buletin - aplindoaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/buletin-aplindo-50.pdfbuletin - aplindo...

51
BULETIN APLINDO N0.50/2017, Januari – Februari 2017 Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 3 Ruang 303A Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270 Telp. 021.573 3832 ; 571 0486; Fax : 021.572 1328 Email :[email protected] Web Site : www.aplindo.web.id APLINDO

Upload: lamque

Post on 03-Jul-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN APLINDO N0.50/2017, Januari – Februari 2017

Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia

Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 3 Ruang 303A

Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270

Telp. 021.573 3832 ; 571 0486; Fax : 021.572 1328

Email :[email protected] Web Site : www.aplindo.web.id

APLINDO

Page 2: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

1

DAFTAR ISI

No. Uraian Halaman

1. Pengantar Redaksi 2

2. Pengembangan Industri Nasional 3

3. Siaran pers Kemendag “SIUP tidak perlu diperpanjang” 5

4. Harga Gas Industri belum juga Turun, FIPGB Melaporkan ke

Ombudsman

6

5. ESDM: Harga Gas di Sumut Turun US$ 4/MMBtu Per 1 Februari 2017 11

6. Transformasi Industri Manufaktur Jawa Melalui Pengembangan Rantai Integrasi Produksi dan Nilai

12

7. Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur Untuk Mewujudkan Industrialisasi Indonesia Yang Berdaya Saing Global

19

8 Modeling of aluminum – silicon irregular eutectic growth by cellular automaton model

35

9. Data Kendaraan Bermotor

1. Data kendaraan bermotor roda 4 di Indonesia & ASEAN 2. Data kendaraan bermotor roda 2 di Indonesia & ASEAN

44

45

10. Informasi Umum dan Pameran 1. Website pemerintah yang dapat diakses

2. Website Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia 3. Website Himpunan Ahli Pengecoran Logam Indonesia

Pameran dan Seminar

47

47 47

47

Page 3: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

2

Pengantar Redaksi

Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan penurunan harga gas untuk

industri di Wilayah Medan dan sekitarnya berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor

434 K/12/MEM/2017 tentang Harga Gas Untuk Industri di Wilayah Medan dan

Sekitarnya, tanggal 13 Februari 2017 dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan

berlaku surut sejak tanggal 1 Februari 2017 yang semula US$ 12,2/MMBtu menjadi US$

9,82/MMBtu.

Selain itu juga diberitakan kondisi dan perkembangan industri pengolahan di

Indonesia menurut penelitian dari Bank Indonesia dimana Industri pengolahan

memegang peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi dan terhadap PDRB (Product

Domestic Bruto) yang terbesar dibandingkan lapangan usaha lainnya. Sejak krisis

keuangan dunia pada tahun 2008, pangsa industri pengolahan di Jawa memang terus

mengalami penurunan hingga levelnya saat ini, belum menunjukkan indikasi untuk

kembali kepada level sebelumnya. Disisi lain, sektor perdagangan dan jasa-jasa tumbuh

lebih tinggi di atas industri pengolahan.

Dalam edisi ini juga memuat artikel-artikel untuk menambah pengetahuan dibidang

pengecoran logam, selanjutnya kami mengharapkan agar buletin ini menjadi media

antar anggota maupun antar industri pengecoran didalam negeri dan diluar negeri.

Harapan kami, seluruh anggota dapat mengisi buletin ini menjadi kenyataan.

Redaksi buletin APLINDO menghimbau anggota APLINDO berpartisipasi dalam mengisi

tulisan/artikel, data maupun informasi lain yang berhubungan dengan industri

pengecoran logam. Naskah tulisan/artikel dapat dikirim ke sekretariat APLINDO, melalui

email ataupun fax.

Redaksi

Page 4: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

3

Pengembangan Industri Logam Nasional

Dirjen Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan dalam acara temu usaha di Kementerian Perindustrian pada tanggal 16 Januari 2017

Pada tanggal 16 Januari 2017, Dirjen Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan

Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan dalam

acara temu usaha di Kementerian Perindustrian yang tengah berupaya

menyeimbangkan antara industri hulu dan hilir baja serta meningkatkan penguatan

struktur industrinya di dalam negeri. Penguatan tersebut dilakukan mulai dari sektor

hulu sampai hilir agar bisa saling bersinergi dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi

nasional.

Pertemuan tersebut merupakan komitmen dari Kemenperin dalam melaksanakan

amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara serta UU

No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Salah satu program lanjutan dari hilirisasi

mineral adalah pengembangan industri terintegrasi dari hulu sampai hilir seperti yang

diterapkan di Kawasan Industri Morowali dan Konawe yang berbasis smelter.

Kementerian Perindustrian bersama pemangku kepentingan terkait lainnya juga tengah

berupaya untuk mengendalikan impor besi dan baja melalui Peraturan Menteri

Perdagangan No.82/2016 tentang Impor Besi atau baja, Baja Paduan, dan Produk

Turunannya. Karena impor besi dan baja tidak dikontrol dan semakin besar, akan

membahayakan keberlangsungan industri hulu di dalam negeri. Jika di hulu tidak bisa

menyuplai industri hilirnya maka akan lebih banyak mengimpor dan akan membebani

neraca perdagangan Indonesia.

Page 5: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

4

Penggunaan bahan baku logam domestik terus ditingkatkan untuk pemanfaatan secara

optimal di industri hilir. Untuk itu, Kemenperin memacu pengembangan industri logam

berbasis sumber daya lokal karena prospek sektor induk ini di masa mendatang masih

cukup potensial.

Dalam hal ini, Kemenperin memfokuskan pada program Peningkatan Penggunaan

Produk Dalam Negeri (P3DN) yang merupakan salah satu upaya pemerintah untuk

mendorong masyarakat maupun badan usaha agar lebih menggunakan produk dalam

negeri, sehingga dapat mengurangi ketergantungan kepada produk impor, serta

meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri.

Pemerintah juga berupaya untuk menciptakan iklim usaha yang semakin kondusif

melalui percepatan pembangunan infrastruktur sehingga turut memacu kinerja industri

logam agar mampu meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia.

Disela sela pertemuan tersebut Ketua APLINDO, Achmad Safiun mengatakan bahwa

penaikan dan penurunan bea masuk produk baja tidak akan membantu penguatan dan

pengembangan industri dalam negeri. Karena pabrik baja saat ini di PT Krakatau Steel

belum dapat memproduksi besi dan masih mengimpor bahan baku berupa slab dan

masih menggunakan teknologi lama dan lahap energi yaitu 650-700 Kwh per ton,

sedangkan produk yang dihasilkan masih belum memenuhi spec untuk bahan baku

industri hilir, misalnya industri otomotif.

Selain itu untuk memiliki daya saing, industri perlu energi baik itu listrik maupun gas

yang murah. Tingginya tarif dasar listrik dan gas bumi menyumbang biaya utilitas yang

tinggi bagi industri yang secara otomatis akan meningkatkan biaya produksi. Penurunan

harga gas memberikan pengaruh positif pada sektor industri dan secara langsung

berkontribusi terhadap penurunan biaya produksi, sehingga mendorong produk dalam

negeri dapat bersaing di pasar. Murahnya biaya energi dapat menjadi salah satu nilai

tambah dalam peningkatan investasi dalam negeri.

----oooo-----

Page 6: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

5

Page 7: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

6

Harga Gas Industri belum juga Turun

FIPGB Melaporkan ke Ombudsman

Pada tanggal 4 Oktober 2016, Presiden Jokowi sudah mengintruksikan agar harga gas

industri turun dibawah US$ 6 per mmBTU di pintu pabrik pada 1 Januari 2017. Intruksi

itu merupakan kelanjutan dari paket kebijakan penurunan harga gas yang masih belum

terealisasi walaupun sudah diumumkan 7 Oktober 2015. Namun, Kementerian Energi

dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga detik ini baru mengeluarkan aturan

penurunan harga gas berdasarkan Permen No.40 tahun 2016 untuk 8 perusahan yaitu 3

industri petrokimia (PT Kaltim Parna Industri, PT. Kaltim Methanol Industri dan PT.

Petrokimia Gresik), 4 industri pupuk (PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk

Iskandar Muda dan PT. Pupuk Sriwijaya) dan 1 industri baja (PT Krakatau Steel).

Permasalahan kebijakan penurunan harga gas yang berlarut ini membuat perusahaan

asing yang tadinya berniat berinvestasi di Indonesia akhirnya beralih ke lokasi lain,

seperti Malaysia, karena janji pemerintah tidak terealisasi. Apalagi langkah pemerintah

negeri jiran Malaysia yang menurunkan harga gas semakin rendah pada 2016 semakin

memanjakan industri berbasis gas di Malaysia yang sekian lama memperoleh harga gas

lebih rendah dari industri di Indonesia.

Demikian pula dengan industri pupuk yang telah mendapatkan penurunan harga gas

ternyata bagi industri pupuk tidak berdampak pada peningkatan daya saing dan industri

pupuk berharap harga gas bisa lebih rendah atau sesuai dengan harga yang berlaku di

pasar internasional sekitar US$ 3-4 per mmBTU karena gas berkontribusi sekitar 70%

terhadap biaya produksi, Kondisi ini tidak menguntungkan untuk perkembangan industri

di dalam negeri.

Melihat kegagalan pemerintah untuk merealisasikan kebijakan penurunan harga gas dan

dampak yang tidak menguntungkan bagi industri, maka Ketua Umum Forum Industri

Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Safiun akan terus mendorong realisasi janji

penurunan harga gas kepada pemerintah dengan memberikan laporan ke Ombudsman

mengenai kegagalan kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk melaksanakan

perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar menurunkan harga gas bagi industri

sebagai mana terlampir dihalaman berikut.

Page 8: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

7

NAMA

Pelapor

Achmad Safiun

Selaku Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB)

ALAMAT SURAT Kemang Village Residence, Tower Ritz G606, RT 014 Rw 005 Kel.

Bangka Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan

No.Telpon/HP 08111311935

TERLAPOR

Instansi/Pejabat

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

PERIHAL Penurunan Harga Gas Bumi

KRONOLOGIS

Uraian keluhan, peristiwa, tindakan, kelalaian atau keputusan yang dilaporkan jelas dan rinci.

Belum melampaui waktu 2 (dua) tahun (p.24)

Tidak sedang atau telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, kecuali laporan tersebut menyangkut tindakan maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan (p.36)

Telah menyampaikan keberatan tersebut kepada pihak yang dilaporkan

Substansi yang dilaporkan masuk dalam kewenangan Ombudsman

Tanggal Peristiwa Catatan/Bukti

1 Juni 2015 FIPGB mengirim surat ke Menteri

Keuangan dengan No.

011/FIPGB/IV/2015, dan

dikirimkan pula ke Menteri ESDM,

perihal mohon harga gas bumi

diturunkan karena harga gas

global turun

Terlampir

14 Juli 2015 Tanggapan dari Menteri Keuangan

dengan nomor surat S-

544/MK.02/2015

Terlampir

28 Juli 2015 FIPGB mengirim surat ke Menteri

ESDM dengan No.

015/FIPGB/VI/2015, mohon harga

gas diturunkan

Terlampir

9

September

2015

"Paket Kebijakan Ekonomi",

menggerakkan ekonomi nasional,

mendorong daya saing industri

nasional dengan insentif fiskal,

otoritas Pemerintah menjamin

alokasi dan harga gas untuk

industri yang akan berlaku efektif 1

Januari 2016

Terlampir

7 Oktober “Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III” Terlampir

Page 9: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

8

2015 harga gas dari lapangan gas baru

ditetapkan sesuai industri pupuk,

yakni sebesar 7 US$/mmBTU,

sedangkan harga untuk industri

lainnya (seperti petrokimia,

keramik dsb) akan diturunkan

sesuai dengan kemampuan industri

masing-masing, penurunan harga

gas dengan efisien di 8 sistem

distribusi gas serta pengurangan

penerimaan negara atau PNBP gas.

17

Nopember

2015

Menteri Perindustrian mengusulkan

harga gas untuk industri kepada

Menteri ESDM dengan surat no.

524/M-IND/11/2015

Terlampir

4 Maret

2016

FIPGB mengirim surat ke Presiden

dengan No. 034/FIPGB/III/2016

perihal harga gas, tidak sesuai

dengan Paket Ekonomi III yang

menyatakan harga gas bumi

berlaku per 1 Januari 2016

Terlampir

3 Mei 2016 Peraturan Presiden No.40 tahun

2016, “Dalam hal harga Gas Bumi

sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 tidak dapat memenuhi

keekonomian Industri Pengguna

Gas Bumi dan Harga Gas Bumi

lebih tinggi dari US$ 6/MMBTU,

Menteri dapat menetapkan Harga

Gas Bumi Tertentu”. Perpres ini

berlaku surut sejak tanggal 1

Januari 2016

Terlampir

16 Juni

2016

Peraturan Menteri ESDM No.16

tahun 2016, “ Dalam hal harga Gas

Bumi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 tidak dapat

memenuhi keekonomian Industri

Pengguna Gas Bumi dan Harga

Gas Bumi pada titik serah dari

Kontraktor lebih tinggi dari US$

6/MMBTU, Menteri dapat

menetapkan Harga Gas Bumi

Terlampir

Page 10: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

9

Tertentu kepada Pengguna Gas

Bumi Tertentu ”, Permen ini

berlaku sejak diundangkan dan

berlaku surut sejak tanggal 1

Januari 2016

14 Juli 2016 FIPGB mengirim surat ke Presiden

dengan no. 041/FIPGB/VII/2016

perihal Perpres no.40 tahun 2016

tidak bermanfaat karena peraturan

pelaksananya tidak sejalan dengan

Perpres no.40 tahun 2016

Terlampir

4 Oktober

2016

Presiden Joko Widodo dalam rapat

terbatas di Istana Presiden Jakarta

menginstruksikan harga gas untuk

industri diturunkan sampai di

bawah US$ 6 /MmBTU dalam

waktu 2 bulan untukm eningkatkan

daya saing industri

Terlampir

25

Nopember

2016

Peraturan Menteri ESDM No.40

tahun 2016 tentang Harga Gas

Bumi Untuk Industri Tertentu,

permen ini berlaku terhitung mulai

1 Januari 2017 untuk industri

pupuk, petro kimia dan baja

Terlampir

LAMPIRAN 1. Fotokopi KTP 2. Fotokopi Dokumen :

Surat FIPGB No.

011/FIPGB/IV/2015 Surat Menteri Keuangan no. S-

544/MK.02/2015 Surat FIPGB No.

015/FIPGB/VI/2015 Paket Kebijakan Ekonomi 9

September 2015 Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III

Surat Menteri Perindustrian, no. 524/M-IND/11/2015

Surat FIPGB No. 034/FIPGB/III/2016

Peraturan Presiden No.40 tahun 2016

Peraturan Menteri ESDM No.16 tahun 2016

Surat FIPGB No. 041/FIPGB/VII/2016

Dugaan

Maladministrasi*

Penundaan Berlarut

Penyalahgunaan

Wewenang

Penyimpangan Prosedur

Permintaan uang,

Barang dan Jasa

Tidak Kompeten

Tidak Memberikan

Pelayanan

Tidak Patut

Berpihak

Page 11: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

10

Siaran Pers Presiden Jokowi Peraturan Menteri ESDM No.16

tahun 2016

Data gas Harga gas

Kerugian

Materiil/immateriil

1. Ketidakpastian berusaha 2. Produk dalam negeri tidak berdaya saing 3. Penurunan kontribusi industri pengolahan non migas terhadap

PDB 4. Pengurangan tenaga kerja 5. Industri tidak berdaya

Upaya Yang

Sudah Dilakukan

Uraian yang menjelaskan bahwa Pelapor sebelumnya telah menyampaikan keluhan secara tertulis atau lisan kepada pihak terlapor atau atasannya dan tidak memperoleh tindaklanjut sebagaimana mestinya

Rapat koordinasi dengan instansi pemerintah terkait, antara lain :

Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)

Dewan Energi Nasional (DEN)

Kementerian Perindustrian

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Kementerian Keuangan

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman

SKK Migas,

BPH Migas

Harapan

Permintaan penyelesaian yang diajukan

Kebijakan penurunan harga gas untuk industri dibawah 6 USD per mmBTU harus dilaksanakan secara konsisten sesuai waktu tanggal 1 Januari 2016.

Dapat dibersihkan dari pemburu rente

Harga $6 per mmBTU untuk industri pupuk masih perlu ditinjau kembali untuk diturunkan.

Keterangan -

Saya bersumpah bahwa semua keterangan dan bukti yang saya berikan dalam laporan

ini saya berikan dengan sebenar-benarnya, tanpa ada yang disembunyikan, maka

apabila dikemudian hari dalam keterangan dan bukti tersebut ditemukan kebohongan,

dan/atau kepalsuan disembunyikan, maka saya sanggup menjalankan hukuman yang

diberikan oleh Negara dan Tuhan YME.

Jakarta, 24 Januari 2017

Page 12: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

11

ESDM: Harga Gas di Sumut Turun US$ 4/MMBtu

Per 1 Februari 2017

Setelah sekian lama menunggu keputusan turunnya harga gas bumi untuk industri di

Sumatera Utara, akhirnya turun berita bahwa, Menteri ESDM Ignasius Jonan

menetapkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 434 K/12/MEM/2017 tentang Harga Gas

Untuk Industri di Wilayah Medan dan Sekitarnya, tanggal 13 Februari 2017, mulai

berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 1 Februari 2017.

Keputusan ini diambil untuk menjaga keberlangsungan pertumbuhan industri dan

mewujudkan harga gas bumi yang dapat memberikan peningkatan nilai tambah dan

daya saing industri di wilayah Medan dan sekitarnya.

Dalam aturan tersebut harga gas berlaku untuk seluruh jenis pengguna gas bumi untuk

industri di wilayah Medan dan sekitarnya, dihitung berdasarkan komponen harga gas

bumi hulu, tarif penyaluran dan biaya distribusi gas bumi, tercantum pada Lampiran I, II

dan III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kepmen ini.

Penurunan harga gas sebesar hampir US$ 4/MMBtu ini diharapkan industri di Medan

dan sekitarnya bisa lebih efisien dan berdaya saing karena harga gas lebih murah untuk

industri di Sumatera Utara (Sumut) sudah dipangkas dari sekitar US$ 12,2/MMBtu

menjadi US$ 9,82/MMBtu seperti terlihat dalam tabel 1.

Tabel 1 Harga Gas Untuk Industri Di Sumatera Utara

Keterangan : Harga ICP per Januari 2017 = 51.88 USD/barrel

: 1 BOE = 5.8 MMBTU Sumber : Keputusan Menteri ESDM Nomor 434 K/12/MEM/2017, Diaolah

Penurunan harga ini terjadi karena adanya pemangkasan biaya di hulu, transmisi, dan

distribusi. Di hulu, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) bersedia menurunkan harga gas dari

blok North Sumatera Offshore (NSO) dari US$ 7,85/MMBtu menjadi US$ 6,95/MMBtu

ditambah 1% ICP dan PT PGN dari PT Pertamina EP dari US$ 8,24/MMBtu menjadi US$

6,82/MMBtu ditambah 1% ICP.

Pemasok Harga Hulu Tarif Penyaluran Biaya Distribusi

Total USD/MMBtu 1% ICP USD/MSCF USD/m3

PT Pertamina

6.95

0.09

1.88

0.90

9.82

PT PGN

6.95

0.09

1.88

0.90

9.82

Page 13: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

12

Transformasi Industri Manufaktur Jawa Melalui Pengembangan Rantai

Integrasi Produksi dan Nilai (Kondisi, Tantangan dan Strategi Pengembangan)

Kondisi Industri Manufaktur

Industri pengolahan memegang peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi di Jawa,

dengan memiliki pangsa terhadap PDRB (Product Domestic Regional Bruto) yang

terbesar dibandingkan lapangan usaha lainnya yaitu mencapai 29%. Tenaga kerja yang

berhasil diserap oleh industri pengolahan juga tergolong tinggi, dengan tingkat

penyerapan mencapai 18,2% dari total angkatan kerja. Dari sisi penanaman modal,

realisasi investasi langsung yang masuk ke Jawa sebagian besar ditujukan untuk industri

pengolahan atau manufaktur, dan mencapai 45% dari total investasi langsung.

Selain itu, ekspor non migas Jawa mayoritas merupakan produk industri manufaktur.

Sejak krisis keuangan dunia pada tahun 2008, pangsa industri pengolahan di Jawa

memang terus mengalami penurunan hingga levelnya saat ini, dan belum menunjukkan

indikasi untuk kembali kepada level sebelumnya.

Disisi lain, pangsa sektor jasa justru terus mengalami peningkatan. Dari fenomena

tersebut, terdapat tiga tantangan utama industri pengolahan yang berhasil diidentifikasi,

yaitu:

a. Deindustrialisasi

Krisis keuangan dunia pada tahun 2008 telah menyebabkan permintaan global

menurun dan kemudian berdampak pada melambatnya pertumbuhan industri

pengolahan di Jawa sebagai salah satu pemasok rantai global. Penurunan tersebut

juga terindikasi dari pangsa industri manufaktur dalam PDRB yang terus menurun

dari 32% pada tahun 2000 hingga mencapai 28% pada tahun 2015.Terhadap

industri pengolahan nasional, pangsa industri pengolahan di Jawa tetap paling

dominan yaitu sebesar 71%.

Melambatnya pertumbuhan industri manufaktur berimplikasi pada penyerapan

tenaga kerja sektor industri yang tidak mengalami banyak perubahan sejak tahun

2001 hingga 2015. Namun di saat yang sama, sektor perdagangan dan jasa-jasa

tumbuh lebih tinggi di atas industri pengolahan.

Page 14: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

13

Grafik I. Pangsa PDRB Jawa Sektoral

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Grafik II. Pangsa Tenaga Kerja Jawa Sektoral

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah

Dari sisi penanaman modal, realisasi investasi masih tumbuh cukup kuat dan untuk

periode 2011-2015 tercatat lebih tinggi dibandingkan periode 2001-2010. Investasi

industri pengolahan masih didominasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA),

dan secara spasial masih terkonsentrasi di Jawa Barat. Investasi yang bersumber

dari PMA lebih banyak ke industripadat modal dengan teknologi menengah tinggi.

Sementara itu, investasi PMDN lebih banyak ke sektor padat karya dan sektor

berbasis bahan tambang.

Grafik III. Perkembangan PMA dan PMDN Industri dan Pangsa Investasi per Subsektor Industri

Page 15: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

14

b. Kondisi Lokal & Global Chain

Menurut pendekatan local chain, kegiatan industri manufaktur di Jawa belum

memiliki keterkaitan yang kuat dengan wilayah di luar Jawa. Hal tersebut

ditunjukkan oleh masih rendahnya porsi bahan baku yang berasal dari luar Jawa.

Berdasarkan data IRIO 2005, hanya sub lapangan usaha semen, besi baja dan

petrokimia yang sudah mendatangkan bahan baku dari luar Jawa dengan pangsa di

atas 10%.

Tabel I. Komposisi Input Antara Berdasarkan Subsektor

Di sisi lain, perkembangan internasional menunjukkan bahwa negara lain di dunia

telah meningkatkan integrasinya dengan rantai nilai global yang terindikasi dari

indikator total integration*. Peningkatan integrasi tersebut berkorelasi positif dengan

peningkatan pertumbuhan manufaktur, terutama untuk negara-negara middle

income. Sementara itu, pada periode 1995-2001, Indonesia lebih meningkatkan

forward participation**, terutama pada produk bahan baku mentah pertambangan,

sementara peningkatan backward participation*** masih terbatas.

Grafik IV. Integrasi Global Value Chain(GVC)

*) Total Integration : Contribution of a country’s exports which are part of GVC. **) Forward Participation domestic value added embodied in foreign exports as share of gross exports

***) Backward Participation : foreign value added share of gross exports

Page 16: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

15

C. Kesiapan pada Era Industri 4.0

Dalam beberapa waktu terakhir telah berkembang revolusi industri 4.0 yang

bertumpu pada teknologi informasi, digitalisasi, dan tingkat pengetahuan dan

keterampilan tinggi. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, revolusi industri 4.0

merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu, percepatan

perbaikan infrastruktur dan SDM perlu terus dilakukan. Indikator kesiapan Sumber

Daya Manusia (SDM) dan kesiapan teknologi juga menunjukkan bahwa Indonesia

masih kalah bila dibandingkan dengan negara peersseperti China, Malaysia, Thailand,

dan Filipina.

Grafik V.Revolusi Industri 4.0

Tabel II. Indeks Higher Education and Training & Technological Readiness

Tantangan

Perbaikan daya saing industri manufaktur menghadapi beberapa tantangan dalam

pemenuhan kapasitas dasar,baikitu secara fisik maupun non-fisik.

Page 17: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

16

a. Infrastruktur Fisik

Dari sisi infrastruktur fisik, kualitas jalan di Jawa masih belum maksimal terutama

terkait dengan kondisi kerusakan jalan di Jalur Selatan. Infrastruktur jalan merupakan

salah satu infrastruktur penting mengingat pengiriman barang manufaktur masih

banyak yang menggunakan angkutan truk.Sementara itu, berdasarkan hasil survei

yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada pengelola Kawasan Industri di Jawa,

didapatkan hasil bahwa infrastruktur jaringan gas yang masih rendah.Harga gas

industri Indonesia relatif kurang kompetitif jika dibandingkan dengan Negara-Negara

Asean lainnya. Sementara itu, infrastruktur penunjang lainnya di Kawasan Industri

juga masih banyakyang perlu ditingkatkan, terutama pada aspek pusat Research &

Development, pusat pelatihan, perumahan Karyawan dan kantor bank.

Grafik VI. Kualitas Infrastruktur Pengelola KI

Infrastruktur Penunjang

Sumber: Survei Pengelola Kawasan Industri – Bank Indonesia

Terkait dengan ketersediaan pasokan listrik di Jawa yang saat ini telah tercukupi,

namun dalam rangka mendorong dan mangantisipasi kebutuhan seiring pertumbuhan

ekonomi, pembangunan pembangkit listrik tetap harus terus dilakukan. Berdasarkan

survei yang dilakukan Bank Indonesia kepada perusahaan manufaktur, didapatkan

hasil bahwa ketersediaan dan kemudahan akses energi listrik di Jawa sudah cukup

baik, namun frekuensi dan lamanya listrik padam, untuk perusahaan yang berada di

luar kawasan industri dilaporkan masih relatif tinggi.

b. Infrastruktur Non-fisik

Pemenuhan kapasitas dasar untuk non fisik, utamanya bersumber pada kualitas SDM.

Tenaga kerja industri manufaktur di kawasan Jawa didominasi oleh pekerja dengan

tingkat pendidikan SMA, diikuti oleh tingkat pendidikan SD dan SMP, sehingga

diperlukan adanya peningkatan kualitas tenaga kerja dalam hal years of schooling

Page 18: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

17

maupun kompetensi pendukung lainnya. Mayoritas perusahaan manufaktur di Jawa

belum bekerjasama dengan lembaga pendidikan vokasional meski saat ini telah

berdiri beberapa lembaga pendidikan vokasional di Jawa.

Grafik VII. Pangsa Tenaga Kerja Industri Manufaktur

Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2016

Sumber: Sakernas, BPS 2016 (diolah)

Tantangan pada SDM juga terkait dengan mismatch kualifikasi dan skill tenaga kerja dengan jenis pekerjaannya. Secara umum tenaga kerja sektor garmen dan rokok di

Jawa >50% merupakan under qualified.

Grafik VIII. Labor Mismatch Subsektor Industri Jawa

Sumber: Sakernas, BPS 2016 (diolah)

Dari sisi kesiapan teknologi, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain di

kawasan. Hal tersebut tercermin dari ketersediaan teknologi terbaru dan internet

bandwith yang relatif di bawah negara peers. Sementara itu, dari sisi kelembagaan,

meski survei Ease of Doing Busniness memberikan peringkat yang lebih baik untuk

Indonesia, masih terdapat tantangan terkait adanya gap antara kebijakan pusat

Page 19: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

18

dengan daerah. Selanjutnya, dari sisi efisiensi terkait supply chain, salah satu

indikator yang tersedia yaitu cash conversion cycle (CCC)* Indonesia merupakan

yang terendah di kawasan, atau termasuk efisien. Namun rendahnya CCC tersebut

tidak diikuti dengan efisiensi dalam faktor produksi, dimana COGS** to Sales

Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan dengan return yang rendah. Adapun

dari sisi pendanaan, Weighted Average Cost of Capital (WACC)*** di Indonesia

merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan. Namun suku bunga kredit korporasi

masih lebih rendah dari WACC meski hingga triwulan III 2016 pertumbuhan kredit

industri pengolahan terus mengalami perlambatan.

Strategi Pengembangan

Dalam mempercepat transformasi industri manufaktur untuk mewujudkan industrialisasi

Indonesia yang berdaya saing global, terdapat tujuh strategi yang dapat dilakukan bagi

industri pengolahan di Jawa.

Pertama, integrasi industri dengan Global Value Chain (GVC). Untuk mendorong

pertumbuhan industri manufaktur perlu dilakukan upaya meningkatkan daya saing

industri dengan tingkat backward participation tinggi, seperti elektronika, otomotif,

produk besi dan baja, kimia, TPT dan alas kaki, serta kertas & produk kertas.

Kedua, optimalisasi local chain yang efisien. Local chain yang kompetitif dan efisien

perlu dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan key industry di Jawa, seperti alat

angkut, petrokimia, kertas dan produk kertas, TPT dan alas kaki, serta makanan dan

minuman.

Ketiga, untuk mendorong integrasi GVC dan ekspor, diplomasi perdagangan luar negeri

perlu dioptimalkan. Dalam kasus IJEPA, meskipun secara bilateral neraca perdagangan

Indonesia defisit terhadap Jepang, namun neraca perdagangan Indonesia untuk produk

otomotif tercatat surplus dengan total seluruh dunia.

Keempat, potensi BUMN industri strategis di Jawa perlu dioptimalkan melalui

pembentukan holding untuk meningkatkan economies of scale, kemampuan kinerja

keuangan, dan spesialisasi keahlian.

Kelima, dari sisi korporasi, strategi diversifikasi perlu dilakukan untuk bersaing dalam

era kompetisi global dengan mempertimbangkan karakteristik korporasi. Sebagai

contoh, integrasi vertical dapat dilakukan, yaitu memiliki lini bisnis dari hulu ke hilir.

*) CCC merupakan lama hari untuk mengkonversi resources input menjadi kas, dimana semakin rendah mengindikasikan semakin

efisiennya perusahaan **) COGS atau cost of good sold adalah beban pokok perusahaan dalam memproduksi suatu unit

***) WACC adalah total cost of capital yang ditanggung perusahaan dan terdiri dari rata-rata tertimbang dari suku bunga utang dan return of equity

Page 20: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

19

Keenam, peningkatan akses modal perbankan Industri Kecil Menengah (IKM) perlu

ditingkatkan sesuai dengan karakteristik IKM.

Ketujuh, penguatan rantai pasok IKM, melalui kemitraan dan pemanfaatan e-

commerce untuk meningkatkan efisiensi dalam proses distribusi dan mendorong daya

saing nasional.

Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur Untuk Mewujudkan

Industrialisasi Indonesia Yang Berdaya Saing Global

Untuk menuju negara dengan tingkat pendapatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi

serta untuk menghindari middle income trap, Indonesia membutuhkan rata-rata tingkat

pertumbuhan yang lebih tinggi dari yang dicapai selama ini. Berkaca dari kisah sukses

negara maju, pengembangan sektor industri manufaktur yang kuat adalah sangat perlu

untuk menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan

berkelanjutan. Disisi lain, sektor Industri manufaktur Indonesia dalam dekade terakhir

dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang berujung pada gejala deindustrialisasi,

terindikasi dari terus menurunnya pangsa sektor industri manufaktur terhadap PDB.

Untuk meningkatkan kembali produktivitas dan daya saing sektor Industri, dibutuhkan

percepatan transformasi industri manufaktur nasional. Sejumlah tantangan utama telah

teridentifikasi yaitu diantaranya terkait dengan kualitas SDM, produktivitas tenaga kerja

yang rendah, kertersediaan dan harga energi yang kurang mendukung daya saing

industri, infrastruktur dasar pendukung yang masih terbatas, regulasi yang belum

terintegrasi antar kementerian dan lembaga, struktur industri yang kurang seimbang,

peran IKM yangmasih rendah, serta sumber pembiayaan yang belum terdiversifikasi.

Langkah transformasi Industri Manufaktur dapat dilakukan dalam perspektif jangka

pendek dan jangka menengah untuk masing-masing tantangan. Strategi jangka pendek

difokuskan pada upaya de-bottenecking ekonomi dari berbagai sisi baik operasional

maupun prosedural. Sementara, strategi jangka menengah difokuskan pada hal-hal

yang bersifat lebih struktural, khususnya terkait perbaikan dan penguatan struktur

industri nasional.

Untuk menuju negara berpendapatan lebih tinggi sekaligus menghindari middle income

trap (MIT), diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkesinambungan.

Secara rata-rata, tingkat pertumbuhan minimal yang diperlukan untuk mencapai

pendapatan per kapita sebesar USD 8.000 atau kelompok upper middle income adalah

Page 21: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

20

sekitar 7,1% per tahun. Sementara untuk menjadi negara high income, Indonesia

membutuhkan pertumbuhan ekonomi sedikitnya sekitar 10% per tahun. Tingkat

pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut hanya dapat dicapai apabila didukung oleh

peningkatan produktivitas ekonomi dan optimalisasi pengembangan pasar domestik.

Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas memerlukan dukungan sektor Industri yang

kuat. Beberapa negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Jerman dan Amerika Serikat

secara konsisten membangun sektor industri manufakturnya untuk menjadi motor

penggerak perekonomian. Langkah tersebut mengantarkan mereka lepas dari MIT dan

menjadi bagian dari negara maju dunia. Di negara tersebut, pangsa sektor industri

dalam perekonomian lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Selain itu, pertumbuhan

industri manufaktur juga terjaga lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDB

Grafik I. Skenario Menuju Negara High Income

Dalam struktur perekonomian Indonesia, sektor industri juga memiliki peran

yang besar meskipun pangsanya terus mengalami penurunan. Dalam satu

dasawarsa terakhir, pangsa sektor industri turun dari 28% menjadi sekitar 24% dan

kemudian relatif stagnan.Selain itu, tingkat pertumbuhan sektor industri cenderung

melambat dan sejak 2011 sektor industri tumbuh dibawah tingkat pertumbuhan

ekonomi. Perlambatan sektorindustri terjadi di tengah menguatnya peran sektor jasa,

keuangan dan pedagangan didalam struktur perekonomian yang sejalan dengan

peningkatan jumlah penduduk kelas menengah.

Jawa, yang merupakan konsentrasi industri dengan pangsa 71% dari total PDB Industri,

terus mengalami penurunan pangsa industri. Sementara, di Sumatera sektor industri

relative stagnan meskipun ada kecenderungan peningkatan.

Page 22: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

21

Grafik II. Pertumbuhan Industri & Pertumbuhan PDB

Di Kawasan Timur Indonesia (KTI), sektor industri mengalami peningkatan walaupun

belum signifikan. Karakteristik industri di Sumatera dan KTI sebagian besar masih

berbasis Sumber Daya Alam (SDA) dengan tingkat hilirisasi industri yang terbatas.

Komoditas utama industri di Sumatera dan KTI antara lain karet, kelapa sawit dan

komoditas pertambangan. Perkembangan sektor industri di wilayah Jawa tersebut

selama ini di dominasi oleh investasi modal asing, khususnya di Jawa Barat. Investasi

modal asing itu lebih ditujukan pada sektor padat modal dan berteknologi menengah

tinggi (mis. otomotif). Sementara, investasi modal dari dalam negeri banyakditujukan

pada sektor industri padat karya.Booming harga komoditas pada awal dekadetahun

2000-an, mendorong pertumbuhan ekspor komoditas SDA dan berkontribusi pada

penurunan pangsa ekspor komoditas manufaktur Indonesia. Pada periode 1990 hingga

2000, ekspor komoditas manufaktur mencapai 65% dari total ekspor. Namun, kini

pangsa ekspor komoditas manufaktur hanya 51,47% dan selebihnya berupa ekspor

berbasis SDA. Bila dilihat dari sisi trade balance,perubahan struktur ekspor berdampak

pada penurunan surplus trade balance sejak 2011,antara lain terjadi pada industri

barang dari logam, logam dasar, dan industri kimia. Trade balance industri-industri

tersebut mengalami penurunan yang signifikan dalam 15 tahun terakhir. Hanya industri

makanan dan minuman saja yang masih menunjukkan peningkatan trade balance.

Penurunan ekspor manufaktur juga di sebabkan oleh relatif rendahnya daya

saing produk manufaktur dibandingkan negara peers *. Bahkan, sejak 2009

daya saing industri Vietnam mulai melampaui Indonesia. Lemahnya daya saing juga

terlihat dari pangsa mayoritas komoditas ekspor Indonesia yang memperlihatkan

kecenderungan menurun, dimana pertumbuhan ekspor beberapa komoditas relatif lebih

rendah dibandingkan pertumbuhan permintaan dunia.

*) Berdasarkan Trade Specialist Index (ADB EconomicWorking Paper No.411, 2014)

Page 23: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

22

Grafik III. Pertumbuhan Ekspor Indonesia Vs Pertumbuhan Ekspor Dunia

Sumber : Analisis Daya Saing dan Strategi Industri Nasional di Era MEA dan Perdagangan Bebas (DKEM, 2015)

Salah satu penyebab rendahnya daya saing produk ekspor manufaktur Indonesia terkait dengan relatif tingginya Real Effective Exchange Rate (REER) dibanding beberapa negara peers. Commodity boom price yang terjadi pada tahun 2000-an menopang apresiasi Rupiah, tetapi menurunkan daya saing produk ekspor sektor tradeable dari sisi harga jual, khususnya produk manufaktur. Namun,

ketika masa commodity boom berakhir dan Rupiah mengalami depresiasi, penurunan REER Indonesia ternyata tidak sedalam depresiasi Rupiah yang terjadi. REER Indonesia

bahkan cenderung lebih tinggi dibandingkan negara peers. Hal ini antara lain terkait dengan tingkat inflasi Indonesia yang relatif masih tinggi, khususnya inflasi pangan**. Dari sisi kesejahteraan, sektor industri memegang peranan penting dalam

penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Akses yang lebih luas terhadap pekerjaan formal, khususnya dari perkembangan industri padat karya, selain

mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan dari 60% (1970) menjadi 11,3% (1996) juga mampu meningkatkan pendapatan per kapita. Sektor industri

menjadi penyerap tenaga kerja tertinggi setelah sektor pertanian dan perdagangan, walaupun dalam beberapa tahun terakhir serapan tenaga kerja sektor industri relative stagnan, yaitu berkisar 12%-13% dari jumlah tenaga kerja. Di sisi lain, dalam beberapa

waktu terakhir, tingkat Total FactorProductivity (TFP) pekerja Indonesia cenderung lebih rendah dibanding negara peers.

Grafik IV. REER Indonesia & Pangsa Industri Terhadap PDB

Sumber : Bank Indonesia, BPS

**) World Bank (2016)

Page 24: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

23

Grafik V. Pertumbuhan Manufaktur dan Tingkat Kemiskinan

Sumber : BPS

Daerah dengan tingkat pengembangan manufaktur yang lebih baik

cenderung memiliki angka kemiskinan dan pengangguran yang lebih rendah.

Hasil pemetaan tingkat kemiskinan dan perubahan tingkat pengangguran pada periode

2000 s.d 2016 menunjukkan bahwa daerah yang memiliki tingkat kemiskinan dan/atau

penggangguran lebih tinggi merupakan daerah yang lebih mengandalkan sumber

pertumbuhan perekonomiannya pada komoditas SDA. Daerah tersebut juga terindikasi

memiliki tingkat pengembangan manufaktur yang relatif lebih rendah. Berdasarkan

kajian Bank Dunia, manufaktur berorientasi ekspor mendukung penciptaan lapangan

kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas ekspor lainnya. Penciptaan nilai

tambah tenaga kerja ekspor manufaktur tertinggi berasal dari industri kimia, industri

makanan olahan dan industri permesinan.

Grafik VI. Tingkat Kemiskinan & Perubahan Tingkat Pengangguran

Sumber : BPS

Namun, seiring dengan makin majunya suatu negara, maka perkembangan beberapa

sektor lainnya (non-industri manufaktur) yang lebih bersifat capital intensive antara lain

Page 25: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

24

sector pertambangan, telekomunikasi dan jasa finansial, telah mengakibatkan peran

industri sebagai pencipta lapangan pekerjaan mengalami penurunan secara alamiah.

Kondisiini berdampak pada peningkatan ketimpangan kesejahteraan di dalam

masyarakat, terindikasi dari peningkatan Rasio Gini ditengah pertumbuhan manufaktur

nasional yang relative stagnan.

Grafik VII. Tingkat Kemiskinan & Delta Tingkat Pengangguran

Sumber : BPS

Daya Saing Industri

Daya saing industri Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami

perbaikan setelah sempat mengalami penurunan. Berdasarkan Global Competitiveness

Index dan Ease Of Doing Bussiness, perbaikan daya saing terutama berasal dari

perbaikan infrastruktur dan kemudahan memulai usaha. Dengan adanya upaya

perbaikan yang dilakukan secara kontinu dan faktor labor cost yang rendah serta market

size yang besar, Global Manufacturing Competitiveness Index*** memperkirakan

Indonesia akan masuk dalam top 15 lokasi manufaktur yang kompetitif dalam 5 tahun

ke depan, bersama dengan Malaysia, Thailand, India dan Vietnam.

Grafik VIII. Ranking Global Competitiveness Index

Sumber : World Economic Forum (2016)

***) Global Manufacturing Competitivess Index (Deloitte,2016)

Page 26: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

25

Namun demikian, agar industri Indonesia lebih kompetitif, maka upaya

perbaikan daya saing perlu terus dilakukan. Peningkatan daya saing industri

ditujukan untuk meningkatkan efisiensi biaya, kualitas dan kapasitas produksi yang

didukung kemudahan berinvestasi, dengan memanfaatkan berlimpahnya pekerja usia

produktif yang menjadi bonus demografi Indonesia.

Grafik IX. Ranking Ease Of Doing Bussiness

Sumber : World Bank (2016)

Terdapat beberapa area yang perlu dicermati yaitu yang relatif tertinggal dibandingkan

negara peers seperti terkait efisiensi pasar tenaga kerja, kesehatan dan pendidikan,

serta kesiapan teknologi. Bahkan, jika dibandingkan dengan peer terdekat yaitu

Vietnam, factor kemudahan memulai usaha, pendaftaran properti, akses pembiayaan

dan kepastian hukum (terkait kontrak) Indonesia masih relative lebih lemah. Masih

lebarnya perbedaan tingkat daya saing antar wilayah terutama disebabkan oleh belum

meratanya dukungan infrastruktur maupun upaya deregulasi dan debirokratisasi untuk

memperbaiki iklim berusaha di daerah.

Tantangan Industri

Untuk mencapai transformasi industri nasional yang dapat mempercepat peningkatan

daya saing industri, terdapat sejumlah tantangan yang perlu ditangani terlebih dahulu.

Tantangan tersebut adalah sebagai berikut. Sumber Daya Manusia (SDM), produktivitas

tenaga kerja dan rigiditas pasar tenaga kerja. Tingginya jumlah angkatan kerja di

Indonesia, bukan berarti pemenuhan kebutuhan industri dapat dilakukan dengan

mudah. Terdapat gap cukup besar antara spesifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh

industri dengan skill yang dimiliki oleh angkatan kerja. Sekitar 70% tenaga kerja sektor

Page 27: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

26

industri saat ini merupakan pekerja dengan latar belakang pendidikan umum (sekolah

dasar hingga SMU) sehingga belum memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan industri.

Selain itu, kualitas tenaga kerja yang belum merata diberbagai daerah telah

menciptakan ketergantungan pemenuhan tenaga kerja dari daerah tertentu yang

memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik. Lebih jauh, produktivitas tenaga kerja

Indonesia masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan

Vietnam. Output per tenaker (PDB KOnstan 2005 USD)

Grafik X. Produktivitas Tenaga Kerja

Sumber : ILO

Grafik XI. Pertumbuhan PDB dan Produktivitas Tenaga Kerja

Sumber : ILO, BPS

Industri nasional juga dihadapkan pada pasar tenaga kerja yang rigid yaitu

terkait dengan biaya pemutusan hubungan kerja yang tinggi, khususnya biaya

kompensasi dan gratuity (diluar severance payment atau uang pesangon). Selain itu,

peningkatan tingkat upah yang cenderung signifikan ternyata tidak sejalan dengan

peningkatan produktivitas. Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab utama rigid-nya

pasar tenaga kerja Indonesia.

Page 28: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

27

Ketersediaan dan harga energi yang kompetitif

Dukungan energi bagi pengembangan industri masih terbatas. Meskipun tarif listik

Indonesia tergolong kompetitif dibandingkan negara peers, namun kualitas pasokan

listrik masih perlu ditingkatkan baik dari segi kontinuitas/stabilitas maupun

keterjangkauan pasokan. Permasalahan pasokan listrik terutama terjadi pada industri

yang terletak di luar Jawa. Dari 52 perusahaan industri pengolahan yang disurvei di

wilayah Sumatera, hampir dua per tiganya (67%) harus memenuhi kebutuhan listriknya

secara mandiri. Sementara itu, kebutuhan akan pasokan gas industri dihadapkan pada

tantangan harga gas industri yang belum kompetitif dibandingkan negara lain di

kawasan. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh adanya gap supply-deman yang cukup

besar. Padahal, kebutuhan energi gas untuk industri diperkirakan meningkat hingga 26-

28% dari total kebutuhan energi di 2050.

Efisiensi logistik dan infrastruktur

Efisiensi logistik yang masih rendah dan kualitas infrastruktur logistik yang belum

merata menyebabkan biaya transportasi dan distribusi yang tinggi, yang pada gilirannya

meningkatkan biaya produksi. Biaya logistik di pelabuhan Indonesia masih tergolong

tinggi. Sebagai contoh, biaya terkait Terminal Handling Charges (THC) Indonesia

merupakan yang tertinggi kedua setelah Singapura, padahal produktivitas pelabuhannya

masih rendah. Rendahnya produktivitas pelabuhan terindikasi dari lamanya waktu

dwelling time yang cukup panjang di beberapa pelabuhan utama. Selain itu, sistem

moda transportasi barang juga masih belum terintegrasi, sehingga pergerakan arus

barang menjadi kurang efisien. Adapun biaya logistik khususnya terkait dengan biaya

transportasi dan handling kontainer memiliki kontribusi sekitar 45% dari total biaya

logistik.

Tabel 1. Tarif THC Pelabuhan

Sumber : KADIN

Page 29: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

28

Pada transportasi darat, Indonesia juga tergolong sebagai negara yang memiliki

ketidakefisienan traffic ketiga tertinggi dunia. Padahal, sebagian besar transportasi

barang (95%) dilakukan melalui jalur darat. Moda ini dihadapkan pada tingkat kualitas

jalan yang sangat variatif di berbagai daerah.

Regulasi yang belum terintegrasi denganbaik

Hambatan terhadap proses perizinan & ketidakpastian hukum dalam berinvestasi di

berbagai daerah masih terjadi, meskipun telah dilakukan upaya debirokratisasi &

deregulasi yang intensif oleh Pemerintah. Hal ini disebabkan antara lain oleh tidak

selarasnya percepatan upaya perbaikan regulasi ditingkat pusat dan daerah. Disinyalir,

masih terdapat (i) banyak Peraturan Daerah (Perda) yang menghambat investasi; dan

(ii) masih terbatas dan beragamnya tingkat pendelegasian kewenangan pemberian izin

investasi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai akibat masih tingginya

ego sektoral. Selain itu, aplikasi sistem online yang masih terbatas dan belum adanya

standarisasi biaya layanan PTSP turut meningkatkan risiko ketidakpastian perizinan

investasi. Di tingkat pusat, pemberian insentif bagi investasi juga masih belum optimal.

Hal ini terlihat dari minimnya sektor yang menerima tax allowance yang hanya

berjumlah 9 sektor industri dari 143 sektor yang berhak mendapatkannya (berdasarkan

PP No. 18/2015).

Struktur industri yang kurang berimbang

Industri nasional di dominasi oleh jenis industri kecil, sementara jumlah industri

menengah yang berpotensi menjadi industri besar sangat minim (fenomena missing

middle). Porsi industri kecil dan menengah di Indonesia merupakan yang terbesar

dibandingkan Vietnam, Filipina dan Brazil. Kondisi ini mengindikasikan terjadinya

hambatan dan keengganan industri kecil dan menengah untuk bertransformasi ke kelas

industri yang lebih tinggi. Fenomena missing middle, berimplikasi pada dukungan

industri antara dalam memasok kebutuhan industri hilir yang terbatas, seperti yang

terjadi pada industri tekstil.

Selain tantangan keterkaitan antar industri, juga terdapat tantangan spasial terkait

keterkaitan industri antar daerah. Industri di Jawa belum memiliki hubungan yang baik

optimal dengan wilayah diluar Jawa. Hal ini tercermin dari rendahnya porsi pasokan

bahan baku yang berasal dari luar Jawa untuk industri utama seperti makanan

minuman, industri alat angkut dan TPT. Hubungan yang belum optimal itu dapat

Page 30: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

29

diakibatkan baik oleh belum berkembangnya sektor industri di luar Jawa yang mampu

mendukung industri di Jawa maupun oleh transportasi yang belum memadai.

Grafik XII. Missing Middle ****

Sumber : BPS, diolah

****) LARGE (>100 Employees), asset > Rp 1 miliar Highgrowth Enterprises; MEDIUM (20-100 Employees), aseet Rp 100 jt – Rp 500 jt (Early stage support of Innovative Entrepreneurs), Rp 500 jt – Rp 1 miliar (Venture Capital to

scalable social enterprises); SMALL (5-19 Employees), asset < Rp 100 jt (A lower tier of subsistence enterprises

that struggle to stay afloat and have very poor survival rate)

Permasalahan keterbatasan keterkaitan antar sektor industri maupun antar wilayah

perlu segera ditangani. Hal ini agar industri nasional dapat berkembang secara lebih

menyeluruh dengan meminimalisir ketergantungan pada bahan baku maupun bahan

antara dari impor. Peningkatan peran swasta yang lebih besar sebagaimana dilakukan di

beberapa negara, dapat dipertimbangkan menjadi salah satu solusi mendorong

perkembangan industri.

Grafik XIII. Tinjauan Linkages Industri Mesin & Logam Dasar

Sumber : Input Output (Jethro), diolah

Grafik XIV. Keterbatasan Linkage : Kasus Industri Tekstile

Page 31: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

30

Tabel 2. Pembagian Peran Pemerintah - Swasta

Penguatan peran dan kemampuan IKM dalam sektor industri UMKM memiliki

peran besar dalam perekonomian Indonesia, khususnya peran Industri Kecil Menengah

(IKM) dalam mendukung pengembangan industri manufaktur. Dalam hal penyerapan

tenaga kerja, IKM memiliki peran yang cukup tinggi. Namun dibandingkan dengan

negara peer, peran dan keterkaitan IKM dalam industrimanufaktur masih relatif minim.

Peningkatan kapabilitas IKM sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah dan

kualitas produk yang dihasilkan. Namun demikian, sebagaimana di banyak negara,

penguatan tersebut dihadapkan pada tantangan keterbatasan modal, bahan baku dan

akses pasar.

Grafik XV. Pangsa Tenaga Kerja IKM Grafik XVI. Konsentrasi IKM

Sumber : BPS

Sumber pembiayaan industri yang lebih beragam

Perkembangan industri nasional belum memanfaatkan dukungan perbankan secara

optimal. Hal ini terlihat dari pemanfaatan pembiayaan industri melalui perbankan yang

masih relatif rendah. Kondisi ini dicerminkan oleh pangsa kredit manufaktur yang hanya

17,5% dari total kredit, lebih rendah dari kredit sektor PHR (19,6%). Selain itu,

berdasarkan hasil liaison Bank Indonesia dengan pelaku usaha, diketahui bahwa pelaku

industri cenderung memanfaatkan sumber pembiayaan di luar perbankan, khususnya

yang menjadi modal kerja. Pembiayaan berasal dari internal perusahaan maupun

perusahaan induk menjadi pilihan banyak pelaku industri. Kurang beragamnya sumber

Page 32: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

31

pembiayaan dan“less favourable”-nya iklim investasi pasca krisis 1998 telah

menyebabkan terjadinya penurunan jumlah plant entry ke sector Industri. Kondisi

tersebut telah mengakibatkan perkembangan industri yang terbatas sehingga

perkembangan industri selama ini masih banyak didominasi oleh para pemain lama.

Grafik XVII. Pangsa & Pertumbuhan Kredit Manufaktur

Sumber : BPS

Strategi Pengembangan Industri

Dengan kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam pengembangan industri nasional,

maka diperlukan strategi kebijakan pengembangan industri yang fokus dan terintegrasi.

Strategi tersebut hendaknya dapat ditetapkan sebagai acuan dalam pelaksanaan

program berbagai kementerian dan lembaga terkait, termasuk menjadi acuan prioritas

dalam pentahapan implementasinya. Strategi pengembangan industri manufaktur

diarahkan pada hasil yang dapat dicapai dalam jangka pendek (short term) dan

pengembangan yang bersifat structural (medium term). Strategi pengembangan industri

dalam jangka pendek difokuskan pada upaya de-bottlenecking yang meliputi :

1. Kerjasama Pemerintah, akademisi & industri dalam menciptakan Sumber

Daya Manusia (SDM) yang handal dan berkualitas antara lain melalui

pendidikan vokasional (Quick Win Strategy).

Pemerintah dipandang perlu untuk memfasilitasi dan mendorong berkembangnya

penyelenggaraan pendidikan vokasi baik oleh pemerintah maupun swasta.

Pendidikan vokasi harus berbasis pada kebutuhan industri local daerah (link and

match). Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan tenaga kerja sedapat mungkin

diperoleh dari angkatan kerja lokal. Selain itu, upaya up grading kapabilitas industri

dalam rangka minimalisir gap inovasi teknologi dapat dilakukan melalui kerjasama

riset antara pihak universitas dengan kalangan industri.

2. Penetapan sistem pengupahan yang mengakomodir faktor produktifitas.

Page 33: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

32

Gap antara pertumbuhan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan tingkat produktivitas

yang semakin lebar dapat diatasi dengan mempertimbangkan produktivitas sebagai

salah satu komponen perhitungan upah minimum. Peningkatan upah yang dapat

mendorong produktivitas dipandang mampu untuk menjamin sustainabilitas industri

ke depan. Adapun penghitungan upah minimum dengan menyertakan komponen

produktivitas telah di adopsi oleh negara seperti Tiongkok dan Kamboja. Lebih jauh,

kebijakan tenaga kerja secara umum perlu diarahkan untuk dapat menyerap tenaga

kerja lebih banyak, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan antar daerah.

Tabel 3. Pangsa & Pertumbuhan Kredit Manufaktur

Sumber : Wageindicator.org

3. Penyediaan energi bagi industri yang berkualitas dan dengan harga yang

kompetetitif (Gas, Tarif Tenaga Listrik, Batubara, BBM)

4. Peningkatan efisiensi logistik antara lain

(i). perbaikan sistem logistik khususnya terkait ketersediaan moda transportasi yang

mendukung efisiensi supply chain; serta

(ii) eliminasi biaya tinggi di pelabuhan (a.l tariff handling container, tarif TKB

pelabuhan) dan perbaikan durasi dwelling time.

5. Penyederhanaan birokrasi antara lain melalui

(i). aplikasi berbasis IT; dan

(ii). upaya perbaikan iklim investasi di daerah melalui penghapusan Perda

bermasalah yang berpotensi menghambat investasi.

(iii) upaya menghilangkan ekonomi biaya tinggi akibat berbagai punggutan liar yang

terjadi baik pada saat pengajuan perizinan maupun saat perusahaan telah

beroperasi.

Upaya short term tersebut perlu didukung oleh koordinasi antar

Kementerian/Lembaga, Pemerintah Pusat- Daerah, akses pembiayaan yang

memadai dan dukungan aplikasi teknologi. Dari sejumlah tantangan tersebut,

tantangan terkait ketenagakerjaan yang menjadi salah satu komponen utama daya

Page 34: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

33

saing industri sangat perlu segera dibenahi (quick win). Biaya tenaga kerja yang

masih relatif lebih rendah dari peer menjadi faktor penarik investasi asing yang perlu

dioptimalkan. Di sisi lain, berlimpahnya tenaga kerja usia produktif sebagai bonus

demografi juga perlu dimanfaatkan dengan baik, sebelum berakhirnya bonus

demografi tersebut pada tahun 2030-an.

Sementara itu, strategi pengembangan dalam jangka menengah (medium term) dapat

ditempuh dengan mencakup beberapa upaya berikut :

1. Reformasi pasar tenaker

Pasar tenaga kerja yang terlalu kaku (rigid) perlu menjadi lebih fleksibel dengan

mereformasi beberapa ketentuan ketenagakerjaan antara lain terkait ketentuan

pengupahan, pesangon, dan outsourcing dengan tetap memperhatikan prinsip yang

mengutamakan win-win solution bagi pelaku usaha maupun tenaga kerja.

2. Penguatan Akses Pasar

a) Penguatan pasar domestik dan interdependensi industri antar wilayah, melalui :

Penindakan terhadap masuknya produk impor ilegal dan pengawasan ketat

terhadap produk luar yang dibatasi impornya.

Pengembangan zona industri yang sesuai di tiap provinsi

Mendorong penguatan UMKM/IKM agar semakin terintegrasi dengan sektor

industri

Memperlancar Perdagangan antar pulau

b) Memperkuat akses pasar global melalui

(i) peningkatan keterlibatan dalam Global Value Chain dan Global Production

Network; serta

(ii) mendorong keikutsertaan dalam berbagai kesepakatan perdagangan dan

negoisasi ulang kesepakatan perdagangan yang merugikan posisi Indonesia.

c) Reformasi Pasar untuk mewujudkan tata niaga yang efisien dan adil

3. Penetapan strategi kebijakan industri yang integratif terkait perbaikan

struktur industri nasional.

a) Upaya mengatasi isu missing middle, yaitu dengan mendorong dan

memfasilitasi berkembangnya industri kecil menengah agar dapat “naik kelas”

menjadi industri yang lebih besar. Hal itu dapat dicapai melalui pemberian

insentif dan bantuan/fasilitasi dari sisi finansial, riset dan pengambangan, serta

akses pasar kepada mereka.

b) Pengembangan industri unggulan, baik yang bersifat strategis maupun

berbasis komoditas unggulan. Industri unggulan tersebut mencakup industri

Page 35: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

34

berbasis agro, industri maritim, industri dasar, industri dengan tenaga kerja

intensif dan industri kreatif.

4. Penguatan faktor enabler agar dapatmemberikan dukungan optimal bagi

pengembangan industri.

a) Pembiayaan berupa upaya diversifikasi sumber pembiayaan melalui financial

deepening dan peningkatan akses keuangan bagi industri.

b) Land Reform berupa:

(i) penegakan kepastian hukum terkait pemanfaatan lahan melalui penetapan

rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR)

yang menyeluruh di daerah; dan

(ii) implementasi one map policy sebagai dasar pengambilan kebijakan

optimasi pemanfaatan lahan.

c) Infrastruktur dan Konektivitas berupa perbaikan infrastruktur berkelanjutan

khususnya terkait penyediaan energi dan konektivitas dalam rangka mendukung

pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus dan Kawasan Industri prioritas serta

kelancaran transportasi barang antar wilayah

Page 36: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

35

Page 37: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

36

Page 38: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

37

Page 39: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

38

Page 40: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

39

Page 41: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

40

Page 42: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

41

Page 43: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

42

Page 44: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

43

Page 45: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

44

Data Kendaraan Bermotor

1. Data Kendaran Roda 4

a. Penjualan Kendaraan roda 4 (unit) tahun 2012-2016 di Indonesia

No. Bulan Penjualan (Unit)

2012 2013 2014 2015 2016

1 Januari 76.427 96.718 103.609 94.194 85.002

2 Februari 86.486 103.278 111.824 88.740 88.208

3 Maret 87.917 95.996 113.067 99.410 94.092

4 April 87.144 102.257 106.124 81.600 84.770

5 Mei 95.541 99.697 96.872 79.375 88.567

6 Juni 101.746 104.268 110.614 82.172 91.488

7 Juli 102.511 112.178 91.334 55.615 61.891

8 Agustus 76.445 77.964 96.652 90.537 96.282

9 September 102.100 115.974 102.572 93.038 92.541

10 Oktober 106.754 112.039 105.222 88.408 92.106

11 Nopember 103.703 111841 91.327 86.937 100.215

12 Desember 89.456 97.691 78.802 73.264 86.573

Total 1.116.230 1.229.901 1.208.019 1.013.290 1.061.735 Sumber : Gaikindo

b. Produksi Kendaraan roda 4 (unit) tahun 2012-2016 di Indonesia

No. Bulan Produksi (Unit)

2012 2013 2014 2015 2016

1 Januari 77.036 97.793 104.728 99.102 91.068

2 Februari 86.469 100.491 112.501 93.113 91.535

3 Maret 85.507 89.073 123.007 108.066 102.507

4 April 84.426 101.805 121.114 97.676 104.412

5 Mei 97.367 99.661 94.353 89.579 105.957

6 Juni 94.400 97.939 117.309 91.807 106.012

7 Juli 97.330 106.519 93.613 59.225 68.357

8 Agustus 71.113 77.354 105.259 103.567 105.580

9 September 94.488 116.974 119.346 104.702 101.371

10 Oktober 100.298 115.533 116.654 95.731 104.130

11 Nopember 99.168 110.570 102.423 88.493 107.719

12 Desember 77.955 94.499 88.216 67.719 88.741

Total 1.065.557 1.208.211 1.298.523 1.098.780 1.177.389

Page 46: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

45

b. Penjualan Kendaraan roda 4 (unit) tahun 2012-2016 di ASEAN

No. Bulan Penjualan (Unit)

2012

2013

2014

2015

2016

1 Brunai 18.634 18.642 18.114 14.406 13.248

2 Indonesia 1.116.230 1.229.901 1.208.019 1.013.291 1.061.735

3 Malaysia 627.753 655.793 666.465 666.674 580.124

4 Philipina 156.654 181.738 234.747 288.609 359.572

5 Singapura 37.247 34.111 47.443 78.609 110.455

6 Thailand 1.436.335 1.330.672 881.832 799.632 768.788

7 Vietnam 80.453 98.649 133.588 209.267 270.820

Total 3.473.306 3.549.506 3.190.208 3.070.488 3.164.742

sumber :AAF

c. Produksi Kendaraan roda 4 (unit) tahun 2012-2016 di ASEAN

No. Bulan Produksi (Unit)

2012

2013

2014

2015

2016

1 Indonesia 1.065.557 1.208.211 1.298.523 1.098.780 1.177.389

2 Malaysia 569.620 601.407 596.418 614.664 545.253

3 Philipina 75.413 79.169 88.845 98.768 116.868

4 Thailand 2.453.717 2.457.057 1.880.007 1.913.002 1.944.417

5 Vietnam 73.673 93.630 121.084 171.753 236.161

Total 4.237.980 4.439.474 3.984.877 3.896.967 4.020.088

sumber :AAF

2. Data Kendaraan Roda 2 / Sepeda Motor

a. Penjualan sepeda motor 2012-2016 Di Indonesia

No. Bulan Penjualan (Unit)

2012 2013 2014 2015 2016

1 Januari 652.601 649.983 580.288 513.816 443.449 2 Februari 670.757 653.357 681.267 570.524 551.930 3 Maret 626.689 657.483 728.820 562.185 583.339 4 April 622.929 660.505 729.279 538.746 501.564 5 Mei 619.540 647.215 734.030 482.691 485.170 6 Juni 550.468 661.282 753.789 588.675 541.428 7 Juli 585.658 704.019 539.171 439.245 326.390 8 Agustus 433.741 490.824 599.250 645.997 550.287 9 September 628.739 678.139 706.938 632.227 579.454

10 Oktober 634.575 717.272 675.962 626.725 594.887 11 Nopember 627.048 688.527 592.635 565.066 570.923 12 Desember 488.841 552.408 556.586 542.487

Total 7.141.586 7.771.014 7.908.914 6.708.384 5.728.821

sumber : AISI Diolah

Page 47: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

46

b. Produksi sepeda motor 2012-2016 Di Indonesia

No. Bulan Produksi (Unit)

2012 2013 2014 2015 2016

1 Januari 685.688 662.920 595.636 524.368 315.994

2 Februari 665.570 659.417 659.258 552.543 382.495

3 Maret 606.984 654.760 729.476 593.592 460.731

4 April 619.839 672.370 748.401 563.566 378.315

5 Mei 619.829 644.881 722.192 483.872 339.338

6 Juni 535.621 653.384 761.117 559.956 398.268

7 Juli 577.488 694.492 553.626 290.972 214.039

8 Agustus 428.662 484.428 611.235 450.719 405.123

9 September 620.250 683.066 747.992 445.301

10 Oktober 627.352 729.876 686.101 475.758

11 Nopember 625.865 691.115 598.560 429.630

12 Desember 466.573 549.586 512.510 328.361

Total 7.079.721 7.780.295 7.926.104 5.698.637 2.894.303

sumber : AISI Diolah

c. Penjualan sepeda motor 2012-2016 di ASEAN

No. Bulan Penjualan (Unit)

2012

2013

2014

2015

2016

1 Indonesia 8,043,535 7.141.586 7.771.014 7.908.014 6.215.350

2 Malaysia 494.586 537.753 546.719 442.749 396.343

3 Philipina 731.130 702.599 752.835 790.245 1.140.338

4 Singapura 8.046 9.923 11.650 8.145 8.336

5 Thailand 2.007.383 2.130.067 2.004.498 1.701.535 1.738.231

Total 11.284.680 10.521.928 11.086.716 10.851.615 9.498.598

sumber :AAF

d. Produksi sepeda motor 2012-2016 Di ASEAN

No. Bulan Produksi (Unit)

2012

2013

2014

2015

2016

1 Indonesia 7.780.295 7.926.104 5.698.637 5.698.637

2 Malaysia 549.244 439.907 382.218 382.218 395.938

3 Philipina 729.480 755.184 795.840 795.840 1.040.626

4 Thailand 2.218.625 1.842.708 1.807.325 1.807.325 1.820.358

Total 11.277.644 10.963.903 8.684.020 8.684.020 3.256.922

sumber :AAF

Page 48: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

47

Informasi Umum & Pameran

A. Web site Pemerintah yang dapat diakses :

1. www.setneg.go.id (Sekretariat Negara)

2. www.kemenperin.go.id (Kementerian Perindustrian)

3. www.kemenkeu.go.id (Kementerian Keuangan)

4. www.kemendag.go.id (Kementerian Perdagangan)

5. www.beacukai.go.id (Direktorat Bea & Cukai, Kementerian Keuangan)

6. www.esdm.go.id (Kementerian ESDM)

7. www.bkpm.go.id (Badan Koordinasi Penanaman Modal)

8. www.bps.go.id (Biro Pusat Statistik)

B. Web site Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia (APLINDO)

Kini APLINDO telah tersedia Web site sendiri :

www.aplindo.web.id, mohon dukungan partisipasi aktif Bapak-bapak sekalian

dan diharapkan saran, masukan, permasalahan dan perkembangan yang terjadi di

industri pengecoran logam di Indonesia. Saran dan masukan anda dapat berupa

artikel ke alamat [email protected]

C. Web site Himpunan Ahli Pengecoran Logam Indonesia

Kini HAPLI telah tersedia Web-site sendiri :

http://hapli.wordpress.com/, mohon dukungan partisipasi aktif Bapak-bapak

sekalian dan diharapkan saran serta masukan anda berupa artikel sesuai page

yang tersedia dalam format *.doc ke alamat [email protected]

untuk diupload, ataupun komentar langsung anda pada Blog.

D. Pameran dan Seminar

1. IFEX 2017

3 February - 5 February

Venue: Eco Park, New Town, Rajarhat, Kolkata, West Bengal, India

13th international exhibition for foundry technology, equipment, supplies and services

www.ifexindia.com

Page 49: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

48

2. 65th International Foundry Congress

3 February - 5 February

Venue: Eco Park, New Town, Rajarhat, Kolkata, West Bengal, India

Annual conference and technical sessions

www.ifcindia.net

3. 6th International Foundry Conference and Exhibition

15 February - 16 February

Venue: Pearl Continental Hotel, Lahore, Pakistan

www.pfa.org.pk/info

4. WFO Technical Forum

14 March - 17 March

Venue: Gauteng, South Africa

Technical conference, exhibition and social events.

www.metalcastingconference.co.za

5. 20th Global Foundry Sourcing Conference 2017

21 March - 22 March

Venue: Shanghai Everbright International Hotel, China

Global sourcing conference including the 3rd China Casting Exporting and Technology

Conference 2017

www.foundry-suppliers.com

www. castings.foundry.cn

6. Indonesia Railway Conference 2017

29-30 Maret

Venue : Jiexpo Kemayoran, Jakarta

www.railwaytech-indonesia.com

7. 121st Metalcasting Congress

25 April - 27 April

Venue: Wisconsin Center, Milwaukee, USA

American conference for all sectors of the cast metals industry.

www.afsinc.org

8. World Magnesium Conference

Page 50: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

49

21 May - 23 May

Venue: Shangri-La Hotel, Singapore

International conference for the magnesium industry

www.intlmag.org

9. Metal + Metallurgy China 2017

13 June - 16 June

Venue: Shanghai, China

15th China International Foundry Expo, the 17th China International Metallurgical

Industry Expo and the 15th China International Industrial Furnaces Exhibition will all be

staged under the banner ''Metal + Metallurgy Chna at Shanghai New International

Expo Center.

www.mm-china.com/en/

10. Rapid Tech

20 June - 22 June

Venue: Exhibition Centre Erfurt, Germany International trade fair and conference for additive manufacturing www.rapidtech.de

11. Foundeq/Metef Show 2017

21 June - 24 June

Venue: Veronafiere Fairground, Verona, Italy

Metef - International aluminium exhibition. Foundeq - International foundry equipment

exhibition.

www.metef.com

12. 57th International Foundry Forum

13 September - 15 September

Venue: Portoroz, Slovenia

International conference, table-top exhibition and social functions.

email: [email protected]

13. EMO Hannover 2017

18 September - 23 September

Venue: Hannover Exhibition Centre, Germany

International metalworking trade fair will focus on Industry 4.0 in 2017

www.emo-hannover.de

Page 51: BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO No.50/2017 2 Pengantar Redaksi Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan

BULETIN - APLINDO No.50/2017

50

14. 17th ABIFA Foundry Congress and CONAF 2017

26 September - 29 September

Venue: Expo Center Norte, Sao Paulo, Brazil

Brazilian foundry congress with exhibition and conference. Theme - ''Innovations and

trends of the foundry industry in Brazil and the world''.

www.abifa.org.br

15. Deburring Expo

10 October - 12 October

Venue: Exhibition Centre Karlsruhe, Rheinstetten, Germany

Trade fair for debarring technology and precision surfaces

www.deburring-expo.de/en

16. PaintExpo Eurasia

12 October - 14 October

Venue: ifm Istanbul Expo Center, Istanbul, Turkey

Trade fair for industrial coating technology

www.paintexpo.com

17. parts2clean

24 October - 26 October

Venue: Exhibition Center Stuttgart, Germany

International trade fair for industrial parts and surface cleaning

www.parts2clean.com

18. Manufacturing Indonesia Series 2017 6-9 Desember 2017

JIExpo Kemayoran Jakarta