buletin rmi edisi iv

16
Bulletin RMI Edisi IV Desember 2014 MEDIA INFORMASI PUBLIK Refleksi Perjalanan RMI dari Masa ke Masa Belajar Bersama Perempuan Pedesaan Perubahan oleh Kaum Muda: Stimulus dan Dukungan Meretas Jalan Kebuntuan: Kasepuhan Menggapai Mimpi Kaum Muda dan Pendalaman Demokrasi Lokal ; Sebuah Tawaran Agenda Kota Bogor dan Pepohonannya Model PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat) di Kawasan Ekosistem Halimun Fokus Opini Nyoreang Alam ka Tukang, Nyawang anu Bakal Datang! Refleksi 22 Tahun Perjalanan RMI

Upload: yayasan-rmi

Post on 07-Apr-2016

264 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Nyoreang Alam ka Tukang Nyawang anu Bakal Datang! (Refleksi 22 Tahun Perjalanan RMI

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin RMI edisi IV

Bulletin RMI

EdisiIV

Desember 2014

MEDIA INFORMASI PUBLIK

Refleksi Perjalanan RMI dari Masa ke MasaBelajar Bersama Perempuan PedesaanPerubahan oleh Kaum Muda: Stimulus dan DukunganMeretas Jalan Kebuntuan: Kasepuhan Menggapai Mimpi

Kaum Muda dan Pendalaman Demokrasi Lokal ; Sebuah Tawaran AgendaKota Bogor dan PepohonannyaModel PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat)di Kawasan Ekosistem Halimun

Fokus

Opini

Nyoreang Alam ka Tukang, Nyawang anu Bakal Datang!

Refleksi 22 Tahun Perjalanan RMI

Page 2: Buletin RMI edisi IV

KabarDari

Redaksi

Nyoreang Alam ka Tukang, Nyawang anu Bakal Datang !

Nyoreang alam ka tukang nyawang anu bakal datang, merupakan pepatah Sunda yang berarti, melihat ke belakang, membayangkan yang akan datang. Kalimat tersebut digunakan menjadi judul edisi ini, sebagai cermin untuk merefleksikan perjalanan 22 tahun RMI berkiprah dalam isu sosial lingkungan di negeri ini. Judul ini juga pernah digunakan sebagai judul buku yang diterbitkan RMI pada tahun 2004.

Edisi kali ini merupakan edisi istimewa karena berbarengan dengan Ulang Tahun RMI ke-22, usia yang cukup matang untuk terus berkarya dalam memperjuangkan hak-hak atas tanah dan sumber daya alam bagi masyarakat adat dan lokal, perempuan maupun laki-laki. Beberapa ulasan mengenai pengalaman RMI dengan perempuan, masyarakat adat, dan anak muda tertuang dalam edisi ini. Tulisan juga datang dari beberapa orang yang pernah mewarnai RMI sebagai Direktur dari masa ke masa yang mencurahkan isi hati dan pengalaman dalam membangun RMI.

Beragam aktivitas yang dilakukan tim RMI pun tak luput disajikan dalam edisi ini. Tentu saja aktivitas-aktivitas ini berkaitan dengan kerja RMI bersama masyarakat juga jaringan, misalnya Sekolah Penggerak Masyarakat yang dilaksanakan di Desa Nanggung untuk mendorong munculnya penggerak lokal masyarakat yang mampu bersama-sama memperjuangkan hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam. Kegiatan lain yang juga kami angkat dalam buletin RMI edisi ini adalah Riungan Kasepuhan Banten Kidul Ka-10 di Kasepuhan Cisungsang yang diselenggarakan untuk mendorong lahirnya Perda yang mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul.

Tak lupa, kami haturkan terima kasih pada semua kontributor tulisan dan semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan. Semoga bermanfaat.

Selamat membaca !

Tim Redaksi

Penanggung Jawab Nia RamdhaniatyPemimpin Redaksi Ratnasari

Redaktur Pelaksana Fahmi RahmanAnggota Redaksi Lukmi Atie, Mardha Tillah, Indra N Hatasura,

Eman Sulaeman, Rojak NurhawanDesain dan Tata Letak S. Widodo, Fahmi Rahman

Dokumentasi Erik SuhanaSirkulasi Siti Nursolihat, Candra Tresna

Alamat Kantor Perumahan Bogor Baru, Blok C1 No. 12A Bogor 16127, Jawa Barat

Daftar Isi

Bulletin elektronik ini bisa diperbanyak untuk kepentingan penyebaran pengetahuan dan bukan untuk kepentingan komersil.Isi tulisan merupakan tanggung jawab masing-masing penulis.

Fokus

Refleksi Perjalanan RMI dari Masa ke Masa

Belajar Bersama Perempuan Pedesaan

Perubahan oleh Kaum Muda: Stimulus dan Dukungan

Meretas Jalan Kebuntuan: Kasepuhan Menggapai Mimpi

Fokus

• RefleksiPerjalananRMIDariMasakeMasa• Belajar Bersama Perempuan Pedesaan

• Perubahan oleh Kaum Muda: Stimulus dan Dukungan

• Meretas Jalan Kebuntuan: Kasepuhan Menggapai Mimpi

Opini

• Kaum Muda dan Pendalaman Demokrasi Lokal ; Sebuah Tawaran Agenda

• Kota Bogor dan Pepohonannya• Model PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya

Hutan Berbasis Masyarakat) di Kawasan Ekosistem Halimun

Catatan Kaki

• Ekspedisi Cisadane• Sekolah Penggerak Masyarakat, Langkah

Bagi Rakyat Dalam Memperjuangkan Hak-haknya

• GREENCAMP 2014: Belajar dari Bianglala di Kejauhan

• Hari Tani, Petani Beraksi• Riungan Kasepuhan Banten Kidul Kasapulus

Event

2 3

Page 3: Buletin RMI edisi IV

Sejak RMI berdiri pada 22 tahun yang lalu, tepatnya 18 September 1992 di Bogor, sebagai sebuah lembaga telah melewati beragam situasi dan tantangan yang berbeda.

RMI didirikan oleh mahasiswa Faultas Kehutanan IPB yang terlibat dalam kepanitiaan Kongres Sylva Indonesia (1992) dengan nama YARMI (Yayasan Rimbawan Muda Indonesia). Ketika itu RMI didirikan dengan semangat untuk menyediakan wadah / forum bagi mahasiswa dan publik untuk dapat terlibat secara aktif dalam program lingkungan. Pada periode awal kepengurusan RMI (1992-1994) , difokuskan untuk menyiapkan tata laksana pengelolaan organisasi sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat. Ketika itu programnya berupa pembenahan organisasi, pengembangan program berbasis masyarakat, pendidikan lingkungan bagi publik, dan mengenalkan konsep lingkungan pada berbagai kalangan seperti pemerintah dan institusi pendidikan, termasuk juga kalangan industri di wilayah Kabupaten dan Kotamadya Bogor yang bersepakat dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan. REPLING (Rute Pendidikan Lingkungan) merupakan program RMI yang cukup dikenal publik ketika itu. Kemudian sejak tahun 1998, RMI mulai bekerja langsung bersama masyarakat. Hingga kini RMI telah bekerja bersama masyarakat di 15 desa meliputi Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak.

Isu apa yang ditangani RMI ?

Ketika RMI baru didirikan, isu yang ditangani yaitu kurangnya wadah bagi mahasiswa untuk beraktivitas/berkarya, kurangnya kesadaran akan pentingnya peran lingkungan/ekologi bagi warga Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah, dan adanya pembalakan liar di kawasan hutan. Namun di sisi lain mulai ada program sertifikasi hutan sebagai alat pasar bagi pengurangan pembalakan liar dan pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan.

Kemudian berkembang dengan isu-isu organisasi rakyat atau kelembagaan komunitas, kebijakan kehutanan dan konservasi yang kurang berpihak pada masyarakat, juga konflik tenurial karena tumpang tindih ruang hidup dan kelola masyarakat dengan kawasan hutan yang dikuasai dan dikelola Negara. Pada tahun 1999-2000, RMI termasuk leading organization dan menjadi acuan bagi organisasi lain khususnya dalam isu gender dan sumber daya alam.

Bagaimana peran RMI dan langkah-langkah strategis apa yang diambil ?

Pada masa periode awal organisasi, RMI banyak menyelenggarakan pertemuan (seminar, kuliah umum) dengan

tema mutakhir/relevan dalam upaya untuk mengenalkan RMI pada pihak lain dan publik secara umum. RMI juga menginisiasi program pendidikan lingkungan (PLH) dalam skala luas untuk tingkat TK hingga perguruan tinggi bahkan untuk publik umum, melalui pelatihan bagi relawan (kebanyakan dari kalangan mahasiswa dan ibu rumah tangga), bekerja sama dengan Kebun Raya Bogor, LSM lain dan organisasi mahasiswa. RMI menginisiasi program kerjasama dalam menghijaukan kawasan industri yang ada di Kabupaten dan Kotamadya Bogor disertai dengan program pendidikan lingkungan bagi kalangan pekerja industri. RMI juga turut membantu proses penyusunan sistem sertifikasi hutan khususnya untuk PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat).

Ketika RMI memulai kegiatan bersama masyarakat, peran RMI adalah melakukan pendampingan dan pengorganisasian masyarakat untuk memperkuat organisasi rakyat dan penyadaran atas persoalan lingkungan dan kebijakan kehutanan/konservasi. RMI memperkuat sistem pengelolaan kawasan hutan berbasis masyarakat dan melakukan advokasi konflik tenurial yang dihadapi masyarakat baik kasus dengan Taman Nasional maupun dengan perkebunan/HGU melalui kerjasama dengan lembaga lain/jaringan. RMI juga melakukan penggalangan dukungan publik bagi masyarakat dan lingkungan khususnya di kawasan ekosistem Halimun.

Pada sisi lain, sejak RMI berdiri, RMI banyak terlibat dan turut membidani lahirnya organiasi/jaringan seperti Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). RMI pun pernah terlibat aktif untuk memberikan masukan pada rencana memasukkan isu Community Forestry sebagai kurikulum di kampus IPB.

Apa tantangan terbesar yang dihadapi RMI ?

Ketika RMI baru berdiri sebagai sebuah organisasi, RMI belum dikenal secara luas. Maka RMI berupaya untuk mempunyai program unggulan sehingga dapat dikenal sebagai organisasi yang mempunyai ide brilliant dan didukung oleh publik serta dikelola oleh para rimbawan muda (baik yang sudah lulus program S1 maupun yang masih kuliah). Ketika itu pun RMI belum memiliki tata laksana administrasi organisasi yang rapi sehingga perlu melakukan proses penguatan SDM secara serius dan memiliki dukungan pendanaan yang kuat. Untuk memperkuat SDM, salah satu upaya yang dilakukan yakni mengirim staf RMI untuk belajar di berbagai organisasi, termasuk belajar di World Forestry Center - Amerika Serikat (atas dukungan CIFOR). Pengelolaan SDM masih menjadi tantangan hingga periode kepengurusan

Refleksi Perjalanan RMI dari Masa ke Masa

berikutnya, karena beraktivitas pada LSM masih dipandang sebelah mata, dinilai bukan pekerjaan yang secure dan bisa menjamin masa depan. Apalagi bagi yang sudah berkeluarga, tidak jarang harus menghadapi banyak tuntutan.

Dilihat dari sisi isu maupun program yang dijalankan, tantangan yang dihadapi RMI yaitu kontestasi antara penyadaran lingkungan (konservasi) dengan persoalan ekonomi masyarakat. Pertarungan emas dan “emas hijau” memberikan pengharapan yang berbeda, baik secara ekonomi maupun lingkungan. Kebutuhan ekonomi, sosial dan lingkungan harus dilakukan secara seimbang. Menjadi tantangan besar bagi RMI untuk dapat menyeimbangkan ketiga aspek tersebut melalui kesadaran kritis, baik secara internal SDM RMI maupun masyarakat sebagai konstituen RMI. Hal yang perlu dipikirkan lainnya adalah menemukan formulasi yang tepat sebagai exit strategy pendampingan RMI.

Kemudian ketika RMI memiliki training centre seluas satu ha (Kampung Pendidikan Lingkungan) pada tahun 2002, ini menjadi tantangan besar bagaimana menyeimbangkan antara bisnis dan sosial. Bukan perkara mudah ternyata dan RMI banyak menarik pembelajaran berharga dari unit ini, karena ada banyak perbedaan dari konsep awal yang telah dibangun sejak RMI berdiri dengan implementasinya yang disebabkan banyak hal seperti pemilihan lokasi, SDM, dan aspek lainnya.

Tantangan lain berhubungan dengan pendanaan dan scaling up organisasi. Masih menjadi perdebatan dan pembahasan misalnya soal dana dari perusahaan (melalui skema CSR); apakah diambil atau tidak dengan mempertimbangkan jenis dan program perusahaan yang berdampak pada kondisi lingkungan-sosial-ekonomi masyarakat sekitar lokasi operasi perusahaan. Kemudian untuk scaling up organisasi, berhubungan dengan wilayah kerja organisasi; selama ini wilayah kerja RMI hanya di Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi. Tantangannya apakah RMI akan memperluas wilayah kerjanya ke lokasi lain, misalnya di Kalimantan. Tentu saja ini akan berhubungan erat dengan kapasitas SDM yang dimiliki RMI. Apa harapan untuk RMI ke depan ?

Beragam pendapat disampaikan oleh Dewan Pengurus (Board) maupun Direktur RMI pada periode yang lalu yakni:• RMI mempunyai program yang lebih fokus dan didukung

oleh sumber daya (manusia, dana, dan organisasi) yang solid• RMI memiliki program unggulan yang selaras dengan

harapan para pendukungnya• RMI menjadi tempat berdiskusi banyak hal terkait

pengelolaan sumber daya alam dan agraria• RMI dapat meng-upgrade program CBFM (Community

Based Forest Management) maupun reforma agraria• RMI bisa menjadi leading organization pada isu gender dan

sumber daya alam• RMI memiliki ciri khas dalam gerakan sehingga lebih

diperhitungkan dalam konstelasi yang berkembang saat ini• RMI terus memiliki prinsip yang baik dan konsisten• RMI menjadi wadah beraktivitas dan bisa menjadi

kebanggaan bagi pengurusnya

• RMI dapat membiayai dirinya sendiri (mandiri), tidak tergantung pada donor sehingga RMI memiliki keleluasaan untuk berbuat/berkarya sesuai dengan visi misinya.

Harapan-harapan ini bagi pengurus harian RMI periode sekarang (2012-2016) menjadi pemicu langkah sekaligus tantangan bagi jalan RMI ke depan.

Diolah dari: wawancara dan catatan tertulis dari Asep Sugih Suntana, Edie Dwi Adhiprayogo, Nani Saptariani dan Andri Santosa

Asep Sugih SuntanaDewan Pendiri

Dewan Pembina 2012-2016

Edhie Dwi AdiprayogoDewan PendiriDewan Pengurus 2012-2016

Andri SantosaDirektur RMI 2005-2007

Nani SaptariyaniDirektur RMI 2002-2004

4 5

Page 4: Buletin RMI edisi IV

Ketika melakukan kerja-kerja di lapangan (baca: belajar bersama masyarakat pedesaan), seringkali tidak meli-batkan perempuan baik sengaja maupun tidak sengaja.

Tentu saja hal ini dilatarbelakangi dengan banyak alasan, seperti kesulitan berinteraksi dengan perempuan terlebih jika community organizer-nya laki-laki. Belum lagi pada umumnya perempuan pedesaan memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan akses ter-batas pada informasi sehingga dianggap tidak memiliki kapasitas memadai maka pada akhirnya seringkali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan baik dalam tingkat keluarga mau-pun tingkat desa.

Pengalaman RMI selama ini membuktikan bahwa peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam memberikan kontribusi yang cukup besar dan saling melengkapi dengan peran laki-laki. Sebagai contoh dalam pengelolaan sawah masyarakat Desa Cirompang di Kabupaten Lebak, ada 11 tahapan yang di-lakukan oleh perempuan dan 2 tahapan hanya dilakukan oleh perempuan dari keseluruhan 15 tahapan (lihat Saptariani, et al, 2011). Dua tahapan sawah yang dilakukan hanya oleh peremp-uan yakni ngarambet (membersihkan gulma) dan tebar (menye-bar benih padi). Dari contoh kecil ini terlihat nyata bahwa untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan kehidupan berkelanjutan, perlu melibatkan perempuan secara aktif. Maka sejak tahun 1998, ketika RMI mulai bekerja bersama masyarakat di kawasan Hali-mun, pengorganisasian perempuan menjadi proses tak terpisahkan dalam kerja-kerja pemberdayaan masyarakat.

Proses awal yang dilakukan RMI dalam mengorganisir per-empuan melalui ‘mendengar dan belajar’ dari perempuan. Pros-es ini biasanya dilakukan di dapur, depan rumah, sawah, kebun ataupun tempat-tempat dimana perempuan banyak menghabiskan waktunya. Termasuk melalui cara ngawangkong (lihat Ramdha-niaty, 2008), salah satu tradisi masyarakat Sunda untuk bersosial-isasi/berkomunikasi antar tetangga, misalnya ketika mengasuh anak mereka membicarakan hal-hal/fenomena yang sedang ter-

jadi. Cara-cara ini cukup efektif untuk mengetahui pandangan perempuan terhadap permasalahan kampung/desa, pengetahuan lokal maupun hal-hal penting lainnya.

Pada kajian ilmu sosial dikenal metode her story (tutur per-empuan) yaitu dokumentasi pengetahuan, pandangan dan pen-galaman perempuan. Rahayu (2013) menceritakan perempuan sebagai agen naratif maka dibutuhkan women’s history yang men-gangkat perempuan yang biasanya tidak diceritakan dalam seja-rah menjadi visible (cerita yang terlihat). Metode ‘mendengar dan belajar’ yang dikembangkan RMI dapat dikatakan relevan dengan metode her story ini.

Sekolah Perempuan hingga Usaha Produktif

Sekolah Perempuan merupakan media untuk meningkatkan pengetahuan dan pendidikan kritis bagi perempuan. Sekolah Per-empuan ini didesain sesuai potensi dan kondisi setempat sehingga materi yang dibahas dapat berbeda antar wilayah. Pada tahun 2000, Sekolah Perempuan di Desa Mekarsari (setelah pemekaran men-jadi Desa Wanasari)-Lebak menitikberatkan pada isu pengelolaan sumber daya hutan. Masyarakat Desa Mekarsari sebagian besar petani dan incu putu Kasepuhan (masyarakat adat) yang memi-liki kearifan lokal dalam mengelola sumber daya hutan. Namun karena sebagian besar perempuan yang ikut serta dalam sekolah ini tidak lancar baca tulis maka sekolah perempuan ini sekaligus sebagai media belajar baca tulis. Sekolah Perempuan di Babakan Ciomas Desa Citorek-Lebak pada tahun 2006 mengambil isu ten-tang kesehatan lingkungan. Isu ini diambil karena masyarakat di Babakan Ciomas ketika itu menghadapi krisis air bersih. Kemudi-an Sekolah Perempuan di Desa Watesjaya dan Pasirbuncir-Bogor pada tahun 2012 memfokuskan pada isu HAM dan sumber daya alam karena masyarakat hidup di tengah perubahan tata guna la-han sehingga memaksa perempuan bekerja di luar kampung/desa menjadi buruh pabrik, artinya terjadi pengabaian hak untuk dapat

Belajar Bersama

Perempuan Pedesaan

Ratnasari Manajer Divisi Pengelolaan Pengetahuan RMI

hidup layak, hidup sehat, dan seterusnya. Tidak jarang melalui Sekolah Perempuan ini, perempuan me-

miliki inisiatif membentuk kelompok. Contohnya di Desa Mekar-sari-Lebak, terbentuk beberapa kelompok perempuan seperti di Ciladu, Ciburial dan Cihaneut. Demikian juga di Desa Malasari-Bogor, seiring dengan inisiatif model KDTK (Kampung Dengan Tujuan Konservasi) yang diusung masyarakat Kampung Nyung-cung sejak tahun 2003, terbentuk beberapa kelompok perempuan seperti kelompok Anggrek di Kampung Cakung, kelompok Cepak Nangka di Kampung Nyungcung Kidul, kelompok Andam di Kam-pung Nyungcung Kaler, dan kelompok Cinta Hutan di Kampung Sikantor.

Kegiatan dalam kelompok perempuan ada yang mengarah pada usaha produktif seperti membuat produk olahan (keripik pisang, keripik singkong, kopi tumbuk, dll). Walaupun usaha produktif tersebut masih terkendala dengan masalah internal dalam kelompok dan pemasaran. Namun hal itu merupakan bukti adanya dinamika dalam pengorganisasian. Pembelajaran dari proses yang terjadi menjadi amunisi untuk memperbaiki langkah berikutnya. Keyakinan dalam mengorganisir perempuan sama seperti pernyat-aan berikut:

“Jika kamu mendidik seorang laki-laki maka seorang laki-laki akan terdidik. Jika kamu mendidik perempuan maka suatu gen-erasi akan terdidik” (Brigham Young)

Memunculkan Penggerak Perempuan Lokal

Pada proses pengorganisasian perempuan, tidak terlepas dari upaya untuk memunculkan penggerak perempuan lokal yang men-jadi ujung tombak gerakan di tingkat basis. RMI mengembangkan pelatihan untuk calon penggerak lokal, antara lain riung mungpu-lung, pendidikan hukum kritis, dan sekolah penggerak masyarakat. Ada harapan agar para penggerak lokal ini pun dapat memasuki ranah politik dimulai dari tingkat desa.

Setitik harapan muncul pada proses perjuangan advokasi HGU di Kecamatan Nanggung-Bogor sejak tahun 2013. Peran peremp-uan khususnya di Desa Nanggung sangat signifikan, mereka terlibat aktif dalam aksi penolakan perpanjangan HGU, memelopori peng-garapan lahan di area ex-HGU, dan membangun ke-swadayaan melalui iuran kelompok. Beberapa perempuan yang menjadi kork-

am (koordinator kampung) dalam Amanat (Aliansi Masyarakat Nanggung Transformatif) pun sangat berkomitmen. Para perem-puan ini bisa dikatakan penggerak lokal yang mampu mendorong warga untuk melakukan aksi positif bagi kemajuan kampung/de-sanya. Jika penguatan kapasitas bagi perempuan secara konsisten terus dilakukan maka bukan angan-angan kelak para penggerak lokal ini mampu mempengaruhi politik desa menuju kesejahter-aan masyarakat.

Referensi:

Rahayu, RI. 2013. Perempuan Pencipta Narasi: Adakah Menulis Sejarah Perempuan ? Makalah dalam diskusi Perempuan Pencipta Narasi di Serambi Salihara pada 9 April 2013. Ramdhaniaty, N. 2008. Ngawangkong, Inisiasi Awal Proses Pengorganisasian Perempuan di Halimun dalam Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga Rampai Pengelolaan Sumber Daya Alam di Halimun. Hendarti, L (ed). Jakarta: Yayasan Obor.Saptariani, N., Savitri, LA., Ratnasari, dan Falatehan, SF. 2011. Perampasan Tanah dan Pergulatan Peremp-uan: Studi Kasus Pergulatan Perempuan Menghadapi Dampak Perampasan Tanah di Jawa. Bogor: RMI dan Sajogyo Institute.

Dok. RMI/Erik Suhana

Dok. RMI/Sita Rani

6 7

Dok. RMI

Page 5: Buletin RMI edisi IV

KKeterlibatan kaum muda dalam gerakan-gerakan so-sial, menjadi modal penting bagi perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Generasi muda ini memi-

liki energi yang besar, idealis melihat dunia dan terbuka pada ide-ide baru. Kombinasi kualitas-kualitas tersebut membuat manusia-manusia muda ini menjadi potensi yang menjanjikan untuk kekuatan perubahan (lihat Ansell, 2005).

Dalam isu lingkungan hidup, yang tak terpisahkan dari isu sosial dan ekonomi, beragam aktivitas dan program diinisiasi dan dijalankan oleh kaum muda. Aktivitas terkait pengelolaan sampah, pelestarian keanekaragaman hayati, maupun aktivi-tas pertanian yang seringkali dilihat sebelah mata oleh berba-gai pihak, misalnya, menjadi fokus perhatian anak-anak muda yang peduli untuk berkontribusi positif terhadap upaya per-baikan kehidupan di sekitarnya. Berbagai gerakan lingkungan muncul di antara komunitas anak muda di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Melihat geliat yang muncul dimana-mana, patutlah kita memiliki harapan dan semangat akan membaik- nya Indonesia di masa yang akan datang.

Tak terkecuali di wilayah Kota dan Kabupaten Bogor, beberapa komunitas anak muda konsisten berbuat untuk ling-kungan sekitarnya. RMI mencatat beberapa komunitas dan jaringan yang dapat menjadi referensi mengenai peran anak muda dalam melakukan perubahan positif dalam isu ling-kungan hidup dan sosial.

RMI mencatat bahwa setiap gerakan atau aktivitas terkait lingkungan hidup dan sosial dilakukan oleh anak-anak muda setelah mereka mendapatkan stimulus dalam berbagai macam bentuk. Mereka yang muda ini, yang sangat terbuka pada hal-hal baru, belajar dalam berbagai kesempatan dan menyadari sendiri apa yang perlu diperbuat oleh mereka untuk ling-kungannya.

Stimulus yang mulus

Paling tidak dalam rentang 4 tahun belakangan ini, RMI melaksanakan berbagai aktivitas bersama anak muda secara lebih intensif, mulai dari pelatihan aktivis untuk anak-anak muda di wilayah hulu DAS Cisadane bagian Timur, perin-gatan hari-hari terkait isu lingkungan dan berbagai aktivitas lain bersama pihak sekolah maupun lingkungan kampung. Dalam pelatihan ini, para pemuda yang berusia mulai 14-25

tahun ini ditantang untuk berpikir kritis melihat situasi sosial dan kri-sis lingkungan di kampungnya masing-masing. Dari stimulus ini akh-irnya muncul beberapa pemimpin muda yang melebarkan kepedulian lingkungan dan sosialnya kepada teman-teman sebayanya dalam bentuk komunitas-komunitas. Lingkungan Daur Ulang (Lindalang)

Kumpulan anak muda di Desa Muara Jaya Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor ini mulai bergerak sejak tahun 2012 membentu ko-munitas Lindalang setelah salah satu dari penggagas komunitas ini terlibat aktif dalam Pelatihan Aktivis oleh RMI. Lindalang sejak awal memfokuskan diri pada pemanfaatan sampah yang banyak berserakan di lingkungan kampungnya, untuk diolah menjadi sesuatu yang berguna melalui kegiatan daur ulang sampah. Secara tidak langsung, kegiatan

aktivitas mereka yang dirasakan oleh masyarakat sekitar sebagai sesuatu hal yang positif yang menyumbang pada perbaikan ling-kungan.Sapu Lidi

Tergerak sesudah terlibat dalam beberapa kegiatan kampanye lingkungan yang dilakukan RMI pada peringatan Hari Bumi di bulan April 2014, seorang pemuda menginisiasi komunitas yang dinamakan SapuLidi di wilayah tempat tinggalnya di Cibinong. Lingkungan yang kotor dengan pengelolaan sampah yang buruk membuat sang inisiator komunitas memutuskan untuk fokus pada isu sampah dan kelompok anak muda ini mulai aktif memungut sampah di kampungnya setiap minggunya.

Perlahan, anak-anak yang terlibat di SapuLidi tidak hanya ak-tif memungut sampah, namun mereka juga sudah tidak lagi mem-buang sampah sembarangan. Selain program mulung, komunitas ini juga mulai melakukan penanaman pohon, kampanye melalui poster dan menata taman kampung. Filosofi sapu lidi menjadi hara-pan dari komunitas ini, berawal dari satu, lalu menjadi banyak, dan akhirnya menjadi kuat. Jejak Ramah Bumi (JERAMI)

“Aku, Kamu, Kita untuk Bumi”, merupakan slogan dari klub anak muda peduli lingkungan Kota Bogor. Klub ini didirikan pada 2009 dengan berbagai fokus kegiatan seperti konservasi air dan daur ulang sampah.

Fokus JERAMI untuk penyelamatan air dilakukan dengan melakukan pembuatan lubang biopori yang menjadi kegiatan ru-tin kelompok ini. Untuk mengajak anak-anak muda lainnya agar peduli lingkungan, kegiatan “Save Water!” dilakukan di sekolah-sekolah, bekerjasama dengan organisasi siswa di sekolah tersebut. Selain pembuatan lubang biopori, kampanye agar hemat air juga di-lakukan dengan beragam cara, seperti diskusi dan pemutaran film. Barisan Remaja Tani (BARET)

BARET merupakan kelompok anak muda usia 11-18 tahun di daerah Nanggung, Kabupaten Bogor. Anak-anak muda ini aktif dalam kegiatan pertanian tanpa memedulikan kesan rendah yang seringkali menempel pada mereka yang berkegiatan di sektor ini. Semangat untuk melestarikan kegiatan pertanian muncul di tahun 2014 saat para orang tuanya yang kebanyakan adalah petani peng-garap, sibuk terlibat dalam kegiatan perencanaan kampung dengan RMI. Anak-anak muda yang awalnya lebih banyak nongkrong tanpa terlibat erat dengan aktivitas pertanian, menjadi berseman-gat untuk bertani sesudah diajak berdiskusi mengenai kemandirian pangan. Setiap minggu, beragam kegiatan dilakukan, seperti teknik pembibitan, pengisian polybag, hingga penanaman. Selain menga-jak anak-anak untuk lebih mengenal pertanian, anak-anak ini juga mendorong pemanfaatan lahan-lahan pekarangan untuk dijadikan kebun.Cisadane River Watch

Cisadane River Watch merupakan sebuah jejaring sekolah dan komunitas anak muda yang berfokus pada kegiatan pelestar-ian Sungai Cisadane. Menyesuaikan aliran Cisadane dari hulu ke hilir, berbagai kelompok anak muda berbasis sekolah dan kam-pung tersebar mulai dari wilayah kaki Gunung Gede Pangrango di Kabupaten Bogor hingga ke Teluk Naga di wilayah Kabupaten

Tangerang. Sebelas kelompok anak muda usia 14-25 tahun melakukan

biomonitoring sungai secara reguler untuk menyusun data kualitas air Sungai Cisadane menggunakan parameter biologi. Selain itu, aktivitas pembuatan lubang biopori juga menjadi fokus mereka sebagai upaya konservasi air.

Yang Utama: Dukungan dari Berbagai Pihak

Bagaimanapun, harus disadari bahwa aktivitas anak muda ini bu-kan sesuatu yang lahir terpisah dari situasi sekelilingnya. Selain kelompok-kelompok di atas, beberapa kelompok anak muda ter-paksa menahan dulu semangat membuat perubahan yang sudah muncul dalam diri mereka karena kurangnya dukungan dari ling-kungan terdekatnya, baik dari keluarga, lingkungan tempat ting-galnya hingga pemerintahan di berbagai lini. Satria Muda dan Senandung Nada Hijau yang berada di wilayah

Kecamatan Car-ingin, misalnya, mengalami stagnansi karena beberapa hal. Satria Muda yang memfokuskan diri pada kegiatan perta-nian akhirnya tidak dapat melanjutkan aktivitasnya karena ketiadaan lahan yang tersedia untuk dapat mereka garap. 70% lahan di wilayah ini memang dimiliki oleh pihak swasta (RMI,

2012). Tidak ada ban-tuan dari pihak manapun untuk bisa mendukung keberlanjutan kelompok ini, paling tidak dari sisi penyediaan lahan sebagai syarat paling dasar yang memungkinkan petani (muda) untuk ber-cocoktanam.Senandung Nada Hijau (SNADI) yang di awal pembentukannya pada tahun 2010 memiliki lebih dari 15 anggota juga kandas. Ber-beda dengan Satria Muda, SNADI tidak lagi dapat melanjutkan aktivitasnya karena banyak anggotanya yang dihadapkan dengan permasalahan ekonomi yang membayangi mereka yang mulai menjadi tulang punggung keluarga di usia belia. Hal ini menjadi-kan masa-masa menggali ilmu melalui aktivitas kelompok yang telah mereka rintis menjadi lebih pendek digantikan dengan ak-tivitas ekonomi yang sering kali juga menghilangkan sama sekali kesempatan mereka untuk belajar.Seperti disebutkan pada bagian awal, semangat yang besar yang merupakan karakter anak muda menjadikan mereka tidak berhenti total walaupun berbagai rencana mereka tidak berjalan mulus. Berkali-kali RMI mencatat anak-anak muda yang belum ber-hasil menjalankan organisasi pertamanya, namun terus aktif ter-

Perubahan oleh Kaum Muda: Stimulus dan

DukunganMardha Tillah

Manajer Kampanye dan Advokasi

ini mengajak orang-orang di kampungnya juga untuk tidak membuang sampah sembarangan lagi. Bebera-pa program yang digagas kelompok yang mayoritas pelajar SMP ini di anta-ranya Jumat Bertindak, Minggu Ulung, Berkah Sampah untuk Anak Ya-tim, Biomonitoring sungai, Perpustakaan Kampung dan Pendidikan Lingkun-gan Hidup.

Tidak berhenti hanya sebagai komunitas di luar sekolah, anak-anak muda aktif ini terlibat sebagai pengajar atau pendamp-ing berbagai kegiatan ek-strakurikuler di sekolah-sekolah sehingga dampak dari aktivitas mereka men-jadi semakin meluas dan reguler. Bermula dari ak-tivitas individu, Lindalang semakin diakui oleh ber-bagai pihak karena dampak

Dok. RMI/Fahmi Rahman

Dok. RMI/Fahmi Rahman

Dok. RMI/Fahmi Rahman

8 9

Page 6: Buletin RMI edisi IV

libat dalam aktivitas lingkungan dan sosial walaupun dalam bentuk yang lain. Toni (bukan nama sebenarnya), misalnya, dituntut oleh orang tuanya untuk berkuliah di jurusan yang bukan merupakan minatnya atau bekerja pada bidang yang tidak dia inginkan, yaitu menjadi cleaning service pada suatu instansi pemerintahan yang ada di sekitar kampungnya. Hal ini membuat Toni tidak lagi dapat berkegiatan pada organ-isasi lingkungan yang dia bangun pertama kali karena dituntut untuk menyumbang pendapatan kepada keluarga. Namun be-gitu, dalam sela-sela waktu Toni bekerja untuk menghasilkan uang, selain beberapa contoh anak muda lain yang diamati RMI, dia terus melibatkan diri pada komunitas sosial yang menggunakan seni sebagai pendekatannya untuk menyadar-kan masyarakat akan masalah sosial dan lingkungan. Akses pada Kesempatan

Dari pengalaman RMI beraktivitas dengan kaum muda, disa-dari bahwa peran dan dukungan orang tua atau pihak-pihak yang berpengaruh pada kehidupan seorang anak muda men-jadi penting untuk menentukan tingkat keberhasilan aktivitas mereka untuk membuat perubahan di lingkungannya. Rahma, sebagai salah satu contoh anak muda yang konsisten mem-bangun gerakan perubahan di kampungnya, sudah menjalan-kan berbagai kegiatan lingkungan dan mengajak lebih banyak anak muda di kampungnya untuk terlibat dalam aktivitas ling-kungan dan sosial. Hal ini tidak terlepas dari dukungan sang Umi (ibu) yang walaupun di masa awal tidak terlalu meng-etahui jenis kegiatan Rahma, namun terus yakin bahwa sang anak sedang merintis hal yang baik. Di saat beberapa orang dewasa di sekitarnya, termasuk salah satu kepala sekolah tem-pat Rahma beraktivitas, menilai buruk kegiatan Rahma, Umi terus mendukung Rahma dan bahkan mencoba untuk mem-beri solusi agar kegiatan Rahma terus berjalan baik.Akses pada kesempatan untuk berkreasi dan berkarya meru-pakan hal berharga yang akan menentukan berhasil atau tidaknya upaya anak-anak muda untuk melakukan perubahan. Tillah dalam riset tesisnya di tahun 2014 tentang isu keter-batasan lahan dan pengetahuan lingkungan yang terbangun pada anak muda, menggunakan ‘theory of access’ atau ‘teori tentang akses’ milik Ribot & Peluso (2003) dan menemukan bahwa kesempatan atau dukungan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya, mempunyai peranan untuk membentuk keterlibatan anak muda dalam gerakan-gerakan lingkungan dan sensitif terhadap isu sosial.

Jadi, walaupun tanpa dukungan pihak-pihak terdekat mereka beberapa anak muda tetap melakukan aktivitas terkait ling-kungan dan sosial, namun tentu saja dukungan yang penuh terhadap kegiatan mereka menjadikan aktivitas mereka memi-liki dampak berkali-kali lipat. Yang mana yang kita inginkan untuk terjadi?

Referensi

Ansell, N. (2005). Children, youth and development. Oxon: Routledge.

Ribot, J. C., & Peluso, N. L. (2003). A Theory of Access. Rural Sociology , 68 (2), 153-181.

RMI. (2012). Pendidikah Hukum Kritis: Tanah untuk Siapa? Bogor: Rimbawan Muda Indonesia.

Tillah, M. (2014). Struggle Over Land, Struggle Over Youth: Assessment of the On-going Transformation Caused by Economic Development Plan of Indonesia (MP3EI) in Two Villages of Bogor Districts, Indonesia. Master’s Dissertation . Edinburgh: the University of Edinburgh.

Keluarnya putusan MK 35/PUU-XI/2012 yang dikeluarkan pada bulan Mei 2013 men-jadi tonggak bersejarah bagi masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat Adat diakui sebagai subjek hukum yang da-pat mengelola hutan dan wilayah adatnya: Hutan adat bukan hu-tan Negara, melainkan hutan yang berada di wilayah adat (bagian dari hutan hak). Begitu pula dengan Kasepuhan yang telah lama memperjuangkan hak-hak nya sebagai masyarakat adat yang dapat diakui keberadaannya oleh negara beserta seluruh bentuk-bentuk pengelolaan lahan dan sumberdaya alam yang terdapat di weweng-kon (sebutan wilayah adat) Kasepuhan. Tercatat sedikitnya 40 Kasepuhan/Kaolotan yang bermukim dan menyebar di Kabupaten Lebak, Sukabumi dan Bogor yang menggantungkan hidupnya pada lahan dan sumberdaya alam di wewengkon mereka, namun pemerintah menunjuk wewengkon tersebut sebagai hutan produksi (1978) dibawah pengelolaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sebagai hutan konservasi berupa Cagar Alam (1979), Taman Nasional Gunung Halimun-TNGH (1992) dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak-TNGHS (2003), serta peruntukkan lain-nya seperti galian tambang dan perkebunan . Wewengkon yang dilengkapi dengan warisan aturan adat dan nilai-nilai budaya lokal harus menghadapi “pertarungan” luar biasa dengan pihak pengelola lainnya. “Pertarungan” yang harus ditransaksikan dengan bentuk legislasi yang memiliki legitimasi yang kuat khususnya di kawasan hutan. Peraturan Daerah (PERDA) Pengakuan dan Perlindungan Kasepuhan menjadi jalan pilihan hukum yang diambil dan harus ditempuh oleh warga Kasepuhan sejak tahun 2005.

Perjuangan mendapatkan legitimasi tersebut masih terus di-lakukan oleh Kasepuhan sebagai pengelola asli kawasan hutan Halimun. Surat Keputusan (SK) Bupati No. 430/Kep.298/Dis-dikbud/2013 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul di Kabupaten Lebak bukan menjadi “senjata” pamungkas bagi pengakuan Kasepuhan di Ka-bupaten Lebak. Kehadirannya yang belum mendapatkan perhatian penuh dari Kementerian Kehutanan menjadikan perjalanan bentuk pengakuan Kasepuhan yang legal dan legitimated di Kabupaten

Lebak masih harus menempuh perjalanan yang cukup panjang. Dorongan PERDA pengakuan keberadaan dan perlindun-

gan Kasepuhan semakin kuat. Ini tercantum sebagai rekomen-dasi yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) di dalam proses Dengar Keterangan Umum (DKU) Inkuri Nasional Region Jawa, 15 Oktober 2014 di Rang-kasbitung, Lebak. Respon positif dari Pemerintahan Kabupaten Lebak yang mewujudkan rekomendasi tersebut dengan penan-datanganan pernyataan bersama Penyusunan Peraturan Daerah Masyarakat Kasepuhan di Kabupaten Lebak antara Ketua DPRD Lebak, Wakil Bupati Lebak, Ketua Badan Legislasi Daerah Leb-ak dan Kesatuan Adat Banten Kidul beserta Mitra Kerja (RMI, HuMa, Epistema dan JKPP) pada tanggal 24 Oktober 2014. Pern-yataan bersama ini memiliki muatan komitmen moral bersama untuk mewujudkan pengakuan keberadaan Kasepuhan di Kabu-paten Lebak di tahun 2015. Sebagai bentuk keseriusan Pemer-intahan Kabupaten Lebak, PERDA Kasepuhan masuk ke dalam Program Legislasi Daerah (PROLEGDA) 2015. PERDA yang akan dilahirkan diharapkan tidak hanya legitimate bagi warga Kasepuhan tapi mampu diaplikasikan secara adil atas ekonomi, sosial dan lingkungan bagi seluruh kelas sosial di Kasepuhan. Untuk itu dalam upaya menggapai mimpi Kasepuhan, dibutuhkan kesiapan semua pihak diantaranya masyarakat Kasepuhan, ekse-kutif dan legislatif Kabupaten Lebak dalam proses penyusunan, pengawalan maupun dalam proses implementasi PERDA di level komunitas.

* Dokumen Temuan-temuan Awal Dengar Keterangan Umum Inkuiri Nasional KOMNAS HAM RI tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan Indonesia Wilayah Jawa, 15 Oktober 2014.

Meretas Jalan Kebuntuan: Kasepuhan

Menggapai MimpiNia Ramdhaniaty

Direktur RMI

Dok. RMI/Fahmi Rahman

Dok. RMI/Fahmi Rahman

10 11

Dok. RMI/Erik Suhana

Dok. RMI/Erik Suhana

Page 7: Buletin RMI edisi IV

Opini

Kaum Muda dan Pendalaman Demokrasi Lokal ; Sebuah Tawaran

Agenda

Kota Bogordan

Pepohonannya

Model PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis

Masyarakat)di Kawasan Ekosistem

Halimun

“Berikan aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia”Soekarno

Gerakan kaum muda dalam rentang sejarah perubahan di Indonesia

Kaum muda, di mana pun mereka berada, merupakan potensi besar yang dapat memberi kontribusi terhadap perubahan kondisi masyarakat di negerinya.Tidak aneh jika kemudian kaum muda mendapat berbagai predikat yang cukup mentereng, yakni sebagai pelaku perubahan (agent of change), pelaku pembangunan (agent of development) dan pelaku pembaharuan (agent of reformation). Bahkan Soekarno, Presiden RI pertama amat yakin bahwa dia mampu menggerakkan perubahan dunia hanya berbekal 10 orang anak muda, seperti bunyi kutipan di atas. Tentu saja kaum muda yang dimaksud adalah mereka yang punya cita-cita dan semangat perjuangan yang tinggi. Bukan kaum muda yang hanya memikirkan dirinya sendiri, atau sekedar larut dalam kehidupan hedonis yang akrab dengan kegiatan hura-hura tanpa arah yang jelas.

Sejarah kontemporer di berbagai belahan dunia memang sudah membuktikan bahwa kaum muda merupakan “pendobrak kebekuan” (status quo) ke arah perubahan sosial yang penuh dinamika. Tidak perlu jauh-jauh untuk mencari contohnya. Di Indonesia sendiri, tanpa inisiatif kaum muda untuk mendeklarasikan Sumpah Pemuda niscaya negara-bangsa Indonesia tidak membentang dari Sabang sampai Merauke dan memiliki bahasa persatuan yang memudahkan kita untuk saling berinteraksi satu sama lain. Selain itu, atas dorongan kaum muda pula sejarah mencatat hari kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945. Jika tidak ada gerakan kaum muda yang mendesak agar Soekarno dan Hatta segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia --bahkan diikuti dengan peristiwa “penculikan” terhadap kedua bapak bangsa tersebut-- belum tentu kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pada setiap babak sejarah perubahan di Indonesia tampak selalu kental diwarnai oleh keterlibatan kaum muda di dalamnya. Runtuhnya rejim orde lama –dan digantikan oleh orde baru—tidak dapat dipisahkan dari gerakan kaum muda. Terlepas dari berbagai teori konspirasi yang menghiasi pergolakan politik di awal tahun 1966, gerakan kaum muda –dipelopori mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi-- yang dengan lantang menyerukan tiga tuntutan rakyat(tritura) ikut berkontribusi terhadap jatuhnya Soekarno dari

Kaum Muda dan Pendalaman Demokrasi Lokal ;

Sebuah Tawaran Agenda Lili Hasanuddin

Dewan Pengawas RMI

Dok. RMI/Fahmi Rahman

Dok. RMI/Fahmi Rahman

12 13

Page 8: Buletin RMI edisi IV

tampuk pemerintahan. Begitu pula dengan gerakan reformasi yang menumbangkan orde baru. Gelombang aksi demonstrasi dari kalangan mahasiswa yang mendapat dukungan masif dari masyarakat luas telah berhasil menggulingkan rejim otoriter Soeharto. Dan, hasil akhir dari konstestasi pemilihan presiden 2014 yang baru saja selesai kita lewati, kental pula melibatkan peran kaum muda sebagai relawan di dalamnya.

Pendalaman demokrasi lokal

Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa kaum muda amat berperan dalam berbagai momentum politik yang menyebabkan perubahan sosial di Indonesia. Pertanyaannya, apakah kaum muda hanya bisa berperan dalam peristiwa-peristiwa sebesar itu? Apakah kaum muda harus menunggu momentum serupa yang barangkali baru akan terulang puluhan tahun lagi? Tentu saja tidak. Banyak sekali bidang yang dapat digeluti oleh kaum muda untuk berkpirah. Salah satunya adalah bagaimana kaum muda mendorong proses pendalaman demokrasi yang sedang berlangsung saat ini sehingga dapat memberi manfaat terhadap k e h i d u p a n masyarakat di setiap lingkup wilayahnya masing-masing.

K o n s e p demokrasi secara umum mengandaikan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dengan demikian, suatu p e m e r i n t a h a n dikatakan demokratis jika terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Prinsip partisipasi menjamin aspek keikutsertaan rakyat, baik perempuan maupun laki-laki, dalam pemilihan pemimpin pemerintahan dan proses pembangunan; sedangkan prinsip kontrol menekankan pada aspek akuntabilitas pemerintahan.

Berdasarkan pada prinsip-prinsip ini, kaum muda dapat mengambil peran sebagai kekuatan pengimbang dalam tatanan kehidupan bernegara.Untuk itu kaum muda

perlu merumuskan agenda keterlibatannya dalam demokrasi, bukan sekedar yang bersifat prosedural (ikut dalam pemilu) tetapi yang lebih substansial, yaitu:

Pertama, mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Hal ini tidak selalu harus dalam skala nasional. Ia bisa saja dilakukan pada tingkatan komunitas yang terkecil. Kaum muda bisa menjadi penggerak masyarakat untuk mendorong penerapan nilai-nilai demokrasi di tingkat lokal dengan cara bersikap kritis terhadap praktek-praktek penyelenggaraan negara, pengelolaan sumberdaya alam dan pelayanan publik yang adil, setara dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, isu mengenai kesetaraan dan keadilan gender penting diperjuangkan karena suatu negara tidak akan menjadi negara yang demokratis selama masih ada diskriminasi gender di dalamnya. Lebih dari itu, kaum muda harus memberi dukungan penuh terhadap tuntutan-tuntutan gerakan perempuan yang memperjuangkan kuota 30% perempuan dalam parlemen (affirmative-action).

Kedua, mengambil peran untuk mengikis politik uang dalam Pilkada dan pemilihan anggota legislatif. Kaum muda harus berdiri paling depan untuk memilih pemimpin dan wakilnya atas dasar program kerja, bukan karena iming-iming materi. Kesadaran ini perlu disebarluaskan kepada masyarakat bahwa praktik politik uang pada dasarnya merugikan rakyat sendiri, karena akan menyebabkan pemimpin atau wakil yang terpilih lebih fokus mengembalikan “modalnya” dibandingkan dengan bekerja untuk kepentingan rakyat.

Ketiga, membangun kemandirian dan menghindari pola relasi patron-klien dengan angkatan di atasnya, lebih-lebih dengan mereka yang duduk di kekuasaan. Kaum muda harus menempatkan diri sebagai entitas yang memiliki spirit progresif dan visioner untuk mengikis praktik penyelenggaraan negara yang tidak efektif dan efisien

serta sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam kaitan inilah kaum muda perlu membekali diri dengan berbagai kapasitas yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan pembangunan pada masa –masa mendatang.

Dok. RMI/Fahmi Rahman

Kota Bogordan

PepohonannyaIsmayadi Samsoedin

Peneliti dan Pemerhati Hutan KotaKetua Dewan Pembina RMI

Kota Bogor, termasuk istana dan Kebun Rayanya bagi ban-yak orang termasuk para pemimpin dunia yang datang menghad-iri acara penting, meninggalkan kenangan yang manis walaupun bagi warga kotanya dianggap sebagai penyebab ketidaknyamanan karena menambah kemacetan dimana-mana. Sebagai contoh pada saat kota Bogor didatangi Presiden Bush beberapa waktu lalu kota Bogor seakan mati sejak H-2 sebelum kedatangannya dan kembali normal setelah para tamu penting tersebut kembali. Nor-malnya kota Bogor berarti kembali penuh dengan kesemrawutan ribuan angkutan kota yang biasa memadati kota kecil ini.

Mengapa kota Bogor dipilih sebagai tempat pertemuan pent-ing antara pemerintah RI dan para pemimpin dunia? Jawaban-nya, barangkali, adalah karena rimbunnya kota tua ini dengan pepohonan, sehingga hingar bingar karena adanya pro kontra atas kunjungan para pemimpin itu dapat diredam dengan kerimbunan pepohonan di kota tua ini. Ratusan jenis dan ribuan pohon yang ditanam dan dipelihara dengan apik dapat anda lihat manakala berkunjung ke Bogor. Pohon-pohon kenari (Canarium com-mune) yang ditanam di tepi jalan baik yang berdiameter besar karena sudah ditanam sejak jaman kolonial dulu maupun yang masih berusia muda yang ditanam di kawasan pemukiman baru menjadi ciri khas kota Bogor sehingga kota ini dikenal seba-gai kota kenari. Walaupun sudah sejak lama kota ini dijadikan pilihan tempat tinggal oleh mereka yang bekerja di Jakarta dan berakibat berkurangnya ruang-ruang hijau, namun Bogor masih tampak hijau. Diperkirakan lebih dari 60% dari luas total kota ini masih ditutupi oleh pepohonan. Hijaunya kota ini antara lain karena adanya pohon-pohon di jalur hijau yang menurut catatan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor berjumlah sekitar 10.000-an pohon yang 4554 pohon diantaranya telah dibuat pang-kalan datanya pada tahun 2003. Rimbunnya Bogor juga ditunjang dengan adanya Kebun Raya Bogor yang umurnya akan genap 200 tahun pada tahun 2017 mendatang. Disamping itu, kantor-kantor tempo dulu dengan halamannya yang luas, yang menjadi ciri khas kota Bogor, seperti Arboretum yang telah berusia 80 tahun di kantor Badan Litbang Kehutanan (yang oleh orang Be-landa disebut Bosbouwproefstation) di Gunung Batu menambah hijaunya kota hujan ini.

Kota Bogor dan Istananya

Bogor yang terletak hanya sekitar 50 kilometer dari ibu kota Jakarta dan dapat ditempuh dengan cepat melalui jalan tol Jag-orawi adalah kota yang sangat ideal untuk berbagai macam keg-iatan. Dengan ketinggian sekitar 250 meter dari permukan laut dan udara segar dari gunung Gede-Pangrango dan Salak ditambah curah hujan yang tinggi membuat kota ini memiliki iklim yang khas.

Sekitar 500 tahun lalu Bogor dikenal dengan nama Pakuan dan merupakan ibu kota Kerajaan Pajajaran yang terkenal itu. Pada tahun 1754 atau sekitar 150 tahun setelah bangsa Belanda menginjakkan kakinya di negeri ini, pemerintah kolonial Belanda membangun resort yang kita kenal dengan istana Bogor sekarang ini. Pada waktu itu orang Belanda menyebut kota Bogor dengan nama Buitenzorg.

Dok. Ismayadi

Dok. Ismayadi

14 15

Page 9: Buletin RMI edisi IV

Sir Stamford Raffles yang menjabat gubernur jenderal Inggris untuk kawasan Hindia Timur dan ditugaskan untuk merepresentasikan Kerajaan Inggris di Jawa pada tahun 1811 sangat mencintai kota ini. Segera setelah ditugaskan, dia merenovasi Istana dan memulai menanam pohon koleksi di sekitar halaman Istana. Pada tanggal 18 Mei 1817, Dr. C.G.C. Reindwardt mendeliniasi Istana dengan kebun koleksi seluas 87 hektar yang berada disampingnya. Kebun inilah yang seka-rang kita kenal dengan Kebun Raya Bogor yang masih ter-pelihara dengan baik sampai saat ini. Pada tahun 1873-1844, seorang pecinta dan kolektor tanaman bernama Teijsman merancang Kebun Raya menjadi kebun botani yang unik dan atraktif dengan koleksi pepohonan daerah tropik dari seluruh dunia.

‘Pohon instant’

Pembangunan kota rupanya membawa dampak pada pen-ingkatan permintaan akan pohon. Untuk memenuhi kebutu-han ini, saat beberapa tahun lalu Pemkot Bogor bekerjasama dengan Badan Litbang Kehutanan mencoba memenuhi kebu-tuhan tersebut dengan menyediakan pohon putaran atau biasa disebut pohon instant. Disebut pohon instant karena begitu ditanam ditempat yang telah ditentukan pohon-pohon ini su-dah tampak besar.

Pohon putaran adalah pohon-pohon yang sudah berumur sekitar lima tahun bahkan lebih dengan tinggi rata-rata sekitar dua sampai tiga meter dan diameter pohon yang cukup be-sar yang dipindahkan dari persemaian dengan cara diputar, yaitu menggali tanah dibagian luar akarnya secara berhati-hati kemudian ditutup oleh karung, diikat dengan kuat dan sete-lah beberapa waktu pohon diangkat dan diangkut ke tempat hidupnya yang baru. Menanam pohon putaran berarti kita telah mengirit waktu sesuai dengan umur pohon yang diputar tersebut. Pohon putaran biasanya sudah mulai berkembang dengan baik enam bulan setelah tanam. Sementara itu, apabila kita menanam bibit pohon yang masih kecil yang tingginya sekitar satu meteran perlu waktu yang lama sebelum dia me-miliki tajuk yang baik. Pohon putaran dapat juga digunakan untuk mengganti pohon-pohon yang mati atau pohon tua yang sudah rapuh atau menggantikan pohon-pohon yang rusak karena tertiup angin kencang serta ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.

Manfaat pohon

Peran pepohonan amatlah penting dalam meningkatkan mutu lingkungan. Nilai aktual dari pepohonan sangat berva-riasi tergantung pada jenis yang dipilih, struktur pohon dan lokasi penanaman. Oleh karenanya, perencanaan serta per-ancangan yang baik akan menghasilkan banyak keuntungan bagi masyarakat banyak. Seperti diketahui bahwa salah satu masalah besar diperkotaan seperti di Bogor adalah polusi udara dan suara. Angkutan umum yang secara signifikan men-guasai kota merupakan penyumbang emisi karbon monoksida terbesar di kota Bogor. Kita patut bersyukur kepada pepoho-

nan karena perannya dalam mengurangi segala macam polusi termasuk polusi kimia yang bersliweran di atmosfir. Sementara itu, hasil peneli-tian menunjukkan bahwa dedaunan terutama dalam keadaan basah da-pat memfilter debu dan partikel-partikel berbahaya lainnya dari udara. Kontaminan yang lain dapat disingkirkan dari udara melalui kegiatan fotosintesis dan transpirasi. Oleh karenanya, pepohonan berfungsi juga dalam mengurangi polusi udara dan menggantikannya dengan udara segar.

Dalam banyak hal pepohonan dapat difungsikan dalam memodifi-kasi iklim di perkotaan. Jenis-jenis pohon seperti kenari, ki hujan atau trembesi (Samanea saman), angsana (Pterocarpus indicus) dan mahoni (Switenia macrophylla) terkenal karena tajuknya yang rimbun sehingga amat bermanfaat sebagai pohon peneduh yang dapat berperan dalam mengurangi radiasi cahaya matahari disamping sebagai penahan angin.

Kendala

Walaupun upaya untuk mempertahankan agar kota tetap hijau, sep-erti di kota-kota besar lainnya kegiatan pembangunan dan urbanisasi menjadi kendala yang tidak kecil yang berakibat pada berkurangnya kawasan hijau yang ada yang bahkan terkadang harus mengorbankan keberadaan pepohonan.

Kendala lain terutama bagi pepohonan di tepi jalan adalah adanya kegiatan pelebaran jalan, pembuatan saluran air buangan, penggalian saluran telepon, gas dan PDAM yang menyebabkan kerusakan akar yang cukup parah dan hal ini mengakibatkan rentannya pohon terhadap terpaan angin (Gambar 1) dan berakibat rusaknya fasilitas umum dan bahkan milik pribadi (Gambar 2). Oleh karena itu, dalam rangka melind-ungi keberadaan pohon tanpa mengorbankan masyarakat umum, Pem-kot Bogor perlu secara berkala mengevaluasi seluruh pohon tepi jalan untuk ditetapkan apakah membahayakan masyarakat umum atau tidak. Beberapa tindakan perlu diambil, antara lain, melalui pemangkasan dan pemotongan tajuk sehingga pohon dapat tetap dipertahankan pada tempatnya tanpa membahayakan masyarakat. Namun demikian, karena posisinya berada di tempat umum maka apabila tidak terhindarkan ter-paksa pohon harus ditebang. Melalui komitmen yang telah disepakati penebangan pohon menjadi pilihan paling akhir yang akan ditempuh. Oleh karena itu, upaya-upaya Pemkot Bogor dalam melindungi dan mempertahankan keberadaan pepohonan dengan bekerjasama dengan instansi terkait lainnya perlu didukung dan dihargai.

Peran RMI

Melestarikan kota Bogor dengan segenap isinya tentu menjadi tang-gung jawab kita semua. Tidak mungkin kita mengandalkan 100% pada Pemerintah Kota yang dalam melaksanakan kegiatan pemerintahannya masih terkendala oleh banyak hal. Walau pun Walikota Bogor yang baru memiliki keinginan untuk melaksanakan perbaikan secara cepat, kendala yang dihadapinya justru ada di dalam struktur internal pemerin-tahannya yang masih terbiasa dengan pola manajemen lama yang tidak efisien. Oleh karena itu, peran stake holders terkait termasuk RMI amat diperlukan untuk mendukung percepatan perbaikan kota Bogor yang semrawut baik bangunan dan transportasinya.

Program Pendidikan Lingkungan yang pernah dilakukan RMI dulu dan dikenal sebagai program yang mengawali perbaikan kondisi ling-kungan di kota Bogor perlu dikaji untuk digalakkan kembali.

Model PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat)

di Kawasan Ekosistem HalimunRatnasari

Manajer Divisi Pengelolaan Pengetahuan RMI

kayu dan non kayu untuk kebutuhan subsisten dengan sistem penggantian kayu (penanaman kembali). Sedangkan leuweung garapan adalah kawasan hutan yang telah dibuka menjadi huma, sawah, maupun kebun.

Selain itu ada pula ‘kebon kayu’ yang dikelola masyarakat Desa Mekarsari-Kabupaten Lebak, yang masih ‘incu putu’ (pengikut) Kasepuhan Sirnaresmi. Sistem ini sebetulnya merupakan rangkaian sistem huma yang pada awal penanaman padi huma ditumpangsarikan dengan tanaman palawija dan tanaman kayu. Ketika tanaman kayu menjadi dominan, masyarakat menyebutnya dengan istilah kebon kayu.Tanaman yang banyak terdapat di kebon kayu ini adalah Jeunjing (Paraserianthes falcataria), karena cepat tumbuh dan cepat menghasilkan. Selain itu, terdapat kayu Manii (Maesopsis eminii) yang banyak ditanam, karena bila ditebang akan muncul tunas-tunas yang akan menjadi batang-batang pohon lagi, bahkan tumbuh tunasnya lebih dari satu.

Namun sistem pengelolaan hutan masyarakat ini tidak berada di ruang hampa. Persoalan tumpang tindih atau ketidakjelasan kawasan kelola akibat ketidakjelasan tata batas dihadapi hampir di semua lokasi belajar RMI di kawasan ekosistem Halimun. Klaim pihak lain seperti taman nasional maupun perum perhutani menjadi masalah bagi masyarakat yang telah mengelola wilayahnya selama puluhan tahun, jauh sebelum taman nasional maupun perum perhutani ada. Seperti diungkapkan salah satu warga masyarakat adat Kasepuhan di bawah ini (lihat Nurja, et al, 2008):

“Taman nasional datang kadieu pandeuri, taun 1992 kira-kira....tapi kami anu geus sababaraha tahun lilana cicing di ieu tempat dianggap teu boga hak di kampung sorangan, pan asa teu geunah cicing di kampung anu diaku ku pihak batur...(taman nasional datang ke sini belakangan, tahun 1992 kira-kira....tapi kami yang sudah lama tinggal di sini dianggap tidak punya hak di kampung sendiri, terasa tidak nyaman tinggal di kampung yang diakui pihak lain....” (Ki Marhum, Kasepuhan Cibedug).

Sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat pun menjadi terpinggirkan walaupun nyata terbukti bahwa sistem ini mampu menjaga sistem ekologi, hidrologi dan jaminan pangan bagi masyarakat.

Upaya mengangkat kearifan lokal masyarakat dalam mengelola kawasan hutan bukan sekedar mendokumentasi-kan model pengelolaan hutannya namun membawanya pada meja negosiasi dan ranah kebijakan agar model ini diakui dan terjaminnya akses pengelolaan bagi masyarakat. Maka butuh

Pembelajaran RMI bersama masyarakat di kawasan ekosistem Halimun sejak tahun 1998 hingga kini telah mencoba mengangkat kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutannya. Berawal di Desa Malasari-Kabupaten Bogor, ditemui masyarakat yang mengelola ‘dudukuhan’ yaitu kebun talun yang berisi berbagai jenis tanaman semusim hingga tahunan. Para ahli menyebut kebun talun ini dengan istilah agroforestry. RMI menyebut kebun talun ini dengan nama ‘kebun energi’ karena dari kebun ini dihasilkan sumber energi berupa pangan (padi huma, buah-buahan, sayuran), kayu bakar, dan membantu sistem ekologi, hidrologi, dan sirkulasi udara.

Kemudian ketika RMI belajar bersama masyarakat adat Kasepuhan di Halimun Selatan (Kasepuhan Sirnaresmi dan Ciptagelar) juga di Halimun Barat (Kasepuhan Cibedug dan Citorek), masyarakat adat Kasepuhan ini memiliki sistem pengelolaan hutan yang diterapkan secara turun temurun yakni sistem pengelolaan ‘leuweung’ (Santosa, 2008). Mereka membagi wilayahnya menjadi leuweung titipan, leuweung tutupan dan leuweung garapan. Leuweung titipan merupakan kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu oleh manusia, pada umumnya berada di daerah atas pegunungan dan berfungsi sebagai daerah resapan air. Leuweung tutupan merupakan kawasan hutan cadangan yang suatu saat nanti dapat digunakan jika diperlukan, manusia diperbolehkan masuk hanya untuk mengambil hasil hutan

16 17

Dok. RMI

Page 10: Buletin RMI edisi IV

proses panjang dalam upaya perjuangan ini. Terlebih dalam prosesnya, masyarakat sebagai ujung tombak perjuangan sehingga penguatan masyarakat menjadi kunci penentu arah keberhasilan.

Secara umum berdasarkan pembelajaran RMI bersama masyarakat, proses yang dilalui untuk mengangkat PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat) seperti dijelaskan di bawah ini. Namun penjelasan ini bukan urutan proses, terkadang dilakukan paralel bahkan pintu masuk kegiatan bisa dari proses manapun. Berikut penjelasan prosesnya:1. Penggalian sejarah, permasalahan, dan informasi

seputar kondisi sosial-ekologi-ekonomi masyarakat dan hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Metode yang digunakan yakni PRA (Participatory Rural Appraisal);

2. Pemetaan wilayah dan batas desa menggunakan alat GPS. Peta yang dibuat antara lain peta desa, peta rincikan kampung, peta tata ruang, peta sejarah lahan garapan;

3. Perencanaan komunitas dalam mengelola kawasan dilakukan berdasarkan hasil peta yang telah dibuat untuk menentukan konsep tata ruang. Prinsip yang diterapkan dalam pengelolaan wilayah berbasis masyarakat yakni kewilayahan, kesetaraan, budaya dan kelembagaan. Kewilayahan berarti wilayah harus jelas dan memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kesetaraan artinya semua pihak, perempuan dan laki-laki, tua dan muda, memiliki hak yang sama dalam menentukan kebijakan, memberi pandangan dan memperoleh informasi. Budaya berarti dalam mengelola kawasan harus memperhatikan budaya dan adat istiadat setempat. Kelembagaan artinya dalam pengelolaan kawasan harus memperhatikan lembaga-lembaga yang sudah berperan baik formal maupun nonformal;

4. Penyusunan aturan dan sanksi dalam pengelolaan tata ruang wilayah berdasarkan kesepakatan warga maupun merujuk pada aturan adat;

5. Penguatan masyarakat melalui proses pelatihan, share learning, maupun diskusi-diskusi pada level kelompok, kampung maupun desa dan antar desa;

6. Aksi nyata masyarakat seperti penanaman lahan kritis, operasi pengamanan hutan (ronda leuweung), pemanfaatan pekarangan;

7. Dialog dengan para pihak seperti Pemdes, Pemkab, TNGHS, akademisi, maupun pihak lainnya dalam penyusunan dan negosiasi konsep tata ruang wilayahnya.

Salah satu contoh PSDHBM yang dikembangkan RMI bersama masyarakat yakni konsep KDTK (Kampung Dengan Tujuan Konservasi) yang diinisiasi sejak tahun 2003 di Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kabupaten Bogor. Inisiasi ini muncul karena kampung berada di wilayah hulu, sebagai daerah resapan air dan masyarakatnya bergantung terhadap hutan. Adanya klaim pihak lain seperti

Perum Perhutani dan TNGHS membuat warga khawatir kehilangan hak pengelolaan lahan yang selama ini telah digarap secara turun temurun. Melalui KDTK, masyarakat dapat merasakan manfaat yang sebesar-besarnya atas pengelolaan hutan baik nilai ekologi berupa kelestarian hutan, terjaganya kawasan hutan, menghindari bencana alam tanpa mengabaikan nilai ekonomi, peningkatan taraf hidup masyarakat, serta manfaat wisata yakni terbentuknya kawasan hutan yang indah dan lestari sebagai objek wisata dan penelitian (tempat belajar bersama). Hal ini sejalan dengan filosofi masyarakat “Gunung teu meunang dilebur, leuweung teu meunang diruksak” yang berarti bahwa menjaga hutan sudah menjadi kewajiban masyarakat. Setelah melewati proses yang panjang, pada 22 Juni 2010 terjadi penandatanganan kesepakatan (MoU) antara KSM Nyungcung dengan TNGHS dalam pemanfaatan lahan garapan di zona khusus TNGHS.

Model PSDHBM lainnya yaitu K2LPR (Konsep Kebun Lindung Produksi Rakyat) yang dikembangkan di Kampung Parigi, Desa Cisarua, Kabupaten Bogor (lihat Sukara, et al, 2013). Juga model PSDHBM di wilayah masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul seperti wewengkon Cibedug dan pengelolaan hutan Kasepuhan Karang (Desa Jagaraksa-Kabupaten Lebak). Untuk masyarakat adat Kasepuhan, upaya mengangkat model PSDHBM ini sejalan dengan advokasi pengakuan legal melalui Perda Pengakuan Masyarakat Adat yang prosesnya sudah masuk dalam Prolegda Kabupaten Lebak tahun 2015.

Tantangan dalam pengembangan PSDHBM yakni perlunya mengoptimalkan fungsi ekologi, religi, dan ekonomi sehingga diharapkan dapat dipakai sebagai landasan dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu juga dibutuhkan penguatan masyarakat lokal dalam upaya memperjuangkan kejelasan tata batas dan adopsi sistem pengelolaan hutan dalam kebijakan konservasi kawasan.

Referensi:

Nurja, K, Nanta, Arsid dan Dedi. 2008. Inisiatif dan Upaya Penataan Ruang Oleh Warga Adat Kasepuhan Cibedug,

Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak-Banten dalam Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga Rampai

Pengelolaan Sumber Daya Alam di Halimun. Hendarti, L (ed). Jakarta: Yayasan Obor.

Santosa, A. 2008. SHK: Sistem Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat yang Harus Terus

Diperjuangkan!! (Pembelajaran dari Kawasan Ekosistem Halimun) dalam Menepis Kabut Halimun: Rangkaian Bunga

Rampai Pengelolaan Sumber Daya Alam di Halimun. Hendarti, L (ed). Jakarta: Yayasan Obor.

Sukara E., Didik Widyatmoko dan Sri Astutik (ed). 2013. Konservasi Biocarbon, Lanskap, dan Kearifan Lokal untuk

Masa Depan: Integrasi Pemikiran Multidimensi untuk Keberlanjutan. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya

Cibodas-LIPI.

CatatanKaki

Ekspedisi Cisadane

Sekolah Penggerak Masyarakat, Langkah Bagi

Rakyat Dalam Memperjuangkan Hak-haknya

GREENCAMP 2014: Belajar dari Bianglala di Kejauhan

Hari Tani, Petani Beraksi

Riungan Kasepuhan Banten Kidul Kasapuluh

18 19

Dok. RMI

Page 11: Buletin RMI edisi IV

Sungai Cisadane, yang memiliki panjang 137,8 km, men-galir melintasi lima wilayah administratif kota/kabupaten, yang meliputi dua propinsi. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane, memiliki 4 sub DAS, yaitu 2 sub DAS dibagian hulu (Cisadane hulu dan Cianten), 1 sub DAS dibagian tengah dan 1 sub DAS di bagian hilir, dengan total luas wilayah DAS seluas 154.654 ha. DAS Cisadane mencakup 518 desa/kelurahan, yang tersebar di 44 kecamatan. Lima wilayah administratif kota/kabupaten yang dile-wati yaitu, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.

Dengan skala luas yang cukup besar, dan berada di wilayah dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang relatif tinggi, tentu wilayah DAS Cisadane memiliki berbagai po-tensi yang memang sangat vital untuk menunjang penghidupan warga yang berada di sekitar kawasannya. Namun begitu, berba-gai permasalahan juga terdapat di wilayah DAS ini. Hal ini coba kami potret melalui kegiatan #xpdccisadane.

#xpdccisadane yang digagas RMI, mencoba untuk memotret kehidupan di Daerah Aliran Sungai Cisadane. Potret kehidupan yang tidak hanya terbatas pada manusia dan aktifitasnya, namun juga segala unsur yang berkaitan dengan kelestariannya.

Perjalanan menyusuri Sungai Cisadane ini dimulai pada bu-lan Maret 2014. Sejauh ini, baru sekitar 20km aliran sungai yang berhasil disusuri, dengan berjalan kaki. Titik pertama saat perjala-nan ini dimulai adalah di hulu Cisadane yang berada di wilayah

Ekspedisi CisadaneFahmi RahmanStaffKampanyedanAdvokasi

Dok. RMI/Erik Suhana

Dok. RMI/Fahmi Rahman

ketergantungan akan lahan cukup tinggi. Namun para petani tersebut harus bersaing dengan para pengusaha dan pemilik modal besar, yang juga membutuhkan lahan untuk membangun kawasan-kasawan industri mereka, yang justru menguasai lebih dari 70% luas lahan yang tersedia (RMI, 2012)

#xpdccisadane yang dilakukan Yayasan RMI, mencoba memotret kehidupan di DAS Cisadane, khususnya sekitar al-iran Sungai Cisadane dari berbagai perspektif. Kegiatan yang dilakukan dalam perjalanan ini, diantaranya, observasi sosial masyarakat, identifikasi flora dan fauna, monitoring kualitas air dan dokumentasi.

Referensi:RMI. 2012. Pendidikan Hukum Kritis: Tanah Untuk Siapa? Bogor: Rimbawan Muda Indonesia

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Di bagian hulu, kondisi ekosistem masih cukup bagus. Ber-

batasan langsung dengan area TNGGP, merupakan persawahan milik warga Kampung Ciwaluh, Desa Wates Jaya. Melihat kondisi ekosistem pendukungnya, area persawahan ini sebenarnya cocok untuk dijadikan sawah organik, namun sayang petani di sini sudah menggunakan pupuk-pupuk kimia dalam mengolah tanahnya. Mulai dari hulu sampai 20km ke bawah, masih sangat banyak masyarakat yang melakukan aktifitas mandi cuci kakus di sun-gai. Meski di beberapa titik atau kampung sudah ada bangunan toilet (MCK), namun masyarakat lebih memilih MCK di sungai. Tak hanya sebagai tempat melakukan aktifitas MCK di wilayah hulu ini, sungai juga dimanfaatkan untuk kebutuhan lain. Untuk mengangkut hasil panen kayu dari kebun, masyarakat menjadikan sungai sebagai media angkut. Sebagian orang juga memanfaatkan hasil dari Sungai Cisadane ini sebagai sumber penghidupan. Se-lain pasir dan batu yang ditambang, ikan yang hidup di sungai ini juga tak lepas dari incaran.

Namun ironis, wilayah hulu yang harusnya kawasan yang berfungsi sebagai Daerah Tangkapan Air (DTA), telah mengalami perubahan fungsi kawasan. Perkebunan monokultur dan tambang pasir, telah merubah bentang alam wilayah ini. juga bangunan-bangunan pabrik yang dibangun di sempadan sungai, bahkan ada satu pabrik yang membangun dinding bukan lagi di sempadan, namun di badan sungai, turut serta merusak fungsi-fungsi alami dari kawasan ini. Tak hanya mendirikan bangunan di sempadan sungai, namun beberapa “industri nakal” ini juga membuang limbah ke sungai. Kondisi ini juga diperparah dengan masih ban-yaknya masyarakat yang membuang sampah dan limbah rumah tangganya ke sungai.

Di sekitar aliran Sungai Cisadane, yang mayoritas mata pencaharian penduduk di wilayah hulu ini adalah petani, tingkat

Dok. RMI/Fahmi Rahman

Dok. RMI/Erik Suhana

Dok. RMI/Fahmi Rahman

20 21

Page 12: Buletin RMI edisi IV

Sekolah Penggerak Masyarakat, Langkah Bagi Rakyat

Dalam Memperjuangkan Hak-haknya

Ratnasari* dan Mahmud Cahaya**Manajer Knowledge Management

**StaffKantor

“Rakyat harus mengetahui aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemerintah, agar kita tidak dibodoh-bodohi” demikian yang diutarakan peserta Sekolah Penggerak Masyarakat (SPM). Perny-ataan lugas ini memberi gambaran tentang situasi permasalahan yang terjadi pada masyarakat khususnya di pedesaan. Beragam masalah yang dihadapi masyarakat ketika ada pihak lain yang berupaya untuk menguasai tanah dan sumber daya alam, harus diurai dan diperjuangkan. Untuk itu masyarakat harus bisa meng-hilangkan rasa takut, bodoh, diam/pasif dan tidak kompak. Mela-lui SPM ini diharapkan muncul penggerak dalam masyarakat yang mampu membangun organisasi rakyat yang kuat sehingga terbentuk masyarakat yang cerdas, kritis dan tangguh dalam mem-perjuangkan hak-haknya.

SPM telah diselenggarakan dua kali yakni pada tanggal 9 - 11 September 2014 di Desa Nanggung-Bogor dan tanggal 25 – 27 Nopember 2014 di Desa Jagaraksa-Lebak. SPM ini atas dukungan kerjasama antara RMI dan HuMa-SPHRI. SPM melibatkan seki-tar 25 peserta dari Desa Curug Bitung-Bogor, Nanggung-Bogor, Cirompang-Lebak, Kiarasari-Bogor, Watesjaya-Bogor, Cibedug-Lebak, dan Jagaraksa-Lebak. Adanya interaksi antar masyarakat dari desa/wilayah yang berbeda dapat saling berbagi dan mem-perkuat inisiatif gerakan yang dilakukan di desa masing-masing.

Pada SPM I di Desa Nanggung-Bogor, peserta belajar men-genai tata aturan yang berlaku pada lingkup perkebunan, agraria dan mencari solusi dalam penyelesaian masalah yang dihadapi di masing-masing desa. SPM I ini difasilitasi oleh Atno dan Sando (HuMa). Desa Cirompang mengungkapkan kasus lahan garapan yang diklaim oleh Perum Perhutani dan TNGHS, Desa Nanggung dan Curug Bitung mengangkat kasus lahan yang diklaim PT. Hevindo, sedangkan Desa Watesjaya mengangkat kasus lahan garapan yang dikuasai TNGGP dan perusahaan.

Untuk SPM II di Desa Jagaraksa-Lebak, materi yang dipela-jari peserta meliputi Analisis Sosial, Organisasi Rakyat dan Gen-der. Pada sesi Analisis Sosial yang difasilitasi oleh Indra (RMI),

peserta belajar memetakan aktor yang dapat memudahkan ketika mencari strategi advokasi yang tepat. Untuk sesi Organisasi Raky-at yang difasilitasi oleh Aji (RMI), peserta memahami pentingnya organisasi rakyat dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan dan bagaimana ciri organisasi rakyat yang membedakan dengan jenis organisasi lainnya. Sedangkan sesi Gender yang difasilitasi oleh Nana (RMI) membahas tentang pentingnya gender dipersoalkan, penerapannya dalam masyarakat dan memahami bahwa peremp-uan memberikan andil yang besar dalam penghidupan sehingga perlu dilibatkan dan didengar suaranya dalam pembangunan desa dan kebijakan yang akan dibuat desa.

Dalam penyampaian materi, fasilitator menggunakan metode yang interaktif dan bervariasi seperti permainan, diskusi kelom-pok, drama, menggambar, menyanyi, dan curah pendapat. Variasi dalam metode ini membuat sesi SPM begitu menyenangkan dan tidak membuat bosan peserta. Seperti diungkapkan oleh Mursyid (Desa Cirompang): “Melalui permainan dan drama yang dimain-kan, materi akan mudah diserap dan mudah dipahami”.

Pada akhir sesi, peserta menyusun rencana aksi yang akan dilakukan pada organisasi rakyatnya masing-masing. Rencana aksi yang dimaksud adalah yang bisa dipastikan realisasinya dan terukur dalam jangka waktu tertentu. Penguatan organisasi rakyat, pengkaderan dan transfer pengetahuan pada masyarakat secara umum disadari peserta merupakan hal penting yang harus dilakukan secara terus-menerus agar upaya advokasi yang dilaku-kan berjalan efektif.

I

Dok. RMI/Widodo

Dok. RMI/Widodo

GREENCAMP 2014: Belajar dari Bianglala

di Kejauhan

Dok. RMI/Fahmi Rahman

Indra N HatasuraManajer Divisi Program

22 23

Page 13: Buletin RMI edisi IV

Green Camp. Pada saat saya mendengar namanya untuk per-tama kali terbayang oleh saya aktifitas perkemahan, dengan tam-bahan api unggun. Basah di sekitar rerumputan tinggi. Tidak terla-lu menarik menurut saya karena saya memang agak benci dengan kegiatan dengan imbuhan green dan camp. Mungkin ini karena sebelumnya saya mengikuti banyak kegiatan “green” yang tidak ramah lingkungan, buang banyak sampah dan “camp” yang me-nyiksa, membosankan, becek dengan sepatu kemasukan air dan tanah serta pengawas kemah yang meminta kami memanggilnya kakak.

Ingat-ingat, itulah gagalnya saya memahami “green” dan “camp” saat saya menjalani masa SMP dan SMA, serta di kulia-han.

Masih dengan menggunakan nama yang sama, RMI (Rim-bawan Muda Indonesia) membuat GreenCamp kedua pada tang-gal 24-26 Oktober 2014, melibatkan sekitar 85 anak dan pemuda. Sudah kepalang basah nama ini digunakan pada tahun 2011 dan dianggap sudah jadi trademark aktifitas LSM kami, maka kami laksanakan kegiatan itu dan dengan setengah mati, berusaha tidak menjadikannya seperti mimpi buruk bagi para peserta.

Bekerjasama dengan Pusat Krisis Universitas Indonesia (Puskris UI), Palang Merah Indonesia (PMI) dan masyarakat di daerah sekitar Gunung Pancar (Desa Cibadak dan Karang Ten-gah) berjalanlah kegiatan itu. Mendengar nama-nama rekanan di atas dapatlah diduga (apabila pembaca benar-benar membaca den-gan teliti, bila tidak kembalilah ke kalimat di awal paragraf ini) bahwa ini semua berkaitan sesuatu dengan krisis dan menolong orang. Lalu ada apa memangnya Green Camp ini dengan krisis

dan menolong orang?Ada idaman dari teman-teman RMI bahwa GreenCamp kali

ini bisa mengkaitkan antara kerusakan lingkungan dengan kemar-tabatan manusia, sosial dan kondisi ekonomi. Ditambah “idaman” berat juga dengan isu mengenai tersingkirnya manusia-manusia miskin di sekitar Gunung Pancar akibat pengembangan kawasan Sentul yang memang sedang gila-gilaan pembangunannya, dari berdirinya The Jungle (kawasan wisata semacam Dunia Fantasi), pengembangan perumahan Sentul City dan lain-lain.

Apabila kawan-kawan lihat, dari kawasan bumi perkemahan Gunung Pancar yang berhutan pinus dan sejuk terlihatlah biangla-la (kincir) raksasa dari taman rekreasi The Jungle, tempat ber-main bagi mereka yang punya uang lebih dan tempat bekerja bagi sebagian penduduk di sekitar baik sebagai tenaga pengamanan (satpam) dan tenaga bersih-bersih (cabut rumput, office boy, ...) dan bertumbuhnya sebagian warung kecil di dalam kawasan yang boleh jadi bagi saya jadi aneh. Warung bilik penjual pisang dan snack di dalam kawasan berbunga, berumput hijau rapi semata kaki.

Peserta GreenCamp 2014 berasal dari berbagai latar bela-kang: anak desa dan perkotaan dari kawasan Bogor (kota dan ka-bupaten), Jakarta, Tangerang, dari Suku Anak Dalam dari pedala-man Jambi, sampai anak-anak nelayan di Belawan, Medan. Usaha kami yang pertama adalah mencairkan suasana karena acara 3 hari ini tidak dapat berjalan tanpa persahabatan yang erat. Ini adalah kunci utama kami juga, dan kami beranggapan lebih baik meng-habiskan 1 hari untuk berkenalan daripada tidak akrab selama 3 hari.

Acara ini dimulai dengan game-game perkenalan (ice break-ing ala outbound). Peserta juga saling memperkenalkan diri dan kelompok masing-masing. Semuanya berjalan seru. Beberapa permainan membutuhkan kecekatan dan kecepatan fisik sehingga peserta juga saling bertubrukan, menginjak, berpindah pasangan, dan lain-lain. Energi yang besar tersalurkan dan persahabatan mu-lai terjadi, apalagi setelah kelompok dipecah berdasarkan 5 tenda yang disediakan.

Uniknya, di acara ini setiap grup juga memasak sendiri bagi kelompoknya dengan bahan-bahan yang sudah disediakan oleh panitia. Grup dengan anggota peserta dari pedalaman Jambi yang sepertinya ahli memasak memenangkan masakan terbaik dan terenak menurut juri. Sedangkan kelompok lain, menurut Roosa Sibarani dari terre des hommes- Germany yang merupakan salah satu pendukung kegiatan ini, ada kelompok yang juga mungkin karena anggotanya tidak terbiasa memasak maka campurannya cukup tidak lazim: semua bahan dicampur dan diaduk.

“Tidak diblender saja sekalian dengan ikan tuna kalengnya, Dik?” Katanya bercanda kepada Jailani dari Medan, sebab sudah saling mengenal. terre des hommes – Germany sudah sejak lama mendukung kegiatan-kegiatan bersama anak muda. Yang ditanya hanya tertawa saja. Barangkali ia tidak terbiasa memasak dan berdasarkan pengalamannya yang melihat bekal nelayan yang tumpah ruah jadi satu.

Pada tahapan kedua, peserta melakukan obeservasi lang-sung dan melakukan wawancara dengan penduduk yang terkena

Dok. RMI/Fahmi Rahman

dampak bencana longsor. Kelompok lain melakukannya dengan penduduk yang berlokasi berdekatan dengan pembangunan jalan tol dan Sentul City. Mereka belajar dampak pembangunan yang barangkali, di sini tidak mengindahkan kaidah-kaidah lingkun-gan serta sesuatu yang sering tidak dapat dihindarkan: pengucilan kaum miskin secara tidak sengaja – sesuatu yang terjadi saat Anda miskin, tidak berpendidikan tinggi, tidak berkemampuan men-gelola uang dan sudah kehilangan lahan untuk digarap.

Acara GreenCamp 2014 berat secara materi, namun ringan dalam penyampaian. Narasumber dari Puskris UI, PMI dan RMI menyampaikan catatannya masing-masing saat peserta melaku-kan presentasi temuan wawancara mereka yang dipresentasikan dalam bentuk coretan gambar dan data. Banyak peserta menyam-paikan pertanyaan-pertanyaan “berbobot” tanda bahwa keingin-tahuan mereka juga dilandasi rasa keprihatinan mendalam akan keadaan yang terjadi.

Dari latar belakang para peserta yang anak kota, anak ne-layan, anak petani, dari dalam hutan, semuanya menyerukan su-ara yang senada, keprihatinan terhadap pembangunan yang tidak ramah manusia dan lingkungan; serta keinginan berbuat, terutama saat kembali ke rumahnya masing-masing.

Sesuai slogan GreenCamp 2014: Tidak Rela Bila Negeriku Berantakan.

Dok. RMI/Widodo

Dok. RMI/Widodo

Dok. RMI/Widodo

24 25

Page 14: Buletin RMI edisi IV

Fahmi Rahman

StaffKampanyedanAdvokasi

Hari Tani, Petani Beraksi

Sekitar empat ribu orang petani dan bu-ruh tani dari berbagai daerah berkumpul di ibukota Jakarta. Dengan menggunakan bus, beberapa rombongan dari luar Jakarta, tiba dini hari dan beristirahat di mesjid Istiqlal Jakarta. Rombongan petani dan buruh tani ini berkumpul untuk melakukan aksi damai dan menyuarakan aspirasinya dalam rangka peringatan hari tani nasional, yang jatuh pada tanggal 24 September 2014.

Sekitar pukul 09.00 para petani dan bu-ruh tani mulai bergerak. Kementerian Ener-gi dan Sumberdaya Mineral menjadi tempat pertama mereka menyuarakan aspirasi dan keluh kesah. Dilanjutkan dengan mendatangi Kementerian Perta-hanan dan berakhir di depan Istana Negara.

Orasi di depan istana negara diisi secara bergantian dari ber-bagai lembaga dan kelompok tani. Salah satu yang berorasi ada-lah Iwan Nurdin, yang merupakan sekretaris jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Dalam orasinya, Iwan menyampai-kan beberapa tuntutan kepada pemerintahan SBY-Boediono, dan harapannya kepada pemerintahan berikutnya. Dia menegaskan, SBY-Boediono harus meminta maaf kepada rakyat Indonesia, khususnya petani dan buruh tani atas konflik-konflik agraria yang terjadi selama 10 tahun belakangan ini. Juga meminta pemerintah untuk menarik aparat TNI dan Polri yang sering terlibat menjadi

backing atau pelindung dari pihak yang berkonflik dengan petani, yang mayoritas adalah perusahaan swasta.

Pemerintahan Jokowi-JK juga dituntut untuk segera melak-sanakan agenda reformasi agraria. Selain menuntaskan kon-flik-konflik agraria, Kementerian Agraria juga diharapkan segera dibentuk untuk mengurai permasalahan tersebut. Di-dih, orator dari Aliansi Masyarakat Nanggung Transformatif juga mengungkapkan hal yang senada. Pemerintah dituntut untuk mengeluarkan kebijakan yang adil, yang berpihak ke-pada rakyat.

Pergerakan Petani Nanggung BogorDengan menggunakan sembilan bus, sekitar 600 petani

dan pemuda dari Kecamatan Nanggung Bogor bergabung dalam aksi memperingati hari Tani Nasional. Ini bukan kali pertama petani melakukan aksi damai, menyuarakan tuntu-tan mereka. Petani dari Bogor ini menuntut kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar lahan di kampungnya, yang

saat ini dikuasai PT Hevea Indonesia, tidak diberikan izin per-panjangan kelola dan lahan tersebut diberikan kepada masyarakat untuk dikelola. Pada tahun 2013, pihak perusahaan melakukan intimidasi kepada warga dengan merusak tanaman warga dan membayar preman untuk menakut-nakuti petani. Kasus tersebut akhirnya dilaporkan warga ke KOMNAS HAM pada 17 April 2013. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa terbaru dari intimi-dasi yang dilakukan PT. Hevea Indonesia kepada para petani di wilayah ini, sesudah berbagai peristiwa negatif lain yang dilaku-kan perusahaan untuk mempertahankan wilayah konsesinya, sep-erti yang dicatat oleh Rimbawan Muda Indonesia (RMI).

Dok. RMI/Fahmi Rahman

Dok. RMI/Fahmi Rahman

Riungan Kasepuhan Banten Kidul Kasapuluh

Ratnasari* dan Mahmud Cahaya***Manajer Knowledge Management

**StaffKantor

Jumat 19 September 2014 digelar Riungan Kasepuhan Banten Kidul Ka-10 yang dihadiri sekitar 300 orang dan para sesepuh (olot) dari 43 kasepuhan. Acara ini dihadiri juga oleh Ibu Bupati Kabupaten Lebak, staf ahli Gubernur Banten, Pimpinan DPR Kabupaten Lebak, Sekretaris Daerah, dan Kepala SKPD Kabupaten Lebak. Setelah acara pembukaan dengan sambutan dari Bapak Sukanta (Ketua Panitia), Abah Usep (Ketua Adat Kasepuhan Cisungsang), Abah Ugis (Ketua SABAKI), dan acara dibuka secara resmi oleh Ibu Iti Oktavia (Bupati Kabupaten Lebak).

Acara dilanjutkan dengan sarasehan yang menghadirkan beberapa narasumber yakni Drs.H.Suma Wijaya (Pemprop Banten), Drs.Faruk Haryono (Pemkab Lebak), Mumu Muhajir (Epistema), Rahma dan Idham Arsyad (HuMa). Bapak Suma Wijaya menyatakan bahwa UUD 45 mengakui hukum adat (Pasal 18B), maka masyarakat adat Kasepuhan harus tetap menjaga identitasnya khususnya bertani; seperti filosofi “boga nanaon ge ari teu boga parema mah teu bisa sare (punya apapun kalau tidak punya padi/beras menyebabkan tidak bisa tidur)”. Hal lainnya sejak tahun 2007 hingga saat ini Pemprop Banten sedang merencanakan pemekaran daerah otonom baru yakni Kabupaten Cilangkahan meliputi Kecamatan Bayah, Malimping, Banjarsari, Cibeber, Wanasalam, Panggarangan, Cijaku, Citorek, Cigemlong, dan Cihara. Bapak Haryono (Pemkab Lebak) menambahkan bahwa pemekaran diusulkan karena wilayah Kabupaten Lebak sangat luas sehingga diharapkan akan memudahkan dalam urusan pelayanan untuk masyarakat.

Rahma (HuMa) menjelaskan mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012. Mahkamah Konstitusi (MK) yakni lembaga peradilan tertinggi untuk mengadili permohonan dan pengujian UU, maka ketika ada UU yang pasal-pasalnya dianggap bertentangan dengan UUD 45 bisa diajukan kepada MK. Latar belakang lahirnya putusan MK ini karena pada UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan, hutan adat menjadi bagian dari hutan Negara sehingga akses masyarakat adat terbatas dan banyak kasus penangkapan masyarakat hanya gara-gara mengambil kayu untuk kayu bakar. Dengan adanya putusan MK ini (berlaku sejak 16 Mei 2013) maka hutan adat bukan hutan Negara; hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Kemudian Idham Arsyad menjelaskan soal UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Lahirnya UU ini dimaksudkan untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa dengan keberagamannya, memberikan kepastian dan status tentang hukum atas desa, melestarikan dan memajukan adat tradisi dan budaya masyarakat adat, mendorong prakarsa gerakan dan partisipasi masyarakat, meningkatkan pelayanan publik guna mewujudkan kesejahteraan umum, meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat, memajukan perekonomian masyarakat desa serta memperkuat masyarakat sebagai subjek pembangunan.

Mumu Muhajir (Epistema) menjelaskan bagaimana cara

untuk mendapatkan Perda dan pilihan-pilihan hukum yang tepat bagi masyarakat adat yang tidak bertentangan dengan aturan Negara tetapi masyarakatnya diakui oleh Negara. Prasyarat untuk mendapatkan Perda antara lain masyarakat adat (kasepuhan) solid, didukung oleh Pemda, Kemenhut-BPN-Kemendagri bekerja sesuai peraturan hukum yang berlaku dan mau bekerjasama. Perda (dilengkapi dengan peta wilayah adat) merupakan pilihan hukum yang paling aman. Lantas Perda seperti apa yang sesuai ? Ada beberapa model yaitu (1) untuk daerah yang kondisi masyarakat hukum adatnya seragam maka pengaturannya dengan Perda tentang Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat; (2) untuk daerah yang kondisi masyarakat hukum adatnya beragam maka model regulasinya dengan Perda Penetapan Keberadaan Masyarakat Adat; (3) untuk daerah yang akan menjadikan kesatuan masyarakat hukum adatnya sebagai desa adat maka model regulasinya dengan Perda Pembentukan Desa Adat. Pilihan lain Perda seperti Perda Pengaturan Tanah Ulayat/Hutan Adat dan Perda Penetapan Wilayah Adat/Hutan Adat. Menuju Perda, hal-hal yang perlu dilakukan yaitu adanya kesepahaman dalam masyarakat, persetujuan masyarakat mengenai pilihan dan konsekuensinya, adanya data sosial-sejarah-wilayah, adanya kelembagaan adat yang tangguh, koordinasi dan pelibatan instansi terkait (Dinas Kehutanan, TNGHS, BPLH, Kantor Pertanahan).

Pada Sabtu 20 September 2014, diadakan diskusi/riungan SABAKI (Kesatuan Adat Banten Kidul) dengan agenda untuk membahas program kerja, aturan organisasi, keorganisasian dan rekomendasi. Untuk memudahkan proses diskusi, maka dibentuk 4 kelompok; untuk membahas program kerja dipimpin oleh Rojak Nurhawan (RMI), untuk membahas aturan organisasi dipimpin oleh Bapak Jajang (Sabaki), untuk membahas keorganisasian dipimpin oleh Aji (RMI), dan untuk membahas rekomendasi dipimpin oleh Bapak Sukanta. Program kerja SABAKI periode 2014-2019 yang disepakati bersama peserta meliputi organisasi, advokasi, pengembangan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat; yang masing-masing ada usulan kegiatannya. Dalam diskusi ini juga berhasil merumuskan susunan pengurus SABAKI periode 2014-2019; Bapak Sukanta sebagai Ketua SABAKI. Untuk rekomendasi, disepakati ada 12 rekomendasi yang kemudian dituangkan dalam Deklarasi Cisungsang.

Riungan SABAKI ini ditutup dengan acara Seren Taun Cisungsang pada Minggu 21 September 2014. Acara seren taun ini dihadiri oleh Gubernur yang diwakili oleh Kepala Dinas Budpar Propinsi Banten, Bupati Lebak yang diwakili oleh Kepala BP2KB Kabupaten Lebak, Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Desa. Kemudian susunan pengurus SABAKI periode 2014-2019 dan Deklarasi Cisungsang dibacakan oleh Abah Usep. Berikut isi Deklarasi Cisungsang.

26 27

Page 15: Buletin RMI edisi IV

Event

JanuariKuliah Singkat RMI [Bogor]

Rapat Kerja [Bogor]

Pelatihan Menulis [Bogor]

Teacher Training : Games Based Learning [Bogor]

FebruariKuliah Singkat RMI [Bogor]

Training Gender : Menuju Tata Kelola Agraria dan Sumber Daya

Alam yang Berkeadilan Jender [Bogor]

The 3 ASEAN Art Exhibition for Children and Environment : “Asean

Rivers to the Power of Art; The Changing Life, Beauty and Dream”

[Bangkok, Thailand]

MaretKuliah Singkat RMI [Bogor]

tdhG National Partner Meeting [Jakarta]

Galeri Rute Pendidikan Lingkungan[REPLING]

28 29

Page 16: Buletin RMI edisi IV

Rimbawan Muda Indonesia (RMI)-The Indonesian Institute for Forest and Environment adalah sebuah lembaga nirlaba yang memfokuskan

diri pada isu sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Didirikan di Bogor pada 18 September 1992. RMI bertujuan mengembangkan konservasi

sumberdaya alam, melalui studi dan program aksi yang berkaitan dengan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk

kesejahteraan.

VisiKedaulatan rakyat, perempuan & laki-laki atas tanah dan kekayaan alam untuk mewu-

judkan sistem penghidupan berkelanjutan

Misi1. Memberdayakan kelompok petani, perempuan dan laki-laki dalam memperjuangkan

hak-hak atas tanah dan kekayaan alam untuk penghidupan berkelanjutan2. Mengawal proses-proses penyusunan kebijakan menuju kebijakan pengelolaan tanah

dan kekayaan alam yang berkeadilan dan menjamin penghidupan berkelanjutan bagi masyarakat miskin, perempuan dan laki-laki

3. Menggalang aksi kolektif untuk mengakui dan menjamin hak-hak rakyat, perempuan dan laki-laki atas tanah dan kekayaan alam

4. Mengembangkan sistem pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management Sys-tem) melalui proses-proses pembelajaran akseleratif yang mampu melintasi batas-batas antara pengetahuan dan aksi