buat-vinaa-simelemele

63
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pemicu Seorang anak laki-laki usia 6 tahun, dibawa orang tuanya ke puskesmas. Orang tua pasien mengeluhkan anaknya demam yang lama dan berulang tanpa sebab yang jelas. Demam disertai dengan keringat malam. Pasien juga mengeluhkan batuk yang panjang selama 4 bulan. Pasien juga mengalami penurunan berat badan dan nafsu makan menurun sejak 2 bulan yang lalu. Pasien tampak semakin melemah. Pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit di sekitar leher. 1.2 Klarifikasi dan Definisi - 1.3 Kata Kunci a. Anak laki-laki, 6 tahun b. Batuk 4 bulan c. Keringat malam d. Penurunan berat badan e. Demam berulang f. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis

Upload: deproissant

Post on 24-Jan-2016

224 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Bahan DK

TRANSCRIPT

Page 1: buat-vinaa-simelemele

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu

Seorang anak laki-laki usia 6 tahun, dibawa orang tuanya ke puskesmas.

Orang tua pasien mengeluhkan anaknya demam yang lama dan berulang tanpa

sebab yang jelas. Demam disertai dengan keringat malam. Pasien juga

mengeluhkan batuk yang panjang selama 4 bulan. Pasien juga mengalami

penurunan berat badan dan nafsu makan menurun sejak 2 bulan yang lalu. Pasien

tampak semakin melemah. Pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran kelenjar

limfe superfisialis yang tidak sakit di sekitar leher.

1.2 Klarifikasi dan Definisi

-

1.3 Kata Kunci

a. Anak laki-laki, 6 tahun

b. Batuk 4 bulan

c. Keringat malam

d. Penurunan berat badan

e. Demam berulang

f. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis

1.4 Rumusan Masalah

Laki-laki 6 tahun mengeluh demam berulang disertai keringat malam, dan

batuk selama 4 bulan.

Page 2: buat-vinaa-simelemele

1.5 Analisis Masalah

1.6 Hipotesis

Anak laki-laki 6 tahun tersebut mengalami tuberkulosis.

Laki-laki 6 tahun

Anamnesis:- Demam berulang

- Batuk 4 bulan

- Keringat malam

- Penurunan berat badan dan nafsu makan

Pemeriksaan fisik:Pembesaran kelenjar limfe superfisialis

Suspect TB Anak

DD:- Ascariasis

- ISPA

-

TB dengan HIV (+) TB dengan HIV (-)

Pemeriksaan Penunjang:- Uji Tuberkulin

- Scoring TB

Diagnosis

Tatalaksana

Prognosis

Page 3: buat-vinaa-simelemele

1.7 Pertanyaan Diskusi

1. Jelaskan mengenai tuberkulosis pada anak!

2. Jelaskan mengenai tuberkulosis dengan HIV!

a. Kriteria diagnosis

b. Pemeriksaan penunjang

c. Tatalaksana

3. Bagaimana kasus tuberkulosis di Kalimantan Barat?

a. Kejadian di Kalimantan Barat

b. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus TB

4. Bagaimana kasus Ascariasis di Kalimantan Barat?

a. Faktor resiko

b. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus ascariasis

5. Bagaimana kasus HIV di Kalimantan Barat?

a. Faktor resiko

b. Kejadian di Kalimantan Barat

c. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus HIV

6. Bagaimana upaya mencegah kasus pertusis?

7. Bagaimana kasus ISPA di Kalimantan Barat?

a. Faktor resiko

b. Kejadian di Kalimantan Barat

c. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus ISPA

8. Bagaimana mekanisme penurunan berat badan pada anak dengan TB?

9. Mengapa terjadi pembesaran kelenjar limfe superfisialis?

BAB. II

PEMBAHASAN

2.1. Tuberkulosis pada Anak

a. Definisi

Page 4: buat-vinaa-simelemele

Tuberkulosis atau TB merupakan penyakit infeksi bakteri yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang terutama menyerang

paru.

WHO. Tuberculosis. 2015 [cited 11 septemebr 2015]. Available from:

http://www.who.int/topics/tuberculosis/en/.

b. Etiologi

Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Mycobacterium tuberculois.

Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

dan bentuk dari bakteri ini yaitu batang, tipis, lurus atau agak bengkok,

bergranul, tidak mempunyai selubung tetapi kuman ini mempunyai lapisan

luar yang tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Sifat dari

bakteri ini agak istimewa, karena bakteri ini dapat bertahan terhadap

pencucian warna dengan asam dan alkohol sehingga sering disebut dengan

bakteri tahan asam (BTA). Selain itu bakteri ini juga tahan terhadap

suasana kering dan dingin. Bakteri ini dapat bertahan pada kondisi rumah

atau lingkungan yang lembab dan gelap bisa sampai berbulan-bulan

namun bakteri ini tidak tahan atau dapat mati apabila terkena sinar,

matahari atau aliran udara.

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga.

c. Patofisiologi

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB.

Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat

kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian

kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme

imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis

spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat

dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh

kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian

besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat

Page 5: buat-vinaa-simelemele

dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya

menyebabkan lisis makrofag.

Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang

dinamakan fokus primer Ghon. Dari fokus primer Ghon, kuman TB

menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu

kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.

Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus

primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan

terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus

primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar

paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis

dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga

terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa

inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses

infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga

timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12

minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi

tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu

jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular Pada saat

terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah

terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk,

yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji

tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem

imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang,

proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB

dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk,

kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan

oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).

Page 6: buat-vinaa-simelemele

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru

biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis

atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar

limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi

penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan

paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun

dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di

paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar

dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis

perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui

bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada

awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,

sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat

tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui

mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat

menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis

perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,

sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.

Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus

sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering

disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi,

sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen

dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar

limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar

secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen

langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke

seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan

TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Page 7: buat-vinaa-simelemele

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui

cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit

sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan

mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang

mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan

kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain

seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di

sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula

dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus

Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB

apeks paru saat dewasa.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran

hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).

Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam

darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.

Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi

infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman

TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis

diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)

dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun

(balita) terutama di bawah dua tahun.

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic

spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding

vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar

kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB

akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized

hematogenic spread

d. Klasifikasi

Page 8: buat-vinaa-simelemele

Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal

berikut:

1) Lokasi atau organ tubuh yang terkena:

a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang

menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput

paru) dan kelenjar pada hilus.

b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),

kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,

alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya pembesaran

kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru.

2) Riwayat pengobatan sebelumnya:

a. Baru

Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT

atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis)

dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi

penyakit bisa paru atau ekstra paru.

b. Pengobatan ulang

Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih

dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai

definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan

hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai

kambuh, gagal atau pasien yang diobati kembali setelah putus berobat

(lost to follow-up).

3) Berat dan ringannya penyakit

a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,

misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll

b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat

atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan

sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif,

TB resisten obat, TB HIV.

Page 9: buat-vinaa-simelemele

4) Status HIV

Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB

pada daerah endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan

pemeriksaan HIV, TB pada anak diklasifikasikan sebagai:

a. HIV positif

b. HIV negatif

c. HIV tidak diketahui

d. HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV

diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif.

Apabila hasil pemeriksaan HIV menunjukkan hasil negatif pada anak

usia < 18 bulan, maka status HIV perlu diperiksa ulang setelah usia >

18 bulan.

5) Resistensi Obat

a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah

satu jenis OAT lini pertama.

b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap

lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R) secara bersamaan.

c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan

terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini

pertama lainnya.

d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan

terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah

satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin

dan Amikasin.

e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap

Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang

dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan

konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam kelompok ini

adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam bentuk

Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR.

Page 10: buat-vinaa-simelemele

Sumber: Kemenkes. Petunjuk teknis manajemen TB anak. Kemenkes:

2013.

e. Epidemiologi

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif

secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa

akan kehilangan waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat

pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.

Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar

15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan

dampak buruk lainnya secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh

masyarakat. Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara

dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus

adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah

430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan

61,000 kematian per tahunnya.

Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi

HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan

sebagai epidemik terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan

perkecualian di provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah mencapai

2,5% (generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi

HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%. Sejumlah 12 provinsi telah

dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV dan estimasi

jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-400.000.

Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%.

Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru

(lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari

kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300

kasus MDR TB setiap tahunnya.

Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia

merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di

Page 11: buat-vinaa-simelemele

wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB

untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada

tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan

dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya

terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB

BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata

pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah

sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target

global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB

nasional yang utama.2

KEMENKES RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis.

f. Kriteria diagnosis

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan

pada :

1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.

2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB

anak.

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

a) Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik

dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya

perbaikan gizi yang baik.

b) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas

(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).

Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan

gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala

sistemik/umum lain.

Page 12: buat-vinaa-simelemele

c) Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda

atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah

dapat disingkirkan.

d) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal

tumbuh (failure to thrive).

e) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

f) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan

pengobatan baku diare.

Gejala klinis spesifik terkait organ

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang

terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan

kulit, adalah sebagai berikut:

a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi

kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.

b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:

Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai

gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.

Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.

c. Tuberkulosis sistem skeletal:

Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang

(gibbus).

Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda

peradangan di daerah panggul.

Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa

sebab yang jelas.

Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

d. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit

antar tepi ulkus (skin bridge).

e. Tuberkulosis mata:

Page 13: buat-vinaa-simelemele

Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).

Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal

dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa

sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

Sumber: Kemenkes. Petunjuk teknis manajemen TB anak. Kemenkes:

2013.

Sistem skoring TB pada anak

Page 14: buat-vinaa-simelemele

g. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis pasti TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB

yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas

lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.

Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan

mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan

BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB,

dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan

serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk

digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK

Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013

tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis

TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya

mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi

sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut,

apabila fasilitas tersedia.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan

histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran

yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma

dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan

gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

Page 15: buat-vinaa-simelemele

Perkembangan Terkini Diagnosis TB

Pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan metode

cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid

Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih

terbatas digunakan di semua negara karena membutuhkan biaya mahal dan

persyaratan laboratorium tertentu. Saat ini data tentang penggunaan Xpert

MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari

pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari

pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert

MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.

Cara Mendapatkan sampel pada Anak

1. Berdahak

Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan

untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak

yang mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil

positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.

2. Bilas lambung

Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan

pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan

spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.

3. Induksi Sputum

Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada

anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung,

terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa

dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan

peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.

Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan

sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB

sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas

(inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan

Page 16: buat-vinaa-simelemele

untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan

kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman

penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh

karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen

sputum. Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak

dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala

klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat

kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi

penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu

dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan

uji tuberkulin.

Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas

terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak

langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam

tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji

tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien

memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan

kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut

secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai

infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak

mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB

serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan

radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat

menyerupai gejala akibat penyakit lain.

Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan

foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga

dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto

toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali

gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang

TB adalah sebagai berikut:

Page 17: buat-vinaa-simelemele

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks

lateral)

b. Konsolidasi segmental/lobar

c. Efusi pleura

d. Milier

e. Atelektasis

f. Kavitas

g. Kalsifikasi dengan infiltrat

h. Tuberkulomaa

Sumber: Kemenkes. Petunjuk teknis manajemen TB anak. Kemenkes:

2013.

h. Tatalaksana

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan

profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,

sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis

primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).

Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:

1) Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai

monoterapi.

2) Pemberian gizi yang adekuat.

3) Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

Paduan OAT Anak

Prinsip pengobatan TB anak:

• OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk

mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman

intraseluler dan ekstraseluler

Page 18: buat-vinaa-simelemele

• Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka

panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya kekambuhan

• Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan

minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan

berat ringannya penyakit.

o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil

pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap

intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk

mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika

obat tidak diminum setiap hari.

• Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun

ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain

dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.

• Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,

TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan

kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam

3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian

kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan

tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini

untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan

jaringan.

• Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:

o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR

o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR

• Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat

Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari

kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan

Page 19: buat-vinaa-simelemele

dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk

satu pasien.

• OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk

digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT

KDT

KEMENKES RI. 2013. Petunjuk Teknis Menajemen TB Anak.

2.2. Tuberkulosis dengan HIV

a. Kriteria diagnosis

1) Diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV bersifat presumtif berdasarkan

riwayat kontak dengan TB dewasa, uji tuberkulin ≥ 5 mm, klinis dan

foto toraks sugestif TB.

2) Uji tuberkulin positif menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi

kuman TB, tidak menentukan tidak sakit/sakit TB aktif atau beratnya

penyakit. Pada anak terinfeksi HIV, uji tuberkulin dikatakan positif

bila diameter ≥ 5 mm. Bila hasilnya < 5 mm, TB belum dapat

langsung disingkirkan karena ada beberapa keadaan yang

menyebabkan “negatif palsu”. Kondisi yang menyebabkan “negatif

palsu” adalah infeksi HIV, malnutrisi berat, infeksi bakteri berat,

infeksi virus, obat imunosupresif dan prosedur penyuntikan yang

salah.

3) Gejala klinis TB pada anak terinfeksi HIV sama dengan yang tidak

terinfeksi HIV tetapi pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering

mengalami TB diseminata. Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV

sering sulit dibedakan dengan kondisi lain akibat infeksi HIV seperti

Lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP), pneumonia bakteri, PCP,

bronkiektasis dan Sarkoma Kaposi. Gejala klinis umum TB pada anak

terinfeksi HIV antara lain batuk persisten lebih dari 3 minggu yang

tidak membaik setelah pemberian antibiotik spektrum luas, malnutrisi

berat atau gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat malam

yang menyebabkan anak sampai harus ganti pakaian, gejala umum

Page 20: buat-vinaa-simelemele

non-spesifik lainnya dapat berupa fatigue (kurang aktif, tidak

bergairah). Indikator yang baik terdapatnya penyakit kronik dan TB

anak adalah gagal tumbuh meskipun keadaan ini dapat pula

disebabkan kurang nutrisi, diare kronik dan infeksi HIV. Bila anak

mengalami gejala respiratori tetapi tidak tampak tanda-tanda penyakit

akut dan pasien telah mendapat antibiotik spektrum luas maka dapat

dicurigai TB. Beberapa kelainan jantung bawaan dan kardiomiopati

mempunyai gejala klinis menyerupai TB paru.

Sumber : Kemenkes RI. Petunjuk teknis tatalaksana klinis ko-infeksi

TB-HIV. Kemenkes: 2012.

b. Pemeriksaan penunjang

Page 21: buat-vinaa-simelemele

Keterangan:

a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut:

frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120

kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa bantuan.

b. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif =

bila 2 sediaan hasilnya negatif.

c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK.

d. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah

CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.

Page 22: buat-vinaa-simelemele

e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara

bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi

sehingga mempercepat penegakan diagnosis.

f. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi

bakteri tipikal dan atipikal.

g. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.

h. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA

rawat jalan adalah sebagai berikut:

a. Kunjungan pertama: Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan pada

kunjungan pertama. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA positif maka

pengobatan TB dapat diberikan kepada pasien tersebut.

b. Kunjungan kedua: Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada

kunjungan kedua perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto

torapks,ulangangi pemeriksaan mikroskopis dahak, lakukan pemeriksaan

biakan dahak dan pemeriksaan klinis oleh dokter. Pemeriksaan pada kunjungan

kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua dari kunjungan pasien di

Fasyankes tersebut. Hasil pemeriksaan dari kunjungan kedua ini sangat penting

untuk memutuskan apakah pasien tersebut perlu mendapat pengobatan TB atau

tidak. Penentuan stadium klinis HIV harus dikerjakan dan pemberian PPK

harus diberikan sesuai pedoman nasional.

c. Kunjungan ketiga: dilakukan secepat mungkin setelah ada hasil pemeriksaan

pada kunjungan kedua. Pasien yang hasil pemeriksaannya mendukung TB

(misalnya gambaran foto toraks mendukung TB) perlu diberi OAT. Pasien

dengan hasil yang tidak mendukung TB perlu mendapat antibiotik spektrum

luas (jangan menggunakan golongan fluorokuinolon) untuk mengobati infeksi

bakteri lain atau pengobatan untuk PCP. Juga perlu dilakukan penentuan

stadium klinis HIV dan PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.

d. Kunjungan keempat: Pada kunjungan ke empat ini haruslah diperhatikan

bagaimana respons pasien pada pemberian pengobatan dari kunjungan ketiga.

Page 23: buat-vinaa-simelemele

Untuk pasien yang mempunyai respons yang baik (cepat) terhadap pengobatan

PCP atau pengobatan dengan antibiotik, lanjutkan pengobatannya untuk

menyingkirkan terdapatnya juga TB (superimposed tuberculosis). Bagi pasien

yang mempunyai respons yang kurang baik atau tidak baik pada pengobatan

PCP atau pengobatan pneumonia karena bakteri lainnya, perlu dilakukan

pemeriksaan ulang untuk TB baik secara klinis maupun pemeriksaan dahak.

Kemenkes RI. Petunjuk teknis tatalaksana klinis ko-infeksi TB-HIV.

Kemenkes: 2012.

c. Tatalaksana

Rekomendasi pengobatan TB pada anak terinfeksi HIV saat ini sama

dengan pengobatan untuk anak tanpa infeksi HIV. Pengobatan dibagi menjadi

dua fase, yaitu fase intensif selama 2 bulan, dilanjutkan dengan fase kontinu

selama 4 bulan. Total lama pemberian OAT adalah 6-9 bulan. Lama

pemberian ini juga tergantung pada berat/ luasnya penyakit TB, BTA positif

atau negatif, dan keterkaitan dengan HIV.

Respons klinis, radiologis dan mikrobiologi terhadap pengobatan

sebaiknya dievaluasi sebelum pengobatan dihentikan pada akhir bulan ke-6.

Jika respons klinis atau radiologis masih buruk, atau biakan M.Tb positif

setelah fase intensif pengobatan, pemberian OAT harus diteruskan paling

sedikit 9 bulan.

Sumber: Nastiti N Rahajoe, Darfioes Basir, Makmuri MS, Cissy B

Kartasasmita. Tuberkulosis dengan HIV. Pedoman Nasional Tuberkulosis

Anak Edisi-2 dengan Revisi, UKK Pulmonologi PP IDAI, September 2008.

Pengobatan TB pada Anak Terinfeksi HIV

Paduan obat dan lama pengobatan

Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping

minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini,

Page 24: buat-vinaa-simelemele

paduan obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO

(2011) adalah tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV (selain TB milier,

meningitis TB dan TB tulang) harus diberikan 4 macam obat (RHZE) selama

2 bulan pertama dilanjutkan RH sampai minimal 9 bulan. Pada meningitis TB

dan TB milier diberikan RHZES selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH

sampai 12 bulan. Pada TB tulang diberikan RHZE selama 2 bulan pertama,

dilanjutkan RH sampai 12 bulan.

Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps

yang lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal

ini maka pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu

minimal 9 bulan sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang

selama 12 bulan. Mortalitas TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar

dibanding anak yang tidak terinfeksi karena tingginya ko-infeksi oleh patogen

lain, absorpsi dan penetrasi OAT terhadap organ yang terkena pada anak

terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis, kepatuhan kurang, malnutrisi berat dan

imunosupresi berat.

Sumber : Kemenkes RI. Petunjuk teknis tatalaksana klinis ko-infeksi TB-

HIV. Kemenkes: 2012.

2.3. Kasus Tuberkulosis di Kalimantan Barat

a. Kejadian di Kalimantan Barat

Jumlah kasus penyakit tuberculosis (TB) paru BTA positif di Kalimantan

Barat mencapai 5.629 kasus pada tahun 2013. Kepala Bidang Pengelola

Penyakit dan Pendekatan Lingkungan Dinkes Kalbar, Honggo Simin

menyatakan pada tahun 2013 sebanyak 5.629 kasus yang dikonfirmasi BTA

positif dengan total ada 5.771 kasus. Dari jumlah tersebut 5.629 dinyatakan

TB paru BTA positif, sedangkan sisanya 142 kasus dinyatakan ekstra paru.

Berdasarkan penelusuran terhadap kasus TB, kota Pontianak berada pada

posisi kedua untuk jumlah penderitanya.

Page 25: buat-vinaa-simelemele

(http://infopontianak.org/kota-pontianak-peringkat-2-kasus-tb-se-

kalbar/ update 28 march 2015 cited 8 September 2015)

Hasil rekapitulasi profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2006 didapat

kasus TB Paru dengan BTA (+) sebanyak 3.925 kasus. Dari 3.778 penderita

yang diobati, sebanyak 3.114 penderita diantaranya (82,42%) adalah

penderita yang sembuh setelah diobati. Dengan demikian, angka kesembuhan

penderita TB Paru BTA + di Kalimantan Barat sudah melebihi dari target

indonesia pada tahun 2010 yaitu 80%. (riskesdas 2007)

b. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus TB

Pengendalian TB di Indonesia 2

Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7

strategi:

1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.

2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan

masyarakat miskin serta rentan lainnya.

3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat

(sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB

Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public-Private Mix) dan menjamin

kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan TB

(International Standards for TB Care).

4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.

5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan

manajemen program pengendalian TB.

6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program

TB

7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi

strategis.

Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2015-2019

merupakan pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa

Page 26: buat-vinaa-simelemele

pengembangan strategi baru untuk menghadapi target dan tantangan yang

lebih besar.

Aspek Manajemen Program TB

a. Tingkat Pusat

Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional

Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum

kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri

Kesehatan RI sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian

TB. Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan

oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis.

b. Tingkat Propinsi

Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari

TimPengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi

disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan program TB

di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan Propinsi.

c. Tingkat Kabupaten/Kota

Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang

terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur

organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota. Dalam

pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Aspek Tatalaksana pasien TB

Dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan

Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).

a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)

FKTP dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang

mampu memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari

promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Fasilitas kesehatan yang

Page 27: buat-vinaa-simelemele

termasuk dalam FKTP adalah Puskesmas, DPM, Klinik Pratama, RS

Tipe D dan BKPM. Dalam layanan tatalaksana TB, fasilitas kesehatan

yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis disebut FKTP

Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM). FKTP Rujukan Mikroskopis

(FKTP-RM) menerima rujukan pemeriksaan mikroskopis dari FKTP

yang tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan mikroskopis yang disebut

sebagai FKTP Satelit (FKTP-S).

b. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)

FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu

memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif,

preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif untuk kasus-kasus TB

dengan penyulit dan kasus TB yang tidak bisa ditegakkan diagnosisnya

di FKTP. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS

Tipe C, B dan A, RS Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional,

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)dan klinikutama.

Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara

berkualitas dan terjangkau, semua fasilitas kesehatan tersebut diatas perlu

bekerja sama dalam kerangka jejaring pelayanan kesehatan baik secara

internal didalam gedung maupun eksternal bersama lembaga terkait di semua

wilayah.

KEMENKES RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis.

2.4. Kasus Ascariasis di Kalimantan Barat

a. Faktor resiko

Faktor risiko lain terjadinya askariasis antara lain adalah bermain-main di

tanah sekitar rumah, menggunakan tinja sebagai pupuk, memakan sayur-

sayuran mentah tanpa dicuci atau dimasak terlebih dahulu. Selain itu, faktor

lain yang mempengaruhi adalah lingkungan (sumber air, kondisi rumah

tinggal), faktor sosial, ekonomi, dan kebudayaan (Inge Sutanto, 2008)

Page 28: buat-vinaa-simelemele

Sumber: Sutanto,Inge, Is Suhariah I, Pudji K. S, Saleha S 2008, Parasitologi

Kedokteran, Edisi Keempat, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

b. Upaya Pencegahan Kasus Ascariasis

Berdasarkan siklus hidup cacing dan sifat telur cacing ini, maka upaya

pencegahannya dapat dilakukan yaitu penyuluhan kesehatan. Penyuluhan

kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene keluarga dan

hygiene pribadi seperti:

1.) Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.

2.) Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan serta

sesudah buang air besar, tangan dicuci terlebih dahulu dengan

menggunkan sabun.

3.) Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,

hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.

4.) Sebaiknya makan makanan yang dimasak.

5.) Biasakan memakai jamban/WC.

6.) Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik

ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.

7.) Mandi dan membersihkan badan paling sedikit 2 kali setiap hari.

8.) Memotong dan membersihkan kuku.

9.) Memakai alas kaki (sandal atau sepatu) sewaktu diluar rumah.

10.) Menjaga kebersihan, menutup makanan dengan tudung saji.

11.) Mencegah pengotoran sungai dan saluran air. 9. Menjaga kebersihan

rumah.

12.) Menjaga kebersihan lingkungan.

13.) Menggunakan air bersih untuk keperluan makan, minum dan mandi.

14.) Memberantas binatang yang menyebarkan telur cacing seperti lalat,

lipas dan tikus

Sumber: Depkes. SKK Imunisasi. Depkes.[cites 14 september

2015]. available from: pppl.depkes.go.id

2.5. Kasus HIV di Kalimantan Barat

Page 29: buat-vinaa-simelemele

a. Faktor resiko

Faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS sangat banyak, tetapi yang

paling utama adalah faktor perilaku seksual.4 Faktor lain adalah penularan

secara parenteral dan riwayat penyakit infeksi menular seksual yang

pernah diderita sebelumnya.1,6 Perilaku seksual yang berisiko merupakan

faktor utama yang berkaitan dengan penularan HIV/AIDS.7 Partner seks

yang banyak dan tidak memakai kondom dalam melakukan aktivitas

seksual yang berisiko merupakan faktor risiko utama penularan

HIV/AIDS.8

Padahal, pemakaian kondom merupakan cara pencegahan penularan

HIV/AIDS yang efektif10. Seks anal juga merupakan faktor perilaku

seksual yang memudahkan penularan HIV/AIDS11. Pemakaian narkotika

dan obat-obatan terlarang (narkoba) secara suntik/injeksi atau injecting

drug users (IDU) merupakan faktor utama penularan HIV/AIDS, termasuk

di Indonesia.2,5

Pada awal epidemi HIV/AIDS diketahui, penyakit ini lebih banyak

diidentifikasi pada laki-laki homoseksual dan aktivitas seksual laki-laki

homoseksual dituding sebagai penyebab timbulnya HIV/AIDS, akan tetapi

data saat ini menunjukkan bahwa di negara berkembang penularan secara

heteroseksual lebih banyak terjadi. 14 Heteroseksual dan IDU merupakan

penyebab utama penularan HIV/AIDS di Asia Tenggara, termasuk

Indonesia 1,15.

1. Gayle, H.D. and G.L. Hill. Global impact of human

immunodeficiency

virus and AIDS. Clinical Epidemiology Reviews. 2001. 14 (2): 327-335.

6. Lee, L.M., M.T. McKenna and R.S.

4. Yang, H., X. Li, B. Stanton, H.J. Liu, H. Liu, N. Wang, X. Fang, D.

Lin and X. Chen. Heterosexual transmission of HIV in China: a

Page 30: buat-vinaa-simelemele

systematic review of behavioural studies in the past two decades. Sex

Transm Dis. 2005. 32 (5):270-280.

6. Janssen. Classification of transmission risk in the national

HIV/AIDS surveillance system. Public Health Reports. 2003.18: 400-

407.

7. Gutierrez, J., S.M. Bertozzi, C.J. CondeGlez and M. Sanchez-Aleman.

Risk behaviours of 15-21 years olds in Mexico lead to a high prevalence of

sexually transmitted infections: results of a survey in disadvantaged urban

areas. BMC Public Health. 2006. 6: 49-59.

8. Hounton, S.H., H. Carabin and N.J. Henderson. Towards an

understanding of barriers to condom use in rural Benin using the health

belief model: a cross sectional survey. BMC Public Health. 2005. 5: 8-15.

10. Essien, E.J., G.O. Ogungbade, H.N. Kamiru, E. Ekong, D. Ward and

L.

Holmes Jr. Emerging sociodemographic and lifestyle predictors of

intention to use condom in human immunodeficiencyvirus (HIV)

intervention among uniformed services personnel. Mil. Med. 2006. 171

(10): 1027-1034.

2. Mesquita, F., I. Winarso, I.I.Atmosukarto, B. Eka, L. Nevendorff, A.

Rahmah, P. Handoyo, P. Anastasia and R. Angela. Public health the

leading force of the Indonesian response to the HIV/AIDS crisis among

people who inject drugs. Harm Reduction Journal. 2007. 4 (1): 8-13.

14. Amirkhanian, Y.A., J.A. Kelly, A.V. Kirsanova, W. DiFranceisco,

R.A.

Khoursine, A.V. Semenov and V.N. Rozmanova. HIV risk behaviour

patterns, predictors, and sexually transmitted disease prevalence in the

Page 31: buat-vinaa-simelemele

social networks of young men who have sex with men in St Petersburg,

Russia. Int J STD AIDS. 2006.17 (1): 50-56.

15. Liu, H., H. Yang, X. Li, N. Wang, H. Liu, B. Wang, L. Zhang, Q.

Wang, and Bonita Stanton. Men Who Have Sex with Men and Human

Immunodeficiency Virus/ Sexually Transmitted Disease Control in China.

Cell Res. 2005. 15 (11-12): 858–864.

b. Kejadian di Kalimantan Barat

Pada tahun 2012, kejadian HIV di Kalimantan Barat sebanyak 501 kasus.

Kasus terbanyak di Kota Pontianak yaitu sebanyak 198 kasus dan daerah tanpa

kejadian HIV yaitu Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi dan Kabupaten

Kayong Utara.

No Kabupaten/Kota Kejadian HIV

1 Kota Pontianak 1982 Kab. Sintang 1073 Kota Singkawang 854 Kab. Kubu Raya 275 Kab. Pontianak 246 Kab. Sambas 247 Kab. Sanggau 178 Kab. Ketapang 89 Kab. Landak 710 Kab. Kapuas

Hulu4

11 Kab. Kayong Utara

0

12 Kab. Melawi 013 Kab. Sekadau 014 Kab. Bengkayang Tidak ada dataJumlah 501

Sumber: profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2012

c. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus HIV

Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS terdiri atas :

Page 32: buat-vinaa-simelemele

a. Promosi kesehatan;

Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang

benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan

menghilangkan stigma serta diskriminasi. Promosi kesehatan dapat

dilakukan terintegrasi dengan pelayanan kesehatan maupun program

promosi kesehatan lainnya. Promosi kesehatan meliputi: iklan layanan

masyarakat, kampanye penggunaan kondom pada setiap hubungan

seks berisiko penularan penyakit, promosi kesehatan bagi remaja dan

dewasa muda, peningkatan kapasitas dalam promosi pencegahan

penyalahgunaan, napza dan penularan HIV kepada tenaga kesehatan,

tenaga non kesehatan yang terlatih, dan program promosi kesehatan

lainnya.

b. Pencegahan penularan HIV.

Pencegahan penularan HIV dapat dicapai secara efektif dengan cara

menerapkan pola hidup aman dan tidak berisiko. Pencegahan meliputi

upaya pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual,

pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual, dan

pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya.

c. Pemeriksaan diagnosis HIV.

Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan untuk mencegah sedini

mungkin terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV.

Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan berdasarkan prinsip

konfidensialitas, persetujuan, konseling, pencatatan, pelaporan dan

rujukan.

d. Pengobatan, perawatan dan dukungan

Pengobatan HIV dan AIDS dilakukan dengan cara pengobatan

terapeutik, profilaksis, dan penunjang. Pengobatan terapeutik meliputi

pengobatan ARV, pengobatan IMS, dan pengobatan infeksi

oportunitis. Pengobatan profilaksis meliputi: pemberian ARV pasca

pajanan, dan kotrimoksasol untuk terapi dan profilaksis.

Page 33: buat-vinaa-simelemele

Perawatan dan dukungan HIV dan AIDS dilakukan secara holistik dan

komprehensif dengan pendekatan biopsikososiospiritual.

e. Rehabilitasi.

Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan

melalui rehabilitasi medis dan sosial.

Sumber: Kemenkes. Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan

AIDS.

2.6. Kasus pertusis

Pertusis (atau batuk rejan) merupakan penyakit yang disebabkan oleh

infeksi tenggorok dengan bakteri Bordetella pertussis. Cara terbaik untuk

mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan

mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan

adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan melalui

imunisasi aktif dan pasif.

a. Imunisasi pasif

Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,

ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif

sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.

b. Imunisasi aktif

Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat

dosis tunggal Tdap 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi bila

terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan

ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis.

Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:

a. Isolasi: mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan

bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan

antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara

lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien

tidak mendapatkan antibiotik.

Page 34: buat-vinaa-simelemele

b. Karantina: kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun,

tidak diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di

tempat publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotic selama

5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.

c. Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan

yang terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis

Pertusis (Batuk Rejan).cited 14 September 2015. Available from:

www.mhcs.health.nsw.gov.au/

2.7. Kasus ISPA di Kalimantan Barat

a. Faktor resiko

Beberapa wilayah di Indonesia mempunyai potensi kebakaran hutan

dan telah mengalami beberapa kali kebakaran hutan terutama pada

musim kemarau. Asap dari kebakaran hutan dapat menimbulkan penyakit

ISPA dan memperberat kondisi seseorang yang sudah menderita

pneumonia khususnya Balita. Disamping itu asap rumah tangga yang

masih menggunakan kayu bakar juga menjadi salah satu faktor risiko

pneumonia. Hal ini dapat diperburuk apabila ventilasi rumah kurang baik dan

dapur menyatu dengan ruang keluarga atau kamar. Indonesia juga

merupakan negara rawan bencana seperti banjir, gempa, gunung meletus,

tsunami, dll. Kondisi bencana tersebut menyebabkan kondisi lingkungan

menjadi buruk, sarana dan prasarana umum dan kesehatan terbatas. Penularan

kasus ISPA akan lebih cepat apabila terjadi pengumpulan massa

(penampungan pengungsi). Pada situasi bencana jumlah kasus ISPA

sangat besar dan menduduki peringkat teratas. Status gizi seseorang dapat

mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi, demikian juga sebaliknya. Balita

merupakan kelompok rentan terhadap berbagai masalah kesehatan sehingga

apabila kekurangan gizi maka akan sangat mudah terserang infeksi

salah satunya pneumonia.

DAFTAR PUSTAKA:

Page 35: buat-vinaa-simelemele

Rudan, Igor., et al. 2008. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia.

Bulletin of the World Health Organization 2008; 86: 408–416

b. Kejadian di Kalimantan Barat

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) tersebar di seluruh Provinsi

Kalimantan Barat dengan rentang prevalensi yang sangat bervariasi (8,6 –

41,1%). Angka prevalensi ISPA dalam sebulan terakhir di Provinsi

Kalimantan Barat adalah 18,0%; prevalensi tertinggi di Kabupaten Sekadau

(41,1%), hanya dua wilayah yang prevalensinya di bawah 10%, yaitu

Kabupaten Pontianak dan Ketapang. (riskesdas 2007)

c. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus ISPA

1. Advokasi dan Sosialisasi

Advokasi dapat dilakukan melalui pertemuan dalam rangka

mendapatkan komitmen dari semua pengambil kebijakan. Sosialisasi

bertujuan untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, kemandirian dan

menjalin kerjasama bagi pemangku kepentingan di semua jenjang melalui

pertemuan berkala, penyuluhan/KIE.

2. Penemuan dan Tatalaksana ISPA

3. Ketersediaan Logistik

Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan

pengendalian ISPA. Penyediaan logistik dilakukan sesuai dengan

peraturan perundangan yang berlaku dan menjadi tanggung jawab

pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan pembagian kewenangan

antara pusat dan daerah maka pusat akan menyediakan prototipe atau

contoh logistik yang sesuai standard (spesifikasi) untuk pelayanan

kesehatan. Selanjutnya pemerintah daerah berkewajiban memenuhi

kebutuhan logistik sesuai kebutuhan. Logistik yang dibutuhkan antara lain:

a. Obat

1.) Tablet Kotrimoksazol 480 mg

2.) Sirup Kotrimoksazol 240 mg/5 ml

Page 36: buat-vinaa-simelemele

3.) Sirup kering Amoksisilin 125 mg/5 ml

4.) Tablet Parasetamol 500 mg

5.) Sirup Parasetamol 120 mg/5 ml.

b. Alat

1.) Acute Respiratory Infection Soundtimer (ARI Soundtimer), digunakan

untuk menghitung frekuensi napas dalam 1 menit.

2.) Oksigen konsentrator diperuntukkan khususnya bagi fasilitas

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan rawat inap dan unit

gawat darurat yang mempunyai sumber daya energi (listrik/

generator).

3.) Oksimeter denyut (Pulseoxymetry) sebagai alat pengukur saturasi

oksigen dalam darah diperuntukan bagi fasilitas pelayanan kesehatan

yang memiliki oksigen konsentrator.

c. Pedoman

Sebagai pedoman dalam melaksanakan pengendalian ISPA. Dinas

Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Puskesmas

masing-masing minimal memiliki 1 set buku pedoman Pengendalian

ISPA, yang terdiri dari: pedoman pengendalian ispa, pedoman

tatalaksana pneumonia balita, pedoman autopsi verbal, pedoman

penanggulangan episenter pandemi influenza, pedoman respon nasional

menghadapi pandemi influenza

d. Media KIE (Elektronik dan Cetak)

1.) DVD Tatalaksana pneumonia Balita.

2.) TV spot dan Radio Spot tentang pneumonia Balita.

3.) Poster, Lefleat, Lembar Balik, Kit Advokasi dan Kit Pemberdayaan

Masyarakat.

e. Media pencatatan dan pelaporan

1.)Stempel ISPA

2.)Register harian Pneumonia (non sentinel dan sentinel)

3.)Formulir laporan bulanan (non sentinel dan sentinel)

Page 37: buat-vinaa-simelemele

4. Supervisi

Supervisi dilakukan untuk menjamin pelaksanaan pengendalian ISPA

berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan/ditetapkan dalam pedoman

baik di provinsi, kabupaten/kota. Puskesmas dan rumah sakit

menggunakan instrumen supervisi (terlampir). Supervisi dilakukan secara

berjenjang difokuskan pada propinsi, kab/kota, Puskesmas yang:

a. pencapaian cakupan rendah

b. pencapaian cakupan tinggi namun meragukan

c. kelengkapan dan ketepatan laporan yang kurang baik

5. Pencatatan Dan Pelaporan

Untuk melaksanakan kegiatan pengendalian ISPA diperlukan data

dasar (baseline) dan data program yang lengkap dan akurat. Data dasar atau

informasi tersebut diperoleh dari :

a. Pelaporan rutin berjenjang dari fasilitas pelayanan kesehatan hingga ke

pusat setiap bulan. Pelaporan rutin kasus pneumonia tidak hanya

bersumber dari Puskesmas saja tetapi dari semua fasilitas pelayanan

kesehatan baik swasta maupun pemerintah.

b. Pelaporan surveilans sentinel Pneumonia semua golongan umur dari

lokasi sentinel setiap bulan.

c. Laporan kasus influenza pada saat pandemi

6. Kemitraan Dan Jejaring

a. Kemitraan

Kemitraan dalam program Pengendalian ISPA diarahkan untuk

meningkatkan peran serta masyarakat, lintas program, lintas sektor

terkait dan pengambil keputusan termasuk penyandang dana. Dengan

demikian pembangunan kemitraan diharapkan dapat lebih

ditingkatkan, sehingga pendekatan pelaksanaan pengendalian ISPA

khususnya Pneumonia dapat terlaksana secara terpadu dan

komprehensif. Intervensi pengendalian ISPA tidak hanya tertuju pada

penderita saja tetapi terhadap faktor risiko (lingkungan dan

Page 38: buat-vinaa-simelemele

kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh melalui dukungan

peran aktif sektor lain yang berkompeten. Kegiatan kemitraan meliputi

pertemuan berkala dengan:

1) lintas program dan sektor terkait;

2) organisasi kemasyarakatan,

3) lembaga swadaya masyarakat,

4) tokoh masyarakat,

5) tokoh agama,

6) perguruan tinggi,

7) organisasi profesi kesehatan,

8) sektor swasta

b. Jejaring

Untuk keberhasilan program Pengendalian ISPA diperlukan

peningkatan jejaring kerja (networking) dengan pemangku

kepentingan. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari jejaring

antara lain pengetahuan, keterampilan, informasi, keterbukaan,

dukungan, membangun hubungan, dll dalam upaya pengendalian

pneumonia di semua tingkat. Jejaring dapat dibangun dengan berbagai

pemangku kepentingan sesuai dengan kebutuhan wilayah (spesifik

wilayah) baik sektor pemerintah, swasta, perguruan tinggi,

lembaga/organisasi non pemerintah, dll.

7. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia

Aspek pelatihan merupakan bagian penting dari Pengendalian ISPA

dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya dalam

penatalaksanaan kasus dan manajemen program. Ada beberapa jenis

pelatihan untuk tenaga kesehatan, yaitu :

a. Pelatihan pelatih (TOT)

b. Pelatihan bagi Tenaga Kesehatan

c. Pelatihan Autopsi Verbal

d. Pelatihan Pengendalian ISPA Bagi Tenaga Non Kesehatan

Page 39: buat-vinaa-simelemele

Sumber: Kemenkes. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan

Akut. 2012.

2.8. Mekanisme Penurunan Berat Badan pada Anak dengan TB

Pasien TB sering ditemukan mengalami kehilangan berat badan yang

hebat, suatu gejala yang menjelaskan mengenai penurunan imun seseorang

(immuno-suppresive) dan merupakan penentu utama dari berat dan prognosa

penyakit tersebut (Vasantha, 2008). Mariono (2003) dalam Usman (2008),

malnutrisi menyebabkan berat badan berkurang, kekuatan otot pernapasan

berkurang, menurunnya kapasitas ventilasi dan berkuranganya pertahanan

paru sehingga memperburuk kondisi pasien. Kekurangan nutrisi pada

umumnya berkaitan dengan terganggunya respon imun, khususnya fungsi

fagosit, produksi sitokin, respon sekresi antibody, dan sistem komplemen.

Ringkasnya kekurangan nutrisi menyebabkan immudodefisiensi secara umum

untuk berbagai penyakit infeksi termasuk tuberkulosis (Usman, 2008).Linder

(1991) dalam Usman (2008), menyatakan dengan memberikan diit Tinggi

Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan obat TB pada penderita TB yang di rawat

di rumah sakit didapatkan perbaikan secara klinis berupa peningkatan berat

badan, peningkatan kadar Hb, dan penurunan SGOT, SGPT.

Vasantha (2008), menunjukkan bahwa kenaikan berat badan pengobatan

dikaitkan dengan usia (<45 tahun), di pusat pemerintah, tidak ada riwayat

pemakaian obat sebelumnya. Pada akhir masa intensif pengobatan DOTS,

ditemukan perubahan berat badan pada pasien TB secara signifikan

berhubungan status pernikahan, pendapatan per bulan, tingkat pendidikan,

kepercayaan dalam memilih jenis makanan tertentu pada saat sakit dan porsi

makan dalam keluarga. Pada pasien TB laki-laki didapati peningkatan BMI

sedikit lebih tinggi dibandingkan pasien wanita saat pengobatan dimulai

(Dodor, 2008). Sedangkan menurut Khan (2006), pasien yang memiliki berat

badan rendah pada saatdiagnosis, kenaikan berat badan 5% atau kurang yang

terjadi setelah pengobatan dua bulan (fase intensif) berhubungan dengan

peningkatan resiko terjadinya kekambuhan.

Page 40: buat-vinaa-simelemele

Secara singkat mekanisme penurunan BB pada pasien TB adalah sebagai

berikut:

Infeksi Mycobacterium tuberculosis aktifasi makrofag oleh IFN-gamma,

produksi pirogen endogen IL-1, IL-4, IL-6, TNF-α pirogen endogen

bersirkulasi sistemik dan menembus masuk hematoencephalic barrier

bereaksi terhadap hipotalamus menyebabkan produksi

prostaglandinprostaglandin merangsang serebral korteks (respon

behavioral) penurunan nafsu makan pada saat yang sama terjadi

peningkatan metabolisme tubuh karena peningkatan penggunaan energi

metabolik penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh

pasien TB menyebabkan penurunan BB.

1. Vasantha M, Gopi P G, Subramani R., 2008. Weight Gain in Patients

With Tuberculosis Treated Under Directly Observed Treatment

Short- Course (DOTS). Indian J Tubrc 2009, (56): 5-9.

2. Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I

dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal

yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository.

3. Dodor, EA, 2008. Evaluation of Nutritional Status of New

Tuberculosis Patients at the Effia-Nkwanta Regional Hospital. Ghana

Med J 42 (1): 22-28.

4. Khan, A., Sterling, T.R., Reves, R., Vernon, A., Horsburgh C, R., and

Tuberculosis Trails Consortium, 2006. Lack of Weight Gain and

Relapse Risk in a Large Tuberculosis Treatment Trial. Am J Respir Crit

Care Med 174: 344-48.

2.9. Pembesaran Kelenjar Limfe Superfisialis

TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap

basil tuberkulosis Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet.

Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan

mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh

Page 41: buat-vinaa-simelemele

makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi

dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen,

perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini

pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus,

dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di

sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional

(limfadenitis). Karena terjadi limfadenitis dan limfangirtis tersebut terjadi

pembengkakan kelenjar limfe.

BAB. III

PENUTUP

3. 1.Kesimpulan

Anak laki-laki 6 tahun tersebut mengalami tuberkulosis.