bourdieu (sebuah pengantar)

10
1 Bourdieu: Sebuah Pengantar Andi Rahman Alamsyah Pengantar Secara bersahaja, pendekatan dalam ilmu sosial, termasuk Sosiologi, terbagi ke dalam pendekatan agen dan struktur. Pendekatan agen mengasumsikan aneka gejala sosial, misalnya demokrasi, kemiskinan, konflik dan kekerasan, ditentukan oleh agen-agen sosial (individu, kelompok, organisasi). Dengan kesadaran subyektifnya, seperti pengetahuan, kemampuan untuk melakukan kalkulasi ekonomi dari suatu tindakan atau menginterpretasikan simbol-simbol, agen memiliki atau relatif memiliki kebebasan untuk memilih tindakan sosial yang akan dilakukannnya. Pendekatan ini nampak, misalnya, pada fenomenologi, interaksionisme simbolik, dan rational choice theory (Turner, 1998: 510-512). Sedangkan pendekatan struktur mengasumsikan gejala sosial ditentukan oleh aneka pra- kondisi yang berada di luar kontrol agen-agen sosial. Agen sosial hanyalah wayang yang digerakkan oleh sang dalang (struktur). Dalam konteks demokratisasi, misalnya, aneka pra-kondisi tersebut antara lain modernisasi, ekonomi pasar, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kelas menengah yang kuat. Pendekatan dapat dilihat antara lain dalam pemikiran Strauss, Parsons, Althusser, dan sebagainya. Perbedaan cara pandang antara pendekatan agen dengan pendekatan struktur tersebut menjadi perdebatan klasik. Bourdieu berupaya untuk keluar dari perdebatan klasik tersebut. Ia menawarkan cara pandang yang berbeda dengan berpendapat bahwa gejala sosial, tidak bisa dipahami secara deterministik, semata-mata sebagai sesuatu yang ditentukan oleh agen atau struktur. Menurutnya, agen dan struktur berhubungan secara dialektis, yang lalu menentukan praksis sosialnya. Agen dalam pemahaman Bourdieu bukanlah agen bebas seperti yang dipahami oleh pendekatan agen dan juga bukan agen layaknya robot yang digerakkan melalui remote control (aneka pra-kondisi yang berada di luar kontrol agen) sebagaimana dijelaskan pendekatan struktur. Penjelasan mengenai dialektika agen-struktur yang menentukan praksis sosial tersebut nampak pada gagasan Bourdieu tentang ranah (field), habitus, aneka bentuk modal, pertarungan simbolik, dan kekuasaan simbolik. Ranah dan Modal Menurut Bourdieu, ranah adalah relasi antar posisi obyektif yang ditempati agen (individu atau lembaga) atas dasar modal yang dimilikinya, yang memungkinkannya untuk mendapatkan akses terhadap aneka keuntungan (modal) dalam ranah, dan relasinya dengan posisi-posisi obyektif lainnya (Bourdieu and Wacquant, 1992: 97): “... a network, or a configuration, of objective relation between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in the determinations they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present and potential

Upload: fielkautsar

Post on 13-Apr-2016

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Social Theory

TRANSCRIPT

Page 1: Bourdieu (Sebuah Pengantar)

1

Bourdieu:

Sebuah Pengantar

Andi Rahman Alamsyah

Pengantar

Secara bersahaja, pendekatan dalam ilmu sosial, termasuk Sosiologi, terbagi ke dalam

pendekatan agen dan struktur. Pendekatan agen mengasumsikan aneka gejala sosial,

misalnya demokrasi, kemiskinan, konflik dan kekerasan, ditentukan oleh agen-agen

sosial (individu, kelompok, organisasi). Dengan kesadaran subyektifnya, seperti

pengetahuan, kemampuan untuk melakukan kalkulasi ekonomi dari suatu tindakan atau

menginterpretasikan simbol-simbol, agen memiliki atau relatif memiliki kebebasan untuk

memilih tindakan sosial yang akan dilakukannnya. Pendekatan ini nampak, misalnya,

pada fenomenologi, interaksionisme simbolik, dan rational choice theory (Turner, 1998:

510-512).

Sedangkan pendekatan struktur mengasumsikan gejala sosial ditentukan oleh aneka pra-

kondisi yang berada di luar kontrol agen-agen sosial. Agen sosial hanyalah wayang yang

digerakkan oleh sang dalang (struktur). Dalam konteks demokratisasi, misalnya, aneka

pra-kondisi tersebut antara lain modernisasi, ekonomi pasar, tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi, kelas menengah yang kuat. Pendekatan dapat dilihat antara lain

dalam pemikiran Strauss, Parsons, Althusser, dan sebagainya.

Perbedaan cara pandang antara pendekatan agen dengan pendekatan struktur tersebut

menjadi perdebatan klasik. Bourdieu berupaya untuk keluar dari perdebatan klasik

tersebut. Ia menawarkan cara pandang yang berbeda dengan berpendapat bahwa gejala

sosial, tidak bisa dipahami secara deterministik, semata-mata sebagai sesuatu yang

ditentukan oleh agen atau struktur. Menurutnya, agen dan struktur berhubungan secara

dialektis, yang lalu menentukan praksis sosialnya. Agen dalam pemahaman Bourdieu

bukanlah agen bebas seperti yang dipahami oleh pendekatan agen dan juga bukan agen

layaknya robot yang digerakkan melalui remote control (aneka pra-kondisi yang berada

di luar kontrol agen) sebagaimana dijelaskan pendekatan struktur. Penjelasan mengenai

dialektika agen-struktur yang menentukan praksis sosial tersebut nampak pada gagasan

Bourdieu tentang ranah (field), habitus, aneka bentuk modal, pertarungan simbolik, dan

kekuasaan simbolik.

Ranah dan Modal

Menurut Bourdieu, ranah adalah relasi antar posisi obyektif yang ditempati agen

(individu atau lembaga) atas dasar modal yang dimilikinya, yang memungkinkannya

untuk mendapatkan akses terhadap aneka keuntungan (modal) dalam ranah, dan relasinya

dengan posisi-posisi obyektif lainnya (Bourdieu and Wacquant, 1992: 97):

“... a network, or a configuration, of objective relation between positions. These

positions are objectively defined, in their existence and in the determinations they

impose upon their occupants, agents or institutions, by their present and potential

Page 2: Bourdieu (Sebuah Pengantar)

2

situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital)

whose possession commands acess to the specific profits that are at stake in the

field, as well as by their objective relation to other positions (domination,

subordination, homology, etc.)”.

Ada empat jenis modal yang dapat menentukan posisi obyektif agen, yaitu modal

ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik (Bourdieu dalam Richardson,

1986; Bourdieu and Wacquant, 1992: 119; Haryatmoko, 2003: 11-12; Haryatmoko;

Allan, 2006: 176-178). Modal ekonomi adalah tingkat pemilikan agen atas kekayaan dan

pendapatan. Modal sosial merupakan jaringan sosial yang memudahkan agen untuk

mengakumulasi bentuk-bentuk modal lainnya. Modal budaya adalah pemilikan agen atas

benda-benda materil yang dianggap memiliki prestise tinggi (objectified cultural capital),

pengetahuan dan keterampilan yang diakui otoritas resmi (institutionalized cultural

capital), dan kebiasaan (gaya pakaian, cara bicara, selera maka, gerak-gerik tubuh khas,

dan sebagaianya) yang merupakan wujud dari posisi obyektif agen (embodied cultural

capital). Modal simbolik adalah aneka simbol (modal budaya) yang dapat memberikan

legitimasi atas posisi, cara pandang, dan tindakan sosial agen sehingga dianggap sebagai

yang paling absah oleh agen lainnya. Ia memiliki kemampuan untuk “membentuk dunia”

(the power of world-making).

Dalam rangka memperkuat (mempertahankan atau merebut) posisi obyektif dalam ranah,

modal bisa dipertukarkan (reconversion) satu dengan yang lain (Bourdieu, 1994: 125-

175). Yang paling mudah untuk dipertukarkan adalah modal ekonomi dengan berbagai

jenis modal lainnya. Sedangkan yang paling bernilai adalah rekonversi aneka jenis modal

menjadi modal simbolik karena memungkinkan agen yang memilikinya untuk

mendefinisikan agen-agen lain, merepresentasikan mereka, dan membentuk “dunia

sosial” yang diakui keabsahannya (kekuasaan simbolik), seperti ditegaskan Bourdieu

(1995: 166): “Symbolic power is a power of constructing reality...”. Dengan cara seperti

itu, agen lalu memperoleh keuntungan ekonomi, budaya, dan lain-lain (yang bisa

memperkuat posisinya dalam ranah), yang tak nampak karena terselimuti modal

simboliknya (Bourdieu, 1977: 183; Wacquant, 1994: 9; ):

Posisi obyektif agen ditentukan oleh dua hal, yaitu pemilikannya atas modal dan

relasinya dengan posisi obyektif agen lain. Pemilikan atas modal ukurannya ada tiga

(Haryatmoko, 2003: 12-13; Allan, 2006: 182-183). Pertama, pemilikan agen atas

keempat jenis modal (ekonomi, sosial, budaya, simbolik). Kedua, volume (jumlah) untuk

setiap modal yang dimiliki agen. Ketiga, bobot relatif dari aneka jenis modal tersebut

dalam ranah, yang sangat tergantung pada karakteristik ranah, misalnya modal simbolik

memiliki bobot relatif paling tinggi pada ranah politik, modal ekonomi pada ranah

ekonomi, modal budaya pada ranah akademis atau keagamaan, dan seterusnya. Jadi, jika

agen memiliki keempat jenis modal, volumenya besar dan bobot relatifnya tinggi, serta

ada dalam relasi dengan agen lain yang ciri-cirinya berkebalikan (jenis modal yang

dimiliki tak lengkap, volumenya kecil, dan bobot relatifnya rendah), maka ia menempati

posisi obyektif dominan dalam ranah. Bila sebaliknya, maka posisi obyektifnya marjinal,

Page 3: Bourdieu (Sebuah Pengantar)

3

sedangkan agen lain yang memiliki relasi dengannnya menempati posisi obyektif

dominan1.

Ranah bukanlah struktur layaknya pagar dengan batas yang jelas dan tetap (statis). Ia

terbentuk atas dasar “titik-titik pertemuan” antar agen sosial (bahasa, gaya hidup,

pengetahuan, minat, dan seterusnya). Agen-agen yang berminat pada politik, aktif dalam

organisasi politik, punya pengetahuan tentang politik, dan sebagainya, cenderung

“bertemu” dengan agen lainnya dengan karakteristik yang sama, walaupun mungkin

mereka berbeda ideologi politik, misalnya yang satu nasionalis sedangkan yang lainnya

pengusung Syariat Islam. “Titik-titik pertemuan” di antara mereka memunculkan ranah

tertentu, yaitu ranah politik. Pada saat yang bersamaan, para agen bisa menjadi “anggota”

lebih dari satu ranah. Ia bisa menjadi politisi sekaligus pengusaha. Yang berarti ia berada

dalam ranah politik sekaligus ranah ekonomi. Pada setiap ranah yang ditempatinya, para

agen selalu berupaya untuk memperkuat posisinya. Inilah yang membuat ranah bersifat

cair dan dinamis sehingga sulit untuk menetapkan batas-batasnya (Bourdieu and

Wacquant, 1992: 100):

“The question of the limits of the field is a very difficult one, if only because it is

always at stake in the field itself and therefore admits of no apriori answer.

Participants in a field, say, economic firms, high fashion designers, or novelists,

constantly work to differentiate themselves from their closest rivals in order to

reduce competition and to establish a monopoly over a particular subsector of the

field”.

Menurut Bourdieu, batas-batas ranah tersebut hanya bisa ditentukan melalui penelitian

empiris (Bourdieu and Wacquant, 1992: 100). Kumpulan antar ranah membentuk ruang

sosial (social space) atau apa yang dikenal umum sebagai masyarakat.

Hakekat setiap ranah, dalam pemahaman Bourdieu, adalah medan pertarungan antar agen

untuk memperkuat posisinya (dalam ranah). Bagi yang dominan, ia adalah medan untuk

mempertahankan posisinya, sedangkan bagi yang marjinal untuk merebutnya. (Bourdieu

and Wacquant, 1992: 101):

“As a space of potential and active forces, the field is also a field of struggles

aimed at preserving or transforming the configuration of these forces.

Furthermore, the field as a structure of objective relations between positions of

force undergirds and guides the strategies whereby the occupants of these

positions seek, individually or collectively, to safeguard or improve their position

and to impose the principle of hierarchization most favorable to their own

products”.

1 Dalam kenyataan, seperti yang dikemukakan sendiri oleh Bourdieu, posisi-posisi obyektif tersebut

merupakan sesuatu yang kompleks. Di antara dua titik ekstrim dominan dan marjinal terdapat beragam

posisi obyektif lainnya. Pemilahan dominan-marjinal dalam penelitian ini hanyalah konstruksi teroritis

demi memudahkan analisa.

Page 4: Bourdieu (Sebuah Pengantar)

4

Pertarungan itu terjadi pada tingkat simbolik (wacana) atau, menurut Bourdieu (1994:

244-256 dan 1995: 239-248) pertarungan simbolik (symbolic struggle). Namun, simbol

atau wacana yang dipertarungkan bukanlah sesuatu yang muncul semata-mata sebagai

kreatifitas agen, sebagaimana diasumsikan pendekatan agen. Ia adalah hasil dialektika

antara ranah dengan habitus (struktur subyektif agen). Jadi, ia adalah simbol yang

memiliki “kaki” (ranah) sekaligus “kepala” (habitus). Ini berbeda dengan simbol dalam

pemahaman pendekatan agen yang hanya memiliki “kepala”.

Yang mendasari pertarungan antar agen dalam ranah adalah perbedaan posisi-posisi

obyektif di antara mereka. Karena modal jumlahnya terbatas, namun penting untuk

dimiliki demi menjamin posisi dalam ranah, maka dengan modal yang dimilikinya, agen

saling berusaha untuk mengakumulasi modal. Inilah logika modal yang mendasari

pertarungan dalam ranah. Yang ingin dicapai atau dipertahankan para agen dalam

pertarungan tersebut adalah posisi dominan dalam ranah, yang ditandai dengan

pemilikan atas aneka modal yang lengkap jenisnya, besar volumenya, dan tinggi bobot

relatifnya. Jika hal itu tercapai maka agen bakal memiliki kekuasaan untuk

mendefinisikan agen lain dan mengklaim diri sebagai representasi dari mereka serta

membentuk “dunia sosial” versinya sendiri yang dianggap absah atau kekuasaan simbolik

(Bourdieu, 1995: 170; Bourdieu, 1977: 159-183). Ia bisa menyembunyikan kepentingan

sesungguhnya (misrecognition), yaitu akumulasi modal dalam rangka memperkuat posisi

dominannya dalam ranah. Karena adanya pengakuan absah itu maka akumulasi modal

yang dilakukan agen demi mempertahankan posisinya dalam ranah menjadi lebih mudah.

Bourdieu menganalogikan medan pertarungan tersebut layaknya suatu permainan. Ada

kode-kode dan aturan-aturan yang harus dikuasai agar bisa terlibat dalam permainan

tersebut. Mereka yang menguasainya dengan baik (feel for the game, practical sense,

sense of the game [Bourdieu and Wacquant, 1992: 120-121]) akan mengendalikan

permainan (posisi dominan), sedangkan yang tidak, cukup menjadi pemain amatir atau

penonton (posisi marjinal). Dalam upaya menguasai kode-kode dan aturan-aturan demi

menjadi pengendali permainan itulah terjadi pertarungan antar agen. Yang dominan

berupaya untuk mempertahankan posisinya, sedangkan yang marjinal berusaha untuk

merebutnya. Mekanisme yang dipakai untuk mempertahankan atau merebut posisi

dominan itu adalah reproduksi sosial (Bourdieu and Passeron, 2000: 3-31). Ini adalah

upaya untuk mempertahankan tatanan sosial, salah satunya melalui sistem pendidikan,

yang dianggap absah. Bagi yang menempati posisi dominan, hal itu penting untuk

dipertahankan karena di situlah dominasinya memperoleh jaminan. Sedangkan bagi yang

marjinal, dengan mempelajari kode-kode dan aturan main ranah dominan, mulai dari

pengetahuan, keterampilan, gaya hidup, cara berbicara, gerak-gerik tubuh, dan

sebagainya, maka posisi obyektifnya bisa meningkat, bahkan mungkin mencapai posisi

dominan, dalam ranah (dominan) yang dianggapnya sebagai absah bagi proyek masa

depannya.

Reproduksi sosial tersebut terjadi melalui mekanisme tertentu yang mengaitkan antara

ranah, modal, dan habitus. Ranah obyektif yang meliputi posisi-posisi obyektif atas dasar

kepemilikan modal dikonversi menjadi ranah simbolik dengan menggunakan modal

simbolik. Ketika menjadi ranah simbolik itulah, ranah obyektif memperoleh legitimasi

Page 5: Bourdieu (Sebuah Pengantar)

5

dan dianggap sebagai realitas. Ini dimungkinkan karena modal simbolik memiliki

kemampuan untuk mengonstruksi dan membentuk pengakuan yang menghasilkan dan

melegitimasi relasi antar posisi-posisi dalam ranah obyektif tersebut. Dalam

perkembangan selanjutnya, modal simbolik itu mengkristal menjadi modal budaya

berupa pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, aturan-aturan, yang harus dipelajari karena

dianggap sebagai sesuatu yang absah yang menjadi jaminan masa depan. Modal budaya

yang melekat (embodied atau terinternalisasi) pada agen lalu menjadi habitus. Habitus

menyaring pilihan tindakan agen agar sesuai dengan ranahnya. Pada titik inilah

berlangsung proses reproduksi sosial.

Reproduksi sosial dilakukan dengan strategi-strategi tertentu. Pertama adalah strategi

investasi biologis, pewarisan, dan pendidikan, yang dilakukan pada ranah keluarga;

kedua adalah strategi investasi ekonomi dan simbolik, yang terjadi pada ranah sosial

(Bonnewitz, seperti dikutip Haryatmoko, 2003: 15-16). Strategi investasi biologis

ditujukan untuk menjamin pewarisan modal dan peningkatan posisi obyektif dengan cara

mengontrol jumlah keturunan. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari jaminan atas

kesehatan keluarga, pilihan konsumsi makanan, pola istirahat, jenis hiburan dan olaraga.

Pewarisan adalah upaya untuk menjamin kekayaan berupa modal ekonomi yang memiliki

peran penting dalam hubungan kekuasaan dan pertarungan dalam ranah. Strategi

investasi pendidikan ditujukan untuk menyiapkan agen yang memiliki kemampuan

memadai untuk menerima warisan atau meningkatkan posisi obyektif dalam ranah.

Strategi investasi ekonomi adalah usaha untuk memperbanyak jumlah dan bentuk modal

demi mencapai atau memperkuat posisi dominan melalui berbagai cara, seperti

kerjasama, perkawinan, pertukaran uang, dan lain-lain. Strategi investasi simbolik

ditujukan untuk memelihara persepsi yang bisa meningkatkan atau mempertahankan

keabsahan dari posisi-posisi yang ditempati agen.

Habitus

Selain ranah, yang merupakan dimensi obyektif struktur, pada agen juga melekat dimensi

subyektif yang dikonsepsikan Bourdieu sebagai habitus. Ia terdiri atas berbagai disposisi

yang membentuk sistem klasifikasi (Bourdieu, 1977: 214, catatan kaki 1) yang

merupakan representasi konseptual (pengetahuan, perasaan, sikap) dari realitas yang

dialami agen sesuai dengan posisi obyektifnya dalam ranah, misalnya demokratis-tidak

demokratis, kekerasan-bukan kekerasan, ruang, waktu, dan lain-lain. Namun, habitus

bukanlah seperangkat nilai atau konsepsi teoritis yang abstrak, terkodifikasi, dengan

sumber referensi jelas, dan secara sadar dipelajari oleh agen. Ia adalah sesuatu yang

diproduksi dan direproduksi karena diterima secara sosial.

Wujud habitus bermacam-macam. Ia bisa berupa prinsip-prinsip, nilai-nilai, misalnya

sikap disiplin dan anti-kekerasan, seperti terlihat pada kecenderungan jawara di Serang

untuk menyelesaikan persoalan dengan cara kekerasan atau kepatuhan mutlak seorang

santri terhadap kyainya. Ia juga bisa mewujud dalam gerak-gerik tubuh khas, seperti cara

berbicara, berjalan, gerak tubuh ketika berpapasan dengan orang lain, dan sebagainya.

Apapun wujudnya, habitus terinternalisasi pada agen dan tanpa disadari memandu

tindakan sosialnya sehari-hari. Habitus bukan saja melekat pada individu, melainkan juga

Page 6: Bourdieu (Sebuah Pengantar)

6

kelas. Habitus-habitus individual yang sama akan mengelompok (homologi) hingga

membentuk habitus kelas.

Habitus terbentuk dari kombinasi posisi sosial dan sejarah personal agen (asal-usul sosial,

pekerjaan dan pendidikan). Posisi sosial tertentu dalam ranah, misalnya orang kaya,

cenderung menghasilkan habitus orang kaya, seperti selera, cara makan, gaya berpakaian,

gerak-gerik tubuh, dan sebagainya, yang berbeda dibandingkan dengan orang miskin2.

Habitus melekat sejak lahir (perawatan bayi dan pola pengasuhan orang kaya berbeda

dengan orang miskin), lalu berkembang seiring dengan meluasnya relasi agen dengan

agen lain yang berbeda habitusnya, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan yang

ditempuh agen, pekerjaan, lingkungan pergaulan, dan sebagainya.

Habitus membentuk semacam sistem klasifikasi. Dan dengan sistem itulah agen

mengorganisir tindakan sosialnya dan mempersepsi serta mengapresiasi tindakan sosial

agen lain. Ia melekat (skema-skema tertanam pada diri agen) sekaligus mewujud pada

agen (cara bicara, berjalan, makan, hingga membuang ingus) sehingga secara otomatis

(tak disadari) memandu praksis sosialnya (Bourdieu, 1984: 466):

“The schemes of the habitus, the primary forms of classification, owe their

specific efficacy to the fact that they function below the level of consciousness and

language, beyond the reach of introspective scrutiny or control by the will.

Orienting practices practically, they embed what some would mistakenly call

values in the most automatic gestures or the apparently most insignificant

techniques of the body—ways of walking or blowing one’s nose, ways of eating or

talking—and engage the most fundamental principles of construction and

evaluation of the social world, those which most directly express the division of

the labour (between the classes, the age groups and the sexes) or the division of

the work of domination, in divisions between bodies and between relations to the

body which borrow more features than one, as if to give them appearances of

naturalness, from the sexual division of labour and the division of sexual labour”.

Pada posisi obyektifnya yang asli, habitus cenderung untuk mereproduksi diri, misalnya

habitus anak cenderung sama dengan orang tua. Sekali terbentuk, habitus cenderung

menjadi semacam referensi bagi perilaku agen selanjutnya (Bourdieu, 1979: viii). Ini

membuat habitus memiliki sifat tahan lama (durable). Namun, pada titik tertentu, habitus

juga menyesuaikan diri dengan perubahan ranah. Karenanya, habitus juga memiliki sifat

berubah-ubah (transposible). Dengan cara pandang seperti ini, maka dapat disimpulkan

bahwa habitus tidaklah menentukan praksis sosial agen, tetapi memperantarai agen

dengan dunia sosial yang melingkupinya (ranah).

2Ada yang menginterpretasikan bahwa hanya posisi ataslah yang memiliki kemampuan untuk memproduksi

habitus. Yang menentukan hal itu adalah “jarak dari kebutuhan nyata (distance from necessity)”. Semakin

berjarak, semakin memiliki kemampuan untuk memproduksi habitus (Allan, 2006: 178-182). Orang kaya,

misalnya, yang makan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan perut, melainkan juga gengsi, selera,

pilihan waktu luang, lebih memiliki kemampuan untuk memproduksi habitus daripada orang miskin.

Page 7: Bourdieu (Sebuah Pengantar)

7

Praksis sosial agen, misalnya sikap untuk mendukung atau menolak demokrasi, adalah

hasil dari dialektika antara ranah dengan habitus yang melekat pada diri agen tersebut.

Bagaimana hal ini dimungkinkan? Menurut Bourdieu, ranah mengondisikan habitus,

sedangkan habitus mengklasifikasikan ranah (Bourdieu and Wacquant, 1992: 19). Ini

artinya, ranah memang mempengaruhi praksis sosial agen, namun hal itu tidak terjadi

secara otomatis sebagaimana asumsi pendekatan struktur. Ada habitus yang

memperantarai atau menyaringnya hingga menjadi praksis sosial. Habitus memilih

praksis sosial tertentu dengan mempertimbangkan posisi sosial agen dan relasinya dengan

agen lain dalam ranah. Pada titik ini nampak adanya peran agen, melalui habitus, dalam

memproduksi praksis, sekalipun bukan agen bebas (karena dikondisikan ranah)

sebagaimana asumsi pendekatan agen. Inilah yang dimaksud dengan dialektika agen-

struktur yang menghasilkan praksis sosial.

Pertarungan dan Kekuasaan Simbolik dalam Ranah Politik

Bourdieu memahami ranah politik dalam pengertian yang sempit (Bourdieu, 1995: 25-

26). Ia meliputi apa yang dalam pemahaman awam dikenal sebagai “politik”, yang terdiri

atas pelaku politik (agen atau aktor politik), instrumen-instrumen politik (partai politik,

parlemen, dan sebagainya) dan prosedur politik (pemilu, artikulasi kepentingan melalui

parlemen, dan lain-lain). Sebagaimana sejarah terbentuknya ranah, yang mendorong

terbentuknya ranah politik adalah “titik-titik pertemuan” (hasrat dan minat atas

kekuasaan, akrab dengan isu-isu politik, terlibat dalam berbagai kegiatan politik, dan

sebagainya) antar pelaku politik.

Dalam bahasa Bourdieu, para pelaku politik tersebut adalah agen-agen politik

profesional. Mereka bisa individu, kumpulan individu atau lembaga, yang menerima

mandat (mandataire) dari pemberi mandat (mandant). Para mandataire itu adalah

delegasi yang memiliki otoritas untuk berbicara atas nama kelompok (parpol, serikat

buruh, dan lain-lain). Bourdieu melihat hal tersebut sebagai gejala disposisi politik

(political dispossession) yang terbentuk melalui “proses dua tahap delegasi”, yaitu

pembentukan kerangka institusional delegasi (pembangunan kantor, lembaga-lembaga

[parpol, parlemen], birokrasi, dan sebagainya) dan proses pemberian dan penerimaan

mandat (Bourdieu, 1995: 205), yang pada akhirnya membuat ranah politik menjadi

terlembaga, birokratis, dan profesional dalam rangka menjalankan politik “atas nama”

(representasi).

Ranah politik ada dalam relasi dengan berbagai ranah lainnya. Justru ia hidup dari

dukungan agen-agen yang berada pada ranah lain tersebut, yang dikonsepsikan Bourdieu

sebagai agen-agen politik non-profesional. Pada ranah politik, para agen politik

profesional bekerja untuk memproduksi dan mereproduksi berbagai produk politik,

seperti program politik, slogan, logo, komentar politik, dan sebagainya, yang berisi aneka

wacana yang dapat memperkuat posisi obyektifnya dalam ranah politik (Bourdieu, 1995:

188-192). Aneka produk politik itu, oleh agen-agen politik profesional (produsen produk

politik), dijajakan kepada agen-agen politik non-profesional (konsumen produk politik)3.

3 Bourdieu menganalogikan ranah politik layaknya pasar, yang di dalamnya terdapat barang yang diperjual-

belikan (produk-produk politik), penjual (agen-agen politik profesional), pembeli (masyarakat yang

Page 8: Bourdieu (Sebuah Pengantar)

8

Bila produk politik tersebut laku, maka agen politik profesional yang menjualnya akan

memperoleh kredit (credit) atau modal politik (political capital) dari agen-agen politik

non-profesional (Bourdieu, 1995: 192-197). Ia adalah dukungan politik yang bentuknya

bisa materil (iuran, sumbangan) maupun non-materil (symbolic support), seperti suara

dalam pemilu, tanda-tangan dalam petisi, dan lain-lain, yang memungkinkan agen untuk

meraih kekuasaan politik yang diakui keabsahannya (Bourdieu, 1995: 192):

Sebagaimana hakekat tentang ranah dalam konsepsi Bourdie, ranah politik juga

merupakan medan pertarungan. Proses jual-beli produk politik yang melibatkan agen

politik profesional dan non-profesional, seperti telah diuraikan sebelumnya, pada

dasarnya adalah pertarungan antar agen politik profesional untuk mempertahankan atau

merebut posisi dominan dalam ranah politik. Pada akhirnya, agen politik profesional

yang menempati posisi tersebut memiliki legitimasi untuk bertindak dan berbicara atas

nama agen-agen politik non-profesional yang mendukungnya (Bourdieu, 1995: 190):

“The political field is thus the site of a competition for power which is carried out

by means of a competition for the control of non-professionals or, more precisely,

for the monopoly of the right to speak and act in the name of some or all of the

non-professionals. The spokespersons appropriates not only the words of the

group of non-professionals, that is, most of the time, its silence, but also the very

power of that group, which he helps to produce by lending it a voice recognized

as legitimate in the political field”.

Pertarungan tersebut terjadi pada dua area atau yang dikonsepsikan Bourdieu sebagai

“double game”. Pertama adalah pertarungan untuk memonopoli cara pandang tentang

dunia sosial yang dianggap absah (modal politik subyektif). Dan kedua adalah monopoli

atas penggunaan aneka instrumen kekuasaan obyektif atau modal politik obyektif

(Bourdieu, 1995: 181):

“What is stake in this game is, on the one hand, the monopoly of the elaboration

and diffusion of the legitimate principle of di-vision of the social world and,

thereby, of the mobilization of groups, and, on the other hand, the monopoly of

the use of objectified instrument of power (objectified political capital)”.

Pertarungan dalam ranah politik terutama terjadi antara agen politik profesional yang

menempati posisi obyektif dominan dengan agen politik profesional yang menempati

posisi obyektif marjinal. Yang dominan berusaha untuk mempertahankan posisinya,

sedangkan yang marjinal berupaya untuk merebutnya. Keduanya memproduksi dan

mereproduksi aneka produk politik, yang berisi berbagai wacana yang dapat memperkuat

posisi obyektif dalam ranah politik sekaligus melemahkan posisi obyektif agen lain yang

menjadi lawannya. Inilah yang dikonsepsikan Bourdieu sebagai pertarungan simbolik

(symbolic struggle) atau pertarungan wacana (Bourdieu, 1994: 244-256; Bourdieu, 1995:

239-248). Agen politik profesional yang menempati posisi obyektif dominan cenderung

memproduksi dan mereproduksi orthodoxa (orthodoxy), yaitu wacana yang mendukung

berpotensi untuk mendukung atau menolak produk politik), dan aktivitas jual-beli (proses politik seperti

pemilu, referendum, dan lain-lain).

Page 9: Bourdieu (Sebuah Pengantar)

9

keberadaan wacana dominan yang dianggap absah (doxa) dalam ranah (politik).

Sedangkan agen politik profesional yang menempati posisi obyektif marjinal cenderung

memproduksi dan mereproduksi heterodoxa (heterodoxy), yaitu wacana yang menentang

keberadaan doxa (Bourdieu, 1977: 159-171, untuk pembahasan tentang hal ini dalam

konteks ranah secara umum).

Aneka wacana yang dijajakan para agen politik profesional tersebut pada dasarnya adalah

praksis politik agen yang merupakan hasil dari dialektika antara ranah politik (yang

ditempati agen sesuai dengan posisi posisi obyektifnya dalam ranah) dengan habitus

politiknya. Ranah politik mengondisikan habitus politik agen, misalnya habitus non-

demokratis, sedangkan habitus politik mengklasifikasikan ranah. Pada habitus aslinya,

agen tersebut non-demokratis, yang terlihat dari praksis politiknya (diskriminatif,

cenderung melakukan kekerasan, dan sebagainya). Namun, logika ranah, misalnya agen

tersebut ada dalam relasi dengan agen lain yang demokratis dengan posisi obyektif

dominan, mendorongnya untuk menampilkan praksis politik lain yang cenderung

demokratis demi memperkuat posisinya dalam ranah politik. Pada titik inilah, habitus

politik agen tersebut membantunya untuk menyesuaikan diri dengan ranah politik yang

dihadapinya. Jadi, walaupun sejatinya tak demokratis, tetapi dengan bantuan habitus

politiknya, ia bisa menampilkan praksis politik demokratis, seperti dapat dilihat pada

wacana yang dijajakannya kepada agen lain. Sekalipun demikian, pada titik tertentu,

habitus aslinya yang tak demokratis bisa muncul secara spontan.

Pertarungan wacana tersebut menghasilkan kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan dalam

ranah politik yang diakui keabsahannya, misalnya kekuasaan agen politik profesional

tertentu dengan wacana demokratis yang diusungnya. Dengan kekuasaan simbolik itu,

agen politik profesional yang menempatinya memiliki keabsahan untuk memonopoli

penggunaan instrumen-instrumen kekuasaan, seperti polisi, tentara, birokrasi, dan

sebagainya, dan memonopoli cara pandang tentang “dunia sosial” kekuasaan, misalnya

ideologi, prinsip, nilai, aturan main, lembaga-lembaga, dan lain-lain4. Pada akhirnya,

agen tersebut dapat menjamin aneka kepentingannya (materil maupun simbolik), yang

tersembunyi karena adanya pengakuan absah dari agen-agen lainnya (misrecognition),

demi memperkuat posisinya dalam ranah politik (Bourdieu, 1995: 170):

“Symbolic power – as a power of contituting the given through utterances, of

making people see and believe, of confirming or transforming the vision of the

world and, thereby, action on the world and thus the world itself, an almost

magical power which enables one to obtain the equivalent of what is obtained

through force (whether physical or economic), by virtue of the specific effect of

4 Pada dasarnya, pengakuan absah seperti ini, yang lalu berimplikasi pada kepatuhan, kesukarelaan,

pemberian dukungan, dan sebagainya, adalah bentuk lain dari kekerasan, yang dikonsepsikan Bourdieu

sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence). Ia sebetulnya adalah pemaksaan atas suatu sistem

pemaknaan melalui cara tertentu tetapi pada akhirnya tak lagi dilihat sebagai pemaksaan, melainkan

sebagai sesuatu yang absah. Itu adalah hal penting demi meneguhkan (reproduksi) dominasi, yang tak

dilihat sebagai dominasi (dalam pengertian obyektif), melainkan sesuatu yang memang harus seperti itu

adanya (lihat Bourdieu and Passeron, 2000: 3-13, yang secara khusus membahas sistem pendidikan sebagai

instrumen kekerasan simbolik).

Page 10: Bourdieu (Sebuah Pengantar)

10

mobilization – is a power that can be exercised only if it is recognized, that is,

misrecognized as arbitrary”.

Tetapi, kekuasaan simbolik tidaklah bersifat statis. Ia selalu dalam keadaan dinamis. Ini

dapat terjadi karena hakekat ranah sebagai relasi posisi-posisi obyektif. Karena itu, di

tengah-tengah dominasi suatu wacana dalam ranah politik, misalnya demokrasi, selalu

ada wacana-wacana lain yang marjinal, yang terus-menerus menggugatnya, seperti sistem

politik berdasarkan agama atau tradisi lokal. Wacana-wacana marjinal itu diusung oleh

agen politik profesional lain yang menjadi kompetitor agen politik profesional dominan

atau agen politik non-profesional yang berpotensi untuk memberikan dukungan kepada

keduanya. Pada titik ini, dalam rangka meraih dukungan (sekaligus melemahkan posisi

lawan), agen politik profesional dominan, selain menanamkan wacananya, juga menyerap

aneka wacana lain tersebut dengan bantuan habitus politiknya (memilih atau

“merumuskan ulang” wacana-wacana tersebut sehingga bisa memperkuat posisinya

dalam ranah politik). Alhasil, dengan cara seperti ini, agen politik profesional dominan

hanya bisa memberi nuansa yang lebih tebal, dengan wacananya, pada ranah politik

dibandingkan agen lain. Ia tidak bisa memberi warna sepenuhnya pada ranah politik

tersebut.