bph2
TRANSCRIPT
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Keterangan Umum
Nama : An. Aldia
Umur : 14 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Alamat : Blok Kitana Lor RT 33/07 Jayalaksana - Kedokanbunder
Tanggal masuk RS : 15 November 2012
Tanggal pemeriksaan : 15 November 2012
Anamnesa
Keluhan utama : Pasien mengeluh demam 1 hari SMRS
Anamnesa khusus :
Pasien datang ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan demam 1 hari SMRS, 2 hari
sebelumnya pasien mengalami kecelakaan berkendaraan bermotor dan ibu jari kaki kirinya
masuk ke rantai motor
2 hari yang lalu setelah kecelakaan pasien di bawa ke IGD RSUD Arjawinangun pasien
diberikan obat dan dilakukan tindakan penjahitan pada jempol kaki kirinya. setelah di jahit
pasien di lakukan pemeriksaan rontgen dan dinyatakan terdapat patah tulang pada ibu jari kaki
1
kiri lalu pasien langsung di pulangkan sehari setelahnya pasien mengalami demam dan di rawat
di BRSUD Arjawinangun
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Tanda vital : Tekanan darah : 110 / 70 mmHg
Nadi : 80 x / menit
Respirasi : 20 x / menit
Suhu : 37,7 ºC
Status Generalis
Kepala : Mata : Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor : BJ murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : VBS kiri = kanan, wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Abdomen : datar lembut, NT/NL -/- , bising usus (+)
Hepar & Lien : tidak teraba membesar
Ekstremitas : tidak ada kelainan
Neurologis : tidak ada kelainan
Pemeriksaan penunjang
2
- Rontgen pedis dextra
- DPL
- GDS
Diagnosis kerja
Obs susp Febris ec infeksi
Fracture dgigiti 1 pedis dextra
Penatalaksanaan Ivfd RL20 TPM/menit Ketorolac 2x1 amp Ceftriaxone 2x1 gr Ranitidine 3x1 amp
Prognosa
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Seiring dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas baik dari segi jumlah dan
pemakian jalan, jumlah kendraan serta kecepatan kenderaan, maka mayoritas
fraktur adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Fraktur didefinisikan sebagai
putusnya kontinuitastulang, tulang rawan epifisis atau tulang rawan sendi.
Fraktur yang paling sering terjadi pada sistem skeletal dan dianggap remeh
adalahfraktur phalanx. Fraktur phalanx memiliki frekuensi kejadian mencapai
10 % dari totalfraktur dan mencapai 46% dari total fraktur yang terjadi pada
tangan. Jika dirata-ratakan pertahun angka kejadian fraktur phalanx adalah
1,0 % pada populasi normal. Kejadianfraktur phalanx terbanyak pada usia 39-
60 tahun.
Gejala klinik dari fraktur phalanx sendiri seperti gejala umum fraktur,
dimanatampak pembekakkan, nyeri tekan, keterbatasan gerak karena
nyeri.Untuk diagnosis sendiri dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologis.
Terapi pada fraktur phalanx tergantung dari garis patahannya apabila garis
patahantak stabil maka dilakukan open reduksi, apabila garis patahannya
stabil biasanya cukupdengan reposisi tertutup.
4
Fraktur metatarsal merupakan fraktur yang terjadi pada penghubung antara
pergelangan tangan dengan phalanx. Penyebab langsung dari fraktur ini
karena kejatuhan benda berat, sedangkan penyebab tidak langsung biasanya
disebabkan oleh posisi waktumenginjak tanah dengan kuat kemudian secara
tiba-tiba badan melakukan gerakan berputar.
Pada anamnesis biasanya penderita mengeluh nyeri didaerah pedis. Pada
pemeriksaan fisik tampak pembengkakkan, ekimosis, krepitasi, nyeri tekan dan
nyerisumbu.
Penanggulangannya sendiri tergantung fraktur, apabila fragmen frakturnya
tidak mengalami dislokasi, dilakukan imobilisasi dengan pemasangan gips
sirkuler, apabila1
fragmen mengalami dislokasi dapat dilakukan reposisi tertutup, kalau gagal
denganreposisi tertutup dapat dengan pemasangan internal fiksasi dengan
Kirschner wire.
Amputasi berasal dari kata latin
amputare
yang berarti ”pancung”. Dalam ilmukedokteran diartikan sebagai mebuang
sebagian atau seluruh anggota gerak, sesuatu yangmenonjol, atau tonjolan alat
(organ) tubuh.
Prevalensi amputasi sendiri sangat bervariasi data diAmerika Serikat
menunjukkanangka 350.000-1juta, dengan insiden 20.000 – 30000 pertahun,
sedangkan usia puncak insiden amputasi berkisar dari 50 – 75 tahun. Untuk
pebandingan gender pria mengambilangka 75 % , sedangkan 25% wanita.
Lokasi tersering dilakukan amputasi adalahekstrimitas bawah 85%.
Jenis – jenis amputasi menurut pelaksanaannya terbagi menjadi
amputasiselektif/terencana dimana amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit
5
yang terdiagnosis danmendapat penanganan baik yang terpantau secara terus –
menerus, misalnya amputasi pada penderita diabetes mellitus. Amputasi akibat
trauma yaitu amputasi yang terjadi akibattrauma dan tidak direncanakan,
misalnya akibat kecelakaan lalu lintas. Amputasi darurat,misalnya amputasi
pada fraktur multiple.
Indikasi dilakukan amputasi adalah dead, dangerous, damn nulsance. Dead
yangdimaksudkan adalah kerusakan pembuluh darah yang biasanya
disebabkan oleh penyakit pembuluh darah perifer. Dangerous adalah hal – hal
yang dianggap lebih berbahaya jikamempertahankan dibandingkan dilakukan
amputasi, semisal crush injury yang apabilatidak dilakukan penanganan
menyebabkan gagal ginjal. Damn nulsance yaitu keadaandimana memiliki
anggota gerak lebih buruk daripada tidak mempunyai anggota gerak.
Mengingat banyaknya insidensi fraktur phalanx dan metarsal, dan kurangnya
pengetahuan tentang amputasi serta untuk memenuhi syarat KKM dibagian
bedah, berikutini akan saya paparkan sebuah laporan kasus dengan judul :
”seorang pasien dengan traumaamputasi phalanx IV-V pedis dekstra dengan
fraktur phalanx proksimal digiti IV + fraktur metatarsal II – III pedis dekstra
DEFINISI
Terdapat beberapa pengertian mengenai fraktur, sebagaimana yang
dikemukakan para ahli melalui berbagai literature. Menurut FKUI (2000),
fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan
menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000) fraktur adalah
pemisahan atau patahnya tulang. Back dan Marassarin (1993) berpendapat
bahwa fraktur adalah terpisahnya kontinuitas tulang normal yang terjadi
karena tekanan pada tulang yang berlebihan.
6
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa fraktur merupakan suatu
gangguan integritas tulang yang ditandai dengan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dikarenakan tekanan yang berlebihan.
2. ETIOLOGI
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
A. Fraktur akibat peristiwa trauma.
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba / mendadak dan
berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan
pemuntiran atau penarikan. Bila tekanan kekuatan secara langsung, tulang
dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut
rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan
pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur
komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
B. Fraktur akibat tekanan berulang.
7
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada
tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang
berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
C. Fraktur patologik karena kelainan tulang.
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh (osteoporosis).
3. PATOFISIOLOGI
Menurut Black dan Matassarin (1993) serta Patrick dan Woods (1989). Ketika
patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum
tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan,
kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom
pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah periosteum dan jaringan tulang
yang mengitari fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan
nekrotik adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukosit. Ketika
terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam
sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan
8
lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ
yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga
meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot
yang iskhemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke
interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk
akan menekan ujung syaraf.
4. KLASIFIKASI FRAKTUR
Berikut ini terdapat beberapa klasifikasi Fraktur sebagaimana yang
dikemukakan oleh para ahli:
A. Menurut Depkes RI (1995), berdasarkan luas dan garis traktur meliputi:
1) Fraktur komplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas
sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang
dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
2) Fraktur inkomplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan
garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai seluruh korteks
(masih ada korteks yang utuh).
9
B. Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan hubungan
dengan dunia luar, meliputi:
1) Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh,
tulang tidak keluar melewati kulit.
2) Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya
hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi
infeksi. Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade yaitu:
a) Grade I : Robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
b) Grade II : Seperti grade I dengan memar kulit dan otot.
c) Grade III : Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf,
otot dan kulit.
C. Long (1996) membagi fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu:
1) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang ( retak dibawah lapisan
periosteum) / tidak mengenai seluruh kortek, sering terjadi pada anak-anak
dengan tulang lembek.
10
2) Transverse yaitu patah melintang ( yang sering terjadi ).
3) Longitudinal yaitu patah memanjang.
4) Oblique yaitu garis patah miring.
5) Spiral yaitu patah melingkar.
6) Communited yaitu patah menjadi beberapa fragmen kecil
D. Black dan Matassarin (1993) mengklasifikasi lagi fraktur berdasarkan
kedudukan fragmen yaitu:
1) Tidak ada dislokasi.
2) Adanya dislokasi, yang dibedakan menjadi:
a. Disklokasi at axim yaitu membentuk sudut.
b. Dislokasi at lotus yaitu fragmen tulang menjauh.
c. Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang.
d. Dislokasi at lotuscum controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan over
lapp ( memendek ).
11
5. GAMBARAN KLINIK
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut:
A. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
B. Bengkak / edema.
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa (protein plasma) yang
terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
C. Memar / ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
D. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
E. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, tertekannya syaraf karena edema.
F. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot,
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
G. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
12
H. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
I. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
J. Gambaran X-ray menentukan fraktur
Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur
6. KOMPLIKASI
Komplikasi akibat fraktur yang mungkin terjadi menurut Doenges (2000)
antara lain:
A. Shock Neurogenik
Pada fraktur sering terjadi nyeri yang sangat hebat terutama apabila
penanganan awal dilakukan dengan cara yang kurang benar ( cara
mengangkat, pembidaian dan pengangkutan ). Shock bisa juga terjadi sebagai
kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
B. Infeksi
Biasanya terjadi pada fraktur akibat trauma dan berupa fraktur terbuka.
Kerusakan jaringan lunak akan memudahkan timbulnya infeksi baik pada
jaringan lunak itu sendiri maupun sampai di jaringan tulang itu sendiri
( osteomyelitis ).
C. Nekrosis divaskuler
13
Jaringan nekrosis bila masuk ke pembuluh darah vaskuler akan menjadi
emboli dan dapat mengganggu system peredaran darah dibawahnya.
D. Cedera vaskuler dan saraf
Cedera vaskuler dan saraf pada kondisi fraktur dapat terjadi baik secara
langsung oleh trauma bersamaan dengan terjadinya fraktur, ataupun secara
tidak langsung karena tertusuk fragmen tulang atau tertekan edem disekitar
fraktur.
E. Mal union
Mal union dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain interposisi
jaringan lunak, fraktur communited, fraktur tulang dengan vaskulerisasi
kurang baik, reposisi kurang baik, immobilisasi yang salah dan infeksi.
F. Luka akibat tekanan
Luka ini biasanya timbul pada fase immobilisasi karena pasien tidur dengan
posisi menetap dalam jangka waktu yang lama.
G. Kaku sendi
Hal ini terjadi apabila sendi – sendi disekitar fraktur tidak / kurang digerakkan
sehingga terjadi perubahan synovial sendi, penyusutan kapsul, inextensibility
otot, pengendapan callus dipermukaan sendi dan timbulnya jaringan fibrous
pada ligament.
7. PENATALAKSANAAN FRAKTUR
Terdapat beberapa tujuan penatalaksanaan fraktur menurut Henderson
(1997), yaitu mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian yang patah ke
dalam bentuk semula (anatomis), imobilisasi untuk mempertahankan bentuk
dan memperbaiki fungsi bagian tulang yang rusak.
A. Reposisi / reduksi
14
Jenis-jenis fracture reduction ( reposisi ) yaitu:
1. Manipulasi atau close reduction
Adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan bentuk.
Close reduksi dilakukan dengan local anesthesia ataupun umum.
2. Open reduction
Adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan. sering
dilakukan dengan internal fixasi menggunakan kawat, screws, pins, plate,
intermedullary rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah kemungkinan
infeksi dan komplikasi berhubungan dengan anesthesia. Jika dilakukan open
reduksi internal fixasi pada tulang (termasuk sendi) maka akan ada indikasi
untuk melakukan ROM.
3. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur
untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a. Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan
plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu
menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan
untuk jangka pendek (48-72 jam)
b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada
sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins /
kawat ke dalam tulang.
15
4. Immobilisasi
Setelah dilakukan reposisi dan posisi fragmen tulang sudah dipastikan pada
posisi baik hendaknya di immobilisasi dan gerakkan anggota badan yang
mengalami fraktur diminimalisir untuk mencegah fragmen tulang berubah
posisi.
8. PENANGANAN FISIOTERAPI PADA FRAKTUR
A. Latihan fisiologis otot
Mengikuti imobilisasi, otot disekitar bagian yang fraktur akan kehilangan
volume, panjang dan kekuatannya. Adalah penting jika program latihan yang
aman ditentukan dan dievaluasi dibawah pengawasan fisioterapi untuk
mengembalikan panjang dan fisiologis otot. Dan mencegah komplikasi
sekunder yang biasanya mengikuti.
Latihan untuk menjaga fisiologis otot dilakukan sedini mungkin.
B. Mobilisasi sendi
Kekakuan sendi sering terjadi dan menjadi masalah utama ketika anggota
gerak badan tidak digerakkan dalam beberapa minggu. Focus fisioterapi
adalah melatih dengan teknik dimana dapat menambah dan mengembalikan
lingkup gerak sendi yang terpengaruh ketika fraktur sudah sembuh.
Jangan menggunakan teknik “Force Passive”, karena bisa menyebabkan Reflex
Sympathetic Diystrophy dan Heterotopic Ossification. Gunakan waktu dan
gravitasi atau berat badan pasien sendiri.
Bila di gips, mobilisasi sendi mulai diberikan secara hati – hati pada minggu
kedua. Sedangkan bila dengan internal fixasi, bisa diberikan sedini mungkin.
C. Massage
16
Pelepasan keketatan otot dan trigger points yang terjadi pada otot yang
mengikuti pembidaian dan penge-gips-an akan mengurangi nyeri dan
mengembalikan panjang otot.
D. Pemanasan dan Terapi listrik
Sangat umum terjadi kekakuan jaringan lunak bila imobilisasi lama.
Pemanasan dan terapi listrik menunjukkan manfaat tambahan bagi terapi
manual dan terapi latihan dalam mengurangi nyeri dan mengembalikan
panjang otot.
E. Edukasi jalan
Jika fraktur memerlukan penggunaan alat bantu jalan, fisioterapi dapat
menunjukkan alat yang paling sesuai dan cara jalannya untuk mendukung
kesembuhan optimal dan aman.Demi amannya, Latihan jalan dilakukan secara
bertahap, yaitu :
1. Non Weight Bearing
Adalah berjalan dengan tungkai tidak diberi beban ( menggantung ). Dilakukan
selama 3 minggu setelah di operasi.
2. Partial Weight Bearing
Adalah berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari beban tungkai itu
sendiri. Dilakukan bila callus telah mulai terbentuk ( 3 – 6 minggu ) setelah
operasi.
3. Full Weight Bearing
Adalah berjalan dengan beban penuh dari tubuh. Dilakukan setelah 3 bulan
pasca operasi dimana tulang telah terjadi konsolidasi secara kuat.
17
DAFTAR PUSTAKA.
Schwartz, dkk, (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk, EGC: Jakarta.
Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
Soeparman. (2000). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. FKUI: Jakarta
18