borang portofolio dhf

25
PORTOFOLIO KASUS MEDIS Nama Peserta : dr. Suci Yaumi Syahdati Nama Wahana : RSUD Kota Pariaman Topik : Kasus medis Tanggal (Kasus) : 24 September 2013 Nama Pasien : Ny. R Tanggal Presentasi : Nama Pendamping : dr. Yulfi Aneta Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Kota Pariaman Objektif Presentasi : - Keilmuan - Diagnostik Bahan Bahasan : Kasus Cara Membahas : Presentasi dan diskusi 1

Upload: ridhoaditya

Post on 18-Jul-2016

60 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

portofolio dhf

TRANSCRIPT

Page 1: Borang Portofolio DHF

PORTOFOLIO KASUS MEDIS

Nama Peserta : dr. Suci Yaumi Syahdati

Nama Wahana : RSUD Kota Pariaman

Topik : Kasus medis

Tanggal (Kasus) : 24 September 2013

Nama Pasien : Ny. R

Tanggal Presentasi :

Nama Pendamping : dr. Yulfi Aneta

Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Kota Pariaman

Objektif Presentasi : - Keilmuan

- Diagnostik

Bahan Bahasan : Kasus

Cara Membahas : Presentasi dan diskusi

1

Page 2: Borang Portofolio DHF

Borang Portofolio Medis

No. ID dan Nama Peserta dr. Suci Yaumi Syahdati

No. ID dan Nama Wahana RSUD Kota Pariaman

Topik Dengue Hemoragic Fever

Tanggal (kasus) 24 September 2013

Nama Pasien SM No. RM 045421

Tanggal Presentasi Pendamping dr. Yulfi Aneta

Tempat Presentasi Ruang Komite Medik RSUD Kota Pariaman

Objektif Presentasi

□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka

□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil

□ DeskripsiPerempuan, usia 35 tahun, datang dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS, tangan dan

kaki teraba dingin sejak ± 4 jam SMRS

□ Tujuan Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan Dengue Shock Syndrome

Bahan Bahasan□ Tinjauan

Pustaka□ Riset

□ Kasus□ Audit

Cara Membahas □ Diskusi□ Presentasi dan

Diskusi□ E-mail □ Pos

Data Pasien SM, 35 tahun, Ulakan No. Registrasi : 045421

Nama RS : RSUD Kota Pariaman Telp : Terdaftar sejak :

Data Utama untuk Bahan Diskusi :

1. Diagnosis / Gambaran Klinis : Dengue Hemoragic Fever.

2. Riwayat Pengobatan : pasien sudah minum obat penurun panas yang diberikan oleh bidan.

3. Riwayat Kesehatan / Penyakit : Tidak ada yang berhubungan.

2

Page 3: Borang Portofolio DHF

4. Riwayat Keluarga : Tidak ada yang berhubungan.

5. Riwayat Pekerjaan : -

6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien tinggal di lingkungan rumah yang memiliki kolam ikan

7. Lain-lain : -

Daftar Pustaka :

1. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, dkk. Demam Berdarah Dengue. Kapita Selekta Kedokteran.

Jakarta: Media Aesculapius FK UI. 2000.hal 419-27.

2. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan H.T, 2004. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi Keempat. Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

3. World Helath Organization. 1998. Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan,

dan Pengendalian. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

4. WHO, Clinical Diagnosis of Dengue: http://www.who.int/entity/resources/publications/dengue/12-

23.pdf

5. Hagop Isnar,MD, Dengue: http://www.emedicine.com

Hasil Pembelajaran :

1. Diagnosis Dengue Hemoragic Fever

2. Tata laksana pasien Dengue Hemoragic Fever

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif :

Demam sejak ± 5 hari SMRS, tinggi, terus menerus, tidak berkeringat, tidak

menggigil, dan tidak kejang.

Demam turun sejak pagi hari SMRS. Pasien minum obat demam terakhir kali pada

malam hari, 1 hari SMRS

Mual ada. Muntah ada sejak ± 6 jam SMRS, frekuensi 1x, volume ± ½ gelas, isi air

saja.

3

Page 4: Borang Portofolio DHF

Nyeri sendi ada sejak ± 5 hari SMRS.

Sakit kepala ada. Sakit terasa diseluruh kepala, terutama terasa disekitar bola mata.

Nyeri di ulu hati ada.

Gusi berdarah, mimisan, dan BAB warna kehitaman disangkal.

Sesak nafas tidak ada

Nafsu makan menurun sejak sakit dan pasien sulit disuruh minum dalam jumlah

banyak.

Buang air kecil terakhir 6 jam yang lalu, jumlah sedikit dan warna pekat.

Buang air besar jumlah dan warnanya biasa.

Pasien sudah berobat ke bidan 4 hari SMRS dan diberi obat paracetamol. Demam

turun hanya setelah minum obat.

2. Objektif :

a. Vital sign

KU : tampak lemah

Kesadaran : CMC

Nadi : 88x/menit

Frekuensi nafas: 24x /menit

Suhu : 37,6° C

Berat badan : 55 kg

Tinggi badan : 155 cm

Sianosis (-), pucat (+), ikterik (-)

b. Pemeriksaan sistemik

Kulit : Teraba hangat, pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor melambat,

petekie (+) di volar lengan kanan dan kiri

Kepala : dalam batas normal

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, ɸ 3 mm /

3 mm, refleks cahaya +/+ Normal, edema palpebra +/+

Mulut : mukosa mulut dan bibir kering

Leher : KGB tidak membesar

Thoraks :

4

Page 5: Borang Portofolio DHF

Jantung I : iktus tak terlihat

P: iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

P: batas jantung normal

A: irama murni, teratur, bising (-)

Paru I : normochest, simetris kiri = kanan

P: fremitus kiri = kanan

P: sonor

A: vesikuler normal, ronki(-), wheezing (-)

Abdomen :

I : tidak tampak membuncit

Pa : distensi (-), hepar teraba 2 jari di bawah arcus costarum, tepi rata, permukaan

licin, nyeri tekan (+), lien tidak teraba, nyeri tekan (+) di epigastrium, nyeri lepas (-),

defans muscular (-), turgor kulit lambat

Pe : timpani

Au : BU (+) normal

Ekstremitas : akral hangat, refilling kapiler <2detik

c. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium :

Hb : 13,8 gr/dl

Leukosit : 6.400/mm3

Trombosit : 59.000/mm3

Ht : 57,2%

3. Assesment (penalaran klinis) :

Dari anamnesis, pada pasien didapatkan pasien demam sejak lima hari SMRS,

demam tinggi, terus menerus, tidak menggigil, tidak demam, dan tidak kejang.

Namun demam turun sejak pagi hari SMRS, meskipun pasien minum obat demam

terakhir kali pada malam hari 1 hari SMRS. Muntah ada sejak ± 6 jam SMRS. Nyeri

sendi ada sejak ± 5 hari SMRS. Sakit kepala ada, sakit terasa diseluruh kepala,

5

Page 6: Borang Portofolio DHF

terutama terasa disekitar bola mata. Nyeri ulu hati ada.

Dari pemeriksaan fisik pasien tampak lemah, CMC, nadi 88x/menit, nafas

24x/menit, dan suhu 37,6o C. Kulit teraba hangat, pucat, turgor melambat, petekie (+)

di volar lengan kanan dan kiri. Pada mata tampak edema palpebra. Dari palpasi

abdomen ditemukan pembesaran hepar yaitu 2 jari di bawah arcus costarum, dengan

tepi rata, permukaan licin, dan nyeri pada penekanan. Nyeri epigastrium (+). Akral

teraba hangat, dan refilling kapiler <2detik. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan

peningkatan Hb (13,8 g%) dan HT (52,7%) dan penurunan jumlah trombosit

(59.000/mm³).

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dapat

disimpulkan diagnosis kerja pasien adalah Dengue Hemoragic Fever grade II. Prinsip

penatalaksanaan pada DHF grade II adalah resusitasi cairan dan pemantauan vital sign

serta tanda-tanda kebocoran vaskuler, termasuk pemeriksaan laboratorium darah

serial.

4. Plan :

Diagnosis klinis : Dengue Hemoragic Fever grade II

Pengobatan :

IVFD RL 6jam/kolf

Injeksi ranitidin 2x1 amp

Injeksi ondansentron 3x1 amp

Parasetamol tab 3x500 mg

Dehaf sachet 3x1

Imboost forte tab 3x1

Periksa vital sign/ 6 jam

Periksa Hb, Ht, trombosit serial/ 6 jam

Pendidikan :

Kepada keluarga pasien dijelaskan mengenai penyakit ini. Saat ini pasien

membutuhkan perawatan intensif untuk memantau perkembangan pasien sehingga

6

Page 7: Borang Portofolio DHF

apabila terjadi perburukan dapat ditanggulangi segera. Pasien saat ini masih

membutuhkan cairan yang banyak, baik melalui infus maupun oral. Selain itu pada

keluarga pasien dijelaskan tentang pentingnya menjaga kesehatan lingkungan

terutama lingkungan rumah agar tidak menjadi sarang nyamuk.

Konsultasi :

Perlu dilakukan konsultasi kepada dokter spesialis penyakit dalam tentang

penatalaksanaan selanjutnya terhadap pasien.

TINJAUAN PUSTAKA

7

Page 8: Borang Portofolio DHF

Infeksi virus Dengue disebabkan oleh virus Dengue yang terdiri dari 4 serotype.

Manifestasi klinis infeksi virus Dengue dapat berupa keadaan asimptomatik hingga

menimbulkan kematian. Manifestasi simptomatik dapat berupa demam yang tidak

terdiferensiasikan, Demam Dengue (DD), dan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dapat

disertai syok (DDS) atau tanpa syok.

Sejak awal tahun 2004, Indonesia menghadapi Kejadian Luar Biasa (KLB) demam

berdarah yang sangat meresahkan masyarakat. Kejadian tersebut berdampak pada kepanikan

petugas kesehatan di rumah sakit serta sarana pelayanan kesehatan lain, karena terjadinya

lonjakan pasien yang dirawat di sarana-sarana pelayanan kesehatan. Jumlah kasus Demam

Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia sejak Januari sampai dengan Mei 2004 mencapai 64.000

(Incidence Rate 29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian sebanyak 724 orang.

Pemantauan dan evaluasi kasus DBD yang dilakukan setiap hari di 16 RS rujukan

Jakarta, diperoleh hasil bahwa penyebab meningkatnya kematian DBD di rumah sakit antara lain

karena : pemeriksaan penyaring yang kurang ketat terhadap pasien yang datang ke sarana

pelayanan kesehatan, keterlambatan pasien datang ke sarana pelayanan kesehatan, informasi dari

petugas kesehatan di sarana pelayanan kesehatan kepada pasien dan keluarga yang masih kurang

tentang penyakit DBD.

I. Definisi

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu manifestasi simtomatik dari infeksi

virus dengue yang ditandai dengan demam tinggi 2-7 hari, hepatomegali, gangguan hemostatik

dan kebocoran plasma (plasma leakage). Biasanya DBD diawali dengan peningkatan mendadak

suhu tubuh diikuti dengan kemerahan pada wajah dan gejala-gejala lain yang menyerupai demam

dengue, seperti anoreksi, muntah, sakit kepala dan nyeri otot.

II. Epidemiologi

Kejadian luar biasa pertama penyakit DBD di Asia ditemukan di Manila pada tahun 1954

dan dilaporkan oleh Quintas. Tahun 1958 terjadi kejadian luar biasa penyakit DBD ”Thai” yang

ditemukan di Bangkok-Thonburi dan sekitarnya.

8

Page 9: Borang Portofolio DHF

Di Indonesia, DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi

virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969.

Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972) dan Yogyakarta (1972). Epidemi

pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh

Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1993, DBD telah menyebar ke seluruh

propinsi di Indonesia.

III. Etiologi

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4

yang merupakan anggota dari Flaviviridae dan termasuk dalam group B Arthropod borne virus

(arbovirus). Keempat tipe virus tersebut telah banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia

antara lain Jakarta dan Yogyakarta. Virus yang paling banyak berkembang di masyarakat adalah

tipe 1 dan 3. Setiap tipe bisa menimbulkan gejala dan yang paling berat adalah tipe 3.

Virus dengue ditularkan oleh nyamuk dari famili Stegomyia. Vektor utamanya adalah

nyamuk Aedes aegypti yang menggigit pada siang hari. Keempat tipe virus telah ditemukan pada

nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi secara alamiah. Virus dengue ditemukan pula pada

nyamuk Aedes albopictus dan Aedes scuttelaris di Pasifik. Spesies ini berkembang biak dalam

air yang terperangkap oleh tumbuh-tumbuhan. Aedes albopictus juga sering berkembang biak

dalam potongan rumpun bambu.

Morfologi dan daur hidup nyamuk vektor DBD :

1. Jentik berukuran 0,5-1 cm dan selalu bergerak aktif dalam air. Gerakannya berulang-ulang

dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas. Pada waktu istirahat posisinya hampir

selalu tegak lurus dengan permukaan air.

2. Telur berwarna hitam seperti sarang tawon, dinding bergaris-garis seperti gambaran kain

kasa.

3. Nyamuk dewasa berukuran kecil, warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian

badan, kaki dan sayap.

9

Page 10: Borang Portofolio DHF

IV. Patogenesis

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti dan

Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang

serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag

mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit

oleh sel monosit perifer.

Sampai sekarang, patogenesis DBD masih belum diketahui dengan jelas dan banyak teori

dikemukakan oleh para peneliti.

Teori Antigen Antibodi

Virus dengue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibodi, membentuk

virus-antibodi kompleks (kompleks imun) yang akan mengaktivasi komplemen, aktivasi ini akan

menghasilkan anafilaktoksin C3A dan C5A yang merupakan mediator yang mempunyai efek

farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga

menimbulkan kebocoran plasma (hipovolemik syok) dan perdarahan.

Teori Imunopatologi

Bahwa sesudah mendapat infeksi virus dengue dari salah satu serotipe maka akan terjadi

kekebalan terhadap virus tersebut seumur hidup, tetapi tidak melindungi terhadap serotip virus

dengue lain. Teori ini berkembang menjadi Teori Infeksi Sekunder sebagai akibat masuknya

virus ”heterologus” yang berikutnya. Kalau seseorang mendapat infeksi primer dengan satu jenis

virus kemudian lain kali mendapat infeksi sekunder dengan jenis virus lain, maka risiko besar

akan terjadi risiko berat.

Teori Infection Enhancing Antibody

10

Page 11: Borang Portofolio DHF

Apabila dalam tubuh hospes ditemukan antibodi yang spesifik untuk satu jenis virus

maka antibodi itu dapat mencegah penyakit tersebut, tetapi bila dalam orang tersebut terdapat

antibodi yang tidak dapat menetralisir virus justru keadaan ini akan sangat berbahaya. Russel

mendapat kedua tipe antibodi tersebut, yaitu pertama adalah antibodi yang dapat menetralisasi

virus secara spesifik, sedangkan yang kedua adalah antibodi nonnetralisasi yang dapat memacu

replikasi virus.

Teori Infection Enhancing Antibody berdasarkan pada peran sel fagosit mononuklear

merangsang terbentuknya antibodi nonnetralisasi. Antigen dengue lebih banyak didapat pada sel

makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian ini, antibodi nonnetralisasi berupaya

melekat pada sekeliling permukaan sel makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel

makrofag yang menetap di jaringan.

Makrofag yang dilekati antibodi nonnetralisasi, akan memiliki sifat opsonisasi,

internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi. Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan

akan melepaskan sitokin yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi diantaranya IL-1, IL-6,

TNF-α dan Platelet Activating Factor (PAF). Bahan-bahan mediator tersebut akan

mempengaruhi sel endotel dinding pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan

mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.

Teori Mediator

Teori ini didasarkan pada beberapa hal:

1. Suatu kelanjutan dari teori enhancing, bahwa makrofag yang terinfeksi virus mengeluarkan

mediator atau sitokin. Fungsi dan mekanisme kerja sitokin adalah sebagai mediator pada

imunitas alami yang disebabkan oleh rangsangan zat infeksius, sebagai regulator yang

mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit, sebagai aktivator sel inflamasi non

spesifik dan sebagai stimulator pertumbuhan dan diferensiasi leukosit matur. Sitokin

diproduksi oleh banyak sel terutama makrofag mononuklear dimana dalam keadaan normal

sitokin tidak terbentuk sehingga tidak dijumpai dalam plasma.

11

Page 12: Borang Portofolio DHF

2. Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat pendek.

Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat dan tidak ada gejala sisa. Kejadian

tersebut menimbulkan pemikiran bahwa yang dapat berprilaku seperti itu adalah

mediator.

3. Dari kalangan ahli syok bakterial, mengambil perbandingan bahwa pada syok septik

banyak berhubungan dengan mediator.

Peran Limfosit

Secara umum infeksi virus yang masuk ke makrofag akan mendapat tanggapan sel T

limfosit. Kemudian peptide serotip spesifik virus akan dibawa oleh MHC kelas I lalu

ditampilkan di permukaan virus.

Penampilan peptida tersebut menyebabkan sel Limfosit T, CD8 mengenal bahwa di

dalam makrofag tersebut terdapat virus. Kemudian Limfosit T akan teraktivasi sebagai sel T

sitolitik, yang berdampak semua sel yang mengandung virus dihancurkan selain itu sel T sitolitik

ini mensekresi IFN-γ dan TNF-α.

Teori Apoptosis

Teori ini berdasarkan pada hasil penelitian apoptosis yang banyak dikerjakan di pelbagai

penyakit. Apoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologik yang merupakan reaksi terhadap

berbagai stimulan. Proses tersebut dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu kerusakan inti sel,

kemudian perubahan bentuk sel, dan perubahan permeabilitas membran sel. Dan akibatnya, akan

terjadi fragmentasi DNA sel, vakuolisasi sitoplasma dan pengikatan granulasi membran plasma

menjadi DNA subseluler yang berisi badan-badan apoptotik.

Pada kasus DBD yang berat terdapat kerusakan hepar dan ditemukan councilman bodies,

yang merupakan petunjuk adanya proses apoptosis pada sel hepar.

V. Manifestasi klinis

12

Page 13: Borang Portofolio DHF

Manifestasi klinis utama pada DBD adalah demam dan manifestasi perdarahan baik yang

timbul secara spontan maupun setelah uji torniquet. Fenomena patofisiologi utama yang

menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari Demam Dengue (DD) adalah

peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,

trombositopenia dan diatesis hemoragik.

Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit terasa

lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan halus. Anak tampak lesu,

gelisah dan secara cepat masuk ke dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah

perut sesaat sebelum syok. Fabie (1966) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali

mendahului perdarahan gastrointestinal. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya

mempunyai prognosis buruk. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan

sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Selanjutnya, pasien dapat mengalami syok

berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba.

Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia

dan perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk.

Untuk menegakkan diagnosis klinik DBD, WHO (1986) menentukan beberapa patokan

gejala klinik dan laboratorium yaitu :

1. Demam tinggi, mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.

2. Manifestasi perdarahan

a.Uji torniquet positif

b. Perdarahan spontan berbentuk petekie, ekimosis, atau purpura, perdarahan gusi,

hematemesis dan melena.

3. Hepatomegali

4. Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg), atau nadi tak teraba,

kulit dingin dan gelisah

Laboratorium

1. Trombositopeni (<100.000 sel/ml)

2. Hemokonsentrasi (kenaikan Ht 20% dibandingkan fase konvalessen)

13

Page 14: Borang Portofolio DHF

Pembagian derajat DBD menurut WHO (1986), yaitu :

1. Derajat 1

Demam dan uji tourniquet positif.

2. Derajat 2

Demam dan perdarahan spontan, pada umumnya di kulit dan atau perdarahan lainnya.

3. Derajat 3

Demam, perdarahan spontan, dengan atau tanpa hepatomegali dan ditemukan gejala

kegagalan sirkulasi; meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20

mmHg atau kurang) atau hipotensi, ekstremitas dingin dan anak gelisah.

4. Derajat 4

Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Diagnosis Serologis

1. Uji Hambatan Hemaglutinasi

Pada umumnya, penyakit yang disebabkan virus dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan

uji hambatan hemaglutinasi (HI test).

2. Uji Elisa Antidengue IgM dan IgG

Uji ini dapat mengukur titer antibodi IgM terhadap virus dengue. IgM antidengue timbul pada

infeksi primer maupun sekunder dan adanya antibodi ini menunjukkan adanya infeksi dengue.

3. Tes Dengue Blot

VI. Penatalaksanaan

14

Page 15: Borang Portofolio DHF

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan

ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi

substitusi komponen darah bila diperlukan. Cairan intravena diperlukan apabila anak terus

menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per

oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok.

Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan

terhadap klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia

pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses

kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke

intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan

untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap

kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif

juga diperlukan.

Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang

berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung

zat atau bumbu yang mengiritasi saluran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan

antipiretik berupa parasetamol serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.

Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko

terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas (lambung/duodenum).

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan pada penatalaksanaan

demam berdarah dengue. Pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan

cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan

cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan

salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan

standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan

lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara

lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak

mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.

15

Page 16: Borang Portofolio DHF

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.

Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan

Ringer Laktat secara bolus (20 ml/kgBB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular

hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial

(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3 sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu

jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang

interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan

kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai

komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang dan bebas dari kemungkinan reaksi

anafilaktik.

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki keunggulan yaitu pada jumlah

volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan

bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid

memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa

kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis,

koagulopati dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek

samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh hetastarch). Penelitian cairan koloid

dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter

stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan memberikan hasil sebanding pada kedua

jenis cairan.

Pemantauan kadar hematokrit

Pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi

masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu

ditambah. Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital sudah membaik dan

kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam dan

kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pada

kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum

16

Page 17: Borang Portofolio DHF

stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai

kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun. Jumlah urin 12

ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik. Pada umumnya

cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok teratasi.

Koreksi gangguan metabolik dan asidosis

Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai, oleh karena

itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya diperiksa secara teratur terutama pada kasus

dengan renjatan berulang. Kadar kalium dalam serum kasus yang berat biasanya rendah,

terutama pada kasus yang memperoleh plasma dan darah yang culup banyak. Kadang-kadang

terjadi hipoglikemia.

Sedatif

Pada pasien yang gelisah dapat diberikan sedatif berupa obat yang tidak bersifat

hepatotoksik. Kloral hidrat diberikan per oral atau per rektal dengan dosis 12,5-50 mg/kgBB

(tidak melebihi 1 gr). Keadaan gelisah sebagai akibat dari perfusi jaringan yang kurang baik akan

menghilang setelah pemberian cairan yang adekuat.

Pemberian oksigen

Terapi dengan oksigen 2 l/menit dengan menggunakan masker harus selalu diberikan

pada semua pasien syok.

Transfusi darah dan trombosit

Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena

diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk mengganti

volume massa sel darah merah agar menjadi normal. Transfusi trombosit hanya diberikan pada

17

Page 18: Borang Portofolio DHF

pasien dengan perdarahan yang berat seperti muntah darah, mimisan yang terus menerus atau

perdarahan dari saluran cerna bawah berupa BAB dengan darah segar. Jumlah trombosit yang

rendah bahkan sampai dibawah 20.000 tanpa pendarahan yang signifikan bukan merupakan

indikasi untuk diberikan trombosit sehingga kadar trombosit yang rendah saja tidak memerlukan

transfusi trombosit.

Kriteria memulangkan pasien

Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu

makan membaik, tampak perbaikan klinis, hematokrit stabil selama 3 hari setelah syok teratasi,

jumlah trombosit > 50.000/ul dan cenderung meningkat serta tidak ditemui distres pernafasan

(akibat efusi pleura).

18