bourdieu (sebuah pengantar)
DESCRIPTION
Social TheoryTRANSCRIPT
1
Bourdieu:
Sebuah Pengantar
Andi Rahman Alamsyah
Pengantar
Secara bersahaja, pendekatan dalam ilmu sosial, termasuk Sosiologi, terbagi ke dalam
pendekatan agen dan struktur. Pendekatan agen mengasumsikan aneka gejala sosial,
misalnya demokrasi, kemiskinan, konflik dan kekerasan, ditentukan oleh agen-agen
sosial (individu, kelompok, organisasi). Dengan kesadaran subyektifnya, seperti
pengetahuan, kemampuan untuk melakukan kalkulasi ekonomi dari suatu tindakan atau
menginterpretasikan simbol-simbol, agen memiliki atau relatif memiliki kebebasan untuk
memilih tindakan sosial yang akan dilakukannnya. Pendekatan ini nampak, misalnya,
pada fenomenologi, interaksionisme simbolik, dan rational choice theory (Turner, 1998:
510-512).
Sedangkan pendekatan struktur mengasumsikan gejala sosial ditentukan oleh aneka pra-
kondisi yang berada di luar kontrol agen-agen sosial. Agen sosial hanyalah wayang yang
digerakkan oleh sang dalang (struktur). Dalam konteks demokratisasi, misalnya, aneka
pra-kondisi tersebut antara lain modernisasi, ekonomi pasar, tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, kelas menengah yang kuat. Pendekatan dapat dilihat antara lain
dalam pemikiran Strauss, Parsons, Althusser, dan sebagainya.
Perbedaan cara pandang antara pendekatan agen dengan pendekatan struktur tersebut
menjadi perdebatan klasik. Bourdieu berupaya untuk keluar dari perdebatan klasik
tersebut. Ia menawarkan cara pandang yang berbeda dengan berpendapat bahwa gejala
sosial, tidak bisa dipahami secara deterministik, semata-mata sebagai sesuatu yang
ditentukan oleh agen atau struktur. Menurutnya, agen dan struktur berhubungan secara
dialektis, yang lalu menentukan praksis sosialnya. Agen dalam pemahaman Bourdieu
bukanlah agen bebas seperti yang dipahami oleh pendekatan agen dan juga bukan agen
layaknya robot yang digerakkan melalui remote control (aneka pra-kondisi yang berada
di luar kontrol agen) sebagaimana dijelaskan pendekatan struktur. Penjelasan mengenai
dialektika agen-struktur yang menentukan praksis sosial tersebut nampak pada gagasan
Bourdieu tentang ranah (field), habitus, aneka bentuk modal, pertarungan simbolik, dan
kekuasaan simbolik.
Ranah dan Modal
Menurut Bourdieu, ranah adalah relasi antar posisi obyektif yang ditempati agen
(individu atau lembaga) atas dasar modal yang dimilikinya, yang memungkinkannya
untuk mendapatkan akses terhadap aneka keuntungan (modal) dalam ranah, dan relasinya
dengan posisi-posisi obyektif lainnya (Bourdieu and Wacquant, 1992: 97):
“... a network, or a configuration, of objective relation between positions. These
positions are objectively defined, in their existence and in the determinations they
impose upon their occupants, agents or institutions, by their present and potential
2
situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital)
whose possession commands acess to the specific profits that are at stake in the
field, as well as by their objective relation to other positions (domination,
subordination, homology, etc.)”.
Ada empat jenis modal yang dapat menentukan posisi obyektif agen, yaitu modal
ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik (Bourdieu dalam Richardson,
1986; Bourdieu and Wacquant, 1992: 119; Haryatmoko, 2003: 11-12; Haryatmoko;
Allan, 2006: 176-178). Modal ekonomi adalah tingkat pemilikan agen atas kekayaan dan
pendapatan. Modal sosial merupakan jaringan sosial yang memudahkan agen untuk
mengakumulasi bentuk-bentuk modal lainnya. Modal budaya adalah pemilikan agen atas
benda-benda materil yang dianggap memiliki prestise tinggi (objectified cultural capital),
pengetahuan dan keterampilan yang diakui otoritas resmi (institutionalized cultural
capital), dan kebiasaan (gaya pakaian, cara bicara, selera maka, gerak-gerik tubuh khas,
dan sebagaianya) yang merupakan wujud dari posisi obyektif agen (embodied cultural
capital). Modal simbolik adalah aneka simbol (modal budaya) yang dapat memberikan
legitimasi atas posisi, cara pandang, dan tindakan sosial agen sehingga dianggap sebagai
yang paling absah oleh agen lainnya. Ia memiliki kemampuan untuk “membentuk dunia”
(the power of world-making).
Dalam rangka memperkuat (mempertahankan atau merebut) posisi obyektif dalam ranah,
modal bisa dipertukarkan (reconversion) satu dengan yang lain (Bourdieu, 1994: 125-
175). Yang paling mudah untuk dipertukarkan adalah modal ekonomi dengan berbagai
jenis modal lainnya. Sedangkan yang paling bernilai adalah rekonversi aneka jenis modal
menjadi modal simbolik karena memungkinkan agen yang memilikinya untuk
mendefinisikan agen-agen lain, merepresentasikan mereka, dan membentuk “dunia
sosial” yang diakui keabsahannya (kekuasaan simbolik), seperti ditegaskan Bourdieu
(1995: 166): “Symbolic power is a power of constructing reality...”. Dengan cara seperti
itu, agen lalu memperoleh keuntungan ekonomi, budaya, dan lain-lain (yang bisa
memperkuat posisinya dalam ranah), yang tak nampak karena terselimuti modal
simboliknya (Bourdieu, 1977: 183; Wacquant, 1994: 9; ):
Posisi obyektif agen ditentukan oleh dua hal, yaitu pemilikannya atas modal dan
relasinya dengan posisi obyektif agen lain. Pemilikan atas modal ukurannya ada tiga
(Haryatmoko, 2003: 12-13; Allan, 2006: 182-183). Pertama, pemilikan agen atas
keempat jenis modal (ekonomi, sosial, budaya, simbolik). Kedua, volume (jumlah) untuk
setiap modal yang dimiliki agen. Ketiga, bobot relatif dari aneka jenis modal tersebut
dalam ranah, yang sangat tergantung pada karakteristik ranah, misalnya modal simbolik
memiliki bobot relatif paling tinggi pada ranah politik, modal ekonomi pada ranah
ekonomi, modal budaya pada ranah akademis atau keagamaan, dan seterusnya. Jadi, jika
agen memiliki keempat jenis modal, volumenya besar dan bobot relatifnya tinggi, serta
ada dalam relasi dengan agen lain yang ciri-cirinya berkebalikan (jenis modal yang
dimiliki tak lengkap, volumenya kecil, dan bobot relatifnya rendah), maka ia menempati
posisi obyektif dominan dalam ranah. Bila sebaliknya, maka posisi obyektifnya marjinal,
3
sedangkan agen lain yang memiliki relasi dengannnya menempati posisi obyektif
dominan1.
Ranah bukanlah struktur layaknya pagar dengan batas yang jelas dan tetap (statis). Ia
terbentuk atas dasar “titik-titik pertemuan” antar agen sosial (bahasa, gaya hidup,
pengetahuan, minat, dan seterusnya). Agen-agen yang berminat pada politik, aktif dalam
organisasi politik, punya pengetahuan tentang politik, dan sebagainya, cenderung
“bertemu” dengan agen lainnya dengan karakteristik yang sama, walaupun mungkin
mereka berbeda ideologi politik, misalnya yang satu nasionalis sedangkan yang lainnya
pengusung Syariat Islam. “Titik-titik pertemuan” di antara mereka memunculkan ranah
tertentu, yaitu ranah politik. Pada saat yang bersamaan, para agen bisa menjadi “anggota”
lebih dari satu ranah. Ia bisa menjadi politisi sekaligus pengusaha. Yang berarti ia berada
dalam ranah politik sekaligus ranah ekonomi. Pada setiap ranah yang ditempatinya, para
agen selalu berupaya untuk memperkuat posisinya. Inilah yang membuat ranah bersifat
cair dan dinamis sehingga sulit untuk menetapkan batas-batasnya (Bourdieu and
Wacquant, 1992: 100):
“The question of the limits of the field is a very difficult one, if only because it is
always at stake in the field itself and therefore admits of no apriori answer.
Participants in a field, say, economic firms, high fashion designers, or novelists,
constantly work to differentiate themselves from their closest rivals in order to
reduce competition and to establish a monopoly over a particular subsector of the
field”.
Menurut Bourdieu, batas-batas ranah tersebut hanya bisa ditentukan melalui penelitian
empiris (Bourdieu and Wacquant, 1992: 100). Kumpulan antar ranah membentuk ruang
sosial (social space) atau apa yang dikenal umum sebagai masyarakat.
Hakekat setiap ranah, dalam pemahaman Bourdieu, adalah medan pertarungan antar agen
untuk memperkuat posisinya (dalam ranah). Bagi yang dominan, ia adalah medan untuk
mempertahankan posisinya, sedangkan bagi yang marjinal untuk merebutnya. (Bourdieu
and Wacquant, 1992: 101):
“As a space of potential and active forces, the field is also a field of struggles
aimed at preserving or transforming the configuration of these forces.
Furthermore, the field as a structure of objective relations between positions of
force undergirds and guides the strategies whereby the occupants of these
positions seek, individually or collectively, to safeguard or improve their position
and to impose the principle of hierarchization most favorable to their own
products”.
1 Dalam kenyataan, seperti yang dikemukakan sendiri oleh Bourdieu, posisi-posisi obyektif tersebut
merupakan sesuatu yang kompleks. Di antara dua titik ekstrim dominan dan marjinal terdapat beragam
posisi obyektif lainnya. Pemilahan dominan-marjinal dalam penelitian ini hanyalah konstruksi teroritis
demi memudahkan analisa.
4
Pertarungan itu terjadi pada tingkat simbolik (wacana) atau, menurut Bourdieu (1994:
244-256 dan 1995: 239-248) pertarungan simbolik (symbolic struggle). Namun, simbol
atau wacana yang dipertarungkan bukanlah sesuatu yang muncul semata-mata sebagai
kreatifitas agen, sebagaimana diasumsikan pendekatan agen. Ia adalah hasil dialektika
antara ranah dengan habitus (struktur subyektif agen). Jadi, ia adalah simbol yang
memiliki “kaki” (ranah) sekaligus “kepala” (habitus). Ini berbeda dengan simbol dalam
pemahaman pendekatan agen yang hanya memiliki “kepala”.
Yang mendasari pertarungan antar agen dalam ranah adalah perbedaan posisi-posisi
obyektif di antara mereka. Karena modal jumlahnya terbatas, namun penting untuk
dimiliki demi menjamin posisi dalam ranah, maka dengan modal yang dimilikinya, agen
saling berusaha untuk mengakumulasi modal. Inilah logika modal yang mendasari
pertarungan dalam ranah. Yang ingin dicapai atau dipertahankan para agen dalam
pertarungan tersebut adalah posisi dominan dalam ranah, yang ditandai dengan
pemilikan atas aneka modal yang lengkap jenisnya, besar volumenya, dan tinggi bobot
relatifnya. Jika hal itu tercapai maka agen bakal memiliki kekuasaan untuk
mendefinisikan agen lain dan mengklaim diri sebagai representasi dari mereka serta
membentuk “dunia sosial” versinya sendiri yang dianggap absah atau kekuasaan simbolik
(Bourdieu, 1995: 170; Bourdieu, 1977: 159-183). Ia bisa menyembunyikan kepentingan
sesungguhnya (misrecognition), yaitu akumulasi modal dalam rangka memperkuat posisi
dominannya dalam ranah. Karena adanya pengakuan absah itu maka akumulasi modal
yang dilakukan agen demi mempertahankan posisinya dalam ranah menjadi lebih mudah.
Bourdieu menganalogikan medan pertarungan tersebut layaknya suatu permainan. Ada
kode-kode dan aturan-aturan yang harus dikuasai agar bisa terlibat dalam permainan
tersebut. Mereka yang menguasainya dengan baik (feel for the game, practical sense,
sense of the game [Bourdieu and Wacquant, 1992: 120-121]) akan mengendalikan
permainan (posisi dominan), sedangkan yang tidak, cukup menjadi pemain amatir atau
penonton (posisi marjinal). Dalam upaya menguasai kode-kode dan aturan-aturan demi
menjadi pengendali permainan itulah terjadi pertarungan antar agen. Yang dominan
berupaya untuk mempertahankan posisinya, sedangkan yang marjinal berusaha untuk
merebutnya. Mekanisme yang dipakai untuk mempertahankan atau merebut posisi
dominan itu adalah reproduksi sosial (Bourdieu and Passeron, 2000: 3-31). Ini adalah
upaya untuk mempertahankan tatanan sosial, salah satunya melalui sistem pendidikan,
yang dianggap absah. Bagi yang menempati posisi dominan, hal itu penting untuk
dipertahankan karena di situlah dominasinya memperoleh jaminan. Sedangkan bagi yang
marjinal, dengan mempelajari kode-kode dan aturan main ranah dominan, mulai dari
pengetahuan, keterampilan, gaya hidup, cara berbicara, gerak-gerik tubuh, dan
sebagainya, maka posisi obyektifnya bisa meningkat, bahkan mungkin mencapai posisi
dominan, dalam ranah (dominan) yang dianggapnya sebagai absah bagi proyek masa
depannya.
Reproduksi sosial tersebut terjadi melalui mekanisme tertentu yang mengaitkan antara
ranah, modal, dan habitus. Ranah obyektif yang meliputi posisi-posisi obyektif atas dasar
kepemilikan modal dikonversi menjadi ranah simbolik dengan menggunakan modal
simbolik. Ketika menjadi ranah simbolik itulah, ranah obyektif memperoleh legitimasi
5
dan dianggap sebagai realitas. Ini dimungkinkan karena modal simbolik memiliki
kemampuan untuk mengonstruksi dan membentuk pengakuan yang menghasilkan dan
melegitimasi relasi antar posisi-posisi dalam ranah obyektif tersebut. Dalam
perkembangan selanjutnya, modal simbolik itu mengkristal menjadi modal budaya
berupa pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, aturan-aturan, yang harus dipelajari karena
dianggap sebagai sesuatu yang absah yang menjadi jaminan masa depan. Modal budaya
yang melekat (embodied atau terinternalisasi) pada agen lalu menjadi habitus. Habitus
menyaring pilihan tindakan agen agar sesuai dengan ranahnya. Pada titik inilah
berlangsung proses reproduksi sosial.
Reproduksi sosial dilakukan dengan strategi-strategi tertentu. Pertama adalah strategi
investasi biologis, pewarisan, dan pendidikan, yang dilakukan pada ranah keluarga;
kedua adalah strategi investasi ekonomi dan simbolik, yang terjadi pada ranah sosial
(Bonnewitz, seperti dikutip Haryatmoko, 2003: 15-16). Strategi investasi biologis
ditujukan untuk menjamin pewarisan modal dan peningkatan posisi obyektif dengan cara
mengontrol jumlah keturunan. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari jaminan atas
kesehatan keluarga, pilihan konsumsi makanan, pola istirahat, jenis hiburan dan olaraga.
Pewarisan adalah upaya untuk menjamin kekayaan berupa modal ekonomi yang memiliki
peran penting dalam hubungan kekuasaan dan pertarungan dalam ranah. Strategi
investasi pendidikan ditujukan untuk menyiapkan agen yang memiliki kemampuan
memadai untuk menerima warisan atau meningkatkan posisi obyektif dalam ranah.
Strategi investasi ekonomi adalah usaha untuk memperbanyak jumlah dan bentuk modal
demi mencapai atau memperkuat posisi dominan melalui berbagai cara, seperti
kerjasama, perkawinan, pertukaran uang, dan lain-lain. Strategi investasi simbolik
ditujukan untuk memelihara persepsi yang bisa meningkatkan atau mempertahankan
keabsahan dari posisi-posisi yang ditempati agen.
Habitus
Selain ranah, yang merupakan dimensi obyektif struktur, pada agen juga melekat dimensi
subyektif yang dikonsepsikan Bourdieu sebagai habitus. Ia terdiri atas berbagai disposisi
yang membentuk sistem klasifikasi (Bourdieu, 1977: 214, catatan kaki 1) yang
merupakan representasi konseptual (pengetahuan, perasaan, sikap) dari realitas yang
dialami agen sesuai dengan posisi obyektifnya dalam ranah, misalnya demokratis-tidak
demokratis, kekerasan-bukan kekerasan, ruang, waktu, dan lain-lain. Namun, habitus
bukanlah seperangkat nilai atau konsepsi teoritis yang abstrak, terkodifikasi, dengan
sumber referensi jelas, dan secara sadar dipelajari oleh agen. Ia adalah sesuatu yang
diproduksi dan direproduksi karena diterima secara sosial.
Wujud habitus bermacam-macam. Ia bisa berupa prinsip-prinsip, nilai-nilai, misalnya
sikap disiplin dan anti-kekerasan, seperti terlihat pada kecenderungan jawara di Serang
untuk menyelesaikan persoalan dengan cara kekerasan atau kepatuhan mutlak seorang
santri terhadap kyainya. Ia juga bisa mewujud dalam gerak-gerik tubuh khas, seperti cara
berbicara, berjalan, gerak tubuh ketika berpapasan dengan orang lain, dan sebagainya.
Apapun wujudnya, habitus terinternalisasi pada agen dan tanpa disadari memandu
tindakan sosialnya sehari-hari. Habitus bukan saja melekat pada individu, melainkan juga
6
kelas. Habitus-habitus individual yang sama akan mengelompok (homologi) hingga
membentuk habitus kelas.
Habitus terbentuk dari kombinasi posisi sosial dan sejarah personal agen (asal-usul sosial,
pekerjaan dan pendidikan). Posisi sosial tertentu dalam ranah, misalnya orang kaya,
cenderung menghasilkan habitus orang kaya, seperti selera, cara makan, gaya berpakaian,
gerak-gerik tubuh, dan sebagainya, yang berbeda dibandingkan dengan orang miskin2.
Habitus melekat sejak lahir (perawatan bayi dan pola pengasuhan orang kaya berbeda
dengan orang miskin), lalu berkembang seiring dengan meluasnya relasi agen dengan
agen lain yang berbeda habitusnya, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan yang
ditempuh agen, pekerjaan, lingkungan pergaulan, dan sebagainya.
Habitus membentuk semacam sistem klasifikasi. Dan dengan sistem itulah agen
mengorganisir tindakan sosialnya dan mempersepsi serta mengapresiasi tindakan sosial
agen lain. Ia melekat (skema-skema tertanam pada diri agen) sekaligus mewujud pada
agen (cara bicara, berjalan, makan, hingga membuang ingus) sehingga secara otomatis
(tak disadari) memandu praksis sosialnya (Bourdieu, 1984: 466):
“The schemes of the habitus, the primary forms of classification, owe their
specific efficacy to the fact that they function below the level of consciousness and
language, beyond the reach of introspective scrutiny or control by the will.
Orienting practices practically, they embed what some would mistakenly call
values in the most automatic gestures or the apparently most insignificant
techniques of the body—ways of walking or blowing one’s nose, ways of eating or
talking—and engage the most fundamental principles of construction and
evaluation of the social world, those which most directly express the division of
the labour (between the classes, the age groups and the sexes) or the division of
the work of domination, in divisions between bodies and between relations to the
body which borrow more features than one, as if to give them appearances of
naturalness, from the sexual division of labour and the division of sexual labour”.
Pada posisi obyektifnya yang asli, habitus cenderung untuk mereproduksi diri, misalnya
habitus anak cenderung sama dengan orang tua. Sekali terbentuk, habitus cenderung
menjadi semacam referensi bagi perilaku agen selanjutnya (Bourdieu, 1979: viii). Ini
membuat habitus memiliki sifat tahan lama (durable). Namun, pada titik tertentu, habitus
juga menyesuaikan diri dengan perubahan ranah. Karenanya, habitus juga memiliki sifat
berubah-ubah (transposible). Dengan cara pandang seperti ini, maka dapat disimpulkan
bahwa habitus tidaklah menentukan praksis sosial agen, tetapi memperantarai agen
dengan dunia sosial yang melingkupinya (ranah).
2Ada yang menginterpretasikan bahwa hanya posisi ataslah yang memiliki kemampuan untuk memproduksi
habitus. Yang menentukan hal itu adalah “jarak dari kebutuhan nyata (distance from necessity)”. Semakin
berjarak, semakin memiliki kemampuan untuk memproduksi habitus (Allan, 2006: 178-182). Orang kaya,
misalnya, yang makan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan perut, melainkan juga gengsi, selera,
pilihan waktu luang, lebih memiliki kemampuan untuk memproduksi habitus daripada orang miskin.
7
Praksis sosial agen, misalnya sikap untuk mendukung atau menolak demokrasi, adalah
hasil dari dialektika antara ranah dengan habitus yang melekat pada diri agen tersebut.
Bagaimana hal ini dimungkinkan? Menurut Bourdieu, ranah mengondisikan habitus,
sedangkan habitus mengklasifikasikan ranah (Bourdieu and Wacquant, 1992: 19). Ini
artinya, ranah memang mempengaruhi praksis sosial agen, namun hal itu tidak terjadi
secara otomatis sebagaimana asumsi pendekatan struktur. Ada habitus yang
memperantarai atau menyaringnya hingga menjadi praksis sosial. Habitus memilih
praksis sosial tertentu dengan mempertimbangkan posisi sosial agen dan relasinya dengan
agen lain dalam ranah. Pada titik ini nampak adanya peran agen, melalui habitus, dalam
memproduksi praksis, sekalipun bukan agen bebas (karena dikondisikan ranah)
sebagaimana asumsi pendekatan agen. Inilah yang dimaksud dengan dialektika agen-
struktur yang menghasilkan praksis sosial.
Pertarungan dan Kekuasaan Simbolik dalam Ranah Politik
Bourdieu memahami ranah politik dalam pengertian yang sempit (Bourdieu, 1995: 25-
26). Ia meliputi apa yang dalam pemahaman awam dikenal sebagai “politik”, yang terdiri
atas pelaku politik (agen atau aktor politik), instrumen-instrumen politik (partai politik,
parlemen, dan sebagainya) dan prosedur politik (pemilu, artikulasi kepentingan melalui
parlemen, dan lain-lain). Sebagaimana sejarah terbentuknya ranah, yang mendorong
terbentuknya ranah politik adalah “titik-titik pertemuan” (hasrat dan minat atas
kekuasaan, akrab dengan isu-isu politik, terlibat dalam berbagai kegiatan politik, dan
sebagainya) antar pelaku politik.
Dalam bahasa Bourdieu, para pelaku politik tersebut adalah agen-agen politik
profesional. Mereka bisa individu, kumpulan individu atau lembaga, yang menerima
mandat (mandataire) dari pemberi mandat (mandant). Para mandataire itu adalah
delegasi yang memiliki otoritas untuk berbicara atas nama kelompok (parpol, serikat
buruh, dan lain-lain). Bourdieu melihat hal tersebut sebagai gejala disposisi politik
(political dispossession) yang terbentuk melalui “proses dua tahap delegasi”, yaitu
pembentukan kerangka institusional delegasi (pembangunan kantor, lembaga-lembaga
[parpol, parlemen], birokrasi, dan sebagainya) dan proses pemberian dan penerimaan
mandat (Bourdieu, 1995: 205), yang pada akhirnya membuat ranah politik menjadi
terlembaga, birokratis, dan profesional dalam rangka menjalankan politik “atas nama”
(representasi).
Ranah politik ada dalam relasi dengan berbagai ranah lainnya. Justru ia hidup dari
dukungan agen-agen yang berada pada ranah lain tersebut, yang dikonsepsikan Bourdieu
sebagai agen-agen politik non-profesional. Pada ranah politik, para agen politik
profesional bekerja untuk memproduksi dan mereproduksi berbagai produk politik,
seperti program politik, slogan, logo, komentar politik, dan sebagainya, yang berisi aneka
wacana yang dapat memperkuat posisi obyektifnya dalam ranah politik (Bourdieu, 1995:
188-192). Aneka produk politik itu, oleh agen-agen politik profesional (produsen produk
politik), dijajakan kepada agen-agen politik non-profesional (konsumen produk politik)3.
3 Bourdieu menganalogikan ranah politik layaknya pasar, yang di dalamnya terdapat barang yang diperjual-
belikan (produk-produk politik), penjual (agen-agen politik profesional), pembeli (masyarakat yang
8
Bila produk politik tersebut laku, maka agen politik profesional yang menjualnya akan
memperoleh kredit (credit) atau modal politik (political capital) dari agen-agen politik
non-profesional (Bourdieu, 1995: 192-197). Ia adalah dukungan politik yang bentuknya
bisa materil (iuran, sumbangan) maupun non-materil (symbolic support), seperti suara
dalam pemilu, tanda-tangan dalam petisi, dan lain-lain, yang memungkinkan agen untuk
meraih kekuasaan politik yang diakui keabsahannya (Bourdieu, 1995: 192):
Sebagaimana hakekat tentang ranah dalam konsepsi Bourdie, ranah politik juga
merupakan medan pertarungan. Proses jual-beli produk politik yang melibatkan agen
politik profesional dan non-profesional, seperti telah diuraikan sebelumnya, pada
dasarnya adalah pertarungan antar agen politik profesional untuk mempertahankan atau
merebut posisi dominan dalam ranah politik. Pada akhirnya, agen politik profesional
yang menempati posisi tersebut memiliki legitimasi untuk bertindak dan berbicara atas
nama agen-agen politik non-profesional yang mendukungnya (Bourdieu, 1995: 190):
“The political field is thus the site of a competition for power which is carried out
by means of a competition for the control of non-professionals or, more precisely,
for the monopoly of the right to speak and act in the name of some or all of the
non-professionals. The spokespersons appropriates not only the words of the
group of non-professionals, that is, most of the time, its silence, but also the very
power of that group, which he helps to produce by lending it a voice recognized
as legitimate in the political field”.
Pertarungan tersebut terjadi pada dua area atau yang dikonsepsikan Bourdieu sebagai
“double game”. Pertama adalah pertarungan untuk memonopoli cara pandang tentang
dunia sosial yang dianggap absah (modal politik subyektif). Dan kedua adalah monopoli
atas penggunaan aneka instrumen kekuasaan obyektif atau modal politik obyektif
(Bourdieu, 1995: 181):
“What is stake in this game is, on the one hand, the monopoly of the elaboration
and diffusion of the legitimate principle of di-vision of the social world and,
thereby, of the mobilization of groups, and, on the other hand, the monopoly of
the use of objectified instrument of power (objectified political capital)”.
Pertarungan dalam ranah politik terutama terjadi antara agen politik profesional yang
menempati posisi obyektif dominan dengan agen politik profesional yang menempati
posisi obyektif marjinal. Yang dominan berusaha untuk mempertahankan posisinya,
sedangkan yang marjinal berupaya untuk merebutnya. Keduanya memproduksi dan
mereproduksi aneka produk politik, yang berisi berbagai wacana yang dapat memperkuat
posisi obyektif dalam ranah politik sekaligus melemahkan posisi obyektif agen lain yang
menjadi lawannya. Inilah yang dikonsepsikan Bourdieu sebagai pertarungan simbolik
(symbolic struggle) atau pertarungan wacana (Bourdieu, 1994: 244-256; Bourdieu, 1995:
239-248). Agen politik profesional yang menempati posisi obyektif dominan cenderung
memproduksi dan mereproduksi orthodoxa (orthodoxy), yaitu wacana yang mendukung
berpotensi untuk mendukung atau menolak produk politik), dan aktivitas jual-beli (proses politik seperti
pemilu, referendum, dan lain-lain).
9
keberadaan wacana dominan yang dianggap absah (doxa) dalam ranah (politik).
Sedangkan agen politik profesional yang menempati posisi obyektif marjinal cenderung
memproduksi dan mereproduksi heterodoxa (heterodoxy), yaitu wacana yang menentang
keberadaan doxa (Bourdieu, 1977: 159-171, untuk pembahasan tentang hal ini dalam
konteks ranah secara umum).
Aneka wacana yang dijajakan para agen politik profesional tersebut pada dasarnya adalah
praksis politik agen yang merupakan hasil dari dialektika antara ranah politik (yang
ditempati agen sesuai dengan posisi posisi obyektifnya dalam ranah) dengan habitus
politiknya. Ranah politik mengondisikan habitus politik agen, misalnya habitus non-
demokratis, sedangkan habitus politik mengklasifikasikan ranah. Pada habitus aslinya,
agen tersebut non-demokratis, yang terlihat dari praksis politiknya (diskriminatif,
cenderung melakukan kekerasan, dan sebagainya). Namun, logika ranah, misalnya agen
tersebut ada dalam relasi dengan agen lain yang demokratis dengan posisi obyektif
dominan, mendorongnya untuk menampilkan praksis politik lain yang cenderung
demokratis demi memperkuat posisinya dalam ranah politik. Pada titik inilah, habitus
politik agen tersebut membantunya untuk menyesuaikan diri dengan ranah politik yang
dihadapinya. Jadi, walaupun sejatinya tak demokratis, tetapi dengan bantuan habitus
politiknya, ia bisa menampilkan praksis politik demokratis, seperti dapat dilihat pada
wacana yang dijajakannya kepada agen lain. Sekalipun demikian, pada titik tertentu,
habitus aslinya yang tak demokratis bisa muncul secara spontan.
Pertarungan wacana tersebut menghasilkan kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan dalam
ranah politik yang diakui keabsahannya, misalnya kekuasaan agen politik profesional
tertentu dengan wacana demokratis yang diusungnya. Dengan kekuasaan simbolik itu,
agen politik profesional yang menempatinya memiliki keabsahan untuk memonopoli
penggunaan instrumen-instrumen kekuasaan, seperti polisi, tentara, birokrasi, dan
sebagainya, dan memonopoli cara pandang tentang “dunia sosial” kekuasaan, misalnya
ideologi, prinsip, nilai, aturan main, lembaga-lembaga, dan lain-lain4. Pada akhirnya,
agen tersebut dapat menjamin aneka kepentingannya (materil maupun simbolik), yang
tersembunyi karena adanya pengakuan absah dari agen-agen lainnya (misrecognition),
demi memperkuat posisinya dalam ranah politik (Bourdieu, 1995: 170):
“Symbolic power – as a power of contituting the given through utterances, of
making people see and believe, of confirming or transforming the vision of the
world and, thereby, action on the world and thus the world itself, an almost
magical power which enables one to obtain the equivalent of what is obtained
through force (whether physical or economic), by virtue of the specific effect of
4 Pada dasarnya, pengakuan absah seperti ini, yang lalu berimplikasi pada kepatuhan, kesukarelaan,
pemberian dukungan, dan sebagainya, adalah bentuk lain dari kekerasan, yang dikonsepsikan Bourdieu
sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence). Ia sebetulnya adalah pemaksaan atas suatu sistem
pemaknaan melalui cara tertentu tetapi pada akhirnya tak lagi dilihat sebagai pemaksaan, melainkan
sebagai sesuatu yang absah. Itu adalah hal penting demi meneguhkan (reproduksi) dominasi, yang tak
dilihat sebagai dominasi (dalam pengertian obyektif), melainkan sesuatu yang memang harus seperti itu
adanya (lihat Bourdieu and Passeron, 2000: 3-13, yang secara khusus membahas sistem pendidikan sebagai
instrumen kekerasan simbolik).
10
mobilization – is a power that can be exercised only if it is recognized, that is,
misrecognized as arbitrary”.
Tetapi, kekuasaan simbolik tidaklah bersifat statis. Ia selalu dalam keadaan dinamis. Ini
dapat terjadi karena hakekat ranah sebagai relasi posisi-posisi obyektif. Karena itu, di
tengah-tengah dominasi suatu wacana dalam ranah politik, misalnya demokrasi, selalu
ada wacana-wacana lain yang marjinal, yang terus-menerus menggugatnya, seperti sistem
politik berdasarkan agama atau tradisi lokal. Wacana-wacana marjinal itu diusung oleh
agen politik profesional lain yang menjadi kompetitor agen politik profesional dominan
atau agen politik non-profesional yang berpotensi untuk memberikan dukungan kepada
keduanya. Pada titik ini, dalam rangka meraih dukungan (sekaligus melemahkan posisi
lawan), agen politik profesional dominan, selain menanamkan wacananya, juga menyerap
aneka wacana lain tersebut dengan bantuan habitus politiknya (memilih atau
“merumuskan ulang” wacana-wacana tersebut sehingga bisa memperkuat posisinya
dalam ranah politik). Alhasil, dengan cara seperti ini, agen politik profesional dominan
hanya bisa memberi nuansa yang lebih tebal, dengan wacananya, pada ranah politik
dibandingkan agen lain. Ia tidak bisa memberi warna sepenuhnya pada ranah politik
tersebut.