bram
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
ANALISIS MASALAH
1. Bram, laki-laki, usia 8 bulan, dibawa ke RSMH karena belum tengkurap.
Sampai saat ini belum bisa makan bubur, sehingga masih diberi susu formula.
Bram belum juga bisa makan biskuit sendiri. Bram belum bisa mengoceh dan
meraih benda. (Chief Complain)
Bagaimana pemberian makanan yang normal pada anak laki-laki 8 bulan?
Pada pemberian makan melalui oral bentuk makanan disesuaikan dengan usia
dan kemampuan oromotor pasien, misalnya 0-6 bulan ASI dan/formula, 6 bulan-1
tahun ASI dan/atau formula di-tambah makanan pendamping, 1-2 tahun makanan
keluarga ditambah ASI dan/atau susu sapi segar, dan di atas 2 tahun makanan
keluarga. Jenis sediaan makanan untuk enteral disesuaikan dengan fungsi
gastrointestinal dan dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu:
- Polimerik, yang terbuat dari makronutrien intak yang ditujukan untuk fungsi
gastrointestinal yang normal, terbagi menjadi formula standar dan formula
makanan padat kalori
- Oligomerik (elemental), biasanya terbuat dari glukosa polimer, protein
terhidrolisat, trigliserida rantai sedang (MCT, medium chain triglyceride)
- Modular, terbuat dari makronutrien tunggal
Pada pemberian parenteral, pemberian jenis preparat sesuai dengan usia,
perhitungan kebutuhan dan jalur akses vena. Untuk neonatus dan bayi beberapa
asam amino seperti sistein, taurin, tirosin, histidin merupakan asam amino yang
secara khusus/kondisional menjadi esensial, sehingga dibutuhkan sediaan protein
yang bisa berbeda antara bayi dan anak.
Indikasi MPASI
1. Kemampuan bayi menegakkan kepala
2. Bayi menunjukkan keinginan untuk makan
3. Refeks menjulurkan lidah hilang
Tabel makanan yang dapat diberikan pada bayi usia 6-8 bulan
6-7 bulan ASI Saat dibutuhkan
1. Buah lunak/sari buah
2. Bubur : bubur
havermout/bubur tepung
beras
1-2 kali sehari
7-9 bulan ASI Saat dibutuhkan
1. Buah-buahan
2. Hati ayam atau kacang-
kacangan
3. Beras merah atau ubi
4. Sayuran (wortel, bayam
5. Minyak/santan/advokad
3-4 kali sehari
2. Riwayat kelahiran: Lahir spontan dengan bidan pada kehamilan 37 minggu
dengan berat badan waktu lahir 2400 gram. Segera setelah lahir bayi tidak
menangis, skor APGAR 1 menit 3, dan menit kelima 5. Dirawat di RS selama 10
hari karena susah bernafas.
Perawatan apa yang diberikan pada bayi baru lahir dengan gejala susah
nafas?
Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam mengatasi
transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil membutuhkan berbagai derajat
resusitasi.
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 4 pertanyaan:
- apakah bayi cukup bulan?
- apakah air ketuban jernih?
- apakah bayi bernapas atau menangis?
- apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur
perawatan rutindan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada ibunya
dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu.
Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu
atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:
1. Langkah awal dalam stabilisasi
a. Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan
telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi
seluruh tubuh. Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi
hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus.
Beberapa kepustakaan merekomendasikan pemberian teknik penghangatan
tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi
dibawah pemancar panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang
bisa digunakan adalah alas penghangat.
b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi
menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang
akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk
melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan
pipa endotrakeal.
c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah
aspirasi adalah dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya
bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari beberapa
sentermenunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang bermakna
dalam mencegah aspirasi mekonium. Cara yang tepat untuk membersihkan
jalan napas adalah bergantung pada keaktifan bayi dan ada / tidaknya
mekonium.
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi
mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung
kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul
pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea
meliputi langkah-langkah pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke
dalam trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan
daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis.
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar,
pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa
mekoneum.
d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang
benar
Meletakkan pada posisi yang benar,menghisap sekret, dan mengeringkan akan
memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila
setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum
bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk
atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh atau
ekstremitas bayi. Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada
hampir semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder,
rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya
cukup satu atau dua tepukanpada telapak kaki atau gosokan pada punggung.
Jangan membuang waktu yang berharga dengan terus menerus memberikan
rangsangan taktil.
2. Ventilasi tekanan positif
3. Kompresi dada
4. Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander)
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan
dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan
warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali,
dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya (lihat bagan 1).
3. Bram, laki-laki usia 8 bulan, mengalami gangguan perkembangan motorik
karena Cerebral Palsy dengan faktor resiko asfiksia perinatal dan BBLR.
a. Faktor Resiko
a) Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin,
misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubela dan penyakit inklusi sitomegalik.
Kelainan yang menyolok biasanya gangguan pergerakan dan retardasi mental.
Anoksia dalam kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta previa, anoksi
maternal, atau tali pusat yang abnormal), terkena radiasi sinar-X dan keracunan
kehamilan dapat menimbulkan “Cerebral palsy”
b) Perinatal
1. Anoksia
Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah “brain injury”.
Keadaan inillah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini terdapat pada
kedaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvik, partus lama,
plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan instrumen
tertentu dan lahir dengan seksio caesaria.
2. Perdarahan otak
Perdarahan ortak dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak,
mengganggu pusat pernapasan dan peredaran darah hingga terjadi
anoksia.Perdarahan dapat terjadi di ruang subarachnoid akan menyebabkan
pennyumbatan CSS sehingga mengakibatkan hidrosefalus. Perdarahan
spatium subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumuhan
spaatis.
3. Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdaraha otak yang
lebih banyak dari pada bayi cukup bulan, karena pembuluh darah enzim,
faktor pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.
4. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak
yang permanen akibat msuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada
kelainan inkompatibilitas golongan darah.
5. Meningitis Purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat
pengobatannya akan mengakiatkan gejala sisa berupa “Cerebral palsy”.
c) Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat
menyebabkan “cerebral palsy”.
1. Trauma kapitis dan luka parut pada otak pasca-operasi.
2. Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses serebri,tromboplebitis,
ensefalomielitis.
3. Kern icterus
Seperti kasus pada gejala sekuele neurogik dari eritroblastosis fetal atau
devisiensi enzim hati.
FAKTOR RESIKO CEREBRAL PALSY
b. Komplikasi
a. Kontrol neurologis abnormal
b. Sensasi dan persepsi abnormal
c. Gangguan gastrointestinal (missal:muntah, konstipasi, atau obstruksi usus)
d. Abnormalitas pendengaran dan penglihatan
e. Fungsi oral-motor terganggu
f. Massa tulang berkurang signifikan pada dewasa dan anak-anak yang tidak
dirawat
g. Kesehatan mental
h. Kejang
i. Kontraktur dan spastisitas
j. Inkontinensia urin
k. Retardasi mental
l. Masalah pendengaran
m. Malnutrisi
n. Gagal tumbuh
o. Isolasi social
p. Osteoporosis
q. Dysphagia (Hendy & Soetjiningsih, 2013: hal 541-542)
LEARNING ISSUE
GANGGUAN MOTORIK PADA ANAK
Gangguan motorik pada anak dapat disebabkan oleh karena adanya kelainan atau penyakit
pada :
- Otak
- Sumsum tulang belakang
- Genetik
- Saraf tepi
- Otot
contoh gangguan motorik yang disebabkan adanya kelainan pada otak yaitu Cerebral Palsy,
karena jumlahnya lebih banyak yang datang ke Rumah Sakit, dibanding lainnya.
Cerebral Palsy adalah lesi otak non progresif, yang terjadi sebelum, selama, atau segera
setelah lahir, yang menyebabkan kelainan fungsi neuromuskuler berupa abnormalitas tonus
otot, gangguan koordinasi gerak otot disertai ketidakmampuan dalam menjadi postur dan
keseimbangan tubuh.
Etiologi :
Penyebab Cerebral Palsy bisa bersifat :
- Prenatal : Infeksi (TORCH), anoksia, perdarahan, faktor Rh, kelainan metabolik,
sinar X, keracunan.
- Perinatal : Anoksia, kelainan plasenta, anoksia maternal, trauma, perdarahan otak,
induksi persalinan, partus lama, prematur.
- Postnatal : Trauma kepala, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis, tumor otak,
hidrosefalus, dsb.
Tabel Etiologi Cerebral Palsy
Kongenital Didapat
Pre-natal Perinatal Pasca-natal
Anoksia Anoksia Trauma
Syok anemia maternal Obsruksi pernapasan Fraktur tengkorak
Gangguan plasenta Atelektasis Kontusio serebri
Inkompatibilitas Rh Plansenta previa
Plasenta prematur Infeksi
Infeksi Maternal Sedasi berlebihan Meningitis
Rubella Kelahiran sungsang Ensefalitis
Toksoplasmosis
Sitomegalovirus Trauma Gangguan serebrovaskular
Herpes Virus Disproporsi sefalopelvik
Anoksia
Komplikasi Seksio sesarea Syok
Trauma Keracunan
Prematuritas Nyaris Tenggelam
Faktor Metabolik
Tumor Otak
Malformasi otak
Menurut beratnya Cerebral Palsy
Secara beratnya Cerebral Palsy dapat diobati (1) Ringan, pasien tidak memerlukan
pengobatan, tidak ada masalah bicara dapat melaksanakan kebutuhannya sehari-hari, dan
ambulasi tanpa bantuan alat, (2) Sedang, pasien memerlukan pengobatan atau perawatan,
tidak dapat merawat dirinya sendiri, juga tidak dapat ambulasi sendiri atau bicara. Pada
pasien memerlukan “braces” atau alat bantu diri, (3) Berat. Di sini pasien memerlukan
pengobatan dan perawatan, tetapi oleh karena keadaannya begitu berat maka prognosis untuk
kemungkinan perawatan sendiri ambulasi dan bicara adalah jelek.
Evaluasi Klinis
Menemukan secara dini adanya reflek abnormal yang persisten sangat penting artinya
untuk lebih efektif mencapai tujuan habilitasi pada anak dengan Cerebral Palsy. Pengetahuan
tentang respons refleks yang normal dan abnormal adalah merupakan dasar evaluasi klinis
dan menetukan metoda upaya habilitasi bagi pasien Cerebral Palsy.
Refleks primitif penting dalam perkembangan normal. Respons dari refleks ini
mempersiapkan si bayi untuk mengalami perkembangan yang progresif seperti berguling,
duduk, merangkak, berdiri dan sebagainya. Dalam perkembangan normal, reflek spinal dan
batang otak primitif ini secara berangsur berkurang sesuai dengan makin tingginya pola gerak
dan terbentuknya reaksi keseimbangan. Apabila kontrol inhibisi dari pusat yang lebih tinggi
terputus atau rusak , maka pola reflek primitif akan mendominasi aktivitas sensoris motorik.
Tetapi disfungsi neurologik tertentu akibat dari lesi sistem saraf pusat, akan menghilangkan
control inhibisi terhadap refleks primitif, ini dapat terlihat pada penderita Cerebral Palsy.
Terdapat tiga tingkat perkembangan refleks, yaitu :
1. Tingkat Apedal, saat ini predominan reflek spinal dan batang otak dengan
perkembangan motorik baru berupa berbaring telentang atau tengkurap.
2. Tingkat Quadrupedal, saat ini yang predominan adalah perkembangan midbrain,
dengan timbulnya reaksi gerak, sedangkan dari perkembangan motorik, anak sudah dapat
berguling, duduk dan merangkak.
3. Tingkat Bipedal, yaitu perkembangan tingkat kortex dengan timbulnya reaksi
keseimbangan, dan perkembangan motorik anak telah dapat berdiri dan berjalan.
Atas dasar prinsip umum diatas, dapat dilakukan evaluasi klinis pasien Cerebral
Palsy, berupa :
Refleks Spinal
Reflek spinal disalurkan oleh daerah di sistem saraf pusat sampai ke dasar ventrikal IV.
Refleks spinal ini mengkoordinasikan otot ekstremitas dalam pola fleksi atau ekstensi total.
Reaksi positif atau negatif dari refleks spinal masih mungkin ditemukan pada bayi normal
dalam usia dua bulan pertama. Reaksi positif yang tetapi ada setelah melewati usia dua bulan
menunjukkan gangguan pematangan sistem saraf pusat, sedangkan yang normal adalah reaksi
yang negatif.
Refleks Batang Otak
Refleks batang otak disalurkan oleh daerah Nukleus Nervus VIII ke bawah ke Nukleus
Rubra. Refleks batang otak adalah reflek postural statis dengan pengaruh perobahan distribusi
tonus otot di seluruh tubuh, apakah sebagai respons terhadap perobahan posisi kepala dan
tubuh oleh karena perangsangan labyrinth atau perobahan posisi kepala terhadap tubuh oleh
karena rangsangan proprioseptif otot leher. Reaksi positif atau negatif refleks batang otak
mungkin ditemukan pada anak usia 4 – 6 bulan pertama. Reaksi yang tetap positif setelah
usia melewati 6 bulan mungkin menunjukkan perlambatan maturasi sistem saraf pusat.
Reaksi negatif adalah normal.
Refleks Midbrain
Reaksi penyesuaian (“righting reactions”) diintegrasikan di tingkat midbrain, di atas
nukleus rubra. Reaksi penyesuaian ini berinteraksi dengan setiap bagian kerja tubuh sehingga
membentuk hubungan yang normal antara kepala dan tubuh atau dengan setiap bagian tubuh
lainnya. Reaksi ini merupakan reaksi yang pertama kali timbul yaitu segera setelah lahir dan
mencapai maksimal pada usia 10 – 12 bulan. Selanjutnya, dengan meningkatnya kontrol dari
korteks, reaksi ini secara berangsur dirobah dan dihambat dan akhirnya menghilang pada
akhir usia 5 tahun. Kombinasi kerja reaksi ini memungkinkan si anak berguling, duduk,
merangkak.
Refleks Korteks
Reaksi ini ditimbulkan oleh interaksi korteks, ganglia basalis, dan serebelum.
Pematangan reaksi keseimbangan akan mengantarkan individu memasuki tingkat
perkembangan motorik manusia normal yaitu berdiri dan berjalan dengan dua kaki dan tubuh
melakukan adaptasi terhadap perobahan pusat gaya berat tubuh. Reaksi ini timbul mulai usia
6 bulan. Reaksi positif pada setiap tingkat menunjukkan kemungkinan adanya aktivitas
motorik yang lebih tinggi.
Masalah klinis yang utama dari penderita Cerebral Palsy adalah defisiensi kontrol
motorik, sehingga tujuan utama dari habilitasi adalah membantu individu dengan Cerebral
Palsy memperoleh, mempelajari, kesanggupan motorik baru, dan mengembangkannya ke
tingkat fungsional tertentu. Tetapi selain defisiensi motorik, biasanya pada penderita Cerebral
Palsy juga disertai oleh gangguan fungsi kognitif, gangguan bicara, kejang dan
sebagainya, sehingga secara keseluruhan penderita Cerebral memerlukan penanganan
bersama oleh beberapa disiplin ilmu.
Dalam hal habilitasi motorik pada penderita Cerebral Palsy, pola umum adalah berupa
(1) latihan fungsi motorik yang tepat, (2) bantuan agar pasien Cerebral Palsy dapat berfungsi,
apakah berupa bantuan manusia atau alat (3) kemudian membantu dengan alat khusus, (4)
kemudian membatasi keperluan alat bantu dengan melakukan modifikasi lingkungan, (5)
memberikan latihan lebih lanjut untuk dapat mengkompensasi cacatnya, (6) modifikasi
anatomi dan fisiologi dengan prosedur pembedahan atau pengobatan.
PRINSIP TERAPI
I. Fisioterapi
1. Inhibisi adalah tehnik untuk mencegah tumbuhnya patrun patologis (reaksi asosiasi,
ATNR dan total patrun serta spastisitas) dengan cara memposisikan ekstremitas /
badan, pada posisi tertentu terhadap bagian badan yang lain.
2. Fasilitasi, adalah teknik untuk mempermudah tumbuhnya gerakan dalam pola
normal dengan cara memposisikan ektremitas / badan di posisi tertentu.
3. Mengontrol tonus refleks sikap.
Antara inhibisi dan fasilitasi memang berkaitan langsung, maksudnya dengan
melakukan inhibisi otomatis memberikan fasilitasi pergerakan yang lebih normal.
II. Okupasi Terapi
Terapi okupasi memulai campur tangannya dengan mengembangkan aktivitas yang
berfokus pada :
- Keterampilan menolong diri sendiri
- Aktivitas kehidupan sehari-hari
- Pemilihan permainan yang tepat untuk meningkatkan keterampilan halus tangan.
Seringkali okupasi terapi membutuhkan alat-alat bantu, seperti :
- Orthose untuk extremitas atas (misalnya : splint)
- Modifikasi alat bantu duduk (untuk mempertimbangkan alignment yang baik saat
duduk).
Dalam perkembangan yang maju perlahan-lahan, merangkak, setengah berlutut, dan
berusaha berdiri tegak, dengan pola “extensor thrust”, ketidak seimbangan otot-otot yang
spastik, tidak memungkinkannya untuk dapat mengontrol sikap sendiri. Mungkin dengan
postur “scissored of legs” akibat overaktifnya adduktor. Bila dengan streching
overaktifnya adduktor sulit dikendalikan usaha medik lainnya dapat dilakukan, sehingga
memungkinkan untuk dapat mengontrol stabilitas duduk dan stabilitas diproksimal untuk
berdiri.
Sedangkan spastisitas dari m. Gastrocnemius – Soleus yang tidak memungkinkannya
untuk “foot flat stance”. Pemakaian inhibitive cast untuk mengontrol equinus dapat
diterima, yaitu : bivalve cast silinder.
Dengan demikian anak mampu untuk meningkatkan kemampuannya untuk duduk
dan berdiri dan menjadi awal pergerakan tungkai untuk berjalan.
III. Terapi Lain
Terapi lain tergantung gangguan lain yang menyertai, dapat berupa terapi wicara,
terapi perilaku dsb.
Tabel Gangguan Motorik yang menyertai Cerebral Palsy
Gangguan Lokasi Lesi Ciri-Ciri
Spastisitas
Korteks motorik,
area IV, sistem
piramidal
Meningkatnya tonus otot, refleks yang hiperaktif,
mudah munculnya refleks peregangan, meningkatnya
tahanan pada jangkauan gerak sendi yang penuh
Atetoid
Ganglia basalis,
sistem
ekstrapiramidal
Gerakan menggeliat yang perlahan, involunter, dan
terus-menerus, pada ekstremitas, leher, wajah.
Ataksia
Cerebelum atau
tracus
cerebellaris
Gaya berjalan yang tidak mantap, berbasis lebar,
dismetria; intention tremor pada ekstremitas superior;
gaya berjalan trunkus yang terhuyung-huyung
Tremor Ganglia basalis
Seringkali herediter; tremor otot halus mirip dengan
tremor pada parkinsonisme; tidak menyebabkan
ketidakmampuan yang serius.
RigiditasDifus; ganglia
basalis, korteks
Otot-otot berkontraksi dengan lambat dan kaku;
tahanan terhadap gerakan otot meningkat di seluruh
jangkauan gerak;’ gerakan-gerakan volunter yang
lambat dan membutuhkan banyak tenaga.
Hipotonia Korteks motorik,
area IV
Penurunan tonus otot yang nyata, hiperelastis sendi;
refleks tendon dalam hiperaktif walaupun tonus otot
berkurang (jika asalnya sentral)