buku ajar hukum pesisir - inspire portal

142
BUKU AJAR HUKUM KAWASAN PERBATASAN DAN PULAU-PULAU TERLUAR HUKUM PESISIR DI INDONESIA (PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN DAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL) OLEH DR. DENNY B.A.KARWUR, SH.MSi. Fakultas Hukum Universitas Sam Ratungi 2019

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

BUKU AJAR

HUKUM KAWASAN PERBATASAN DAN PULAU-PULAU TERLUAR

HUKUM PESISIR DI INDONESIA

(PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN DAN

WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL)

OLEH

DR. DENNY B.A.KARWUR, SH.MSi.

Fakultas Hukum

Universitas Sam Ratungi

2019

Page 2: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

1

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Maksud dan tujuan Hukum Perbatasan dan Pulau-Pulau Terluar.

1.3. Ruang Lingkup Pengelolaan Pesisir dan Pula-Pulau Kecil

BAB II

KAWASAN PERBATASAN DAN PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL

TERLUAR

2.1. Pengantar

2.2. Perundangan-undangan Wilayah Negara

2.3. Ruang Lingkup Kawasan Perbatasan

2.4. Definisi Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan

BAB III

PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN

3.1. Kajian Hukum Internasional

3.2. Isu dan Permasalahan Kawasan Perbatasan

3.3. Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan

3.3.1. Kebijakan Kawasan Tertinggal dan Terisolir

3.3.2. Kebijakan Strategis Nasional dalam pengembangan Kawasan Perbatasan

3.4. Kebijakan Ekonomi dan Sosial Budaya

3.4.1. Paradigma Kawasan Perbatasan

3.4.2. Kesenjagan Pembangunan dengan Negara Tetangga.

3.4.3. Sarana Prasarana yang minim

3.4.4. Kemiskinan dan Prasejahtera

3.4.5. Terisolasinya Kawasan Perbatasan akibat rendahnya Aksesbilitas

3.4.6. Rendahnya Kualitas SDM

3.4.7. Aktivitas Pelintas Batas Tradisional

3.4.8. Tanah Adat dan Hak Ulayat

3.5. Pertahanan Keamanan Dan Batas Wilayah Laut

3.5.1. Belum adanya kesepakatan batas negara

3.5.2. Batas Zona Ekonomi Eksklusif

3.5.3. Batas Laut Teritorial

3.5.4. Batas Landas Kontinen

3.5.5. Terbatasanya Jumlah Aparat

3.5.6. Kegiatan Ilegal dan Pelanggaran Hukum

3.5.7. Terbatasnya Jumlah Sarana dan Prasarana Perbatasan

3.6. Pengelolaan Sumberdaya Alam

3.6.1. Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Alam bekum Optimal

3.6.2. Terjadinya Eksploitasi SDA yang tidak terkendali

3.7. Kelembagaan dan Kewenangan Pengelolaan

Page 3: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

2

3.7.1. Kelembagaan Pengelola Perbatasan

3.7.2. Kewenangan dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan

3.8. Kerjasama Antar Negara

3.8.1. Keterkaitan Kerjasama Pengelolaan Perbatasan

3.8.2. Kerjasama dalam penanggulangan Pelanggaran Hukum

BAB IV

PENGELOLAAN POTENSI, PEMANFAATAN, DAN NILAI EKONOMI

SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

4.1. Pengantar

4.2. Potensi Sumberdaya Pesisir

4.2.1. Sumberdaya Hayati

4.2.1.1. Potensi Sumberdaya Hayati untuk Perikanan Tangkap

4.2.1.2. Potensi Sumberdaya Hayati untuk Perikanan Budidaya

4.2.1.3. Padang Lamun

4.2.1.4. Hutan Mangrove

4.2.1.5. Terumbu Karang

4.2.2. Sumberdaya Non-Hayati

4.2.2.1. Lahan Pesisir (Coastal Land)

4.2.2.2. Pertambangan dan Energi

4.2.3. Pertambangan dan Energi

4.2.3.1. Potensi Sumberdaya Minyak dan Gas

4.2.3.2. Potensi Sumberdaya Minyak dan Gas

4.2.3.3. Pemanfaatan Sumberdaya Minyak dan Gas

4.2.3. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

4.3. Jasa-Jasa Kelautan

4.3.1. Pariwisata Bahari

4.3.1.1. Potensi Pariwisata Bahari

4.3.1.2. Pemanfaatan Pariwisata Bahari

4.3.2. Industri Maritim

4.3.2.1. Potensi Industri Maritim

BAB V

MASALAH PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

5.1. Masalah Kerusakan Fisik Lingkungan Pesisir

5.1.1. Kerusakan Terumbu Karang

5.1.2. Kerusakan Mangrove

5.1.3. Kerusakan akibat pemanfaatan berlebih (over exploitation)

5.1.4. Pencemaran Laut

5.1.5. Bencana Alam di Wilayah Pesisir

5.2. Masalah Sosial Ekonomi

5.2.1. Masalah Kemiskinan Penduduk Wilayah Pesisir

5.2.2. Kurangnya Pemahaman terhadap Nilai Sumberdaya Wilayah Pesisir

Page 4: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

3

5.3. Masalah Kelembagaan

5.3.1. Masalah Konflik Pemanfaatan dan Kewenangan

5.3.2. Masalah Ketidakpastian Hukum

BAB VI

KAJIAN HUKUM SERTA KONVENSI INTERNASIONAL YANG TERKAIT

DENGAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

6.1. Pengantar

6.1.1. Landasan Hukum Penyusunan Rancangan UU Pengelolaan Wilayah

6.1.2. Pengaturan Sektoral yang terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir

6.1.3. Otonomi daerah

6.1.4. Pendekatan Global

6.2. Karakteristik Sektoral

6.2.1. Sektor Pertanahan

6.2.2. Sektor Pertambangan

6.2.3. Sektor Perindustrian dan Perhubungan

6.2.4. Sektor Pertanian

6.2.5. Sektor Perikanan

6.2.6. Sektor Kehutanan

6.2.7. Sektor Pariwisata

6.3. Konvensi Internasional

6.3.1. Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut

6.3.2. Konvensi Marine Pollution (Marpol) 1973/1978

6.3.3. Konvensi Ramsar 1971 tentang Lahan Basah untuk Kepentingan Internasional

sebagai Habitat Burung Air

6.3.4. Konvensi PBB 1992 tentang Keanekaragaman Hayati

6.3.5. Agenda 21 Global

6.4. Kewenangan Pengelolaan

6.4.1. Otonomi Daerah

6.4.2. Perimbangan Keuangan

6.5. Hak Masyarakat Adat (Tradisional)

6.5.1. Pengakuan Hak Ulayat Laut

6.5.2. Hak Kepemilikan Masyarakat Adat (Marinetenure Right and Property Rights)

6.6. Masalah Krusial yang Perlu Diatur

6.6.1. Konflik antar Undang-Undang

6.6.2. Konflik antara Undang-Undang dengan Hukum Adat

6.6.3. Kekosongan Hukum

6.7. Perkembangan Baru berdasarkan Wawasan Nusantara

6.7.1. Konsep Wawasan Nusantara

6.7.2. Pertahanan dan Keamanan

6.7.3. Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang

Page 5: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

4

6.8. Kajian Undang-Undang Terkait

BAB VII

PRINSIP DAN MEKANISME PENGATURAN

7.1. Prinsip-Prinsip

7.1.1. Prinsip Keterpaduan

7.1.1.1. Integrasi Perencanaan Sektor Secara Horisontal

7.1.1.2. Keterpaduan Perencanaan Secara Vertikal

7.1.1.3. Keterpaduan antara Ekosistem Darat dengan Laut.

7.1.1.4. Keterpaduan antara Ilmu Pengetahuan dan Manajemen

7.1.1.5. Keterpaduan antar Negara

7.1.2. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

7.1.3. Prinsip Partisipasi dan Keterbukaan

7.1.4. Prinsip Kepastian Hukum

7.2. Obyek dan Ruang Lingkup Pengaturan

7.2.1. Mekanisme Koordinasi Pada Tingkat Pusat

7.2.2. Fasilitasi dan Konsultasi dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah

7.2.3. Koordinasi Perencanaan Pembangunan Wilayah Pesisir Daerah.

7.2.4. Keterlibatan Stakeholders.

7.2.5. Muatan Program PWP

7.2.6. Insentif.

7.2.8. Keuangan

7.2.9. Pemantauan dan Evaluasi

7.2.10. Penegakkan Hukum dan Sanksi

7.2.11. Penyelesaian Konflik

7.3. Mekanisme Hukum dan Kelembagaan

7.3.1 Mekanisme Pentaatan dan Penegakan Hukum

7.3.2. Mekanisme Sistem Kelembagaan

7.3.3. Kelembagaan

7.4. Pelaksanaan Mekanisme

BAB VIII

PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR

8.1. Optimalisasi Pemanfaatan

8.2. Efisiensi Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir

8.3. Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir

8.4. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Berkeberlanjutan

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 6: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan

(interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan

jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark 1996). Kekayaan sumberdaya tersebut

menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan

berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya (Putra 2001). Kekayaan

sumberdaya alam di wilayah pesisir, antara lain, berupa bentangan garis pantai

sepanjang kurang lebih 81.000 km yang mengelilingi sekitar 16.501 pulau, dan

ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (sea grass

beds) dan lain-lain, berikut sumberdaya hayati, nonhayati, dan plasma nutfah yang

terkandung di dalamnya. Selain itu, terdapat pula laut teritorial seluas 3,1 juta km2

(Dishidros 1992) yang sangat terkait dengan eksistensi sumberdaya pesisir tersebut.

Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir tersebut dikuasai oleh negara

untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Pasal 33

ayat 3 UUD 1945), serta memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa

mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memanfaatkan

sumberdaya pesisir, sesuai dengan Pasal 4 UU No. 23 Tahun 1997 dirubah dengan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Namun, pada kenyataannya, tingkat

kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata

yang paling rendah dibandingkan dengan segmen masyarakat darat lainnya.

Pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan dengan memperhatikan kaidah-

kaidah konservasi dan kesejahteraan masyarakat belum dilakukan secara efektif.

Sehingga di beberapa wilayah pesisir sudah mulai muncul fenomena pemanfaatan yang

bersifat sektoral, exploitatif dan melampaui daya dukung lingkungannya. Dampak

pemanfaatan tersebut mulai muncul, khususnya terlihat pada laju kerusakan fisik

lingkungan pesisir yang semakin meningkat. Jika dilihat ekosistem pesisir sebagai satu

kesatuan dengan ekosistem daerah aliran sungai (DAS), maka meningkatnya laju erosi

tanah dari DAS hulu akibat intesifikasi pertanian lahan kering, membawa sedimen dan

residu bahan kimia pertanian ke estuaria dan wilayah pesisir sekitar muara sungai.

Berdasarkan hasil penelitian, 85% pencemaran laut berasal dari daratan (UNEP 1995).

Demikian pula, pemanfaatan sumberdaya pesisir, seperti ikan, terumbu karang, padang

Page 7: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

6

lamun, mangrove, dan pasir pantai, telah berlangsung secara intensif di wilayah pesisir

tertentu. Eksploitasi yang berlebihan akan lebih menimbulkan kerusakan lingkungan.

Beberapa fenomena penting yang memerlukan tindakan segera untuk

mengatasinya antara lain: deforestasi hutan bakau; rusaknya terumbu karang;

merosotnya kualitas obyek wisata laut; tangkap ikan lebih (overfishing); terancamnya

berbagai spesies biota laut seperti penyu dan dugong; meningkatnya laju pencemaran;

berkembangnya erosi pantai; meluasnya sedimentasi, serta intrusi air laut.

Pengelolaan wilayah pesisir yang tidak efektif tersebut di dorong oleh berbagai

faktor. Ketidakmampuan kapasitas kelembagaan dalam mengatasi isu dasar

pengelolaan sumberdaya pesisir. Berbagai kepentingan sektor, dunia usaha dan

masyarakat setempat semakin kuat mendominasi isu-isu pengelolaan. Dalam satu

dekade belakangan ini, banyak pihak berkepentingan yang memanfaatkan sumberdaya

pesisir dari jenis yang sama atau di wilayah pesisir yang sama, khususnya di wilayah

pesisir yang pembangunannya pesat. Masing-masing pihak yang berkepentingan

memegang dasar hukum dan kebijakan dari instansi yang berwenang. Setiap kebijakan

yang dikeluarkan memuat tujuan dan sasaran yang sering berbeda sehingga muncul gap

atau tumpang tindih. Untuk mencapai tujuannya, setiap instansi menyusun perencanaan

sendiri, sesuai dengan tugas dan fungsi sektornya, tetapi kurang mengakomodasi

kepentingan sektor lain, daerah, masyarakat setempat, dan lingkungannya. Perbedaan

tujuan, sasaran, dan rencana memicu kompetisi (rivalitas) diantara pengguna dan

tumpang tindih perencanaan. Tumpang tindih perencanaan dan kompetisi ini memicu

konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan (Putra 1998).

Persoalan pengelolaan wilayah pesisir semakin krusial menyusul

diberlakukannya UU No. 22/1999 yang kemudian dirubah dengan UU No. 32 Tahun

2004 dan dirubah kembali dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, yang memberikan mandat otonomi kepada pemerintah daerah dalam

pengelolaan sumberdaya pesisirnya. Pasal 18 ayat (1) , UU tersebut menyatakan bahwa

Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber

daya di wilayah laut, dan pada mempunyai kewenangan untuk mengelola sumberdaya

bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai peraturan perundanga-undangan (pasal 18

ayat 2). Kewenangan pengelolaan meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan

pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang; penegakan

hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan

Page 8: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

7

kewenangannya oleh Pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan ikut

serta dalam pertahanan kedaulatan negara (pasal 18 ayat 3).

Selanjutanya sesebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di

wilayah laut sebagaimana dimaksud pada pasal 18 ayat (3) paling jauh 12 (dua belas)

mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan

untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk

kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh

empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama

jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut,

dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan

provinsi dimaksud. Dalam UU tersebut juga telah mengakomodasikan kewenangan

masyarakat terutama para nelayan kecil yang menyatakan bahwa wilayah tidak berlaku

batas sepanjang dengan mengunakan alat tangkap yang bersifat tradisional,, Namun

sejak diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014, maka Kabupaten/Kota tidak lagi

mempunyai kewenangan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam hal

pengelolaannya, namun kewenangannya diserahkan pengelolaan kepada Pemerintah

Provinsi.

Otonomi daerah di wilayah pesisir tersebut telah menimbulkan perbedaan

penafsiran, dimana sebagian Pemda menerjemahkan seolah-olah kewenangan tersebut

sebagai kedaulatan. Oleh karenanya timbul kesan adanya pengkapling-kaplingan laut

berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan daerah. Pelaksanaan otonomi ini masih

berbenturan dengan penerapan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya

sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha di wilayah pesisir.

Sebagai contoh ada Pemda yang meminta saham baru dari perusahaan perikanan,

seperti mutirara yang telah beroperasi dan mendapat izin dari Pemerintah sebelum UU

No. 22/1999 (Dahuri pers. comm. 2001). Amun dengan diberlakukannya UU 23 Tahun

2014, maka perlu dilakukan pembenahan sesuai dengan kewenangan pemerintah

Provinsi.

Paradoksi pengelolaan wilayah pesisir tersebut, harus segera diakhiri. Langkah

ke arah itu, menurut analisis para pakar, dapat dimulai dengan mengembangkan sistem

pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Dengan sistem pengelolaan wilayah pesisir

secara terpadu, diharapkan akan terwujud suatu sistem pengelolaan wilayah pesisir

yang optimal, efisien, terkoordinasi, dan berkelanjutan., sebagaimana diisyaratkan oleh

Bab 17 – 18 Agenda 21 Nasional.

Page 9: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

8

Untuk mewujudkan sistem pengelolaan wilayah pesisir terpadu, maka di tingkat

daerah dipandang perlu landasan hukum tersendiri berupa Peraturan Daerah. Akan

tetapi, sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, pemerintah belum pernah

menerbitkan UU khusus pengelolaan wilayah pesisir, bukan menjadi hambatan atau

kendala bagi pemerintah daerah dan masyarkat untuk harus menunggu UU PWP

tersebut di tetapkan karena Pemerintah Daerah diberikan kewenangan oleh undang-

undangan untuk menetapkan peraturan daerah sepanjang tidak bertentangan dengan

undang-undang yang berlaku. Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di

wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang menguntungkan

instansi sektor dan dunia usaha terkait.

Untuk mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang

tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan, serta memberikan kepastian

hukum, maka perlu disusun suatu Naskah Akademis Pengelolaan Wilayah Pesisir

sebagai pedoman penyusunan Rancangan Peraturan Daerah.

1.2. Maksud dan tujuan Hukum Perbatasan dan Plau Terluar.

Pengelolaan wilayah perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil, memerlukan

pengaturan secara terpadu agar potensi sumberdaya pesisir yang ada dapat

dikembangkan dan dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan nasional secara

berkelanjutan. Pembangunan tersebut tidak boleh mengorbankan kepentingan generasi

yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan sumberdaya pesisir generasi saat ini,

yang diyakini bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh sebab itu maksud dari buku ini adalah untuk memberikan gambaran dalam

rangka merumuskan pemikiran-pemikiran yang bersifat akademis dalam menyusun

Kebijakan Wilayah Perbatasan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil serta Pedoman dalam

Rancangan Peraturan Daerah yang mengangkat realitas pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil yang telah berlangsung selam ini, memberdayakan masyarakat pesisir

dan masyarakat adat, memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha

dan sebagai norma bagi pemerintah untuk meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir

secara berkelanjutan.

Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil bertujuan untuk:

1. Memberikan penjelasan secara akademik mengenai perlunya isu-isu pengelolaan

wilayah pesisir diatur secara khusus di dalam suatu Peraturan Daerah.

Page 10: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

9

2. Merumuskan obyek dan lingkup pengaturan yang dibutuhkan dalam penyusunan

materi dasar RanPerda (Rancangan Peraturan Daerah) Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-pulau Kecil.

3. Mengkaji secara obyektif strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan Rancangan

Peraturan Daerah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

4. Menata keseimbangan antara kepentingan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah

dalam pemanfafatan sumberdaya kelautan.

Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan, dan

jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Sumberdaya alam terdiri

atas sumberdaya alam yang dapat pulih dan yang tidak dapat pulih. Sumberdaya alam

yang dapat pulih, antara lain, sumberdaya ikan, rumput laut, padang lamun, hutan

mangrove, dan terumbu karang. Sumberdaya alam yang tidak dapat pulih, antara lain,

minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, dan mineral.

Pulau-Pulau Kecil/Gugusan Pulau-Pulau adalah kumpulan pulau-pulau yang

secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial, dan budaya,

baik secara individual maupun secara sinergis sehingga dapat meningkatkan skala

ekonomi dari pengelolaan sumberdaya pesisirnya.

Batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:

1. Pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah

penduduknya kurang atau sama dengan 200.000 orang;

2. Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik

yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insuler;

3. Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan

bernilai tinggi;

4. Daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran

air permukaan dan sedimen masuk ke laut;

5. Dari segi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pulau-pulau bersifat khas

dibandingkan dengan pulau induknya.

1.3. Ruang Lingkup Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Buku ini menguraikan pemikiran-pemikiran yang bersifat akademik untuk

memberikan argumen-argumen ilmiah mengenai perlunya pengelolaan kawasan

perbatasan dan wilayah pesisir secara terpadu yang diatur tersendiri di dalam suatu

Page 11: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

10

Kebijakan Daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah. Buku ini berisikan tujuan dan

sasaran, potensi, permasalahan, tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan

terkait, pokok-pokok pikiran, norma hukum, obyek dan lingkup pengaturan, serta

mekanisme pengaturan. Istilah yang digunakan dalam Naskah Akademik ini

ditampilkan dalam daftar istilah.

Page 12: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

11

BAB II

KAWASAN PERBATASAN DAN PENGELOLAAN

PULAU-PULAU KECIL TERLUAR

2.1. Pengantar

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri

nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak-hak berdaulat di luar

wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan

Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan

wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Bahwa

wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menganut sistem: a. pengaturan suatu Pemerintahan negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia; b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralisasi

pemerintahan kepada daerah-daerah besar dan kecil yang bersifat otonom dalam

bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan d. kesejahteraan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia. Dalam rangka mengejawantahkan maksud Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut diperlukan pengaturan-pengaturan

kewilayahan secara nasional, antara lain pengaturan mengenai: a. perairan; b.

daratan/tanah; c. udara; d. ruang; dan e. sumber kekayaan alam dan lingkungannya.

Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan Kawasan

Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas Wilayah Negara,

maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan batas-batas Wilayah

Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai ruang lingkup

wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah Negara, dan hak–hak berdaulat.

Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan di laut bebas

dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional. Pemanfaatan di laut

bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam, perlindungan lingkungan

laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan Wilayah Negara dilakukan dengan

pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan secara bersama-sama.

Page 13: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

12

Pendekatan kesejahteraan dalam arti upaya-upaya pengelolaan Wilayah Negara

hendaknya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraaan

masyarakat yang tinggal di Kawasan Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti

pengelolaan Wilayah Negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara

serta perlindungan segenap bangsa. Sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan

dalam arti pembangunan Kawasan Perbatasan yang memperhatikan aspek kelestarian

lingkungan yang merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan. Peran

Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting terkait dengan pelaksanaan

fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam mengelola

pembangunan Kawasan Perbatasan.

Dalam RPJMN 2015-2019 telah menyatakan bahwa pengembangan kawasan

perbatasan sebagai pinggiran negara diarahkan menjadi halaman depan negara yang

berdaulat, berdaya saing, dan aman melalui pendekatan keamanan (security approach)

dan pendekatan peningkatan kesejahteraan masyarakat (prosperity approach). Sebagai

pusat pengelolaan perbatasan negara, BNPP telah menyusun rancangan Rencana Induk

Pengelolaan Perbatasan Negara 2015-2019. Rencana Induk Pengelolaan ini memiliki

enam fungsi strategis yaitu:

I. Sebagai pedoman penyusunan rencana kerja kementerian dan LPNK dalam

pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.

II. Sebagai pedoman penyusunan Rencana Aksi (Renaksi) pemerintah

provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota terkait.

III. Sebagai instrumen untuk melakukan koordinasi, integrasi, sinergitas, dan

sinkronisasi rencana dari berbagai sektor, dunia usaha dan masyarakat

dalam mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan negara

berdasarkan kerangka waktu, lokasi, sumber pendanaan dan

penanggungjawab pelaksanaannya.

IV. Sebagai pedoman dalam menyusun sistem dan prosedur pendanaan yang

bersumber dari APBN, APBD, masyarakat, dan pembiayaan lain-lain yang

sah secara efisien, efektif, akuntabel, transparan, partisipatif, dan dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik.

V. Sebagai informasi arah pengembangan, kebijakan, strategi, tahapan

pelaksanaan, dan kebutuhan program pengelolaan batas wilayah negara dan

kawasan perbatasan negara.

Page 14: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

13

VI. Sebagai acuan pelaksanaan monitoring dan evaluasi untuk pengelolaan

batas wilayah negara dan kawasan perbatasan negara.

Adapun visi Pengelolaan Perbatasan Negara 2015-2019, yaitu terwujudnya

kawasan perbatasan negara sebagai halaman depan negara yang berdaya saing menuju

Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong.

Visi ini akan dilaksanakan melalui empat misi, yakni:

I. Menyelesaikan penetapan dan penegasan batas wilayah negara serta

meningkatnya upaya pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum di

kawasan perbatasan.

II. Membangun sistem pengelolaan aktivitas lintas batas negara yang terpadu.

III. Meningkatkan upaya-upaya pembangunan kawasan perbatasan negara

melalui pemanfaatan potensi kawasan perbatasan dan penyediaan

infrastruktur kawasan perbatasan.

IV. Meningkatkan kapasitas dan kualitas tata kelola perbatasan negara melalui

penataan dan penguatan kelembagaan.

Sementara, sasaran Pengelolaan Perbatasan Negara 2015-2019 adalah

terselesaikannya penetapan dan penegasan batas wilayah negara, serta meningkatnya

upaya pertahanan, keamanan dan penegakan hukum di kawasan perbatasan demi

tegaknya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya,

terbangunnya sistem pengelolaan aktivitas lintas batas negara yang terpadu dalam

rangka mewujudkan sistem pelayanan lintas batas yang aman, nyaman, dan ramah

lingkungan. Sasaran lainnya, meningkatnya upaya-upaya pembangunan kawasan

perbatasan negara melalui pemanfaatan potensi kawasan perbatasan dan penyediaan

infrastruktur kawasan perbatasan dalam rangka mengatasi keterisolasian wilayah dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan.

Sasaran terakhir, meningkatnya kapasitas dan kualitas tata kelola perbatasan

negara melalui penataan dan penguatan kelembagaan dalam rangka mewujudkan sistem

tata kelola perbatasan yang modern, efektif dan efisien, sesuai dengan tuntutan dan

kebutuhan dinamika regional dan global,

Page 15: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

14

2.2. Perundang-Undangan Wilayah Negara.

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Wilayah Negara telah

diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1971 tentang Perjanjian antara Republik

Indonesia dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua

Negara di Selat Malaka;

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia;

c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973 tentang Perjanjian Antara Indonesia dan

Australia Mengenai Garis-Garis Batas Tertentu Antara Indonesia dan Papua

New Guinea;

d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Republik

Indonesia dan Republik Singapura mengenai garis Batas laut Wilayah kedua

Negara di Selat Singapura;

e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia;

f. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations

Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Tentang Hukum Laut);

g. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;

h. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pengesahan Persetujuan Antara

Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam

tentang Penetapan Batas Landas Kontinen Tahun 2003;

i. Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1969 tentang Persetujuan Antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang Penetapan

Garis Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara;

j. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1971 tentang Persetujuan Antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia

tentang Penetapan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu;

k. Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara

Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Kerajaan

Thailand tentang Penetapan GarisGaris Batas Landas Kontinen di Bagian Utara

Selat Malaka;

Page 16: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

15

l. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang

Penetapan Suatu Garis Batas Landas Kontinen di Bagian Utara Selat Malaka

dan Laut Andaman;

m. Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 1972 tentang Persetujuan Bersama Antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia

tentang Penetapan Garis Batas Dasar Laut di Daerah Laut Timor dan Laut

Arafura;

n. Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1974 tentang Persetujuan Antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang

Penetapan Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara;

o. Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang

Penetapan Garis Batas dasar Laut Antara Kedua Negara di Laut Andaman;

p. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang Garis

Batas Landas Kontinen Tahun 1974 Antara Kedua Negara di Laut Andaman

dan Samudera Hindia;

q. Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1978 tentang Persetujuan Bersama Antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India, dan Pemerintah

Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan

Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman; dan

r. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1982 tentang Persetujuan Antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang Batas-

Batas Maritim Antara Pemerintah RI dan Papua Nugini dan Kerjasama tentang

Masalah-Masalah Yang Bersangkutan Sebagai Hasil Perundingan Antara

Delegasi Pemerintah RI dan Delegasi Pemerintah Papua Nugini.

2.3. Ruang Lingkup Kawasan Perbatasan

Mengingat Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga

keutuhan Wilayah Negara maka diperlukan pengaturan secara tersendiri dalam

Undang-Undang. Pengaturan Batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan

kepastian hukum mengenai Wilayah Negara, kewenangan pengelolaan Wilayah

Page 17: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

16

Negara, dan hak–hak berdaulat. Hal-hal pokok yang diatur dalam undang-undang ini,

yakni:

1. Ruang lingkup Wilayah Negara yang meliputi wilayah daratan, wilayah perairan

pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dasar laut, dan tanah di bawahnya,

serta ruang udara di atasnya termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di

dalamnya.

2. Hak-hak berdaulat Negara Republik Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif dan

Landas Kontinen serta hak pengawasan di Zona Tambahan.

3. Kewenangan Pemerintah melakukan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan

wilayah negara serta Kawasan Perbatasan.

4. Kelembagaan yang diberi kewenangan untuk melakukan penanganan Kawasan

Perbatasan. Unsur keanggotaan kelembagaan ini berasal dari unsur Pemerintah dan

Pemerintah Daerah mengingat posisi strategis wilayah perbatasan terkait dalam hal

seperti kedaulatan negara, keutuhan wilayah, penegakan hukum dan kesejahteraan

rakyat.

5. Keikutsertaan masyarakat dalam menjaga dan mempertahankan Wilayah Negara

termasuk Kawasan Perbatasan.

6. Larangan dan sanksi bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran terkait dengan

Wilayah Negara dan batas-batasnya.

2.4. Definisi Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan

1. Definisi-definisisi yang berhubungan dengan Wilayah Negara dan Kawasan

Perbatasan.

1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan

Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan

wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta

dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh

sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

2. Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut

teritorial.

Page 18: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

17

3. Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona

Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara

memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

4. Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan

suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional.

5. Batas Wilayah Yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak

berdaulat dan kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas

ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

6. Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi

dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas

Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.

7. Zona Tambahan Indonesia adalah zona yang lebarnya tidak melebihi 24 (dua puluh

empat) mil laut yang diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.

8. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah suatu area di luar dan berdampingan

dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar 200 (dua ratus)

mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.

9. Landas Kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari

area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang

kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau

hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut

teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak

tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan

jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter.

10. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang

diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan

hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

11. Badan Pengelola adalah badan yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang ini

di bidang pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.

12. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik

Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Page 19: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

18

13. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah

sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Page 20: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

19

BAB III

PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN

3.1. Kajian Hukum Internasional.

Untuk mempertahankan kedaulatan (souvereignity) dan hak-hak berdaulat

(souvereign Rights) antar negara serta menyelesaikan semua persoalan yang berkaitan

dengan hubungan international, negara perlu menetapkan perbatasan wilayah baik

dimensi perbatasan darat maupun perbatasan laut dan udara. Penetapan perbatasan

wilayah (Border Zone) tersebut dapat dilakukan sesuai ketentuan hukum international

agar dapat memberikan kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi

masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan dimaksud.

Menurut para ahli hukum international seperti Green NA Maryan, Shaw

Malcolm, JG Starke dan Burhan Tsani, perbatasan wilayah adalah batas terluar wilayah

suatu negara berupa suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara

dengan wilayah negara lain di darat, laut maupun udara yang dapat dikualifikasi dalam

terminologi "Border Zone" (zona perbatasan) maupun Customs Free Zone (zona bebas

kepabeanan). Kawasan perbatasan dalam dua terminologi di atas dapat diatur secara

limitatif dalam berbagai perjanjian international yang bersifat "Treaty Contract" untuk

menyelesaikan permasalahan di perbatasan secara insidentil maupun yang bersifat "law

making treaty" untuk pengaturan masalah perbatasan secara permanen berkelanjutan.

Perbatasan wilayah harus dikelola secara baik dan berkelanjutan karena selain

berkaitan dengan penyelesaian berbagai sengketa international (international disputes)

juga karena daerah perbatasan memiliki fungsi yang sangat strategis seperti fungsi

militer, ekonomi perdagangan, kedaulatan negara dan fungsi-fungsi identitas nasional

menuju kepentingan domestik di bidang ipoleksosbudhankam. Oleh karena itu menurut

para ahli hukum international dan pengamat perbatasan (Ganewati

Wuryandari) "Keamanan di Perbatasan RI - RDTL" dalam melaksanakan fungsi-fungsi

perbatasan perlu diperhatikan aspek-aspek kultur masyarakat, pengaruh politik

masyarakat dua negara, kebijakan pemerintah negara dan kekuatan pasar dalam

perdagangan.

Pengelolaan perbatasan wilayah oleh badan-badan khusus yang ditentukan

negara secara internal dimaksudkan agar administrasi pemerintahan dapat dilakukan

dengan baik dan penerapan hukum nasional secara berkeadilan. Secara eksternal

penetapan dan pengelolaan perbatasan antar negara dimaksudkan agar dapat menjamin

penerapan hukum international secara holistik untuk mewujudkan keseimbangan hak

Page 21: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

20

dan kewajiban suatu negara dalam konteks hubungan international yang harmonis,

damai dan seimbang.

Untuk mengelola keamanan perbatasan secara baik perlu dibedakan regim

pengelola perbatasan sehingga pola pendekatan dan langkah-langkah yang dilakukan

masing-masing negara dapat menjamin kedaulatan dan hak berdaulat masing-masing.

Ada dua konsep regim pengelolaan perbatasan antar negara yang sedang dikembangkan

negara-negara yang berdampingan yaitu "Hard Border Regim" (regim perbatasan

keras) sebagaimana diterapkan AS terhadap Mexico dan Cuba, yang mengutamakan

pendekatan militer di perbatasan dan "Soft Border Regim" (regim perbatasan lunak)

sebagaimana diterapkan AS terhadap Canada, yang merupakan pola pendekatan yang

manusiawi dan "social approuch". Pilihan untuk menggunakan salah satu regim atau

mengembangkan dua-duanya dalam pengelolaan keamanan perbatasan antar negara

sangat ditentukan oleh filosofi yang dianut masing-masing negara dalam mengelola

kedaulatan negaranya.

Dalam prakteknya sebagaimana diharapkan telah diterapkan Pemerintah RI

dengan 10 negara tetangga adalah hubungan-hubungan "voisinage" (Burhan Tsani,

Hukum dan Hubungan International) yang memiliki konteks aturan dan praktek yang

khusus mengatur tingkah laku negara yang saling berbatasan. Dalam konteks

pengelolaan pebatasan wilayah antar negara dapat diuraikan beberapa perspektif yang

berimplikasi pada penerapan hukum international secara holistik dan konstruktif.

Pertama, kehadiran badan pengelola perbatasan di tingkat pusat dan daerah di

Indonesia diharapkan dapat memfokuskan pada aktifitas pemetaan dan identifikasi

titik-titik perbatasan negara (darat, laut dan udara). Terobosan ini dapat mewujudkan

penetapan batas-batas antar negara secara limitatif dan holistik agar dapat diterapkan

ketentuan hukum international secara baik di wilayah perbatasan. Tidak sempurnanya

pelaksanaan kegiatan di atas dapat menghalangi penerapan hukum international kendati

dapat ditegakkan hukum-hukum transisi (Transitional Justice) berupa "ius

constituendum" yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan international yang disepakati dan

dijalankan dua negara.

Kedua, badan pengelola perbatasan di Indonesia dan daerah dapat berperan

dalam membantu menyelesaikan berbagai sengketa international (International

Disputes) demi terciptanya kondisi keamanan perbatasan yang harmonis dan terkendali.

Page 22: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

21

Kendati hukum international memberi ruang untuk penyelesaian sengketa international

melalui jalur kekerasan (use of force) seperti perang dan blokade damai, diharapkan

tetap diupayakan jalan penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang memfokuskan

pada pilihan-pilihan seperti arbitrase, judicial, negosiasi- mediasi dan rekonsiliasi.

Ketiga, kehadiran Badan Pengelola Perbatasan juga dapat mensinergikan

kegiatan-kegiatan produktif seperti merintis kearah pembentukan perjanjian-perjanjian

international (treaty) untuk membina hubungan international yang harmonis, berdaulat

dan "mutual benefit" dalam berbagai aspek. Dalam tataran ini, Badan Pengelola

Perbatasan dapat melakukan diplomasi untuk melahirkan kesepakatan-kesepakatan

international berdasarkan asas-asas hukum internasional seperti "pacta sunt servanda".

Pelaksanaan dimensi ini alangkah baiknya didukung oleh pengetahuan dan pengalaman

yang memadai dalam hal meneruskan dan menganalisis berbagai dasar hukum.

Pengaturan dan penegakan hukum di zona perbatasan baik untuk kepentingan

perbatasan international berdasarkan hukum positif negara masing-masing maupun

untuk kepentingan perbatasan ksternal berdasarkan ketentuan hukum international

berupa "ius constitutum" maupun penemuan atau pembentukan hukum international

dari kebiasaan international dua negara (konvensi).

Keempat, badan perbatasan juga dapat menjadi "Leading Institution" dalam

pelaksanaan fungsi-fungsi pembangunan bagi masyarakat baik untuk pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat maupun untuk pembentukan karakter

kehidupan di perbatasan yang tidak saling mencurigai dan lebih kearah terbentuknya

kondisi "mutual understanding" di bidang sosial budaya maupun pertahanan keamanan

wilayah. Para ahli hukum international seperti "Green NA Maryan" menyatakan di

daerah perbatasan, sebaiknya tidak ada kewajiban menghormati batas-batas suatu

negara dan tidak ada ancaman antar negara. Untuk mengatur semua itu dapatlah

dibentuk Komisi Bipatie antara dua negara yang berbatasan.

Jika keempat perspektif di atas dapat dijadikan"term of reference" para

pengelola perbatasan antar negara di Indonesia maka fungsi dan peran institusi dapat

diaplikasi secara maksimal untuk mengeliminir pemikiran bahwa terbentuknya badan

atau institusi baru hanya untuk kepentingan elit semata dan atau untuk kepentingan

pelaksanaan kegiatan yang "project oriented."

Page 23: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

22

Kajian hukum internasional untuk daerah perbatasan:

1. Penetapan wilayah Negara Penetapan wilayah Negara memiliki dasar hukum

diantaranya:

– Deklarasi Juanda

– Ratifikasi hUkum laut 1992

– Konvensi Chicago 1994

Batas antar wilayah Negara dalam wilayah perbatasan dapat ditentukan melalui

dua cara, yaitu:

a. Perjanjian bilateral antar kedua Negara yang bersangkutan.

b. Putusan mahkamah Internasional.

Putusan mahkamah internasional dapat dipilih apabila kedua Negara tersebut

mengalami sengketa seperti kasus Indonesia dan Malaysia terhadap P. Sipadan Ligitan.

Dalam kasus tersebut Indonesia yang mengalami kekalahan sehingga harus merelakan

P. Sipadan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia. Kasus lain terkait masalah perbatasan saat

ini adalah mengenai Ambalat. Apabila Indonesia mau belajar atas kehilangan P.

Sipadan Ligitan, maka kita tidak boleh tergesa-gesa dalam menentukan batas-batas

perbarasan tersebut. Adalah lebih baik bila membiarkan pulau tersebut dalam keadaan

status quo, sehingga kita masih tetap bisa mengeksplorasi sumber daya alamnya. Hal

yang perlu diperhatikan dalam kondisi tersebut, kita tidak boleh hanya tinggal diam

saja, tetapi kita harus membangun strategi untuk memperkuat bargaining position kita

dalam menguasai pulau tersebut di mata hokum internasional.

Terkait penetapan wilayah dalam daerah perbatasan, maka hal-hal yang perlu

dilakukan oleh pemerintah adalah:

a. Pemerintah perlu mengidentifikasi pulau-pulau terluar di Indonesia.

b. Pemerintah perlu melakukan pemetaan wilayah.

2. Ada potensi sengketa antar Negara dan bagaimana penyelesaiannya

Menurut Deklarasi Juanda, batas-batas wilayah suatu Negara adalah sebagai berikut:

– 12 mil dari garis pantai terluar, sebagai laut territorial

– 200 mil dari garis pantai terluar, sebagai landas kontinen

– Lebih dari 200 mil dari garis pantai terluar merupakan laut lepas. Wilayah ini

bebas dieksploitasi oleh Negara manapun.

3. Pengelolaan wilayah perbatasan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan wilayah perbatasan adalah:

–Tingkat ekonomi dan teknologi wilayah perbatasan

Page 24: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

23

–Merintis rasa kebangsaan dan kecintaan terhadap tanah air

– Melakukan intensifikasi perdagangan

4. Penegakan hukum di wilayah perbatasan.

Dalam hal penegakan hukum di wilayah perbatasan, harus diperhatikan tidak hanya

aturan hukum formil saja, melainkan juga aturan hukum materiilnya.

3.2 Isu dan Permasalahan Kawasan Perbatasan

Pada bagian ini dipaparkan berbagai isu dan permasalahan yang dihadapi

kawasan perbatasan, baik perbatasan darat maupun laut. Agar penyelesaian masalah

dapat lebih terarah dan tepat sasaran, maka permasalahan yang ada dikelompokkan

menjadi 6 (enam) aspek, yaitu kebijakan, ekonomi dan sosial budaya, pertahanan dan

keamanan, pengelolaan sumber daya alam, kelembagaan dan kewenangan

pengelolaan, serta kerjasama antarnegara.

3.3 Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan

3.3.1. Kebijakan kawasan tertinggal dan terisolir

Selama beberapa puluh tahun kebelakang masalah perbatasan masih belum

mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan

pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah

kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial,

sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan

tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan.

3.3.2. Kebijakan Strategi Nasional dalam pengembangan kawasan perbatasan

Arah kebijakan pengembangan daerah perbatasan yaitu “meningkatkan

pembangunan di seluruh daerah, terutama di Kawasan Timur Indonesia, daerah

perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip

desentralisasi dan otonomi daerah”.

Demikian pula dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) dinyatakan

“program pengembangan daerah perbatasan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup

dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan

perbatasan, dan memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan

Page 25: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

24

negara lain”. Sasarannya adalah terwujudnya peningkatan kehidupan sosial-ekonomi

dan ketahanan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, dan ketertiban serta

keamanan kawasan perbatasan.

Sekalipun demikian, sejauh ini belum tersusun suatu kebijakan nasional yang

memuat arah, pendekatan, dan strategi pengembangan kawasan perbatasan yang

bersifat menyeluruh dan mengintegrasikan fungsi dan peran seluruh stakeholders

kawasan perbatasan, baik di pusat maupun daerah, secara menyeluruh dan terpadu. Hal

ini mengakibatkan penanganan kawasan perbatasan terkesan terabaikan dan bersifat

parsial.

3.4 Kebijakan Ekonomi dan Sosial Budaya

3.4.1. Adanya paradigma ’kawasan perbatasan sebagai halaman belakang’

Paradigma pengelolaan kawasan perbatasan di masa lampau sebagai

”halaman belakang” wilayah NKRI membawa implikasi terhadap kondisi kawasan

perbatasan saat ini yang tersolir dan tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi. Munculnya

paradigma ini, disebabkan oleh sistem politik dimasa lampau yang sentralistik dan

sangat menekankan stabilitas keamanan. Disamping itu secara historis, hubungan

Indonesia dengan beberapa negara tetangga pernah dilanda konflik, serta seringkali

terjadinya pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri.

Konsekuensinya, persepsi penanganan kawasan perbatasan lebih didominasi

pandangan untuk mengamankan perbatasan dari potensi ancaman dari luar (external

threat) dan cenderung memposisikan kawasan perbatasan sebagai sabuk keamanan

(security belt). Hal ini telah mengakibatkan kurangnya pengelolaan kawasan

perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan melalui optimalisasi potensi sumberdaya

alam, terutama yang dilakukan oleh investor swasta.

3.4.2. Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga

Kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan yang miskin infrastruktur dan

tidak memiliki aksesibilitas yang baik, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi

sosial ekonomi di negara tetangga. Kawasan perbatasan di Kalimantan dan Sulawesi

Utara misalnya, kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pada umumnya berkiblat ke

wilayah negara tetangga. Hal ini disebabkan adanya infrastruktur yang lebih baik atau

pengaruh sosial ekonomi yang lebih kuat dari wilayah negara tetangga. Secara jangka

Page 26: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

25

panjang, adanya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga tersebut berpotensi

untuk mengundang kerawanan di bidang politik.

3.4.3. Sarana dan prasarana masih minim.

Ketersediaan prasarana dan sarana, baik sarana dan prasarana wilayah maupun

fasilitas sosial ekonomi masih jauh dari memadai. Jaringan jalan dan angkutan

perhubungan darat maupun laut masih sangat terbatas, yang menyebabkan sulit

berkembangnya kawasan perbatasan, karena tidak memiliki keterkaitan sosial maupun

ekonomi dengan wilayah lain. Kondisi prasarana dan sarana komunikasi seperti

pemancar atau transmisi radio dan televisi serta sarana telepon di kawasan perbatasan

umumnya masih relatif minim.

Terbatasnya sarana komunikasi dan informasi menyebabkan masyarakat

perbatasan lebih mengetahui informasi tentang negara tetangga daripada informasi dan

wawasan tentang Indonesia. Ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi seperti pusat

kesehatan masyarakat, sekolah, dan pasar juga sangat terbatas. Hal ini menyebabkan

kawasan perbatasan sulit untuk berkembang dan bersaing dengan wilayah negara

tetangga.

3.4.4. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera.

Kemiskinan menjadi permasalahan yang terjadi di setiap kawasan perbatasan

baik laut maupun darat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah keluarga prasejahtera

di kawasan perbatasan serta kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah

perbatasan negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh akumulasi berbagai faktor, seperti

rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya

produktifitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam di

kawasan perbatasan. Implikasi lebih lanjut dari kondisi kemiskinan masyarakat di

kawasan perbatasan mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi

ilegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini selain melanggar hukum dan

potensial menimbulkan kerawanan dan ketertiban juga sangat merugikan negara. Selain

kegiatan ekonomi ilegal, kegiatan ilegal lain yang terkait dengan aspek politik, ekonomi

dan keamanan juga terjadi di kawasan perbatasan laut seperti penyelundupan senjata,

amunisi dan bahan peledak. Kegiatan ilegal ini terorganisir dengan baik sehingga perlu

koordinasi dan kerjasama bilateral yang baik untuk menuntaskannya.

Page 27: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

26

3.4.5. Terisolasinya kawasan perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju

kawasan perbatasan.

Kawasan perbatasan masih mengalami kesulitan aksesibilitas baik darat, laut,

maupun udara menuju pusat-pusat pertumbuhan. Di wilayah Kalimantan dan Papua,

sulitnya aksesibilitas memunculkan kecenderungan masyarakat untuk berinteraksi

dengan masyarakat di wilayah Serawak dan PNG. Minimnya asksebilitas dari dan

keluar kawasan perbatasan wilayah merupakan salah satu faktor yang turut mendorong

orientasi masyarakat yang cenderung berkiblat aktivitas sosial ekonominya ke negara

tetangga yang secara jangka panjang dikhawatirkan akan memunculkan degradasi

nasionalisme masyarakat perbatasan.

3.4.6. Rendahnya kualitas SDM

Sebagai dampak dari minimnya sarana dan prasarana dibidang pendidikan dan

kesehatan, kualitas SDM masyarakat di sebagian besar kawasan perbatasan masih

rendah. Masyarakat belum memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan

sebagaimana mestinya akibat jauhnya jarak dari permukiman dengan fasilitas yang ada.

Optimalisasi potensi sumber daya alam dan pengembangan ekonomi di kawasan

perbatasan akan sulit dilakukan. Rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan, serta

kesehatan masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang menghambat

pengembangan ekonomi kawasan perbatasan untuk dapat bersaing dengan wilayah

negara tetangga.

3.4.7. Aktivitas pelintas batas tradisional

Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang sama) di beberapa

kawasan perbatasan seperti di Kalimantan (Dayak dan Melayu) dan Papua,

menyebabkan adanya kegiatan pelintas batas tradisional yang ilegal dan sulit dicegah.

Persamaan budaya dan adat masyarakat dan kegiatan pelintas batas tradisional ini

merupakan isu sekaligus masalah perbatasan antarnegara yang telah ada sejak lama

dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan kawasan perbatasan darat di

beberapa daerah seperti Papua dan Kalimantan serta Timor Leste. Kegiatan lintas

batas ini telah berlangsung lama namun sampai saat ini belum dapat diatasi oleh

kedua pihak (negara).

Page 28: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

27

3.4.8 Adanya Tanah Adat dan Hak Ulayat

Di beberapa kawasan perbatasan terdapat tanah adat/ulayat yang berada di dua

wilayah negara. Tanah ulayat ini sebagian menjadi ladang penghidupan yang diolah

sehari-hari oleh masyarakat perbatasan, sehingga pelintasan batas antarnegara menjadi

hal yang biasa dilakukan setiap hari. Keberadaan tanah ulayat yang terbagi dua oleh

garis perbatasan, secara astronomis memerlukan pengaturan tersendiri serta dapat

menjadi permasalahan di kemudian hari jika tidak ditangani secara serius.

3.5. Pertahanan dan Keamanan

3.5.1. Belum disepakatinya garis-garis batas dengan negara tetangga secara

menyeluruh

Beberapa segmen garis batas baik di darat maupun di laut belum disepakati

secara menyeluruh oleh negara-negara yang berbatasan dengan wilayah NKRI.

Permasalahan yang sering muncul di perbatasan darat adalah pemindahan patok-patok

batas yang implikasinya menyebabkan kerugian bagi negara secara ekonomi dan

lingkungan. Namun secara umum, titik koordinat batas negara di darat pada umumnya

sudah disepakati. Permasalahan batas yang perlu diprioritaskan penangannya saat ini

adalah perbatasan laut, dimana garis batas laut, terutama Batas Landas Kontinen

(BLK) dan batas Zona Ekonomi Ekskluisf (ZEE), sebagian besar belum disepakati

bersama negara-negara tetangga. Belum jelas dan tegasnya batas laut antara Indonesia

dan beberapa negara negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya

nelayan, terhadap batas negara di laut menyebabkan terjadinya pelanggaran batas oleh

para nelayan Indonesia maupun nelayan asing.

3.5.2. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Undang-Undang No.17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations

Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan bahwa batas ZEE

Indonesia di segmen-segmen perairan yang berhadapan dengan negara lain dan

lebarnya kurang dari 400 mil laut, maka ZEE merupakan garis median. Jika mengacu

kepada konvensi tersebut, maka batas ZEE yang merupakan garis median pada

wilayah laut yang berhadapan dengan negara-negara tetangga yaitu :

(1) Berhadapan dengan Malaysia dan Singapura di Selat Malaka;

(2) Berhadapan dengan Malaysia di Laut Natuna sebelah barat dan timur;

Page 29: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

28

(3) Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan sebelah utara;

(4) Berhadapan dengan Filiipina di Laut Sulawesi hingga Laut Fillipina;

(5) Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik;

(6) Berhadapan dengan Australia di Laut Arafura hingga Laut Timor;

(7) Berhadapan dengan Pulau Christmas (Australia) di Samudera Hindia;

(8) Berhadapan dengan Timor Leste di Selat Wetar;

(9) Berhadapan dengan India di Laut Andaman.

Selain itu, terdapat wilayah laut yang tidak memiliki batas ZEE yaitu di

wilayah Selat Singapura yang berhadapan langsung dengan Malaysia dan Singapura,

karena lebarnya hanya sekitar 15 mil laut. Selebihnya, penentuan ZEE terutama pada

wilayah laut yang berhadapan dengan laut lepas, ditarik selebar 200 mil dari garis

pangkal kepulauan Indonesia.

Namun demikian, batas ZEE antara Indonesia dengan negara-negara tetangga,

sebagian besar belum ditetapkan, terutama yang berhadapan langsung dengan negara

tetangga. Hal ini disebabkan karena belum adanya kesepakatan, atau belum

dilakukannya ratifikasi. Ketidakjelasan batas ZEE tersebut menyebabkan sulitnya

penegakan hukum oleh aparat dan berpotensi untuk menjadi sumber pertentangan

antara Indonesia dengan negara tetangga.

Tabel berikut ini menunjukkan status batas-batas ZEE di wilayah perbatasan

laut Indonesia.

Tabel 2.1. Status Batas-Batas ZEE antara RI dengan negara tetangga

No

Batas Zona

Eksklusif

Ekonomi (ZEE)

Status Keterangan

1 RI–Malaysia Belum disepakati Belum ada perjanjian batas

2 RI–Vietnam Telah disepakati Kesepakatan di tingkat teknis,

menunggu proses ratifikasi

3 RI–Fillipina Belum disepakati Belum ada perjanjian batas

4 RI–Palau Belum disepakati Belum ada perjanjian batas

Page 30: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

29

5 RI–PNG Belum disepakati Tidak ada batas laut

6 RI–Timor Leste Belum disepakati Belum ada perjanjian batas

7 RI–India Belum disepakati Belum ada perjanjian batas

8 RI–Singapura Belum disepakati Belum ada perjanjian batas

9 RI-Thailand Belum disepakati Belum ada perjanjian batas

10 RI–Australia Telah disepakati ZEE di Samudera Hindia, Lauta

Arafura, dan Laut Timor

Sumber : Bakosurtanal, 2003 (diolah)

3.5.3 Batas Laut Teritorial (BLT)

BLT Indonesia lebarnya tidak melebihi 12 mil laut dari garis pangkal yang

merupakan batas kedaulatan suatu negara baik di darat, laut, maupun udara. Sebagian

besar BLT sudah disepakati oleh negara-negara yang berbatasan langsung dengan

Indonesia, kecuali dengan Timor Leste sebagai sebuah negara yang baru merdeka.

Selain itu diperlukan pula perundingan tri-partit antara Indonesia-Malaysia-Singapura

untuk menyepakati BLT di Selat Singapura bagian Barat dan Timur yang lebarnya

kurang dari 24 mil dan bersinggungan langsung dengan perbatasan di ketiga negara.

Mengingat pentingnya pengakuan terhadap batas kedaulatan suatu negara, maka batas

laut teritorial antara pemerintah RI dan Timor Leste maupun three junctional point di

Selat Malaka perlu segera disepakati untuk menghindari kekhawatiran timbulnya

konflik akibat pelanggaraan kedaulatan wilayah negara. Tabel berikut ini

menunjukkan status batas laut teritorial Indonesia dengan negara-negara tetangga.

Tabel 2.2. Status Batas Laut Teritorial Indonesia

No Batas Laut Teritorial

(BLT) Status Keterangan

1 RI – Malaysia Telah

disepakati

Disepakati dalam perjanjian

Indonesia-Malaysia Tahun 1970

2 RI–Singapura (di

sebagian Selat

Singapura)

Telah

disepakati

Disepakati dalam perjanjian

Indonesia-Singapura Tahun

1973

Page 31: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

30

3 RI – PNG Telah

disepakati

Disepakati dalam Perjanjian

Indonesia-PNG Tahun 1980

4 RI – Timor Leste

Belum

disepakati

Perlu ditentukan garis-garis

pangkal kepulauan di Pulau

Leti, Kisar, Wetar. Liran. Alor,

Pantar, hingga Pulau Vatek, dan

titik dasar sekutu di Pulau

Timor

5 RI-Malaysia-Singapura Belum

disepakati

Perlu perundingan bersama (tri-

partid)

Sumber : Bakosurtanal, 2003 (diolah)

3.5.4 Batas Landas Kontinen (BLK)

Mengacu kepada Undang Undang no 1 /1973 tentang Batas Landas Kontinen

Indonesia (BLKI) serta UU no. 17/1985 tentang pengesahan UNCLOS, BLKI ditarik

sama lebar dengan batas ZEE (200 mil laut) atau sampai dengan maksimum 350 mil

laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini berlaku di seluruh wilayah

perairan Indonesia, kecuali pada segmen-segmen wilayah tertentu dimana BLK dapat

ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan negara-negara yang berhadapan langsung

dengan Indonesia, antara lain :

(1) Berhadapan dengan India dan Thailand di Laut Andaman;

(2) Berhadapan dengan Thailand di Selat Malaka bagian Utara;

(3) Berhadapan dengan Malaysia di Selat Malaka bagian Selatan serta di Laut

Natuna bagian Timur dan Barat;

(4) Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan;

(5) Berhadapan dengan Filipina di Laut Sulawesi;

(6) Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik;

(7) Berhadapan dengan dengan Australia di Laut Arafura, Laut Timor, Samudera

Hindia, dan di wilayah perairan di sekitar Pulau Christmas;

(8) Berhadapan dengan Timor Leste di laut Timor.

Page 32: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

31

Selain BLK diatas, terdapat titik-titik yang bersinggungan dengan tiga negara

(three junction point) secara langsung, kesepakatan terhadap titik-titik ini dilakukan

melalui pertemuan trialteral. Titik-titik tersebut antara lain :

(1) Three Junction Point antara Indonesia, India, dan Thailand di Laut Andaman;

(2) Three Junction Point antara Indonesia, Thailand, dan Malaysia di Selat Malaka

Bagian Utara.

Sebagian BLK antara Indonesia dengan negara tetangga telah disepakati dan

telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres). Namun demikian masih

terdapat beberapa segmen wilayah laut yang belum ditetapkan BLK-nya, karena

masih dalam proses negosiasi atau bahkan belum dilakukan perundingan sama sekali

dengan negara tetangga, antar lain BLK antara Indonesia dengan Vietnam, Filipina,

Palau, dan Timor Leste. Tabel berikut menunjukkan status Batas Landas Kontinen di

wilayah perbatasan laut Indonesia.

Tabel 2.3. Status Batas Landas Kontinen antara RI dengan negara tetangga

No Batas Landas

Kontinen (BLK) Status Keterangan

1 RI – India

Telah disepakati

10 titik BLK di Lauta Andaman

berikut koordinatnya disepakati

berdasarkan perjanjian pada tahun

1974 dan 1977

2 RI – Thailand

Telah disepakati

Titik-titik BLK di selat Malaka

maupun Laut Andaman disepakati

berdasarkan perjanjian pada tahun

1977

3 RI – Malaysia

Telah disepakati

10 titik BLK di Selat Malaka dan 15

titik di Laut Natuna disepakati

berdasarkan perjanjian pada tahun

1969

4 RI – Australia Telah disepakati

- Titik-titik BLK di Laut Arafura

dan laut Timor ditetapkan melalui

Page 33: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

32

Keppres pada Tahun 1971 dan

1972

- Titik-titik BLK di Samudera

Hindia dan di sekitar Pulau

Christmas telah disepakati

berdasarkan perjanjian pada tahun

1997.

5 RI – Vietnam Belum

disepakati

Dalam proses negosiasi

6 RI – Filipina Belum

disepakati

Dalam proses negosiasi

7 RI – Palau Belum

disepakati

Belum ada proses perundingan

8 RI – Timor Leste Belum

disepakati

Belum ada proses perundingan

Sumber : Bakosurtanal, 2003

3.5.5. Terbatasnya jumlah aparat serta sarana dan prasarana

Masalah-masalah pelanggaran hukum, penciptaan ketertiban dan penegakan

hukum di perbatasan perlu diantisipasi dan ditangani secara seksama. Luasnya wilayah,

serta minimnya prasarana dan sarana telah menyebabkan belum optimalnya aktivitas

aparat keamanan dan kepolisian. Pertahanan dan keamanan negara di kawasan

perbatasan saat ini perlu ditangani melalui penyediaan jumlah personil aparat keamanan

dan kepolisian serta prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan yang memadai.

3.5.6. Terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal dan pelanggaran hukum

Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana dan sumberdaya manusia

di bidang pertahanan dan keamanan, misalnya aparat kepolisian dan TNI-AL beserta

kapal patrolinya, telah menyebabkan lemahnya pengawasan di sepanjang garis

perbatasan di darat maupun perairan di sekitar pulau-pulau terluar. Disamping itu,

lemahnya penegakan hukum akibat adanya kolusi antara aparat dengan para pelanggar

Page 34: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

33

hukum, menyebabkan semakin maraknya pelanggaran hukum di kawasan perbatasan.

Sebagai contoh, di kawasan perbatasan darat, berbagai praktek pelanggaran hukum

seperti aktivitas pencurian kayu (illegal logging), penyelundupan barang, dan

‘penjualan manusia’ (trafficking person), serta permasalahan identitas

kewarganegaraan ganda masih sering terjadi. Demikian pula di kawasan perbatasan

laut, sering terjadi pembajakan dan perompakan, penyelundupan senjata,

penyelundupan manusia (seperti tenaga kerja, bayi, dan wanita), maupun pencurian

ikan.

3.5.7 Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana perbatasan (PLB, PPLB, dan

fasilitas CIQS)

Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pemeriksaan Lintas Batas

(PPLB) beserta fasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina, dan Keamanan (CIQS) sebagai

gerbang yang mengatur arus keluar masuk orang dan barang di kawasan perbatasan

sangat penting. Sebagai pintu gerbang negara, sarana dan prasarana ini diharapkan

dapat mengatur hubungan sosial dan ekonomi antara masyarakat Indonesia dengan

masyarakat di wilayah negara tetangganya. Disamping itu adanya sarana dan prasarana

perbatasan akan mengurangi keluar-masuknya barang-barang illegal. Namun demian,

jumlah sarana dan prasarana PLB, PPLB, dan CIQS di kawasan perbatasan masih

minim.

3.6. Pengelolaan Sumber Daya Alam

3.6.1. Pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam belum optimal

Potensi sumberdaya alam yang berada kawasan perbatasan, baik di wilayah

darat maupun laut cukup besar, namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum

dilakukan secara optimal. Potensi sumberdaya alam yang memungkinkan dikelola di

sepanjang kawasan perbatasan, antara lain sumber daya kehutanan, pertambangan,

perkebunan, pariwisata, dan perikanan. Selain itu, devisa negara yang dapat digali dari

kawasan perbatasan dapat diperoleh dari kegiatan perdagangan antarnegara.

3.6.2. Terjadinya eksploitasi pemanfaatan Sumber Daya Alam yang tak

terkendali dan berkelanjutan.

Upaya optimalisasi potensi sumber daya alam harus memperhatikan daya

dukung lingkungan, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan, baik

lingkungan fisik maupun sosial. Di sebagian besar kawasan perbatasan, upaya

Page 35: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

34

pemanfaatan SDA dilakukan secara ilegal dan tak terkendali, sehingga mengganggu

keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup. Berbagai dampak

lingkungan seperti polusi asap lintas batas (hedge pollution), banjir, longsor,

tenggelamnya pulau kecil, dan sebagainya pada umumnya disebabkan oleh kegiatan-

kegiatan illegal, seperti penebangan liar di kawasan hutan dan pengerukan pasir di

pulau-pulau kecil yang tidak terkendali. Hal ini cukup sulit ditangani, karena

keterbatasan pengawasan pemerintah di kawasan perbatasan dan belum ditegakkannya

supremasi hukum secara adil dan tegas.

3.7. Kelembagaan dan Kewenangan Pengelolaan

3.7.1. Belum adanya kelembagaan yang mengelola kawasan perbatasan secara

integral dan terpadu.

Pengelolaan kawasan perbatasan belum dilakukan secara terpadu dengan

mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Sampai saat ini, permasalahan beberapa

kawasan perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporer) dan parsial

serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui beberapa

kepanitiaan (committee), sehingga belum memberikan hasil yang optimal. Komite-

komite kerjasama penanganan masalah perbatasan yang ada saat ini antara lain General

Border Comitee (GBC) RI – Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI – Papua New

Guinea; dan Joint Border Committee RI-UNMISET (Timor Leste).

Pengelolaan perbatasan negara secara terpadu sangat strategis dan mendesak

untuk dilakukan, karena menyangkut dengan integritas Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Salah satu hal yang turut memberikan kontribusi terhadap belum optimalnya

pengelolaan dan penanganan permasalahan perbatasan saat ini adalah belum adanya

suatu lembaga yang secara khusus mengelola keseluruhan aspek pengelolaan

perbatasan, baik di tingkat nasional maupun di daerah.

3.7.2. Belum jelasnya kewenangan dalam pengelolaan kawasan perbatasan

Sesuai UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan

tentang pengembangan kawasan perbatasan secara hukum berada dibawah tanggung

jawab Pemerintah Daerah. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu

perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina,

serta keamanan dan pertahanan (CIQS).

Page 36: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

35

Dengan demikian Pemerintah Daerah dapat mengembangkan kawasan

perbatasan selain di pintu-pintu masuk tersebut, tanpa menunggu pelimpahan

kewenangan dari Pemerintah Pusat. Namun demikian dalam pelaksanaannya

pemerintah daerah belum melaksanakan kewenangannya tersebut. Hal ini dapat

disebabkan beberapa faktor : (1) Belum memadainya kapasitas pemerintah daerah

dalam pengelolaan kawasan perbatasan mengingat penangannya bersifat lintas

administrasi wilayah pemerintahan dan lintas sektoral, sehingga masih memerlukan

koordinasi dari institusi yang secara hirarkis lebih tinggi; (2) Belum

tersosialisasikannya peraturan dan perundang-undangan mengenai pengelolaan

kawasan perbatasan, (3) Terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah daerah; (4)

Masih adanya tarik menarik kewenangan pusat-daerah, misalnya dalam pengelolaan

kawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional sebagai international

inheritance yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan).

3.8. Kerjasama Antar Negara

3.8.1. Belum optimalnya keterkaitan pengelolaan perbatasan dengan

kerjasama sub regional, maupun regional.

Kerjasama-kerjasama bilateral, sub regional, maupun regional memberikan

suatu peluang besar bagi pengembangan kawasan perbatasan. Kerjasama regional dan

sub-regional yang ada saat ini seperti ASEAN, Indonesia Malaysia Singapura–Growth

Triangle (IMS-GT), Indonesia Malaysia Thailand–Growth Triangle (IMT-GT),

Australia Indonesia Development Area (AIDA), maupun Brunei Indonesia Malaysia

Phillipines – East Asian Growth Area pada umumnya meliputi provinsi-provinsi di

wilayah perbatasan di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama

perdagangan dan investasi. Namun demikian, tampaknya bentuk-bentuk kerjasama ini

belum memiliki keterkaitan dengan pembangunan kawasaan perbatasan yang tertinggal

dan terisolir.

Hal ini sebenarnya sangat penting, karena berkembangnya kawasan

perbatasan akan mendukung pertumbuhan ekonomi di kawasan secara keseluruhan.

3.8.2. Belum optimalnya Kerjasama antarnegara dalam penanggulangan

pelanggaran hukum di perbatasan

Page 37: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

36

Kerjasama antarnegara untuk menanggulangi pelanggaran hukum di

kawasan perbatasan seperti illegal logging, illegal fishing, penyelundupan kayu,

pelanggaran batas negara, dan berbagai jenis pelanggaran lainnya belum dilaksanakan

secara optimal. Di beberapa daerah kepulauan, misalnya Kepulauan Riau, di Sangihe

dan Talaud, perairan Kalimantan Timur, Papua dan NTB dan NTT, masih banyak

nelayan asing terutama dari Thailand dan Filipina yang melakukan kegiatan

penangkapan tanpa ijin karena ketidaktahuan batas laut antara kedua negara.

Pembicaraan bilateral untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait

dengan negara tetangga perlu dilakukan, mengingat sumberdaya yang telah dicuri

selama ini merugikan negara dalam jumlah besar.

Page 38: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

37

BAB IV

POTENSI, PEMANFAATAN, DAN NILAI EKONOMI

SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR

4.1. Pengantar

Potensi sumberdaya pesisir Indonesia sangat besar, baik potensi hayati maupun

non hayati. Indonesia secara fisik memiliki sekitar 17.504 pulau, dengan total panjang

garis pantai mencapai 81.000 km serta luas wilayah laut yang mencakup 70 persen dari

total luas wilayah Indonesia. Potensi sumberdaya ikan juga berlimpah dan potensi

lestari mencapai 6,2 juta ton per tahun, belum termasuk keragaman hayati lainnya

seperti rumput laut, hutan bakau, terumbu karang, dan lainnya. Potensi lain yang tak

kalah berlimpah adalah bahan tambang misalnya minyak dan gas bumi, pasir kuarsa,

timah, jasa lingkungan untuk pariwisata, perhubungan laut, dan jasa-jasa lainnya.

Disamping itu, peningkatan permintaan konsumsi domestik dan internasional akan

produk perikanan laut Indonesia merupakan potensi besar yang bisa dimanfaatkan

dalam pembangunan sektor kelautan.

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas hingga saat

ini lebih dari 50 persen dilakukan di wilayah pesisir dan laut (off-shore) dimana

sebagian besar cadangan potensial berada di wilayah laut. Permintaan akan produksi

minyak dan gas baik dari dalam maupun luar negeri yang terus meningkat merupakan

peluang yang bisa dimanfaatkan bagi pengembangan sektor minyak dan gas, yang tentu

akan memerlukan industri penunjang seperti industri bangunan lepas pantai, industri

perkapalan, dan lainnya.

Sementara itu, kebutuhan akan kapal laut akan meningkat pesat di masa datang

seiring peningkatan kebutuhan akan sarana angkutan barang dan penumpang.

Meningkatnya arus barang berjalan paralel dengan meningkatnya kegiatan ekonomi

suatu negara atau pulau melalui kegiatan ekspor dan impor yang dilakukan. Kebutuhan

akan kapal angkutan barang akan meningkat karena kemampuan kapal laut mengangkut

dalam jumlah sangat besar yang didukung ketepatan waktu yang bisa diandalkan

dengan biaya yang relatif sangat murah. Dalam perekonomian dunia yang makin

kompetitif, ketiga faktor tadi menjadi pendorong transformasi angkutan barang dunia

yang makin mengandalkan laut sebagai media transportasi perdagangan internasional.

Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas dan

terletak di jalur utama transportasi laut internasional sangat beruntung. Karena

Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan sarana dan prasarana bagi aktivitas

Page 39: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

38

bongkar-muat kapal perdagangan internasional, sekaligus membuka peluang bagi

pembangunan ekonomi melalui kegiatan ekspor dan impor produk-produk potensial

Indonesia.

Hingga saat ini tingkat pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut masih jauh dari

tingkat optimal dan berkelanjutan. Hal ini terjadi karena: pertama, kebijakan nasional

cenderung bias pada sektor pertanian di luar perikanan laut, dimana, misalnya,

program-program pengamanan penyediaan bahan makanan bagi masyarakat memberi

bobot yang sangat kecil, bahkan bisa dikatakan mengabaikan sumberdaya perikanan

pesisir ke dalam pertimbangannya. Prioritas kebijakan ekonomi pemerintah agaknya

juga bias pada ekonomi “daratan”, dimana sektor-sektor yang terkait dengan pesisir

belum menjadi prioritas utama untuk ditumbuhkembangkan secara optimal bagi

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan kontribusi yang signifikan

bagi pembangunan ekonomi nasional.

Kedua, pembangunan produksi perikanan di dominasi penerapan pendekatan

usaha efisiensi penangkapan dan penerapan teknologi, dibanding pendekatan yang

mempromosikan cara-cara pemanfaatan dan pengelolaan yang berkelanjutan.

Akibatnya, kebijakan maupun program yang diselenggarakan kurang komprehensif

menjangkau isu-isu seperti kemiskinan, pengamanan penyediaan bahan makanan bagi

masyarakat, keberlanjutan, dan kesesuaian usaha tersebut terhadap kemampuan

lingkungan, dan lain sebagainya. Sementara itu, introduksi teknologi baru dibidang

eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya pesisir memerlukan biaya relatif mahal,

sehingga kurang menjadi prioritas utama dalam penyediaannya.

Ketiga, kerusakan ekosistem wilayah pesisir Indonesia terjadi karena kesadaran

publik yang masih rendah atas apa yang berlangsung terhadap sumberdaya pesisir.

Disatu sisi karena pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal, belum

banyak menyadari wewenang dan tanggung jawab mereka dalam pengelolaan

sumberdaya pesisir, selain juga karena isu-isu pesisir belum menjadi prioritas

pemerintah maupun masyarakat umum, yang lebih mengenal dan mempunyai

kemampuan teknis pengelolaan di sektor-sektor “daratan” seperti kehutanan, misalnya.

Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan bab ini adalah memberikan

argumentasi rasional ekonomi atas kebutuhan suatu pengelolaan sumberdaya pesisir

yang terpadu yang bermanfaat bukan hanya mendukung kepentingan daerah tetapi juga

pembangunan ekonomi secara nasional, dengan tetap mengedepankan pemanfaatan

sumberdaya yang berkelanjutan.

Page 40: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

39

4.2. Potensi Sumberdaya Pesisir

4.2.1. Sumberdaya Hayati

4.2.1.1. Potensi Sumberdaya Hayati untuk Perikanan Tangkap

Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan yang beragam dan melimpah pada

lautnya yang mencapai luas sekitar 5,8 juta km persegi. Departemen Kelautan dan

Perikanan mengestimasi potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 6.2 juta ton,

dimana bagian terbesar adalah jenis ikan pelagis kecil (small pelagics) yang mencapai

sekitar 51,7 persen dari angka diatas atau sekitar 3.235.800 ton per tahun. Jenis ikan

yang juga banyak terdapat di wilayah Indonesia adalah jenis ikan demersal (demersals)

dan pelagis besar yang masing-masing mencapai sekitar 28,54 persen dan 16,83 persen

dari total potensi sumberdaya ikan laut Indonesia atau masing-masing 1.786.400 ton

per tahun dan 1.053.500 ton per tahun.

Tabel 1 : Potensi dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan di Perairan Selat

Makassar, Laut Sulawesi dan samudra Pasifik

No Perairan Jenis Ikan Potensi JTB Peluang Pengembangan

1. Selat

Makassar

Pelagis

Kecil

Pelagis

Besar

Demersal

Udang

Ikan

Lainnya

467,5

99,1

87,2

5,5

19,3

374,0

79,2

69,8

4,4

15,4

Skala

Menengah

ke Bawah

PS, GN, LL, PL,

TN, P

2. L. Sulawesi

& S. Pasifik

Pelagis

Kecil

Pelagis

Besar

Demersal

Udang

Ikan

Lainnya

393,5

236,2

54,9

2,8

4,0

314,8

189,0

43,9

2,2

3,2

Skala

Menengah

ke Bawah

PS, GN, LL, PL,

P

Page 41: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

40

Ket: PS = Purse Seine; GN = Gill Net; PL = Pole & Line; TN = Trammel Net; LL =

Long Line; P = Pancing/Hook and Line

Sumber: Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (Protekan) 2003, Dirjen

Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, 1999 .

Rincian potensi bagian kegiatan penangkapan ikan adalah sebagai berikut :

a. Ikan Pelagis Besar

Ikan pelagis besar pada umumnya termasuk dalam kategori ikan ekonomis penting,

diantaranya jenis ikan tuna dan cakalang, tongkol, tenggiri, setuhuk, cucut, ikan pedang

dan ikan layangan:

Tuna Besar dan Cakalang. Luas sebaran total ikan tuna besar dan ikan cakalang di

Perairan Indonesia masing-masing adalah sebesar 4.158.000 km2

yang terbesar di

Samudera Indonesia (1.792.000 km2

), Selat Makasar-Laut Flores (605.000 km2

), Laut

Banda (327.000 km2

), Laut Seram-Teluk Tomini (440.000 km2

), Laut Arafura (172.000

km2

) dan Laut Sulawesi-Lautan Pasifik (822.000 km2

).

Tongkol. Luas sebaran total ikan Tongkol di Perairan Indonesia adalah sebesar

4.820.000 km2

yang tersebar di Samudera Indonesia (1.792.000 km persegi), Laut Jawa

(400.000 km2

), Selat Makasar-Laut Flores (605.000 km2

), Laut Banda (327.000 km2

),

Laut Arafura (429.000 km2

) dan Laut Sulawesi-Laut Pasifik (827.000 km2

).

Tenggiri. Luas sebaran ikan Tenggiri di Perairan Indonesia adalah sebesar 4.558. km2

yang tersebar di Samudera Indonesia (1.792.000 km2

), Laut Jawa (400.000 km2

), Selat

Makasar-Laut Flores (605.000 km2

), Laut Banda (327.000 km2

), Laut Seram-Teluk

Tomini (400.000 km2

), Laut Arafura (172.000 km2

) dan Laut Sulawesi-Lautan Pasifik

(822.000 km2

).

Setuhuk, Ikan Pedang, Layangan, dan Cucut. Luas sebaran total ikan-ikan setuhuk, ikan

pedang, layanan dan cucut di perairan Indonesia adalah sebesar 4.158.000 km persegi

yang tersebar di Samudera Indonesia (1.792.000 km2

), Selat Makasar-Laut Flores

Page 42: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

41

(605.000 km2

), Laut Banda (327.000 km2

), Laut Seram-Teluk Tomini (440.000 km2

),

Laut Arafura (172.000 km2

) dan Laut Sulawesi-Lautan Pasifik (822.000 km2

).

b. Ikan Pelagis Kecil

Kelompok pelagis kecil meliputi jenis-jenis ikan antara lain: alu-alu, layang, selar,

tetengkek, daun bambu, sunglir, julung-julung, teri, japuh, tembang, lemuru, parang-

parang, terubuk, kembung, ikan terbang, belanak dan kacang-kacang. Jenis ikan pelagis

kecil terdapat hampir di semua kawasan perairan Indonesia, terutama Laut Jawa dan

Selat Sunda, Laut Flores dan Selat Makassar, Laut Arafuru, dan Samudera Hindia.

Luas sebaran total ikan pelagis kecil di perairan Indonesia sebesar 3.433.000 km persegi

yang tersebar di Samudera Indonesia (454.000 km2

), Selat Malaka (92.000 km2

), Laut

Cina Selatan (550.000 km2

), Laut Jawa (400.000 km2

), Selat Makassar dan Laut Flores

(473.000 km2

), Laut Banda (220.000 km2

), Laut Seram dan Teluk Tomini (306.000

km2

), Laut Arafura (438.000 km2

) serta Laut Sulawesi dan Lautan Pasifik (500.000

km2

).

c. Ikan Demersal

Jenis ikan demersal banyak terdapat di perairan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan,

Laut Jawa dan Selat Sunda, dan Laut Arafuru, yang jumlahnya diperkirakan mencapai

masing-masing sebesar 655.700 ton, 431.200 ton per tahun, dan 246.800 ton per tahun,

menurut data hingga tahun 1999.

Kelompok demersal meliputi berbagai jenis ikan, antara lain: peperek, bloso, manyung,

biji nangka, kurisi, swangi, gulamah, bawal, layur, senangin/kuro, lencam, kakap

merah, kakap putih, pari, sembilang, bintal landak, kue, gerot-gerot, bulu ayam, kerong-

kerong, payus (sillago), etelis dan remang. Luas sebaran total di perairan Indonesia

sebesar 1.726.000 km2

, yang tersebar di Samudera Indonesia (115.000 km2

), Selat

Malaka (80.000 km2

), Laut Cina Selatan (558.000 km2

), Laut Jawa (392.000 km2

), Selat

Makassar dan Laut Flores (109.000 km2

), Laut Banda (9.000 km2

), Laut Seram dan

Teluk Tomini (81.000 km2

), Laut Arafura (329.000 km2

) serta Laut Sulawesi dan

Lautan Pasifik (53.000 km2

).

Page 43: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

42

d. Udang dan Crustaceae lain serta Kerangan

Untuk sumberdaya hayati udang, potensi perairan Indonesia terutama terdapat di

perairan Arafuru dan samudera Hindia yang memiliki potensi masing-masing sebesar

21.500 ton per tahun dan 12.500 ton per tahun.

1. Udang Penaeid

Luas sebaran total udang penaeid di perairan Indonesia sebesar 604.000 km², yang

tersebar di Samudera Indonesia (95.000 km2

), Selat Malaka (55.000 km2

), Laut Cina

Selatan (112.000 km2

), Laut Jawa (114.000 km2

), Selat Makassar dan Laut Flores

(23.000 km2

), Laut Banda (15.000 km2

), Laut Seram dan Teluk Tomini (23.000 km2

),

Laut Arafura (119.000 km2

) serta Laut Sulawesi dan Lautan Pasifik (48.000 km2

).

2. Lobster

Luas sebaran total lobster di perairan Indonesia mencapai sekitar 6.799.000 km2

,

tersebar di Samudera Indonesia (1.542.000 km2

), Selat Malaka (703.000 km2

), Laut

Cina Selatan (598.000 km2

), Laut Jawa (870.000 km2

), Selat Makassar dan Laut Flores

(1.078.000 km2

), Laut Banda (646.000 km2

), Laut Seram dan Teluk Tomini (452.000

km2

), Laut Arafura (212.000 km2

) serta Laut Sulawesi dan Lautan Pasifik (698.000

km2

).

3. Kerang-Kerangan (Bivalva), Molusca, Teripang dan Cumi-Cumi

Luas sebaran total cumi-cumi di perairan Indonesia sebesar 28.255.000 km², yang

tersebar di Samudera Indonesia (3.745.000 km2

), Selat Malaka (1.863.000 km2

), Laut

Cina Selatan (2.697.000 km2

), Laut Jawa (5.042.000 km2

), Selat Makassar dan Laut

Flores (3.883.000 km2

), Laut Banda (51.000 km2

), Laut Seram dan Teluk Tomini

(7.128.000 km2

), Laut Arafura (3.394.000 km2

) serta Laut Sulawesi dan Lautan Pasifik

(452.000 km2

).

Komoditi perikanan lainnya yang bernilai ekonomi tinggi adalah kepiting bakau dan

rajungan, yang dapat ditemui di hampir seluruh kawasan perairan Indonesia. Jenis ikan

Page 44: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

43

karang memiliki potensi yang cukup besar pula, mencapai 52.224 ton per tahun, dimana

lokasi yang memiliki potensi tertinggi terdapat di wilayah perairan selatan pulau

Sulawesi yakni sekitar 11.914 ton per tahun. Sementara untuk jenis perikanan laut

lainnya seperti jenis moluska dan penyu laut, belum diperoleh data yang akurat

mengenai potensinya.

e. Rumput Laut

Jenis-jenis rumput laut yang terdapat di Indonesia antara lain adalah Euchema, Hypnea,

Gracilaria, Gelidium, Sargassum, dan Turbinaria. Jenis Euchema dan Gracilaria telah

banyak dibudidayakan oleh masyarakat pesisir Indonesia, terutama masyarakat di

Kepulauan Riau, Lampung, Kepulauan Seribu, Bali dan Lombok, Flores, Sumba, dan

Sulawesi.

Sementara itu potensi rumput laut (algae) di perairan Indonesia dapat diamati dari

potensi lahan budi daya rumput laut yang tersebar di seluruh Indonesia. Potensi usaha

rumput laut mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400

ton per tahun.

Sampai saat ini, rumput laut hanya dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat

pesisir terutama sebagai bahan pangan, seperti untuk lalapan, sayur, acar, manisan dan

kue, selain juga sebagai obat. Pemanfaatan untuk industri dan sebagai komoditas ekspor

baru berkembang pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, meskipun ada catatan

yang menunjukkan bahwa perdagangan rumput laut dengan Cina sudah berlangsung

sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.

Pemanfaatan rumput laut untuk industri terutama disebabkan oleh senyawa kimia yang

terkandung didalamnya, khususnya karagenan, agar dan algin (Nontji, 1987).

Karagenan merupakan bahan kimia yang dapat diperoleh dari berbagai alga merah

seperti Gelidium, Gracilaria, dan Hypnea; sedangkan algin adalah bahan yang

terkandung dalam alga coklat seperti Sargasum.

2.2.1.2. Potensi Sumberdaya Hayati untuk Perikanan Budidaya

Potensi sumberdaya hayati lainnya yang potensial untuk dikembangkan adalah usaha

marikultur (mariculture), yang dikelompokkan menjadi dua jenis kegiatan yakni

Page 45: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

44

budidaya berbasis laut (marine-based aquacultue) dan budidaya tambak (land-based

aquaculture). Potensi perikanan budidaya tambak mencapai luas 830.200 hektar pada

tahun 1994, dimana 580.000 ha diantaranya terdapat di Provinsi Papua. Tabel 2

memperlihatkan potensi lahan yang digunakan bagi budidaya perikanan (tambak) di

Indonesia menurut Provinsi pada tahun 1994.

Tabel 2. Potensi Lahan Budidaya Perikanan (Tambak) di Indonesia menurut Provinsi,

Tahun 1994

No Provinsi Luas Lahan

1. DI. Aceh 10.000 1,20

2. Sumatera Utara 12.000 1.44

3. Sumatera Barat 2.000 0.24

4. R i a u 54.000 6,50

5. J a m b I 12.000 1,44

6. Sumatera Selatan 38.000 4,58

7. Bengkulu 2.000 0,24

8. Lampung 4.000 0,48

9. Nusa Tenggara Barat 600 0,07

10. Nusa Tenggara Timur 200 0,02

11. Kalimantan Barat 8.000 0,96

12. Kalimantan Tengah 2.000 0,24

13. Kalimantan Selatan 12.000 1,44

14. Kalimantan Timur 52.000 6,26

15. Sulawesi Utara 12.000 1,44

16. Sulawesi Tenggara 5.000 0,60

17. Sulawesi Tengah 3.400 0,41

18. Sulawesi Utara 1.000 0,12

19. Maluku 20.000 2,41

20. Papua 580.000 69,86

Total 830.200 100,00

Sumber: Ditjen Perikanan (1994)

Page 46: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

45

Pada perairan wilayah pesisir yang terlindung merupakan potensi bagi kegiatan

budidaya laut. Potensi ini sangat luas mencapai ratusan ribu hektar dan tersebar hampir

di beberapa pulau besar maupun pulau-pulau kecil. Jenis komoditas yang dapat

dikembangkan antara lain beberapa jenis ikan konsumsi (kakap, kerapu dan

sebagainya), ikan hias, ikan karang, crustaceae, rumput laut maupun beberapa jenis

mollusca.

4.2.1.3. Padang Lamun

Lamun (sea grass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya

menyesuaikan diri untuk di bawah permukaan air laut. Tumbuhan ini hidup diperairan

dangkal agak berpasir, dan sering juga dijumpai di ekosistem terumbu karang. Sama

halnya dengan rerumputan di daratan, lamun juga membentuk padang yang luas dan

lebat di dasar laut yang masih terjangkau oleh sinar matahari dengan tingkat energi

cahaya yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun tumbuh tegak, berdaun tipis yang

bentuknya seperti pita dan berakar jalar. Tunas-tunas tumbuh dari rhizoma, yaitu bagian

rumput yang tumbuh menjalar di bawah permukaan dasar laut.

Di wilayah perairan Indonesia terdapat sedikitnya 7 marga dan 13 species

lamun, antara lain marga Hydrocharitaceae dengan spesiesnya Enhalus Acoroides.

Penyebaran ekosistem padang lamun di Indonesia mencakup perairan Jawa, Sumatera,

Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Di dunia, secara

geografis lamun ini tampaknya memang terpusat di dua wilayah yaitu Indo Pasifik

Barat & Karibia.

Fungsi padang lamun di lingkungan pesisir, menurut Koesoebiono (1995)

adalah sebagai berikut:

a. Sistem perakaran lamun yang padat dan saling menyilang dapat menstabilkan

dasar laut dan mengakibatkan kokoh tertanamnya lamun dalam dasar laut.

b. Padang lamun berfungsi juga sebagai perangkap sedimen yang kemudian

diendapkan dan distabilkan.

c. Padang lamun segar merupakan makanan bagi duyung (dugong), penyu laut,

bulu babi dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan daerah

penggembalaan (grazing ground) yang penting artinya bagi hewan-hewan laut

tersebut.

d. Padang lamun merupakan habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan

berukuran kecil) dan udang. Ikan laut lainnya dan udang tidak makan daun segar

Page 47: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

46

melainkan serasah (detritus) dari lamun. Detritus ini dapat tersebar luas oleh

arus ke perairan di sekitar padang lamun.

e. Pada permukaan daun laun, hidup melimpah ganggang-ganggang renik

(biasanya ganggang bersel tunggal) hewan-hewan renik dan mikroba, yang

merupakan makanan bagi bermacam jenis ikan yang hidup di padang lamun.

f. Banyak jenis ikan dan udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun

menghasilkan larva yang bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar. Bagi

larva-larva ini padang lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan yang

optimal bagi pertumbuhannya. Dengan demikian perusakan padang lamun

berarti merusak daerah asuhan (nursery ground) larva-larva tersebut.

g. Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni

padang lamun dari sengatan sinar matahari.

h. Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk.

Misalnya samo-samo (Enhalus acoroides) oleh penduduk di kepulauan seribu

telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan (Nontji,1978).

4.2.1.4. Hutan Mangrove

Hutan Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang

penting di wilayah perairan pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai

penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai

macam biota, penahan abrasi, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah,

pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi

ekonomis penting seperti penyedia kayu, pemanfaatan daunnya bagi bahan baku obat-

obatan, dan lain-lain. Bahkan Saenger (1983) telah mengidentifikasi lebih dari 70

macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan umat manusia, baik produk

langsung seperti: bahan bakar, bahan bangunan, alat tangkap ikan. Disamping itu,

ekosistem hutan mangrove juga memberikan manfaat tidak langsung, yakni terutama

sebagai habitat bagi bermacam-macam binatang seperti binatang laut (udang, kepiting,

dan beberapa jenis ikan), serta binatang melata lainnya, seperti terlihat pada Tabel 3

Page 48: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

47

Tabel 3. Produk Langsung dari Ekosistem Mangrove

Manfaat Jenis Produk

Bahan Bakar 1. Kayu bakar untuk memasak, memanggang ikan,

memanaskan lembaran karet, membakar batu bata.

2. Arang.

3. Alkohol

Produksi kertas, makanan,

minuman, dan obat-obatan

1. Berbagai jenis kertas, pelapis permukaan.

2. Gula

3. Alkohol, minuman fermentasi.

4. Minyak goreng, cuka.

5. Pengganti teh.

6. Rempah-rempahan dari kulit kayu.

7. Daging dari propagules.

8. Sayuran, buah atau daun dari propagules.

9. Pembalut rokok.

10. Bahan obat-obatan dari kulit, daun dan buahnya.

Peralatan rumah tangga 1. Perabot rumah tangga, mainan anak.

2. Perekat atau lem, minyak rambut.

3. Peralatan tangan.

4. Penumbuk padi, batang korek api.

5. Kemenyan.

Konstruksi 1. Kayu untuk tangga, konstruksi berat (misalnya

jembatan), kayu penjepit jalan kereta api.

2.Tiang penyangga terowongan pertambangan, tiang

pancang geladak, dan tiang dan galah bagi

bangunan.

3. Bahan untuk lantai, papan bingkai.

4. Material untuk membuat kapal.

5. Pagar, pipa air, serpihan kayu, dan lem.

Pertanian 1. Makanan ternak.

2. Pupuk hijau.

Pemancingan 1. Tempat berlindung untuk ikan-ikan unik.

2. Pancing untuk memancing ikan, pelampung

pancing.

3. Racun ikan.

4. Bahan untuk pemeliharaan jaring.

Produksi tekstil dan kulit 1. Serta sintetik.

2. Bahan pencelup pakaian.

3. Bahan untuk penyamakan kulit.

Lain-lain 1. Pengepakan.

Sumber: Saenger, et.al, 1983 dikutip dari Rokhmin Dahuri e.al 1996

Sementara itu, luas hutan mangrove di Indonesia terus mangalami penurunan.

Luas hutan mangrove pada tahun 1982 mencapai 5.209.543 ha dan turun menjadi

Page 49: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

48

3.235.700 ha pada tahun 1987. Pada tahun 1993 angka luas areal hutan mangrove turun

lagi menjadi hanya sekitar 2.496.185 ha.

Tabel 4. Manfaat Tidak Langsung dari Ekosistem Mangrove

Sumber Jenis Produk

Ikan Blodok (beberapa jenis) 1. Bahan makanan.

Krustasea (udang & kepiting) 1. Bahan makanan.

Moluska (kerang, remis, tiram) 1. Bahan makanan.

Lebah 1. Madu.

2. Lilin.

Burung 1. Bahan makanan.

2. Pemanfaatan bulu.

3. Rekreasi (mengamati dan

berburu).

Reptil 1. Bahan kulit.

2. Makanan.

3. Rekreasi (mengamati dan

berburu).

Fauna Lainnya (seperti: amphibi dan

serangga)

1. Bahan makanan.

2. Rekreasi (mengamati dan

berburu).

Sumber: Saenger, et.al, 1983 dikutip dari Rokhmin Dahuri e.al 1996.

Dengan demikian potensi hutan mangrove yang mempunyai banyak fungsi

dikhawatirkan semakin rusak dan mengecil. Hal ini antara lain karena perubahan hutan

mangrove menjadi tambak, atau peruntukan lain (industri dan pemukiman), juga karena

penebangan oleh masyarakat. Apabila kecenderungan semakin mengecilnya hutan

mangrove tidak segera memperoleh perhatian dan penanganan yang serius

dikhawatirkan akan semakin mengecil dan semakin berat tingkat kerusakannya

sehingga dapat mempengaruhi tingkat produktivitas perikanan (tambak dan tangkap)

dan mengganggu fungsi-fungsi lain dari hutan mangrove.

4.2.1.5. Terumbu Karang

Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah

satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yang tak ternilai harganya.

Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari

60.000 km² yang tersebar luas dari perairan kawasan Barat Indonesia sampai kawasan

Timur Indonesia (Walters, 1994 dan Suharsono, 1998). Wilayah Indonesia merupakan

tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang dunia (Cesar, 1997) dan merupakan negara

Page 50: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

49

yang kaya akan keanekaragaman biota perairan dibanding dengan negara-negara Asia

Tenggara lainnya.

Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam.

Menurut Sawyer, (1993) dan Cesar (1996) jenis manfaat yang terkandung dalam

terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat langsung dan tidak

langsung. Manfaat terumbu karang yang langsung adalah habitat bagi sumberdaya ikan,

batu karang, pariwisata, wahana penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya.

Sedangkan yang termasuk dalam pemanfaatan tidak langsung adalah seperti fungsi

terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain

sebagainya.

Dalam strategi dunia mengenai konservasi (IUCN/UNEP/WWF, 1980) terumbu

karang diidentifikasi sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai

penunjang berbagai macam kehidupan yang dibutuhkan dalam produksi makanan,

kesehatan dan berbagai aspek kehidupan manusia serta dalam pembangunan yang

berkelanjutan. Terumbu karang melindungi pantai, kawasan pemukiman, lahan

pertanian, pantai wisata dan pelabuhan dari hempasan dan keganasan badai, sebagai

penahan erosi gelombang laut, serta mendukung terbentuknya pantai berpasir.

Terumbu karang menjadi sumber devisa yang diperoleh dari penyelam dan

kegiatan wisata bahari lainnya. Bahkan dewasa ini berbagai jenis biota yang hidup di

ekosistem terumbu karang atau mollusca yang hidup di ekosistem ini ternyata banyak

mengandung berbagai senyawa bioaktif (bioactive substance) yang mempunyai potensi

besar sebagai bahan obat-obatan, makanan, dan kosmetika. Selain itu terumbu karang

yang merupakan salah satu keanekaragaman yang unik menjadi daya tarik tersendiri

dan menjadi perhatian besar bagi para ahli, mahasiswa, perusahaan farmasi, dan lain

sebagainya, untuk dijadikan obyek penelitian.

Keberadaan ekosistem terumbu karang yang tersebar di hampir seluruh kawasan

pesisir Indonesia menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat pesisir di sekitarnya.

Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung dan tak langsung bagi

bangsa Indonesia, khususnya masyarakat pesisir. Selain itu, terumbu karang juga

menjadi sumber mata pencaharian utama bagi ratusan hingga ribuan nelayan Indonesia

yang subsisten, dan salah satu sumber pengaman pangan pada waktu paceklik.

Ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut seperti

ikan, karang, mollusca dan crustacea bagi kelompok-kelompok masyarakat yang hidup

di kawasan pesisir, dan bersama ekosistem pantai lainnya menyediakan makanan dan

Page 51: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

50

menjadi tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi sangat

tinggi. Menurut Munro dan Williams (1985) dari perairan yang terdapat ekosistem

terumbu karangnya pada kedalaman kurang dari 30 m, setiap 1 km persegi nya

terkandung ikan sebanyak 15 ton.

Potensi terumbu karang Indonesia dengan total luas 60.000 km persegi

merupakan salah satu ekosistem penting dan sangat ekstensif dalam memberikan

potensi lestari sumberdaya ikan sekitar 80.802 ton/km persegi/tahun (Moosa, dkk.,

1996). Selain itu, ekosisitem terumbu karang juga memberikan peranan penting secara

ekologis dan ekonomis bagi keberlangsungan sumberdaya dan ekosistem lainnya yang

terasosiasi didalamnya.

4.2.2. Sumberdaya Non-Hayati

4.2.2.1.Lahan Pesisir (Coastal Land)

a. Bahan Bangunan (Pasir & Kerikil) :

Pasir dan kerikil pada umumnya berasal dari produk gunung api muda seperti

lahar piroklastika) hasil kegiatan erupsi seperti Gunung berapi., dan oleh proses

sedimentasi yang diendapkan ke tempat yang lebih rendah seperti pedataran aluvium,

pesisir pantai dan lepas pantai. Pasir yang diendapkan di wilayah pantai dan lepas pantai

didominasi oleh pasir vulkanik berwarna abu-abu sampai hitam. Pasir tersebut dapat

dibedakan atas tiga jenis pasir, yaitu pasir abu-abu, pasir beton, batu apung dan pasir

besi (magnetik). Keberadaan sedimen ini terdapat misalnya di sekitar Mungga

(Situmorang & Yudicara, 1996b).

Endapan pasir pasir abu-abu merupakan tipe pasir yang paling umum didapat.

Biasanya ditemukan di pedataran pantai, pesisir, dan sedikit di daerah lepas pantai.

Endapan ini terdapat di daerah sepanjang pantai, terutama ditemukan yang kualitasnya

bagus. Masyarakat setempat telah memanfaatkannya sebagai campuran bahan

bangunan. Adapun kerikil telah banyak digunakan sebagai bahan campuran pembuatan

jalan yang ditemukan di sepanjang pantai.

b. Lempung Kaolin

Endapan lempung kaolin di dasar laut ini pada umumnya berasal dari pelapukan

batuan terobosan granit, yang terdiri dari lempung dan lanau kaolin, dengan warna

bervariasi dari kuning, merah jambu, hijau sampai kebiruan. Data pemboran

menunjukkan bahwa seismik reflektor tipe "bebas reflektor" umumnya berupa lempung

Page 52: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

51

kaolin. Kaolin terbentuk dari aluminium silikat disebabkan proses pelapukan atau

proses malihan hidrotermal terutama pada batuan mengandung alkali felspar atau

plagioklas asam (Bemmelen, 1949). ). Kaolin seperti telah diketahui, telah banyak

digunakan sebagai bahan dalam industri keramik, tekstil, kertas, karet dan cat, dan juga

sebagai bahan campuran untuk bahan poles.

4.2.3. Pertambangan dan Energi

4.2.3.1. Potensi Sumberdaya Minyak dan Gas

Berdasarkan laporan ADB (1995), total nilai sektor migas yang dihasilkan dari

wilayah lautan dan pesisir mencapai Rp 5,218 triliun atau 2,0 persen dari total PDB

nasional pada tahun 1992. Dengan demikian, sub sektor migas ini merupakan salah satu

sub-sektor yang diharapkan dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di masa

depan.

4.2.3.2. Potensi Sumberdaya Minyak dan Gas

Berdasarkan laporan ADB (1995), total nilai sektor migas yang dihasilkan dari

wilayah lautan dan pesisir mencapai Rp 5,218 triliun atau 2,0 persen dari total PDB

nasional pada tahun 1992. Dengan demikian, sub sektor migas ini merupakan salah satu

sub-sektor yang diharapkan dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di masa

depan.

Cadangan (potensi) minyak Indonesia sampai dengan tahun 1995 menurun

menjadi sebesar 9,1 miliar dari tahun sebelumnya yakni 9,5 miliar barel. Tabel 2.5.

dibawah menyajikan perkembangan cadangan minyak selama tahun 1991 – 1995.

Adapun besarnya cadangan sumberdaya gas alam yang dimiliki Indonesia

sampai dengan tahun 1995 mencapai 123,6 triliun kaki kubik (TKK). Cadangan ini

menurun pula dari tahun 1994 sebesar 124,8 TKK. Tabel 2.6. berikut ini menyajikan

data cadangan gas bumi Indonesia dalam periode 1991–1995.

4.2.3.3. Pemanfaatan Sumberdaya Minyak dan Gas

Saat ini di Indonesia memproduksi sekitar 1,6 juta barel minyak dan 8,5 miliar

kaki kubik gas bumi per hari, sebesar 35 persen produksi minyak dan 27 persen gas

bumi berasal dari lepas pantai. Indonesia memproduksi minyak bumi sebesar

586.763.822 barel minyak selama tahun 1995. Jumlah ini menurun dari produksi tahun

Page 53: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

52

1994 yang mencapai 588.364.267 barel. Tabel 2.7. dibawah ini menyajikan data

perkembangan produksi minyak mentah domestik selama periode 1990 – 1995.

Masih terdapat 22 cekungan sedimen (37 persen) belum dijamah oleh kegiatan

eksplorasi, pada umumnya terletak di daerah “frontier”. Secara gelogis dan geografis,

21 cekungan (35 persen) terletak di Indonesia Barat yang mempunyai tatanan geologi

lebih sederhana dibandingkan dengan Indonesia Timur. Dari segi kegiatan

perminyakan daerah ini tergolong daerah yang sudah mature. Sisanya sebanyak 39

cekungan (65 persen) sisanya terletak di Indonesia Timur dengan tatanan geologi yang

lebih komplek dan belum banyak dilakukan penyelidikan.

Jumlah sumberdaya hidrokarbon yang terkandung di dalamnya diperkirakan

sebesar 111,22 milyar SBM (setara barel minyak), terdiri dari minyak sebesar 66,77

milyar barrel dan gas bumi sebesar 44,45 minyak SBM (266,73 trilium kaki kubik).

Dari jumlah sumberdaya hidrokarbon tersebut, sebesar 47,38 milyar SBM (43 persen)

berada di daratan dan 63,84 milyar SBM (57 persen) berada di lepas pantai.

4.2.3. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Perikanan sebagai salah satu sub-sektor ekonomi mempunyai peranan sebagai

penyedia bahan pangan protein bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Kontribusi

perikanan laut terhadap produksi perikanan nasional mencapai 76,74 persen pada tahun

1994 atau sekitar 3.796.328 ton dan meningkat menjadi 80,21 persen pada produksi

perikanan tahun 1998 atau sekitar 3.879.758 ton, seperti terlihat pada Tabel 2.9. di

bawah ini.

Produksi perikanan secara keseluruhan meningkat rata-rata 4,78 persen per

tahun dalam periode 1994-1998 dari 4,01 juta ton pada tahun 1994 menjadi 4,84 juta

ton pada tahun 1998 dan jika dibandingkan dengan tahun 1997 meningkat sebesar 5,62

persen. Produksi perikanan laut meningkat 5,66 persen pertahun dalam kurun waktu

yang sama yakni dari 3,08 juta ton pada tahun 1994 menjadi 3,84 juta ton pada tahun

1998 sedangkan produksi perikanan darat meningkat sebesar 1,99 persen per tahun.

Perkembangan produksi perikanan laut disebabkan oleh beberapa hal

pendorong yakni peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana penangkapan

ikan. Peningkatan sarana berlangsung bersamaan motorisasi usaha penangkapan ikan

yang menggunakan alat tangkap dengan bahan sintesis. Sebagai bagian dari

sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi, maka eksploitasi

sumberdaya perikanan laut di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat

Page 54: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

53

sepanjang tahun. Pada tahun 1995, total pendaratan ikan di Indonesia (toal landings)

mencapai 3.292.930 ton, dimana pendaratan ikan mendominasi seluruh pemanfaatan

sumberdaya perikanan laut yaitu 2.752.838 ton, diikuti oleh jenis crustacea yakni

203.441 ton, lalu jenis hewan lunak (mollusca) 98.445 ton dan jenis lain seperti penyu,

teripang, ubur-ubur, dan lainnya sebesar 126.661 ton.

Tabel 5. Persentase Produksi dan Total Produksi Perikanan menurut Jenis

Perikanan, 1994 – 1998

No Jenis

Perikanan 1994 1995 1996 1997 1998

1.

Perikanan Darat

23,26 22,77 24,01 21,11 19,79

1.1. Budidaya

Air Tawar

6,26 6,56 7,38 6,38 5,95

1.2. Budidaya

Tambak

8,63 8,47 9,08 8,08 7,62

1.3. Perairan

Umum

8,37 7,74 7,54 6,64 6,22

2.

Perikanan Laut

76,74 77,23 75,99 78,89 80,21

2.1. Ikan 66,63 64,56 65,19 68,05 71,63

2.2. Udang 4,43 4,27 4,65 5,21 5,25

2.3. Binatang Lunak 2,31 2,31 2,27 2,39 2,13

2.4. Lainnya 3,37 6,09 3,88 3,24 1,20

Total Produksi Perikanan 100 100 100 100 100

(dalam ribuan ton) 4.947 4.264 4.452 4.580 4.837

Sumber: Indikator Pertanian 1999

Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut tersebut di atas tidak dapat

dicapai tanpa ketersediaan prasarana dan sarana perikanan yang memadai. Pada periode

Pelita VI (1993–1995), jumlah perahu/kapal perikanan laut bertambah yakni dari

389.498 unit menjadi 404.653 unit, atau bertambah dengan rata-rata 1,62 persen per

tahun. Dari angka tersebut, kapal/perahu tanpa motor (non-powered boats)

mendominasi hingga 60,58 persen total jumlah perahu/kapal perikanan laut, atau

sebanyak 245.162 unit.

Sementara jumlah kapal/perahu dengan motor (powered boats) tercatat

sebanyak 65.467 unit atau 16,18 persen, dan kapal/perahu dengan motor tempel

(outboardmotor) sebanyak 94.024 unit atau sekitar 23,24 persen jumlah perahu/kapal

perikanan laut. Tabel 2.10 menyajikan jumlah perahu/kapal perikanan laut di Indonesia

menurut jenis pada tahun 1995.

Page 55: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

54

Tabel 6. Jumlah Kapal/Perahu Perikanan Laut di Indonesia

menurut Jenis, tahun 1995

No Jenis Kapal atau Perahu Jumlah

Unit Persen (%)

1. Jukung 127.936 31,61

2. Perahu Papan 117.226 28,97

3. Kapal Motor Tempel 94.024 23,24

4. Kapal Motor < 5 GT 48.855 12,07

5. Kapal Motor 5 – 10 GT 9.562 2,36

6. Kapal Motor 10 – 20 GT 2.789 0,69

7. Kapal Motor 20 – 30 GT 1.519 0,38

8. Kapal Motor 30 – 50 GT 1.682 0,42

9. Kapal Motor 50 – 100 GT 687 0,17

10. Kapal Motor 100 – 200 GT 253 0,06

11. Kapal Motor > 200 GT 120 0,03

T o t

a l

404.653 100,00

Sumber: Statistik Perikanan Indonesia 1995

Untuk perikanan budidaya, sejauh ini Ditjen Perikanan melaporkan bahwa luas

lahan yang telah dimanfaatkan mencapai 326.908 ha atau sekitar 39,38 persen dari

potensi yang ada. Tabel 7. berikut ini menyajikan luas budidaya tambak yang telah

diusahakan menurut Provinsi di Indonesia.

Tabel 7. Luas Lahan Budidaya Perikanan (Tambak) di Indonesia menurut Wilayah,

tahun 1994

No W i l a y a h L u a s

Hektar Persen (%)

1. Sumatera 61.873 18,93

2. J a w a 141.860 43,39

3. Nusa Tenggara dan

Timor

6.977 2,13

4. Kalimantan 14.859 4,55

5. Sulawesi 101.144 30,94

6. Maluku dan Irian Jaya 195 0,06

T o t

a l

326.908 100,00

Sumber: Statistik Perikanan Indonesia 1994

Potensi sumberdaya ikan yang terdapat di wilayah Indonesia mencapai sekitar

6,2 juta ton MSY (Maximum Sustainable Yield) atau sekitar 5 juta ton TAC (Total

Allowable Catch). Potensi sumber daya ikan tersebut meliputi ikan pelagis besar,

Page 56: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

55

pelagis kecil, demersal, udang, dan ikan kurang, apabila dibandingkan dengan TAC,

maka akan tampak pada Tabel 8.

Dengan meningkatnya produksi perikanan tersebut, penerimaan devisa negara

yang berasal dari ekspor hasil perikanan juga semakin meningkat. Pada tahun 1998

devisa yang disumbangkan komoditas perikanan mencapai US $ 1,70 Milyar dengan

volume 656,71 ribu ton pada tahun 1994. Perolehan devisa tersebut meningkat rata-rata

sebesar 0,41 persen per tahun dari volume yang meningkat rata-rata 4,96 persen per

tahun.

Tabel 8. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SPECIES ZEE LAUT TERITORIAL TOTAL

MSY TAC MSY TAC MSY TAC

Pelagik Besar 391,5 313,3 622 529,5 1.053,5 842,8

Pelagik Kecil 978,9 783 2.256,9 1.805,7 3.253,8 2.588,7

Demersal 458,4 366,8 1.328 1.062,3 1.786,4 1.429,7

Udang 25,7 20,6 52,9 42,1 78,6 62,7

Ikan Karang - - 76 60,7 76 60,7

Total 1.859,3 1.487,5 4.399,3 3.519,2 6.258,6 5.006,7

Ikan Hias (jt. ekor) - - 1.518,5 1.214,5 1.518,5 1.214,5

Sumber : Ditjen Perikanan, 1999

Disamping itu masih terdapat potensi lahan untuk pengembangan budidaya laut

seluas 2.002.680 Ha dengan rincian untuk budi daya ikan seluas 1.059.720 ha, budidaya

rumput laut 222.460 ha, budidaya kerang-kerangan 653.840 Ha dan budidaya teripang

66.660 ha. Dari potensi lahan tersebut di perkirakan potensi produksinya mencapai

46.73 juta ton/ha/tahun.

Tabel 9. Perkembangan Armada Penangkapan Ikan, 1994 – 1998

Tipe kapal 1994 1998

Jumlah % Jumlah %

Tanpa motor 245.486 61,96 262.121 58,48

Motor tempel 87.749 22,15 105.556 23,55

Motor dalam < 30

GT

59.999 15,14 74.150 16,54

Motor dalam > 30

GT

2.951 0,75 6.417 1,413

TOTAL 396.185 100 448.244 100

Sumber : Ditjen. Perikanan, 2000

Page 57: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

56

Dari potensi perikanan tangkap yang mencapai + 6,2 juta ton/tahun dan 5 juta

ton jumlah tangkapan yang diperbolehkan, baru 3,6 juta ton/tahun yang berhasil

dimanfaatkan atau sekitar 58,8 persen. Dengan demikian masih tersedia 1,4 juta

ton/tahun yang belum dimanfaatkan. Potensi yang belum tergarap ini sebagian besar

berada di perairan ZEEI. Sementara itu di sebagian perairan Nusantara terjadi over

eksploitasi/overfishing seperti di perairan Laut Jawa, Selat Malaka dan Selat Bali

bahkan dengan tingkatkerusakan yang cukup tinggi.

Sedangkan potensi lahan untuk budidaya pertumbuhan seluas 866.550 ha,

bahkan dengan kemajuan tehnologi potensi yang tersedia diperkirakan melebihi angka

tersebut. Sementara itu sampai dengan tahun 1996 luas tambak yang sudah dibangun

mencapai sekitar 344,759 Ha yang tersebar di berbagai Provinsi. Dari tambak yang ada

tersebut dapat menghasilkan produksi sebesar 421.510 ton atau tingkat pemanfaatan

potensi lahannya baru mencapai 39,78 persen disamping itu sekitar 80 persen

diantaranya dilakukan dengan cara sederhana dan sisanya menggunakan tehnologi

mendaya (semi intensif) dan maju (intensif), sehingga masih terbuka peluang untuk

meningkatkan produktivitasnya.

Sedangkan daerah yang potensial dan masih dapat dikembangkan adalah :

a. Pelagis kecil : Sumatera Barat, Laut Cina Selatan, Utara Sulawesi, Maluku, Irian

Jaya, Selatan dan Timur Kalimantan, NTB serta NTT.

b. Demersal : Laut Cina Selatan, Selat Makassar, Selat Karimata, daerah lepas pantai

Laut Jawa, Maluku dan Irian Jaya.

c. Ikan karang : Utara Sumatera (sekitar Aceh), Barat Sumatera, Utara Sulawesi, NTB,

NTT, Maluku dan Irian Jaya.

4.3. Jasa-Jasa Kelautan

4.3.1. Pariwisata Bahari

4.3.1.1. Potensi Pariwisata Bahari

Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya merupakan upaya untuk

mengembangkan dan memanfaatkan obyek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat

di seluruh Indonesia, yang terwujud antara lain dalam bentuk kekayaan alam yang indah

(pantai, misalnya), keragamana flora dan fauna (taman laut). Potensi pesisir dengan

berbagai kekayaan yang terkandung didalamnya yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan

kepariwisataan, khususnya wisata bahari, adalah kawasan terumbu karang yang banyak

terdapat di perairan laut Indonesia. Luas kawasan terumbu karang kira-kira 7.500 km

Page 58: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

57

persegi, umumnya terdapat di taman laut dengan sekitar 263 jenis ikan hias laut. Selain

itu Indonesia merupakan tempat komunitas mangrove terluas di dunia yakni 4,25 juta

ha atau 27 persen dari 15,9 juta ha luas hutan mangrove dunia.

Sampai akhir tahun 2000, terdapat 241 daerah kabupaten atau kota yang

memiliki wilayah pesisir (Sapta Putra, pers. comm. 2000). Dengan demikian Indonesia

memilki lokasi obyek wisata bahari yang cukup besar dibandingkan negara manapun.

4.3.1.2. Pemanfaatan Pariwisata Bahari

Berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPPNAS)

pada tahun 1996 jumlah wisatawan mancanegara (wisman) tercatat sebanyak 1.211.780

orang. Jumlah wisatawan nusantara (wisnus) yang berkunjung ke obyek bahari tercatat

cukup besar. Catatan tersebut juga memberi informasi jumlah yang cukup besar atas

hotel dan restoran yang ada sebagai pendukung di lokasi wisata bahari pada tahun 1995.

4.3.2. Industri Maritim

4.3.2.1. Potensi Industri Maritim

Industri maritim merupakan salah satu industri penting yang dipilih sebagai satu

dari beberapa ujung tombak industri berbasis teknologi dan menjadi bagian dari strategi

globalisasi demi melancarkan pembangunan dalam negeri dan kemajuan peranan

Indonesia dalam persaingan internasional.

Industri maritim Indonesia sangat berpotensi dalam menjawab tantangan masa

depan dan memberi nilai tambah yang cukup tinggi untuk produk-produk transportasi

laut yang dapat menghasilkan tambahan devisa ekspor. Salah satunya adalah industri

kapal, yang telah berhasil memproduksi bebeberapa jenis kapal baik sebagai hasil alih

teknologi maupun kerjasama dengan pihak luar negeri.

4.3.2.2.Pelayaran Dalam Negeri

Pelayaran dalam negeri terdiri dari pelayaran nusantara, pelayaran rakyat, dan

pelayaran lokal. Pelayaran dalam negeri bertujuan khusus melayani kebutuhan

angkutan laut di wilayah perairan Indonesia baik angkutan barang maupun penumpang.

Pelayaran dalam negeri khususnya angkutan barang pernah mengalami saat-saat

kritis sejak adanya SK Menteri Perhubungan no: KM 57/Phb 84 tanggal 29 Maret 1984

yang isinya melarang kapal niaga berusia tua (di atas 25 tahun) untuk beroperasi di

wilayah perairan Indonesia. Akibatnya banyak kapal niaga terkena kebijaksanaan

Page 59: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

58

tersebut, sehingga saat ini armada pelayaran dalam negeri mengalami kekurangan ruang

muat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah kemudian melaksanakan program

pengadaan kapal niaga Caraka Jaya.

Page 60: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

59

BAB V

MASALAH PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

5.1. Masalah Kerusakan Fisik Lingkungan Pesisir

Dalam satu dekade belakangan ini, laju kerusakan sumberdaya pesisir telah

mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Kerusakan sumberdaya pesisir umumnya

dapat dibagi atas empat bagian: a. Kerusakan ekosistem; seperti ekosistem mangrove,

terumbu karang, padang lamun, estuaria dan pantai; b. Kerusakan sumberdaya ikan; c.

pencemaran, d. Abrasi, sedimentasi dan siltasi. Kerusakan ekosistem pesisir tersebut

berimplikasi langsung terhadap penurunan kualitas habitat perikanan dan mengurangi

sumberdaya ikan untuk berkembang serta mengurangi fungsi estetika lingkungan

pesisir. Pencemaran juga menurunkan kualitas air dan meningkatkan kadar bahan

beracun serta logam berat yang berimplikasi menimbulkan ancaman terhadap

ekosistem pesisir serta keracunan ikan. Sedimentasi menurunkan tingkat kecerahan

(meningkatkan kekeruhan) serta menutupi permukaan terumbu karang maupun padang

lamun, yang berakibat lanjut terdegradasinya ekosistem tersebut.

5.1.1. Kerusakan Terumbu Karang

Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan

perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan

beracun sianida dan aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, penambatan

jangkar perahu, serta akibat dari sedimentasi (meningkatnya erosi dari lahan daratan).

Berdasarkan survei line transect yang dilakukan oleh P3O LIPI, penutupan

karang hidup hanya tinggal sekitar 6,20 % terumbu karang Indonesia yang masih berada

dalam kondisi sangat baik, 23,72 % dalam kondisi baik, 28,30 % kondisi rusak dan

41,78 % dalam kondisi rusak berat (Suharsono 1998). Hasil pengamatan juga

menunjukkan bahwa terumbu karang di perairan kawasan Barat Indonesia memiliki

kondisi lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di perairan kawasan Tengah

dan Timur Indonesia.

5.1.2. Kerusakan Mangrove

Ekosistem hutan mangrove juga mengalami degradasi yang cukup

mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia dari tahun ke tahun selalu

mengalami penurunan (Gambar 3.2.). Selama periode 1982-1993 telah terjadi

Page 61: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

60

penurunan luas hutan mangrove dari sekitar 4 juta ha menjadi sekitar 2,5 juta ha (Dahuri

et al 1996). Penyebab penurunan luasan mangrove tersebut adalah karena adanya

peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain;

seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman di

kawasan pesisir serta penebangan hutan mangrove untuk kebutuhan kayu bakar, arang

dan bahan bangunan. Konversi mangrove menjadi tambak secara besar-besaran terjadi

di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Sementara itu, konversi lahan mangrove menjadi

kawasan industri dan pemukiman umum terjadi di kawasan padat penduduk seperti DKI

Jakarta, Tangerang, Bekasi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang tersebut telah

mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan sumberdaya ikan serta erosi pantai.

Penurunan kualitas lingkungan ini menyebabkan banyak tambak tidak berfungsi

dengan baik, rusaknya tempat pemijahan ikan (spawning ground), berkurangnya

populasi benur dan nener, serta berkurangnya daerah asuhan ikan (nursery ground).

Erosi pantai juga diperburuk oleh perencanaan dan pengembangan wilayah pesisir yang

tidak tepat, pengambilan pasir pantai untuk reklamasi dan hotel, dan kegiatan-kegiatan

lain yang bertujuan untuk menutup garis pantai dan perairannya.

5.1.3. Kerusakan akibat pemanfaatan berlebih (over exploitation)

Banyak sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan telah mengalami over

eksploitasi. Sebagai contoh adalah sumberdaya perikanan laut. Secara agregat nasional,

sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar 58,5 % (tahun 1997) dari total

potensi lestarinya (MSY, Maximum Sustainable Yield), namun di beberapa kawasan

perairan, beberapa stok sumberdaya ikan telah mengalami kondisi tangkap lebih

(overfishing). Jenis stok sumberdaya ikan yang telah mengalami over fishing adalah

ikan-ikan komersial seperti udang dan ikan karang. Udang (hampir mengalami over

fishing di seluruh perairan Indonesia, kecuali Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut

Sulawesi dan Samudera Pasifik, serta Samudera Hindia); ikan karang (mengalami over

fishing di perairan Laut Jawa, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Samudera

Hindia); ikan demersal (mengalami over fishing di perairan Selat Malaka dan Laut

Arafuru); ikan pelagis kecil (mengalami over fishing di perairan Selat Malaka dan Laut

Jawa); ikan pelagis besar (mengalami over fishing di perairan Laut Sulawesi dan

Samudera Pasifik).

Page 62: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

61

5.1.4. Pencemaran Laut

Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan laut dan pesisir,

pencemaran merupakan faktor yang paling penting. Hal ini disebabkan karena

pencemaran tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik (hayati)

perairan, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan manusia

yang memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar. Selain itu pencemaran juga

dapat menurunkan nilai estetika perairan laut dan pesisir yang terkena pencemaran.

Menurut UNEP (1990), sebagian besar (lebih kurang 80%) bahan pencemar

yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land based activities).

Bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan industri, pertanian, rumah tangga

di daratan akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja pada perairan

sungai, tetapi juga perairan pesisir dan lautan. Menurut Gesamp (1993), prosentasi

terbesar sumber pencemar yang masuk perairan laut adalah berasal dari run-off, dan

aliran dari daratan (44%), emisi pesawat terbang (33%), pelayaran/perkapalan dan

peristiwa tumpahan minyak (12%), pembuangan limbah ke laut (ocean dumping)

(10%), dan kegiatan penambangan minyak dan gas lepas pantai (1%).

Beberapa contoh kasus pencemaran air laut digambarkan sebagai berikut.

a. Menurunnya Kualitas Perairan

Kondisi kualitas air laut di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, khususnya

di daerah padat penduduk, kegiatan industri, pertanian sangat intensif, dan lalu lintas

pelayaran yang padat, seperti di Teluk Jakarta, Selat Makasar, Semarang, Surabaya,

Lhokseumawe, dan Balikpapan. Konsentrasi logam berat Hg di perairan Teluk Jakarta

pada tahun 1977-1978 berkisar antara 0,002-0,35 ppm (BATAN, 1979). Kemudian

pada tahun 1982 tercatat antara 0,005-0,029 ppm (LON LIPI, 1983). Sementara itu

ambang batas baku mutu lingkungan dalam KEPMEN KLH NO:02/1988 adalah

sebesar 0,003 ppm. Dengan demikian kondisi perairan Teluk Jakarta tercemar logam

berat. Hal ini juga terjadi untuk parameter-parameter lain seperti BOD, COD, dan

kandungan minyak di tiga stasiun pengamatan sekitar Pelabuhan Tanjung Priok, Teluk

Jakarta pada bulan Oktober 1992, juga menunjukkan status tercemar (PPLH-IPB,

1992). Nilai BOD berkisar antara 39-312 ppm, sedangkan baku mutu kurang dari 45

ppm. Nilai COD berkisar antara 416-419, dengan baku mutu lebih kecil dari 80 ppm.

Page 63: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

62

Sedangkan kandungan minyak di permukaan perairan berkisar antara 41,5-87,5 ppm,

dengan baku mutu lebih kecil dari 5 ppm.

Dari hasil penelitian Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut

Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) pada tahun 1996 nilai BOD di Muara Kamal mencapai

rata-rata 35,75, COD berkisar antara 31,89-48,83 ppm, amonia di Muara Ancol sebesar

2,25 ppm, serta peningkatan kadar beberapa kadar jenis logam berat.

Di Surabaya, kondisi perairan lautnya juga mengalami pencemaran. Dari hasil

penelitian oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Surabaya menunjukkan

bahwa berbagai jenis kerang dan ikan di Kali Wonoayu, kawasan pantai timur

Surabaya, diketahui tercemar logam berat.

b. Intrusi Air Laut

Intrusi air laut ke darat merupakan masalah yang serius bagi kota-kota besar

yang terletak di tepi pantai (Jakarta, Surabaya, Semarang). Adanya pemanfaatan air

tanah yang tidak memperhitungkan keseimbangan, mengakibatkan turunnya

permukaan air tanah yang selanjutnya akan memberikan tingkat kemudahan bagi

terjadinya intrusi air laut ke darat. Penebangan hutan bakau dan konversi sawah tadah

hujan menjadi tambak di daerah pantai telah mengakibatkan terjadinya intrusi air laut

ke darat. Intrusi air laut di muara merupakan salah satu permasalahan yang banyak

dijumpai pada sungai-sungai dengan fluktuasi debit musim kemarau dan penghujan

yang besar. Dengan kenaikan paras air laut (Sea Level Rise), maka volume air laut yang

mendesak ke dalam sungai akan semakin besar. Air laut yang mendesak masuk jauh ke

darat melalui sungai ini juga merupakan masalah bagi kota-kota pantai yang

menggantungkan sumber air bakunya dari sungai.

c. Eutrofikasi

Eutrofikasi merupakan peningkatan garam-garam nutrien/unsure hara (nutrien

salt) terutama nitrat dan fosfat secara gradual di dalam air laut yang dapat

mengakibatkan permasalahan–permasalahan yang merugikan seperti red tide, blue tide,

pertumbuhan algae yang abnormal, bau menyengat yang diakibatkan oleh tingginya

konsentrasi material organik dan sebagainya.

d. Pasang Merah dan Pasang Biru (Red Tide dan Blue Tide)

Page 64: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

63

Red tide biasa disebut pasang merah didefinisikan sebagai perubahan warna air

laut karena ledakan populasi fitoplankton tertentu di perairan luas dan bertahan untuk

waktu tertentu. Fitoplankton adalah organisme yang hidupnya melayang-layang di

perairan dan termasuk kelompok tanaman. Salah satu jenis fitoplankton penyebab

fenomena ini adalah Pyrodinium bahamese var compressum, jenis ini pertama kali

dikenal 80 tahun yang lalu di kepulauan Bahama, Amerika Tengah. Pyrodinium

Bahamense menghasilkan racun yang biasanya menyerang sistem persyarafan yang

dikenal dengan gejala paralytic shellfish poisoning (PSP). Pyrodinium Bahamese var

Compressum adalah jenis fitoplankton yang menyukai air laut bersalinitas tinggi, antara

24,3 – 36,8 permil.

Fenomena alam red tide di perairan pantai adalah melimpahnya jenis

fitoplankton yang meracuni biota laut dan membahayakan manusia yang

mengkonsumsinya sedangkan blue tide merupakan upwelling air laut yang bersifat

anaerobik. Red tide biasanya terjadi di perairan pantai, sedangkan blue tide terjadi di

perairan laut dalam.

Pemantauan yang dilakukan sejak Tahun 1976, menggejalanya red tide telah

menelan korban jiwa lebih dari 1.000 kasus keracunan akibat mengkonsumsi sea food

yang berkontaminasi racun pyrodinium. Khusus di perairan Indonesia ada tiga titik

rawan yang paling sering di jumpai gejala alam itu, yaitu perairan sekitar Nusa

Tenggara Timur, Ujung Pantang dan Pulau Sebatik, Kalimantan Timur. Namun tidak

tertutup kemungkinan gejala alam itu terjadi di daerah lain seperti di Teluk Jakarta, dan

perairan–perairan lain di Indonesia. Di wilayah tersebut di atas tercatat 414 kasus

keracunan dan PSP dan 15 orang meninggal.

Di Nusa Tenggara Timur tanggal 24 Nopember 1983 tercatat 373 terkena PSP

dan sembilan tewas setelah memakan ikan yang mabuk. Pada bulan juli 1987 di Ujung

Pandang empat orang meninggal setelah makan ikan kepah dan di Pulau Sebatik Selatan

Kecamatan Nunukan, tercatat 68 orang terkena PSP dan dua diantaranya meninggal

setelah memakan ikan kepah yang bermunculan di atas pasir pada pagi hari tanggal 9

Januari 1988.

Setelah ditelusuri kejadian di atas sangat erat kaitannya dengan kejadian serupa

di perairan Asia Tenggara. Di perairan Filipina Tengah, Laut Samar, kejadian pertama

berlangsung bulan Juni-September 1983, mengakibatkan 750 orang menderita dan 20

orang lainnya meninggal setelah makan kerang hijau (perna viridis). Melihat

Page 65: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

64

pergerakan arus dari utara ke selatan maka kejadian PSP di NTT besar kemungkinan

merupakan kelanjutan kejadian di Filipina.

Demikian di Ujung Pandang pada bulan Juli 1987 secara bersama terjadi juga

kasus serupa di Teluk Filipina. Ketika terjadi gejala red tide di Pulau Sebatik juga

terjadi gejala serupa di Sabah, Malaysia Timur.

Dampak ekonomis gejala red tide antara lain menurunnya hasil tangkapan ikan

dan hasil tambak udang, dan turunnya kualitas lingkungan perairan pantai di daerah

wisata.

d. Tumpahan Minyak

Perairan Indonesia merupakan jalur transportasi yang strategis yang

menghubungkan negara-negara dari benua Asia maupun Eropa yang akan menuju ke

Asia Tenggara maupun Australia ataupun sebaliknya serta terletak diantara negara-

negara produsen minyak di bagian barat dan negara-negara konsumen di bagian timur.

Dari seluruh perairan Indonesia, wilayah yang rentan terhadap pencemaran

yang diakibatkan oleh tumpahan minyak adalah Selat Malaka, Selat Makasar, kawasan

Pelabuhan, dan jalur-jalur laut atau selat yang dilalui oleh tangker. Sebagai contoh,

Selat Malaka dilalui oleh sekitar 200 hingga 300 kapal pengangkut migas perbulannya,

termasuk diantaranya supertanker dan 90 tanker dan 30 tanker gas alam cair. Kapasitas

tangker tersebut berkisar antara 500.000 ton hingga 5.000.000 ton.

Selain itu juga beroperasi sekitar 80 anjungan lepas pantai. Lalu lintas tanker

yang padat dan tingginya aktivitas eksplorasi di lepas pantai membuka peluang

terjadinya tumpahan minyak. Diperkirakan 7 juta barel per hari minyak mentah (27%

dari sejumlah wilayah yang ditransportasikan di dunia) melewati Selat Malaka, 14%

menuju Singapura dan sisanya melewati Laut Cina Selatan menuju Jepang dan Korea

Selatan, dan sebanyak 0,3 juta barel per hari (sekitar 1 %) melalui perairan selatan Pulau

Sumatera dan sebanyak 5 sampai 6 kapal tanker raksasa yang bermuatan lebih dari

250.000 ton melewati Selat Lombok dan Selat Makasar. Disamping itu sebanyak 100-

150 tanker domestik yang membawa minyak mentah dan produk minyak melalui Selat

Makasar.

Posisi strategis tersebut diatas disamping memberikan manfaat secara ekonomi, dilain

pihak juga mengandung resiko terhadap bahaya kerugian dari segi ekologi. Kerugian

secara eologis tersebut berdampak cukup luas baik secara ekonomis maupun kerusakan

Page 66: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

65

sumber daya alam. Tabel 3.1 di bawah menyajikan beberapa kasus tumpahan minyak

besar yang terjadi di perairan Indonesia.

Tabel 10. Kejadian Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia

dari tahun 1975-2000

No. Tahun lokasi Kejadian

1. 1975 Selat Malaka Kandasnya Showa Maru dan menumpahkan 1

juta barel solar minyak

2. 1975 Selat malaka Tabrakan kapal tanker Isugawa Maru dengan

kapal Silver palace

3. 1979 Buleleng, bali Pecahnya kapal tanker Choya Maru dan

menumpahkan 300 ton bensin

4. 1979 Lhokseumawe,

DI Aceh

Bocornya kapal tanker Golden Win yang

mengankut 1500 kilo liter minyak tanah.

5. 1984 Delta Mahakam

Kaltim

Semburan liar pemboran minyak milik Total

Indonesia

6. 1992 Selat Malaka

Tabrakan kapal MT. Ocean Blessing dengan

MT. Nagasaki Spirit menumpahkan 5000 barel

minyak

7. 1993 Selat Malaka Tertabrakanya Tanker Maersk yang memaut

minyak

8. 1994 Cilacap Tabrakan antara Tanker MV. Bandar Ayu

dengan kapal ikan

9. 1996 Natuna Tenggelamnya KM. Batamas II yang memuat

MFO

10. 1997 Kepulauan Riau Tabrakan antara Tanker Orapin Global dengan

Evoikos menumpahkan 25.000 ton minyak

mentah

11. 1997 Kepulauan Riau Kebocoran pipa penyaluran minyak CALTEX

12. 1997 Selat Makasar Tenggelamnya Tanker Mission Viking

13. 1997 Selat Makasar Amblasnya platform E-20 UNOCAL

14. 1997 Selat Madura Tenggelamnya Tanker SETDCO

15. 1998 Tanjung Priok Kandasnya Kapal Permina Supply No. 27

dengan muatan solar

16. 1999 Cilacap

Robeknya tanker MT. King Fisher dengan

menumpahkan 640.000 liter minyak dan

mencemari teluk Cilacap sepanjang 38 km

17. 2000 Cilacap Tenggelamnya KM. HHC yang memuat 9000

ton asphalt curah

18 2000 Batam Kandasnya MT. Natuna Sea menumpahkan

4000 ton minyak mentah

19. 2001 Tegal - Cirebon Tenggelamnya Tanker Steadfast yang

megangkut 1.200 ton limbah minyak

Sumber: Media Masa dan berbagai sumber lain

e. Erosi

Page 67: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

66

Problem erosi di Indonesia telah mencapai tahapan kritis, karena banyak lahan

daratan yang hilang akibat erosi. Erosi pantai di Indonesia dapat diakibatkan oleh proses

alami, aktivitas manusia ataupun kombinasi keduanya. Erosi pantai yang diakibatkan

oleh kegiatan manusia misalnya pembangunan pelabuhan, reklamasi pantai (untuk

permukiman, pelabuhan udara, dan industri).

Erosi pantai tergantung pada kondisi keseimbangan angkutan sedimen pada lokasi

tersebut, yang dipengaruhi oleh: angin, gelombang, arus, pasang surut, sedimen, dan

kejadian lainnya, serta adanya gangguan yang diakibatkan oleh ulah manusia yang

mungkin berupa konstruksi bangunan pada pantai, dan penambangan pasir pada pantai

tersebut.

Peristiwa erosi ini tentunya tidak perlu dipersoalkan sejauh belum menimbulkan

masalah bagi kepentingan manusia. Namun apabila peristiwa tersebut menimbulkan

gangguan dan kerusakan terhadap lingkungan di sekitarnya, maka diperlukan usaha-

usaha penanganan berupa perlindungan dan kegiatan-kegiatan lainnya.

f. Sedimentasi

Laju sedimentasi yang masuk ke perairan pesisir Indonesia terus meningkat.

Laju sedimentasi yang cukup tinggi terutama terjadi di Sumatera, Kalimantan, dan

Jawa. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa mengalami

pendangkalan yang sangat besar, akibat tingginya laju sedimentasi. Sebagai contoh,

sedimentasi yang terbawa oleh aliran Sungai Citandui sebesar 5 juta m3

per tahun, dan

Sungai Cikonde sebesar 770.000 m3

per tahun yang diendapkan ke Segara Anakan,

Sungai Barito sebesar 733.00 m3

pertahun yang diendapkan di alur pelayanan pelabuhan

Banjarmasin dan sungai Mahakam sebesar 2,2 juta m3

per tahun endapan lumpur yang

harus dikeruk di alur pelayaran sungai Mahakam. Tabel 4 menunjukkan jumlah

sedimentasi pelabuhan yang terletak di sungai (River Port). Kerusakan ekosistem

persisir tesebut sebagian besar di sebabkan oleh ulah dan campur tangan manusia

antropogenik).

Page 68: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

67

5.1.5. Bencana Alam di Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir di Indonesia juga rentan terhadap bencana alam. Bencana alam

yang sering terjadi di Wilayah pesisir adalah tsunami, banjir, erosi, dan badai.

a. Tsunami

Tsunami berasal dari bahasa Jepang tsu = pelabuhan, dan nami = gelombang.

Tsunami berarti pasang laut besar di pelabuhan. Dalam ilmu kebumian terminologi ini

dikenal dan baku secara umum. Secara singkat tsunami dapat dideskripsikan sebagai

gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan

impulsif yang terjadi pada medium laut, seperti terjadinya gempa bumi, erupsi vulkanik,

atau oleh land-slide (longsoran). Gelombang tsunami yang ditimbulkan oleh gaya

impulsif ini bersifat transien yaitu gelombangnya bersifat sesar. Gelombang semacam

ini berbeda dengan gelombang laut lainnya yang bersifat kontinyu, seperti gelombang

laut yang ditimbulkan oleh gaya gesek angin atau gelombang pasang surut yang

ditimbulkan oleh gaya tarik benda angkasa. Periode gelombang tsunami berkisar antara

10-60 menit (e.g. Barber, 1969).

Gelombang tsunami mempunyai panjang gelombang yang besar sampai

mencapai 100 km. Kecepatan rambat gelombang tsunami di laut dalam mencapai antara

500 sampai 1000 km/jam. Kecepatan penjalaran tsunami ini sangat tergantung dari

kedalaman laut dan penjalarannya dapat berlangsung mencapai ribuan kilometer.

Apabila tsunami mencapai pantai, kecepatannya dapat mencapai 50 km/jam dan

Page 69: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

68

energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya. Tinggi tsunami dapat

mencapai 30 m. Dampak negatif yang diakibatkan adalah dapat menyebabkan

genangan, kontaminasi air asin pada lahan pertanian, tanah, dan air bersih. Disamping

itu dapat merusak bangunan, prasarana dan tumbuh-tumbuhan, dan dapat

mengakibatkan korban jiwa manusia.

Indonesia merupakan satu kawasan yang terletak pada daerah pertemuan tiga

lempeng (triple junction plate convergence) yaitu lempeng eurasia, lempeng samudera

pasifik dan lempeng India-Australia yang masing-masing bergerak ke barat dan ke utara

relatif terhadap eurasia. Dengan demikian Indonesia merupakan daerah yang secara

tektonik sangat labil dan termasuk salah satu pinggiran benua yang sangat aktif di muka

bumi. Akibatnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat

kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika

Serikat (Arnold 1986). Gempa-gempa tersebut sebagian berpusat di dasar Samudra

Hindia, dan beberapa dapat memicu terjadinya gelombang laut yang besar yang disebut

tsunami (e.g. Van dom, 1986).

Tsunami yang terjadi di Indonesia, sebagian besar disebabkan oleh gempa-

gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya (Puspito,

1994). Selama kurun waktu 1600 – 1999 terdapat 105 kejadian tsunami yang mana 90%

disebabkan oleh gempa-gempa tektonik, 9 % disebabkan oleh letusan gunung api, dan

1 % disebabkan oleh landslide (Latief et al, 2000).

Daerah rawan tsunami di Indonesia terdapat di 89 lokasi (Ismail, S, 1982 dan

Kertapati, 1991). Tsunami paling besar di Indonesia yang tercatat dalam sejarah adalah

tsunami akibat meletusnya gunung Krakatau (1883) dimana gelombang Tsunami

mencapai 30 m. Kejadian tsunami yang juga membawa korban jiwa dan material yang

tidak sedikit, yaitu tsunami Flores (1992) (korban jiwa lebih dari 900 orang), tsunami

akibat gempa bumi di selatan Jawa Timur (1994) (korban jiwa lebih dari 240 orang),

Irian Jaya (1996) (korban jiwa lebih dari 100 orang) dan lain-lain.

Laut Maluku daerah yang paling rawan tsunami. Kurun waktu dari tahun 1600

– 2000, di daerah ini telah terjadi 32 tsunami dimana 28 tsunami diakibatkan oleh

gempa bumi dan 4 tsunami diakibatkan oleh meletusnya gunung api di bawah laut.

Tsunami di daerah ini memberikan kontribusi 31 % dari total tsunami di Indonesia.

Rata-rata interval waktu kejadian tsunami adalah 10 tahun.

Page 70: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

69

Tabel 11. di bawah ini disajikan sebagian data tentang tinggi tsunami dan jumlah korban

yang dialami oleh bencana tsunami di Indonesia dari tahun 1961-1998.

Tabel 11. Kejadian Tsunami di Indonesia dari tahun 1961-1998

No. Tahun Pusat

Gempa

Run-Up

Maks (m)

Jumlah

Korban

(meninggal/

luka)

Daerah Bencana

1. 1961 8,2 LS;

122BT Tak ada data 2/6

NTT, Flores Tengah

2. 1964 5,8 LU; 95,6

BT Tak ada data 110/479

Sumatra

3. 1965 2,4 LS; 126

BT Tak ada data

71

meninggal

Maluku, Seram, Sanana

4. 1967 3,7 LS;

119,3 BT Tak ada data 58/100

Tinambung Sulsel

5. 1968 0,7 LU;

119,7 BT 8 - 10

392

meninggal

Tambu Sulteng

6. 1969 3,1 LS;

118,8 BT 10 64/97

Majene Sulsel

7. 1977 11,1LS;

118,5BT Tak ada data

316

meninggal

NTB, Pulau Sumbawa

8. 1977 8 LS; 125,3

BT Tak ada data 2/25

NTT, Flores, P. Atauro

9. 1979 8,4 LS;

115,9 BT Tak ada data 27/200

NTB, Sumbawa, Bali,

Lombok

10. 1982 8,4 LS; 123

BT Tak ada data 13/400

NTT,Larantuka

11. 1987 8,4 LS;

124,3 BT Tak ada data 83/108

NTT, Flores Timur, P.

Pantar

12. 1989 8,1 LS;

125,1 BT Tak ada data 7 meninggal

NTT, P. Alor

13 1992 8,5 LS;

121,9 BT 11,2 – 26,2 1952/2126

NTT,Flores, P. Babi

14. 1994 10,7LS;

113,1 BT 19,1 38/400

Banyuwangi Jatim

15. 1996 1,1 LS;

118,8 BT Tak ada data 3/63

Tambu Sulteng

16. 1996 0,5 LS; 136

BT 13,7

107

meninggal

P. Biak, Irian Jaya

17. 1998 2,02LS;

124,87BT 2,75

34

meninggal

Tabuna Maliabu

Maluku

18 2004

2.9 L.U-95.6

BT

3.4 LU –

94.7 BT

Aceh Sumatra Utara

19 2006 Pangandaran Pantai

Selatan Jawa Tengah

Sumber: Mass media dan berbagai sumber

Page 71: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

70

b. Banjir

Masalah banjir di Indonesia sejak dahulu sampai sekarang ini masih merupakan

masalah yang belum dapat diselesaikan. Berhubung fungsi kota-kota pantai sebagi

pusat pertumbuhan perekonomian maka masalah banjir ini menjadi pemikiran dan

keprihatinan pemerintah, karena sangat mempengaruhi tata kehidupan baik dari segi

ekonomi, sosial, budaya maupun politik.

Problem banjir secara garis besar disebabkan oleh keadaan alam dan ulah

campur tangan manusia, sehingga dalam pemecahannya tidak hanya dihadapkan pada

masalah-masalah teknis saja tetapi juga oleh masalah-masalah yang berhubungan

dengan kepadatan penduduk yang melampaui batas. Yang dimaksud dengan gejala

alam adalah karena umumnya kota-kota pantai terletak di pantai berupa dataran yang

cukup landai dan dilalui oleh sungai-sungai dan ketika pasang sebagian di bawah

permukaan air laut. Disamping juga dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi.

Fenomena kenaikan paras muka air laut (Sea Level Rise) juga merupakan sebab yang

mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir. Hal tersebut dikarenakan

oleh pembendungan akibat kenaikan paras air laut serta bertambahnya intensitas curah

hujan karena pemanasan global.

Mengenai ulah campur tangan manusia (anthropogenic) disebabkan karena

pengembangan kota yang sangat cepat akan tetapi belum sempat atau mampu

membangun sarana drainase, adanya bangunan-bangunan liar di dalam sungai, sampah

yang dibuang di saluran dan sungai yang mengganggu aliran sungai, penggundulan di

daerah hulu dan perkembangan kota di daerah hulu yang menyebabkan kurangnya daya

resap tanah di daerah tersebut yang pada gilirannya akan meningkatkan aliran

permukaan (surface run-off) berupa banjir. Adanya reklamasi pantai di daerah rawa-

rawa di wilayah pesisir mengakibatkan hilangnya fungsi sebagai daerah tampungan

sehingga memperbesar aliran permukaan. Reklamasi juga mengakibatkan aliran sungai

makin lambat. Karena kecepatan berkurang maka laju sedimentasi di muara akan

bertambah yang berarti mengurangi luas tampang basah sungai di muara. Pendangkalan

muara menimbulkan efek pembendungan yang cukup signifikan yang pada gilirannya

meningkatkan frekuensi banjir karena kapasitas tampang sungai yang terlampaui oleh

debit sungai. Penggunaan air tanah yang berlebihan mengakibatkan land subsidence

(penurunan tanah) sehingga memperbesar potensi banjir.

Berbagai masalah yang diakibatkan banjir antara lain hilangnya rumah,

infrastruktur dan sebagainya, hilangnya produksi pertanian, hilangnya produksi

Page 72: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

71

tambak, perubahan habitat pesisir, peningkatan erosi dan peningkatan sedimentasi.

Sementara daerah pesisir rawan banjir di Indonesia meliputi pantura Jawa, Lampung,

Palembang, Aceh, Sumatra Barat, Manado, Minahasa, dan Pulau Sumbawa.

5.2. Masalah Sosial Ekonomi

5.2.1. Masalah Kemiskinan Penduduk Wilayah Pesisir

Salah satu masalah sosial yang dominan yang dihadapi di wilayah pesisir adalah

masalah kemiskinan. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat

antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir. Tekanan terhadap sumberdaya

pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut.

Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran (vicious circle) dimana penduduk yang

miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula

yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Oleh karenanya, salah satu

aspek dalam pengelolaan wilayah pesisir yang baik adalah bagaimana mencarikan

alternatif pendapatan di wilayah tersebut sehingga mengurangi tekanan penduduk

terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dari sebagian penduduk miskin di Indonesia,

sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah pesisir. Meski data yang akurat mengenai

jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil

penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di beberapa wilayah pesisir.

Sebagai contoh hasil studi COREMAP tahun 1997/1998 di 10 provinsi di Indonesia

menunjukan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp

82.500 per bulan sampai Rp 225.000 per bulan. Kalau dikonversi ke pendapatan per

kapita, angka tersebut ekivalen dengan rata-rata Rp 20.625 sampai Rp 56.250 per kapita

per bulan. Angka tersebut misalnya masih dibawah upah minimum regional yang

ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama sebesar Rp 95.000 per bulan.

Dengan kondisi pendapatan penduduk pesisir yang masih di bawah garis

kemiskinan tersebut, tidaklah mengherankan jika praktek perikanan yang merusak

(destructivefishing practice) masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka

dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh

lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh, pendapatan dari

penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan

(Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit

Page 73: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

72

untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistim pesisir tanpa memecahkan masalah

kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.

5.2.2. Kurangnya Pemahaman terhadap Nilai Sumberdaya Wilayah Pesisir

Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir juga tidak terlepas dari

rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai yang sebenarnya dari sumberdaya

pesisir secara keseluruhan. Selama ini, pemahaman masyarakat terhadap nilai

sumberdaya pesisir seperi perikanan, terumbu karang, hutan mangrove dan sebagainya

lebih kepada penilaian sumberdaya tersebut untuk pemanfaatan konsumsi langsung.

Sedikit sekali masyarakat pesisir yang memahami pemanfataan sumberdaya alam untuk

kepentingan non-konsumptif seperti penahan banjir, estetika, pemanfaatan untuk obat-

obatan dan sebagainya, yang terkadang nilai moneter non-konsumptif tersebut jauh

lebih besar dari nilai konsumptif. Hasil survey yang dilakukan oleh Proyek Pesisir

misalnya menunjukkan 99% masyarakat menyatakan bahwa sumberdaya kelautan

hanyalah ikan, sementara yang menyatakan bahwa mangrove merupakan sumberdaya

pesisir hanya 4%. Demikian juga mengenai pandangan terhadap sumberdaya laut dan

pesisir sebagian besar masyarakat (lebih dari 90%) menyatakan bahwa sumberdaya

alam tersebut hanyalah merupakan sumber pangan untuk digunakan secara individu,

sementara hanya sebagian kecil saja (2%) yang menyatakan bahwa sumberdaya laut

dan pesisir dapat digunakan sebagai sumber bahan obat-obatan dan kegunaan lainnya.

Sikap keseluruhan terhadap sumberdaya kelautan ditunjukkan oleh rendahnya

kepedulian terhadap sumberdaya kelautan. Penelitian tersebut menunjukan bahwa,

hanya sepertiga masyarakat yang menyatakan bahwa mereka peduli untuk melindungi

sumberdaya kelautan.

Ekstraksi sumberdaya alam oleh masyarakat pesisir juga masih menyisakan

limbah yang tidak dimanfaatkan secara ekonomis. Kurangnya pemahaman terhadap

nilai sumberdaya pesisir ini berakibat pada ekstraksi yang cenderung berlebihan

(overexploitative) dan kurang ramah lingkungan, seperti halnya penggunaan bom dan

racun cyanide Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Proyek Pesisir yang menunjukan

bahwa bagi sebagian masyarakat masalah utama yang dihadapi adalah masalah

pengangguran, sementara masalah lingkungan hanyalah merupakan masalah yang

minor (hanya 11% responden yang menjawab bahwa lingkungan merupakan

kepedulian masyarakat). .

Page 74: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

73

5.3. Masalah Kelembagaan

5.3.1. Masalah Konflik Pemanfaatan dan Kewenangan

Dalam banyak kasus, pendekatan pembangunan sektoral tidak mempromosikan

penggunaan sumberdaya pesisir secara terpadu dan efisien. Penekanan sektoral hanya

memperhatikan keuntungan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau

terhadap sektor lain, sehingga berkembang konflik penggunaan ruang di wilayah pesisir

dan lautan karena belum adanya tata ruang yang mengatur kepentingan berbagai sektor

yang dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Pada dasarnya

hampir di seluruh wilayah pesisir dan lautan Indonesia terjadi konflik-konflik antara

berbagai kepentingan. Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karena tidak

adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang pesisir dan lautan dan alokasi

sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir. Setiap pihak yang berkepentingan

mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir.

Perbedaan tujuan, sasaran dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik

pemanfaatan sumberdaya (user conflict) dan konflik kewenangan (jurisdictional

conflict) (Cincin-Sain and Knetch 1998).

Sebagai contoh adalah konflik penggunaan ruang yang terjadi di Pantai Indah

Kapuk Jakarta yaitu ruang untuk konservasi mangrove dengan pembangunan lapangan

golf dan pemukiman mewah, konflik nelayan tradisional dengan trawl, konflik antara

kepentingan untuk konservasi dengan pariwisata di Taman Laut Kepulauan Seribu. Di

perairan Taman Nasional Bunaken, sektor perikanan bertujuan meningkatkan produksi

ikan tangkap. Sektor pariwisata bertujuan meningkatkan jumlah wisatawan yang

melakukan snorkelling dan scuba diving. Pengembang bertujuan membangun kota

pantai Manado yang bisa menikmati keindahan Pulau Manado Tua dan Bunaken,

sementara Balai Pengelola Taman Nasional Laut Bunaken ingin mengkonservasi

keanekaragaman hayati lautnya (Manado Post 1997). Untuk mencapai tujuan dan

sasaran tersebut, masing-masing pihak menyusun perencanaan sendiri-sendiri, sesuai

dengan tugas pokok dan fungsinya. Perencanaan dari berbagai sektor ini sering

tumpang-tindih dan masing-masing berkompetisi memanfaatkan ruang yang sama.

Tumpang-tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan sumber ini memicu

munculnya konflik pemanfaatan antar berbagai pelaku dan konflik kewenangan antar

instansi yang berkepentingan (Putra 1998).

Fenomena konflik tersebut sebenarnya sudah lama ada, tetapi makin lama

makin banyak jumlahnya dan makin besar skala konfliknya. Untuk melihat lebih jauh

Page 75: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

74

fenomena tersebut, telah dilakukan observasi di Sulawesi Utara, mengenai tumpang

tindih atau kesenjangan antara maksud, tujuan, sasaran dan rencana masing-masing

instansi swasta dan masyarakat. Diikuti dengan in-depth interview terhadap key

respondens, di lokasi yang diperkirakan konflik terjadi dan korelasinya dengan kondisi

SD pesisir sekitarnya (Putra 2000).

Berdasarkan studi tersebut dapat ditemukan bahwa Konflik Pemanfaatan SD

pesisir dan jasa lingkungan (marine resources and environmental services) muncul di

Teluk Manado dan daerah pesisir lainnya di Sulawesi Utara. Konflik antara nelayan

tradisional dengan pengusaha budidaya mutiara di perairan Pulau Talise. Konflik antara

pengelola pariwisata, pengelola TNL Bunaken, nelayan serta pengembang reklamasi

pantai di Teluk Manado.

Salah satu masalah mendasar, pihak yang berkepentingan sering kurang jelas

dalam menjabarkan konsep pemilikan dan penguasaan SD pesisir dan kurang

memperhatikan sistem pengelolaan yang bersifat tradisional. Secara defacto, penduduk

pesisir setempat merasa bahwa lahan dan SD pesisir disekitarnya adalah milik mereka,

yang dikelola secara tradisional turun temurun. Tetapi secara dejure, UU No. 6/1996

tentang Perairan Indonesia, menyatakan seluruh sumber kekayaan alam yang terdapat

dalam perairan Indonesia adalah milik pemerintah pusat. Dalam skala tertentu

pemerintah membiarkan kelompok masyarakat pesisir untuk mengelolanya. Sehingga

timbul kerancuan (ambiguity) bahwa disatu sisi SD pesisir dianggap milik kelompok

penduduk (common poperty), tetapi disisi lain dianggap milik pemerintah (sate

property). Kerancuan pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir (ambiguity of

property regimes) ini mendorong timbulnya konflik kewenangan (jurisdictional

conflict) dan konflik pemanfaatan (user conflict).

Konflik pemanfaatan lain pernah terjadi di Makassar antara nelayan dengan

pemerintah kota. Dalam kesadaran nelayan, meskipun tidak ada ketentuan hukum

tertulis yang mengatur mereka dalam hubungannya dengan bagang, tetapi kebiasaan

turun-temurun merupakan sesuatu yang pantang untuk dilanggar. Memang belum ada

pengalaman bagaimana sanksi dijatuhkan apabila ada di antara nelayan yang melanggar

kebiasaan turun-temurun tersebut, tetapi secara hipotetik mereka yakin si pelanggar

kebiasaan akan menerima sanksi dari masyarakat, seperti dikucilkan dari pergaulan

hidup sehari-hari, termasuk pada aktivitas di laut.

Ketika kepada mereka diajukan pertanyaan-pertanyaan hipotetis tentang hukum

yang akan dijadikan dasar penyelesaian konflik, segenap responden menjawab bahwa

Page 76: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

75

dasar itu adalah kebiasaan turun-temurun. Demikian juga ketika ditanyakan mengenai

cara penyelesaian konflik, mereka berpendapat bahwa pertama-tama akan diusahakan

diselesaikan di antara mereka yang berkonflik, baru kemudian melibatkan pihak lain

sebagai juru damai, jika konfliknya berlanjut. Seterusnya, para responden berkeyakinan

bahwa konflik akan selesai, paling jauh pada tingkat kedua (melibatkan juru damai).

Jawaban hipotetik tersebut, mengindikasikan bahwa dalam benak para nelayan,

penyelesaian melalui pengadilan merupakan suatu alternatif yang hampir tak

terpikirkan.

Secara konseptual, cara penyelesaian konflik yang dikemukakan responden

tersebut, dapat disebut negosiasi dan mediasi. Negosiasi merupakan salah satu bentuk

penyelesaian konflik melalui pembicaraan langsung, sedang mediasi melalui

pembicaraan tidak langsung atau dengan bantuan pihak ketiga (Kriekhoff, 1993).

Lebih jauh, jawaban hipotetik itu dapat juga diberi makna bahwa masyarakat

nelayan secara kultural sesungguhnya memiliki cara tersendiri dalam mengelola dan

menyelesaikan konflik yang muncul di tengah-tengah mereka. Meskipun institusi

tradisional sudah runtuh, ternyata tidak berarti otomatis dapat tergantikan oleh institusi

formal dari negara. Salah satu contohnya adalah konflik antara pemilik bagang dengan

Pemda kota Makasar.

Makassar mengeluarkan Surat Edaran Nomor 601/106/S.Edar/T.PEM

tertanggal 15 Desember 1994, yang intinya tidak memperkenankan mendirikan bagang

di sepanjang aliran Sungai Tallo. Tanggal 10 Januari 1995 Camat Tallo mengumpulkan

para nelayan untuk diberikan pengertian agar bersedia membongkar bagang mereka

masing-masing, tanpa ganti rugi dan tanpa jalan keluar lainnya. Memenuhi prioritas

tersebut ada 15 unit bagang yang dibongkar secara sukarela oleh pemiliknya sendiri,

tetapi sebagian besar (78 unit) bagang tetap dipertahankan oleh pemiliknya. Alasan

mereka yang bertahan tidak membongkar bagang-nya, adalah mereka mendirikan

bagang tersebut, dengan tidak melanggar hukum (kebiasaan turun-temurun). Padahal,

menurut versi pemerintah, para pemilik bagang di sepanjang aliran dan muara Sungai

Tallo mendirikan bagang-nya tanpa terlebih dahulu meminta izin dari pemerintah. Atau

dengan kata lain, di mata pemerintah daerah, segenap nelayan pemilik bagang telah

melanggar hukum, dan karenanya pantas mendapatkan sanksi. Pada tanggal 16 dan 17

Januari 1995, 62 unit bagang, yang tetap dipertahankan oleh pemiliknya, dibongkar

paksa atas perintah walikota. Tim yang melakukan operasi pembokaran terdiri atas

petugas ketertiban umum, anggota TNI Angkatan Laut, dan anggota TNI Angkatan

Page 77: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

76

Darat. Dalam menjalankan operasi pembongkaran, tim menggunakan kapal pandu

angkatan laut. Bagang-bagang tersebut, ditarik ke tengah laut. Tiga bulan kemudian, 16

unit bagang sisanya mengalami nasib yang sama.

Meskipun mereka kemudian mendapatkan pendampingan dari Lembaga

Bantuan Hukum Makassar, tetapi upaya-upaya yang mereka tempuh tidak mengarah ke

penyelesaian melalui pengadilan. Mereka terus-menerus berusaha meyakinkan

pemerintah daerah bahwa pendirian bagang-bagang itu tidak melanggar hukum. Bahwa

belakangan mereka menyebut-nyebut ketentuan perundang-undangan, dapat dipastikan

argumentasi itu berasal dari pendamping mereka. Demikian pula ketika akhirnya

mereka menuntut ganti rugi kepada pemerintah daerah.

Sebagai contoh adalah Konflik Kewenangan di Provinsi Sulawesi Utara dan

derah lainnya, terutama sejak ditetapkannya perairan pulau-pulau Bunaken menjadi

Taman Nasional Laut (TNL) tahun 1991. Konflik kewenangan muncul antara

pemerintah Pusat c.q. Ditjen PHPA dengan Pemerintah Daerah c.q. Dinas Pariwisata di

TNL Bunaken. Dalam kasus ini Pemerintah Daerah merasa bahwa daratan pulau-pulau

di perairan Bunaken serta masyarakatnya di bawah kewenangan Pemda Sulut, sesuai

dengan UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Namun di pihak

lain, setelah pulau-pulau Bunaken ditetapkan sebagai Taman Nasional, maka

kewenangan pengelolaan sumberdaya hayati lautnya berada dibawah Departemen

Kehutanan.

5.3.2. Masalah Ketidakpastian Hukum

Ketidakpastian hukum sering terjadi karena adanya ambiguitas pemilikan dan

penguasaan sumberdaya pesisir (Bromley dan Cernea 1989). Biasanya sumberdaya

pesisir dianggap tanpa pemilik (open access property resources), tetapi berdasarkan

UUD 45 pasal 33 menyatakan bahwa semua sumberdaya termasuk sumberdaya

perairan Indonesia adalah milik pemerintah (state property), sehingga Pemerintah

memberikan izin pemanfaatan kepada pihak investor yang memenuhi persyaratan.

Investor tersebut mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini untuk memenuhi

kepentingannya atau mendapatkan keuntungan jangka pendek. Jika tidak maka pihak

lain (intruders) yang mengangap sumberdaya tersebut open access akan

mengeksploitasinya. Tidak ada insentif bagi investor untuk melestarikannya, sehingga

dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir terjadi the tragedy of the commons (Hardin,

1968). Untuk itu pemerintah perlu mengatur mekanisme pemanfaatan sumberdaya

Page 78: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

77

pesisir di wilayah yang menjadi stae property, tetapi juga mengakui hak-hak ulayat

(common poperty) atau memberikan konsesi pengelolaan kepada masyarakat adat yang

melestarikan sumberdaya pesisir dan mereka berhak untuk mendapatkan incremental

benefit dari upaya mereka melestarikannya.

Konflik antara UU versus hukum adat terjadi pada persoalan status wilayah

perairan pesisir dan laut. Di dalam UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, status

perairan pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property).

Sebaliknya, masyarakat lokal di berbagai wilayah pesisir, menganggap sumberdaya di

sekitar desanya sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang

telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia. Ironisnya pemberlakuan berbagai

undang-undang lainnya yang memberikan mandat bagi instansi pemerintah dan izin

pengelolaan bagi swasta membuat sumberdaya tersebut diklaim sebagai milik pribadi

(quasy private property). Ketidakpastian pemilikan dan penguasaan sumberdaya ini

melemahkan mekanisme pengelolaan yang bersifat tradisional dan mendorong

terjadinya pemanfaatan sumberdaya yang bersifat open access.

Selain itu norma-norma hukum yang ada dalam berbagai undang-undang, yang

seharusnya memberikan kepastian bagi instansi-instansi pemerintah dan masyarakat,

yang terjadi justru sebaliknya. Sebagai contoh dapat disebut UU No. 24/1992 dan UU

No. 32/2004./ UU 23/2014 Di dalam UU No. 26/2007, kewenangan penataan ruang laut

harus diatur dengan UU (Pasal 9) dengan kewenangan terbesar ada pada pemerintah

pusat (sentralistik). Sebaliknya, UU No. 23/2014 serta merta menyerahkan kewenangan

penataan ruang laut (sejauh 12 mil) sepenuhnya ke daerah (Pasal 18).

Perubahan yang terlalu ekstrim tersebut berpotensi besar menimbulkan konflik

kewenangan baru, di antaranya, konflik antara berbagai tingkatan pemerintahan (pusat,

Provinsi, dan kabupaten/kota) serta konflik pemanfaatan antara pengguna sumberdaya

dari daerah yang berbeda (misalnya, konflik antara nelayan Jawa Tengah dan Jawa

Timur).

Bentuk ketidakpastian hukum yang lain adalah peraturan pelaksanaan yang

tidak konsisten dan ketiadaan peraturan hukum sama sekali (kekosongan hukum). Salah

satu contoh dari peraturan pelaksanaan yang tidak konsisten itu adalah peraturan yang

berkaitan dengan hak ulayat. Di dalam UU No. 5/1960, hak ulayat (termasuk hak ulayat

laut) diakui eksistensinya (Pasal 3), tetapi peraturan pelaksanaannya justru

mengingkarinya (PP No. 24/1998).

Page 79: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

78

Sementara itu, kekosongan hukum juga telah menyebabkan ketidakpastian

hukum. Misalnya, penguasaan bagian-bagian tertentu dari wilayah pesisir untuk usaha

budidaya laut dan pengelolaan pulau-pulau kecil, yang hingga saat ini belum ada

peraturannya sama sekali. Padahal, pada kenyataannya, kedua kegiatan tersebut sangat

memerlukan perlindungan hukum, sebab selain mempunyai nilai ekonomi yang relatif

tinggi juga berkaitan dengan kelestarian sumberdaya wilayah pesisir.

Page 80: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

79

BAB VI

KAJIAN HUKUM SERTA KONVENSI INTERNASIONAL YANG TERKAIT

DENGAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

6.1. Pengantar

6.1.1. Landasan Hukum Penyusunan Rancangan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir

1. Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa "bumi, air

dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa

dan dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ".

Sejalan dengan amanat UUD 1945 tersebut, maka pengelolaan wilayah pesisir

diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya pesisir untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu pengelolaan wilayah pesisir

diarahkan guna memberdayakan masyarakat setempat serta memperluas lapangan

kerja.

2. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan

Negara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan Huruf H Sumber Daya

Alam dan Lingkungan Hidup angka 4, menyatakan “Mendayagunakan sumber daya

alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian

fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan,

kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang

pengusahaannya diatur dengan UU”.

Pengelolaan sumber daya alam khususnya di wilayah pesisir di samping pengelolaan

sumber daya lainnya, merupakan kegiatan pokok yang harus dilaksanakan untuk

mencegah terjadinya degradasi lingkungan dalam program Penataan Kelembagaan dan

Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan

Hidup.

3. UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Th. 2000-

2004, khususnya Bab X Pembangunan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup

angka 4 Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber

Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang menyatakan :

Page 81: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

80

“Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) Penyusunan UU Pengelolaan Sumber Daya

Alamberikut perangkat peraturannya; (2)……dst.

Amanat pengelolaan sumber daya khususnya di wilayah pesisir didorong oleh

kenyataan meningkatnya kerusakan lingkungan serta makin menipisnya sumber daya

alam yang dipicu oleh beberapa hal. Pertama, pengelolaan sumber daya alam wilayah

pesisir yang bersifat sektoral, padahal ciri sumber daya alam itu bersifat holistik dan

saling terkait. Kedua, peraturan perUUan yang terkait dengan pengelolaan wilayah

pesisir tidak memberikan dasar bagi perlindungan fungsi lingkungan dan masyarakat

adat/lokal. Ketiga, lemahnya kelembagaan dalam mencegah kerusakan sumber daya

publik non-komoditas (intangible product) seperti daerah aliran sungai (watershed),

kawasan lindung, danau dan sebagainya. Keempat, lemahnya kelembagaan dalam

penataan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

6.1.2. Pengaturan Sektoral yang terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir

Pengelolaan wilayah pesisir meliputi kegiatan-kegiatan yang diatur dalam

peraturan perUUan sektoral diantaranya sektor pertanahan, pertambangan,

perindustrian dan perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian serta sektor

kehutanan.

Visi sektoral pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir,

telah mendorong departemen-departemen atau instansi teknis berlomba-lomba

membuat peraturan perUUan untuk mengelola sumberdaya alam atau jasa-jasa

lingkungan pesisir sesuai dengan kepentingannya masing-masing yang bermuara pada

peningkatan pendapatan asli daerahnya. Demikian pula, ada kecenderungan daerah

akan membuat peraturan-peraturan daerah berdasarkan kepentingan daerahnya masing-

masing. Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir yang demikian ini, telah dan akan

melahirkan “ketidakpastian” hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan

berkepentingan dengan wilayan pesisir (stakeholders).

Dengan demikian diperlukan UU dan Peraturan Daerah yang dapat mencakup

berbagai aspek sebagaimana diatur dalam UUD 1945, yang bertujuan untuk :

a. Memperkecil benturan;

b. Mengatur hal yang sebelumnya belum diatur; serta

c. Dalam rangka pelaksanaan konvensi internasional yang relevan.

Page 82: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

81

6.1.3. Otonomi daerah

Dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah melalui

peningkatan pemberdayaan Daerah di bidang pengelolaan sumberdaya pesisir demi

peningkatan kesejahteraan rakyat lokal, meningkatkan peran Swasta Nasional dalam

kegiatan usaha pengelolaan wilayah pesisir, meningkatkan peranserta masyarakat lokal.

Memberda-yakan usaha kecil dan Koperasi dalam rangka pemerataan kemakmuran dan

kesempatan berusaha dan upaya mengurangi dampak negatif dari kegiatan pengelolaan

wilayah pesisir.

Untuk menjadikan usaha pengelolaan sumber daya pesisir yang lebih dapat

memberikan beragam manfaat bagi bangsa Indonesia, diperlukan adanya tatanan

hukum guna mendorong kinerja pemerintahan daerah. Selain itu tatanan hukum

tersebut harus dapat melandasi kegiatan usaha pengelolaan wilayah pesisir dalam iklim

yang kondusif dan mampu meningkatkan daya saing usaha, hubungan antar daerah,

pusat maupun internasional, sehingga dapat diperoleh efisiensi dan produktifitas yang

tinggi.

6.1.4. Pendekatan Global

Mengingat daerah juga dimungkinkan berkerjasama dengan lembaga-lembaga

asing dan memanfaatkan dana-dana internasional maka perlu dikembangkan

pengaturan yang baru sebagai landasan hukum kewenangan daerah sesuai dengan

mekanisme hukum yang tercermin dalam UU No. 32/1004.

Selain itu perlu diatur kewenangan daerah untuk melaksanakan bagian-bagian

tertentu dari ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan konvensi internasional

sepanjang kegiatan-kegiatan tersebut berada di kawasan pesisir.

6.2. Karakteristik Sektoral

Pengaturan sektoral yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir,

masing-masing memiliki karakateristik. Peraturan sektoral ini sering menimbulkan

benturan kepentingan antar sektor dan peraturan tersebut belum menampung hal-hal

yang menyangkut pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Karakteristik peraturan sektor

tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

6.2.1. Sektor Pertanahan

Pada sektor ini terdapat UU No. 5/1960 yang lebih dikenal dengan UUPA (UU

Pokok Agraria). Di dalam UUPA ini diatur mengenai hak menguasai oleh Negara atas

Page 83: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

82

bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Selain itu,

juga diatur hak ulayat, hak-hak atas tanah, dan hak atas air. Hak atas tanah mencakup

Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai

(HP), sedangkan hak atas air adalah Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan (HPPI).

Hak Menguasai oleh Negara tersebut, memberikan kewenangan untuk :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan

bumi, air, dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Hak menguasai oleh Negara ini, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada

daerah dan masyarakat hukum adat (Pasal 2). Artinya, kewenangan-kewenangan

pengaturan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya pesisir, dapat

didesentralisasikan, baik kepada pemerintah daerah maupun kepada masyarakat adat.

Di dalam UU tersebut pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak sejenisnya dari

masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada serta tidak bertentangan

dengan kepentingan Negara dan peraturan perUUan yang lebih tinggi, diakui

eksistensinya.

Sementara itu, hak-hak atas tanah yang berkaitan dengan penguasaan

sumberdaya wilayah pesisir adalah HM , HGU, HGB, HP, sedangkan hak atas air

adalah HPPI.

6.2.2. Sektor Pertambangan

UU pertambangan bernuansa sentralistik, terutama yang berkaitan dengan

penguasaan, pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan umum

di mana semua ditetapkan oleh Menteri, sehingga tidak memberi ruang bagi partisipasi

masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan

pertambangan. Selain itu, karena pengelolaan pertambangan berorientasi pada investor

dengan kapital besar, maka UU pertambangan belum memberi ruang bagi pengelolaan

tambang oleh masyarakat setempat.

Page 84: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

83

Dalam konteks pemberian perijinan usaha tambang Pemerintah tidak memberi

peluang bagi partisipasi masyarakat dalam pemberian ijin dan transparansi dalam

pengambilan keputusan. Karena itu masyarakat terutama masyarakat adat tempat usaha

tambang beroperasi tidak pernah diberi informasi dan diminta persetujuannya

(informed-consent) sebelum ijin pertambangan diberikan kepada BUMN atau BUMD.

Ini berarti terjadi pengabaian atas hak-hak masyarakat setempat atas penguasaan dan

pemanfaatan sumber daya tambang yang berada di atas tanah ulayat masyarakat

setempat.

Dari segi ekologi setiap usaha pertambangan pasti menimbulkan kerusakan

lingkungan tanah, air termasuk laut dan sumber daya alam hayati di dan sekitar

perusahaan tambang beroperasi. Kendatipun dalam pasal 30 UU Pertambangan diatur

mengenai reklamasi dan rehabilitasi, tetapi yang dimaksudkan hanya dalam kaitan

dengan kemungkinan penyakit yang ditimbulkan, bukan pada usaha untuk

mengembalikan fungsi lingkungan. Karena itu UU ini kurang berorientasi pada usaha

konservasi, rehabilitasi dan reklamsi lingkungan pantai.

6.2.3. Sektor Perindustrian dan Perhubungan

Pada sektor perindustrian terdapat UU No. 5/1984, yang mengatur bahwa

perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian

sumberdaya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap

lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya. Pemerintah mengadakan

pengaturan dan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan

pencegahan kerusakan dan penanggulangan pencemaran terhadap lingkungan hidup

akibat kegiatan industri.

Pada sektor perhubungan terdapat UU No. 21/1992 tentang Pelayaran, yang

mengatur bahwa pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan

perairan, kepelabuhan serta keamanan dan keselamatannya. Pelabuhan adalah tempat

yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai

tempat kegiatan pemerintahan dan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal

bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang

dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan

serta sebagai tempat perpindahan intra dan antara moda transportasi. Untuk

kepentingan keselamatan berlayar di perairan Indonesia, pemerintah menetapkan,

membangun, mengoperasikan, dan memelihara alur-alur pelayaran. Pemerintah juga

Page 85: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

84

menetapkan alur-alur laut kepulauan untuk kepentingan yang sifatnya terus menerus,

langsung, dan secepatnya bagi kapal asing yang melalui perairan Indonesia.

Penggunaan bagian tertentu daerah daratan dan/atau perairan untuk pelabuhan wajib

memenuhi persyaratan.

6.2.4. Sektor Pertanian

Pada sektor ini terdapat dua UU yang relevan yakni UU No. 12/1992 tentang

Sistem Budidaya Tanaman dan UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan

Tumbuhan.

Di dalam UU Sistem Budidaya Tanaman diatur bahwa sistem budidaya tanaman

bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman guna

memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri,

eksport, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, serta mendorong perluasan

dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Untuk mencapai tujuan

tersebut, pemerintah menyusun rencana pengembangan budidaya tanaman, mengatur

produksi budidaya tanaman tertentu serta menciptakan kondisi yang menunjang peran

serta masyarakat.

Sementara itu, di dalam UU Karantina ditetapkan perlunya tempat pengasingan

dan/atau tindakan sebagai upaya pencagahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit

atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam

negeri atau keluarnya dari dalam wilayah Republik Indonesia.

6.2.5. Sektor Perikanan

Pada sektor ini terdapat UU No. 31/2004 yang mengatur mengenai wilayah perikanan,

yang mencakup perairan Indonesi, sungai,waduk, rawa, genangan air lainnya, dan

ZEEI. Di dalam wilayah perikanan tersebut, pemerintah melaksanakan pengelolaan

sumberdaya ikan (semua jenis ikan dan jenis biota perairan lainnya) secara terpadu dan

terarah dengan melestarikan sumberdaya ikan beserta lingkungannya bagi

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Namun demikian, dengan kemajuan ilmu dan teknologi telah menyebabkan

munculnya kebutuhan hukum yang melebihi dari apa yang sudah diatur di dalam UU

Perikanan, di antaranya mengenai pengelolaan wilayah pesisir. Hal ini menjadi penting

mengingat wilayah pesisir merupakan salah satu faktor yang strategis di dalam

peningkatan produksi berbagai jenis ikan, khususnya jenis-jenis ikan/udang yang

Page 86: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

85

mempunyai nursey ground dan spawning ground di wilayah pesisir. Di dalam wilayah

ini pula terdapat kebutuhan baru berupa hak penguasaan atas bagian-bagian tertentu

dari wilayah pesisir untuk usaha budidaya laut.

6.2.6. Sektor Kehutanan

Pada sektor ini terdapat UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Di dalam UU ini,

antara lain diatur mengenai penugasan hutan oleh Negara, kewenangan pemerintah

berkaitan dengan penguasaan hutan, status hutan, dan fungsi-fungsi hutan.

Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat (Pasal 4 ayat 1). Penguasaan hutan oleh Negara tersebut memberi

wewenang kepada pemerintah untuk (Pasal 4 ayat 2) :

1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan,

dan hasil hutan;

2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan

sebagai bukan kawasan hutan; dan

3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan,

serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum

adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional (pasal 4 ayat 3).

Kewenangan Departemen Kehutanan yang menyangkut penyediaan lahan

kawasan hutan untuk pengembangan usaha budidaya pertanian diatur dengan Surat

Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertanian dengan Menteri Kehutanan No. KB

550/246/kpts/4/1984 dan No. 082/Kpts-II/1984 tentang Pengaturan Penyediaan

Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Pertanian. Di dalam Pasal 3

SKB tersebut, antara lain, ditentukan bahwa penyediaan lahan kawasan hutan pantai

(mangove) untuk pengembangan budidaya perikanan atau pertambakan dilakukan

dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Penyediaan lahan kawasan hutan pantai untuk pengembangan usaha budidaya

perikanan diprioritaskan di luar Pulau Jawa.

2. Lahan kawasan hutan pantai (mangrove) yang merupakan Kawasan Suaka Alam,

Hutan Wisata dan Produksi yang ditetapkan untuk menunjang bahan baku kayu

Page 87: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

86

industri chips, rayon, dan energi, serta lahan kawasan hutan pantai yang terletak di

pulau kecil yang luasnya kurang dari 10 km2

tidak dapat disediakan untuk

pengembangan budidaya perikanan atau pertambakan.

3. Jalur hijau hutan pantai yang berfungsi sebagai pelindung pantai dan tempat

berpijahnya biota laut tetap dipertahankan, yang lebarnya akan ditetapkan

berdasarkan penelitian ilmiah oleh lembaga atau instansi yang berwenang, dengan

ketentuan bahwa sampai belum adanya hasil penelitian yang dimaksud, maka lebar

jalur hijau pantai ditetapkan sejauh 200 meter.

6.2.7. Sektor Pariwisata

Pada sektor ini terdapatUU No. 9/1990 yang mengatur pengusahaan obyek dan

daya tarik wisata. Pengusahaan tersebut meliputi kegiatan membangun dan mengelola

obyek dan daya tarik wisata beserta sarana dan prasarana yang diperlukan atau kegiatan

mengelola obyek dan daya tarik wisata yang telah ada. Pengusahaan obyek dan daya

tarik wisata dapat dilakukan oleh badan usaha atau perorangan berdasarkan ijin.

Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam merupakan usaha pemanfaatan

sumberdaya alam dan tata lingkungannya untuk dijadikan sarana wisata. Masyarakat

memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam

penyelenggaraan kepariwisataan (Pasal 30).

6.3. Konvensi Internasional

4.3.1. Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut ini

ditandatangani di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. Pada

tanggal 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasinya melalui pengesahan UU Nomor

17 Tahun 1985. Bahkan, beberapa ketentuan Konvensi yang berkaitan dengan wilayah

perairan suatu negara, telah ditindaklanjuti Indonesia dengan mengesahkan UU No. 6

Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Ketentuan Pasal 308 ayat (1) Konvensi menyatakan bahwa Konvensi mulai

berlaku dua belas bulan setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau tanda

tangan dari negara yang ke-60. Dengan demikian, konvensi tersebut sudah mulai

berlaku sejak tanggal 16 Nopember 1994 karena pada tanggal 16 Nopember 1993,

ratifikasi ke-60 oleh Guayana resmi didaftarkan (Sitepu, 1996).

Page 88: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

87

Dalam konvensi ini, selain diatur mengenai batas-batas dari berbagai rezim kawasan

atau zona laut berikut hak-hak negara pantai atas zona-zona tersebut, secara khusus,

diatur pula mengenai ketentuan eksploitasi dan konservasi sumber daya hayati laut .

Secara spasial dari darat, zona-zona laut tersebut akan dijelaskan satu demi satu,

yang dimulai dengan perairan pedalaman.

a. Perairan pedalaman (nternal waters) adalah perairan pada sisi darat garis pangkal

laut teritorial (Pasal 8 ayat 1). Perairan ini dapat terletak di muara sungai, teluk, atau

di bagian-bagian perairan kepulauan yang sama sekali tidak diperlukan bagi

pelayaran internasional. Di perairan pedalaman ini, Indonesia sebagai negara pantai

memiliki kedaulatan wilayah yang penuh (territorial sovereignity) sebagaimana

halnya di darat, yaitu kedaulatan atas airnya, dasar laut dan tanah di bawahnya,

udara di atasnya, serta segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal

2).

b. Laut teritorial (territorial sea) adalah perairan selebar 12 mil ke arah laut yang

diukur dari garis pangkal, yaitu garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana yang

terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi negara pantai tersebut (Pasal 3 dan

5). Pada laut teritorial juga berlaku kedaulatan penuh negara pantai (Pasal2).

c. Perairan kepulauan (archipelago waters) adalah perairan yang berada di sisi dalam

garis pangkal kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.

Negara pantai pun berdaulat penuh atas perairan kepulauan (Pasal 49). Berbeda

dengan perairan pedalaman, pada perairan kepulauan Indonesia terletak kewajiban-

kewajiban tertentu, diantaranya, berkaitan dengan sumber daya alam perikanan.

d. Zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) adalah suatu daerah di luar dan

berdampingan dengan laut teritorial, yang lebarnya tidak lebih dari 200 mil diukur

dari garis pangkal (Pasal 55 dan 57). Dalam wilayah ZEE, negara pantai antara lain

mempunyai hak-hak berdaulat (sovereign rights) untuk keperluan eksplorasi dan

eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun

nonhayati, dari perairan di atas dasar laut, tanah di bawahnya serta berkenaan

dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona

tersebut, seperti produksi energi air, arus dan angin (Pasal 56 ayat 1a).

Di dalam wilayah ZEE, negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk

membangun, mengusahakan dan mengatur pembangunan, operasi, dan penggunaan :

Page 89: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

88

Pulau Buatan;

Instansi dan bangunan untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan

pengelolaan sumber daya alam hayati dan nonhayati, serta untuk tujuan ekonomi

lainnya (Pasal 60).

Untuk kepentingan konservasi dan eksploitasi optimal, negara pantai

diharuskan menentukan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang dibolehkan

di ZEE, dengan didasari bukti-bukti ilmiah, serta harus melakukan tindakan-tindakan

untuk mencegah eksploitasi yang berlebihan. Tindakan itu harus ditetapkan agar

populasi ikan berada pada tingkat yang dapat memberikan hasil tangkapan lestari

(maximum sustainable yield) (Pasal 61).

Apabila negara pantai tidak mampu menangkap seluruh jumlah tangkapan yang

dibolehkan, maka kapal-kapal ikan asing harus diberi akses di ZEE agar dapat

mengeksploitasi kelebihan jumlah tangkapan yang dibolehkan. Pemberian akses

tersebut, harus dengan perjanjian dan memperhatikan beberapa faktor, seperti hak-hak

khusus negara-negara yang tidak berpantai dan yang secara geografis tidak

menguntungkan (Pasal 62).

Khusus untuk jenis ikan yang berimigrasi jauh (highly migratory species),

negara pantai dan negara lain yang berwarganegaranya melakukan penangkapan ikan

jenis ini, menurut Lampiran 1 UNCLOS terdapat 17 jenis harus bekerja sama secara

langsung atau melalui organisasi internasional dengan tujuan untuk menjamin

konservasi dan pemanfaatan optimal jenis ikan tersebut di kawasan, baik di dalam

maupun di luar ZEE (Pasal 64).

Indonesia, melalui UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia, antara lain,

menetapkan sebagai berikut : Barang siapa melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi

sumber daya alam dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi

ekonomi, seperti pembangkit tenaga dari air ZEE Indonesia, harus berdasarkan izin dari

Pemerintah Indonesia atau berdasarkan persetujuan internasional tersebut (Pasal 5 ayat

1);

Eksploirasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah ZEE

Indonesia dapat diizinkan, jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah

Indonesia melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya (Pasal 5 ayat 3).

Page 90: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

89

Berdasarkan ketentuan Konvensi Hukum Laut International (UNCLOS, 1982)

Pasal 51 ayat (1), negara kepulauan harus mengakui “hak perikanan tradisional”

(radiional fishing rights) dari nelayan negara lain. Menurut Hasjim Djalal, dalam

menetapkan kategori “hak perikanan tradisional” harus diperhatikan beberapa

ketentuan, sebagai berikut :

1. Nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di

suatu perairan tertentu.

2. Nelayan-nelayan tersebut telah mempergunakan secara tradisional alat-alat tertentu.

3. Hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu.

4. Nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan-

nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah

tersebut (Djalal, 1989).

6.3.2. Konvensi Marine Pollution (Marpol) 1973/1978

Tragedi kandasnya tanker Torrey Canyon di pantai Selatan Inggris pada tahun

1967 yang menumpahkan 35 juta gallon crude oil, telah membangkitkan kesadaran

masyarakat internasional tentang pentingnya suatu kerja sama untuk pencegahan

pencemaran laut. Hasilnya, pada tahun 1973, disepakati International Convention for

the Prevention of Pollution from Ships, yang kemudian disempurnakan dengan Tanker

Safety and Pollution Prevention, Protokol 1978, yang dikenal dengan nama Konvensi

Marpol 1973/1978. Konvensi Marpol telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden No.

46 Tahun 1986.

Di dalam Konvensi Marpol ini, dalam garis besarnya, terbagi ke dalam dua

kategori, yakni:

1. Peraturan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran.

2. Peraturan untuk melaksanakan ketentuan tersebut.

Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan terjadinya pencemaran

mencakup :

(1) Kewajiban bagi kapal tanker memiliki salah satu di antara tiga sistem pencegahan,

yakni segregated ballast tanks (SBT), dedicated clean ballast tanks (CBT), dan

crude oil washing (COW) (Annex I Regulation 13);

(2) Pembatasan pembuangan minyak, antara lain, hanya boleh membuang minyak pada

areal sejauh lebih 50 mil dari darat dan kewajiban negara anggota untuk

Page 91: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

90

mengeluarkan peraturan agar semua pelabuhan kapal tanker harus dilengkapi tangki

penampungan sisa atau campuran minyak di darat (Annex I Regulation 13);

(3) Monitoring dan kontrol pembuangan minyak dengan kewajiban setiap kapal tanker

untuk dilengkapi oily water separating equipment (bagi kapal ukuran > 400 GT

tetapi < 10.000 GT) dan oil filtering equipment yang dapat membatasi kandungan

minyak dalam air yang akan dibuang ke laut maksimum 15 ppm (parts per million)

(bagi kapal ukuran > 10.000 GT) (Annex I Regulation).

Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut setiap kapal tanker yang

berukuran 150 GT atau lebih diwajibkan memiliki internasional oil pollution prevention

(IOPP) certificate (Annex I Regulation 4-5). Untuk mendapatkan sertifikat tersebut,

kapal harus melalui pemeriksaan secara berkala sesuai peraturan sebagai berikut :

Pemeriksaan permulaan untuk mengetahui bahwa kapal yang akan dipasarkan telah

memenuhi ketenuan Annex I yang berhubungan dengan struktur dan perlengkapan

kapal. Setiap kapal di bawah yurisdiksi Negara anggota IMO harus diperiksa secara

berkala paling kurang sekali dalam lima tahun. Selama masa berlakunya sertifika IOPP,

paling kurang harus dilakukan satu kali survei antarauntuk mempertahankan kondisi

kapal agar tetap dalam keadaan laik laut.Sewaku-waktu dapat dilakukan pemeriksaan

oleh petugas yang berwenang terhadap fasilitas dan sertifikat yang ada di atas kapal.

6.3.3. Konvensi Ramsar 1971 tentang Lahan Basah untuk Kepentingan Internasional

sebagai Habitat Burung Air

Konvensi ini diratifikasi dengan dengan Keppres No. 48/1991. Lahan basah

(wetlands) adalah daerah-daerah payau (marsh), paya (fen), tanah gambut (featland),

atau perairan (baik yang bersifat alami maupun buatan, tetap ataupun sementara,

dengan perairannya yang tergenang ataupun mengalir, tawar, agak asin, ataupun asin,

termasuk daerah-daerah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter

pada waktu air surut. Adapun yang dimaksud burung air adalah burung-burung yang

secara ekologis bergantung pada lahan basah (Pasal 1).

Setiap anggota hendaknya menunjuk lahan basah yang baik/subur di dalam

derahnya untuk dicantumkan pada Daftar Lahan Basah Kepentingan Internasional.

Batas-batas setiaplahan basah hendaknya dibuat dan ditentukan dalam peta, serta batas-

batas tersebut boleh digabungkan antara daerah aliran sungai dengan zona-zona pantai

yan gberbatasab dengan lahan basah, serta dengan pulau-pulau atau bagian-bagian dari

Page 92: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

91

perairan laut yang kedalamannya lebih dari enam meter pada waktu air surut, yang

terdapat di lahan basah, terutama apabila di situ terdapat kepentingan sebagai habitat

burung air. Lahan basah yang dipilih hendaknya dipandang dari segi ekologi, botani,

zoologi, limnologi atau hidrologi (Pasal 2).

6.3.4. Konvensi PBB 1992 tentang Keanekaragaman Hayati

Konvensi ini diratifikasi melalui UU No. 5/1994. Di dalam konvensi ini terdapat

ketentuan bahwa setiap negara wajib mengembangkan strategi, rencana, atau program

nasional untukkonservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman

hayati atau menyesuaikan strategi, rencana, atau program yang sudah ada untuk maksud

tersebut (Pasal 6).

Sejauh memungkinkan, maka setiap negara wajib mengembangkan sistem

kawasan lindung yang memerlukan penanganan khusus untuk menkonservasi

keanekaragaman hayati; mengembangkan pedoman untuk menyesuaikan, pendirian,

dan pengelolaan kawasan lindung atau kawasan-kawasan untuk memerlukan upaya-

upaya khusus untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati; mengatur dan mengelola

sumberdaya hayati yang penting bagi konservasi keanekaragaman hayati; dan

seterusnya (Pasal 8).

Sejauh memungkinkan, maka setiap negara wajib memadukan pertimbangan

konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya alam hayati ke dalam

pengambilan keputusan nasional; melindungi dan mendorong pemanfaatan sumberdaya

alam hayati yang sesuai dengan praktek-praktek budaya tradisional, yang cocok dengan

persyaratan konservasi atau pemanfaatan secara berkelanjutan (Pasal 10).

6.3.5. Agenda 21 Global

Agenda 21 Global adalah satu dari tiga dokumen yang disepakati dalam United

Nations Conference on Environment and Development (UNCED) dan telah diadopsi

oleh 178 negara, termasuk Indonesia. UNCED juga dikenal dengan Konferensi Tingkat

Tinggi Bumi, diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal 3 sampai 14 Juni

1992 (Kuswartojo, 1996).

Agenda 21 Global terdiri atas empat bagian, yaitu sosial dan ekonomi,

pelestarian dan pengelolaan sumber daya, penguatan peran kelompok-kelompok utama,

dan sarara implementasi. Keempat bidang-bidang tersebut, keseluruhannya terdiri atas

40 pasal.

Page 93: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

92

Dalam Pasal 3 mengenai kemiskinan, disepakati bahwa PBB dan negara-negara

anggotanya perlu memberikan prioritas utama pada usaha menanggulangi kemiskinan.

Meskipun disadari kemiskinan ditimbulkan oleh sedemikian banyak penyebab

sehingga tidak ada satu pun penyelesaian tunggal yang dapat memecahkan segala

masalah di tiap negara, tetapi disepakati bahwa salah satu cara yang patut

dipertimbangkan adalah pemerintah nasional dalam strategi pembangunannya,

memberikan lebih banyak tanggung jawab dan sumber daya kepada kelompok lokal

dan kaum perempuan.

Selanjutnya, dalam Bab 17 mengenai perlindungan dan pengelolaan lautan,

diakui bahwa lautan kini mengalami semakin banyak tekanan lingkungan karena

pencemaran, penangkapan ikan secara berlebihan, pelanggaran batas perairan oleh

armada-armada asing, degradasi ekosistem, dan penggunaan perlengkapan yang tidak

tepat sehingga dapat menangkap terlalu banyak ikan semakin banyak terjadi.

Pengetahuan tentang keadaan pasok ikan dalam laut, tidak memadai, dan terlalu sedikit

kerjasama internasional untuk mencegah penangkapan ikan yang berlebihan di laut

lepas.

Sehubungan dengan keadaan laut tersebut, sejumlah strategi telah disepakati.

Empat di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Menetapkan kebijaksanaan tentang pemanfaatan laut secara berkelanjutan, dengan

memeperhatikan kebutuhan masyarakat setempat dan penduduk asli.

2. Mengembangkan lebih banyak budi daya perairan dengan cara pemeliharaan ikan

dalam keramba-keramba di laut.

3. Memperkuat pengawasan dan pelaksanaan peraturan perikanan.

4. Mengurangi pemborosan dalam menangkap, menangani dan mengolah ikan, serta

memperkecil penangkapan spesies-spesies yang seringkali tidak dipakai.

6.4. Kewenangan Pengelolaan

6.4.1. Otonomi Daerah

Indonesia merupakan negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan & keleluasan kepada

daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pasal 18 UU Dasar 1945 menyatakan

bahwa daerah Indonesia tebagi atas daerah besar dan kecil. Dengan demikian

penyelenggaraan otonomi daerah mempunyai landasan kuat dengan diberikannya

kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah.

Page 94: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

93

Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 yang dirubah dengan UU

Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pada dasarnya seluruh

kewenangan sudah berada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, oleh karena itu

penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan secara aktif tapi dilakukan melalui

pengakuan oleh pemerintah.

Kewenangan daerah tersebut meliputi kewenangan mengelola sumber daya

nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian

lingkungannya sesuai dengan peraturan perUUan. Adapun sumber daya nasional yang

dimaksud meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia serta sumber daya buatan.

Pasal 18 UU No.23 tahun 2014 menyatakan bahwa wilayah daerah Provinsi

terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut, yang diukur dari garis

pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan kewenangan

Pemerintah Kabupaten dan Kota meliputi sepertiga dari wilayah laut daerah Provinsi,

atau sejauh 4 mil laut dari garis pantai, telah diserahkan ke Provinsi.

Adapun kewenangan pemerintah daerah di wilayah laut tersebut meliputi

kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumberdaya alam, dan

tanggung jawab untuk melestarikannya. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa

khusus untuk penangkapan ikan secara tradisional, tidak dibatasi wilayah laut.

Ketentuan “secara tradisional” tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan dalam hal

tidak adanya kriteria yang jelas secara formal terhadap kegiatan penangkapan ikan

secara tradisional. Hal ini menimbulkan peluang bagi pemerintah daerah untuk

memformalisasikan kriteria penangkapan secara tradisional tersebut dalam bentuk

peraturan daerah sesuai dengan kriteria, tata nilai serta karakteristik daerahnya masing-

masing.

UU No.23/2014 menyatakan bahwa ketentuan peraturan perUUan beserta

peraturan pelaksananya yang berbentuk instruksi, petunjuk atau pedoman dan

dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah yang ada, sepanjang tidak

bertentangan dengan ketentuan otonomi daerah dinyatakan masih berlaku dan

dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Ketentuan ini berlaku juga terhadap peraturan

perUUan relevan dengan pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana telah dibahas pada

bagian sebelumnya.

Kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dalam hal penyelenggaraan otonomi

daerah secara luas dan utuh pada dasarnya diletakan pada daerah kabupaten atau kota

Page 95: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

94

sedangkan pelaksanaan otonomi untuk daerah Provinsi merupakan otonomi yang

terbatas.

Kewenangan pemerintah Provinsi dalam hal pengelolaan wilayah pesisir hanya

terbatas pada fungsi pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota dan menghindari

konflik kepentingan antar kab./kota serta kewenangan yang tidak/belum dapat

dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.

Adapun kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan sumber daya,

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan

pemerintah dan pemerintah daerah sebagai daerah otonom, dinyatakan terbatas pada

penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria dan prosedur dengan

ketentuan pelaksanaan: Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas

bangsa dan negara;

a. Menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara;

b. Menjamin efektifitas pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut dan

skala nasional;

c. Menjamin keselamatan fisik dan non-fisik secara setara bagi semua warga negara;

d. Menjamin supremasi hukum nasional.

6.4.2. Perimbangan Keuangan

Dalam rangka mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan

kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional

yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya

nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan

Daerah.

Sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan bahwa sumber-sumber pembiayaan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi

terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain

penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan

daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan. Sedangkan dana

perimbangan dapat bersumber dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dana penerimaan dari sumber daya alam,

yang merupakan sumber penerimaan yang pada dasarnya memperhatikan potensi

daerah penghasil. Selain itu dana perimbangan juga dapat berasal dari dana alokasi

umum dan dana alokasi khusus. Dana alokasi umum dialokasikan dengan tujuan

Page 96: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

95

pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi,

jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan

antara daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dana

alokasi khusus bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus

daerah. Di samping itu untuk menanggulangi keadaan mendesak seperti bencana alam,

kepada daerah dapat dialokasikan Dana Darurat.

Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir memerlukan pendanaan yang

proporsional sehingga daerah kabupaten/kota dapat memanfaatkan alokasi sumber-

sumber pembiayaan dalam rangkadesentralisasi tersebut. Apabila dalam pengelolaan

wilayah pesisir, meliputi dua atau lebih wilayah kabupaten/kota, maka pembiayaannya

melibatkan dana alokasi untuk daerah Provinsi. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya

wilayah pesisir dapat optimal ditunjang dengan sumber daya nasional (sumber daya

alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan) serta pembiayaan.

6.5. Hak Masyarakat Adat (Tradisional)

6.5.1. Pengakuan Hak Ulayat Laut

Hak ulayat merupakan bagian dari konsepsi hukum adat tentang hak-hak atas

tanah dan air. Hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi yang “komunalistik, religius,

yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah

yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan” (Boedi Harsono,

1997).

Hak ulayat memiliki paling sedikit 3 unsur pokok, yaitu :

1. Masyarakat hukum sebagai subjek hak ulayat;

2. Institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas hak ulayat;

3. Wilayah yang merupakan objek hak ulayat, yang terdiri atas tanah, perairan, dan

segenap sumber daya alam yang terkandung didalamnya.

Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong dalam

bidang hukum perdata, adalah hak kepunyaan bersama atas tanah dan perairan,

sedangkan yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk

mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan

pemeliharaannya. Hak ulayat meliputi semua tanah dan perairan yang ada dalam

lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan baik yang sudah dihak-i

Page 97: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

96

oleh seseorang maupun yang belum sehingga dalam lingkungan hak ulayat tidak ada

tanah maupun perairan sebagai res nulius (Boedi Harsono, 1997).

Konsekuensi dari tidak adanya tanah dan perairan res nulius dalam lingkungan

hak ulayat adalah tidak satu pun perbuatan hukum baik yang bersifat perdata maupun

publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat hukum adat, yang diwakili oleh suatu

sistem kepemimpinan dengan kewenangan-kewenangannya. Dalam konteks hak ulayat

laut, hal ini berarti perairan yang merupakan wilayah dari hak ulayat tertentu, tunduk

sepenuhnya di bawah otoritas institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat tersebut.

Di Indonesia, selain hak ulayat laut di kenal pula jenis hak adat lainnya seperti

tradisi penguasaan bagian-bagian wilayah pesisir untuk kegiatan penangkapan ikan

secara tradisional di Sulawesi Utara yang disebut bagang (Saad, 2000).

6.5.2. Hak Kepemilikan Masyarakat Adat (Marinetenure Right and Property Rights)

Masyarakat adat selain memiliki hak, sebenarnya juga memiliki kewajiban-

kewajiban terhadap tanah dan sumber daya alam di sekitar mereka. Antara hak dan

kewajiban harus ada keseimbangan yang kuat sehingga membentuk pengelolaan

lingkungan dan sumber daya alam yang terintegrasi baik secara sosial , politik, alamiah,

budaya dan agama dari kehidupan masyarakat adat.

Bagi masyarakat pesisir dan laut misalnya, sumber daya laut dan pesisir tidak

hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kehidupan sehari-hari

masyarakat tetapi mereka sangat mengenal lingkungan sekitar mereka dan tahu

bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup secara harmonis dan tetap dapat

mempertahankan keberlanjutan dan kestabilan wilayah laut dan pesisir beserta sumber

daya alam di dalamnya.

Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat adat di dalam mengelola

wilayah laut dan pesisir juga memiliki kekuatan eksternal yang memberikan potensi

besar bagi masyarakat untuk melakukan ancaman dari orang luar, termasuk dari negara.

Masyarakat adat telah melindungi dan mempertahankan hak dan kewajiban mereka

jauh bahkan sebelum negara itu ada. Kepemilikan masyarakat adat terhadap wilayah

laut dan pesisir bukan atas pemberian negara melainkan secara alamiah merupakan

bagian dari legenda dan sejarah masyarakat adat itu sendiri. Wilayah adat yang mereka

diami merupakan warisan dari nenek moyang yang secara turun temurun diwariskan.

Hak kepemilikan dari masyarakat adat menekankan pada 3 elemen mendasar

yaitu :

Page 98: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

97

1. Otoritas hukum untuk mengelola lingkungan.

2. Otoritas penuh untuk menentukan nasib sendiri.

3. Hak untuk memberikan persetujuan terhadap setiap rencana kegiatan/kebijakan

negara yang berdampak pada nasib masyarakat adat itu sendiri.

Saat ini hubungan antara sumber daya laut dan pesisir dengan kewenangan

pengelolaan masyarakat adat mulai menjadi perhatian dan kepentingan dari pemerintah

dan pembuat kebijakan. Selain itu beberapa inisiatif dari masyarakat dan dorongan

dunia internasional mulai bermunculan untuk mendukung masyarakat nelayan

walaupun hukum nasional yang spesifik, kebijakan-kebijakan dan instrumen hukum

lainnya yang mengakui kewenangan pengelolaan masyarakat adat terhadap sumber

daya laut dan pesisir belum terdapat di Indonesia. Namun pelaksanaan otonomi daerah

dan pelimpahan kewenangan yang sekarang ini sedang di lakukan oleh pemerintah

pusat kepada daerah, merupakan langkah yang cukup menjanjikan serta

mengkhawatirkan untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut dan pesisir oleh

masyarakat adat walaupun hal ini masih perlu dilihat lebih jauh lagi.

6.6. Masalah Krusial yang Perlu Diatur

Berdasarkan hasil review terhadap perundang-undangan dan konvensi yang

telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah

pesisir, maka dijumpai empat permasalahan hukum yang krusial, yaitu :

6.6.1. Konflik antar Undang-Undang

Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan

laut. Di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa

penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU

No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut

sejauh 12 mil merupakan kewenangan Provinsi (Pasal 18).

Demikian pula, konflik serupa terjadi antara UU Pertambangan dengan UU

Konservasi. Di satu sisi, UU Pertambangan mengklasifikasi bahan galian/tambang ke

dalam tiga kategori, yakni strategis, vital, dan di luar keduanya (lazim disebut tambang

golongan C). Sementara di sisi lain, UU Konservasi juga menentukan kawasan tertentu

sebagai kawasan konservasi. Konfliknya terjadi ketika di dalam kawasan konservasi

Page 99: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

98

ternyata terdapat bahan tambang (terutama kategori strategis dan vital), seperti dalam

kasus tambang batubara di dalam zona proteksi Taman Nasional Kutai.

6.6.2. Konflik antara Undang-Undang dengan Hukum Adat

Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status

kepemilikan sumber daya alam di daerah perairan pesisir dan laut. Di dalam UU No.

6/1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir dan

laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property). Sebaliknya,

masyarakat adat mengklaim sumber daya di perairan tersebut dianggap sebagai hak

ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum

berdirinya Negara Indonesia. Konflik tersebut menjadi kenyataan di berbagai daerah,

seperti beberapa pulau-pulau kecil di desa Mandeh Sumatera Barat diklaim sebagai

milik masyarakat kaum/adat.

6.6.3. Kekosongan Hukum

Kekosongan hukum yang terjadi pada bidang penguasaan/pemilikan wilayah

perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan

Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) hanya diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah

sampai pada garis pantai. Memang ada ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan

Penangkapan Ikan di dalam UU ini, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada

rincian pengaturannya. Padahal, seiring dengan perkembangan pembangunan

kewilayahan serta ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kelautan, muncul pula

tuntutan baru di tengah masyarakat untuk memperoleh kepastian hak atas wilayah laut

pesisir.

Kekosongan hukum juga terjadi pada bidang konservasi dan bencana wilayah

pesisir. UU No. 5/1960 tentang Konservsi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

dan UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, belum secara spesifik

mengatur wilayah pesisir, padahal justru wilayah inilah yang paling rentan terhadap

pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai akibat dari letaknya pada pertemuan

wilayah darat dan laut. Bahkan, masalah pencegahandan penanggulangan bencana

wilayah pesisir serta konservasi yang berskala kecil di tingkat desa, hingga kini belum

diatur sama sekali. Kealpaan ini harus segera diakhiri sebab bencana wilayah pesisir,

seperti tsunami, banjir, dan erosi pantai sudah terlalu banyak menelan korban, baik

nyawa manusia maupun harta benda.

Page 100: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

99

Ketiga masalah krusial tersebut bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik

kewenangan dan pemanfaatan, serta kerusakan fisik sumberdaya alam dan ekosistem

pesisir. Ketiga masalah tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga solusi yuridisnya

pun harus terpadu.

Di dalam RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir tersebut, paling sedikit, memuat

norma-norma hukum sebagai berikut :

1. Penataaan ruang wilayah pesisir, khususnya perairan pesisir.

2. Pengelolaan pulau-pulau kecik berbasis masyarakat dan berkelanjutan.

3. Koordinasi dan sertifikasi program pengelolaan wilayah pesisir antara berbagai

sektor, stakeholders, dan antar berbagai level pemerintahan secara voluntir.

4. Pengaturan hak-hak atas wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat

diberikan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang

terkandung di dalamnya.

5. Pengakuan hak ulayat laut (marine tenure right) dan hak-hak tradisional lainnya

berdasarkan hukum adat dan kebiasaan masyarakat lokal.

6. Konservasi ekosistem pesisir, seperti mangrove, terumbu karang, estuaria, dan lain-

lain.

7. Pengendalian pencemaran dan konservasi yang berskala kecil pada tingkat desa.

8. Mitigasi bencana di wilayah pesisir.

Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka Departemen Kelautan dan Perikanan

perlu mengusahakan agar penyusunan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir ditetapkan

menjadi UU oleh DPR RI.

6.7. Perkembangan Baru berdasarkan Wawasan Nusantara

6.7.1. Konsep Wawasan Nusantara

Wawasan Nusantara adalah wawasan yang memandang rakyat, bangsa negara,

dan wilayah Nusantara darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak

bisa dipisah-pisahkan. Wawasan ini memperkuat rasa kekeluargaan dan kebersamaan

dalam persatuan. Wawasan ini juga menjelaskan makna Bhineka Tunggal Ika.

Dalam pembangunan nasional, Wawasan Nusantara mencakup perwujudan Kepulauan

Nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan

ekonomi dan satu kesatuan Pertahanan dan Keamanan.

Page 101: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

100

6.7.2. Pertahanan dan Keamanan

Dalam UU No. 20 tahun 1982 diatur mengenai pengamanan sumberdaya alam

dan sumberdaya buatan yang dilaksanakan dengan konservasi dan diversifikasi serta

didayagunakan bagi kepentingan pertahanan keamanan negara. Pengembangan

sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dalam rangka pendayagunaannya dilakukan

dengan :

(a) Mendayagunakan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang bernilai strategis,

dengan jalan mengelolanya menjadi cadangan material strategis untuk mencukupi

kebutuhan dalam jangka waktu tertentu pada keadaan darurat;

(b) Menentukan dan atau menetapkan cadangan material strategis dalam rangka

mewujudkan sistem logistik wilayah di daerah-daerah sesuai dengan persyaratan

dan tuntutan upaya pertahanan keamanan negara.

Pengamanan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dalam rangka

pendayagunaannya bagi kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara

dilakukan dengan :

1) Mengkonservasi sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang bernilai strategis

untuk dapat didayagunakan dalam jangka panjang;

2) Mengembangkan dan mewujudkan diversifikasi sumberdaya alam dan sumberdaya

buatan yang bernilai strategis.

Secara spesifik terdapat doktrin Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta,

sebagaimana diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan No.

Skep/820/VII/1982, yang berkaitan dengan pembinaan sumberdaya.

Pembinaan sumberdaya merupakan upaya mengubah faktor statis dalam

wilayah negara dan bangsa menjadi kekuatan untuk mewujudkan kesejahteraan dan

keamanan nasional. Khusus untuk mewujudkan keamanan nasional, maka kekuatan

yang diharapkan sebagai keluaran adalah kekuatan Pertahanan Keamanan Rakyat

Semesta (Hankamrata). Dengan demikian, pembinaan sumberdaya akan meliputi :

1. Pembinaan demografi;

2. Pembinaan geografis;

3. Pembinaan sumberdaya dan kekayaan alam yang dilaksanakan melalui :

a) Penguasaan dan pengelolaan sumberdaya dan kekayaan alam vital strategis untuk

peningkatan kesejahteraan dan cadangan perang;

Page 102: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

101

b) Penyebaran dan pengelolaan sumberdaya alam melalui penyebaran industri ke

seluruh wilayah tanah air sehingga memungkinkan setiap wilayah dapat

berswasembada dalam pangan dan kebutuhan logistik lainnya;

c) Keikutsertaan dalam pengelolaan sumberdaya dan kekayaan alam.

6.7.3. Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang

Di dalam UU No. 32/2009 ditentukan bahwa sasaran Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah :

1. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan

lingkungan hidup;

2. Terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Hak, kewajiban, dan

peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan

lingkungan dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat

istiadat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang mengatur bahwa penataan ruang

wilayah nasional, wilayah Provinsi dan wilayah kabupaten/kota dilakukan secara

terpadu dan tidak dipisah-pisahkan (Pasal 8). Penataan ruang untuk kawasan yang

meliputi lebih dari satu wilayah Provinsi dikoordinasikan penyusunannya oleh Menteri

untuk kemudian dipadukan ke dalam rencana tata ruang wilayah Provinsi. Penataan

ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu kabupaten atau kota dikoordinasikan

penyusunannya oleh Gubernur untuk kemudian dipadukan ke dalam rencana tata ruang

wilayah Kabupaten/Kota.

Penataan ruang wilayah Provinsi dan wilayah Kabupaten/Kota meliputi ruang daratan

dan, pada batas tertentu menurut perUUan, juga mencakup ruang lautan dan udara.

Penataan ruang lautan dan penataan ruang udara di luar tersebut sebelumnya, diatur

secara terpusat dengan UU (Pasal 9).

6.8. Kajian Undang-Undang Terkait

Analisa atau kajian ini dilakukan terhadap 5(lima) Undang-Undang. Adapun

tujuan yang ingin dicapai adalah melihat seberapa besar atau kecil potensi jika dikaitkan

dengan konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu tidak hanya di dalam 5 UU (internal

review) tersebut tetapi juga antar UU (ekstenal review) di atas.

Page 103: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

102

Selain itu kajian juga dilakukan untuk melihat permasalahan atau konflik yang

terjadi antar UU tersebut yang mengakibatkan tidak efektifnya pelaksanaan UU

tersebut. Kelima UU ini memiliki ruang lingkup yang seharusnya mencakup pengaturan

pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu . Selain itu, tahun

pemberlakuan UU tersebut saling berdekatan yang seharusnya ada semacam koordinasi

antar kelima UU itu.

Apabila kita melihat hasil eksternal review dari kelima UU tersebut, terlihat

bahwa tidak adanya koordinasi, ketidakjelasan dan tumpang tindih di dalam pengaturan

pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Beberapa contoh antara

lain :

1) Dalam hal menimbang terutama UU yang berlaku tahun 1992, misalnya UU

pelayaran dan UU Penataan Ruang, seharusnya mencantumkan UU Pariwisata, UU

Perikanan dan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di

dalam bagian menimbang.

2) Secara umum kelima UU ini tidak mengatur secara jelas antara daratan dan lautan

serta wilayah pesisir baik dalam hal pengakuan, pengelolaan, pemanfaatan dan

perlindungan, terutama wilayah pesisir.

3) Pengakuan terhadap hak masyarakat adat didalam beberapa UU tersebut juga tidak

diatur secara jelas dan parsial. Kalaupun diatur , terlihat pengaturannya hanya

“setengah hati”.

4) Antara UU perikanan dengan UU Penataan Ruang seharusnya ada koordinasi di

dalam keterpaduan wilayah / ekologis. UU Penataan Ruang mengatur kegiatan-

kegiatan di dalam ruang lingkup penataan ruang dan terlihat secara umum kegiatan

kelautan dan khususnya kegiatan perikanan tidak diatur.

5) UU Pelayaran juga seharusnya berkoordinasi kepada UU Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya di dalam melakukan pembangunan dermaga atau

pelabuhan yang berkaitan dengan kemungkinan dampak lingkungan yang terjadi

terhadap ekosistem di wilayah pesisir.

6) Koordinasi juga tidak terjadi antara UU Pelayaran dengan UU Penataan Ruang. Di

dalam pengaturannya, UU Penataan Ruang seharusnya mengikutsertakan usaha

kegiatan di wilayah pesisir seperti pelabuhan, pembangunan dermaga, dan

sebagainya.

7) UU Pelayaran mengatur mengenai beberapa kegiatan usaha tertentu di luar kegiatan

usaha angkutan di perairan, namun kegiatan untuk pariwisata tidak diatur di

Page 104: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

103

dalamnya, padahal di UU Pariwisata disebutkan bahwa usaha penyediaan sarana

wisata tirta dapat berupa usaha pembangunan dan pengelolaan dermaga dan

pelabuhan.

8) Berkaitan penjelasan No.7 , UU Pelayaran mengatur mengenai penetapan lokasi

untuk pembangunan pelabuhan dan pengelolaannya. Sedangkan di dalam UU

Pariwisata juga mengatur usaha penyediaan sarana wisata tirta, termasuk usaha

pembangunan dan pengelolaan dermaga dan pelabuhan. Padahal kedua UU ini tidak

melakukan koordinasi dengan instansi lain.

9) Keterpaduan sektor dilihat dari 2 hal yaitu berkaitan dengan koordinasi antar sektor

dan desentralisasi. UU Penataan Ruang di dalam menentukan fungsi utama kawasan

seharusnya mempertimbangkan aspek keterpaduan sektor dan wilayah/ekologis

dari UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan juga UU

Pariwisata di dalam menentukan objek dan kawasan wisata. Dalam hal ini

koordinasi dengan instansi yang terkait perlu dilakukan. Berkaitan dengan konsep

desentralisasi, pelimpahan kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah

kurang jelas di sebagian besar UU tersebut.

10) Di dalam keterpaduan disiplin ilmu, UU Pelayaran mengakui dan mengatur

pengolahan dan pengelolaan usaha pelayaran rakyat yang tradisional sedangkan UU

Perikanan mengakui dan mengatur berbagai pengelolaan dan pemanfaatan sumber

daya ikan. Namun keduanya tidak terkait satu sama lain padahal kegiatan ini

seharusnya dilakukan secara terpadu dalam multi disiplin ilmu karena merupakan

satu kesatuan dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan.

Dengan melihat hasil analisa antar 5 UU tersebut (eksternal review), maka

semakin terbukti bahwa konsep pengelolaan wilayah peisisr terpadu ini tidak

terintegrasi ke dalam peraturan perUUan yang sedang berlaku sekarang ini sehingga

diperlukannya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir yang mencakup konsep pengelolaan

wilayah pesisir terpadu sebagai dasar pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan.

Page 105: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

104

BAB VII

PRINSIP DAN MEKANISME PENGATURAN

7.1. Prinsip-Prinsip

Beberapa prinsip dasar pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu, yaitu:

1. Pengelolaan pesisir terpadu difokuskan pada wilayah pesisir yang mempunyai

banyak kegiatan dan rentan terhadap perubahan lingkungan, dimana terjadi

peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, secara biofisik lingkungan.

2. Proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian dilakukan secara terbuka,

partisipatif, demokratis dan adaptif secara terus-menerus.

3. Pengelolaan tersebut menekankan pada koordinasi, kerjasama dan keterpaduan

diantara berbagai kegiatan horizontal dan vertikal yang mempengaruhi kondisi

sumberdaya pesisir serta makhluk hidup lain yang ada di wilayah pesisir; antara

berbagai kelompok masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya atau mendapatkan

dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut.

4. Strategi pengelolaan tersebut adalah memanfaatkan secara bijaksana, memelihara,

melindungi/proteksi, merestorasi dan merehabilitasi sumberdaya pesisir, sehingga

sumberdayanya dapat digunakan secara berkelajutan bagi generasi sekarang tanpa

mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang.

7.1.1. Prinsip Keterpaduan

7.1.1.1. Integrasi Perencanaan Sektor Secara Horisontal

Keterpaduan perencanaan horisontal memadukan antara perencanaan dari

sektor pertanian, kehutanan, pertambangan dan konservasi yang berada di DAS hulu,

sektor perikanan baik budidaya perikanan ikan maupun perikanan tangkap, pariwisata

bahari, perhubungan Laut, industri maritim, pertambangan lepas pantai, konservasi

laut, serta pengembangan kota pantai yang difokuskan pada pemanfaatan pesisir yang

lestari.

7.1.1.2. Keterpaduan Perencanaan Secara Vertikal

Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi keterpaduan kebijakan dan perencanaan

mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kodya, Provinsi, hingga Nasional.

7.1.1.3. Keterpaduan antara Ekosistem Darat dengan Laut.

Page 106: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

105

Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, dengan kombinasi pendekatan batas

ekologis dan administratif, diprioritaskan dengan menempatkan Daerah Aliran Sungai

dan kewenangan kabupaten/kota sebagai basis perencanaan. Akibatnya, dampak dari

kegiatan pertanian dan industri serta pembangunan perkotaan di suatu DAS hulu perlu

diperhitungkan dalam pengelolaan wilayah pesisirnya.

7.1.1.4. Keterpaduan antara Ilmu Pengetahuan dan Manajemen

Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, perlu didasarkan pada input data dan

informasi ilmiah yang memberikan berbagai alternatif rekomendasi bagi pengambilan

keputusan yang relevan sesuai dengan kondisi karakteristik sosial-ekonomi budaya,

kelembagaan dan bio-geofisik lingkungannya.

7.1.1.5. Keterpaduan antar Negara

Dalam mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumberdaya pesisir di

perbatasan antar negara perlu di integrasikan kebijakan masing-masing negara, seperti

di Selat Malaka.

7.1.2. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi

pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem serta

sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak

(absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada

perubahan teknologi dan karakteristik sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang

memanfaatkan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak

kegiatan manusia. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi

pemanfaatan ekosistem pesisir, sehingga kapasitas lingkungan dan fungsinya untuk

memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak, dan berkelanjutan sehingga

dapat digunakan diggunakan generasi yang akan datang. Secara garis besar konsep

pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu: (1) ekologis, (2) sosial

ekonomi budaya, (3) geofisik dan teknologi, dan (4) hukum dan kelembagaan.

Sejalan dengan otonomi daerah, maka kewenangan pengelolaan pembangunan

berkelanjutan wilayah pesisir menjadi kewenangan daerah sesuai dengan pasal 18 UU

No. 23/2014. Untuk itu perlu diperhatikan kesiapan daerah dan kemampuan

kelembagaannya untuk mengemban tanggung jawab dan kewenangan dalam mengelola

Page 107: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

106

sumberdaya pesisir di daerah. Namun disisi lain masih banyak pengaturan di wilayah

pesisir yang masih menjadi kewenangan pemerintah (pusat) berdasarkan peraturan

perundang-undangan lainnya. Sehingga diperlukan norm-norma hukum yang dapat

mengatur keseimbangan antara kepentingan Pemerintah dan Daerah.

7.1.3. Prinsip Partisipasi dan Keterbukaan

Partisipasi dan keterbukaan secara demokrasi di dalam proses penyusunan

peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk

memahami bahwa perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah pada

dasarnya dibuat untuk kepentingan masyarakat; memberikan kesempatan kepada

masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi dan kepentiungannya

untuk dapat dimuat di dalam naskah RUU, serta ikut berperan dalam melakukan

pemantauan sekaligus pengendalian dalam pelaksanaan perundang-undangan tersebut.

Partisipasi masyarakat dapat berkembang setelah adanya keterbukaan dari pihak

yang memprakarsai, dalam hal ini Pemerintah. Keterbukaan Pemerintah

menginformasikan draft rumusan-rumusan aturan, kebijakan dan rencana kegiatan

sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang merupakan kesempatan bagi

masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan pandangan, keberatan, serta usul

perubahan ataupun gagasan lain yang berangkat dari aspirasi dan persepsi masyarakat.

Keterbukaan, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menambah

wawasan dan ikut dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan yang

dilakukan Pemerintah. Sehingga kebijakan atau kegiatan tersebut dapat mengurangi

potensi konflik pemanfaatan atau konflik yurisdiksi yang diakibatkan oleh kesalahan

prosedur penetapan kebijakan. Sehingga konsultasi publik kepada stakeholder utama

sejak proses perencanaan, pelaksanaan sampai tahap pengendalian sangat penting.

7.1.4. Prinsip Kepastian Hukum

Kepastian hukum dalam penerapan undang-undang merupakan prinsip utama

dalam pelaksanaan undang-undang secara tegas dan konsisten. Hal ini dapat

dilaksanakan jika dalam proses perumusannya, masyarakat yang menjadi objek hukum

terlibat untuk memperkuat sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dalam hal

ini masyarakat perlu mengetahui proses perumusan perundang-undangan, misalnya

bagaimana, kapan dan untuk apa undang-undang tersebut diterapkan. Mereka ikut

memberikan masukan, tanggapan, dan keberatan tentang obyek pengaturan dan

Page 108: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

107

bagaimana pengaturan tersebut mempengaruhi kehidupan mereka. Proses ini harus

dimulai sejak rumusan undang-undang dipersiapkan dari Naskah Akademiknya sampai

disyahkannya Rancangan Undang-undang tersebut di DPR. Untuk itu, isi dan lingkup

pengaturan perundang-undangan tersebut harus dikonsultasikan, disosioalisasikan dan

disebarluaskan sejak dini. Selanjutnya masyarakat diberi peran didalam mengawasi

pelaksanaan undang-undang tersebut, sehingga norma hukum yang tertulis (de jure)

dilaksnakan secara konsisten dan konsekuen (de facto).

Kepastian hukum sangat penting untuk melaksanakan sistem pemerintahan

yang bersih dan berwibawa, serta terjaminnya rasa keadilan dan keamanan masyarakat.

Adanya kepastian hukum bagi masyarakat akan mendorong iklim yang kondusif

dimana masyarakat bersedia mengikuti dan mentaati hukum (compliance), serta tidak

ragu-ragu mempertahankannya jika pihak lain bertindak di luar jalur humum.Kepastian

hukum juga membatasi intervensi dari pihak penguasa atau pejabat dalam

mempengaruhi penerapan peraturan perundang-undangan. Sehingga masyarakat dan

dunia usaha sebagai pelaku pembangunan di wilayah pesisir mempunyai kepastian dan

jaminan bahwa usaha dan investasinya dalam dapat dipertahankan dalam jangka

panjang. Sementara bagi Pemda, kebijakan Pemerintah yang konsisten mendukung

pelaksanakan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab.

7.2. Obyek dan Ruang Lingkup Pengaturan

7.2.1. Mekanisme Koordinasi Pada Tingkat Pusat

Mekanisme koordinasi dibutuhkan untuk menyelenggarakan penyusunan

perencanaan pengelolaan wilayah pesisir, dan koordinasi pengambilan keputusan serta

pembiayaan program pengelolaan wilayah pesisir. Mekanisme ini dikoordinasikan oleh

sebuah lembaga atau badan lintas-institusi yang berwenang dan memiliki otoritas

cukup. Otoritas ini didelegasikan dari institusi-institusi sektoral, untuk menyelesaikan

perbedaan persepsi, konflik atau sengketa diantara institusi yang berbeda, dan pihak

instansi terkait menghormati serta melaksanakan keputusan tersebut. Bila badan

koordinasi tersebut akan membuat keputusan atau rekomendasi lintas-sektoral, badan

tersebut sebaiknya memiliki otoritas atas tiap-tiap departemen sektor, atau ada proses

untuk membawa kasus konflik atau sengketa ke instansi yang lebih tinggi.

Mengingat pengelolaan wilayah pesisir merupakan kebijakan yang bersifat

lintas sektor, maka kegiatan pengelolaan wilayah pesisir perlu dikoordinasikan oleh

suatu lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam pengelolaan wilayah

Page 109: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

108

pesisir. Fungsi koordinasi itu bisa dilihat dari beberapa alternatif kelembagaan. Apakah

menggunakan lembaga pemerintah yang sudah ada, misalnya Departemen Kelautan

dan Perikanan atau Bapenas, atau membentuk badan baru non departemen yang bersifat

lintas sektor dan lintas kelompok masyarakat, seperti Dewan Maritim Indonesia (DMI).

Jika pilihannya membentuk suatu badan baru, atau memakai dan merubah yang sudah

ada, maka badan yang baru tersebut dapat saja dipimpin oleh Menteri DKP atau

Presiden.

Sesuai dengan PP No. 25/2000 dan Keppres No.104/2001 maka Departemen

Kelautan dan Perikanan (DKP) memiliki mandat untuk menyiapkan kebijakan nasional

yang berkaitan dengan pembangunan kelautan. Secara khusus butir 2.d. PP No. 25

Tahun 2000 memberikan mandat bagi DKP untuk menyusun pedoman dan standarisasi

pengelolaan sumberdaya pesisir. Selanjutnya Keppres 104/2001 yang menguraikan

tugas pokok dan fungsi masing-masing departemen menyatakan bahwa DKP bertugas

untuk menyiapkan kebijakan pembangunan di wilayah pesisir. Berkenaan dengan itu

maka DKP mempunyai kewenangan dalam memformulasikan pedoman umum dan

standarisasi pengelolaan sumberdaya pesisir.

7.2.2. Fasilitasi dan Konsultasi dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah.

Pemerintah menyusun petunjuk untuk kabupaten/kota dan provinsi dalam

rangka mengembangkan program pengelolaan pesisir terpadu (PPT). Petunjuk tersebut

bersifat fleksibel dan luas sehingga pemerintah daerah dapat mengakomodir kebutuhan

dan tujuan daerahnya yang bersifat khusus. Seperti disebutkan sebelumnya, petunjuk

ini akan menjadi dasar bagi program PPT daerah. Petunjuk ini penting untuk

kesuksesan program karena beberapa alasan. Pertama, petunjuk tersebut bisa menjadi

acuan pemerintah kabupaten/kota, yang umumnya hanya memiliki sedikit pengetahuan

tentang Program PPT. Kedua, petunjuk tersebut memberikan arahan dalam penulisan

isi program dan mekanisme penyusunan program, apakah program tersebut bersifat

sentralistik (op-down) atau desentralistik (boom-up) Sesuai dengan UU 32/2004, DKP

secara khusus mempertimbangkan apakah petunjuk tersebut sebaiknya bersifat

mengikat (mandatory requirements) atau sukarela (voluntarily standars).

7.2.3. Koordinasi Perencanaan Pembangunan Wilayah Pesisir Daerah.

Jika Pemerintah mengeluarkan Pedoman Umum atau petunjuk, maka

pemerintah daerah seyogyanya menerapkan program dan mengembangkan petunjuk

Page 110: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

109

yang lebih spesifik untuk wilayah pesisirnya sesuai dengan karakteristik bio-geofisik

dan sosial budaya pesisirnya. Berdasarkan UU No. 32/2004, kabupaten/kota memiliki

fleksibilitas atau kebebasan dalam membuat/menyusun program PPT yang

diinginkannya, namun harus tetap sejalan dengan ketentutan hukum dan mekanisme

yang dipakai, dan harus sekaligus dapat mencapai tujuan Program PPT nasional.

Setelah disetujui Pemerintah, kabupaten/kota dapat menerapkan rencana tersebut

dengan bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Provinsi.

Dibanding dengan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi, pemerintah

kabupaten/kota memiliki posisi terbaik untuk membentuk program PWPT yang

disesuaikan dengan keunikan permintaan dan penawaran sumberdaya yang berada di

wilayah yuridiksinya. Pemerintah kabupaten/kota cukup dekat dengan sumberdaya dan

pemanfaat sumberdaya tersebut di tingkat lokal, namun cukup luas untuk

mengkoordinasikan desa-desa yang berdekatan. Kabupaten/kota akan bertanggung

jawab untuk: pertama, memutuskan apakah ia ingin terlibat dalam program PWPT yang

disponsori Pemerintah. Kabupaten/kota selanjutnya akan bertanggung jawab atas

pembentukan rencana PWPT bagi aktivitas-aktivitas yang berada dalam wilayah

yuridiksinya. Sangat mutlak bagi setiap program PWPT yang dibentuk pada tingkatan

pemerintahan lebih luas untuk memberikan partisipasi signifikan dari pemerintahan

lokal terbawah. Melalui kantor kecamatan, pemerintah kabupaten/kota umumnya

mempunyai keterkaitan kuat dengan institusi pemerintahan tingkat desa/kelurahan dan

dusun. Secara umum, penyusunan perencanaan PPT harus dilakukan dalam kerjasama

erat antara pemerintah kabupaten/kota dan institusi pemerintahan tingkat desa,

sementara implementasi rencana harus dilakukan oleh pemerintah desa/kelurahan,

dengan pembiayaan dan pengawasan oleh kabupaten/kota.

Koordinasi diperlukan dalam segala tingkat pemerintahan, namun ada beberapa

kemungkinan perbedaan peran dan fungsi yang dapat dimainkan oleh tiap tingkat/level

pemerintahan. Sesuai dengan UU No. 32/2004, provinsi memiliki peranan yang relatif

kecil dalam program PPT karena pemerintah kabupaten bekerja langsung dengan

Pemerintah dalam mengembangkan, mengkaji dan menyetujui rencana. Atau provinsi

dapat memainkan peranan untuk mengkoordinasikan berbagai tingkat pemerintahan

yang berbeda. Hal ini berarti pemerintah provinsi dapat memiliki dua peranan: pertama,

pemerintah provinsi dapat mengkoordinasikan berbagai kegiatan pemerintah

kabupaten/kota yang bersifat lintas wilayah dalam satu ekosistem untuk memastikan

konsistensi dan memamntau isu-isu pengelolaan pesisir yang bersifat lintas wilayah.

Page 111: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

110

Kedua, pemerintah provinsi dapat mengkoordinasikan pemerintah kabupaten/kota jika

urusan yang ditanganinya bersifat berlaku umum untuk Provinsi tersebut .

Koordinasi dapat berupa saran dan petunjuk/bimbingan, atau dapat juga berupa

keputusan atau persetujuan yang resmi. Sesuai dengan UU 32/2004, peran khusus

provinsi adalah melakukan koordinasi dalam kedua hal yang telah disebutkan di atas.

Meski demikian, undang-undang juga mengijinkan kesepakatan khusus antara berbagai

tingkatan pemerintahan yang berbeda.

Pertanyaan-pertanyaan berikut ini akan timbul sehubungan dengan keputusan

mengenai bagaimana koordinasi antara pemerintah lokal itu akan dilakukan.

Bagaimana seharusnya pemerintah dari berbagai tingkatan yang berbeda membangun

sebuah proses atau mekanisme untuk mengkoordinasikan pengelolaan wilayah pesisir?

Apa yang seharusnya menjadi peran bagi pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan

dan desa? Tingkat pemerintahan mana yang harus memimpin sebuah program

pengelolaan pesisir yang bersifat lokal?

7.2.4. Keterlibatan Stakeholders.

Sebagaimana diuraikan diatas, partisipasi publik adalah salah satu prinsip dasar

dari penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance),

kususnya dalam pengelolaan pesisir terpadu. Mekanisme yang dipilih harus mengikuti

sebuah proses yang melibatkan masyarakat melalui pengumuman terbuka (public

notice), pengumuman melalui media massa lokal dan partisipasi aktif masyarakat

menanggapi rencana yang disusun pemerintah. Partisipasi mencakup pemberitahuan

bahwa sebuah ketentuan hukum berlaku setelah diperbaharui. Juga termasuk sosialisasi

atau penjelasan mengenai ketentuan hukum setelah diperbaharui, tingkatan yang lebih

berarti yang melibatkan pemberitahuan dan sosialisai setelah hukum diperbaharui, serta

tingkatan yang lebih berarti yang melibatkan partisipasi aktif dan konsultasi dalam

mengembangkan hukum.

Lalu apa peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan peran masyarakat adat

dalam mengembangkan program-program pengelolaan pesisir lokal, apakah lembaga

kemasyarakatan yang berbeda-beda, seperti kelompok industri, kelompok konservasi,

pekerja perorangan, kelompok agama, kelompok sipil, keluarga, dll, harus diperlakukan

berbeda satu sama lain, atau harus diperlakukan setara,

7.2.5. Muatan Program PWP

Page 112: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

111

Bagian ini membentuk inti dari Program PPT, karena didalamnya terdiri dari

materi isi (content) program yang akan di kembangkan oleh kabupaten. Materi isi

program akan menentukan apakah pengelolaan pesisir terpadu dapat dicapai pada

tingkat lokal. Apa harus menjadi isi program-program pengelolaan pesisir lokal?

Penilaian, persayaratan, dokumen perencanaan, dll, macam apa yang harus

dikembangkan oleh pemerintah lokal dalam upaya menciptakan sebuah program

pengeloaan pesisir lokal yang efektif.

7.2.6. Insentif.

Karena program pengelolaan pesisir terpadu bersifat sukarela, untuk itu

diperlukan sistem insentif yang dapat mendorong pemerintah daerah untuk

melaksanakan program tersebut.

7.2.8. Keuangan

Ada beberapa sumber dana untuk insentif pelaksanaan program daerah, antara

lain dana APBD dan APBN serta sumber dana lain.

7.2.9. Pemantauan dan Evaluasi

Pemantauan dan evaluasi diperlukan untuk mensukseskan program.

Pemantauan dan evaluasi memiliki dua aspek penting bagi program: sebagai alat

mengelola (management tool) dan alat ilmiah (scientific tool). Sebagai alat mengelola,

pemantauan dan evaluasi diperlukan untuk memastikan hahwa program dilaksanakan

secara efektif. Sebagai alat ilmiah, keduanya diperlukan untuk memastikan bahwa

program diterapkan dengan sempurna.

Pemantauan atau monitoring penting untuk tujuan-tujuan administrative, untuk

memastikan bahwa program berjalan dengan lancar. Sebagai contoh, pada saat daerah

menerima bantuan atau manfaat dari pemerintah, harus ada kepastian bahwa daerah

akan tetap memenuhi persyaratan, tujuan dan prinsip-prinsip program secara

menyeluruh, sehingga daerah dinilai layak menerima manfaat tersebut. Pemantauan

juga memastikan bahwa anggaran digunakan sebagaimana mestinya.

Secara ilmiah, pemantauan dibutuhkan untuk memastikan bahwa program

menggunakan prinsip-prinsip dan persyaratan ilmiah terkini dengan tepat. Sebagai

contoh, harus ada pemantauan untuk menjamin program dilaksanakan dengan metode

ilmiah yang sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (valid) ketika

Page 113: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

112

sebuah daerah membentuk wilayah konservasi laut, atau membuat rencana tata ruang

untuk penggunaan wilayah darat dan laut. Di sisi lain, pengawasan juga diperlukan

untuk mendapatkan informasi baru saat program dilaksanakan. Hal ini memungkinkan

program, beserta kegiatan-kegiatan di dalamnya, untuk dimodifikasi di masa

mendatang agar informasi baru tersebut dapat terwadahi.

7.2.10. Penegakkan Hukum dan Sanksi

Kepatuhan untuk melaksanakan (compliance) dan penegakan hukum

(enforcement) adalah proses yang dapat dilakukan bila kegiatan pemantauan and

evaluasi seiring dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemantauan

dibutuhkan untuk memastikan adanya kepatuhan akan persyaratan yang mengikat.

Pemantauan dan evaluasi bertujuan untuk memastikan bahwa program dilaksanakan

dengan efektif dan sesuai dengan persyaratan, tujuan, dan prinsip perundang-undangan.

Bahkan, institusi-institusi yang dibentuk untuk melakukan pemantauan seharusnya juga

digunakan untuk upaya penegakkan hukum. Ada perbedaan penting antara pemantauan

dengan penegakkan hukum.

Walau demikian, pemantauan seharusnya memastikan bahwa program tetap

mematuhi hukum; penegakkan hukum memastikan bahwa tindakan yang tepat akan

diambil jika program keluar dari jalur hukum. Penegakkan hukum memiliki beberapa

tujuan: untuk menginformasikan pada masyarakat tentang cara yang tetap untuk

menerapkan perundang-undangan; menciptakan keengganan untuk melanggar hukum;

serta memberi ganjaran yang setimpal jika terjadi pelanggaran hukum. Agar

penegakkan hukum efektif, harus dibuat serangkaian peringatan dan sanksi, dengan

hukuman yang semakin berat jika jumlah dan jenis pelanggaran semakin besar.

Penegakkan hukum sangat penting, bahkan bila programnya bersifat sukarela.

Contohnya, jika kabupaten/kota menerima bantuan dari pemerintah pusat, harus ada

semacam dorongan untuk memastikan bahwa (1) program kabupaten/kota akan terus

dilaksanakan dengan cara yang konsisten dengan persyaratan, prinsip dan tujuan

program; dan (2) bantuan itu digunakan sesuai perundang-undangan.

Harus dicatat bahwa alternatif-alternatif, baik altenatif pemerintah atau non-

pemerintah, untuk lembaga-lembaga hukum akan sama dengan alternatif bagi lembaga

yang melakukan pemantauan. Rekomendasi yang diberikan sama seperti yang telah

disebutkan di atas.

Page 114: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

113

Ada beberapa mekanisme penegakkan hukum yang dapat digunakan sebagai yaitu :

1. Sanksi (Sanction). Sanksi melibatkan serangkaian peringatan dan hukuman

finansial untuk pelanggaran perundang-undangan. Hukuman dapat berupa

pengurangan,penundaan bantuan, dan jika pelanggaran yang dilakukan tergolong

berat dapat mengakibatkan pencabutan sertifikasi (perijinan).

2, Denda Sipil (Civil Fines). Denda melibatkan serangkaian pembayaran yang harus

dilunasi oleh pelanggar hukum. Hal ini diberlakukan untuk persyaratan hukum yang

bersifat mengikat.

3. Sanksi kriminal (Criminal Sanction). Sanksi kriminal adalah hukuman untuk

pelanggaran yang lebih serius dan bentuknya dapat berupa hukuman penjara.

Penghargaan dapat diberikan bagi daerah yang melaksanakan program dengan baik

dan sesuai perundangan yang berlaku.

7.2.11. Penyelesaian Konflik

a. Penanganan Konflik

Dalam penanganan konflik dikenal berbagai istilah seperti pencegahan konflik

(prevention), pengelolaan konflik (management), resolusi konflik (resoluion),

penyelesaian konflik (settlement), dan pilihan penyelesaian sengketa (alternaive dispute

resolution atau ADR).

Pencegahan Konflik (conflict prevention) adalah upaya untuk mencegah konflik

sebelum konflik tersebut memuncak, menjadi negatif dan destruktif, yang biasanya

ditandai dengan kekerasan (violence). Upaya pencegahan konflik dapat dilakukan

dengan tiga cara :

a. Mengantisipasi munculnya konflik kekerasan (konflik kekerasan belum muncul);

b. Mencegah konflik yang sedang berlangsung (on going) agar tidak meluas; dan

c. Mencegah terjadinya pengulangan terjadinya lagi konflik kekerasan (reemergence).

Salah satu metode pencegahan konflik yaitu sistem peringatan dini--SPD (crisis

earlywarning) dan sistem tanggap dini – STD (crisis early response). SPD merupakan

kegiatan pengumpulan dan penganalisaan informasi yang berasal dari wilayah konflik

yang bertujuan:

1. Melakukan antisipasi terhadap kemungkinan meningkatnya konflik kekerasan;

2. Pengembangan mekanisme tanggap yang bersifat strategis terhadap krisis;

3. Penyampaian terhadap pilihan-pilihan langkah pencegahan kepada pihak yang

kompeten (critical actors) sebagai bahan pengambilan keputusan.

Page 115: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

114

Efektifitas SDP sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain:

1. Aksesibilitas dan kualitas informasi mengenai aspek sosial, ekonomi dan politik

yang menjadi kontrbusi terhadap kekerasan dalam masyarakat (communal

hostilities);

2. Ketelitian /kedalaman dan obyektifitas analisis dari informasi-informasi

sebagaimana disebutkan pada no. 1 diatas;

3. Strategi penanggapan yang tepat serta keinginan kuat dari penentu kebijakan untuk

mencegah konflik kekerasan.

Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan publik

(public policy makng process) juga berfungsi mencegah konflik kekerasan. Dengan

keterbukaan dan akses publik terhadap informasi (access to information), serta peluang

masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan publik – kesemuanya

ini dapat mencegah timbulnya kembali berbagai kebijakan publik yang tidak

mencerminkan keadilan yang dapat memicu konflik kekerasan, baik yang bersifat

vertikal maupun horisontal.

Dengan demikian, kewajiban untuk membuka informasi kepada masyarakat dan

mekanisme pelibatan masyarakat di tingkat nasional maupun lokal dalam proses

pengambilan keputusan publik harus dijamin oleh sistem hukum nasional, dan

dibudayakan dalam masyarakat.

Transparansi dan demokratisasi pengambilan keputusan di bidang lingkungan

hidup dan sumber daya alam paling tidak harus meliputi:

1. Akses masyarakat setempat/adat (natural resources dependant people) terhadap

sumber daya alam yang merupakan sumber kehidupan mereka sehari-hari;

2. Akses masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang;

3. Akses masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal);

4. Akses masyarakat terhadap proses penerbitan izin usaha;

5. Akses masyarakat terhadap proses pengawasan, termasuk informasi tentang tingkat

penaatan (compliance rate) suatu kegiatan usaha;

6. Akses masyarakat terhadap proses penegakan hukum lingkungan (administratif,

perdata, maupun pidana);

Page 116: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

115

Disamping Peringatan dan Tanggapan Dini, serta demokratisasi pengambilan

keputusan publik, pengembangan kebijakan sosial, ekonomi, politik yang proaktif, dan

responsif/aspiratif dapat mencegah munculnya konflik yang bersifat kekerasan.

Kebijakan ekonomi disini, termasuk kebijakan tentang pemerataan dalam

pemanfaatan sumber daya alam. Kebijakan sosial dan politik termasuk didalamnya

kebijakan-kebijakan yang menghapuskan kekerasan negara dan kebijakan yang bersifat

militeristik dalam menanggapi tuntutan kebebasan berpendapat, serta kebijakan-

kebijakan yang anti diskriminatif.

Pengelolaan konflik (conflict management) mempunyai

tendensi/kecenderungan untuk memfokuskan pada penanggulangan (mitigation) atau

pengendalian akibat negatif yang muncul dari konflik tersebut tanpa menganggap

penting mencari muara/ penyebab persoalan yang memunculkan konflik tersebut.

Dalam pengelolaan konflik tidak terdapat perubahan struktural terhadap kondisi yang

memunculkan konflik tersebut.

Resolusi konflik merupakan cara menyelesaikan konflik secara kolaboratif

dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga netral dengan cara menghilangkan sumber

permasalahan yang sangat mungkin bersifat struktural. Resolusi konflik disini tidak

berorientasi semata-mata pada hasil kesepakatan akan tetapi berorientasi pada

kesepakatan yang dilandasi oleh pemenuhan kebutuhan bersama antar pihak-pihak

yang terlibat konflik secara seimbang.

Penyelesaian konflik (conflict settlement) berorientasi ada hasil atau adanya

kesepakatan yang belum tentu memenuhi kebutuhan para pihak yang berkonflik tetapi

diterima sebagai suatu kesepakatan karena adanya “tekanan” dengan cara

menggunakan kekuatan (power based). Sedangkan pilihan penyelesaian sengketa

(alternative dispute resolution atau ADR) adalah alternatif penyelesaian sengketa

(sengketa : pertemuan antara berbagai kepentingan yang berbeda yang biasanya

berwujud dalam bentuk “tuntutan”, “sanggahan”, atau “pembelaan”---dilakukan di

dalam maupun di luar pengadilan) .

ADR dapat berbentuk perundingan, mediasi, ataupun arbitrase. Perundingan

adalah cara menyelesaikan sengketa secara langsung antara pihak-pihak yang

bersengketa diluar jalur hukum konvensional yaitu pengadilan. Perundingan tidak

selamanya dilaksanakan dengan pola “interest based” yaitu menggali kepentingan-

kepentingan kebutuhan pihak-pihak tersebut untuk kemudian dirangkum menjadi suatu

kesepakatan yang memenuhi kepentingan/kebutuhan bersama. Seringkali pola

Page 117: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

116

perundingan yang dilaksanakan bersifat kompetitif/posisional –pola perundingan

diarahkan pada “menang-kalah” (kepentingan yang satu lebih dominan diakomodir dari

kepentingan yang lain).

Mediasi adalah perundingan dengan bantuan pihak ketiga penengah netral (tidak

memihak). Mediator biasanya tidak hanya netral, tetapi juga dituntut memiliki

keterampilan dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai mediator. Seperti halnya

negosiasi, mediasi tidak selamanya bertumpu pada pola “interest based” atau

penggalian/pengakomodasian kepentingan/kebutuhan bersama. Oleh karenanya, ADR

dalam bentuk negosiasi atau mediasi tidak selamanya bertumpu pada

kepentingan/kebutuhan bersama. Dengan demikian apabila ingin melembagakan

penyelesaian sengketa yang bersifat interest based, maka perlu terdapat penegasan

tentang kata-kata interest based sebelum negosiasi ataupun mediasi.

b. Pendekatan dalam Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa yang efektif menuntut adanya keseimbangan/kesetaraan

kekuatan (equal bargaining power) antara pihak-pihak yang bersengketa. Kesetaraan

kekuatan menciptakan kondisi saling tergantung (interdependensi) dan saling memiliki

kemampuan memberikan“ancaman”. Kondisi saling ketergantungan dan kemampuan

memberikan ancaman memberikan motivasi atau insentif bagi masing-masing pihak

untuk menyelesaikan sengketa/masalah yang dihadapi.

Pendekatan dalam penyelesaian sengketa dapat dibagi kedalam 3 (tiga) jenis:

1. Pendekatan dengan cara penggunaan kekuatan (power based);

2. Pendekatan dengan cara “benar – salah” (right based); dan

3. Pendekatan dengan cara penggalian kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang

bersengketa (interest based).

Pendekatan dengan mendasarkan pada kekuatan (power based) ditujukan untuk

memaksa pihak lain untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk

memecahkan persoalan. Pendekatan dengan cara “benar-salah” (right based) yang

dilakukan melalui mekanisme penyelesaian ajudikatif (arbitrase atau pengadilan)

ditujukan untuk mencari siapa yang benar dan bersalah. Pendekatan ini menghasilkan

solusi “menang-kalah” ( win lose solution).

Page 118: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

117

Pendekatan berdasarkan kepentingan (interest based) adalah pendekatan

penyelesaian sengketa dimana kepentingan serta kebutuhan para pihak digali secara

bersama untuk kemudian dibangun kesepakatan (solusi) yang mampu mencerminkan

kebutuhan serta kepentingan pihak-pihak yang bersengketa secara seimbang (mutually

shared interest). Pendekatan penyelesaian sengketa ini ditujukan untuk mencapai suatu

solusi/kesepakatan yang sifatnya “menang-menang”. Pendekatan penyelesaian

sengketa berdasarkan kepentingan ini dapat dilakukan melalui mekanisme perundingan

(negosiasi) maupun penengahan (mediasi).

Ketiga pendekatan power, right dan interest tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri.

Ketiganya memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Efektifitas dari pendekatan

kepentingan (interest based) akan sangat bergantung pada efektifitas dalam

mendayagunakan pendekatan kekuatan (power based). Disisi lain, pendayagunaan

power based yang tepat dan efektif dapat membantu membangun kekuatan salah satu

pihak yang pada awalnya tidak memiliki kekuatan yang memadai. Disisi lain,

pendekatan right based (ajudikasi) juga daapt didayagunakan sebagai “ancaman” untuk

“menarik” salah satu pihak yang awalnya tidak tertarik untuk menyelesaikan sengketa

melalui perundingan menjadi pada akhirnya termotifasi untuk berunding.

Kesepakatan yang dihasilkan oleh perundingan interest based dalam bentuk

kesepakatan juga membutuhkan pendekatan power based dalam bentuk eksekusi

pengadilan dalam hal kesepakatan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.

Dalam suatu strategi penyelesaian sengketa, ketiga pendekatan ini dapat

berpindah dari satu pendekatan ke pendekatan lainnya tergantung pada konteks

seberapa memadai kekuataan yang dimilki oleh salah satu pihak.

Untuk memilih pendekatan yang paling tepat dari tiga pendekatan di atas dalam suatu

dinamika penanganan kasus, dipergunakan empat kriteria sebagai berikut dibawah ini:

1. Biaya Transaksi

Pemilihan terhadap setiap pendekatan berdampak pada biaya transaksi (transaction

cost) – biaya dalam pengertian waktu, uang, energi yang terkuras akibat emosi yang

timbul dari konflik yang terjadi, sumber daya yang terkuras, serta kesempatan yang

hilang (opportunities lost). Salah satu kriteria untuk menetapkan pilihan dari ketiga

pendekatan diatas adalah seberapa besar biaya transaksi yang akan tersita.

Page 119: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

118

2. Kepuasan terhadap Hasil Akhir

Salah satu kriteria menilai kelayakan dari salah satu pendekatan (power, right atau

interest) adalah dengan cara mengukur kepuasan pihak-pihak yang bersengketa

terhadap hasil akhir. Kepuasan yang dimaksudkan disini didasarkan pada pertimbangan

seberapa jauh hasil kesepakatan mencerminkan kepentingan dan kebutuhan pihak-

pihak yang bersengketa secara memadai. Kepuasan juga ditentukan oleh faktor fairness

(dianggap patut dan adil oleh para pihak) proses penyelesaiannya.

3. Dampak terhadap Hubungan Antar Manusia

Penilaian terhadap seberapa jauh dampak pemilihan salah satu pendekatan terhadap

hubungan antar manusia (hubungan kerjasama yang telah dibangun dan hubungan

jangka panjang antar berbagai pihak) juga merupakan hal yang perlu diperhitungkan.

Kriteria ini mengakomodasikan faktor pentingnya pemenuhan kepentingan psikologis

(pentingnya hubungan antar manusia).

4. Kemampuan Mencegah Konflik Kambuhan (Recurrence)

Salah satu faktor penting untuk dipertimbangkan dalam menetapkan salah satu

pendekatan (power, right, dan interes) adalah seberapa jauh pendekatan tersebut

mampu untuk mencegah konflik/sengketa kambuhan (muncul kembali walaupun

kesepakatan telah dicapai). Sengketa dapat muncul kembali andaikata kesepakatan

yang dihasilkan merupakan kesepakatan semu, atau kesepakatan belum mampu

mencerminkan kepentingan/kebutuhan para pihak secara seimbang. Semakin besar

kemampuan kesepakatan untuk mengakomodasikan kepentingan dan kebutuhan pihak

yang bersiteru, semakin kokoh kesepakatan tersebut bertahan dan dapat secara

konsisten dilaksanakan.

Untuk membangun sistem penyelesaian sengketa yang efektif dalam suatu sistem

hukum, Ury Dkk (1988) berpendapat ketiga pendekatan (power right dan interest)

hendaknya diletakkan dalam posisi prisma normal – kebalikan dengan suatu kondisi

dimana pendayagunaan ketiga kepentingan dalam proporsi seperti digambarkan dalam

bentuk prisma terbalik. Pendekatan sengketa seperti tergambar dalam prisma terbalik

merupakan kondisi yang digambarkan sangat menegangkan (distressed)—sedangkan

prisma normal digambarkan sebagai sistem penyelesaian sengketa yang efektif.

Page 120: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

119

5. Distressed System Effective System

Agar sistem berjalan efektif, dari ketiga pendekatan penyelesaian sengketa diatas, ruang

penggunaan pendekatan berdasarkan kepentingan (interest) harus diberikan porsi yang

lebih besar dibandingkan dengan ruang yang disediakan untuk pendekatan kekuatan

(power) dan pendekatan hukum (right). Idealnya, pendekatan penyelesaian sengketa

yang berdasarkan kepentingan dan kebutuhan merupakan kondisi ideal untuk mencapai

masyarakat yang demokratis.

c. Kesimpulan

Dalam pengaturan penanganan konflik yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah

pesisir perlu ditekankan aspek pencegahan konflik. Aspek pencegahan konflik paling

tidak harus meliputi pengaturan yang mengakui serta membuka ke enam akses

masyarakat. Ada tiga pendekatan dalam penyelesaian sengketa yang perlu

diakomodasikan dalam RUU PWP, yaitu berdasarkan kekuatan (power), berdasarkan

hak (rights) dan berdasarkan kepentingan (inerests based) hak-hak masyarakat agar

masyarakat mempunyai kekuatan dalam melahirkan tekanan publik yang efektif.

Pengembangan pendekatan berdsarkan hak dilakukan dengan cara

mengembangkan hak-hak prosedural untuk memudahkan masyarakat melalui upaya

hukum di pengadilan seperti hak gugat, class actions, strict liability dan pembuktian

terbalik. Sementara pengembangan pendekatan berdasarkan kepentingan dilakukan

dengan cara terlebih dahulu mengembangkan mekanisme pengelolaan pengaduan

masyarakat yang komprehensif. Pengenalan penyelesaian sengketa di luar pengadilan

dapat mengambil contoh dari Pasal 30-33 Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Penyelesaian sengketa merupakan elemen penting dari pengelolaan pesisir terpadu

yang bertujuan utama untuk menyelesaikan konflik antar sektor yang berbeda dan

mendayagunakan sumber daya yang ada. Tujuan lainnya adalah untuk menyelesaikan

sengketa secara adil dan efisien. Konflik dapat timbul dalam hampir seluruh tingkatan

program, mulai dari petunjuk pemerintah pusat hingga kegiatan-kegiatan di tingkat

desa. Tiap tingkatan seharusnya membangun suatu proses untuk menyelesaikan

sengketa. Proses ini beragam bentuknya pada tiap tingkatan, tergantung jenis kegiatan

dan keputusan yang dilaksanakan. Namun, proses-proses itu umumnya dapat

digolongkan ke dalam empat kategori sebagai alternatif.

Page 121: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

120

Alternatif 1: Penyelesaian hukum pengadilan (Court adjudication). Penyelesaian

sengketa melalui sistem peradilan yang berlaku. Kelebihannya, pendekatan ini

mengandalkan pada kerangka penyelesaian sengketa yang sudah ada. Kekurangannya,

pendekatan ini bersifat formal dan lamban, serta cenderung tidak menghasilkan

keputusan-keputusan yang mendukung pengelolaan pesisir terpadu.

Alternatif 2: Penyelesaian secara administrasi (Adminstrative adudication). Sebuah

proses penyelesaian yang dilaksanakan di tingkat daerah, sama halnya dengan

pengadilan hukum administrasi. Kelebihan alternatif ini, resolusi ini dapat dicapai

dengan cepat dan tidak seformal sistem pengadilan. Selain itu, para hakim

mengkhususkan diri pada hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya pesisir. i j

Alternatif 3: Mediasi (Medation). Pihak yang bersengketa dapat mencari media

perantara, atau pihak ketiga yang netral dan obyektif untuk membantu mencapai

kesepakatan. Kelebihan alternatif ini bahwa dalam proses mediasi pihak-pihak yang

bersengketa terlibat langsung tanpa campur tangan lembaga pemerintah yang dapat

bertindak memihak. Adapun kekurangannya adalah tidak adanya kepastian akan

penyelesaian karena proses ini membutuhkan kesepakatan dari semua pihak yang

bersengketa. i

Alternatif 4: Arbitrase (Arbitration). Pihak yang bersengketa dapat melakukan arbitrasi,

atau menyepakati keputusan yang dibuat oleh pihak ketiga yang netral dan obyektif.

Kelebihannya, arbitrasi umumnya tidak terlalu formal dan tidak memakan waktu

banyak dibandingkan dengan proses penyelesaian hukum.

Alternatif 5: Adat (Traditional customary). Jika dianggap layak, pihak yang

bersengketa dapat memilih penyelesaian masalah dengan menggunakan sistem adat

yang berlaku untuk penyelenggaraan pemerintahan.

Alternatif 6: Musyawarah untuk mufakat (Win-win solution). Sesuai dengan semangat

dalam kebersamaan, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan secara musyawarah

untuk mufakat. Pelaksanaan musyawarah dapat disponsori oleh pihak pemerintah

ataupun tokoh adat, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama. Alternatif ini memberikan

hasil yang sangat baik dan biasanya dapat diterima semua pihak.

Alternatif yang dipilih:

Alternatif yang dipilih adalah kombinasi 2, 3, 4, 5, 6. Namun pilihan yang disarankan

adalah mediasi. Bahwa pilihan alternatif untuk penyelesaian sengketa dibutuhkan agar

program tetap fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Selain itu,

Page 122: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

121

memberi kesempatan untuk memilih proses penyelesaian pada pihak yang bersengketa

akan lebih mendorong mereka untuk menjalankan hasil dari proses yang dicapai.

Sebagai konsekuensinya. Di rekomendasikan agar semua proses alternatif diresmikan

sehinggga pihak yang bersengketa dapat leluasa memilih cara penyelesaian yang

dianggap cocok.

7.3. Mekanisme Hukum dan Kelembagaan

Mekanisme terdiri dari perundang-undangan dan lembaga yang dibentuk untuk

mencapai tujuan dari pengelolaan pesisir terpadu yang bersifat lokal (decentralized).

Tujuan utama dari mekanisme adalah mengembangkan pengelolaan pesisir di seluruh

Indonesia. Seperti telah dibahas sebelumnya dalam Bab 3 (tiga) Naskah Akademis ini,

bahwa banyak persoalan yang timbul di bidang sumber daya pesisir dan laut di

Indonesia. Mekanisme ini ditujukan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

Namun, masih banyak persoalan yang belum terselesaikan lantaran perundang-

undangan yang berlaku saat ini tidak efektif. Karenanya, sebuah perundang-undangan

baru dibutuhkan.

7.3.1 Mekanisme Pentaatan dan Penegakan Hukum

Mengembangkan konsep penegakan hukum dan penaatan (enforcement and

compliance) dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir perlu terlebih dahulu

menelusuri faktor penyebab kegagalan hukum dan penegakan hukum dalam konteks

pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pengelolaan wilayah pesisir.

Pengidentifikasian faktor penyebab memudahkan kita untuk mengembangkan berbagai

pilihan solusi. Berbagai solusi tersebut diharapkan dapat diwadahi dan difasilitasi

dalam norma peraturan perundang-undangan quad non UU Pengelolaan Wilayah

Pesisir.

Beberapa penyebab kegagalan hukum dan penegakan hukum dapat diidentifikasi

sebagai berikut :

a. Kehendak politik penyelenggaraan negara (eksekutif dan legislatif) yang belum

menganggap penting pengintegrasian pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan dan berbasiskan kepentingan rakyat banyak (ecologically

sustainable development – ESD) ke dalam pengambilan keputusan atas pengelolaan

sumber daya publik termasuk didalamnya pengelolaan wilayah pesisir;

Page 123: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

122

b. Peraturan perundang-undangan sektoral tidak selamanya sinkron dengan prinsip-

prinsip ESD yang terangkum dalam konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu;

c. Kondisi penyelenggara negara (governance) sangat buruk (bad governance) –

termasuk peradilan yang belum mampu menjalankan peranannya sebagai “rumah

keadilan” bagi pencari keadilan (masyarakat);

d. Kapasitas penegak hukum sangat tidak memadai – kuantitas, kualitas maupun

integritas (di tingkat pengawas/inspektur, penyidik/PPNS maupun polisi,

jaksa/penuntut maupun hakim/pemutus);

e. Tekanan masyarakat (civil society) dalam mendorong tingkat penaatan belum

memadai.

f. Orientasi penegakan hukum kuratif (setelah masalah muncul dan menimbulkan

kerugian masyarakat dan perusakan lingkungan) dan pendekatan Command and

Control (atur dan awasi) masih sangat dominan;

Dari berbagai penyebab tersebut diatas maka pengenalan konsep penegakan

hukum konvensional (penegakan hukum administratif, perdata dan pidana) –

sebagaimana dianut oleh mayoritas peraturan perundang-undangan kita – dapat menjadi

sangat kontra produktif. Agar efektif, penegakan hukum konvensional yang lebih

dikenal dengan pendekatan Command and Control (CAC) atau “Atur – Dan Awasi”

(ADA) memiliki berbagai prasyarat, yang belum kita miliki:

1. Kemampuan pemerintah untuk mendeteksi adanya pelanggaran;

2. Kemampuan pemerintah untuk menanggapi pelanggaran dengan cepat dan pasti

(swift & sure responses);

3. Kemampuan aparat penegak hukum (terutama pengadilan) dalam memberikan

sanksi yang dapat menimbulkan efek jera (detterent effect).

Ketiga prasyaratan diatas, keberadaannya sangat ditentukan oleh kemampuan

dan integritas aparatur pemerintah dan penegak hukum, serta peradilan yang

independen -- elemen-elemen ini merupakan elemen penting dalam good governance.

Sejalan dengan pembenahan aparatur pemerintah dan penegak hukum dan lembaga

peradilan yang kini sedang dilakukan, maka pemberlakuan pendekatan tunggal (single

approach) yaitu pendekatan CAC atau ADA tidak akan efektif dalam mencapai tujuan

penegakan hukum di Indonesia yaitu kepatuhan menjalankan (compliance) nilai-nilai

perlindungan daya dukung sumber daya alam, khususnya wilayah pesisir.

Page 124: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

123

Sebagai solusi terhadap rentannya penggunaan CAC dalam iklim governance

seperti di Indonesia, maka pemberlakuan berbagai pendekatan secara integratif dan

komperhensif diperlukan seperti pendekatan-pendekatan penaatan (compliance

approaches) dalam sebuah Undang-undang sebagai berikut :

a. Pendekatan “Atur - Dan - Awasi” atau Command and Control (CAC);

b. Pendekatan Insentif/Ekonomi (Economic Approach);

c. Pendekatan Perilaku (Behaviour Appoach);

d. Pendekatan Tekanan Publik (Public Pressure Approach).

a. Pendekatan Atur – Dan – Awasi (ADA)

Pendekatan “Atur-Dan-Awasi” (ADA) pada dasarnya adalah sumber pencemar (atau

yang berpotensi mencemarkan) dicegah untuk melakukan pelanggaran terhadap

persyaratan perlindungan fungsi lingkungan hidup melalui ancaman hukuman.

Pemberlakuan ADA sebaiknya ditekankan pada penegakan hukum administrasi dengan

mendayagunakan kewenangan aparatur pemerintah (tata usaha negara) untuk

mencegah perilaku menyimpang ataupun merusak melalui perangkat hukum

administrasi :

i. Izin;

ii. Persyaratan pencegahan dan pengendalian dampak yang tertuang dalam izin;

iii. Mengembangkan kapasitas dan mempersiapkan aparat pengawas (inspektur) secara

memadai dengan strategi penyebaran secara proporsional dalam konteks geografis

(aparat tersebut bertugas melakukan fungsi pengawasan terhadap penegakan dan

penaatan yan tertuang dalam izin tersebut);

Mekanisme pengawasan, termasuk pengawasan yang mendayagunakan

masyarakat disamping pengawasan yang dilakukan aparatur pemerintah; dan,

Sanksi administratif yang pemberlakuannya secara bertahap dan sistematis (lihat

piramida) . Penekanan (stressing) pada penegakan hukum administrasi tidak berarti kita

mengabaikan aspek penegakan hukum hukum pidana dan perdata.

Pemberlakuan penegakan hukum pidana perlu dirancang tidak terbatas pada

pemberlakuan sanksi pidana pada pelaku langsung (physical perperator), tetapi juga

terhadap organisasi perusahaan (corporaion) sebagai funconal perpetrator. Organisasi

perusahaan tidak hanya terbatas pada korporasi sebagai badan hukum, akan tetapi

pemimpin korporasi (corpoate director/s). Pemberlakuan tindak pidana korporasi ini

Page 125: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

124

diharapkan dapat lebih mendorong (push factor) korporasi sebagai pelaku potensial

terhadap perusakan wilayah pesisir untuk mengikutsertakan kepeduliannya dalam

strategi pengelolaan perusahaannya (internalising sustainable developmen into

corporae srategy). Dengan demikian ancaman hukuman pidana akan terdiri dari

ancaman hukuman terhadap pelaku fisik/langsung berikut orang-orang yang turut serta,

badan hukum, pemimpin korporasi dan pemberi perintah.

Penegakan hukum perdata dapat dirancang sebagai wadah untuk pemulihan hak

melalui kompensasi individual bagi pihak yang menderita kerugian, maupun

kompensasi publik, yaitu kompensasi atas kerugian yang diderita oleh negara dan biaya

pemulihan atau rehabilitasi wilayah pesisir yang rusak. Penegakan hukum perdata ini

juga dapat dirancang melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan melalui pendekatan

interest based yaitu negosiasi ataupun mediasi. Pemberian hak gugat (standing to sue)

juga tidak dibatasi pada pihak yang nyata-nyata menderita kerugian, akan tetapi juga

bagi organisasi yang memiliki keperdulian akan penyelamatan ekosistem wilayah

pesisir tanpa harus organisasi tersebut memiliki kepentingan kepemilikan (propietary

interest). Konsep pertanggungjawaban perdata (liability) meliputi pertanggung jawaban

melalui pembuktian berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dan pertanggung

jawaban tanpa penggugat membuktikan kesalahan (liability without fault) atau srict

liability.

Mengingat kerusakan wilayah pesisir dapat menimbulkan kerugian masal

(massaccident) maka prosedur tuntutan hukum hendaknya juga memberlakukan

prosedur class action

(gugatan perwakilan kelompok) yang juga dikenal dalam berbagai

peraturan peundang-undangan nasional seperti UU Nomor 23 tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen,

dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.

b. Pendekatan Insentif/Ekonomi

Pendekatan insentif dalam bentuk instrumen ekonomi ini sangat disukai oleh

objek yang diatur oleh peraturan perundang-undangan (egulated community) karena

pelaku usaha akan melihat peluang keuntungan ekonomis apabila dilakukan penaatan

terhadap peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pendekatan ini, setiap

penanggung jawab usaha/kegiatan yang berpotensi merusak ekosistem wilayah pesisir,

secara rasional akan menghitung terlebih dahulu sejauh mana keuntungan akan mereka

peroleh apabila melaksanakan penaatan (compliance) atau melakukan pelanggaran

Page 126: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

125

(violaion). Sedangkan pendekatan insentif instrumen non ekonomi dapat

dikembangkan melalui publikasi kinerja usaha/kegiatan (performance rating), atau

sertifikasi (certification) yang terkait dengan usaha pengelolaan wilayah pesisir,

kepentingan ratusan, ribuan, ratusan ribu atau jutaan orang lainnya (anggota kelas/class

members) yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian

Salah satu contoh misalnya dengan mewajibkan kepada perbankan untuk

memberikan kredit hanya kepada perusahaan yang terkait dengan pengelolaan wilayah

pesisir yang tingkat ketaatannya terhadap nilai-nilai lingkungan sangat baik.

c. Pendekatan Perilaku (Behaviour approach)

Pendekatan ini menekankan pada pentingnya motivasi manusia (human

motivation) dengan pengembangan kerjasama melalui perundingan/negosiasi,

meyakinkan dunia usaha tentang pentingnya penaatan melalui program pendidikan dan

pemberian bantuan atau dukungan teknis. Pendekatan ini memandang masyarakat yang

tidak kompeten dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup sebagai obyek pengaturan.

Pendekatan perilaku yang dituangkan dalam bentuk pendidikan dan bantuan

teknis sebaiknya dicantumkan sebagai kewajiban bagi pemerintah lokal (kota /

kabupaten). Pemerintah lokal sekligus bertanggung jawab untuk mengembangkannya.

d. Pendekatan Tekanan Publik (Publc Pressure Approach)

Pendekatan ini menekankan pentingnya pendayagunaan kekuatan masyarakat

dalam memberikan tekanan (pressure) dalam mendorong objek legislasi/regulasi agar

mematuhi peraturan. Pendekatan ini dapat diwujudkan melalui berbagai cara, seperti;

Proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup masyarakat secara

transparan/terbuka dengan pengertian lain undang-undang ini memperkenalkan setiap

proses pengambilan keputusan yang terkait dengan pemanfaatan dan konservasi

wilayah pesisir harus dilakukan secara transparan dan terbuka dengan cara membuka

akses pada masyarakat mempengaruhi keputusan tersebut ; Akses publik terhadap

informasi; Akses publik untuk terlibat dan berperan serta dalam proses pengambilan

keputusan; Ketersediaan mekanisme pengelolaan pengaduan masyarakat terhadap

setiap perilaku yang dapat merusak ekosistem wilayah pesisir dan kerugian yang

ditimbulkan dari kerusakan wilayah pesisir.

Page 127: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

126

Cara pertama, kedua, dan ketiga telah diatur dan diakomodir dalam Peraturan

Pemerintah No.27 tahun 1999 tentang AMDAL dan Keputusan Bapedal No.8 tahun

2000 tentang Peran Serta Masyarakat

Keempat pendekatan tersebut dapat diakomodasikan secara terintegrasi di

dalam RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir. Dengan demikian peranan undang-undang

ini tidak hanya saja menjalankan fungsi regulasi/pengaturan dengan pemberlakuan

strategi konvensional Atur-Dan-Awasi (ADA), akan tetapi Undang-undang ini

sekaligus memberi wadah bagi melembaganya nilai-nilai demokratik dan berorientasi

pada konsep penaatan secara terintegrasi dan komprehensif.

7.3.2. Mekanisme Sistem Kelembagaan

Komponen pertama dari mekanisme sistem kelembagaan adalah pengembangan

sebuah ketentuan hukum baru, yakni sebuah perundang-undangan. Perundang-

undangan ini akan mencantumkan persyaratan bagi pemerintah pusat untuk

mengembangkan pedoman bagi pengelolaan pesisir terpadu. Perundangan ini juga akan

menciptakan sebuah kerangka kerja bagi pemerintah kabupaten/kota dan rakyatnya

untuk mengelola sumber daya pesisir dengan cara yang bermanfaat bagi seluruh bangsa,

serta bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Kesemuanya itu dapat dilaksanakan

dalam sebuah proses yang terpadu.

Kerangka kerja ini akan dikembangkan pada semua tingkatan pemerintahan,

dalam suatu rangkaian bertingkat, dan akan mempengaruhi tiap keputusan yang akan

dibuat. Secara khusus, pemerintah pusat akan mengembangkan pedoman untuk

membantu pemerintah daerah. Pedoman ini akan mencantumkan proses-proses

pengembangan program untuk memastikan adanya keterlibatan publik, keterbukaan

dan pertanggungjawaban. Pedoman tersebut juga akan memasukkan kriteria untuk

memastikan keabsahan ilmu yang digunakan dan pemanfaatan informasi; standar

pengelolaan untuk memastikan keseimbangan dan kesinambungan pendayagunaan

sumber daya pesisir. Jika perlu, Provinsi dan kabupaten/kota dapat mengembangkan

program-program yang sejalan dengan pedoman tersebut. Apabila pemerintah pusat

setuju, bantuan dapat dihibahkan kepada pemerintah daerah yang melaksanakan

program-program tersebut.

7.3.3. Kelembagaan

Kunci keberhasilan pengelolaan pesisir terpadu adalah pengembangan sebuah

mekanisme prosedural untuk mengkoordinasikan kebijakan anggaran dan kebijakan

Page 128: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

127

pengelolaan. Mekanisme ini akan menentukan proses untuk tiga jenis koordinasi dalam

pembuatan keputusan mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya pesisir: (1)

koordinasi antara pemerintah dan kalangan swasta; (2) koordinasi vertikal antara

berbagai tingkatan pemerintah—kabupaten/kota, provinsi dan pusat; dan (3) koordinasi

horizontal antara berbagai sektor pada tiap tingkatan pemerintahan. Tiap tingkatan

pemerintahan akan memiliki peran dalam mengelola dan memelihara sumber daya

pesisir di Indoneisa. Dan mekanisme ini akan menentukan peran-peran tersebut. Secara

khusus, mekanisme ini tergantung pada organisasi antar sektor untuk membuat

keputusan-keputusan bersama. Di beberapa kabupaten dan provinsi, organisasi tersebut

mungkin sudah terbentuk, tapi di beberapa daerah lain mungkin perlu didirikan

organisasi yang baru.

7.4. Pelaksanaan Mekanisme

Bagian ini memberikan ilustrasi mengenai bagaimana mekanisme kelembagaan

diterapkan atau dilaksanakan. Langkah pertama dalam pelaksanaan mekanisme adalah

pembentukan sebuah proses antar sektor untuk menangani hal-hal yang berkaitan

dengan pengelolaan pesisir. Proses ini melibatkan sebuah organisasi yang

beranggotakan seluruh instansi terkait, perwakilan dari para stakeholeder, seperti

pemerintah Provinsi dan kabupaten, LSM dan para akademisi. Proses ini juga terdiri

dari mekanisme penyelesaian sengketa, seperti penyampaian permasalahan dari dalam

organisasi kepada pihak berwenang yang lebih tingggi tingkatannya, misalnya kepada

seorang menteri koordinator atau presiden. Proses semacam ini akan memenuhi tujuan

yang telah disebutkan di atas, yakni mengkoordinasikan lembaga dan menciptakan

keharmonisan antara interpretasi hukum yang berbeda-beda.

Langkah berikutnya adalah penyusunan pedoman. Pedoman tersebut akan

mencakup semua aspek dalam pengelolaan pesisir terpadu. Pedoman akan terdiri dari

kebijakan-kebijakan, standar serta kriteria. Pedoman ini akan merupakan dasar bagi

pemerintah daerah untuk mengembangkan program-program pengelolaan pesisir

terpadunya masing-masing. Pedoman ini juga menjadi dasar untuk sertifikasi: bila

pemerintah pusat menemukan bahwa program daerah telah memenuhi standar, kriteria

dan arahan, maka pemerintah pusat dapat mengesahkan program daerah tersebut.

Pedoman sebagian besar terdiri dari standar yang mengikat yang mencakup

prinsip-prinsip yang dibahas. Pedoman juga akan mencantumkan langkah-langkah

penting yang bersifat umum dalam upaya mencapai koordinasi, partisipasi,

Page 129: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

128

keterbukaan, pengetahuan ilmiah yang baik dan kepastian hukum. Proses untuk

mempersiapkan pedoman akan bersifat terbuka dan transparan. Rancangan pedoman

tersebut kemudian dikonsultasikan pada masyarakat.

Setelah disempurnakan dan disebarluaskan, pedoman akan diuraikan ke dalam

penjelasan yang lebih terinci oleh Provinsi. Provinsi akan mengembangkannya sesuai

dengan pedoman nasional, tetapi lebih terinci untuk yurisdiksi masing-maing, dan

disesuaikan dengan dengan kebutuhan serta kemampuan daerahnya. Pedoman Provinsi

akan mencantumkan informasi spesifik mengenai inventori sumber daya, pemetaan dan

penggunaan lahan, yang menjadi dasar untuk rencana tata ruang. Termasuk juga

didalamnya adalah informasi mengenai wilayah pengelolaan tertentu serta metodologi

khusus untuk pengendalian pencemaran.

Kabupaten harus mentaati pedoman yang bersifat mengikat tentang hal-hal yang

berkaitan dengan kepentingan nasional atau kesepakatan international. Namun,

kabupaten/kota dapat menentukan kemudian jika mereka ingin mengembangkan

sebuah program yang bersifat suka rela yang sejalan dengan pedoman pusat dan

Provinsi. Bila mereka ingin melakukannya, mereka dapat meminta bantuan teknis dan

finansial dari pemerintah pusat dan Provinsi. Program-program ini pada dasarnya

merupakan rencana kegiatan (action plan) dari pelaksanaan pedoman yang dikeluarkan

oleh pemerintah pusat dan Provinsi.

Pedoman yang bersifat tidak mengikat ini memiliki dua keuntungan. Pertama,

kabupaten dapat memperoleh tambahan pengetahuan mengenai cara mengelola sumber

daya secara terpadu dan berkesinambungan. Kedua, kabupaten akan dapat meminta

bantuan finansial dan teknis dari pemerintah pusat dan Provinsi.

Program kabupaten perlu mentaati persyaratan prosedur dan substantif dari

pedoman. Hal ini termasuk persyaratan yang memastikan bahwa program akan

dikembangkan dengan cara terpadu dan transparan, dengan melibatkan konsultasi dan

partisipasi publik. Termasuk juga didalamnya adalah persyaratan yang memastikan

bahwa program kabupaten dirancang sedemikian rupa untuk menangani permasalahan

dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Setelah pengembangan program, kabupaten

akan bekerja sama dengan Provinsi untuk menyerahkan program tersebut kepada

pemerintah pusat untuk dianalisa. Jika program memenuhi maksud dan tujuan pedoman

pemerintah pusat serta persyaratannya, maka program itu akan disetujui dan disahkan

oleh pemerintah pusat.

Page 130: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

129

Setelah pengesahan, kabupaten/kota akan memperoleh keuntungan tambahan,

termasuk bantuan finansial dan teknis untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang

termasuk dalam program.

Setelah program disahkan, akan ada kewajiban menyerahkan laporan tahunan

dan pemantauan, untuk memastikan bahwa program tetap dilaksanakan sesuai dengan

pedoman nasional. Selain itu, kabupaten/kota perlu memperbaharui ijin program secara

berkala, misalnya tiap lima tahun sekali. Pemerintah pusat, sesuai persyaratan yang

menyangkut kepentingan nasional dan hukum internasional, akan memberlakukan

sanksi dan penegakan persyaratan bagi komponen-komponen dari sebuah program

kabupaten/kota. Namun, tidak ada sanksi atau denda untuk komponen program yang

bersifat sukarela. Sebaliknya, jika kabupaten/kota tidak melaksanakan program

sebagaimana mestinya, pemerintah pusat akan menunda hibah atau bantuan.

Kabupaten/kota akan diberi kesempatan untuk memperbaiki kekurangannya, dan bila

berhasil, baru hibah akan dikucurkan. Namun demikian, bila pelaksanaan program tetap

keluar dari jalur semula, maka bantuan dapat dibatalkan, dan pada akhirnya perijinan

juga akan dicabut.

Page 131: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

130

BAB VIII

PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR

8.1. Optimalisasi Pemanfaatan

Bila mekanisme pengelolaan tersebut dilaksanakan maka diharapkan dapat

mengoptimalkan keberadaan sumberdaya wilayah pesisir. Secara ekonomis, hasil

pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut dapat memberikan kontribusi pendapatan asli

daerah kabupaten atau kota. Disamping itu, perlu memperhatikan faktor-faktor iinternal

lingkungan alam dan internal sosial, sehingga tidak mengekspolitasi sumberdaya

wilayah pesisir. Dalam mengeksploitasi sumberdaya alam hayati maupun sumber daya

nir-hayati, harus memperhitungkan faktor internal tersebut. Karena faktor internal akan

mempengaruhi kondisi dari pengelolaan sumberdaya dimasa yang akan datang.

Pengelolaan sumberdaya pesisir daerah juga harus mempertimbangkan

karakteristik bio-geofisik lingkungan pesisir daerah, sehingga pemanfaatan wilayah

pesisirnya dapat dipertahankan secara terus menerus tanpa mengorbankan kebutuhan

generasi yang akan datang (ecologically sustainable use). Dengan memperhatikan

karakteristik-karakteristik bio-geofisik lingkungan pesisir tersebut, maka dapat

dioptimalkan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir disamping dapat

menyumbangkan PAD bagi pembangunan daerah yang berkelanjutan, menjaga

kelestarian alam, serta sumberdaya pesisir sehingga tidak habis tereksploitir untuk

generasi yang akan datang.

8.2. Efisiensi Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir

Efisiensi pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir merupakan target yang perlu

dicapai. Upaya-upaya yang perlu diterapkan agar dalam pengelolaan sumberdaya

pesisir yang berkaitan dengan adanya penataan ruang daerah dalam pengelolaan

sumberdaya pesisir. Dalam perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan daerah,

dengan memperhatikan segala aspek-aspek, agar dalam perencanaan dan pengelolaan

ruang dan sumberdaya pesisir yang efisien dapat tercapai.

Pengelolaan sumberdaya pesisir yang terencana dan berkelanjutan, berkembang

dari pemanfaatan ruang yang efisien. Pemerintah daerah kabupaten atau kota akan

melakukan penataan ruang daerah sesuai dengan kondisi daerah, sehingga penataan

ruang tidak mengikuti penataan ruang yang ada sebelumnya. Dalam penataan ruang

yang efektif, akan menghasilkan ruang dan pengelolaan yang efisien. Dengan

memperhatikan kondisi penataan ruang daerah ini, akan memberikan kontribusi pada

Page 132: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

131

penerimaan daerah. Potensi daerah merupakan bagian dari penataan ruang, yang akan

dapat digali dan akan dapat dikelola oleh daerah.

8.3. Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir

Pengeloaan sumberdaya wilayah pesisir baik yang dilakukan oleh swasta dan

oleh pemerintah daerah untuk kepentingan publik, akan dapat saling menjaga

kelestarian wilayah pesisir. Keterpaduan antar sektor yang berkepentingan dalam

pengelolaan wilayah pesisir harus saling memperhatikan kondisi wilayah pesisir, tidak

saling berebutan dalam mengeksploitasi sumberdaya hayati maupun nonhayati demi

kepentingan sektor. Pada umumnya pihak swasta dalam mengelola sumberdaya

wilayah pesisir dengan tidak memperhatikan kondisi wilayah, sehingga hanya

berorientasi pada profit saja. Pemerintah daerah kabupaten atau kota, tidak hanya

mengejar laju pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan asli daerah (PAD), tetapi

harus memperhatikan keterpaduan antara sektor dalam pemanfaatan dan pengelolaan

sumberdaya wilayah pesisir daerah.

Pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir daerah yang dikelola oleh sektor-

sektor yang tidak saling tumpang tindih (sustainable use), dapat dilakukan apabila

pihak-pihak sektor-sektor terkait telah melakukan koordinasi perencanaan penataan

ruang wilayah pesisir. Dengan membuat zona-zona peruntukan dan pemanfaatan

wilayah pesisir, daerah akan mendapatkan hasil yang optimal dalam pengelolaan

sumberdaya wilayah pesisir.

8.4. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Berkeberlanjutan

The ultimate goal dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini adalah

termanfaatkannya sumberdaya pesisir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan

pembangunan nasional pada saat ini, tetapi tidak mengorbankan kelestarian

sumberdaya pesisir tersebut dalam memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang.

Untuk itu, laju pemanfaatan sumberdaya pesisir harus dilakukan kurang atau sama

dengan laju regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi untuk menemukan

substitusi sumberdaya nir-hayati.

Page 133: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

132

DAFTAR PUSTAKA

Adhuri, D.S. 1998. Who can challenge them? lesson learned from attempting to curb

cyanide fishing in Maluku, Indonesia. Life Reef Fish Information Bulletin No.

4 pp. 12-17.

Alfred, 1998. Personal Communication. 27 Juli 1998, 06.00 – 06.20 pm in Desa

Malalayang, Manado.

Berkes, F. 1994. Property rights and coastal fisheries, p. 51-62. In Pomeroy, R.S. (ed.)

Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia

and The Pasific: concepts, methods and exeriences. ICLARM Conf. Proc. 45,

189 p.

Bromley D.W. and Cernea M.M. 1989. The Management of Common Property Natural

Resources: some conceptual and operational fallacies. The World Bank,

Washington, D.C.

BPHN. 1995. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pengaturan Pengelolaan Sumber Daya

Alam di Wilayah Pantai. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen

Kehakiman, Jakarta.

Clark, J.R.1996.Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers, Boca Raton,

FL.

Crawford, B. 1998. Personal Communication. 13 January 1998, 07.00 – 08.00 am in

Novotel, Manado – North Sulawesi.

Dahuri, R., 2000, Konsepsi Pendekatan Penataan Ruang dalam Menunjang

Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir, Pantai, dan Pulau-pulau Kecil,

makalah pada Temu Pakar “Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir”, Jakarta.

Dahuri, R., 2000, Konsep Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,

makalah pada Kegiatan Apel Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut,

Surabaya.

Dahuri, R., S. P. Ginting, J. Rais, M. J. Sitepu, 1996, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah

Pesisir dan Lautan secara Terpadu, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.

Dako, R. 1998. Personal Communication. 27 Juli 1998, 11.00 – 12.00 am in Desa

Malalayang, Manado.

Darwanto, H., 2000, Mekanisme Pengelolaan Perencanaan Tata Ruang Wilayah

Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil serta Hubungan antar Perencanaan

Page 134: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

133

Tingkat Kawasan, Kabupaten, Provinsi, dan Basional, makalah pada Temu

Pakar “Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir”, Jakarta.

Den Hartog, C., 1970, The Seagrasses of the world, North Holland Publishing Co.,

Amesterdam.

Departemen Kehutanan.,1995, Pedoman Penetapan Kriteria Baku Kawasan Konservasi

Laut, Ditjen PKA-Dephut, Bogor.

Diposaptono, S. dan Afianto YA, 1996, Survei dan Model Tsunami Biak, Konvensi

Benua Maritim, Ujung Pandang.

Diposaptono, S, 2000, Tsunami History and database in Indonesia, Proceeding of the

3rd

Multilateral Workshop on development of Earthquake and Tsunami

Disaster Mitigation Technologies and their Integration for the Asia-Pacific

Region, Manila.

Djalal, D.P. 1996. The Geopolitics of Indonesia's Maritime Territorial Policy. Centre

For Strategic And International Studies, Jakarta.

Dutton, I.M. 1998. Personal Communication. 13 January 1998, 07.00 – 08.00 pm in

Novotel, Manado – North Sulawesi.

Ginting, S. P. 1998. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Di Sulawesi Utara

Dapat Mengancam Kelestarian Pemanfaatannya. P. 30-43 VOL 1. NO. 2.

Jurnal Pesisir dan Lautan. PKSPL-IPB, Bogor.

Ginting, S. P. 1998. Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Masyarakat. Jurnal

Pembangunan Daerah. Ditjen Pembangunan Daerah Edisi 2/II/98.

Ginting, S. P. 1998. Implikasi Otonomi Daerah Dalam Pengembangan Prasarana Di

Wilayah Pesisir. Jurnal Pembangunan Daerah. Ditjen Pembangunan Daerah.

Ginting, S. P. 2000. Conflict of Coastal Management Jeopardize The Sustainability of

Coastal Resources in North Sulawesi. Paper for The 9th

International Coral

Reef Symposium, Bali 23 – 28 October 2000.

Goldberg, S. B., Sander, F. E. A., Rogers, N. H., 1992, Dispute Resolution: Negotiation,

Mediation, and Other Processes, Little, Brown and Company, Boston.

Hardin, G. 1968. The tragedy of commons. Science (Vol. 166), p. 1243-1248. USA

Hinrichsen, D. 1997. Coasts in Crisis. In M.C. Miller and J. Cogan, (eds) Coastal Zone

97 (Vol. 1), Boston, MA, proceeding of the Tenth Coastal Zone Conference,

Boston, July 19-25.

Page 135: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

134

Hutomo,M., W Kiswara & M.H Azkab, 1988, The status of Seagrass Ecosystem in

Indonesia: Resource, Problems, Research and Management, Paper presented

at Seagram I, Manila 17-22 January 1988.

Iswanto, H., 1993, Penguasaan Tanah Tumbuh di Sub DAS bengawan Solo Hulu,

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

IUCN, 1990., IUCN Red List of Threatened Animal, WCMC, UK.

Katril, 1998. Personal Communication. 27 Juli 1998, 05.00 – 05.30 pm in Desa

Malalayang, Manado.

Knight, M., 2001, Masukan Hasil Studi Wisata Internasional bagi Pengelolaan Pesisir

Terpadu di Indonesia, CRMP-CRC/URI, Jakarta.

Kriekhoff, V. J. L., 1993, Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum, dalam T.

O. Ihromi (penyunting), ) Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai,

Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Kusumaatmadja, S., 2000, Sumberdaya Perikanan dan Kelautan sebagai Potensi

Pertumbuhan Ekonomi, …..

Lalamentik, L. 1998. Personal Communication. 9 January 1998, 08.30 – 09.30 am, in

Wisata Hotel – Jakarta.

Mahadi, 1976, Tanah Timbul di Danau Toba, Badan Pembinaan Hukum Nasional,

Jakarta.

Malik, R. 1998. Personal Communication. 13 March 1998, 03.00 – 03.30 pm in NRM

Secretariat Jakarta.

Manado Post, 1997. Warga di lokasi reklamasi resah; pantai ditimbun, nelayan takut

kehilangan tempat parkir perahu. Manado Post Daily 20.09.97, Manado –

North Sulawesi.

Mantjoro, E. 1997. An Ecological and Human History of Bentenan and Tumbak

Villages. Coastal Resource Management Project - Indonesia, Manado.

Matindas, R.W. 1998. Personal Communication. 13 January 1998, 01.00 – 03.00 pm in

Kungkungan Bay Resort, Bitung - North Sulawesi.

McKean, M.A. 1992. Success on commons: a comparative examination of institutions

for common property resource management. Journal of Theoretical Politics,

4(3):247-281.

Nader, L. & H. F. Todd Jr. (editors), 1978, The Dispute Process: Law and Ten Societies,

Columbia University Press, New York.

Page 136: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

135

Naskah Akademik RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan.

Oakerson, R.J. 1992. Analyzing the commons: a framework. In Bromley, D.W., general

editor; coeditors Feeny, D… et al. "Making The Commons Work: Theory,

Practice", and policy. Institute for Contemporary Studies Press, San

Francisco, C.A.

Ostrom, E. 1990. Governing the Commons : the evolution of institutions for collective

action. Cambrigde University Press, New York.

Ostrom, E. 1992. The rudiment of the theory of the origins, survival, and performance

of common property institutions. In Bromley, D.W., general editor; coeditors

Feeny, D… et al. "Making The Commons Work: Theory, Practice", and

policy. Institute for Contemporary Studies Press, San Francisco, C.A.

Roberts, S., 1979, Order and Dispute: An Introduction to Legal Anthropology, Penguin

Books, Harmonsworth.

Rossiter, W.W. 1997. Fisheries conservation crisis in Indonesia: massive destruction of

marine mammals, sea turtles and fish reported from trap nets in pelagic

migratory channels. This information is taken from internet: William Rossiter,

President Cetacean Society International and Steve Morris.

Ruddle, K., Hviding E., and Johannes R.E. 1992. Marine resource management in the

context of customary tenure. Marine Resource Economics, (7), pp. 249-273.

Saad, S., 2000, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan: Eksistensi dan Prospek

Pengaturannya di Indonesia, disertasi pada Program Pascasarjana Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sharp, N. 1998. Terrestrial and Marine Space in Imagination and Social Life. ARENA

Journal, 10, 51-68.

Soegiarto,A. & N. Polunin, 1981, The Marine Environment of Indonesia. A Report

Prepared for the Government of the Republic of Indonesia, Under The

Sponsorship of the International Union for Conservation of Nature (IUCN)

and the World Widelife Fund (WWF).

Suara Pembaharuan. 1997. Pembantaian biota laut langka di selat Lembeh

memprihatinkan, in Suara Pembaharuan Daily, 29 May 1997, Jakarta.

Sulastriyono, 2000, Pluralisme Hukum dan Permasalahan Pertanahan, dalam E. K. M.

Masinambow (editor), Hukum dan Kemajemukan Budaya, Penerbit Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta.

Page 137: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

136

Supit, S.A. 1998. Personal Communication. 16 January 1998, 06.30 – 07.30 pm in

Bentenan Beach Resort, North Sulawesi.

Supriharyono, M.S. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah

Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Tusy, A. 1998. Perlindungan Lingkungan Perairan Laut terhadap Pencemaran yang

berasal dari Darat, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengendalian

Limbah Industri dan Pencemaran Laut, BPPT, Jakarta.

White, A.L. Hale, L.Z. Renard, Y. and Cortesi, L. 1994. Collaborative and Community

Based Management of Coral Reef: lessons from experience. Kumarian Press,

Inc., West Hartford, Connecticut.

Zerner, C. 1994. Tracking Sasi. The transformation of a central moluccan reef

management institution in Indonesia. In White, A.L. Hale, L.Z. Renard, Y.

and Cortesi, L. Collaborative and Community Based Management of Coral

Reef: lessons from experience. Kumarian Press, Inc., West Hartford,

Connecticut

Page 138: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

137

LAMPIRAN

Isu Pokok / Identifikasi Malasah Pegelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Provinsi Sulawesi Utara

Meskipun telah ada keterlibatan berbagai pihak dalam bentuk multi stakeholder

dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, sektor kelautan dan Perikanan baru

memberikan sumbangan yang relatif kecil terhadap pembangunan Sulawesi Utara. Hal

tersebut berdampak pada berkembangnya wilayah pesisir menjadi kantong-kantong

kemiskinan, Masyarakat pesisir tetap identikk dengan kemiskinan dan kelompok

margina! karena hanya sekitar 20 persen yang makmur dan sejahtera (Dualistic

economy), Potensi sumberdaya alam yang begitu besar belum dapat dimanfaatkan

secara optimal untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pesisir

karena rendahnya kuafitas sumberdaya manusia (SDM) masyarakat pesisir,

pendekatan para stakeholder masih bersifat sektoral, parsial, dan tidak berwawasan

berkelanjutan, Bahkan sebagian kawasan dan sumberdaya laut telah mengalami

kerusakan lingkungan serius serta tetap maraknya praktek illegal fishing dan illegal sea

sand mining, Sejumlah isu pokok pembangunan wilayah pesisir dan lautan Sulawesi

Utara telah diidentifikasi Tim Penyusunan Dokumen. Sejalan dengan hal tersebut di

atas, maka dalam rangka pembuatan ataupun penataan kembali atau reregulasi Undang-

undang di bidang Perikanan serta

Peraturan Daerah khususnya kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara agar

sejalan dengan keinginan dan semangat otonomi daerah yang terpadu /integrslistik

dengan Undang-undang tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, maka yang

paling penting dan mendesak pemerintah lakukan adalah menyangkut beberapa hal

sebagai berikut;

1. Pengaturan tentang pelimpahan hak dan tanggungjawab pemerintah kepada

daerah otonom menyangkut bidang pesisir dan laut.

2. Pengaturan tentang penguasaan, penyewaan dan atau larang penjualan

pulau-pulau besar dan kecil oleh pemerintah kepada swasta.

3. Pengaturan tentang hak ulayat masyarakat pesisir/masyarakat tradisional atau

pengaturan tentang "penguasaan hak milik" (property rights) atas

sumberdaya alam psrikanan kepada masyarakat (adat).

4. Pengaturan tentang hubungan .kewenangan antara pemerintah (pusat),

Page 139: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

138

dengan provinsi atau hubungan kewenangan antara kabupaten/kota dengan

provinsi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (marine resources) di

wilayah pesisir dan taut pada zona konservasi, penyanggah, dan produk maupun

pada zona perairan tertentu.

5. Pengaturan tentang pengeloiaan kemitraan penggunaan sumberdaya setempat

(focal community) di wilayah pesisir dan laut antara pemerintah/daerah otonom

dengan nelayan lokal/tradisional (consept co-management, community-based

fisheries management), konsep pengeloiaan berbasis kerakyatan.

6. Pengaturan tentang lalulintas di wiiayah perairan daerah Kabupaten/Kota.

7. Peraturan tentang perizinan nelayan moderen dan kapal-kapal nelayan asing dan

syarat-syarat penangkapan ikan di wilayah perairan nasional, provinsi dan

kabupaten/kota.

8. Pengaturan tentang hubungan kewenangan antara daerah otonom atas

wilayah perairan seluas 4 mil, serta penarikan garis pangkal atas wilayah

perairan daerah pesisir yang tidak mencukup iuas 4 mil.

9. Pengaturan tentang penggunaan tata ruang perairan.

10. Pengaturan tentang kelembagaan dan pengawasan wilayah perairan

perikanan.

11. Pengaturan tentang keamanan wilayah perairan perikanan daerah otonom.

12. Pengaturan tentang yurisdiksi hukum (locus delicti) daerah otonom terhadap

wilayah perairan kabupaten/kota dan provinsi.

13. Pengaturan tentang peranserta masyarakat (clas action) dalam melindungi dan

melestarikan sumberdaya perikanan.

14. Pengaturan tentang penyidikan/penegakan hukum di wilayah perairan daerah

otonom.

15. Pengaturan tentang fenomena pengkaplingan wilayah perairan dan

sumberdaya pesisir dan laut.

16. Pengaturan tentang pengalih fungsian (konversi) hutan mangrove di wilayah

perairan pesisir menjadi tembak atau peruntukan lainnya serta rehabilitasinya

melalui penanaman kembali hutan bakau.

17. pengaturan tentang penarikan garis pembatas jalur-jalur penangkapan I, II, III

yang pengaturannya mencu pada Keputusan Menteri Pertanian No,

392/KFTS/IK, 120/4/1999, untuk klasifikasi nelayan tradisional dengan

nelayan moderen.

Page 140: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

139

18. Pengaturan tentang perlindungan (konservasi) berbagai biota laut baik dari

jenis, ukuran umur dan spesies ikan tertentu.

19. Pengaturan sanksi yang berorientasi lingkungan; rehabilitasi, ganti rugi dan

denda serta biaya pemulihan dan pemeliharaan wilayah marine and coastal

lingkungan (secara kumutatir).

20. Standarisasi teknologi ramah lingkungan yang digunakan di dalam

pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan. Siapa yang

mengatur dan menguji teknologi yang dapat digunakan di dalam pemanfaatan

sumberdaya pesisir dan lautan; 1), alat tangkap, ukuran a!at tangkap , 2), alat

bantu penangkapan, ukuran ikan, spesies ikan, jumlah dsb.

Ukuran ikan yang dapat ditangkap nelayan untuk semua spesies ikan

1. Siapa yang harus mengawasi dan memeriksanya.

2. Ukuran minimal ikan yang dapat ditangkap.

3. Skafa usaha yang dapat melakukan penangkapan ikan.

4. Berapa besar yang harus dieksploitas.

21. Pelembagaan model pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut berdasarkan

prinsip desentralisasi dengan tetap mengedepankan integrasi pengelolaan.

22. Regulasi Daerah Penangkapan ikan untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan

1. Jenis alat tangkap ikan yang dapat beroperasi

2. Ukuran panjang alat tangkap

3. Berapa jumlah alat yang dapat beroperasi di daerah tersebut

23. Ukuran GT kapal yang dapat beroperasi pada suatu daerah penangkapan ikan

dan jenis peralatan yang digunakan (Alat tangkap dan atat bantu penangkapan

ikan)

24. Tanah timbul di sekitar muara sungai, siapa yang paling berhak didalam

mengelola dan memaraakannya serta status kepemilikannya.

25. Pengelolaan dan tanggungjawab terhadap beberapa ekosistem di wilayah

pesisir yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan kehancuran

ekosistem tersebut.

26. Pencemaran perairan akibat pembuangan dari kapal-kapal, industri, pertanian

dan rumah tangga baik yang berasal dari darat dan laut.

27. Mekanisme pengairan pencemaran perairan di wilayah pesisir dan !aut yang

berasal dari : 1. limbah industri, 2, Limbah cair pemukiman, 3. Limbah cair

perkotaan, 4. Pertambangan, 5, Pelayaran, 6. Pertarnian dan 5. Perikanan

Page 141: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

140

budidaya.

28. Regulasi setiap bahan pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah

misalnya misalnya ; sedimen, unsur hara, logam beracum, pestisida, sampah,

organisme, organisme patogen dan oxygen depleting substance misalnya

sedimen yang menutupi biota laut, terumbu karang.

29. Regulasi pembangunan kawasan pemukiman diwilayah pantai yang dapat

merusak ekosistem di wilayah pesisir

30. Batas wilayah dan kewenangan di wilayah pesisir dan status hukum

kepemilikan serta penggarapan lahan oleh masyarakat di wiiayah pesisir.

31. Diperlukan adanya regulasi Kegiatan pemanfaatan sumberdaya pasir dan batu-

batuan di wilayah pantai.

32. Kontribusi bagi suatu daerah yang warganya melakukan aktifitas didaerah lain.

Misalnya nelayan Pangkep menjual atau menangkap ikan ikannya di

Makassar dan lain-iain.

33. Regulasi mengenai Pajak komoditi perikanan dan kelautan terhadap daerah

sumber komoditi dan penghasil komoditi khususnya dalam hal : 1), Ekspor. 2).

Antar pulau, 3). Lokal.

34. Membatasi jumlah input dan output, Pembatasan output membatasi jumlah

tangkapan berdasarkan kuota dan pembatasan input yang menyangkut jumlah

pelaku, jumlah dan jenis kapal, serta jenis alat tangkap.

35. Praktik pengambilan sumberdaya alam yang tidak ramah lingkungan berupa

penangkapan ikan berlebihan di beberapa wilayah tertentu hingga

menimbulkan kerusakan laut dan degradasi fisik habitat pesisir.

36. Penggunaan fishing right (hak pemanfaatan sumberdaya perikanan) pada suatu

wilayah tertenttu dalam batas yunsdiksi yang jelas. Dalam sistem ini, hanya

pemegang fishing right yang berhak melakukan kegiatan perikanan disuatu

wilayah yang tidak memiiiki izin tidak boieh menangkap ikan.

37. Bagi kalangan pemerintah, ketiadaan pengaturan pengelolaan wilayah pesisir

telah menyebabkan tumpang tindihnya kewenangan antar departemen atau

instansi. Di wilayah pesisir hampir semua sektor mempunyai kewenangan

disitu mereka mendesain kebijakan berdasarkan kepentinqan sektornya. Hal ini

perlu dibenahi oleh DKP dimasa depan. Kalau itu terus dibiarkan dengan

kebijakan apa pun investasi Tidak akan bisa aman. Karena akibat dari tumpang

tindihnya kewenangan seperti itu para investor kita bingung harus kemana.

Page 142: Buku Ajar Hukum Pesisir - INSPIRE Portal

141

Bagi dunia usaha, hal itu menyebabkan ketidakpastian berusaha dan birokrasi

yang berbelit-belit sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi, Sedangkan

bagi masyarakat pada umumnya, hai itu telah menyebabkan terbatasnya akses

dan tidak terjaminnya hak atas pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam dan

jasa-jasa lingkungan pesisir.

38. Perlindungan terhadap kearifan masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya

pesisir dan lautan.

39. Pengaturan tentang kawasan industri budidaya.

40. Pengaturan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan o!eh nelayan andon

(migrasi).

41. Regulasi tentang kompensasi daerah dan masyarakat di daerah nursery dan

fishing ground.

42. Pembangunan kelautan dan perikanan harus berbasis kerakyatan/ daerah apabila

tujuannya untuk menggerakkan pembangunan ekonomi daerah. khususnya

daerah kepulauan atau terpencil dan sulit dijangkau. Dangan pembangunan

berbasis daerah, maka perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan

pembangunan menjadi tanggung jawab pemehntah dan masyarakat di daerah.

Hal seperti ini pula akan memberikan insentif bagi daerah untuk sepenuhnya

melakukan pengelolaan perikanan melalui peningkatan efekrivitas

pengawasan sehingga usaha perikanan bisa berjalan optimal dan berkelanjutan.

43. Penentuan batas pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan bagi setiap

Kabupaten/Kota. Hendaknya memperhatikan beberapa hal, seperti untuk

konteks perikanan mesti melihat sifat-sifat penyebaran atau migrasi ikan dan

kesatuan ekologi dimana sumberdaya itu berada. Untuk penetapan batas

wilayah pengelolaan tersebut diperlukan koordinasi dan kerjasama dengan

daerah lain, karena bagaimana pun sumberdaya bersifat lintas batas

administrasi, sehingga dimungkinkan adanya wilayah pengelolaan bersama.