bukan endless love.docx

Upload: hasan-asy-syadzily

Post on 10-Oct-2015

81 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SatuMemori Masa Kecil

Bahkan, sejak masih bayi manusia udah terbiasa dengan hal-hal yang berbau porno, ga percaya? Silahkan dibaca deh..

Bayi itu kini telah berusia genap setahun. Lucu, sangat lucu. Pipinya tembem, matanya lebar, senyumnya begitu menggemaskan. Dia dikelilingi oleh empat ibu-ibu muda yang terlihat serius memperhatikannya. Gerak gerik konyol sang bayi mampu memecah tawa diantara para karyawati bank swasta itu.

" Iyyhhh.. Lutuunaaa... " pekik salah seorang diantara mereka, ibu-ibu satu, alias Marini. Dia yang bertubuh paling tambun diantara mereka.

" Iya ihhh, lucuuu, lucuuu, lucu bangeeet... " kali ini ibu-ibu dua yang bernama Susan ikut memberi pujian pada bayi yang sesungguhnya sama sekali engga perduli dengan berbagai lontaran puja-puji mereka.

" Lucu ya? Lucu ya? Anak siapa dulu dooong.. " ibu-ibu tiga mulai berbangga diri, dia itu Hamidah, ibu kandung sang bayi.

" Iya, lucu... " ibu-ibu empat angkat bicara, " Udah chubby, ganteng, putih, tititnya imut pula.. "

" . . . . . . . "

Mendadak seisi ruangan hening mendengar kata-katanya.

Sedangkan sang bayi masih tetap menggeliat diatas ranjangnya yang mungil dan nyaman sambil senyam-senyum ga jelas. Sesekali menggaruk-garuk titit kecilnya yang tidak tertutup celana, karena memang sekarang adalah jatah si bayi untuk ganti popok.

" Ups.. " ibu-ibu empat menutup mulutnya, menyadari bahwa kata-katanya barusan terlalu tidak senonoh untuk diperdengarkan disana.

" Ma-maksud aku itu, hi-hidungnya.. " ujarnya buru-buru meralat salah kata nya, " Iya, iya.. Hi-hidungnya, i-imut.. "

= = = = =

Ahhh ya, itu tadi sedikit cerita masa kecilku. Ngomong-ngomong soal masa kecil, selain kejadian konyol yang pernah diceritakan oleh ibuku itu, aku pernah mendapat pengalaman konyol lainnya. Kali ini berhubungan dengan anak kecil lain yang berjenis kelamin beda denganku. Aku masih mengingat jelas namanya, Chusnul Alissia.

Sosok anak perempuan yang dulu sangat dekat denganku, dimana ada dirinya, disitu juga ada aku. Chusnul, yang seumuran denganku, sangat lucu, dia adalah anak perempuan paling cantik di kampung. Rumahnya berada tepat berhadapan dengan rumahku. Setiap hari aku selalu bermain dengannya. Mulai dari main barbie, main teddy bear, bola bekel, dakon, atau mainan-mainan anak perempuan lainnya.

Dafuq...

Kami juga beberapa kali mandi bersama-sama. Dia melihat titit imut ku, dan aku melihat semua onderdil dalam nya.

Suatu hari, saat melihat tetangga kami menikah, aku langsung mengajaknya melakukan hal yang sama.

" Chusu (begitu aku memanggilnya saat kecil), nantiii kalo udah gede Chusu mau gaaa nikah ama akuuu.. " ujarku saat itu.

" Iya, tentu mauuu dong Dakochan (begitu dia memanggilku saat kecil karena kelihaianku bermain dakon).. " jawabnya polos.

Sayangnya janji itu mulai digerogoti oleh jurang pemisah bernama waktu, saat ini aku sama sekali engga tau dimana Chusnul Alissia berada.

Sejak usia lima tahun, Chusu pindah ke Makassar. Dan sejak saat itu pula aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya.

Hingga saat ini.

Berkali-kali aku memasukkan keyword berupa Chusnul Alissia di berbagai situs jejaring sosial, berkali-kali pula aku menemukan kegagalan. Tidak ada nama yang cocok. Mungkin saja dia menamai akun jejaring sosialnya dengan nama-nama alay yang saat ini sedang beken.

Bisa jadi Siichusnulmiripalyssasoebandonotralala, atau malah Chusnuladypunkdoyanmakangaram?

Who knows?

Tapi aku masih memegang janjiku dengannya, janji yang saat itu aku ikrarkan, untuk bisa menikahinya disaat kami telah beranjak dewasa kelak. Itulah alasan kenapa hingga kini aku sama sekali belum mencicipi nikmat berpacaran. Hubungan istimewa yang aku jalin dengan para betina hanya mampu bertahan sampai predikat TTM, alias Teman Tapi Mesum.

Masa kecilku memang sungguh menyenangkan. Masa kecil yang sangat bersinar. Masa kecil sebagai bayi primadona di kampung. Bayi yang punya banyak penggemar. Dan aku yakin, bahkan Morgan Smash saat bayi pun masih jauh kalah imut dibanding masa-masa bayi ku.

Masa kecil yang telah lama berlalu, telah lama memudar.

Sama memudarnya seperti wajahku saat ini.

Surabaya siang ini sangat panas. Terik matahari terus menyiksaku, juga menjadikan wajah berminyakku makin engga enak diliat. Hari ini hari terakhir ospek. Hari yang menjadi jembatan bagiku, juga mahasiswa baru lainnya, untuk mulai belajar di kampus ini. Kami masih berbaris rapi ditengah lapangan, dengan ditemani senior-senior sok galak yang terus menatap tajam kearah kami di beberapa titik.

Tugas utama kami siang ini adalah berbaris rapi ala upacara bendera di Istana Negara, sambil mendengar petuah membosankan dari beberapa dosen. Acara yang hanya dijadwalkan berlangsung selama satu jam, namun sudah benar-benar menyiksa kami di menit yang baru memasuki angka empat puluh lima ini.

Untungnya, diantara para senior berwajah disturbing yang mengelilingi kami, ada seorang senior cewek berparas super mempesona. Dialah kak Wanda Adelia. Dia pembimbing kelompok kami, kelompok Serigala, jurusan Teknik Arsitektur. Karena bertugas membimbing kelompok kami, maka kak Wanda pun harus berbaris tepat disamping barisan kami.

Mengutip kata singkat yang biasa diumbar oleh para personil girlband Cherrybelle, sosok Wanda Adelia memang benar-benar istimewa. Mirip sebilah swiss army knife yang komplit dan multifungsi. Saat ini dia berdiri tegak dalam posisi istirahat ditempat, payudaranya berukuran sekitar 36-an, pastinya berapa, jelas aku sama sekali engga tau. Maklum, aku bukanlah pedagang beha. Dengan posisi berdirinya yang begitu tegak, payudara mancung itu terus menantang setiap pejantan yang sempat menemukannya.

Sama seperti para senior galak lainnya, Wanda mengenakan almamater warna merah marum kebanggaan kampus. Dia memadukannya dengan polo shirt warna putih didalam. Tubuh Wanda memiliki tinggi sekitar 170 cm, modal yang bagus, dengan lekuk yang menyerupai gitar Spanyol. So sexy. Dan body-nya yang aduhai itu pun masih disempurnakan oleh wajah oval yang ekstra cantik, bulu mata lentik, serta bibir tipis yang terlihat begitu enak saat dicipok.

Brukkk...

Mendadak, Dimas Herdiono, salah seorang mahasiswa baru lainnya yang masih berada dalam satu kelompok denganku terjatuh. Posisi berdirinya yang berada tepat didepanku membuatku tersentak kaget. Cowok bertubuh kurus ini langsung ambruk mencium paving. Jelas bukan hal yang mengenakkan baginya, mencium kak Wanda pasti lebih nikmat.

Untungnya dia sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri saat ini. Berarti dia tidak perlu merasakan secara langsung bagaimana rasa sakit yang muncul akibat mencium paving dengan keras seperti itu.

Tunggu, tunggu, dia engga sadar?

Apa ada seorang sniper yang baru saja menembak kepalanya?

Aku segera memicingkan mata, berusaha melawan cahaya matahari yang memberi efek silau tidak mengenakkan pada pandanganku. Aku harus segera menemukannya, sang penembak, sebelum dia kembali mengirim peluru kedua untuk menyerang kami.

Menyerang kami? Atau jangan-jangan sniper itu mengincarku?

Gawat.

Pasti gara-gara mobil bekas yang kemarin dibelikan ayahku. Sebuah Toyota Corolla tahun 1996 warna hitam. Pasti mobil itu adalah salah satu dari sekian banyak Autobots yang telah mendiami bumi. Berarti penyerang Dimas tadi adalah..

Decepticons...

Plakkk...

Sebuah pukulan keras mendarat di pundak ku, menyadarkanku dari segala lamunan konyol yang baru saja melintas dalam isi kepala ku. Transformers, yah, itu kan hanya judul film yang tadi malam baru saja aku lihat untuk kesekian kali nya. Film yang aku gemari sejak kecil.

" Bambang, ada temennya pingsan kok malah ngelamun.. " ujar kak Wanda, dia tampak khawatir.

Ah ya, lupa..

Namaku adalah Bambang Lesus Soekawi, adik kandung dari Joko Lindu Soekawi alias Jokoli yang legendaris itu (yang pernah baca Dodekatheon pasti tau). Jika kakakku itu adalah produk gagal yang bahkan produsennya pun tidak mau menerima barang retur-nya, maka aku sebaliknya. Seorang Bambang memiliki wajah yang cukup tampan, kulit putih bersih, dan postur tubuh proporsional.

Nama panggilanku adalah Bams. Terinspirasi dari vokalis band Samson yang juga bernama asli Bambang. Nama panggilan itu aku deklarasikan se-segara-mungkin untuk mencegah makin beranak-pinak-nya nama panggilan konyol yang bisa melekat dalam diriku.

" Eh.. "

" Ayo cepetan diberdiriin, trus dibopong ke ruang kesehatan.. " perintahnya.

Herannya, anak-anak lain sama sekali engga perduli dengan kondisi kami bertiga yang kebingungan. Mungkin Decepticons telah mengancam mereka agar tidak membantu kami.

" Eh, i-iya kak.. " jawabku, dengan segera aku membantu Dimas untuk berdiri. Berlagak seperti Kamen Rider yang selalu tampil heroik.

" Bawa nya gimana kak? " tanyaku kemudian.

Kak Wanda langsung celingukan mencari bala bantuan. Salah seorang senior lain bernama Ari menghampiri kami.

" Tandu nya, masih dibawa kelompok Lebah, tadi ada yang pingsan juga.. " ujarnya, benar-benar mengetahui kesulitan kami, " Kamu gendong aja Mbeng (lihat kan, salah satu panggilan konyol yang diciptakan oleh senior kampret se-enak jidat), taroh di punggung kamu, sini aku bantuin.. "

" Oke, gagasan yang sungguh super jenius, membuatku terlihat konyol seperti maho-man sebentar lagi.. "

Mulai saat itu aku kian akrab dengan Wanda, dan juga dengan Dimas. Keberadaan mereka berdua sangat membantu masa-masa awal kuliahku. Wanda sebagai senior sekaligus TTM ku yang baru, sedangkan Dimas adalah sahabat terbaik yang aku punya di kampus. Sedangkan sang pemberi ide konyol, Ari, tetap menjadi manusia paling menyebalkan disana.

DuaMalinda Linda

Kenapa calon presiden Indonesia yang berinisial RI itu dulu selalu kontraama goyang ngebornya Inul Daratista?Soalnya dia cuma bisa tiruin goyang patah-patah.Update : sekarang malah udah jago goyang itik juga..

Sebatang kopi sachetan, plus secangkir rokok Mild. Eh, kebalik ya? Oke, oke, bisa kita ulang lagi. Minggu pagi ini, cuaca di Surabaya masih sama seperti beberapa hari sebelumnya, panas. Tapi sama sekali enggak mengubah kebiasaanku di hari Minggu untuk tetap menikmati menu sarapan klasik. Secangkir kopi sachetan, plus sebatang rokok Mild.

Menu sarapan yang sama sekali engga sehat.

Semakin engga sehat kala didepan kosan beberapa ibu-ibu tampak ngerumpi kegirangan sambil happy shoping di lapak tukang sayur keliling, Pak Mahdi. Percayalah, ngerumpi dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, naik tensi, dan kerusakan telinga pada pendengarnya. Bahan obrolan mereka pun sangat beragam, mulai dari Anas Urbaningrum, sampai ke...

" Eh jeng, si cakep Andika nikah lagi cyinnn.. Gilakkk, itu udah pernikahan yang keempat dia loh.. "

" Hahhh, Andika yang cool abis itu? Mantan personil Kangen Band itu kan bu? "

" Iya dong jeng, emang mau yang mana lagi coba? "

" Yaaahh kali aja Andika suaminya Sussy Sulistiawaty itu.. "

" Ussy kaleee, bukan Sussy.. Dasar ibu-ibu jaman sekarang.. "

Selain obrolan ga jelas dari ibu-ibu tadi, kupingku semakin dibikin gerah gara-gara lagu-lagu dangdut yang diputerin oleh Tante Malinda dengan volume super kencang.

Tante Malinda ini adalah pemilik kosan khusus wanita di sebelah kosan yang aku tempati. Usia pastinya aku engga tau, karena aku bukan pencatat sensus penduduk. Satu yang pasti, dia ini udah masuk ke kepala empat. Meski demikian, keindahan tubuhnya tetap terjaga, wajahnya masih terlihat cantik, begitu pula dengan halus lembut kulitnya.

Pokoknya tante Malinda ini benar-benar High Quality Tante.

Hubungannya denganku terjaga cukup baik. Karena tante Malinda merupakan salah seorang sahabat karib ibuku. Hubungan persahabatan yang muncul saat keduanya masih sama-sama menjadi karyawati disalah satu bank swasta di Surabaya. Berarti sejak aku bayi pun tante Malinda sudah mengenalku. Salah satu hal yang tidak pernah bisa aku lupakan darinya adalah kata kata ini..

" Udah chubby, ganteng, putih, tititnya imut pula.. "

Man, dia orang pertama yang memuji tititku..

Aku melongokkan wajah ke rumah tante Malinda. Biasanya, saat dia memutar musik dangdut kencang-kencang seperti ini adalah saat-saat dia baru menyelesaikan kegiatan cuci-cuci pakaiannya. Dan biasanya lagi, saat itu dia pasti mengenakan pakaian yang lebih seksi dibanding kostum kesehariannya.

Glekkk..

Benar saja, kali ini tante Malinda mengenakan daster putih bermotif batik yang lumayan tipis, membuat bra dan celana dalam warna merah didalamnya bisa tampak jelas oleh setiap mata yang memandang. Kondisi itu pun makin disempurnakan oleh beberapa bagian daster yang basah plus pancaran sinar matahari yang menyorotnya.

" Se-seksi... "

Gerakannya saat menjemur pakaian sungguh sangat erotis. Dia menjemur sambil menggoyangkan pinggulnya kekanan dan kekiri sesuai dengan alunan irama lagu yang dia putar.

Cinta satu malam, Oh indahnya..Cinta satu malam, Buatku melayang...Walau satu malam akan selalu ku kenang, Dalam hidupku...

= = = = =

Tiga puluh menit berlalu, ibu-ibu tukang rumpi tadi baru kembali ke kandang masing-masing. Pasti dari mulut mereka mulai mengeluarkan busa karena terlalu banyak berbicara tadi.

Tante Malinda telah selesai menjemur satu bak penuh sandang cuciannya. Beragam jenis pakaiannya kini mejeng dipelataran rumah kosannya. Mulai dari daster, kaos, kemeja, bra, hingga celana dalam aneka warna terpampang jelas diatas tiang jemuran. Kaset bajakan kompilasi lagu dangdut yang diputarnya pun baru berganti sisi dari side A ke side B. Dan aku..

Damn!!!

Apa yang aku lakuin? Hingga kini aku masih melongo memandangi tubuh molek tante Malinda..

Aku mulai tersadar dari hipnotis tubuh seksi tante Malinda yang sejak tadi menjeratku. Seketika itu juga aku segera merapikan meja depan kosan, membuang abu rokok yang memenuhi asbak, menyapu sedikit bagian bawah lantai yang sempat terkotori olehku, serta bersiap masuk kedalam dapur untuk mencuci cangkir yang kini hanya menyisakan ampas kopi.

Sik asik sik asik kenal dirimu..Sik asik sik asik dekat denganmu..Terasa di hati berbunga-bunga setiap bertemu..

Sik asik sik asik kenal dirimu..Sik asik sik asik dekat denganmu..Ah, aku berharap semoga kamulah..Yang akan menjadi, jadi pacarku..

Ada yang aneh dengan alunan lagu itu, temponya mendadak berubah menjadi super lambat. Mungkin putaran kasetnya menjadi tidak normal lagi akibat terlalu sering digunakan oleh tante Malinda. Selang tak berapa lama suara itu menghilang. Berganti dengan suara teriakan tante Malinda yang memekakkan telingaku.

" Bembeeenggggg!!! " kepalanya mengintip dari celah pagar penghubung kosanku dengan rumahnya.

Bembeng atau lebih singkatnya Mbeng, adalah panggilan yang akrab denganku di kampung. Meski berkali-kali aku mendaklarasikan nama keren macam Bams, tetap saja nama itu sulit melekat pada diriku. Orang-orang terlalu gemar memanggilku dengan sebutan-sebutan konyol. Padahal wajahku sama sekali engga konyol, tampan malah. Kutukan yang diturunkan dari kakakku, Jokoli, sepertinya.

" E-eh, ke-kenapa tante? " jawabku, agak sedikit kaget dengan teriakannya barusan.

" Sini sebentar dong Mbeng.. " pintanya memelas, " Tape tante rusak ini.. "

" Tolongin dong benerin.. "

" Plisss... "

Seorang Bambang Lesus Soekawi yang gentle ini jelas sama sekali tidak bisa menolak request permintaan tolong dari para kaum hawa. Apalagi jika kaum hawa itu tadi memiliki tubuh seksi dan wajah cantik seperti yang ada dalam diri tante Malinda.

" Iyaaa tante.. " dengan patuh aku segera bergegas menuju kerumahnya, berharap bisa sesekali mendapat pemandangan indah dari tubuh perempuan yang telah dikaruniai dua orang anak itu.

Tante Malinda masih mengenakan daster yang sama dengan tadi. Bra dan celana dalam yang tadi terlihat samar dari kejauhan kini terlihat makin jelas saat aku telah tiba didalam rumahnya. Sisi basah disana begitu menggoda. Mau tidak mau pemandangan istimewa ini perlahan tapi pasti mulai membangkitkan Bams Junior dari tidurnya. Sedangkan aku sendiri hanya mengenakan kaos warna hitam dan celana pendek warna serupa.

Aku mulai memeriksa tape tante Malinda. Dan karena sama sekali engga memiliki keahlian khusus dibidang elektronika, maka aku hanya berusaha melepas jeratan pita kaset yang kusut didalam tape untuk kemudian digulung rapi kembali.

" Rusaknya kenapa Mbeng? " tanya tante Malinda, " Bisa kamu benerin kan? "

" Ini putarannya berubah jadi agak lelet tante.. " jelasku, " Keseringan dipake sih.. Aku ga bisa benerin, cuma balikin kasetnya ini aja.. "

" Yahhh kok gitu.. "

" Iya emang gitu, bawa ke servis aja tante.. "

Selama proses servis kaset yang aku berikan, tante Malinda berceloteh panjang lebar tentang banyak hal. Mulai dari masa kecilku yang konyol, sampai kisah betapa setianya sang suami, Pak Karmoto.

Sedikit tentang Pak Karmoto. Nama lengapnya adalah Karmoto Suherman, nama yang aneh kan. Iya, jelas nama yang aneh. Sama anehnya dengan sang pemilik nama. Pria berusia setengah abad itu bertubuh pendek, hanya 155 cm, jauh dibawah tubuh sintal tante Malinda yang setinggi 165 cm. Perawakannya tambun mirip Doraemon, wajah culun ala Nobita, serta bibir monyong khas Suneo. Lengkap.

Sampai detik ini aku masih engga habis pikir kenapa tante Malinda yang cantik dan seksi ini memilih seorang Karmoto Suherman sebagai pendamping hidupnya.

" Dulu aku dijodohin ama dia Mbeng.. " ujarnya lirih, mendadak tampak lesu dan putus asa. Ekspresi galau tingkat akut.

Oke, ternyata akibat perjodohan.

Aku langsung terkekeh mendengar jawabannya.

" Yeee, malah ketawa.. Hihihi.. " tante Malinda ikut tertawa.

" Lho, kok sepi tante rumahnya sekarang? " tanyaku setelah menyadari betapa heningnya suasana didalam rumah tante Malinda.

" Iya, Papi (panggilan sayangnya pada Pak Karmoto) masih ke Madura mengurusi ternak sapi nya.. " jawabnya, " Lisa (anak sulungnya) kan kuliah di Bandung, dia kos disana, Aldo (anaknya yang lain) kerumah neneknya, nanti siangan aku jemput, anak-anak kos pada pulang, biasanya nanti sore baru pada balik.. "

Wah, benar-benar ga ada orang selain tante Malinda ternyata..

" Eh, kata mama, tante pernah ngatain tititku imut ya, dulu.. " ujarku coba memancing pembicaraan kearah yang lebih vulgar.

" Hahahaha... " tante Malinda tertawa lepas, " Iya, emang imut, tapi dulu kan, waktu kamu masih baby.. Ga tau deh sekarang, pasti jadi amit-amit.. "

" Yeee, tetep imut kok.. " aku langsung membela Bams Junior

" Mana sini tante lihat? " tantangnya.

" Idih tante, nanti aku bilangin mama loh.. " kali ini aku berlagak sok jual mahal, berusaha menaikkan harga jual sang Bams Junior di bursa semprot perlendiran.

Ga salah deh kalo tante Malinda ini sering disebut sebagai tante paling binal di kampung oleh para remaja disini.

= = = = =

" Wah, kamu ini jago juga ya benerin kaset yang mbulet kayak gini.. " gumam tante Malinda sambil menatap takjub padaku akan bagaimana hasil ketelatenanku menggulung pita kaset bajakan yang baru saja kusut tidak karuan itu. Kini semuanya telah kembali seperti semula, meski aku yakin kaset itu tetap tidak akan berfungsi normal seperti biasanya.

" Benar-benar berbakat kamu Mbeng.. "

Dafuq..

Keahlian ini aku dapatkan dari kegemaranku mengoleksi kaset-kaset lagu jaman jadul sejak aku masih berada di bangku Sekolah Dasar. Mulai dari yang lokal macem Base Jam, Jikustik, Sheila On Seven, atau Padi, sampai boyband manca semodel Westlife, Five, Backstreet Boys, atau Blue.

" Tante hari ini keliatan makin seksi deh.. " gumamku, sedikit menggombal untuk menggoda tante Malinda memanfaatkan segala faktor yang sangat mendukung.

" Iiihhhhh, anak ini mulai bisa ngegombal yahhh.. " sahut tante Malinda dengan nada manja, dia melancarkan cubitan genit kearah pinggangku. Sungguh menyiksa karena cubitannya lumayan sakit. Lebih sakit dibanding cubitan Wanda.

" Aduh, aduh, sakiiit tanteeeee... " rengekku seraya mengambrukkan tubuhku berguling kekanan, namun tante Malinda masih engga mau kalah terus mencubitiku.

Pada serangannya yang kesekian kali, dengan sigap aku sukses menangkap tangan lembut itu, kemudian menariknya kearahku. Keseimbangan tante Malinda hilang, membuatnya terjatuh menimpaku. Aku langsung buru-buru memeluknya erat. Merasakan betapa sintalnya tubuhnya.

" Wekkk, tante kena... " kataku sok lugu. Herannya, tante Malinda sama sekali engga berontak mendapat pelukan seperti ini dariku.

Tanpa tendeng aling-aling, tante Malinda mengecup bibirku. Matanya memejam, dia terus memagut bibirku yang masih terdiam. Sedetik, dua detik, tiga detik kemudian aku mulai membalasnya. Bibir kami kini saling menempel erat, sesuatu yang tidak aku duga akan terjadi. Sesekali kuasan lidah kami menambah nikmat ciuman ini. Tapi aku merasakan ada yang salah dengan hal ini, aku segera melepas dekapan bibir tante Malinda.

" Uhhh... Eh, ke-kenapa Mbeng? " tanyanya, " Ga mau ya, ma-maafin tante Mbeng, tante tiba-tiba pingin gituan.. Gara-gara papi keseringan ngurusin sapi di Madura seh.. Ja-jangan bilang ke siapa-siapa ya.. "

" Haisshhh, ternyata Pak Karmoto lebih doyan sapi ketimbang istrinya yang bohay ini, kasian kan akhirnya jadi jablay.. "

Aku tersenyum mendengarnya, " Bukan gitu tante, kita ini masih ada di ruang tamu, pindah kekamar yuk.. " ajakku.

Tante Malinda melangkah kearah pintu utama rumahnya, menutup kemudian menguncinya. Dia kemudian mengajakku masuk kedalam salah satu kamar kos dalam rumahnya yang berada paling dekat dengan pintu.

Dengan segera aku langsung mencumbui leher tante Malinda didalam kamar itu, merasakan aroma harum tubuhnya bercampur dengan wangi yang berasal dari kegiatan mencucinya tadi. Aku terus mengecup dan menjilati kulit putih bersih tante Malinda. Dia memelukku erat, kemudian membisikkan..

" Mbeng, tante ini belum mandi tau.. "

Hahhh? Belum mandi tapi sama sekali tidak ada bau aneh dari badannya, jangan-jangan perempuan ini tiap hari makan dan minumannya selalu dicampur dengan parfum...

Aku tidak memperdulikannya. Sepasang payudara kenyal mliknya kini mulai aku buai, mulai aku usap, dan mulai aku remas. Daster dan bra yang dikenakannya pastilah sangat tipis karena kenyal payudara itu begitu benar-benar terasa. Aku terus menyerangnya, dalam hal memainkan payudara seorang perempuan, aku sangatlah berpengalaman.

Engga boleh lama-lama, inget ini hari minggu, tetangga sekitar pasti banyak yang ada dirumah..

Tanganku kini memangkat daster pendek yang dikenakan tante Malinda hingga aku dapat menemukan ujungnya. Meski dengan perasaan meragu, aku mulai memberanikan diri untuk menyingkapnya, membuat daster putih tipis itu meninggalkan sang pemilik. Tante Malinda membiarkannya, membiarkanku melucuti satu persatu pakaiannya, setelah daster, bra yang dikenakannya aku buka. Kini hanya tersisa celana dalam mini bergambar angry birds menutup tubuhnya.

" Astaga Mbeng!!! " jeritnya histeris, " Kenapa bajuku kamu lepas semua!!!??? "

Aku tidak perduli lagi dengan segala perkatannya. Dengan secepat kilat ala gerakan superhero Flash, aku melancarkan serangan-serangan berikutnya kearah payudara dan bibirnya secara bertubi-tubi. Ciuman, juga remasan-remasan dengan gerakan memutar. Payudara itu sungguh indah, sangat kencang untuk ukuran milik seorang yang telah berusia kepala empat. Putingnya mungil berwarna cokelat muda dengan areola yang kecil. Pinggang tante Malinda masih sangat ramping, efek rajinnya dia berolahraga pasti, terima kasih kepada fitnes center Tong Seng yang berada dimulut gang kampung ini.

" Mmmmhhh.. " tante Malinda berhenti protes, dia malah membalas dengan girang cumbuan dariku.

" Mbeeeng, jangan nakal.. Mmmhhhhh... " ujarnya lirih, tapi masih berpasrah diri membiarkanku menguasai dirinya.

" Tante seksiii banget sih.. " balasku, " Lebih seksi lagi kalo celana dalamnya dilepas deh.. "

" Lepasin... " jawabnya, tersenyum nakal, benar-benar tante yang binal.

Dengan cepat aku berjongkok, kemudian memelorotkan satu-satunya penutup liang senggama milik tante Malinda. It's all gone in 6 seconds. Tante Malinda kini sudah bertelanjang bulat didepanku, vagina chubby itu mengerling menggoda Bams Junior untuk segera menusuknya. Vagina yang berhias jembie dengan style mohawk.

Oke, tinggal tambahin tindik maka lengkaplah sudah vagina berstyle ladies punk disana..

" Waaahhh... Indah banget tante... " pujiku setelah menyaksikan pemandangan penyejuk mata yang kini tersaji dihadapanku.

Aku segera kembali bangkit dari jongkokku. Maklum, berlama-lama jongkok akan membuat kakiku kesemutan. Sepasang bongkahan payudara tante Malinda dengan lembut langsung aku sasar. Aku meremasnya setelaten mungkin, memilin-milin putingnya, sementara Bams Junior yang masih terjebak dalam celana aku gesek-gesekkan kearah vaginanya.

Bibirku memagut bibirnya dengan penuh nafsu. Tante Malinda mampu mengimbangiku, pasti pengalaman seksnya saat muda dulu sungguh bejibun. Ditambah berbagai jurus belaianku pada bongkah payudaranya, memberi sensasi tersendiri dalam tubuhnya. Istri Pak Karmoto ini terus mendesah, makin memancingku untuk melakukan berbagai hal yang lebih lagi.

" Emmhhhhh... "

Nafsu syahwat terus menguasai kami berdua. Peluh mulai membasahi tubuh telanjang tante Malinda. Terlihat jelas dia benar-benar menikmati ini semua, membuatnya seakan terombang-ambing dalam lautan kenikmatan duniawi. Tanganku masih saja betah bergerilya dihamparan dua bukit kenyal milik tante Malinda. Sementara tangannya mulai berani membelai Bams Junior. Dalam beberapa gerakan, seluruh penutup bagian bawah tubuhku mendadak hilang. Lagi-lagi, semuanya gone in few seconds. Bahkan aku sama sekali tidak menyadarinya.

Bams Junior akhirnya terbebas dari sarangnya. Andai bisa, dia pasti langsung bersorak kegirangan, berteriak, " Horeee, i'm freeeee... "

" Tuh kan udah ga imut lagi tititnya.. " ujar tante Malinda kecewa, " Jadi gede gini sih.. "

Batang kemaluanku itu mengacung tegak, kokoh seperti Ultraman, membuat tante Malinda terpana menatapnya, meski dia juga kecewa karena tititku udah engga seimut dulu.

Bodo amat, mau imut-imut atau amit-amit asal bisa menghasilkan..

Dia berganti posisi berjongkok, memberi satu ciuman perkenalan kepada Bams Junior, kemudian mengulumnya, menjilatinya, sesekali juga mengocoknya. Senang diperlakukan seperti itu, Bams Junior makin menjulang, kini dia siap menantang siapa saja, termasuk sang vagina ladies punk milik tante Malinda.

Tidak tahan menerima gelombang kenikmatan saat diperlakukan seperti ini, aku menarik lembut tubuh tante Malinda untuk kembali berdiri berhadapan denganku, aku membimbingnya untuk menuju kearah ranjang. Menidurkannya disana. Kemudian membantu mengatur posisi kaki tante Malinda sedemikian rupa hingga menyerupai gaya kodok. Membuat vaginanya kini terekspos dengan sangat jelas. Tanpa sensor sedikitpun.

Aku menenggelamkan wajahku pada kemaluan tante Malinda. Vaginanya beraroma harum, aroma khas wanita yang rajin merawat bagian sensitifnya, bercampur dengan wewangian deterjen. Yah, pasti akibat aktifitas cuci-cuci nya tadi. Baru beberapa detik menjilati vaginanya, tiba-tiba aku teringat perkataan tante Malinda yang tadi sempat dilontarkannya..

" Mbeng, tante ini belum mandi tau.. "

Membuatku membatalkan niatan untuk bermain lebih lama disana, bukan karena jijik, karena memang vagina tante Malinda tidak berbau aneh. Hanya sedikit lebih menjaga kebersihan pada apa yang menyentuh mulutku. Menghindarkan diriku terkena sariawan, penyakit yang sangat sering menyapaku beberapa hari terakhir.

Emang ngaruh ya?

Waktu terus berjalan, engga baik jika aku berlama-lama disini. Tubuh telanjang tante Malinda basah oleh peluh. Wajahnya terlihat makin binal, rambut lurus panjangnya yang berwarna sedikit kemerahan dibiarkan terurai. Godaan ini harus segera aku akhiri, perlahan aku mengambil posisi, mencari komposisi paling pas untuk menempatkan batang kemaluanku kedalam vaginanya.

" E-eh, Mbeng, mau ngap-ngapain? " tante Malinda gelagapan mengetahui aku sudah berancang-ancang untuk melakukan penetrasi terakhir dalam hubungan sex kali ini.

" Mau itu dooong tantee.. "

Dengan perlahan aku memajukan pinggulku, membuat kepala Bams Junior kini menempel pada bibir vagina tante Malinda. Dengan sekali dorongan, batang kemaluanku sukses masuk menembus celah lipatan bibir sang ladies punk. Terasa begitu mudah, karena sejak tadi vagina tante Malinda memang sudah becek, usianya yang telah mencapai kepala empat juga turut mempengaruhi lebar pintu selamat datang itu.

" Aakkkhhhhh!!!!! " rintih tante Malinda merasakan sentuhan pertama Bams Junior dalam vaginanya, " Titit kamu itu ge-gede bangeeettt Mbeng... "

" Iya dong tante, tiap hari kan minum susu.. " ujarku bangga.

Bams Junior memang dapat mudah masuk kedalam vagina tante Malinda. Namun begitu seluruh tubuh batang kemaluan itu telah berada didalamnya, ada sensasi berbeda yang sangat luar biasa. Dinding-dinding dalam vagina tante Malinda menjepit Bams Junior erat-erat, seakan ada switch control yang mampu mengubah status vagina tante Malinda dari longgar, menjadi peret.

Serius..

" Mmmhhhhh, enakkk tante.. "

Aku mulai menggoyang-goyangkan pinggulku, bergerak maju-mundur untuk terus menggoyang Bams Junior yang kini terbenam dalam vagina tante Malinda. Gerakan perlahan, namun berirama, semakin lama semakin kencang pula gerakannya.

" Uhhhhh.... Ahhh.. Ahhhhh.... " erang tante Malinda, menikmati setiap gerakan batang kemaluanku.

Tubuh ibu kandung Lisa dan Aldo menggelinjang dahsyat, dia mulai ikut mendorong-dorong vaginanya maju mundur selaras dengan irama goyangan pinggulku. Aku terus menyerangnya, tante Malinda berkelonjotan makin hebat. Gesekan demi gesekan menimbulkan rasa nikmat yang terus menjalar dalam diri kami berdua.

Tidak ingin menyia-nyiakan aset tubuh tante Malinda lainnya yang menganggur, aku mulai kembali memainkan payudaranya. Mengenyot dan mengulum puting mungil ditengahnya, serta meremas-remas lembut dua payudara kenyal ukuran besar itu. Sebagai hadiah atas usahaku, tante Malinda mendekap tubuhku, memelukku erat-erat.

" Ooouhhh!!! En-enak Mbeng, enak... "

Selisih usia kami saat ini adalah dua puluh empat tahun. Jauh, sangat jauh. Tidak seharusnya aku melakukan persetubuhan ini. Apa boleh buat, nafsu memang selalu mengalahkan segalanya. Termasuk akal sehat kami berdua.

" Oooohhhh... Ahhh, ahhh, ahhhhh... " tante Malinda melenguh manja, merasakan kenikmatan luar biasa yang diberikan oleh Bams Junior. Payudaranya bergoyang beriringan, mirip jelly dalam mangkuk yang diguncang-guncang oleh anak kecil penggemarnya.

Sepuluh menit lebih berlalu, aku masih menggarap tubuh tante Malinda. Kami berdua benar-benar dimabukkan oleh nikmat persetubuhan pertama kami ini. Ini pertama kalinya aku bersetubuh dengan sosok perempuan yang berusia jauh diatasku. Rasanya benar-benar beda. Mata tante Malinda tampak sayu menggoda, sesekali bibirnya mengeluarkan ceracauan yang makin meningkatkan gairahku padanya.

" Vagina punya tante ini, bener-bener ennnaaaaakkk... Perreeett bangettt tante... " aku menyahut sambil merem-melek merasakan dahsyat kenikmatan yang mendera Bams Junior.

Vagina ini, basah, tapi bener-bener kesat. Pasti dirawatnya dengan sangat ekstra.

Aku terus memompa vagina tante Malinda dengan semangat. Sama seperti semangat yang diusung menpora baru Indonesia untuk menyelesaikan kisruh di tubuh PSSI saat ini. Vagina tante Malinda sungguh legit. Bahkan benar-benar tidak kalah dengan jajanan lapis legit yang nikmat itu.

" Emmmhhhhh!!! Uuhhh!!! Aaahh!!! Ahhh!!!! " tante Malinda terus mengicau. Lebih cerewet dibanding burung beo peliharaan bokapnya Wanda.

Tiba-tiba tubuh tante Malinda menggelinjang kian heboh. Kehebohan yang bisa disetarakan dengan gaya gangnam yang sedang populer itu. Kedua batang kakinya yang mulus menjepit pinggangku erat-erat, pasti sedikit lagi dia sukses mendaki puncak orgasmenya.

" Aaaaahhh!!!!! Ooohhhhh!!! " tante Malinda menjerit keras, terus mendekati mencapai titik ujung kenikmatan yang sejak tadi terus-menerus menghujam dirinya. Sebentar lagi permainan ini usai.

Yah, sebentar lagi..

Aku mempercepat gerakan tititku didalam vagina tante Malinda. Desakan serangan para Bams Junior kian menggila, hingga akhirnya defender terakhir dalam formasi 4-2-3-1 yang aku terapkan sukses dilewatinya. Kini salah seorang diantara mereka tinggal berhadapan one-by-one dengan sang penjaga gawang. Dengan sebuah sontekan keras akhirnya..

Crot.. Crot... Crott....

" Aaaaahhhhhhh... " erang tante Malinda.

Tubuhnya menggelepar, dia mendekap tubuhku erat-erat. Tititku baru saja menyemburkan sperma didalam vaginanya, rasanya semuanya terjadi secara bebarengan. Orgasme kami berdua.

Aku merobohkan diri, ambruk menindih tubuh sintal tante Malinda yang masih basah oleh keringat. Dia terlihat makin seksi menggoda saat ini. Merasa lelah, aku bergeser kesamping tubuhnya, tidur terlentang bersebelahan dengannya sambil mengatur napas sejenak sebelum pulang kembali ke kosan. Sementara itu tante Malinda tersenyum puas atas rentetan orgasme yang didapatnya dariku. Senyum yang sangat manis untuk seorang yang seumuran dengan ibuku sendiri. Ibuku jelas sangat cantik, namun tante Malinda masih lebih cantik dibanding dengan beliau.

" Tadi aku keluarin didalem.. " kataku polos, " Gapapa nih tante? "

" Gapapa Mbeng.. Tenang aja, bukan masa-masa subur, lagian umur segini emang masih bisa punya anak lagi? " balas tante Malinda sembari tertawa kecil, sama polosnya.

" Bisa tante, bisa.. " batinku.

" Hebat kamu Mbeng.. " ucapnya lagi, dia mengambil tissue dari meja disamping kasur untuk membersihkan bagian luar vaginanya yang masih belepotan oleh spermaku.

" Tante juga hebat.. Enak banget.. " pujiku, pujian jujur kok, " Bener-bener enak tante, pantesan Pak Karmoto begitu setia ama tante, hehehe... "

Mendadak raut wajah tante Malinda berubah menunjukkan palm face.

" Jadi kalo ngentotnya ga enak langsung ga setia gitu.. " ujarnya.

" Eh, ya ga tau tante.. Liat-liat cowoknya dulu dong kayak gimana.. "

" Ooo, gitu.. Kalo kamu gimana hayo? "

" Kalo Bams sih orangnya setia tante.. "

" Setiap tikungan ada.. " ledeknya.

" Yeee, beneran setia kok tante Malinda sayang.. " aku mentowel hidung mungilnya, dia membalas menarik-narik titit imutku.

" Aduhhh, jangan dipanggil tante Malinda, cukup tante Linda aja Mbeng.. " sahutnya sambil sedikit melotot, " Biar lebih enak didenger.. Hihihi.. "

Oke, mulai saat ini jangan tulis dia pake nama tante Malinda ya, pak Penulis. Cukup tulis pake nama tante Linda saja. Cuman beda dua huruf doang sih sebenernya, engga seberapa ngaruh juga.

" Hehehehe... " aku tertawa geli melihat mimik wajah konyol tante Linda, " Iya, iya, tanteku sayang.. "

" Yaudah, aku pulang dulu yah tante.. " aku mengecup keningnya sebagai tanda perpisahan kami hari ini.

Aku berdiri, beranjak dari tempat tidur. Bersiap segera meninggalkan kamar tante Linda yang super bohay ini dengan wajah ceria. Gimana engga ceria kalo bisa ngedapetin jackpot di pagi hari cerah seperti ini. Perlahan aku melangkah menuju kearah pintu dengan langkah tegap. Menandakan kemenanganku. Menandakan kesuksesanku meniduri istri Pak Karmoto.

Pak Karmoto yang songong dan menyebalkan.

Akhirnya..

Benar-benar sensasi berbeda saat bisa melakukannya dengan tante Linda. Dengan sahabat ibuku.

" Mbeng, tunggu!!! " teriak tante Linda, membuatku terjingkat saking kagetnya.

" Aduh, kenapa tante? Bikin kaget aja.. " aku berhenti dengan posisi tangan kanan sudah menggenggam knop pintu kamar tante Linda. Sedikit lagi aku membuka pintu itu.

" Kamu itu bego atau gimana sih... " ujar tante Linda manja sambil sedikit manyun dan merengut.

Jangan-jangan dia mau nambah? Aduh bisa gawat kalo kelamaan disini..

" E-eh, ke-kenapa tante? " aku makin kebingungan dibuatnya.

" Kalo mau pulang itu.. Pake celana dulu tau.. " jawabnya.

" Masa tititnya dibiarin ngegantung kayak gitu.. " dia menambahkan sambil sedikit terkikik.

Sial!!! Sampe lupa pake celana kayak gini..

TigaCode Name : Chusnul

Namanya siapa mbak?Dan dia ngejawab dengan manisnya, " Noel "Keren? Engga, lha nama aslinya sebenernya cuma Chusnul kok..

Seminggu telah berlalu pasca kejadian mesum mengesankan yang sama sekali engga terduga dengan tante Malinda, eh ups tante Linda maksudnya, hidupku benar-benar makin penuh warna. Gimana engga makin penuh warna, saat ini ada tiga cewe cantik yang selalu mengusik diriku.

Mulai dari tante Linda, dia selalu mengusik tititku karena tingkat kejablayannya yang kian membuncah akibat sering ditinggal sang suami, Pak Karmoto, mengurusi bisnis ternak sapi nya di Madura.

Kemudian seorang teman masa kecil bernama Chusnul Alissia yang terus mengusik pikiranku atas janji pernikahan yang dulu pernah aku ikrarkan padanya, sedangkan keberadaannya sendiri sama sekali engga aku ketahui sampai detik ini. Bahkan tidak ada sedikitpun clue untuk itu.

Dan yang terakhir...

" Mbeeeng saaayang, gimana bra yang ini? " ujar wanita yang sejak kemarin malam menghabiskan jatah libur kuliahnya untuk berbulan madu bersamaku dikamar kosan sempit ini, " Bagus gaaa? "

Dia hanya mengenakan bra dan celana dalam saat ini, bra kesepuluh yang dicobanya. Hasil berburu diskon bra di Mall pada Surabaya Nite Shopping semalam. Meski berstatus sebagai barang diskon, tetap saja harga bra-bra itu tergolong fantastis. Aku masih mengingat jelas kata-katanya,

" Kyaaa, Mbeng saaayang... Bra ini muraaah bangeeet, dua ratus lima puluh ribu rupiah udah dapet lima.. Aku mau, aku mau, aku mau, beliin sepuluh ya saaayang... "

Lima ratus ribu harus melayang demi sepuluh bra untuk seseorang yang berstatus sebagai TTM, Teman Tapi Mesum, ku itu. Berarti sebulan penuh kedepan aku harus benar-benar berhemat. Makan seadanya, cukup sehari sekali, itu pun hanya mengkonsumsi nasi putih dengan lauk krupuk dan kecap.

Oke, rasanya aku harus mulai mencari pekerjaan sampingan.

" Yaaah, kok ga dijawab sih.. " protes Wanda membuyarkan lamunanku, dia cemberut, membuatnya makin terlihat lebih cantik menggemaskan.

" Iya, iya, bagus kok.. " balasku dengan semangat, sambil memberikannya dua jempol, membuatku kali ini menjadi sangat mirip dengan pengamat kualitas bra yang telah malang melintang dalam dunia per-underwear-an.

Mahasiswi yang setingkat lebih senior dariku dikampus, Wanda Adelia, dia kini sukses kudapatkan. Baik secara lahir, maupun batin. Perempuan itu sungguh cantik, beruntunglah aku sukses mendapat perhatian dan service ekstra darinya.

Meski tidak bisa dipungkiri bahwa seorang Wanda benar-benar menjeratku dalam penyakit kronis yang biasa disebut dengan Kanker, alias Kantong Kering. Iya, wanda sukses besar mengusik isi dompetku hingga keakar-akarnya. Tidak hanya sampai disitu, dia juga mengusik...

" Mbeng saaayang, kapan kita jadian? Masa mau TTM-an terus kayak gini? " Wanda mendekat kearahku.

Itu masalahnya.

Wanda juga mengusik pikiranku. Dia menuntutku untuk segera meresmikan hubungan kami sebagai sepasang kekasih, bukan sekedar partner mesum seperti saat ini. Dia mulai jengah dengan status hubungan kami yang berlabel engga jelas. Padahal aku telah berjanji hanya akan mengabadikan hatiku untuk Chusnul Alissia seorang.

" Eh.. Iya sayang, sebentar lagi.. " jawabku pelan.

" Huuuhhh, dari dulu selalu gitu jawabnya.. " protes Wanda, " Kamu emang ga sayang aku.. "

That's the problem..

Aku segera bangkit, berjalan dengan bertelanjang menuju kearah lemari pakaianku untuk mengambil sesuatu.

Telanjang?

Iya, pagi ini kami sudah melakukannya sekali. Sarapan seks itu menyehatkan, bisa membuat hari-harimu lebih bersemangat. Dan lebih beruntung. Semoga saja.

Aku mengeluarkan sekotak cokelat impor yang sengaja aku beli untuk Wanda, dia adalah penggemar berat cokelat.

Cokelat itu aku dapatkan dari toko buah raksasa di Surabaya yang juga menjual banyak pilihan makanan dan minuman impor dari berbagai negara. Aku memiliki teman disana, seorang kasir, dia memberitahukanku ada diskon besar-besaran hingga 70% dari produk cokelat asal Swiss.

Lumayan kan, bisa difungsikan sebagai hadiah khusus untuk Wanda disaat genting seperti ini. Padahal alasan utama cokelat itu didiskon besar-besaran adalah karena masa edar yang menjelang kata expired.

" Ini buat kamu sayang.. " kataku merajuk, memberikan cokelat branded yang hampir expired itu padanya.

Wanda langsung nyengir. Ekspresi kecewanya hilang, berganti ekspresi mupeng akibat cokelat yang baru saja aku berikan.

" Aku itu sayang sama kamu.. " tambahku.

Wanda langsung memelukku, erat, sangat erat. Dia masih hanya mengenakan underwear hasil belanjaan kami berdua semalam.

" Makasih sayang.. " bisiknya, " Em-el lagi yuk, Mbeng saaayang.. "

Segitu gampangnya ngedapetin perhatian Wanda. Satu cokelat memang punya seribu manfaat.

Trust me, it works.

= = = = =

Sedikit kehilangan akal sehat akibat seseorang bernama Chusnul Alissia yang selalu mengusik pikiranku, membuatku berakhir disini, didalam kamar nomor 212, hotel Cempaka, Surabaya.

Hey, hey, hey, gimana ceritanya?

Oke, oke, sedikit flashback kebelakang. Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan kakak kandungku, Joko Lindu Soekawi, alias Jokoli. Kami berbincang banyak hal sambil menikmati secangkir kopi sachetan dengan merk yang sama di teras depan kosan. Selain ledek-meledek tentang klub sepakbola yang kami idolai (dia adalah fans berat klub raksasa Manchester United, sedangkan aku merupakan pendukung setia klub medioker Southampton), kami juga berbagi cerita cinta tak terwujud masing-masing.

Jokoli jatuh cinta pada salah seorang primadona di kampusnya, nama perempuan itu adalah Ribka Stefanie, perempuan mungil yang kadar cantiknya sungguh luar biasa dengan ukuran payudara diatas rata-rata. Kisah cinta kakakku itu harus bertepuk sebelah tangan karena Ribka malah jatuh cinta pada sahabat karibnya sendiri, seorang cowok super keren yang memiliki phobia takut pada cewek cantik (kok ada ya hal-hal seperti itu, untungnya phobia itu engga menghampiriku), Verano Alexandr Raphaelle (nama yang keren, dan panjang).

Kasian, kasian, kasian..

Sedangkan aku sendiri banyak bercerita tentang keinginanku untuk bisa bertemu dengan Chusnul Alissia. Atas saran dan petuah dari Jokoli, dia menyarankanku untuk memasang iklan di harian ternama yang terbit setiap hari. Sebelas dua belas dengan iklan pencarian orang hilang, juga sedikit mirip dengan iklan pencarian jodoh. Aku pun menyanggupinya, namun sama sekali tidak ada kontak yang masuk menghubungiku untuk memberi sedikit titik terang yang aku butuhkan.

Sampai akhirnya kemarin malam seorang wanita menghubungiku. Berkata bahwa dialah Chusnul yang selama ini aku cari. Dia memintaku menyediakan satu kamar di hotel ini untuk bisa bertemu denganku disini.

Tok, tok, tok...

Nah, ini pasti dia. Benar-benar ontime. Dia berjanji menemuiku jam tiga sore, dan sekarang malah masih memasuki menit ke lima puluh setelah jarum pendek jam dinding dalam kamar sukses melewati angka dua.

Aku segera beranjak, merapikan tatanan rambut gondrongku, menyemprotkan sedikit minyak wangi kearah tubuhku. Jantungku berdebar. Inilah saatnya, sebentar lagi aku akan bertemu dengannya. Seseorang yang selama ini aku cari, aku nanti.

Cklek..

Seseorang wanita berdiri dihadapanku setelah pintu kamar kubuka. Tinggi, cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dariku, tingginya sekitar 175 cm, padahal Chusnul dimasa kecilnya dulu sangatlah mungil. Dia mengenakan rok cekak dengan atasan berupa tanktop putih ketat yang dipadu jaket jeans. Seksi, sangat seksi. Kulitnya sangat putih, meski pahanya sedikit besar, namun pinggangnya cukup ramping.

Yang istimewa dari sosok wanita itu adalah payudaranya, berukuran sangat fantastis, besar, sangat besar. Mungkin sekitar 38 C, sekali lagi ini cuma perkiraan seorang Bams yang awam ini lho ya, karena aku memang bukan pedagang beha.

" Kok diem, hihihi... " wanita itu terkikik melihat reaksiku.

Wajahnya tidak seberapa cantik, namun terlihat bersih. Rambutnya panjang, sedikit diwarna kemerahan.

" E-eh, i-iya, ma-masuk.. " ujarku tergugup.

Jelas tergugup karena yang ada dihadapanku saat ini adalah seseorang yang selama ini telah aku nantikan kehadirannya. Aku coba mengingat-ingat paras Chusnul Alissia dimasa kecilnya, coba menyamakan dengan paras wanita ini.

Tidak berhasil. Karena aku kesulitan membayangkan wajahnya saat itu. Wajar, karena pertemuan terakhir kami sudah termakan oleh waktu hingga hampir lima belas tahun lamanya.

" Aku Chusnul.. " ujarnya setelah masuk kedalam kamar, " Kamu pasti Bambang kan, temenku waktu kecil itu? "

" I-iya, jawabku.. " aku menutup dan mengunci pintu kamar, berjaga-jaga jika saja hari ini aku sukses mendapat sesutu yang lebih darinya.

If you know what i mean..

Chusnul membuka jaket jeansnya, dia tampak kian seksi, toketnya makin terekspos. Besar, luar biasa besar, belum pernah aku mendapat yang sebesar ini sebelumnya.

Dia berjalan menghampiriku, aroma harum tercium dari tubuhnya. Harum, iya sangat harum, meskipun aromanya begitu menusuk hidung. Melihat tampilan seksi Chusnul membuat Bams Junior mulai bangkit.

Chusnul makin mendekatiku, dia melirik kebawah, kearah Bams Junior yang mulai menegak.

Ketauan deh..

Wanita itu tersenyum melihat perangaiku yang sedikit gugup, termasuk dibagian bawah sana. Chusnul semakin mendekat, tiba-tiba dia memelukku. Pelukan yang sama sekali tidak aku duga sebelumnya.

" Aku kangen kamu mas Bambang.. " bisiknya.

Jujur, aku sedikit kecewa dengan Chusnul yang ini, dia tidak secantik seperti masa kecilnya. Ada beberapa sisi wajahnya yang terlihat kurang pas. Dia terlihat kurang girlie, kurang cewek, entah apapun itu namanya. Yang jelas memang kurang enak dilihat.

Atau hanya perasaanku saja?

Kecuali tubuh seksinya, juga ukuran payudaranya yang begitu menggoda, semuanya sama sekali tidak ada yang aku suka dari fisiknya.

" A-aku juga.. " jawabku, membalas pelukannya.

" Boleh aku cium kamu mas? " tanyanya.

Suara Chusnul sangat halus, benar-benar lembut. Membuatku makin tergoda. Meski ada perasaan aneh dalam diriku. Ada sisi yang berontak didalam sana, sisi itu menjerit, sisi itu meyakini bahwa Chusnul yang ini bukanlah Chusnul yang aku cari selama ini.

Bukankah Chusnul yang dulu tidak pernah memanggilku dengan nama Bambang? Ya, Chusnul, alias Chusu selalu memanggilku dengan sebutan Dakochan.

Aku coba mengacuhkan segala pikiran buruk itu, bisa saja dia lupa akibat terlalu lama tidak bertemu denganku. Aku menjawab pertanyaannya dengan sebuah anggukan kecil. Membuat Chusnul langsung menyergap bibirku, dia menciuminya dengan penuh nafsu, sampai aku benar-benar kesulitan mengimbanginya.

Bibir kami saling memagut, lidah kami saling bertaut. Kami dipenuhi hawa nafsu yang begitu melimpah, meski nyatanya tadi pagi aku telah dua kali mendapat service gratis dari Wanda.

" Emmmhhh... " desahnya.

Rasa rindu akan sosok Chusnul itu mulai terobati seiring kehadirannya. Aku harus membiasakan diri dengan sosok ini, dengan sosok inilah aku akan menikah kelak, sesuai dengan janjiku saat itu. Meski sebenarnya wajah Chusnul ternyata tidak sesuai apa yang aku harapkan, minimum dia memiliki payudara yang luar biasa indah membulat.

Tidak tahan dengan godaan payudaranya, aku segera meremasnya. Terasa empuk, terasa kenyal. Aku menyingkap tanktop yang dikenakannya. Juga bra pink yang menjadi penutup terakhir payudara itu.

Chusnul diam, dia tidak protes, tidak juga mengelak waktu mendapat perlakuan seperti ini dariku. Rasanya dia siap memberikan segalanya untukku, atas dasar janji yang dulu pernah aku ikrarkan padanya.

Payudara miliknya memang benar-benar besar, benar-benar berukuran ekstra, dengan puting imut dibagian tengahnya. Aku terus menjamah kedua bongkah payudara itu. Meremas-remas, kemudian juga memilin-milin putingnya. Sementara itu bibir kami masih saling berpagut mesra.

Secepat ini? Secepat inikah aku mendapat segalanya dari dia?

Tangan Chusnul mulai nakal menjamah Bams Junior. Dia membuka risleting celana jeans yang aku kenakan, kemudian memelorotkannya. Tangannya menyelip masuk kedalam celana dalamku, menggenggam Bams Junior erat-erat, sedikit mengocok dan membelainya. Membuatku kelonjotan merasakan nikmat yang muncul dari sana.

" Ahhh... "

Merasa terangsang, tangan kananku meremas payudaranya lebih cepat, lebih bersemangat. Sementara tangan kiriku mulai merangkak kebawah, menuju ke arah bagian kewanitaannya, menerobos melalui rok cekak yang menutupinya, dan..

" Eh.. " ujarku spontan, aku langsung menghentikan segala aktifitasku sesaat setelah menyentuh organ vitalnya itu.

Ada yang aneh disana, aneh, sangat aneh..

Tidak ada vagina yang menyapa gerakan tangan kiriku, dia tidak memilikinya, salah, seharusnya ini salah, ini engga wajar, ini aneh, sangat aneh, karena yang ada disana adalah..

" Pe-penis!!! " jeritku histeris, " Haaahhhhh!!! " Ke-kenapa, ke-kenapa ada penis disana??!!! "

Aku mendorong Chusnul keras-keras, membutnya terpental, jatuh ke lantai. Dia hanya tersenyum, senyum yang tidak lazim, senyum jahat, senyum mengerikan.

Chusnul bangkit, kali ini dia tidak menuju ke arahku, melainkan ke arah pintu. Dia mengambil kunci kamar, merapikan baju atasannya yang telah aku acak-acak, kemudian memasukkan kunci tadi kedalam branya. Aku benar-benar merasakan hal buruk setelah ini.

" Loh kok gitu sih mas, aku ini Chusnul.. " ujarnya, dengan nada suara beda, jauh berbeda dari nada suaranya tadi, kali ini dia berbicara dengan nada suara yang laki-laki banget.

Chusnul yang aku kenal dulu adalah seorang perempuan tulen. Serius, yakin, sejuta persen yakin, super yakin. Karena aku pernah mandi bersama dengannya dulu.

Lalu siapa perempuan, eh laki-laki, eh banci, ini?

" Ka-kamu siapa? Chusnul yang aku kenal ga punya penis, ga punya titit.. " ujarku terbata-bata, masih dalam kondisi shock berat, " Ka-kamu siapa? Kamu bukan Chusnul Alissia yang aku cari.. "

" Haa-haa-haa... " tawanya keras, tawa laki-laki, tawa kemenangan.

" Chusnul Alissia? Kelaut ajeee... " ledeknya.

" I am the one and only, the best Chusnul yang pernah ada di dunia ini.. "

" Chusnul Amiruddin.. Jeng, jeng... "

OMG!!!

Berarti sejak tadi aku berciuman dengan seorang Banci?

Iya seorang banci, toket yang aku pegang tadi, berarti hanya sekedar toket imitasi. Aku berlari kearah pintu, sia-sia, terkunci rapat, kuncinya tersimpan amat sangat aman didalam branya. Aku harus merebutnya.

" Mau keluar? " tanyanya.

" Jelas!!! " bentakku, " Mana kuncinya? "

Aku berlari kearahnya setelah memakai kembali celanaku yang sebelumnya sempat dipelorotnya, kami bergulat. Dia terlalu tangguh, sulit, aku sulit meraih kunci dalam branya, yang ada malah dia makin mendesah-desah keenakan saat tanganku menyentuh payudara palsunya. Gerakan Chusnul terlalu cepat, dia selalu bisa mengalahkan manuver-manuver yang aku lancarkan. Lelah, aku mulai merasa lelah, dan akhirnya dia mendekapku, dia memelukku. Aku meronta, tapi tenaganya jauh lebih besar.

" Ahahahahhh.. Kenapa mas? Sini-sini ciuman lagi.. " ujar Chusnul (Amiruddin, bukan Alissia) sambil memonyongkan bibir tebalnya, berusaha mencium bibirku, membuatku makin merinding karenanya.

" Ga mau!!! " jawabku lantang.

" Kamu baru bisa keluar kalo udah gituan ma akyuuu.. " dia mengerlingkan matanya padaku.

" Haaa!!! Gituan apaan!!!!! " aku makin shock mendengarnya, jangan-jangan dia ingin ber-tusbol-ria denganku. Aku biasa meledek temanku dengan kata-kata maho, atau tusbol, tapi aku tidak menyangka jika aku terancam terserang dengan kata-kata itu disini.

" Ja-jangan macem-macem, aku ini ahli beladiri, aku sabuk putih karate!!! " aku coba menakutinya, dia pasti tidak mengerti tentang sabuk putih karate kan.

" Hahaha, aku udah sabuk hitam mas.. " balasnya sambil menyengir lebar.

" Keluargaku semuanya Polisi, jangan aneh-aneh!!! " ancamku. Ancaman bohong karena aku tidak memiliki satu pun kerabat yang berasal dari oknum kepolisian, hanya ada seorang Satpol PP, pamanku.

" Hahaha, bapakku Ketua DPR mas.. " balasnya ketus.

Hahhh!!! Berarti dia anaknya Marjuki Alay yang sok itu?

" Mau adu apalagi? " cibirnya, " Dalam segala hal kamu kalah dari aku mas.. "

Dia melepas pelukannya padaku, bukan untuk membebaskanku, tapi untuk memukul beberapa titik di punggungku dengan menggunakan dua jarinya.

Totok?

Dia menotokku, darimana dia bisa belajar itu semua? Aku tidak bisa bergerak, aku kehilangan daya untuk itu, juga daya untuk berbicara. Chusnul kembali mendekapku, menuntunku kearah ranjang, menidurkanku disana. Dia mulai melepas rok cekak yang dikenakannya, celana dalamnya juga, penis besar itu kini mencuat. Tegak, sangat tegak.

Ingin rasanya berontak, ingin rasanya meronta, tidak bisa, sama sekali tidak bisa.

Dia bergerak mendekatiku, mengubah posisiku menjadi menungging. Perlahan dia melepas seluruh penutup Bams Junior, membuat bagian bawah tubuhku kini telanjang sepenuhnya.

Dengan seringai mengerikan dia mengarahkan penis besarnya yang telah mengacung keras kearah lubang bokongku. Dia benar-benar serius, dia benar-benar ingin memperkosaku. Astaga.

Papa, Mama, kak Jokoli, Wanda, tante Linda, dan Chusnul, Chusnul Alissia yang asli, maaf, maafin Bambang. Maafin Bambang yang ga bisa jaga keperjakaan bokong Bambang baik-baik. Sekali lagi maafin Bambang. Aku tidak bisa membela diri, yang bisa aku lakukan hanya memejam. Merasakan penis raksasa itu mulai menyentuh lubang bokongku.

What the..

= = = = =

Hahhh!!!

" Mi-mimpi? " ucapku lirih.

" Cuma mimpi kan? Mimpi yang sangat buruk.. "

" Bahkan jauh lebih mengerikan dibanding wajah disturbing Jokoli, kakakku.. "

Aku segera memandangi sekitar. Membuatku terperanjat, menjerit histeris, hingga kejang-kejang ga karuan.

Kamar ini ternyata bukan kamarku. Kamarku tidak seperti ini, kamarku lebih nyaman, tidak ada segala pernik yang berhubungan dengan klub sepakbola favoritku, Southampton, disini. Poster-poster pemain sepakbola favoritku macam Alan Shearer, Matthew Le Tissier, Tim Flowers, Egil Ostenstad, hingga Adam Lallana, semuanya tidak ada.

Astaga...

Aku benar-benar berada didalam kamar hotel laknat itu. Berarti aku memang benar-benar telah kehilangan keperjakaan bokongku. Keperjakaan yang selama ini aku jaga baik-baik, kesucian bokongku kini musnahlah sudah. Dengan cara yang sangat mengerikan. Tragis.

Ah, sedihnya..

Bahkan hingga kini masih berasa nyeri disana, benar-benar satu kejadian yang tidak akan mungkin aku lupakan seumur hidup.

Aku akan mengadukan banci itu pada KPK, Komisi Perlindungan Keperjakaan. Iya harus. Jangan sampai ada lagi korban-korban berikutnya. Cukuplah seorang Bambang yang ganteng ini sebagai korban terakhir.

Aku berjalan meninggalkan kamar hotel dengan langkah tertatih. Posisi tubuhku sedikit membungkuk, dengan tangan kiriku masih saja telaten mengelus bokongku. Coba mereduksi rasa sakit yang terus mendera disana.

Chusnul Amiruddin sialan!!!

Dengan mental baja, meski harga diri telah terinjak-injak. Aku menuju ke meja resepsionis, untuk check out dan mengambil KTP ku. Beberapa pasang mata pengunjung lain dan pegawai hotel yang seliweran menatapku dengan pandangan aneh. Perpaduan antara tatapan sinis dicampur mimik wajah menahan gelak tawa.

Aku tidak perduli dengan itu semua, berusaha cuek, meski dalam hati terus mengumpat-umpat melampiaskan emosi yang semakin meluap.

" Malem mas.. " sapa Kumanini, seorang customer service hotel yang menarik perhatianku sejak awal kedatanganku disini.

Dia berwajah cantik, meski memiliki nama yang sama sekali engga umum. Kumanini. Coba diurai lagi jadi Kuman Ini, apa yang ada dalam pikiran bapakmu nak, hingga tega memberimu nama yang sungguh epic seperti itu.

" Check out mbak.. Sekalian ambil KTP nya.. " jawabku lesu.

" Lohhh kok udah check out sih? Kan masih ada sisa 20 jam lebih mas.. " tanya perempuan imut yang memiliki nama panggilan Anin itu.

" Gapapa mbak, kangen masakan Mama.. " candaku, meski masih dengan nada lesu.

Dia tertawa mendengar perkataanku. Aku segera menyerahkan kunci kamar padanya, dan dia memberikan KTP ku kembali. Ada secarik kertas yang dia selipkan dibelakang KTP. Tadinya aku kira itu adalah nota tagihan tambahan, ternyata bukan. Kertas kecil itu berisi deretan dua belas angka pembentuk nomor handphone.

" E-eh, apa ini mbak? " tanyaku sok-sok lugu.

" Nomor hapeku mas.. " jawabnya tersipu malu.

Ga ada angin, ga ada hujan, meskipun sedikit mendung, sang customer service cantik dari hotel kelas melati ini memberikan nomor hapenya kepadaku. Pastilah dia tertarik dengan wajah ganteng Bambang yang memang telah melegenda ini. Wah, wah, wah, dapet satu lagi calon TTM baru nih, mungkin nanti bisa bersaing dengan Wanda.

" Ummm, gini mas.. "

" Nanti kalo mas ganteng mau cari banci-banci lain buat disewa, bisa hubungin nomor hapeku itu.. " tambahnya.

Dafuq..

" Aku punya banyak temen banci mas, rata-rata cantik kok.. Mereka ini temen-temenku semasa masih sekolah di SMK kecantikan.. "

" Yang cowok rata-rata berubah jadi gitu deh.. "

" Dan mereka itu operasinya di Thailand lho mas.. "

" Dijamin puas deh.. "

" Nanti aku kasih diskon khusus.. "

Ternyata untuk tujuan itu. Sialan, sungguh sialan. Dia mengiraku sebagai penggemar banci? Astaga, kesialan macam apa lagi ini. Aku tidak menjawab. Anin melambaikan tangannya padaku, tersenyum manis, dan berteriak..

" Jangan lupa ya mas ganteng.. Ditunggu orderannya loh.. "

Ingin rasanya cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Aku bergegas menuju kearah parkiran sepeda motor. Bokongku agak sedikit kesakitan waktu duduk diatas jok motor, membuatku mengambil posisi sedikit mengangkat bagian belakang bokongku. Dengan cepat aku segera memacu sepeda motorku, cepat, cepat, cepat meninggalkan tempat pebawa kesialan ini.

Sepanjang perjalanan pulang, aku terus memikirkan banyak hal. Kesialan yang aku dapat hari ini, mungkin mengingatkanku untuk segera berhenti berharap pada Chusnul, Chusnul Alissia yang asli tentunya, bukan Chusnul Amiruddin, atau something similar like her, eh, him.

Aku harus segera menentukan sikap, mungkin mematenkan status berpacaran dengan Wanda adalah opsi yang terbaik. Yah, dialah perempuan paling cantik yang pernah aku dapatkan, aku harus menjaganya baik-baik.

Tik, tik, tik..

Gerimis.

Bokongku masih terasa nyeri, aku harus menepi, mengenakan jas hujan, karena memang jarak yang aku tempuh untuk kembali ke rumah masih sangat jauh. Rintik-rintik gerimis kian deras, hujan pasti turun sebentar lagi. Karena konsentrasiku berkurang drastis akibat beban pikiran yang aku tanggung hari ini, membuatku lupa menyalakan lampu sein saat hendak menepi, hingga..

Tiiinnnnn!!!!!

Klakson mobil sangat kencang mengagetkanku, mengembalikan konsentrasiku yang sebelumnya telah menghilang. Namun semuanya terlambat.

Braakkkk!!

Honda Brio warna putih itu menghantam bagian belakang motor bebek ku, membuat keseimbanganku menghilang. Aku bisa merasakannya, sepeda motor ini bergerak liar, sampai akhirnya tubuhku terpental di aspal. Tidak ada rasa sakit, hanya kesadaran yang berangsur menghilang. Buram, namun aku masih bisa melihatnya, sosok bidadari yang sangat cantik mendekatiku.

Sangat cantik, rambut bob pendeknya berwarna hitam mengkilap, bibirnya merah, matanya sayu. Dia menatapku dengan tatapan khawatir. Pandanganku terus meredup. Gelap, makin gelap.

EmpatBurung Walet dan Sarangnya

Sarang burung apa yang paling mahal saat ini?Sarang burung walet? atau..Sarang burung punya kamu?No comment..

Kedua anak kecil itu bermain bersama, berlarian lucu ditengah taman yang didominasi hijau dedaunan. Seorang anak laki-laki, juga seorang anak perempuan. Mereka terus saling bergurau, beberapa kali saling mencubit, tertawa bersama. Sepi, taman itu sangat sepi. Hanya ada mereka berdua, dan juga aku.

Eh, a-aku? Kenapa aku berada disini?

Terakhir kali yang aku ingat adalah saat tubuh kurusku terhempas berguling-guling diatas jalanan beraspal yang sedikit basah. Menjadikanku mirip sepotong sosis yang digulung kedalam adonan tepung yang telah mengeras. Sebuah mobil putih, Honda Brio, menabrakku saat aku hendak menepi guna mengenakan jas hujan laknat bergambar Dora The Explorer yang tahun lalu menjadi satu-satunya hadiah ulang tahun darinya, dari Jokoli, kakak kandungku.

Benar-benar kakak yang baik hati, hingga rela menghadiahkan adik kesayangannya ini dengan sesuatu yang kalian mesti bilang wow gitu. Ciyus. Iya, ini ciyus loh.

Back to the topic, lalu dimana ini? Dimana aku saat ini? Kenapa aku berada di taman ini? Bukankah aku seharusnya berada disalah satu bangsal rumah sakit terdekat? Ya, atau kemungkinan terburuk, didalam kamar mayat.

Oke, kita sisihkan opsi terakhir, aku masih belum mau mati, atau memikirkan hal-hal semacam itu, hutangku masih terlalu menumpuk. Hutang ke pedagang bakso, siomay, nasi goreng, sampai-sampai aku juga hutang ke bik Inah, penjual pecel yang seksi bin semok disamping kosanku, atau pak Wakidin, tetangga polisi yang pernah menilangku gara-gara aku berkendara dengan helm terbalik.

Taman ini, terasa sangat asing bagiku, aku belum pernah kesini sebelumnya. Apa ini surga?

Please deh, mana mungkin cowok dengan kadar dosa cukup tinggi sepertiku ini bisa langsung menuju surga. Setidaknya aku harus mencicipi pedih siksa api neraka terlebih dulu.

Anak-anak itu masih saja sibuk berlarian, mereka terlihat begitu bergembira.

Ah, mungkin aku bisa menanyai mereka tentang dimana aku berada saat ini. Baru saja melangkahkan satu kaki kiriku kedepan, sepasang tangan lembut menggenggam lenganku erat-erat, menghentingkan langkahku, seakan menghalangiku untuk menuju kesana. Lembut, sangat lembut, halus, dan juga dingin. Lengan itu terasa sungguh dingin, membuatku merinding engga karuan setelah sentuhannya. Siapa, siapa, lengan siapa.

Aku berusaha menoleh, tapi tidak ada daya untuk itu. Leherku, tidak, tidak hanya leherku, tapi seluruh tubuhku terasa kaku. Seakan membeku setelah menerima sentuhan dingin tangan itu. Meski tubuhku mendadak berubah kaku menjadi seperti patung selamat datang yang siap menyapa para pengendara kendaraan bermotor ketika baru saja melintas melewati gapura pemisah antar kota, lima panca indera milikku masih berfungsi normal.

Aku bisa mendengar gurauan lucu anak-anak kecil yang masih berlarian disana, dibagian tengah taman. Aku bisa melihat mereka dengan jelas, bahkan lebih jelas daripada daya pandangku biasanya.

" Dakochaaan, aku capeekkk.. " sang anak perempuan berhenti mengejar anak laki-laki, peluh keringat mulai membasahi keningnya, nafasnya sedikit tersengal.

" Hahahah, iya, iya, maaf Chusuuu.. " kali ini sang anak laki-laki menghampiri anak perempuan tadi, menemaninya duduk ditengah rumput hijau yang asri.

Tunggu, Dakochan? Bukankah itu nama panggilan yang diberikan Chusnul Alissia padaku. Dan, Chusu? Itu sebutan konyol yang aku berikan padanya sebagai balasan.

Dakochan? Chusu?

Jangan-jangan anak perempuan itu Chusnul? Chusnul Alissia? Dan anak laki-laki itu, aku?

" Eh, a-aku.. "

Bukankah aku berada disini. Bukankah aku ini adalah aku. Lalu kenapa ada aku disana? Kenapa ada aku yang lainnya dalam versi chibi.

Tangan yang sejak tadi menahanku kini mencengkeram lenganku makin erat. Beberapa detik kemudian berpindah tempat, tidak lagi menggenggam lenganku, tapi kini tangan itu mencengkeram erat-erat tititku. Bams Junior mengerang kesakitan, cengkeramannya kian kuat, semakin kuat.

Anehnya, titit kesayanganku itu justru makin menegak, padahal bukan rangsangan kenikmatan yang didapatnya, melainkan rasa sakit, rasa sakit yang begitu menyiksa. Ingin rasanya aku berontak, tetap tidak bisa, tubuhku masih tetap kaku. Nafas dingin terasa menusuk-nusuk leherku. Hembusan nafas dari sosok yang sejak tadi berada dibelakangku, sosok yang terus menyiksa Bams Junior.

Dingin, sangat dingin, hembusan nafasnya terasa terus mendekat. Entah apa tujuannya, jangan-jangan dia ini Vampire, atau Zombie yang bersiap menggigit leherku?

" Jangan cari aku lagi.. " bisiknya, suara seorang wanita, suara yang lirih, seakan menyimpan banyak pedih.

" Jangan cari aku lagi.. " dia mengulangi kata-katanya barusan.

" Selamat tinggal.. "

Hangat, mendadak segala rasa dingin itu musnah seiring dengan berakhirnya ucap pendeknya barusan. Aku kembali memiliki daya untuk bergerak. Dan yang aku lakukan pertama kali adalah mencari sosok itu. Aku menoleh kebelakang, samar-samar tampak sosok perempuan cantik yang sedang tersenyum kearahku. Sosok yang sangat asing. Sosok itu terus memudar, hilang, hilang, terus menghilang, berganti sosok lain yang lebih aku kenal. Dia..

= = = = =

" Wanda? " tanyaku, sebelah alisku sedikit terangkat.

Mata ini masih menyipit seakan engga mau terbuka, berat, terasa berat, belum terbiasa dengan rangsangan cahaya setelah beberapa saat sebelumnya aku engga sadar diri.

Ga sadar diri? Ah ya, pasti gara-gara tabrakan itu..

" Nga-ngapain kamu pake baju putih-putih ala perawat kayak gitu? "

" Emang lagi ada acara cosplay ya? "

Wanda hanya tersenyum menanggapi rentetan pertanyaan konyol dariku. Pasti, pasti ini masih kelanjutan mimpi panjangku. Aku berharap rentetan kejadian aneh ini semua benar-benar hanya mimpi, begitu juga saat-saat mengerikan pertemuanku dengan Chusnul Alissia imitasi, alias si penjahat kelamin, Chusnul Amiruddin.

Masalahnya, bokongku terasa sedikit nyeri. Jadi sepertinya kejadian itu bukanlah sebuah mimpi.

" Wanda? Bukan mas, aku ini saudara kembarnya Wanda, namaku Windi.. " jawabnya, senyum merekah pada bibir seksinya.

Tunggu-tunggu, ada yang aneh, aku segera berusaha mencerna kata-katanya barusan, " Bukan mas, aku ini saudara kembarnya Wanda, namaku Windi.. ", terus mengulanginya, terus mencoba mencari maknanya. Entah kenapa otakku berjalan sedikit lebih lambat dari biasanya. Efek trauma pasca keperjakaan bokongku direnggut secara paksa sepertinya.

" Eh, Windi? " tanyaku keheranan.

Seingatku, dua kali aku berkunjung kerumah Wanda, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa dia memiliki saudara kandung, apalagi seorang twins seperti ini.

" Hehehe, iya, Windi Adelina.. Jadi mas ini kenal Wanda ya.. " ucapnya sambil mulai memeriksa tekanan darah dan suhu tubuhku.

" Wanda itu saudara kembar aku mas, orang tua kami bercerai lima tahun yang lalu, Wanda ikut papah, dan aku ikut mamah.. " jelasnya, nada suaranya terdengar manja.

" Wanda kuliah di jurusan teknik arsitektur, aku coba masuk ke akper.. Hihihi.. "

Aku mulai memperhatikan baik-baik sosok perempuan cantik itu. Paras wajahnya memang sama persis dengan Wanda, namun banyak perbedaan yang bisa menjadi pembenaran untuk kata-katanya barusan.

Tubuh perempuan ini lebih berisi ketimbang milik Wanda, membuatnya terlihat lebih seksi menggoda. Payudaranya lebih besar, tinggi badannya juga sedikit diatas Wanda. Rambut keduanya sama-sama panjang, sama-sama lurus, dan sama-sama hitam, namun poni milik Windi lebih panjang, berhias jepit disisi kirinya, aksesoris yang sama sekali tidak pernah dikenakan Wanda.

" Oohhh, iya, iya.. " aku manggut-manggut mengerti, " Maaf mbak, maaf, jadi salah orang, hehehe.. "

" Gapapa mas.. "

Aku memandangi sekitar. Rumah sakit, ya, ini pasti rumah sakit. Dan syukurlah aku tidak berada didalam kamar mayat saat ini. Berarti aku sungguh masih hidup.

Kamar ini berukuran cukup luas. Dominan dengan cat warna putih berhias garis panjang biru muda sebagai pemisah antara sisi dinding yang polos dengan sedikit bagian yang dilapis keramik. Bersih, terlihat jelas ini bukan rumah sakit murahan, dan seingatku rumah sakit ini berjarak lumayan jauh dari seputaran hotel laknat tempat aku mendapat double musibah, diperkosa Chusnul Amiruddin, dan tertabrak. Ada sebuah televisi berukuran layar 40 inchi disalah satu sudut ruangan. Aku bukanlah satu-satunya pesakitan yang berada dalam kamar ini. Ada dua orang lainnya.

" Yang diujung kiri itu Opa Gangga.. " jelas Windi, seakan bisa membaca pikiranku akan rasa penasaran pada pasien lainnya didalam ruangan ini.

" Bapak tua itu udah ada disini sejak seminggu yang lalu.. " tambahnya, " Beberapa ototnya sobek.. "

" Eh, sobek? " tanyaku.

" Iya, gara-gara dia ngefans berat sama PSY, penyanyi cowok korea yang rada gedut itu.. "

" Trus apa hubungannya? "

" Nah, itu dia masalahnya, Opa Gangga pingin bisa jago joget Gangnam Style.. " Windi menatap iba pada sosok pria paruh baya yang sedang ditemani oleh dua orang remaja laki-laki berdandan ala boyband Korea itu, " Dia berlatih cukup keras, nyaris lebih dari sepuluh jam setiap hari.. "

Ada juga kasus seperti itu ternyata. Kakeknya fans berat PSY, cucunya pun rasanya juga sesama K-Pop addict, lucu..

" Kemudian yang ditengah ini Budhe Marinem.. " Windi kembali melanjutkan penjelasannya.

" Kali ini kasusnya apa? " selorohku.

" Rahangnya.. " jawab Windi, " Dia terobsesi sama musik rap, Eminem lovers.. "

" Kebanyakan latihan nge-rap? "

" Ho'oh.. "

Oke, jadi mereka ini dua manusia yang sama-sama cedera gara-gara ulah konyol mereka sendiri..

" Dan yang disini ini kakek Bambang.. " ledek Windi sambil mentowel pipiku genit, " Penggemar berat Dora the Explorer.. "

" Mas udah boleh pulang hari ini. Sebenernya sih masnya ini cuma luka ringan, cuma sama penabraknya mas malah dibawa kesini. Semua biaya rumah sakit udah dibayarin seratus persen sama dia mas.. " papar Windi, " Jadi ijin buat mas pulang tinggal nunggu mas sadar aja kok.. "

" E-eh, gitu ya? "

" Iyaaa mas.. "

" Ummm, yang nabrak aku, siapa Win? Kenapa dia ga mau nunggu aku sadar dulu? Emang aku pingsan berapa lama? " aku mencoba mencari tau kebenaran dari beberapa hal yang sejak tadi mengganjalku.

" Cuman pingsan selama beberapa jam aja kok, mungkin sekitar empat jam.. "

" Yang nabrak mas ini seorang perempuan, cantik lho mas perempuan itu.. Tapi, dia minta pihak rumah sakit ngerahasiain identitasnya.. "

" Mas mau mandi sekarang? Nanti Windi bantu, tangan masnya pasti masih sakit.. "

Sebelum mengiyakan tawaran menggiurkan dari Windi barusan, aku mencoba menggerakkan sepasang tangan dan kakiku, memang masih terasa sangat sakit. Aku mengangguk, aku menerima tawarannya. Bukankah seharusnya ada perawat laki-laki yang biasa mendapat jatah tugas untuk ini? Aku tidak perduli, aku trauma berurusan dengan pejantan, apalagi untuk urusan-urusan krusial seperti ini.

" Dibantuin apa nanti sama kamu? Suster? " tanyaku memastikan.

" Jangan dipanggil suster, cukup Windi aja mas. Nanti aku mandiin, tapi, ssstt, jangan bilang siapa-siapa ya.. " bisikknya, yang langsung aku iyakan dengan menutup bibirku rapat-rapat.

" Sebenernya engga boleh, tapi ini pengecualian buat kamu. Mas mau ga? Atau Windi panggil perawat cowok aja? "

Aku menggeleng keras.

Windi menuntunku dengan telaten, pelan-pelan menuju kedalam satu-satunya kamar mandi yang berada didalam kamar. Kebetulan kamar mandi itu berada tepat disebelah ranjangku, hingga kami tidak perlu berjalan terlalu jauh. Sementara Opa Gangga dan Budhe Marinem, serta pembesuk mereka, masih asik menikmati tayangan pencarian bakat penyanyi cilik di televisi yang berada di ujung satunya, mereka tidak sempat melihat kami memasuki kamar mandi.

Setibanya didalam kamar mandi yang ukurannya dua kali lebih besar dari kamar mandi kosanku itu, Windi segera mengunci pintu. Dia mengenakan seragam putih-putih khas perawat. Jangan mengahrap kostum perawat yang berlebihan seperti pada sesi pemotretan Gravure Idol di Jepang, Windi hanya mengenakan seragam kemeja putih berlengan panjang plus celana panjang berbahan kain dengan warna serupa. Sederhana, namun cukup menggoda karena pakaian yang dikenakan Windi sangatlah ketat. Membuat lekuk tubuhnya terekspos jelas.

" Hey mas, tau ga, kalo anak kembar itu selalu punya feeling yang kuat satu sama yang lainnya.. "

" Eh? "

" Aku ngerasa kalo mas ini punya hubungan khusus sama Wanda.. " ujarnya, " Dan mas udah pernah ngelakuin itu sama Wanda kan? "

Aku mengangguk pelan, kaget setengah mati kala mendengar itu semua, bagaimana dia bisa tau? Ternyata memang sepasang anak kembar bisa saling mengerti hingga titik yang tidak dapat dijelaskan oleh nalar manusia sekalipun.

Windi menyisingkan lengan bajunya, menyingkap celana panjangnya, kemudian berjalan mendekatiku. Dia menatapku sayu, berusaha menggodaku dengan wajah cantiknya.

" Kalo gitu, lakuin itu juga sama aku mas.. " pintanya, " Aku pingin ngerasain yang pernah Wanda rasain juga.. "

Belum aku menjawab, Windi langsung menyergap bibirku, menciuminya dengan lair. Bibir kotor ini, bibir yang sama dengan bibir yang pernah diciumi oleh seorang Chusnul Amiruddin, bibir yang juga pernah merasakan bibir saudari kembarnya, Wanda, sahabat ibu kandungku, tante Linda, juga beberapa perempuan lainnya.

" Emmmhh.. "

Aku mulai membalas ciumannya, meremas-remas payudaranya yang lebih besar dibanding milik Wanda dari balik seragam perawatnya. Kenyal, terasa sangat kenyal. Membuatku teringat payudara imitasi milik Chusnul Amiruddin. Ingatan itu menggerakkan tanganku untuk berselancar menuju kebagian bawah tubuh wanda. Aku melepas pengait celananya, menurunkan risletingnya, kemudian sedikit memelorotkan celana panjang putih yang dikenakannya.

Tangan kananku menyusup kedalam celana dalamnya, mencari-cari sesuatu disana yang bisa melegakan pikiranku saat ini. Rambut-rambut halus, tidak banyak, dan celah, sebuah celah sempit, akhirnya aku menemukannya. Celah itu mulai membasah, cairan kewanitaannya mulai membasahi bagian sensitifnya itu.

Lega, aku benar-benar lega dengan keberadaan vagina sempit disana.

Bibir kami masih saling berpagutan, saling mengulum. Rasa ciuman ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ciuman yang diberikan oleh Chusnul Amiruddin sebelum tabrakan tadi mengantarku kesini, namun jelas memiliki sensasi yang berbeda, karena pasangan ciumanku kali ini benar-benar seorang perempuan tulen. Aku bisa menjaminnya, karena kini jari-jemari tangan kananku yang masih sedikit terasa nyeri terus bergerilya disana, dibagian paling sensitif Windi. Menggosok-gosoknya pelan, beberapa kali menyusup, mencari clitorisnya, menggerak-gerakkan jari tengahku disana.

" Ummmhh, en-enak mas.. I-iya bener, disitu, di-situ te-terus.. " Windi mulai meneracau.

Bams Junior pun mulai bereaksi, mulai menegak. Kini tangan kiriku berusaha membuka kancing kemeja yang dikenakan Windi. Sementara tangan kananku memelorot celana dalam pink berenda yang dikenakannya.

Tempat ini adalah tempat umum, rumah sakit. Aku harus cepat-cepat melakukannya, seks kilat. Gapapa kan, asal bisa memuaskan hasrat bercinta yang sebelumnya gagal total akibat ulah Chusnul Amruddin sialan. Iya, harus cepat, sebelum orang-orang mulai menyadari keberadaan kami disini, sebelum ada orang yang..

Dok.. Dokk... Dokkk....

Mengetuk pintu..

" Windiii, cepetan keluar!!! " seseorang berteriak dari luar setelah beberapa kali mengetuk pintu kamar mandi.

" Iyaaa kak Len.. Sebentar, udah mau selesai kok, aku ngebantuin pasien cuci muka. Tadi ada kecoa disini, hiiiyyyyy... " bohong Windi, dia merapikan kembali pakaiannya yang sedikit acak-acakan akibat ulahku.

" Aduh mas, sorry.. " bisik Windi, " Dia ini senior dikampus, kak Leny Santania. pasti nyari aku gara-gara kelamaan disini, orangnya galak mas.. "

" Lain kali dilanjut ya.. "

" I-iya.. " jawabku pasrah, langsung diikuti gerakan Bams Junior yang menunduk lesu.

= = = = =

Hingga kini aku masih bertanya-tanya siapakah sosok bidadari yang menabrakku tempo hari. Meski hanya sekilas menatap wajahnya saat itu, aku masih bisa jelas mengingatnya hingga detik ini. Cantik, sangat cantik. Jauh melebihi kecantikan si kembar Wanda dan Windi, tante Linda, customer service hotel sialan, Anin, atau perempuan lain yang pernah aku kenal selama ini.

Kenapa dia tidak meminta maaf padaku? Kenapa dia tidak berani menemuiku? Kenapa dia meminta pihak rumah sakit untuk merahasiakan identitasnya?

Dan anehnya, dia telah membayar lunas seluruh biaya rumah sakit. Mungkin dia takut aku menuntut lebih banyak kepadanya. Iya, mungkin saja. Atau jangan-jangan dia penabrak berbikini yang kini terjebak didalam satu ruangan kecil penuh polisi-polisi mupeng? Engga, engga, engga mungkin, seingatku dia berpakaian lengkap kok.

" Mbeeeng semangaaat!!! " teriak Wanda dari pinggir lapangan, membuyarkan segala lamunanku.

Hari ini ada pertandingan penting untuk team futsal kampus, sebuah partai final. Iya, final kejuaraan futsal tingkat mahasiswa se-Surabaya, dimana aku menjadi penjaga gawang utama di team kampusku. Kami harus berhadapan dengan team juara bertahan, yang kebetulan adalah team futsal dari kampus tempat kakak kandungku, Jokoli, mengambil studi yang sama denganku. Kami memang sama-sama memutuskan untuk menjadi mahasiswa Teknik Arsitektur. Berusaha merintis jalan menjadi duo racun, eh, duo Soekawi, yang memiliki bisnis konstruktor raksasa di Surabaya, meski mengawalinya dari kampus yang berbeda.

Aku harus berhenti memikirkan perempuan cantik pengendara Honda Brio yang menabrakku. Setidaknya untuk sementara waktu sampai pertandingan ini selesai.

Wuuussssshhh..

Pemain nomor sepuluh team kampus Jokoli melakukan sepakan kearah gawang, aku beringsut melompat, berusaha untuk menepisnya. Bereaksi seperti kiper ganteng Pescara, Mattia Perin, saat melakukan penyelamat gemilang, dan..

Krakkk..

Sepakan pemain yang paling banyak mendapat support perempuan-perempuan disekitar lapangan itu membentur mistar gawang. Luar biasa, sejak tadi penampilannya sangat gemilang. Berbanding terbalik dengan kakakku yang harus puas duduk di bench pemain cadangan. Jokoli memang tidak terlalu hebat dalam sepakbola, namun dia memiliki lari yang sangat kencang, satu-satunya kelebihan yang bisa diandalkannya.

Bukan tanpa alasan, karena sejak kecil dia selalu menjadi target utama Hugo, anjing Chihuahua mini berotak mesum milik tetangga kami yang gemar menjilati titit anak-anak kecil disekitaran daerah kekuasaannya. Kecepatan berlari Jokoli didapatnya dari aksi kejar-mengejarnya dengan Hugo setiap kali dia berangkat dan pulang dari sekolah.

Entah kenapa nasibnya sungguh sangat malang, bahkan sejak kecil. Kemalangan yang membawa berkah, karena kecepatan lari Jokoli kini bisa disetarakan dengan pelari pemecah rekor, Usain Bolt.

Iya, jika Usain berlari mengenakan sepatu hak tinggi.

" Ve-ra-no, Ve-ra-no, Ve-ra-no.. "

Teriakan suporter team Jokoli kian menggila setelah aksi luar biasa Verano barusan, dialah sang pemain bernomor punggung sepuluh dari team lawan, team Jokoli. Seseorang yang paling banyak mendapat atensi para penonton, termasuk suporter kami sendiri. Khususnya para kaum hawa yang dibuatnya terus memekik histeris meneriakkan namanya. Ada yang berjingkat-jingkat kegirangan, menari-nari asal-asalan, hingga ada juga yang membawa boneka voodoo bertuliskan Verano untuk kemudian menusuk-nusuknya dengan jarum tepat dibagian dada boneka itu.

Hadeeeh, udah tahun 2013 masih juga percaya hal-hal begituan..

Dari salah satu tribun yang berseberangan dengan tempat duduk Wanda, ada seorang mahasiswi cantik yang terus mengamatinya, Ribka, dia pasti Ribka Stefanie, perempuan yang menolak cinta Jokoli mentah-mentah. Perempuan cantik bertubuh mungil dengan payudara ukuran ekstra yang sering diceritakan olehnya.

Verano kembali menguasai bola. Satu, dua, tiga pemain sukses dilewatinya. Kini dia tinggal berhadapan dengan Dimas, dan aku. Dengan beberapa gerakan, dia sukses mengecoh Dimas, melakukan sepakan keras lagi, dan..

Brakkk..

Tubuhku terlempar masuk kedalam gawang. Sakit, sakit, sangat sakit. Bola hasil sepakan kerasnya itu malah mengenai kepalaku. Aku kurang fokus kali ini, terlalu banyak yang aku pikirkan, ditambah lagi penonton-penonton cantik disekitar lapangan yang terus menggoda hasrat Bams Junior. Untungnya, bola belum melewati garis gawang, Dimas segera melakukan clearance, penyelamatan bersih, tepat beberapa detik sebelum Verano tiba untuk menyambar bola.

Selamat, gawang kami selamat dari kebobolan. Penonton kian riuh, kali ini meneriakkan nama Dimas keras-keras. Dan aku masih terjebak disini, terjerat jala gawang. Mirip ikan tongkol engga berdaya saat tertangkap jaring-jaring pengais nafkah milik para nelayan.

Wuuussssshhh..

Belum juga bangkit, Verano kembali menerima bola dan segera melepaskan sepakan keras kearah gawang. Sepakan keras yang sekarang berkekuatan dua kali lipat lebih powerfull dibanding sepakan yang tadi mengenai kepalaku. Meluncur deras kearah gawang, sukses melewati hadangan Dimas dan pemain lain dari team kami. Terus melaju, melaju makin mendekati gawang kami.

" Astaga.. " ujarku lirih, pasrah, saat bola itu terus menerjang kearahku, lebih tepatnya kearah..

Tititku!!!!!

Iya, benar-benar kearah Bams Junior!!!

Aku berusaha melepaskan diri dari jeratan jala gawang, namun lengan dan kakiku masih tersangkut. Sementara mataku sedikit berkunang-kunang, kepalaku pun sedikit terasa pusing akibat efek sepakan pertama tadi. Tidak bisa, aku tidak bisa menghindarinya. Laju bola yang deras itu bersiap menghantam K.O Bams Junior.

" Kenapa, kenapa, oooh kenapa.. "

" Kenapa aku terus mendapat nasib malang seperti ini.. "

" Aaarrrgggghhhhh!!! "

" Emmaaakk tolllooonnnnnggg!!!!! "

LimaDiam itu Dimas

Diam itu emas.Kalo gitu coba deh dipraktekin dirumah,diem aja ga usah ngomong apa-apa, tar diliat waktu pup,keluar emas kah?

Final kejuaraan futsal antar kampus telah berakhir dua hari yang lalu. Hasilnya sangat, sangat, sangat mengecewakan. Team futsal kami dihajar telak oleh team juara bertahan, lawan kami, yang tidak lain adalah team futsal kampus Jokoli, kakakku (meski dia sama sekali tidak sempat turun untuk ikutan bermain). Dua gol untuk kami, dan tiga belas gol untuk mereka.

Dua berbanding tiga belas...

Skor yang sangat mencolok. Gila, edan, sinting, mereka bahkan sampai bisa menceploskan bola kedalam gawang kami hingga lebih dari selusin banyaknya. Sepuluh gol diantaranya didapat dari ace striker mereka, Verano Alexandr Raphelle. Pemain futsal ganteng yang banyak dielukan para penonton, pemain futsal ganteng sialan yang mencederai titit kesayanganku.

Huhuhu.. Bams Junior yang malang..

Tendangan kerasnya benar-benar cetar membahana menembus cakrawala dunia tepat mengenai Bams Junior. Untungnya, saat itu aku sedang mengenakan popok Pampers tebal ukuran besar yang memang biasa aku kenakan ketika harus menjalani pertandingan-pertandingan futsal penting. Sekedar berjaga-jaga jikalau Bams Junior ingin memuntahkan kreatifitasnya menjadi aliran air seni ditengah-tengah jalannya pertandingan.

Keberadaan popok itu sedikit mereduksi kekuatan tendangan Verano yang menerjang buas Bams Junior. Verano sialan, lain kali pasti aku membalasnya saat kita kembali bertemu didalam pertandingan futsal berikutnya. Nanti aku coba bertukar posisi menjadi seorang defender yang siap menghabisimu.

Aku melirik kebawah, kearah Bams Junior, menatap iba padanya. Titit kesayanganku itu kini berbalut perban. Miris, begitu menyayat hati melihat kondisinya yang memprihatinkan seperti ini. Butuh beberapa hari untuk membuatnya pulih kembali.

Untungnya tante Linda sangat memperhatikan kondisi Bams Junior.

Wajar, karena selama ini kepuasannya selalu bergantung kepadaku dan juga Bams Junior, setidaknya sampai suaminya, Pak Karmoto, kembali dari Madura nanti. Bagi tante Linda, keberadaan Bams Junior sangatlah penting. Tititku ini seakan menjadi properti paling berharga yang dia miliki. Disimpan rapi dalam celana dalamku, dibungkus dengan kertas kado cantik warna pink berhias pita merah.

Sip deh..

Tante Linda bahkan rela membiayai pengobatan Bams Junior ke klinik Tong Seng hingga sembuh. Iya, klinik itu, klinik mahal dan narsis itu. Salah satu klinik paling populer yang dikenal bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit melalui iklan komersialnya yang sungguh epic. Belum juga sembuh dari sakit tititku, mereka sudah memaksaku untuk syuting iklan demi menambah portofolio video komentar para pasien dengan berbagai penyakit yang tengah gencar mereka arsip. Bisa dikeluarkan sewaktu-waktu kala mereka ingin mengubah variasi iklan komersial yang baru.

Dulu, tititku sakit gara-gara terkena bola yang melaju sangat deras saat sedang bermain futsal. Setelah aku berobat ke klinik Tong Seng, sekarang aku tak punya titit lagi, terima kasih Tong Seng..

Lho?

Engga, engga seperti itu..

Ada hal lain yang mengganjal pikiranku sejak pertandingan final itu usai. Bukan hanya tentang kekalahan memalukan atas team juara bertahan, atau karena aku harus mengalami cedera titit seperti ini. Ada hal lain, ya, memang ada hal lain. Kali ini berhubungan dengan sahabat karibku, Dimas, Dimas Herdiono.

Selepas pertandingan itu dia terlihat lebih sering menghindariku. Entah kenapa, bahkan dia memilih untuk pindah kos, makin jauh, sangat jauh dari tempat kosku. Padahal sebelumnya kosan kami berada di kampung yang sama. Apa gara-gara aku bermain buruk saat itu? Atau gara-gara dia terlalu kecewa kalah di partai final seperti itu?

Entahlah..

= = = = =

Malam ini cuaca di Surabaya terasa sangat dingin. Hujan, hujanlah penyebabnya. Sejak siang tadi kota pahlawan terus diguyur oleh deras air hujan yang disertai gemuruh teriakan para dewa petir. Memekakkan telinga, mengganggu aktifitas kami semua yang selalu bernaung dibawah awan. Awan mendung.

Menyalakan televisi atau barang elektronik lainnya jelas bukan merupakan pilihan bijak dalam situasi seperti ini. Aku tidak mau jika kesialanku sampai bertambah satu lagi dengan tersambit sambaran petir hingga gosong mirip display ikan patin bakar favoritku.

Slappp...

Gelap, mendadak kamar kosanku berubah menjadi gelap. Aku bisa memastikan bahwa mataku saat ini sama sekali tidak sedang memejam. Berarti memang saat ini lampu mati disini. PLN kurang ajar, selalu mematikan listrik seenak jidat.

Aku meringkuk dipojokan kamar. Diluar hujan, didalam gelap, lengkap. Ditambah lagi hari ini adalah hari libur nasional, tinggal tersisa aku sendiri dikosan, anak-anak yang rata-rata berasal dari kota lain lebih memilih pulang kampung. Aku memutuskan tidak pulang kerumah karena orang tuaku sedang berada di Malang, menghadiri resepsi pernikahan anak perempuan ayahku, sementara Jokoli berlibur ke Bromo bersama anggota team futsal kampusnya, merayakan kemenangan mereka sepertinya.

Gelap, masih sangat gelap, dan aku benar-benar bingung harus berbuat apa. Aku juga tidak mengingat adanya stok lilin disini. Aduh, aduh, gawat, bisa mati garing kebosanan kalau terus seperti ini. Selain itu ada hal lain yang cukup menggangguku. Cerita dari anak-anak tentang adanya hantu Joko Gantung disini, dikosan ini.

Konon, dulu ada penghuni kos disini yang bunuh diri gantung diri akibat terlalu lama berstatus sebagai perjaka. Mengerikan. Semoga arwahnya tidak menghampiriku, nanti aku kasih nocan dan pincan mantan TTM ku deh.

Dokk, dokkk, dokkkk...

Spontan, tubuhku langsung terjingkat, kaget mendengar ketokan pintu barusan. Siapa, siapa itu, jangan-jangan si Joko Gantung, jangan-jangan maling. Jangan-jangan orang jahat yang ingin menculikku untuk kemudian menjualku kepada sindikat perdagangan titit manusia. Atau jangan-jangan dia itu Chusnul Amiruddin yang ingin kembali bermain denganku.

Astaga, pikiranku benar-benar kacau.

Dokk, dokkk, dokkkk...

Dia kembali mengetuk, lebih kencang. Aku memberanikan diri untuk bangkit dari posisiku, memanfaatkan fasilitas sederhana flashlight dari hape bututku untuk membantu memberiku penerangan, kemudian mengambil sapu yang tergeletak tepat dibelakang pintu. Aku berjalan pelan-pelan, mengendap-endap menuju kearah pintu kamarku. Tangan kananku siaga membawa sapu, sementara tangan kiriku tetap menggenggam hape butut dengan fitur senter redup tahan banting itu. Hape yang aku dapat dari undian berhadiah saat aku mengikuti kegiatan jalan sehat Surabaya - Mojokerto tahun lalu.

Dokk, dokkk, dokkkk...

Orang ini, siapapun dia, bener-bener engga sabaran, annoying. Siapa sih? Aku baru tiba didepan pintu, membuka ku