buletin litbang bappeda kota palangka raya edisi 05-desember 2011

46
EDISI 05/TAHUN III/2011 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA DESEMBER 2011 Kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan Dampak Pemanfaatan Internet terhadap Perilaku Guru dan Perilaku Siswa di Kabupaten Barito Kuala Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan (Studi Kasus di Kabupaten Subang, Jawa Barat) PEMERINTAH KOTA PALANGKA RAYA

Upload: mellianae-merkusi

Post on 12-Jun-2015

2.271 views

Category:

Education


0 download

DESCRIPTION

Buletin Litbang Bappeda Kota Palangka Raya Edisi 05-Desember 2011

TRANSCRIPT

EDISI 05/TAHUN III/2011

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA

DESEMBER 2011

Kajian Kota Palangka Raya sebagai

Kota Jasa Pendidikan

Dampak Pemanfaatan Internet terhadap

Perilaku Guru dan Perilaku Siswa

di Kabupaten Barito Kuala

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah

di Kalimantan

Dampak Pelaksanaan Kebijakan

Penghapusan Retribusi Perikanan

(Studi Kasus di Kabupaten Subang, Jawa Barat)

PEMERINTAH KOTA

PALANGKA RAYA

Penanggung Jawab Ir. Muhladun

Pemimpin Umum Gerhard, SH

Pemimpin Redaksi Martina, SH, MSi

Redaktur Pelaksana Drs. Sernus

Staf Redaksi Kristhine Agustine, SE Roysart Alfons, ST, MT, MSc Immanuel Yuwana Yakti, ST Kibaretha Ane Hana, AMd Chicilia Anastasia A., AMd Edy Oktor Hanyi, ST

Fotografer Taronggal Silalahi, SP, MSi Meiliana Merkusi, SPd Nurmilanty, AMd

Dokumentasi Hendra Surya, ST, M.Eng Vallery Budianto, ST Martono, SP Irwan

Distribusi Indriyani Handayani, ST Nensianie, SP, MSi Oktaviasi, SP Guntur Simanjuntak

Alamat Redaksi Bappeda Kota Palangka Raya

Jl. Tjilik Riwut No. 98 Telp/Fax. 0536-3231542, 3231539

email: [email protected]

Daftar Isi

Kata Pengantar

Kajian Kota Palangka Raya

sebagai Kota Jasa Pendidikan

Dampak Pemanfaatan Internet terhadap

Perilaku Guru dan Perilaku Siswa

di Kabupaten Barito Kuala

Efektifitas Perencanaan Pembangunan

Daerah di Kalimantan

Dampak Pelaksanaan Penghapusan

Kebijakan Retribusi Perikanan

(Studi Kasus di Kabupaten Subang,

Jawa Barat)

1

2

3

12

18

33

1

P uji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberikan rahmat dan bimbingan-Nya sehingga Buletin Litbang

edisi kelima ini dapat diselesaikan pada waktunya.

Dalam edisi ini dirangkum satu kegiatan kajian yang dilaksanakan oleh

Pemerintah Kota Palangka Raya, yaitu Kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa

Pendidikan. Kajian ini merupakan dukungan terhadap visi dan misi Pemerintah Kota

Palangka Raya yang salah satunya adalah menjadikan Kota Palangka Raya sebagai kota

pendidikan. Di samping itu diangkat pula beberapa tulisan yang merupakan buah

pemikiran dari beberapa peneliti khususnya pada bidang perencanaan dan kajian

kebijakan. Diharapkan melalui kajian-kajian yang dilakukan terhadap kasus di daerah

lain dapat menjadi sumber pembelajaran bagi Pemerintah Kota Palangka Raya dalam

proses-proses perencanaan dan pengambilan keputusan.

Di samping kegiatan kajian seperti disebut di atas sebenarnya masih ada

beberapa kajian yang dilakukan oleh SKPD di jajaran Pemerintah Kota Palangka Raya

dalam Tahun Anggaran 2011. Namun, mengingat terbatasnya waktu pengumpulan

materi untuk Buletin Litbang edisi kelima ini, kajian-kajian tersebut rencananya akan

dimasukkan dalam Buletin Litbang edisi berikutnya.

Kami senantiasa berharap kiranya Buletin Litbang ini dapat memberikan

kontribusi positif bagi banyak pihak, secara khusus Aparatur Pemerintah Kota Palangka

Raya dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat demi kejayaan Bangsa

Indonesia, dan khususnya Kota Palangka Raya.

Palangka Raya, Desember 2011

KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA

ttd

Ir. MUHLADUN

Pembina Utama Muda NIP. 19570803 198710 1 001

2

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kota Palangka Raya perlu diarahkan menjadi Kota Jasa Pendidikan oleh karena Struktur ekonomi Kota Palangka Raya menunjukkan bahwa penyumbang terbesar terhadap pembentukan PDRB adalah sektor jasa-jasa. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sektor jasa-jasa termasuk sub sektor jasa pendidikan memiliki potensi besar dalam meningkatkan PDRB dan pertumbuhan ekonomi daerah Kota Palangka Raya.

Tujuan Kajian a. Menemukan jenis dan kualifikasi jasa

pendidikan yang sedang diproduksi (disuplai) oleh lembaga pendidikan formal dan non formal di kota Palangka Raya.

b. Menemukan jenis dan kualifikasi jasa pendidikan yang dibutuhkan (diminta) oleh pengguna jasa (sektor pemerintah dan swasta) di 13 Kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah.

c. Merumuskan arah, strategi dan program yang dapat diimplementasikan untuk mewujudkan kota Palangka Raya seba-gai kota jasa pendidikan.

Kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan

3

Manfaat Kajian Kajian ini diharapkan bermanfaat bagi

semua pihak dari instansi pemerintah, swasta, maupun masyarakat dalam wilayah Kota Palangka Raya guna mewujudkan Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan.

Hasil kajian yang diharapkan (Output dan Outcome) adalah : 1. Output Kajian

Output kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan yaitu untuk menghasilkan sebuah dokumen yang berisi beberapa hal sebagai berikut : a. Kerangka pemahaman semua pihak

tentang tanggung jawab dan upaya-upaya dalam mewujudkan Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pen-didikan.

b. Dokumen perencanaan pembangunan daerah yang memuat arah, strategi dan program yang dapat diimplemen-tasikan untuk mewujudkan Kota Palangka Raya sebagai kota jasa pen-didikan

2. Outcome Kajian Apabila kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan selesai dan dapat diimplementasikan dengan baik maka outcome yang diharapkan yaitu : a. Terwujudnya Visi Pembangunan

Jangka Panjang Kota Palangka Raya Tahun 2008 - 2028 yaitu “Terwujudnya Kota Palangka Raya sebagai Kota Pendi-dikan”.

b. Terlaksananya misi pembangunan Kota Palangka Raya di bidang pen-

Seminar Awal Kegiatan Kajian

Peserta Seminar Awal Kegiatan Kajian

4

Kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan

didikan yaitu “Terwujudnya Kota Palangka Raya Sebagai Kota Pendi-dikan“.

c. Tercapainya tujuan dan sasaran pem-bangunan bidang pendidikan Kota Palangka Raya yaitu “terwujudnya pendidikan yang berkualitas sehingga diharapkan dapat meningkatkan kuali-tas SDM di semua jenjang pendidikan baik formal maupun non formal”.

KONSEP DAN PENGERTIAN KOTA PALANGKA RAYA SEBAGAI KOTA JASA PENDIDIKAN

Kota Jasa Pendidikan terdiri atas 3 kata, yaitu “KOTA”, “JASA”, “PENDIDIKAN”. Kota adalah menunjukkan tempat yaitu kota Palangka Raya. Jasa merupakan aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual (Fandy Tjiptono, 1996). Dalam hal ini jasa berupa suatu kegiatan yang bermanfaat bagi pihak lain dalam me-menuhi keinginan dan kebutuhannya. Maka dapat dirumuskan pemahaman terhadap topik yang hendak dikaji Menjadikan Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan, yaitu menjadikan Kota Palangka Raya sebagai Wadah Penyedia dan

pemanfaatan prasarana/sarana fisik secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Contoh salah satu kota di Indonesia yang dijuluki kota jasa pendidikan yaitu : 1. Kota Yogyakarta, menjadi Kota

Pendidikan dikarenakan : a. Adanya Tokoh besar pada masa

kemerdekaan dan mempengaruhi perjalanan bangsa Indonesia seperti Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Sultan Hamengku Buwana IX.

b. Memiliki Universitas Negeri Gadjah Mada (didirikan 19 Desember 1949) dan Perguruan Tinggi Swasta Taman Siswa.

c. Para pemimpin, para pejuang yang rata-rata masih muda, pelajar yang putus sekolah sejak dari jaman Jepang, banyak yang melanjutkan pendidikan di Gadjah Mada.

d. Pada jaman tahun 50-60-an, tidak ada daerah lain di Indonesia yang dapat menyainginya.

Kunjungan Tim Kajian ke Kecamatan Jekan Raya

5

Kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan

e. Lulusan Gadjah Mada cukup banyak yang terlihat menonjol, mereka memegang jabatan di pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah-daerah.

f. Terdapat lembaga pendidikan dari TK s.d. PT yang relatif tinggi jumlahnya dan berkualitas.

2. Kota Malang, menjadi Kota Pendidikan

dikarenakan : a. Situasi kota yang tenang,

penduduknya yang ramah, harga makanan yang relatif terjangkau dan fasilitas pendidikan yang memadai sehingga sangat cocok untuk belajar/menempuh pendidikan (Anonim, 2011; Kota Malang Menuju Pendidikan Bertaraf Internasional, Diknas Kota Malang).

b. Malang juga dikenal sebagai kota pendidikan, karena memiliki sejumlah perguruan tinggi ternama baik negeri maupun swasta. Sebagai kota pendidikan banyak mahasiswa berasal dari luar Malang yang kemudian menetap di Malang terutama dari Indonesia Timur (Anonim, 2006; Profil Pendidikan Kota Malang, Maju Bersama Menuju Malang Kota Pendidikan yang Bermutu, Diknas Kota Malang).

c. Pemerintah Daerah Kota Malang dalam mewujudkan Kota Malang sebagai Kota Pendidikan, diawali dari

perumusan Visi Kepala Daerah (Walikota) berasal dari masyarakat Kota Malang, sehingga Visi Kepala Daerah adalah milik semua masyarakat dan Pemerintah Daerah Kota Malang.

d. Visi pembangunan jangka menengah Kota Malang 2009-2013 : ”Terwujudnya Kota Malang sebagai Kota Pendidikan yang Berkualitas, Kota Sehat dan Ramah Lingkungan, Kota Parawisata yang Berbudaya, Menuju Masyarakat Maju dan Mandiri”. Karena visi tersebut, berasal dari masyarakat, maka Pemerintah Daerah dalam membangun komitmen bersama Pemerintah dan Masyarakat untuk mewujudkan Kota Malang sebagai Kota Pendidikan relatif lebih mudah.

Kriteria Kota Pendidikan : 1. Terdapat satuan pendidikan dari ting-

kat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi negeri dan swasta yang bermutu.

2. Banyak pelajar/mahasiswa yang berasal dari luar daerah untuk melan-jutkan pendidikan karena mengejar mutu yang lebih baik.

3. Banyak tokoh-tokoh atau pejabat yang dilahirkan di kota tersebut.

4. Lingkungan kota yang aman dan kondu-sif untuk melanjutkan pendidikan (bebas dari narkoba, miras, tawuran dan pergaulan bebas).

Kunjungan Tim Kajian (Drs. Muses Embang, M.Si,

dkk) ke Dinas Pendidikan Kota Malang.

Kunjungan Tim Kajian ke Bappeda Kota Malang

6

Kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan

5. Adanya dukungan dan kesadaran masyarakat untuk mewujudkan pen-didikan yang bermutu.

6. Angka Partisipasi Sekolah (APM) relatif tinggi.

7. Tidak ditemukan anak-anak usia seko-lah yang putus sekolah oleh alasan eko-nomi.

8. Semua lapisan masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai budi pekerti luhur.

Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota

Pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan Dasar, yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010. Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan Dasar selanjutnya disebut SPM Pendidikan adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal yang diselenggarakan daerah kabupaten/kota.

METODE PENELITIAN Lokasi Kajian

Kajian ini dilakukan di Kota Palangka Raya. Sebagai lokasi kajian ditetapkan lima kecamatan yang ada di kota Palangka Raya yaitu : a) Kecamatan Pahandut, b) Kecamat-an Bukit Batu, c) Kecamatan Jekan Raya, d)

Kecamatan Sabangau, dan e) Kecamatan Rakumpit. Objek Kajian

Dalam kajian ini, yang menjadi objek formalnya yaitu mengenai Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan. Jasa pendidikan yang diproduksi baik berupa pendidikan formal dan non formal bagi masyarakat yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah. Unit Analisis

Sebagai unit analisis dalam kajian ini yaitu pemangku kepentingan, terdiri dari : masyarakat pengguna jasa pendidikan (mahasiswa, pelajar, dan orang tua). Pengelola/penyelenggara pendidikan negeri/swasta baik pendidikan formal mau-pun non formal dan informal (Kepala Seko-lah, Pimpinan Perguruan Tinggi, Ketua Yayasan, Tenaga Pengajar), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati pen-didikan, Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan Nasional). Metode Kajian

Metode kajian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskrip-tif dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. Memusatkan diri pada pemecahan ma-

salah yang ada pada masa sekarang dan masalah yang aktual.

Lingkungan SMA Negeri 5 Malang

7

Kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan

b. Data yang dikumpulkan mula-mula di-susun, dijelaskan dan kemudian Diana-lisis (karena itu metode ini disebut me-tode analisis) (Winarno Surakhmad, 1992).

Dalam metode penelitian juga membahas tentang alat apa dan prosedur bagaimana suatu penelitian dilakukan. Dengan demikian metode yang dipilih oleh si peneliti sangat erat hubungannya dengan prosedur, alat serta desain penelitian yang digunakan. Prosedur Kajian

Prosedur kajian adalah menyangkut urut-urutan pekerjaan yang harus dilakukan dalam suatu penelitian. Adapun prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu : 1. Ta ha p Pe rt a ma, me la kuka n

pengumpulan dan pengolahan data primer dan data sekunder.

2. Tahap Kedua, melakukan Studi Banding ke Kota Malang.

3. Tahap Ketiga, melakukan Analisis Data, yaitu : (i) Analisis Keseimbangan Permintaan

dan Penawaran Jasa Pendidikan. (ii) Analisis faktor internal dan

eksternal. Desain Kajian

Desain penelitian terdiri atas desain pengumpulan data dan desain analisis data. Desain pengumpulan data terdiri atas : - Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh peneliti dengan teknis pengumpulan data tertentu. Adapun data primer yang dikumpulkan dalam kajian ini yaitu : a) Gambaran Lingkungan Internal dan

Eksternal Pendidikan di Kota Palangka Raya

b) Respon pengguna jasa pendidikan terhadap wacana kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan.

Seminar Akhir Hasil Kajian

Peserta dalam Seminar Akhir.

8

Kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan

- Data Sekunder Data sekunder yang diperlukan dalam kajian ini yaitu data yang diperlukan u n t u k k e p e n t i n g a n a n a l i s i s keseimbangan permintaan dan penawaran jasa pendidikan baik formal dan non formal. Di samping itu dikumpulkan pula data sekunder untuk analisis SWOT, Sumber data adalah dari Instansi Dinas Pendidikan Nasional, Pimpinan Perguruan Tinggi, Ketua Yayasan/Kepala Sekolah baik negeri maupun swasta termasuk pendidikan non formal.

- Studi Banding Studi banding dilaksanakan ke Kota Malang, karena kota ini sudah sejak lama dikenal sebagai kota pendidikan. Tujuan studi banding ini adalah untuk memperoleh gambaran kebijaksanaan dan program pembangunan Pemda dalam mendukung kota Malang sebagai kota pendidikan. Hasil studi ini akan dimanfaatkan sebagai pembanding atau referensi mewujudkan kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan.

Sekolah Menengah Kejuruan Kecil Negeri 1 Palangka Raya di Kalampangan

Desain Analisis Data Analisis dalam penelitian ini dilakukan

secara kualitatif dan kuantitatif dengan analisis deskriptif, analisis tabulasi, dan model statistik.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis dan Pembahasan Indikator Kota Jasa Pendidikan

Mewujudkan obsesi Kota Palangka Raya menjadi Kota Pendidikan bukan hal yang mudah, karena beberapa indikator atau kriteria yang harus terpenuhi.

Indikator sebuah kota dikatan sebagai kota pendidikan antara lain : (1) Jumlah Pelajar dan Mahasiswa yang datang dari luar melanjutkan studi di kota tersebut; (2) jumlah intelektual yang dilahirkan di kota tersebut; (3) jumlah Perguruan Tinggi Swasta; (4) Angka Partisipasi Kasar (APK); (5) Angka Partisipasi Murni (APM) Perguruan Tinggi; (6) Prestasi sekolah/siswa/guru yang pernah diraih di tingkat nasional atau internasional; dan (7) Jumlah sekolah bertarap internasional.

Dengan menggunakan tujuh kriteria tersebut, maka dapat diketahui apakah kota

9

Kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan

Palangka Raya sudah dapat dikategorikan sebagai kota jasa pendidikan paling tidak bagi penduduk yang ada di 13 kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah. Hasil kajian tersebut, mengindikasikan bahwa kriteria kota sebagai kota pendidikan adalah relatif, tergantung kepada obsesi masyarakat. Kalau hasil analisis terhadap indikator tersebut ternyata masih jauh, maka apa program dan kegiatan yang harus dijalankan untuk mewujudkan Palangka Raya sebagai sebuah kota Jasa Pendidikan. Analisis Permintaan dan Penawaran Jasa Pendidikan

1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Jasa Pendidikan di Kota Palangka Raya Permintaan jasa pendidikan yang dinyatakan dalam hubungan matematis d e n g a n f a k t o r - f a k t o r y a n g mempengaruhinya. Dapat diketahui hubungan antara variabel tidak bebas (dependent variable) dan variabel-variabel bebas (independent variable).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan jasa pendidikan di Kota Palangka Raya, meliputi : 1) Tingkat pendapatan perkapita

masyarakat Kota Palangka Raya, semakin meningkat.

2) Perubahan harga komplementer ; Barang komplementer untuk jasa

pendidikan formal adalah lembaga-lembaga pendidikan non formal dan informal. Tersedianya lembaga pendidikan non formal seperti kursus-kursus di kota Palangka Raya relatif mendukung permintaan akan jasa layanan pendidikan formal di Kota Palangka Raya. Biaya kursus juga relatif masih murah dibandingkan dengan harga (biaya kursus) di luar Daerah Kalimantan Tengah.

3) Perubahan selera konsumen ; Sebagai tuntuntan kebutuhan pembangunan, perkebangan IPTEK dan persaingan yang semakin ketat, akan berakibat terhadap kompetensi sumberdaya manusia yang diperlukan.

4) Distribusi pendapatan masyarakat Kota Palangka Raya relatif masih belum merata.

Tim Peneliti dari Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya. Kiri: Drs. Muses Embang, M.Si. Kanan: Drs. Karmen Marpaung, MP

Kunjungan Tim ke Kelurahan Mungku Baru

Kecamatan Rakumpit

SD Negeri 1 Mungku Baru

Kecamatan Rakumpit

10

Kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penawaran Jasa Pendidikan di Kota Palangka Raya

Di Kota Palangka Raya, penawaran jasa pendidikan dari sisi kuantitas relatif berkembang, namun dari sisi kualitas dan kesesuaian dengan kebutuhan pasar kerja masih relatif kurang. Gap antara kompetensi lulusan satuan penddidikan dengan kebutuhan lapangan kerja, masih di temukan.

Analisis Isu-Isu Strategis Bidang Pendidikan

Isu-isu strategis adalah kondisi atau hal yang diperhatikan atau dikedepankan dalam perencanaan pembangunan selama lima tahun periode pemerintahan Walikota sekarang mengingat dampaknya yang signi-fikan bagi masyarakat Kota Palangka Raya di masa depan. Isu-isu strategis tersebut apabila tidak diantisipasi akan menimbul-kan kerugian yang lebih besar, demikian pula sebaliknya jika tidak dimanfaatkan akan dapat menghilangkan peluang untuk mewujudkan sumber daya manusia berkualitas dalam jangka panjang.

STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

Strategi dan arah kebijakan pembangunan pendidikan di Kota Palangka Raya dalam rangka mewujudkan Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan yaitu: 1) Meningkatkan Kualitas dan Aksesibilitas

PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah. 2) Meningkatkan Kualitas Pendidikan Non

Formal, Budaya Pembelajaran, Keper-pustakaan dan Kearsipan.

3) Meningkatkan Kesejahteraan Pendidik Secara Adil Sesuai Kompetensinya.

4) Meningkatkan Kualitas Manajemen P e l a y a n a n , P e n e l i t i a n d a n Pengembangan Pendidikan.

5) Meningkatkan Kualitas Pengelolaan Keragaman Budaya Untuk Peningkatan Kualitas Hidup Bangsa Yang Memperkuat Persatuan dan Kesatuan Bangsa.

PENUTUP

1. Kota Palangka Raya saat ini belum layak dikatakan sebagai kota jasa pendidikan, hal ini ditunjukkan oleh beberapa indikator sebagai berkut : a) Pelajar dan mahasiswa yang datang

dari luar daerah melanjutkan pendidikan di kota Palangka Raya belum ada yang bertujuan untuk mengejar mutu pendidikan yang lebih baik.

b) Perguruan tinggi di Kota Palangka Raya relatif banyak, namun mutunya masih relatif rendah, karena belum ada yang statusnya diakui (masih status terdaftar dan ijin penyelenggaraan).

c) Angka partisipasi murni (APM) masih kurang dari 100%, dan pada jenjang pendididikan dasar/menengah yang semakin tinggi diikuti oleh angka APM yang semakin rendah.

d) Penduduk Kota Palangla Raya yang tidak tamat SD masih ditemukan sebesar 8,08 % dan buta huruf 0,09%.

e) Satuan pendidikan (sekolah) bertarap internasional belum ada.

f) Penyediaan jasa layanan pendidikan SMP/sederajat dan SMA/sederajat bagi masyarakat masih belum merata, terutama bagi masyarakat yang berada di wilayah pedesaan pedalaman kota (kecamatan Rakumpit dan Sabangau).

2. Kompetensi lulusan (tenaga kerja) yang dihasilkan oleh satuan pendidikan di Kota Palangka Raya, masih belum mampu menyediakan kebutuhan permintaan tenaga kerja oleh pemerintah daerah, perusahaan swasta, BUMN dan wirausahawan.

3. Dalam upaya mewujudkan Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan, memerlukan komitmen bersama pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat untuk mendukung program pemerintah.

11

Kajian Kota Palangka Raya sebagai Kota Jasa Pendidikan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Barito Kuala (Batola)

memiliki topografi khas. Lebih dari 95% daerahnya datar, rawa-rawa dan dikelilingi hamparan aliran sungai; berhadapan lang-sung dengan laut Jawa. Kondisi semacam ini menjadi salah satu kendala kemajuan pem-bangunan Kabupaten Batola. Hambatan dan kesulitan karena terbatasnya daya dukung faktor transportasi dan komunikasi menim-bulkan disparitas perkembangan dan kema-juan sehingga banyak daerah menjadi terisolir dan terpencil. ICT Center Batola Gagasan bijak Pemda untuk mengatasi

kendala transportasi dan komunikasi

serta sebagai media informasi dan pengembangan pendidikan melalui jaringan internet.

Dibangun di SMKN 1 Marabahan dan telah beroperasi sejak tanggal 14 Juli 2006

Karakteristik ICT Batola

Pembangunan infrastruktur awal ICT Batola menyerap dana Rp. 150.000.000, bersumber dari dana sharing Pemerintah Barito Kuala yang dianggarkan melalui Dinas Pendidikan.

ICT Center Batola menerapkan teknologi Voice over Internet Protokol (VoIP) dan terhubung melayani 15 sekolah sebagai client dengan menggunakan OS Linux Asterisk dan perangkat IP Phone subsidi dari Depdiknas Jakarta.

Oleh : Suratno, dkk. Tim Jarlitbang Provinsi Kalimantan Selatan

12

Dampak Pemanfaatan Internet terhadap Perilaku Guru dan Perilaku Siswa di Kabupaten Barito Kuala

Klien Akses internetnya menggunakan jasa

langganan dengan IndosatM2 dengan Bandwidth up to 256 Kbp. Klien Tahap Awal : 1. SMAN 1 Marabahan 2. MAN 1 Marabahan 3. SMPN 1 Marabahan 4. SMPN 2 Marabahan 5. SMPN 3 Marabahan 6. MTsN 1 Marabahan 7. Kantor Bappeda Barito Kuala 8. Kantor Kependudukan Barito Kuala 9. PEMDA Barito Kuala 10. SKB Barito Kuala

Klien Tahap berikutnya: 1. SMAN 1 Rantau Badauh 2. MAN 4 Marabahan 3. SMPN 1 Rantau Badauh 4. MTsN 1 Rantau Badauh 5. SMPN 1 Barambai

Tujuan ICT Pemerataan kesempatan memperoleh

pendidikan dan pemerataan kualitas Memfasilitasi peningkatkan kecerdasan

dan pengetahuan anak didik melalui jaringan pendidikan nasional (JARDIKNAS)

Rasional ICT Center Batola ini menjadikan

peranan guru semakin signifikan menentukan perkembangan pendidikan.

Membuka peluang seluas-luasnya bagi pengembangan profesionalisme para guru di semua jenjang dan satuan pendidikan.

Guru-guru dapat memanfaatkan ICT Center sebagai wadah menyalurkan kreasi dan inovasi di bidang pembelajaran.

Perilaku Guru setidaknya akan terbagi menjadi dua kubu, yakni kelompok resisten kemajuan TI (Gatek) dan kelompok responsif kemajuan TI atau melek TI (Metek).

Bagi kelompok Metek, kemudahan-kemudahan ICT lambat atau cepat akan memberi dampak perubahan perilaku

guru dalam belajar dan mengajar. Kelompok gatek secara fisik tidak akan

mengganggu kemajuan penerapan TI, tetapi secara sistem akan menghambat kemajuan program sekolah yang daya dukung kemajuannya berbasis TI.

Teknologi informasi secara logis akan mempengaruhi bentuk intervensi guru dalam mengajar

Intervensi guru dalam membelajarkan siswa akan bergeser dari pola pembelajaran tradisional dan konvensional menjadi pola pendekatan pembelajaran yang kreatif dan inovatif berbasiskan teknologi informasi

Dampak lanjut dari perubahan perilaku guru dalam mengajar akan memberi kontribusi terhadap perubahan perilaku dan kebiasaan belajar siswa-siswa

Kultur belajar-mengajar dan iklim sekolah dapat bergeser dari tidak produktif menjadi produktif, kualitas pembelajaran lebih meningkat, kegairahan belajar akan lebih terbina, suasana menjadi demokratis, transparan dan terbina rasa tanggungjawab di antara para guru dan Kepala Sekolah.

Jika siswa-siswa telah dapat dikondisikan dengan pola-pola pembelajaran yang inovatif maka proses belajar akan menjadi lebih efektif dan efisien sehingga akan didapatkan output yang lebih berkualitas, dan dalam jangka panjang diperoleh outcome dengan jaminan mutu memenuhi standar kompetensi lulusan yang memadai.

13

Dampak Pemanfaatan Internet terhadap Perilaku Guru dan Perilaku Siswa di Kabupaten Barito Kuala

B. Rumusan Masalah Bagaimanakah dampak pemanfaatan

jaringan internet terhadap perilaku guru dalam mengajar?

Bagaimanakah dampak pemanfaatan jaringan internet terhadap perubahan perilaku kebiasaan belajar siswa?

C. Tujuan Penelitian Ingin mengetahui dampak pemanfaatan

jaringan internet terhadap perilaku guru dalam mengajar.

Ingin mengetahui dampak pemanfaatan jaringan internet terhadap perubahan perilaku kebiasaan belajar siswa.

D. Manfaat Penelitian Informasi ini dapat digunakan untuk

penentuan kebijakan dalam rangka pem-binaan profesionalisme guru .

Bagi sekolah informasi dari hasil peneli-tian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan menyusun rencana dan kebijakan pembinaan siswa-siswa dalam belajar.

Informasi hasil penelitian juga berfungsi untuk merumuskan bentuk kegiatan re-medial dan pembimbingan kesulitan be-lajar siswa.

Informasi hasil penelitian dapat diguna-kan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan sekolah, dinas pendidikan dan pemerintah daerah dalam rangka penun-tasan wajar dikdas dan peningkatan mutu pendidikan.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. ICT dan Dampaknya Terhadap

Pendidikan Pendidikan berkelanjutan harus

bersandar pada sendi-sendi pendidikan yang dianjurkan Dellor (UNESCO-APNIEVE, 2000: 20) yakni: (1) belajar mengetahui (learning to know, (2) belajar berbuat (learning to do), (3) belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan (4) belajar hidup bersama (learning to live together). Kehadiran internet dalam kehidupan masyarakat, dapat berdampak negatif atau

positif. Dampak positif terhadap perkembangan dunia pendidikan anatara lain adalah :

mempercepat dan mempermudah alih ilmu pengetahuan dan teknologi.

proses pembelajaran lebih menarik mendorong siswa lebih aktif mencari

ilmu pengetahuan dan informasi. mempermudah penjelasan tentang

konsep. pembelajaran lebih kontekstual dan up

to date (aktual). mempermudah dan mempercepat

administrasi pendidikan. mempercepat dan mempermudah

komunikasi edukatif antara guru dengan siswa.

sebagai perpustakaan elektronik. internet diharapkan dapat membantu

m e m p e r c e p a t p e r k e m b a n g a n pendidikan.

B. Perilaku dan Profesionalisme Guru

Undang-Undang Sisdiknas (Undang-Undang no.20 tahun 2003), pasal 39 ayat 2 : guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Guru adalah mereka yang secara sadar mampu mengarahkan pengalaman dan tingkah laku dari seorang individu hingga dapat terjadi pendidikan (H. Hamzah B.Uno, 2007:15).

14

Dampak Pemanfaatan Internet terhadap Perilaku Guru dan Perilaku Siswa di Kabupaten Barito Kuala

Guru profesional bila mampu mengerjakan tugasnya dengan selalu berpegang teguh pada etika kerja, independent (bebas dari tekanan pihak luar), cepat (produktif), tepat (efektif), efisien dan inovatif serta didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan prima yang didasarkan pada unsur-unsur ilmu atau teori yang sistematis, kewenangan profesional, pengakuan masyarakat dan kode etik yang regulatif.

Guru setiap saat harus dapat meningkatkan profesionalismenya melalui berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengelola pembelajaran maupun kemampuan lain dalam upaya menjadikan peserta didik memiliki keterampilan belajar, mencakup keterampilan dalam m e mp e r o le h p e n g e t a h ua n d a n keterampilan diri. Hadirnya ICT memberikan peluang dan kesempatan luas bagi pengembangan diri profesionalisme guru.

Memahami, menyusun dan melaksanakan kurikulum, Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) memberikan indikasi adanya tingkat kemampuan profesionalisme guru.

Kinerja Guru Profesional

Menurut Sanjaya (2006): 1. Kemampuan menguasai landasan

kependidikan, misalnya guru sangat memahami akan tujuan pendidikan dan berusaha untuk mencapainya, baik tujua n pen di di kan nasi ona l , institusional, kurikuler maupun tujuan pembelajaran.

2. Kemampuan memahami ilmu psikologi pendidikan, misalnya guru memahami tingkat perkembangan anak dan teori-teori belajar,

3. Kemampuan menguasai materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya,

4. Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metode dan strategi pembelajaran,

5. Kemamp ua n me ranca ng dan memanfaatkan berbagai media dan

sumber belajar, 6. Kemampuan dalam melaksanakan

evaluasi pembelajaran,dan menyusun program pembelajaran,

7. Kemampuan untuk mengetahui unsur-unsur penunjang utama, seperti administrasi sekolah, bimbingan dan konseling, penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.

C. Kebiasaan Belajar Siswa Kebiasaan belajar tidak sama dengan

ketrampilan belajar. Kebiasaan belajar adalah perilaku belajar seseorang dari waktu kewaktu dengan cara yang sama, sedang ketrampilan belajar adalah suatu sistem, metode, teknik yang telah dikuasai untuk melakukan studi.

Pembentukan kebiasaan belajar bisa dipengaruhi oleh imitasi dan sugesti. Kebiasaan belajar yang baik dapat terbentuk karena lingkungan. Perilaku belajar suka memanfaatkan jaringan internet, merupakan kebiasaan belajar yang dibentuk oleh faktor lingkungan dan faktor sugesti maupun emosi kelompok. Jika sekolah memfasilitasi adanya jaringan internet untuk siswa-siswanya, maka sangat dimungkinkan terjadi perubahan kebiasaan belajar para siswanya.

Volume dan frekuensi pemanfaatan jaringan internet untuk kepentingan belajar akan sejalan dengan peningkatan prestasi belajar siswa, karena siswa-siswa akan semakin terbiasa untuk terlibat pemecahan masalah yang ditawarkan oleh materi

15

Dampak Pemanfaatan Internet terhadap Perilaku Guru dan Perilaku Siswa di Kabupaten Barito Kuala

pelajaran dari dunia maya. Manfaat Kebiasaan belajar yang baik menghemat waktu dalam mengerjakan sesuatu atau memakai pikiran, meningkatkan efisiensi belajar, membuat seseorang lebih cermat, hasil belajar menjadi lebih maksimal, dan menjadikan seseorang menjadi lebih konsisten dalam kegiatan belajar sehari-hari.

D. Hubungan Pemanfaatan Internet terhadap Perilaku Guru Mengajar dan Perilaku Siswa Belajar

Prinsip belajar konstruktivisme, bahwa kompetensi seseorang akan terus berkembang dan berubah struktur kognitifnya, jika lingkungan dan stimulus menyediakan informasi yang banyak dan beragam. Pembentukan struktur kognitif akan lebih menuju kesempurnaan jika

PROFIL SEKOLAH SAMPEL

0

100200

300

400500

600

700800

900

1. S

MA

N1 R

B

2. S

MPN

3 M

B

3. S

MK

N 1

MB

4. S

MA

N1 M

B

5. M

AN

4 M

B

6 .M

AN

1 M

B

7. M

TS N

.HU

DA

8. S

MPN

1M

D

9. S

MPN

1 M

B

10.M

TSN

.MB

11.SM

PN

2 A

LK

12.SM

PN

1 R

B

NAMA SEKOLAH

SK

OR

RA

TA

-RA

TA

Kondisi ICT Sekolah

Perilaku Guru

Mengajar

Perilaku Sisw a

Belajar

lawan komunikasi sebagai sumber informasi lebih banyak atau tidak tunggal. Hambatan belajar pemecahan masalah dapat diatasi dengan belajar kelompok.

Pemanfaatan jaringan internet, menyediakan dan membuka peluang untuk dapat belajar secara kelompok. Jaringan internet di sekolah memungkinkan adanya perubahan perilaku guru dalam mengajar, maupun perilaku siswa dalam belajar baik di sekolah maupun di rumah.

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis penelitian:

Penelitian kebijakan dengan meng-gunakan pendekatan deskriptif dan analitik.

Sampel dan Responden Subyek penelitian adalah guru dan

siswa pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Kelompok Sekolah yang termasuk dalam jenis satuan pendidikan dasar adalah SMP/MTs. Negeri dan Swasta yang telah melakukan akses jaringan internet dari ICT Center Batola; demikian juga untuk jenis satuan pendidikan menengah adalah SMU/SMK Negeri dan Swasta yang telah melakukan akses jaringan internet dari ICT Center Batola. Responden penelitian adalah guru-guru dan siswa. Guru yang dimaksud adalah semua guru yang ada di Sekolah yang sudah melakukan akses jaringan internet, sedangkan siswa adalah himpunan siswa dalam kelas yang diajar oleh guru yang

Profil Kondisi Sekolah, Perilaku Guru dan Perilaku Siswa Belajar

16

Dampak Pemanfaatan Internet terhadap Perilaku Guru dan Perilaku Siswa di Kabupaten Barito Kuala

bersangkutan untuk matapelajaran tertentu yang termasuk dalam matapelajaran yang diujikan secara nasional C. Data yang Dikumpulkan dan Teknik

Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data perilaku

guru digunakan angket dan daftar isian berupa penilaian diri (self assessment), serta lembar observasi kegiatan belajar-mengajar, dan lembar penilaian sejawat oleh guru sejawat serta lembar respon tentang perilaku guru mengajar yang diberikan oleh siswa

Teknik pengumpulan data tentang perilaku kebiasaan belajar siswa menggunakan angket kebiasaan belajar. Teknik pengumpulan data tentang tanggapan stakeholder terhadap dampak penggunaan jaringan internet pada pendidikan digunakan teknik wawancara terstruktur dan angket yang diberikan kepada orangtua siswa, Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan Komite Sekolah.

Teknik Analisis Teknik analisis kuantitatif deskriptif,

analisis kuantitatif komparatif, dan analisis korelasi dan regresi.

Telaah lanjut akan dilakukan dengan pendekatan I-E-O (model evaluasi input, environment, outcome) sehingga dapat ditemukan besaran dampak dari penggunaan jaringan internet terhadap perilaku guru dan perilaku belajar siswa.

Temuan Perilaku belajar siswa ditentu

-kan oleh perilaku profesional-isme guru dalam mengajar.

Perilaku belajar siswa ditentukan secara signifikan oleh budaya sekolah.

Simpulan Tidak ditemukan bukti-bukti

p e n g a r u h s i g n i f i k a n pemanfaatan jaringan ICT sekolah terhadap perilaku profesionalisme guru dalam mengajar.

Ada pengaruh nyata perilaku profesionalisme guru dan budaya sekolah terhadap perilaku belajar siswa.

Saran

Bagi Pemerintah Daerah diharapkan terus melakukan intervensi dan pendampingan bantuan sarana dan prasarana jaringan ICT untuk mendukung t e r c i p t a n y a p e r i l a k u k e g i a t a n profesionalisme guru di sekolah, karena perilaku kegiatan profesionalisme guru berdampak pada perilaku belajar siswa secara signifikan.

Bagi Kepala Sekolah dan Guru-Guru, sepatutnya untuk terus-menerus mendayagunakan secara optimal, efektif dan efisien sarana dan prasarana jaringan ICT yang sudah ada dalam rangka menciptakan nuansa budaya belajar di sekolah yang memungkinkan tersedianya sumber informasi dan pengetahuan yang lebih beragam dan memenuhi tuntutan pengembangan kecakapan dan perilaku belajar siswa yang mengarah pada pembentukan standar kompetensi lulusan sebagaimana yang diinginkan.

Bagi siswa, diharapkan ada pembentukan perilaku belajar yang berproses melalui wahana budaya sekolah, dan membina keaktifan diri untuk memanfaatkan peluang belajar seoptimal mungkin dengan mendayagunakan fasilitas yang tersedia dengan cara yang tepat dan terarah sesuai dengan tuntutan kompetensi yang diinginkan sekolah.

17

Dampak Pemanfaatan Internet terhadap Perilaku Guru dan Perilaku Siswa di Kabupaten Barito Kuala

PENDAHULUAN

P e r e n c a n a a n p e m b a n g u n a n merupakan tahap awal dalam proses pembangunan sebelum diimplementasikan. Pentingnya perencanaan karena untuk

menyesuaikan tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan dengan sumber daya yang ada serta berbagai alternatif lain yang mungkin diperlukan. Kemudian apa dan bagaimana sebenarnya perencanaan pembangunan itu ? Berbagai pengertian telah diberikan terhadap istilah perencanaan pembangunan. Penyusunan perencanaan pembangunan di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Perencanaan pembangunan dalam UU tersebut diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya tersedia. Definisi tersebut kemudian diikuti oleh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Kemudian berbagai definisi juga telah diberikan oleh para ilmuwan mengenai pengertian perencanaan pembangunan. Moeljarto Tjokrowinoto (1993 : 92) memberikan makna perencanaan pembangunan sebagai konsep yang menyangkut dua aspek yaitu pertama sebagai suatu proses perumusan rencana pembangunan, dan kedua sebagai substansi rencana pembangunan itu sendiri. Proses perumusan rencana pembangunan berkaitan dengan aktivitas bagaimana

Oleh : Tim Kajian PKP2A III LAN Samarinda

Sumber: Jurnal Borneo Administrator Volume 6 Nomor 1 Tahun 2010

Walikota Palangka Raya, H.M. Riban Satia, saat

membuka Musrenbang Tingkat Kota Palangka Raya

Tahun 2011

18

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

sebuah perencanaan pembangunan disusun, kapan dan siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan perencanaan tersebut. Sedangkan substansi rencana pembangunan berbicara mengenai apa isi dari rencana pembangunan yang telah disusun, permasalahan pokok dan isu-isu strategis yang mendesak untuk diselesaikan dalam pembangunan.

Riyadi & Deddy Supriady B. (2005 : 7) mengartikan perencanaan pembangunan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun nonfisik (mental spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik. Kemudian untuk konteks daerah dinamakan perencanaan pembangunan daerah. Maka perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintahdan lingkungannya dalam wilayah tertentu, d e n g a n m e m a n f a a t k a n a t a u

mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada azas prioritas.

Dari beberapa pengertian tentang perencanaan pembangunan tersebut maka dalam kajian ini perencanaan pembangunan dilihat dari aspek yaitu proses berkaitan dengan bagaimana sebuah rencana pembangunan disusun, beserta pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan rencana pembangunan tersebut. Juga bagaimana artikulasi kepentingan dipilah dan diagresikan dalam rencana pembangunan. Untuk konteks daerah disebut perencanaan pembangunan daerah sehingga memiliki dimensi kewilayah pada satu daerah tertentu. Sedangkan dari aspek isi atau substansi maka akan dilihat permasalahan apa saja yang diangkat dan dijadikan agenda dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah. Prioritas permasalahan yang disusun akan mencerminkan urgensi yang dihadapi oleh daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.

P e r e n c a n a a n p e m b a n g u n a n merupakan tahapan penting dan kritis

Pembukaan Musrenbang Kota Palangka Raya Tahun 2011

19

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

dalam proses ini harus dilakukan secara komprehensif dengan didukung oleh data-data statistik yang memadai. Karena perencanaan pembangunan akan menentukan arah pembangunan daerah ke depan maka perlu dirumuskan tujuan dan sasaran yang akan dicapai dalam kurun waktu ke depan.

Selain perencanaan pembangunan yang dibiayai oleh APBD melalui mekanisme Musrenbang, masih terdapat perencanaan pembangunan yang dibiayai oleh non APBD, seperti perusahaan swasta atau BUMN melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Mekanisme perencanaan yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif dari masyarakat tingkat dibawah (desa/kelurahan) ini dilakukan dengan mensinergikan perencanaan pembangunan daerah yang dibiayai oleh APBD sehingga tidak terjadi overlapping atau pembiayaan ganda terhadap suatu proyek pembangunan di daerah (Rusmadi, 2006). S i n e r g i s i t a s p e r e n c a n a a n pembangunan daerah yang dibiayai dari berbagai sumber menjadi mutlak dilakukan sehingga tujuan dan sasaran pembangunan yang ingin dicapai bisa terwujud, baik antar sektor maupun antar waktu. Sinergisitas pembangunan antar sektor merupakan kesesuaian program pembangunan antar sektor sehingga tidak ada tumpang tindih dalam program pembangunan, tetapi justru saling mendukung. Sedangkan sinergisitas pembangunan antar waktu merupakan keberlangsungan program pembangunan (Sustainable development) dari waktu ke waktu yang berkelanjutan hingga tujuan dan sasaran pembangunan tersebut tercapai. Untuk menunjang perencanaan pembangunan yang berkelanjutan di daerah maka keberadaan RPJPD menjadi sangat penting sebagai acuan atau grand design pembangunan daerah untuk jangka panjang (20 tahun). Pada saat ini pemilihan kepala daerah disertai dengan penyampaian konsep visidan misi calon kepala daerah dimana konsep tersebut nantinya akan menjadi acuan dalam pembangunan daerah

dalam jangka menengah 5 tahun. Visi dan misi kepala daerah terpilih tersebut dituangkan kedalam RPJMD sehingga bisa dikatakan bahwa RPJMD merupakan visi dan misi kepala daerah terpilih. Disinilah maka dikatakan bahwa perencanaan pembangunan daerah juga menggunakan pendekatan politik karena menjadikan visi dan misi kepala daerah terpilih sebagai satu acuan. Keberadaan RPJPD menjadi jembatan untuk menjaga sinergisitas perencanaan pembangunan di daerah apabila terjadi pergantian kepala daerah setiap 5 tahun. Hal ini penting agar tidak terjadi perombakan orientasi pembangunan secara frontal, mengingat setiap calon kepala daerah membawa visi dan misi masing-masing yang bisa berbeda-beda. Ditambah dengan berbagai kepentingan partai politik pendukung calon kepala daerah yang menyertainya maka perencanaan pembangunan daerah akan sangat rentan terhadap intervensi kepentingan partai. Kewenangan Kabupaten/Kota Dalam Perencanaan Pembangunan Seiring dengan berjalannya pelaksanaan desentralisasi di Indonesia maka berbagai urusan pemerintahan juga diserahkan kepada daerah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang meliputi 31 bidang urusan, diantaranya adalah urusan perencanaan pembangunan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) memiliki peran dan posisi yang strategis dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah dalam melakukan koordinasi dan sinkronisasi penyusunan rencana pembangunan antar SKPD. Kewenangan yang dimiliki oleh Kabupaten/Kota dalam bidang urusan perencanaan pembangunan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tersebut sebagaimana pada Tabel 1.

20

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

SUB BIDANG SUB SUB

BIDANG

PEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

1. Perencanaan dan

Pengendalian

Pembangunan

Daerah

1. Perumusan

Kebijakan

1. a. Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah pada skala kabupaten/kota.

b. Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. c. Penetapan pedoman dan standar perencanaan pembangunan daerah kecamatan/

desa. 2. Pelaksanaan SPM Kabupaten/Kota. 3. Pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah

kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri. 4. Pelaksanaan pengelola data dan informasi pembangunan daerah skala kabupaten/

kota. 5. a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan

skala kabupaten/kota. b. Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan

perkotaan skala kabupaten/kota. 6. a. Penetapan keserasian pengembangan perkotaan dan pedesaan skala kabupaten/

kota. b. Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan

kawasan perdesaan skala kabupaten/kota. 7. Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan

wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota. 8. a. Pelaksanaan pedoman dan standar pelayanan perkotaan skala kabupaten/kota. b. Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala kabupaten/kota. 9. a. Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan

skala kabupaten/kota. b. Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan

skala kabupaten/kota. 10. Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala

kabupaten/kota. 11. Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/kota.

2. Bimbingan,

Konsultasi

dan

Koordinasi

1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota.

3. a. Kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota.

b. Bimbingan, supervisi dan konsultasi kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota.

4. a. Konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/kota. b. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan

perkotaan di daerah kecamatan/desa. 5. a. Konsultas pelayanan perkotaan skala kabupaten/kota. b. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan di kecamatan/desa. 6. a. Konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/

kota. b. Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan

perdesaan di kecamatan/desa. 7. Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota. 8. a. Konsultasi pengembagan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala

kabupaten/kota. b. Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan

di kecamatan/desa. 9. a. Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan

kawasan skala kabupaten/kota. b. Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan

di kecamatan/desa.

Tabel 1. Urusan Kabupaten/Kota dalam Bidang Perencanaan Pembangunan Sumber : Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007

21

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

SUB BIDANG SUB SUB

BIDANG

PEMERINTAHAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA

3. Monitoring

dan Evaluasi

(Monev)

1. a. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala kabupaten/kota.

b. Penetapan petunjuk teknis pembangunan skala kecamatan/desa. c. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pelaksnaan pembangunan daerah

kecamatan/desa. 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antara

kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota.

3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/kota.

4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota.

5. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/kota.

6. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.

7. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota.

Tabel 1. (Lanjutan)

Pendekatan Perencanaan Pembangunan P e r e n c a n a a n p e m b a n g u n a n

berdasarkan jangka waktunya dan mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Mengengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Tahunan. RPJP merupakan rencana pembangunan untuk jangka waktu 20 tahun dan RPJM untuk jangka waktu 5 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Pasal 15 RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu pada RPJP Nasional. Kemudian RPJM Daerah terpilih yang penyusunanya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, Lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Sedangkan RKPD yang merupakan perencanaan tahunan daerah adalah penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas

pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Perencanaan Pembangunan daerah di Indonesia merupakan salah satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Artinya bahwa pembangunan yang dilaksanakan di daerah tidak terlepas dari konsep rencana pembangunan nasional, karenanya dalam menyusun program pembangunan daerah tetap mengacu kepada rencana pembangunan nasional, baik rencana pembangunan jangka panjang maupun menengah. Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 menggunakan kombinasi pendekatan politik, teknokratif, partisipasif, atas-bawah (top down) dan bawah-atas (bottom up). Pendekatan politik berkaitan dengan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Sebelum dipilih oleh rakyat, calon kepala daerah merumuskan visi dan misinya sebagai janji yang akan dilaksanakan apabila terpilih menjadi kepala daerah. Visi dan misi tersebut kemudian dijabarkan menjadi RPJM Daerah

22

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

untuk jangka waktu 5 (lima) tahun selama kepala daerah terpilih memimpin daerah. Namun dalam penyusunan RPJM Daerah tersebut harus tetap mengacu kepada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJP Nasional. Pendekatan teknokratik berkaitan dengan profesionalisme dan keahlian dalam penyunan perencanaan pembangunan daerah. Bahwa penyusunan rencana p e m b a n g u n a n d a e r a h p e r l u mempertimbangkan berbagai aspek dan keahlian sehingga hasil yang diperoleh bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi daerah secara komprehensif.

Pendekatan partisipatif merupakan upaya melibatkan masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah. Pergeseran pemahaman bahwa masyarakat bukan sekedar obyek tetapi juga merupakan pelaku pembangunan mendorong pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan mulai dari tingkat bawah (desa/kelurahan). Partisipasi masyarakat juga merupakan wujud

t ra n sp a ra si p e me ri n t a h da la m melaksanakan pembangunan daerah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau yang belakangan ini juga disebut dengan istilah tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pendekatan atas-bawah (top-down) dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah melibatkan Bappeda dan SKPD. Bappeda sebagai unit yang b e r t a n g g u n g j a w a b d a l a m mengkoordinasikan kegiatan ini merumuskan rancangan awal dengan masukan dari rancangan rencana strategis SKPD. Rancangan awal tersebut nantinya akan dibahas dalam kegiatan Musrenbang.

Pendekatan bawah atas (bottom-up) dilakukan mulai dari pengusulan program atau proyek dari tingkat bawah (desa/k e l u r a h a n ) o l e h m a s y a r a k a t . Penyelenggaraan Musrenbang dari tingkat desa/kelurahan yang dimaksud sebagai wahana menyerap aspirasi masyarakat dalam pembangunan yang kemudian hasilnya akan dibawa ke Musrenbang tingkat kecamatan dan selanjutnya

Pembahasan dalam Kelompok Bidang

23

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

Musrenbang tingkat kabupaten/kota. Program dan proyek yang diusulkan oleh masyarakat akan dinilai dari urgensi dan kemampuan pemerintah di tingkat bawah dalam melaksanakan usulan tersebut. Sejauh mana urgensi dan kemampuan pemerintah berkaitan dengan berbagai usulan yang masuk akan menentukan pelaksanaan program dan proyek nantinya. Apabila suatu usulan dianggap sangat urgen tetapi tidak mampu dilaksanakan oleh pemerintah ditingkat bawah maka akan diusulkan untuk dibawa ke Musrenbang di atasnya, yaitu di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional.

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 adalah bahwa perencanaan pembangunan daerah : 1. Merupakan suatu kesatuan dalam

sistem perencaan pembangunan daerah,

2. Dilakukan pemerintah daerah bersama dengan para pemangku kepentingan berdasarkan peran dan kewenangan masing-masing,

3. Mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah, serta

4. Dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah, sesuai dinamika perkembangan daerah dan nasional.

Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah P e n y u s u n a n p e r e n c a n a a n pembangunan daerah dilakukan melalui beberapa tahapan yang harus dilalui oleh para perencana. Secara garis besar, tahapan penyusunan perencanaan pembangunan daerah menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008, dilakukan melalui 4 (empat) tahapan, yaitu : 1. Penyusunan Rancangan Awal Pada proses penyusunan

rancangan awal rencana pembangunan dilakukan oleh Bappeda. Rancangan awal RPJP Daerah memuat visi, misi dan

arah pembangunan daerah dan mengacu pada RPJP Provinsi (untuk kabupaten/kota) serta RPJP Nasional. Selain itu dalam penyusunan RPJP Daerah yang dilakukan oleh Bappeda meminta masukan dari SKPD dan pemangku kepentingan.

Penyusunan rancangan awal rencana pembangunan untuk RPJM Daerah yang dilakukan oleh Bappeda memuat visi, misi dan program kepala daerah terpilih dengan tetap berpedoman pada RPJP Nasional, kondisi lingkungan strategis, serta hasil evaluasi terhadap pelaksanaan RPJM Daerah sebelumnya. Pola seperti ini diharapkan bisa dijalin kesinambungan antara program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh kepala daerah sebelumnya.

Untuk penyusunan RPKD maka rancangan awal disusun dengan cara menjabarkan dari RPJM Daerah dengan mengkoordinasikannya dengan rancangan Rencana Kerja SKPD. Rancangan awal RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, program prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya serta perkiraan maju dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan dan pagu indikatif. Pagu indikatif merupakan jumlah dana yang tersedia untuk penyusunan program dan kegiatan tahunan. Rancangan tersebut nantinya akan menjadi bahan dalam menyelenggarakan Musrenbang RKPD.

2. Musrenbang Tahapan berikutnya adalah

pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang merupakan media partisipasi publik yang digunakan untuk menjaring dan menampung aspirasi masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan. Kegiatan Musrenbang diawali dari tingkat bawah yaitu desa/kelurahan. Berbagai usulan yang muncul pada Musrenbang tersebut

24

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

disusun skala prioritas berdasarkan urgensi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kegiatan yang dijalankan oleh desa/kelurahan secara mandiri akan dilaksanakan oleh desa/kelurahan. Sedangkan usulan kegiatan yang tidak bisa dilakukan oleh desa/kelurahan maka dibawa ke Musrenbang tingkat kecamatan.

Musrenbang kecamatan dilakukan setelah pelaksanaan Musrenbang desa/kelurahan selesai. Musrenbang kecamatan di lakukan untuk mengkoordinasikan rencana kegiatan desa/kelurahan dalam lingkup wilayah kecamatan yang bersangkutan dan dalam forum tersebut dilakukan pemilahan terhadap usulan-usulan program/kegiatan yang tidak bisa dilaksanakan oleh desa/keluraha.

Setelah melalui Musrenbang Kecamatan, dilanjutkan dengan musyawarah Forum SKPD. Forum ini dimaksudkan sebagai forum koordinasi dalam rangka mensinkronkan Rencana Kerja (Renja) SKPD dengan hasil Musrenbang kecamatan.

Hasil-hasil musyawarah dalam Forum SKPD tersebut akan dibawa ke dalam Forum Musrenbang kabupaten/kota dimana Musrenbang ini dilaksanakan untuk keterpaduan rancangan Renja antar SKPD dan antar Rencana Pembangunan Kecamatan.

Pelaksanaan Musrenbang dalam proses penyusunan rencana pembangunan daerah untuk skala

k a b u p t e n / k o t a y a n g a k a n menghasilkan SKPD kabupaten/kota hanya dilaksanakan hingga pada Musrenbang kabupaten/kota. Untuk penyusunan rencana pembangunan provinsi maka akan dilanjutkan dengan Musrenbang provinsi.

3. Perumusan Rancangan Akhir Setelah proses pelaksanaan

Musrenbang kabupaten/kota selesai maka akan dilanjutkan dengan perumusan rancangan akhir yang dilakukan oleh Bappeda berdasarkan hasil Musrenbang RKPD. Rancangan akhir RKPD tersebut dilengkapi dengan pendanaan yang menunjukkan perkiraan maju.

4. Penetapan Rencana Penetapan rencana merupakan

proses akhir dalam penyusunan rencana pembangunan. RKPD kabupaten/kota merupakan rencana pembangunan dalam skala kabupaten/kota yang memiliki jangka waktu tahunan, menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 pasal 23 ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Peraturan Bupati/Walikota tentang RKPD kabupaten/kota tersebut kemudian disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri, RKPD yang telah ditetapkan tersebut nantinya dipergunakan sebagai dasar dalam penyusunan Rancangan APBD.

Panitia penyelenggara mencatat aspirasi dari peserta Musrenbang.

25

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

Rancangan pembangunan daerah memiliki standart sistematika yang telah ditetapkan menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008. Sistematika untuk RPJM Daerah paling sedikit mencakup : a. Pendahuluan b. Gambaran umum kondisi daerah c. Gambaran pengelolaan keuangan

daerah serta kerangka pendanaan d. Analisis isu-isu strategis e. Visi, misi, tujuan dan sasaran f. Strategi dan arah kebijakan g. Kebijakan umum dan program

pembangunan daerah h. Indikasi rencana program prioritas

yang disertai kebutuhan pendanaan i. Penetapan indikator kinerja daerah j. Pedoman transisi dan kaidah

pelaksanaan Sedangkan sistematika untuk RKPD

paling sedikit mencakup : a. Pendahuluan b. Evaluasi pelaksanaan RKPD tahun lalu c. Rancangan kerangka ekonomi daerah

beserta kerangka pendanaan d. Prioritas dan sasaran pembangunan

daerah e. Rencana program dan kegiatan

prioritas daerah Dari uraian penjelasan tentang mekanisme proses penyusunan perencanaan pembangunan tersebut bisa digambarkan bahwa proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah sejak awal yaitu penyusunan rancangan awal RKPD, kemudian pelaksanaan Musrenbang, perumusan rancangan akhir hingga penetapan RKPD berlangsung secara variatif antara top-down dan bottom-up dengan mengikuti pola ‘S shape’ (Gambar 1). Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah Untuk menilai sejauh mana efektivitas penyusunan perencanaan pembangunan daerah haruslah dilakukan setelah rencana yang telah dibuat tersebut diimplementasi-kan. Yaitu seberapa besar tujuan, sasaran dan target pembangunan yang telah diten-tukan bisa dicapai. Namun sebelum sampai

kepada penilaian terhadap hasil implemen-tasi rencana pembangunan, efektivitas bisa dilakukan terhadap bagaimana proses penyusunan rencana pembangunan terse-but dilakukan. Yaitu bagaimana perenca-naan pembangunan dilakukan, dengan meli-batkan siapa saja serta sudahkah proses yang ditempuh sesuai dengan aturan yang ada. Dari praktek penyusunan rencana pembangunan yang telah dilakukan oleh beberapa daerah secara umum memiliki kesamaan proses yang ditempuh. Yaitu den-gan melakukan Musrenbang dari tingkat bawah di desa/keluraha., dilanjutkan dengan Musrenbang Kecamatan, forum SKPD dan Musrenbang Kabupaten. Pene-rapan Musrenbang merupakan langkah un-tuk melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Selain mekanisme bottom up tersebut, penyu-sunan rencana pembangunan juga dilaku-kan oleh masing-masing SKPD dengan men-gacu pada visi daerah dan RPJM Daerah. Kombinasi beberapa pendekatan dilakukan untuk menghasilkan sebuah rencana pem-bangunan yang komprehensif dengan meli-batkan para stakeholder. Namun pelibatan masyarakat seringkali masih dianggap seba-gai formalitas pelaksanaan Musrenbang, dan belum tentu usulan yang masuk dalam Musrenbang bisa diwujudkan. Berbagai forum masyarakat yang mengkonsolidasikan diri dan dimaksud se-bagai alternatif penampung aspirasi masyarakat di luar kegiatan Musrenbang telah marak akhir-akhir ini. Seperti “Forum Warga”, “Forum Perkotaan” “Rembug Kam-

RKPD FinalRancangan RKPD

Top Down Bottom Up Top Down

Musrenbang Dilaksanakan SKPD

Gambar 1. Pola ‘S shape’ dalam Penyusunan Perencanaan Pembangunan

26

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

pung” dan sebagainya. Kegiatan yang dila-kukan oleh forum semacam ini adalah menyalurkan aspirasi masyarakat untuk mencari solusi terhadap persoalan yang di-hadapi berkaitan dengan program pemba-ngunan dan pelayanan publik di tingkat lo-kal. Forum-forum ini biasanya merupakan aliansi dari berbagai organisasi non peme-rintah. Selain itu, di tingkat bawah yaitu dalam lingkup RT sendiri juga memiliki fo-rum Kumpul Warga atau dengan istilah lain yang dilakukan pada waktu menjelang Mus-renbang Desa/Kelurahan. Inisiatif ini meru-pakan di luar ketentuan kegiatan resmi Musrenbang, karena dalam Musrenbang ti-dak pernah diatur mengenai forum di ting-kat RT sebagai salah satu forum dalam rang-kaian Musrenbang. Keberadaan forum yang digerakkan oleh organisasi non pemerintah maupun warga di tingkat RT mencerminkan bahwa penjaringan aspirasi yang selama ini dilakukan melalui mekanisme Musrenbang masih kurang optimal sehingga harus didu-kung dengan forum-forum seperti itu. Di beberapa daerah keluhan masyara-kat yang mengikuti kegiatan Musrenbang muncul karena minimnya usulan masyara-kat yang diakomodir oleh pemerintah daerah. Satu permasalahan klasik yang sering muncul dan dijadikan argumen adalah kurangnya dana atau anggaran pe-merintah yang digunakan untuk implemen-tasi rencana pembangunan yang telah disusun. Sehingga perlu dilakukan prioritas sejak dari Musrenbang di tingkat bawah. Tereduksinya usulan masyarakat dalam Musrenbang tingkat lanjutan di Kabupaten mencerminkan bahwa prioritas yang di-usung dari bawah masih belum menjadi pri-oritas di tingkat daerah. Pengaruh kepenti-ngan yang terjadi tingkat daerah dimana ada usulan yang tiba-tiba masuk rencana pembangunan tanpa melalui mekanisme resmi penyusunan perencanaan pemba-ngunan dan menggeser usulan-usulan dari masyarakat yang telah dimusyawarahkan dalam Musrenbang mencerminkan bahwa keterlibatan masyarakat hanya dianggap sebagai formalitas dalam rangka memenuhi legalitas pelaksanaan Musrenbang.

Sedangkan dilihat dari sisi peraturan perundangan daerah yang digunakan seba-gai landasan hukum penyusunan rencana pembangunan daerah, ternyata dari tujuh daerah sampel hanya Kabupaten Kotabaru dan Sanggau yang telah memiliki Perda ten-tang tata cara penyusunan perencanaan pembangunan daerah sesuai amanat Un-dang-Undang, Kabupaten Berau menuang-kan tata cara tersebut dalam bentuk Perbup No. 3 Tahun 2008, bukan dituangkan dalam bentuk Perda. Kabupaten llain bahkan be-lum memiliki Perda tersebut. Tetapi walau-pun demikian ternyata semua daerah setiap tahun telah mengeluarkan RKPD tanpa Perda sebagai pedoman penyusunan. Seba-gai landasan hukum langsung menggunakan Undang-Undang dalam konsiderannya, padahal Undang-Undang tersebut hanya mengatur secara umum tanpa merinci se-cara detail mengenai tata cara penyusunan rencana pembangunan. Melihat dari aspek proses penyusunan perencanaan dan partisipasi masyarakat maka semua daerah memiliki kondisi yang hampir sama. Tetapi dilihat dari aspek hu-kum yaitu kepemilikan aturan hukum daerah yang mendasarinya maka sebagian besar daerah masih belum efektif dalam penyusunan rencana pembangunan daerah-nya, kecuali daerah yang telah memiliki Perda tentang tata cara penyusunan peren-canaan pembangunan daerah yaitu Kabu-paten Kotabaru dan Kabupaten Sanggau. Pelaksanaan Musrenbang Kabupaten hanya bersifat formalitas, karena pada dasarnya semua permasalahannya substan-sial telah dibahas dalam forum SKPD. Mus-renbang kabupaten merupakan puncak dari proses perencanaan pembangunan daerah di kabupaten sehingga harus dimanfaatkan secara optimal untuk meghasilkan rencana pembangunan yang komprehensif dan bu-kan sekedar kegiatan formalitas. Pelak-sanaan Musrenbang Kabupaten yang for-malitas ini di satu sisi memiliki keuntungan, yaitu waktu yang diperlukan untuk Musren-bang lebih cepat karena tidak ada perde-batan dan pembahasan secara detail karena semua telah dibahas dalam forum SKPD se-belumnnya. Tetapi disisi lain peran peserta

27

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

Musrenbang menjadi tidak menonjol dalam pelaksanaan Musrenbang tersebut sehingga kontrol dari masyarakat juga minim. Di samping itu, salah satu indikator masih rendahnya tingkat pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah, dapat dilihat dengan tidak adanya kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat khususnya mereka yang terlibat dalam proses Musren-bang untuk melakukan kontrol terhadap hasil final dari RPJMD dan RKPD, apakah telah mewakili aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang dijaring melalui forum Musrenbang. Sehingga masuknya program-program baru yang tidak pernah dibahas di forum Musrenbang dalam dokumen peren-canaan sangat rentan terjadi. Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak adanya keha-rusan melibatkan Legislatif (DPRD) yang memiliki fungsi kontrol dalam pelaksanaan Musrenbang. Dimana pelibatan DPRD di beberapa daerah, lebih karena inisiatif dari daerah tersebut. Keterlibatan DPRD dalam Musrenbang sebenarnya sangat penting artinya, di samping sebagai tokoh dan representasi masyarakat, kehadiran mereka juga bisa mewarnai dinamika pelaksanaan Musren-bang. Seperti yang terjadi di Kabupaten Sanggau dan Bengkayang, legislatif ikut ter-libat dalam Musrenbang sehingga mencer-minkan representasi masyarakat. Di Kabu-paten Barito Timur keterlibatan DPRD dalam Musrenbang terjadi pada tingkat ke-camatan dan kabupaten. Namun untuk Mus-

renbang tingkat kecamatan tidak semua anggota Dewan bisa hadir disemua keca-matan. Ada beberapa daerah yang memang tidak melibatkan DPRD karena dikha-watirkan suara anggota dewan tersebut akan dianggap sebagai janji-janji, hal terse-but ditemui legislatif tidak diikutkan dalam Musrenbang. Selain itu karena adanya per-timbangan bahwa dokumen rancangan RKPD tersebut nantinya juga akan dibahas di legislatif. Keterlibatan legistatif dalam proses Musrenbang sebenarnya bisa menjadi penyeimbang dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar kehadiran anggota legislatif sebagai undangan seremonial pengesahan RKPD, tetapi keterlibatan legis-latif seharusnya juga ikut dalam proses pembahasan isi/substansi draft rencana pembangunan yang akan disahkan. Dengan demikian ada interaksi yang aktif antara legislatif, masyarakat dan eksekutif dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Adanya kekhawatiran akan muncul-nya keinginan atau program-program poli-tis dari anggota Legislatif jika dilibatkan dalam forum Musrenbang sebenarnya tidak beralasan. Karena kekhawa-tiran serupa jika bisa dialamatkan kepada jajarang ekse-kutif (Pimpinan daerah dan juga pimpinan SKPD). Justru, fungsi kontrol terhadap mun-culnya program-program politis dan ke-pentingan pihak-pihak tertentu akan bisa diminimalisir dengan melibatkan semua ja-jaran pemerintahan dalam hal ini legislatif.

Di samping itu, keberadaan aturan di tingkat daerah yang mengatur tentang tatacara penyusunan perencanaan pembangunan di daerah (sebagian besar belum di-miliki oleh daerah) dan kualitas dan kapasitas tenaga fasilitator di masing-masing tingkat Musren-bang juga menjadi instrumen yang bisa menjadi kualitas dari produk perencanaan pembangunan di daerah. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya komit-men dari semua jajaran untuk menjadikan dokumen-dokumen Tokoh masyarakat terlibat dalam proses perencanaan

28

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

p e r e n c a n a a n (RPJMD, Renstra dan Renja SKPD, dan hasil-hasil Mus-renbang) yang telah dihasilkan pada tahapan-tahapan sebelumnya men-jadi kunci utama. Interaksi yang intens antara pe-merintah daerah, DPRD dan masyara-kat dalam penyusu-nan rencana pem-bangunan daerah bisa digambarkan dengan model seperti ditunjukkan oleh Gambar 2. Keterlibatan legislatif dalam forum Musrenbang tersebut akan memberikan be-berapa implikasi positif yaitu antara lain : pertama bahwa keterlibatan legislatif un-tuk ikut serta mengawal dan menyukseskan implemenatsi rencana pembangunan seba-gai bentuk pertanggungjawaban moral karena mereka ikut terlibat dalam penyu-sunannya. Kedua dengan kewenangan yang dimilikinya khususnya dalam hal pengang-garan (budgeting) keterlibatan legislatif menjadi penting dalam pengalokasian atau relokasi anggaran untuk program-program yang memang sangat diperlukan dan diusul-kan oleh masyarakat dalam forum Musren-bang, karena sebagian besar program usulan masyarakat di Musrenbang tidak da-pat diakomodir oleh SKPD karena alasan terbatasnya anggaran. Ketiga adalah meningkatkan peran legislatif sebagai ben-tuk representasi masyarakat yang di-wakilinya, sehingga bisa mengurangi keke-cewaan masyarakat yang tidak ikut terlibat dalam proses tersebut dalam rencana pem-bangunan.

Kendala dalam Proses Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah Setiap daerah memiliki permasalahan atau kendala yang berbeda-beda dalam penyusunan rencana pembangunannya. Na-mun ada juga beberapa fenomena yang se-cara umum dihadapi oleh daerah di Kali-mantan dalam penyusunan perencanaan

p e m b a n g u n a n tahunan (RKPD). Beberapa kendala terkait prose penyu-sunan rencana pem-bangunan tersebut bisa diringkas seba-gai berikut : 1. M i n i m n y a sosialisasi rencana penyusunan RKPD kepada masyarakat. 2. Masyarakat menjadi apatis dan enggan terlibat aktif

dalam perencanaan pembangunan daerah karena usulan masyarakat se-ringkali tidak bisa direalisasikan akibat terjadinya pemotongan/pemangkasan berbagai usulan yang masuk.

3. Terjadi perubahan/tambahan kegiatan yang sebelumnya tidak masuk dalam ususlan SKPD.

4. Tidak ada koordinasi dan sinkronisasi antara program yang dibiayai dana community development dari perusa-haan dengan program yang dibiayai APBD (Kab. Kubar).

5. Pelaksanaan proses perencanaan mem-butuhkan proses yang cukup panjang karena adanya tupoksi yang saling bersinggungan antar SKPD (Kab. Berau, Bengkayang).

6. SKPD sering terlambat/tidak tepat waktu dalam menyampaikan Renja dan daftar prioritas kegiatan kepada Bap-peda sebagai bahan Musrenbang Kabu-paten.

7. Pelaksanaan forum SKPD dan Musren-bang Kabupaten terlalu singkat sedang-kan bahan yang harus dibahas cukup banyak.

8. Besarnya usulan yang masuk seringkali lebih merupakan keinginan, bukan ke-butuhan daerah. Sehingga harus dilaku-kan pemilahan dan skala prioritas ter-hadap usulan-usulan yang masuk.

9. RKPD yang telah ditetapkan, terkadang belum digunakan sebagai pedoman oleh SKPD dalam menyusun rencana ker-janya.

Gambar 2. Model Hubungan Interaksi Pemerintah, Masyarakat dan DPRD dalam Musrenbang

29

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

10. Banyak instansi yang berdasarkan hasil pemeriksaan Inspektorat yang dilaku-kan belum memiliki Renstra (Kab. Bengkayang).

11. Belum disetujuinya RTRW Provinsi oleh Pemerintah Pusat sehingga penyusunan perencanaan pembangunan daerah menjadi terhambat.

Pembangunan daerah baik yang di-biayai oleh APBD maupun swasta dan swadaya masyarakat pada akhirnya adalah untuk masyarakat, karena itu sinkronisasi antar berbagai forum perencanaan pemba-ngunan akan memberikan kontribusi bagi pemerataan pembangunan daerah. Sosialisasi dan partisipasi yang cukup kepada kalangan swasta dan masyarakat terhadap pelaksanaan Musrenbang akan membuka peluang bagi masuknya berbagai usulan dan ide kreatif program kegiatan pembangunan daerah. Namun kurangnya sosialisasi rencana pelaksanaan Musren-bangkan berpengaruh juga terhadap minim-nya partisipasi masyarakat. Dan kadang masyarakat mengetahui adanya kegiatan tersebut justru dari media setelah pelak-sanaan berlangsung. Sebagai alternatif yang digunakan masyarakat untuk memberikan usulan mereka biasanya akan datang lang-sung ke Desa/Kelurahan maupun datang ke Bappeda. Disamping itu, pendeknya waktu pelaksanaan Musrenbang Kabupaten maupun forum SKPD sedangkan materi yang dibahas cukup banyak sehingga dinilai tidak efektif. Dalam waktu yang pendek tersebut harus memilih program yang dianggap prioritas diantara berbagai usulan yang masuk. Implikasi penerapan Peraturan Pe-merintah No. 41 tahun 2007 di daerah ter-nyata menyisakan permasalan yang perlu segera diselesaikan dan berdampak bagi proses perencanaan pembangunan di daerah. Di Kabupaten Berau, penerapan PP ini ternyata tidak diikuti dengan pembagian urusan yang jelas antar SKPD, sehingga ma-sih terjadi saling bersinggungan. Ini men-gakibatkan proses penyusunan perenca-naan berjalan lama karena memerlukan proses yang panjang. Padahal pembagian

urusan antar SKPD seharusnya dilakukan seiring dengan penerapan PP tersebut agar tidak ada tumpang tindih kewenangan yang dimiliki antar SKPD. Contoh lain seperti yang terjadi Kabupaten Bengkayang dimana ada satu bagian di Sekretariat Daerah dengan nomenklatur Bidang Ekonomi Pem-bangunan (Eksbang) yang memiliki tugas dan peran seperti Bappeda, menyebabkan overlapping tupoksi serta sikap saling menunggu satu sama lain dalam pelak-sanaan tugas, sehingga berpotensi menghambat kelancaran tugas perencanaan pembangunan. Masih di Kabupaten Bengkayang, banyak instansi yang berdasarkan hasil pe-meriksaan yang dilakukan Inspektorat ter-nyata belum memiliki Renstra yang jelas. Keadaan ini terjadi dikarenakan adanya anggapan bahwa, baik dokumen Renstra, Renja, dan RKPD sebagai dokumen formali-tas yang tidak begitu urgen. Padahal penyu-sunan rencana pembangunan daerah seyogyanya mengkombinasikan beberapa pendakatan diantaranya pendekatan top down yang mengacu rencana pembangunan di atasnya serta visi dan misi yang ditu-runkan dalam rencana strategis daerah. Ke-mudian renstra SKPD juga mengacu kepada visi, misi daerah. Ketiadaan renstra instansi tersebut mencerminkan bahwa dalam penyusunan rencana pembangunan yang dilakukan selama ini tidak memperhatikan pendekatan top down tersebut, sehingga ti-dak jelas apa yang dijadikan acuan dalam perumusan rencana pembangunan daerah, dan apa yang ingin diwujudkan dari pelak-sanaan rencana pembangunan tersebut. Se-lain itu, dokumen Rencana Kerja Pemerin-tah Daerah (RKPD) yang telah ditetapkan, terkadang belum digunakan sebagai pedo-man oleh SKPD dalam menyusun rencana kerjanya. Sehingga timbul kesan bahwa SKPD tidak mempedulikan hasil Musren-bang yang telah dilaksanakan dan menyu-sun sendiri rencana kerja SKPD-nya. Dengan demikian kegiatan yang dilakukan setiap tahun hampir bisa dipastikan hanya kegiatan-kegiatan rutin yang tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas.

30

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

Fenomena lain adanya pengaruh politik dalam proses perencanaan daerah, dimana perencanaan yang sudah dibuat oleh masing-masing SKPD dan diserahkan kepada Bappeda, ada beberapa yang mengalami distorsi, padahal kegiatan terse-but tidak masuk dalam ususlan SKPD. Pengaruh dari luar mekanisme resmi terse-but mengakibatkan banyak program dan kegiatan pembangunan yang diusulkan oleh masyarakat maupun SKPD pada akhirnya tidak dimasukkan kedalam perencanaan daerah. Proses penyusunan rencana pem-bangunan yang telah dilaksanakan secara partisipatif menjadi berkurang artinya dengan pengaruh yang dilakukan pada tahap lanjutan. Pembangunan daerah selain yang di-biayai oleh pemerintah melalui penyu-sunan RKPD, juga ada pembangunan yang dibiayai oleh sektor swasta maupun swadaya masyarakat. Keterlibatan swasta dalam pembangunan daerah disalurkan me-lalui program community development seba-gai bentuk tanggung jawab sosial perusa-haan (corporate social responsibility). Sin-kronisasi program pembangunan yang di-biayai oleh APBD dan swasta perlu dilaku-kan sehingga pelaksanaan kegiatan menjadi lebih merata. Sebuah best practice terdapat di Kabupaten Kutai Timur, dimana peran swasta dalam pembangunan daerah melalui program community development atau CSR ini dikoordinasikan dalam sebuah forum MSH-CSR yang melibatkan partisipasi swasta, pemerintah dan juga masyarakat. Keberadaan forum ini mampu mengeliminir overlapping program kegiatan pemba-ngunan yang dilaksanakan di daerah. Prak-tek yang diterapkan di Kabupaten Kutai Timur ini patut dijadikan referensi bagi daerah lain. Karena permasalahan koordi-nasi dan sinkronisasi pelaksanaan program pembangunan daerah yang dibiayai oleh APBD. Pihak swasta juga terlibat dalam pe-rumusan rencana pembangunan (Musrenbang) sehingga masing-masing ber-jalan sendiri-sendiri. Di samping masih banyak ditemukan penyaluran dana com-munity development oleh pihak swasta di

beberapa daerah yang tidak tepat sasaran seperti yang dikemukakan di atas. Penutup Berdasarkan uraian di atas bisa diperoleh informasi bahwa secara umum proses penyusunan rencana pembangunan (RKPD) memiliki kemiripan, baik dari faktor jadwal, instansi yang terlibat, alat koordi-nasi serta tahapan-tahapan yang dilalui. Kecuali beberapa daerah yang berinisiatif membentuk forum-forum baru. Namun demikian penyusunan rencana pemba-ngunan yang dilakukan di daerah (RKPD) secara umum cenderung kurang efektif karena beberapa alasan : 1. Dari aspek proses - Alokasi waktu pelaksanaan Musren-

bang sebagai bagian penting penyu-sunan RKPD sangat singkat, sedang-kan agenda yang dibahas banyak se-hingga Musrenbang yang dilakukan untuk menyerap aspirasi masyarakat cenderung hanya bersifat formalitas untuk memenuhi persyaratan formal perencanaan pembangunan.

- Aktor yang terlibat dalam tahapan proses perencanaan pembangunan sering berganti-ganti mulai dari awal hingga akhir, sehingga sering kurang memahami pembahasan isu dan sub-stansi pada tahapan sebelumnya.

2. Dari aspek partisipasi - Partisipasi masyarakat dalam peren-

canaan pembangunan melalui forum Musrenbang cukup tinggi tetapi usu-lan-usulan dari masyarakat sering ti-dak bisa diakomodir dan diimplemen-tasikan dalam RKPD sehingga keterli-batan masyarakat hanya sebagai for-malitas (benign neglect) bahwa proses perencanaan telah melibatkan masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat enggan dan apatis terha-dap proses penyusunan rencana pem-bangunan untuk masa berikutnya.

3. Dari aspek prioritas - Kegiatan-kegiatan yang diusulkan

menjadi prioritas dalam rencana pem-bangunan mudah berubah dan bahkan

31

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

bisa dipangkas pada tahapan/proses tingkat selanjutnya.

- Persepsi para aktor tentang prioritas usulan berbeda-beda sehingga pri-oritas menurut masyarakat bisa diang-gap bukan prioritas oleh aktor yang lain.

4. Dari aspek normatif (aturan hukum) - Masih banyak daerah yang belum

memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang tata cara penyusunan peren-canaan pembangunan daerah sesuai amanat UU No. 25 Tahun 2004 Pasal 27 Ayat (2). Dari beberapa sampel ka-jian hanya Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Sanggau yang telah memiliki Perda tersebut

- Banyak daerah belum menggunakan PP No. 8 Tahun 2008 sebagai konsi-derans dalam dokumen RKPD, artinya belum menggunakan PP tersebut se-bagai pedoman penyusunan RKPD, kecuali Kabupaten Kotabaru dan Ka-bupaten Sanggau. Padahal PP tersebut telah terbit sebelum dokumen RKPD di beberapa daerah disahkan. Fenomena ini menunjukkan masih minimnya sosialisasi peraturan perun-dangan mengenai perencanaan pem-bangunan di daerah dalam meng-update peraturan perundangan ter-kait.

Dengan melihat berbagai kendala yang dihadapi oleh daerah dalam proses peren-canaan pembangunan daerah, maka dis-arankan beberapa hal sebagai berikut : Pertama, waktu pelaksanaan penyusunan RKPD perlu diperpanjang, berkaitan dengan pelaksanaan Musrenbang perlu agenda yang jelas berisi arahan Bupati, arahan DPRD, penyampaian aspirasi perwakilan masyarakat dan pembahasan materi dengan melibatkan legislatif. Kedua, aktor yang mengikuti penyusunan RKPD haruslah continues (tidak berganti-ganti) dan meng-ikuti proses perencanaan dari awal hingga akhir urutan kegiatan. Ketiga, dilakukan penyusunan perencanaan pembangunan daerah bagi daerah yang belum memilikinya dan dilakukan sosialisasi PP

No. 8 Tahun 2008. Keempat, perlunya sosialisasi rencana penyusunan RKPD me-lalui media disertai agenda kegiatan yang jelas agar masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Kelima, pemandu Mus-renbang perlu aktif dalam menstimulus pe-serta sehingga usulan yang masuk lebih luas dan komprehensif berdasr prioritas kebu-tuhan masyarakat, bukan hanya usulan proyek-proyek fisik yang berdasar ke-inginan semata. Keenam, Transparansi dalam alokasi dana pembangunan yang dianggarkan untuk masing-masing SKPD, sehingga setiap SKPD bisa menyusun usulan program yang sesuai dengan kuota ang-garan yang ada. Ketujuh, perlu adanya perli-batan Legislatif dalam proses penyusunan RKPD dari awal termasuk dalam Musren-bang untuk meningkatkan fungsi kontrol dan sekaligus mendapatkan dukungan pen-ganggaran terhadap hasil perencanaan pembangunan daerah. Kedelapan, mening-katkan koordinasi dan sinergi dengan forum-forum Rembug Warga serta program community development di luar forum resmi SKPD. Kesembilan, perlunya penyempur-naan instrumen perencanaan pembangunan di daerah, khususnya untuk meminimalisir munculnya kemungkinan pengaruh dari ke-pentingan-kepentingan pragmatis dan poli-tis dalam penyusunan program pemban-gunan daerah. Kesepuluh, kemudian saran bagi pemerintah pusat agar segera menyele-saikan pembahasan dan persetujuan RTRW Provinsi sehingga proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah tidak terhambat. Pembangunan yang baik dimulai dengan perencanaan yang baik, selanjutnya program yang telah disusun dan dituangkan dalam RKPD tersebut memerlukan imple-mentasi, monitoring dan evaluasi untuk memberikan feedback bagi proses perenca-naan yang akan datang. Sejauh mana perubahan yang dihasilkan dari implemen-tasi program pembangunan tersebut akan menunjukkan efektivitas pembangunan daerah.

32

Efektifitas Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan

A. PENDAHULUAN

Salah satu upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mewujudkan visinya, yaitu dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri Kelautan dan Perikanan (Men-KP) No. B.636/Men-KP/XI/09, tanggal 16 November 2009. Surat Edaran tersebut meminta kepada seluruh gubernur di Indonesia untuk mengambil langkah manghapus retribusi perikanan. Tujuan penghapusan retribusi perikanan adalah mengurangi beban pengusaha di sektor ini (Zulka, 2009). Alasan dihapusnya retribusi perikanan yaitu : (a) respon perkembangan perekonomian global yang m e m b e r i k a n d a m p a k k u r a n g menguntungkan bagi usaha yang belum kondusif; (b) masih adanya pungutan (retribusi) yang membebani dan memberatkan nelayan, sehingga kesejahteraan serta produktivitas usaha nelayan rendah; (c) membantu pemerintah daerah (Pemda) dalam pembangunan KP (Candra, 2010).

Diberlakukannya penghapusan retribusi perikanan mengharuskan pemerintah (KKP) memikirkan gantinya dalam bentuk kompensasi, apakah itu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), ataupun dana dokensentrasi. Candra (2010) mengungkapkan bahwa KKP akan mempertimbangkan kompensasi atas penghapusan retribusi dalam bentuk insentif terhadap evaluasi kinerja pengelolaan sumber daya. Pemda Kabupaten Subang, merupakan salah satu daerah yang sampai saat ini masih

mengandalkan retribusi di sektor perikanan sebagai sumber pendapatan (PAD). Penerimaan retribusi perikanan dimanfaatkan oleh PEMDA Kabupaten Subang, untuk membiayai pembangunan infrastruktur dasar dan kegiatan fisik lainnya yang berkaitan dengan perikanan. (Din-KP) Kabupaten Subang (25 Agustus 2010), diketahui bahwa pihak Din-KP Kabupaten Subang pada prinsipnya mendukung kebijakan ini, terlebih jika didukung dengan penerbitan peraturan yang memberikan kepastian hukum.

33

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

Sumber : Jurnal Borneo Administrator Volume 7 Nomor 1 Tahun 2011

Penghapuskan retribusi perikanan di satu sisi, memberikan konstribusi positif untuk menyelesaikan persoalan retribusi supaya tidak lagi membebani pengusaha. Namun apabila dilihat sisi yang lain, daerah akan kehilangan sumber pendapatannya di sektor perikanan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak penerapan penghapusan retribusi perikanan terhadap pendapatan asli daerah (PAD), operasional TPI, dan nelayan di Kabupaten Subang. B. METODOLOGI Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010, di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Kabupaten ini dipilih, karena mewakili daerah yang belum menginternalisasikan SE Men-KP untuk menghapus retribusi Perikanan. Kerangka Berpikir

Retribusi menurut UU No. 28 Tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No. 28/2009) adalah pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Jasa diartikan sebagai

pelayanan pemerintah daerah yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati oleh pribadi atau badan. Retribusi merupakan pendapatan yang diterima oleh Pemda setelah memberikan pelayanan tertentu kepada penduduk di wilayah yurisdiksinya. Soekanto (2008), memandang hukum sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu dan berperan sebagai sarana untuk m e n g a d a k a n p e r u b a h a n a t a u pembangunan. Salah satu upaya yang d i l a k u k a n g un a m e n i n g ka t k a n kesejahteraan masyarakat KP, pemerintah (KKP) melalui SE Men-KP menetapkan kebijakan untuk menghapus retribusi perikanan.

SE Men-KP adalah dasar pemerintah (KKP) untuk menerapkan program penghapusan retribusi perikanan di berbagai daerah, termasuk Kabupaten Subang (Gambar 1). Retribusi perikanan di Kabupaten Subang diatur di dalam Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Jawa Barat No. 5 Tahun 2005, tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan (PERDA Jabar No. 5/2005). PERDA ini merupakan pedoman bagi Kabupaten Subang dalam memungut retribusi perikanan. Pungutan retribusi perikanan diperoleh melalui retribusi TPI serta biaya operasional dan pemeliharaan.

SE Men-KP

Penghapusan/

Abolition

Retribusi/

Retribution

Perda

Provinsi Jawa Barat

No. 5/2005

Nelayan/

Fisherman

TPI/Fish Market

Operasional dan

pemeliharaan

TPI/Operasional

and maintenance

fish market

PAD/

Regional

income

Gambar 1. Kerangka Berpikir

34

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pende-

katan studi kasus, dengan maksud untuk memahami adanya dampak jika penghapusan retribusi perikanan diterap-kan terhadap PAD, TPI, dan nelayan di Ka-bupaten Subang. Metode Pengumpulan Data

Data Primer yang dibutuhkan dikum-pulkan melalui wawancara mendalam kepada key person Din-KP dan Dinas Penda-patan Daerah Kabupaten Subang, serta sek-retaris KUD Fajar Mina Sidik (pengelola TPI) dan nelayan di Kecamatan Blanakan. Data sekunder yang dibutuhkan dikumpul-kan melalui : UU, peraturan daerah, hasil penelitian, dan literatur. Metode Analisis Data

Data penelitian yang diperoleh, dianalisis menggunakan metode deskriptif analitik. Analisis ini digunakan untuk meng-gambarkan keadaan secara komprehensif mengendai dampak penghapusan retribusi perikanan, jika diberlakukan di Kabupaten Subang. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Landasan Hukum Retribusi

Alasan dibentuknya Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 1997, pada tanggal 23 Mei 1997, adalah untuk mengurangi eko-nomi biaya tinggi yang disebabkan terlalu banyaknya jenis pungutan yang dilakukan oleh PEMDA. UU No. 18 Tahun 1997, bertu-juan memperbaharui sistem retribusi daerah ke dalam sistem yang sederhana, adil, efektif, efisien, dan melibatkan peran masyarakat dalam pembiayaan pemba-ngunan daerah. Berlakunya UU No. 18 Ta-hun 1997, menyebabkan ada beberapa jenis pajak dan retribusi daerah yang potensial menjadi hilang.

Berdasarkan hal tersebut, pada tang-gal 20 Desember 2000, diterbitkan UU No. 34 Tahun 2000, tentang Perubahan atas Un-dang-Undang Republik Indonesia No. 18 Ta-hun 1997, tentang Pajak dan Retribusi

Daerah (UU No. 34/2000). Perubahan ini dimaksud agar retribusi dapat memantap-kan otonomi daerah yang luas, nyata, ber-tanggung jawab, sesuai menyesuaikan dengan perkembangan keadaan. UU No. 30 Tahun 2000, memberikan dampak adanya PERDA-PERDA baru mengenai pajak dan retribusi yang dapat meresahkan masyara-kat dan/atau pelaku usaha (Abimanyu et al., 2005). Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak kondusif bagi perkembangan ekonomi dan investasi secara nasional.

Selain itu, PERDA-PERDA baru juga telah menimbulkan terjadinya pungutan yang pada akhirnya menciptakan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) dan mem-beratkan ekonomi nasional. Sehubungan dengan keadaan tersebut, maka pada tang-gal 15 September 2009, retribusi daerah mengalami pengaturan kembali dengan diberlakukan untuk memperluas objek pa-jak dan retribusi daerah, serta diskresi dalam penetapan tarif. Kebijakan UU No. 28/2009, dilaksanakan berdasarkan prin-sip : demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, serta akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Wacana Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

Retribusi perikanan resmi dihapus per Januari 2010, dan mempunyai maksud un-tuk membantu industri perikanan yang ba-nyak mengalami kendala hingga sulit berkembang (Suprapto dan Rini, 2010). Ra-hardjoa (2010), mengungkapkan hukum dibuat dan bekerja berdasarkan asumsi bahwa yang dihadapi adalah keadaan nor-mal. Apabila keadaan berubah menjadi ti-dak normal, hukum dihadapkan kepada ke-sulitan. Menurut hasil wawancara dengan Kepala Din-KP Kabupaten Subang (25 Agus-tus 2010), sejak diterbitkannya SE Men-KP telah terjadi gejolak pada nelayan Kabu-paten Subang. Nelayan mempunyai persepsi dikeluarkannya SE Men-KP, berarti retri-busi perikanan sudah resmi dihapuskan. Upaya sosialisasi terhadap pemberlakuan kebijakan Men-KP, secara khusus tidak dila-kukan kepada nelayan Kabupaten Subang. M e r e k a m e n g e t a h u i i n f o r m a s i

35

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

penghapuskan retribusi perikanan, melalui media cetak dan elektronik.

Faktanya, apabila daerah ingin menghapuskan retribusi, maka daerah yang bersangkutan membentuk PERDA baru. Tri F. Mounty dalam Halim dan Damayanti (2007), menyatakan perlu pemberian pe-mahaman mengenai adanya kebijakan baru tersebut, supaya bisa diimplementasikan dengan baik dan tidak menghambat proses pembangunan di daerah. Hasil wawancara dengan Kepala Din-KP Kabupaten Subang (25 Agustus 2010), menunjukkan bahwa pembatalan PERDA No. 5/2005, memerlu-kan adanya sosialisasi kepada pejabat daerah, aparat birokrasi, dan masyarakat KP setempat. Menurut Siahaan (2008), hal ini dimaksudkan untuk menciptakan pe-merintahan yang partisipatif, akuntabel, dan transparan.

Terealisasinya sosialisasi yang benar, membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan harus terorganisasi secara rapi. Abdur-rahman (2009), menyatakan bahwa proses sosialisasi hukum sangat diperlukan, agar masyarakat berperilaku sebagaimana yang diharapkan oleh hukum. Tri G. Mounty dalam Halim dan Damayanti (2007), ber-pendapat bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera di daerah, perlu dibentuk suatu kebijakan di bidang perun-dangan yang berfungsi sebagai dasar/pedoman dalam pelaksanaannya. Hal ini di-lakukan untuk dapat dijadikan sebagai lan-dasan hukum bagi aparat Pemda, agar tidak terjadi kesewenangan dan praktek penya-lahgunaan hukum. Implementasi pembua-tan PERDA untuk menghapus retribusi peri-kanan di Kabupaten Subang, tidak mudah dilaksanakan.

Sampai saat ini, kebijakan Men-KP ma-sih dalam perdebatan dan belum dapat di-laksanakan (hasil wawancara dengan Kepala Din-KP Kabupaten Subang, tanggal 25 Agustus 2010). Kendalanya disebabkan, perlu melakukan pembatalan terlebih da-hulu PERDA Jabar No. 5/2005, yang telah menjadi pedoman retribusi di Kabupaten Subang tersebut bertolak belakang dengan pendapat Men-KP, sebagaimana dikutip Su-prapto dan Rini (2010) : “.......untuk men-

gubah PERDA tidak membutuhkan waktu yang cukup lama. “Mereka tinggal men-datangi DPRD masing-masing , terus tarif retribusi PERDA-nya diubah menjadi nol per-sen”. Itu mudah’.

Perbedaan pemahaman ini, membukti-kan bahwa pemerintah (KKP) kurang meng-kaji mekanisme penerapan suatu kebijakan baru di suatu daerah, yang terlebih dahulu memerlukan pembatalan peraturan sebe-lumnya.

Kelemahan dan Penyempurnaan PERDA Retribusi

Upaya untuk meningkatkan kemam-puan keuangan daerah agar dapat melak-sanakan otonomi, dilakukan pemerintah dengan menetapkan UU No. 34/2000. UU No. 34/2000, dijadikan acuan PEMDA Jawa Barat membetuk PERDA Jabar No. 5/2005, yang dijadikan pegangan hukum oleh Kabu-paten Subang melakukan pungutan retri-busi perikanan. Menurut Santoso (2010), pemberian kewenangan kepada daerah dalam menetapkan pajak dan retribusi, pada awalnya diharapkan mampu men-dorong untuk mengoptimalkan PAD. Pem-berian kewenangan tersebut menimbulkan kerugian pada dunia usaha dan iklim inves-tasi, yang pada akhirnya menyebabkan eko-nomi biaya tinggi. Kondisi ini dapat terjadi karena kurang kontrolnya PEMDA dalam pelaksanaannya, sehingga terjadi tumpang tindih dengan pungutan pusat serta menghambat kelancaran arus barang dan jasa antar daerah.

Kelemahan penerapan UU No. 34/2000, menurut Santoso (2010), yaitu : (a) adanya kebebasan menetapkan pajak dan retribusi yang dimanfaatkan oleh daerah untuk membuat PERDA yang bertentangan dengan UU pajak dan retri-busi daerah. Indikatornya, para pelaku usaha merasa terganggu oleh banyaknya pungutan pajak dan retribusi daerah, sehingga pada gilirannya menurunkan gairah investasi daerah; (b) Sistem penga-wasan yang bersifat represif, yang membuat PERDA dapat langsung dilaksanakan daerah tanpa menunggu persetujuan pemerintah pusat terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan,

36

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

banyak daerah tidak segera menyampaikan PERDA pajak dan retribusi daerahnya kepada Pemerintah Pusat untuk mendapat-kan persetujuan; (c) ketidaktegasan dalam menerapkan sanksi kepada daerah yang menetapkan PERDA yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan, serta mengganggu kepentingan umum.

Fenomena tersebut, menyebabkan daerah menetapkan pajak dan retribusi daerahnya tidak sesuai ketentuan yang ber-laku dan berani melakukan pungutan, walaupun PERDA tersebut secara hukum telah dibatalkan. Penyempurnaan sistem pemungutan pajak dan retribusi daerah yang baik, harus memenuhi prinsip yang sesuai dengan kriteria umum, sebagai beri-kut : (a) prinsip pemberian pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mu-dah naik serta turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatn masyarakat; (b) adil serta merata secara vertikal, artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horisontal. Artinya, berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat tanpa ada pengecualian; (c) sis-tem administrasi yang fleksibel, sederhana, mudah dihitung, dan memberikan pela-yanan memuaskan kepada masyarakat; (d) secara politis dapat di terima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar; (e) non distrosi terhadap perekonomian, artinya pungutan pajak dan retribusi hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian (Santoso, 2010).

Pada dasarnya, setiap pungutan pajak dan retribusi akan menimbulkan beban bagi konsumen atau produsen. Pungutan yang dilakukan oleh daerah, diusahakan agar da-pat menimbulkan beban tambahan yang berlebihan dan merugikan masyarakat. Ha-sil wawancara dengan Kepala Din-KP Kabu-paten Subang (25 Agustus 2010), menun-jukkan bahwa PERDA Jabar No. 5/2005, khususnya pungutan retribusi yang dibe-bankan kepada nelayan dirasakan mem-beratkan. Penyebabnya dikarenakan kondisi ekonomi kehidupan nelayan di Ka-bupaten Subang pada umumnya, masih ter-masuk ke dalam golongan masyarakat

miskin. Mengatasi keadaan tersebut, peme-rintah (KKP) mengeluarkan kebijakan un-tuk menghapus retribusi perikanan, guna meningkatkan taraf hidup nelayan dan men-dorong industri perikanan yang selama ini kurang dapat berkembang. Implementasi Kebijakan Penghapusan Retribusi

Kebijakan publik, adalah keputusan mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar, yang dibuat oleh pemegang otoritas publik (Suharto, 2008). Kebijakan publlik pada prinsipnya, menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh negara dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan kese-jahteraan masyarakat. Menurut Suharto (2008), untuk mewujudkan suatu kebijakan perlu memperhatikan : (a) adanya perang-kat hukum berupa peraturan perundang-undangan, agar dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; (b) harus jelas struk-tur pelaksana dan pembiayaannya; (c) adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apabila suatu kebijakan dalam pelak-sanaannya mengalami penyimpangan atau tidak.

Zulkan (2009), menyatakan bahwa untuk menerapkan penghapusan retribusi, pemerintah pusat perlu membuat landasan hukum pembatalan PERDA retribusi, yang selama ini dijadikan pedoman oleh daerah. Kasus yang terjadi di Kabupaten Subang se-harusnya dapat dihindari, apabila sejak awal pemerintah (KKP) memberikan ketegasan hukum (tidak hanya sekedar SE). Perbedaan pandangan Men-KP dan PEMDA Kabupaten Subang mengenai PERDA yang dirubah, menggambarkan bahwa pemerin-tah (KKP) belum sepenuhnya melaksanakan pengkajian jika kebijakannya diberlakukan. Menurut Ahmad Ubbe dalam Pusat Peneli-tian dan Pengembangan Sistem Hukum Na-sional (2008), pengkajian hukum meru-pakan salah satu komponen yang menem-pati proses awal sistem pembentukan per-aturan perundangan. Pendapat tersebut memberikan arti, bahwa pengkajian hukum merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi

37

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

permasalahan hukum yang tersebar dalam masyarakat, menganalisa, dan mempela-jarinya.

Kegiatan ini dibutuhkan untuk menda-patkan rekomendasi berupa upaya strategis dalam rangka pembaharuan hukum, yang dijadikan alasan utama dalam menghapus retribusi perikanan. Pembelajaran karakter-istik daerah yang satu dengan yang lainnya tidak dapat disamakan. Rahardjo (2010), mengungkapkan bahwa tipe hukum meru-pakan lingkungan yang memungkinkan suatu tipe hukum muncul dan bekerja. Pen-dapat tersebut memberikan penjelasan, bahwa penerapan hukum yang baru mem-butuhkan tingkat kesiapan masyarakat un-tuk menggunakannya.

Adanya kompensasi apabila retribusi perikanan dihapuskan sangat diharapkan oleh daerah, khususnya Kabupaten Subang. Dibutuhkan tindakan pemerintah yang bi-jaksana, karena dihapuskannya retribusi perikanan menyebabkan daerah akan kehi-langan salah satu pendapatannya (hasl wawancara dengan pegawai Dinas Penda-patan Daerah Kabupaten Subang, tanggal 25 Agustus 2010). Artinya, dapat menyebab-kan pembangunan dan pengembangan po-tensi perikanan Kabupaten Subang menjadi terhambat. Belum adanya kejelasan pembe-rian kompensasi kepada daerah, menyebab-kan target yang ingin dicapai pemerintah (KKP) melalui kebijakannya belum dapat tercapai.

Pemerintah (KKP) harus segera mem-berikan kejelasan mengenai langkah konk-ret pemberian kompensasi atas kebija-kannya ini. Apabila tidak dicermati, bu-kannya tidak mungkin banyak daerah yang menolak untuk melaksanakan SE Men-KP, meskipun daerah tersebut telah melaksana-kan penghapusan retribusi perikanan. Ra-hardjo (2009), menyatakan dalam pem-buatan hukum penting memahami nilai yang dianut oleh masyarakat. Hal ini dilaku-kan untuk merumuskan setiap aturan hu-kum secara lebih baik dan seimbang, tanpa merugikan pihak tertentu. Din-KP Kabu-paten Subang sangat mengharapkan adanya penggantian jika penghapusan retribusi perikanan diberlakukan, untuk tetap men-

jaga kegiatan operasional daerah (hasil wawancara dengan Kepala Din-KP Kabu-paten Subang, tanggal 25 Agustus 2010). Kesiapan Struktural dan Administrasi Pelaksanaan Penghapusan Retribusi Perikanan

Kebijakan sebagai keputusan yang mengikat publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang mene-rima mandat dari publik/rakyat. Kebijakan publik selanjutnya akan dilaksanakan oleh administrasi negara, yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah (Suharto, 2008). Ad-ministrasi negara menurut Felix A. Nigro dan Lloyd G. Nigro dalam Islamy (2002), mempunyai suatu peranan yang sangat penting dalam merumuskan kebijaksanaan negara, dan oleh karenanya merupakan bagian proses politik. Proses politik berka-itan dengan pembuatan atau perumusan kebijakan, sedangkan fungsi administrasi berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan publik melalui komponen struktural. Kebi-jakan Men-KP dipahami oleh Din-KP Kabu-paten Subang hanya sebagai himbauan saja, karena belum ada pedoman untuk melak-sanakannya (hasil wawancara dengan Kepala Din-KP Kabupaten Subang, tanggal 25 Agustus 2010).

Persoalan ini harus segera ditindak-lanjuti, jika tidak dikhawatirkan kebijakan penghapusan retribusi hanya menjadi wacana saja dan dapat menimbulkan keke-cewaan daerah. Kenyataan tersebut, meng-gambarkan bahwa penerapan kebijakan KKP tidak dibarengi dengan dukungan struktural dan administrasi yang baik. Thomas R. Dye dalam Islamy (2002), mengemukakan bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuannya dan kebijaksanaannya itu harus meliputi semua tindakan pemerin-tah. Pendapatannya memberikan penje-lasan, bahwa pemerintah bukan semata-mata hanya mengutarakan keinginannya, tetapi harus melaksnakan kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut. Pelaksanaan penghapusan retribusi perikanan menuntut banyak persyaratan, serta kesiapan struk-tural dan administrasi. Kebijakan Men-KP

38

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

ini tidak cukup hanya dinyatakan saja, tetapi harus dilaksanakan dengan baik.

Keadaan ini menegaskan, bahwa hanya dalam dan tingkat kesiapan tertentu saja penghapusan retribusi perikanan dapat dilaksanakan dengan baik. Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam Rahardjo (2010), beranggapan ketidaksiapan ini menyebab-kan hukum bersifat koersif, kendati negara merupakan negara hukum. Pernyataan tersebut memberikan makna, bahwa ke-langkaan tenaga terampil dan administrasi yang mapan, menyebabkan hukum masih lebih banyak harus bertumpu pada peng-gunaan paksaan. Kondisi ini menurut Tri F. Mounty dalam Halim dan Damayanti (2007), dapat menjerumuskan daerah ke-dalam ketidaksingkronan atau bahkan akan berakibat kegagalan proses pembangunan di daerah itu sendiri. Kegagalan proses pembangunan di daerah, pada akhirnya mengakibatkan rakyat daerah tersebut juga yang menjadi korban paling dirugikan. Dampak Penghapusan Retribusi Perikanan terhadap PAD Kabupaten Subang

Potensi sumber daya ikan laut hasil tangkapan (non budidaya) Kabupaten Subang, pada tahun 2008 mencapai 18.036,10 ton (nilai produksi sebesar 148.419.066.900 rupiah). Sarana usaha yang digunakan adalah perahu layar, motor tempel dan kapal dengan alat tangkap: pancing, jaring (gill net), purse seine, dan paying. Jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi yang di-jadikan andalan untuk produksi penangkapan, adalah : tengiri, tongkol, ikan merah/bambangan, dan lainnya (Anonimous, 2010). Keragaman potensi perikanan tersebut memberikan peluang dalam menentukan jenis usaha penang-kapan. Wilayah Kabu-paten Subang sampai saat ini masih dapat dikembangkan untuk kawasan industri, karena berhadapan langsung dengan Samudera Hindia dan Laut Jawa.

Pengembangan ini memungkinkan adanya peluang usaha penangkapan ikan di daerah lepas pantai dan perairan ZEE Indo-nesia. Keberhasilan sektor KP yang dimiliki Kabupaten Subang, tidak terlepas faktor kondisi infrastruktur penangkapan ikan yang dibiayai hasil retribusi perikanan dalam PAD. Penerimaan daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004, tentang Perimban-gan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, salah satunya adalah pendapatan daerah yang sumbernya adalah PAD. PAD merupakan pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasar-kan PERDA sesuai dengan peraturan perun-dang-undangan. PAD merupakan sumber penerimaan yang memberikan konstribusi bagi pembiayaan rutin dan pembangunan di Kabupaten Subang. Dampak jika penghapusan retribusi perikanan diberlaku-kan bagi PAD Kabupaten Subang, tidak ter-lalu menggaggu terhadap kas daerah. Hal ini dapat dilihat pada besarnya persentase kon-stribusi retribusi perikanan terhadap PAD Kabupaten Subang pada Gambar 2. Meskipun tidak terlalu mengganggu, akan tetapi retribusi perikanan telah dianggap sebagai aset daerah (hasil wawancara den-gan pegawai Dinas Pendapatan Daerah Ka-bupaten Subang, tanggal 25 Agustus 2010).

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Subang Gambar 2. Persentase Retribusi Perikanan Terhadap PAD

0,650,6

0,79

0,61

0,45

0,000,10

0,200,30

0,400,50

0,600,70

0,800,90

2006 2007 2008 2009 july

2010

Percentagevalue

39

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

Berbeda dengan pihak Din-KP Kabupaten Subang yang sangat setuju dengan penghapusan retribusi perikanan ini. Alasan yang dikemukakan, karena meringankan beban nelayan dan bisa meningkatkan kesejahteraan mereka (hasil wawancara dengan Kepala Din-KP Kabupaten Subang, tanggal 25 Agustus 2010). Penerimaan retribusi perikanan Kabupaten Subang mencapai tingkat tertinggi pada tahun 2008 dan yang terendah pada tahun 2006 (Gambar 3).

Meskipun penerimaan retribusi perikanan terhadap PAD Kabupaten Subang berfluktuasi setiap tahunnya, akan tetapi total penerimaannya selalu melabihi target yang ditetapkan (hasil wawancara dengan pegawai Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Subang, tanggal 25 Agustus 2010). Menurut hasil wawancara dengan Kepala Din-KP Kabupaten Subang (25 Agustus 2010), retribusi perikanan selama ini dipungut, hasilnya tidak pernah diterima oleh Din-KP Kabupaten Subang. Masyarakat KP merupakan pihak yang mengharapkan bentuk konstribusi atau pelayanan yang diberikan daerah dapat dinikmati secara maksimal.

Menurut Siahaan (2008), pemungutan ini harus dipahami oleh masyarakat sebagai sumber penerimaan daerah yang dibutuhkan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hal t e r s e b u t , t i a p d a e r a h t e l a h menggambarkannya di dalam PAD dan juga menetapkan retribusi. Yusyanti (2008), mengatakan semakin baik konstribusi atau pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, semakin banyak pula biaya yang akan dikeluarkan. Demikian juga halnya dengan masyarakat KP di Kabupaten Subang, yang selama ini menginginkan setoran retribusi memberikan manfaat kepada mereka. Dampak Penghapusan Retribusi Perikanan terhadap TPI

TPI menurut PERDA Jabar No. 5/2005, merupakan tempat yang secara khusus disediakan oleh PEMDA untuk melakukan pelelangan ikan, termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di TPI. PEMDA Kabupaten Subang berdasarkan kewenangan yang ada, mengatur, mengurus, dan mengawasi pelelangan ikan. Tujuannya : (a) meningkatkan pendapatan, taraf hidup, dan kesejateraan nelayan; (b) mendapatkan kepastian pasar dan harga yang layak bagi n e l a y a n m a u p u n k o n s u m e n ; (c) memberdayakan koperasi nelayan; (d) meningkatkan pengetahuan dan kemampuan nelayan.

Fishery Retribution and PAD of Subang Distric (Rupiah)

PAD 0 56.087.432.241 62.910.781.766 67.624.249.595 73.067.613.991 39.512.128.825

Fishery Retribution 0 363.141.820 376.923.232 532.800.513 446.373.308 171.459.760

y ear 2006 2007 2008 2009 July 2010

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Subang Gambar 3 : Retribusi Perikanan dan PAD Kabupaten Subang

40

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

Kabupaten Subang menetapkan tarif retribusi TPI didasarkan pada tujuan untuk biaya pembangunan dan penyediaan sarana TPI, biaya operasional pemeliharaan, serta biaya lelang. Besarnya tarif retribusi ditetap-kan, sebesar 5 % nilai harga transaksi yang dibebankan kepada pembeli/bakul (3 %) dan penjual/nelayan (2 %). Pengaturan penggunaan retribusi yang ditetapkan berdasarkan PERDA Jabar No. 5/2005 (Pasal 18), dapat dilihat pada Gambar 4.

Pembagian penerimaan PEMDA dan pemerintah kabupaten (PEMKAB) atau kabupaten kota sebesar 1,60%, dibagi untuk PEMDA 0,60% dan pemerintah kabupaten atau kabupaten kota 1%. Biaya operasional dan pemeliharaan TPI sebesar 0,80% terdiri : (a) pembangunan daerah perikanan 0,10%; (b) pembinaan/pengawasan oleh PEMDA 0,15%; (c) pembina/pengawasan PEMKAB kota 0,15%; (d) biaya operasional Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) Mina dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Provinsi Jawa Barat 0,15%; (e) biaya pemeliharaan TPI 0,25%. Dana nelayan sebesar 0,80% terdiri: (a) tabungan nelayan 0,35%; (b) asuransi nelayan 0,15%; (c) dana paceklik 0,20%; (d) dana sosial 0,10%. Biaya bantuan keamanan dan kas desa 0,15% terdiri : biaya keamanan 0,10% dan dana bantuan kas desa 0,05%.

TPI di Kabupaten Subang, salah satunya terletak di Kecamatan Blanakan.

Penyelenggaraan TPI saat ini dikelola oleh KUD Mina Fajar Sidik. Sejarah berdirinya terbentuknya KUD Mina Fajar Sidik dapat dilihat pada Tabel 1. Sampai saat ini karyawan KUD Mina Fajar Sidik berjumlah 48 orang, dengan anggota yang dilayani per 31 Desember 2009, berjumlah 3.805 orang. Visi dan misi KUD Mina Fajar Sidik, adalah meningkatkan kesejahteraan para anggotanya dan masyarakat pada umumnya. Upaya yang diakukan, diarahkan untuk menciptakan efisiensi dan produktivitas terhadap setiap unit usaha yang diprioritaskan. Sasaran yang ingin dicapai, yaitu mampu berperan sebagai tulang punggung perekonomian rakyat, sehingga nantinya KUD diharapkan mampu bersaing dengan pelaku dunia usaha lainnya (hasil wawancara dengan sekretaris KUD Mina Fajar Sidik, Kecamatan Balanakan, tanggal 27 Agustus 2010).

Potongan ongkos lelang di TPI Kecamatan Blanakan sebesar 8%, dikenakan terhadap : nelayan (5% raman kotor : 2% (PERDA) + 3% (hasil Rapat Anggota Tahunan/RAT) dan bakul (3% nilai pembelian). Besarnya potongan ongkos lelang didasarkan kepada PERDA Jabar No. 5/2005 dan hasil keputusan RAT KUD Fajar Mina Sidik. Rincian potongan ongkos lelang berdasarkan RAT (3%) : (a) tabungan nelayan (0,25%); (b) dana sosial (0,25%); (c) dana kesejahteraan pengurus/karyawan (1,60%); (d) dana bantuan pembangunan desa (0,20%); (e) dana pembangunan

0,80%

1,65%

0,80%

1,60%

0,15%

Penerimaan PEMDA dan PEMKAB atau Kabupaten Kota

Biaya Operasional dan perawatan TPI

Biaya Administrasi dari pelelangan ikan

Dana nelayan

Biaya bantuan keamanan dan kas desa

Gambar 4. Pengaturan Penggunaan Retribusi

41

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

Tahun Keterangan

1958 H. Dirman Abdurahman merintis dan memprakarsai gerakan koperasi di

Desa Balanakan.

1966

23 Mei 1966, H. Dirman Abdurahman beserta tokoh terkemuka di

Kecamatan Blanakan dan pemerintah setempat mendirikan Koperasi

Perikanan Laut (KPL), Misaya Laksana.

1968 14 Nopember 1968, KPL Misaya Laksana mendapat hukum dengan no.

3928.

1974

KPL Misaya Laksana diganti namanya menjadi KPL Misaya Fajar Sidik,

yang merupakan nama almarhum H. Fajar Sidik (sebagai penghargaan

kepada beliau selama menjabat menjadi ketua).

1978

KPL Misaya Fajar Sidik diganti namanya menjadi Koperasi Unit Desa Mina

Fajar Sidik, berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia

No.2/1978 (badan hukum No. 3928 B).

1989 24 April 1989, KUD Mina Fajar Sidik menyusun kembali anggaran

dasarnya dan menjadi badan hukum dengan no. 3928 C/BH/KWK.10/11.

1990

26 Maret 1990, KUD Mina Fajar Sidik menjadi KUD mandiri berdasarkan

Surat Keputusan Menteri Koperasi Republik Indonesia No. 344/KPTS/M/

III/1990.

1994

24 Desember 1994, KUD Mina Fajar Sidik kemudian ditetapkan menjadi

KUD Mandiri inti berdasarkan Surat Kakanwil Depkop dan PPK, Provinsi

Jawa Barat.

1996

18 April 1996, KUD Mina Fajar Sidik berbadan hukum No. 3928/BH/

PAD/KWK.10 (berdasarkan Surat Kakanwil Depkop dan PPK, Provinsi

Jawa Barat).

1997

30 Juli 1997, KUD Mina Fajar Sidik berbadan hukum no. 3928/BH/PAD/

KWK.10/VII-1997 (berdasarkan Surat Kakanwil Depkop dan PPK,

Provinsi Jawa Barat).

Tabel 1. Kronologis Sejarah KUD Mina Fajar Sidik

wilayah kerja KUD (0,20%); (f) dana lain-lain (0,50%). Hak pemerintah yang diperoleh terhadap pengelolaan dan operasional TPI di Kecamatan Balanakan, sebesar 2,4%: retribusi 1,60% serta BOPPG/Biaya Pemeliharaan dan Operasional TPI (BOPTPI) sebesar 0,80% (biaya pembinaan/pengawasan oleh pemerintah kabupaten atau kota 0,15%; biaya pembangunan daerah perikanan 0,10%; biaya operasional PUSKUB Mina

serta DPD HNSI 0,15%; dan biaya pemeliharaan TPI 0,25%).

Kebijakan Men-KP tidak mempenyai daya berlaku yang efektif, sehingga menyebabkan belum bisa dilaksanakan terhadap TPI di Kecamatan Blanakan. Selama PERDA Jabar No. 5/2005 belum dibatalkan, maka retribusi perikanan masih tetap berjalan. Pihak pengelola TPI masih mempertanyakan, retribusi mana yang akan dihapuskan dan untuk kalangan mana saja

42

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

(hasil wawancara dengan nelayan Kecamatan Blanakan, tanggal 27 Agustus 2010). Kondisi ini memperlihatkan, bahwa kebijakan penghapusan retribusi perikanan terkesan dipaksakan dan terburu-buru. Berdasarkan hasil wawancara dengan sekretaris KUD Fajar Mina Sidik, Kecamatan Blanakan (27 Agustus 2010), diketahui bahwa pungutan retribusi perikanan oleh pengelola TPI dialokasikan untuk mengeruk sungai (jalur pendaratan kapal ke TPI), memelihara kebersihan TPI, serta mem-bangunan sarana dan infrastruktur TPI.

Pengelola TPI menyetujui apabila retribusi terhadap bakul dihilangkan atau dihapus. Alasannya, karena akan memunculkan adanya persaingan harga yang menyebabkan harga ikan bisa menjadi mahal (hasil wawancara dengan sekretaris KUD Fajar Mina Sidik, Kecamatan Blanakan, tanggal 27 Agustus 2010). Dampak yang ditimbulkan jika penghapusan retribusi perikanan diberlakukan, tidak begitu besar terhadap aktivitas TPI. Kenyataan ini lebih dikarenakan, KUD sebagai pihak pengelola TPI mempunyai aktivitas ekonomi lainnya, seperti : pabrik es, penyediaan perumahan type 26/120, simpan pinjam, Bahan Alat Perikanan (BAP), pertokoan serta pujasera, dan fasilitas SPDN (Pengadaan BBM Solar).

Berdasarkan usah yang dimiliki KUD Mina Fajar Sidik, dan operasional TPI masih dapat ditutupi melalui pemasukan KUD lainnya tersebut. TPI yang terletak di Kecamatan Blanakan ini, merupakan penyumbang retribusi perikanan terbesar bagi Kabupaten Subang (hasil wawancara pegawai Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Subang. Tanggal 25 Agustus 2010). Pihak pengelola TPI mengharapkan retribusi perikanan yang berkaitan dengan potongan lelang tidak dihapus. Keinginan ini didasari, bahwa nantinya pengelolaannya akan diambil oleh ijon, karena KUD tidak lagi berperan dalam mengelolanya (hasil wawancara dengan sekretaris KUD Mina Fajar Sidik, Kecamatan Blanakan, tanggal 27 agustus 2010). Akibat yang ditimbulkan, dapat menyebabkan terjadinya kekacauan sistem manajemen

pada pengelolaan aktivitas TPI dan akan menyusahkan nelayan kecil. Dampak Penghapusan Retribusi Perikanan terhadap Nelayan

Pada umumnya nelayan di Kabupaten Subang menyambut baik SE Men-KP. Dihapuskannya retribusi perikanan membuat nelayan tidak lagi terbebani atau dapat dikatakan sebagai bentuk kemerdekaan nelayan. Fenomena ini terlihat pada wilayah yang mayoritas penduduknya merupakan nelayan kecil. Nelayan kecil ini pada umumnya mempunyai penghasilan yang minim, jadi jika retribusi perikanan dihapuskan akan menambah pendapatan ekonomi nelayan. Ketua HSNI Kabupaten Subang menyatakan : “ ........... adanya kebijakan Menteri Perikanan dan Kelautan merupakan angin segar bagi dunia nelayan, khususnya di Kabupaten Subang. Penghapusan tersebut juga dinilai akan membebaskan belenggu kesengsaraan nelayan, khusunya bagi nelayan kecil.......” (Anonimous, 2009).

Pernyataan tersebut berbeda dengan yang dialami oleh nelayan di Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang. Mereka justru khawatir rencana penghapusan retribusi perikanan akan berpengaruh terhadap kegiatannya selama ini (hasil wawancara dengan nelayan Kecamatan Blanakan, tanggal 27 Agustus 2010).

Retribusi perikanan yang dipungut kepada nelayan oleh nelayan, apabila dihapus menyebabkan mereka kesulitan dana dan tidak ada yang membantu (hasil wawancara dengan nelayan Kecamatan Blanakan, tanggal 27 Agustus 2010). Tujuan adanya retribusi perikanan, yaitu untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan keperluan nelayan. Kebutuhan dan keperluan nelayan tersebut, meliputi : dana paceklik, asuransi nelayan, dana sosial kecelakaan, dan tabungan nelayan (hasil wawancara dengan sekretaris KUD Mina Fajar Sidik, Kecamatan Blanakan, tanggal 27 agustus 2010). Selama ini sumber dana kebutuhan dan keperluan nelayan, diakomodir melalui hasil retribusi perikanan. Retribusi perikanan selain

43

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

digunakan untuk kebutuhan nelayan (sekitar 1%-2%), masuk juga ke dalam PAD.

Pengalokasian tersebut didasarkan pada ketentuan PERDA Jabar No. 5/2005. Pelaksanaan penghapusan retribusi memberikan tanggung jawab kepada pemerintah pusat dan PEMDA Kabupaten Subang, untuk mampu menjamin semua kebutuhan serta keperluan nelayan. Retribusi perikanan yang diberlakukan sekarang dirasakan nelayan Kecamatan Blanakan tidak memberatkan, bahkan justru memberikan keuntungan bagi mereka (hasil wawancara dengan nelayan Kecamatan Blanakan, tanggal 27 Agustus 2010). Nelayan juga mengakui bahwa selama ada lelang di TPI, berarti ada yang membeli ikan mereka. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, sampai saat ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Subang masih mempelajari dan melakukan kajian berkaitan dengan penghapusan retribusi perikanan. DPRD Kabupaten Subang, menunggu adanya kepastian hukum yang akan ditetapkan oleh pemerintah (KKP) (Anonimous, 2009).

D. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Kebijakan Men-KP, memerlukan tindak lanjut yang menjadi dasar hukum untuk memberikan kepastian dalam menerapkannya. Paradigma yang dihadapi dalam memahami kebijakan pemerintah (KKP) berupa SE Men-KP, menimbulkan permasalahan bagi PEMDA Kabupaten Subang. Permasalahan ini disebabkan, ada-nya ketidakpastian terhadap aturan yang akan dijadikan acuan dalam melaksanakan penghapusan retribusi perikanan.

Penghapusan retribusi perikanan, apabila diberlakukan akan berdampak terhadap PAD Kabupaten Subang dan Nelayan di Kecamatan Blanakan. Dampak dilaksanakannya penghapusan retribusi perikanan, dirasakan Kabupaten Subang dapat mengurangi sumber pendapatan daerah (PAD) yang diterima. Retribusi

perikanan yang diterima selama ini, digunakan oleh Kabupaten Subang untuk membangun potensi kelautan dan perikanan di wilayahnya. Kebijakan Men-KP juga dikhawatirkan oleh nelayan di Kecamatan Blanakan, akan memberikan akibat yang mengganggu aktivitas mereka dalam menjual hasil tangkapan ikan.

Dampak lainnya yang akan dirasakan oleh nelayan Kecamatan Blanakan oleh nelayan Kecamatan Blanakan dengan dihapuskannya retribusi perikanan, menyebabkan tidak ada lagi yang membantu apabila mereka membutuhkan dana pada saat sedang mengalami kesulitan. Kebutuhan nelayan selama ini, terpenuhi dengan adanya pungutan retribusi perikanan yang sebagian disisihkan oleh pengelola TPI, untuk digunakan bagi untuk memenuhi kepentingan nelayan. Sebaliknya, penghapusan retribusi perikanan jika diberlakukan tidak memberikan dampak terhadap TPI di Kecamatan Blanakan. Hal ini dikarenakan, KUD Mina Fajar Sidik sebagai pengelola TPI mempunyai usaha tambahan untuk tetap menjaga beroperasionalnya TPI. Implikasi Kebijakan

Pemerintah (KKP) apabila ingin memberlakukan kebijakan penghapusan retribusi wajib membuat Peraturan Menteri. Peraturan Menteri ini diperlukan untuk memberikan ketegasan yang dijadikan sebagai payung hukum bagi daerah yang akan menerapkan penghapusan retribusi, khususnya Kabupaten Subang. Kepastian hukum ini diperlukan agar kebijakan Men-KP nantinya tidak hanya sekedar menjadi wacana saja. Penerapan kebijakan penghapusan retribusi perikanan, menuntut Pemerintah (KKP) harus mampu mengimplementasikan solusi mengenai realisasi mekanisme pemberian kompensasi. Pemberian kompensasi sangat diperlukan untuk mengganti hilangnya pemasukan pendapatan daerah (PAD) Kabupaten Subang, akibat dihapusnya pungutan retribusi perikanan.

44

Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Retribusi Perikanan

Suasan

a Mu

srenb

ang T

ingk

at Ko

ta Palan

gka R

aya Tah

un

20

11