“bukankah hati kita...
TRANSCRIPT
Tesis Daniel K. Listijabudi
Bab 1
“Di mana aku dapat menemukan Tuhan?”
“Ia tepat di depanmu.” “Lalu mengapa aku tidak melihat Dia?”
“Mengapa orang mabuk tidak melihat rumahnya?” Menyusul Sang Guru berkata,
“Temukan apa yang membuat engkau mabuk. Untuk melihat engkau harus sadar.”1
1. LATAR BELAKANG
1.1. Mistik Kristen dan Zen
Di Indonesia, wacana populer tentang Mistik dalam hubungannya dengan
kekayaan dari berbagai agama dan atau tradisi religius2, sedikit banyak ikut di ramaikan
dengan diterbitkannya beberapa buku cerita meditatif yang dimaksudkan untuk
pendalaman hidup rohani karangan pastor Yesuit berkebangsaan India, Anthony de
Mello. Buku-buku de Mello antara lain Burung Berkicau (terbitan Cipta Loka Caraka,
1984), Sejenak Bijak (terbitan Kanisius, 1987), Doa Sang Katak 1 (terbitan Kanisius,
1990), Doa Sang Katak 2 (terbitan Kanisius, 1990), Berbasa-basi sejenak 1 (terbitan
Kanisius dan Obor, 1997), Berbasa basi sejenak 2 (terbitan Kanisius dan Obor, 1997) .
Dalam prakata buku Burung Berkicau Mello menulis,
di dalam buku ini disajikan banyak cerita, baik kuno maupun modern.
Cerita-cerita ini dikumpulkan dari lingkungan keagamaan Buddha, Hindu
dan Kristen; dari aliran Zen dan Sufi serta daerah Hasidi, Rusia dan
1 Anthony de Mello, Sejenak Bijak (Yogyakarta, 1987), p. 72. 2 Yang dimaksudkan dengan tradisi religius meliputi ajaran-ajaran moral (tulisan maupun lisan) yang terejawantahkan dalam literatur, bahasa, kebiasaan, festival, mitologi, legenda, kisah dan agama rakyat. Namun selain itu juga meliputi makna, pemikiran religius dan perspektif serta pandangan hidup tentang semesta. Lihat Archie C.C. Lee, Cross-Textual Interpretation and Its Implications for Biblical Studies, tanpa tahun, p.5.
1
Tesis Daniel K. Listijabudi
Tiongkok....ingat-ingatlah cerita itu sepanjang hari dan biarkanlah
keharuman atau getaran nadanya membayangi anda. Biarkanlah cerita itu
berbicara kepada hati anda, bukan kepada otak anda. Cara ini juga
mungkin membuat anda menjadi seorang mistik.3
Sedangkan dalam pengantar buku Sejenak Bijak, Mello menulis,
Sang Guru dalam cerita-cerita ini bukanlah satu orang. Ia itu Guru Hindu,
Roshi Zen, Sang Bijak Tao, Rabbi Yahudi, rahib Kristen, Sufi mistik, Lao
Tze dan Sokrates, Budha dan Yesus, Zarathustra dan Muhammad.
Ajarannya ditemukan di abad ketujuh sebelum Masehi dan pada abad ke-
20 ini. Kebijaksanaannya itu milik Timur dan Barat bersama....jika anda
membaca halaman cetakan ini, dan bergulat dengan bahasa Guru yang
penuh rahasia, mungkin sekali tanpa sengaja anda akan sempat
menemukan Ajaran Keheningan yang tersembunyi di dalam buku ini, dan
terbangun serta jadi berubah.4
Di dalam kehidupan mistik, terangkumlah pengalaman orang-orang dari
berbagai tradisi dan agama. Itulah sebabnya dalam salah satu sub bab buku
Fenomenologi Agama karangan Mariasusai Dhavamony yang bertajuk
“Mistisisme”, Dhavamony melakukan pembahasan ke atas pengalaman Zen,
mistisime Hindu, dan kaum Sufi5. Sementara itu mistikus Kristen William
Johnston dalam buku terbarunya yang berjudul Teologi Mistik, Ilmu Cinta juga
mengetengahkan berbagai pengalaman mistik non Kristen di samping kajian
tentang pengalaman mistik dalam lingkup Kristen.6 Ketika kajian terhadap
pengalaman religius dilakukan, orang akan menemukan adanya ketegangan
kreatif yang dialektis di antara keunikan pengalaman dalam tradisi religiusnya
sendiri dan “getaran-getaran frekuensi ” yang digaungkan oleh tradisi religius
3 Anthony de Mello,. Burung Berkicau (Jakarta, 1984), p.10, 11. 4 Anthony de Mello, Sejenak Bijak (Yogyakarta, 1987), p. 7,8. 5 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Kanisius, 1995), p. 273-290. 6 William Johnston, Teologi Mistik Ilmu Cinta, (Kanisius, 2001).
2
Tesis Daniel K. Listijabudi
lain. Tesis ini ditulis dalam kesadaran akan adanya ketegangan kreatif yang
dialektis itu.
Dalam kesadaran semacam tadi, dalam tesis ini ada dua tradisi religius
yang hendak digumuli oleh penulis yakni mistik Kristen dan Zen. Minat penulis
atas pilhan ini didasarkan pada beberapa hal : (1) kesadaran adanya hibriditas di
kalangan orang Kristen Tionghoa di Indonesia; (2) realitas keberadaan
Buddhisme di Indonesia sebagai salah satu konteks pluralitas agama; (3)
ketertarikan pada kajian di seputar pengalaman religius manusia; (4) minat pada
pendalaman dialog intra dan interreligiusitas, serta (5) adanya kajian sistematis
yang menunjukkan afinitas di antara mistik Kristen dan Zen.
Kita dapat mengasumsikan adanya afinitas yang relatif erat antara mistik
Kristen dan Zen. Terhadap kedua hal ini perlu diberikan keterangan terlebih
dahulu. Mengenai mistisisme, haruslah disadari adanya banyak definisi
tentangnya. Justru karena itu batasan tentang hal ini menjadi diperlukan. Dalam
hal ini penulis mengetengahkan apa yang dipahami oleh Allister Mc Grath
tentang mistisisme dalam rangka diskusi mengenai spiritualitas kristiani, yakni
sebagai :
an approach to the Christian faith which places particular emphasis
upon the relational, spiritual, or experential aspects of the faith, as
opposed to the more cognitive or intellectual aspects, which are
traditionally assigned to the field of theology...on the basis of this
understanding of the term, a “mystic” or “mystical writer” is a Christian
who deals primarily with the experiencing of God and with the
transformation of the religious consciousness7
7 Alister E. Mc Grath, Christian Spirituality, (Oxford, 1999), p. 5
3
Tesis Daniel K. Listijabudi
Sedangkan mengenai Zen, di tahap ini dapat dikemukakan apa yang ditulis oleh
Thomas Merton. Pakar Zen dari ordo Jesuit ini menulis,
sukar bagi kita untuk memberikan batasan secara tepat apa itu
pengalaman Zen, karena tradisi Zen sendiri menolak setiap abstraksi
ataupun penggambaran deskriptif mengenainya....namun setidaknya
dengan menyadari hal tersebut dapat dikatakan bahwa Zen adalah
kesadaran ontologis mengenai ada yang murni di seberang subjek-
objek, suatu pemahaman yang langsung mengenai ada-nya dalam
kebegituannya.8
Beberapa orang Kristen - terutama ordo Jesuit - yang menggeluti Zen
menuliskan pendalaman yang mendukung nisbah kedua hal tersebut9. Johnston
menulis tentang pastor Jesuit pakar Zen yang bernama Enomiya-Lassalle,
sebagai berikut :
ketika Enomiya-Lassalle “memperkenalkan praktek Zen kepada
ratusan orang kristen ia mendapatkan perlawanan. Pencerahan Zen,
demikian konon kabarnya, adalah pencerahan monisme, dan tidak
cocok dengan Injil. Terhadap hal ini Lassalle menjawab bahwa dia
dan orang-orang kristiani lainnya sekilas pandang telah melihat satori
dan bahwa satori jauh dari menjauhkan mereka dari Injil, sebaliknya,
pengalaman itu memperdalam komitmen mereka kepada Yesus
Kristus....Menurut Lassalle Zen dapat dipadukan ke dalam agama
kristen di mana orang berbakti kepada Yesus, Injil dan Gereja10.
Lassale bahkan menyatakan bahwa “satori yang merupakan mutiara indah
kebudayaan dan agama Asia itu tidak hanya dapat dipadukan (dengan
8Thomas Merton, Mystics & Zen Masters (New York, 1967), p. 14. 9 Misalnya, H.M. Enomiya-Lassalle, ZEN Way to Enlightenment (London, 1966), Thomas Merton, Mystics & Zen Masters (New York, 1967), William Johnston, The Still Point, reflections on Zen and Christian Mysticism, (New York, 1970), JK Kadowaki SJ, Zen and The Bible, A Priest’s Experience, (London, 1977), William Johston, Teologi Mistik, Ilmu Cinta (Yogyakarta, 2001). 10 William Johston, Teologi Mistik, Ilmu Cinta (Yogyakarta, 2001), p. 131-132
4
Tesis Daniel K. Listijabudi
Kekristenan) melainkan harus dipadukan”11. Menurut Johnston, “pendekatan
Lassalle ini terus menerus membangkitkan masalah yang tidak dapat dihindari,
yakni masalah teologi dan pastoral”12. Sayang sekali Johnston tidak menjelaskan
maksudnya lebih jauh. Walaupun ada “perlawanan” dari pihak Kristen (tentang
kemonismean13 Zen) dan Buddhis14, namun Lassalle tidak mengubah
pendiriannya. Ia tidaklah sendirian dalam mendalami hubungan dialektis antara
Zen dan Kekristenan ini. Thomas Merton misalnya, ketika menelaah guru Zen
bernama Hui Neng, menulis,
Hui Neng’s Zen is not a “liberation” from matter in order to “bind” us to
interior purity, dhyana, illumination, and so on. It is a liberation from all
forms of bondage to techniques, to exercises, to systems of thought and of
spirituality, to specific forms of individual spiritual achievement, to limited
and dogmatic social programs. Hui Neng’s aim was the direct awareness in
which is formed the ‘truth that makes us free’ – not the truth as an object of
knowledge only, but the truth lived and experienced in concrete and
existential awareness. For this reason it is axiomatic in the Zen of Hui Neng
that works and external concerns should in no way be regarded as
obstacles to Zen; on the contrary, Zen is manisfested in them as well as
anywhere else, including eating, sleeping, or humblest material functions. If
the Zen of Hui Neng is properly understood, we see that it is in fact a
necessary condition for the ‘convergence’.... But it is not by itself a sufficient
11 William Johston, Teologi Mistik, Ilmu Cinta (Yogyakarta, 2001), p. 131-132. Mengenai pendalaman dan “how to” dari pemaduan ini, telah pernah ditulis Johnston dalam bukunya The Still Point, reflections on Zen and Christian Mysticism (lihat catatan kaki no. 9). 12 Ibid, p. 132. 13 Dalam A New Dictionary of Christian Theology diuraikan pemahaman monisme dalam hubunganya dengan epistemologi, filsafat dan teologi Kristen. Monisme dalam pengertian sederhana sebagai paham yang beranggapan bahwa segala sesuatu berasal dari satu asas sering juga dikaitkan dengan pantheisme yang ekspresi klasiknya dirumuskan dengan deus sive natura (Allah, yang adalah, alam)…dalam diskusi teologis monisme dianggap oleh beberapa orang ada dalam teologi proses terutama dalam gagasan Alfred North Whitehead yang meyakini adanya satu realitas utama yang mengaktualisasikan diri dalam semua entitas yang dapat kita ketahui dan pikirkan. Ini oleh beberapa orang disebut sebagai panentheisme. Lihat Alan Richardson & John Bowden, A New Dictionary of Christian Theology (London, 1983), p. 380. 14 William Johston, Teologi Mistik, Ilmu Cinta (Yogyakarta, 2001), p. 132. Beberapa masalah datang dari para Buddhis yang menganggap Zen Lassalle, yang memisahkan Zen dari Buddhisme Zen, adalah Zen bidaah (gedo Zen).
5
Tesis Daniel K. Listijabudi
condition. We must also look to the transcendent and personal center upon
which this love, liberated by illumination and freedom, can converge. That
center is the Risen and Deathless Christ in Whom all are fulfilled in One.15
Dari pernyataan Thomas Merton di atas kita mendapatkan masukan mengenai
hubungan yang dekat bahkan konvergen di antara pencerahan Zen dengan
peristiwa Yesus Kristus yang menjadi inti iman Kristen kita. Keterkaitan Zen dan
iman Kristen yang memperkaya kajian terhadap Alkitab telah dicoba dilakukan
secara cukup mendetail oleh J.K. Kadowaki, S.J. Dalam bukunya , Zen and The
Bible, A Priest’s Experience, J.K. Kadowaki mendalami beberapa bagian Alkitab
dari perspektif Zen. Kutipan-kutipan dari Alkitab yang didalami itu antara lain
adalah :
“Jika matamu menyesatkan engkau, cungkil dan buanglah” (Mat
5:29), “Bertobat dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1: 15), “Hidup
kekal” (1 Yoh 2), “Yesus dan perempuan yang berzinah” (Yoh 8 : 2-
11), “Unta dan lubang jarum” (Mrk 10:25), “Dosa satu orang dan
kematian semua orang” (Roma 5: 12-19), “Berbahagialah orang yang
miskin” (Lukas 6:20), “ Pandanglah burung-burung di udara” (Mat
6:26), “Inilah tubuhku” (Mat 26: 26), “Kasihilah musuhmu” (Luk 6 ; 35-
36), “Tubuhmu adalah Bait Allah”(1 Kor 6:19), “Jika biji gandum itu
mati ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24), “Salib
Yesus”(Mrk 15: 16-37), “Salib dan kebangkitan Yesus”.16
Kadowaki telah membuktikan bahwa pendekatan semacam ini dimungkinkan. Jalan ke
arah pendalaman dialektis Zen dan Kekristenan yang digagas oleh Lassalle dan Merton
semakin jelas “bentuk”nya. Salah satu kenyataan tekstual yang amat kuat mendasari
didalaminya pendekatan semacam ini adalah karena kita memiliki teks-teks yang
berdimensi mistik dan sekaligus mengandung pencerahan. Dalam Kekristenan teks
15 Thomas Merton, Mystics & Zen Masters (New York, 1967), p. 42. Konvergensi, adalah gagasan yang oleh Zaehner dipahami sebagai suatu era baru dalam kajian religiusitas manusia, lih Merton p. 3 dst. 16 Dalam buku JK Kadowaki, Zen and The Bible, A Priest’s Experience, (London, 1977).
6
Tesis Daniel K. Listijabudi
Kitab Suci adalah sumber utama untuk mendalami kehidupan beriman dan teologi,
termasuk di dalamnya teologi mistik. Tentu saja tidak semua bagian Kitab Suci berbicara
tentang teologi mistik, namun demikian harus dicatat bahwa ada teks-teks yang
kandungan mistiknya amat kental. William Johnston menulis,
Ada naskah-naskah tertentu yang mengandung nilai istimewa untuk teologi
mistik yang terus diulang oleh para bapa gereja, yakni : Naskah Doa Bapa
Kami, kisah Maria yang bersimpuh menghadap kaki Yesus yang menjadi
model anutan paling bagus mengenai kontemplasi, naskah-naskah penting
lain ada dalam surat-surat Paulus misalnya Galatia 2 :20 (“Aku hidup, tetapi
sekarang bukan aku, melainkan Kristus yang hidup di dalam diriku”), surat 1
Korintus 6: 17 (“barangsiapa bersatu dengan Tuhan menjadi satu roh dengan
Dia”), juga pengalaman Musa yang beralih rupa ketika mendaki gunung ....
Bagi orang-orang Kristen perdana kata-kata liturgi yang didaraskan ketika
mereka berkumpul di meja Tuhan untuk memecahkan roti (“Inilah tubuhKu
yang diserahkan bagimu. Inilah piala darahKu, darah perjanjian Baru dan
Kekal yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan
dosa. Kenangkanlah Aku dengan merayakan peristiwa ini”), adalah kata-kata
yang paling bermakna dalam seluruh Kitab Suci. Kata-kata itu mematrikan
misteri iman : wafat dan kebangkitan Yesus. Dengan demikian pusat
pengalaman religius orang Kristen –pengalaman yang akhirnya menjadi
acuan semua teologi mistik- adalah mati dan bangkit bersama Yesus yang
telah wafat dan telah bangkit.”17
Selain bagian Kitab Suci yang disajikan Johston itu, kita pun cukup terbiasa
mengenali bahwa ada bagian-bagian lain dalam Kitab Suci yang mengemukakan
teologi mistik misalnya Injil Yohanes yang sarat dengan teologi Unio Mystica antara
Bapa, Yesus dan orang-orang yang percaya (Yohanes 17), juga pengalaman mistik
Paulus dalam 2 Korintus 12 : 2-418.
17William Johston, Teologi Mistik, Ilmu Cinta (Yogyakarta, 2001)., p. 30 18 Christopher Rowland, The Open Heaven, A Study of Apocalyptic In Judaism and Early Christianity, (New York, 1982), p. 380-381; Lihat juga tesis Pasca Sarjana karya Firman Panjaitan, Teologi Mistik sebagai Jalan Hidup, (Yogyakarta, 2003).
7
Tesis Daniel K. Listijabudi
1.2. Teks Emaus, sebuah ajuan
Penulis beranggapan bahwa berkaitan dengan dialektika mistik Kristen dan
pencerahan Zen, daftar teks kitab Suci yang dikemukakan dalam paragraf di atas (selain
yang dipergunakan oleh Kadowaki maupun yang ditunjukkan oleh Johnston) masih bisa
bertambah. Oleh karena itu penulis bermaksud mengajukan penelaahan tentang suatu
bagian dari kisah Injil, terutama kisah perjumpaan Yesus yang bangkit dengan para
murid, yang menurut penulis mengandung kadar mistik yang perlu digali dengan
mendalam. Teks itu adalah kisah Emaus dalam Lukas 24 : 13-35. Sejauh yang
diketahui oleh penulis, kisah Emaus ini belum banyak didalami dalam kerangka
dialektika mistik Kristen dan Zen. Mengapa demikian ? Barangkali ada beberapa
kemungkinan, yakni (a) bisa jadi pendapat bahwa teks Emaus ini berdimensi mistik
adalah pendapat yang salah, atau (b) sebetulnya teks Emaus memang berdimensi
mistik namun para penafsir tidak cenderung melihat afinitasnya dengan pengalaman
pencerahan Zen.
Tesis ini bergerak pada asumsi kemungkinan (b)19. Bila kemungkinan (b) boleh
disebut sebagai suatu “lubang”, maka penelitian dalam tesis ini dimaksudkan untuk
mengisi ”lubang” tersebut. Tentu saja dapat diajukan pertanyaan semacam “Apakah
semua bagian atau kisah dalam Alkitab dapat dilihat dari perspektif Zen?”. Terhadap
pertanyaan ini, tidak tersedia jawaban yang mudah dan tunggal. Barangkali tidak cukup
memadai untuk mengatakan bahwa perspektif Zen dapat digunakan secara sah untuk
menafsirkan seluruh bagian Alkitab. Namun setidaknya, terhadap kisah Emaus kita
dapat mencoba untuk melakukan upaya tafsir yang sedemikian ini. Alasan terhadap
ajuan ini sebagai suatu upaya tafsir yang sah setidaknya didukung oleh beberapa
macam hal. Pertama, adanya diskursus Hermeneutik/Penafsiran Alkitabiah Asia dalam 19 Teks kotbah yang dihantarkan E.G. Singgih dalam pembukaan Kuliah Alih Tahun Persetia 2004 yang bertajuk “Mysticism” , adalah teks kisah Emaus. Setidaknya ini dapat dipertimbangkan sebagai petunjuk bahwa dalam teks Emaus diakui mengandung teologi mistik.
8
Tesis Daniel K. Listijabudi
ranah penafsiran Alkitab. Kedua, adanya diskursus Hermeneutik Multi Iman. Ketiga,
adanya “gaung” di antara Zen dan kisah Emaus.
Sebelum penulis memberikan gambaran mengenai signifikansi ke 3 macam hal
di atas, terlebih dahulu akan disajikan tilikan singkat mengenai diskursus
metode/pendekatan tafsir, sebagai “ladang” tempat ke 3 macam hal itu diolah.
1.3. Tilikan singkat tentang metode/pendekatan20 tafsir: jenis & tujuan.
Sekilas tentang berbagai jenis tafsir
Dalam Dictionary of Biblical Interpretation21, kita mendapatkan gambaran yang
luas mengenai berbagai metode/pendekatan tafsir dalam buku-buku yang berfokus pada
diskursus metodologi penafsiran teks Alkitab. George Aichele dan kawan-kawan22
misalnya mengemukakan setidaknya 7 pendekatan, yaitu kritik respon pembaca, kritik
strukturalis dan narratologis, kritik poststrukturalis, kritik retoris, kritik psikoanalisis, kritik
feminis dan kritik ideologis. Sementara Severino Croatto23, mengetengahkan 5
pendekatan terhadap Kitab Suci, masing-masing adalah: realitas masa kini sebagai
“teks” utama, konkordisme, metode historis kritis, analisis struktural dan hermeneutik.
20 Schneiders memilah definisi metode, metodologi dan pendekatan. Metode adalah suatu prosedur tertentu yang digunakan untuk menghasilkan hal-hal tertentu dalam suatu teks; Metodologi merujuk kepada suatu struktur yang menyeluruh dan fungsi yang saling terkait serta sistematis dari sekumpulan metode yang mengimplikasikan suatu pendekatan terhadap teks; Pendekatan merujuk kepada suatu cara tertentu untuk menggumuli teks yang meliputi suatu metodologi yang terartikulasikan yang pada gilirannya menggerakkan peran dari metode-metode tertentu, lihat Sandra Schneiders, The Revelatory Text, Interpreting The New Testament as Sacred Scripture, (New York, 1991), p. 111. Namun dalam tesis ini penulis menggunakan istilah metode atau pendekatan untuk menunjukkan pada cara yang dipakai oleh penafsir dalam menggumuli sebuah teks untuk mendapatkan pengetahuan dan pengertian melalui aktifitas penggumulan itu. 21 John H. Hayes (gen ed), Dictionary of Biblical Interpretation, (Nashville, 1999). 22George Aichele (ed), The Postmodern Bible, (London, 1995). 23 Severino Croatto, Biblical Hermeneutics, toward a theory of reading as the production of Meaning,( New York, 1995), p. 5-11.
9
Tesis Daniel K. Listijabudi
Sedangkan Sandra Schneiders24 mengemukakan beberapa diantaranya, yakni
pendekatan historis, pendekatan literer, pendekatan psikologis dan sosiologis,
pendekatan kritik ideologis, pendekatan theologis, religius dan spiritualitas.
Kepada kita disajikan beragam pendekatan, beragam metode dari yang klasik
hingga yang postmodernis. Tentu saja tidak ada metode tafsir yang terbaik pada dirinya
sendiri. Ketepatan dalam menggunakan satu atau lebih metode tafsir, setidaknya,
ditentukan oleh tujuan dan objek tafsirnya. Menurut Theo Witkamp “metode yang
dipakai biasanya tergantung pada pertanyaan yang ditanyakan kepada teks atau pada
kadar teks yang dipelajari, oleh karena itu kebanyakan metode-metode dipandang
sebagai pelengkap, yaitu dapat digunakan bersama-sama”25.
Tujuan metode/pendekatan tafsir
Menarik memperhatikan wacana yang dikemukakan Schneiders sehubungan
dengan adanya “dua tujuan dari metode/pendekatan terhadap teks yakni untuk
memperoleh informasi dan transformasi dari teks (the objective of information and the
objective of transformation)”26. Bagi Schneiders, kedua tujuan ini amat terkait namun
tidak identik. Selengkapnya Schneiders menuliskan :
Pada the objective of information, kita meneliti tentang bagaimana sebuah
teks dihasilkan (siapa yang menulis, kapan, dimana, dalam bahasa apa)
dan tentang transmisi dari teks itu (apakah sebuah teks itu asli, apakah
salinan terhadapnya adalah akurat). Kita berupaya untuk memahami posisi
teologis yang disajikan oleh teks dan hubungan antar teks serta dunia
pemikiran yang menyekitarinya. Kita berupaya membangun suatu jenis
spiritualitas dan praktek religiusitas yang disajikan oleh teks itu. Semua
24 Sandra Schneiders, The Revelatory Text, Interpreting The New Testament as Sacred Scripture, (New York, 1991), p. 114-122. 25 Theo Witkamp, “Tentang Metode Metode Penelitian Teologi”, dalam Penelitian Teologi, Majalah Gema Duta Wacana, no. 42, 1992, p.47-48. 26 Sandra Schneiders, The Revelatory Text, Interpreting The New Testament as Sacred Scripture, (New York, 1991), p. 13.
10
Tesis Daniel K. Listijabudi
penelaahan ini didorong oleh keinginan untuk mendapatkan informasi.
Sedangkan dalam the objective of transformation, tujuannya adalah untuk
bergerak melampaui penemuan tentang apa yang dikatakan atau
dipertanyakan oleh teks sebagai sesuatu yang benar dan segala
konsekuensi personal yang mungkin ditanggung oleh pembaca atau yang
lainnya. Pembacaan transformasional ini terutama adalah sebuah proyek
eksistensial bukan proyek kesejarahan, oleh karenanya dalam wahana
religius, ia termasuk ke dalam ranah spiritualitas. Yang dipentingkan dalam
the objective of transformation ini adalah menghantar pembaca, sebisa
mungkin, kepada kebenaran dalam artian pelibatan yang eksistensial
dengan kebenaran itu hingga menghasilkan buah, dan bukan sekedar
dalam pengetahuan yang abstrak27.
Namun demikian, sembari memperhatikan dan mempertimbangkan wacana
yang dikemukakan Schneiders, kita seyogyanya juga menyadari bahwa apa yang
dimaksudkan sebagai karya yang bertujuan informasi bisa jadi bahkan sangat mungkin
dikerjakan dalam suatu spirit yang transformatif. Demikian pula sebaliknya, karya yang
dimaksudkan sebagai yang bertujuan tranformatif tidak boleh menisbikan masukan-
masukan yang informatif. Jadi yang informatif bisa juga transformatif dan sebaliknya.
Oleh karenanya yang penting bukan sekedar membagi yang informatif dan yang
transformatif secara kaku melainkan senantiasa menyadari adanya keterkaitan di antara
keduanya sebagai sesuatu yang bukan saja bergerak secara dialektis, namun juga
inheren satu sama lain. Keterkaitan kedua tujuan ini menjadi hal yang penting bagi
penulis karena materi tekstual yang hendak ditafsirkan adalah teks yang menyoroti
suatu pengalaman religius, yang disatu pihak diharapkan mengandung daya
transformasi namun juga sekaligus mengandung dimensi kajian intelektual.
27 Sandra Schneiders, The Revelatory Text, Interpreting The New Testament as Sacred Scripture, (New York, 1991), p. 14.
11
Tesis Daniel K. Listijabudi
1.3.1. Wacana tentang Penafsiran/Hermeneutik Alkitabiah Asia28
Karena Zen yang hendak dipergunakan untuk berdialog dengan teks
Emaus adalah adalah salah satu tradisi religius Asia maka mengenai hal keAsiaan
dalam diskursus penafsiran perlu ditunjukkan signifikansinya. Pada entry tentang
Asian Biblical Interpretation kita mendapati sub entry yang berjudul Hermeneutik
Kultural (Cultural Hermeneutics)29, yakni “upaya dan teori menafsir teks Alkitab
yang dilakukan orang-orang Asia di dalam konteks sosiokultur dan tradisi religius
asli (native) mereka sendiri.”30 Artikulasi dari upaya hermeneutis semacam ini
bervariasi, “ada yang menggumuli kontekstualisasi ada pula yang menggunakan
kategori-kategori religiusitas Asia untuk memahami tradisi Kristen, terutama
mengenai Yesus Kristus. Beberapa ahli, demikian rangkuman dalam Dictionary of
Biblical Interpretation, merujuk pendekatan-pendekatan hermeneutis mereka
sebagai “cross textual”, “dialogical” atau “ dialogical imagination”, yakni
pendekatan hermeneutis yang menghantar masuk berbagai realitas kultur Asia ke
dalam percakapan dengan tradisi Alkitabiah”31.
Menurut Archie Lee, “lokasi sosial dari seorang penafsir masuk ke dalam proses
menafsir dengan amat cepat”32. Gagasan tentang “lokasi” ini meliputi issue yang
kompleks mengenai ras, gender, kelas sosial, umur, permainan kuasa dan juga relasi
politis. Hal inilah yang oleh Lee, mengutip diskusi dalam The Postmodern Bible, disebut
dengan a hybrid set of locations”33. Lee menyarankan agar para penafsir,
memberikan tekanan yang lebih besar pada respon pembaca dan tindakan
pembacaan yang dibentuk oleh interaksi di antara teks dan pembaca. 28 John H. Hayes (gen ed), Dictionary of Biblical Interpretation, (Nashville, 1999) p. 70-74. 29 Sub entry selain cultural hermeneutics, pada bagian Asian Biblical Interpretation adalah wissenschaft, liberation perspectives, feminist hermeneutics, dan post colonial interpretation. Ibid. 30 Ibid, p. 70, 71. 31 Ibid, p. 71. 32 Archie C.C. Lee, Cross-Textual Interpretation and Its Implications for Biblical Studies, tanpa tahun, p. 2. 33 Ibid, lihat juga The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, (New Haven and London, 1995).
12
Tesis Daniel K. Listijabudi
Metode tafsir yang diusulkannya adalah penafsiran lintas kultural. Prinsip
dasar yang dimaksudkan dengan istilah ini adalah pendekatan
hermeneutis yang menempatkan realitas kultur Asia dalam percakapan
dengan tradisi Alkitab34.
Sebagaimana halnya dengan percakapan sesehari, setiap pihak diminta untuk
berbicara, mendengar, menanggapi. Prinsipnya kedua belah pihak berinteraksi dalam
dialog. Model hermeneutik Alkitab dari perspektif Asia35 yang dialogis semacam ini
“memberikan tekanan pluralitas makna, multiplikasi kisah, dan multi poros kerangka
analisis karena model semacam ini berakar pada keragaman dan pluralitas Asia”36.
Berkenaan dengan ragam pembacaan terhadap kitab Suci, Robert Setio
mengemukakan pembagian penafsiran menurut M.H. Abrams, yakni :
(1) Mimetic, teks Alkitab dipahami sebagai representasi dari suatu
realitas; (2) Expressive, yang memusatkan perhatian pada pengarang
atau penulis; (3) Objective, yang memusatkan perhatian pada teksnya
sendiri apa adanya; dan (4) Pragmatic, yang memfokuskan perhatian
pada pembaca (reader oriented). Dalam pembacaan pragmatic ini
persoalan yang dibahas adalah bagaimana efek cerita bagi pembaca.
Bagaimana pikiran pembaca dibentuk atau diarahkan oleh narator
sehingga akhirnya pembaca akan menyetujui pemikiran tertentu atau
mendukung serta mau mempraktikkan nilai tertentu dan sebaliknya
membenci pemikiran atau nilai yang bertentangan ....Bila di Barat sendiri
perkembangan mengarah ke tipe 4 maka ini bisa mengingatkan kita akan
semakin dimungkinkannya muatan-muatan budaya kita yang membentuk
diri kita sebagai pembaca untuk ikut berperan dalam penafsiran.37
34 John H. Hayes (gen ed), Dictionary of Biblical Interpretation (A-J), (Nashville, 1999), p. 71. 35 Istilah Hermeneutik Alkitab dari Perspektif Asia diambil dari judul buku R.S. Sugitharajah, Asian Biblical Hermeneutics and Post Colonialism, Contesting the Interpretations, (New York, 1998). 36 Kwok Pui-lan, Discovering The Bible in Non-Biblical World, (New York, 1995), p. 39. 37 Robert Setio, “Membaca Alkitab Secara Pragmatis”, dalam Forum Biblika no. 11 (Jakarta, 2000). P. 52-54.
13
Tesis Daniel K. Listijabudi
Memperhatikan wacana di atas, penulis melihat bahwa pijakan untuk mendialogkan
kisah Emaus dan Zen sebagai suatu kekayaan tradisi religius yang berangkat dari
realitas nilai dan kultur Asia adalah pijakan yang cukup kokoh.
1.3.2. Hermeneutik Multi Iman
Selain keAsiaannya, penulis ingin memperlihatkan bahwa kesahihan penafsiran
yang mempertimbangkan Zen sebagai mitra dialog dalam memahami teks Kitab Suci
juga meliputi keberadaan Zen sebagai kekayaan dari tradisi religius yang non Kristen.
Hal semacam ini secara akademis dimungkinkan atas dasar pendalaman dari wacana
hermeneutik multi iman.
Istilah hermeneutik multi iman (multifaith hermeneutics) diintrodusir oleh Kwok
Pui-lan dalam salah satu dari sepuluh thesis (pernyataan) yang ia gagas dalam rangka
menggumuli rasisme dan etnosentrisme dalam penafsiran Alkitab. Rumusan thesis
tentang hermeneutik multi iman itu selengkapnya adalah : “The Bible must also be read
from the perspective of other faith traditions. Multifaith hermeneutics looks at ourselves
as others see us, so that we may be able to see ourselves more clearly38”. Ini menurut
Kwok bukan suatu hal yang mudah.
Oleh karena itu menurut Kwok, langkah pertama untuk menuju suatu
hermeneutik multi iman adalah:
mengakui bahwa sebagian besar orang di dunia hidup dalam budaya-
budaya yang tidak diasah oleh cara pandang yang Alkitabiah. Orang yang
hidup dalam konteks multi iman, dengan demikian, perlu mempelajari
Alkitab dalam perbandingannya dengan tulisan-tulisan suci lain untuk
menelaah baik tema-tema yang sama secara umum maupun penekanan-
penekanan yang berbeda .... bahkan Alkitab juga dapat ditafsirkan dari
perspektif religius yang lain itu. Berkaitan dengan wacana hermeneutik
38 Kwok Pui-lam, Discovering the Bible in Non-Biblical World, (New York, 1995), p. 92.
14
Tesis Daniel K. Listijabudi
multi iman ini, tugas yang paling sulit adalah bagaimana menafsirkan ulang
Alkitab setelah melihatnya melalui lensa tradisi iman yang lain. Sungguh
dibutuhkan kerendahan hati intelektual dan sekaligus keterbukaan yang
radikal terhadap penyingkapan illahi yang ada dalam budaya dan iman lain
.... namun pada saat yang sama, perlu juga diketahui bahwa masukan dan
hikmat yang ada di dalam Alkitab adalah juga suatu sumber religius bagi
kemanusiaan dan oleh karenanya perlu dibagikan, diuji, dan dikoreksi di
dalam komunitas khalayak manusia yang lebih luas39.
Dengan memperhatikan wacana di atas, penulis semakin dikuatkan untuk melakukan
upaya tafsir yang mempertimbangkan perspektif Zen dalam “membaca” kisah Emaus
dalam rangka ambil bagian dalam dialog spiritualitas agama-agama.
1.3.3. “Gaung” kisah Emaus dan Zen
Pada bagian ini penulis ingin menunjukkan bahwa pilihan kajian yang dialogis ke
atas Zen dan kisah Emaus bukanlah pilihan yang tidak dapat dibuktikan dari sudut
pandang bangunan gagasan (Zen) dan bangunan penceritaan (teks Emaus).
Memperhatikan kisah Emaus sebagaimana diceritakan Injil Lukas ini, juga menimbang
diskursus tentang penafsiran/hermeneutik Alkitabiah yang memberikan tekanan pada
pembaca dalam konteks sosio kultural religiusnya, penulis menduga bahwa kisah
Emaus ini dapat diperjumpakan dan dibaca secara “berbeda” dari perspektif tradisi
religius Asia, seperti Zen. Nilai-nilai Zen yang amat mengetengahkan pentingnya
pengalaman menjadi “terbuka” dan mengalami satori/“pencerahan serta pentingnya
koan dan zazen sebagai media edukatif untuk mengalami pencerahan (akan dijelaskan
dalam bab 2/ pen), agaknya dapat dirasakan afinitas gaungnya dengan kisah Emaus
dalam Lukas 24 : 13-35. Kisah ini menyaksikan pengalaman perjumpaan Yesus dengan
39 Kwok Pui-lam, Discovering the Bible in Non-Biblical World, (New York, 1995), p. 93.
15
Tesis Daniel K. Listijabudi
2 orang murid yang matanya “terhalangi”, mengamati edukasi religius (lewat dialog
Yesus dan kedua orang murid itu) serta mendapatkan pengalaman mata “terbuka”
melihat Yesus yang segera lenyap dari tengah-tengah mereka setelah Ia memecah-
mecah roti. Kisah Emaus dengan demikian patut diduga menggemakan semacam
pengalaman pencerahan “ala Zen” dalam perjumpaan dengan Yesus dengan 2 orang
murid - yang kemudian menyatakan bahwa hati mereka berkobar-kobar- baik melalui
ketersembunyian maupun penampakan kehadiranNya40.
Afinitas gaung dari kisah Emaus dan Zen inilah yang akan dikaji lebih jauh dalam
tesis yang dimaksudkan untuk mengkaji suatu pengalaman religius. Pengalaman religius
terhadap Yang Illahi atau Realitas yang tentu saja tidak dapat dijelaskan secara tuntas
karena melampaui kata dan nalar manusia, memang bukan monopoli tradisi religius
Asia. Namun demikian penafsiran Alkitab yang berpijak pada tradisi religiusitas Asia
agaknya tetap memerlukan peneguhan. Dialog penafsiran Alkitab dengan tradisi Asia
tidak berarti menyingkirkan kekuatan dan kekayaan khasanah tafsir yang dikembangkan
di Barat yang dibentuk oleh latar belakang sejarah dan tatanan sosialnya. Sumbangan
dari tradisi intelektual di Barat perlu tetap dipelihara, namun itu berarti dipelihara dalam
keseimbangan atau ketegangan dialektisnya dengan menggarisbawahi peran pembaca
di Timur (Baca Asia, atau lebih spesifik lagi : Indonesia) yang hidup dalam tradisi religius
Asia, tanpa perlu mengkontraskannya secara keras. Bagi orang Kristen Asia dan orang
Kristen di Asia, mengalami Yang Illahi atau mengalami Realitas dengan demikian dapat
didalami dan dikemukakan dengan dialektika interaktif dengan tradisi religius yang
memberikan identitas sekaligus pemaknaan hikmat orang Asia dengan segala dimensi
hibriditasnya.
40 Kisah klasik dari tradisi Zen tentang ikan kecil di tengah laut yang bertanya kepada ikan besar mengenai “dimana ia dapat menemukan lautan” agaknya mengandung gagasan yang bisa jadi akan sangat interaktif dengan idea tentang ketersembunyian dan ketersingkapan Yang Illahi, lihat Anthony de Mello, Burung Berkicau, (Jakarta, 1994), p. 23.
16
Tesis Daniel K. Listijabudi
2. PERMASALAHAN
Mencermati berbagai wacana yang dikemukakan pada bagian latar belakang ,
maka permasalahan utama yang hendak dikaji melalui tesis ini adalah :
Bagaimanakah penafsiran berperspektif Zen yang dikaji secara dialektis dapat
meretas jalan masuk bagi pembaca Asia dalam hybriditasnya untuk memahami teks
sedemikian rupa sehingga diperoleh pengayaan, pendalaman, dan alternatif
pemahaman terhadap pengalaman religius dalam kisah Emaus sebagai pengalaman
yang berdimensi mistik?
3. TUJUAN
Tujuan dari tesis terkait dengan rumusan permasalahan di atas adalah untuk :
1. Memaparkan proses dan hasil dialog kisah Emaus dengan Zen, yang berangkat
dan mengumuli titik-titik temu dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada,
untuk dapat memperkaya dan memberikan alternatif tafsiran terhadap kisah
Emaus dari perspektif Zen dalam dinamika edukasi religius dan pengalaman
pencerahannya.
2. Mengkaji pengayaan dan pendalaman makna teks bagi spiritualitas Kristen pada
umumnya dan secara khusus bagi spiritualitas Kristen Asia yang bertujuan
informasional-tranformatif bagi pembaca di Asia (Indonesia) dalam wacana
dialog inter dan intra religius.
17
Tesis Daniel K. Listijabudi
4. HIPOTESIS
1. Pembaca Asia diduga akan memperoleh alternatif pengayaan dan pendalaman
makna dan pemahaman terhadap teks Emaus melalui metode tafsir yang belajar dari
masukan tradisi religius Asia yang dikerjakan dengan kreatif dan bertangung jawab
daripada bila teks (misalnya) didekati dengan mengunakan pendekatan historis kritis41
saja .
2. Kajian perspektif Zen terhadap kisah Emaus tentang edukasi religius dari Yesus yang
bangkit terhadap murid-murid yang matanya “terhalangi” hingga “dibukakan” dan
dihayati dalam suasana hati yang “berkobar-kobar”, menghasilkan penemuan akan
adanya “kedekatan gaung” maupun pengakuan akan keberbedaan di antara keduanya.
3. Teks Emaus adalah teks yang berdimensi mistik sekaligus memuat gagasan yang
dapat dianggap sebagai berdimensi Zen.
4. Pada gilirannya hasil tafsir yang didapatkan melalui penelitian tekstual yang dialektis
semacam ini dapat diiduga sebagai masukan demi pendalaman diskursif mengenai
studi tentang spiritualitas agama-agama.
41 Perlulah kita mempertimbangkan masukan kritis dari A. Lee dan Kwok Pui-lan khususnya tentang keterbatasan pendekatan historis kritis. Lee menulis, “the method of historical criticism intends to eluciade the history of the text. Biblical scholars, however, have admitted the limitation of this method. It presupposes an alleged objectivity which can be retrived by scientific method and it does not take into account the vital interaction between the contemporary reader, the received text and the act of readings in the interpretation process”, dalam Archie C.C. Lee, Cross-Textual Interpretation and Its Implications for Biblical Studies, tanpa tahun, p.1 dan 2. Lihat juga komentar tegas dari Kwok Pui-lan, “The Eurocentric positivist approach must not be taken as the sole norm for historical quest. The Bible is too important to be subjected to only one norm or model of interpretation. The fruits of historical-critical method must be tested and challenged by local religious communities that are daily reading the Bible anew and that have tried to weave their own stories and struggles with the biblical narratives”, dalam Kwok Pui-lam, Discovering the Bible in Non-Biblical World, (New York, 1995), p. 86.
18
Tesis Daniel K. Listijabudi
5. JUDUL
Memperhatikan wacana yang telah dikemukakan, maka tesis ini akan diberi judul :
“ BUKANKAH HATI KITA BERKOBAR-KOBAR ? ”
Upaya Menafsirkan Kisah Emaus dari Perspektif Zen Secara Kritis
6. METODE
Narasi dalam kisah Emaus ini terutama akan didalami dengan cara belajar dari tradisi
Zen, melintas ke ranah Zen, belajar dari perspektif Zen untuk kemudian menafsirkan
teks Emaus. Sembari mengerjakan tafsir dari perspektif Zen ini, penulis akan melakukan
semacam critical reading of the reading secara dialogis. Tilikan critical reading yang
terutama ditujukan pada pembacaan dari perspektif Zen terhadap kisah Emaus ini
beranjak dari narasi yang ada di dalam kisah Emaus itu sendiri. Melalui metode
semacam ini juga dibuka kemungkinan akan didapatinya pengakuan kesamaan “gaung”
dan atau perbedaan substansial di antara kisah Emaus dan kandungan religius dalam
Zen itu sendiri. Masukan-masukan dari pendekatan lain sejauh sesuai dengan
permasalahan dalam teks akan dipertimbangkan. Langkah-langkah semacam inilah
yang penulis maksudkan dengan “upaya menafsirkan kisah Emaus dari perspektif Zen
secara kritis”.
19
Tesis Daniel K. Listijabudi
7. SISTEMATIKA
BAB SATU
Bab ini mengetengahkan Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan, Hipotesis, Judul,
Metode dan Sistematika Pembahasan.
BAB DUA
Bab ini mengemukakan wacana tentang Zen sebagai suatu Tradisi Religius, baik
sekelumit sejarah, inti sari ajaran, edukasi dan pengalaman religiusnya. Acuan utama
adalah tulisan pakar Zen terutama D.T. Suzuki. Namun demikian pandangan dari pakar
Zen yang Kristen seperti H.M. Enomiya-Lassalle, Heinrich Dumoulin, J.K. Kadowaki,
Alan Watts, Merton dan Johnston serta beberapa pakar lain akan juga dikemukakan.
BAB TIGA
Pada bagian in dengan belajar dari Zen penulis berupaya menafsirkan kisah Emaus.
Dalam upaya ini selain mencoba menafsirkan kisah Emaus dari perskeptif Zen, akan
juga dikemukakan pertimbangan-pertimbangan kritis penulis terhadap penafsiran itu
secara dialektis, sebagai a critical reading of the reading.
BAB EMPAT
Bab keempat ini akan menyajikan kesimpulan hasil tafsir dan refleksi lebih lanjut yang
dapat dikembangkan dari hasil tafsiran. Terkait dengan hasil dan refleksi itu
dimungkinkan pula adanya pengemukaan wacana mengenai studi dan spiritualitas
agama-agama.
20