c05iis

106
PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C34101028 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Upload: agnesya-dinda-ramadhani

Post on 11-Jul-2016

222 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: c05iis

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU

(Hyposarcus pardalis)

Oleh :

Iis Istanti

C34101028

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Page 2: c05iis

RINGKASAN

IIS ISTANTI (C34101028). Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Karakteristik Kerupuk Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis). Dibimbing oleh KOMARIAH TAMPUBOLON dan DJOKO POERNOMO.

Ikan sapu-sapu merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang ada di Indonesia. Ikan ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber pangan karena mempunyai kulit yang tebal dan keras. Untuk meningkatkan preferensi masyarakat terhadap ikan ini perlu adanya upaya diversifikasi menjadi produk yang digemari salah satu diantaranya adalah kerupuk. Produk kerupuk dapat mengalami kemunduran mutu setelah disimpan pada jangka waktu tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan terhadap sifat fisik, sensori dan perubahan kandungan gizi kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcsus pardalis).

Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Pada penelitian pendahuluan panelis lebih menyukai kerupuk dengan konsentrasi daging ikan sebesar 32,36 % berdasarkan uji sensori. Uji volume pengembangan terhadap kerupuk menunjukkan kerupuk ikan dengan konsentrasi 32,36 % memiliki pengembangan terkecil yaitu sebesar 185 %.

Pada penelitian lanjutan dilakukan uji sensori, sifat fisik dan nilai gizi (analisis kimia). Hasil uji sensori dianalisis statistik dengan metode Kruskal Wallis yang menunjukkan bahwa konsentrasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan dan warna kerupuk(minggu 1, 2, 3, 4); aroma (minggu ke-0, 1, 2, 3); rasa (minggu ke-0, 1, 2).

Analisis sifat fisik meliputi tingkat kekerasan, derajat putih, aktivitas air, kapang dan volume pengembangan. Tingkat kekerasan kerupuk ikan sapu-sapu dari minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4 berturut-turut sebesar 1,95; 1,85; 1,8; 1,65 dan 1,78. Derajat putih kerupuk ikan sapu-sapu dari penyimpanan minggu ke-0 hingga minggu ke-4 berturut-turut adalah sebesar 21,18 %; 21,55 %; 20,51 %; 21,10 % dan 20,64 %. Aktivitas air kerupuk ikan sapu-sapu dari penyimpanan minggu ke-0 hingga minggu ke-4 berturut-turut sebesar 0,559; 0,565; 0,570; 0,575; 0,580. Hasil pengamatan kapang secara visual pada permukaan kerupuk tidak ditemukan adanya pertumbuhan kapang. Volume pengembangan kerupuk ikan selama penyimpanan berturut-turut 211,69 %; 185,96 %; 203,83 %; 192,74 % dan 203,29 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kekerasan, aktifitas air, dan volume pengembangan kerupuk.

Analisis kimia kerupuk ikan sapu-sapu menunjukkan adanya peningkatan kadar air, kadar abu dan kadar lemak selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan ke-4, masing-masing : kadar air (7,66%, 7,97 %, 8,29%), kadar abu (1,32 %; 1,35 %; 1,39 %) dan kadar lemak (1,49 %; 1,49 %; 1,51 %). Sedangkan kadar protein dan karbohidrat mengalami penurunan selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan ke-4 adalah : kadar protein (6,60 %; 6,44 %; 6,41%) dan karbohidrat (82,93 %; 82,75 %; 82,40 %). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air kerupuk.

Page 3: c05iis

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Iis Istanti

C34101028

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005

Page 4: c05iis

Judul : PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis)

Nama Mahasiswa : Iis Istanti

Nomor Pokok : C34101028

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Hj. Komariah Tampubolon, MS Ir. Djoko Poernomo, BSc NIP.131 355 555 NIP. 131 288 097

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031

Tanggal lulus : 9 Desember 2005

Page 5: c05iis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 14 Mei 1982

sebagai anak terakhir dari sepuluh bersaudara pasangan Bapak

Suminta dan Ibu Siti Salamah. Penulis menjalankan

pendidikan di SMU Negeri 1 Ciawigebang Kabupaten

Kuningan pada tahun 1998 hingga tamat tahun 2001.

Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian

Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan di terima pada

Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Departemen Teknologi Hasil Perikanan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis

melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap

Karakteristik Kerupuk Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)”.

Page 6: c05iis

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini

adalah hasil penelitian yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini berjudul ”Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Karakteristik

Kerupuk Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Ibu Ir. Hj. Komariah Tampubolon, MS dan Bapak Ir. Djoko Poernomo, BSc

selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan

bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS dan Ibu Ir. Nurjanah, MS yang telah menjadi

dosen penguji dan memberikan masukan kepada penulis.

3. Ibu Ir. Hj. Winarti Zahiruddin, MS yang telah menjadi moderator pada acara

seminar penulis.

4. Kedua orang tua, kakak-kakak dan seluruh keluarga atas doa, pengorbanan,

semangat dan kasih sayang yang telah diberikan.

5. Sahabat-sahabat penulis ”Desy, Yuyun, Nurul, Arin, Teni, T’Henti, Ira dan

Wini” atas bantuan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.

6. Teman-teman THP dan AHP angkatan 38, 39, 40 dan 41 atas bantuan dan

kerjasamanya. Serta semua pihak yang telah membantu penulis baik secara

moril maupun materiil, sehingga selesainya penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi

ini, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

memerlukannya dan untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Bogor, Desember 2005

Iis Istanti

Page 7: c05iis

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ....................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. x

1. PENDAHULUAN................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1

1.2 Tujuan ............................................................................................... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)..... 3

2.2 Komposisi Kimia Daging Ikan......................................................... 4

2.3 Kerupuk........................................................................................... 6

2.4 Bahan-bahan dalam Pembuatan Kerupuk......................................... 7

2.4.1 Tepung tapioka ...................................................................... 7 2.4.2 Bahan tambahan..................................................................... 9

2.4.2.1 Bawang putih ............................................................ 10 2.4.2.2 Garam ....................................................................... 10 2.4.2.3 Gula .......................................................................... 11 2.4.2.4 Telur.......................................................................... 11

2.5 Proses Pembuatan Kerupuk.............................................................. 12

2.6 Pengeringan..................................................................................... 14

2.7 Penyimpanan ................................................................................... 15

2.8 Pengemasan..................................................................................... 16

2.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu Kerupuk........................... 19

2.10 Kerusakan pada Kerupuk ................................................................. 20

3. METODOLOGI ..................................................................................... 22

3.1 Waktu dan Tempat............................................................................ 22

3.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 22

3.3 Metode Penelitian............................................................................. 23

3.2.1 Penelitian pendahuluan. .......................................................... 23 3.2.2 Penelitian lanjutan................................................................... 23 3.2.3 Formula bahan. ....................................................................... 23 3.2.4 Prosedur pembuatan kerupuk ikan........................................... 23

Page 8: c05iis

3.3 Pengamatan dan Analisis Produk ...................................................... 25

3.3.1 Pengukuran rendemen............................................................. 25 3.3.2 Analisis sifat fisik. .................................................................. 25

3.3.2.1 Uji kekerasan metode penetrometri............................. 25 3.3.2.2 Uji volume pengembangan. ........................................ 27 3.3.2.3 Uji derajat putih.......................................................... 27

3.3.3 Analisis proksimat. ................................................................. 27

3.3.3.1 Kadar air. ................................................................... 28 3.3.3.2 Kadar abu. .................................................................. 28 3.3.3.3 Kadar lemak ............................................................... 28 3.3.3.4 Kadar protein.............................................................. 29 3.3.3.5 Kadar karbohidrat....................................................... 29

3.3.4 Uji kapang. ............................................................................. 30 3.3.5 Uji aktivitas air. ...................................................................... 30 3.3.6 Sensori.................................................................................... 30

3.4 Rancangan Percobaan........................................................................ 30

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 33

4.1 Penelitian Pendahuluan..................................................................... 33

4.1.1 Rendemen daging ikan.......................................................... 33 4.1.2 Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu

(Hyposarcus pardalis).......................................................... 33 4.1.3 Uji sensori kerupuk ikan........................................................ 35

4.1.3.1 Penampakan ........................................................... 35 4.1.3.2 Warna..................................................................... 36 4.1.3.3 Aroma .................................................................... 38 4.1.3.4 Rasa........................................................................ 39 4.1.3.5 Kerenyahan ............................................................ 41

4.1.4 Volume pengembangan kerupuk ikan.................................... 42

4.2 Penelitian Lanjutan .......................................................................... 43

4.2.1 Uji sensori kerupuk selama penyimpanan.............................. 43

4.2.1.1 Penampakan ........................................................... 44 4.2.1.2 Warna..................................................................... 45 4.2.1.3 Aroma .................................................................... 46 4.2.1.4 Rasa........................................................................ 47 4.2.1.5 Kerenyahan ............................................................ 49

4.2.2 Analisis sifat fisik kerupuk selama penyimpanan................... 50

4.2.2.1 Tingkat kekerasan................................................... 50 4.2.2.2 Derajat putih........................................................... 52 4.2.2.3 Aktivitas air............................................................ 54 4.2.2.4 Kapang ................................................................... 55

Page 9: c05iis

4.2.2.5 Volume pengembangan .......................................... 56

4.2.3 Analisis proksimat ................................................................ 57

4.2.3.1 Kadar air................................................................. 58 4.2.3.2 Kadar abu ............................................................... 59 4.2.3.3 Kadar lemak ........................................................... 61 4.2.3.4 Kadar protein.......................................................... 62 4.2.3.5 Kadar karbohidrat ................................................... 63

5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 65

5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 65

5.2 Saran ............................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 67

LAMPIRAN ................................................................................................ 71

Page 10: c05iis

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan protein .............. 5

2. Kandungan gizi ikan sapu-sapu segar dari Waduk Cirata ....................... 6

3. Syarat mutu kerupuk ikan...................................................................... 7

4. Komposisi kimia tapioka per 100 gram bahan ....................................... 8

5. Komposisi kimia bawang putih (Allium sativum) per 100 g yang dapat dimakan................................................................................................. 10

6. Formula bahan dalam pembuatan kerupuk ikan ..................................... 23

7. Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu ( Hyposarcus pardalis) dari berbagai lokasi yang berbeda ................................................................ 34

8. Tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan (mm/ detik/g) ........... 50

9. Derajat putih kerupuk selama penyimpanan .......................................... 52

10. Hasil analisis proksimat kerupuk selama penyimpanan ......................... 58

Page 11: c05iis

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman

1. Gambar ikan sapu-sapu ......................................................................... 3

2. Alur proses pembuatan kerupuk ikan .................................................... 18

3. Skema pembuatan kerupuk ikan (modifikasi metode Wiriano 1984)..... 26

4. Histogram rata-rata uji sensori terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu ............................................................................................. 35 5. Histogram rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu. 37

6. Histogram rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu. 38

7. Histogram rata-rata uji sensori terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu .... 40

8. Histogram rata-rata uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu ............................................................................................. 41

9. Histogram rata-rata volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu 42

10. Histogram rata-rata uji sensori terhadap penampakan kerupuk selama penyimpanan ........................................................................................ 44

11. Histogram rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk selama penyimpanan ........................................................................................ 45

12. Histogram rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk selama penyimpanan ......................................................................................... 47

13. Histogram rata-rata uji sensori terhadap rasa kerupuk selama penyimpanan ........................................................................................ 48

14. Histogram rata-rata uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk selama penyimpanan ............................................................................ 49

15. Histogram nilai rata-rata tingkat kekerasan kerupuk selama

penyimpanan ......................................................................................... 51

16. Histogram rata-rata derajat putih kerupuk selama penyimpanan . 53

17. Histogram rata-rata aktivitas air kerupuk selama penyimpanan .. 54

18. Histogram rata-rata volume pengembangan kerupuk selama penyimpanan ...................................................................................... 56

19. Histogram nilai rata-rata kadar air kerupuk selama penyimpanan.......... 58

20. Histogram nilai rata-rata kadar abu kerupuk selama penyimpanan ........ 60

21. Histogram nilai rata-rata kadar lemak kerupuk selama penyimpanan .... 61

22. Histogram nilai rata-rata kadar protein kerupuk selama penyimpanan... 62

Page 12: c05iis

23. Histogram nilai rata-rata kadar karbohidrat kerupuk selama penyimpanan ....................................................................................... 64

Page 13: c05iis

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman

1. Score sheet uji sensori kerupuk ikan sapu-sapu .................................... 71

2a. Hasil uji sensori terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ............................. 72

2b. Hasil uji sensori terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ............................. 72

2c. Hasil uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ............................. 73

2d. Hasil uji sensori terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ............................. 73

2e. Hasil uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ............................. 74

3. Hasil uji Kruskal Wallis tingkat kesukaan terhadap kerupuk ikan sapu- sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ..................... 74

4a. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .................................................. 75

4b. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .......................................................... 76

4c. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .......................................................... 77

4d. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .......................................................... 78

5a. Hasil uji volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .......................................................................... 78

5b. Hasil analisis ragam volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) .......................................................................... 78

6a. Hasil uji sensori terhadap penampakan kerupuk selama penyimpanan .. 79

6b. Hasil uji sensori terhadap warna kerupuk selama penyimpanan ...... 80

6c. Hasil uji sensori terhadap aroma kerupuk selama penyimpanan .......... 81

6d. Hasil uji sensori terhadap rasa kerupuk selama penyimpanan................ 82

6e. Hasil uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk selama penyimpanan ... 83

7a. Hasil uji Kruskal Wallis kerupuk ikan sapu-sapu selama penyimpanan 84

7b. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons kerupuk ikan sapu-sapu selama

Page 14: c05iis

penyimpanan ........................................................................................ 85

7c. Hasil uji Kruskal Wallis kerupuk kontrol selama penyimpanan ............. 87

7d. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons kerupuk kontrol selama penyimpanan ........................................................................................ 88

8a. Hasil analisis tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan.............. 89

8b. Hasil analisis ragam tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan ... 89

9a. Hasil analisis derajat putih kerupuk selama penyimpanan ..................... 89

9b. Hasil analisis ragam derajat putih kerupuk selama penyimpanan........... 89

10a. Hasil analisis aktivitas air kerupuk selama penyimpanan....................... 90

10b. Hasil analisis ragam aktivitas air kerupuk selama penyimpanan............ 90

11a. Hasil analisis volume pengembangan kerupuk selama penyimpanan..... 90

11b. Hasil analisis ragam volume pengembangan kerupuk selama penyimpanan ........................................................................................ 90

12a. Hasil analisis kadar air kerupuk selama penyimpanan ........................... 91

12b. Hasil analisis ragam kadar air kerupuk selama penyimpanan ................ 91

13. Gambar hasil penelitian ......................................................................... 92

Page 15: c05iis

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan

beranekaragam, namun potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal.

Masih banyak potensi perikanan baik dari perikanan tawar maupun laut yang

belum dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan yang dapat

dikonsumsi, sehingga konsumsi produk hasil perikanan masih tergolong rendah.

Hal ini dapat dilihat dari tingkat konsumsi ikan rakyat Indonesia pada tahun 2000

sebesar 21,57 kilogram per kapita per tahun dan pada tahun 2003 sebesar 24,67

kilogram per kapita per tahun. Meskipun mengalami peningkatan, tingkat

konsumsi ini relatif masih rendah bila dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan

di negara tetangga ASEAN seperti Malaysia sudah mencapai 45 kilogram per

kapita per tahun dan Thailand sebesar 35 kilogram per kapita per tahun (Dahuri

2004).

Ikan sapu-sapu bukan merupakan ikan asli Indonesia melainkan

merupakan jenis ikan hasil introduksi dari Brazil (Susanto 2004). Ikan sapu-sapu

merupakan jenis ikan yang sering ditemukan di sungai, danau atau rawa. Ikan ini

paling bisa beradaptasi dengan perairan yang kandungan oksigen terlarutnya

rendah dimana pertumbuhannya relatif cepat tanpa membutuhkan pemeliharaan

yang intensif seperti jenis ikan lainnya. Selain itu ikan Sapu-sapu merupakan

hewan pemakan alga atau sisa-sisa pakan sehingga selama ini sebagian besar

masyarakat memanfaatkan ikan tersebut hanya sebagai pembersih akuarium. Ikan

ini belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai sumber pangan.

Belum adanya upaya pemanfaatan ikan sapu-sapu secara optimal sebagai

sumber pangan oleh masyarakat karena ikan sapu-sapu ini mempunyai kulit yang

keras sehingga sulit dalam penanganannya. Padahal ikan sapu-sapu ini memiliki

daging yang putih sehingga sangat baik jika dijadikan bahan makanan. Penelitian

terdahulu telah dilakukan yaitu pemanfaatan ikan sapu-sapu dalam pembuatan

produk nugget, bakso ikan, otak-otak dan menghasilkan produk yang memiliki

nilai gizi cukup baik serta warna cukup menarik. Upaya pemanfaatan ikan sapu-

Page 16: c05iis

sapu lainnya yang dapat dilakukan adalah berkaitan langsung dengan

penganekaragaman produk perikanan berbasis sumberdaya alam, dan

meningkatkan preferensi masyarakat terhadap ikan ini yaitu dengan adanya usaha

diversifikasi ikan sapu-sapu menjadi produk yang lebih digemari oleh masyarakat

seperti halnya kerupuk ikan.

Kerupuk ikan merupakan salah satu jenis makanan ringan yang sudah

cukup dikenal oleh masyarakat. Kerupuk ikan mempunyai rasa yang lezat dan

gurih sehingga banyak disukai oleh masyarakat. Disamping selain dapat dimakan

sebagai makanan selingan seperti halnya makanan camilan, kerupuk ikan juga

dapat dikonsumsi sebagai lauk pauk bersama nasi. Selain itu proses pembuatan

kerupuk ikan cukup sederhana, sehingga dapat dijadikan usaha pokok atau

sampingan bagi keluarga petani-nelayan.

Bahan pangan yang disimpan selama jangka waktu tertentu akan

mengalami perubahan baik secara fisik maupun nilai gizi yang terkandung pada

bahan pangan tersebut. Begitu pula dengan kerupuk ikan yang mengalami

penyimpanan dapat mengalami perubahan baik secara fisik maupun nilai gizi

yang terkandung pada kerupuk ikan, sehingga perlu adanya kajian mengenai

pengaruh lama penyimpanan terhadap sifat fisik, sensori dan komposisi kimia

kerupuk ikan yang dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mempelajari proses pembuatan kerupuk ikan sebagai salah satu upaya

pemanfaatan ikan sapu-sapu dalam diversifikasi produk perikanan.

2. Mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap karakteristik kerupuk

ikan sapu-sapu.

3. Mengetahui kandungan gizi kerupuk ikan sapu-sapu melalui analisis

proksimat pada saat awal, pertengahan dan akhir penyimpanan.

Page 17: c05iis

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Sapu-sapu

Menurut Kotellat et al (1993), klasifikasi ikan sapu-sapu adalah sebagai

berikut:

Filum: Chordata

Subfilum: Vertebrata

Kelas: Pisces

Ordo: Siluridea

Famili: Loricarinae

Genus: Hypostosmus

Hyposarcus

Spesies: Hypostosmus sp

Hyposarcus pardalis

Ikan sapu-sapu dari jenis Hyposarcus pardalis yang digunakan pada

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan sapu-sapu

Ikan sapu-sapu memiliki tubuh yang ditutupi dengan sisik keras kecuali

bagian perutnya, bentuk tubuh pipih, kepala lebar, mulut terletak dibagian kepala

dan berbentuk cakram, memiliki adifose fin yang berduri. Semua sirip kecuali

ekor selalu diawali dengan jari-jari keras. Sirip punggung lebar dengan tujuh jari-

jari lemah (Hypostosmus sp) atau 10-13 jari-jari lemah (Hyposarcus pardalis),

Page 18: c05iis

warna tubuh cokelat atau abu-abu dengan bintik-bintik hitam diseluruh tubuhnya

(Kottelat et al 1993). Ikan sapu-sapu berasal dari Amerika Selatan tepatnya dari

Argentina Utara, Uruguay, Paraguay, dan Brazil bagian Selatan yaitu di sungai

Rio de Plate, Rio Paraguay, Rio Panama dan Rio Uruguay (Kottelat et al 1993).

Selain terdapat di kawasan Jakarta dan sekitarnya, ikan sapu-sapu (Hyposarcus

pardalis) sudah menyebar hingga di kawasan Depok bahkan daerah Bogor dengan

jumlah yang sangat besar (Prihardhyanto 1995).

Menurut Prihardhyanto (1995), keberadaan ikan sapu-sapu diperairan

umum di kawasan Jakarta dan sekitarnya tidak terlepas dari aktivitas penggemar

dan pembudidaya ikan hias yang mungkin tanpa sengaja melepas jenis ikan

tersebut di perairan umum.

Habitat asli ikan sapu-sapu adalah sungai dengan aliran air yang deras dan

jernih, tetapi dapat juga hidup di perairan tergenang seperti rawa dan danau

(Prihardyanto 1995). Ikan sapu-sapu dapat hidup di perairan dengan kadar

oksigen terlarut yang rendah, sehingga hanya sedikit spesies lain yang dapat hidup

di perairan tersebut (sampai hanya ikan sapu-sapu yang dapat bertahan hidup).

Jika diamati cara makan ikan sapu-sapu, gerakannya yang lambat dan

cenderung menetap di dasar perairan, dengan kemampuan hidup yang kuat, ikan

ini cenderung memiliki kandungan logam berat yang hampir sama dengan

lingkungan tempat hidupnya. Bila perairannya bersih, maka ikan ini aman untuk

dikonsumsi demikian juga sebaliknya. Berdasarkan ususnya yang panjang dan

tersusun melingkar seperti spiral, ikan sapu-sapu dapat dikelompokkan ke dalam

jenis ikan herbivora. Sedangkan berdasarkan relung makannya yang luas maka

ikan sapu-sapu dikelompokkan ke dalam jenis eurifagik (ikan pemakan

bermacam-macam makanan ) (Prihardhyanto 1995).

2.2 Komposisi Kimia Daging Ikan

Meskipun dikatakan daging ikan merupakan sumber protein dan lemak,

tetapi komposisinya sangat bervariasi antara ikan yang satu dengan ikan yang

lainnya. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), adanya variasi dan komposisi

baik jumlah maupun komponen penyusunnya disebabkan karena faktor alami dan

biologis. Faktor biologis (intrinsik), yaitu faktor-faktor yang berasal dari jenis

(individu) ikan itu sendiri. Yang termasuk golongan faktor ini adalah jenis atau

Page 19: c05iis

golongan ikan, umur, dan jenis kelamin. Jenis atau golongan ini sangat

berpengaruh terhadap variabilitas komposisi daging ikan.

Peranan umur dalam variabilitas komposisi kimiawi tampak nyata pada

kandungan lemak daging ikan. Makin tua ikan, kandungan lemaknya cenderung

makin banyak. Sedangkan pengaruh jenis kelamin terutama erat hubungannya

dengan kematangan seksualnya atau kedewasaannya. Demikian pula kebiasaan

makan ikan (feeding habit) sangat mempengaruhi komposisi dagingnya.

Faktor alami (ekstrinsik), yaitu semua faktor luar, yang tidak berasal dari

ikan, yang dapat mempengaruhi daging ikan. Golongan faktor ini terdiri atas

daerah kehidupannya, musim dan jenis makanan yang tersedia. Daerah

kehidupannya erat sekali hubungannya dengan sumber makanan baik dalam

jumlah maupun jenisnya (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Menurut Stansby dan

Olcott (1963), penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya.

Golongan Ikan Kadar lemak Kadar protein Lemak rendah - protein sedang < 5 15 – 20 Lemak sedang - protein sedang 5 – 15 15 – 20 Lemak tinggi - protein rendah > 5 < 15 Lemak rendah - protein tinggi < 5 > 20 Lemak rendah - protein rendah < 5 < 15

Sumber: Stansby dan Olcott (1963)

Lemak dan protein ikan dapat digolongkan menjadi ikan lemak rendah-

protein sedang, lemak sedang – protein sedang, lemak tinggi – protein rendah,

lemak rendah – protein tinggi dan lemak rendah – protein rendah. Lemak ikan

banyak mengandung asam lemak tak jenuh. Diantara asam-asam lemak tak jenuh

tersebut, yang paling banyak terdapat dalam ikan antara lain linoleat (C18:2),

linolenat (C18:3) dan arakhidonat (C20:4) yang merupakan asam-asam lemak

esensial (Zaitsev at al 1969). Adanya asam-asam lemak tak jenuh ini dapat

menimbulkan ketengikan karena asam lemak mudah teroksidasi.

Kandungan karbohidrat yang terdapat dalam daging ikan terutama dalam

bentuk glikogen. Jumlah glikogen dalam daging ikan hanya sedikit, yaitu berkisar

0,05 % - 0,86 %. Selain itu daging ikan juga mengandung garam-garam mineral,

Page 20: c05iis

vitamin, pigmen (berupa senyawa-senyawa yang larut dalam lemak, antara lain

karotenoid, xantofil, astaxanthin, yang warnanya bervariasi antara kuning sampai

merah) dan citarasa. Dari hasil penelitian Chaidir (2001), kandungan gizi ikan

sapu-sapu dari waduk Cirata dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan gizi ikan sapu-sapu segar dari Waduk Cirata

Jenis uji Satuan Nilai Kandungan air % 77,50 Kandungan abu % 1,01 Kandungan lemak % 1,23 Kandungan protein % 19,71 Merkuri Mg/kg 0,006 mg/kg

Sumber : Chaidir (2001)

Kandungan gizi ikan sapu-sapu digolongkan pada kelompok ikan

berlemak rendah dan berprotein sedang (Stansby dan Olcott 1963). Sementara

kandungan logam merkuri masih berada dibawah ambang batas maksimum yang

ditetapkan Departemen Kesehatan RI maupun Badan Kesehatan Dunia (WHO)

yaitu sebesar 0,5 mg/kg, artinya ikan ini aman untuk dikonsumsi, walaupun

demikian perlu dilakukan pemantauan secara rutin.

2.3 Kerupuk

Kerupuk merupakan produk makanan yang dibuat dari tepung tapioka dan

tepung sagu dengan atau tanpa penambahan makanan dan bahan tambahan

makanan lain yang diijinkan. Produk ini disiapkan dengan cara menggoreng atau

memanggang sebelum disajikan.

Menurut Siaw et al (1985), pada dasarnya kerupuk diproduksi melalui

proses gelatinisasi pati dengan air pada tahap pengukusan. Adonan yang telah

homogen kemudian dicetak, dikukus, diiris dan dikeringkan. Kerupuk akan

mengalami pengembangan volume dan membentuk produk yang berongga selama

penggorengan. Kerupuk dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kerupuk sumber

protein dan kerupuk yang bukan sumber protein. Kerupuk sumber protein

merupakan kerupuk yang mengandung protein, baik protein hewani maupun

nabati. Sedangkan kerupuk bukan sumber protein, tidak ditambahkan bahan

Page 21: c05iis

sumber protein seperti ikan, udang, kedelai dan sebagainya dalam proses

pembuatannya.

Ikan dan udang yang ditambahkan ke dalam kerupuk dimaksudkan untuk

meningkatkan nilai gizi dan memperoleh cita rasa yang khas dari udang atau ikan.

Ikan dan udang merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral.

Perbandingan antara tepung ikan, ikan atau udang akan menentukan mutu kerupuk

yang dihasilkan (Djumali et al 1982).

Kerupuk ikan didefinisikan sebagai hasil olahan dari campuran yang

terdiri atas ikan segar, tepung tapioka dan bahan-bahan lain yang mengalami

perlakuan: pengadonan, pencetakan, pengukusan, pengangin-anginan, pengirisan

dan pengeringan. Ada juga sebagian yang menambahkan monosodium glutamat

sebagai penyedap.

Bahan baku kerupuk ikan adalah semua jenis ikan segar yang dapat

ditangani dan atau diolah untuk dijadikan produk berupa ikan segar. Jenis bahan

baku yang umumnya digunakan sebagai bahan baku kerupuk ikan adalah ikan

tenggiri, ikan gabus, ikan kakap, ikan gurami, ikan nila dan lain-lain. Bentuk

bahan baku kerupuk ikan berupa ikan segar utuh tanpa kepala. Syarat mutu

kerupuk ikan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Syarat mutu kerupuk ikan

No Parameter Nilai 1. Aroma dan rasa Khas kerupuk ikan 2. Serangga dalam bentuk stadia dan potongan serta

benda asing Tidak nyata

3. Kapang Tidak nyata 4. Air (%) Maksimal 12 5. Abu, tanpa garam (%) Maksimal 1 6. Protein (%) Minimal 5 7. Serat kasar (%) Maksimal 1 8. BTM Tidak nyata 9. Logam berbahaya (Pb, Cu, Hg) dan As Tidak nyata

Sumber: Standar Nasional Indonesia 01-2713, 1999

2.4 Bahan-bahan dalam Pembuatan Kerupuk

2.4.1 Tepung tapioka

Tepung tapioka banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses

pembuatan kerupuk. Menurut Widowati (1987), tepung tapioka digunakan untuk

Page 22: c05iis

membuat kerupuk dikarenakan harganya yang relatif murah, mempunyai daya ikat

yang tinggi, serta membentuk tekstur yang kuat. Menurut Wiriano (1984), tepung

tapioka adalah pati yang diperoleh dari ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) atau

singkong segar setelah melalui proses pemarutan, penyairan serta penyaringan,

pengendapan pati dan kemudian pengeringan.

Tepung tapioka merupakan salah satu contoh bahan makanan yang banyak

mengandung karbohidrat. Jenis karbohidrat yang terdapat dalam tepung tapioka

adalah pati. Menurut Brautlecht (1953) diacu dalam Susilo (2001), tapioka terdiri

dari granula-granula pati yang berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak

mempunyai rasa. Semakin putih warna tepung pati, ternyata tepung pati akan

nampak semakin mengkilat dan terasa licin. Komposisi kimia tepung tapioka

per 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi kimia tapioka per 100 g bahan

Komponen Satuan Jumlah

Karbohidrat gram 86,9

Protein gram 0,5

Lemak gram 0,3

Air gram 12

Abu gram 0,3

Sumber: Anonim (1995) diacu dalam Susilo (2001)

Menurut Winarno (1984), pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan

dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut

amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan á-(1,4)-D-glukosa,

sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan á-(1,4)-D-glukosa

sebanyak 4 -5 % dari berat total.

Menurut hasil analisa Mulyandri (1992) diacu dalam Susilo (2001), tepung

tapioka mengandung 29,01 % (bk) amilosa dan 69,06 % (bk) amilopektin. Rasio

antara amilosa dan amilopektin yang menyusun molekul pati akan mempengaruhi

pola gelatinisasi. Menurut Haryadi (1989), tingginya kadar amilopektin akan

memberikan sifat mudah membentuk gel.

Page 23: c05iis

Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan

menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang diserap dan

pembengkakannya terbatas. Air yang diserap hanya dapat mencapai kadar 30 %.

Peningkatan volume granula pati yang sesungguhnya yaitu pada suhu

55 °C – 65 °C. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat

tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut

gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang

dapat dilakukan dengan penambahan air panas (Winarno 1992).

Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama

terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti

susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang

digunakan. Pati yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi

molekul-molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifatnya sebelum

gelatinisasi. Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati. Suhu gelatinisasi

pada tepung tapioka berkisar antara 52-64 °C (Winarno 1992).

Penggunaan sumber pati yang berbeda, akan menghasilkan daya kembang

kerupuk yang berbeda. Pati sagu dan tapioka menghasilkan pembengkakan

(swelling) yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Pada

proses pembuatan kerupuk, gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula

pati yang terjadi saat pengukusan adonan pada pembuatan kerupuk yang

mempengaruhi daya kembang kerupuk. Dengan adanya proses gelatinisasi ini

akan terbentuk struktur yang elastis yang dapat mengembang pada tahap

penggorengan (Lavlinesia 1995).

Mutu kerupuk yang dihasilkan seperti volume pengembangan, kerenyahan

dan tingkat kesukaan konsumen terhadap rasa dipengaruhi oleh mutu tepung yang

digunakan. Oleh karena itu digunakan tepung yang memenuhi persyaratan

organoleptik, seperti penampakan putih, kering, bersih dan tidak bau asam

(Wijandi et al 1975 diacu dalam Lavlinesia 1995).

2.4.2 Bahan tambahan

Bahan tambahan atau pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan

sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu termasuk ke dalamnya

adalah penyedap rasa, pewarna, pengawet pengental dan lain-lain. (Winarno

Page 24: c05iis

1992). Bahan tambahan yang diperlukan dalam pembuatan kerupuk antara lain

bawang putih, garam, gula dan telur.

2.4.2.1 Bawang putih (Allium sativum L.)

Bawang putih (Allium sativum L.) termasuk tanaman rempah yang bernilai

ekonomi tinggi karena memiliki beragam kegunaan. Manfaat utama bawang putih

adalah sebagai bumbu penyedap masakan yang membuat masakan menjadi

beraroma dan mengandung selera. Meskipun kehadiran dalam bumbu masak

hanya sedikit, namun tanpa kehadirannya masakan akan terasa hambar. Selain itu

juga bawang putih berfungsi untuk meningkatkan daya awet bahan makanan

(bersifat fungistatik dan fungisidal). Bau khas dari bawang putih berasal dari

minyak volatil yang mengandung komponen sulfur (Palungkun dan Budiarti

1992). Komposisi kimia bawang putih dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi kimia bawang putih (Allium sativum) per 100 g yang dapat dimakan.

Kandungan Satuan Jumlah Air gram 66,20 – 71,00 Energi kalori 95,00 – 122,00 Protein gram 4,50 – 7,00 Lemak gram 0,20 – 0,30 Karbohidrat gram 23,10 – 24,60 Kalsium (Ca) miligram 26,0 0– 42,00 Fosfor (P) miligram 15,00 – 109,00 Kalium (K) miligram 346,00

Sumber: Palungkun dan Budiarti (1992)

2.4.2.2 Garam

Istilah garam biasanya digunakan untuk garam dapur dengan nama kimia

natrium chlorida (NaCl). Pemakaiannya dipilih yang mempunyai mutu yang baik,

warna putih mengkilat, kotorannya sedikit dan sesuai dengan syarat mutu garam

yang telah ditentukan (Wiriano 1984). Garam mungkin terdapat secara alamiah

dalam makanan atau ditambahkan pada waktu pengolahan dan penyajian

makanan. Makanan yang mengandung kurang dari 0,3 % garam akan terasa

hambar dan tidak disukai (Winarno et.al 1980).

Fungsi garam dalam pembuatan kerupuk adalah untuk menambah cita rasa

dan mempertinggi aroma, memperkuat kekompakan adonan dan memperlambat

Page 25: c05iis

pertumbuhan jamur pada produk akhir. Banyaknya garam yang digunakan dalam

pembuatan kerupuk biasanya 2,5 – 3,0 %. Pemakaian yang berlebihan

menyebabkan warna kerupuk menjadi lebih tua dan tekstur agak kasar

(Wiriano 1984). Selain itu penggunaan garam yang berlebihan akan

menyebabkan terjadinya penggumpalan (salting out) dan rasa produk menjadi

asin.

2.4.2.3 Gula

Meskipun dalam jumlah sedikit, gula sangat berperan penting dalam

proses pembuatan kerupuk. Gula yang sering digunakan dalam pembuatan

kerupuk adalah gula pasir (gula tebu). Penambahan gula dalam pembuatan

kerupuk bertujuan untuk memberikan rasa manis, memberi warna pada produk

akhir sehingga menjadi lebih indah (Wiriano 1984).

Menurut Djumali et al (1982) penambahan gula dalam adonan kerupuk

berperan dalam memperbaiki mutu kerupuk, menambah nilai gizi dan sebagai

bahan pengikat. Selain itu dapat menurunkan kadar air yang sangat dibutuhkan

untuk pertumbuhan mikroorganisme.

Pemakaian gula dalam pembuatan kerupuk biasanya antara 2,0 - 2,5 %.

Pemakaian yang berlebihan menyebabkan makin sedikit kadar air yang diserap

oleh tepung di dalam adonan, sehingga waktu pengadukan perlu diperpanjang.

Selain itu pengembangan kerupuk pada waktu digoreng berkurang

(Wiriano 1984).

2.4.2.4 Telur

Menurut Buckle et al (1985), telur utuh mengndung 12 % protein, 10 %

lemak, 1 % karbohidrat, 1 % abu, 75-76 % air dan 213 mg kolesterol. Menurut

Sudaryani (2000) diacu dalam Rahayu (2004), kandungan gizi telur ayam dengan

berat 50 gram terdiri dari 6,3 gram protein, 0,6 gram karbohidrat, 5 gram lemak,

vitamin dan mineral. Selain mengandung protein dan lemak, telur juga

mengandung semua vitamin kecuali vitamin C dan vitamin K. Telur bukan hanya

sebagai sumber vitamin, melainkan juga bahan pangan yang kaya akan sumber

mineral. Kandungan mineral yang lengkap pada telur tidak dapat disamakan oleh

bahan makanan tunggal lainnya. Mineral yang terkandung di dalam telur

Page 26: c05iis

diantaranya besi, fosfor, kalsium, tembaga, yodium, magnesium, mangan,

potasium, sodium, seng, klorida dan sulfur.

Penambahan telur dalam pembuatan kerupuk bertujuan untuk

meningkatkan nilai gizi dari kerupuk yang dihasilkan. Kuning telur cenderung

lebih mengelastiskan bahan dibandingkan dengan putih telur, sedangkan putih

telur memberikan struktur yang berongga yang lebih dibanding dengan kuning

telur. Hasil penelitian Purnomo dan Choliq (1987), membuktikan bahwa

penggunaan putih telur dalam pembuatan kerupuk menghasilkan kerupuk dengan

volume pengembangan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan kuning

telur. Karena putih telur cenderung memberikan struktur yang berongga yang

lebih, sehingga menghasilkan volume pengembangan yang lebih besar daripada

kuning telur.

2.5 Proses Pembuatan Kerupuk

Dalam pembuatan kerupuk terdapat 4 tahap proses yang amat penting

dalam menentukan produk akhir yang dihasilkan, yakni pembuatan adonan,

pengukusan, pengeringan dan penggorengan.

a. Pembuatan adonan

Faktor terpenting dalam tahap pembuatan adonan adalah homogenitas

adonan, karena sifat ini akan mempengaruhi keseragaman produk akhir yang

dihasilkan, baik karakteristik fisik, kimia maupun organoleptik. Untuk itu pada

saat pencampuran bahan hendaknya dilakukan sampai benar-benar homogen.

(Siahaan 1988 diacu dalam Susilo 2001).

Menurut Liepa (1976) diacu dalam Susilo (2001), suhu adonan yang baik

untuk pembuatan lembaran adalah 26,7-76,7 °C. Kadar air adonan yang baik

untuk dapat mengahasilkan lembaran yang tipis adalah 25-55 % dan kadar air

yang terbaik berkisar antara 35 % sampai 45 %.

b. Pengukusan

Pengukusan termasuk salah satu dari cara pengolahan bahan makanan

yang menggunakan proses pemanasan (heating processes) dengan suhu tinggi dan

penambahan air. Interaksi dari penerapan dua proses tersebut menyebabkan

terjadinya proses gelatinisasi pati. Gelatinisasi adalah peristiwa pembengkakan

Page 27: c05iis

granula pati sedemikian rupa sehinggga granula tersebut tidak dapat kembali pada

kondisi semula (Winarno 1992).

Dalam pengukusan, panas dipindahkan ke produk melalui konveksi.

Pengukusan yang kurang atau berlebihan akan mengakibatkan penurunan mutu.

Pengukusan yang terlalu lama akan menyebabkan berkurangnya kadar air bahan,

menurunkan berat produk dan denaturasi protein. Lama pengukusan akan

mempengaruhi hilangnya kandungan air bahan sebesar 10 % sampai 40 % dari

berat total sebelumnya (Lund 1984).

c. Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan sebagian air dari

suatu bahan dengan menggunakan energi panas (Winarno et al 1980).

Pengeringan kerupuk bertujuan untuk menyediakan bahan dengan kadar air

tertentu dimana adanya air akan mengurangi kualitas atau kapasitas kemekaran

kerupuk dalam proses penggorengan selanjutnya. Disamping itu, pengeringan

kerupuk bersifat mengawetkan dan mempertahankan mutu (Winarno et el 1980).

Produk yang digoreng tanpa pengeringan, akan menghasilkan produk yang

tidak mengembang, keras dan permukaan tidak merata. Agar dapat mengembang,

gel pati kerupuk memerlukan tekanan uap yang maksimum pada proses

penggorengan, untuk itu diperlukan tingkat kadar air tertentu pada kerupuk

mentah (Wiriano 1984). Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan

suatu alat pengering (artificial dryer) atau dengan penjemuran alami dengan sinar

matahari (sun drying).

d. Penggorengan

Penggorengan adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan dengan

menggunakan lemak atau minyak pangan (Ketaren 1986). Terdapat dua cara

menggoreng, yaitu menggoreng sangrai (tanpa minyak) dan deef fat frying (bahan

terendam minyak). Menggoreng dengan menggunakan minyak adalah suatu

teknik pengolahan pangan dengan memasukkan bahan ke dalam minyak panas

dan seluruh bagian permukaan bahan mendapat perlakuan panas yang sama,

sehingga berwarna seragam (Hallstrom 1980 diacu dalam Susilo 2001).

Page 28: c05iis

Minyak yang digunakan sebagai medium penggorengan berfungsi sebagai

penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi kalori dalam bahan

pangan (Winarno 1992). Menurut Weiss (1983) diacu dalam Susilo (2001), suhu

minyak yang baik untuk menggoreng berkisar antara 168-196 °C, tergantung dari

bahan yang digoreng. Suhu minyak yang rendah (kurang dari 168 °C) akan

menyebabkan terjadinya kekerasan yang tidak diinginkan (bantat). Suhu minyak

yang tinggi (lebih dari 196 °C) akan menyebabkan makanan gosong pada bagian

luar sedangkan pada bagian dalam belum matang.

Selama proses penggorengan berlangsung, terjadi penguapan air yang

terkandung dalam bahan. Ruang tempat air yang teruapkan itu lalu diisi oleh

udara yang dikenal dengan pengembangan (kemekaran). Alur proses pembuatan

kerupuk ikan dapat dilihat pada Gambar 2.

2.6 Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau

menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air

tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air tersebut

dikurangi sampai batas agar mikroba tidak dapat tumbuh di dalamnya

(Winarno et al 1980).

Tujuan pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan sampai

batas dimana perkembangan mikroorganisme yang dapat menyebabkan

pembusukan terhambat, demikian juga perubahan-perubahan akibat aktivitas

enzim. Beberapa keuntungan dari pengeringan antara lain bahan menjadi awet,

dengan volume bahan yang lebih kecil sehingga memudahkan dan menghemat

ruang pengepakan dan pengangkutan dengan demikian diharapkan biaya produksi

menjadi lebih murah (Winarno et al 1980).

Disamping itu pengeringan juga dapat menyebabkan kerugian antara lain

hilangnya sifat asal dari bahan yang dikeringkan misalnya bentuk, sifat-sifat fisik

dan kimianya, penurunan mutu dan lain-lain. Menurut Buckle et al (1985),

faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan bahan pangan antara

lain:

1. Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komponen dan

kadar air).

Page 29: c05iis

2. Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat/media

perantara pemindah panas (seperti nampan untuk pengeringan).

3. Sifat-sifat fisik dari lingkungan dan alat pengering (suhu, kelembaban, dan

kecepatan udara).

4. Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan panas).

Pengeringan alami merupakan metode pengeringan yang memanfaatkan

energi matahari sebagai energi pengeringnya. Pengeringan ini biasanya dilakukan

dengan cara menjemur di bawah terik cahaya matahari dan pada umumnya

dilakukan diatas para-para yang terbuat dari berbagai bahan padat. Keuntungan

dari pengeringan alami yaitu tidak memerlukan peralatan yang khusus dan mahal

serta prosesnya mudah sehingga dapat dilakukan oleh siapapun. Sedangkan

kelemahannya adalah pengeringan berjalan lambat karena tergantung kepada

cuaca sehingga terjadi pembusukan sebelum produk kering.

2.7 Penyimpanan

Penyimpanan adalah usaha untuk melindungi bahan pangan dari kerusakan

yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain seperti mikroorganisme, serangga,

tikus dan kerusakan fisiologis atau biokimia (Damayanti dan Mudjajanto 1995).

Penyimpanan bahan pangan atau hasil pertanian merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari pengolahan, khususnya pengawetan dan pengemasan bahan

pangan. Penyimpanan berfungsi sebagai pengendali persediaan makanan.

Cara penyimpanan bahan pangan selama proses pengolahan dan tingkat

distribusi serta penjualan merupakan salah satu faktor dalam menentukan

keamanan dan mutu bahan pangan (Buckle et al 1985). Faktor yang sangat

berpengaruh selama penyimpanan bahan pangan adalah faktor biotik dan faktor

abiotik. Faktor biotik dapat disebabkan oleh serangga, tungau, hewan pengerat,

dan mikroorganisme (kapang, khamir dan bakteri). Sedangkan faktor abiotik

adalah suhu, kelembaban, O2, dan CO2 di tempat penyimpanan. Interaksi antara

kedua faktor tersebut akan menentukan kondisi penyimpanan selanjutnya

berpengaruh pada tingkat penyusutan bahan pangan yang disimpan (Sinha dan

Muir 1973 diacu dalam Erawaty 2001).

Penyimpanan terhadap produk pangan pada suhu kamar akan

mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kimia, mikrobiologi dan

Page 30: c05iis

organoleptik yang mencirikan berlangsungnya proses pembusukan yang relatif

cepat dengan berjalannya waktu penyimpanan (Suparno dan Martini 1980 diacu

dalam Lestari 2002).

Kerusakan bahan pangan dapat diartikan sebagai perubahan yang terjadi

pada pangan (mentah atau olahan) dimana sifat-sifat kimiawi, fisik dan

organoleptik bahan pangan telah ditolak oleh konsumen. Suatu bahan pangan

dikatakan rusak bila menunjukkan adanya penyimpangan yang melewati batas

yang dapat diterima secara normal oleh panca indera atau parameter lain yang

digunakan (Muchtadi 1989).

Menurut Winarno dan Jennie (1983) diacu dalam Amelia (2000)

menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyimpanan adalah

kadar air. Pengaruh kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari

makanan, karena faktor ini akan mempengaruhi sifat fisik (kekerasan dan

kekeringan) dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia (browning

non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan enzimatis terutama pada makanan

yang tidak diolah. Tumbuhnya kapang di dalam bahan pangan dapat mengubah

komposisi bahan pangan. Beberapa mikroba dapat menghidrolisa lemak sehingga

menyebabkan ketengikan. Jika makanan mengalami kontaminasi secara spontan

dari udara, maka akan terdapat campuran beberapa tipe mikroba (Muchtadi 1989).

2.8 Pengemasan

Pengemasan bertujuan untuk mencegah kebusukan, memudahkan dalam

transportasi, penyimpanan, pengawasan mutu, dan membuat produk menjadi lebih

menarik (Zaitsev et al 1969). Selain itu kemasan mempunyai peranan penting

dalam mempertahankan mutu bahan.

Kerusakan yang terjadi dalam bahan pangan dapat terjadi secara spontan

dan hal ini sering disebabkan oleh pengaruh keadaan dari luar. Pengemasan juga

digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan keadaan sekelilingnya

untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu tertentu (Buckle et al

1985).

Menurut Winarno dan Jenie (1983) diacu dalam Amelia (2000), faktor-

faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan

yang digunakan dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu pertama, kerusakan yang

Page 31: c05iis

ditentukan oleh sifat alamiah dari produk dan tidak dapat dicegah dengan

pengemasan, misalnya keruskan kimia, biokimia, fisik dan mikrobiologi. Kedua,

kerusakan yang ditentukan oleh lingkungan dan hampir seluruhnya dapat

dikontrol dengan pengemasan yang digunakan, misalnya kerusakan mekanis,

perubahan kadar air bahan, absorbsi dan interaksi dengan oksigen serta kehilangan

dan penambahan citarasa yang diinginkan.

Syarief et al (1989) menyatakan bahwa dalam pemilihan jenis kemasan

produk pangan harus dihindari adanya perubahan fisik dan kimia karena migrasi

dari bahan kemas seperti monomer plastik, timah putih dan korosi. Penggunaan

plastik sebagai bahan pengemas memungkinkan banyak variasi dan serba guna

seperti melindungi, mengawetkan, menyimpan dan memamerkan hasil. Bahan

kemasan yang dibutuhkan untuk mengemas produk-produk perikanan adalah yang

dapat mencegah kehilangan atau peningkatan kadar air dan tidak dapat

melewatkan komponen-komponen flavor yang berupa senyawa organik volatil.

Aroma dan flavor dari produk perikanan olahan kemungkinan dapat lolos melalui

permeabilitas bahan kemas, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran flavor

antara produk pangan yang berbeda dalam tempat penyimpanan (Saccharow dan

Griffin 1984).

Kemasan mempengaruhi nilai gizi bahan pangan dengan cara mengatur

derajat sejumlah faktor yang berkaitan dengan pengolahan, penyimpanan dan

penanganan zat yang dapat bereaksi dengan komponen bahan pangan. Faktor

pengolahan dan penyimpanan dapat dikendalikan oleh pengemas, termasuk

pengendalian cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air, pemindahan panas,

kontaminasi dan serangan makhluk hayati. Selain itu beberapa faktor seperti

interaksi pangan dengan pengemas timbul dari penggunaan kemasan itu sendiri

(Harris dan Karnas 1989). Kemasan yang baik untuk kerupuk adalah kemasan

yang tertutup rapat, tidak dipengaruhi atau mempengaruhi isi, aman selama

penyimpanan dan pengangkutan (Dept. Perindustrian 1989 diacu dalam Amelia

2000).

Page 32: c05iis

Ikan

Penyiangan dan pemfiletan

Daging ikan (skinless fillet)

Pelumatan

Tepung tapioka pencampuran (mixer)

Pengadonan

Pencetakan (dodolan)

Pengukusan sampai matang (1.5 – 2 jam, 80 °C)

pendinginan (suhu ruang, 24 jam)

pemotongan (2 – 3 mm)

pengeringan dengan sinar matahari (1 – 2 hari)

penggorengan (168-196 °C)

kerupuk ikan

Gambar 2. Alur proses pembuatan kerupuk ikan (Arsyad 1990)

Gula, telur, air, garam

Page 33: c05iis

2.9 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Mutu Kerupuk

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu kerupuk mentah

ataupun matang, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Kadar air

Kadar air yang terikat dalam kerupuk sebelum digoreng sangat

menentukan volume pengembangan kerupuk matang (Muliawan 1991 diacu

dalam Amelia 2000). Jumlah air yang terikat dalam bahan pangan akan

menentukan banyaknya letusan yang menguap selama penggorengan. Jumlah uap

air yang terdapat dalam bahan pangan ditentukan oleh lamanya pengeringan, suhu

penggorengan, kecepatan aliran udara, kondisi bahan dan cara penumpukan serta

penambahan air sewaktu pembuatan adonan pada proses gelatinisasi pati

(Lavlinesia 1995).

2) Volume pengembangan

Pengembangan merupakan salah satu parameter mutu kerupuk goreng

(Muliawan 1991 diacu dalam Amelia 2000). Sedangkan volume pengembangan

dipengaruhi oleh kadar air kerupuk mentah dan suhu pengorengan (Zulviani

1992). Volume pengembangan kerupuk juga dipengaruhi oleh adanya

penambahan jenis pengembang makanan pada adonan kerupuk mentah. Dari hasil

penelitian penggunaan soda kue, soda abu dan amoniak kue dapat meningkatkan

volume pengembangan kerupuk sekitar 20 % (Tahir 1985).

Menurut Lavlinesia (1995), daya kembang kerupuk dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain:

a. Sumber pati yang digunakan. Penggunaan sumber pati yang berbeda akan

menghasilkan daya kembang kerupuk yang berbeda. Penggunaan pati tapioka

dan sagu memberikan derajat pengembangan linear yang tinggi dibandingkan

dari jenis pati lainnya pada pembuatan kerupuk.

b. Kandungan dan jenis protein. Kandungan protein yang tinggi cenderung

menurunkan daya kembang kerupuk. Selain jumlah protein yang

mempengaruhi daya kembang kerupuk, sumber protein yang berbeda juga

berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk.

c. Kadar air. Pengembangan kerupuk selama digoreng sangat ditentukan oleh

kandungan air yang terikat pada kerupuk sebelum digoreng. Jumlah air yang

Page 34: c05iis

terikat dalam bahan akan menentukan banyaknya letusan yang menguap

selama penggorengan. Jumlah uap air yang terdapat di dalam bahan, selain

ditentukan oleh lamanya pengeringan, suhu penggorengan, kecepatan aliran

udara, kondisi bahan dan cara penumpukan. Selain itu juga dipengaruhi oleh

penambahan air sewaktu pembuatan adonan pada proses gelatinisasi.

d. Suhu penggorengan. Kerupuk yang digoreng dalam minyak yang kurang

panas dalam waktu yang lama akan dihasilkan pengembangan yang kurang

baik, sedangkan bila suhu penggorengan yang terlampau panas, walaupun

waktu dibutuhkan untuk mengembang lebih cepat akan tetapi kerupuk goreng

akan mudah hangus.

e. Penggunaan bahan pengembang. Penggunaan bahan pengembang seperti soda

kue, soda abu dan amoniak kue dapat meningkatkan kerupuk sekitar 20 %.

f. Faktor lain yang berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk adalah

pengadukan. Pengaruh pengadukan terhadap volume pengembangan adalah

selain hubungannya dengan pengumpulan udara dan gas juga berpengaruh

terhadap proses gelatinisasi pati.

3) Kemasan

Pengemasan berfungsi untuk melindungi produk dari pengaruh lingkungan

dan untuk memberi pengaruh visual. Selain itu pengemasan juga untuk

mempermudah penanganan serta distribusi dan memperpanjang masa simpan

produk yang dikemas (Nelson 1995 diacu dalam Amelia 2000). Syarief et al

(1989) menerangkan bahwa terdapat hubungan antara kemasan dengan mutu

produk yang dikemas. Pengemas akan menjaga produk dari perubahan aroma,

warna tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan oksigen.

2.10 Kerusakan pada Kerupuk

Bahan pangan selain sebagai sumber gizi bagi manusia juga menjadi

sumber makanan bagi perkembangan bakteri yang mengakibatkan berbagai

perubahan fisik maupun kimiawi yang tidak diinginkan. Bahan pangan dikatakan

rusak apabila telah mengalami perubahan cita rasa, penurunan nilai gizi, atau tidak

aman lagi untuk dikonsumsi karena dapat mengganggu kesehatan (Syarief et al

1989).

Page 35: c05iis

Kerusakan pada kerupuk ikan ditandai dengan berkurangnya kerenyahan

dan tumbuhnya kapang pada permukaan kerupuk mentah. Pertumbuhan kapang

pada permukaan kerupuk ditandai dengan adanya miselium berwarna putih yang

kemudian akan berubah warna menjadi kehitaman atau kehijauan. Kapang

membutuhkan kondisi fisik tertentu dalam melakukan pertumbuhannya antara lain

kelembaban, temperatur, pH, oksigen dan nutrisi. Kelembaban mempengaruhi

terjadinya perubahan kadar air dan aktivitas air produk selama penyimpanan

sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan kapang (Muchtadi 1989).

Menurut Banwart (1983), umumnya masing-masing jenis kapang

memerlukan kisaran aktivitas air tertentu untuk mengoptimalkan

pertumbuhannya. Berdasarkan nilai aktivitas air minimal, maka kapang yang

menginfestasi bahan simpanan dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:

a. Kapang hidrofilik ialah kapang yang sporanya berkembang pada aw diatas

0,9

b. Kapang mesofilik ialah kapang yang sporanya berkembang pada aw 0,8 –

0,9

c. Kapang xerofilik ialah kapang yang sporanya berkembang pada aw yang

lebih rendah dari 0,8

Page 36: c05iis

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Mei 2005 bertempat di

Laboratorium Penanganan dan Pengolahan, Laboratorium Industri, Laboratorium

Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Laboratorium Biokimia Departemen Teknologi Pangan dan Gizi,

Laboratorium Pilot Plan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi, serta

Laboratorium Biokimia Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga,

Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

3.1.1 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan sapu-sapu

(Hyposarcus pardalis) yang diperoleh dari sungai Cangkurawok yang terletak di

Desa Babakan, Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor dengan harga

Rp 1.000,./kg dengan ukuran ± 15 – 20 cm. Bahan lainnya yang digunakan

adalah tepung tapioka, gula, garam, bawang putih dan telur. Selain bahan-bahan

tersebut digunakan pula bahan-bahan lainnya yaitu minyak goreng dan bahan-

bahan untuk menganalisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, kadar

karbohidrat, volume pengembangan. seperti HCl, kjeltab, aquades, H2SO4 , pelarut

heksan, NaOH, H3BO3, indikator metil merah, NaCl dan lain-lain.

3.1.2 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, timbangan,

baskom, pisau, ember, talenan, blender, tempat pengukus atau dandang, wajan dan

kompor. Serta alat-alat lain di laboratorium yang digunakan untuk analisis

proksimat, uji kemekaran, uji sensori, uji derajat putih, aw dan uji kerenyahan.

Seperti jangka sorong, oven, timbangan analitik, desikator, cawan porselin,

pemanas kjeldahl, labu kjeldahl, destilator, erlenmeyer, kertas saring , pemanas

listrik, alat ekstraksi soxhlet dan lain-lain.

Page 37: c05iis

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi daging

ikan sapu-sapu terpilih. Konsentrasi daging ikan sapu-sapu yang digunakan

adalah 0 % (kontrol); 6,47 % (10 g); 12,94 % (20 g); 19,42 % (30 g), 25,89 %

(40 g) dan 32,36 % (50 g). Kemudian kerupuk yang dihasilkan dilakukan uji

sensori (skala hedonik) sehingga diperoleh konsentrasi daging ikan terpilih.

Selain itu, pada penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran terhadap rendemen

daging ikan dan volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu.

3.2.2 Penelitian lanjutan

Pada penelitian lanjutan dilakukan penyimpanan selama 4 minggu

terhadap kerupuk ikan sapu-sapu terpilih ternasuk kontrol berdasarkan uji sensori

pada penelitian pendahuluan. Pada penelitian lanjutan ini dilakukan uji sensori,

uji tingkat kekerasan, uji aktivitas air, uji derajat putih, pengukuran volume

pengembangan dan analisis proksimat.

3.2.3 Formula bahan

Formula bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk ikan adalah

disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Formula bahan dalam pembuatan kerupuk ikan

Tepung tapioka Daging ikan Garam Putih telur Gula Bawang putih Air (gram) (gram) (%) (gram) (gram) (gram) (gram) (ml)

100 0 0 3 11 2,5 3 35 90 10 6,47 3 11 2,5 3 35 80 20 12,94 3 11 2,5 3 35 70 30 19,42 3 11 2,5 3 35 60 40 25,89 3 11 2,5 3 35 50 50 32,36 3 11 2,5 3 35

3.2.4 Prosedur pembuatan kerupuk ikan

Pada proses pengolahan kerupuk ikan terdapat dua metode yang biasa

digunakan yaitu metode panas dan metode dingin (Wiriano 1984). Pada

penelitian ini digunakan metode panas. Tahap-tahap pengolahan kerupuk dengan

proses panas adalah sebagai berikut: penyiapan bahan, pembuatan adonan,

pencetakan pengukusan, pendinginan, pengirisan dan penjemuran (pengeringan).

Page 38: c05iis

a. Penyiapan bahan

Ikan sapu-sapu yang digunakan dalam pembuatan kerupuk dicuci dan

disiangi sampai bersih selanjutnya dilakukan pengambilan daging dengan cara:

pembedahan ikan dilakukan dari perut bagian bawah yaitu dari mulai anus hingga

bagian kepala, kemudian jeroan dan kotoran yang terdapat dalam perut ikan

dibuang dan dibersihkan. Selanjutnya pengambilan daging ikan dilakukan dengan

menggunakan pisau yang tajam untuk memisahkan daging tersebut dari tulang

dan kulit ikan. Setelah itu daging ikan yang diperoleh dicuci dan kemudian

dihaluskan (dilumatkan).

b. Pembuatan adonan

Bumbu-bumbu (bawang putih, garam, gula dan monosodium glutamat)

yang telah dihaluskan dicampur dengan daging ikan yang telah dilumatkan.

Demikian pula dengan telur dan seperempat bagian tepung tapioka yang

dilarutkan dalam air ditambahkan ke dalam campuran daging ikan dan bumbu

yang sudah dihaluskan. Kemudian dipanaskan sampai suhu mencapai 55 – 60 º C

selama kurang lebih 5 menit atau sampai terjadi pembentukan gel dari tepung

tapioka tersebut (gelatinisasi) sambil diaduk hingga diperoleh campuran

berbentuk bubur. Selanjutnya sisa tepung tapioka ditambahkan kedalam adonan

dan dilakukan pengadukan sampai diperoleh adonan yang homogen, sehingga

mudah dicetak atau dibentuk menjadi dodolan. Apabila adonan tersebut dipegang

dengan tangan atau alat tidak lengket, menunjukkan pengadonan telah cukup.

c. Pencetakan

Adonan dicetak atau dibentuk dengan menggunakan tangan menjadi

bentuk lontongan (silinder) dengan panjang ± 15 cm dengan diameter ± 1,5 cm.

d. Pengukusan

Adonan dikukus dalam langseng bejana penangas selama 1,5 – 2 jam pada

suhu 80 – 90 °C sampai adonan benar-benar matang yaitu ditandai dengan

berubahnya warna adonan yang semula putih susu menjadi bening, dan apabila

adonan ditusuk dengan menggunakan lidi sudah tidak melekat.

Page 39: c05iis

e. Pengirisan

Setelah adonan selesai dimasak, yang ditandai dengan warna bening,

dodolan diangkat dari penangas kemudian diangin-anginkan selama kurang lebih

24 jam. Setelah dingin dodolan diiris dengan ketebalan 1 – 2 mm dengan

menggunakan pisau.

f. Pengeringan (penjemuran)

Pengeringan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan pengeringan alami. Pengeringan alami yaitu pengeringan dengan

menggunakan sinar matahari, dimana dodolan yang telah diiris diatur diatas

tampah kemudian dijemur dibawah sinar matahari. Pengeringan dilakukan selama

2 hari. Untuk lebih jelasnya alur proses pembuatan kerupuk ikan dapat dilihat

pada Gambar 3.

3.3 Pengamatan dan Analisis Produk

Kerupuk ikan yang telah dikeringkan kemudian dikemas dengan

menggunakan plastik polipropilen setelah itu dilakukan penyimpanan dengan

lama penyimpanan yang berbeda-beda yaitu 0 minggu, 1 minggu, 2 minggu, 3

minggu dan 4 minggu.

3.3.1 Pengukuran rendemen (AOAC 1995)

Rendemen merupakan hasil akhir yang dihitung berdasarkan proses input

dan output. Rendemen dihitung berdasarkan berat basah.

% Rendemen = % 100 awalikan berat akhir dagingberat

x

3.3.2 Analisis sifat fisik

Analisis sifat fisik dilakukan pada setiap titik pengamatan yaitu pada

minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4. Analisis sifat fisik yang

dilakukan adalah kekerasan, volume pengembangan, dan derajat putih.

3.3.2.1 Uji kekerasan metode penetrometri (Ranganna 1986)

Uji kerenyahan dilakukan terhadap kerupuk matang dengan menggunakan

penetrometer. Kerupuk direntangkan pada dasar alat penetrometer, kemudian

ditusukkan jarum kedalam kerupuk selama 5 detik. Nilai kekerasan dapat dilihat

Page 40: c05iis

pada angka yang ditunjukkan oleh meter. Semakin kecil nilai yang didapatkan,

maka tingkat kekerasan semakin besar.

Ikan sapu-sapu segar

Penyiangan dan pengambilan daging

Pelumatan

Pencampuran

Pemanasan (55-60 °C, ± 5 menit)

Pengadonan (diuleni)

(+ ¾ bagian tepung tapioka)

Pencetakan (dodolan)

Pengukusan

(1,5 – 2 jam, 80 - 90 °C)

Pendinginan

(suhu ruang, 24 jam)

Pengirisan

(tebal : 1 – 2 mm)

Penjemuran

( 2 hari)

kerupuk ikan

Gambar 3. Skema proses pembuatan kerupuk ikan (Modifikasi metode Wiriano, 1984)

Daging lumat (0, 10, 20, 30, 40, 50 %)

Bawang putih , garam, gula, putih telur, air, ¼ bagian tepung tapioka

Page 41: c05iis

3.3.2.2 Uji volume pengembangan (Zulviani 1992)

Pengukuran volume mengembang kerupuk dilakukan dengan

menggunakan 5 keping kerupuk untuk setiap kali pengukuran. Sampel

dimasukkan dalam posisi vertikal dalam gelas ukur yang ¼ bagiannya telah diisi

manik-manik, kemudian gelas ukur diisi kembali dengan manik-manik sampai

penuh dengan membentuk permukaan yang rata. Volume manik-manik yang

digunakan baik tanpa atau dengan contoh diukur dengan gelas ukur. Volume jenis

kerupuk ditentukan dengan rumus:

Volume jenis kerupuk = sampel gram

V2 - V1

Keterangan: V1 = volume manik-manik dalam wadah gelas tanpa berisi contoh

V2 = volume manik-manik dalam wadah gelas berisi contoh

Selisih volume jenis kerupuk goreng dengan volume jenis kerupuk mentah

merupakan volume mengembang kerupuk yang dapat dihitung dengan

menggunakan rumus:

Volume mengembang kerupuk (%) = % 100 x Vm

Vm - Vg

Keterangan: Vg = volume jenis kerupuk goreng

Vm = volume jenis kerupuk mentah

3.3.2.3 Uji derajat putih (Kett Whiteness Electric Laboratory 1981 diacu dalam Nurhayati 1994)

Analisis derajat putih dilakukan terhadap kerupuk mentah. Sampel berupa

kerupuk dimasukkan kedalam cawan whiteness meter hingga padat dan penuh.

Kemudian cawan berisi sampel serta cawan berisi standar (berupa white plate atau

serbuk BaSO4) dimasukkan kedalam sistem Kett Whiteness Meter. Derajat putih

diukur dengan membandingkan warna sampel dengan warna kontrol, ditunjukkan

oleh jarum meter pada monitor.

3.3.3 Analisis proksimat

Analisis proksimat dilakukan terhadap kerupuk mentah yaitu pada awal

(minggu ke-0), pertengahan (minggu ke-2) dan akhir penyimpanan (minggu ke-4)

Page 42: c05iis

kecuali pada analisis kadar air dilakukan setiap kali pengamatan (minggu ke-0

hingga minggu ke-4)

3.3.3.1 Analisis kadar air (AOAC 1995)

Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan dalam oven selama 15

menit atau sampai didapat berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator

selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram ditimbang dan

diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3 – 4 jam pada

suhu 105-110 º C. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah

dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut:

Kadar air (%) = B

BB 21− x 100 %

Keterangan :B = berat sampel (gram)

B1 = berat (sample + cawan) sebelum dikeringkan

B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan

3.3.3.2 Analisis kadar abu metode gravimetri (AOAC 1995)

Cawan kosong dipanaskan dalam oven kemudian didinginkan dalam

desikator selama 30 menit. Sampel ditimbang kurang lebih 3 gram dan diletakkan

dalam cawan, kemudian dibakar dalam kompor listrik sampai tidak berasap.

Cawan kemudian dimasukkan dalam tanur. Pengabuan dilakukan pada suhu 550 º

C selama 2-3 jam. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator, setelah dingin

cawan kemudian ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

% Kadar abu = % 100 x (g) sampelBerat

(g)abu Berat

3.3.3.3 Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Sampel sebanyak 0,5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring

dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang diatas kondensor serta

labu lemak dibawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak

secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks

Page 43: c05iis

selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak.

Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Lebu lemak yang berisi

lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105º C selama

5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit

dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus:

% Lemak = % 100 x (g) sampelBerat (g)lemak Berat

Berat lemak = (berat labu + lemak) – berat labu

3.3.3.4 Analisis kadar protein metode mikro kjeldahl (AOAC 1995)

Analisis kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode kjeldahl

mikro. Sampel sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml.

Kemudian ditambahkan K2SO4 (1,9 g), HgO (40 mg), H2SO4 (2,5 ml) serta

beberapa tablet kjeldahl. Sampel dididihkan sampai berwarna jernih (sekitar 1 –

1,5 jam); didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air

sebanyak 5 –6 kali dengan akuades (20 ml) dan air bilasan tersebut juga

dimasukkan dibawah kondensor dengan ujung kondensor terendam didalamnya.

Ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Cairan

dalam ujung tabung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi

larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran metil merah 0,2 % dalam alkohol

dan metilen blue 0,2 % dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang ada

dibawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml

destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat

dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal

yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein dapat dihitung dengan

menggunkan rumus sebagai berikut:

% Nitrogen = % 100 x sampel mg

14.007 x NHCl x blanko) - HCl (ml

% Protein = % N x faktor konversi (6,25)

Page 44: c05iis

3.3.3.5 Analisis kadar karbohidrat by difference (Winarno 1997)

Analisis kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil

pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar

lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal

ini karena karbohidrat sangat berpengaruh kepada zat gizi lainnya. Analisis kadar

karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

% Kadar karbohidrat = 100 % - (kadar air + kadar abu

+kadar lemak + kadar protein)

3.3.4 Kapang (SNI 1992)

Pengujian terhadap kapang dilakukan setiap kali pengamatan yaitu pada

minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4. Pengujian terhadap kapang ini

dilakukan secara visual yaitu dengan cara mengamati permukaan kerupuk dengan

menggunakan kaca pembesar (loupe).

3.3.5 Uji aktivitas air (Apriyantono et al 1989)

Analisa aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan aw meter

Shibaura WA-360. Sampel diletakkan dalam cawan pengukur aw. Setelah cawan

ditutup dan dikunci, kemudian aw meter di dijalankan. Sebelum digunakan untuk

pengukuran untuk terlebih dahulu aw meter dikalibrasi dengan menggunakan

garam NaCl (suhu 30 ° C).

3.3.6 Uji sensori (Soekarto 1985)

Pengujian sifat organoleptik dilakukan berdasarkan uji kesukaan berskala

hedonik. Sampel disajikan dengan memberi nomor secara acak dan panelis

sebanyak 30 orang diminta memberikan penilaian kesukaan terhadap warna,

aroma, rasa, kerenyahan dan penampakan kerupuk ikan setelah digoreng.

Pengujian organoleptik dilakukan pada setiap waktu penyimpanan.

3.4 Rancangan Percobaan (Steel dan Torrie 1993)

Rancangan percobaan yang digunakan untuk uji volume pengembangan

dalam penelitian pendahuluan yaitu adalah Rancangan Acak Lengkap Tunggal

dengan satu faktor yaitu konsentrasi daging ikan sapu-sapu. Bila hasil analisis

Page 45: c05iis

berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut BNJ untuk melihat perbedaan

antar perlakuan.

Model Rancangan: Yik = µµ + Ai + εεik

Keterangan:

Yik = respon percobaan karena pengaruh faktor A taraf ke-i, ulangan ke-k

µ = nilai tengah umum / rataan

Ai = pengaruh taraf ke-i faktor A (i = 1, 2,..n)

εik = kesalahan percobaan karena pengaruh faktor A taraf ke-i pada ulangan ke-k

Sedangkan rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian lanjutan

yaitu Rancangan Acak Lengkap pola faktorial dengan dua faktor sebanyak 2 kali

ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi daging ikan sapu-sapu (A) sebanyak

duan taraf yang terdiri dari 0 % (A0) dan 50 % (A1). Faktor kedua adalah lama

penyimpanan (B) sebanyak 5 taraf yang terdiri dari penyimpanan minggu ke-0

(B0), minggu ke-1 (B1), minggu ke-2 (B3), minggu ke-3 (B4) dan minggu ke-4

(B5). Model rancangan tersebut menurut Steel dan Torrie (1993) adalah sebagai

berikut:

Yij = µµ + ái + âj+ (áâ)ij+åijk

Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh

kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor á dan taraf ke-j dari faktor â)

µ = nilai tengah populasi

ái = pengaruh perlakuan á taraf ke-i (i = 1, 2)

âj = pengaruh perlakuan â taraf ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)

(áâ)ij = pengaruh interaksi perlakuan á ke-i dan perlakuan â ke-j

εijk = pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi

perlakuan ij.

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis ragam untuk

mengetahui adanya pengaruh konsentrasi dan lama waktu penyimpanan terhadap

kerupuk ikan.

Data yang diperoleh dari uji sensori baik pada penelitian pendahuluan

maupun penelitian lanjutan dianalisis dengan menggunakan statistik non

Page 46: c05iis

parametrik dengan metode uji Kruskal-Wallis dan apabila berbeda nyata

dilakukan uji lanjut MultipleCcomparison (Steel dan Torrie, 1993).

Langkah-langkah metode pangujian Kruskal-Wallis adalah sebagai

berikut:

1. Rangking dari data yang terkecil sampai terbesar untuk seluruh perlakuan

dalam satu parameter.

2. Hitung total rangking untuk setiap perlakuan dan hitung pula rata-ratanya.

3. Data yang diperoleh dihitung dengan menggunakan rumus:

H = ∑ ++

1) (n 3 - ni

Ri

1) (n n 12 2

; H’ = pembagi

H

Pembagi = 1 - 1) (n n 1) -(n

T+

; T = (t –1) t (t + 1)

Keterangan:

ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan

Ri = jumlah rangking dalam perlakuan ke-i

t = banyaknya pengamatan seri dan kelompok

H’ = H terkoreksi

Uji Multiple Comparison:

Ri - Rj >><< Zαα / 2p 6k / 1) (n +

Keterangan:

Ri = rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i

Rj = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j

k = banyaknya ulangan

n = jumlah total data

Page 47: c05iis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui rendemen daging

ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis), komposisi kimia daging ikan sapu-sapu

(Hyposarcus pardalis) dan konsentrasi terpilih (tidak termasuk kontrol) yang

diperoleh melalui uji sensori yang selanjutnya akan digunakan pada penelitian

lanjutan. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian tahap awal meliputi

kontrol, penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 0 % (kontrol); 6,47 %;

12,94 %; 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %.

4.1.1 Rendemen daging ikan

Rendemen merupakan suatu parameter yang paling penting untuk

mengetahui nilai efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan rendemen

berdasarkan persentase perbandingan antar berat akhir dengan berat awal proses

(Amiarso 2003). Rendemen dapat dinyatakan dalam desimal atau persen.

Rendemen ikan yang dihitung berdasarkan persentase ikan sapu-sapu utuh

terhadap daging ikan sapu-sapu yang diperoleh adalah sebesar 26,06 %. Hal ini

menunjukkan bahwa ikan sapu-sapu memiliki nilai rendemen yang rendah, karena

ikan tersebut memiliki kulit yang sangat keras sehingga proses pengambilan

daging sulit untuk dilakukan. Rendemen daging ikan sapu-sapu salah satunya

dapat dipengaruhi oleh cara pengambilan daging yang dilakukan. Cara

pengambilan daging yang baik dapat dilihat dari sedikitnya daging ikan sapu-sapu

yang masih menempel pada kulit dan tulang. Semakin baik cara pengambilan

daging yang dilakukan maka semakin tinggi nilai rendemen daging ikan yang

dihasilkan.

4.1.2 Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

Ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang digunakan berasal dari sungai

Cangkurawok yang terletak di desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten

Bogor. Ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang digunakan mempunyai

ukuran panjang ± 15 – 20 cm dengan berat ± 225 g/ekor. Komposisi kimia daging

Page 48: c05iis

ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dari berbagai lokasi yang berbeda dan

dihitung berdasarkan berat basah adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dari berbagai lokasi yang berbeda

Nilai (%) Komposisi kimia Sungai Cangkurawok 1) Sungai Darmaga 2) Waduk Cirata 3)

Air 81,89 83,16 77,50 Abu 1,07 2,51 1,01 Lemak 1,02 0,03 1,23 Protein 13,48 11,97 19,71 Karbohidrat 2,54 2,33 0,55

Keterangan : 1) hasil penelitian 2) Mahdiah (2002) 3) Chaidir (2003)

Hasil analisis proksimat pada tabel diatas menunjukkan bahwa besarnya

kandungan gizi ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang digunakan pada

penelitian ini tergolong kedalam jenis ikan yang berlemak rendah dan berprotein

rendah (Stansby dan Olcott 1963). Besarnya komposisi kimia ikan sapu-sapu

(Hyposarcus pardalis) yang berasal dari Sungai Cangkurawok mempunyai

perbedaan nilai terhadap komposisi kimia ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

baik yang berasal dari Sungai Darmaga maupun Waduk Cirata. Ikan sapu-sapu

yang berasal dari Waduk Cirata memiliki kadar protein yang paling tinggi

dibandingkan dengan kadar protein ikan sapu-sapu dari Sungai Darmaga maupun

Sungai Cangkurawok. Ini dapat disebabkan oleh habitat tempat ikan tersebut

berada sehingga habitat ini erat sekali hubungannya dengan sumber makanan baik

dalam hal jumlah maupun jenisnya. Karena makanan yang dimakan oleh ikan

akan menentukan komposisi daging dari ikan tersebut (Muchtadi dan Sugiyono

1992).

Menurut Chaidir (2001), ikan sapu-sapu yang berada di Waduk Cirata

mendapatkan pakan yang cukup baik, karena waduk tersebut merupakan tempat

pemeliharaan ikan tawar lainnya antara lain ikan mas sehingga akan berpengaruh

terhadap komposisi kimia ikan tersebut. Sedangkan ikan sapu-sapu baik yang

berasal dari Sungai Cangkurawok maupun Sungai Darmaga hanya mendapatkan

pakan dari lingkungan sekitarnya. Menurut Zaitsev et al (1969), komposisi kimia

ikan dapat berbeda-beda tergantung dari spesies ikan, tingkat umur, habitat dan

kebiasaan makan ikan tersebut.

Page 49: c05iis

4.1.3 Uji sensori kerupuk ikan

Penerimaan konsumen terhadap suatu produk dapat diukur secara

subyektif yaitu dengan menggunakan alat indera. Pada penelitian ini

menggunakan uji sensori dengan penilaian skala hedonik (hedonic scale test)

skala 1 – 7. Uji skala hedonik dilakukan terhadap kerupuk matang untuk

mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap kerupuk ikan sapu-sapu

(Hyposarcus pardalis) yang dihasilkan yang meliputi kerupuk 0 % (kontrol);

6,47 %; 12,94 %; 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %. Berdasarkan uji sensori dengan

skala hedonik ini akan dipilih satu perlakuan terbaik dan bukan termasuk kontrol.

Adapun score sheet dan hasil dari penerimaan panelis dapat dilihat pada

Lampiran 1. Hasil uji sensori kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

secara rinci adalah sebagai berikut:

4.1.3.1 Penampakan

Uji sensori terhadap penampakan merupakan penilaian produk secara

menyeluruh. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis berdasarkan uji skala

hedonik terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

disajikan dalam Gambar 4.

6.476.436.335.475.375.37

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36

Kons e ntr as i (%)

Nila

i rat

a-ra

ta p

en

amp

akan

Gambar 4. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap penampakan kerupuk

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata uji sensori terhadap

penampakan kerupuk ikan sapu-sapu berkisar antara 5,37 sampai 6,47 yang secara

deskriptif berkisar antara agak suka sampai suka. Nilai rata-rata tertinggi terdapat

pada kerupuk ikan sapu-sapu dengan konsentrasi 32,36 % dan tingkat kesukaan

Page 50: c05iis

terkecil terdapat pada kerupuk kontrol dan kerupuk dengan penambahan daging

ikan 6,47 %. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tingkat

kesukaan panelis terhadap penampakan kerupuk semakin meningkat seiring

dengan meningkatnya konsentrasi ikan sapu-sapu yang ditambahkan. Hal ini

disebabkan karena kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu

(Hyposarcus pardalis) memiliki permukaan yang lebih halus dan kompak

dibandingkan dengan kerupuk kontrol (tanpa penambahan daging ikan).

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 3) menunjukkan bahwa penambahan

daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) memberikan pengaruh yang berbeda

nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-

sapu (Hyposarcus pardalis). Hasil uji lanjut Multiple Comparison terhadap

penampakan kerupuk (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa penampakan kerupuk

dengan konsentrasi 0 %; 6,47 % dan 12,94 % berbeda nyata dengan kerupuk

19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %. Hal ini disebabkan karena penampakan kerupuk

ikan dengan konsentrasi 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 % memiliki permukaan

yang lebih kompak. dibandingkan dengan kerupuk dengan konsentrasi 0 %;

6,47 % dan 12,94 %. Sehingga perlakuan penambahan daging ikan sapu-sapu

(Hyposarcus pardalis) sebanyak 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 % merupakan

konsentrasi terbaik yang dapat memberikan penampakan kerupuk ikan terbaik.

4.1.3.2 Warna

Mutu bahan pangan pada umumnya tergantung pada beberapa faktor.

Faktor-faktor tersebut antara lain rasa, tekstur, nilai gizi, mikrobiologis, dan

warna. Sebelum faktor-faktor lain yang dipertimbangkan, secara visual faktor

warna akan tampil lebih dahulu (Winarno 1997). Nilai rata-rata uji sensori

terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang dihasilkan

disajikan pada Gambar 5.

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa hasil pengujian sensori terhadap warna

kerupuk ikan sapu-sapu diperoleh nilai rata-rata yang berkisar antara 4,97 sampai

6,33 dan secara deskriptif panelis menilai agak suka sampai suka. Tingkat

kesukaan warna terbesar terdapat pada kerupuk dengan penambahan daging ikan

sapu-sapu 32,36 % dan tingkat kesukaan warna terkecil terdapat pada kerupuk

ikan dengan konsentrasi 12,94 %.

Page 51: c05iis

5.10 4.97

6.075.60 6.20 6.33

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36

Kons e ntras i (%)

Nila

i rat

a-ra

ta w

arn

a

Gambar 5. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk

Pada umumnya panelis menyukai warna kerupuk dengan penambahan

konsentrasi daging ikan sebesar 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %. Penambahan

daging ikan cenderung memberikan kontribusi warna kecoklatan yang disebabkan

kandungan protein yang terdapat pada ikan tersebut, sehingga apabila terjadi

proses pemanasan akan terjadi reaksi Maillard. Reaksi Maillard adalah reaksi

yang terjadi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus asam

amina primer yang terdapat pada bahan sehingga akan menghasilkan bahan

berwarna coklat yang disebut melanoidin (Winarno 1997). Reaksi Maillard

sangat dipengaruhi oleh kadar air, pH, suhu, dan jenis gula yang berperan. Reaksi

ini diperlukan pada bahan pangan tertentu untuk mendapatkan warna, aroma dan

cita rasa tertentu (Lund 1989).

Penilaian terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

berdasarkan uji Kruskal Wallis (Lampiran 3) menunjukkan bahwa penambahan

daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) memberikan pengaruh yang berbeda

nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu

(Hyposarcus pardalis). Uji lanjut Multiple Comparisons terhadap warna kerupuk

ikan sapu-sapu (Lampiran 4b) menunjukkan bahwa kerupuk kontrol berbeda nyata

dengan kerupuk yang mengalami penambahan daging ikan sebesar 32,36 %.

Karena kerupuk dengan konsentrasi 32,36 % memiliki warna sedikit kecoklatan.

Kerupuk ikan dengan konsentrasi 6,47 % dan 12,94 % berbeda nyata dengan

kerupuk yang mengalami penambahan daging ikan sebesar 19,42 %; 25,89 % dan

32,36 %.

Page 52: c05iis

4.1.3.3 Aroma

Aroma merupakan suatu hal yang menjadi daya tarik tersendiri dalam

menentukan rasa enak dari suatu produk makanan. Industri pangan menganggap

sangat penting untuk melakukan uji terhadap aroma dengan cepat memberikan

produknya disukai atau tidak disukai (Soekarto 1985).

Hasil uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu diperoleh nilai

rata-rata berkisar antara 5,0 sampai 5,9 yang secara deskriptif panelis menilai agak

suka terhadap kerupuk tersebut. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada kerupuk

ikan dengan penambahan daging ikan sebesar 32,36 %. Sedangkan nilai rata-rata

terendah terdapat pada kerupuk dengan penambahan daging ikan sebesar 6,47 %

dan 12,94 %. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan

sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dapat dilihat pada Gambar 6.

5.30

5.00 5.00

5.605.73

5.90

4.404.604.805.005.205.405.605.806.00

0 6,47 12 ,94 19 ,42 25 ,89 32 ,36

Kons e ntras i (%)

Nila

i ra

ta-r

ata

aro

ma

Gambar 6. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk

Dari histogram tersebut dapat dilihat bahwa nilai rat-rata uji sensori

terhadap aroma kerupuk mengalami penurunan dari kontrol sampai konsentrasi

12,94 % yang tidak terlalu signifikan. Walaupun terjadi penurunan dari kontrol

sampai konsentrasi 12,94 % tetapi nilai rata-rata penurunannya tidak terlalu besar.

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mengalami peningkatan

dari kerupuk dengan konsentrasi 19,42 % sampai kerupuk dengan konsentrasi

32,36 %. Hal ini disebabkan karena konsentrasi daging ikan sapu-sapu yang

ditambahkan semakin meningkat yang dapat menyebabkan aroma kerupuk

mempunyai aroma khas kerupuk ikan. Adanya aroma khas dari kerupuk ikan

diduga disebabkan oleh kandungan protein yang terurai menjadi asam amino

Page 53: c05iis

khususnya asam glutamat akan menimbulkan rasa dan aroma yang lezat. Menurut

Winarno (1992), asam glutamat mempunyai peranan yang sangat penting dalam

pengolahan makanan, karena dapat menimbulkan rasa dan aroma yang lezat.

Selain itu adanya penambahan bumbu seperti bawang putih dan garam. Karena

bawang putih dan garam yang ditambahkan dalam pembuatan kerupuk salah

satunya berfungsi untuk mempertinggi aroma kerupuk.

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 3) pada tingkat kesukaan panelis

terhadap aroma kerupuk menunjukkan bahwa penambahan daging ikan sapu-sapu

memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Uji lanjut Multiple Comparisons

menunjukkan bahwa kerupuk dengan penambahan daging ikan 6,47 % dan

12,94 % berbeda nyata dengan kerupuk yang mengalami penambahan daging ikan

sebesar 32,36 %. Hal ini disebabkan karena kerupuk dengan konsentrasi 32,36 %

memiliki aroma kerupuk yang lebih khas yaitu aroma kerupuk ikan. Hasil uji

lanjut Multiple Comparisons dapat dilihat pada Lampiran 4c.

4.1.3.4 Rasa

Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk

pangan. Faktor rasa memegang peranan penting dalam pemilihan produk oleh

konsumen (Winarno 1997). Dengan rasa tersebut, konsumen dapat memutuskan

menerima atau menolak produk tersebut. Hasil uji sensori terhadap rasa kerupuk

ikan sapu-sapu diperoleh nilai rata-rata yang berkisar antara 5,43 sampai 6,30

yang secara deskriptif berkisar antara agak suka sampai suka. Tingkat kesukaan

terhadap rasa tertinggi terdapat pada kerupuk ikan dengan konsentrasi 32,36 %

dengan nilai rata-rata sebesar 6,30. Sedangkan nilai rata-rata tingkat kesukaan

rasa terendah terdapat pada kerupuk kontrol dengan nilai rata-rata sebesar 5,4.

Histogram nilai rata-rata tingkat kesukaan terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu

dapat dilihat pada Gambar 7.

Page 54: c05iis

5.53 5.57

5.43

5.87

6.30

5.90

5.00

5.20

5.40

5.60

5.80

6.00

6.20

6.40

0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36

Kons e ntras i (%)

Nila

i rat

a-ra

ta r

asa

Gambar 7. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap rasa kerupuk

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis

terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu mengalami peningkatan seiring dengan

meningkatnya konsentrasi daging ikan sapu-sapu yang ditambahkan. Hal ini

disebabkan karena adanya penambahan daging yang diberikan dapat

meningkatkan rasa kerupuk menjadi lebih memiliki rasa yang khas yaitu khas

kerupuk ikan. Rasa gurih yang terdapat pada kerupuk ikan dapat disebabkan oleh

kandungan protein yang terdapat pada kerupuk tersebut sehingga pada saat proses

pengukusan, protein akan terhidrolisis menjadi asam amino dan salah satu asam

amino yaitu asam glutamat dapat menimbulkan rasa yang lezat (Winarno 1992).

Menurut Somaatmadja (1976), pemanasan basah seperti merebus dan mengukus

dapat memberikan keuntungan karena akan menimbulkan hidrolisis pada protein

dan pelunakan pada makanan keseluruhan. Selain itu rasa yang terdapat pada

kerupuk dapat disebabkan karena adanya penambahan bumbu-bumbu seperti

bawang putih, gula, garam dan telur yang dapat meningkatkan citarasa kerupuk

ikan.

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 3) terhadap rasa kerupuk ikan sapu-

sapu menunjukkan bahwa penambahan daging ikan sapu-sapu memberikan

pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap rasa kerupuk

ikan yang dihasilkan, karena penambahan daging ikan dapat meningkatkan

citarasa kerupuk. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons menunjukkan bahwa

kerupuk 0 %; 6,47 % dan 12,94 % berbeda nyata dengan konsentrasi 32,36 %.

Hal ini disebabkan karena kerupuk dengan konsentrasi 32,36 % memiliki rasa

Page 55: c05iis

yang paling gurih bila dibandingkan dengan kerupuk kontrol (0 %) dan kerupuk

yang mengalami penambahan konsentrasi daging ikan lebih sedikit. Hasil uji

lanjut Multiple Comparisons dapat dilihat pada Lampiran 4d.

4.1.3.5 Kerenyahan

Kerenyahan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat

penerimaan konsumen terhadap produk kerupuk. Hasil uji kesukaan terhadap

kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu diperoleh nilai rata-rata yang berkisar antara

6,13 sampai 6,47 yang secara deskriptif kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu

berkisar antara agak suka sampai suka. Histogram nilai rata-rata tingkat kesukaan

terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu disajikan pada Gambar 8.

6.47

6.33

6.27 6.276.23

6.13

5.90

6.00

6.10

6.20

6.30

6.40

6.50

0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36

Kons e ntras i (%)

Nil

ai

rata

-ra

ta k

ere

ny

ah

an

Gambar 8. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk

Dari histogram diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata uji sensori

terhadap kerenyahan semakin menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi

daging ikan. Kerenyahan kerupuk dapat dipengaruhi oleh volume pengembangan

kerupuk. Sedangkan volume pengembangan dapat dipengaruhi oleh kandungan

amilopektin dan kandungan protein yang terkandung pada bahan. Menurut

Rumbay diacu dalam Zulviani (1992), pada dasarnya kerupuk dengan kandungan

amilopektin yang lebih tinggi akan memiliki pengembangan yang tinggi, karena

pada saat proses pemanasan akan terjadi proses gelatinisasi dan akan terbentuk

struktur yang elastis yang kemudian dapat mengembang pada tahap penggorengan

sehingga kerupuk dengan volume pengembangan yang tinggi akan memiliki

kerenyahan yang tinggi. Kerupuk kontrol memiliki kandungan amilopektin yang

Page 56: c05iis

lebih besar daripada kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu,

sehingga memiliki kerenyahan yang lebih besar.

Selain kandungan amilopektin, volume pengembangan juga dapat

dipengaruhi oleh kandungan protein yang terdapat pada kerupuk. Menurut

Lavlinesia (1995), kandungan protein yang tinggi dapat menyebabkan kantong-

kantong udara kerupuk yang dihasilkan semakin kecil karena padatnya kantong-

kantong udara tersebut terisi oleh bahan lain yaitu daging ikan yang banyak

mengandung protein sehingga dapat menyebabkan volume pengembangan

semakin kecil yang akhirnya dapat menyebabkan kerenyahan semakin menurun .

Penilaian terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu berdasarkan uji

Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan daging ikan tidak

memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada kerenyahan kerupuk ikan sapu-

sapu yang dihasilkan. Artinya panelis memiliki tingkat kesukaan yang cenderung

sama terhadap kerenyahan untuk semua kerupuk ikan sapu-sapu. Hasil uji

Kruskal Wallis terhadap kerupuk ikan sapu-sapu dapat dilihat pada Lampiran 3.

4.1.4 Volume pengembangan

Volume pengembangan merupakan salah satu parameter mutu kerupuk

goreng. Nilai rata-rata volume pengembangan dari mulai 0 % hingga konsentrasi

32,36 % berturut-turut sebesar 328,67 %; 298,33 %; 283,67 %; 242,33 %;

217,33 % dan 185,00 %. Nilai rata-rata volume pengembangan kerupuk dapat

dilihat pada Gambar 9.

328.67298.33 283.67

242.33

185.00

217.33

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36

Kons e ntras i (%)

Nila

i rat

a-ra

ta v

olu

me

p

en

ge

mb

ang

an (

%)

Gambar 9. Histogram nilai rata-rata volume pengembangan

Page 57: c05iis

Dari histogram diatas dapat dilihat bahwa volume pengembangan kerupuk

mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya konsentrasi daging ikan yang

ditambahkan. Kerupuk kontrol memiliki volume pengembangan yang lebih besar

dibandingkan dengan kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu. Hal

ini disebabkan karena kandungan amilopektin yang terdapat pada kerupuk kontrol

jauh lebih besar dibandingkan dengan kerupuk lainnya. Menurut Rumbay, diacu

dalam Zulviani (1992), pada dasarnya kerupuk yang memiliki kandungan

amilopektin yang tinggi mempunyai pengembangan yang tinggi.

Selain itu menurut Lavlinesia (1995), salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi volume pengembangan kerupuk adalah kandungan protein.

Kandungan protein yang tinggi cenderung menurunkan daya kembang kerupuk

sehingga dapat menyebabkan kantong-kantong udara kerupuk yang dihasilkan

semakin kecil karena padatnya kantong-kantong udara tersebut terisi oleh bahan

lain yaitu protein. Hal tersebut dapat dilihat dari Gambar 9 semakin tinggi

konsentrasi daging ikan yang digunakan, akan diperoleh volume pengembangan

yang semakin kecil.

Hasil analisis ragam (Lampiran 5b) menunjukkan bahwa penambahan

daging ikan sapu-sapu memberikan pengaruh yang berbeda nyata nyata terhadap

volume pengembangan kerupuk. Yang berarti bahwa penambahan daging ikan

memberikan pengaruh yang berbeda terhadap volume pengembangan kerupuk,

karena penambahan daging ikan sapu-sapu menyebabkan kerupuk semakin tidak

renyah.

4.2 Penelitian Lanjutan

4.2.1 Uji sensori kerupuk selama penyimpanan

Uji sensori terhadap kerupuk ikan pada penelitian ini dilakukan secara

subyektif berdasarkan uji kesukaan dengan menggunakan alat indera terhadap

kerupuk ikan matang. Uji sensori dilakukan berdasarkan penilaian dengan skala

hedonik (hedonic scale test) dengan skala 1 – 7. Uji sensori terhadap kerupuk

ikan dilakukan selama 4 minggu yaitu dilakukan pada minggu ke-1, ke-2, ke-3

dan ke-4 berdasarkan penerimaan panelis terhadap penampakan, warna, aroma,

rasa dan kerenyahan kerupuk. Uji sensori dilakukan terhadap kerupuk kontrol dan

kerupuk ikan sapu-sapu yang telah digoreng dengan konsentrasi terbaik pada

Page 58: c05iis

penelitian pendahuluan yaitu kerupuk dengan konsentrasi ikan sapu-sapu sebesar

32,36 %. Hasil uji sensori secara rinci adalah sebagai berikut:

4.2.1.1 Penampakan

Hasil uji sensori terhadap penampakan kerupuk diperoleh bahwa nilai

rata-rata penampakan kerupuk kontrol berkisar antara 5,90 – 6,17 yang secara

deskriptif berkisar antara agak suka sampai suka. Sedangkan untuk kerupuk ikan

sapu-sapu berkisar antara 5,17 – 5,93 yang secara deskriptif panelis menilai agak

suka terhadap penampakan kerupuk ikan selama penyimpanan. Nilai rata-rata uji

sensori terhadap penampakan kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada

Gambar 10.

6.17 6.13 6.13

5.906.07

5.17

5.435.60

5.705.93

4.604.80

5.005.205.40

5.605.806.006.20

6.40

M0 M1 M2 M3 M4

Pe n yim p an an (m in g g u )

Nil

ai R

ata

-ra

ta P

en

am

pak

an

0

32,36 %

Gambar 10. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap penampakan

kerupuk selama penyimpanan

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata uji sensori terhadap

penampakan kerupuk menunjukkan penurunan dari mulai minggu ke-0 hingga

minggu ke-4. Penurunan nilai rata-rata penampakan ini berarti bahwa terjadi

penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan kerupuk selama

penyimpanan 4 minggu. Penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap

penampakan ini diduga disebabkan karena penampakan kerupuk yang semakin

kasar yang dapat disebabkan karena gelembung-gelembung udara yang terdapat

pada permukaan kerupuk semakin banyak sehingga permukaan kerupuk menjadi

tidak halus.

Page 59: c05iis

Hasil uji Kruskal Wallis terhadap kerupuk ikan menunjukkan bahwa

penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan

kerupuk ikan sapu-sapu. Hal ini disebabkan karena permukaan kerupuk menjadi

semakin tidak halus dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Uji lanjut

Multiple Comparisons menunjukkan bahwa penyimpanan pada minggu ke-0

berbeda terhadap penyimpanan pada minggu ke-4. Ini dapat disebabkan karena

penampakan kerupuk pada minggu ke-0 lebih halus dibandingkan penampakan

kerupuk pada minggu ke-4.

4.2.1.2 Warna

Hasil uji sensori terhadap warna krupuk diperoleh hasil bahwa nilai rata-

rata penerimaan panelis terhadap warna kerupuk kontrol berkisar antara 6,10 –

6,37 yang secara deskriptif panelis menilai suka terhadap kerupuk kontrol selama

penyimpanan. Sedangkan untuk kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-

sapu sebesar 32,36 % berkisar antara 5,23 – 6,13 yang secara deskriptif berkisar

antara agak suka sampai suka. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap

warna kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 11.

6.37 6.30 6.20 6.106.27

5.235.475.67

5.906.13

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

M0 M1 M2 M3 M4

Pe nyim panan (m inggu)

Nila

i Rat

a-ra

ta W

arn

a

0%

32,36 %

Gambar 11. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk

selama penyimpanan

Dari Gambar 11 terlihat bahwa terjadi penurunan warna kerupuk selama

penyimpanan baik pada kerupuk kontrol maupun pada kerupuk dengan

penambahan daging ikan sapu-sapu 32,36 %. Hal ini berarti tingkat kesukaan

Page 60: c05iis

panelis terhadap warna kerupuk mengalami penurunan seiring dengan

bertambahnya waktu penyimpanan. Terjadinya penurunan tingkat kesukaan

panelis terhadap warna kerupuk diduga disebabkan karena warna kerupuk

semakin coklat seiring bertambahnya penyimpanan. Hal tersebut dapat disebabkan

karena terjadinya reaksi browning non enzimatis yaitu reaksi maillard terhadap

kerupuk ketika digoreng sehingga menimbulkan warna kecoklatan. Selain itu

suhu yang digunakan pada saat penggorengan terlalu tinggi sehingga

menimbulkan kerupuk menjadi berwarna kecoklatan.

Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna kerupuk ikan. Hal ini disebabkan

karena kerupuk semakin berwarna kecoklatan dengan bertambahnya waktu

penyimpanan. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons menunjukkan bahwa

penyimpanan pada minggu ke-4 berbeda terhadap penyimpanan pada minggu ke-0

dan ke-1 serta penyimpanan minggu ke-3 berbeda terhadap penyimpanan pada

minggu ke-0. Hal ini dapat disebabkan karena warna kerupuk pada awal

penyimpanan lebih putih daripada kerupuk pada akhir penyimpanan.

4.2.1.3 Aroma

Aroma merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam menilai suatu

produk. Karena aroma akan menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa

enak dari suatu produk makanan (Soekarto 1985). Hasil uji sensori terhadap

aroma kerupuk selama penyimpanan diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata kerupuk

kontrol berkisar antara 5,13 – 5,83. Sedangkan kerupuk dengan penambahan

daging ikan sapu-sapu 32,36 % memiliki nilai rata-rata berkisar antara 5,50 – 6,17

yang secara deskriptif panelis menilai agak suka pada aroma kerupuk kontrol dan

kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu. Nilai rata-rata uji kesukaan

terhadap aroma kerupuk dapat dilihat pada Gambar 12.

Page 61: c05iis

5.90

5.135.275.405.60

5.83 6.006.175.70

5.50

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

M0 M1 M2 M3 M4

Pe nyim pan an (m ing gu)

Nil

ai

Ra

ta-r

ata

Aro

ma

0%

32,36 %

Gambar 12. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk

selama penyimpanan

Dari Gambar 12 diatas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan aroma

kerupuk selama penyimpanan. Adanya penurunan tingkat kesukaan panelis

terhadap aroma kerupuk diduga disebabkan karena kerupuk memiliki aroma agak

tengik yang dapat disebabkan karena minyak goreng yang digunakan pada saat

menggoreng sudah teroksidasi sehingga menimbulkan bau yang tidak enak. Hasil

uji Kruskal Wallis menunjukkan penyimpanan memberikan pengaruh yang

berbeda nyata terhadap warna kerupuk, baik kerupuk ikan sapu-sapu maupun

kerupuk kontrol, karena semakin lama penyimpanan dapat menimbulkan aroma

kerupuk menjadi semakin tidak sedap. Sedangkan uji lanjut Multiple

Comparisons terhadap kerupuk ikan sapu-sapu menunjukkan bahwa penyimpanan

pada minggu ke-4 berbeda nyata terhadap penyimpanan pada minggu ke-0, ke-1

dan ke-2 serta penyimpanan pada minggu ke-3 berbeda terhadap penyimpanan

pada minggu ke-0. hal ini berarti bahwa aroma kerupuk pada penyimpanan

minggu ke-4 memiliki aroma yang tidak sedap. Sedangkan untuk kerupuk kontrol

menunjukkan bahwa penyimpanan pada minggu ke-0 berbeda terhadap

penyimpanan pada minggu ke-3 dan ke-4.

4.2.1.4 Rasa

Rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam pemilihan produk oleh

konsumen, sehingga rasa dapat menjadi faktor penentu daya terima konsumen

Page 62: c05iis

sehingga konsumen dapat memutuskan menerima atau menolak produk tersebut

(Winarno 1997). Hasil uji kesukaan terhadap rasa kerupuk selama penyimpanan

diperoleh bahwa nilai rata-rata rasa pada kerupuk kontrol berkisar antara 5,87 –

6,33 yang secara deskriptif berkisar antara agak suka sampai suka.dan untuk

kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu 32,36 % berkisar antara 6,03

– 6,70 yang secara deskriptif panelis menilai suka terhadap rasa kerupuk ikan.

Nilai rata-rata uji kesukaan terhadap rasa kerupuk selama penyimpanan dapat

dilihat pada Gambar 13.

5.97

6.43

6.03

5.87

6.10

6.276.33

6.676.70

6.13

5.40

5.60

5.80

6.00

6.20

6.40

6.60

6.80

M0 M1 M2 M3 M4

Pe nyim panan (har i)

Nila

i Rat

a-ra

ta R

asa

0%

32,36 %

Gambar 13. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap rasa kerupuk selama

penyimpanan

Dari gambar 13 terlihat bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis

terhadap rasa kerupuk mengalami penurunan yang tidak signifikan. Adanya

penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap rasa kerupuk diduga dapat

disebabkan karena kerupuk memiliki bau dan rasa yang tengik. Rasa tengik ini

timbul dari proses autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak yang

dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang dapat disebabkan karena

adanya panas dan cahaya (Winarno 1997). Rasa tengik dapat dirasakan dengan

adanya rasa asam yang tidak disukai panelis.

Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa kerupuk, baik pada kerupuk ikan

sapu-sapu maupun pada kerupuk kontrol. Hal ini disebabkan karena semakin lama

penyimpanan menyebabkan rasa kerupuk menjadi tidak disukai karena adanya

Page 63: c05iis

bau dan rasa yang tengik. Uji lanjut Multiple Comparisons menunjukkan bahwa

penyimpanan pada minggu ke-3, dan ke-4 berbeda terhadap penyimpanan minggu

ke-0 dan ke-1 untuk kerupuk ikan sapu-sapu yang berarti bahwa kerupuk pada

penyimpanan minggu ke-3 dan ke-4 memiliki rasa yang lebih tidak enak

dibandingkan dengan kerupuk pada minggu ke-0 dan ke-1. Sedangkan uji lanjut

terhadap kerupuk kontrol menunjukkan bahwa penyimpanan pada minggu ke-0

berbeda dengan penyimpanan pada minggu ke-4.

4.2.1.5 Kerenyahan

Kerenyahan termasuk salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat

penerimaan konsumen terhadap produk kerupuk. Berkurangnya tingkat

kerenyahan merupakan tanda bahwa produk kerupuk tersebut telah mengalami

kerusakan (Muchtadi 1989).

Hasil uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk selama penyimpanan

diperoleh hasil bahwa kerupuk kontrol memiliki nilai rata-rata berkisar antara

6,20 – 6,70 yang secara deskriptif panelis menilai suka pada kerenyahan kerupuk

kontrol. Sedangkan kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu memiliki

nilai rata-rata berkisar antara 5,97 – 6,53 yang secara deskriptif panelis menilai

agak suka sampai suka terhadap kerenyahan kerupuk ikan selama penyimpanan 4

minggu. Nilai rata-rata hasil uji kesukaan terhadap kerenyahan kerupuk selama

penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 14.

6.206.33

6.40

6.636.70

6.436.53

6.20

5.97

6.23

5.60

5.80

6.00

6.20

6.40

6.60

6.80

M0 M1 M2 M3 M4

Pe nyim panan (m ingg u)

Nila

i Rat

a-ra

ta K

ere

ny

ahan

0%

32,36 %

Gambar 14. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap kerenyahan

kerupuk selama penyimpanan

Page 64: c05iis

Dari Gambar 14 terlihat bahwa terjadi penurunan nilai rata-rata tingkat

kesukaan panelis terhadap kerenyahan kerupuk selama penyimpanan. Terjadinya

penurunan kerenyahan kerupuk disebabkan karena volume pengembangan

kerupuk yang semakin menurun selama penyimpanan. Menurut Lavlinesia

(1995), kerupuk yang mengembang akan memberikan kerenyahan yang lebih

baik. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa kerupuk. Hal ini menunjukkan bahwa

kerupuk semakin tidak mengembang dengan bertambahnya waktu penyimpanan.

Uji lanjut Multiple Comparisons menunjukkan bahwa penyimpanan pada minggu

ke-0 berbeda terhadap penyimpanan pada minggu ke-4 baik pada kerupuk ikan

sapu-sapu maupun kerupuk kontrol.

4.2.2 Analisis sifat fisik kerupuk selama penyimpanan

4.2.2.1 Tingkat kekerasan

Kekerasan kerupuk merupakan salah satu faktor mutu kerupuk yang

penting karena menentukan penerimaan panelis. Pengukuran tingkat kekerasan

kerupuk ini dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer dengan beban

sebanyak 148 gram dan waktu 5 detik terhadap kerupuk matang. Nilai rata-rata

tingkat kekerasan kerupuk kontrol selama penyimpanan berkisar antara 0,025–

0,035 mm/detik/g, sedangkan kerupuk ikan berkisar antara 0,024–0,026

mm/detik/g. Hasil analisis tingkat kekerasan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai rata-rata tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan (mm/dtk/g)

Penyimpanan Konsentrasi M0 M1 M2 M3 M4

0 % (Kontrol) 0,035 0,030 0,030 0,028 0,025 32,36% 0,026 0,025 0,024 0,022 0,024

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kerupuk dengan penambahan daging

ikan sapu-sapu mempunyai tingkat kekerasan yang lebih rendah bila dibandingkan

dengan kerupuk kontrol. Nilai tingkat kekerasan yang rendah atau kecil

mempunyai arti bahwa kerupuk tersebut semakin keras. Sebaliknya makin tinggi

angka kekerasan maka tingkat kekerasan kerupuk tersebut semakin bagus

(renyah). Rendahnya tingkat kekerasan kerupuk ikan ini dapat disebabkan oleh

Page 65: c05iis

volume pengembangan kerupuk yang semakin menurun selama penyimpanan.

Sedangkan daya kembang kerupuk dipengaruhi oleh kandungan protein yang

terdapat pada kerupuk tersebut. Menurut Lavlinesia (1995), salah satu faktor yang

dapat menurunkan daya kembang kerupuk adalah banyaknya kandungan protein

yang terdapat pada kerupuk dan kerupuk yang mengembang akan memberikan

kerenyahan yang tinggi. Histogram nilai rata-rata kekerasan kerupuk selama

penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 15.

0.035

0.030 0.030 0.028

0.025

0.0240.0220.0240.025

0.026

0.000

0.005

0.010

0.015

0.020

0.025

0.030

0.035

0.040

M0 M1 M2 M3 M4

Pe nyim p anan (m in g gu )

0%

32,36 %

Gambar 15. Histogram nilai rata-rata tingkat kekerasan kerupuk selama

penyimpanan

Histogram diatas menggambarkan bahwa nilai rata-rata tingkat kekerasan

kerupuk mengalami penurunan selama penyimpanan baik pada krupuk kontrol

maupun kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebanyak 32,36 %.

Terjadinya penurunan tingkat kekerasan kerupuk dapat disebabkan oleh kadar air

yang ada pada kerupuk tersebut yang semakin meningkat selama penyimpanan

dan kadar air tersebut dapat menyebabkan rongga-rongga udara pada proses saat

penggorengan tidak terbentuk dengan sempurna, sehingga menghasilkan kerupuk

yang kurang renyah.

Terjadinya peningkatan nilai kekerasan kerupuk ikan dari minggu ke-3

menuju minggu ke-4 diduga disebabkan karena ketebalan kerupuk yang tidak

seragam. Kerupuk yang disimpan selama 4 minggu memiliki ketebalan yang

lebih kecil dibandingkan dengan kerupuk yang disimpan selama 3 minggu. Selain

itu dapat juga disebabkan karena kerupuk yang disimpan selama 3 minggu

memiliki ketebalan yang tidak merata (salah satu sisi kerupuk mempunyai

Page 66: c05iis

ketebalan yang lebih besar). Ketebalan yang tidak merata ini dapat menyebabkan

kandungan air yang tidak merata pada kerupuk yang selanjutnya menyebabkan

volume pengembangan yang tidak merata.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan dan konsentrasi

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kekerasan kerupuk.

Hal tersebut dapat dilihat dari semakin kecilnya tingkat kekerasan kerupuk selama

penyimpanan, selain itu nilai kekerasan kerupuk ikan sapu-sapu lebih kecil

dibandingkan dengan kerupuk kontrol. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada

Lampiran 8b.

4.2.2.2 Derajat putih

Analisis derajat putih terhadap kerupuk ikan dilakukan untuk mengetahui

tingkat derajat putih kerupuk ikan dibandingkan dengan kerupuk kontrol. Hasil

analisis derajat putih dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai rata-rata derajat putih kerupuk selama penyimpanan

Nilai (%) Konsentrasi M0 M1 M2 M3 M4

0 % (Kontrol) 25,90 25,89 25,69 25,27 25,41

32,36 % 21,18 21,55 20,51 21,10 20,64

Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa derajat putih kerupuk ikan sapu-sapu

memiliki nilai yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kerupuk kontrol. Hal ini

dapat disebabkan karena kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu

memiliki warna yang lebih coklat bila dibandingkan dengan kerupuk kontrol.

Warna kecoklatan pada kerupuk ikan sapu-sapu disebabkan oleh adanya

kandungan protein yang terdapat dalam ikan tersebut sehingga apabila terjadi

proses pemanasan akan terjadi reaksi non enzimatis yaitu reaksi pencoklatan

(Maillard). Reaksi Maillard adalah reaksi yang terjadi antara karbohidrat

khususnya gula pereduksi dengan gugus asam amina primer yang terdapat pada

bahan sehingga akan menghasilkan bahan berwarna coklat yang disebut

melanoidin (Winarno 1997). Reaksi Maillard sangat dipengaruhi oleh kadar air,

pH, suhu, dan jenis gula yang berperan. Reaksi ini diperlukan pada bahan pangan

Page 67: c05iis

tertentu untuk mendapatkan warna, aroma dan cita rasa tertentu (Lund 1989).

Histogram nilai rata-rata derajat putih kerupuk dapat dilihat pada Gambar 16.

25.4125.2725.6925.8925.90

21.5521.3020.51 21.10 20.64

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

M0 M1 M2 M3 M4

Pe nyim panan (m inggu)

Nila

i rat

a-ra

ta d

era

jat

pu

tih

0%

32,36 %

Gambar 16. Histogram nilai rata-rata derajat putih kerupuk selama penyimpanan

Dari histogram diatas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan tingkat derajat

putih kerupuk selama penyimpanan. Perubahan yang terjadi dapat disebabkan

oleh ketebalan kerupuk yang tidak seragam. Ketebalan kerupuk akan berpengaruh

terhadap warna kerupuk yang dihasilkan. Semakin tebal kerupuk akan memiliki

warna yang semakin gelap, hal ini dapat disebabkan pigmen warna persatuan luas

kerupuk lebih banyak Lavlinesia (1995).

Meningkatnya nilai derajat putih kerupuk ikan dari minggu 0 menuju

minggu ke-1 dapat disebabkan karena kerupuk yang tidak disimpan (minggu 0)

mempunyai ketebalan yang lebih besar daripada kerupuk yang disimpan selama 1

minggu, sehingga memiliki warna yang lebih gelap. Begitu pula dengan kerupuk

kontrol yang mengalami peningkatan dari minggu ke-3 menuju minggu ke-4.

Kerupuk yang disimpan selama 3 minggu memiliki ketebalan yang lebih besar

daripada kerupuk yang disimpan selama 4 minggu, sehingga memiliki warna yang

lebih gelap.

Hasil analisis ragam terhadap nilai derajat putih kerupuk menunjukkan

bahwa penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap

derajat putih kerupuk yang artinya bahwa derajat putih tidak dipengaruhi oleh

waktu penyimpanan selama 4 minggu. Sedangkan konsentrasi memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap derajat putih kerupuk. Hal ini dapat dilihat

Page 68: c05iis

dari nilai derajat putih kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu lebih

kecil bila dibandingkan dengan kerupuk kontrol. Hasil analisis ragam derajat

putih kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 9b.

4.2.2.3 Aktivitas air

Aktivitas air (Aw) termasuk salah satu faktor yang dapat menyebabkan

kerusakan bahan pangan. Aktivitas air merupakan jumlah air bebas yang tersedia

yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Winarno 1992).

Aktivitas air ini merupakan kandungan air yang terdapat dalam kerupuk tersebut

yang dapat mempengaruhi daya tahan kerupuk terhadap serangan mikroba. Nilai

rata-rata aktivitas air kerupuk kontrol berkisar antara 0,521 – 0,594, sedangkan

untuk kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu berkisar antara 0,559 –

0,580. Nilai rata-rata uji aktivitas air kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat

pada Gambar 17.

0.594

0.571

0.539

0.560

0.521

0.580

0.5750.5700.565

0.559

0.480

0.500

0.520

0.540

0.560

0.580

0.600

M0 M1 M2 M3 M4

Pe nyim panan (m inggu)

Nil

ai r

ata

-rat

a a

kti

vit

as

air

0%

32,36 %

Gambar 17. Histogram nilai rata-rata aktivitas air kerupuk selama penyimpanan

Gambar diatas menunjukkan bahwa nilai rata-rata aktivitas air kerupuk

mengalami kenaikan selama penyimpanan 4 minggu. Naiknya nilai aktivitas air

ini dapat disebabkan karena adanya interaksi kerupuk dengan udara disekitarnya,

meskipun kerupuk tersebut dikemas dengan menggunakan plastik. Menurut

Damayanti dan Mudjajanto (1995), aktivitas air bahan pangan cenderung

berimbang dengan kelembaban di lingkungan sekitarnya, sehingga aktivitas air

tersebut dapat mempengaruhi daya awet dari bahan pangan tersebut. Namun

Page 69: c05iis

meskipun mengalami kenaikan, aktivitas air kerupuk masih berada dibawah

aktivitas air minimal bagi pertumbuhan optimal kapang yaitu sebesar 0,6 – 0,7

(Winarno 1997).

Hasil analisis ragam (Lampiran 10b) menunjukkan bahwa penyimpanan

dan konsentrasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas air

kerupuk, baik kerupuk kontrol maupun kerupuk dengan penambahan daging ikan

sapu-sapu. Hal ini berarti bahwa aktivitas air akan terus meningkat selama

penyimpanan dan perbedaan konsentrasi daging ikan akan menyebabkan

peningkatan aktivitas air kerupuk yang berbeda. Kerupuk dengan konsentrasi

ikan kecil (kerupuk kontrol) memiliki peningkatan aktivitas air yang tidak stabil

karena kerupuk dengan kandungan karbohidrat yang lebih tinggi akan lebih rentan

terhadap lingkungan sekitarnya sehingga dapat dengan mudah menyerap air dari

sekelilingnya (Winarno 1992).

4.2.2.4 Kapang

Pertumbuhan dan aktivitas mikroba merupakan salah satu faktor yang

dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan (Muchtadi 1989). Kerusakan

kerupuk ikan dapat ditandai dengan berkurangnya kerenyahan dan adanya

pertumbuhan kapang pada permukaan kerupuk mentah. Hasil uji kapang secara

visual terhadap permukaan kerupuk, baik kerupuk ikan sapu-sapu maupun

kerupuk kontrol tidak ditemukan adanya pertumbuhan kapang. Hal ini dapat

dilihat pada permukaan kerupuk tidak ditemukan adanya jaringan halus yang

menyerupai kapas yang lama kelamaan akan berubah menjadi kehitaman atau

kehijauan.

Pertumbuhan kapang membutuhkan kondisi fisik tertentu seperti

kelembaban, temperatur, pH, nutrisi dan oksigen. Kelembaban mempengaruhi

terjadinya perubahan kadar air dan aktivitas air produk selama penyimpanan

sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan kapang (Muchtadi 1989). Kapang

membutuhkan aw minimum untuk pertumbuhannya adalah sebesar 0,6 – 0,7

(Winarno 1997). Pada kerupuk yang disimpan selama 4 minggu diperoleh

aw < 0,6. Hal ini menunjukkan bahwa kerupuk tersebut masih aman untuk

dikonsumsi karena pada kerupuk tersebut tidak ditemukan adanya kapang.

Page 70: c05iis

4.2.2.5 Volume pengembangan

Pada proses penggorengan kerupuk terjadi pengembangan kerupuk.

Terjadinya pengembangan ini dapat disebabkan oleh terbentuknya rongga-rongga

udara pada kerupuk yang telah digoreng karena pengaruh suhu, menyebabkan air

yang terikat dalam gel menjadi uap. Hasil uji terhadap volume pegembangan

kerupuk diperoleh bahwa nilai rata-rata volume pengembangan kerupuk ikan

sapu-sapu berkisar antara 190,74 % – 211,69 %, sedangkan volume

pengembangan kerupuk kontrol berkisar antara 289,11 %– 329,80 %. Nilai rata-

rata volume pengembangan kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada

Gambar 18.

289.11

292.67305.07322.96329.80

190.74192.74203.83206.90211.69

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

Mo M1 M2 M3 M4

Pe nyim panan (m inggu)

Nila

i rat

a-ra

ta v

olu

me

p

en

ge

mb

ang

an (

%)

0%

32,36 %

Gambar 18. Histogram nilai rata-rata volume pengembangan kerupuk

selama penyimpanan

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa kerupuk ikan sapu-sapu memiliki

volume pengembangan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kerupuk

kontrol. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan pati yang ada dalam kerupuk

ikan sapu-sapu lebih sedikit dibandingkan dengan kerupuk kontrol.

Pengembangan kerupuk ini dipengaruhi oleh gelatinisasi yang terjadi pada saat

pengukusan adonan. Dengan proses gelatinisasi ini akan terbentuk struktur yang

elastis yang dapat mengembang pada tahap penggorengan.

Nilai rata-rata volume pengembangan kerupuk semakin menurun seiring

dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Penurunan tersebut dapat disebabkan

karena kadar air kerupuk yang semakin meningkat selama penyimpanan, karena

kadar air dapat menyebabkan proses pengembangan yang tidak sempurna selama

Page 71: c05iis

penggorengan. Pengembangan kerupuk selama digoreng sangat ditentukan oleh

kandungan air yang terikat pada kerupuk sebelum digoreng.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap volume pengembangan kerupuk. Hal ini

berarti bahwa semakin lama penyimpanan, maka volume pengembangan kerupuk

akan semakin berkurang. Terjadinya pengurangan volume pengembangan

kerupuk ini dapat disebabkan oleh kadar air yang semakin meningkat pada

kerupuk sebelum digoreng selama penyimpanan.

Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa konsentrasi memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap volume pengembangan kerupuk. Selain

kadar air, jumlah dan jenis protein juga dapat mempengaruhi volume

pengembangan kerupuk. Kandungan protein yang tinggi cenderung menurunkan

daya kembang kerupuk (Lavlinesia 1995). Hal ini dapat dilihat dari volume

pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu lebih kecil dibandingkan dengan volume

pengembangan kerupuk kontrol. Karena kandungan protein pada kerupuk ikan

lebih besar dibandingkan dengan kandungan protein kerupuk kontrol. Hasil

analisis ragam terhadap volume pengembangan kerupuk dapat dilihat pada

Lampiran 11b.

4.2.3 Analisis proksimat

Pada penelitian ini dilakukan analisis proksimat terhadap kerupuk mentah

yang bertujuan untuk mengetahui perubahan nilai gizi kerupuk selama

penyimpanan 4 minggu. Karena nilai gizi dari suatu produk makanan merupakan

salah satu faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi mutu dari

makanan tersebut. Analisis kimia dilakukan pada awal, pertengahan dan akhir

dari penyimpanan kerupuk yaitu pada minggu ke-0 (M0), ke-2 (M2) dan minggu

ke-4 (M4). Analisis kimia dilakukan terhadap parameter kadar air, abu, lemak,

protein dan karbohidrat (by difference). Hasil analisis kimia dpat dilihat pada

Tabel 10.

Page 72: c05iis

Tabel 10. Hasil analisis proksimat kerupuk selama penyimpanan

Penyimpanan (minggu ke-) M0 M2 M4 Komponen

A0 A1 A0 A1 A0 A1

SNI (1999)

Air 7,18 7,66 7,88 7,97 8,60 8,29 maksimal 12 Abu 1,27 1,32 1,26 1,35 1,24 1,39 maksimal 1 Lemak 1,47 1,49 1,50 1,49 1,47 1,51 maksimal 0,8 Protein 2,13 6,60 2,21 6,44 2,36 6,41 minimal 6 Karbohidrat 87,94 82,93 87,15 82,75 86,33 82,40 -

Keterangan: A0 = kerupuk kontrol A1 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu 32,36 %

4.2.3.1 Kadar air

Kadar air merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang dapat

menentukan mutu suatu produk kerupuk, karena kadar air yang terikat dalam

kerupuk sebelum digoreng sangat menentukan volume pengembangan kerupuk

matang. Analisis terhadap kadar air kerupuk dilakukan pada minggu ke-0, ke-1,

ke-2, ke-3 dan ke-4. Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa kadar air

semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan.

Peningkatan kadar air dari minggu ke-0 hingga minggu ke-4 berturut-turut adalah

sebesar 7,655; 7,755; 7,965; 8,150; dan 8,290 sedangkan kerupuk kontrol

mempunyai nilai rata-rata kadar air dari minggu ke-0 hingga minggu ke-4

berturut-turut sebesar 7,185; 7,690; 7,880; 8,580 dan 8,605. Nilai rata-rata kadar

air kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 19.

7.185

8.6058.580

7.8807.690

8.2908.150

7.9657.655

7.755

6.000

6.500

7.000

7.500

8.000

8.500

9.000

M0 M1 M2 M3 M4

Pe nyim panan (m inggu)

Nila

i rat

a-ra

ta k

adar

air

0%

32,36 %

Gambar 19. Histogram nilai rata-rata kadar air kerupuk selama penyimpanan

Page 73: c05iis

Dari Gambar 19 diatas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar air

kerupuk selama penyimpanan baik pada kerupuk kontrol maupun pada kerupuk

dengan penambahan daging ikan sapu-sapu. Peningkatan kadar air dapat

disebabkan oleh adanya interaksi kerupuk dengan lingkungan disekitarnya. Dari

gambar tersebut terlihat bahwa kerupuk ikan mengalami kenaikan kadar air

dengan stabil, sedangkan kerupuk kontrol mengalami fluktuasi kadar air yang

lebih tinggi. Ini dapat terlihat pada penyimpanan minggu ke-0 hingga minggu ke-

1 selain itu juga pada penyimpanan minggu ke-2 menuju penyimpanan minggu

ke-3 pada kerupuk kontrol.

Adanya peningkatan kadar air yang lebih terhadap kerupuk kontrol dapat

disebabkan karena kandungan pati yang terdapat pada kerupuk kontrol lebih besar

daripada kandungan pati yang terdapat pada kerupuk dengan penambahan daging

ikan sapu-sapu sehingga menyebabkan kerupuk kontrol lebih bersifat higroskopis,

karena bahan yang kandungan patinya lebih tinggi akan rentan terhadap

lingkungan sekitarnya sehingga dapat dengan mudah menyerap air dari

sekelilingnya (Winarno 1992). Sehingga ketika kemasan kerupuk dibuka, maka

dengan segera kerupuk yang mempunyai sifat higroskopis menyerap air dari

lingkungannya.

Hasil analisis ragam terhadap kadar air menunjukkan bahwa penyimpanan

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air kerupuk. Ini berarti

bahwa kadar air kerupuk dapat dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan. Semakin

lama penyimpanan maka kadar air kerupuk akan semakin meningkat. Meskipun

kadar air kerupuk mengalami peningkatan selama penyimpanan, namun kadar air

maksimal pada penyimpanan minggu ke-4 masih berada dibawah batas maksimal

kadar air yang telah ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2713

tahun 1999 dengan batas kadar air maksimal kerupuk sebesar 12 %.

4.2.3.2 Kadar abu

Abu adalah sisa yang tertinggal bila suatu bahan makanan dibakar dengan

sempurna didalam suatu tungku pengabuan. Kadar abu menggambarkan

banyaknya mineral yang tidak dapat terbakar dari zat yang dapat menguap

(Sediaoetama 1996). Hasil analisis kadar abu menunjukkan bahwa kerupuk

Page 74: c05iis

kontrol memiliki kadar abu selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan ke-4

berturut-turut adalah sebesar 1,27 %, 1,26 % dan 1,24 % sedangkan kerupuk ikan

sapu-sapu memiliki kadar abu selama penyimpanan minggu ke-0, ke-2 dan ke-4

berturut-turut adalah sebesar 1,32 %, 1,35 %dan 1,39 %.

Dari data tersebut diketahui bahwa penambahan daging ikan sapu-sapu

32,36 % pada pembuatan kerupuk dapat meningkatkan kadar abu kerupuk yang

dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan karena kadar abu yang terdapat pada daging

ikan sapu-sapu sebesar 1,07 % lebih besar dibandingkan dengan kadar abu tepung

tapioka 0,3 % (Anonim 1995 diacu dalam Susilo 2001). Kandungan abu yang

lebih besar pada daging ikan sapu-sapu daripada kandungan abu yang dimiliki

tepung tapioka tersebut menyebabkan kadar abu kerupuk ikan lebih besar. Hasil

analisis kadar abu kerupuk selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 20.

1.35

1.39

1.241.261.27

1.32

1.15

1.20

1.25

1.30

1.35

1.40

1.45

M0 M2 M4

Pe nyim panan (m inggu)

Nil

ai

rata

-ra

ta k

ad

ar

ab

u (

%)

0%

32,36 %

Gambar 20. Histogram nilai rata-rata kadar abu kerupuk selama penyimpanan

Histogram menunjukkan bahwa kadar abu kerupuk ikan sapu-sapu

mengalami kenaikan selama penyimpanan, sedangkan kadar abu kerupuk kontrol

mengalami penurunan selama penyimpanan. Peningkatan dan penurunan kadar

abu kerupuk selama penyimpanan ini sangat kecil sekali. Adanya peningkatan

dan penurunan kadar abu dapat disebabkan oleh pengadukan yang kurang kalis

pada saat pengadonan sehingga adonan yang dihasilkan tidak homogen. Kadar

abu kerupuk yang dihasilkan tidak memenuhi syarat maksimal kadar abu yang

telah ditetapkan oleh SNI 01-2713 tahun 1999 yang menetapkan kadar abu

maksimal untuk kerupuk ikan sebesar 1 %.

Page 75: c05iis

4.2.3.3 Kadar lemak

Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga

kekebalan dan kesehatan tubuh manusia. Hasil analisis menunjukkan bahwa

kadar lemak kerupuk kontrol selama penyimpanan minggu ke-0, ke-2 dan ke-4

berturut-turut sebesar 1,47, 1,50 dan 1,47. Sedangkan kadar lemak kerupuk ikan

dari minggu ke-0, ke-2 dan ke-4 berturut-turut sebesar 1,49,1,50 dan 1,51. Hasil

analisis kadar lemak dapat dilihat pada Gambar 21.

1.47

1.50

1.47

1.51

1.49 1.49

1.451.46

1.471.481.491.501.51

1.52

M0 M2 M4

Penyimpanan (minggu)

Nila

i rat

a-ra

ta k

adar

lem

ak

0%

32,36 %

Gambar 21. Histogram nilai rata-rata kadar lemak kerupuk selama penyimpanan

Histogram menunjukkan bahwa penambahan daging ikan sapu-sapu dapat

meningkatkan kadar lemak kerupuk mentah yang dihasilkan meskipun

perbedaanya sangat kecil. Hal ini dapat dilihat pada gambar bahwa kerupuk

dengan penambahan daging ikan sapu-sapu memiliki kadar lemak yang lebih

besar daripada kerupuk kontrol. Tingginya kadar lemak pada kerupuk ikan sapu-

sapu ini diduga karena daging ikan sapu-sapu memiliki kandungan lemak yang

lebih besar (1,02 %) daripada kandungan lemak yang terdapat pada tepung

tapioka (0,3 %).

Kadar lemak kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu

mengalami kenaikan selama penyimpanan, sedangkan kadar lemak kerupuk

kontrol mengalami kenaikan pada minggu ke-2 kemudian mengalami penurunan

pada minggu ke-4. Adanya peningkatan dan penurunan kadar lemak pada

kerupuk diduga disebabkan oleh kandungan air yang mengalami perubahan.

Menurut Suzuki (1981), semakin tinggi kadar air, maka kandungan lemaknya

Page 76: c05iis

akan semakin rendah. Selain itu juga dapat disebabkan oleh pengadukan yang

kurang kalis pada saat pengadonan sehingga menyebabkan adonan tidak

homogen. Peningkatan dan penurunan kadar lemak kerupuk selama penyimpanan

ini sangat kecil sekali. Kadar lemak kerupuk yang dihasilkan tidak memenuhi

syarat maksimal kadar lemak yang telah ditetapkan oleh SNI 01-2713 tahun 1999

yang menetapkan kadar lemak maksimal untuk kerupuk ikan sebesar 0,8 %.

4.2.3.4 Kadar protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang paling penting bagi tubuh

karena berfungsi sebagai zat pengatur dan pembangun, selain itu protein juga

berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh. Kadar protein dalam makanan

merupakan suatu faktor yang dapat dijadikan bahan pertimbangan tersendiri bagi

konsumen.

Hasil analisis kadar protein menunjukkan bahwa kerupuk ikan sapu-sapu

memiliki kadar protein yang jauh lebih besar dari pada kerupuk kontrol. Kadar

protein kerupuk ikan sapu-sapu selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan

ke-4 berturut-turut sebesar 6,60 %, 6,44 %, dan 6,41 % sedangkan kadar protein

kerupuk kontrol pada penyimpanan minggu ke-0, ke-2 dan ke-4 berturut-turut

adalah sebesar 2,13 %, 2,21 %, 2,36 %. Nilai rata-rata kadar protein dapat dilihat

pada Gambar 22.

6.60 6.44 6.41

2.362.212.13

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

M0 M2 M4

Pe nyim panan (m ing gu)

Nila

i rat

a-ra

ta k

adar

pro

tein

(%

)

0%

32,36 %

Gambar 22. Histogram nilai rata-rata kadar protein kerupuk selama penyimpanan

Page 77: c05iis

Histogram diatas menunjukkan bahwa kerupuk dengan penambahan

daging ikan sapu-sapu memiliki kadar protein yang lebih besar dibandingkan

dengan kerupuk kontrol. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan protein pada

ikan lebih besar daripada tepung tapioka sehingga sumber protein bertambah dari

ikan sapu-sapu yang ditambahkan ke dalam produk. Kadar protein kerupuk ikan

sapu-sapu mengalami penurunan selama penyimpanan. Hal ini dapat disebabkan

karena adanya proses denaturasi protein pada kerupuk ikan. Menurut Winarno

(1997), denaturasi protein dapat terjadi akibat adanya panas, pH, bahan kimia,

mekanik, dan lain sebagainya. Masing-masing cara tersebut mempunyai pengaruh

yang berbeda-beda terhadap denaturasi protein. Kenaikan yang terjadi pada kadar

protein kerupuk kontrol ini sangat kecil sekali, sehingga kadar protein tersebut

dapat diasumsikan tetap. Adanya perubahan kadar protein juga dapat disebabkan

karena proses pengadukan yang kurang kalis pada saat pembuatan adonan

sehingga adonan yang dihasilkan tidak homogen. Penyimpanan kerupuk mentah

selama 4 minggu pada suhu ruang ini tidak memberikan pengaruh yang besar

terhadap kadar protein yang dikandungnya karena kenaikan atau penurunan yang

terjadi pada kadar protein kerupuk sangat kecil.

Standar Nasional Indonesia (01-2713-1999) menetapkan kadar protein

minimum untuk kerupuk ikan sebesar 6 %. Kerupuk ikan sapu-sapu yang

dihasilkan pada penelitian ini memiliki kadar protein diatas 6 % meskipun telah

terjadi penyimpanan selama 4 minggu. Hal ini berarti bahwa kerupuk ikan sapu-

sapu yang dihasilkan masih memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Standar

Nasional Indonesia.

4.2.3.5 Kadar karbohidrat

Kadar karbohidrat ditentukan dari hasil pengurangan 100 % dengan kadar

air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein (by difference) sehingga kadar

karbohidrat sangat tergantung dari faktor pengurangannya (Winarno 1997).

Kadar karbohidrat kerupuk kontrol selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2

dan ke-4 berturut-turut sebesar 87,94 %, 87,15 % dan 86,33 % sedangkan kadar

karbohidrat kerupuk ikan selama penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan ke-4

berturut-turut sebesar 82,93 %, 82,75% dan 82,40 %. kadar karbohidrat kerupuk

Page 78: c05iis

kontrol jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar karbohidrat kerupuk ikan

sapu-sapu.

Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa penambahan daging ikan

sapu-sapu dapat menurunkan kadar karbohidrat kerupuk mentah yang dihasilkan.

Hal ini diduga karena kandungan karbohidrat yang terdapat pada daging ikan

sapu-sapu sebesar 2,54 % sedangkan kandungan karbohidrat tepung tapioka

sebesar 86,9 % sehingga menyebabkan kadar karbohidrat kerupuk ikan sapu-sapu

lebih kecil daripada kerupuk kontrol. Hasil analisis kadar karbohidrat dapat

dilihat pada Gambar 23.

86.3387.15

87.94

82.4082.7582.94

79.0080.0081.0082.0083.0084.0085.0086.0087.0088.0089.00

M0 M2 M4

Pe nyim panan (m inggu)

Nil

ai r

ata-

rata

ka

da

r k

arb

oh

idra

t (%

)

0%

32,36 %

Gambar 23. Histogram nilai rata-rata kadar karbohidrat kerupuk

selama penyimpanan

Dari histogram diatas dapat dilihat bahwa kadar karbohidrat baik pada

kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu maupun kerupuk kontrol

mengalami penurunan selama penyimpanan 4 minggu. Namun penurunan kadar

karbohidrat kerupuk selama penyimpanan ini sangat kecil sekali. Adanya

penurunan kadar karbohidrat kerupuk dapat disebabkan oleh adanya peningkatan

dan penurunan kandungan gizi lain selama penyimpanan karena kadar karbohidrat

sangat tergantung dari faktor pengurangannya (Winarno 1997).

Page 79: c05iis

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Rendemen daging ikan sapu-sapu yang diperoleh adalah sebesar 26,06 %

dengan komposisi kimia: kadar air (81,89 %), abu (1,07 %), lemak (1,02 %),

protein (13,48 %) dan karbohidrat (2,54 %). Panelis lebih menyukai kerupuk

dengan konsentrasi 32,36 % pada uji sensori. Volume pengembangan tertinggi

terdapat pada kerupuk kontrol sebesar 328,67 %, dan volume pengembangan

terendah yaitu kerupuk ikan dengan konsentrasi 32,36 % sebesar 185,00 %.

Selama penyimpanan terjadi penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap

penampakan, warna, aroma, rasa dan kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu.

Sedangkan sifat fisik kerupuk ikan sapu-sapu dari minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3

dan ke-4 berturut-turut adalah sebagai berikut: tingkat kekerasan (1,95; 1,85; 1,8;

1,65 dan 1,78), derajat putih (21,18 %, 21,55 %, 20,51 %, 21,10 % dan 20,64 %),

volume pengembangan (211,69 %, 185,96 %, 203,83 %, 192,74 % dan

203,29 %). Sedangkan aktivitas air (0,559; 0,565; 0,570; 0,575; 0,580). Hasil

pengamatan kapang secara visual, tidak ditemukan adanya pertumbuhan kapang.

Sedangkan

Analisis proksimat kerupuk ikan sapu-sapu menunjukkan adanya

peningkatan kadar air, kadar abu dan kadar lemak selama penyimpanan pada

minggu ke-0, ke-2 dan ke-4, masing-masing: kadar air (7,66%, 7,97 %, 8,29%),

kadar abu (1,32 %, 1,35 %, 1,39 %) dan kadar lemak (1,49 %, 1,49 %, 1,51 %).

Sedangkan kadar protein dan karbohidrat mengalami penurunan selama

penyimpanan pada minggu ke-0, ke-2 dan ke-4 adalah : kadar protein (6,60 %,

6,44 %, 6,41%) dan karbohidrat (82,93 %, 82,75 %, 82,40 %).

5.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Perlu dilakukan teknik pengambilan daging ikan sapu-sapu yang lebih praktis

dan efektif untuk memperoleh rendemen yang lebih besar dan waktu yang

cukup singkat tanpa menurunkan nilai gizi yang terkandung pada ikan sapu-

sapu tersebut.

Page 80: c05iis

2. Perlu dilakukan analisis kandungan merkuri pada ikan sapu-sapu untuk

melihat aman atau tidaknya ikan sapu-sapu tersebut untuk dikonsumsi.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh dari masing-masing

konsentrasi daging ikan sapu-sapu yang digunakan terhadap sifat fisik

kerupuk ikan sapu-sapu.

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai umur simpan kerupuk ikan

sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dengan menggunakan metode akselerasi.

Page 81: c05iis

DAFTAR PUSTAKA

Amelia A. 2000. Kajian pengemasan kerupuk mentah siap goreng selama penyimpanan [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB.

Arsyad H. 1990. Penuntun Pengolahan Ikan (Suatu Rangkuman). Jakarta: PD. Mahkota.

Banwart GJ. 1983. Basic Food Microbiology. Westport, Connecticut: The AVI Publishing Company., Inc. London.

Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1985. Ilmu Pangan. Purnomo, A, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food Science.

Chaidir A. 2001. Pengaruh pencucian daging lumat (minced fish) ikan sapu-sapu (Hypostosmus sp) terhadap kualitas minced fish dalam pembuatan bakso ikan [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Dahuri R. 2004. Konsumsi ikan meningkat dalam tiga tahun terakhir. [tempo]. http://www.tempointeraktif.com. [17 Maret 2005]

Damayanti E, Mudjajanto ES. 1995. Teknologi Makanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Menengah. Jakarta: Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Peningkatan Pendidikan dan Kejuruan Non Teknik II.

Djumali ZN, Sailah F, Ma’arif MS. 1982. Teknologi Kerupuk. Buku Pegangan Petugas Lapang Penyebarluasan Teknologi Sistem Padat Karya. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Erawaty WR. 2001. Pengaruh bahan pengikat, waktu penggorengan dan daya simpan terhadap sifat fisik dan organoleptik produk nugget ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Harris RS, Karnas E. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pada Bahan Pangan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Page 82: c05iis

Hariyadi P. 1989. Mempelajari kinetika gelatinisasi pati sagu. [karya ilmiah]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Hlm. 27-181.

Kottelat M., Whitten AJ, Kartikasari SN, Wiroatmadja S. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Jerman: Periplus Edition. 377 hal.

Lavlinesia. 1995. Kajian beberapa faktor pengembangan volumetrik dan kerenyahan kerupuk ikan [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Lestari DS. 2002. Pengaruh lama penyimpanan daging rajungan (Portunus pelagicus) rebus pada suhu kamar. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Lund DB. 1989. Pengaruh pengolahan panas terhadap zat gizi. Dalam Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Editor: E. Karmas dan R.S Harris. Penerjemah S. Akhmadi. Bandung: Penerbit ITB.

Mahdiah E. 2002. Pengaruh penambahan bahan pengikat terhadap karakteristik fisik otak-otak ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Muchtadi TR. 1989. Teknologi Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Nurhayati T. 1994. Pengaruh asam dan bleaching terhadap mutu tepung ikan (fish flour) [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Palungkun R, Budiarti A. 1992. Bawang Putih Dataran Rendah. Jakarta: Penebar Swadaya.

Purnomo AH, Choliq A. 1987. Study Tentang Daya Kembang Kerupuk Ikan. [catatan penelitian]. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 43:45-50.

Prihardhyanto A. 1995. Beberapa Aspek Biologi Ikan Sapu-sapu (Hypostosmus sp dan Hyposarcus pardalis), Suatu Tinjauan Ringkas. Depok: Fakultas Matematika dan IPA, Universitas Indonesia. 17 hal.

Rahayu YS. 2004. Kondisi Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP), perbaikan mutu, dan penyimpanan kerupuk [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Ranganna. 1986. Handbook of Analysis and Quality Control for Fruit and Vegetables Product. Westport, Connecticut: The AVI Publishing Company.

Page 83: c05iis

Saccharow RS, Griffin RC. 1984. Principles of Food Packaging (2nd edition). AVI Publ.Co. Westport, connecticut.

Siaw CL, Idrus AZ, Yu SY. 1985. Intermediate technology for fish crecker (keropok) production. J.Food Technology. 20: 17-21.

Soediaoetama. 1996. Kimia Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Somaatmadja D. 1976. Kimia Pangan. Bogor: Biro Penataran. Institut Pertanian Bogor.

[SNI] Standar Nasional Indonesia 01-2713. 1999. Kerupuk Ikan. Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta: Departemen Perindustrian.

01-2713. 1992. Kerupuk Ikan. Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta: Departemen Perindustrian.

Stansby ME, Olcott. 1963. Compotition of Fish. Di dalam: M.E. Stansby dan J.A. Dassow. Editor. Industrial Fisheries Technology. New York: Reinhold Publ. Co.

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

Susilo H. 2001. Pembuatan kerupuk kerang hijau (Mytilus viridis L.) menggunakan telur itik sebagai bahan tambahan [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Susanto DA. 2004. Pleco, Sapu-sapu Hias Eksotis. Jakarta: Penebar Swadaya. 72 hal.

Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein : Processing Technology. Aplied Science Publisher Ltd., London. 260 p.

Syarief R, Santausa S, Isyana St B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Buku dan Monograf. Bogor: Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. 604 hal.

Syarief R, Halid H. 1983. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta: Penerbit Arcana.

Tahir. 1985. Mempelajari pembuatan dan karakteristik kerupuk dari tepung sagu (Metroxylon sagu R.) [tesis]. Ujung Pandang: Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas Hasanudin.

Widowati T. 1987. Pembuatan kerupuk kimpul [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi , Institut Pertanian Bogor.

Page 84: c05iis

Wijandi S, Jatmiko B, Haryadi Y, Muchtadi D, Setiharjatini, Syarif H, Krisupiyanti. 1975. Industri Pengrajin Kerupuk di Sidoarjo, Jawa Timur. Kerjasama Direktorat Aneka Industri dan Kerajinan dengan IPB. Bogor.

Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia.

Winarno FG. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

1997. Naskah Akademis Keamanan Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Wiriano H. 1984. Mekanisasi dan Teknologi Pembuatan Kerupuk. Balai Besar Industri Hasil Pertanian. Bogor: Departemen Perindustrian.

Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov C, Makarova T, Minder L, Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Uni Sovyet: Mir Publisher Moscow.

Zulviani R. 1992. Pengaruh berbagai tingkat suhu penggorengan terhadap pola pengembangan kerupuk sagu goreng [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Page 85: c05iis

Lampiran 1. Contoh format uji sensori

UJI SENSORI SKALA HEDONIK

Nama Panelis :

Tanggal Pengujian :

Jenis Produk : Kerupuk Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

Instruksi : Nyatakan penilaian anda sesuai kolom ini

Kode Parameter A0 A1 A2 A3 A4 A5

Penampakan

Warna

Aroma

Rasa

Kerenyahan

Keterangan:

7 = Sangat suka 3 = Agak tidak suka

6 = Suka 2 = Tidak suka

5 = Agak suka 1 = Sangat tidak suka

4 = Netral

Keterangan kode:

A0 = kerupuk tanpa penambahan daging ikan sapu-sapu

A1 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 6,47 %

A2 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 12,94 %

A3 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 19,42 %

A4 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 25,89 %

A5 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 32,36 %

Page 86: c05iis

Lampiran 2a. Data uji sensori terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan

No A0 A1 A2 A3 A4 A5 No A0 A1 A2 A3 A4 A5 1 6 6 6 6 6 6 16 5 5 6 7 7 7 2 5 6 5 7 7 6 17 6 6 5 7 7 7 3 4 5 5 6 6 7 18 4 3 7 6 7 7 4 4 6 6 6 6 6 19 6 5 6 6 5 6 5 5 6 6 6 6 7 20 6 5 5 6 7 6 6 7 6 6 6 7 7 21 7 7 6 7 7 7 7 5 3 3 6 4 6 22 2 3 7 7 7 7 8 6 6 6 6 7 6 23 7 6 6 7 6 5 9 6 4 4 6 7 7 24 7 6 6 7 7 7

10 6 6 6 6 6 6 25 4 5 5 7 6 7 11 5 6 3 5 7 6 26 4 4 6 6 7 6 12 6 6 5 7 7 7 27 7 6 7 6 7 6 13 5 6 6 6 6 6 28 5 6 5 7 7 7 14 6 5 5 6 7 6 29 5 6 5 7 5 7 15 5 6 5 6 6 6 30 5 5 5 6 6 7

Lampiran 2b. Data uji sensori terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian tahap awal

No A0 A1 A2 A3 A4 A5 No A0 A1 A2 A3 A4 A5 1 6 5 6 7 6 7 16 6 6 6 6 6 6 2 7 6 7 7 7 7 17 6 4 4 6 6 7 3 6 5 7 5 5 5 18 6 5 6 6 7 6 4 3 2 3 7 7 7 19 5 4 4 5 6 6 5 7 6 7 7 7 7 20 6 6 6 6 6 7 6 6 5 5 7 7 6 21 6 5 5 6 6 6 7 6 5 4 6 5 6 22 6 5 5 6 6 6 8 4 4 4 4 4 7 23 6 5 6 5 6 6 9 6 6 5 7 7 7 24 6 6 6 6 6 6

10 5 6 6 7 7 7 25 7 6 3 7 7 6 11 5 5 5 5 6 6 26 4 4 5 6 7 6 12 6 5 5 6 7 6 27 6 5 6 6 6 6 13 6 5 3 5 5 6 28 5 5 4 7 7 7 14 5 6 4 4 5 5 29 5 5 3 7 6 6 15 5 6 4 6 7 7 30 5 5 5 7 6 7

Keterangan kode:

A0 = kerupuk tanpa penambahan daging ikan sapu-sapu (0 %)

A1 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 6,47 %

A2 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 12,94 %

A3 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 19,42 %

A4 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 25,89 %

A5 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 32,36 %

Page 87: c05iis

Lampiran 2c. Data uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan

No A0 A1 A2 A3 A4 A5 No A0 A1 A2 A3 A4 A5 1 3 3 3 7 7 3 16 7 5 6 7 7 7 2 6 7 7 6 6 6 17 6 5 6 5 7 6 3 6 6 5 5 6 6 18 5 5 4 3 5 3 4 6 5 5 6 6 7 19 6 6 5 6 6 6 5 6 5 5 6 6 7 20 7 5 5 6 6 6 6 6 6 5 6 7 6 21 6 6 7 6 6 7 7 6 4 4 4 3 6 22 4 2 3 6 6 7 8 6 5 6 5 5 5 23 5 4 4 6 4 6 9 6 5 5 5 6 6 24 7 6 6 7 7 7

10 4 4 4 4 4 4 25 5 5 5 7 6 7 11 4 6 5 5 7 6 26 5 4 5 6 7 6 12 5 4 6 5 4 4 27 4 4 5 6 6 5 13 6 6 3 5 5 6 28 5 5 5 6 5 6 14 5 6 6 6 6 7 29 4 6 5 4 4 6 15 5 5 5 6 6 6 30 3 5 5 6 6 7

Lampiran 2d. Data uji sensori terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan

No A0 A1 A2 A3 A4 A5 No A0 A1 A2 A3 A4 A5 1 4 5 5 7 6 7 16 6 6 6 5 5 6 2 7 6 6 7 6 7 17 6 5 5 5 7 7 3 6 6 6 4 7 4 18 7 6 6 6 5 6 4 3 3 7 7 6 7 19 6 4 4 4 4 5 5 6 6 6 7 7 7 20 6 6 6 6 7 7 6 5 5 5 6 6 6 21 5 5 5 6 6 6 7 6 6 6 6 6 6 22 5 5 6 6 6 7 8 4 7 6 7 3 7 23 5 6 5 6 6 6 9 6 5 6 5 7 6 24 6 7 6 5 7 7

10 5 5 5 7 6 7 25 5 6 6 6 6 6 11 6 6 5 6 6 7 26 5 4 6 6 7 6 12 6 4 4 6 6 7 27 6 6 6 6 7 6 13 6 6 4 5 5 6 28 5 6 7 6 6 7 14 5 6 6 5 5 5 29 5 7 6 6 3 5 15 4 5 4 5 7 6 30 6 6 6 7 6 7

Keterangan kode:

A0 = kerupuk tanpa penambahan daging ikan sapu-sapu

A1 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 6,47 %

A2 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 12,94 %

A3 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 19,42 %

A4 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 25,89 %

A5 = kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 32,36 %

Page 88: c05iis

Lampiran 2e. Data uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan

No A0 A1 A2 A3 A4 A5 No A0 A1 A2 A3 A4 A5 1 6 6 6 6 6 6 16 6 7 7 7 7 7 2 7 7 7 7 7 7 17 6 6 6 6 7 6 3 6 5 5 6 5 6 18 6 7 7 7 6 7 4 6 5 5 6 6 7 19 7 6 6 6 6 6 5 6 6 6 6 6 6 20 6 6 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7 7 21 7 7 7 6 7 7 7 7 7 7 7 6 6 22 7 7 7 7 7 7 8 7 7 6 6 7 4 23 7 7 7 6 6 7 9 6 5 6 6 5 5 24 7 7 7 7 7 6

10 6 6 6 6 5 5 25 7 7 6 6 6 6 11 6 6 6 5 6 5 26 6 6 6 6 7 6 12 6 6 5 7 7 7 27 7 6 7 7 6 6 13 6 6 6 5 6 6 28 7 7 7 6 6 6 14 7 6 6 7 5 6 29 6 7 7 6 6 5 15 7 6 5 6 7 6 30 6 6 6 6 6 7

Lampiran 3. Hasil uji Kruskal Wallis tingkat kesukaan terhadap kerupuk

ikan pada penelitian pendahuluan

Perlakuan N Mean Rank 0 % 30 58,20 6,47% 30 58,10 12,94% 30 59,87 19,42% 30 97,43 25,89% 30 103,90

Penampakan

Total 150 0 % 30 75,10 6,47% 30 53,88 12,94% 30 53,38 19,42% 30 94,72 25,89% 30 100,42

Warna

Total 150 0 % 30 74,72 6,47% 30 62,50 12,94% 30 61,10 19,42% 30 86,63 25,89% 30 92,55

Aroma

Total 150 0 % 30 64,52 6,47% 30 69,80 12,94% 30 70,30 19,42% 30 83,68 25,89% 30 89,20

Rasa

Total 150 0 % 30 83,97 6,47% 30 77,18 12,94% 30 73,40 19,42% 30 71,83 25,89% 30 71,12

Kerenyahan

Total 150

Page 89: c05iis

Test Statistics(a,b) Penampakan Warna Aroma Rasa Kerenyahan Chi-Square 38,247 33,936 13,760 8,019 2,217 df 4 4 4 4 4 Asymp. Sig. ,000 ,000 ,008 ,091 ,696 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Penampakan

Ket : Asymp. Sig < 0.05 = berbeda nyata

Lampiran 4a. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap penampakan

kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

95% Confidence Interval Dependent

Variable (I)

Penampakan (J)

Penampakan Mean

Difference (I-J) Std.

Error Sig. Lower Bound

Upper Bound

6,47% ,00 ,226 1,000 -,65 ,65 12,94% -,10 ,226 ,998 -,75 ,55 19,42% -,97(*) ,226 ,000 -1,62 -,32 25,89% -1,07(*) ,226 ,000 -1,72 -,42

0 %

32,36% -1,10(*) ,226 ,000 -1,75 -,45 0 % ,00 ,226 1,000 -,65 ,65 12,94% -,10 ,226 ,998 -,75 ,55 19,42% -,97(*) ,226 ,000 -1,62 -,32 25,89% -1,07(*) ,226 ,000 -1,72 -,42

6,47 %

32,36% -1,10(*) ,226 ,000 -1,75 -,45 0 % ,10 ,226 ,998 -,55 ,75 6,47% ,10 ,226 ,998 -,55 ,75 19,42% -,87(*) ,226 ,002 -1,52 -,22 25,89% -,97(*) ,226 ,000 -1,62 -,32

12,94 %

32,36% -1,00(*) ,226 ,000 -1,65 -,35 0 % ,97(*) ,226 ,000 ,32 1,62 6,47% ,97(*) ,226 ,000 ,32 1,62 12,94% ,87(*) ,226 ,002 ,22 1,52 25,89% -,10 ,226 ,998 -,75 ,55

19,42 %

32,36% -,13 ,226 ,992 -,78 ,52 0 % 1,07(*) ,226 ,000 ,42 1,72 6,47% 1,07(*) ,226 ,000 ,42 1,72 12,94% ,97(*) ,226 ,000 ,32 1,62 19,42% ,10 ,226 ,998 -,55 ,75

25,89 %

32,36% -,03 ,226 1,000 -,68 ,62 0 % 1,10(*) ,226 ,000 ,45 1,75 6,47% 1,10(*) ,226 ,000 ,45 1,75 12,94% 1,00(*) ,226 ,000 ,35 1,65 19,42% ,13 ,226 ,992 -,52 ,78

Penampakan

32,36 %

25,89% ,03 ,226 1,000 -,62 ,68

Page 90: c05iis

Lampiran 4b. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

95% Confidence

Interval Dependent Variable

(I) Penampakan

(J) Penampakan

Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

Lower Bound

Upper Bound

6,47% ,50 ,233 ,271 -,17 1,17 12,94% ,63 ,233 ,078 -,04 1,31 19,42% -,47 ,233 ,347 -1,14 ,21 25,89% -,60 ,233 ,110 -1,27 ,07

0 %

32,36% -,73(*) ,233 ,024 -1,41 -,06 0 % -,50 ,233 ,271 -1,17 ,17 12,94% ,13 ,233 ,993 -,54 ,81 19,42% -,97(*) ,233 ,001 -1,64 -,29 25,89% -1,10(*) ,233 ,000 -1,77 -,43

6,47 %

32,36% -1,23(*) ,233 ,000 -1,91 -,56 0 % -,63 ,233 ,078 -1,31 ,04 6,47% -,13 ,233 ,993 -,81 ,54 19,42% -1,10(*) ,233 ,000 -1,77 -,43 25,89% -1,23(*) ,233 ,000 -1,91 -,56

12,94 %

32,36% -1,37(*) ,233 ,000 -2,04 -,69 0 % ,47 ,233 ,347 -,21 1,14 6,47% ,97(*) ,233 ,001 ,29 1,64 12,94% 1,10(*) ,233 ,000 ,43 1,77 25,89% -,13 ,233 ,993 -,81 ,54

19,42 %

32,36% -,27 ,233 ,863 -,94 ,41 0 % ,60 ,233 ,110 -,07 1,27 6,47% 1,10(*) ,233 ,000 ,43 1,77 12,94% 1,23(*) ,233 ,000 ,56 1,91 19,42% ,13 ,233 ,993 -,54 ,81

25,89 %

32,36% -,13 ,233 ,993 -,81 ,54 0 % ,73(*) ,233 ,024 ,06 1,41 6,47% 1,23(*) ,233 ,000 ,56 1,91 12,94% 1,37(*) ,233 ,000 ,69 2,04 19,42% ,27 ,233 ,863 -,41 ,94

Warna

32,36 %

25,89% ,13 ,233 ,993 -,54 ,81

Page 91: c05iis

Lampiran 4c. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

95%

Confidence Interval Dependent

Variable (I)

Penampakan (J)

Penampakan

Mean Difference

(I-J)

Std. Error Sig.

Lower Bound

Upper Bound

6,47% ,30 ,273 ,881 -,49 1,09 12,94% ,30 ,273 ,881 -,49 1,09 19,42% -,30 ,273 ,881 -1,09 ,49 25,89% -,43 ,273 ,607 -1,22 ,35

0 %

32,36% -,60 ,273 ,243 -1,39 ,19 0 % -,30 ,273 ,881 -1,09 ,49 12,94% ,00 ,273 1,000 -,79 ,79 19,42% -,60 ,273 ,243 -1,39 ,19 25,89% -,73 ,273 ,083 -1,52 ,05

6,47 %

32,36% -,90(*) ,273 ,015 -1,69 -,11 0 %l -,30 ,273 ,881 -1,09 ,49 6,47% ,00 ,273 1,000 -,79 ,79 19,42% -,60 ,273 ,243 -1,39 ,19 25,89% -,73 ,273 ,083 -1,52 ,05

12,94 %

32,36% -,90(*) ,273 ,015 -1,69 -,11 0 % ,30 ,273 ,881 -,49 1,09 6,47% ,60 ,273 ,243 -,19 1,39 12,94% ,60 ,273 ,243 -,19 1,39 25,89% -,13 ,273 ,997 -,92 ,65

19,42 %

32,36% -,30 ,273 ,881 -1,09 ,49 0 % ,43 ,273 ,607 -,35 1,22 6,47% ,73 ,273 ,083 -,05 1,52 12,94% ,73 ,273 ,083 -,05 1,52 19,42% ,13 ,273 ,997 -,65 ,92

25,89 %

32,36% -,17 ,273 ,990 -,95 ,62 0 % ,60 ,273 ,243 -,19 1,39 6,47% ,90(*) ,273 ,015 ,11 1,69 12,94% ,90(*) ,273 ,015 ,11 1,69 19,42% ,30 ,273 ,881 -,49 1,09

Aroma

32,36 %

25,89% ,17 ,273 ,990 -,62 ,95

Page 92: c05iis

Lampiran 4d. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

95% Confidence

Interval Dependent Variable

(I) Penampakan

(J) Penampakan

Mean Difference (I-J)

Std. Error Sig.

Lower Bound

Upper Bound

6,47% -,10 ,234 ,998 -,77 ,57 12,94% -,13 ,234 ,993 -,81 ,54 19,42% -,43 ,234 ,434 -1,11 ,24 25,89% -,47 ,234 ,349 -1,14 ,21

0 %

32,36% -,87(*) ,234 ,004 -1,54 -,19 0 % ,10 ,234 ,998 -,57 ,77 12,94% -,03 ,234 1,000 -,71 ,64 19,42% -,33 ,234 ,711 -1,01 ,34 25,89% -,37 ,234 ,620 -1,04 ,31

6,47%

32,36% -,77(*) ,234 ,016 -1,44 -,09 0 % ,13 ,234 ,993 -,54 ,81 6,47% ,03 ,234 1,000 -,64 ,71 19,42% -,30 ,234 ,794 -,97 ,37 25,89% -,33 ,234 ,711 -1,01 ,34

12,94%

32,36% -,73(*) ,234 ,024 -1,41 -,06 0 % ,43 ,234 ,434 -,24 1,11 6,47% ,33 ,234 ,711 -,34 1,01 12,94% ,30 ,234 ,794 -,37 ,97 25,89% -,03 ,234 1,000 -,71 ,64

19,42%

32,36% -,43 ,234 ,434 -1,11 ,24 0 % ,47 ,234 ,349 -,21 1,14 6,47% ,37 ,234 ,620 -,31 1,04 12,94% ,33 ,234 ,711 -,34 1,01 19,42% ,03 ,234 1,000 -,64 ,71

25,89%

32,36% -,40 ,234 ,526 -1,07 ,27 0 % ,87(*) ,234 ,004 ,19 1,54 6,47% ,77(*) ,234 ,016 ,09 1,44 12,94% ,73(*) ,234 ,024 ,06 1,41 19,42% ,43 ,234 ,434 -,24 1,11

Rasa

32,36%

25,89% ,40 ,234 ,526 -,27 1,07

Lampiran 5a. Hasil uji volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu

konsentrasi (%) ulangan 0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36

1 330 305 295 255 225 175 2 340 295 270 242 230 183 3 316 295 286 230 197 197

Rata-rata 328,67 298,33 283,67 242,33 217,33 185,00 Lampiran 5b. Hasil analisis ragam volume pengembangan kerupuk ikan

sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

ANOVA Sumber keragaman SS db MS Fhitung Ftabel

Konsentrasi 43495,78 5 8699,156 55,78368* 3,105875 Sisa 1871,333 12 155,9444 Total 45367,11 17 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata

Page 93: c05iis

Lampiran 6a. Data uji sensori terhadap penampakan kerupuk selama penyimpanan

Minggu ke-0 Minggu ke-1 No 0 % 32,36% No 0 % 32,36% No 0 % 32,36% No 0% 32,36% 1 7 6 16 7 6 1 7 6 16 6 5 2 4 4 17 6 7 2 4 4 17 6 7 3 7 5 18 7 6 3 7 5 18 7 6 4 7 7 19 6 5 4 7 7 19 6 5 5 6 6 20 6 6 5 6 6 20 6 5 6 7 7 21 6 7 6 7 6 21 6 7 7 7 6 22 6 5 7 6 7 22 6 5 8 6 7 23 6 5 8 6 7 23 6 5 9 6 6 24 6 7 9 6 6 24 7 3 10 5 5 25 6 6 10 5 5 25 6 6 11 5 6 26 7 7 11 6 5 26 6 7 12 5 6 27 7 6 12 5 6 27 7 6 13 7 6 28 6 6 13 7 6 28 6 6 14 6 5 29 6 5 14 6 5 29 6 5 15 6 6 30 6 6 15 6 6 30 6 6

Minggu ke-2 Minggu ke-3

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 7 4 16 7 6 1 7 4 16 7 5 2 4 4 17 5 7 2 4 4 17 5 6 3 7 5 18 7 6 3 7 5 18 6 6 4 7 6 19 6 6 4 7 6 19 6 6 5 6 6 20 6 5 5 6 6 20 6 5 6 7 6 21 6 7 6 6 6 21 6 7 7 6 7 22 7 6 7 6 7 22 7 5 8 5 6 23 6 5 8 5 5 23 6 5 9 6 6 24 6 5 9 6 6 24 7 6

10 5 5 25 6 6 10 5 5 25 6 6 11 6 5 26 7 6 11 6 5 26 6 3 12 5 6 27 7 5 12 5 6 27 7 5 13 7 5 28 6 5 13 6 5 28 6 6 14 7 5 29 5 5 14 7 5 29 6 5 15 6 6 30 6 6 15 6 6 30 6 6

Minggu ke-4

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 7 4 11 5 6 21 6 7 2 4 4 12 5 6 22 6 6 3 7 5 13 5 4 23 6 5 4 6 6 14 7 5 24 7 7 5 6 5 15 6 6 25 6 5 6 6 5 16 7 6 26 6 3 7 7 6 17 5 6 27 7 5 8 5 5 18 6 5 28 6 3 9 6 7 19 6 6 29 6 5 10 3 3 20 6 5 30 6 4

Page 94: c05iis

Lampiran 6b. Data uji sensori terhadap warna kerupuk selama penyimpanan

Minggu ke-0 Minggu ke-1

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 7 6 16 7 6 1 7 6 16 6 6 2 6 5 17 6 6 2 6 5 17 6 6 3 7 6 18 7 6 3 7 6 18 7 6 4 7 7 19 6 6 4 7 6 19 6 6 5 7 6 20 7 6 5 7 6 20 7 6 6 7 7 21 7 7 6 7 7 21 7 7 7 7 7 22 6 6 7 6 7 22 6 6 8 6 6 23 6 5 8 6 6 23 6 4 9 6 6 24 6 7 9 6 6 24 6 6

10 6 6 25 6 6 10 6 5 25 6 6 11 6 6 26 7 6 11 6 6 26 7 6 12 5 6 27 7 6 12 5 6 27 7 5 13 6 7 28 6 6 13 6 6 28 6 6 14 6 6 29 6 6 14 6 6 29 6 6 15 6 7 30 6 5 15 6 6 30 6 5

Minggu ke-2 Minggu ke-3

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 7 6 16 6 6 1 7 5 16 6 6 2 6 5 17 6 5 2 6 5 17 6 5 3 7 6 18 7 6 3 7 5 18 6 6 4 7 6 19 6 6 4 6 6 19 6 6 5 7 6 20 7 6 5 7 6 20 7 6 6 7 6 21 7 7 6 6 5 21 7 7 7 6 7 22 6 5 7 6 7 22 6 5 8 5 5 23 6 4 8 5 5 23 6 4 9 6 6 24 6 5 9 7 6 24 7 5

10 5 5 25 6 6 10 5 4 25 6 6 11 6 6 26 7 6 11 6 6 26 6 5 12 5 6 27 7 5 12 5 6 27 7 5 13 6 6 28 6 6 13 6 5 28 6 6 14 7 5 29 6 5 14 7 5 29 6 5 15 6 6 30 6 5 15 6 6 30 6 5

Minggu ke-4

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 7 4 11 6 6 21 7 7 2 6 5 12 5 5 22 6 5 3 7 5 13 5 5 23 5 4 4 6 6 14 7 5 24 7 5 5 7 5 15 6 6 25 6 6 6 6 5 16 7 6 26 6 4 7 6 5 17 6 5 27 7 5 8 5 5 18 6 5 28 7 5 9 6 7 19 6 6 29 5 5

10 4 4 20 7 6 30 6 5

Page 95: c05iis

Lampiran 6c. Data uji sensori terhadap aroma kerupuk selama penyimpanan

Minggu ke-0 Minggu ke-1

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 5 5 16 6 6 1 5 5 16 5 6 2 6 5 17 7 6 2 6 5 17 7 6 3 6 6 18 6 6 3 6 6 18 6 6 4 7 7 19 6 7 4 7 7 19 6 6 5 4 6 20 6 6 5 4 6 20 4 6 6 7 6 21 6 6 6 6 6 21 6 6 7 6 7 22 5 6 7 6 7 22 4 6 8 6 6 23 5 6 8 6 6 23 5 4 9 6 7 24 6 6 9 6 7 24 4 5

10 6 7 25 6 7 10 6 7 25 6 7 11 5 6 26 6 7 11 5 6 26 6 6 12 6 6 27 6 6 12 6 6 27 6 6 13 5 6 28 6 6 13 5 6 28 6 6 14 5 6 29 6 6 14 5 6 29 6 6 15 6 6 30 6 6 15 6 6 30 6 6

Minggu ke-2 Minggu ke-3

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 5 5 16 6 6 1 5 5 16 6 6 2 5 5 17 6 6 2 4 5 17 6 6 3 6 6 18 6 6 3 6 6 18 5 6 4 6 6 19 6 6 4 6 6 19 6 6 5 4 5 20 4 6 5 4 5 20 4 5 6 6 6 21 6 6 6 5 6 21 6 6 7 6 6 22 4 5 7 6 6 22 5 5 8 5 6 23 5 6 8 5 6 23 4 5 9 6 7 24 6 5 9 6 7 24 4 6

10 5 7 25 6 7 10 4 6 25 6 7 11 6 6 26 5 6 11 5 5 26 5 5 12 6 5 27 6 6 12 6 5 27 6 6 13 5 6 28 5 6 13 5 6 28 6 5 14 5 6 29 5 6 14 6 6 29 6 6 15 5 6 30 5 6 15 5 6 30 5 5

Minggu ke-4

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 5 5 11 6 6 21 6 6 2 4 5 12 5 5 22 5 4 3 6 5 13 5 6 23 5 4 4 6 6 14 6 6 24 6 4 5 4 5 15 5 6 25 6 6 6 4 5 16 6 5 26 5 5 7 6 7 17 6 5 27 6 6 8 5 6 18 5 5 28 5 4 9 6 7 19 6 6 29 5 6

10 4 6 20 4 4 30 5 5

Page 96: c05iis

Lampiran 6d. Data uji sensori terhadap rasa kerupuk selama penyimpanan

Minggu ke-0 Minggu ke-1 No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 6 6 16 7 7 1 6 6 16 7 7 2 6 6 17 7 7 2 6 6 17 7 7 3 6 7 18 6 7 3 6 7 18 6 7 4 7 7 19 6 7 4 7 7 19 6 7 5 5 6 20 7 7 5 5 6 20 7 7 6 7 7 21 6 7 6 6 7 21 6 7 7 7 7 22 6 7 7 6 7 22 6 7 8 7 6 23 7 6 8 7 6 23 7 6 9 7 7 24 6 7 9 7 7 24 6 7

10 7 7 25 6 6 10 7 7 25 6 6 11 6 6 26 6 7 11 5 6 26 6 7 12 6 7 27 6 7 12 6 7 27 6 7 13 5 6 28 6 7 13 6 6 28 6 7 14 6 7 29 6 7 14 6 7 29 6 7 15 7 7 30 7 6 15 7 6 30 7 6

Minggu ke-2 Minggu ke-3

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 6 6 16 7 7 1 6 6 16 7 7 2 6 6 17 6 7 2 6 6 17 6 6 3 6 5 18 6 6 3 6 4 18 6 6 4 7 6 19 5 6 4 6 6 19 5 6 5 5 6 20 7 7 5 5 6 20 7 7 6 6 6 21 6 7 6 5 5 21 6 7 7 6 7 22 6 7 7 6 7 22 6 6 8 6 6 23 7 6 8 6 5 23 7 6 9 6 7 24 6 7 9 7 7 24 6 7

10 6 6 25 6 6 10 5 6 25 6 6 11 6 6 26 6 7 11 5 6 26 6 7 12 5 6 27 6 6 12 5 6 27 6 6 13 6 6 28 5 7 13 6 6 28 6 7 14 7 7 29 6 7 14 7 6 29 5 6 15 7 7 30 7 7 15 7 6 30 6 6

Minggu ke-4

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 6 6 11 6 6 21 6 7 2 5 6 12 5 6 22 6 5 3 6 4 13 7 7 23 7 6 4 6 6 14 7 6 24 6 7 5 5 6 15 7 6 25 6 6 6 4 5 16 7 7 26 6 6 7 6 7 17 6 5 27 6 6 8 5 5 18 5 6 28 6 7 9 6 7 19 5 6 29 6 6

10 5 6 20 6 7 30 6 5

Page 97: c05iis

Lampiran 6e. Data uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk selama penyimpanan

Minggu ke-0 Minggu ke-1

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 6 6 16 7 7 1 6 6 16 7 7 2 7 7 17 7 7 2 7 7 17 7 7 3 6 6 18 7 7 3 6 5 18 7 7 4 7 7 19 6 6 4 7 6 19 6 6 5 7 7 20 6 6 5 7 7 20 6 6 6 7 7 21 7 7 6 7 6 21 7 7 7 7 6 22 7 5 7 6 7 22 7 5 8 6 7 23 7 6 8 6 7 23 7 6 9 7 7 24 7 7 9 7 7 24 7 7

10 7 7 25 7 7 10 7 7 25 7 7 11 6 6 26 7 7 11 6 6 26 7 6 12 5 6 27 7 7 12 5 6 27 7 7 13 7 6 28 7 7 13 7 6 28 7 7 14 7 7 29 7 6 14 7 7 29 6 6 15 7 7 30 6 5 15 7 7 30 6 5

Minggu ke-2 Minggu ke-3

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 6 6 16 7 6 1 6 6 16 7 5 2 7 7 17 6 6 2 7 7 17 6 6 3 6 5 18 6 6 3 6 5 18 6 6 4 7 6 19 6 6 4 6 6 19 6 6 5 7 7 20 6 6 5 7 7 20 6 6 6 6 5 21 6 7 6 6 5 21 6 7 7 6 7 22 7 6 7 6 7 22 7 6 8 5 6 23 7 6 8 5 5 23 7 6 9 6 6 24 7 7 9 7 7 24 7 7

10 7 6 25 7 7 10 6 6 25 7 7 11 6 6 26 6 6 11 6 6 26 6 6 12 5 6 27 7 7 12 5 6 27 7 7 13 7 6 28 7 7 13 7 6 28 7 7 14 7 7 29 6 6 14 7 7 29 5 6 15 7 7 30 6 5 15 7 7 30 6 5

Minggu ke-4

No 0% 32,36% No 0% 32,36% No 0% 32,36% 1 5 6 11 6 6 21 7 7 2 6 6 12 4 5 22 7 6 3 6 5 13 7 6 23 6 6 4 6 5 14 7 7 24 7 7 5 7 6 15 7 7 25 6 6 6 6 4 16 7 7 26 6 6 7 7 6 17 6 6 27 7 7 8 5 5 18 6 6 28 7 7 9 6 7 19 6 6 29 6 5

10 5 5 20 6 6 30 6 5

Page 98: c05iis

Lampiran 7a. Hasil uji Kruskal Wallis kerupuk ikan selama penyimpanan

Perlakuan N Mean Rank Penampakan M0 30 91,58 M1 30 81,32 M2 30 75,47 M3 30 69,00 M4 30 60,13 Total 150 Warna M0 30 100,17 M1 30 88,77 M2 30 74,60 M3 30 63,17 M4 30 50,80 Total 150 Aroma M0 30 94,28 M1 30 85,77 M2 30 78,55 M3 30 66,28 M4 30 52,62 Total 150 Rasa M0 30 94,00 M1 30 91,67 M2 30 76,38 M3 30 59,65 M4 30 55,80 Total 150 Kerenyahan M0 30 90,33 M1 30 84,60 M2 30 71,70 M3 30 70,98 M4 30 59,88 Total 150

Test Statistics(a,b)

Penampakan Warna Aroma Rasa Kerenyahan

Chi-Square 10,269 29,802 22,607 24,818 11,025 df 4 4 4 4 4 Asymp. Sig. ,036 ,000 ,000 ,000 ,026 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan Ket : Asymp. Sig < 0.05 = berbeda nyata

Page 99: c05iis

Lampiran 7b. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) selama penyimpanan

Tukey HSD

Mean

Difference (I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence Interval

Dependent Variable

(I) Perlakuan

(J) Perlakuan Lower

Bound Upper Bound

Penampakan M0 M1 ,23 ,234 ,856 -,41 ,88 M2 ,33 ,234 ,612 -,31 ,98 M3 ,50 ,234 ,210 -,15 1,15 M4 ,77(*) ,234 ,011 ,12 1,41 M1 M0 -,23 ,234 ,856 -,88 ,41 M2 ,10 ,234 ,993 -,55 ,75 M3 ,27 ,234 ,785 -,38 ,91 M4 ,53 ,234 ,157 -,11 1,18 M2 M0 -,33 ,234 ,612 -,98 ,31 M1 -,10 ,234 ,993 -,75 ,55 M3 ,17 ,234 ,953 -,48 ,81 M4 ,43 ,234 ,347 -,21 1,08 M3 M0 -,50 ,234 ,210 -1,15 ,15 M1 -,27 ,234 ,785 -,91 ,38 M2 -,17 ,234 ,953 -,81 ,48 M4 ,27 ,234 ,785 -,38 ,91 M4 M0 -,77(*) ,234 ,011 -1,41 -,12 M1 -,53 ,234 ,157 -1,18 ,11 M2 -,43 ,234 ,347 -1,08 ,21 M3 -,27 ,234 ,785 -,91 ,38 Warna M0 M1 ,23 ,174 ,665 -,25 ,71 M2 ,47 ,174 ,061 -,01 ,95 M3 ,67(*) ,174 ,002 ,19 1,15 M4 ,90(*) ,174 ,000 ,42 1,38 M1 M0 -,23 ,174 ,665 -,71 ,25 M2 ,23 ,174 ,665 -,25 ,71 M3 ,43 ,174 ,098 -,05 ,91 M4 ,67(*) ,174 ,002 ,19 1,15 M2 M0 -,47 ,174 ,061 -,95 ,01 M1 -,23 ,174 ,665 -,71 ,25 M3 ,20 ,174 ,779 -,28 ,68 M4 ,43 ,174 ,098 -,05 ,91 M3 M0 -,67(*) ,174 ,002 -1,15 -,19 M1 -,43 ,174 ,098 -,91 ,05 M2 -,20 ,174 ,779 -,68 ,28 M4 ,23 ,174 ,665 -,25 ,71 M4 M0 -,90(*) ,174 ,000 -1,38 -,42 M1 -,67(*) ,174 ,002 -1,15 -,19 M2 -,43 ,174 ,098 -,91 ,05 M3 -,23 ,174 ,665 -,71 ,25

Page 100: c05iis

Lampiran 7b. Lanjutan hasil uji lanjut Multiple Comparisons kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

Mean Difference (I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence

Interval Dependent

Variable (I)

Perlakuan (J) Perlakuan Lower Bound

Upper Bound

Aroma M0 M1 ,17 ,166 ,854 -,29 ,63 M2 ,27 ,166 ,497 -,19 ,73 M3 ,47(*) ,166 ,044 ,01 ,93 M4 ,80(*) ,166 ,000 ,34 1,26 M1 M0 -,17 ,166 ,854 -,63 ,29 M2 ,10 ,166 ,975 -,36 ,56 M3 ,30 ,166 ,375 -,16 ,76 M4 ,63(*) ,166 ,002 ,17 1,09 M2 M0 -,27 ,166 ,497 -,73 ,19 M1 -,10 ,166 ,975 -,56 ,36 M3 ,20 ,166 ,750 -,26 ,66 M4 ,53(*) ,166 ,014 ,07 ,99 M3 M0 -,47(*) ,166 ,044 -,93 -,01 M1 -,30 ,166 ,375 -,76 ,16 M2 -,20 ,166 ,750 -,66 ,26 M4 ,33 ,166 ,269 -,13 ,79 M4 M0 -,80(*) ,166 ,000 -1,26 -,34 M1 -,63(*) ,166 ,002 -1,09 -,17 M2 -,53(*) ,166 ,014 -,99 -,07 M3 -,33 ,166 ,269 -,79 ,13 Rasa M0 M1 ,03 ,156 1,000 -,40 ,46 M2 ,27 ,156 ,430 -,16 ,70 M3 ,57(*) ,156 ,003 ,14 1,00 M4 ,67(*) ,156 ,000 ,24 1,10 M1 M0 -,03 ,156 1,000 -,46 ,40 M2 ,23 ,156 ,565 -,20 ,66 M3 ,53(*) ,156 ,007 ,10 ,96 M4 ,63(*) ,156 ,001 ,20 1,06 M2 M0 -,27 ,156 ,430 -,70 ,16 M1 -,23 ,156 ,565 -,66 ,20 M3 ,30 ,156 ,308 -,13 ,73 M4 ,40 ,156 ,082 -,03 ,83 M3 M0 -,57(*) ,156 ,003 -1,00 -,14 M1 -,53(*) ,156 ,007 -,96 -,10 M2 -,30 ,156 ,308 -,73 ,13 M4 ,10 ,156 ,968 -,33 ,53 M4 M0 -,67(*) ,156 ,000 -1,10 -,24 M1 -,63(*) ,156 ,001 -1,06 -,20 M2 -,40 ,156 ,082 -,83 ,03 M3 -,10 ,156 ,968 -,53 ,33

M1 ,10 ,179 ,981 -,40 ,60 M2 ,30 ,179 ,454 -,20 ,80 M3 ,33 ,179 ,345 -,16 ,83

M0

M4 ,57(*) ,179 ,016 ,07 1,06 M0 -,10 ,179 ,981 -,60 ,40 M2 ,20 ,179 ,798 -,30 ,70 M3 ,23 ,179 ,691 -,26 ,73

M1

M4 ,47 ,179 ,075 -,03 ,96 M0 -,30 ,179 ,454 -,80 ,20 M1 -,20 ,179 ,798 -,70 ,30 M3 ,03 ,179 1,000 -,46 ,53

M2

M4 ,27 ,179 ,573 -,23 ,76 M0 -,33 ,179 ,345 -,83 ,16 M1 -,23 ,179 ,691 -,73 ,26 M2 -,03 ,179 1,000 -,53 ,46

M3

M4 ,23 ,179 ,691 -,26 ,73 M0 -,57(*) ,179 ,016 -1,06 -,07 M1 -,47 ,179 ,075 -,96 ,03 M2 -,27 ,179 ,573 -,76 ,23

Kerenyahan

M4

M3 -,23 ,179 ,691 -,73 ,26 * The mean difference is significant at the .05 level.

Page 101: c05iis

Lampiran 7c. Hasil uji Kruskal Wallis kerupuk kontrol selama penyimpanan

Ranks Perlakuan N Mean Rank

M0 30 79,77 M1 30 77,27 M2 30 78,52 M3 30 73,93 M4 30 68,02

Penampakan

Total 150 M0 30 82,08 M1 30 77,55 M2 30 76,58 M3 30 72,05 M4 30 69,23

Warna

Total 150 M0 30 93,97 M1 30 83,00 M2 30 70,75 M3 30 65,40 M4 30 64,38

Aroma

Total 150 M0 30 88,77 M1 30 84,53 M2 30 74,55 M3 30 66,98 M4 30 62,67

Rasa

Total 150 M0 30 90,82 M1 30 86,18 M2 30 71,13 M3 30 67,67 M4 30 61,70

Kerenyahan

Total 150

Test Statistics(a,b)

Penampakan Warna Aroma Rasa Kerenyahan Chi-Square 1,733 2,030 12,550 10,065 12,510 df 4 4 4 4 4 Asymp. Sig. ,785 ,730 ,014 ,039 ,014 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan

Page 102: c05iis

Lampiran 7d. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons kerupuk kontrol

95% Confidence Interval

Dependent Variable

(I) Perlakuan

(J) Perlakuan

Mean Difference (I-J)

Std. Error Sig.

Lower Bound

Upper Bound

M1 ,23 ,190 ,734 -,29 ,76 M2 ,43 ,190 ,156 -,09 ,96 M3 ,57(*) ,190 ,027 ,04 1,09

M0

M4 ,57(*) ,190 ,027 ,04 1,09 M0 -,23 ,190 ,734 -,76 ,29 M2 ,20 ,190 ,829 -,32 ,72 M3 ,33 ,190 ,403 -,19 ,86

M1

M4 ,33 ,190 ,403 -,19 ,86 M0 -,43 ,190 ,156 -,96 ,09 M1 -,20 ,190 ,829 -,72 ,32 M3 ,13 ,190 ,956 -,39 ,66

M2

M4 ,13 ,190 ,956 -,39 ,66 M0 -,57(*) ,190 ,027 -1,09 -,04 M1 -,33 ,190 ,403 -,86 ,19 M2 -,13 ,190 ,956 -,66 ,39

M3

M4 ,00 ,190 1,000 -,52 ,52 M0 -,57(*) ,190 ,027 -1,09 -,04 M1 -,33 ,190 ,403 -,86 ,19 M2 -,13 ,190 ,956 -,66 ,39

Aroma

M4

M3 ,00 ,190 1,000 -,52 ,52 M1 ,07 ,166 ,994 -,39 ,52 M2 ,23 ,166 ,623 -,22 ,69 M3 ,37 ,166 ,180 -,09 ,82

M0

M4 ,47(*) ,166 ,043 ,01 ,92 M0 -,07 ,166 ,994 -,52 ,39 M2 ,17 ,166 ,852 -,29 ,62 M3 ,30 ,166 ,371 -,16 ,76

M1

M4 ,40 ,166 ,117 -,06 ,86 M0 -,23 ,166 ,623 -,69 ,22 M1 -,17 ,166 ,852 -,62 ,29 M3 ,13 ,166 ,929 -,32 ,59

M2

M4 ,23 ,166 ,623 -,22 ,69 M0 -,37 ,166 ,180 -,82 ,09 M1 -,30 ,166 ,371 -,76 ,16 M2 -,13 ,166 ,929 -,59 ,32

M3

M4 ,10 ,166 ,974 -,36 ,56 M0 -,47(*) ,166 ,043 -,92 -,01 M1 -,40 ,166 ,117 -,86 ,06 M2 -,23 ,166 ,623 -,69 ,22

Rasa

M4

M3 -,10 ,166 ,974 -,56 ,36 M1 ,07 ,163 ,994 -,38 ,52 M2 ,30 ,163 ,356 -,15 ,75 M3 ,37 ,163 ,169 -,08 ,82

M0

M4 ,50(*) ,163 ,022 ,05 ,95 M0 -,07 ,163 ,994 -,52 ,38 M2 ,23 ,163 ,610 -,22 ,68 M3 ,30 ,163 ,356 -,15 ,75

M1

M4 ,43 ,163 ,066 -,02 ,88 M0 -,30 ,163 ,356 -,75 ,15 M1 -,23 ,163 ,610 -,68 ,22 M3 ,07 ,163 ,994 -,38 ,52

M2

M4 ,20 ,163 ,737 -,25 ,65 M0 -,37 ,163 ,169 -,82 ,08 M1 -,30 ,163 ,356 -,75 ,15 M2 -,07 ,163 ,994 -,52 ,38

M3

M4 ,13 ,163 ,925 -,32 ,58 M0 -,50(*) ,163 ,022 -,95 -,05 M1 -,43 ,163 ,066 -,88 ,02 M2 -,20 ,163 ,737 -,65 ,25

Kerenyahan

M4

M3 -,13 ,163 ,925 -,58 ,32 * The mean difference is significant at the .05 level.

Page 103: c05iis

Lampiran 8a. Hasil uji tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan

Penyimpanan Konsentrasi M0 M1 M2 M3 M4

Kontrol 24,67 23 21 20 17 27 22 23 22 20

Rata-rata 25,84 22,50 22,00 21,00 18,50 50% 20 19 18 17 18,5

19 18 18 16 17 Rata-rata 19,50 18,50 18,00 16,50 17,75

Lampiran 8b. Hasil analisis ragam tingkat kekerasan kerupuk selama

penyimpanan ANOVA

Sumber keragaman SS db MS Fhitung Ftabel Konsentrasi 76,71445 1 76,71445 53,49888* 4,964591 Penyimpanan 49,77328 4 12,44332 8,677683* 3,47805 Konsentrasi*penyimpanan 16,23028 4 4,05757 2,829655 3,47805 Sisa 14,33945 10 1,433945 Total 157,0575 19 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata

Lampiran 9a. Hasil analisis derajat putih kerupuk selama penyimpanan

Penyimpanan Konsentrasi M0 M1 M2 M3 M4

Kontrol 25,91 25,88 25,66 25,98 25,27 25,89 25,90 25,71 24,55 25,55

Rata-rata 25,90 25,89 25,69 25,27 25,41 50% 20,75 21,27 20,10 21,12 20,55

21,61 21,82 20,91 21,07 20,72 Rata-rata 21,18 21,55 20,51 21,10 20,64

Lampiran 9b. Hasil analisis ragam derajat putih kerupuk selama

penyimpanan

ANOVA Sumber Keragaman SS db MS Fhitung Fiabel

Konsentrasi 107,55522 1 107,5552 557,8301* 4,964591 Penyimpanan 1,45893 4 0,364732 1,891668 3,47805 Konsentrasi*penyimpanan 0,62413 4 0,156032 0,809255 3,47805 Sisa 1,9281 10 0,19281 Total 111,56638 19 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata

Page 104: c05iis

Lampiran 10a. Hasil analisis aktivitas air kerupuk selama penyimpanan

Penyimpanan Konsentrasi

M0 M1 M2 M3 M4 Kontrol 0,514 0,533 0,557 0,568 0,589

0,527 0,545 0,562 0,574 0,599 Rata-rata 0,521 0,539 0,560 0,571 0,594

50 % 0,556 0,566 0,569 0,576 0,581 0,561 0,564 0,570 0,573 0,579

Rata-rata 0,559 0,565 0,570 0,575 0,580 Lampiran 10b. Hasil analisis ragam aktivitas air kerupuk selama

penyimpanan

ANOVA Sumber Keragaman SS db MS Fhitung F tabel

Konsentrasi 0,000806 1 0,000806 31,19729* 4,964591 Penyimpanan 0,005386 4 0,001346 52,08704* 3,47805 Konsentrasi*penyimpanan 0,001622 4 0,000405 15,68472* 3,47805 Sisa 0,000259 10 2,59E-05 Total 0,008073 19 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata

Lampiran 11a. Hasil analisis volume pengembangan kerupuk selama

penyimpanan

Penyimpanan Konsentrasi Mo M1 M2 M3 M4

Kontrol 331,75 314,17 300,13 275,33 280,56 327,84 331,75 310,00 310,00 297,66 Rata-rata 329,80 322,96 305,07 292,67 289,11

50% 210,33 210,33 197,33 189,23 196,25 213,05 203,47 210,33 196,25 185,22 Rata-rata 211,69 206,90 203,83 192,74 190,74

Lampiran 11b. Hasil analisis ragam volume pengembangan kerupuk selama

penyimpanan

ANOVA Source of Variation SS db MS Fhitung F tabel

Konsentrasi 56967,14 1 56967,14 493,0983* 4,964591 Penyimpanan 2897,116 4 724,279 6,269241* 3,47805 Konsentrasi*penyimpanan 362,7481 4 90,68703 0,784972 3,47805 Sisa 1155,29 10 115,529 Total 61382,29 19 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata

Page 105: c05iis

Lampiran 12a. Hasil analisis kadar air kerupuk selama penyimpanan

Penyimpanan konsentrasi M0 M1 M2 M3 M4

Kontrol 7,370 7,750 7,940 8,420 8,810 7,000 7,630 7,820 8,740 8,400

Rata-rata 7,185 7,690 7,880 8,580 8,605 50% 7,340 7,430 8,140 8,430 8,300

7,970 8,080 7,790 7,870 8,280 Rata-rata 7,655 7,755 7,965 8,150 8,290

Lampiran 12b. Hasil analisis ragam kadar air kerupuk kerupuk selama

penyimpanan

ANOVA Source of Variation SS db MS Fhitung Ftabel

Konsentrasi 0,003125 1 0,003125 0,036936 4,964591 Penyimpanan 2,99957 4 0,749892 8,863454* 3,47805 Konsentrasi*penyimpanan 0,51335 4 0,128338 1,516902 3,47805 Sisa 0,84605 10 0,084605 Total 4,362095 19 Keterangan : (*) = berpengaruh nyata

Page 106: c05iis

Lampiran 13. Gambar hasil penelitian Adonan kerupuk mentah Adonan kerupuk yang telah dikukus Kerupuk ikan mentah Kerupuk ikan matang