambahan [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Susanto DA. 2004. Pleco, Sapu-sapu Hias Eksotis. Jakarta: Penebar Swadaya. 72 hal.
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein : Processing Technology. Aplied Science Publisher Ltd., London. 260 p.
Syarief R, Santausa S, Isyana St B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Buku dan Monograf. Bogor: Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. 604 hal.
Syarief R, Halid H. 1983. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta: Penerbit Arcana.
Tahir. 1985. Mempelajari pembuatan dan karakteristik kerupuk dari tepung sagu (Metroxylon sagu R.) [tesis]. Ujung Pandang: Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas Hasanudin.
Widowati T. 1987. Pembuatan kerupuk kimpul [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi , Institut Pertanian Bogor.
Wijandi S, Jatmiko B, Haryadi Y, Muchtadi D, Setiharjatini, Syarif H, Krisupiyanti. 1975. Industri Pengrajin Kerupuk di Sidoarjo, Jawa Timur. Kerjasama Direktorat Aneka Industri dan Kerajinan dengan IPB. Bogor.
Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia.
Winarno FG. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
1997. Naskah Akademis Keamanan Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Wiriano H. 1984. Mekanisasi dan Teknologi Pembuatan Kerupuk. Balai Besar Industri Hasil Pertanian. Bogor: Departemen Perindustrian.
Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov C, Makarova T, Minder L, Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Uni Sovyet: Mir Publisher Moscow.
Zulviani R. 1992. Pengaruh berbagai tingkat suhu penggorengan terhadap pola pengembangan kerupuk sagu goreng [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Contoh format uji sensori
UJI SENSORI SKALA HEDONIK
Nama Panelis :
Tanggal Pengujian :
Jenis Produk : Kerupuk Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
Instruksi : Nyatakan penilaian anda sesuai kolom ini
Kode Parameter A0 A1 A2 A3 A4 A5
Penampakan
Warna
Aroma
Rasa
Kerenyahan
Keterangan:
7 = Sangat suka 3 = Agak tidak suka
6 = Suka 2 = Tidak suka
5 = Agak suka 1 = Sangat tidak suka
4 = Netral
Keterangan kode:
A0 = kerupuk tanpa penambahan daging ikan sapu-sapu
A1 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 6,47 %
A2 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 12,94 %
A3 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 19,42 %
A4 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 25,89 %
A5 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 32,36 %
Lampiran 2a. Data uji sensori terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan
No A0 A1 A2 A3 A4 A5 No A0 A1 A2 A3 A4 A5 1 6 6 6 6 6 6 16 5 5 6 7 7 7 2 5 6 5 7 7 6 17 6 6 5 7 7 7 3 4 5 5 6 6 7 18 4 3 7 6 7 7 4 4 6 6 6 6 6 19 6 5 6 6 5 6 5 5 6 6 6 6 7 20 6 5 5 6 7 6 6 7 6 6 6 7 7 21 7 7 6 7 7 7 7 5 3 3 6 4 6 22 2 3 7 7 7 7 8 6 6 6 6 7 6 23 7 6 6 7 6 5 9 6 4 4 6 7 7 24 7 6 6 7 7 7
10 6 6 6 6 6 6 25 4 5 5 7 6 7 11 5 6 3 5 7 6 26 4 4 6 6 7 6 12 6 6 5 7 7 7 27 7 6 7 6 7 6 13 5 6 6 6 6 6 28 5 6 5 7 7 7 14 6 5 5 6 7 6 29 5 6 5 7 5 7 15 5 6 5 6 6 6 30 5 5 5 6 6 7
Lampiran 2b. Data uji sensori terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian tahap awal
No A0 A1 A2 A3 A4 A5 No A0 A1 A2 A3 A4 A5 1 6 5 6 7 6 7 16 6 6 6 6 6 6 2 7 6 7 7 7 7 17 6 4 4 6 6 7 3 6 5 7 5 5 5 18 6 5 6 6 7 6 4 3 2 3 7 7 7 19 5 4 4 5 6 6 5 7 6 7 7 7 7 20 6 6 6 6 6 7 6 6 5 5 7 7 6 21 6 5 5 6 6 6 7 6 5 4 6 5 6 22 6 5 5 6 6 6 8 4 4 4 4 4 7 23 6 5 6 5 6 6 9 6 6 5 7 7 7 24 6 6 6 6 6 6
10 5 6 6 7 7 7 25 7 6 3 7 7 6 11 5 5 5 5 6 6 26 4 4 5 6 7 6 12 6 5 5 6 7 6 27 6 5 6 6 6 6 13 6 5 3 5 5 6 28 5 5 4 7 7 7 14 5 6 4 4 5 5 29 5 5 3 7 6 6 15 5 6 4 6 7 7 30 5 5 5 7 6 7
Keterangan kode:
A0 = kerupuk tanpa penambahan daging ikan sapu-sapu (0 %)
A1 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 6,47 %
A2 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 12,94 %
A3 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 19,42 %
A4 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 25,89 %
A5 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 32,36 %
Lampiran 2c. Data uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan
No A0 A1 A2 A3 A4 A5 No A0 A1 A2 A3 A4 A5 1 3 3 3 7 7 3 16 7 5 6 7 7 7 2 6 7 7 6 6 6 17 6 5 6 5 7 6 3 6 6 5 5 6 6 18 5 5 4 3 5 3 4 6 5 5 6 6 7 19 6 6 5 6 6 6 5 6 5 5 6 6 7 20 7 5 5 6 6 6 6 6 6 5 6 7 6 21 6 6 7 6 6 7 7 6 4 4 4 3 6 22 4 2 3 6 6 7 8 6 5 6 5 5 5 23 5 4 4 6 4 6 9 6 5 5 5 6 6 24 7 6 6 7 7 7
10 4 4 4 4 4 4 25 5 5 5 7 6 7 11 4 6 5 5 7 6 26 5 4 5 6 7 6 12 5 4 6 5 4 4 27 4 4 5 6 6 5 13 6 6 3 5 5 6 28 5 5 5 6 5 6 14 5 6 6 6 6 7 29 4 6 5 4 4 6 15 5 5 5 6 6 6 30 3 5 5 6 6 7
Lampiran 2d. Data uji sensori terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan
No A0 A1 A2 A3 A4 A5 No A0 A1 A2 A3 A4 A5 1 4 5 5 7 6 7 16 6 6 6 5 5 6 2 7 6 6 7 6 7 17 6 5 5 5 7 7 3 6 6 6 4 7 4 18 7 6 6 6 5 6 4 3 3 7 7 6 7 19 6 4 4 4 4 5 5 6 6 6 7 7 7 20 6 6 6 6 7 7 6 5 5 5 6 6 6 21 5 5 5 6 6 6 7 6 6 6 6 6 6 22 5 5 6 6 6 7 8 4 7 6 7 3 7 23 5 6 5 6 6 6 9 6 5 6 5 7 6 24 6 7 6 5 7 7
10 5 5 5 7 6 7 25 5 6 6 6 6 6 11 6 6 5 6 6 7 26 5 4 6 6 7 6 12 6 4 4 6 6 7 27 6 6 6 6 7 6 13 6 6 4 5 5 6 28 5 6 7 6 6 7 14 5 6 6 5 5 5 29 5 7 6 6 3 5 15 4 5 4 5 7 6 30 6 6 6 7 6 7
Keterangan kode:
A0 = kerupuk tanpa penambahan daging ikan sapu-sapu
A1 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 6,47 %
A2 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 12,94 %
A3 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 19,42 %
A4 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 25,89 %
A5 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 32,36 %
Lampiran 2e. Data uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan
No A0 A1 A2 A3 A4 A5 No A0 A1 A2 A3 A4 A5 1 6 6 6 6 6 6 16 6 7 7 7 7 7 2 7 7 7 7 7 7 17 6 6 6 6 7 6 3 6 5 5 6 5 6 18 6 7 7 7 6 7 4 6 5 5 6 6 7 19 7 6 6 6 6 6 5 6 6 6 6 6 6 20 6 6 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7 7 21 7 7 7 6 7 7 7 7 7 7 7 6 6 22 7 7 7 7 7 7 8 7 7 6 6 7 4 23 7 7 7 6 6 7 9 6 5 6 6 5 5 24 7 7 7 7 7 6
10 6 6 6 6 5 5 25 7 7 6 6 6 6 11 6 6 6 5 6 5 26 6 6 6 6 7 6 12 6 6 5 7 7 7 27 7 6 7 7 6 6 13 6 6 6 5 6 6 28 7 7 7 6 6 6 14 7 6 6 7 5 6 29 6 7 7 6 6 5 15 7 6 5 6 7 6 30 6 6 6 6 6 7
Lampiran 3. Hasil uji Kruskal Wallis tingkat kesukaan terhadap kerupuk
ikan pada penelitian pendahuluan
Perlakuan N Mean Rank 0 % 30 58,20 6,47% 30 58,10 12,94% 30 59,87 19,42% 30 97,43 25,89% 30 103,90
Penampakan
Total 150 0 % 30 75,10 6,47% 30 53,88 12,94% 30 53,38 19,42% 30 94,72 25,89% 30 100,42
Warna
Total 150 0 % 30 74,72 6,47% 30 62,50 12,94% 30 61,10 19,42% 30 86,63 25,89% 30 92,55
Aroma
Total 150 0 % 30 64,52 6,47% 30 69,80 12,94% 30 70,30 19,42% 30 83,68 25,89% 30 89,20
Rasa
Total 150 0 % 30 83,97 6,47% 30 77,18 12,94% 30 73,40 19,42% 30 71,83 25,89% 30 71,12
Kerenyahan
Total 150
Test Statistics(a,b) Penampakan Warna Aroma Rasa Kerenyahan Chi-Square 38,247 33,936 13,760 8,019 2,217 df 4 4 4 4 4 Asymp. Sig. ,000 ,000 ,008 ,091 ,696 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Penampakan
Ket : Asymp. Sig < 0.05 = berbeda nyata
Lampiran 4a. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap penampakan
kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
95% Confidence Interval Dependent
Variable (I)
Penampakan (J)
Penampakan Mean
Difference (I-J) Std.
Error Sig. Lower Bound
Upper Bound
6,47% ,00 ,226 1,000 -,65 ,65 12,94% -,10 ,226 ,998 -,75 ,55 19,42% -,97(*) ,226 ,000 -1,62 -,32 25,89% -1,07(*) ,226 ,000 -1,72 -,42
0 %
32,36% -1,10(*) ,226 ,000 -1,75 -,45 0 % ,00 ,226 1,000 -,65 ,65 12,94% -,10 ,226 ,998 -,75 ,55 19,42% -,97(*) ,226 ,000 -1,62 -,32 25,89% -1,07(*) ,226 ,000 -1,72 -,42
6,47 %
32,36% -1,10(*) ,226 ,000 -1,75 -,45 0 % ,10 ,226 ,998 -,55 ,75 6,47% ,10 ,226 ,998 -,55 ,75 19,42% -,87(*) ,226 ,002 -1,52 -,22 25,89% -,97(*) ,226 ,000 -1,62 -,32
12,94 %
32,36% -1,00(*) ,226 ,000 -1,65 -,35 0 % ,97(*) ,226 ,000 ,32 1,62 6,47% ,97(*) ,226 ,000 ,32 1,62 12,94% ,87(*) ,226 ,002 ,22 1,52 25,89% -,10 ,226 ,998 -,75 ,55
19,42 %
32,36% -,13 ,226 ,992 -,78 ,52 0 % 1,07(*) ,226 ,000 ,42 1,72 6,47% 1,07(*) ,226 ,000 ,42 1,72 12,94% ,97(*) ,226 ,000 ,32 1,62 19,42% ,10 ,226 ,998 -,55 ,75
25,89 %
32,36% -,03 ,226 1,000 -,68 ,62 0 % 1,10(*) ,226 ,000 ,45 1,75 6,47% 1,10(*) ,226 ,000 ,45 1,75 12,94% 1,00(*) ,226 ,000 ,35 1,65 19,42% ,13 ,226 ,992 -,52 ,78
Penampakan
32,36 %
25,89% ,03 ,226 1,000 -,62 ,68
Lampiran 4b. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
95% Confidence
Interval Dependent Variable
(I) Penampakan
(J) Penampakan
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
Lower Bound
Upper Bound
6,47% ,50 ,233 ,271 -,17 1,17 12,94% ,63 ,233 ,078 -,04 1,31 19,42% -,47 ,233 ,347 -1,14 ,21 25,89% -,60 ,233 ,110 -1,27 ,07
0 %
32,36% -,73(*) ,233 ,024 -1,41 -,06 0 % -,50 ,233 ,271 -1,17 ,17 12,94% ,13 ,233 ,993 -,54 ,81 19,42% -,97(*) ,233 ,001 -1,64 -,29 25,89% -1,10(*) ,233 ,000 -1,77 -,43
6,47 %
32,36% -1,23(*) ,233 ,000 -1,91 -,56 0 % -,63 ,233 ,078 -1,31 ,04 6,47% -,13 ,233 ,993 -,81 ,54 19,42% -1,10(*) ,233 ,000 -1,77 -,43 25,89% -1,23(*) ,233 ,000 -1,91 -,56
12,94 %
32,36% -1,37(*) ,233 ,000 -2,04 -,69 0 % ,47 ,233 ,347 -,21 1,14 6,47% ,97(*) ,233 ,001 ,29 1,64 12,94% 1,10(*) ,233 ,000 ,43 1,77 25,89% -,13 ,233 ,993 -,81 ,54
19,42 %
32,36% -,27 ,233 ,863 -,94 ,41 0 % ,60 ,233 ,110 -,07 1,27 6,47% 1,10(*) ,233 ,000 ,43 1,77 12,94% 1,23(*) ,233 ,000 ,56 1,91 19,42% ,13 ,233 ,993 -,54 ,81
25,89 %
32,36% -,13 ,233 ,993 -,81 ,54 0 % ,73(*) ,233 ,024 ,06 1,41 6,47% 1,23(*) ,233 ,000 ,56 1,91 12,94% 1,37(*) ,233 ,000 ,69 2,04 19,42% ,27 ,233 ,863 -,41 ,94
Warna
32,36 %
25,89% ,13 ,233 ,993 -,54 ,81
Lampiran 4c. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
95%
Confidence Interval Dependent
Variable (I)
Penampakan (J)
Penampakan
Mean Difference
(I-J)
Std. Error Sig.
Lower Bound
Upper Bound
6,47% ,30 ,273 ,881 -,49 1,09 12,94% ,30 ,273 ,881 -,49 1,09 19,42% -,30 ,273 ,881 -1,09 ,49 25,89% -,43 ,273 ,607 -1,22 ,35
0 %
32,36% -,60 ,273 ,243 -1,39 ,19 0 % -,30 ,273 ,881 -1,09 ,49 12,94% ,00 ,273 1,000 -,79 ,79 19,42% -,60 ,273 ,243 -1,39 ,19 25,89% -,73 ,273 ,083 -1,52 ,05
6,47 %
32,36% -,90(*) ,273 ,015 -1,69 -,11 0 %l -,30 ,273 ,881 -1,09 ,49 6,47% ,00 ,273 1,000 -,79 ,79 19,42% -,60 ,273 ,243 -1,39 ,19 25,89% -,73 ,273 ,083 -1,52 ,05
12,94 %
32,36% -,90(*) ,273 ,015 -1,69 -,11 0 % ,30 ,273 ,881 -,49 1,09 6,47% ,60 ,273 ,243 -,19 1,39 12,94% ,60 ,273 ,243 -,19 1,39 25,89% -,13 ,273 ,997 -,92 ,65
19,42 %
32,36% -,30 ,273 ,881 -1,09 ,49 0 % ,43 ,273 ,607 -,35 1,22 6,47% ,73 ,273 ,083 -,05 1,52 12,94% ,73 ,273 ,083 -,05 1,52 19,42% ,13 ,273 ,997 -,65 ,92
25,89 %
32,36% -,17 ,273 ,990 -,95 ,62 0 % ,60 ,273 ,243 -,19 1,39 6,47% ,90(*) ,273 ,015 ,11 1,69 12,94% ,90(*) ,273 ,015 ,11 1,69 19,42% ,30 ,273 ,881 -,49 1,09
Aroma
32,36 %
25,89% ,17 ,273 ,990 -,62 ,95
Lampiran 4d. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
95% Confidence
Interval Dependent Variable
(I) Penampakan
(J) Penampakan
Mean Difference (I-J)
Std. Error Sig.
Lower Bound
Upper Bound
6,47% -,10 ,234 ,998 -,77 ,57 12,94% -,13 ,234 ,993 -,81 ,54 19,42% -,43 ,234 ,434 -1,11 ,24 25,89% -,47 ,234 ,349 -1,14 ,21
0 %
32,36% -,87(*) ,234 ,004 -1,54 -,19 0 % ,10 ,234 ,998 -,57 ,77 12,94% -,03 ,234 1,000 -,71 ,64 19,42% -,33 ,234 ,711 -1,01 ,34 25,89% -,37 ,234 ,620 -1,04 ,31
6,47%
32,36% -,77(*) ,234 ,016 -1,44 -,09 0 % ,13 ,234 ,993 -,54 ,81 6,47% ,03 ,234 1,000 -,64 ,71 19,42% -,30 ,234 ,794 -,97 ,37 25,89% -,33 ,234 ,711 -1,01 ,34
12,94%
32,36% -,73(*) ,234 ,024 -1,41 -,06 0 % ,43 ,234 ,434 -,24 1,11 6,47% ,33 ,234 ,711 -,34 1,01 12,94% ,30 ,234 ,794 -,37 ,97 25,89% -,03 ,234 1,000 -,71 ,64
19,42%
32,36% -,43 ,234 ,434 -1,11 ,24 0 % ,47 ,234 ,349 -,21 1,14 6,47% ,37 ,234 ,620 -,31 1,04 12,94% ,33 ,234 ,711 -,34 1,01 19,42% ,03 ,234 1,000 -,64 ,71
25,89%
32,36% -,40 ,234 ,526 -1,07 ,27 0 % ,87(*) ,234 ,004 ,19 1,54 6,47% ,77(*) ,234 ,016 ,09 1,44 12,94% ,73(*) ,234 ,024 ,06 1,41 19,42% ,43 ,234 ,434 -,24 1,11
Rasa
32,36%
25,89% ,40 ,234 ,526 -,27 1,07
Lampiran 5a. Hasil uji volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu
konsentrasi (%) ulangan 0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36
1 330 305 295 255 225 175 2 340 295 270 242 230 183 3 316 295 286 230 197 197
Rata-rata 328,67 298,33 283,67 242,33 217,33 185,00 Lampiran 5b. Hasil analisis ragam volume pengembangan kerupuk ikan
sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
ANOVA Sumber keragaman SS db MS Fhitung Ftabel
Konsentrasi 43495,78 5 8699,156 55,78368* 3,105875 Sisa 1871,333 12 155,9444 Total 45367,11 17 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata
Lampiran 6a. Data uji sensori terhadap penampakan kerupuk selama penyimpanan
Minggu ke-0 Minggu ke-1 No 0 % 32,36% No 0 % 32,36% No 0 % 32,36% No 0% 32,36% 1 7 6 16 7 6 1 7 6 16 6 5 2 4 4 17 6 7 2 4 4 17 6 7 3 7 5 18 7 6 3 7 5 18 7 6 4 7 7 19 6 5 4 7 7 19 6 5 5 6 6 20 6 6 5 6 6 20 6 5 6 7 7 21 6 7 6 7 6 21 6 7 7 7 6 22 6 5 7 6 7 22 6 5 8 6 7 23 6 5 8 6 7 23 6 5 9 6 6 24 6 7 9 6 6 24 7 3 10 5 5 25 6 6 10 5 5 25 6 6 11 5 6 26 7 7 11 6 5 26 6 7 12 5 6 27 7 6 12 5 6 27 7 6 13 7 6 28 6 6 13 7 6 28 6 6 14 6 5 29 6 5 14 6 5 29 6 5 15 6 6 30 6 6 15 6 6 30 6 6
Minggu ke-2 Minggu ke-3
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 7 4 16 7 6 1 7 4 16 7 5 2 4 4 17 5 7 2 4 4 17 5 6 3 7 5 18 7 6 3 7 5 18 6 6 4 7 6 19 6 6 4 7 6 19 6 6 5 6 6 20 6 5 5 6 6 20 6 5 6 7 6 21 6 7 6 6 6 21 6 7 7 6 7 22 7 6 7 6 7 22 7 5 8 5 6 23 6 5 8 5 5 23 6 5 9 6 6 24 6 5 9 6 6 24 7 6
10 5 5 25 6 6 10 5 5 25 6 6 11 6 5 26 7 6 11 6 5 26 6 3 12 5 6 27 7 5 12 5 6 27 7 5 13 7 5 28 6 5 13 6 5 28 6 6 14 7 5 29 5 5 14 7 5 29 6 5 15 6 6 30 6 6 15 6 6 30 6 6
Minggu ke-4
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 7 4 11 5 6 21 6 7 2 4 4 12 5 6 22 6 6 3 7 5 13 5 4 23 6 5 4 6 6 14 7 5 24 7 7 5 6 5 15 6 6 25 6 5 6 6 5 16 7 6 26 6 3 7 7 6 17 5 6 27 7 5 8 5 5 18 6 5 28 6 3 9 6 7 19 6 6 29 6 5 10 3 3 20 6 5 30 6 4
Lampiran 6b. Data uji sensori terhadap warna kerupuk selama penyimpanan
Minggu ke-0 Minggu ke-1
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 7 6 16 7 6 1 7 6 16 6 6 2 6 5 17 6 6 2 6 5 17 6 6 3 7 6 18 7 6 3 7 6 18 7 6 4 7 7 19 6 6 4 7 6 19 6 6 5 7 6 20 7 6 5 7 6 20 7 6 6 7 7 21 7 7 6 7 7 21 7 7 7 7 7 22 6 6 7 6 7 22 6 6 8 6 6 23 6 5 8 6 6 23 6 4 9 6 6 24 6 7 9 6 6 24 6 6
10 6 6 25 6 6 10 6 5 25 6 6 11 6 6 26 7 6 11 6 6 26 7 6 12 5 6 27 7 6 12 5 6 27 7 5 13 6 7 28 6 6 13 6 6 28 6 6 14 6 6 29 6 6 14 6 6 29 6 6 15 6 7 30 6 5 15 6 6 30 6 5
Minggu ke-2 Minggu ke-3
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 7 6 16 6 6 1 7 5 16 6 6 2 6 5 17 6 5 2 6 5 17 6 5 3 7 6 18 7 6 3 7 5 18 6 6 4 7 6 19 6 6 4 6 6 19 6 6 5 7 6 20 7 6 5 7 6 20 7 6 6 7 6 21 7 7 6 6 5 21 7 7 7 6 7 22 6 5 7 6 7 22 6 5 8 5 5 23 6 4 8 5 5 23 6 4 9 6 6 24 6 5 9 7 6 24 7 5
10 5 5 25 6 6 10 5 4 25 6 6 11 6 6 26 7 6 11 6 6 26 6 5 12 5 6 27 7 5 12 5 6 27 7 5 13 6 6 28 6 6 13 6 5 28 6 6 14 7 5 29 6 5 14 7 5 29 6 5 15 6 6 30 6 5 15 6 6 30 6 5
Minggu ke-4
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 7 4 11 6 6 21 7 7 2 6 5 12 5 5 22 6 5 3 7 5 13 5 5 23 5 4 4 6 6 14 7 5 24 7 5 5 7 5 15 6 6 25 6 6 6 6 5 16 7 6 26 6 4 7 6 5 17 6 5 27 7 5 8 5 5 18 6 5 28 7 5 9 6 7 19 6 6 29 5 5
10 4 4 20 7 6 30 6 5
Lampiran 6c. Data uji sensori terhadap aroma kerupuk selama penyimpanan
Minggu ke-0 Minggu ke-1
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 5 5 16 6 6 1 5 5 16 5 6 2 6 5 17 7 6 2 6 5 17 7 6 3 6 6 18 6 6 3 6 6 18 6 6 4 7 7 19 6 7 4 7 7 19 6 6 5 4 6 20 6 6 5 4 6 20 4 6 6 7 6 21 6 6 6 6 6 21 6 6 7 6 7 22 5 6 7 6 7 22 4 6 8 6 6 23 5 6 8 6 6 23 5 4 9 6 7 24 6 6 9 6 7 24 4 5
10 6 7 25 6 7 10 6 7 25 6 7 11 5 6 26 6 7 11 5 6 26 6 6 12 6 6 27 6 6 12 6 6 27 6 6 13 5 6 28 6 6 13 5 6 28 6 6 14 5 6 29 6 6 14 5 6 29 6 6 15 6 6 30 6 6 15 6 6 30 6 6
Minggu ke-2 Minggu ke-3
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 5 5 16 6 6 1 5 5 16 6 6 2 5 5 17 6 6 2 4 5 17 6 6 3 6 6 18 6 6 3 6 6 18 5 6 4 6 6 19 6 6 4 6 6 19 6 6 5 4 5 20 4 6 5 4 5 20 4 5 6 6 6 21 6 6 6 5 6 21 6 6 7 6 6 22 4 5 7 6 6 22 5 5 8 5 6 23 5 6 8 5 6 23 4 5 9 6 7 24 6 5 9 6 7 24 4 6
10 5 7 25 6 7 10 4 6 25 6 7 11 6 6 26 5 6 11 5 5 26 5 5 12 6 5 27 6 6 12 6 5 27 6 6 13 5 6 28 5 6 13 5 6 28 6 5 14 5 6 29 5 6 14 6 6 29 6 6 15 5 6 30 5 6 15 5 6 30 5 5
Minggu ke-4
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 5 5 11 6 6 21 6 6 2 4 5 12 5 5 22 5 4 3 6 5 13 5 6 23 5 4 4 6 6 14 6 6 24 6 4 5 4 5 15 5 6 25 6 6 6 4 5 16 6 5 26 5 5 7 6 7 17 6 5 27 6 6 8 5 6 18 5 5 28 5 4 9 6 7 19 6 6 29 5 6
10 4 6 20 4 4 30 5 5
Lampiran 6d. Data uji sensori terhadap rasa kerupuk selama penyimpanan
Minggu ke-0 Minggu ke-1 No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 6 6 16 7 7 1 6 6 16 7 7 2 6 6 17 7 7 2 6 6 17 7 7 3 6 7 18 6 7 3 6 7 18 6 7 4 7 7 19 6 7 4 7 7 19 6 7 5 5 6 20 7 7 5 5 6 20 7 7 6 7 7 21 6 7 6 6 7 21 6 7 7 7 7 22 6 7 7 6 7 22 6 7 8 7 6 23 7 6 8 7 6 23 7 6 9 7 7 24 6 7 9 7 7 24 6 7
10 7 7 25 6 6 10 7 7 25 6 6 11 6 6 26 6 7 11 5 6 26 6 7 12 6 7 27 6 7 12 6 7 27 6 7 13 5 6 28 6 7 13 6 6 28 6 7 14 6 7 29 6 7 14 6 7 29 6 7 15 7 7 30 7 6 15 7 6 30 7 6
Minggu ke-2 Minggu ke-3
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 6 6 16 7 7 1 6 6 16 7 7 2 6 6 17 6 7 2 6 6 17 6 6 3 6 5 18 6 6 3 6 4 18 6 6 4 7 6 19 5 6 4 6 6 19 5 6 5 5 6 20 7 7 5 5 6 20 7 7 6 6 6 21 6 7 6 5 5 21 6 7 7 6 7 22 6 7 7 6 7 22 6 6 8 6 6 23 7 6 8 6 5 23 7 6 9 6 7 24 6 7 9 7 7 24 6 7
10 6 6 25 6 6 10 5 6 25 6 6 11 6 6 26 6 7 11 5 6 26 6 7 12 5 6 27 6 6 12 5 6 27 6 6 13 6 6 28 5 7 13 6 6 28 6 7 14 7 7 29 6 7 14 7 6 29 5 6 15 7 7 30 7 7 15 7 6 30 6 6
Minggu ke-4
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 6 6 11 6 6 21 6 7 2 5 6 12 5 6 22 6 5 3 6 4 13 7 7 23 7 6 4 6 6 14 7 6 24 6 7 5 5 6 15 7 6 25 6 6 6 4 5 16 7 7 26 6 6 7 6 7 17 6 5 27 6 6 8 5 5 18 5 6 28 6 7 9 6 7 19 5 6 29 6 6
10 5 6 20 6 7 30 6 5
Lampiran 6e. Data uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk selama penyimpanan
Minggu ke-0 Minggu ke-1
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 6 6 16 7 7 1 6 6 16 7 7 2 7 7 17 7 7 2 7 7 17 7 7 3 6 6 18 7 7 3 6 5 18 7 7 4 7 7 19 6 6 4 7 6 19 6 6 5 7 7 20 6 6 5 7 7 20 6 6 6 7 7 21 7 7 6 7 6 21 7 7 7 7 6 22 7 5 7 6 7 22 7 5 8 6 7 23 7 6 8 6 7 23 7 6 9 7 7 24 7 7 9 7 7 24 7 7
10 7 7 25 7 7 10 7 7 25 7 7 11 6 6 26 7 7 11 6 6 26 7 6 12 5 6 27 7 7 12 5 6 27 7 7 13 7 6 28 7 7 13 7 6 28 7 7 14 7 7 29 7 6 14 7 7 29 6 6 15 7 7 30 6 5 15 7 7 30 6 5
Minggu ke-2 Minggu ke-3
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 6 6 16 7 6 1 6 6 16 7 5 2 7 7 17 6 6 2 7 7 17 6 6 3 6 5 18 6 6 3 6 5 18 6 6 4 7 6 19 6 6 4 6 6 19 6 6 5 7 7 20 6 6 5 7 7 20 6 6 6 6 5 21 6 7 6 6 5 21 6 7 7 6 7 22 7 6 7 6 7 22 7 6 8 5 6 23 7 6 8 5 5 23 7 6 9 6 6 24 7 7 9 7 7 24 7 7
10 7 6 25 7 7 10 6 6 25 7 7 11 6 6 26 6 6 11 6 6 26 6 6 12 5 6 27 7 7 12 5 6 27 7 7 13 7 6 28 7 7 13 7 6 28 7 7 14 7 7 29 6 6 14 7 7 29 5 6 15 7 7 30 6 5 15 7 7 30 6 5
Minggu ke-4
No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 5 6 11 6 6 21 7 7 2 6 6 12 4 5 22 7 6 3 6 5 13 7 6 23 6 6 4 6 5 14 7 7 24 7 7 5 7 6 15 7 7 25 6 6 6 6 4 16 7 7 26 6 6 7 7 6 17 6 6 27 7 7 8 5 5 18 6 6 28 7 7 9 6 7 19 6 6 29 6 5
10 5 5 20 6 6 30 6 5
Lampiran 7a. Hasil uji Kruskal Wallis kerupuk ikan selama penyimpanan
Perlakuan N Mean Rank Penampakan M0 30 91,58 M1 30 81,32 M2 30 75,47 M3 30 69,00 M4 30 60,13 Total 150 Warna M0 30 100,17 M1 30 88,77 M2 30 74,60 M3 30 63,17 M4 30 50,80 Total 150 Aroma M0 30 94,28 M1 30 85,77 M2 30 78,55 M3 30 66,28 M4 30 52,62 Total 150 Rasa M0 30 94,00 M1 30 91,67 M2 30 76,38 M3 30 59,65 M4 30 55,80 Total 150 Kerenyahan M0 30 90,33 M1 30 84,60 M2 30 71,70 M3 30 70,98 M4 30 59,88 Total 150
Test Statistics(a,b)
Penampakan Warna Aroma Rasa Kerenyahan
Chi-Square 10,269 29,802 22,607 24,818 11,025 df 4 4 4 4 4 Asymp. Sig. ,036 ,000 ,000 ,000 ,026 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan Ket : Asymp. Sig < 0.05 = berbeda nyata
Lampiran 7b. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) selama penyimpanan
Tukey HSD
Mean
Difference (I-J)
Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Dependent Variable
(I) Perlakuan
(J) Perlakuan Lower
Bound Upper Bound
Penampakan M0 M1 ,23 ,234 ,856 -,41 ,88 M2 ,33 ,234 ,612 -,31 ,98 M3 ,50 ,234 ,210 -,15 1,15 M4 ,77(*) ,234 ,011 ,12 1,41 M1 M0 -,23 ,234 ,856 -,88 ,41 M2 ,10 ,234 ,993 -,55 ,75 M3 ,27 ,234 ,785 -,38 ,91 M4 ,53 ,234 ,157 -,11 1,18 M2 M0 -,33 ,234 ,612 -,98 ,31 M1 -,10 ,234 ,993 -,75 ,55 M3 ,17 ,234 ,953 -,48 ,81 M4 ,43 ,234 ,347 -,21 1,08 M3 M0 -,50 ,234 ,210 -1,15 ,15 M1 -,27 ,234 ,785 -,91 ,38 M2 -,17 ,234 ,953 -,81 ,48 M4 ,27 ,234 ,785 -,38 ,91 M4 M0 -,77(*) ,234 ,011 -1,41 -,12 M1 -,53 ,234 ,157 -1,18 ,11 M2 -,43 ,234 ,347 -1,08 ,21 M3 -,27 ,234 ,785 -,91 ,38 Warna M0 M1 ,23 ,174 ,665 -,25 ,71 M2 ,47 ,174 ,061 -,01 ,95 M3 ,67(*) ,174 ,002 ,19 1,15 M4 ,90(*) ,174 ,000 ,42 1,38 M1 M0 -,23 ,174 ,665 -,71 ,25 M2 ,23 ,174 ,665 -,25 ,71 M3 ,43 ,174 ,098 -,05 ,91 M4 ,67(*) ,174 ,002 ,19 1,15 M2 M0 -,47 ,174 ,061 -,95 ,01 M1 -,23 ,174 ,665 -,71 ,25 M3 ,20 ,174 ,779 -,28 ,68 M4 ,43 ,174 ,098 -,05 ,91 M3 M0 -,67(*) ,174 ,002 -1,15 -,19 M1 -,43 ,174 ,098 -,91 ,05 M2 -,20 ,174 ,779 -,68 ,28 M4 ,23 ,174 ,665 -,25 ,71 M4 M0 -,90(*) ,174 ,000 -1,38 -,42 M1 -,67(*) ,174 ,002 -1,15 -,19 M2 -,43 ,174 ,098 -,91 ,05 M3 -,23 ,174 ,665 -,71 ,25
Lampiran 7b. Lanjutan hasil uji lanjut Multiple Comparisons kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
Mean Difference (I-J)
Std. Error Sig. 95% Confidence
Interval Dependent
Variable (I)
Perlakuan (J) Perlakuan Lower Bound
Upper Bound
Aroma M0 M1 ,17 ,166 ,854 -,29 ,63 M2 ,27 ,166 ,497 -,19 ,73 M3 ,47(*) ,166 ,044 ,01 ,93 M4 ,80(*) ,166 ,000 ,34 1,26 M1 M0 -,17 ,166 ,854 -,63 ,29 M2 ,10 ,166 ,975 -,36 ,56 M3 ,30 ,166 ,375 -,16 ,76 M4 ,63(*) ,166 ,002 ,17 1,09 M2 M0 -,27 ,166 ,497 -,73 ,19 M1 -,10 ,166 ,975 -,56 ,36 M3 ,20 ,166 ,750 -,26 ,66 M4 ,53(*) ,166 ,014 ,07 ,99 M3 M0 -,47(*) ,166 ,044 -,93 -,01 M1 -,30 ,166 ,375 -,76 ,16 M2 -,20 ,166 ,750 -,66 ,26 M4 ,33 ,166 ,269 -,13 ,79 M4 M0 -,80(*) ,166 ,000 -1,26 -,34 M1 -,63(*) ,166 ,002 -1,09 -,17 M2 -,53(*) ,166 ,014 -,99 -,07 M3 -,33 ,166 ,269 -,79 ,13 Rasa M0 M1 ,03 ,156 1,000 -,40 ,46 M2 ,27 ,156 ,430 -,16 ,70 M3 ,57(*) ,156 ,003 ,14 1,00 M4 ,67(*) ,156 ,000 ,24 1,10 M1 M0 -,03 ,156 1,000 -,46 ,40 M2 ,23 ,156 ,565 -,20 ,66 M3 ,53(*) ,156 ,007 ,10 ,96 M4 ,63(*) ,156 ,001 ,20 1,06 M2 M0 -,27 ,156 ,430 -,70 ,16 M1 -,23 ,156 ,565 -,66 ,20 M3 ,30 ,156 ,308 -,13 ,73 M4 ,40 ,156 ,082 -,03 ,83 M3 M0 -,57(*) ,156 ,003 -1,00 -,14 M1 -,53(*) ,156 ,007 -,96 -,10 M2 -,30 ,156 ,308 -,73 ,13 M4 ,10 ,156 ,968 -,33 ,53 M4 M0 -,67(*) ,156 ,000 -1,10 -,24 M1 -,63(*) ,156 ,001 -1,06 -,20 M2 -,40 ,156 ,082 -,83 ,03 M3 -,10 ,156 ,968 -,53 ,33
M1 ,10 ,179 ,981 -,40 ,60 M2 ,30 ,179 ,454 -,20 ,80 M3 ,33 ,179 ,345 -,16 ,83
M0
M4 ,57(*) ,179 ,016 ,07 1,06 M0 -,10 ,179 ,981 -,60 ,40 M2 ,20 ,179 ,798 -,30 ,70 M3 ,23 ,179 ,691 -,26 ,73
M1
M4 ,47 ,179 ,075 -,03 ,96 M0 -,30 ,179 ,454 -,80 ,20 M1 -,20 ,179 ,798 -,70 ,30 M3 ,03 ,179 1,000 -,46 ,53
M2
M4 ,27 ,179 ,573 -,23 ,76 M0 -,33 ,179 ,345 -,83 ,16 M1 -,23 ,179 ,691 -,73 ,26 M2 -,03 ,179 1,000 -,53 ,46
M3
M4 ,23 ,179 ,691 -,26 ,73 M0 -,57(*) ,179 ,016 -1,06 -,07 M1 -,47 ,179 ,075 -,96 ,03 M2 -,27 ,179 ,573 -,76 ,23
Kerenyahan
M4
M3 -,23 ,179 ,691 -,73 ,26 * The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 7c. Hasil uji Kruskal Wallis kerupuk kontrol selama penyimpanan
Ranks Perlakuan N Mean Rank
M0 30 79,77 M1 30 77,27 M2 30 78,52 M3 30 73,93 M4 30 68,02
Penampakan
Total 150 M0 30 82,08 M1 30 77,55 M2 30 76,58 M3 30 72,05 M4 30 69,23
Warna
Total 150 M0 30 93,97 M1 30 83,00 M2 30 70,75 M3 30 65,40 M4 30 64,38
Aroma
Total 150 M0 30 88,77 M1 30 84,53 M2 30 74,55 M3 30 66,98 M4 30 62,67
Rasa
Total 150 M0 30 90,82 M1 30 86,18 M2 30 71,13 M3 30 67,67 M4 30 61,70
Kerenyahan
Total 150
Test Statistics(a,b)
Penampakan Warna Aroma Rasa Kerenyahan Chi-Square 1,733 2,030 12,550 10,065 12,510 df 4 4 4 4 4 Asymp. Sig. ,785 ,730 ,014 ,039 ,014 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan
Lampiran 7d. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons kerupuk kontrol
95% Confidence Interval
Dependent Variable
(I) Perlakuan
(J) Perlakuan
Mean Difference (I-J)
Std. Error Sig.
Lower Bound
Upper Bound
M1 ,23 ,190 ,734 -,29 ,76 M2 ,43 ,190 ,156 -,09 ,96 M3 ,57(*) ,190 ,027 ,04 1,09
M0
M4 ,57(*) ,190 ,027 ,04 1,09 M0 -,23 ,190 ,734 -,76 ,29 M2 ,20 ,190 ,829 -,32 ,72 M3 ,33 ,190 ,403 -,19 ,86
M1
M4 ,33 ,190 ,403 -,19 ,86 M0 -,43 ,190 ,156 -,96 ,09 M1 -,20 ,190 ,829 -,72 ,32 M3 ,13 ,190 ,956 -,39 ,66
M2
M4 ,13 ,190 ,956 -,39 ,66 M0 -,57(*) ,190 ,027 -1,09 -,04 M1 -,33 ,190 ,403 -,86 ,19 M2 -,13 ,190 ,956 -,66 ,39
M3
M4 ,00 ,190 1,000 -,52 ,52 M0 -,57(*) ,190 ,027 -1,09 -,04 M1 -,33 ,190 ,403 -,86 ,19 M2 -,13 ,190 ,956 -,66 ,39
Aroma
M4
M3 ,00 ,190 1,000 -,52 ,52 M1 ,07 ,166 ,994 -,39 ,52 M2 ,23 ,166 ,623 -,22 ,69 M3 ,37 ,166 ,180 -,09 ,82
M0
M4 ,47(*) ,166 ,043 ,01 ,92 M0 -,07 ,166 ,994 -,52 ,39 M2 ,17 ,166 ,852 -,29 ,62 M3 ,30 ,166 ,371 -,16 ,76
M1
M4 ,40 ,166 ,117 -,06 ,86 M0 -,23 ,166 ,623 -,69 ,22 M1 -,17 ,166 ,852 -,62 ,29 M3 ,13 ,166 ,929 -,32 ,59
M2
M4 ,23 ,166 ,623 -,22 ,69 M0 -,37 ,166 ,180 -,82 ,09 M1 -,30 ,166 ,371 -,76 ,16 M2 -,13 ,166 ,929 -,59 ,32
M3
M4 ,10 ,166 ,974 -,36 ,56 M0 -,47(*) ,166 ,043 -,92 -,01 M1 -,40 ,166 ,117 -,86 ,06 M2 -,23 ,166 ,623 -,69 ,22
Rasa
M4
M3 -,10 ,166 ,974 -,56 ,36 M1 ,07 ,163 ,994 -,38 ,52 M2 ,30 ,163 ,356 -,15 ,75 M3 ,37 ,163 ,169 -,08 ,82
M0
M4 ,50(*) ,163 ,022 ,05 ,95 M0 -,07 ,163 ,994 -,52 ,38 M2 ,23 ,163 ,610 -,22 ,68 M3 ,30 ,163 ,356 -,15 ,75
M1
M4 ,43 ,163 ,066 -,02 ,88 M0 -,30 ,163 ,356 -,75 ,15 M1 -,23 ,163 ,610 -,68 ,22 M3 ,07 ,163 ,994 -,38 ,52
M2
M4 ,20 ,163 ,737 -,25 ,65 M0 -,37 ,163 ,169 -,82 ,08 M1 -,30 ,163 ,356 -,75 ,15 M2 -,07 ,163 ,994 -,52 ,38
M3
M4 ,13 ,163 ,925 -,32 ,58 M0 -,50(*) ,163 ,022 -,95 -,05 M1 -,43 ,163 ,066 -,88 ,02 M2 -,20 ,163 ,737 -,65 ,25
Kerenyahan
M4
M3 -,13 ,163 ,925 -,58 ,32 * The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 8a. Hasil uji tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan
Penyimpanan Konsentrasi M0 M1 M2 M3 M4
Kontrol 24,67 23 21 20 17 27 22 23 22 20
Rata-rata 25,84 22,50 22,00 21,00 18,50 50% 20 19 18 17 18,5
19 18 18 16 17 Rata-rata 19,50 18,50 18,00 16,50 17,75
Lampiran 8b. Hasil analisis ragam tingkat kekerasan kerupuk selama
penyimpanan ANOVA
Sumber keragaman SS db MS Fhitung Ftabel Konsentrasi 76,71445 1 76,71445 53,49888* 4,964591 Penyimpanan 49,77328 4 12,44332 8,677683* 3,47805 Konsentrasi*penyimpanan 16,23028 4 4,05757 2,829655 3,47805 Sisa 14,33945 10 1,433945 Total 157,0575 19 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata
Lampiran 9a. Hasil analisis derajat putih kerupuk selama penyimpanan
Penyimpanan Konsentrasi M0 M1 M2 M3 M4
Kontrol 25,91 25,88 25,66 25,98 25,27 25,89 25,90 25,71 24,55 25,55
Rata-rata 25,90 25,89 25,69 25,27 25,41 50% 20,75 21,27 20,10 21,12 20,55
21,61 21,82 20,91 21,07 20,72 Rata-rata 21,18 21,55 20,51 21,10 20,64
Lampiran 9b. Hasil analisis ragam derajat putih kerupuk selama
penyimpanan
ANOVA Sumber Keragaman SS db MS Fhitung Fiabel
Konsentrasi 107,55522 1 107,5552 557,8301* 4,964591 Penyimpanan 1,45893 4 0,364732 1,891668 3,47805 Konsentrasi*penyimpanan 0,62413 4 0,156032 0,809255 3,47805 Sisa 1,9281 10 0,19281 Total 111,56638 19 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata
Lampiran 10a. Hasil analisis aktivitas air kerupuk selama penyimpanan
Penyimpanan Konsentrasi
M0 M1 M2 M3 M4 Kontrol 0,514 0,533 0,557 0,568 0,589
0,527 0,545 0,562 0,574 0,599 Rata-rata 0,521 0,539 0,560 0,571 0,594
50 % 0,556 0,566 0,569 0,576 0,581 0,561 0,564 0,570 0,573 0,579
Rata-rata 0,559 0,565 0,570 0,575 0,580 Lampiran 10b. Hasil analisis ragam aktivitas air kerupuk selama
penyimpanan
ANOVA Sumber Keragaman SS db MS Fhitung F tabel
Konsentrasi 0,000806 1 0,000806 31,19729* 4,964591 Penyimpanan 0,005386 4 0,001346 52,08704* 3,47805 Konsentrasi*penyimpanan 0,001622 4 0,000405 15,68472* 3,47805 Sisa 0,000259 10 2,59E-05 Total 0,008073 19 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata
Lampiran 11a. Hasil analisis volume pengembangan kerupuk selama
penyimpanan
Penyimpanan Konsentrasi Mo M1 M2 M3 M4
Kontrol 331,75 314,17 300,13 275,33 280,56 327,84 331,75 310,00 310,00 297,66 Rata-rata 329,80 322,96 305,07 292,67 289,11
50% 210,33 210,33 197,33 189,23 196,25 213,05 203,47 210,33 196,25 185,22 Rata-rata 211,69 206,90 203,83 192,74 190,74
Lampiran 11b. Hasil analisis ragam volume pengembangan kerupuk selama
penyimpanan
ANOVA Source of Variation SS db MS Fhitung F tabel
Konsentrasi 56967,14 1 56967,14 493,0983* 4,964591 Penyimpanan 2897,116 4 724,279 6,269241* 3,47805 Konsentrasi*penyimpanan 362,7481 4 90,68703 0,784972 3,47805 Sisa 1155,29 10 115,529 Total 61382,29 19 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata
Lampiran 12a. Hasil analisis kadar air kerupuk selama penyimpanan
Penyimpanan konsentrasi M0 M1 M2 M3 M4
Kontrol 7,370 7,750 7,940 8,420 8,810 7,000 7,630 7,820 8,740 8,400
Rata-rata 7,185 7,690 7,880 8,580 8,605 50% 7,340 7,430 8,140 8,430 8,300
7,970 8,080 7,790 7,870 8,280 Rata-rata 7,655 7,755 7,965 8,150 8,290
Lampiran 12b. Hasil analisis ragam kadar air kerupuk kerupuk selama
penyimpanan
ANOVA Source of Variation SS db MS Fhitung Ftabel
Konsentrasi 0,003125 1 0,003125 0,036936 4,964591 Penyimpanan 2,99957 4 0,749892 8,863454* 3,47805 Konsentrasi*penyimpanan 0,51335 4 0,128338 1,516902 3,47805 Sisa 0,84605 10 0,084605 Total 4,362095 19 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata
Lampiran 13. Gambar hasil penelitian Adonan kerupuk mentah Adonan kerupuk yang telah dikukus Kerupuk ikan mentah Kerupuk ikan matang