buat-vinaa-simelemele
DESCRIPTION
Bahan DKTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Seorang anak laki-laki usia 6 tahun, dibawa orang tuanya ke puskesmas.
Orang tua pasien mengeluhkan anaknya demam yang lama dan berulang tanpa
sebab yang jelas. Demam disertai dengan keringat malam. Pasien juga
mengeluhkan batuk yang panjang selama 4 bulan. Pasien juga mengalami
penurunan berat badan dan nafsu makan menurun sejak 2 bulan yang lalu. Pasien
tampak semakin melemah. Pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran kelenjar
limfe superfisialis yang tidak sakit di sekitar leher.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
-
1.3 Kata Kunci
a. Anak laki-laki, 6 tahun
b. Batuk 4 bulan
c. Keringat malam
d. Penurunan berat badan
e. Demam berulang
f. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis
1.4 Rumusan Masalah
Laki-laki 6 tahun mengeluh demam berulang disertai keringat malam, dan
batuk selama 4 bulan.
1.5 Analisis Masalah
1.6 Hipotesis
Anak laki-laki 6 tahun tersebut mengalami tuberkulosis.
Laki-laki 6 tahun
Anamnesis:- Demam berulang
- Batuk 4 bulan
- Keringat malam
- Penurunan berat badan dan nafsu makan
Pemeriksaan fisik:Pembesaran kelenjar limfe superfisialis
Suspect TB Anak
DD:- Ascariasis
- ISPA
-
TB dengan HIV (+) TB dengan HIV (-)
Pemeriksaan Penunjang:- Uji Tuberkulin
- Scoring TB
Diagnosis
Tatalaksana
Prognosis
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Jelaskan mengenai tuberkulosis pada anak!
2. Jelaskan mengenai tuberkulosis dengan HIV!
a. Kriteria diagnosis
b. Pemeriksaan penunjang
c. Tatalaksana
3. Bagaimana kasus tuberkulosis di Kalimantan Barat?
a. Kejadian di Kalimantan Barat
b. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus TB
4. Bagaimana kasus Ascariasis di Kalimantan Barat?
a. Faktor resiko
b. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus ascariasis
5. Bagaimana kasus HIV di Kalimantan Barat?
a. Faktor resiko
b. Kejadian di Kalimantan Barat
c. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus HIV
6. Bagaimana upaya mencegah kasus pertusis?
7. Bagaimana kasus ISPA di Kalimantan Barat?
a. Faktor resiko
b. Kejadian di Kalimantan Barat
c. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus ISPA
8. Bagaimana mekanisme penurunan berat badan pada anak dengan TB?
9. Mengapa terjadi pembesaran kelenjar limfe superfisialis?
BAB. II
PEMBAHASAN
2.1. Tuberkulosis pada Anak
a. Definisi
Tuberkulosis atau TB merupakan penyakit infeksi bakteri yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang terutama menyerang
paru.
WHO. Tuberculosis. 2015 [cited 11 septemebr 2015]. Available from:
http://www.who.int/topics/tuberculosis/en/.
b. Etiologi
Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Mycobacterium tuberculois.
Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron
dan bentuk dari bakteri ini yaitu batang, tipis, lurus atau agak bengkok,
bergranul, tidak mempunyai selubung tetapi kuman ini mempunyai lapisan
luar yang tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Sifat dari
bakteri ini agak istimewa, karena bakteri ini dapat bertahan terhadap
pencucian warna dengan asam dan alkohol sehingga sering disebut dengan
bakteri tahan asam (BTA). Selain itu bakteri ini juga tahan terhadap
suasana kering dan dingin. Bakteri ini dapat bertahan pada kondisi rumah
atau lingkungan yang lembab dan gelap bisa sampai berbulan-bulan
namun bakteri ini tidak tahan atau dapat mati apabila terkena sinar,
matahari atau aliran udara.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga.
c. Patofisiologi
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat
kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian
kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis
spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh
kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon. Dari fokus primer Ghon, kuman TB
menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu
kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan
terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis
dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12
minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi
tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular Pada saat
terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk,
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem
imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk,
kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan
oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di
paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui
mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi,
sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen
dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar
limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan
TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui
cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit
sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula
dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman
TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread
d. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal
berikut:
1) Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,
alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya pembesaran
kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru.
2) Riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis)
dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi
penyakit bisa paru atau ekstra paru.
b. Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih
dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai
definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan
hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai
kambuh, gagal atau pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
(lost to follow-up).
3) Berat dan ringannya penyakit
a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat
atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan
sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif,
TB resisten obat, TB HIV.
4) Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB
pada daerah endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan
pemeriksaan HIV, TB pada anak diklasifikasikan sebagai:
a. HIV positif
b. HIV negatif
c. HIV tidak diketahui
d. HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV
diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif.
Apabila hasil pemeriksaan HIV menunjukkan hasil negatif pada anak
usia < 18 bulan, maka status HIV perlu diperiksa ulang setelah usia >
18 bulan.
5) Resistensi Obat
a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah
satu jenis OAT lini pertama.
b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini
pertama lainnya.
d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin
dan Amikasin.
e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang
dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan
konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam kelompok ini
adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam bentuk
Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR.
Sumber: Kemenkes. Petunjuk teknis manajemen TB anak. Kemenkes:
2013.
e. Epidemiologi
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa
akan kehilangan waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat
pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.
Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar
15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh
masyarakat. Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara
dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus
adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah
430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan
61,000 kematian per tahunnya.
Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi
HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan
sebagai epidemik terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan
perkecualian di provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah mencapai
2,5% (generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi
HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%. Sejumlah 12 provinsi telah
dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV dan estimasi
jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-400.000.
Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%.
Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru
(lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari
kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300
kasus MDR TB setiap tahunnya.
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia
merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di
wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB
untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada
tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan
dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya
terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB
BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata
pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah
sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target
global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB
nasional yang utama.2
KEMENKES RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis.
f. Kriteria diagnosis
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan
pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB
anak.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
a) Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
b) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
c) Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan.
d) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
e) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan
kulit, adalah sebagai berikut:
a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi
kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai
gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
c. Tuberkulosis sistem skeletal:
Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang
(gibbus).
Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas.
Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit
antar tepi ulkus (skin bridge).
e. Tuberkulosis mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa
sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
Sumber: Kemenkes. Petunjuk teknis manajemen TB anak. Kemenkes:
2013.
Sistem skoring TB pada anak
g. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis pasti TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB
yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas
lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan
mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan
BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB,
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan
serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk
digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK
Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013
tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis
TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya
mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi
sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut,
apabila fasilitas tersedia.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran
yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma
dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan
gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.
Perkembangan Terkini Diagnosis TB
Pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan metode
cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid
Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih
terbatas digunakan di semua negara karena membutuhkan biaya mahal dan
persyaratan laboratorium tertentu. Saat ini data tentang penggunaan Xpert
MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari
pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari
pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert
MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.
Cara Mendapatkan sampel pada Anak
1. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak
yang mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil
positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan
pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan
spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.
3. Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada
anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung,
terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa
dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan
peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan
sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB
sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas
(inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan
untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan
kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman
penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh
karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen
sputum. Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak
dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat
kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi
penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu
dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan
uji tuberkulin.
Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas
terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak
langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam
tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji
tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien
memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan
kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut
secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai
infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak
mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB
serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan
radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat
menyerupai gejala akibat penyakit lain.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan
foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga
dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto
toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang
TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkulomaa
Sumber: Kemenkes. Petunjuk teknis manajemen TB anak. Kemenkes:
2013.
h. Tatalaksana
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis
primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
1) Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi.
2) Pemberian gizi yang adekuat.
3) Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
Paduan OAT Anak
Prinsip pengobatan TB anak:
• OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler
• Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan
• Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan
minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan
berat ringannya penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap
intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika
obat tidak diminum setiap hari.
• Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
• Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam
3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini
untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan
jaringan.
• Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
• Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
• OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT
KEMENKES RI. 2013. Petunjuk Teknis Menajemen TB Anak.
2.2. Tuberkulosis dengan HIV
a. Kriteria diagnosis
1) Diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV bersifat presumtif berdasarkan
riwayat kontak dengan TB dewasa, uji tuberkulin ≥ 5 mm, klinis dan
foto toraks sugestif TB.
2) Uji tuberkulin positif menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi
kuman TB, tidak menentukan tidak sakit/sakit TB aktif atau beratnya
penyakit. Pada anak terinfeksi HIV, uji tuberkulin dikatakan positif
bila diameter ≥ 5 mm. Bila hasilnya < 5 mm, TB belum dapat
langsung disingkirkan karena ada beberapa keadaan yang
menyebabkan “negatif palsu”. Kondisi yang menyebabkan “negatif
palsu” adalah infeksi HIV, malnutrisi berat, infeksi bakteri berat,
infeksi virus, obat imunosupresif dan prosedur penyuntikan yang
salah.
3) Gejala klinis TB pada anak terinfeksi HIV sama dengan yang tidak
terinfeksi HIV tetapi pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering
mengalami TB diseminata. Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV
sering sulit dibedakan dengan kondisi lain akibat infeksi HIV seperti
Lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP), pneumonia bakteri, PCP,
bronkiektasis dan Sarkoma Kaposi. Gejala klinis umum TB pada anak
terinfeksi HIV antara lain batuk persisten lebih dari 3 minggu yang
tidak membaik setelah pemberian antibiotik spektrum luas, malnutrisi
berat atau gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat malam
yang menyebabkan anak sampai harus ganti pakaian, gejala umum
non-spesifik lainnya dapat berupa fatigue (kurang aktif, tidak
bergairah). Indikator yang baik terdapatnya penyakit kronik dan TB
anak adalah gagal tumbuh meskipun keadaan ini dapat pula
disebabkan kurang nutrisi, diare kronik dan infeksi HIV. Bila anak
mengalami gejala respiratori tetapi tidak tampak tanda-tanda penyakit
akut dan pasien telah mendapat antibiotik spektrum luas maka dapat
dicurigai TB. Beberapa kelainan jantung bawaan dan kardiomiopati
mempunyai gejala klinis menyerupai TB paru.
Sumber : Kemenkes RI. Petunjuk teknis tatalaksana klinis ko-infeksi
TB-HIV. Kemenkes: 2012.
b. Pemeriksaan penunjang
Keterangan:
a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut:
frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120
kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa bantuan.
b. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif =
bila 2 sediaan hasilnya negatif.
c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK.
d. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah
CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.
e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara
bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi
sehingga mempercepat penegakan diagnosis.
f. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi
bakteri tipikal dan atipikal.
g. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.
h. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA
rawat jalan adalah sebagai berikut:
a. Kunjungan pertama: Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan pada
kunjungan pertama. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA positif maka
pengobatan TB dapat diberikan kepada pasien tersebut.
b. Kunjungan kedua: Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada
kunjungan kedua perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto
torapks,ulangangi pemeriksaan mikroskopis dahak, lakukan pemeriksaan
biakan dahak dan pemeriksaan klinis oleh dokter. Pemeriksaan pada kunjungan
kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua dari kunjungan pasien di
Fasyankes tersebut. Hasil pemeriksaan dari kunjungan kedua ini sangat penting
untuk memutuskan apakah pasien tersebut perlu mendapat pengobatan TB atau
tidak. Penentuan stadium klinis HIV harus dikerjakan dan pemberian PPK
harus diberikan sesuai pedoman nasional.
c. Kunjungan ketiga: dilakukan secepat mungkin setelah ada hasil pemeriksaan
pada kunjungan kedua. Pasien yang hasil pemeriksaannya mendukung TB
(misalnya gambaran foto toraks mendukung TB) perlu diberi OAT. Pasien
dengan hasil yang tidak mendukung TB perlu mendapat antibiotik spektrum
luas (jangan menggunakan golongan fluorokuinolon) untuk mengobati infeksi
bakteri lain atau pengobatan untuk PCP. Juga perlu dilakukan penentuan
stadium klinis HIV dan PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.
d. Kunjungan keempat: Pada kunjungan ke empat ini haruslah diperhatikan
bagaimana respons pasien pada pemberian pengobatan dari kunjungan ketiga.
Untuk pasien yang mempunyai respons yang baik (cepat) terhadap pengobatan
PCP atau pengobatan dengan antibiotik, lanjutkan pengobatannya untuk
menyingkirkan terdapatnya juga TB (superimposed tuberculosis). Bagi pasien
yang mempunyai respons yang kurang baik atau tidak baik pada pengobatan
PCP atau pengobatan pneumonia karena bakteri lainnya, perlu dilakukan
pemeriksaan ulang untuk TB baik secara klinis maupun pemeriksaan dahak.
Kemenkes RI. Petunjuk teknis tatalaksana klinis ko-infeksi TB-HIV.
Kemenkes: 2012.
c. Tatalaksana
Rekomendasi pengobatan TB pada anak terinfeksi HIV saat ini sama
dengan pengobatan untuk anak tanpa infeksi HIV. Pengobatan dibagi menjadi
dua fase, yaitu fase intensif selama 2 bulan, dilanjutkan dengan fase kontinu
selama 4 bulan. Total lama pemberian OAT adalah 6-9 bulan. Lama
pemberian ini juga tergantung pada berat/ luasnya penyakit TB, BTA positif
atau negatif, dan keterkaitan dengan HIV.
Respons klinis, radiologis dan mikrobiologi terhadap pengobatan
sebaiknya dievaluasi sebelum pengobatan dihentikan pada akhir bulan ke-6.
Jika respons klinis atau radiologis masih buruk, atau biakan M.Tb positif
setelah fase intensif pengobatan, pemberian OAT harus diteruskan paling
sedikit 9 bulan.
Sumber: Nastiti N Rahajoe, Darfioes Basir, Makmuri MS, Cissy B
Kartasasmita. Tuberkulosis dengan HIV. Pedoman Nasional Tuberkulosis
Anak Edisi-2 dengan Revisi, UKK Pulmonologi PP IDAI, September 2008.
Pengobatan TB pada Anak Terinfeksi HIV
Paduan obat dan lama pengobatan
Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping
minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini,
paduan obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO
(2011) adalah tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV (selain TB milier,
meningitis TB dan TB tulang) harus diberikan 4 macam obat (RHZE) selama
2 bulan pertama dilanjutkan RH sampai minimal 9 bulan. Pada meningitis TB
dan TB milier diberikan RHZES selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH
sampai 12 bulan. Pada TB tulang diberikan RHZE selama 2 bulan pertama,
dilanjutkan RH sampai 12 bulan.
Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps
yang lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal
ini maka pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu
minimal 9 bulan sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang
selama 12 bulan. Mortalitas TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar
dibanding anak yang tidak terinfeksi karena tingginya ko-infeksi oleh patogen
lain, absorpsi dan penetrasi OAT terhadap organ yang terkena pada anak
terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis, kepatuhan kurang, malnutrisi berat dan
imunosupresi berat.
Sumber : Kemenkes RI. Petunjuk teknis tatalaksana klinis ko-infeksi TB-
HIV. Kemenkes: 2012.
2.3. Kasus Tuberkulosis di Kalimantan Barat
a. Kejadian di Kalimantan Barat
Jumlah kasus penyakit tuberculosis (TB) paru BTA positif di Kalimantan
Barat mencapai 5.629 kasus pada tahun 2013. Kepala Bidang Pengelola
Penyakit dan Pendekatan Lingkungan Dinkes Kalbar, Honggo Simin
menyatakan pada tahun 2013 sebanyak 5.629 kasus yang dikonfirmasi BTA
positif dengan total ada 5.771 kasus. Dari jumlah tersebut 5.629 dinyatakan
TB paru BTA positif, sedangkan sisanya 142 kasus dinyatakan ekstra paru.
Berdasarkan penelusuran terhadap kasus TB, kota Pontianak berada pada
posisi kedua untuk jumlah penderitanya.
(http://infopontianak.org/kota-pontianak-peringkat-2-kasus-tb-se-
kalbar/ update 28 march 2015 cited 8 September 2015)
Hasil rekapitulasi profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2006 didapat
kasus TB Paru dengan BTA (+) sebanyak 3.925 kasus. Dari 3.778 penderita
yang diobati, sebanyak 3.114 penderita diantaranya (82,42%) adalah
penderita yang sembuh setelah diobati. Dengan demikian, angka kesembuhan
penderita TB Paru BTA + di Kalimantan Barat sudah melebihi dari target
indonesia pada tahun 2010 yaitu 80%. (riskesdas 2007)
b. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus TB
Pengendalian TB di Indonesia 2
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7
strategi:
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan
masyarakat miskin serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat
(sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB
Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public-Private Mix) dan menjamin
kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan TB
(International Standards for TB Care).
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan
manajemen program pengendalian TB.
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program
TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis.
Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2015-2019
merupakan pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa
pengembangan strategi baru untuk menghadapi target dan tantangan yang
lebih besar.
Aspek Manajemen Program TB
a. Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional
Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum
kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri
Kesehatan RI sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian
TB. Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan
oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis.
b. Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari
TimPengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi
disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan program TB
di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan Propinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang
terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur
organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota. Dalam
pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Aspek Tatalaksana pasien TB
Dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
FKTP dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang
mampu memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Fasilitas kesehatan yang
termasuk dalam FKTP adalah Puskesmas, DPM, Klinik Pratama, RS
Tipe D dan BKPM. Dalam layanan tatalaksana TB, fasilitas kesehatan
yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis disebut FKTP
Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM). FKTP Rujukan Mikroskopis
(FKTP-RM) menerima rujukan pemeriksaan mikroskopis dari FKTP
yang tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan mikroskopis yang disebut
sebagai FKTP Satelit (FKTP-S).
b. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)
FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu
memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif,
preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif untuk kasus-kasus TB
dengan penyulit dan kasus TB yang tidak bisa ditegakkan diagnosisnya
di FKTP. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS
Tipe C, B dan A, RS Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional,
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)dan klinikutama.
Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara
berkualitas dan terjangkau, semua fasilitas kesehatan tersebut diatas perlu
bekerja sama dalam kerangka jejaring pelayanan kesehatan baik secara
internal didalam gedung maupun eksternal bersama lembaga terkait di semua
wilayah.
KEMENKES RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis.
2.4. Kasus Ascariasis di Kalimantan Barat
a. Faktor resiko
Faktor risiko lain terjadinya askariasis antara lain adalah bermain-main di
tanah sekitar rumah, menggunakan tinja sebagai pupuk, memakan sayur-
sayuran mentah tanpa dicuci atau dimasak terlebih dahulu. Selain itu, faktor
lain yang mempengaruhi adalah lingkungan (sumber air, kondisi rumah
tinggal), faktor sosial, ekonomi, dan kebudayaan (Inge Sutanto, 2008)
Sumber: Sutanto,Inge, Is Suhariah I, Pudji K. S, Saleha S 2008, Parasitologi
Kedokteran, Edisi Keempat, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
b. Upaya Pencegahan Kasus Ascariasis
Berdasarkan siklus hidup cacing dan sifat telur cacing ini, maka upaya
pencegahannya dapat dilakukan yaitu penyuluhan kesehatan. Penyuluhan
kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, Hygiene keluarga dan
hygiene pribadi seperti:
1.) Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
2.) Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan serta
sesudah buang air besar, tangan dicuci terlebih dahulu dengan
menggunkan sabun.
3.) Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,
hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
4.) Sebaiknya makan makanan yang dimasak.
5.) Biasakan memakai jamban/WC.
6.) Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik
ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
7.) Mandi dan membersihkan badan paling sedikit 2 kali setiap hari.
8.) Memotong dan membersihkan kuku.
9.) Memakai alas kaki (sandal atau sepatu) sewaktu diluar rumah.
10.) Menjaga kebersihan, menutup makanan dengan tudung saji.
11.) Mencegah pengotoran sungai dan saluran air. 9. Menjaga kebersihan
rumah.
12.) Menjaga kebersihan lingkungan.
13.) Menggunakan air bersih untuk keperluan makan, minum dan mandi.
14.) Memberantas binatang yang menyebarkan telur cacing seperti lalat,
lipas dan tikus
Sumber: Depkes. SKK Imunisasi. Depkes.[cites 14 september
2015]. available from: pppl.depkes.go.id
2.5. Kasus HIV di Kalimantan Barat
a. Faktor resiko
Faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS sangat banyak, tetapi yang
paling utama adalah faktor perilaku seksual.4 Faktor lain adalah penularan
secara parenteral dan riwayat penyakit infeksi menular seksual yang
pernah diderita sebelumnya.1,6 Perilaku seksual yang berisiko merupakan
faktor utama yang berkaitan dengan penularan HIV/AIDS.7 Partner seks
yang banyak dan tidak memakai kondom dalam melakukan aktivitas
seksual yang berisiko merupakan faktor risiko utama penularan
HIV/AIDS.8
Padahal, pemakaian kondom merupakan cara pencegahan penularan
HIV/AIDS yang efektif10. Seks anal juga merupakan faktor perilaku
seksual yang memudahkan penularan HIV/AIDS11. Pemakaian narkotika
dan obat-obatan terlarang (narkoba) secara suntik/injeksi atau injecting
drug users (IDU) merupakan faktor utama penularan HIV/AIDS, termasuk
di Indonesia.2,5
Pada awal epidemi HIV/AIDS diketahui, penyakit ini lebih banyak
diidentifikasi pada laki-laki homoseksual dan aktivitas seksual laki-laki
homoseksual dituding sebagai penyebab timbulnya HIV/AIDS, akan tetapi
data saat ini menunjukkan bahwa di negara berkembang penularan secara
heteroseksual lebih banyak terjadi. 14 Heteroseksual dan IDU merupakan
penyebab utama penularan HIV/AIDS di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia 1,15.
1. Gayle, H.D. and G.L. Hill. Global impact of human
immunodeficiency
virus and AIDS. Clinical Epidemiology Reviews. 2001. 14 (2): 327-335.
6. Lee, L.M., M.T. McKenna and R.S.
4. Yang, H., X. Li, B. Stanton, H.J. Liu, H. Liu, N. Wang, X. Fang, D.
Lin and X. Chen. Heterosexual transmission of HIV in China: a
systematic review of behavioural studies in the past two decades. Sex
Transm Dis. 2005. 32 (5):270-280.
6. Janssen. Classification of transmission risk in the national
HIV/AIDS surveillance system. Public Health Reports. 2003.18: 400-
407.
7. Gutierrez, J., S.M. Bertozzi, C.J. CondeGlez and M. Sanchez-Aleman.
Risk behaviours of 15-21 years olds in Mexico lead to a high prevalence of
sexually transmitted infections: results of a survey in disadvantaged urban
areas. BMC Public Health. 2006. 6: 49-59.
8. Hounton, S.H., H. Carabin and N.J. Henderson. Towards an
understanding of barriers to condom use in rural Benin using the health
belief model: a cross sectional survey. BMC Public Health. 2005. 5: 8-15.
10. Essien, E.J., G.O. Ogungbade, H.N. Kamiru, E. Ekong, D. Ward and
L.
Holmes Jr. Emerging sociodemographic and lifestyle predictors of
intention to use condom in human immunodeficiencyvirus (HIV)
intervention among uniformed services personnel. Mil. Med. 2006. 171
(10): 1027-1034.
2. Mesquita, F., I. Winarso, I.I.Atmosukarto, B. Eka, L. Nevendorff, A.
Rahmah, P. Handoyo, P. Anastasia and R. Angela. Public health the
leading force of the Indonesian response to the HIV/AIDS crisis among
people who inject drugs. Harm Reduction Journal. 2007. 4 (1): 8-13.
14. Amirkhanian, Y.A., J.A. Kelly, A.V. Kirsanova, W. DiFranceisco,
R.A.
Khoursine, A.V. Semenov and V.N. Rozmanova. HIV risk behaviour
patterns, predictors, and sexually transmitted disease prevalence in the
social networks of young men who have sex with men in St Petersburg,
Russia. Int J STD AIDS. 2006.17 (1): 50-56.
15. Liu, H., H. Yang, X. Li, N. Wang, H. Liu, B. Wang, L. Zhang, Q.
Wang, and Bonita Stanton. Men Who Have Sex with Men and Human
Immunodeficiency Virus/ Sexually Transmitted Disease Control in China.
Cell Res. 2005. 15 (11-12): 858–864.
b. Kejadian di Kalimantan Barat
Pada tahun 2012, kejadian HIV di Kalimantan Barat sebanyak 501 kasus.
Kasus terbanyak di Kota Pontianak yaitu sebanyak 198 kasus dan daerah tanpa
kejadian HIV yaitu Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi dan Kabupaten
Kayong Utara.
No Kabupaten/Kota Kejadian HIV
1 Kota Pontianak 1982 Kab. Sintang 1073 Kota Singkawang 854 Kab. Kubu Raya 275 Kab. Pontianak 246 Kab. Sambas 247 Kab. Sanggau 178 Kab. Ketapang 89 Kab. Landak 710 Kab. Kapuas
Hulu4
11 Kab. Kayong Utara
0
12 Kab. Melawi 013 Kab. Sekadau 014 Kab. Bengkayang Tidak ada dataJumlah 501
Sumber: profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2012
c. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus HIV
Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS terdiri atas :
a. Promosi kesehatan;
Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang
benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan
menghilangkan stigma serta diskriminasi. Promosi kesehatan dapat
dilakukan terintegrasi dengan pelayanan kesehatan maupun program
promosi kesehatan lainnya. Promosi kesehatan meliputi: iklan layanan
masyarakat, kampanye penggunaan kondom pada setiap hubungan
seks berisiko penularan penyakit, promosi kesehatan bagi remaja dan
dewasa muda, peningkatan kapasitas dalam promosi pencegahan
penyalahgunaan, napza dan penularan HIV kepada tenaga kesehatan,
tenaga non kesehatan yang terlatih, dan program promosi kesehatan
lainnya.
b. Pencegahan penularan HIV.
Pencegahan penularan HIV dapat dicapai secara efektif dengan cara
menerapkan pola hidup aman dan tidak berisiko. Pencegahan meliputi
upaya pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual,
pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual, dan
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya.
c. Pemeriksaan diagnosis HIV.
Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan untuk mencegah sedini
mungkin terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV.
Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan berdasarkan prinsip
konfidensialitas, persetujuan, konseling, pencatatan, pelaporan dan
rujukan.
d. Pengobatan, perawatan dan dukungan
Pengobatan HIV dan AIDS dilakukan dengan cara pengobatan
terapeutik, profilaksis, dan penunjang. Pengobatan terapeutik meliputi
pengobatan ARV, pengobatan IMS, dan pengobatan infeksi
oportunitis. Pengobatan profilaksis meliputi: pemberian ARV pasca
pajanan, dan kotrimoksasol untuk terapi dan profilaksis.
Perawatan dan dukungan HIV dan AIDS dilakukan secara holistik dan
komprehensif dengan pendekatan biopsikososiospiritual.
e. Rehabilitasi.
Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan
melalui rehabilitasi medis dan sosial.
Sumber: Kemenkes. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan
AIDS.
2.6. Kasus pertusis
Pertusis (atau batuk rejan) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi tenggorok dengan bakteri Bordetella pertussis. Cara terbaik untuk
mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan
mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan
adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan melalui
imunisasi aktif dan pasif.
a. Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif
sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.
b. Imunisasi aktif
Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat
dosis tunggal Tdap 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi bila
terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan
ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis.
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:
a. Isolasi: mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan
bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan
antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara
lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien
tidak mendapatkan antibiotik.
b. Karantina: kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun,
tidak diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di
tempat publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotic selama
5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
c. Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan
yang terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis
Pertusis (Batuk Rejan).cited 14 September 2015. Available from:
www.mhcs.health.nsw.gov.au/
2.7. Kasus ISPA di Kalimantan Barat
a. Faktor resiko
Beberapa wilayah di Indonesia mempunyai potensi kebakaran hutan
dan telah mengalami beberapa kali kebakaran hutan terutama pada
musim kemarau. Asap dari kebakaran hutan dapat menimbulkan penyakit
ISPA dan memperberat kondisi seseorang yang sudah menderita
pneumonia khususnya Balita. Disamping itu asap rumah tangga yang
masih menggunakan kayu bakar juga menjadi salah satu faktor risiko
pneumonia. Hal ini dapat diperburuk apabila ventilasi rumah kurang baik dan
dapur menyatu dengan ruang keluarga atau kamar. Indonesia juga
merupakan negara rawan bencana seperti banjir, gempa, gunung meletus,
tsunami, dll. Kondisi bencana tersebut menyebabkan kondisi lingkungan
menjadi buruk, sarana dan prasarana umum dan kesehatan terbatas. Penularan
kasus ISPA akan lebih cepat apabila terjadi pengumpulan massa
(penampungan pengungsi). Pada situasi bencana jumlah kasus ISPA
sangat besar dan menduduki peringkat teratas. Status gizi seseorang dapat
mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi, demikian juga sebaliknya. Balita
merupakan kelompok rentan terhadap berbagai masalah kesehatan sehingga
apabila kekurangan gizi maka akan sangat mudah terserang infeksi
salah satunya pneumonia.
DAFTAR PUSTAKA:
Rudan, Igor., et al. 2008. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia.
Bulletin of the World Health Organization 2008; 86: 408–416
b. Kejadian di Kalimantan Barat
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) tersebar di seluruh Provinsi
Kalimantan Barat dengan rentang prevalensi yang sangat bervariasi (8,6 –
41,1%). Angka prevalensi ISPA dalam sebulan terakhir di Provinsi
Kalimantan Barat adalah 18,0%; prevalensi tertinggi di Kabupaten Sekadau
(41,1%), hanya dua wilayah yang prevalensinya di bawah 10%, yaitu
Kabupaten Pontianak dan Ketapang. (riskesdas 2007)
c. Upaya pemerintah untuk mengontrol kasus ISPA
1. Advokasi dan Sosialisasi
Advokasi dapat dilakukan melalui pertemuan dalam rangka
mendapatkan komitmen dari semua pengambil kebijakan. Sosialisasi
bertujuan untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, kemandirian dan
menjalin kerjasama bagi pemangku kepentingan di semua jenjang melalui
pertemuan berkala, penyuluhan/KIE.
2. Penemuan dan Tatalaksana ISPA
3. Ketersediaan Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan
pengendalian ISPA. Penyediaan logistik dilakukan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku dan menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan pembagian kewenangan
antara pusat dan daerah maka pusat akan menyediakan prototipe atau
contoh logistik yang sesuai standard (spesifikasi) untuk pelayanan
kesehatan. Selanjutnya pemerintah daerah berkewajiban memenuhi
kebutuhan logistik sesuai kebutuhan. Logistik yang dibutuhkan antara lain:
a. Obat
1.) Tablet Kotrimoksazol 480 mg
2.) Sirup Kotrimoksazol 240 mg/5 ml
3.) Sirup kering Amoksisilin 125 mg/5 ml
4.) Tablet Parasetamol 500 mg
5.) Sirup Parasetamol 120 mg/5 ml.
b. Alat
1.) Acute Respiratory Infection Soundtimer (ARI Soundtimer), digunakan
untuk menghitung frekuensi napas dalam 1 menit.
2.) Oksigen konsentrator diperuntukkan khususnya bagi fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan rawat inap dan unit
gawat darurat yang mempunyai sumber daya energi (listrik/
generator).
3.) Oksimeter denyut (Pulseoxymetry) sebagai alat pengukur saturasi
oksigen dalam darah diperuntukan bagi fasilitas pelayanan kesehatan
yang memiliki oksigen konsentrator.
c. Pedoman
Sebagai pedoman dalam melaksanakan pengendalian ISPA. Dinas
Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Puskesmas
masing-masing minimal memiliki 1 set buku pedoman Pengendalian
ISPA, yang terdiri dari: pedoman pengendalian ispa, pedoman
tatalaksana pneumonia balita, pedoman autopsi verbal, pedoman
penanggulangan episenter pandemi influenza, pedoman respon nasional
menghadapi pandemi influenza
d. Media KIE (Elektronik dan Cetak)
1.) DVD Tatalaksana pneumonia Balita.
2.) TV spot dan Radio Spot tentang pneumonia Balita.
3.) Poster, Lefleat, Lembar Balik, Kit Advokasi dan Kit Pemberdayaan
Masyarakat.
e. Media pencatatan dan pelaporan
1.)Stempel ISPA
2.)Register harian Pneumonia (non sentinel dan sentinel)
3.)Formulir laporan bulanan (non sentinel dan sentinel)
4. Supervisi
Supervisi dilakukan untuk menjamin pelaksanaan pengendalian ISPA
berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan/ditetapkan dalam pedoman
baik di provinsi, kabupaten/kota. Puskesmas dan rumah sakit
menggunakan instrumen supervisi (terlampir). Supervisi dilakukan secara
berjenjang difokuskan pada propinsi, kab/kota, Puskesmas yang:
a. pencapaian cakupan rendah
b. pencapaian cakupan tinggi namun meragukan
c. kelengkapan dan ketepatan laporan yang kurang baik
5. Pencatatan Dan Pelaporan
Untuk melaksanakan kegiatan pengendalian ISPA diperlukan data
dasar (baseline) dan data program yang lengkap dan akurat. Data dasar atau
informasi tersebut diperoleh dari :
a. Pelaporan rutin berjenjang dari fasilitas pelayanan kesehatan hingga ke
pusat setiap bulan. Pelaporan rutin kasus pneumonia tidak hanya
bersumber dari Puskesmas saja tetapi dari semua fasilitas pelayanan
kesehatan baik swasta maupun pemerintah.
b. Pelaporan surveilans sentinel Pneumonia semua golongan umur dari
lokasi sentinel setiap bulan.
c. Laporan kasus influenza pada saat pandemi
6. Kemitraan Dan Jejaring
a. Kemitraan
Kemitraan dalam program Pengendalian ISPA diarahkan untuk
meningkatkan peran serta masyarakat, lintas program, lintas sektor
terkait dan pengambil keputusan termasuk penyandang dana. Dengan
demikian pembangunan kemitraan diharapkan dapat lebih
ditingkatkan, sehingga pendekatan pelaksanaan pengendalian ISPA
khususnya Pneumonia dapat terlaksana secara terpadu dan
komprehensif. Intervensi pengendalian ISPA tidak hanya tertuju pada
penderita saja tetapi terhadap faktor risiko (lingkungan dan
kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh melalui dukungan
peran aktif sektor lain yang berkompeten. Kegiatan kemitraan meliputi
pertemuan berkala dengan:
1) lintas program dan sektor terkait;
2) organisasi kemasyarakatan,
3) lembaga swadaya masyarakat,
4) tokoh masyarakat,
5) tokoh agama,
6) perguruan tinggi,
7) organisasi profesi kesehatan,
8) sektor swasta
b. Jejaring
Untuk keberhasilan program Pengendalian ISPA diperlukan
peningkatan jejaring kerja (networking) dengan pemangku
kepentingan. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari jejaring
antara lain pengetahuan, keterampilan, informasi, keterbukaan,
dukungan, membangun hubungan, dll dalam upaya pengendalian
pneumonia di semua tingkat. Jejaring dapat dibangun dengan berbagai
pemangku kepentingan sesuai dengan kebutuhan wilayah (spesifik
wilayah) baik sektor pemerintah, swasta, perguruan tinggi,
lembaga/organisasi non pemerintah, dll.
7. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Aspek pelatihan merupakan bagian penting dari Pengendalian ISPA
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya dalam
penatalaksanaan kasus dan manajemen program. Ada beberapa jenis
pelatihan untuk tenaga kesehatan, yaitu :
a. Pelatihan pelatih (TOT)
b. Pelatihan bagi Tenaga Kesehatan
c. Pelatihan Autopsi Verbal
d. Pelatihan Pengendalian ISPA Bagi Tenaga Non Kesehatan
Sumber: Kemenkes. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan
Akut. 2012.
2.8. Mekanisme Penurunan Berat Badan pada Anak dengan TB
Pasien TB sering ditemukan mengalami kehilangan berat badan yang
hebat, suatu gejala yang menjelaskan mengenai penurunan imun seseorang
(immuno-suppresive) dan merupakan penentu utama dari berat dan prognosa
penyakit tersebut (Vasantha, 2008). Mariono (2003) dalam Usman (2008),
malnutrisi menyebabkan berat badan berkurang, kekuatan otot pernapasan
berkurang, menurunnya kapasitas ventilasi dan berkuranganya pertahanan
paru sehingga memperburuk kondisi pasien. Kekurangan nutrisi pada
umumnya berkaitan dengan terganggunya respon imun, khususnya fungsi
fagosit, produksi sitokin, respon sekresi antibody, dan sistem komplemen.
Ringkasnya kekurangan nutrisi menyebabkan immudodefisiensi secara umum
untuk berbagai penyakit infeksi termasuk tuberkulosis (Usman, 2008).Linder
(1991) dalam Usman (2008), menyatakan dengan memberikan diit Tinggi
Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan obat TB pada penderita TB yang di rawat
di rumah sakit didapatkan perbaikan secara klinis berupa peningkatan berat
badan, peningkatan kadar Hb, dan penurunan SGOT, SGPT.
Vasantha (2008), menunjukkan bahwa kenaikan berat badan pengobatan
dikaitkan dengan usia (<45 tahun), di pusat pemerintah, tidak ada riwayat
pemakaian obat sebelumnya. Pada akhir masa intensif pengobatan DOTS,
ditemukan perubahan berat badan pada pasien TB secara signifikan
berhubungan status pernikahan, pendapatan per bulan, tingkat pendidikan,
kepercayaan dalam memilih jenis makanan tertentu pada saat sakit dan porsi
makan dalam keluarga. Pada pasien TB laki-laki didapati peningkatan BMI
sedikit lebih tinggi dibandingkan pasien wanita saat pengobatan dimulai
(Dodor, 2008). Sedangkan menurut Khan (2006), pasien yang memiliki berat
badan rendah pada saatdiagnosis, kenaikan berat badan 5% atau kurang yang
terjadi setelah pengobatan dua bulan (fase intensif) berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya kekambuhan.
Secara singkat mekanisme penurunan BB pada pasien TB adalah sebagai
berikut:
Infeksi Mycobacterium tuberculosis aktifasi makrofag oleh IFN-gamma,
produksi pirogen endogen IL-1, IL-4, IL-6, TNF-α pirogen endogen
bersirkulasi sistemik dan menembus masuk hematoencephalic barrier
bereaksi terhadap hipotalamus menyebabkan produksi
prostaglandinprostaglandin merangsang serebral korteks (respon
behavioral) penurunan nafsu makan pada saat yang sama terjadi
peningkatan metabolisme tubuh karena peningkatan penggunaan energi
metabolik penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh
pasien TB menyebabkan penurunan BB.
1. Vasantha M, Gopi P G, Subramani R., 2008. Weight Gain in Patients
With Tuberculosis Treated Under Directly Observed Treatment
Short- Course (DOTS). Indian J Tubrc 2009, (56): 5-9.
2. Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I
dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal
yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository.
3. Dodor, EA, 2008. Evaluation of Nutritional Status of New
Tuberculosis Patients at the Effia-Nkwanta Regional Hospital. Ghana
Med J 42 (1): 22-28.
4. Khan, A., Sterling, T.R., Reves, R., Vernon, A., Horsburgh C, R., and
Tuberculosis Trails Consortium, 2006. Lack of Weight Gain and
Relapse Risk in a Large Tuberculosis Treatment Trial. Am J Respir Crit
Care Med 174: 344-48.
2.9. Pembesaran Kelenjar Limfe Superfisialis
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap
basil tuberkulosis Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet.
Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan
mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh
makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi
dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen,
perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini
pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus,
dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di
sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional
(limfadenitis). Karena terjadi limfadenitis dan limfangirtis tersebut terjadi
pembengkakan kelenjar limfe.
BAB. III
PENUTUP
3. 1.Kesimpulan
Anak laki-laki 6 tahun tersebut mengalami tuberkulosis.