book volume2nomor2september2005

180

Upload: cool182

Post on 02-Jan-2016

119 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: BOOK Volume2nomor2September2005
Page 2: BOOK Volume2nomor2September2005

1Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Mahkamah Konstitusi adalah lemba-ga negara pengawal konstitusi danpenafsir konstitusi demi tegaknyakonstitusi dalam rangka mewujudkancita negara hukum dan demokrasiuntuk kehidupan kebangsaan dankenegaraan yang bermartabat. Mah-kamah Konstitusi merupakan salahsatu wujud gagasan modern dalamupaya memperkuat usaha memba-ngun hubungan-hubungan yang salingmengendalikan antar cabang-cabangkekuasaan negara.

DITERBITKAN OLEHMAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

Jl. Medan Merdeka Barat Nomor 7Jakarta Pusat

Telp. (021) 3520173, 3520787Fax. (021) 3522058

Membangun konstitusionalitas IndonesiaMembangun budaya sadar berkonstitusi

Website: www.mahkamahkonstitusi.go.ide-mail: [email protected]

Volume 2 Nomor 2September 2005

Page 3: BOOK Volume2nomor2September2005

2 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Dewan Pengarah:Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Prof. Dr. Muhamad Laica Marzuki, S.H.Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.

Letjen TNI (Purn) H. Ahmad Roestandi, S.H.Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LLM.

Dr. Harjono, S.H., MCL.Maruarar Siahaan, S.H.

I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.Soedarsono, S.H.

Penanggung Jawab: Janedjri M. GaffarWakil Penanggung Jawab: Ahmad Fadlil Sumadi

Pemimpin Redaksi: Rofiqul-Umam AhmadRedaktur Pelaksana: Budi H. Wibowo

Sidang Redaksi: Janedjri M. Gaffar, Ahmad Fadlil Sumadi,Winarno Yudho, Rofiqul-Umam Ahmad, Ali Zawawi,

Budi H. Wibowo, Bisariyadi, Achmad Edi Subiyanto, Mardian Wibowo

Sekretaris Redaksi: BisariyadiTata Letak: Ery Satria

Desain Sampul: Ali ZawawiDistributor: Bambang Witono, Mastiur A. Pasaribu

Alamat Redaksi: Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta PusatTelp. 021-3520787 ps. 213, Faks. 021-3522087

e-mail: [email protected]

Diterbitkan oleh:Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Website: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, dan mereka yang berminatuntuk memberikan tulisan mengenai putusan MK, hukum tata negara dan konstitusi.

Tulisan dapat dikirim melalui pos atau e-mail dengan menyertakan foto diri.Untuk rubrik “Analisis Putusan” panjang tulisan sekitar 5000-6500 kata dan untuk

rubrik “Catatan Hukum dan Konstitusi” sekitar 6500-7500 kata.Tulisan yang dimuat akan diberi honorarium.

Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidakmewakili pendapat resmi MK

Page 4: BOOK Volume2nomor2September2005

3Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

JURNAL KONSTITUSI

Volume 2 Nomor 2, September 2005

Pengantar Redaksi ........................................................................ 4Opini Hakim Konstitusi,Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. ..................................... 7

Analisis PutusanSumber Daya Air Memasuki Era globalisasi: DariPerspektif Hidrologi, Desentralisasi dan Demokratisasidi Seputar Konstalasi Privatisasi dan Hak Guna Air,Dr. (Eng) A. Hafied A. Gany .................................................. 11Indonesia’s Water Resources Policy: Effect ofGlobalization and World Bank Policy, Nadia Hadad ........... 45Analisis Putusan MK tentang Kepailitan (PerbandinganKasus Kepailitan antara Perusahaan Asuransi dan Per-bankan), Amir Syamsudin, S.H. ........................................... 86Peranan dan Kewenangan Menteri Keuangan dalamProses Kepailitan Perusahaan Asuransi,Tony Budidjaja, S.H., LL.M. ................................................ 104

Catatan Hukum dan KonstitusiKebijakan Anggaran Negara sebagai PerwujudanKedaulatan Rakyat, Dian Puji N. Simatupang ................... 125Perspektif Hukum atas MoU Helsinki,Hikmahanto Juwana ........................................................... 141Implementasi Perubahan UUD 1945 dalam PandanganEkonomi, Dr. Umar Juoro ................................................... 1 5 7

Resensi BukuHukum Islam dan Sistem Ketatanegaraan,Suban Salim, S.H. ................................................................1 6 7Membangun Mekanisme Kontrol Atas PresidenFx. Agus Mulyono, S.I.P. ....................................................1 7 4

Daftar Isi

UU SUMBER DAYA AIRDAN UU KEPAILITANPASCA PUTUSAN MK

Terbit 182 halaman

Page 5: BOOK Volume2nomor2September2005

4 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Pada bulan Mei dan Juli2005, Mahkamah Kons-titusi telah membacakan

UU Nomor 7 Tahun 2004 se-bagai pengganti UU Nomor 11Tahun 1974 tentang Pengairan.Perubahan tersebut terkaitdengan reformasi kebijakanpengelolaan sumber daya airyang dimulai sejak tahun 1993,namun secara efektif baru di-laksanakan tahun 1999.

Sementara itu, untukUU Kepailitan yang diundang-kan pada 18 Oktober 2004 dandinyatakan mulai berlaku un-tuk menggantikan UU Kepai-litan sebelumnya, yakni UUNomor 4 Tahun 1998, yangdianggap sudah tidak sesuailagi dengan kebutuhan danperkembangan hukum dalammasyarakat, dan jika ditinjaudari segi materi yang diatur,mengandung berbagai keku-rangan dan kelemahan. Salahsatu perbaikan atau penam-bahan penting yang dilakukanmelalui UU Kepailitan yangbaru adalah pencantuman ke-tentuan Pasal 2 ayat (5) danPasal 223. Pencantuman ke-tentuan-ketentuan tersebutternyata kemudian ditentang

dua putusan perkara pengujianundang-undang yaitu, UU No-mor 7 Tahun 2004 tentangSumber Daya Air (UU SDA) danUU Nomor 37 Tahun 2004tentang Kepailitan dan Penun-daan Kewajiban PembayaranUtang (UU Kepailitan). Salahsatu dalil pengajuan permo-honan pengujian UU SDA ada-lah bahwa undang-undang aquo dianggap bertentangandengan prinsip-prinsip per-lindungan hak asasi manusiayang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 danprinsip-prinsip dasar pem-bentukan negara Republik In-donesia yang anti penjajahan,dan mengutamakan persatuandan kedaulatan, kemakmuranrakyat serta mengutamakandemokrasi ekonomi.

Sektor sumber daya airdi Indonesia, saat ini sedangmengalami perubahan yangmendasar dengan disahkannya

Page 6: BOOK Volume2nomor2September2005

5Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

oleh Yayasan Lembaga Kon-sumen Asuransi Indonesia(YLKAI), beserta dua mantannasabah PT Prudential LifeAssurance: Aryunia CandraPurnama dan Suharyanti.

Melalui Jurnal Konsti-tusi volume 2 nomor 2 ini, kamisengaja menyajikan ke hadap-an pembaca mengenai analisispembahasan putusan MK ter-hadap pengujian UU Nomor 7Tahun 2004 tentang SDA danUU Nomor 37 Tahun 2004tentang Kepailitan yang ditam-pilkan dalam rubrik “AnalisisPutusan”. Dalam rubrik ini,redaksi menghadirkan tigaorang penulis yaitu, AmirSyamsuddin, S.H., M.H.yang mengungkapkan perban-dingan kasus kepailitan antaraperusahaan asuransi dan per-bankan. Di samping itu, dalam“Analisis Putusan” juga meng-hadirkan Tony Budidjaja,S.H., LL.M. yang menyorotiputusan MK tentang pengujianUU Kepailitan terhadap UUD1945 dan tinjauan kritis ter-hadap wewenang menteri ke-uangan dalam memailitkansebuah perusahaan.

Selain membahas peri-hal putusan MK terhadap UUKepailitan, redaksi juga me-

nampilkan analisis untuk pu-tusan MK terhadap UU SDAdengan menghadirkan seorangpakar sumber daya air yaituDr. (Eng) A. Hafied A.Gany, M.Sc. yang memapar-kan tulisan berjudul “SumberDaya Air Memasuki Era Glo-balisasi” yang berisi penjelasanmengenai keberadan air se-bagai sumber kehidupan yangnotabene merupakan kebutuh-an manusia terutama ketikamemasuki era globalisasi. Re-daksi juga menghadirkanNadia Hadad yang menulis —berbahasa Inggris— perihalsumber daya air. Tema tulisanyang ia paparkan “Indonesia’sWater Policy: Effects of Glo-balization and World BankPolicy”. Dalam pengantar tu-lisan yang ia kemukakan, Nadiamemberi tanggapan mengenaiputusan MK terhadap penguji-an UU SDA bahwa dalam putus-an MK aspek hak asasi manusiadan air sebagai komoditi sosialmenjadi pertimbangan.

Dalam rubrik “OpiniHakim Konstitusi”, redaksimenampilkan tulisan dari salahsatu hakim konstitusi Prof.Abdul Mukthie Fadjar,S.H., M.S. yang memaparkanpikiran beliau mengenai kaitan

Page 7: BOOK Volume2nomor2September2005

6 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

antara sumber daya air dan hakasasi manusia terutama di-dasarkan pada Pasal 33 UUD1945.

Pada edisi kali ini, ru-brik “Catatan hukum dan kon-stitusi” menampilkan tiga o-rang penulis yaitu Prof. Dr.Hikmahanto Juwana, S.H.,LL.M. yang menulis “Perspek-tif Hukum atas MoU Helsinki”,secara umum Hikmahantomengkritisi kesepatakan yangdibuat antara pemerintahIndonesia dengan pihak GAM.Selain itu, dalam rubrik ini jugamenampilkan Dr. Umar Juoroyang memberikan catatan da-lam tulisannya perihal im-plementasi dari perubahanUUD 1945, tentunya dalamperspektif ekonomi. Dian PujiN. Simatupang yang menulistentang “Kebijakan AnggaranNegara sebagai PerwujudanKedaulatan Rakyat”, dalambahasannya ia menyebutkanbahwa ketika pemerintah me-nyusun APBN, sudah sepa-tutnya kedaulatan rakyat di-jadikan salah satu pertimbang-an.

Untuk rubrik “ResensiBuku” kami hadirkan dua bukuuntuk diresensi yaitu bukuyang ditulis oleh Hamdan

Zoelva, S.H., M.H. berjudulImpeachment Presiden: Alas-an Tindak Pidana Pember-hentian Presiden MenurutUUD 1945 yang dirensensioleh FX. Agus Mulyono, danbuku yang ditulis oleh Prof. Dr.Ismail Suny, S.H., M.CL. ber-judul Jejak-Jejak Hukum Islamdalam Sistem KetatanegaraanIndonesia yang diresensi olehSuban Salim.

Redaksi berharap se-moga jurnal edisi ini dapatbermanfaat bagi kita semua,terutama dapat menjadi salahsatu penambah referensi dalammemperluas wacana mengenaikonstitusi dan perkembangan-nya.

Selamat menyimak!

Page 8: BOOK Volume2nomor2September2005

7Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

pini Hakim KonstitusiOOOOO

Pasal 33 UUD 1945 ada-lah pasal yang dikenal sebagaipasal ideologi dan politik eko-nomi Indonesia, karena di da-lamnya memuat ketentuan ten-tang hak penguasaan nega-ra atas :a. Cabang-cabang pro-

duksi yang penting baginegara dan yang me-nguasai hajat hidup or-ang banyak; dan

b. bumi dan air dan keka-yaan alam yang terkan-dung di dalamnya yang ha-rus dipergunakan un-tuk sebesar-besar ke-

makmuran rakyat.Ketentuan yang diru-

muskan dalam ayat (2) dan ayat(3) Pasal 33 UUD 1945 tersebutsama persis dengan yang di-rumuskan dalam Pasal 38 ayat(2) dan ayat (3) UUDS 1950,sehingga ada anggapan bahwahal itu merupakan cerminannasionalisme ekonomi Indone-sia, meskipun dalam praksisnyaselama 60 tahun Indonesiamerdeka, berbeda-beda tafsirantara rezim pemerintahanyang satu dengan yang lain,sehingga mengundang anggap-an bahwa Pasal 33 UUD 1945

PASAL 33 UUD 1945, HAM,DAN UU SUMBER DAYA AIR

Oleh PROF. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S.

Page 9: BOOK Volume2nomor2September2005

8 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

pini Hakim KonstitusiOOOOO

merupakan pasal utopia yangsudah tidak sesuai dengan din-amika perkembangan nasionaldan global yang tidak lagi rele-van mendikotomikan sistemekonomi pasar dengan sistemekonomi komando (negara)yang dalam realitasnya sudahterjadi amalgama.

Salah satu hal yang masihselalu menjadi perdebatanmengenai Pasal 33 UUD 1945adalah mengenai pengertian“hak penguasaan negara” atauada yang menyebut “hak me-nguasai negara”, disingkatHMN, yang oleh MahkamahKonstitusi (Mahkamah) dalampertimbangan hukum PutusanPerkara UU Migas, UU Kete-nagalistrikan, dan UU SumberDaya Air (UU SDA) ditafsirkanbukan dalam makna negaramemiliki, tetapi dalam penger-tian bahwa negara hanya meru-muskan kebijakan (beleid),melakukan pengaturan (rege-lendaad), melakukan pengu-rusan (bestuursdaad), mela-kukan pengelolaan (beheers-daad), dan melakukan peng-awasan (toezichthoudendaad).

Dengan demikian, maknaHMN terhadap cabang-cabangproduksi yang penting danmenguasai hajat hidup orang

banyak, serta terhadap sumberdaya alam, tidak menafikankemungkinan perorangan atauswasta berperanan, asalkanlima peranan negara/peme-rintah sebagaimana tersebut diatas masih tetap dipenuhi dansepanjang pemerintah dan pe-merintah daerah memang tidakatau belum mampu melak-sanakannya. Seperti penafsiranDr. Mohammad Hatta yangkemudian diadopsi oleh Semi-nar Penjabaran Pasal 33 UUD1945 tahun 1977 yang me-nyatakan bahwa sektor usahanegara adalah untuk mengelolaayat (2) dan (3) Pasal 33 UUD1945 dan di bidang pembiayaanperusahaan negara dibiayaioleh pemerintah, apabila pe-merintah tidak mempunyaicukup dana untuk membiayaidapat melakukan pinjaman daridalam dan luar negeri, danapabila masih belum mencu-kupi bisa diselenggarakan ber-sama-sama dengan modalasing atas dasar productionsharing.

Dalam perspektif yangdemikianlah putusan-putusanMahkamah mengenai kasus-kasus pengujian undang-un-dang yang terkait sumber dayaalam, termasuk UU SDA, harus

Page 10: BOOK Volume2nomor2September2005

9Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

pini Hakim KonstitusiOOOOO

dipahami, meskipun kemung-kinan ada pendapat yang ber-beda, baik di internal Mah-kamah (adanya dissenting opin-ion) maupun dari kalanganmasyarakat. Sehingga, tidakotomatis secara mutatis mu-tandis putusan Mahkamah me-ngenai UU Migas, UU Kete-nagalistrikan, dan UU SDA akansama, walaupun kriteria ataupengertian HMN yang dipakaisama.

Khusus mengenai per-mohonan judicial review UUSDA yang diajukan oleh seke-lompok warga negara Indone-sia dan lembaga swadaya ma-syarakat, nampaknya cen-derung memakai batu ujinyaPasal 33 UUD 1945 ketimbangpasal-pasal hak asasi manusia(HAM) dalam UUD 1945. Pada-hal, mestinya yang harus lebihditonjolkan adalah hak manusiaatas air (the right to water)yang secara universal sudahdiakui sebagai HAM, terutamadengan hak untuk hidup yangtidak dapat dikurangi dalamkondisi apapun (Pasal 28Ajuncto Pasal 28I ayat 1 UUD1945). Sebab, apabila batuujinya ditekankan pada Pasal 33UUD 1945, akan memungkin-kan munculnya tafsir bahwa

dapat diberikan hak-hak ter-tentu atas air (water right)kepada perorangan/swasta,seperti yang diatur dalam UUSDA.

Terlepas dari isi putusanMahkamah dan perbedaanpendapat, serta perdebatanyang muncul, harus diakuibahwa apabila dibandingkandengan UU Migas (UU No. 22Tahun 2001) dan UU Ketena-galistrikan (UU No. 20 Tahun2002), UU SDA (UU No. 7Tahun 2004) lebih baik dalampembuatannya. Tinggal seka-rang bagaimana negara/peme-rintah memerankan dirinyadalam menangkap makna “hakmenguasai negara” menuruttafsir Mahkamah, dan tidakdistorsi dari maksud rumusanindah yang tercantum dalamPasal 6 ayat (1) UU SDA, bahwa“Sumber daya air dikuasai olehNegara dan dipergunakanuntuk sebesar-besar kemak-muran rakyat”.

Sebagai konskuensi logisatas putusan Mahkamah dalampermohonan pengujian UUSDA, berbagai peraturan peme-rintah (PP) yang harus danakan dibuat atas perintah daridan untuk melaksanakan UUSDA betul-betul harus mem-

Page 11: BOOK Volume2nomor2September2005

10 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

pini Hakim KonstitusiOOOOO

perhatikan pertimbangan hu-kum Mahkamah dalam putusandimaksud. Sebab apabila tidak,akan terkena “conditionallyconstitutional warning” dariMahkamah, yang untuk keduakalinya akan “berijtihad” (sete-lah “ijtihad” pertama yang me-nyatakan Pasal 50 UU No. 24Tahun 2003 tentang Mahka-mah Konstitusi tidak mem-punyai kekuatan hukum meng-ikat dalam Perkara No. 066/

PUU-II/2004), yaitu kemung-kinan dapat diajukan pengujiankembali UU SDA dengan me-ngesampingkan ketentuan Pa-sal 60 UU No. 24 tahun 2003tentang Mahkamah Konstitusiyang menyatakan “Terhadapmateri muatan ayat, pasal,dan/atau bagian dalam un-dang-undang yang telah diuji,tidak dapat dimohonkan peng-ujian kembali”.

Page 12: BOOK Volume2nomor2September2005

11������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

AbstraksiBerpangkal tolak dari

upaya penerapan UU No. 5Tahun 1974 tentang Pemerin-tahan Daerah, ternyata pelak-sanaannya di waktu itu meng-alami berbagai kendala untukmewujudkan tuntutan otonomidaerah. Kendala tersebut ke-mudian diantisipasi dan di-kristalisasikan dengan tuntutandemokratisasi dan “role-shar-ing” yang berkembang dengankelahiran UU No. 22 Tahun1999 tentang PemerintahanDaerah, kemudian menyusuldiberlakukannya UU No. 32tentang Pemerintahan Daerah

pada tanggal 15 Oktober 1994,yang merupakan penyempur-naan UU sebelumnya.

Dalam kurun waktu yangsama, di bidang sumber dayaair (SDA), sebagai implikasiproduk perundang-undanganotonomi daerah tersebut, tim-bul tuntutan untuk mengkajiulang UU No. 11/1974 tentangPengairan, yang kemudian baru30 tahun berselang dapat ter-wujud dengan disahkannya UUNo. 7 Tahun 2004 tentang SDApada tanggal 18 Maret 2004.Kelahiran UU SDA ini, sempatmengundang pro dan kontra,yang kemudian bermuara ke-

SUMBER DAYA AIR MEMASUKI ERAGLOBALISASI:

Dari Perspektif Hidrologi, Desentralisasidan Demokratisasi di Seputar Konstalasi

Privatisasi dan Hak Guna Air

Oleh DR. (ENG) A. HAFIED A. GANY

Widyaiswara UtamaDepartemen Pekerjaan Umum

Page 13: BOOK Volume2nomor2September2005

12 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

pada pengajuan uji formil danmateriil (judicial review) ter-hadap UU tersebut oleh ber-bagai Lembaga Swadaya Ma-syarakat (LSM) ke MahkamahKonstitusi (MK), yang intinyatentang “privatisasi” dan ma-najemen SDA dengan “sistem-hak” atau “sistem-perizinan”.Setelah melalui berbagai per-timbangan uji materi, kajiandan pembahasan, MK padaakhirnya memutuskan meno-lak permohonan para pemo-hon tersebut.

Dalam upaya menenga-rai implikasi putusan MK ter-sebut terhadap manajemenSDA ke depan sesuai UU SDApasca putusan MK, berbagaipertanyaan yang perlu terlebihdahulu dijawab sebelum me-langkah lebih jauh. Pertama,apakah SDA –sebagai sumberdaya alam yang dinamis— da-pat dikategorikan sebagai sum-ber daya alam strategis yangbisa diperlakukan sebagai ko-moditas ekonomi seperti sum-ber daya alam statis lainnya?Kedua, apakah SDA dapat di-isolasi secara fisik untuk di-pandang dan diperlakukan se-bagai komoditas ekonomi da-lam menunjang peningkatan

pendapatan daerah? Ketiga,dengan kaidah fisik alami yangdimilikinya, akankah efektifpengelolaannya bila dilakukansecara ter-fragmentasi meng-ikuti yurisdiksi administrasipemerintahan? Keempat, ba-gaimana strategi penerapan UUNo. 7/2004 sejalan dengan UUNo. 32/2004, beserta UU ter-kait lainnya sebagai instrumenstatuter untuk mengoptimal-kan kontribusi sektor SDA da-lam peningkatan kesejahteraanmasyarakat? Kelima, apakahpengembangan dan pengelo-laan SDA dapat diselenggarakandengan hampiran “privatisasi”?Bagaimana keterkaitannya de-ngan “hak-guna” air, peme-rintahan yang baik (good gov-ernance) dan pembangunanberkelanjutan? Dalam upayamenjawab pertanyaan-perta-nyaan tersebut di atas, makalahini mencoba mengulas “mana-jemen SDA berdasarkan imple-mentasi UU SDA pasca putusanMK”, dengan rujukan khususterhadap kaidah-kaidah teoritismaupun empiris dengan meng-gunakan parameter sosial eko-nomi, budaya, finansial dankaidah hidrologi yang ber-pengaruh, dikaitkan dengan

Page 14: BOOK Volume2nomor2September2005

13������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

perspektif globalisasi, desen-tralisasi, demokratisasi, priva-tisasi dan hak guna air.

I. PENDAHULUAN

1.1. Tinjauan Umum SDAIndonesia

Sebagai negara kepulau-an terbesar di dunia, Indone-sia dengan 17.508 buah pulaumembentuk satu kesatuanbangsa dengan kesatuan wa-wasan yakni “wawasan nusan-tara”, meliputi areal daratanseluas 1,92 juta km2 denganpanjang pantai lebih dari84.000 km, memiliki potensiSDA sekitar enam persen darikeseluruhan air tawar dunia,atau sekitar 21 kawasan Asiadan Pasifik. Di bidang lahanbasah, Indonesia memiliki 33,4juta hektar lahan rawa, 3,3 jutadi antaranya telah dikembang-kan. Jumlah potensi air tawarterbarukan sekitar 3.085 km3/th atau sekitar 17.600 m3/det.Potensi ketersediaan air rata-rata nasional mencapai sekitar13.000 m3/kapita/tahun.

Kekayaan SDA tersebutmengalir pada sekitar 5.590sungai besar dan kecil. Sungai-sungai tersebut diadministrasi-

kan dalam 90 Satuan WilayahSungai (SWS). Perencanaan,pengembangan dan pengelola-an SDA dilaksanakan melaluipendekatan wilayah sungai,sehingga sungai-sungai harusdilihat sebagai satu kesatuandari hulu sampai ke hilir - da-lam kesatuan daerah aliransungai (DAS)—.

A. Makna Air dan SDA bagiBangsa Indonesia

Di balik merebaknya ke-pedulian dunia terhadap pe-ranan air dan SDA di peng-hujung abad ini, nenek moyangbangsa Indonesia sebenarnyatelah lama menempatkan airsebagai sesuatu yang sangatsakral tatkala megedepankansebutan “nusantara” kita inidengan “tanah air”. Hal initernyata mengandung “nuan-sa-filosofis” yang mendasar,karena hamparan “tanah” sajatidaklah cukup untuk meng-artikulasikan eksistensi danfungsi bumi bagi nenek moyangbangsa Indonesia dalam per-adaban manusia tanpa dengan“air”. Tanah dapat diwariskansebagai milik individu ataupunkelompok, sedangkan air da-lam suatu wilayah pada umum-

Page 15: BOOK Volume2nomor2September2005

14 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

nya dipandang sebagai warisanbersama (common heritageresources).

Secara historis, upayapengembangan dan pengelo-laan SDA di Indonesia men-duduki posisi strategis tersen-diri sejak sebelum zaman peme-rintahan kerajaan di Bumi Nu-santara yang berkembang se-suai dengan tuntutan zamanpada waktu itu sampai se-karang. Melalui perjalanan seja-rah yang panjang, sejak zamandahulu kala, selama masa pen-jajahan, sampai zaman kemer-dekaan dan dalam era pem-bangunan, berbagai upaya peng-aturan telah ditempuh, ter-masuk penerapan kebijakandesentralisasi pengelolaan SDA.

B. Konteks UU Pengairan/SDA

Berkaitan dengan upayapenerapan UU No. 7/2004tentang SDA (pengganti UU No.11/1974 tentang Pengairan)sejalan dengan penerapan rang-kaian UU Otonomi Daerah da-lam konteks manajemen SDAuntuk menopang suksesnyapembangunan nasional, adabeberapa pertanyaan menda-sar yang perlu terlebih dahulu

dijawab, yaitu pertama, apa-kah SDA –sebagai salah satusumber daya alam dinamis—dapat dikategorikan sebagaisumber daya alam strategisyang bisa diperlakukan sebagaikomoditas ekonomi sepertisumber daya alam statis lain-nya? Apa dan bagaimana kri-terianya? Kedua, dapatkah airdan SDA dipandang sebagaikomoditas ekonomi, semen-tara hampir 80% pemanfaat-annya masih menyangkut fung-si-fungsi sosial? Bagaimanabentuk pengaturan penguasa-an, hak-milik, hak-guna, hak-guna-pakai, mekanisme per-izinan, kewajiban dan tang-gungjawab pihak-pihak terkait?Apakah SDA dapat diisolasisecara fisik untuk dipandangdan diberlakukan sebagai ko-moditas potensial untuk me-nunjang peningkatan penda-patan daerah? Ketiga, sesuaidengan bentuk, wujud, dankeberadaan SDA, apakah mung-kin pengelolaannya dilakukansecara “ter-fragmentasi” meng-ikuti yurisdiksi administrasipemerintahan (daerah oto-nom)? Bagaimana strategi pe-nanganannya? Keempat, ba-gaimana strategi penerapan

Page 16: BOOK Volume2nomor2September2005

15������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

UU No. 7/2004, sejalan de-ngan UU No. 32/2004 serta UUterkait lainnya sebagai instru-men statuter untuk mengopti-malkan kontribusi sektor SDAdalam peningkatan kesejah-teraan masyarakat dilihat dariaspek sosial, ekonomi, budayadan kelestarian lingkungan?Bagaimana strategi mengako-modasikan “conditio-cine-qua-non” pengelolaan SDA yangberlaku secara universal: “OneRiver, One Plan, and One Inte-grated Management” atau “Sa-tu wilayah sungai, satu peren-canaan dan satu keterpaduanpengelolaan?”. Kelima, Apa-kah pengembangan dan penge-lolaan SDA dapat diseleng-garakan dengan hampiran “pri-vatisasi”? Dan bagaimana keter-kaitannya dengan “hak-guna”air, sistem pemerintahan yangprima (good governance) danpembangunan berkelanjutan?

II. PERSPEKTIF DESENTRALISASI SDA

2.1. Reformasi KebijakanA. Desentralisasi Pengelolaan SDA

Meskipun memang tidaksemudah yang dibayangkan,

namun berbagai negara telahmencoba menerapkan berba-gai alternatif kebijaksanaandesentralisasi kewenangan pe-nanganan SDA. Alternatif yangbanyak dilakukan adalah me-lalui dua prinsip utama: (1) Pe-misahan antara fungsi “peng-aturan” (regulatory) dan fungsi“operasional” di sektor peme-rintah; dan (2) Pemisahan ber-bagai fungsi operasional baiksektor publik maupun sektorswasta. Pemisahan fungsi initernyata harus segera diikutidengan penyempurnaan admi-nistrasi, pemantauan, dan pe-nerapan standar, serta pene-gakan hukum. Hal ini memangtidak sederhana apalagi biladikaitkan dengan kepentingan“lingkungan” yang luas sepertidalam penerapan manajemenSDA berbasis wilayah sungai.Sementara itu, pemisahan fung-si-fungsi pelaksanaan berda-sarkan fungsi instansi yangberbeda-beda, kesulitan uta-ma, umumnya terletak padapenyelarasan data dan standarpelaporan serta perencanaanyang memerlukan tim kerjayang inter-disipliner, denganpenguasaan teknologi majuyang mampu mempertahankan

Page 17: BOOK Volume2nomor2September2005

16 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

kepentingan pelayanan publikyang efisien.

Berpijak dari pengalam-an dalam kesulitan penyelesai-an masalah SDA antar lintasyurisdiksi pemerintahan, se-tidak-tidaknya ada beberapanegara, antara lain New Zea-land yang beberapa waktu ber-selang, melaksanakan kebijak-sanaan reformasi melalui pe-nyesuaian batas yurisdiksi ad-ministrasi pemerintahan sede-mikian rupa sehingga berte-patan dengan batas-batas unithidrologi. Sementara itu, ber-bagai negara lain misalnyaJerman, yang secara historisterbentuk dari kerajaan-kera-jaan, batas yurisdiksi admi-nistrasi pemerintahannya ke-banyakan sudah bertepatandengan batas hidrologi SDA,sehingga tidak lagi mengalamikesulitan dalam desentralisasiatau pengalokasian SDA bagitingkatan pemerintahan yanglebih rendah.

B. Reformasi Kelembagaan(Structural Reform)

Berbagai pengalaman didunia belakangan ini menyim-pulkan bahwa reformasi kelem-bagaan yang menjadi agenda

banyak negara, walaupun da-lam lingkup terbatas, ternyatabanyak yang tidak mencapaisasaran sebagaimana yang di-targetkan. Banyak terjadi bah-wa reformasi kelembagaan di-lakukan secara “terburu-naf-su”, sehingga pada gilirannyaterbentur kepada permasala-han yang rumit, karena per-ubahan tersebut tidak didasarikajian yang matang (BankDunia, 1992). Khusus refor-masi yang berkaitan denganbidang SDA, terbukti lebihrumit lagi, apalagi bila dikaitkandengan program otonomi dae-rah (desentralisasi), alokasidan pembagian SDA bagi ke-butuhan sektor dan wilayahyang kompetitif di tengah-tengah merebaknya akselerasipertumbuhan penduduk danpertumbuhan sektor ekonomiserta berbagai dampak ikutanlainnya.

C. Konteks Otonomi DaerahDi Indonesia, berawal

dari upaya penyelenggaraanUU No. 5/1974 tentang Peme-rintahan Daerah, ternyata pe-laksanaannya waktu itu meng-alami berbagai tantangan untukmewujudkan otonomi daerah.

Page 18: BOOK Volume2nomor2September2005

17������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Tantangan tersebut kemudiandiantisipasi dan disesuaikandengan tuntutan “demokra-tisasi” dan “role-sharing” yangberkembang dengan kelahirandua UU yang hampir bersama-an oleh “Pemerintahan TransisiReformasi” R.I. pada saat itu,yakni UU No.22/1999 tentangPemerintahan Daerah; UU No.25/1999 tentang PerimbanganKeuangan antara PemerintahPusat dan Daerah, dan me-nyusul UU No. 29/1999 ten-tang Penyelenggara Negarayang Bersih dan Bebas dariKKN. Sebagai pedoman pelak-sanaan, maka menyusul kemu-dian diterbitkan PP No. 25Tahun 2000 tentang Kewe-nangan Pemerintah dan Kewe-nangan Provinsi sebagai Dae-rah Otonom.

Dari segi penyiapan ins-trumen legal tersebut, adasementara kalangan yang me-ngomentari kelahirannya se-bagai langkah yang “tergesa-gesa”, “cepat-saji”, malahandalam konteks pelimpahan we-wenang, ada yang menilainyasebagai “kebablasan” (over-shooted). Bahwa kelahiran UUini sempat mengundang prodan kontra, hal ini mudah di-

pahami karena uji coba pene-rapan, kampanye publik untuksosialisasi –sebagaimana mes-tinya– hampir-hampir “tidakterlaksana” secara tuntas kare-na dikejar oleh target waktudalam transisi pemerintahanpada waktu itu. Tidak herankalau kemudian menyusul ke-lahiran UU No. 32/2004, ten-tang Pemerintahan Daerah padatanggal 15 Oktober 1994, ma-lahan pada tanggal 27 Apriltahun 2005 diikuti denganPerpu No. 5/2005 tentangPerubahan atas UU Nomor 32Tahun 2004 tentang Peme-rintahan Daerah –meskipunkonteksnya— khusus terhadappemilihan kepala daerah danwakil kepala daerah, namunperubahan “situasional” itusendiri memberi nuansa ke-tidak-mapanan produk statutertersebut.

Dalam kurun waktu yangsama, di bidang SDA, implikasiproduk perundang-undangantersebut menuntut segera di-adakannya kajian ulang ter-hadap UU No. 11/1974 tentangPengairan, yang baru 30 tahunkemudian dapat terwujud de-ngan disahkannya UU No. 7Tahun 2004 pada tanggal 18

Page 19: BOOK Volume2nomor2September2005

18 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Maret Tahun 2004. KelahiranUU SDA ini, ternyata meng-undang pro dan kontra, yangbermuara kepada pengajuanuji formil dan materiil (judicialreview) terhadap UU tersebutoleh beberapa LSM ke MK RI,yang intinya tentang privatisasidan manajemen SDA dengansistem “hak” atau sistem “per-izinan”. Selanjutnya, setelahmelalui berbagai pertimbang-an, uji formil dan materiil sertapembahasan yang mendalam,MK akhirnya menyatakan me-nolak permohonan para pemo-hon tersebut.

Hal yang tidak dapatdipungkiri sekarang adalah,bahwa UU No. 7/2004 tentangSDA tersebut sudah lolos daripengujian formil dan materiiloleh MKRI, sehingga apapunimplikasinya harus dilaksana-kan secara konsekuen olehsetiap warga negara. Bahwa-sanya ada kendala, masalahdan hambatan dalam pene-rapannya, tentu masih harustetap diantisipasi sejalan de-ngan dinamika pertumbuhan,tuntutan dan kepedulian ma-syarakat, apalagi bila disadaribahwa dalam proses penolakanpermohonan para pemohon

“judicial review” itu sendiri,diakui adanya “pendapat ber-beda” (dissenting opinion)yang patut kita hargai dancermati bersama, sambil jalan,dan seyogyanya kita menyiap-kan diri untuk mengakomo-dasikan penyempurnaan-pe-nyempurnaan sesuai tuntutanyang berkembang secara ber-tahap di masa-masa menda-tang.

III. KENDALA DANPERSPEKTIFDESENTRALISASI

BIDANG SDA3.1. Air sebagai Sumber

Daya Alam StrategisAir merupakan suatu

sumber daya alam yang sangatunik, namun rentan, serta ek-sistensinya sangat berbedadengan sumber daya alam lainyang dikenal di planet bumi ini.Secara alamiah, bentuk, sifatdan wujud air dikenal sebagaibenda cair yang memiliki per-gerakan dinamis, mengalir diatas maupun di bawah per-mukaan bumi mengikuti hu-kum gravitasi. Sementara itu,jumlahnya secara global tidak

Page 20: BOOK Volume2nomor2September2005

19������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

berubah, posisi dan karakter-nya sangat dinamis, mengalirdan berpindah dari suatu tem-pat ke tempat lain “tanpa me-ngenal batas yurisdiksi pe-merintahan” atau “konvensiperbatasan politis lain ciptaanmanusia.” Dari segi teori fisika,kita juga mengenal “anomaliair”, demikian juga dengan“berat jenis”, wujud dan sifat-sifat kimianya yang sangatspesifik –yang membedakan-nya— dengan sumber dayaalam statis (tak terbarukan)lainnya yang dikenal dantersedia di planet bumi ini.

Di sisi lain, karakter peng-usahaan fisik air sebagai salahsatu sumber daya alam diban-dingkan dengan sumber dayamineral misalnya, “sangat para-doksial”. Sumber daya mineralmudah diidentifikasi dan dite-tapkan lokasinya secara fisik,relatif mudah dimonopoli olehperorangan atau kelompok,pribadi, swasta atau peme-rintah mengingat demarkasikeberadaannya yang statis disamping sifatnya yang “takterbarukan.” Sebaliknya, airsulit untuk dimiliki baik subs-tansi maupun hak gunanya olehperorangan, kelompok, peme-

rintah maupun swasta relatifterhadap pihak pribadi, kelom-pok, maupun pemerintahanlain, mengingat karakteris-tiknya yang dinamis. Pada mu-sim tertentu, uap air dalamperpindahannya dari kutub kekutub lalu menjadi salju ataubeku menjadi bongkahan es,pada suatu saat akan jatuhsebagai hujan atau presipitasidi suatu lokasi, pulau, benuaatau negara sebagai lokasi par-kir air sementara di tempatjatuhan tersebut. Prinsip trans-formasi global ini merupakanhukum alam di mana intervensiteknologi manusia hanya mam-pu mempengaruhi secara ter-batas. Penggunaan air untukberbagai hajat hidup manusiasemuanya harus tunduk ke-pada “coditio-sine-qua-non”dari “aksioma” alam tersebut.

Tidak kalah strategisnya,bahwa di dalam ayat suci Al-Qur’an, berulang kali dinya-takan bahwa air diciptakanuntuk dimanfaatkan, bahkanlebih lanjut diamanatkan agarmanusia sebagai khalifah dibumi dapat menjaga keles-tariannya. Malahan dari bebe-rapa ayat dinyatakan secaraeksplisit antara lain “Kami

Page 21: BOOK Volume2nomor2September2005

20 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

ciptakan manusia dari air”(Q.S. 25: 54); “Kami ciptakansemua hewan dari air” (Q.S.24; 45); “Kami ciptakan se-suatu yang hidup dari air” (Q.S.21; 30). Secara umum darinukilan ayat suci ini dapatdisimak bahwa air merupakanzat penopang kehidupan dibumi secara mutlak, dan taktersubstitusikan dengan sum-ber daya alam apapun lainnya.

Dari uraian tersebut, da-pat dikatakan bahwa manakalaintervensi manusia untuk pe-nguasaan air menyalahi dan/atau melanggar “aksioma para-digmatis” ini, maka taruhannyaadalah “bencana” (tragedy ofthe common) yang akan me-nimpa umat manusia. Air akanmenjadi rentan, polusi me-renggut kelestarian ekosistem,flora dan fauna akan musnahdan akhirnya peradaban ma-nusia akan turut punah; ingatbudaya Mesir di lembah SungaiNil, budaya Babilonia di lembahSungai Tigris dan Euphrat,budaya Inca di Meksiko, situspurba Tiongkok di lembah su-ngai Jangtse, dan sebagainya,menjadi saksi bisu tragedi ke-manusiaan dan kelestarian ling-kungan tersebut.

3.2. Kecenderungan Univer-sal Penanganan SDA

Dari kajian Bank Dunia,ternyata bahwa permasalahanuniversal yang senantiasamenjadi kendala desentralisasibidang SDA adalah ketidak-konsistenan antara batas yuris-diksi teritorial perwilayahanadministrasi pemerintahan danbatasan wilayah hidrologisyang melingkupi DAS. Hal inilebih bertambah rumit biladikaitkan dengan kebijaksa-naan desentralisasi yang mem-berikan penekanan kepada“akuntabilitas daerah”. Aki-batnya, selalu timbul kecen-derungan untuk membagi-bagiwilayah hidrologi DAS menjaditidak konsisten dengan teri-torial pemerintahan. Hasil kaji-an Burchi (1988) misalnyatelah mengisyaratkan adanyakecenderungan ini seperti da-lam kutipan pernyataan beliausebagai berikut:

The central problem ….has been how to reconcileregionalization –particu-larly that of general go-vernment— along adminis-trative lines with the hydro-logical imperatives of basinmanagement, and whichpoints to strike the rightbalance between the water

Page 22: BOOK Volume2nomor2September2005

21������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

administrations at centraland at regional levels ofgovernments (Burchi,1988).

Dalam terjemahan be-bas:

“Pokok permasalahan-nya adalah bagaimanamewujudkan rekonsiliasilangkah regionalisasi - khu-susnya dalam pemerin-tahan umum– di seputarupaya penyesuaian batasyurisdiksi pemerintahandengan kaidah-kaidah hi-drologis pengelolaan DAS,dan penetapan keseim-bangan harmonis antaraadministrasi pengelolaanSDA di tingkat pusat dandi tingkat pemerintahanyang lebih rendah.

Dari pandangan Burchitersebut di atas, cukup jelasbahwa permasalahan universalyang masih senantiasa menjadikendala desentralisasi bidangSDA adalah ketidak-konsis-tenan antara batas yurisdiksiteritorial perwilayahan admi-nistrasi pemerintahan denganbatas wilayah hidrologis yangmelingkupi DAS.

A. Manajemen SDA di Negara Lain

Dalam upaya mencarialternatif manajemen SDA,adalah naif untuk merujuk se-

cara langsung penerapan dinegara lain secara “exogen-ious” tanpa merujuk kondisi-kondisi lokal yang berpenga-ruh. Namun yang jelas bahwanegara penganut demokrasidengan sistem pemerintahanfederal seperti Amerika Serikatsaja, masih menyiasati peng-urusan SDA melalui koordinasiWater Resources Council, padatingkat Pemerintahan Federal.Negara-negara lain dalam pene-rapan otonomi daerah umum-nya menganut keterpaduanmanajemen SDA berbasis wila-yah sungai melalui prinsip “OneRiver, One Plan and One Inte-grated Management”. Pene-rapan prinsip yang sama se-tidak-tidaknya telah dilakukanjuga di Perancis melalui Na-tional Water Commission, diBritania Raya melalui NationalWater Resources Administra-tion, di Ethiopia melalui Na-tional Water Resources Com-mission of Ethiopian, demikianjuga dengan Australia, Kanada,India, Pakistan, Mesir, Muang-thai, Filipina, Swiss, Jerman,serta Belanda dan banyak lagiuntuk disebut satu persatusebagai bahan perbandingan.

Page 23: BOOK Volume2nomor2September2005

22 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

B. Kendala Pembagian PeranPada umumnya kondisi

kerancuan pengelolaan SDAakan lebih rumit lagi bila dikait-kan dengan pembagian peran(role-sharing) antara instansiterkait yang bertanggungjawabmasing-masing dalam: (1) Pe-natagunaan lahan dan air; (2)Pembagian alokasi air per-mukaan dan air bawah tanah;dan (3) Pengelolaan kuantitasdan kualitas air. Dalam prinsipperencanaan, adalah sangatperlu dikonfirmasikan kecu-kupan alokasi SDA sesuai de-ngan tujuan penggunaan, di sisilain, dan dalam pelaksanaanharus diyakinkan bahwa semuapihak mempunyai komitmenuntuk melaksanakannya sesuaidengan yang ditetapkan dalamperencanaan. Demikian jugakenyataannya dengan pena-nganan aspek “air permukaan”dan “air bawah tanah”, kualitasdan kuantitas yang ditanganioleh instansi yang berbeda.Malahan kegagalan bisa terjadibila tidak segera terjalin keter-paduan dalam upaya menjagakeseimbangan antara pengen-dalian pencemaran dan peng-olahan limbah pada wilayahhidrologis yang sama. Sebagai

ilustrasi terlihat di gambar 1,bagaimana rumitnya pemadu-an kepentingan antara wilayahteritorial pemerintahan yangsatu dengan lainnya yang dile-wati oleh sungai dengan bataswilayah hidrologisnya tidakkonsisten dengan batas yu-risdiksi pemerintahan. Belumberbicara mengenai kepen-tingan kawasan hulu (konser-vasi hutan), kawasan tengah(penggunaan air), dan kawasanhilir (penerima limbah). Bagai-mana pula dengan “air-tanah”yang pada umumnya batastampungan ladang airnya(aquiver) tidak selalu berhim-pitan atau berada di dalambatas wilayah yurisdiksi peme-rintahan, karena ladang aqui-ver umumnya terletak jauh dibawah permukaan tanah.

C. Parameter KerentananSDA

Berkenaan dengan kon-disi kerentanan SDA, ada duaparameter pokok yang secaralangsung menunjukkan tingkatkeparahan dan kerentanan SDAyakni, Coefficient of Variation(CV) yaitu perbandingan antarastandar deviasi rata-rata keter-sediaan air pada debiet kecil

Page 24: BOOK Volume2nomor2September2005

23������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

(musim kemarau) dan debietbesar (musim penghujan). Se-makin tinggi angka koefisien inimenunjukkan semakin tidakstabilnya debiet air, yang nota-bene menunjukkan retensi airdaerah aliran sungai yang fung-sinya abnormal. Parameterlainnya adalah “Indeks Peng-gunaan air” (IP) yang diukurdari besaran (magnitude) per-bandingan antara potensi ke-tersediaan air rata-rata dengankumulatif penggunaan air ta-hunan bagi industri, pertanian

dan domestik. Semakin tinggiangka ini mendekati nilai 1,00semakin menunjukkan kekritis-an penggunaan air di DAS yangbersangkutan.

D. Kondisi IndonesiaDi Indonesia, upaya pe-

ngembangan, pengelolaan,pendayagunaan dan pelestari-an SDA pada umumnya masih“ter-fragmentasi.” Polusi danpencemaran ekosistem air ma-sih terus berlangsung, banyaksungai-sungai tereksploitasi

Wil. Administrasi A

Wil. Administrasi B

Wil. Administrasi C

Hujan

LAUT

Ladang Air Tanah

Gambar 1. Ilustrasi permasalahan pembagian alokasi SDA pada bataswilayah hidrologis yang melewati beberapa batas yurisdiksi administrasipemerintahan.

Page 25: BOOK Volume2nomor2September2005

24 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

melampaui daya dukungnyaakibat daerah aliran sungaimenjadi gundul, erosi dan ta-nah longsor meningkat, pen-dangkalan waduk, danau, situdan muara sungai terus me-ningkat tanpa sentuhan upaya-upaya pelestarian.

Tidak kalah mempriha-tinkannya bahwa selama kurunwaktu pembangunan, prasa-rana persungaian hampir-ham-pir luput dari upaya peme-liharaan. Malahan sebaliknyamerupakan pemandanganyang biasa dilihat di manasungai difungsikan menjaditempat pembuangan limbahpadat, maupun limbah cair.Cukup banyak contoh kongkretuntuk diungkapkan satu demisatu, namun yang pasti bahwahanya sedikit sekali warga ma-syarakat yang memiliki sense ofcrisis bahwa Indonesia –ter-lebih-lebih di Pulau Jawa– saatini sedang terancam denganbahaya “Tragedy of the Com-mon” khususnya dalam konteks“kelangkaan” dan “keterce-maran” air. Untuk menganti-sipasi hal ini, yang sangat pen-ting untuk segera dilakukanadalah membangun dan me-ningkatkan kesadaran masya-

rakat akan pentingnya upayabersama dalam menanggulangibersama ancaman bahaya“Tragedy of the Common” ter-sebut. Lebih lanjut, pemerintahbersama masyarakat perlu me-nindaklanjutinya dengan lang-kah-langkah kongkret peng-aturan pengelolaan SDA me-lalui pendekatan partisipatif,dalam semua rangkaian prosespengembangan dan pengelo-laan SDA berkelanjutan.

E. Kerancuan KewenanganKonsekuensi penerapan

otonomi daerah adalah bahwaSDA yang ada dalam wilayahdaerah tertentu (yang masihmemerlukan penegasan batasyurisdiksi administrasi peme-rintahan dan garis batas hidro-logis) harus diurus oleh peme-rintah daerah yang bersang-kutan. Kewenangan administra-tif dan operasional bagi wila-yah-wilayah sungai dan atauprasarana serta sarana peng-airan akan menjadi rancu ka-rena prilaku sungai yang meng-ikuti batasan hidro-orologisalamiah tidak akan mungkinmengikuti batas teritorial pe-merintahan. Sementara itu, di-namika pergerakan dan per-

Page 26: BOOK Volume2nomor2September2005

25������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

pindahan air di antara pergan-tian musim tidak akan bisaditahan –kecuali dalam jumlahyang sangat terbatas— untuk“berada” atau “tidak-berada” disuatu kawasan tertentu, de-ngan teknologi canggih sekali-pun.

Keberadaan sungai se-panjang batas fisiknya jelas dansepenuhnya berada dalam satubatas yurisdiksi pemerintahantertentu, tidak akan menim-bulkan masalah. Namun, dalamkondisi SWS lintas batas admi-nistrasi tanpa batas fisik yangjelas, hampir selalu mengha-dapi masalah karena SWS dalamlintas batas administrasi peme-rintahan, tidak bisa dipenggal-penggal. Dengan demikian, ke-wenangan “hulu”-”tengah”-”hilir” dari pengaturan sungaiakan menjadi tarik-menariktanpa bisa ditetapkan secarapasti.

Di musim hujan, misal-nya, pengelolaan SDA akandiwarnai dengan pertarunganantar wilayah/daerah untukmenghindari dampak banjirterhadap daerahnya. Konse-kuensinya, kawasan hilir sungaiakan selalu dirugikan. Sebalik-nya, di musim kemarau akan

terjadi perebutan air, perta-ruhan akan selalu dimenangkanoleh daerah-daerah kawasan“hulu” - “tengah” sungai. Padakurun waktu yang sama, ka-wasan “hilir” juga akan selaludihadapkan dangan masalahpembuangan limbah padat ataulimbah cair yang bersumberdari pemukim di kawasan hulusungai.

Dengan kerancuan koor-dinasi kegiatan pengembangandan pengelolaan SDA pada SWSlintas provinsi dan lintas SWSstrategis nasional, maka perludibentuk semacam wadah ko-ordinasi mandiri seperti DewanSDA Nasional, Dewan SDA Wi-layah Sungai Lintas Provinsi,dan Dewan SDA Wilayah SungaiStrategis Nasional. Dewan SDANasional dan Wilayah Sungaijuga berperan untuk memfasi-litasi penyelesaian sengketaantar-provinsi dalam penge-lolaan SDA, termasuk mene-tapkan norma, standar, pedo-man, dan manual (NSPM) pe-ngelolaan SDA, serta menjagaefektivitas, efisiensi, kualitas,dan ketertiban pelaksanaanpengelolaan SDA pada WilayahSungai Lintas Provinsi, WilayahSungai Lintas Negara, dan Wi-

Page 27: BOOK Volume2nomor2September2005

26 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

layah Sungai Strategis Nasio-nal. Demikian juga untuk SWSLintas Kabupaten, penyeleng-garaan koordinasi pengem-bangan dan pengelolaan SWSperlu dibentuk Dewan SDA ataudengan nama lain di tingkatprovinsi dan/atau pada wilayahsungai lintas kabupaten/kota

untuk antara lain memfasilitasipenyelesaian sengketa antar-kabupaten/kota dalam penge-lolaan SDA, serta membantukabupaten/kota pada wilayah-nya dalam memenuhi kebutuh-an pokok masyarakat atas air.

3.3. Pendekatan Holistik

Gambar 2. Pendekatan holistik dalam Manajemen SDA Terpadu danBerkelanjutan

Page 28: BOOK Volume2nomor2September2005

27������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

dalam Manajemen SDABerkelanjutan

A. Pendekatan HolistikPada dasarnya pende-

katan pengelolaan SDA dituntutdengan keterpaduan holistikantara manusia, air dan atauSDA, lingkungan dan masya-rakat. Hubungan tersebut me-rupakan suatu ekosistem salingmemiliki ketergantungan an-tara satu subsistem dengansub-sistem lainnya. Sebagaiilustrasi, dari gambar 2, dapatdilihat bahwa SWS merupakansuatu lingkup sistem satuaneko-hidrologis atau hidro-oro-logis di mana air atau SDAmemiliki ketergantunganlangsung secara timbal-balik.Di dalam sistem SWS terdapatkehidupan manusia di satu sisi,lingkungan dan masyarakat disisi lainnya yang mempunyaisaling ketergantungan holistiksecara timbal-balik. Dengandemikian, SWS memerlukanprasarana dan sarana dasaryang senantiasa memerlukanOperasi dan Pemeliharaan(O&P), begitu juga konservasidan perlindungan.

3.4. Komoditas Ekonomiversus Komoditas

Sosial?Untuk mewujudkan ma-

najemen SDA berkelanjutan,maka pertimbangan atau pene-tapan antara air sebagai komo-ditas sosial dan/atau sebagaikomoditas ekonomi, sangatlahmendasar. Pada umumnya,masyarakat di negara-negaraberkembang masih sangat sulitmenerima air sebagai komo-ditas ekonomi, bahkan keba-nyakan menganggap bahwa airmerupakan kekayaan alamyang dianugerahkan Tuhankepada manusia, oleh karenaitu air tidak boleh diperjual-belikan.

Sementara itu, bagi ke-banyakan masyarakat di ne-gara-negara maju, bahwa untukmemungkinkan konservasi danpelestarian SDA, maka instru-men ekonomi (full cost recov-ery) merupakan tuntutan yanghampir tidak terhindarkan.Dengan demikian, bagi keba-nyakan negara maju, air meru-pakan komoditas ekonomi se-cara penuh atau sebagian, se-mentara bagi negara berkem-bang seperti Indonesia, mautidak mau masih harus meman-dang air sebagai benda sosialyang mempunyai nilai ekonomi

Page 29: BOOK Volume2nomor2September2005

28 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

dari upaya pengadaan dan pe-layanan sarana dan prasarana-nya, namun tidak melihat airsebagai komoditas yang dapatdiperdagangkan dengan nilaitertentu –penetapan nilai man-faat air hanya terbatas sebagaiinstrumen antara lain: “pemu-lihan” biaya O&P (Recovery ofOperation and MaintenanceCosts)—.

A. Air sebagai BendaEkonomi (economic good)

Sebagaimana komoditaslain yang dianggap sebagaibenda ekonomi, maka jika airdipandang sebagai benda eko-nomi, maka pendekatan penge-lolaannya haruslah senantiasamemperhatikan dua perinsipekonomi: (1) Peningkatan efi-siensi pengelolaan dan pela-yanan secara konsisten; (2)Pemulihan biaya penyediaandan pengelolaan, serta biayaO&P secara penuh dari pene-rima manfaat. Dalam hubunganini, peranan mekanisme pasarsangat menentukan dalam pe-mulihan semua dana investasidan pelayanan secara penuhsebagai “harga air” yang harusditanggung oleh penerima man-faat (konsumen), demikian juga

dengan nilai perlindungan ter-hadap pencemaran. Untukmengoptimalkan pelayanan airsecara kompetitif, maka hargaair yang berorientasi kepadapasar harus benar-benar diper-tahankan atau ditingkatkankualitasnya secara kompetitif,sementara biaya sosial eko-nomi harus senantiasa dipan-dang sebagai nilai manfaat yangditanggung melalui sistem pen-danaan dengan pendekatan“subsidi” atau “subsidi silang”.

B. Air sebagai Benda Sosial(social good)

Dalam kaitannya denganpenggunaan air untuk hal-halyang non-ekonomi, maka fungsiair harus dipertahankan me-lalui pengelolaan yang men-dorong terpenuhinya tuntutansosial ekonomi bahkan budaya.Di Indonesia, pada umumnyapenggunaan air masih lebihbanyak ditujukan untuk me-nunjang aspek sosial ketimbangaspek ekonomi yakni sekitar70-80% untuk irigasi, 11-12%untuk domestik dan sekitar 12-13% untuk keperluan industri.Di tingkat domestik, umumnyaair yang tersedia dipergunakanuntuk kebutuhan sehari-hari

Page 30: BOOK Volume2nomor2September2005

29������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

dan untuk membersihkan diri,wudhu, upacara ritual, upacarakeagamaan dan sebagainya.

C. Air sebagai Benda Sosialyang Mempunyai NilaiEkonomi

Terlepas dari pro dankontra terhadap eksistensi airsebagai benda ekonomi ataubarang sosial, maka sesuaidengan kondisi sosial ekonomiserta budaya di Indonesia,eksistensi air –sebagaimanajuga yang diamanatkan konsti-tusi— air hendaknya dipandangsebagai kekayaan alam karunia

Tuhan untuk dimanfaatkan bagisebesar-besar kemakmuranrakyat. Dengan kata lain, airhendaknya dipandang sebagaibenda sosial yang mempunyainilai ekonomi, sehingga airtidak bisa diperjualbelikannamun hanya dapat dikenakaniuran pelayanan air (Biaya JasaPengelolaan SDA/BJP-SDA)yang nilainya proporsionaldengan biaya yang dibutuhkanuntuk melaksanakan pelayanankepada penerima manfaat (kon-sumen). Lihat gambar 3. Ilus-trasi air sebagai benda ekonomidan benda sosial dalam kon-

Gambar 3. Ilustrasi fungsi Air/SDA sebagai barang ekonomi dan sosial dalam

konteks Manajemen SDA Berkelanjutan

Air Sebagai Benda Sosial

Pemanfaatan manajemen SDA untuk menunjang tujuan sosial-ekonomi

Berkelanjutan

Manajemen Air/SDA

Air Sebagai Benda Ekonomi

• Meningkatkan efisiensi penggunaan air

• Pemulihan biaya Manajemen dan O&P SDA oleh Penerima manfaat (konsumen)

• Peningkatan kualitas air • Memperkecil biaya sosial-ekonomi

(melalui ”subsidi” atau “subsidi silang”)

Air sebagai Benda Ekonomi

Biaya Jasa Pengelolaan

SD Air

Page 31: BOOK Volume2nomor2September2005

30 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

teks manajemen SDA terpadudan berkelanjutan.

3.5. Nilai Manfaat Air (Benefit Value of Water)A. Biaya Jasa Pengelolaan

SDA (BJP-SDA)Secara garis besar BJP-

SDA dapat dibagi atas dua ba-gian yaitu biaya perencanaandan pelaksanaan konstruksiyang merupakan investasi satukali dan biaya O&P dan peman-tauan dan pemberdayaan ma-syarakat merupakan biayayang harus disediakan secaraberulang setiap tahun secaraterus-menerus. Kedua jenispembiayaan tersebut, yaitudana investasi dan dana O&Pharus tersedia sesuai kebu-tuhan apabila diinginkan kiner-ja pengelolaan SDA mampumemenuhi kebutuhan pokoksehari-hari dan untuk men-dukung pertumbuhan ekonomimenuju kemakmuran dan kese-jahteraan rakyat secara ber-kelanjutan.

Pengelolaan dan pen-danaan SDA secara publik yangberarti semua kegiatan danbiaya dilaksanakan oleh Peme-rintah dengan partisipasi dan

pengembalian atau pemulihanBJP air yang hampir tidak adadan tidak adil karena adanyapenumpang tanpa bayar, se-muanya itu dalam jangka pan-jang di luar kapasitas keuanganPemerintah dan menjadi tidakadil bagi rakyat yang belummenerima manfaat pengelola-an SDA. Dengan situasi perlu-nya dana investasi dan O&Puntuk sarana dan prasaranaserta memburuknya konflik-konflik alokasi air dan layanan-nya, akan sulit menghindar dariakibat-akibat potensial mala-petaka sosial ekonomi sebagaidampak akhir krisis air.

Untuk mengantisipasihal ini, UU No. 7 Tahun 2004sudah mengatur BJP-SDA de-ngan lugas, fleksibel dan dapatditerima, yaitu: (1) PenggunaSDA untuk memenuhi kebu-tuhan pokok sehari-hari danuntuk pertanian rakyat (irigasimaksimum 2,00 ha) tidak dibe-bani biaya jasa pengelolaanSDA; (2) Pengguna SDA selain-nya menanggung biaya jasapengelolaan SDA. PengaturanBJP-SDA tersebut cukup adildan efisien, karena membebas-kan pengguna untuk kebutuhanpokok sehari-hari bagi yang

Page 32: BOOK Volume2nomor2September2005

31������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

mengambil langsung dari sum-ber air dan sawah 2,00 ha didaerah irigasi adalah hak asasisetiap penduduk. Namun peng-guna lainnya yaitu untuk kebu-tuhan usaha baik yang meng-ambil langsung dari sumber airmaupun yang memperoleh darisistem irigasi dengah luas sa-wah di atas 2,00 ha dan darisistem perpipaan PDAM dike-nakan BJP-SDA, karena untukair tersebut sampai ditempatpengguna sudah dikeluarkanbiaya investasi, O&P sarana danprasarana SDA dan sistem pe-ngolahan air bersih/minumdan sistem perpipaannya.

B. Pola Keseimbangan NilaiAir

Pada dasarnya, pola pikirperumusan nilai manfaat airdalam konteks pendayagunaandan pengamanan SDA, meng-acu kepada pola keseimbanganantara “daya guna optimal” disatu sisi dan “keamanan dankelestarian” di sisi lainnya. Jaditujuan utama adalah bagai-mana memanfaatkan “publicgood” karunia Tuhan ini seopti-mal mungkin dengan tetapmemperhatikan keseimbanganantara pemanfaatan dan keter-

sediaan, secara kuantitas mau-pun kualitas dengan senantiasamemperhatikan keseimbanganparameter yang berpengaruh(too much, too little, too dirtydan too late): (1) dimensi wak-tu; (2) dimensi ruang; (3) jum-lah atau volume; dan (4) mutuatau kualitas.

Pemanfaatan air sebagaipublic good mau tidak mauharus memperhatikan fungsiekonomi dengan tidak menge-sampingkan fungsi sosial mau-pun fungsi budaya dan tradi-sional yang disandangnya. Da-lam perencanaan pelayanan airbagi publik, maka keempat pa-rameter tersebut di atas me-rupakan faktor pembatas (con-straints). Tidak setiap saat airdapat diakses dengan teknologicanggih sekalipun. Demikianjuga tidak semua ruang (tem-pat) dapat tersedia atau di-sediakan air secara penuh se-suai dengan kebutuhan.

Sementara itu, meskipunair merupakan sumber dayaalam “terbarukan”, namun da-lam pengelolaannya harus be-nar-benar dijaga kualitasnyadengan menghindarkan pen-cemaran akibat ulah manusia.Untuk mengelola SDA, maka

Page 33: BOOK Volume2nomor2September2005

32 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

prasarana dan sarananya tidakdapat dipisahkan, sehinggadalam waktu bersamaan, nilaimanfaat sarana air sebagaifaktor produksi atau non-pro-duksi harus “berkemampuanbayar”, sementara sarana SDAharus dipelihara dan diles-tarikan untuk bisa “mampu-pulih”. Nilai manfaat air ditin-jau dari dua sisi ini harus ber-keseimbangan. Sehingga kitatidak mengeksploitasi air atauSDA tanpa mengindahkan ke-seimbangan ekosistem dandaya pulihnya.

Dari uraian ini, jelas bah-wa faktor pengikat dalam eko-sistem SDA adalah SWS di manaberbagai kepentingan tertum-pu, baik kepentingan yangmendukung, maupun kepen-tingan yang bertentangan de-ngan pengelolaan SDA ber-kelanjutan. Keseimbangan an-tara nilai manfaat air dari sisiPemerintah seyogyanya samadengan nilai manfaat air darisisi pengamanan dan peles-tarian. Bila nilai manfaat lebihbesar, maka pengamanan danpelestarian SDA akan lebihmudah. Namun jika nilai man-faat penyedia lebih besar, makaPemerintah perlu memberikan

subsidi.Sebagai ilustrasi, dari

kajian dengan pendekatan Ana-lisis Nilai Manfaat (Studi NIMAoleh Direktorat PPSDA,1998), disimpulkan bahwaupaya pendayagunaan air biladilakukan dengan mengem-balikan pemulihan biaya O&Pinfrastruktur, termasuk biayapengamanan dan pelestarianSDA masih dapat tertutupi bia-yanya. Namun demikian, di-lihat dari segi kontribusi sektorSDA untuk penggalian pen-dapatan daerah atau untukkeuntungan pengelola, nam-paknya tidak fleksible, sehinggapenerapannya ke depan perludikaji dengan lebih hati-hati.Tentunya kita tidak akan meng-eksploitasi SDA untuk menggalipendapatan atau keuntungansemaksimal mungkin denganmengorbankan lingkunganatau ekosistem SDA.

IV. KONTROVERSIPRIVATISASI

4.1. Peluang PrivatisasiPengelolaan SDA?

Dalam konteks penge-lolaan SDA dilihat dari sisi hak-guna-usaha sebagaimana argu-mentasi atas status air sebagai

Page 34: BOOK Volume2nomor2September2005

33������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

benda sosial yang mempunyainilai ekonomi, meskipun secarateoritis masih ada peluanguntuk dikuasai oleh peroranganatau investasi swasta (aliasprivatisasi) namun kemung-kinan ini hanya menyangkutSistem Pengembangan Air Mi-num (SPAM) pada daerah, wila-yah, atau kawasan yang belumterjangkau pelayanan BUMD/BUMN. Tetapi pada kenya-taannya hal ini pun hampirtidak mungkin terjadi meng-ingat bahwa sistem perizinanmemerlukan persyaratan yangsebelumnya harus dikonsul-tasikan kepada masyarakat,agar tidak merugikan atau me-rampas hak-guna air yang di-miliki masyarakat. Sekalipundemikian, peluang kecil initidak dapat dikesampingkanbegitu saja, sehingga hal initetap perlu senantiasa dicer-mati dalam proses penerbitanizin hak-guna-usaha melaluisistem perizinan yang trans-paran dan akuntable terhadappublik, khususnya dalam usahaswasta untuk pengelolaan airminum.

A. Privatisasi dan PeluangMonopoli

Dalam konteks pengusa-haan SDA dengan karakteristikyang dimilikinya sebagai bendasosial yang mempunyai nilaiekonomi, SDA yang terdiri dariair, sumber air, dan daya airyang terkandung di dalamnya,maka pengelolaan SDA melaluisistem hak guna mempunyaipeluang –meskipun sangat tidakmudah– bagi keikutsertaandunia usaha/swasta dalampengusahaan air dan SDA, yangbila penanganannya kurangtepat dapat menimbulkan ke-tidakadilan.

Untuk itu, menjadi ke-harusan untuk ditegaskan ke-pada setiap pemohon hak-gunausaha air tentang fungsi sosialdan kelestarian lingkungan hi-dup yang ada pada setiap hakguna usaha yang diperoleh. Disamping itu, untuk skala yanglebih besar yang meliputi peng-usahaan SDA permukaan dalamsatu wilayah sungai hanya da-pat dilaksanakan oleh BUMNatau BUMD di bidang penge-lolaan SDA atau kerja samaBUMN dengan BUMD. Lebihjauh, bahwa SDA selain yangberada di permukaan (air ta-nah, mata air, air permukaanyang dialokasikan misalnya

Page 35: BOOK Volume2nomor2September2005

34 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

untuk PDAM), pemanfaatanwadah air pada suatu lokasitertentu (arung jeram, navi-gasi, rekreasi sekitar waduk/situ/danau), dan pemanfaatandaya air pada suatu lokasi ter-tentu (PLTA) semua ini harusdiatur dengan persyaratanyang ditentukan dalam per-izinan sebagai hak-guna-usahayang juga diselenggarakan se-cara terbuka dan akuntabelterhadap publik.

Jadi lebih jelas lagi bah-wa dalam konteks sistem penge-lolaan SDA wilayah sungaisecara terpadu, maka peng-usahaan SDA (hanya olehBUMN/BUMD) dan sekaliguspenyelenggaraan kegiatan kon-servasi, pengendalian dayarusak air dan pedayagunaan airdi wilayah sungai untuk meme-nuhi berbagai sektor yaitu: 1)air untuk manusia, 2) air untukpangan/irigasi, 3) air untukalam/ekosistem, 4) air untukpenggunaan lainnya –antaralain untuk industri atau PLTA—di mana semua pengguna me-nerima alokasi/kuota air ter-tentu kuantitasnya dengansyarat memperolehnya dengansistem hak-guna-pakai dan hak-guna-usaha air kepada per-

orangan atau badan usaha de-ngan persyaratan yang ketat.Dengan pengaturan sepertidiuraikan di atas maka ke-khawatiran adanya privatisasidalam arti perusahaan publikBUMD/PDAM sahamnya dijualkepada swasta tidaklah ber-alasan. Jadi dapat disimpulkanbahwa sistem pengusahaanSDA dan hak-guna-air dengandemikian dapat mendukungpemenuhan kebutuhan pokoksehari-hari akan air tanpa adakekhawatiran terjadinya priva-tisasi dan monopoli yang dapatmerugikan hak-hak perorang-an.

V. PENDEKATAN HAK-GUNA-AIR

5.1. Tinjauan HistorisSecara historis, pene-

rapan pengaturan hak-guna-airsebenarnya secara historistelah lama berjalan sebelumkemerdekaan Indonesia yaitusejak periode zaman kerajaandahulu; sebagai contoh sudahada Irigasi Subak di Bali padaabad ke-11. Pada waktu itufasilitas irigasi direncanakan,dibangun serta dioperasikandan dipelihara oleh komunitasdesa. Kerajaan tidak mencam-

Page 36: BOOK Volume2nomor2September2005

35������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

puri irigasi desa. Komunitasdesa menjamin hak anggotanyamenggunakan air tanpa menge-sampingkan kewajiban-kewa-jibannya. Untuk irigasi lebihbesar dari 150 ha kerajaanmembantu komunitas desauntuk membangun bangunanyang tidak sanggup dibangun/dikerjakan oleh komunitas pe-tani. Periode penjajahan Be-landa 1800–1945 dengan ber-lakunya tanaman paksa di In-donesia pada waktu itu, peme-rintah Belanda membangunjaringan irigasi besar dalamrangka mengairi tanam tebuuntuk gula yang sedang di-gandrungi di pasar dunia (Ero-pa) waktu itu.

A. Sistem Hak-Guna-Air diKawasan Asia Pasifik

Terkecuali Singapura,hampir semua negara di kawa-san Asia–Pasifik menggunakanprinsip hak-guna-air (waterrights) yang dapat dibedakanatas lima macam kategori yak-ni: (1) Property Rights, (2) Li-censes or permits, (3) Officialauthorizations, (4) Traditionalwater rights (written form)dan (5) Other inclusive tradi-tional water rights in unwrit-

ten form, dengan penerapanyang berbeda-beda di berbagainegara di kawasan tersebut.Negara-negara bekas jajahanInggris pada umumnya merekamenerapkan property rights,license dan official authoriza-tion, kecuali Singapura tidakmengenal sistem “hak-guna-air”.

B. Hak-Guna-Pakai versusHak-Guna-Usaha

Hak-guna-air untuk me-menuhi kebutuhan pokok se-hari-hari, pertanian rakyat, dankegiatan bukan usaha disebut“hak-guna-pakai air”, sedang-kan hak-guna air untuk meme-nuhi kebutuhan usaha, baikpenggunaan air untuk bahanbaku produksi, maupun pe-manfaatan potensinya disebut“hak-guna-usaha air”.

Hak-Guna-Pakai. Airuntuk memenuhi kebutuhanpokok sehari-hari dan bagipertanian rakyat dengan volu-me air setara untuk kebutuhansawah seluas maksimum 2,00ha yang berada di dalam sistemirigasi, diperoleh tanpa izin.Hak-guna-pakai air tanpa izinini dapat diartikan sebagai hakasasi perorangan yang dijamin

Page 37: BOOK Volume2nomor2September2005

36 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

oleh negara seperti yang ter-maktub pada Pasal 28C ayat (1)UUD 1945.

Hak-Guna-Usaha. Airdiberikan kepada peroranganatau badan usaha dengan izindari pemerintah dan peme-rintah daerah dengan persya-ratan yang ketat, termasukbidang pengawasan, pengadu-an masyarakat atas mutu pe-layanan pengusahaan air, wajibkonservasi dan peningkatankesejateraan masyarakat se-kitarnya, ketentuan konsultasipublik, akuntabilitas, dan ke-ikut-sertaan usaha kecil danmenengah.

Hak-guna-usaha air de-ngan cara tersebut di atas disatu sisi memberi peluang pe-manfaatan air untuk pening-katan pertumbuhan ekonomidengan terpenuhinya kebu-tuhan air untuk berbagai keper-luan usaha sedangkan di sisi lainkewajiban perorangan/badanusaha diatur secara ketat agartidak mengurangi hak asasiperorangan atas air untuk me-menuhi kebutuhan pokoknya.Pengaturan ini lebih jauh dapatdiartikan sebagai efisiensi ber-keadilan dalam pengelolaanSDA.

Hak-guna-usaha seba-gaimana yang diatur dalam UUSDA tidak dapat disamakandengan dengan hak guna usahadalam hukum agraria, karenaeksistensi “benda” airnyasendiri bersifat volumetrik dantidak bersifat teritorial. Jadidalam kaitan ini hak guna usahadiberikan atas dasar kegunaan,sementara hak-guna pakai me-rupakan hak asasi. Oleh kare-nanya tidak tepat untuk meng-atur akses atas SDA dalam duahak yang setara yaitu hak-gu-na-pakai air yang sifatnya asasidan hak-guna-usaha air (bukanseperti hak penambangan sum-ber daya alam bersifat statis),yang diatur melalui mekanismeperizinan.

Selanjutnya, untuk men-cegah penyalahgunaan hak-guna-air berupa “hak-guna-pakai” dan “hak-guna-usaha”perlu penegasan bahwa haltersebut tidak dapat disewakanatau diperdagangkan sebagianatau seluruhnya. Penggunaaninstrumen hak-guna-air men-dasar dalam memberi kejelasankedudukan hukum seseorangatas air sejalan dengan jiwa dansemangat Pasal 28C ayat (1)UUD 1945. Kalau hanya atas

Page 38: BOOK Volume2nomor2September2005

37������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

dasar izin saja, maka penggunaair untuk kebutuhan pokoksehari-hari akan dikalahkanoleh pengguna untuk usahadengan demikian malahan hakasasi seseorang atas air untukkebutuhan pokok sehari-hariakan sulit dijamin oleh peme-rintah.

5.2. Peranan Dewan SDAUntuk melaksanaan pe-

ngelolaan SDA berbasis hak-guna-air, maka perlu adanyasuatu dewan yang merupakanpenjelmaan negara dalam kon-teks penguasaan negara atasair, sebagai amanat Pasal 33ayat (3) UUD 1945. Dewan inimempunyai tugas koordinasidan juga tugas merumuskankebijakan pengelolaan SDA.Kebijakan pengelolaan SDAapabila ikut dirumuskan olehdewan yang anggotanya seim-bang antara pemerintah, dannon pemerintah, dapat mewa-kili aspirasi masyarakat. Bahwapengusahaan SDA dan hak-gu-na-usaha air mendukung per-tumbuhan ekonomi, memangsangat benar, namun eksis-tensinya tidak mengarah ke-pada “privatisasi” apalagi “mo-nopoli” air atau SDA.

Menyadari keikutserta-an swasta dalam pengusahaanair dan SDA dapat menimbul-kan ketidakadilan oleh mono-poli SDA, maka perlu adanyapengaturan mengenai pene-kanan pada fungsi sosial dankelestarian lingkungan hidup,penegasan pengusahaan SDApermukaan yang meliputi satuwilayah sungai hanya dapatdilaksanakan oleh BUMN-BUMD, dan penggunaan airpada suatu lokasi tertentu mi-salnya mata air atau air yangdialokasikan ke PDAM lalu pe-manfaatan wadah air pada lo-kasi tertentu antara lain arungjeram atau navigasi dan pe-manfaatan SDA pada suatulokasi tertentu misalnya PLTA.Semua ini diatur dengan per-izinan sebagai hak-guna-usaha.kepada perorangan atau badanusaha dengan persyaratan yangketat melalui instrumen ke-bijakan yang ditetapkan olehDewan SDA.

A. Kearifan Lokal Bidang SDADalam praktek irigasi di

pedesaan dikenal berbagai ke-arifan lokal yang memung-kinkan terjadinya interaksiantar individu, antar kelompok

Page 39: BOOK Volume2nomor2September2005

38 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

dalam suatu sistem irigasi, danantar kelompok masyarakatdalam sistem irigasi yang ber-beda dalam suatu DAS. Dalamsistem interaksi tersebut peng-gunaan air antar individu atau-pun antar kelompok dapat di-pertukarkan pada suatu musimataupun antar musim berda-sarkan prinsip kepercayaantimbal balik (mutual trust) danada sanksi-sanksi yang dilaksa-nakan berdasarkan norma yangberlaku setempat. Pengawasanterhadap proses yang berlakudilaksanakan secara kolektifdan transparan dan pengam-bilan keputusan yang dilakukanbersama didorong oleh rasatanggung jawab bahwa SDAadalah kepentingan bersamayang perlu dipelihara denganbaik.

Asas lain yang sangatpenting dalam pengelolaanirigasi adalah berbasis keadilandalam pembagian air. Banyakcontoh irigasi yang dibangunmasyarakat setempat mewaris-kan rancang bangun pemba-ngunan dan pengelolaan irigasiyang mencerminkan keadilanpembagian air yang dihubung-kan dengan antara lain luasnyalahan yang diairi. Pembagian

air proporsional secara konsis-ten dilakukan pada berbagaijenjang sistem irigasi. Contohyang baik untuk ditampilkanadalah Irigasi Subak di Baliyang rancang bangunnya me-mudahkan pengawasan bagisetiap anggota Subak. Prinsipkeputusan yang demokratispada tingkat karama subakmemperkuat pandangan bahwaSistem Subak dikelola sebagaisuatu budaya kearifan lokalmandiri “self governing sys-tem” yang telah mengakar dimasyarakat selama ratusantahun (Gany, 2001).

VI. KEBERLANJUTAN,DEMOKRATISASI & ROLESHARING

6.1. KeberlanjutanPada hakekatnya, prinsip

“keberlanjutan” –tidak terke-cuali dalam bidang penge-lolaan SDA— akan berlangsungbila sudah terbentuk harmo-nisasi keseimbangan interaksi(khususnya aspek pendanaan)antara “lingkungan”, “ekono-mi” dan “masyarakat”. Untukitu, umumnya dikenal dua ke-lompok pendekatan keber-lanjutan yakni: “tradisional”dan “non-tradisional”. Pen-

Page 40: BOOK Volume2nomor2September2005

39������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

dekatan “tradisional” yang me-nerapkan interaksi timbal balikantara pemerintah, pasar danmasyarakat-perorangan, umum-nya tidak berkelanjutan antaralain karena: (1) Tidak terfokuskepada pendekatan interdisipli-ner; (2) Instansi bekerja secaraterisolasi; (3) Terlalu banyaktumpang tindih kewenangan;(4) Konsultasi sangat terbatas;(5) Pendekatan top-down; (6)Pasar dikendalikan pemerin-tah; dan (7) Kurang efektifpenataan administrasi, moni-toring, penegakan hukum, dantidak efektifnya insentif bagi“para-pihak” pemilik kepen-tingan atau stakeholder.

Sebaliknya, pendekatan“non-tradisional” yang mene-rapkan interaktif antara “para-pihak” pemilik kepentinganatau stakeholders sebagai sen-tral dengan pemerintah, pasar,LSM dan masyarakat perorang-an mempunyai peluang keber-lanjutan –meskipun begitu,belum banyak dijumpai “con-toh-sukses” yang sepenuhnyaberhasil— antara lain karenaberbagai kendala: (1) Sulit men-dapatkan wakil stakeholderyang representatif; (2) Sulitmencapai konsensus; (3) Pro-

sesnya membutuhkan biaya,waktu dan kesabaran; (4) Ter-batasnya kertampilan khususdalam membangun konsensus,fasilitasi, negosiasi, mediasi,dan arbitrasi atau perlindung-an hukum.

6.2. DemokratisasiPendekatan demokra-

tisasi yang pada dasarnya me-nerapkan harmonisasi interaksiantara semua unsur dalamsuatu tata pemerintahan ber-negara; eksekutif, legislatif,yudikatif, dan tata pemerin-tahan di satu sisi; dan kon-sumen, dunia usaha, konsti-tuensi organisasi, LSM, danindividu, rumah tangga dankelompok masyarakat, di sisilainnya. Ini berlaku juga bagipengelolaan SDA, dan hanyabisa berhasil bila pelaksanaanmemenuhi prinsip dasar: (1)Mengakomodasikan nilai dannorma masyarakat konstituen;(2) Pendekatan produktif dan“cost-effective”; (3) Pelibatanpara pihak pemilik kepentingan(stakeholder) dengan aksesinformasi lengkap, tepat dantransparan; (4) Menganut prin-sip keadilan dan keterbukaan.

Page 41: BOOK Volume2nomor2September2005

40 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

6.3. Role-sharing DalamPengelolaan SDA

Untuk menjamin demo-kratisasi dan keberlanjutanbidang pengelolaan SDA, makapembagian peran, hak, wewe-nang, pendanaan, dan akun-tabilitas bagi “para pihak” ha-rus benar-benar terdefinisisecara jelas, lengkap, kongkretdan transparan serta disepakatipara-pihak melalui konsensusyang diformalkan melalui ke-bijaksanaan nasional, regionalmaupun lokal. Kesepakatanrole-sharing dapat dirumuskanmelalui pendekatan matriksdengan strata penyelenggara disisi sumbu vertikal: (1) Peme-rintah pusat; (2) Pemerintahdaerah provinsi; (3) Peme-rintah daerah kabupaten/kota;dan (4) Pemerintah desa danrepresentasi masyarakat me-lalui perwakilannya. Role-shar-ing lebih lanjut harus dilaksa-nakan dalam konstelasi keseim-bangan yang adil dan trans-paran dengan penekanan ke-pada cost-sharing (pembagiankontribusi biaya), benefit-shar-ing (pembagian nilai manfaat),dan risk-sharing (pembagiannilai resiko) secara bersama.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN7.1. Renungan Ke Depan

Dari rangkaian uraianterdahulu sangat jelas pesandan argumentasinya untuk me-narik kesimpulan bahwa kebe-radaan UU No. 7 Tahun 2004dalam khasanah perundang-undangan Indonesia, mema-suki era globalisasi, cukup am-puh dan signifikan memberikanlandasan dan perlindunganhukum yang cakupannya lebihluas dibandingkan dengan duaUU sebelumnya. Namun demi-kian, setelah lolosnya UU ter-sebut dari “uji formil’ dan “ma-teriil” (judicial review) MK RI,kini terbentang tantangan yangjauh lebih besar dalam meng-hadapi permasalahan pemba-ngunan dan pengelolaan sum-ber daya alam air di masa seka-rang dan yang akan datang,yang memerlukan bukan hanyasekedar “kemampuan” pema-haman yang lebih jernih, tapilebih dari itu, adalah “kemau-an”, komitmen dan langkahtindak nyata untuk mengetahuihakekat permasahan yang di-hadapi dan dalam menentukanagenda dan langkah-langkahpembangunan yang tepat un-tuk mewujudkan pemanfaatan

Page 42: BOOK Volume2nomor2September2005

41������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

air dan SDA untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat se-bagaimana diamanatkan olehUUD RI Tahun 1945.

Berkenaan dengan tin-jauan ekonomi dan pengusaha-an air dan SDA, dari rangkaiananalisis dan bahasan dalamuraian ini, dapat ditangkappesan bagaimana rumitnyamekanisme analisis ekonomimaupun sosial dan finansialuntuk penetapan kontribusipengelolaan SDA. Kenyataanini harus benar-benar “disa-dari” oleh semua pihak, agar“ekstra hati-hati” dalam me-nangani pengelolaan SDA ditengah-tengah maraknya eu-foria “otonomi daerah”, demo-kratisasi, transparansi, wacanaprivatisasi dan hak-guna-air,serta wacana role sharing yangberkembang.

Menyimak ilustrasi ana-lisis nilai manfaat air yang di-sajikan pada uraian ini, namunsetidaknya sudah dapat mem-berikan berbagai indikasi bah-wa pengelolaan, pendayagu-naan dan pelestarian sertapengamanan SDA tidak dapatdiperlakukan sebagai arena“pengusahaan lepas” untukmenggali pendapatan atau

mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa resiko meng-ganggu keseimbangan dan ke-lestarian ekosistem, apalagibila akan dihampiri dengan“sistem privatisasi” dan “hakguna” yang mengarah kepada“monopoli” air maupun SDA.

Dalam konteks “hak-gu-na-usaha” bidang SDA tidakdapat disamakan dengan de-ngan hak-guna-usaha dalamhukum agraria, karena bendaairnya sendiri bersifat volu-metrik dan tidak bersifat teri-torial. Jadi dalam kaitan inihak-guna-usaha diberikan atasdasar kegunaan, sementarahak-guna-pakai merupakan hakasasi yang melekat.

Fungsi air dan sumber airyang diciptakan untuk menun-jang kehidupan manusia mem-bawa konsekuensi keterlibatansemua pihak –langsung mau-pun tidak langsung— dalampengelolaan, pelestarian danpengamanannya. Sementaraitu, air sebagai “benda sosial”(social good) yang mempunyai“nilai ekonomi” (economicvalue), juga tidak kalah pen-tingnya mempunyai nilai “ke-hidupan” yang tidak secaralangsung dapat diperjual-beli-

Page 43: BOOK Volume2nomor2September2005

42 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

kan, atau dianggap sebagaifaktor produksi yang inde-penden.

Sebagai konsekuensinya,adalah mutlak untuk mena-namkan pengertian kepadasemua pihak bahwa dalam me-ngusahakan air sebagai “publicgood” kita tidak boleh hanyamelihat faktor penghasilan ataukeuntungan (profit sharing)saja secara terpisah, tetapiharus memandang aspek “rolesharing”, “cost sharing”, “pro-fit sharing” dan “risk sharing”secara utuh dan menyeluruhyang pada gilirannya bermuarakepada “akuntabilitas publik”.

Bagaimanapun juga, air(sebagai anugerah Tuhan ke-pada umat manusia) tidak dapatdiperlakukan sebagai “produkkomersial” untuk diperjual-belikan. Kalau ada biaya yangterlibat di dalamnya, itu ha-nyalah semata-mata untukmenutupi upaya “pelayananpublik” dan sekaligus untukmenutupi “biaya konservasidan pelestarian” SDA sebagaidua sisi mata uang dari “pem-bangunan SDA berkelanjutan”yang tidak dapat dipisah-pisah-kan.

Dari uraian tersebut diatas, dapat dibayangkan bagai-mana rumitnya sel-sel “role-sharing SDA” yang harus didefinisikan melalui konsensus“desentralisasi” dan “otonomidaerah” dan pendelegasian pe-ran kepada pihak yang akandiberi tanggungjawab mena-ngani pengembangan dan pe-ngelolaan bidang keairan atauSDA. Sekali menetapkan bentuksegmentasi yang bertentangandengan kaidah-kaidah “condi-tio-cine-qua-non” SDA, makaakan segera membawa berbagaikonsekuensi “kegalauan” yangberkepanjangan. Kalau tidaktertangani secara arif, maka halini sangat potensial menjadi“pemicu” disintegrasi bangsabesar yang telah lama menga-nut filosofi wawasan nusantara,“Tanah Air Indonesia”, di satusisi, dan mala petaka bagi ke-hidupan manusia di sisi lain-nya. Hal ini menjadi tantangansekaligus tanggung jawab bagikita semuanya, tanpa terke-cuali.

7.2. RekomendasiSetelah lolosnya UU No.

7/2004 tentang SDA ini daridari “uji formil dan materiil”

Page 44: BOOK Volume2nomor2September2005

43������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Bank Dunia, 1993. Water Re-sources Management, AWorld Bank Policy Paper,The World Bank, Washing-ton, Distric of Columbia.,USA.

Barber, W. and S. Scheierling,1992. Water Resources ofthe Developed Countries.World Bank, Paper 7, Asia.

Burchi, Stefano, 1989. CurrentDevelopments and Trendsin Water Resources Legis-lation and Administrati-on. Paper presented at the3rd Conference of the Inter-national Association forWater Kaw (AIDA) Alican-te, Spain: AIDA, December11-14, 1989.

BAPPENAS/ADB, and Ministryof Public Works, 1998.Assessment of Options forSustainable Irrigation inIndonesia, 1998. A Com-prehensive Study of theIrrigated Agriculture Pu-blic Sector in Indonesia,Jakarta.

Departemen Pekerjaan Umum,1989. Permen PU No. 39/PRT/1989 tentang Pene-tapan 90 SWS di Indo-nesia.

Departemen Pekerjaan Umum,1993. Permen PU No. 67/PRT/1993 tentang ”Pem-bentukan Panitia TataPengaturan Air (PTPA)dan Panitia Pelaksana Ta-

ta Pengaturan Air Wila-yah Sungai (PPTPA).

Direktorat Jenderal Pengairan,1985. Pedoman Pelaksa-naan Proyek-proyek Studidan Pengkajian (PSA 001),Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengairan,1985. Pedoman Penetap-an Ketersediaan SumberDaya Air, Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengairan,1986. Standar Perenca-naan Irigasi (KP-01-06),Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengairan,1994. Jabotabek WaterResources ManagementStudy (JWRMS), Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengairan,dan BAPPENAS, 1992.Water Resources for Sus-tainable Use in Indonesia,Proceeding of Interna-tional Seminar Sponsoredby the National PlanningAgency and the Ministryof Public Works, Cisarua,Bogor, West Java, Indo-nesia October 29 - Novem-ber 1, 1992.

Direktorat Jenderal Pengairan,1994. Pedoman Penetap-an Alokasi Air berdasar-kan Wilayah Sungai, JavaIrrigation Improvementand Water Resources Ma-nagement Project, DHVConsultant in associationwith PT. Yodya Karya, PT.

Page 45: BOOK Volume2nomor2September2005

44 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Gamma Epsilon, and PT.Bhakti Weredha-tamaKonsultan, Jakarta, De-cember 1994.

Direktorat PPSDA, 1998. Pe-nyiapan Tata Cara Per-hitungan Nilai ManfaatAir. Laporan Akhir olehPT. Satyakarsa Mudata-ma, Konsultan Teknik danManajemen, Proyek Pe-ningkatan PengelolaanSDA, Februari 1998.

Gany, A. H. A., 1994. Penge-lolaan Sumber Daya AirTerpadu dan Berkelanjut-an, Majalah PekerjaanUmum, Edisi Khusus No.03/1994/XXVII, Jakarta.

Gany, A. H. A. et. Al., 2004.Irrigation History of Indo-nesia, Jakarta: DirektoratJenderal Sumber DayaAir, Departemen Kimpras-wil, bekerjasama denganKomite Nasional Indone-sia International Commissi-on on Irrigation and Drain-age (KNI-ICID), Agustus2004.

Gany. A. H. A., 2001. SubakIrrigation System: An An-cient Heritage of Parti-cipatory Irrigation Mana-gement in Modern Indo-nesia, Puslitbang SDA,Bandung, 2001.

Kantor Meneg. LingkunganHidup, 1997. Agenda 21Indonesia. National Stra-

tegy for Sustainable Deve-lopment, Jakarta, Maret,1997.

Departemen Pekerjaan Umum,BAPPENAS dan JICA,1993. The Study for For-mulation of Irrigation De-velopment Program in theRepublic of Indonesia -FIDP.

Republik Indonesia: UU No.22/1999 tentang Pemerin-tahan Daerah; UU No. 25/1999 tentang Keseimbang-an Pendapatan Pusat danDaerah; UU No. 11/1997tentang Pengairan; UU No.32/2004 tentang Peme-rintahan Daerah; UU No.7/2004 tentang SDA; PP22/1982 tentang TataPengaturan Air; PP No.23/1974 tentang Irigasi;PP No. 20/1990 tentangPengendalian PencemaranAir; PP No. 29/1986 ten-tang AMDAL; PP No. 35/1991 tentang Sungai; PPNo. 27/ 1991 tentang Ra-wa; UU No. 11/1967 ten-tang Pertambangan; UUNo. 5/1984 tentang Per-industrian; dsb.

Wirosoemarto, Soebandi, 1998.Perkembangan Pemba-ngunan Pengairan di In-donesia, Jakarta.

Page 46: BOOK Volume2nomor2September2005

45Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

INDONESIA’S WATER RESOURCES POLICY:Effects of Globalization

andWorld Bank Policy*

Oleh NADIA HADADCampaigner for INFID

On July 19, 2005, the Constitutional Court of the Re-public of Indonesia rejected a petition from a numberof NGOs and individuals to annul and/or drop somearticles in Law No. 7/2004 on Water Resources. One ofthe Law’s articles was considered by the petitioner highlycontradictory to article 33 paragraph (3) of the 1945 Consti-tution, i.e. article 7 paragraph (1) regarding water conces-sion which was derived from article 6 paragraph (4) regard-ing water utilization right. Other articles of the Water Re-sources Law that would encourage privatization were alsoseen as conflicting with article 33 (3) of the Constitution, andthese included articles 9, 10, 26, 45, 46 and 80.

Page 47: BOOK Volume2nomor2September2005

46 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

The law, which was ap-proved by the Indonesian Par-liament in February 2004, havebeen a controversial issue,debated by many parties, eversince it was drafted and es-pecially when the draft law wasdiscussed by the parliament tobe legalized. Those who were inopposition to the new waterlaw, contending that it is es-sentially pointing towardsprivatization of Water Resour-ces where water is consideredas tradable goods with eco-nomic value. This could lead toa domination of water marketby the private sector, whichwill lead to higher prices thatlimit the people’s access towater. While those who are insupport of privatization arguethat public water utilities and/or governments are inefficientand unable to provide ade-quate supply of water to thepeople.

Moreover, oppositionstook place because the need fora new comprehensive law onwater resources for Indonesia,was triggered by a loan packa-ge program from the WorldBank, known as WATSAL (Wa-ter Resources Sector Adjust-ment Loan). Thus, the US$ 300

million loan to restructureIndonesia’s water sector meantthe country must legislate pri-vate sector involvement inwater management and watersupply. This of course, canharm the Indonesian peopleand make it even harder for thepoor to be able to access waterfor their daily needs.

Basically, the percep-tion of the Constitutional Courtto water resources is not verydifferent with the perception ofthe petitioner, which is, wateris a social commodity, no indi-vidual/group can control it, andit is considered a human right.This is reaffirmed by the relationof the state to water, which is,the state should respect,protect, and fulfil the right towater. However, according tothe Constitutional Court, con-trol over water can be conduc-ted by anyone, including theprivate sector. Here, it seemsthat the private sector is per-ceived as an entity that willconsider the interest of manypeople and prioritize its socialfunction rather than its econo-mic function. This is in spite ofthe fact that the private sectoris a business entity and it willcertainly prioritised profits.

Page 48: BOOK Volume2nomor2September2005

47Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

BACKGROUND

Albeit worldwide cleanwater crisis, clean water isprivatised, traded as com-modities and exported in manycountries. This happens be-cause water is considered aseconomic goods that can betraded and not as social goodswhen the fact is water is theessential needs of every livingbeing in this planet. The stateshould guarantee access forclean water for the people andwater should be considered aspublic property. For this rea-son, many countries have theirwater resources and clean wa-ter service managed by publiccompanies, for example PDAM(local government-owneddrinking water company) inIndonesia.

In later years alongwith the development of globalwater industry, water tends tobe deemed as commercialgoods. Profit-oriented trans-national corporations (TNCs)started to gain rights to waterresources in its managementand services and Governmentsstart handing over their res-ponsibility of providing cleanwater for the people to these

giant corporations. Thus thetrend of water PRIVATI-SIZING. Government or publiccompanies are supposedly in-capable, or inefficient in ser-ving clean water for the people.

Is it true that the Go-vernment or public companiesare incapable or inefficient?Even when the answer is yes,should the solution be handingit over to private sectors? Inreality water resources mana-gement by private sectorspresents its own problems.Private companies follow a‘full-cost recovery’ system,which means trying to gain themoney or cost they invest backor reaping benefits, withoutcaring too much about people’sability to purchase, especiallypoor people. Take a real exam-ple of the water privati-sationcase in Jakarta, when PAM-Jaya (Greater Jakarta drinkingwater company) was takenover by Thames Water Over-seas Ltd (then operates undera local company called PTThames PAM Jaya) and Suez(operates under PT PAM Lyon-naise Jaya), did not solve pro-blems but created new ones.Efficiency and service qualitydid not increase or improved.

Page 49: BOOK Volume2nomor2September2005

48 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

These mishaps happenas a result of economic globali-sation, specifically the invol-vement of International Finan-cial Institutions such as theWorld Bank, IMF and also WTO,which hold big roles in leadingthe way for big corporations totake over water businesses allover the world, including Indo-nesia, by creating policies andconditionalities along with themoney they lend. For Indo-nesia, these conditions areentrenched in a loan packageprogram to restructure waterresources in Indonesia, WAT-SAL (Water Resources SectorStructural Adjustment Loan).Through WATSAL, Indonesianwater resources is directed toprivatisation. The Water Lawwas one of the important con-ditions for the Government tofulfil before granting loan dis-bursements.

This paper will try toraise various issues and opi-nions mentioned above, dis-cussing a range of pheno-menarelating to water resourcesproblems such as globali-sation, privatisation and watertrading. This paper will also tryto explain global trends ofwater resources privatisation

and supporting policies beforeentering the Indonesian con-text where MDBs policies es-pecially the World Bank sup-ports privatisation in Indo-nesia. Starting with WATSALwhose principals are adoptedby the Indonesian Governmentand its implementation efforts.Finally this paper will try toanalyse the impacts caused byparadigm shift in managingwater resources towardsprivatisation and recommendto minimise negative impacts.

A. WATER RESOURCES: ACOMPLICATEDMATTER

The above phenomenaare happening all over theworld and not only in Indo-nesia. To date, we are ex-periencing clean water crises.Water resources are pollutedand exploited. According tothe UN, 1.3 billion people inthe world have not enoughaccess to clean water and 2.5billion do not have adequatedisposal and sanitation sys-tem. There are 31 countries allover the world that is stated toexperience water deficit. Cleanwater needs increase two folds

Page 50: BOOK Volume2nomor2September2005

49Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

in 20 years (twice the numberof world population growthrate) while pollution rate in-crease and water resources aredrained and exploited by bigcor-porations for their ownneeds.

The situation is so bad,the UN needs to give its atten-tion to world water conditionand assign 23 institutions head-ed by UNESCO and inter-national convention secre-tariats to prepare a compre-hensive report on the most up-to-date world clean water con-dition and data. The result isthe “World Water Develop-ment Report – Water for Peo-ple, Water for Life” launchedand presented at the thirdWorld Water Forum in Kyoto,Japan, 16-23 March 2003. Theyear 2003 is “InternationalYear of Fresh Water”. Cam-paign message conveyed is forwater to be used as peaceagent. The UN hopes to findglobal solution and agreementto achieve “water peace” andnot “water wars”.

UNESCO Director Ge-neral, Koichiro Matsuura, saidthat despite numerous inter-national conferences discus-sing water shortage, there is a

lack of political commitment tosolve the problem. Moreover,many international targets aremade in order to improve wa-ter resources management,but according to the report,almost none are met.

Many countries andareas in the world have reach-ed a critical stage. Availabilityof renewable water resourcesper country per capita, from alist of 180 countries, lastranking countries (ranks 176through 180) are Kuwait, GazaStrip, United Arab Emirates,Bahamas, and Qatar. Indonesiais listed at number 58, where13,381 m3 of water is availableper annum per capita of Indo-nesian population.

Even though Indonesiastands at a tolerable rank forwater availability, comparedto Kuwait (only 10m3) or theUnited Arab Emirates (58m3),but Indonesian water quality isat a quite worrying rank, thatis, 110 from 122 listed coun-tries. This means, pollutionrate, disposal system and sani-tation are at such appalling ratesuch that guarantee for thepeople to get clean water isvery low.

Page 51: BOOK Volume2nomor2September2005

50 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Water problems in In-donesia are critical. To gua-rantee sustainable water avai-lability there needs to be good,integrated and professionalmanagement efforts. Main pro-blems in water resources mana-gement in Indonesia amongothers are:

(1) Local scarcity in waterallocation for various sec-tors due to increasing po-pulation and increasingdemand for clean water,especially in urban areas.Even though total supply ofclean water in Indonesia isquite high, around 13,000m3, but availability is notequal for every area. Forinstance Java, with only4.5% of national clean wa-ter potential, needs to sup-port 65% of Indonesia’spopulation of around 210million lives1. This resultsin water crises duringdrought seasons. On theother hand, clean waterdemand especially in Javaincrease every year. Ac-cording to the Ministry ofSettlement and RegionalInfrastructure projection,demand for clean water

between 1990 and 2020increase about 220%.

(2) Inadequate access to cleanwater from managementinstitution and inadequateurban clean water infra-structure to serve fast in-creasing demand. TheWATSAL document men-tioned that in urban areas,only about 40% of all urbanresidents get access topiped water. Therefore,people rely on ground wa-ter to fulfil daily needs andindustrial use. It is esti-mated that 80% of urbanand village clean waterneeds are supplied byground water while 90% ofindustry use ground wa-ter.2

(3) Careless planning pays noattention to environmen-tal sustainability and localculture caused stress to theenvironment. Whereas in-dustrialisation and urbani-sation adds to the stress.

Because of the abovecomplex water problems,there needs to be comprehen-sive, integrated inter-sectoral

Page 52: BOOK Volume2nomor2September2005

51Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Island Area (1,000 km2)

Potential surface

water (m3/s)

Potential Ground

Water (m3/s)

Low Flow

Available

Demand

Irrigation DMI Total Java/Bali 130 6199 95 786 950 124 1074 Nusa Tenggara 81 1777 21 90 70 3 73 Sumatra 470 23660 N/A 4704 271 26 297 Kalimantan 535 32279 N/A 6956 19 7 26 Sulawesi 187 2488 44 561 120 6 126 Maluku 78 3373 9 391 5 1 6 West Papua 414 28061 N/A 4140 2 1 1 Total 1904 97837 17628 1437 1168 1603

Table 1 Indonesian Water Resources Status 1999 by Island

Source: Ministry of Settlements and Regional InfrastructureComments:N/A: Not AvailableDMI: Domestic, Municipal and Industry

management policy, instituti-onal ability improvement andimplementation of environ-mental friendly developmentprograms. Various public ins-titutions especially the onesresponsible for providing cleanwater need to be reformed tobe more efficient in serving thepublic. What needs to be em-phasized is that any form ofreformation and issuance ofnew regulations needs to gua-rantee protection to people’srights to clean water.

This is where the debate starts.It is true that we need newregulation in managing waterresources in Indonesia. Un-fortunately, the drafting of LawNo. 7/2004 on Water Resour-

ces was not made because ofour own awareness but en-trenched within policies andpreconditions imposed by theWorld Bank and IMF. As inother countries in the world,their solution lies in prioritisingprivate sector’s role in waterresource management.

B.BACKGROUND ANDDEFINITIONSSince there are a num-

ber of important terms used inthe discussion of this papersuch as globalisation, privati-sation, commodification, wateras social goods, water as eco-nomic goods, the author feelsthe need to establish the defi-nition of each term, used by va-

Page 53: BOOK Volume2nomor2September2005

52 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

rious sources in the context ofwater resources management.

1. GlobalisationGlobalisation is a term that

recently comes up quite often.By definition it means a processof integrating and openinginternational market or trade.The whole process of globali-sation is full of controversyand raised concerns and debat-es on national sovereignty,corporate responsibility, jus-tice and equity for the worldpoor, and environmental pro-tection. The debate widen byincidents of extensive exploi-tation and clean water tradingby bottled water companies.Most important instrumentused in this case is GATS (Ge-neral Agreement on Trade inServices) in the WTO (WorldTrade Organisation).

2. PrivatisationPrivatisation in the water

sector is redirecting part or allasset or management frompublic companies that managewater resources (such asPDAM) to the private sector.There are many forms of waterresources privatisation. Onemethod is to hand over Go-

vernment responsibility to theprivate sector in managingclean water or going further asto surrender ownership rights.In more extreme cases, sellinglocal communities’ rights towater resources to the handsof private sectors. Recently,business opportunities fromgiant transnational corpora-tions (TNCs) in water privati-sation are rapidly increasingusing international financialinstitutions policies as ins-truments.

3. CommodificationCommodification is a pro-

cess of transforming goods orservices that was part or sub-ject of non-market social sys-tem into market system sub-jects3. In the globalisation andprivatisation process water(and water services) is trans-formed into commodities orsubject to market system with-out taking traditional cultureinto account. For example,drinking water in various pack-ages (mineral water, flavouredwater, glacier water, etc.). Inrecent times, packages drink-ing water business flourishedattracting more business into

Page 54: BOOK Volume2nomor2September2005

53Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

the sector and exporting waterfor commercial purposes.

4. Water as Social GoodWhat social goods mean

usually are goods that serve theneeds for communities and notjust individuals. Easily acces-sed and adequate supply ofclean water is vital to the liveli-hood of all living being in theface of earth, thus water associal goods.

For this reason, water sys-tems infrastructure is the ear-liest form of public service,before the establishment ofother public services such aselectricity, sanitation, etc.Since access to clean water isfundamental to human liveli-hood including the means toreduce various illnesses (UN1997), this access should beguaranteed by the state andmanaged publicly or by theGovernment. There are manyaspects to consider and protectin managing water resourcesand clean water services suchas public health and sustain-ability, protecting it from en-vironmental damage, etc.

When this responsibility ishanded over to the privatesector, these essential aspects

may not be taken into accountsince it brings no direct bene-fits to them.

5. Water as EconomicGoodWater was defined as eco-

nomic good since there wereshortages in clean water forbasic daily needs. In the early1990s, new thoughts were de-veloped using neo-liberal eco-nomic models that new policiesneeds to be introduced to over-come this problem. The Inter-national Conference on Waterand Environment in Dublin,Ireland, January 1992, fourprinciples known as the “Dub-lin Principles” was presented,one of these principles statedthat: “Water has an economicvalue in all its competing usesand should be recognized as aneconomic good”

From the four principles,this principle is the most debat-ed and rejected. The reason isbecause water is an essentialneed for living. Treating wateras commercial commoditythat bows to market systemswill marginalize poor people orones that cannot afford theprice of clean water.

Page 55: BOOK Volume2nomor2September2005

54 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Then what does it meanthat water should be recognisedas economic good? It meansthat water has a value to betraded or competed. Managingwater as economic good can beinterpreted as allocating waterfor competition by maximisingbenefit from an amount ofwater.4

B. WATER PRIVATISATION:ROLES OF THE WORLDBANK, IMF AND WTO

1. Why Privatisation?

a. Changing Paradigm fromPublic to Private

As mentioned previously,the whole phenomena of glo-bal privatisation cannot beseparated from the active rolesof IMF, World Bank, and for theAsian region including Indo-nesia, the ADB. Through polici-es referring to principles of theWashington Consensus5, suchas subsidy reduction, marketliberalisation, privatisationand deregulation, caused de-creasing public access to pub-lic services such as health,education, water, electricity.

Privatisation trend pro-moted by international finan-cial institutions only becamepopular in the early 1990s.Before this period, if we lookback to the period between the1960s and 1980s, World Bankloans to developing countriesin the water sector focused onthe development and improve-ment of public companies.During that time, loans areconcentrated on financing hu-ge infrastructure projects,since world economists be-lieved that investing in publiccompanies (state-owned com-panies such as PDAM) andinfrastructure projects wouldstimulate development. Intheory, state-owned and pub-lic companies are a form ofnatural monopoly when com-bined with fiscal and invest-ment stability that in the end isthe best strategy to spark offdevelopment.

This paradigm shifted in theearly 1990s. Why? Firstly,public companies are deemedincapable for fulfilling publicdemand for clean water. In oneof its working paper, the WorldBank stated that public sectormonopoly has been disappoint-ing. Public companies tend to

Page 56: BOOK Volume2nomor2September2005

55Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

fail in improving their servicequality along with the rapidincrease in public demand.

Secondly, giant transnational corporations saw pro-fitable prospects in the waterbusiness such that they in-crease their effort in takingover the world water business.

Ever since the issuanceof four basic principles in the1992 Dublin Principles, includ-ing the concept that water aseconomic good, this concept isused to abandon old beliefswhere the Government areresponsible for water resour-ces management and servicesand efforts are made to handover this responsibility to theprivate sector.

This privatisationtrend is very clear in develop-ing countries, where theyshould bow to policies, Ad-justment Programs and con-ditions imposed by the WorldBank and IMF. A study usingrandom surveyed IMF assis-tance programs in 40 countriesin 2000 showed that in theLetter of Intent between IMFand those countries, 12 coun-tries have water resourcesprivatisation and cost reco-very as one of their loan

conditionalities (Grusky,2001).

b. Free market regime

In the globalisation era,privatisation became a recipein improving water resourcesmanagement backed by theIMF and World Bank throughstructural loan conditions andlately mainstreaming tradeliberalisation into develop-ment became a common agen-da for the IMF, World Bank andthe WTO. For example, bet-ween 1997-2001 at least 36countries agreed to conform tothe WTO and commit toaccelerate WTO regulations,either written in the IMF Po-verty Reduction Strategy Pro-gram (PRSP) or as conditionsin their deal with the IMF.6

However, interna-tional trade regulations drawnby the World Trade Organi-sation (WTO) is very complexand often contradictory. Manyspark controversial issuessince it implicates environ-mental degradation, civilsociety, and local economies.One of these controversialissues in the water sector is the

Page 57: BOOK Volume2nomor2September2005

56 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

GATS (General Agreement onTrade in Services).

In GATS, its membernations, including Indonesia,are bind to a program “pro-gressive liberalisation in allservices” including basic ser-vices like water. Even thoughGATS does not specificallyoblige member nations to pri-vatise public services, but itsregulations create conditionsfor deregulation and privati-sation to happen.For instance, ‘domestic re-gulation’, one of the regulationsin GATS allows a country todefy other country’s law, policyor program when it is con-sidered detrimental to theirservices trade. This means, lawand regulation that protectspublic services in a countrycan be sued as constraininginter-regional trade in ser-vices. This regulation is ineffect at every level of thegovernment, from national,provincial to regional govern-ment.

2. Forms of privatisation

There are many formsof privatisation, from partlymanaged by the private sector

to a management that is en-tirely taken over privately andeven ownership transfer. Also,there are various methods ofgrouping them, depending onthe governing, types of con-tract and models.It needs to be stressed herethat whatever the type andform, even when the Govern-ment still retain ownership;these are all forms of PRIVATI-SATION.7 Usually, argumentson privatisation are associatedwith ownership, and privati-sation is only said to happenwhen the public company hasbeen divested and state assethas been entirely sold. In fact,even when assets are still own-ed by the state and the privatesector only take over the ma-nagement; this is still a form ofprivatisation.

Many institutions suchas the World Bank prefer to useother terms when the Govern-ment still controls companyassets or ownership. The po-pular term is Private SectorParticipation (PSP) or Pub-lic Private Partnership(PPP). Also, since basic needsprivatisation widely sparksdebates and contradiction,especially when ownership of

Page 58: BOOK Volume2nomor2September2005

57Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

a water resource is under pri-vate ownership, then the mo-dels promoted to date are PSPand PPP.

Study results publish-ed by Pacific Institute – USA,mentioned that the followingfunctions of water servicessystem could be privatised:

1 . Capital expansion plan-ning and budgeting (in-cluding water conser-vation and water dis-posal reclamation sys-tem issues)

2. Capital expansion fund-ing

3. Capital expansion de-sign

4. Capital expansion con-struction

5. Operation and facility6. Facility maintenance7 . Pricing decisions8. Billing management

and income collection9. Staff or contractor sa-

lary management10. Fiscal and risk mana-

gement11 . Establishment, moni-

toring and enforce-ment of water qualityand other services

standards

Existing privatisation/PSP/ PPP models are combi-nation of the above functions.More common models are:

a. Service Contract andLeasing

In this model, publicclean water management com-pany (PDAM in Indonesia)hands over responsibility ofoperation and maintenanceactivities, general service con-tract or and contract leasefacility management to theprivate sector. Usually contactand lease is for a period of 10-15 years or more and privatecompanies obtain part of theearnings from retribution col-lection (Panos, 1998).

b. Concession Model

There are various con-cession models. In a full con-cession model, entire opera-tion and management res-ponsibility is in the hands of theprivate sector. In the contractrisk allocation and investmentneeds are detailed. Concessioncontract usually are made forquite long periods, between 25-50 years.

Page 59: BOOK Volume2nomor2September2005

58 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Variations of con-cessions are Build-Operate-Transfer (BOT), Build-Operate-Train-Transfer (BOTT), Build-Own-Operate-Transfer (BOOT),Rehabilitate-Operate Transfer(ROT), and Build-Operate-Own(BOO). These models are called“partial concession” since onlypart of the responsibility isheld by the private sector.Ownership of capital facilitieswill be returned to the Govern-ment at the end of the contractperiod.

c. Full private businessand small businesses

In this model, where asmall company – small or largesized– fully holds the cleanwater management and supplybusiness, all regulation to pro-tect “public goods” such asrights to clean water and en-vironmental protection can beentirely neglected. This type ofprivate business usually ispresent when existing watersupply service company (let’ssay PAM/PDAM) are very poorin quality or incapable of meet-ing public demands. Waterresources are taken directlyfrom PAM, or indirectly from

PAM’s suppliers, or from otherwater sources under their con-trol or privatised.

Unfortunately, theseprivate businesses frequentlyoperate in suburban or poorareas where access to cleanwater is difficult. Many studiesshow that world poor oftenhave to pay more to acquireclean water from private ope-rators such as these (usuallycalled ‘private vendors’) com-pared if they get access toadequate PAM facilities.

However, whichevermodel is used, experiencesfrom all over the world showsthat private businesses, evenwhen they try to be respon-sible in running their busines-ses, are not designed to supplypublic service based on equa-lity and justice.

3. Corporate Players

Internationally, there areglobal industries that are spe-cialising in the water business.There are two giant corpo-rations dominating the busi-ness, both French, i.e., VivendiUniversal and ONDEO-Suez(formerly known as Suez Lyon-

Page 60: BOOK Volume2nomor2September2005

59Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

private M

ix

public A

sset Managem

ent

Public Mix Private

Public Water PLC

Joint Venture

Corporatized Utility

District Regency

Concession

BOT, BOOT, dsb

Lease Contract

Mangement Contract

Service Contract

Asset Ownership

Public-Private Partnership

Tipe-tipe

Private Management

Water Users Association

Private Water PLC

Public Management Options

Tipe manajemen publik

WUA

Figure 1 Public and/or Private Water Resources Management Types

Source: Gleick, et al. (2002)

naise des Eaux and currentlyrunning half of clean waterservices in Jakarta). Both com-panies own water businesses in120 countries, where theyserve clean water needs toabout 100 million people.8

Other large corporations inthe world water industry areThames Water from the UK thatwas bought by RWE - Germany,United Utilities - UK, Bechtel -USA, etc. (refer to Table 2).Many of these big corporationsare connected. For instance, in1999, Vivendi bought US FilterCorporation, United Utilitiesfrom the UK holds joint ventu-res with Bechtel, and United

Water Resources from the USAis partly owned by Suez.

Jakarta is one of the citiesunder the control of two majorwater corporations, ONDEO-Suez and Thames Water.Through corrupted means (re-ad Box 1), both corporationsmanaged to win concessioncontracts for providing cleanwater for Jakarta, each for theduration of 25 years. Batam isanother city in Indonesia thathas privatised their clean wa-ter management. Biwater, a UKcompany holds the concessionfor 25 years9. In addition thereare Cascal BV in Pakanbaru andDWB in Manado.

Page 61: BOOK Volume2nomor2September2005

60 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Table 2 Leading Corporations in the Water Industry

Corporation Subsidiary Company

Country Earnings 2001

(US$ billion)

Profit 2001 (US$ billion)

Earnings from Water 2001

(US$ billion) Vivendi Universal

Vivendi Water France 51.7 -1.02 11.90

Suez ONDEO France 37.2 1.80 8.84 RWE Thames Germany 55.5 1.11 2.8 Bouyguez SAUR France 17.9 0.301 2.18 United Utilities

United Utilities Water

UK 2.7 0.467 1.35

Severn Trent UK 2.6 0.307 1.28 AWG plc Anglian Water UK 2.6 0.195 1.03 Kelda Yorkshire Water UK 1.1 0.231 0.8 Bechtel International

Water USA/UK 15.1

Source: Polaris Institute, Global Water Grab

4. World Bank WaterPolicy

As was mentioned earlier,the World Bank holds a big rolein the water resources sector.Not only a role, but also power.These role and power weregained through policies andconditionalities that come withthe loans they grant. Unfor-tunately, these policies madewater privatisation in develop-ing countries such as Indo-nesia. Through PSP and PPPprograms, with the objective ofreducing poverty and to reachMillennium Development Goal(MDG) targets in the year 2015,the World Bank rigorouslyencourage developing country

governments to lower theirrole in public services anddirecting it to private sectors.The effort to increase the pri-vate role is clearly seen whenwe look chronologically at theWorld Bank policies on waterresources sector.Actually, World Bank’s invol-vement in the water sectorstarted since the early days ofIBRD. Looking at the numberof projects, World Bank has sofar funded 1044 projects. How-ever their water sector policyknown as the Water Resour-ce Management Policy wasonly issued in 1993 after threeyears of preparation. WaterResource Management Policy,according to the World Bank,reflects agreements in the 1992

Page 62: BOOK Volume2nomor2September2005

61Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Rio Earth Summit and the Dub-lin Principles.

The purpose of the policyis, firstly, to encourage reformin policies, planning, and ma-nagement of water resourcesinstitutions of borrowing coun-tries. Secondly, the policyserves as a guideline for theWorld Bank itself to help bor-rowing countries in their refor-mation efforts and means forimplementing it.

The policy focused onthree central themes, that is: 1)comprehensive analysis fra-mework to identify neededpriority (holistic planning); 2)

institutional system and regu-latory system that is supportedby the legislative and supportchange (placing the stress ondecentralisation and partici-pation); and 3) financial andopportunity costs problemsgenerated from water and itsutilisation in a competition (aseconomic good). Water PolicyMatrix of Recommended Re-forms is provided in Annex 1.

Since the issuance of thepolicy, World Bank loans in thewater sector increased. Todate, outstanding commit-ments of the World Bank forwater projects reach US$17

Jakarta, Indonesia’s capital is a city with the highest popu-lation in the country and located in the most populated island,Java. In recent years, Jakarta’s population has been steadily grow-ing. But this growth is not followed by improvement in city infra-structure. One of the most important facts is that a 1994 surveyshowed that only 42.6% households in Jakarta have access toclean/piped water. So 53% of the city residents have to use ground-water for consumption. 70% use groundwater for washing andlaundry since in certain areas in Jakarta, groundwater cannotbe consumed.

For the above reason, in 1991 World Bank offered a US$ 92to PAM Jaya in order to improve their infrastructure. The objec-tive is to make PAM Jaya more attractive and viable forprivatisation. This loan came at the same time as the JapaneseOECF loan to build a water purification plant in Pulogadung, EastJ a k a r t a .

Immediately after the loan was disbursed, two giant cor-porations, Thames Water Overseas Ltd. and Suez, a French com-pany, compete to run Jakarta’s water system. In 1993, Thamesmade an alliance with Sigit Harjojudanto, son President Soeharto

Box 1 Corruption laden PAM JAYA Privatisation

Page 63: BOOK Volume2nomor2September2005

62 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

billion. Between 1993 and2001, around 17 per cent ofWorld Bank loans are grantedfor projects related to waterresources such as water supplyand sanitation projects, ir-rigation, drainage system,hydroelectric generator andwater resources managementcomponents.10

Ten years after the WorldBank implemented the Dublinprinciples in their water sectorpolicy, in 2003; the WorldBank issued the Water Re-sources Sector Strategy.Even though the World Bankstill believes that the Dublin

principles are still quite validand relevant until today, butOECD review results showedthat its implementations arestill difficult and slow. In ad-dition a Operation and Eva-luation Department (OED) re-view showed that water policyimplementation challenges in1993 was to develop an ap-proach for specific contexts,priorities and orders that arerealistic and “patient” in itsimplementation.11

Core messages in the WaterResource Strategy are:Firstly, water resources ma-nagement and development is

while Suez approached Anthony Salim, a conglomerate andSoeharto’s crony. In the end, Jakarta water management wasdivided into two equal portions for the two companies.

Upon request of Thames and Suez, in 1995, then PresidentSoeharto gave orders to the Public Works Minister to privatisePAM Jaya. In 1997, PAM Jaya and the two corporations signed aconcession contract for 25 years. Both Suez and Thames estab-lished local companies with their Indonesian partners, withThames holding 80% stake of their company with Sigit, and SalimGroup gave 40% stake to Suez. In the contract, all Jakarta waterservice system are in the hands of both companies, i.e., cleanwater supply, treatment plants, distribution system, recordingand billing, and also PAM Jaya office buildings. In turn, bothcompanies agree to pay PAM Jaya’s debt of US$ 231 million.

After the fall of Soeharto’s government and pressures byhuge demonstrations in Jakarta against the deal, the IndonesiaGovernment tried to annul the contract but later withdrawnafter threats of lawsuits by Thames and Suez. The concessioncontract was then renegotiated and ends with Thames and Suezboth holding 95% stake and built two new companies, PT ThamesPAM Jaya and PT PAM Lyonnaise Jaya.

Page 64: BOOK Volume2nomor2September2005

63Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

one of the keys of economicgrowth and poverty reduction.Secondly, developing coun-tries should be active in waterresources management andinfrastructure development.Thirdly, challenges in waterresources management is noton an integrated water resour-ces management vision but a“pragmatic but with principle”approach. What it means is anapproach that values efficien-cy, justice and sustainabilityprinciples but at the same timerealise that water resourcesmanagement is a political effortin line with political economyreform efforts in developingcountries12. The fourth mes-sage is that the World Bankneeds to assist developingcountries in building hydraulicinfrastructure (dams, canals,dykes water pipes) and itsmaintenance to keep it in goodcondition by public-privatefinancing, at the same timefulfilling social and environ-mental standards. Fifth, inbecoming a more effectivepartner, the World Bank willrenew high risk hydraulic infra-structure contracts using moreeffective business models andby introducing IFC.13 The sixth

message is that many believesthat in the water sector, theWorld Bank creates compa-rative advantage, thereforeincreasing demands for moreWorld Bank involvement in thewater resources sector. Thismeans that if the World Bankwould like to remain a credibleinstitution, then it should be afull servicing partner, provid-ing investment and knowledge.This is where the World Bankand its ‘corporate hand’ for thebusiness sector and guaranteeagency, IFC and MIGA, playsimportant roles in attractingprivate investors.The seventh and last messagestated that World Bank assis-tance in the water sectorshould be adjusted to coun-tries that are consistent withtheir respective CAS (CountryAssistance Strategy) and PRSP(Poverty Reduction StrategyPaper).

World Bank and IMF Com-mon Agenda (TNCs?)

As previously men-tioned World Bank and the IMFhold important roles in push-ing for water resources pri-vatisation to lender countries.

Page 65: BOOK Volume2nomor2September2005

64 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Through PSP and PPP pro-grams, World Bank conscien-tiously pushes developingcountry governments to lowertheir roles in public servicesand hand it over to the privatesector. If we look at the 1993World Bank policy on waterresources and their new stra-tegy on water resources mana-gement, efforts on privatisa-tion can be clearly seen andloan recipient countries areconditioned to accept thesepolicies and strategies.

For example, the“pragmatic with principle”approach in the World Bankstrategy should be in line witheconomic reforms of develop-ing countries. Inevitably, eco-nomic reforms are directedtowards economic policies à laWashington Consensusthrough loan conditionalitiesby powerful institutions suchas the World Bank and IMF.

Indonesia sank deeperinto crisis since the 1997 eco-nomic crisis after yielding tothe power of IMF programs.IMF macroeconomic reformpackages forced the Indo-nesian government to imple-ment their designed macro-economic policy framework

otherwise not only will it affectIMF loans, but also hinderloans and grants from otherinternational financial insti-tutions and bilateral loans.Moreover Indonesian cre-ditors forum or the Consul-tative Group on Indonesia(CGI) also refers to IMF’s ma-croeconomic programs anddepend on World Bank’s re-commendation before provid-ing their assistance.

Let us look next at thetwo ‘corporate hands’ of theWorld Bank, that is the Inter-national Finance Corporation(IFC) and Multilateral Invest-ment Guarantee Agency (MI-GA) that provides loans, gua-rantee and technical assistan-ce for large corporations. IFCgave loans and guarantee forprivate companies that investin development and infra-structure development mainlyin the telecommunication andelectricity sector. Only recent-ly that water sector is added totheir list since water sectorinvestment needs policy, regu-lation and institutional struc-ture reforms. For this reasonthe World Bank pushed forreform, not only through loanconditionalities such as WAT-

Page 66: BOOK Volume2nomor2September2005

65Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

SAL, but also through PrivateSector Advisory Services(PSAS) and Foreign InvestmentAdvisory Service (FIAS) thatprovides consulting servicesfor private companies and go-vernments in policy matters,transaction implementation,privatisation and investmentclimate (Grusky, 2002).

MIGA provides poli-tical guarantee for private in-vestments. Recently, MIGAhelped many private watercorporations in finding so-lutions for risk factors thatpotentially hinder their invest-ment growth in the water sec-tor. In their new water sectorstrategy, the World Bank willincrease the involvement ofIFC and MIGA such that a saferclimate for investors can becreated.

International financialinstitutions declared that re-ducing poverty and over-coming world water crisis istheir mission. While criticsbelieve that their policy onlybenefit transnational corpo-rations and contrary to theirmission, increase poverty andcause water resources to bemore polluted and exploited.When we look at global eco-

nomy that is almost entirelymotored by these financialinstitutions, we can see thecommon thread where libe-ralisation, deregulation andprivatisation policy are relatedto interests of TNCs.14

D. WATER PRIVATISATION ININDONESIA

1. WATSALBefore Law No.7/2004

on Water Resources was legi-timise by the parliament, watersector in Indonesia are go-verned by Law No.11/1974 onIrrigation. There are otherrelated regulations on waterresources and its managementbut they are not integrated andco-ordinated.15 Therefore, the-re needs to be new policies thatare accommodating to deve-lopments and changes, inte-grated, holistic, sustainableand environmentally friendly.

It implies that thewhole water sector in Indo-nesia needs to be reformed andrestructured. This was theground in which World Bankstand for granting the loanwater sector restructuring(WATSAL). Through WATSAL,reform carried out by the

Page 67: BOOK Volume2nomor2September2005

66 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Indonesian Governmentshould indeed reflect WorldBank’s policy and vision onwater resources, as discussedin the previous chapter. Theresulted Indonesian water sec-tor reform designed by theGovernment (refer to Ministryof Settlements and RegionalInfrastructure website: http://www.kimpraswil.go.id/), arebased on the following para-digm:· Sound Environmental

Practices: to achieve sus-tainable development

· Government’s ChangingRole: from provider role asenabler, or enabling watersupply or more as facili-tator

· Authority Decentralisa-tion: Natural resourcesmanagement should con-sider regional, municipaland provincial authorities

· Human Rights: there is in-justice in water distribu-tion, while every individualhave equal rights in obtain-ing access to water andwater source

· Democratisation: changingdevelopment approachpattern from top-down toa more effective propor-

tional approach patternbetween top-down andbottom-up

· Globalisation: new para-digm that influence waterresources sector policiessupported by WATSAL fordrawing new natural re-sources Law, decided onthe issuance of nationalwater policies and the es-tablishment of Nationaland Regional Water Board.This reform effort is in linewith global issues on WaterResources.

Considering the above pa-radigm, it is clear that reformis very much influenced bypolicies and conditionalitiesimposed by the World Bankthrough WATSAL. New policiesbased on globalisation para-digm are the beginning of aneffort to liberalise and privatiseIndonesian water sectorthrough PPP and PSP concepts.

2. More background onWATSAL establish-ment

Economic crisis that hitAsia in 1997 bring about thecollapse of the Indonesian

Page 68: BOOK Volume2nomor2September2005

67Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

economy and Balance of Pay-ments deficit. The situationmade Indonesia gave up toIMF’s programs and imple-ment framework and macro-economic policies as stated inthe Memorandum of Economicand Financial Policies withinthe Letter of Intent (LoI), firstsigned on October 31, 1997,between Government of Indo-nesia and IMF. Government ofIndonesia should also performpolicy and institutional reformagenda based on: a) macro-economic management; b) fi-nancial and corporate sectorrestructuring; c) protectiontowards the poor; and d) eco-nomic institutions reform.

Strategy and program toimplement the above agendawas coagulated all through1998 together with World Bank,ADB and bilateral creditors.World Bank granted “PolicyReform Support Loan” (PRSL)of US$1 billion in June 1998and PRSL II of US$500 million,including plans to restore In-donesian water resources ma-nagement16, as stated in theMatrix of Policy Actions ofPRSL II.

Plans to restore water re-sources management came out

as a result of a study by asectoral work team of theWorld Bank at the end of 1997,concluded that the World Bankcannot continue to assist thewater and irrigation sector inIndonesia, if there are no majorrestructuring or reform in thesector. Previously, the WorldBank and ADB identified theneed for restructuring duringan inter-departmental dia-logue to discuss the 7th Five-Year Development Plan (Re-pelita VII) organised by theNational Development Agency(Bappenas).

For this reason in April1998, after the economic crisis,the World Bank offered a loanprogram to the Government ofIndonesia to restructure thewater sector (WATSAL). Theloan program became part of abigger program of macroeco-nomic reform that is “quickdisburse” in nature to coverthe Balance of Payments de-ficit, as stated in the CountryAssistance Strategy (CAS) Pro-gress Report17 document forIndonesia in June 1999.

The offer was accepted andBappenas formed a specialteam, consisting Governmentstaffs and NGOs to form a com-

Page 69: BOOK Volume2nomor2September2005

68 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

mon policy matrix with theWorld Bank staffs. This team,through Ministerial Decreedated November 2, 1998, of-ficially became ‘Task Force forReform of Water ResourcesSector Policy’, under the aus-pices of Bappenas and Ministryof Settlements and RegionalInfrastructure.

The team, known as theWATSAL Task Force, togetherwith relevant Directorate Ge-nerals and Government Co-ordinating Team/Water Re-sources Management Coor-dinating Team18, signed Letterof Sector Policy, which in-cluded the policy matrix drawnby the WATSAL Task Force.Furthermore, WATSAL TaskForce also formulated a WAT-SAL Implementation Plan withprocess steps and time framefrom each restructuring planinside the Policy Matrix. Theplan was submitted to theWorld Bank on March 29, 1999,as guidance in monitoring therestructuring implementationdevelopment.

Finally, Loan Agreementof US$300 million was signedon May 28, 1999, to be re-turned in 15 years and graceperiod of three years. Loan

disbursement was done inthree stages. First stage wasdisbursed on May 1999 anamount of US$50 million.Second stage of US$100million was planned to be dis-bursed at the end of 1999 wasonly paid out on December2001, because of political tur-moil and government changes.While the third stage of WAT-SAL agenda included Indo-nesia to approve the new draftWater Resources Law. How-ever, because of the toughdiscussion process to approvethe new law, coloured by anumber of protests, thescheduled timeline for thethird stage was prolonged.Moreover, the articles in thedraft law was changed a num-ber of times. This means thatIndonesian Government hadviolated their contract with theWorld Bank. Subsequently, inthe end, the World Bank de-cided not to disburse the lasttrance of WATSAL loan, a-mounting US$150 million.

Principals included inWATSAL that should be adop-ted by the Government in thenew Water Law on water re-sources and implementationplan are:19

Page 70: BOOK Volume2nomor2September2005

69Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

· Introduce the concept ofwater rights to allocatesurface and ground waterand for conducive waterutilisation;

· Increase efficiency on wa-ter utilisation, especiallyfor irrigation;

· Facilitate relations bet-ween allocation and uti-lisation of surface andground water through uni-form certification mecha-nism;

· Develop conducive sur-face and ground waterquality by socio-economicand sustainable develop-ment that are compatiblewith land rights and rivercatchment planning;

· Building participative andtransparent river catch-ment management insti-tutions;

· Strengthening manage-ment support mechanismsand community basedfunding for irrigation net-work, water service at thedistrict/municipal level,sanitation and water dis-posal system;

· Forming a planning, pro-gramming and budgetingsystem for a decentralised

investment and water re-sources development ma-nagement;

· Building regulatory struc-ture for regional mana-gement to support an inte-grated river catchmentarea management imple-mentation through pro-vincial river catchmentunits, and wherever fe-asible, a regional govern-ment corporatised self-financing undertaking;

· Supporting most bene-ficial contribution prin-cipal towards clean waterand irrigation public ser-vice cost “Polluter Pays”principle to pay for da-mages caused by waterpollution;

· Revamp regulations andframeworks for privateparticipation (PPP) in thewater resources sectorand water quality manage-ment, including irrigationconcession managementthrough investment, ope-rations and maintenanceconcessions;

· Increase co-ordinationbetween forestry, agricul-ture, conservation, publicand private sector acti-

Page 71: BOOK Volume2nomor2September2005

70 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

vities related to water re-sources;

· Formulate specific poli-cies on sustainable wet-land conservation andswamp area development.

3. Government WATSALFollow-up ActionPrograms

As a follow up of theabove WATSAL agenda theGovernment of Indonesia for-mulate an implementation a-genda that was planned andimplemented by Water Re-sources Management Coor-dinating Team. The said Go-vernment Agenda are as fol-lows (Five-Year DevelopmentPlan 2004):

· Formation of a NationalWater Body or a Ministeriallevel Co-ordinating Body

· National Policy on WaterResources and other sup-porting instruments need-ed for policy implementa-tion

· Reform Jatiluhur PublicCompany (Jasa Tirta II)and establish four newbusiness entities to manageriver catchment areas for

Rivers Bengawan Solo, Je-neberang, Jratunselunaand Serayu-Bogowonto

· Establish River Area WaterResources Body, Provin-cial Water Resources Bodyand Hydrology Unit forriver areas in eight prov-inces

· Stakeholder representa-tion on River Area WaterResources Body and Pro-vincial Water ResourcesBody

· Organisational, financialand management frame-work improvements forriver area management ef-forts according to regionalautonomy regulations andself-financing abilities

· Formulation of waterrights system for surfaceand ground water alloca-tions and business entitiesregulating body improve-ment through water serviceand waste water disposallevies in the frame of waterquality management

· Framework establishmentfor management responsi-bility transfer based on Ir-rigation Management Po-licy Reform (PKPI) sup-porting the activities of

Page 72: BOOK Volume2nomor2September2005

71Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Water User Association –WUA and Federation ofWUAs and financing au-thority in the outline of ir-rigation network manage-ment

· Reform central, provincialand regency/municipal ir-rigation administration in-stitution in the effort totransfer responsibilities toWUAs and change irriga-tion operation and manage-ment financing with fullrights on WUAs to collectirrigation levies in all irri-gation areas

· Build National Water Re-sources Management In-formation System and da-tabase

The above water resour-ces and irrigation policy re-form points included paradigmdemanded by WATSAL andopened the door for the privatesector to be Government part-ners according to the WorldBank concept for PPP and PSP,by considering water as eco-nomic good. These points wereintegrated into the new draftWater Law. Sections in the draftLaw besides using water astradable economic good and

increasing private role, alsohave the potential to triggerwater conflicts that should beprotected by the Law. Expertsbelieve that the draft Law donot guarantee clean water ac-cess to the people and do notgive protection to the poor, anddo not guarantee water re-sources sustainability and en-vironmental protection. Forthis reason the draft Water Lawthat is currently under revisionin the parliament became con-troversial.

4. Crucial Issues and Risks:Are We Capable andReady?

a. Water Rights

Most important issueintroduced by the World Bankin the Water reform pointsabove is the water rights con-cept for ground and surfacewater allocation. Water Rightsin the draft Water Law is di-vided into two types, that isutilisation rights and businessutilisation rights. UtilisationRights are rights to use waterfor daily consumption, whileBusiness Utilisation Rights are

Page 73: BOOK Volume2nomor2September2005

72 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

rights to use water for com-mercial or business purposes.In Indonesia this concept willbe similar to “land rights” orland certification but slightlymore complex.In fact there are many existingwater rights concepts, forexample ‘Riparian Rights’ thatis non transferable. While theconcept introduced by theWorld Bank is a concept thatcame in line with globalisationwhere water tends to be con-sidered as commodity. Thus,“Tradable Water Rights” con-cept was introduced, an ap-proach that emerged from pro-perty rights concept, unlikewater according to riparianrights that is not considered ascommodity therefore non-tradable.

According to the WorldBank in a working paper pub-lished in 199620, this tradablewater rights, when supportedby an effective institution it willpotentially useful in overcom-ing many water resources prob-lems that cannot be solved byregular water allocation admin-istration system. Through thisconcept, water as economicgood can be legally traded. Ac-cording to this working paper,

in tradable water rights conceptprice of water reflects the uti-lisation value such that it cre-ates incentive for water to beused for most productive uses.For this reason, water chargeshould be equalled to opera-tional and infrastructure main-tenance cost. Automatically,retail or contract value reflectswater opportunity cost21.This fact is in agreement withWorld Bank’s Water ResourcesSector Strategy 2003, whichstated that basic economicprinciple used to treat water aseconomic good is when a userrealise that to obtain water sup-ply service there are financialcosts and opportunity costs. Byincluding opportunity cost inwater price through the legallybased utilisation rights system,it is expected that users thatneeds more water such as ur-ban users can fulfil their needssince they can buy water uti-lisation rights from low valueuser (e.g., farmers, village com-munity). Through utilisationrights system there will bestrong incentives from lowvalue user to voluntarily selltheir utilisation rights to highvalue user.22 For example whenfarmers can sell their utili-

Page 74: BOOK Volume2nomor2September2005

73Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

sation rights at an agreed price,then excess water in their areacan be sold to their neigh-bouring areas or city wherethere are high value uses.

In this sense, throughbusiness utilisation rights,market mechanism will worksince according to a theory inthe World Bank working paper,the water market will increasewater value for tradable waterrights. At the same time, trans-action or selling costs fromrights diversion will be lowerthan sale costs by public au-thorities. This system willstrengthen Water User Asso-ciations (WUA/FWUA) and Ri-ver Area Water Resources Bo-dy.

b. Water User Farmer Associa-tions (WUA/Federation ofWUAs)

Roles of organisationssuch as WUA became impor-tant because of Water Utili-sation Rights. With the author-ity given to WUA/FWUA tomanage and maintain irrigationnetworks in a river area, includ-ing full authority to collect lev-ies then market mechanism

and water allocation systemthrough business utilisationrights can be achieved. BecauseWUA/FWUA have the author-ity to allocate water from lowvalue uses to high value uses.

WUA as an organisa-tion has been developed longago as a World Bank loan pro-ject23. WUA concept is one ofWorld Bank’s policies imple-mented in borrower states. Theconcept development reachedits height by irrigation manage-ment authority transfer toWUA at the beginning of theWATSAL program throughPresidential Instruction No.3/1999 on Irrigation Manage-ment Policy Reform. The in-struction was then strength-ened by Government Regula-tion No.77/2001 on Irrigation,then Home Ministry DecreeNo.50/2001 on Water UserFarmer Association Empower-ment Guidelines, and Ministryof Settlements and RegionalInfrastructure Decree No. 529/2001 on Irrigation Manage-ment Authority Transfer Gui-delines to WUA.

Authority transfer tofarmers theoretically is a noblegesture, but unfortunately far-mers mentioned here are only

Page 75: BOOK Volume2nomor2September2005

74 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

the ones involved in WUA/FWUA. What about non-mem-ber farmers? As if the WorldBank WUA concept do not takethe real Indonesian conditionwhere many farmers, especiallyin Java, are labour farmers whodo not own land. Also, the ap-proach used is a uniform ap-proach and institutional stan-dardising in a single water man-aging body. For this reason,WUA is potentially destructivefor local community basedparticipative irrigation man-agement system that have beenin place for years such as Subakin Bali, or Sambong in Java, andUlu-ulu. The uniform is incon-sistent with Indonesia’s vary-ing tradition and environment.

Furthermore, handingwater management authorityto WUA to achieve marketmechanism will be very dan-gerous because water as eco-nomic good (as well as othereconomic goods) is vulnerableto market failure. Both in the1996 working paper and WorldBank evaluator said that thebusiness utilisation rights sys-tem and authority transfer tothe WUA needs good gover-nance, good and trusted regu-lation and institution – a fact

that even the World Bank ad-mits lacking in developingcountries such as Indonesia.Similar to the case of surren-dering PAM to the market me-chanism, risks will be monu-mental when the government’slacks capacity in regulating, di-recting and intervening partiesthat manipulate this market.Organisations such as the WUAwill be very vulnerable to ma-nipulation by stronger partieswith big interests, so it is veryrisky for farmers when thereare inadequate regulation anddirection to intervene partiesfrom manipulating this market.

c. Private Sector Participationand Public-Private Partner-ship

Another crucial argu-ment that we should be awarein the WATSAL points andadopted in the draft Water Lawis on private participation andpartnership in managing waterresources. In the previouschapter we discussed part-nership and private partici-pation types and patterns. Thisconcept that was popularisedby the World Bank was adopted

Page 76: BOOK Volume2nomor2September2005

75Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

into the draft Water Law anddefined as a form of water re-sources business in partner-ship between water resourcemanagers and the private sec-tor or the community. All ex-isting partnership types andform (PPP) are allowed,whether it is in the form ofinvestment in building waterresources infrastructure, pro-viding service and/or waterresources infrastructure ope-rations, through BOT, conces-sions, service contracts, mana-gement contracts, etc.

However experiences inmany countries shows thatpartnership contracts often failin involving public participa-tion even when it is called Pub-lic-Private Participation. Moreefforts are made in overcomingproblems such as financial limi-tations and government’s weak-nesses and pushing for privateparticipation compared to ef-forts on providing guidance onpublic access, public monitor-ing and make certain of publicparticipation and transpar-ency. This weakness can causeineffective service, unprivi-leged group discrimination andclean water violations.

d. State Responsibility

It is clearly stated inthe 1945 Constitution, chapter33 that land, water and every-thing contained in it is con-trolled by the state and utilisedin the nest way for the prosper-ity of the people. For this rea-son, government in any coun-try have the fundamental re-sponsibility to provide and ser-vice the people’s basic needs.The World Bank and other In-ternational Financial Institu-tions focus their efforts on pro-viding this basic need, but nowthese institutions change cour-se to assist the private sector.This role and responsibilitytransformation is very con-cerning since state control andguarantee diminished as a re-sult.

e. PDAM and Water Supply

It is sad that Indonesianstate owned companies areloaded with extensive corrup-tion problems, badly perform-ing with bad financial condi-tions, including PDAM. Afterthe 1997 crisis, many regionaldrinking water companies orPDAM almost went bankrupt,

Page 77: BOOK Volume2nomor2September2005

76 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

yet about 41% of the Indone-sian population live in urbanareas and very much relying onclean water services of PDAM.From that amount only 51.7%or 20% of the total populationgets PDAM services.

According to PER-PAMSI (Indonesian DrinkingWater Companies Association)there are 293 PDAM compa-nies in Indonesia, including fivecompanies forming joint ven-tures with foreign private com-panies. From that total:

· 82% of total PDAM earnnegative profit or experi-encing loss

· 22% have positive equity· 44% earning less than their

operation and maintenan-ce cost

· Only 10% PDAM are inhealthy financial condition

· 119 PDAM have foreigndebts and 146 PDAM havedomestic debt24

Above assessment onPDAM performance was basedon Home Ministerial DecreeNo.47/1999 on PDAM Perfor-mance Assessment Guidelines.There are three aspects in theMinisterial Decree used to as-

sess PDAM performance, thatis financial aspect, operationalaspect, and administration as-pect. From the three aspects,financial aspect is the most im-portant with the highest assess-ment weight. Therefore, PDAMmanagement will care moreabout their financial manage-ment than their operationaland administration perfor-mance despite the fact that op-erational aspects included im-portant matters such as ser-vice, distributed water quality,water supply continuity to cus-tomers, water loss rate, etc.25

PDAM bad performan-ce then became reason for In-ternational Financial Institu-tions to grant more loans. In1998, the World Bank awardedWater Utilities Rescue Programto PDAM. This program wasalso funded by the Asian Devel-opment Bank (ADB). All PDAMoffices can get this loan withconditionalities imposed by theWorld Bank. One of the mostimportant conditions is theformulation of a Financial Re-covery Action Plan (FRAP)containing real steps to in-crease earnings and reducingcost in general. Another con-dition is termination of profit

Page 78: BOOK Volume2nomor2September2005

77Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

shares for regional governmentand the establishment of a mo-nitoring body to monitor PD-AM management and Regent orMayor approval of FRAP.26

After that, the WorldBank granted a project calledUrban Water Supply Project,the objective was to overcomePDAM management inefficien-cy problems, increase publicservice and tariff adjustments.To ensure project success, pri-vate sector was encouraged tojoin the tender in planning; de-veloping and operating cleanwater management system.The scheme was PPP or PSPwith Design-Build-Lease (DBL)contract scheme. Private sec-tor designed, built, developedwater service infrastructureand also operate it then pay anamount of money to PDAM andlocal government.

In a recent Ministry ofSettlements and Regional Infra-structure report for the WorldWater Forum III, it was statedthat in order to reach Millen-nium Development Goals 2015,to cut by half the number ofpeople currently not reachedby clean water and sanitationservice, a total investment ofRp66.43 billion or Rp5.1 billion

(US$ 573million) per annum isneeded. This amount was writ-ten as the Government’s pro-posal to obtain new loans forwater resources development.

Nevertheless, privatesector involvement in water re-sources management in Indo-nesia should be proceeded withcaution. For whatever reason,private companies have no so-cial obligation and by naturewill always do business bymaximising profit. This is po-tentially harmful for the popu-lation especially the unprivi-leged. Particularly when PDAMperformance, as mentioned inthe above analysis, only focuson financial, operational andadministration aspects. Wherein fact there are other impor-tant aspects such as environ-mental sustainability and waterconservation that guaranteesfuture water supply and accessis neglected. So when PDAM isprivately managed to gainmaximum profit, conservationaspects will not be considered.

What the Governmentshould do is to find ways to in-crease PDAM’s health withoutinvolving private sector. PoorPDAM performance an finan-cial condition cannot be sepa-

Page 79: BOOK Volume2nomor2September2005

78 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

rated from customer tariff pro-blems that do not cover for ex-penses or in other words thereare no cost recovery. If this isthe problem, then PDAM ser-vice tariff needs to be adjustedto pay for these expenses. Atthe same time, other improve-ment efforts such as reducingleaks, combating corruptionand increasing efficiency, the-refore everyone can enjoy bet-ter quality clean water ser-vices.

e. Price or Tariff

One of the basic wor-ries with privatisation or pri-vate involvement is high waterprice or tariff will be burdenedto the consumers. This is anironic statement, since pro-privatisation argues that priva-tisation will increase efficiencysuch that water tariff can be re-duced.

The next question iswill the tariff imposed by theprivate sector be the same asthe tariff imposed by a publicPDAM? Before answering thisquestion, there are severalmatters to consider. Firstly,clean water service is an expen-sive business. Refurbishment

and system and service devel-opment can also cause tariffraise to increase earnings. Ontop of that, if PDAM is privatelymanaged then they need tomake a profit. Expenses thatneed to be paid by private com-panies are probably higher thanpublic companies and on top ofthat they are obligated to paytaxes. By private companies, allthese expenses will be bur-dened to the consumers basedon a full cost recovery prin-ciple. Consequently, privatelymanaged clean water servicestariff will be much higher thanpublic PDAM.

When we arrive to asituation where tariff needs tobe increased to cover for ex-penses, then there should be acareful system and tariff designin place for different commu-nity groups. For example,through tariff block policy or apolicy to classify consumersinto four or five classes througha progressive tariff system. Ina system like this, the lowestcommunity group will be sub-sidised by the higher groups orby the government or even ex-empt them from any cost. Thiswill not happen if PDAM is man-aged by the private sector,

Page 80: BOOK Volume2nomor2September2005

79Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

since this will mean the govern-ment actually subsidising theprivate company’s profit.

We have to be verycareful in designing and impos-ing water tariff. Experiencesfrom many countries (e.g., Bo-livia, Argentina, Puerto Rico,USA, and South Africa) showsthat tariff increase can triggerconflicts between stakeholders,even riots, especially consider-ing Indonesia since the 1997economic crisis have not fullyrecovered27. While most PDAMtariff in still use the old tariff,based on pre-crisis communitypurchase power and not basedon cost recovery. With waterresources restructuring andPDAM rescue programs, wherePDAM will team up with theprivate sector, tariff systemwill be based on full cost recov-ery.

For instance Perusa-haan Air Minum Jakarta (PAMJaya) that was privatised andtransferred to Thames WaterOverseas Ltd (which later es-tablish PT Thames PAM Jaya)and Suez (which establish PTPAM Lyonnaise Jaya), auto-matically, clean water tariff inJakarta increased dramatically.While in fact, tariff imposed to

consumers by the local gov-ernment was still lower thanwater charge that was chargedby both private companiesbased on cost recovery prin-ciple. So what happens is, gov-ernment not only subsidise un-privileged people, but sub-sidising (paying water chargedifference) the private com-pany! Currently there are manyother PDAMs in the process offormulating FRAP, includingtariff increase plans. From datacollected by INFOG (Indone-sian Forum on Globalisation,Solo) at least eight PDAM haveactual tariff increase plans.14

* This paper was revised andupdated from its original version,which was published as INFIDBackground Paper on Water Re-sources in 2003.

§ Nadia Hadad works as aCampaigner for INFID and amember of the Peoples Coalitionfor Rights to Water.

1 Sarwoko, A and Anshori, I.2003 Keterpaduan PengelolaanSumberdaya Air untuk Pen-dayagunaan yang Berkelan-jutan. Water Resources Director-ate General, Ministry of Settle-ments and Regional Infrastruc-ture. March 2003

2 Ir. Yousana OP Siagian.2003. Pengelolaan Sumberdaya

Endnotes

Page 81: BOOK Volume2nomor2September2005

80 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Air Berkelanjutan. Geology andMining Area Management Direc-torate. March 2003

3 Gleick, P.H., G. Wolff, E. L.Chalecki, R. Reyes. 2002. TheNew Economy of Water: The Riskand Benefits of Globalization andPrivatization of Fresh Water. Pa-cific Institute. February 2002

4 Briscoe, J. 1996. “Water asan Economic Good: The idea andwhat it means in practice.” A pa-per presented in the World Con-gress of the International Com-mission on Irrigation and Drain-age, Cairo, Egypt, September1996. http://www-esd.worldbank.org

5A term introduced by Ame-rican economist John Williamsonin 1989 that believes in an eco-nomic model originating fromliberal market ecomony systemas the only appropriate economicmodel for the world. There are 10points of principles in the Wash-ington Consensus (known as the10 commandments) that in prin-ciple believes that privatisizingpublic and state-owned compa-nies will reduce state deficit andtax.

6 Mehta, Lyla and Birgit LaCour Madsen, 2003. Is the WTOAfter your Water?: The GeneralAgreement on Trade and Ser-vices (GATS) and the Basic Rightto Water. Intitute of DevelopmentStudies, University of Sussex,August 2003.

7 This needs to be stressedsince many misunderstandingand misinformation on the formsof privatisatio, even between ourparliament members and Gov-

ernment. Definition of privati-sation is based on several refer-ences, among others: Gleick et al.2002, Grusky 2002.

8 Barlow, M. 1999. BlueGold: The Global Water Crisis andthe Commodification of theWorld’s Water Supply. Interna-tional Forum on Globalization

9 Ardhianie, Nila. 2003.Membeli Air pada Swasta Asing.INFOG

10 Refer to: http://www.worldbank.org/water UpdatedApril 2003

11 World Bank. 2003. WaterResource Sektor Strategy: Strate-gic Directions for World BankEngangement. February 2003

12 World Bank efforts to re-form water resources sector indeveloping countries such as In-donesia, that is implementedthrough WATSAL, are part ofWorld Bank efforts to push for eco-nomic reform, fiscal changes andpolitical reform towards liberali-sation.

13 Development contract re-newal and hydrolic infrastruc-ture maintenance was based onconsiderations based on WorldBank’s past experiences. Develop-ing countries usually request forhuge infrastructure projects, butthe World Bank is reluctant tohelp because of its high risk (po-litical, economical risk). The so-lution is with the development ofnew and more profitable businessmodels, by involving the businessbranch of the World Bank, theInternational Finance Corpora-tion (IFC).

14 Grusky, S.2002. The IMF,

Page 82: BOOK Volume2nomor2September2005

81Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

the Bank Duniaand the GlobalWater Companies: A shared A-genda. International WaterWorking Group dan Public Citi-zen’s Critical Mass Energy andEnvironment Program. 2002.Profit Streams: The Bank Dunia&Greedy Global Water Companies.Water for All. September 2002.

15 For example Law No.5/1990 on Natural Resources andEcosystem Conservation, LawNo. 4/1992 on Spatial Manage-ment, Law No. 23/1997 on En-vironmental Management, LawNo. 22/1999 on Fiscal Balancebetween Central and RegionalGovernment and Law No. 41/1999 on Forestry

16 Improvement of water re-source management in the Ma-trix of Policy Reform – PRSL II, itsimplementation was planned af-ter June 1999. The plan was todevide it into two parts, first, for-mulating national water re-sources policies and implementa-tion plans; and second, establish-ing a national institution thatwill formulate the policies, in-cluding guidelines and strategicplanning.

17 The CAS Progress Reportdocument is a result of IndonesianCAS revision issued on June1977, because of the Indonesianpolitical and economic situationpost-1997 economic crisis.

18 This co-ordinating teamwas formed under the consider-ation that there needs to be inter-departmental co-ordination inmanaging river catchment areasand as a WATSAL requirement.A co-ordinating team of ten min-

istries was formed for a “Sustain-able and efficient river and rivercatchment areas utilisation poli-cy” based on Presidential DecreeNo.9/January 1999. Coordi-nating team is chaired by Co-ordinating Minister of EconomicAffairs, co-chaired by State Min-ister of Minister for National De-velopment Planning/Head of Na-tional Development Agency andMinister of Settlements and Re-gional Infrastructure acts as Ex-ecutive Chairman. Members in-clude: Minister of Home Affairs,Minister of Agricuture, Ministerof Forestry, Minister of Commu-nications, Minister of Energy andMineral Resources, Minister ofMaritime Exploration, Minister ofHealth, Minister of Industry andTrade, Minsiter of Finance, Min-ister of Environment.

19 Document of the WorldBank, 1999. Report and Recom-mendation of the President of theInternational Bank for Recon-struction and Development to theExecutive Directors on a ProposedWater Resources Sektor Adjust-ment Loan in the Amount ofUS$300 Million to the Republicof Indonesia, April 23, 1999

20 Holden,Paul and MarteenThobani. Tradable Water Rights:A Property Rights Approach toResolving Water Shortages andPromoting Investment. PolicyResearch Working Paper. TheWorld Bank, July 1996

21 Opportunity Cost is a origi-nated from lost opportunities oralternative cost. This means thatwhenever a person use water,they essentially took the oppor-

Page 83: BOOK Volume2nomor2September2005

82 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

tunity of using the water fromother potential user.

22 Ardhianie, Nila and J.Wijanto Hadipuro. RUU Sumber-daya Air dan Konsep TradableWater Rights. Article welcomingthe Parliamentary working gro-up meeting on the Draft WaterLaw. September 2003

23 Among these loans are: Ir-rigation Subsector Project 1/1987-1991 and Irrigation Sub-sector Project 2/1991-1995 withthe objective of supporting gov-ernment development programfor irrigation subsector accordingto decentralisation program. Thisproject supports: 1) handing overof public irrigation scheme of130,000 ha to P3A and irriga-tion billing for an area of 700,000ha.; 2) P3A institutional andorganisational strengthening

24 According to an article byWijanto Hadipuro, domestic debtalso originates from foreign debt.Because central governmentlends regional government in theform of Subsidiary Loan Agree-ment or regional allocation in theform of Regional DevelopmentAccount that usually originatesfrom foreign debts

25 Hadipuro, Wijanto, 2003.PDAM: Antara Fakta dan Hara-pan. Article for the ParliamentCommission IV Working Commit-tee Results Analysis Workshop onDraft Water Law, 13 October2003

26 Refer to PDAM: PrivatisasiBerkedok Reformasi, Water ForAlll Factsheet, INFOG, October2002.

27 For instance when the

Soeharto Government took thebasic goods price increase policyin 1998, it caused him his power.The same case happened whenPresident Megawati in early2003 increased electricity, tele-phone and gas tariffs, she was in-undated with protests from allover the country until the Gov-ernment had to cancel some of theprice hike.

28 PDAM Bogor will increase39.5%; PT Adhya Tirta Batam10-15%; PDAM Balikpapan 60%;PDAM Sukohardjo 14-18%; PDAMSolo 16-45%; PDAM Purworejo250%; PDAM Semarang 220-250%; and PDAM Jayapura 17%.

ReferenceA, Sarwoko and Anshori, I.

2003 Keterpaduan Penge-lolaan Sumberdaya Airuntuk Pendayagunaanyang Berkelanjutan. WaterResources Directorate Ge-neral, Ministry of Settle-ments and Regional Infra-structure. March 2003

Ardhianie, Nila. 2003. Mem-beli Air pada Swasta Asing.INFOG

Ardhianie, Nila and J. WijantoHadipuro. “RUU Sumber-daya Air dan Konsep Tra-dable Water Rights”. Arti-cle welcoming the Par-liamentary working groupmeeting on the Draft WaterLaw. September 2003.

Briscoe, J. 1996. “Water as an

Page 84: BOOK Volume2nomor2September2005

83Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Economic Good: The ideaand what it means in prac-tice.” paper for the WorldCongress of the Inter-national Commission onIrrigation and Drainage,Cairo, Egypt, September1996.

h t t p : / / w w w - e s d . w o r l dbank.org

Barlow, M. 1999. Blue Gold: TheGlobal Water Crisis and theCommodification of theWorld’s Water Supply. In-ternational Forum on Glo-balization

CNES.2002. “ Allocating WaterThrough Market Mecha-nism”. Tools for Advo-cacy: Water, September 8,2002

Gleick, P.H., G. Wolff, E. L.Chalecki, and R. Reyes.2002. The New Economyof Water: The Risk andBenefits of Globalizationand Privatization of FreshWater. Pacific Institute.February 2002

Grusky, S. 2002. The IMF, theBank Duniaand the GlobalWater Companies: A shar-ed Agenda. InternationalWater Working Group danPublic Citizen’s CriticalMass Energy and Environ-ment Program

Public Citizen2002. ProfitStreams: The World Bankand Greedy Global Water

Companies. Water for All.Public Citizen’s CriticalMass Energy and Environ-ment Program, September2002.

Holden, Paul and Marteen Tho-bani. Tradable WaterRights: A Property RightsApproach to ResolvingWater Shortages and Pro-moting Investment. PolicyResearch Working Paper.The World Bank, July1996.

INFOG. “PDAM: PrivatisasiBerkedok Reformasi, Wa-ter For All”. Factsheet,October 2002.

International Conference onWater and the Environ-ment (ICWE). 1992. TheDublin Principles. http://www.wmo.ch/web/homs/icwedece.html

Mehta, Lyla and Birgit La CourMadsen. 2003. Is the WTOAfter your Water?: TheGeneral Agreement onTrade and Services (GATS)and the Basic Right to Wa-ter. Intitute of Develop-ment Studies, University ofSussex, August 2003.

Ministry of Settlements andRegional Infrastructure.2003. Water ResourcesManagement towards En-hancement of EffectiveWater Governance in In-donesia. Country Report.

Page 85: BOOK Volume2nomor2September2005

84 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Regulations

For the 3rd World WaterForum K yoto – Japan,March 2003. Ministry ofSettlements and RegionalInfrastructure, Directo-rate General of Water Re-sources Republic of Indo-nesia, 24 February 2003

Polaris Institute, 2003. GlobalWater Grab. How corpo-rations are planning toTake Control of Local Wa-ter Services. GATS Attackpamphlet series. PolarisInstitute, January 2003

Siagian, Yousana OP. 2003.Pengelolaan SumberdayaAir Berkelanjutan. Geo-logy and Mining Area Ma-nagement Directorate.March 2003

Silva, Gisele, N. Tynan and Y.Yilmaz. Private Partici-pation in the Water andSewerage Sector-RecentTrends. Public Policy forthe Private Sector. TheWorld Bank Group, Finan-ce, Private Sector and In-frastructure Network.August 1998

Wijanto, Hadipuro. 2003. “PD-AM: Antara Fakta dan Ha-rapan”. Article for the Par-liament Commission IVWorking Committee Re-sults Analysis Workshopon Draft Water Law, 13October 2003.

World Bank doc. www.world

bank.org/water. UpdatedApril 2003

World Bank. 2003. Water Re-source Sektor Strategy:Startegic Directions forWorld Bank’s Engange-ment. February 2003

World Bank. 2002. Indonesia –Urban Water Supply Pro-ject. Project InformationDocument. World Bank,July 2, 200, ada di http://www.wds.worldbank.org/servlet/WDS_IBank_ Servlet?pcont=details& eid=000094946_02071104031595

World Bank. 2002. PrivateSector Development Stra-tegy. World Bank. April2002

World Bank doc. 1999. “Reportand Recommendation ofthe President of the Inter-national Bank for Recons-truction and Developmentto the Executive Directorson a Proposed Water Re-sources Sector Adjust-ment Loan in the Amountof US$300 Million to theRepublic of Indonesia”.April 23, 1999

Law No. 11/1974 on WaterManagement.

Law No. 5/1990 on NaturalResources and Ecosystem

Page 86: BOOK Volume2nomor2September2005

85Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Conservation.Law No. 4/1992 on Spatial

Management.Law No. 23/1997 on Environ-

mental Management.Law No. 22/1999 on Fiscal

Balance between Centraland Regional Government

Law No. 41/1999 on ForestryPresidential Decree No. 9/

January 1999.Government Regulation No.

77/2001 on IrrigationHome Ministrial Decree No.

50/2001 on Empower-ment of Water-User Far-mers Association Guide-lines.

Settlement and Regional Infra-structure Ministrial De-cree No. 259/2001 onIrrigation ManagementResponsibility Hand Overto Water-User FarmersAssociation Guidelines.

Page 87: BOOK Volume2nomor2September2005

86 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

PengantarPengantarPengantarPengantarPengantarSebagaimana yang kita

tahu, Permohonan pengujianatas Undang-Undang No. 37Tahun 2004 tentang Kepailitandan Penundaan Kewajiban Pem-bayaran Utang terhadap Un-dang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945didasarkan pada dalil bahwaPasal 2 ayat (5), Pasal 6 ayat (3),Pasal 223 dan Pasal 224 ayat(6) UU No. 37 Tahun 2004bertentangan dengan Pasal 28Dayat (1) dan Pasal 27 ayat (1)UUD Tahun 1945. Menurut pa-ra pemohon pengujian permo-honan pailit dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang(PKPU) untuk perusahaan asu-ransi yang hanya boleh dila-kukan oleh menteri keuanganadalah bertentangan denganPasal 28D ayat (1) dan Pasal 27ayat (1) UUD Tahun 1945. De-mikian juga pemberian kewe-nangan kepada panitera untukmenolak permohonan pailitdan PKPU bila permohonantidak diajukan oleh menterikeuangan (menkeu) adalah ber-tentangan dengan Pasal 28Dayat (1) dan Pasal 27 ayat (1)UUD Tahun 1945.1

Dalam putusannya, Mah-kamah Konstitusi mengabulkan

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAHKONSTITUSI TENTANG KEPAILITAN

(Perbandingan Kasus Kepailitan antaraPerusahaan Asuransi dan Perbankan)

Oleh AMIR SYAMSUDDIN, S.H.Praktisi Hukum

Page 88: BOOK Volume2nomor2September2005

87������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

permohonan para pemohonkhusus menyangkut kewenang-an panitera untuk menolakpermohonan pailit dan PKPUyang tidak diajukan oleh men-teri keuangan dengan pertim-bangan pengadilan tidak bolehmenolak perkara dan paniteratidak mempunyai wewenanguntuk menolak perkara karenahal itu merupakan kewenanganpengadilan/hakim. Permohon-an selebihnya khususnya me-ngenai kewenangan menterikeuangan, Mahkamah Konsti-tusi berpendapat hal itu meru-pakan pembatasan yang diper-bolehkan oleh undang-undangsebagaimana diatur dalam Pa-sal 28J ayat (2) UUD Tahun1945 yang berbunyi “Dalammenjalankan hak dan kebe-basannya, setiap orang wajibtunduk kepada pembatasanyang ditetapkan dengan un-dang-undang dengan maksuduntuk menjamin pengakuanserta penghormatan ata shakdan kebebasan orang lain danuntukmemenuhi tuntutan yangadil sesuai pertimbangan mo-ral, nilai-nilai agama, keaman-an, dan ketertiban umum da-lam suatu masyarakat demo-kratis.” Dengan adanya keten-

tuan ini, maka pemberian ke-wenangan kepada menteri ke-uangan sebagai pembatasandalam pengajuan pailit danPKPU sama sekali tidak ber-tentangan dengan UUD Tahun1945.2

Antara Bank dan PerusahaanAntara Bank dan PerusahaanAntara Bank dan PerusahaanAntara Bank dan PerusahaanAntara Bank dan PerusahaanAsuransiAsuransiAsuransiAsuransiAsuransi

Jikalau kita mempelajaripermohonan pengujian atas UUNo. 37 Tahun 2004 terhadapUUD 1945, maka ada keganjilandalam dalil permohonan yangmembatasi diri pada pengujianterhadap perusahaan asuransi,sedangkan bank, perusahaanreasuransi, dana pensiun, atauBUMN yang bergerak di bidangkepentingan publik tidak di-mintakan pengujian oleh parapemohon. Bagi kami ini meru-pakan permohonan yang dis-kriminatif. Apalagi para pemo-hon tidak menjelaskan hal ter-sebut bahkan para pemohonsama sekali tidak mempersepsi-kan bila ada perbedaan antaraperusahaan asuransi denganbank atau dengan perusahaanreasuransi, dana pensiun, atauBUMN. Padahal hal ini jelasdiatur dalam Pasal 2 ayat (5)UU No. 37 Tahun 2004 yang

Page 89: BOOK Volume2nomor2September2005

88 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

menyatakan, “Dalam hal de-bitor adalah perusahaan asu-ransi, perusahaan reasuransi,dana pension, atau BadanUsaha Milik Negara yang ber-gerak di bidang kepentinganpublik, permohonan pernya-taan pailit hanya dapat diaju-kan oleh Menteri Keuangan.”Kemudian Pasal 223 UU No. 37Tahun 2004 jelas menyatakandalam hal debitor adalah bankmaka yang dapat mengajukanpailit hanyalah Bank Indonesia,dan dalam hal debitor adalahperusahaan efek dan sejenisnyamaka yang hanya dapat menga-jukan pailit adalah Bapepam.Dilihat dari ketentuan-keten-tuan ini maka seyogyanya per-mohonan pengujian oleh parapemohon dilakukan untuk se-mua kewenangan kelembagaanlainnya di dalam pengajuanpailit dan PKPU seperti BankIndonesia dan Bapepam, ka-rena jelas semuanya masukdalam lingkup pembatasan da-lam persepsi permohonan parapemohon.3

Apabila kita memban-dingkan perusahaan asuransidengan bank, maka sebenarnyatidak ada perbedaan yang signi-fikan. Bank Indonesia juga di-

berikan kewenangan eksklusifdi dalam UU No. 37 Tahun2004 untuk mengajukan per-mohonan pailit terhadap bank.Dalam konteks kepailitan, apa-bila debitor memiliki dua ataulebih kreditor dan tidak mem-bayar sedikitnya satu utang(utang pokok dan bunganya),yang telah jatuh tempo dandapat ditagih dinyatakan pailitdengan putusan pengadilanniaga, baik atas permohonan-nya atau atas permintaan kre-ditornya. Namun, untuk bank(bank menurut UU Perbankan)sebagai debitor maka UU No.37 Tahun 2004 mengatur per-mohonan pernyataan pailithanya dapat diajukan oleh BankIndonensia. Bank Indonesiadisini berfungsi sebagai oto-ritas perbankan.4 Sebagai oto-ritas perbankan maka BI mem-punyai kewenangan untukmengatur, mengawasi, mem-berikan dan mencabut izin usa-ha serta mengenakan sanksidalam hal bank melakukanpelanggaran terhadap pera-turan perundang-undanganperbankan. Pertimbangannyakenapa harus hanya bank Indo-nesia karena untuk melindungikepentingan nasabah, perusa-

Page 90: BOOK Volume2nomor2September2005

89������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

haan bank itu sendiri, danmasyarakat umum lainnya.

Keadaan suatu bankdikatakan mengalami kesulitanyang membahayakan kelang-sungan usahanya apabila ber-dasarkan penilaian Bank Indo-nesia, kondisi usaha bank se-makin memburuk, antara lainditandai dengan penurunanpermodalan, menurutnya kua-litas aset, menurunnya likuid-itas, dan menurunnya renta-bilitas serta pengelolaan bankyang tidak dilakukan berdasar-kan prinsip kehati-hatian danasas perbankan yang sehat.Dalam hal ini ditetapkan lang-kah-langkah yang perlu dilaku-kan terhadap bank yang meng-alami kesulitan dan memba-hayakan kelangsungan usaha-nya, agar tidak terjadi pen-cabutan izin usahanya dan atautindakan likuidasi. Inilah se-benarnya tugas dari otoritasperbankan. Otoritas perbankantidak menghendaki bank yangdiawasi dicabut izin usahanyaataupun dilikuidasi. Langkah-langkah dimaksud dilakukandalam rangka mempertahan-kan atau menyelamatkan banksebagai lembaga kepercayaanmasyarakat.

Sangat dipahami bahwabank itu berhubungan denganmasyarakat dalam arti luastermasuk dunia usaha. Baiksebagai nasabah penyimpan,baik itu tabungan, deposito,giro, sertifikat deposito, mau-pun perusahaan ataupun lem-baga lain yang meminjamkandananya kepada bank tersebut,baik itu di dalam negeri maupundi luar negeri. Apabila bank inimelakukan transaksi luar nege-ri seperti halnya melakukantransaksi pembukaan letter ofcredit (L/C) atau penerbitanjaminan perbankan internasio-nal, tentunya kalau dibuka L/C, diterbitkan jaminan perban-kan internasional ada pihakyang berhak atas pembayaranL/C yang diterbitkan itu ataupenerbitan jaminan internasio-nal itu. Semua itu adalah kre-ditor, artinya yang memilikipiutang kepada bank trsebut.Dengan demikian harus di-pahami bahwa harus sangathati-hati apabila suatu bankingin dipailitkan atau oleh BIingin diajukan permohonanpailit kepada pengadilan niaga.Karena implikasinya tidak se-perti implikasi pada perusa-haan biasa, tapi menyangkut

Page 91: BOOK Volume2nomor2September2005

90 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

kepercayaan masyarakat baikdomestik maupun masyarakatinternasional.

Hal ini tentu saja tidakberbeda dengan perusahaanasuransi. Dalam UU No. 37Tahun 2004 diatur bahwa apa-bila seorang ingin mengajukanpailit satu debitor, kalau iamenyangkut perusahaan asu-ransi, maka kewenangan bolehatau tidaknya ada pada menterikeuangan. Adanya ketentuanini dimaksudkan untuk rangkamelindungi kepentingan pihakketiga dalam hal ini bisa kon-sumen asuransi, perusahaanasuransi dan masyarakat umumlainnya karena akan meng-gangu sistem perasuransiansecara keseluruhan.5

Perjanjian asuransi da-lam asuransi mempunyai ke-khasan atau kekhususan yangtidak dapat disamakan denganIndustri lainnya, karena dalamindustri asuransi, masyarakattelah mempercayakan uang-nya/dananya untuk dikelolaoleh perusahaan asuransi da-lam jangka waktu yang bisapendek dan bisa jangka pan-jang. Adapun jenis peransurasi-an pun sangat beragam darikebakaran, rumah sakit, benca-

na alam, dan sebagainya se-hingga masyarakat sangat meng-gantungkan diri pada asuransi.Dunia asuransi dari hari ke hariterus berkembang baik di da-lam pengumpulan dana masya-rakat maupun dalam pelaya-nannya kepada masyarakat.Hal ini tentu saja berakibatbahwa kepailitan suatu per-usahaan asuransi berimplikasiluas merugikan masyarakat,sehingga jelas perlu dilindungi.

Kalau dibidang perban-kan ada istilah bila satu bankditutup akan ada rush. Kalaukepercayaan masyarakat padabank tidak ada, maka bisa jadisemua orang akan menarikdepopsitonya secara bersa-maan, maka tentu saja sistemperbankan bisa collapse. Be-gitu juga dengan asuransi, apa-bila semua orang menarik diridari asuransi maka tentu sajaperusahaan asuransi akan col-lapse juga.

Undang-Undang Nomor2 Tahun 1992 tentang UsahaPerasuransian memuat keten-tuan khusus yaitu Bab X, Pasal20 menyangkut kepailitan danlikuidasi perusahaan asuransi.Pasal 20 ayat (1) UU tersebutpada pokoknya menyatakan

Page 92: BOOK Volume2nomor2September2005

91������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

bahwa, “dengan tidak mengu-rangi berlakunya ketentuandalam Peraturan Kepailitan,dalam hal terdapat penca-butan izin usaha sebagaimanadimaksud dalam Pasal 18,maka menteri, berdasarkankepentingan umum dapat me-mintakan kepada pengadilanagar perusahaan yang ber-sangkutan dinyatakan pailit”.Yang dimaksudkan denganmenteri di sini, tentu saja Men-teri Keuangan Republik Indo-nesia. Pasal ini menurut penulistidak akan berarti lagi karena didalam Pasal 2 ayat (5) UUKepailitan disebutkan, “dalamhal debitor adalah perusaha-an asuransi, permohonan per-nyataan pailit hanya dapatdiajukan oleh menteri keuang-an”. Hal ini tentu saja sejalandengan maksud dari pembuatundang-undang untuk melin-dungi kepentingan para peme-gang polis asuransi.

Kewenangan MenteriKewenangan MenteriKewenangan MenteriKewenangan MenteriKewenangan MenteriK e u a n g a nK e u a n g a nK e u a n g a nK e u a n g a nK e u a n g a n

Berkaitan dengan bank,maka tentu saja Bank Indone-sia sebagai otoritas perbankanjelas mempunyai posisi yanglayak di dalam menentukan

sebuah bank boleh dinyatakanpailit atau tidak. Pertanyaan-nya, bagaimana dengan men-teri keuangan, apakah cukuplayak diberikan kewenanganuntuk memilah-milah apakahsuatu perusahaan asuransi bisadipailitkan atau tidak. Dari segiUUK, si debitor pasti layakdipailitkan karena ada kre-ditornya, ada tagihan yangsudah bisa ditagih dan macet,dan kreditornya lebih dari satuwalaupun hanya 1%, namundari sisi lain ada batasan darimenteri keuangan. Apakah men-teri keuangan mempunyai ka-pasitas dan pengetahuan untukmenilai kondisi suatu perusa-haan ausransi. Tentu saja hal inihanya dapat dinilai dari per-aturan perundang-undanganyang mengatur tentang per-asuransian.

Pasal 1 angka 14 dan Pa-sal 10 Undang-Undang No. 2Tahun 1992 tentang UsahaPerasuransian telah memberi-kan kewenangan kepada men-teri keuangan untuk melakukanpembinaan dan pengawasanterhadap usaha perasuransiandi Indonesia. Lebih lanjut kewe-nangan tersebut diatur dalamPasal 15, Pasal 16, Pasal 17 dan

Page 93: BOOK Volume2nomor2September2005

92 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Pasal 18 Undang-Undang No-mor 2 Tahun 1992 tentang Usa-ha Perasuransian sebagai be-rikut:6

Pasal 15:(1) Dalam melakukan pembi-

naan dan pengawasan,menteri melakukan peme-riksaan berkala atau setiapwaktu apabila diperlukanterhadap usaha perasuran-sian.

(2) Setiap perusahaan perasu-ransian wajib memperlihat-kan buku, catatan, doku-men, dan laporan-laporan,serta memberikan kete-rangan yang diperlukandalam rangka pemeriksaansebagaimana dimaksud da-lam ayat (1).

(3) Persyaratan dan tata carapemeriksaan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1)ditetapkan oleh menteri.

Pasal 16:(1) Setiap Perusahaan Asuransi

Kerugian, Perusahaan Asu-ransi Jiwa, Perusahaan Re-asuransi, Perusahaan Pi-alang Asuransi dan Per-usahaan Pialang Reasuransiwajib menyampaikan ne-raca dan perhitungan labarugi perusahaan beserta

penjelasannya kepadamenteri.

(2) Setiap perusahaan perasu-ransian wajib menyampai-kan laporan operasionalkepada menteri.

(3) Setiap Perusahaan AsuransiKerugian, Perusahaan Asu-ransi Jiwa, dan PerusahaanReasuransian wajib meng-umumkan neraca dan per-hitungan laba rugi perusa-haan dalam surat kabarharian di Indonesia yangmemiliki peredaran yangluas.

(4) Selain kewajiban sebagai-mana dimaksud dalam ayat(1), ayat (2) dan ayat (3),setiap Perusahaan AsuransiJiwa wajib menyampaikanlaporan investasi kepadamenteri.

(5) Bentuk susunan dan jadwalpenyampaian laporan sertapengumuman neraca danperhitungan laba rugi per-usahaan sebagaimana di-maksud dalam ayat (1), ayat(2), ayat (3) dan ayat (4)ditetapkan oleh menteri.

Pasal 17:(1) Dalam hal terdapat pelang-

garan terhadap ketentuandalam Undang-undang ini

Page 94: BOOK Volume2nomor2September2005

93������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

atau peraturan pelaksana-annya, menteri dapat me-lakukan tindakan berupapemberian peringatan,pembatasan kegiatan usa-ha, atau pencabutan izinusaha.

(2) Tindakan sebagaimana di-maksud dalam ayat (1) di-terapkan dengan tahapanpelaksanaan sebagai be-rikut:

a.Pemberian peringatan;b.Pembatasan kegiatan

usaha;c.Pencabutan izin usaha;

(3) Sebelum pencabutan izinusaha, menteri dapat me-merintahkan perusahaanyang bersangkutan untukmenyusun rencana dalamrangka mengatasi penye-bab dari pembatasan kegi-atan usahanya.

(4) Tata cara pelaksanaan ke-tentuan sebagaimana di-maksud dalam ayat (1) sertajangka waktu bagi perusa-haan dalam memenuhi ke-tentuan sebagaimana di-maksud dalam ayat (3) di-atur dengan Peraturan Pe-merintah.

Pasal 18:(1) Dalam hal tindakan untuk

memenuhi rencana seba-gaimana dimaksud dalamPasal 17 ayat (3) telah di-laksanakan dan apabila daripelaksanaan tersebut dapatdisimpulkan bahwa per-usahaan yang bersangkut-an tidak mampu atau tidakbersedia menghilangkanhal-hal yang menyebabkanpembatasan termaksud,maka menteri mencabutizin usaha perusahaan.

(2) Pencabutan izin usaha di-umumkan oleh menteri da-lam surat kabar harian diIndonesia yang memilikiperedaran yang luas.

Dalam rangka melakukanfungsi pembinaan dan peng-awasan terhadap usaha per-asuransian di Indonesia, men-teri keuangan wajib berupayaaktif untuk membangun kese-hatan perusahaan-perusahaanasuransi dengan mendasarkanmekanisme penilaian pada pe-menuhan syarat kesehatan ke-uangan berdasarkan Risk BasedCapital (RBC) serta integritasberusaha yang sehat, jujur,konsisten yang secara simultanatas perusahaan tersebut di-lakukan pembinaan dan peng-

Page 95: BOOK Volume2nomor2September2005

94 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

awasan seperti yang telahdijabarkan dalam pasal-pasaltersebut di atas. Pemerintahtelah menerbitkan peraturan-peraturan pelaksanan dalamrangka upaya-upaya pening-katan kesehatan, perlindungantertanggung, dan transparansiserta wibawa perusahaan asu-ransi tersebut dimata masya-rakat, yang antara lain dengandikeluarkannya enam Kepu-tusan Menteri Keuangan padatanggal 30 September 2003sebagai berikut:

- Keputusan Menteri Ke-uangan Republik IndonesiaNomor 421/KMK.06/2003tentang Penilaian Kemam-puan dan Kepatutan bagiDireksi dan Komisaris Per-aturan Perasuransian.

- Keputusan Menteri Ke-uangan Republik IndonesiaNomor 422/KMK.06/2003tentang PenyelenggaraanUsaha Perusahaan Asuran-si dan Perusahaan Reasu-ransi.

- Keputusan Menteri Ke-uangan Republik IndonesiaNomor 423/KMK.06/2003tentang Pemeriksaan Per-usahaan Perasuransian.

- Keputusan Menteri Ke-uangan Republik IndonesiaNomor 424/KMK.06/2003tentang Kesehatan Keuang-an Prusahaan Asuransi danPerusahaan Reasuransi.

- Keputusan Menteri Ke-uangan Republik IndonesiaNomor 425/KMK.06/2003tentang Perizinan dan Pe-nyelenggaraan KegiatanUsaha Penunjang UsahaAsuransi.

- Keputusan Menteri Ke-uangan Republik IndonesiaNomor 426/KMK.06/2003tentang Perizinan Usahadan Kelenbagaan Perusa-haan Asuransi dan Perusa-haan Reasuransi.

Dalam kenyataannya,menteri keuangan sebagai oto-ritas yang bertanggungjawabmelakukan pembinaan danpengawasan terhadap perusa-haan asuransi, selain memberi-kan penghargaan terhadap per-usahaan-perusahaan asuransiyang melakukan aktivitas usa-hanya dengan baik, tetapi jugasecara tegas memberikan huku-man (rewards and punish-ment) sesuai dengan ketentuandalam Pasal 17 dan 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992

Page 96: BOOK Volume2nomor2September2005

95������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

tentang Usaha Perasuransiantersebut terhadap perusahaan-perusahaan asuransi yang tidaksehat, tidak jujur dan melang-gar ketentuan-ketentuan yangdiatur dalam aktivitas usahaperasuransian berdasarkan UUNomor 2 Tahun 1992 tentangUsaha Perasuransian dan KitabUndang-Undang Hukum Da-gang Indonesia (KUHD). Misal-nya, menteri keuangan telahmenjatuhkan sanksi pencabut-an izin usaha kepada sepuluhperusahaan asuransi yang tidakdapat juga memperbaiki kese-hatan dan serta pelayanannyasetelah pemerintah sebelum-nya menjatuhkan sanksi Pem-batasan Kegiatan Usaha (PKU)kepada perusahaan-perusaha-an asuransi tersebut, sebagaiberikut.- Perusahaan Asuransi PT

Asuransi Jiwa Paja yangmerupakan KEP-108/KM.6/2004 tanggal 16 Maret2004.

- Perusahaan Asuransi PTAsuransi Jiwa PrincipalEgalita Indonesia yang me-rupakan usaha AsuransiJiwa yang dicabut izin usa-hanya berdasarkan KEP-110/KM.6/2004 tanggal 16

Maret 2004.- Perusahaan Asuransi PT

Asuransi Murni yang meru-pakan usaha Asuransi Keru-gian yang dicabut izin usa-hanya berdasarkan KEP-113/KM.6/2004 tanggal 16Maret 2004.

- Perusahaan Asuransi PTAsuransi Jiwa Namura Lifeyang merupakan usahaAsuransi Jiwa yang dicabutizin usahanya berdasarkanK E P - 0 0 4 / K M . 5 / 2 0 0 5tangal 5 Januari 2005.

- Perusahaan Asuransi PTAsuransi Purwadjasa yangmerupakan Asuransi Keru-gian yang dicabut izin usa-hanya berdasarkan KEP-005/KM.5/2005 tanggal 5Januari 2005.

- Perusahaan Asuransi PTAsuransi Securindo Adhi-gama yang merupakanAsuransi Kerugian yangdicabut izin usahanya ber-dasarkan KEP-006/KM.5/2005 tanggal 5 Januari2005.

- Perusahaan Asuransi PTAsuransi Kharisma PersadaRaya yang merupakanAsuransi Kerugian yangdicabut izin usahanya ber-

Page 97: BOOK Volume2nomor2September2005

96 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

dasarkan KEP-007/KM.5/2005 tanggal 5 Januari2005.

- Perusahaan Asuransi PTAsuransi Jiwa Berkah Har-da Sentosa yang merupakanAsuransi Jiwa berdasarkanKEP-062/KM.5/2005 tang-gal 14 Februari 2005.

- Perusahaan Asuransi PTNabasa Life Insurance yangmerupakan asuransi jiwayang dicabut izin usahanyaberdasarkan KEP-063/KM.5/2005 tanggal 14 Fe-bruari 2005.

- Perusahaan Asuransi PTAsuransi Pura Nusantarayang merupakan AsuransiJiwa yang dicabut izin usa-hanya berdasarkan KEP-064/KM.5/2005 tanggal14 Februari 2005.

Dengan demikian jelasbahwa menteri keuangan se-bagai pembina dan pengawasusaha perasuransian di Indo-nesia telah melakukan upaya-upaya yang menekankan perlu-nya perusahaan-perusahaanasuransi untuk menghargaihak-hak dan menjaga keper-cayaan dari masyarakat kon-sumen asuransi yang menjadipenentu pasar asuransi di In-

donesia saat ini dan di masadepan. Di sisi lain juga menjagaperusahaan asuransi dari per-lakuan pihak-pihak yang tidakbertanggungjawab. Jikalau kitamelihat peran menteri keuang-an yang besar di dalam meng-atur, membina dan mengawasiperusahaan asuransi sebagai-mana yang diatur dalam UUNo. 2 Tahun 1992 di atas. Makamenurut hemat kami menterikeuangan sangat layak untukdiberikan kewenangan sebagaipihak yang mengajukan per-mohonan pailit terhadapperusahaan asuransi.

Berkaitan dengan kewe-nangan menteri keuangan ini,Mahkamah Konsitusi mem-berikan pertimbangan yangcukup dan layak di dalam pu-tusannya. Menurut MahkamahKonstitusi, perusahaan asu-ransi merupakan suatu per-usahaan yang bersifat khas,yang karateristiknya menyang-kut berbagai kepentingan yangharus dilindungi, khususnyakepentingan konsumen yangbiasanya berjumlah sangatbesar, dan kepentingan per-usahaan asuransi untuk hidup.Semua kepentingan ini harusdilindungi secara seimbang,

Page 98: BOOK Volume2nomor2September2005

97������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

baik itu kepentingan konsumenasuransi, kepentingan masya-rakat umumnya dan kepen-tingan perusahaan asuransi.Selain itu menurut Mahkamah,perusahaan asuransi meru-pakan lembaga keuangan pru-densial yang menyerap,mengelola dan menguasai danamasyarakat, bahkan sebagianbesar kekayaannya merupakanmodal perusahaan. Akumulasimodal masyarakat yang jum-lahnya cukup besar itu se-bagian besar digunakan untukmembiayai pembangunan eko-nomi nasional. Oleh karena itujelas, pernyataan pailit ter-hadap perusahaan asuransidapat menggoncangkan kehi-dupan ekonomi masyarakatdan akan menimbulkan citraburuk perusahaan asuransipada umumnya di mata masya-rakat yang pada gilirannya akanmenyebabkan berkurangnyaatau bahkan hilangnya keper-cayaan masyarakat terhadapperusahaan asuransi, padahalperusahaan asuransi yang ter-percaya dan mampu meng-akumulasi modal masyarakatuntuk membantu membiayaipembangunan ekonomi nasio-nal sangat dibutuhkan.7

Kami tidak mempunyaipandangan yang berbeda de-ngan pandangan MahkamahKonsitusi di atas. Kami ber-pendapat jelas bahwa kasuskepailitan sebuah bank ataupunsebuah perusahaan asuransiharus ditanggapi secara seim-bang oleh masyarakat karenakedua-duanya bisa memba-hayakan perekonomian nasio-nal sehingga pengadilan atau-pun pemerintah harus mem-berikan perhatian yang serius.Selama ini, kasus kepailitansebuah bank hampir tidak per-nah ada karena memang ma-syarakat pada umumnya mera-sakan pentingnya sebuah bankbagi perekonomian nasional.Selain itu, kehidupan perban-kan Indonesia menjadi bagiandari kebijakan Pemerintah yangsifatnya “publik” sehingga ka-sus kepailitan perbankan ham-pir tidak ada. Yang ada hanya-lah “likuidasi” bank-bank na-sional yang juga merupakankebijakan publik menurut per-aturan perundang-undanganperbankan yang ada. Hanyaada pihak yang pernah men-coba mengajukan permohonanpailit terhadap PT Bank Dana-mon yang sempat menimbul-

Page 99: BOOK Volume2nomor2September2005

98 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

kan silang pendapat di tengahmasyarakat. Untung saja Peng-adilan Niaga tidak mengikutikegilaan dari Pemohon sehing-ga permohonan tersebut dito-lak. Hal ini bisa berbeda denganperusahaan asuransi yang ma-sih dirasakan kurang “greget”-nya di tengah masyarakat se-hingga permohonan-permo-honan pailit terhadap perusa-haan asuransi sering kita de-ngar. Kasus-kasus kepailitan dibidang Asuransi misalnya:8

- Permohonan Pailit terha-dap PT Wataka Insuranceoleh Pemohon FrederickRahmat yang berakhir sete-lah tahap Peninjauan kem-bali yang menolak permo-honan pailit Pemohon danmemenangkan PT WatakaInsurance.

- Permohonan Pailit olehKurator PT Dharmala SaktiSejahtera terhadap PT Asu-ransi Jiwa Manulife, yangberakhir pada putusan Ka-sasi yang menolak permo-honan pailit Pemohon danmemenangkan PT AsuransiJiwa Manulife.

- Permohonan pailit olehChina Trust CommercialBank terhadap PT Asuransi

Jasa Indonesia (Persero)atau JASINDO, yang ber-akhir di tingkat kasasi yangisinya menolak permohon-an pailit Pemohon dan me-menangkan PT AsuransiJasa Indonesia (JASINDO).

- Permohonan pailit yangdiajukan oleh PT BumijayaTanjung terhadap PT Asu-ransi Tugu Indo, yang sam-pai tingkat PeninjauanKembali yang isinya me-nolak permohonan pailitPemohon dan memenang-kan PT Asuransi Tugu Indo.

Kasus-kasus tersebut diatas, walaupun permohonanpailit ditolak namun permo-honan pailit itu sendiri telahmengguncang industri per-asuransian Indonesia. Duniaperasuransian memang masihdianggap sebagai jasa kelas duayang sifatnya futuristik, pada-hal asuransi di bumi yang lainmenjadi investasi yang sangatmenjanjikan. Sementara ba-nyak pihak yang mengambilkeuntungan dari kondisi danpemahaman masyarakat yangkurang terhadap asuransi untukkepentingan-kepentingan se-pihak. Tidak sedikit pengacaradan broker asuransi yang me-

Page 100: BOOK Volume2nomor2September2005

99������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

manfaatkan kondisi lemahnyaposisi asuransi untuk mencarikeuntungan pribadi. Kasus PTPrudential Life Insurance danPT Asuransi Jiwa Manulife(AJMI) merupakan contoh da-ri lemahnya posisi asuransi dimata masyarakat.9

Misalnya kasus PT AJMIpada tahun 2002, putusan pailitpengadilan niaga terhadap PTAJMI yang masih solven hanyaberdasarkan dalih bahwa per-usahaan tersebut tidak mem-bayar kewajibannya kepadasalah satu kreditor tertentusaja, sekalipun kreditor-kre-ditor lainnya perusahaan ter-sebut masih memenuhi ke-wajiban-kewajibannya denganbaik. Putusan pengadilan niagatersebut tentu saja menim-bulkan reaksi keras dari ber-bagai pihak termasuk pihak-pihak asing seperti pemerintahKanada. Menurut Sutan Remy,hal itu dikarenakan persya-ratan dalam UU Kepailitan lamayang longgar sehingga mem-buat siapa saja dapat meng-ajukan permohonan pailit.10

Untung saja sekarangkita telah memiliki undang-undang kepailitan yang mem-berikan batasan agar tidak sem-

barang kreditor dapat meng-ajukan permohonan pailit kepa-da perusahaan asuransi layak-nya sebuah bank atau perusa-haan efek. Bagi kami pengujianterhadap UU No. 37 Tahun2004 hanya menyangkut per-usahaan asuransi, merupakanpermohonan pengujian yangtidak steril lagi dan tentu sajakeberadaan kewenangan men-teri keuangan merupakan “ne-raka” bagi pihak-pihak yangselama ini selalu menggangukehidupan perasuransian kita.

Dengan adanya kewe-nangan Bank Indonesia, Bape-pam, dan menteri keuangan didalam permohonan pailit, ma-ka UU Kepailitan kita sudahmemenuhi asas-asas universaldari sebuah undang-undangkepailitan yaitu antara lain:1 . Undang-undang kepailitan

harus dapat mendorongkegairahan investasi asing,mendorong pasar modal,dan memudahkan perusa-haan Indonesia mempe-roleh kredit luar negeri.Adanya persyaratan pailityang ketat dapat mendo-rong kegairahan investasi.Investor asing tidak perlutakut terhadap upaya-upa-

Page 101: BOOK Volume2nomor2September2005

100 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

ya pailit dari kreditor mino-ritas.

2. Undang-undang kepailitanharus memberikan perlin-dungan yang seimbang ke-pada kreditor dan debitor.Kedudukan seimbang kre-ditor dan debitor ini dapatterjamin apabila baik kepa-da kreditor maupun kepadadebitor diberikan hak dankewajiban dengan peng-awasan dan pembinaan dariinstansi berwewenang.

3. Keputusan pailit seyogya-nya berdasarkan persetu-juan para kreditor mayo-ritas. Hal ini perlu agar tidakmerugikan kreditor besarlain yang kebetulan tidaksetuju dengan keputusanpailit.

4. Permohonan pernyataanpailit seyogyanya hanyadapat diajukan terhadapdebitor yang insolven yaitudebitor yang tidak mem-bayar utang-utangnya ke-pada para kreditor mayo-ritas. Hal ini menjaga agarsetiap perusahaan tetapmenjaga kondisi perusaha-annya denganbaik. Keada-an insolven tentu saja bagibank merupakan kewe-

nangan BI untuk menilai-nya, bagi perusahaan efekadalah Bapepam dan bagiperusahaan asuransi adalahmenteri keuangan.

5. Undang-Undang Kepailitanharus mengakui hak sepa-ratis dari Kreditor Peme-gang Hak Jaminan. Hal iniberkaitan juga denganutang-utang dari pemeganghak jaminan atau utang pa-jak dari Ditjen Pajak.

6. Proses kepailitan harusterbuka untuk umum. Halini dikarenakan putusanpailit tidak menyangkutkreditornya saja tetapi jugapara stakeholder baik darikreditor maupun dari debi-tor.

Masalah InsolvensiMasalah InsolvensiMasalah InsolvensiMasalah InsolvensiMasalah InsolvensiMahkamah Konsitusi

sendiri berpendapat bahwalonggarnya persyaratan se-orang kreditor untuk meng-ajukan permohonan pailit ha-nya didasarkan pada utangyang jatuh tempo dan dapatditagih merupakan “kelalaian”pembuat undang-undang ka-rena seharusnya mencantum-kan frasa “keadaan tidak mam-pu membayar” sebagaimana

Page 102: BOOK Volume2nomor2September2005

101������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

yang dicantumkan dalam Pasal1 ayat (1) Faillissement-Veror-dening (Stablaad 05-217 jo.06-348) yang berbunyi: “Deschuldenaar, die in den toes-tand verkeert dat hij heftopgehouden te betalen,wordt, hetzij op eigen aangifte,heitzij op verzoek van een ofmeer zijner schuldeischers, bijrechtelijk vonnis in staat vanfaillissement verklaard”.11

Dalam hal ini kami tidaksependapat dengan MahkamahKonstitusi. UU No. 37 Tahun2004 sejauh ini merupakanundang-undang yang mema-hami kepentingan debitor dankepentingan kreditor. Adanyakewenangan dari Bank Indone-sia, menteri keuangan dan Ba-pepam di dalam mengajukanpailit terhadap bank, perusa-haan asuransi dan perusahaanefek menurut hemat kami me-rupakan suatu kompromi darikelonggaran persyaratan peng-ajuan pailit sebagaimana yangdiatur dalam UU No. 37 Tahun2004. Pernyataan “kelalaian”pembuat undang-undang tera-sa sangat berlebihan karenapertanyaannya, jikalau frasa diatas dimasukkan ke dalam ru-musan Pasal 2 ayat (2) UU No.

37 Tahun 2004, apakah kewe-nangan BI, menteri keuanganatau Bapepam tersebut tidakdiperlukan lagi? Masalahnyasiapa yang akan menilai “kea-daan tidak mampu membayar”.Tentu saja akan menimbulkankondisi kebingungan dan ke-tidakpastian. Apabila frasa inidimasukkan maka justru tidakmemberikan keseimbanganhak kepada debitor dan kre-ditor di dalam undang-undangkepailitan. Keberadaan frasatersebut justru telah dihapuskarena posisi debitor dan kre-ditor yang tidak seimbang didalam undang-undang kepai-litan lama sementara solvencytest tidak diatur dalam undang-undang tersebut. KewenanganBI, menteri keuangan, dan Ba-pepam tersebut merupakanjalan keluar terbaik untuk men-jaga keseimbangan antara kre-ditor dan debitor. Hal yangterpenting dari UU Kepailitanadalah perlindungan yang di-berikan kepada kreditor danpara stakeholders-nya jangansampai merugikan kepentingandebitor dan para stakeholders.Fungsi BI, menteri keuanganataupun Bapepam sebagai oto-ritas keuangan tentu saja meru-

Page 103: BOOK Volume2nomor2September2005

102 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

pakan pihak yang berhak danmempunyai wewenang untukmenilai “kondisi tidak mampumembayar” dari sebuah bank,perusahaan asuransi ataupunperusahaan efek.

Keberadaan frasa “kea-daan tidak mampu membayar”atau insolvensi pada dasarnyatidak dipergunakan lagi di da-lam aturan kepailitan di banyaknegara karena dianggap tidakmemberikan keadilan yangseimbang kepada kreditor dandebitor, tetapi diganti denganpembatasan dengan kewenang-an dari lembaga regulator.Misalnya, ketentuan The Codeof the Laws of The UnitedStates of America; GermanFederal Financial Services Su-pervisory Authority, TheFrench Insurance Code padapokoknya hanya memberikankewenangan kepada sebuahbadan regulator asuransi untukmengajukan permohonan pailitterhadap bank sentral dan per-usahaan asuransi. Hal ini di-lakukan dalam rangka melin-dungi kepentingan orang ba-nyak karena institusi perban-kan dan industri asuransi saatini telah menjadi bisnis yangmelingkupi hajat hidup orang

banyak sehingga patut dilin-dungi.12

PenutupPenutupPenutupPenutupPenutupSudah saatnya masya-

rakat lebih menghargai kebera-daan industri asuransi di Indo-nesia sebagai bagian dari inves-tasi jangka panjang layaknyaperbankan Indonesia. Ter-ganggunya industri asuransisama besar bahayanya denganterganggunya kehidupan in-dustri perbankan kita. Kitapatut bersyukur bahwa refor-masi di bidang peraturan per-undang-undangan kepailitantelah sampai pada titik yangmenggembirakan. Oleh karenaitu, keberadaan UU No. 37Tahun 2004 ini patut didukung.

Intinya, tidak ada per-lakuan istimewa terhadap per-usahaan asuransi, bank, atauperusahaan efek. Yang adahanyalah perlindungan ter-hadap kepentingan publik, ke-pentingan bangsa dan negarademi pembangunan nasional.Kita punya hak dan kebebasanuntuk menjadi nasabah sebuahbank atau menjadi konsumenasuransi, namun hak dan kebe-basan tersebut dibatasi denganhak dan kebebasannya orang

Page 104: BOOK Volume2nomor2September2005

103������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

lain sehingga adalah wajar danadil bila batasan tersebut diaturdalam undang-undang yangberlaku umum.

E n d n o t e sE n d n o t e sE n d n o t e sE n d n o t e sE n d n o t e s

1 Permohonan pengujianatas Undang-Undang Nomor 37Tahun 2004 tentang Kepailitandan Penundaan Kewajiban Pem-bayaran Utang (PKPU) terhadapUndang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945yang diajukan oleh YayasanLembaga Konsumen AsuransiIndonesia (YLKAI) tanggal 27Januari 2005, yang diajukanoleh Aryunia Candra Purnamatanggal 4 Februari 2005, danyang diajukan oleh Suharyantitanggal 4 Februari 2005.

2 Lihat Putusan Mahka-mah Konstitusi dalam PerkaraNomor: 071/PUU-II/2004 danPerkara Nomor: 001-002/PUU-III/2005 tanggal 17 Mei 2005.

3 Baik Permohonan Peng-ujian dari Yayasan LembagaKonsumen Asuransi Indonesia(YLKAI) tanggal 27 Januari2005, Aryunia Candra Purna-ma tanggal 4 Februari 2005, danSuharyanti tanggal 4 Februari2005 hanya mempersoalkanmengenai kewenangan MenteriKeuangan berkaitan denganperusahaan asuransi.

4 Ramlan Ginting, Kewe-

DafDafDafDafDaf tttttar Kar Kar Kar Kar Kepusepusepusepusepustttttaakaakaakaakaakaanaanaanaanaan

Epstein, David G. Bankruptcyand Other Debtor-Credi-tor Laws, St. Paul Minn:West Publishing Co, 1995.

Ginting, Ramlan. KewenanganEsklusif Bank Indonesiadalam Kepailitan dalamProseding: Rangkaian Lo-kakarya Terbatas Masa-lah-Masalah Kepailitandan Wawasan Hukum Bis-nis Lainnya, tanggal 26-28 Januari 2004, EditorEmmy Yuhassarie, Jakar-ta, 2005.

Mahkamah Konstitusi, PutusanMahkamah Konstitusi da-lam Perkara Nomor: 071/PUU-II/2004 dan PerkaraNomor: 001-002/PUU-III/2005 tanggal 17 Mei2005.

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indone-sia Nomor 37 Tahun 2004tentang kepailitan danPenundaan KewajibanPembayaran Utang.

Sjahdeini, Sutan Remy. HukumKepailitan. Penerbit Grafi-ti, Jakarta, Tahun 2002.

Soebagyo, Felix O. Aspek Kom-parasi Dalam Kepailitandalam Proseding: Rang-kaian Lokakarya TerbatasMasalah-Masalah Kepai-litan dan Wawasan Hu-kum Bisnis Lainnya, tang-gal 26-28 Januari 2004,Editor Emmy Yuhassarie,Jakarta, 2005.

Page 105: BOOK Volume2nomor2September2005

104 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

PendahuluanPendahuluanPendahuluanPendahuluanPendahuluanBelum hapus dari ingat-

an kita kehebohan dan kepa-nikan masyarakat akibat vonispailit yang sempat dijatuhkanbeberapa waktu lalu oleh Peng-adilan Niaga Jakarta terhadapPT Asuransi Jiwa Manulife In-donesia dan PT Prudential LifeAssurance, keduanya anak per-usahaan dari perusahaan-per-usahaan asuransi besar dunia.PT Asuransi Jiwa Manulife In-donesia dinyatakan pailit kare-na berselisih dengan (mantan)pemegang sahamnya mengenaimasalah pembayaran dividen,sementara Prudential dipailit-

kan karena berselisih dengan(mantan) agennya sehubungandengan masalah pembayaranbonus kepada (mantan) agen-nya tersebut. Kebanyakan ma-syarakat pada waktu itu mem-pertanyakan mengapa Peng-adilan Niaga Jakarta dapatmengabulkan permohonan pai-lit yang didasarkan atas tun-tutan pembayaran yang nilai-nya relatif sangat kecil biladibandingkan dengan nilai ke-kayaan yang dimiliki oleh per-usahaan-perusahan asuransitersebut (apalagi mengingatpada waktu itu Manulife mau-pun Prudential mempunyai

PERANAN DAN KEWENANGANMENTERI KEUANGAN

DALAM PROSES KEPAILITANPERUSAHAAN ASURANSI

Oleh TONY BUDIDJAJA, S.H., LL.M.Praktisi Hukum

Page 106: BOOK Volume2nomor2September2005

105������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

tingkat likuiditas, solvabiltas,dan profitabilitas yang tinggi).

Selain PT Asuransi JiwaManulife Indonesia dan PT Pru-dential Life Assurance, PT Wa-taka General Insurance punsempat dipailitkan pada tahun2000, karena tidak memenuhikewajiban pembayarannyaberdasarkan beberapa suretybond (jaminan pembayaranuang) yang dikeluarkannya,walaupun Wataka beralasanpembayaran itu tidak dapatdilakukannya karena persya-ratan klaim asuransi belumlengkap.1 Selain itu, ada bebe-rapa perusahaan asuransi lain-nya yang pernah dimohonkanpailit ke Pengadilan Niaga,seperti: PT Asuransi Jasa Indo-nesia (Persero), PT AsuransiTugu Indo, dan PT AsuransiJiwa Namura Tata Life.2

Melihat banyaknya per-mohonan pailit yang diajukanterhadap perusahaan asuransimaka wajar apabila banyakperusahaan asuransi di Indone-sia pada waktu itu menjadicemas dan kuatir kalau se-waktu-waktu mereka pun di-mohonkan pailit oleh kreditor-nya atau pihak yang berselisihpaham dengannya. Berbagai

kasus kepailitan tersebut me-nunjukkan bahwa perusahaanasuransi rentan dipailitkan olehpihak-pihak yang berselisihdengannya, mungkin itu pe-megang polisnya atau tertang-gungnya, agennya, pemasok-nya, perusahaan asuransi lain-nya, atau pihak-pihak lainnya.Bahkan dapat dikatakan, sema-kin besar usaha perusahaanasuransi itu, maka semakinbesar pula risikonya dipailit-kan.

Ancaman pailit itu sem-pat menjadi momok yang me-nakutkan bagi perusahaan-perusahaan asuransi dan me-nimbulkan suasana ketidak-pastian untuk berusaha di in-dustri asuransi di Indonesia.Undang-undang kepailitanyang ada pada waktu itu diang-gap tidak memberikan per-lindungan hukum yang me-madai bagi perusahaan asu-ransi, tidak seperti perlin-dungan hukum yang diberikanbagi bank atau perusahaan efek.Berdasarkan UU Kepailitanyang berlaku pada waktu itu,bila debitur merupakan bank,maka hak untuk mengajukanpermohonan pailit hanya adapada Bank Indonesia (BI); se-

Page 107: BOOK Volume2nomor2September2005

106 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

dangkan bila debitur meru-pakan perusahaan efek, makapermohonan pailit hanya dapatdiajukan oleh Badan PengawasPasar Modal (BAPEPAM). Itusebabnya banyak kalangan,termasuk Dewan Asuransi In-donesia (DAI), kemudian gigihmenuntut pemerintah dan De-wan Perwakilan Rakyat untukmerevisi Undang-Undang Ke-pailitan yang ada pada waktuitu, dan memasukkan suatuketentuan baru di dalam Un-dang-Undang kepailitan yangmensyaratkan pengajuan per-mohonan pernyataan pailitterhadap perusahaan asuransihanya dapat dilakukan olehmenteri keuangan.

Revisi Undang-UndangRevisi Undang-UndangRevisi Undang-UndangRevisi Undang-UndangRevisi Undang-UndangKepail i tanKepail i tanKepail i tanKepail i tanKepail i tan

Pada tanggal 18 Oktober2004, Undang-Undang tentangKepailitan dan Penundaan Ke-wajiban Pembayaran Utangyang baru, yakni Undang-Un-dang No. 37 Tahun 2004(selanjutnya disebut “UU Ke-pailitan”), pun diundangkandan dinyatakan mulai berlakuuntuk menggantikan Undang-Undang Kepailitan sebelum-nya, yakni Undang-Undang No

4 Tahun 1998, yang dianggapsudah tidak sesuai lagi dengankebutuhan dan perkembanganhukum dalam masyarakat, danjika ditinjau dari segi materiyang diatur, mengandung ber-bagai kekurangan dan kele-mahan.

Salah satu perbaikan ataupenambahan penting yang di-lakukan melalui UU Kepailitanbaru ini adalah pencantumanketentuan Pasal 2 ayat (5) danPasal 223 di dalam UU Ke-pailitan, yang berbunyi sebagaiberikut:

Pasal 2 ayat (5): “Da-lam hal debitor adalah Per-usahaan Asuransi, Perusaha-an Reasuransi, Dana Pensiundan Badan Usaha Milik Ne-gara yang bergerak di bidangkepentingan publik, permo-honan pernyataan pailit ha-nya dapat diajukan oleh Men-teri Keuangan”.

Pasal 223: “Dalam halDebitor adalah Bank, Perusa-haan Efek, Bursa Efek, Lem-baga Kliring dan Penjaminan,Lembaga Penyimpanan danPenyelesaian, PerusahaanAsuransi, Perusahaan Reasu-ransi, Dana Pensiun dan BadanUsaha Milik Negara yang

Page 108: BOOK Volume2nomor2September2005

107������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

bergerak di bidangkepentingan publik maka yangdapat mengajukanpermohonan penundaan ke-wajiban pembayaran utangadalah lembaga sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 ayat(3), ayat (4), dan ayat (5)”.

Selain itu, UU Kepailitanbaru ini juga menambahkanbeberapa ketentuan baru beri-kut ini:

Pasal 6 ayat (3): “Pani-tera wajib menolak pendaf-taran permohonan pernya-taan pailit bagi institusi se-bagaimana dimaksud dalamPasal 2 ayat (3), ayat (4) danayat (5) jika dilakukan tidaksesuai dengan ketentuan da-lam ayat-ayat tersebut”

Pasal 224 ayat (6):“Ketentuan sebagaimana di-maksud dalam Pasal 6 ayat (1),ayat (2), ayat (3), ayat (4) danayat (5) berlaku mutatis mu-tandis sebagai tata cara peng-ajuan permohonan penun-daan kewajiban pembayaranutang sebagaimana dimaksudpada ayat (1).”

Argumentasi-ArgumentasiArgumentasi-ArgumentasiArgumentasi-ArgumentasiArgumentasi-ArgumentasiArgumentasi-Argumentasihukum dalam Perkarahukum dalam Perkarahukum dalam Perkarahukum dalam Perkarahukum dalam PerkaraPermohonan Pengujian UUPermohonan Pengujian UUPermohonan Pengujian UUPermohonan Pengujian UUPermohonan Pengujian UU

Kepail i tanKepail i tanKepail i tanKepail i tanKepail i tanPencantuman ketentu-

an-ketentuan tersebut ternyatakemudian ditentang keras olehYayasan Lembaga KonsumenAsuransi Indonesia (YLKAI),beserta dua mantan nasabah PTPrudential Life Assurance: Aryu-nia Candra Purnama dan Suhar-yanti (ketiganya selanjutnyadisebut “para pemohon”).Para pemohon secara terpisah3

mengajukan permohonan peng-ujian (judicial review) Pasal 2ayat (5), Pasal 6 ayat (3), Pasal223, dan Pasal 224 ayat (6) UUKepailitan terhadap UndangUndang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 (UUD1945) dengan alasan keten-tuan-ketentuan tersebut me-langgar hak konstitusional kon-sumen asuransi atas pengaku-an, jaminan perlindungan dankepastian hukum yang adilserta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimanadiatur dalam Pasal 28D ayat (1)dan Pasal 27 ayat (1) UUD1945.4 Di dalam surat permo-honan mereka kepada Mahka-mah Konstitusi, para pemohonmenuntut agar ketentuan-ke-tentuan Pasal 2 ayat (5), Pasal6 ayat (3), Pasal 223, dan Pasal

Page 109: BOOK Volume2nomor2September2005

108 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

224 ayat (6) UU Kepailitantersebut dinyatakan berten-tangan dengan Pasal 28D ayat(1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD1945 dan selanjutnya dinyata-kan tidak mempunyai kekuatanhukum mengikat.

Menurut para pemohon,dengan adanya ketentuan Pasal2 ayat (5) dan Pasal 223 UUKepailitan maka “hak konsti-tusional” konsumen asuransiberdasarkan Pasal 28D ayat (1)dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945untuk mengajukan permohon-an pernyataan pailit dan per-mohonan penundaan kewajib-an pembayaran utang (PKPU)terhadap perusahaan asuransiyang memiliki kewajiban untukmembayar utang berupa klaimasuransi/manfaat asuransi te-lah dicabut, dibatasi dan dihi-langkan, karena ketentuan-ketentuan tersebut secara limi-tatif hanya memberikan kewe-nangan kepada menteri ke-uangan untuk mengajukan per-mohonan pernyataan pailit danPKPU terhadap perusahaanasuransi. Menurut para pe-mohon, ketentuan-ketentuantersebut juga telah membatasidan menghalangi hak konsu-men asuransi untuk menda-

patkan akses keadilan (accessto justice) langsung kepadalembaga yudikatif.5

Menurut para pemohon,ketentuan-ketentuan tersebutjuga telah melanggar ketentuanPasal 24 ayat (1), (2), (3)6 danPasal 24C ayat (1) UUD 19457

karena membuka ruang bagiintervensi lembaga eksekutif kedalam ruang lingkup yudikatif.Dengan diberikannya hak danwewenang secara limitatif ke-pada menteri keuangan, menu-rut para pemohon, menterikeuangan seolah-olah telahmenjadi bagian dari lembagayudikatif yang mengambil alihtugas pengambil suatu kepu-tusan hukum (quasi judicial),dalam hal ini menteri keuanganyang menentukan apakah per-usahaan asuransi itu layak atautidak untuk diajukan pailit atau-pun PKPU. Menurut para pe-mohon, hal ini jelas-jelas ber-tentangan dengan prinsip ke-kuasaan kehakiman yang meru-pakan kekuasaan yang merdekauntuk menegakkan hukum dankeadilan yang dilakukan olehMahkamah Agung dan badanperadilan yang berada di ba-wahnya serta sebuah Mahka-mah Konstitusi.

Page 110: BOOK Volume2nomor2September2005

109������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Menurut para pemohon,kewenangan yang telah diberi-kan kepada menteri keuanganberdasarkan Pasal 20 ayat (1)Undang-Undang Nomor 2 Ta-hun 1992 tentang Usaha Per-asuransian (UU Asuransi)selama ini telah dilalaikan olehmenteri keuangan dan hal ter-sebut sangat merugikan masya-rakat khususnya konsumenasuransi. Menurut para pe-mohon, dengan diberikannyahak eksklusif kepada menterikeuangan untuk mengajukanpermohonan pernyataan pailitdan PKPU terhadap perusahaanasuransi, tidak memberikandampak yang positif bagi ma-syarakat khususnya konsumenasuransi bahkan sangat meru-gikan masyarakat khususnyakonsumen asuransi, karenamenurut para pemohon selamaini meskipun banyak perusa-haan asuransi yang bermasalahdan telah pula dinyatakan da-lam status Pembatasan Kegiat-an Usaha (PKU) oleh menterikeuangan, namun tidak satu-pun yang dimohonkan pailitoleh menteri keuangan.8

Pada tanggal 17 Mei2005, Mahkamah Konstitusimenjatuhkan putusannya da-

lam perkara ini, yang padapokoknya menolak permohon-an para pemohon agar keten-tuan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal223 UU Kepailitan dinyatakanbertentangan dengan Pasal 28Dayat (1) dan Pasal 27 ayat (1)UUD 1945 dan dinyatakan ti-dak mempunyai kekuatan hu-kum mengikat. Di dalam Pu-tusannya, MK hanya menga-bulkan sebagian permohonanpara pemohon, yakni sebagaiberikut:

“Menyatakan Pasal 6ayat (3) beserta Penjelasannyadan Pasal 224 ayat (6) sepan-jang menyangkut kata “ayat(3)” Undang-Undang Nomor37 Tahun 2004 tentang Ke-pailitan dan Penundaan Ke-wajiban Pembayaran Utang(Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor131, Tambahan Lembaran Ne-gara Republik Indonesia No-mor 4443) bertentangan de-ngan Undang-Undang Dasar1945 .”

“Menyatakan Pasal 6ayat (3) beserta Penjelasannyadan Pasal 224 ayat (6) sepan-jang menyangkut kata “ayat(3)” Undang-Undang Nomor37 Tahun 2004 tentang Ke-

Page 111: BOOK Volume2nomor2September2005

110 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

pailitan dan Penundaan Kewa-jiban Pembayaran Utang(Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor131, Tambahan Lembaran Ne-gara Republik Indonesia No-mor 4443) tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat.”

Di dalam putusannya,Mahkamah Konstitusi menya-takan bahwa Pasal 2 ayat (5) danPasal 223 UU Kepailitan tidakbertentangan dengan denganPasal 28D ayat (1) dan Pasal 27ayat (1) UUD 1945. MenurutMahkamah Konstitusi, keten-tuan-ketentuan Pasal 2 ayat (5)dan Pasal 223 UU Kepailitantersebut bukan hanya berlakuuntuk para pemohon, akantetapi juga untuk seluruh warganegara Indonesia. Selain itu,Mahkamah Konstitusi menya-takan bahwa ketentuan terse-but hanya membatasi hak dibidang hukum formal (hukumacara)9, dan hal ini diperkenan-kan apabila terdapat kepen-tingan yang lebih besar yangharus dilindungi dan tetaptersedianya jalan lain yangseimbang bagi pihak yang me-rasa dirugikan oleh berlakunya.

Lagipula, kewenanganmenteri keuangan sebagaima-

na dimaksud dalam Pasal 2 ayat(5) UU Kepailitan, menurutmahkamah konstitusi, hanyamenyangkut kedudukan hukummenteri keuangan sebagai pe-mohon dalam perkara kepai-litan, mengingat fungsi menterikeuangan sebagai pemegangotoritas di bidang keuangandan tidak memberikan kepu-tusan yudisial yang merupakankewenangan hakim. MenurutMahkamah Konstitusi, hal itutidak bertentangan denganPasal 24 ayat (1), (2) dan (3)UUD 1945 serta Pasal 24C ayat(1) UUD 1945.

Karakteristik IndustriKarakteristik IndustriKarakteristik IndustriKarakteristik IndustriKarakteristik IndustriAsuransiAsuransiAsuransiAsuransiAsuransi

Industri asuransi memi-liki karakteristik khusus, karenaindustri tersebut menyangkutkepentingan masyarakat ba-nyak, khususnya nasabah ataupemegang polis yang biasanyajumlahnya ribuan atau bahkanjutaan orang. Selain itu, indus-tri asuransi juga menyangkutkepentingan negara. Sepertihalnya perbankan, industriasuransi (demikian pula reasu-ransi dan dana pensiun) mem-punyai peran vital dan strategisdalam perekonomian suatu

Page 112: BOOK Volume2nomor2September2005

111������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

negara, karena dalam men-jalankan usahanya, institusitersebut menghimpun dan me-mobilisasi dana masyarakatdalam jumlah yang sangat besarserta mempekerjakan begitubanyak orang.

Industri asuransi meru-pakan lembaga jasa keuanganprudensial (LJKP), dan karena-nya usahanya sangat bergan-tung pada kepercayaan ma-syarakat. Melihat karakter per-usahaan asuransi yang men-jalankan usahanya denganmenghimpun dana masyarakat,maka tentu saja kepercayaanmasyarakat merupakan modalutama bagi perusahaan asu-ransi dalam menjalankan usa-hanya. Semakin besar tingkatkepercayaan masyarakat ter-hadap industri asuransi, makasemakin besar pula kemampu-an industri asuransi untukmembantu dan membangunperekonomian nasional. Ke-percayaan masyarakat terha-dap industri asuransi itu ka-renanya penting untuk dijaga,dipertahankan, bahkan diting-katkan kualitasnya.

Melihat karakteristikperusahaan asuransi yang khu-sus, maka undang-undang me-

wajibkan pemerintah, dalamhal ini Menteri Keuangan, un-tuk melakukan pembinaan danpengawasan secara ketat danberkesinambungan terhadapperusahaan-perusahaan asu-ransi di Indonesia10, dalamrangka melindungi kepentinganmasyarakat dan industri asu-ransi itu sendiri. Dalam hal ini,Menteri Keuangan selaku regu-lator berkewajiban untuk me-wujudkan suatu iklim usahaasuransi yang kondusif danyang dapat memberikan per-lindungan baik kepada ter-tanggung maupun industri asu-ransi.

UU Asuransi11 menen-tukan bahwa pembinaan danpengawasan terhadap usahaperasuransian meliputi:1. Kesehatan keuangan bagi

perusahaan asuransi keru-gian, perusahaan asuransijiwa, dan perusahaan re-asuransi yang terdiri dari:batas tingkat solvabilitas,retensi sendiri, reasuransi,investasi, cadangan teknik,dan ketentuan-ketentuanlain yang berhubungan de-ngan kesehatan keuangan;

2. Penyelenggaraan usahayang terdiri dari: syarat-syarat polis asuransi, ting-

Page 113: BOOK Volume2nomor2September2005

112 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

kat premi, penyelesaianklaim, persyaratan keah-lian di bidang perasuran-sian, dan ketentuan-keten-tuan lain yang berhubung-an dengan penyelengga-raan usaha.

Dalam rangka menjalan-kan tugas pembinaan dan peng-awasan ini, pemerintah me-wajibkan setiap perusahaanasuransi untuk memeliharakesehatan keuangan serta me-lakukan usaha sesuai denganprinsip-prinsip asuransi yangsehat. Kegiatan pembinaan danpengawasan juga dilakukanmelalui pemeriksaan berkalaatau setiap waktu terhadapusaha asuransi. Selain itu, se-tiap perusahaan asuransi wajibmemperlihatkan buku, catatan,dokumen, dan laporan-lapor-an, serta memberikan kete-rangan yang diperlukan dalamrangka pemeriksaan. Pemerik-saan dimaksud untuk menelitisecara langsung kebenaranlaporan yang disampaikan per-usahaan, baik kesehatan ke-uangan maupun praktik penye-lenggaraan usaha sesuai de-ngan ketentuan undang-un-dang.

Apabila terjadi pelang-garan terhadap ketentuan da-lam UU Asuransi atau per-

aturan pelaksanannya, makamenteri keuangan mempunyaikewenangan untuk mengambiltindakan berupa pemberianperingatan, pembatasan ke-giatan usaha atau pencabutanizin usaha terhadap perusahaanasuransi.12

Selain itu, menteri ke-uangan berwenang pula untukmengajukan permohonan pailitterhadap suatu perusahaanasuransi.13 Kewenangan men-teri keuangan untuk meng-ajukan permohonan pailit ter-sebut terutama dimaksudkanagar para pemegang polis dariperusahaan asuransi itu tetapdapat memperoleh haknya se-cara proporsional, di sampingmencegah kegiatan-kegiatanyang tidak sehat dari perusa-haan asuransi tersebut.

Proses Kepailitan terhadapProses Kepailitan terhadapProses Kepailitan terhadapProses Kepailitan terhadapProses Kepailitan terhadapPerusahaan AsuransiPerusahaan AsuransiPerusahaan AsuransiPerusahaan AsuransiPerusahaan Asuransi

Perkara permohonanpailit berbeda dengan perkaragugatan perdata pada umum-nya. Apabila tujuan pengajuangugatan perdata adalah untukmenyelesaikan suatu sengketadengan suatu putusan peng-adilan (yang pada umumnyamenyatakan siapa yang benar

Page 114: BOOK Volume2nomor2September2005

113������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

dan siapa yang salah dan harusdihukum), maka tujuan peng-ajuan permohonan pailit ada-lah untuk mengatasi masalahkeuangan debitor yang kesulit-an membayar utangnya yangsudah jatuh waktu dan wajibdibayar, dengan jalan melikui-dasi harta kekayaan debitor(guna pelunasan utang debitor)atau mereorganisasi usaha de-bitor. Proses kepailitan tidakdimaksudkan untuk menyele-saikan perselisihan atau seng-keta para pihak mengenai pe-nafsiran dan pelaksanaan suatuketentuan dalam perjanjianatau keadaan tertentu yangmasih harus dibuktikan dandiselesaikan oleh pengadilanterlebih dahulu.

Perkara permohonanpailit karenanya seharusnyatidak bersifat adversarial ataumengandung suatu perseli-sihan atau sengketa, sepertihalnya dalam proses penyele-saian sengketa melalui gugatanperdata.

Salah satu akibat hukumpenting terhadap suatu putus-an pernyataan pailit adalahperubahan status hukum de-bitor menjadi tidak cakap untukmelakukan perbuatan hukum,

khususnya untuk menguasaidan mengurus harta kekaya-annya, sejak putusan pernya-taan pailit diucapkan. MenurutFred B. G. Tumbuan,14 mem-perhatikan bahwa pernyataanpailit berakibat bahwa seluruhharta kekayaan debitor terkenasita jaminan dan debitor demihukum kehilangan haknya un-tuk mengurus kekayaannyayang termasuk harta pailit,keadaan mana mungkin sajaakan merugikan para kreditorlainnya kecuali kreditor pemo-hon pailit, maka perlu diper-hatikan bahwa debitor berhakatas perlindungan wajar terha-dap penyalahgunaan wewe-nang tersebut oleh kreditorpemohon pernyataan pailit.Kiranya layak bahwa Peng-adilan, sebelum mengabulkanpermohonan pernyataan pailit,menimbang apakah kreditorpemohon pernyataan pailitmempunyai “kepentingan wa-jar” (redelijk belang) dalampernyataan pailit debitornya.Apakah kreditor tersebut tidakmempunyai kepentingan wa-jar, maka sesungguhnya ia telahmenyalahgunakan wewenang-nya (misbruik van bevoegd-heid) yang dimilikinya.

Page 115: BOOK Volume2nomor2September2005

114 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Perlu diingat pula bahwapermohonan pernyataan pailitmerupakan prosedur “pena-gihan yang tidak lazim” (onei-genlijke incassoprocedures).Dinamakan “tidak lazim” kare-na kedua upaya hukum dimak-sud pada dasarnya adalah “sa-rana tekanan” (pressie middel)yang tersedia bagi kreditoruntuk memaksa debitor meme-nuhi kewajibannya15. Sehu-bungan dengan hal ini, peme-rintah dalam pembelaannya dimuka Mahkamah Konstitusimengemukakan, “patut jugadiwaspadai apabila pengaju-an permohonan pailit yangtidak terlebih dahulu melibat-kan peran regulator dapatmenyebabkan upaya pemailit-an terhadap perusahaan asu-ransi dipergunakan sebagaisarana untuk posisi tawar bagitertanggung dalam “memak-sakan” suatu klaim yang be-lum diakui atau sudah ditolakperusahaan asuransi agarmenjadi layak bayar”.

Proses kepailitan ituunik, karena proses kepailitanselalu menyangkut pula kepen-tingan pihak-pihak lain, ter-masuk negara. Dalam proseskepailitan terhadap suatu de-

bitor, selalu ada kepentinganpihak-pihak lain di luar pe-mohon dan debitor (termohon)yang perlu diperhatikan. Pihak-pihak yang mempunyai kepen-tingan atas kelanjutan usahadebitur ini seyogyanya diper-timbangkan dalam proses ke-pailitan terhadap suatu debit-or. Apabila debitornya adalahperusahaan asuransi, makakepentingan-kepentingan selu-ruh pemegang polisnya atautertanggungnya, agennya, pe-masoknya, ataupun pihak-pi-hak lain yang mempunyai ke-pentingan atas kelanjutan usa-ha debitor perlu dipertim-bangkan.

Proses kepailitan ter-hadap suatu perusahaan asu-ransi dapat berpotensi me-rugikan kepentingan negaradan masyarakat, khususnyapemegang polis dan para kre-ditor dari perusahaan asuransitersebut. Sebagaimana dijelas-kan di atas, industri asuransijelas mengandalkan kehidupandan perkembangannya padakepercayaan yang diberikanmasyarakat. Pemailitan terh-adap suatu perusahaan asuransidapat pula berdampak negatifbagi perusahaan asuransi lain-

Page 116: BOOK Volume2nomor2September2005

115������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

nya dan pada akhirnya meng-ganggu stabilitas ekonomi na-sional, karena dapat meng-akibatkan kepercayaan masya-karat terhadap industri asu-ransi menurun atau hilang. Darisisi pemegang polis, misalnya,pemailitan perusahaan asu-ransi yang sehat dapat me-rugikan pemegang polis karenatujuan proteksi maupun inves-tasi jangka panjang merekatidak dapat tercapai oleh kar-ena mereka terpaksa harusmengajukan atau mencairkanklaim yang seharusnya belumjatuh tempo.

Karena akibat yang di-timbulkan oleh proses kepai-litan ini terlalu besar, baiksecara hukum, ekonomi, sosial,maupun politik, maka proseskepailitan seharusnya digu-nakan secara sangat hati-hatidan bijaksana. Harus ada suatukepentingan yang wajar danbenar-benar beralasan untukmengajukan suatu permohon-an pailit atau PKPU.

Penggunaan proses ke-pailitan untuk menyelesaikansuatu perselisihan yang seder-hana atau remeh dapat diiba-ratkan “membunuh nyamukdengan meriam”. Tentu saja

kita tidak perlu meriam untukmembunuh nyamuk, dan de-mikian pula tidak perlu lang-sung melikuidasi suatu peru-sahaan (apalagi perusahaanyang sehat dan perlu terusmelanjutkan usahanya) hanyasekedar untuk menyelesaikansuatu perselisihan mengenaiklaim asuransi yang diajukansalah seorang nasabah, misal-nya.

Oleh karena itu, proseskepailitan seyogyanya tidakmenjadi upaya awal untuk me-nyelesaikan perselisihan me-ngenai klaim asuransi yangdihadapi oleh suatu perusa-haan asuransi. Proses kepai-litan seharusnya hanya men-jadi ultimum remedium atauupaya terakhir (last resort)untuk menyelesaikan masalahkesulitan keuangan yang diha-dapi debitor. Apabila proseskepailitan ingin dilakukan ter-hadap suatu perusahaan asu-ransi, seyogyanya hal itu hanyadigunakan terhadap perusa-haan asuransi yang sudah bera-da dalam keadaan insolvent.

Perselisihan atau seng-keta berkaitan dengan suatuklaim asuransi akan lebih bi-jaksana bila terlebih dahulu

Page 117: BOOK Volume2nomor2September2005

116 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

coba diselesaikan melalui mu-syawarah atau negosiasi antarakedua belah pihak. Apabilaupaya musyawarah atau ne-gosiasi ini tidak berhasil, makaupaya mediasi pun dapat di-tempuh.

Mediasi adalah suatuproses penyelesaian sengketayang bersifat rahasia dan infor-mal, di mana para pihak dibantuoleh pihak ketiga yang netral(mediator) untuk mencapaikesepakatan. Dalam mediasipihak ketiga tidak mempunyaikewenangan dalam membuatsuatu keputusan dan hanyapara pihaklah yang dapat mem-buat suatu kesepakatan melaluikomunikasi secara langsungdan dinamis satu sama lainuntuk mencapai suatu penye-lesaian yang saling mengun-tungkan dan dapat diterimaoleh kedua belah pihak.

Sikap memilih mengu-payakan penyelesaian perseli-sihan mengenai masalah klaimasuransi melalui negosiasi,mediasi, atau metode penye-lesaian sengketa lain di luarpengadilan (out of court settle-ment) harus lebih diutamakandaripada membawa perseli-sihan tersebut ke Pengadilan

Niaga atau bahkan PengadilanNegeri.

Sejauh ini, berbagai upa-ya telah dan sedang dilaksana-kan oleh perusahaan-perusa-haan asuransi Indonesia ber-sama dengan pihak regulator,dalam hal ini Direktorat Asu-ransi, Direktorat Jenderal Lem-baga Keuangan, DepartemenKeuangan. Antara lain telahdibentuk kelompok kerja untukmembentuk Biro Mediasi Asu-ransi dan Pelayanan Masya-rakat Konsumen Asuransi sam-bil merumuskan tugas, tang-gung jawab dan kewenanganbiro ini dalam menangani ma-salah yang timbul antara pihakpemegang polis di satu pihakdengan pihak perusahaan asu-ransi.16

Proses Kepailitan TidakProses Kepailitan TidakProses Kepailitan TidakProses Kepailitan TidakProses Kepailitan TidakBoleh DisalahgunakanBoleh DisalahgunakanBoleh DisalahgunakanBoleh DisalahgunakanBoleh Disalahgunakan

Salah satu asas atauprinsip penting dalam UU Ke-pailitan adalah prinsip atau“asas keseimbangan”, yangmengandung pengertian bahwaUU Kepailitan berupaya men-cegah terjadinya penyalah-gunaan pranata dan lembagakepailitan baik oleh kreditormaupun debitor yang tidak

Page 118: BOOK Volume2nomor2September2005

117������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

beritikad baik; serta asas “ke-adilan”, yang mengandung pe-ngertian bahwa proses kepai-litan seharusnya memenuhirasa keadilan para pihak yangberkepentingan dan mencegahterjadinya kesewenang-we-nangan salah satu kreditor yangmengusahakan pembayarantagihannya dengan tidak mem-pedulikan kreditor yang lain-nya.

Untuk dapat mengajukanpermohonan pailit harus adakepentingan hukum yang wajaratau cukup beralasan. Jadi, hakuntuk mengajukan permohon-an pailit atau PKPU baru adaapabila si pemohon mempu-nyai kepentingan hukum yangwajar untuk membuat si debi-tor itu dinyatakan pailit ataudiberikan PKPU oleh Peng-adilan Niaga.

Proses kepailitan tidakboleh disalahgunakan. Peng-ajuan permohonan pernyataanpailit tanpa kepentingan yangcukup dapat dianggap sebagaipenyalahgunaan hak. Penya-lahgunaan hak (abuse of right)dapat dianggap terjadi apabilaseseorang menggunakan hak-nya tidak sesuai pada tem-patnya atau secara tidak patut

(improper). Pelaksanaan suatuhak dapat dianggap tidak patut(improper) bila intensi ataumotivasi pemilik hak tersebuttidak baik, atau bila tidak di-dasarkan pada suatu kepen-tingan yang patut dan beralasanmenurut hukum (legitimate in-terest). Dalam penggunaan hak,seseorang itu dituntut melak-sanakan haknya itu secara ber-hati-hati dan patut (tidak ber-lebihan). Apabila orang ter-sebut menggunakan haknyadengan tidak berhati-hati atauberlebihan sehingga meng-akibatkan kerugian kepada or-ang lain, maka hal ini dapatdianggap sebagai penyalah-gunaan hak. Sebagai contoh,pemilik mobil dapat dikatakanmempunyai hak untuk mem-bunyikan klakson mobilnya.Akan tetapi, apabila ia dengansengaja membunyikan klaksonmobilnya yang nyaring terus-menerus sepanjang jalan (apa-lagi pada waktu malam) tanpaada kepentingan yang beralas-an, maka tindakannya tersebutdapat mengganggu ketente-raman, dan dapat dianggapsebagai penyalahgunaan hak.

Menurut Fred B.G. Tum-buan17, di negeri Belanda kepa-

Page 119: BOOK Volume2nomor2September2005

118 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

da debitor diberikan perlin-dungan layak sebagai berikut:a. pemohon pernyataan pailit

harus mempunyai kepen-tingan wajar (redelijkbelang) dalam permohon-an pernyataan pailit. Sya-rat “kepentingan wajar”bersumber pada kaedahhukum “tanpa kepen-tingan, tidak ada hakgugat” (geen belang,geen actie). Kaedah hu-kum ini dinyatakan secarajelas dalam pasal 3:303 BWBelanda (NBW) yang ber-bunyi:

“Zonder voldoende be-

lang komt niemand een

rechtsvordering toe”. (Ha-

nya orang yang mem-

punyai kepentingan yang

memadai berhak meng-

ajukan gugatan hukum).

Kaedah hukum ini mene-gaskan bahwa “kepentinganyang memadai” adalah ke-pentingan yang seimbangdan oleh karenanya mem-benarkan diajukannya gu-gatan hukum (evenredig-heids-criterium).

b. Hak untuk mengajukanpermohonan pernyataanpailit tidak boleh disalah-

gunakan. Larangan ini ber-sumber pada kaedah hu-kum bahwa penyalahguna-an wewenang (misbruikvan bevoegheid) tidak di-benarkan. Kaedah hukumtersebut ditegaskan dalamPasal 3:13 (1) NBW yangberbunyi:

“Degene aan wie een

bevoegdheid tekomt, kan

haar miet inroepen, voor

zover hij haar misbruikt”

(Orang yang mempunyai

suatu kewenangan tidak

dapat menggunakan ke-

wenangan tersebut sejauh

iamenyalahgunakannya).

Untuk memastikan bah-wa seorang pemohon ataupenggugat mempunyai kepen-tingan hukum yang wajar ataucukup beralasan, atau meru-pakan pihak yang pantas untukmengajukan suatu permohon-an atau gugatan, undang-un-dang biasanya mengatur ka-pasitas hukum (legal standing)si pemohon atau penggugat.Dalam hal ini, undang-undangmenentukan persyaratan ter-tentu guna memastikan agar sipemohon atau penggugatmampu mempertanggungja-wabkan perbuatannya.

Page 120: BOOK Volume2nomor2September2005

119������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Pasal 2 ayat (5) dan Pa-sal 223 UU Kepailitan. Pasal 2ayat (5) dan Pasal 223 UUKepailitan ini mengatur me-kanisme atau prosedur peng-ajuan permohonan pailit, khu-susnya kapasitas hukum (legalstanding) pihak pemohon yangboleh mengajukan permohon-an pailit atau PKPU terhadapperusahaan asuransi, per-usahaan reasuransi, dana pen-siun dan Badan Usaha MilikNegara yang bergerak di bidangkepentingan publik. MenurutPasal 2 ayat (5) dan Pasal 223UU Kepailitan, maka tidak se-mua pihak dapat mengajukanpermohonan pailit atau PKPUterhadap suatu perusahaanasuransi, akan tetapi hanyamenteri keuangan.

Mengingat proses ke-pailitan terhadap suatu peru-sahaan asuransi menyangkutkepentingan masyarakat dannegara, maka pemerintah, da-lam hal ini menteri keuangan,sudah seharusnya diberikanperanan dan kewenangan un-tuk memastikan bahwa proseskepailitan yang akan dilakukanterhadap suatu perusahaanasuransi tidak menimbulkanakibat negatif bagi masyarakat

dan negara. Dalam hal ini,menteri keuangan perlu ter-lebih dahulu melakukan ana-lisis yang matang dari segihukum, ekonomi, sosial, danpolitik terhadap upaya kepai-litan tersebut, termasuk mem-pertimbangkan kepentingansemua pihak-pihak yang terkaitdalam kasus ini. Pengaturanhukum secara khusus menge-nai kapasitas hukum pemohonpailit atau PKPU terhadap peru-sahaan asuransi maupun peru-sahaan-perusahaan yang ber-hubungan dengan kepentinganpublik ini juga dilakukan olehnegara-negara lain, seperti diAmerika Serikat, Jerman danPerancis.

Mengingat menteri ke-uangan selaku regulator terusmemantau kesehatan keuanganperusahaan asuransi, makaseharusnya ialah yang palingmengetahui secara akurat kese-hatan keuangan ataupun solva-bilitas perusahaan asuransi.Menteri keuangan selaku regu-lator pun dapat memposisikandirinya sebagai penengah (me-diator) dalam hal terjadi suatuperselisihan antara perusahanasuransi dengan tertanggung.

Page 121: BOOK Volume2nomor2September2005

120 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

PenutupPenutupPenutupPenutupPenutupMenurut penulis, putus-

an Mahkamah Konstitusi inimerupakan putusan yang sa-ngat berkualitas, mendalam,dan sangat berempati terhadapkondisi hukum dan pereko-nomian di Indonesia.

Tidak dapatnya suatuperusahaan asuransi dimohon-kan pailit atau PKPU secaralangsung oleh kreditornya,tentu saja tidak berarti bahwaperusahaan asuransi kebal daripermohonan pailit dan PKPU.Perusahaan asuransi masihdapat dimohonkan pailit atauPKPU ke Pengadilan Niaga,namun yang memohon pailitatau PKPU haruslah menterikeuangan.

UU Kepailitan tidak ber-maksud untuk memberikansuatu imunitas kepailitan ter-hadap perusahan asuransi. Na-mun, mengingat proses ke-pailitan terhadap perusahaanasuransi tidak boleh dipisahkandari kepentingan masyarakatdan negara, maka sudah wajarapabila wewenang untuk meng-ajukan permohonan pailit danPKPU terhadap perusahaanasuransi diberikan kepadamenteri keuangan mengingat ia

adalah pihak yang seharusnyapaling mengetahui kondisi ke-uangan perusahaan asuransi.

Para pihak yang merasamempunyai kepentingan yangwajar dan cukup beralasanuntuk membuat suatu perusa-haan asuransi pailit atau di-berikan PKPU, dapat meng-ajukan permohonan untuk itukepada menteri keuangan.Menteri keuangan selanjutnyadapat melakukan pemeriksaanatau segala sesuatu permasa-lahan hukum yang menyangkutindustri asuransi, dan apabilaperlu menjatuhkan sanksi-san-ksi tertentu terhadap suatuperusahaan asuransi gunamemperbaiki suatu kesalahanatau pelanggaran, sesuai de-ngan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E n dE n dE n dE n dE n d n o t e sn o t e sn o t e sn o t e sn o t e s

1 Seperti halnya kasus ke-pailitan PT Asuransi Jiwa Manu-life Indonesia dan PT PrudentialLife Assurance, di dalam kasusini pun Mahkamah Agung ke-mudian membatalkan kepai-litan Wataka dengan alasankasus tersebut tidak beradadalam kewenangan Pengadilan

Page 122: BOOK Volume2nomor2September2005

121������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Niaga untuk memeriksa danmemutuskannya, tetapi meru-pakan kewenangan kewenanganPengadilanNegeri.

2 PT Asuransi Jiwa NamuraTata Life sudah dinyatakan pai-lit oleh Pengadilan Niaga Jakar-ta sejak tanggal 28 Mei 2001.Pada tanggal 5 Januari 2005 izinusahanya telah dicabut olehmenteri keuangan.

3 Permohonan pengujianmereka didaftarkan pada Kepa-niteraan Mahkamah KonstitusiRepublik Indonesia di bawahnomor register 071/PUU-II/2004 tanggal 22 Desember2004, nomor register 001/PUU-III/2005 tanggal 13 Januari2005, dan nomor register 002/PUU-III/2005 tanggal 14 Janu-ari 2004. Oleh karena substansipermohonan mereka sama, Mah-kamah Konstitusi kemudianmenggabungkan dan memeriksapermohonan-permohonan me-reka dalam satu berkas perkara.

4 Pasal 28D ayat (1) UUD1945 menyebutkan: “Setiap or-ang berhak atas pengakuan, ja-minan, perlindungan, dan kepas-tian hukum yang adil serta per-lakuan yang sama di hadapanhukum“. Pasal 27 ayat (1) UUD1945 menyebutkan: “Segalawarga negara bersamaan kedu-dukannya di dalam hukum danpemerintahan dan wajib menjun-jung hukum dan pemerintahan itudengan tidak ada kecualinya.“

5 Untuk mendukung per-mohonanannya, para pemohonmengajukan bukti penolakanPengadilan Niaga pada Peng-adilan Negeri Jakarta Pusat

untuk mendaftarkan permo-honan pernyataan pailit ter-hadap PT Asuransi Jiwa BuanaPutra yang diajukan oleh se-orang konsumen/ nasabah asu-ransi pada tanggal 12 Januari2005 dengan dasar Pasal 2 ayat(5) dan Pasal 6 ayat (3) UUKepailitan.

6 Pasal 24 UUD 1945 me-nyatakan: (1) Kekuasaan keha-kiman merupakan kekuasaanyang merdeka untuk menyeleng-garakan peradilan guna mene-gakkan hukum dan keadilan.(2)Kekuasaan kehakiman dilakukanoleh sebuah Mahkamah Agungdan badan peradilan yang beradadi bawahnya dalam lingkunganperadilan umum, lingkungan per-adilan agama, lingkungan per-adilan militer, lingkungan per-adilan tata usaha negara, dan olehsebuah Mahkamah Konstitusi. (3)Badan-badan lain yang fungsinyaberkaitan dengan kekuasaan ke-hakiman diatur dalam undang-undang.”

7 Pasal 24C Ayat (1) UUD1945 menyatakan:“MahkamahKonstitusi berwenang mengadilipada tingkat pertama dan terakhiryang putusannya bersifat finaluntuk menguji undang-undangterhadap Undang-Undang Dasar,memutus sengketa kewenanganlembaga negara yang kewenang-annya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembu-baran partai politik dan memutusperselisihan tentang hasil pemi-lihan umum.“

8 Menurut para pemohon,hal ini dapat dilihat dalam kasus

Page 123: BOOK Volume2nomor2September2005

122 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

PT Asuransi Jiwa Pura Nusan-tara yang telah dinyatakandalam status Pembatasan Ke-giatan Usaha (PKU) oleh menterikeuangan dan banyak klaim/tagihan konsumen asuransi ter-sebut yang belum dibayarkanakan tetapi sampai saat ini tidakjuga dimohonkan pailit olehmenteri keuangan.

9 Yaitu jika para pemohonberkehendak mengajukan per-nyataan pailit terhadap per-usahaan asuransi, maka dapatdiajukan melalui menteri ke-

uangan. Pembatasan ini dapatdilakukan undang-undang, de-ngan syarat bahwa pembatasanitu, meskipun seolah-olah tidakseimbang, tetapi memenuhikeseimbangan rasional.

10 Menteri keuangan selakuotoritas yang melakukan fungsipembinaan dan pengawasan.

11 vide Pasal 11 ayat (1) UUAsuransi.

12 vide Pasal 17 ayat (1) UUAsuransi.

13 Pasal 20 ayat (1) UU Asu-ransi: “Dengan tidak mengurangiberlakunya ketentuan dalam Per-aturan Kepailitan, dalam halterdapat pencabutan izin usahasebagaimana dimaksud dalamPasal 18, maka Menteri, ber-dasarkan kepentingan umumdapat memintakan kepada Peng-adilan agar perusahaan yangbersangkutan dinyatakan pailit”.

14 Ibid.15 Prof. Mr. B. Wessels, Fail-

lietverklaring , Kluwer 1999,hlm. 15, sebagaimana dikutipdan diterjemahkan oleh FredB.G. Tumbuan dalam maka-lahnya “Menelaah PerobahanUU Kepailitan dan PenundaanKewajiban Pembayaran Utang”yang dipresentasikan dalamSeminar tentang Undang-Un-dang Kepailitan Baru (UU No.37/2004) dan Fungsi dan PeranKurator” yang diselenggarakanoleh Pusat Pengkajian Hukumdan Asosiasi Kurator dan Peng-urus Indonesia di Jakarta padatanggal 20 Desember 2004.

16 Hotbonar Sinaga, Permo-honan Pailit Atas Debitor Tertentu,

Page 124: BOOK Volume2nomor2September2005

125������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

PengantarKebijakan anggaran ne-

gara (state budget policy) padadasarnya tidak hanya ditujukanpada fungsi politik ekonomi,1

tetapi juga mengandung segiyuridis ketika kebijakan ter-sebut dirumuskan dalam un-dang-undang. Kebijakan ang-garan negara juga memfor-mulasikan kebijakan ekonomipemerintahan yang terformali-sasi dalam bentuk angka ber-dasarkan pembahasan antarapemerintah dan parlemen.2

Dengan demikian, kebijakananggaran negara dipahami se-

bagai kehendak yang munculantara pemerintah dan par-lemen pada saat pembahasandan persetujuan terhadap ang-garan negara dalam bentukundang-undang, yang kemu-dian kebijakan anggaran negaradimanfaatkan pemerintah un-tuk melakukan konsolidasi in-ternal dan efisiensi dalam biro-krasi. Oleh karena itu, harusdiakui anggaran negara yangdirumuskan dalam suatu un-dang-undang juga merupakanproduk hukum yang mempu-nyai dimensi ekonomi makrodalam suatu negara.3

KEBIJAKAN ANGGARAN NEGARASEBAGAI PERWUJUDANKEDAULATAN RAKYAT

Oleh DIAN PUJI N. SIMATUPANG

Asisten Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Page 125: BOOK Volume2nomor2September2005

126 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Secara konseptual, ke-bijakan anggaran negara dite-kankan pada legal policy yangakan dan telah dilaksanakansecara nasional oleh peme-rintah, yang meliputi, per-tama, penentuan arah pem-bangunan ekonomi yang ber-intikan dengan kebijakan pe-ngeluaran dan penerimaan se-suai dengan kebutuhan padatahun yang akan berjalan. Ke-dua, pelaksanaan anggarannegara yang telah disetujuiundang-undangnya oleh DPRdalam bentuk kebijakan peme-rintah. Konsep kebijakan inidilakukan pemerintah dalambentuk “pengambilan kepu-tusan pemerintah (regerings-besluit) yang bersifat strategi,policy atau ketentuan umum(algemene bepalingen), danmelalui tindakan pemerintahan(referingsmaatregelen).”4

Tulisan ini bermaksudmemberikan pemahaman me-ngenai kecenderungan kebi-jakan anggaran negara yangdilakukan pemerintah untukmembiayai pembangunan be-serta dampaknya terhadapwarga masyarakat dalam ben-tuk kebijakan yang bersifatkeberlanjutan, yang diharap-

kan mampu memberikan sti-mulan yang dilandasi semangatkedaulatan rakyat, juga mem-berikan dukungan yang berartipada reaktualisasi basis kese-jahteraan dalam anggaran ne-gara, khususnya di Indonesia.5

Selain itu, memahami strategikebijakan anggaran negarayang dilakukan pemerintahuntuk mengupayakan pene-rimaan bagi pembangunan tan-pa meningkatkan beban pem-bayaran utang luar negeri.6

Dengan memahami kebijakananggaran negara sebenarnyaakan tergambarkan determi-nasinya yang tidak terlepas darirealitas politik ekonomi suatunegara pada saat itu. Di sam-ping juga tidak akan meng-abaikan realitas politik ekono-mi internasional yang mem-pengaruhi suatu negara dalampenyusunan anggaran nega-ranya.7 Dengan demikian, ter-lihat jelas kebijakan anggarannegara tidak dapat determi-nasinya ditentukan oleh kehen-dak pemerintah dan parlemenpada saat penyusunan ang-garan negara, tetapi juga diten-tukan oleh perkembangan tun-tutan internasional kepadasuatu negara.8

Page 126: BOOK Volume2nomor2September2005

127������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Karakter Hukum KebijakanAnggaran Negara Indonesia

Kebijakan anggaran ne-gara Indonesia mempunyaikarakter hukum9 yang mele-gitimasi orientasi ekonomipemerintah pada saat penyu-sunan anggaran pendapatandan anggaran negara (APBN).Orientasi ekonomi tersebutdibangun atas dasar asumsiekonomi secara makro dan jugayang sangat penting adalahlegitimasi terhadap kepenting-an pemerintah pada saat ituterhadap kelompok ekonomitertentu.10 Misalnya, pada saatorde baru, orientasi kebijakanekonomi ditujukan pada per-tumbuhan ekonomi yang didu-kung kestabilan politik, sebagai-mana dirumuskan dalam Tri-logi Pembangunan.11 Konsepsitersebut mempengaruhi kebi-jakan anggaran negara padamasa orde baru dalam prosespenyusunan dan persetujuanterhadap RAPBN yang diajukanpemerintah yang berlangsungtanpa hambatan berarti. Hal inidisebabkan selama 32 tahunpemerintahan orde baru belumpernah sekalipun pemerintahbertikai dengan DPR mengenai

RAPBN yang diusulkannya.Kondisi demikian selain dise-babkan supremasi pemerintahdalam pembentukan UU APBN,juga karena kebijakan stabi-lisasi politik yang ikut mem-pengaruhi proses persetujuanRUU APBN. Bahkan, pemerin-tah selalu menyatakan kesi-nambungan dalam penyam-paian RAPBN merupakan ba-gian dari saling pengertianantara pemerintah dan DPRsebagai suatu konsensus nasio-nal, juga merupakan bentukkerja sama yang saling mema-hami antara eksekutif dan legis-latif.12

Karakter hukum dalamkebijakan anggaran negarayang demikian cenderung me-ngesampingkan suatu modelanggaran negara yang parti-sipatif dan berpihak pada ke-pentingan rakyat. Konsepsiberpikir dalam kebijakan ang-garan negara dengan karakteryang power oriented hanyamenunjukkan peranan negara–dalam hal ini pemerintah—yang sangat dominan dalamperubahan ekonomi dan trans-formasi sosial.13 Konsekuen-sinya, kebijakan anggaran ne-gara tidak didorong untuk men-

Page 127: BOOK Volume2nomor2September2005

128 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

stimulasi partisipasi masya-rakat dalam perekonomian,tetapi menjustifikasi perananelit negara untuk memegangkendali perekonomian.14 De-ngan demikian, kebijakan ang-garan negara tidak dapat opti-mal mengatasi kesenjangankebutuhan sosial masyarakat(social need gap) dalam bentukpendidikan, kesehatan, danpangan.

Padahal, suatu kebijakananggaran negara harus mem-punyai komitmen mendasarpada keadilan sosial (social jus-tice) yang berusaha untuk me-wujudkan pos belanja dalamanggaran negara secara sis-tematis untuk mewujudkankesejahteraan dan pemera-taan.15 Konsep keadilan sosialdalam kebijakan anggaran ne-gara dirancang oleh peme-rintah sebagai penyusun ang-garan negara untuk mening-katkan potensi perubahan da-lam birokrasi agar mewujud-nyatakan komitmen terhadapkesejahteraan rakyat. Di sam-ping itu, memungkinkan ma-syarakat untuk berpartisipasidalam anggaran negara denganmemberikan kesempatan yangseluas-luasnya dalam mereali-

sasikan belanja pembangunanyang telah disediakan.16

Karakter hukum kebijak-an anggaran negara yang ber-orientasi pada keadilan sosialprinsipnya menunjukkan ko-mitmen pemerintah pada ben-tuk kebijakan anggaran negarayang orientatif-pragmatis.17

Oleh sebab itu, kebijakan ang-garan negara yang cenderungmerepresikan kepentingan dankebutuhan elit negara sepertikenaikan gaji pejabat negaradan anggota parlemen cende-rung berlawanan dengan se-mangat kebijakan anggarannegara yang berkeadilan sosialdan melanggar esensi kedau-latan rakyat dalam persetujuananggaran negara. Dengan katalain, pemerintah sebagai pe-nyusun anggaran negara danpengambil kebijakan anggarannegara harus mengesamping-kan kepentingan politik dalamparlemen yang menjadikanpersetujuan terhadap anggarannegara sebagai jalan tembusmenuju pencapaian kebutuhanpolitiknya, meskipun dengandalih mengoptimalkan fungsiparlemen. Dengan demikian,wujud kebijakan anggaran ne-gara yang semestinya direali-

Page 128: BOOK Volume2nomor2September2005

129������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

sasikan adalah kebijakan ang-garan negara yang memenuhikarakter keadilan sosial, yangsecara umum meningkatkankualitas kehidupan rakyat.18

Namun, wujud kebijakananggaran negara tersebut sulitdipenuhi pada praktiknyamengingat pengambilan kepu-tusan dan proses politik yangterjadi pada saat kebijakananggaran negara ditetapkan.Kebijakan anggaran negara,khususnya yang termaktub da-lam UU anggaran negara, cen-derung mengesampingkan ke-utamaan dalam meningkatkankualitas kehidupan rakyat. Halini misalnya terjadi pada saatkebijakan anggaran negaramengutamakan pembayarancicilan pinjaman luar negeridaripada kebutuhan pokok dankepentingan rakyat, yang di-anggap pemerintah sebagaipilihan atas kepercayaan eks-ternal yang harus dijaga. Akantetapi, kebijakan anggaran ne-gara demikian harus dibayarmahal dengan pengorbanankebutuhan pokok dan kepen-tingan rakyat karena belanjadalam UU anggaran negarasemakin lama semakin besarmembayar cicilan dan bunga

pinjaman luar negeri. Tentu,hal demikian mengorbankanbiaya kesejahteraan (welfarecost) untuk rakyat dalam ke-bijakan anggaran negara yangberdampak pada penguranganperanan negara dalam me-wujudkan kesejahteraan. De-ngan wujud yang demikian,kebijakan anggaran negara sulitakan berorientasi pada dampaksosial rakyat, sehingga karenaorientasi kepercayaan eks-ternal lebih diutamakan dari-pada menjaga kepercayaan in-ternal.19 Oleh karena itu, dimana esensi kedaulatan rakyatdalam kebijakan anggaran ne-gara dapat terpenuhi? Di sinilahmasalahnya, kebijakan ang-garan negara jarang melaluiproses pengambilan keputusanyang disertai partisipasi publikyang terbuka, akibatnya kebi-jakan anggaran negara cen-derung tidak mengalami per-ubahan (nothing a change)dalam memenuhi kebutuhanpokok dan kepentingan rak-yat.20

Reaktualisasi KedaulatanRakyat dalam KebijakanAnggaran Negara

Dengan wujud kebijakan

Page 129: BOOK Volume2nomor2September2005

130 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

anggaran negara yang berori-entasi keadilan sosial sebagai-mana diuraikan sebelumnya.Dalam kasus di Indonesia, pe-merintah dan DPR harus mem-punyai daya tanggap untukmelakukan perubahan orien-tasi kebijakan anggaran negaraagar berorientasi internal (in-ward-looking) terhadap kebu-tuhan pokok dan kepentinganrakyat. Pemerintah sebagaipenyusun kebijakan anggarannegara dan DPR sebagai pem-beri persetujuan terhadap ang-garan negara harus mampumengartikulasikan kebutuhandan kepentingan rakyat ke da-lam kebijakan anggaran negara.Hal ini tentu dapat dilakukandengan menguatkan sentra hu-kum dan peraturan perundang-undangan yang mengatur ke-bijakan anggaran negara agarberpihak kepada kebutuhandan keinginan rakyat. Peme-rintah dan DPR harus mencip-takan energi kedaulatan rakyatdalam kebijakan anggaran ne-gara secara seutuhnya.21

Akan tetapi, penguatansentra hukum dan peraturanperundang-undangan yangmemungkinkan kebijakan ang-garan negara sesuai dengan

filosofi kedaulatan rakyat tidakmampu diharapkan dari pem-bentuk perubahan Pasal 23ayat (1) UUD 1945. Dalam Pasal23 ayat (1) UUD 1945, APBN,sebagai bagian dari wujud ke-bijakan anggaran negara, diten-tukan secara salah kaprah se-bagai wujud pengelolaan ke-uangan negara. Rumusan demi-kian secara lugas memposisikannegara sebagai penguasa dalamkebijakan anggaran, denganmelupakan esensi rakyat didalamnya. Secara filosofis-yuridis, APBN harus mewu-judkan kedaulatan rakyat, dimana rakyat yang berhak me-nentukan ke mana uang rakyatdipergunakan negara. Olehkarena itu, perumus naskah asliPasal 23 ayat (1) UUD 1945lebih mempunyai pandanganfilosofis yang komprehensifdalam memahami karakterAPBN sebagai wujud kedaulat-an rakyat.

Oleh karena itu, logis jikadianggap kedaulatan rakyatmerupakan subyek pentingbagi pemerintah dalam menen-tukan kebijakan anggaran ne-gara dan DPR sebagai lembaganegara yang memberikan per-setujuan terhadap APBN. Per-

Page 130: BOOK Volume2nomor2September2005

131������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

geseran penekanan APBN dariwujud kedaulatan rakyat kewujud pengelolaan keuangannegara merupakan anomalisosial yang mengesampingkankeadilan sosial dalam menen-tukan kebijakan anggaran ne-gara.22 Di samping itu, wujud inimelahirkan ortodoksi dalammemahami keuangan negarayang menyatakan seluruh ha-kikat keuangan dan kekayaandalam badan hukum manapun,baik publik maupun privat,sebagai keuangan negara. Per-aturan perundang-undanganyang mengatur keuangan ne-gara pun kemudian meman-dang semua hak dan kewajibanyang bersangkut paut dengannegara adalah keuangan nega-ra, sehingga kemandirian ba-dan hukum menjadi bias. Kon-sekuensi hukumnya, keuangannegara dipandang sebagai satukesatuan milik negara yangmengabaikan pentingnya danluhurnya otonomi daerah dankemandirian badan hukum.

Situasi demikian diper-parah dengan penyerahan hakpemeriksaan pengelolaan dantanggung jawab kepada satulembaga negara yang mem-punyai organ di daerah. Pasal

23E ayat (1) UUD 1945 me-legitimasi kenyataan itu denganseakan-akan memaparkan se-sungguhnya tidak diperlukanmanajemen dalam pemeriksa-an keuangan negara. Oleh sebabitu, MPR sekan-akan meman-dang tidak diperlukan rentangkendali (span of control) dalampemeriksaan keuangan negara,sehingga yang diutamakan ada-lah kesatuan komando dalampemeriksaan keuangan negarayang sebenarnya tidak efektifdalam mencegah terjadinyapenyimpangan keuangan nega-ra secara cepat. Hal demikiandisebabkan penemuan terjadi-nya penyimpangan terjadi ka-rena “kebetulan (by chance),bukan karena sistem (by sys-tem).”23 Di sini jelas, BadanPemeriksa Keuangan (BPK)menurut Pasal 23E ayat (1) UUD1945 lebih mementingkan dirisebagai “lembaga” dibanding-kan sebagai “organisasi” yangkepekaan pemeriksaannya (au-dit sensitivity) lebih meng-utamakan kuantitas daripadakualitas.24

Situasi dalam konsti-tusi dan peraturan perundang-undangan tersebut menjadialasan perlunya reaktualisasi

Page 131: BOOK Volume2nomor2September2005

132 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

kedaulatan rakyat diwujudkandalam kebijakan anggaran nega-ra. Hal ini berarti sudut pan-dang kedaulatan rakyat harusmenjadi dasar pembenar dandasar pendukung kebijakananggaran negara. Ketidakmam-puan kebijakan anggaran nega-ra mendasarkan pada kedau-latan rakyat hanya akan ber-dampak pada perilaku peme-rintah yang jelas menunjukkangaya kekuasaannya dalam ke-bijakan anggaran negara, peri-laku parlemen yang jelas me-nunjukkan gaya kepentingan-nya dalam menentukan danmemberikan persetujuan ang-garan negara, dan perilakupemeriksa keuangan negarayang jelas menunjukkan dayapengawasan “gurita” yang me-nyebabkan rendahnya peng-hormatan kepada kebijakanotonomi daerah dan keman-dirian badan hukum privat.

Dengan demikian, secarayuridis, kebijakan anggarannegara belum mampu meme-nuhi aspek kedaulatan rakyatdisebabkan dasar hukum dalampenentuan anggaran negaratidak dilandasi filosofi kedau-latan rakyat. Nilai partisipasirakyat dalam kebijakan ang-

garan negara akan mencapaimasa kecemasan jika orientasidan wujud kebijakan anggarannegara tidak terfomulasikandengan baik. Perencanaan for-mal kebijakan anggaran negarayang melibatkan partisipasipublik harus didorong gunamenghasilkan kebijakan ang-garan negara yang berbasiskankedaulatan rakyat. MPR seha-rusnya merumuskan formalitaspartisipasi rakyat dalam UUanggaran negara di dalam UUD1945 agar konsepsi kedaulatanrakyat mencitrakan pada wu-jud APBN secara sesungguh-nya.

20 Persen BelanjaPendidikan dalam APBN:Simbolisasi atau Keharusan?

Harus diakui, kualitasnegara dan kehidupan masya-rakatnya sangat ditentukanoleh pendidikan. Dengan katalain, kemajuan negara dan kese-jahteraan masyarakat bergan-tung pada sektor pendidikan,yang menjadi wujud kemam-puan rakyat untuk senantiasaberpikir cerdas dan inovatif.Oleh sebab itu, wajar jika kemu-dian MPR melalui Pasal 31 ayat(4) UUD 1945 menentukan pe-

Page 132: BOOK Volume2nomor2September2005

133������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

rencanaan anggaran negaradibelanjakan sebanyak 20 per-sen untuk pendidikan dalamAPBN, sebagai suatu pertandapentingnya posisi pendidikandalam memajukan dan mencer-daskan kehidupan bangsa. Halini juga menunjukkan penem-patan anggaran pendidikandalam suatu konstitusi menjadibukti betapa pentingnya peran-an pendidikan bagi kehidupanrakyat dan kemajuan negara.25

Dengan ketentuan Pasal31 ayat (4) UUD 1945 tersebut,negara –melalui pemerintah—memposisikan belanja pen-didikan minimal 20 persendalam APBN. Hal ini berartiperencanaan APBN memerlu-kan suatu basis penerimaanyang cukup kuat untuk me-wujudkan belanja negara se-besar 20 persen bagi pening-katan kualitas sumber dayamanusia Indonesia melaluipendidikan, sebagai wujud per-anan negara dalam mencip-takan kesejahteraan rakyat.Ketentuan limitatif 20 persendalam belanja pendidikan telahmenjadi perintah konstitusi,tetapi dapatkah konkretisasiimperatif tersebut diwujudkansebagai keharusan konstitusio-

nal?Di dalam penyelengga-

raan pemerintahan, konstitusitentu harus menjadi dasar uta-ma pengambilan keputusan dantindakan pemerintahan. Demi-kian pula dalam penyusunanAPBN, Pasal 31 ayat (4) UUD1945 menjadi stigma sosialyang meletakkan orientasi pe-merintah dalam penyusunanAPBN agar menetapkan kebu-tuhan belanja pendidikan se-kurang-kurangnya 20 persen.Dengan adanya ketentuan ter-sebut, negara –melalui peme-rintah— sebenarnya dapat me-realisasikannya dalam empatstrategi kebijakan anggarannegara, yaitu:26

(1) pengurangan yang signi-fikan dalam belanja negarayang tidak produktif denganmengalihkannya dalambentuk pemanfaatan belan-ja yang lebih konkret bagipendidikan;

(2) peningkatan efisiensi dalammanajemen birokrasi danrasionalisasi lembaga pe-merintahan yang tumpangtindih, sehingga beban be-lanja birokrasi tidak terusmembengkak;

(3) penyesuaian jangka waktu

Page 133: BOOK Volume2nomor2September2005

134 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

pengembalian dan peru-bahan tingkat bunga pin-jaman luar negeri, agarselisih yang ada dipergu-nakan bagi munculnya ke-unggulan komparatif baginegara, seperti pendidikandan ilmu pengetahuan ser-ta peningkatan kualitasketenagakerjaan;

(4) perluasan inovasi dalamproses investasi yang men-dorong kemampuan negarauntuk memperoleh danabagi pendidikan.

Keempat strategi kebi-jakan tersebut merupakan re-alisasi keharusan konstitusio-nal dalam UUD 1945 yang se-pantasnya diterapkan dalamperencanaan APBN yang di-susun pemerintah. Apabilastrategi tersebut diterapkansecara konsisten, tidak dapatdiragukan lagi 20 persen be-lanja pendidikan dapat diwu-judkan dalam setiap peren-canaan dan penetapan APBN.

Akan tetapi, muncul per-masalahan hukum, bagaimanajika negara –melalui pemerin-tah— tidak dapat mewujudkankeharusan konstitusional ter-sebut? Apakah tindakan negara–melalui pemerintah— dapat

diklasifikasikan sebagai pe-langgaran konstitusional? Ten-tu pertanyaan tersebut harusdidasarkan pada sejauhmananegara –melalui pemerintah—mewujudkan 20 persen belanjapendidikan dalam tindakanpemerintahan yang diperlukan.Pasal 31 ayat (4) UUD 1945menggunakan istilah “mem-prioritaskan”, yang berartikemampuan negara –melaluipemerintah— untuk mereali-sasikan 20 persen belanja mem-butuhkan harmonisasi teknispengelolaan anggaran negarayang didasarkan atas standar,prosedur, peraturan, dan kebu-tuhan yang nyata dihadapinegara pada saat anggaranberjalan. Apabila kemampuannegara –melalui pemerintah—setelah melalui proses harmo-nisasi tidak dapat memenuhi 20persen belanja pendidikan,negara –melalui pemerintah—dapat mengesampingkan prio-ritas tersebut demi kepenting-an negara yang lebih besar.

Namun, negara –melaluipemerintah— harus memprio-ritaskan 20 persen belanjapendidikan ketika negara mem-peroleh keuntungan yang lebihbesar dalam bentuk penda-

Page 134: BOOK Volume2nomor2September2005

135������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

patan yang nyata bagi negara,efisiensi, dan pertumbuhanekonomi yang membaik. De-ngan kata lain, Pasal 31 ayat (4)UUD 1945 merupakan simbo-lisasi konstitusional yang men-dorong agar APBN diarahkanguna memenuhi kebutuhanpokok dan kepentingan rakyatdalam bidang pendidikan. Sim-bolisasi konstitusional tersebutmemberikan panduan hukumbagi negara –melalui peme-rintah— dalam kebijakan ang-garan negara agar direalisasi-kan dalam kondisi internalAPBN yang memungkinkan.,sehingga harus diprioritaskan.

Dalam perspektif ini, tin-dakan negara untuk tidak men-jalankan 20 persen belanjapendidikan dalam APBN tidakdapat dikatagorikan pelang-garan konstitusional. Hal inidapat disinonimkan ketika ne-gara tidak dapat merealisasikansecara konsisten Pasal 33 ayat(1) karena konteks perekonomi-an global yang memungkinkanperkembangan ekonomi sangatdipengaruhi sistem ekonomipasar. Negara tentu tidak dapatdipersalahkan jika kondisi de-mikian terjadi karena konstitusimempunyai keterbatasan ter-

hadap perkembangan eksternalyang terjadi. Akan tetapi, ne-gara harus mewujudkan per-ekonomian yang disusun atasusaha bersama berdasar atasasas kekeluargaan dalam kon-teksnya sebagai simbolisasiperanan negara dalam me-mandu sektor perekonomiannasional.

Oleh sebab itu, ketentuan20 persen belanja pendidikandalam APBN yang dirumuskandalam Pasal 31 ayat (4) UUD1945 lebih tepat disebut sebagaititik awal (starting pont) dalamperencanaan APBN oleh nega-ra. Jadi, ketika proses peren-canaan dan penyusunan APBNtampak ketidakmampuan ne-gara merealisasikan 20 persenbelanja pendidikan, negaramengesampingkan ketentuanPasal 31 ayat (4) UUD 1945.Namun, negara tetap harusmenghitung kembali kemam-puan pemerintah dalam me-menuhi 20 persen belanja pen-didikan pada perencanaan danpenyusunan APBN tahun se-lanjutnya.

Oleh sebab itu, ketentuan20 persen belanja pendidikantetap harus menjadi simbolisasikonstitusional yang memandu

Page 135: BOOK Volume2nomor2September2005

136 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

negara untuk mewujudkannyadalam setiap perencanaan danpenyusunan APBN. Dalam halini, negara sebaiknya meng-identifikasi empat strategi da-lam APBN, sebagaimana di-uraikan sebelumnya, guna me-realisasikan 20 persen belanjapendidikan. Inovasi pemerin-tah dan DPR dalam mening-katkan pendapatan negara danmengefisiensikan anggaran be-lanja sangat penting dilakukanagar ketentuan 20 persen be-lanja pendidikan dalam APBNdapat tercermin dengan nyata.Situasi demikian juga mengan-dung makna yang mendalampemerintah dan DPR mem-punyai tanggung jawab yangsama untuk menjalin kerja samayang konstruktif agar 20 persenbelanja pendidikan dapat terpe-nuhi. Hal demikian pada dasar-nya menegaskan kembali ko-mitmen kedaulatan rakyat da-lam kebijakan anggaran negaradi mana kebutuhan pendidikanbagi rakyat dipahami sebagaikatagori yang harus selalu di-pertimbangkan oleh pemerin-tah dan DPR pada penyusunanAPBN.

Endnotes

1Politik ekonomi adalah ana-lisis pengaruh campur tanganpemerintahan terhadap kese-jahteraan atau disebut sebagaipolitisasi kehidupan ekonomi.Juga dapat disebut sebagai suatuusaha menspesifikasi hubunganantara tingkah laku politik (po-litical behavior) dan ekonomi. Halini dikonseptualisasikan padaarah hubungan sebab akibatkekuatan ekonomi menyebabkan(causing) kejadian politik (politi-cal outcomes). Lihat uraian lebihlanjut dalam tulisan UmarJuaro, “Demokrasi dan SistemEkonomi,” Prisma 7 (Juli 1990),hal. 42.

2Secara konseptual kebi-jakan anggaran negara mem-formulasikan performance suatupemerintahan, sehingga wujud-nya harus merupakan kontrakyang disepakati antara legislatifdan eksekutif. Lihat dalam Rich-ard J. Stillman II, “Public Bud-geting: The Concept of Budgetingas Political Choice,” dalam PublicAdministration (Boston: HougtonMifflin Co., 2000), p. 374.

3Keterkaitan dengan ekono-mi makro dilandasi pada dasardan wujud tindakan kebijak-sanaan untuk menetapkan jum-lah dan susunan pengeluaranpemerintah dan untuk pene-tapan dari jumlah dan susunandari alat-alat pembiayaan yangdiperlukan untuk pengeluaranpemerintah. Lihat uraian inidalam Dian Puji N. Simatupang,

Page 136: BOOK Volume2nomor2September2005

137������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Determinasi Kebijakan AnggaranNegara Indonesia: Studi Yuridis(Jakarta: Papas Sinar Sinanti,2005), hal. 134.

4Lihat pengertian ini dalamPrajudi Atmosudirdjo, HukumAdministrasi Negara (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1990), hal. 48.

5Bagi negara berkembangseperti Indonesia, kecenderunganpengeluaran pemerintah sangatmenentukan pertumbuhan eko-nomi dan kegiatan pembangun-an nasional secara keseluruhan.Adanya keterkaitan ini disebab-kan anggaran negara adalahstimulus bagi pergerakan pereko-nomian nasional. Lihat uraianketerkaitan anggaran negaradan konsepsi pembangunan na-sional dalam tulisan AnwarNasution, “Strategi Indonesiadalam Menghadapi Prospek Pe-nurunan Aliran Arus Dana Inter-nasional ke Negara-Negara yangsedang Membangun dalam Dasa-warsa 1990,” Analisis CSIS 2(Maret-April 1992), hal. 110.

6Konsepsi penerimaan nega-ra yang berintikan pada inves-tasi sebagai bentuk manifestasipenerimaan negara sangat ber-gantung pada strategi kebijakanekonomi makro suatu negara.Demikian juga kebijakan per-pajakan yang dirumuskan da-lam anggaran negara sangatberpengaruh terhadap pemba-ngunan ekonomi suatu negarasecara keseluruhan.

7Hal ini sesuai dengan esensisuatu politik hukum yang tidakterlepas dari realitas sosial dantradisional di satu pihak, dan dipihak lain juga tidak terlepas dari

realitas dan politik hukum inter-nasional. Pendapat ini dikemu-kakan C.F.G. Sunarjati Hartono,“Perspektif Politik Hukum Nasio-nal,” dalam Pembangunan Hu-kum dalam Perspektif PolitikHukum Nasional, disunting olehArtidjo Alkostar dan M. SholehAmin, (Jakarta: Rajawali Press,1986), hal. 1.

8Hal inilah yang dikatakansebagai dampak ke dalam (inter-nal effect) dari suatu kebijakanatau instrumen internasionalyang dampaknya mempenga-ruhi kebijakan nasional suatunegara.

9Karakter hukum (recht-character) diuraikan Arifin P.Soeria Atmadja dalam tulisanyang berjudul, “Sifat Hukumdari Undang-undang AnggaranPendapatan dan Belanja Nega-ra,” Hukum dan Pembangunan(1996). Di dalamnya diuraikanpemahaman yang mendalamatas sifat hukum UU APBN yangberbeda dengan UU lainnya yangbersifat formal dan materiil.

10Hal inilah yang dimaksudsebagai konsep politik dalamkebijakan anggaran negara yangkemudian diformulasikan dalamundang-undang anggaran ne-gara. Dengan kata lain, karakterUU anggaran negara sangatbergantung pula pada prosespengambilan keputusan par-lemen dan pamerintah atas kebi-jakan ekonominya secara makro.

11Trilogi Pembangunan me-rupakan dogma politik orde baruyang terdiri atas stabilitas politik,pertumbuhan ekonomi, dan pe-merataan.

Page 137: BOOK Volume2nomor2September2005

138 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

12Lihat uraian lebih lanjutdalam, “Politik Hukum Ang-garan Negara Di Indonesia PadaMasa Orde Baru dan Pasca-KrisisEkonomi 1998-2003,” dalamSimatupang, loc.cit.

13Sebagai bahan diskusi atasperan kebijakan anggaran nega-ra dalam transformasi sosialdapat dilihat dalam Lance Le-Loup, Budgetary Politics (Ohio:King’s Court, 1986), p. 80-84.

14Seringkali kebijakan di-guna-manfaatkan untuk mere-duksi kepentingan kelompoktertentu yang dekat dengankekuasaan, atau mensinergikankepentingan dan kebutuhan elittertentu ke dalam kebijakananggaran negara. Hal ini yangpernah dikhawatirkan dalamkebijakan anggaran yang tanpamelibatkan publik di dalamnya.

15Tanggung jawab sosial(social responsibility) yang di-miliki UU anggaran negara ada-lah mendorong tingkat peme-rataan dan keadilan sosial dalampos belanjanya. UU anggarannegara harus menjadi daftartindakan pemerintah untuk meng-gunakan uang bagi kebutuhansosial masyarakat, yang menjaditanggung jawab negara. Dengandemikian, UU anggaran negaraharus memberikan batas limi-tatif agar terjadi keseimbangantanggung jawab (responsibility ofbalance) yang harus dipenuhinegara agar kebutuhan sosialrakyat terpenuhi.

16Konsep ini sebenarnyamenegaskan secara nyata filosofinegara tidak diadakan untukdirinya sendiri karena wujudnya

terbangun atas komitmen untukmelindungi rakyat dan mem-berikan kesejahteraan yang ter-cipta dari manfaat keberadaannegara.

17Konsep kebijakan anggar-an negara yang orientatif-prag-matif adalah kebijakan anggarannegara yang merefleksikan ke-kuasaan yang relatif untuk men-dorong keluaran (outcomes) yangdibutuhkan sepenuhnya bagitujuan jangka panjang. Selainitu, kebijakan anggaran negarademikian menjadi preferensipemerintahan yang telah men-jalankan anggaran negara yangsehat.

18Oleh sebab itu, komitmenpenting dalam kebijakan ang-garan negara adalah kecukupandana yang ditujukan pada kebu-tuhan dan kepentingan rakyat,sehingga kesejahteraan dapatterwujud nyata. Ketidakmam-puan kebijakan anggaran negaraterhadap kebutuhan dan kepen-tingan rakyat, tentu membawakonsekuensi ketidakmampuannegara dalam memenuhi kebu-tuhan dan kepentingan rakyat.Ketidakmampuan negara terse-but tentu berlawanan (contradictio in terminis) dengan esensikedaulatan rakyat dalam ang-garan negara. Oleh sebab itu,nyata dan absah jika kebijakananggaran negara yang diwujud-kan melalui UU anggaran nega-ra diarahkan sepenuhnya kepa-da pemenuhan kebutuhan dankepentingan rakyat.

19Gagasan untuk mewujud-kan konsep biaya kesejahteraandalam kebijakan anggaran ne-

Page 138: BOOK Volume2nomor2September2005

139������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

gara merupakan stigma sosialyang konkretnya seringkali me-ngalami kendala dalam peng-ambilan keputusannya. Hal inidisebabkan kepentingan politikdalam parlemen dan argumenpemerintah seringkali menjadidasar kendala terwujudnya de-terminasi kebijakan anggarannegara yang berpihak pada ke-sejahteraan rakyat. Lihat kem-bali dalam Stillman II, op.cit., hal.386.

20Partisipasi publik dalamkebijakan anggaran negara me-rupakan paradigma baru yangmendeskripsikan komitmen pe-merintah dalam mewujudkanpartisipasi aktif masyarakatdalam perencanaan anggarannegara. Bagaimanapun, partisi-pasi aktif masyarakat dalamanggaran negara harus dimak-nai sebagai salah satu hak tradi-sional masyarakat yang dapatdigunakan secara efektif untukmengawasi pemanfaatan ke-uangan negara bagi kesejah-teraan rakyat. Hak tradisionalinilah yang disebut sebagai ke-daulatan rakyat dalam ang-garan negara.

21Perlu ada perubahan ke-bijakan anggaran negara de-ngan meletakkan paradigmakedaulatan rakyat di dalamnyayang akan terasa elegan dilaku-kan dalam bentuk pembelanjaandalam APBN yang produktifmendorong harapan kesejah-teraan rakyat. Oleh karena itu,DPR perlu didorong agar proses

kebijakan anggaran negara ber-pihak pada stategi tujuan yangdikehendaki rakyat, denganmembuka saluran parlementeryang memungkinkan rakyatmemberikan pendapatnya ataskebijakan anggaran negara yangakan ditetapkan pemerintah.

22Arifin P. Soeria Atmadja,Guru Besar Hukum AnggaranNegara dan Keuangan PublikFakultas Hukum Universitas In-donesia menyebutkan Pasal 23ayat (1) UUD 1945 yang menya-takan, “APBN sebagai perwujudandari pengelolaan keuangan negaraditetapkan tiap-tiap tahun denganundang-undang dan dilaksanakansecara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnyakemakmuran rakyat, hanya me-rupakan retorika dangkal danbombastis yang tidak bermaknadari sudut filosofi anggaran“.Suatu teguran kritis-akademisini tentu harus menjadi per-hatian MPR sebagai pembentukUUD 1945. Lihat dalam bukuArifin P. Soeria Atmadja, Ke-uangan Publik dalam PerspektifHukum: Praktik dan Kritik (Ja-karta: Badan Penerbit FakultasHukum Universitas Indonesia,2005), hal. 72.

23Ibid., hal. 217. 24Sebagai lembaga negara,

BPK mewujud-dirikan sebagaibirokrasi yang superbody untukmelakukan pemeriksaan ke se-mua obyek pemeriksaan, tetapiwujud tersebut melupakan kon-sep manajemen yang lazimnyaditerapkan dalam suatu orga-nisasi.

Page 139: BOOK Volume2nomor2September2005

140 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Kepustakaan

Asshiddiqie, Jimly, 2003.Konsolidasi Naskah UUD1945 Setelah PerubahanKeempat. Jakarta: YarsifWatampone,.

Atmadja, Arifin P. Soeria,1996. “Sifat Hukum dariUndang-undang AnggaranPendapatan dan BelanjaNegara”, dalam Hukumdan Pembangunan.

__________, 2005. KeuanganPublik dalam PerspektifHukum: Praktik dan Kri-tik. Jakarta: Badan Pener-bit Fakultas Hukum Uni-versitas Indonesia.

Atmosudirdjo, Prajudi, 1990.Hukum Administrasi Ne-gara. Jakarta: Ghalia In-donesia.

Hartono, C.F.G. Sunarjati,1986. “Perspektif PolitikHukum Nasional.” DalamPembangunan Hukum da-lam Perspektif Politik Hu-kum Nasional. Disuntingoleh Artidjo Alkostar danM. Sholeh Amin. Jakarta:Rajawali Press.

Juaro, Umar, 1990. “Demokra-

si dan Sistem Ekonomi.”Prisma 7 (Juli), Jakarta.

LeLoup, Lance, 1986. “Bud-getary Politics”, Ohio:King’s Court.

Nasution, Anwar, 1992. “Stra-tegi Indonesia dalamMenghadapi Prospek Pe-nurunan Aliran Arus DanaInternasional ke Negara-negara yang sedang Mem-bangun dalam Dasawarsa1990”, Analisis CSIS 2(Maret-April 1992), Ja-karta: CSIS.

Simatupang, Dian Puji N, 2005.Determinasi KebijakanAnggaran Negara Indo-nesia: Studi Yuridis. Ja-karta: Papas Sinar Sinanti.

_________, 2005. “KebijakanAnggaran Indonesia”, Mo-dul Perkuliahan HukumAnggaran Negara (April),Jakarta: Fakultas HukumUniversitas Indonesia.

Stillman II, Richard J, 2000.“Public Budgeting: TheConcept of Budgeting asPolitical Choice”, dalamPublic Administration,Boston: Hougton MifflinCo.

Page 140: BOOK Volume2nomor2September2005

141Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

PERSPEKTIF HUKUM ATASMEMORANDUM OF UNDERSTANDING

HELSINKI

Oleh HIKMAHANTO JUWANA

Guru Besar Fakultas HukumUniversitas Indonesia

PengantarTanpa ingin menciderai

perdamaian yang sedang di-bangun di Aceh, berbagai pihaktelah mengungkap pandangandan sikap mereka terhadapMemorandum of Understand-ing (MoU) antara PemerintahRepublik Indonesia dan Ge-rakan Aceh Merdeka (GAM).

Paling tidak ada tiga kate-gori sikap atas MoU. Pertama,sikap mendukung MoU tanpamemperhatikan secara seksa-ma substansi MoU. Kedua,sikap yang mengkiritisi MoUdan cenderung bersikap tidakmendukung kebijakan peme-rintah. Terakhir adalah sikapoptimis atas MoU yang akan

membawa perdamaian di Acehdan Aceh masih di bawah nau-ngan Negara Kesatuan RepublikIndonesia (NKRI).

Bagi mereka yang ber-sikap mendukung MoU tentumengapresiasi apa yang dila-kukan oleh pemerintah. Merekatidak begitu peduli apa yangdiperjanjikan dalam MoU. Bagimereka yang terpenting konfliktelah berakhir, perang saudaratidak ada lagi, dan masyarakatdi daerah konflik saling be-rangkul-rangkulan.

Sementara bagi merekayang mengkritisi MoU meng-anggap pemerintah telah salahmengambil kebijakan. Kritikmereka ditujukan kepada pe-

Page 141: BOOK Volume2nomor2September2005

142 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

merintah dan sama sekali tidakditujukan kepada masyarakatdi Aceh yang sedang diselemutisuasana perdamaian.

Para pengkritik MoU me-rasa terkunci oleh situasi pascapenandatanganan karena kritikmereka atas MoU akan dija-dikan dasar oleh pemerintahuntuk menuduh ketidak-ber-pihakan mereka terhadap per-damaian di Aceh. Padahal me-reka ini bukanlah orang yangtidak cinta damai, melainkanindividu-individu yang memi-liki komitmen kuat terhadapNKRI.

Sikap ketiga adalah me-reka yang optimis bahwa me-lalui MoU akan tercipta per-damaian dan Aceh tetap ber-ada di bawah NKRI. Suara inilebih dominan diungkap olehmasyarakat internasional, se-perti dari Departemen LuarNegeri AS dan PerserikatanBangsa-Bangsa.

Dukungan dari masya-rakat internasional inilah yangmungkin digunakan oleh peme-rintah untuk mengatakan apayang mereka lakukan sudahbenar. Patut dipertanyakan bilapemerintah menggantungkandiri pada dukungan masyarakatinternasional mengingat konsti-

tuen pemerintah adalah masya-rakat Indonesia, bukan masya-rakat internasional.

Argumentasia. Argumentasi Pengkritik

MoUPengkritik MoU men-

dasarkan argumentasi merekapada dua aspek. Pertama ter-hadap MoU itu sendiri yangdapat dikategorikan dalam tigahal pokok, yaitu, proses pem-bentukan MoU, substansi MoU,dan pelibatan Aceh MonitoringMission (AMM) sebagaimanadiatur dalam MoU. Aspek ke-dua adalah implikasi MoU ter-hadap kehidupan berbangsadan bernegara Republik Indo-nesia.

b. Aspek yang terkaitdengan MoU

1. Proses Penyiapan MoUPertama, bila dilihat an-

tara pihak yang menandata-ngani dengan substansi yangdiatur dalam MoU, munculpertanyaan mengapa hanyaGAM yang menjadi pihak yangdiajak berunding oleh peme-rintah? Bila GAM yang menan-datangani seharusnya MoUberisi ketentuan yang meng-akhiri atau membuat jeda kon-

Page 142: BOOK Volume2nomor2September2005

143Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

flik antara pemerintah danGAM. Padahal substansi MoUmengatur berbagai aspek kehi-dupan bagi masyarakat di Aceh.MoU tidak seharusnya mem-bicarakan tentang pengaturanyang lebih dari itu. Bila ditiliksubstansi MoU, ternyata MoUtelah mengatur secara luastentang berbagai hal tanpamelibatkan komponen masya-rakat lain di Aceh. Pertanya-annya apakah yang dikehendakioleh GAM merupakan kehen-dak masyarakat di Aceh? Peme-rintah telah mereduksi kepen-tingan rakyat Aceh menjadikepentingan GAM.

Kedua, dapat diperta-nyakan siapa yang menyiapkandraft MoU. Ini penting karenapihak yang mempunyai posisitawar yang lebih tinggi biasa-nya akan menyiapkan draft.Dalam konteks pemerintah RIdan GAM, tentunya pemerintahRI memiliki posisi tawar yanglebih tinggi. Sepatutnya peme-rintah RI yang menyiapkandraft MoU. Namun, bila diper-hatikan substansi MoU terkesanMoU tidak disiapkan oleh pe-merintah RI. Tidak heran bilabanyak ketentuan dalam MoUlebih berpihak pada GAM dari-pada pemerintah.

Ketiga, banyak kata dankalimat yang sangat kabur.Pertanyaannya adalah apakahkekaburan ini memang dise-ngaja guna tercapai kesepa-katan. Bila memang demikiantidak heran bila ketentuan da-lam MoU bisa ditafsirkan secaraberbeda. Pasca penandata-nganan MoU, pemerintah di-sibukkan dengan proses me-yakinkan interpretasi atas MoUkepada publik Indonesia bah-wa substansi MoU tidak adayang bertentangan dengan Un-dang-undang Dasar 1945 mau-pun peraturan perundang-un-dangan yang berlaku. Namunmenjadi pertanyaan apakahpemerintah juga akan memberipenafsiran yang sama padaGAM?

Lebih lanjut harus dipa-hami bahwa yang akan men-sosialisasikan MoU tidak hanyapemerintah, tetapi juga GAM.Menjadi pertanyaan apakahGAM juga akan mensosiali-sasikan sama dengan apa yangdikatakan oleh pemerintahkepada publik Indonesia?

Kritik lain adalah halyang terkait dengan tujuanakhir yang hendak dicapai dariMoU. Kritikan didasarkan padafakta awal perundingan antara

Page 143: BOOK Volume2nomor2September2005

144 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

pemerintah dengan GAM ditu-jukan untuk memfasilitasi agarrekonstruksi dan rehabilitasi diAceh pasca tsunami tidak ter-ganggu oleh masalah keaman-an. Bila ini yang menjadi tujuanmaka bisa dimengerti bila sisikemanusiaan lebih di kedepan-kan. Namun bila yang menjaditujuan perundingan adalahpenyelesaian secara menye-luruh masalah pemberontakanatau separatis yang dilakukanoleh GAM maka tidak seha-rusnya hanya sisi kemanusianyang diperhatikan. Sisi lainyang tidak kalah penting adalahkeutuhan wilayah NKRI.

Bagi masyarakat Indone-sia yang berkomitmen terha-dap NKRI yang menjadi pokokpersoalan adalah bukan seke-dar menciptakan perdamaianmelainkan bagaimana men-ciptakan perdamaian dalambingkai NKRI. Ini pekerjaansulit yang membutuhkan waktuserta perunding ulung.

Sementara menciptakanperdamaian tanpa memper-hatikan keutuhan NKRI sangatmudah melakukannya. Secaraekstrim, bisa saja tuntutanGAM diberikan semua, ter-masuk bila dikehendaki refer-endum, dan perdamaian akan

tercipta. Hanya saja inikahyang diinginkan oleh rakyat In-donesia?

Mereka yang bersikapkritis atas MoU sebenarnyamenginginkan MoU yang dapatmenggiring anggota GAM kem-bali ke pangkuan Ibu Pertiwidan membubarkan diri sebagaiGAM.

Hingga kini bila diper-hatikan wawancara dan per-nyataan para petinggi GAM,terkesan mereka menghindaripenggunaan istilah Indonesia,untuk merujuk masyarakatmaupun negara, apalagi UUD1945. Tidak heran UUD 1945dalam MoU sekedar disebutsebagai Konstitusi. Adalah sua-tu peristiwa yang di nanti-nanti,saat pimpinan dan anggotaGAM secara lantang mengucapjanji untuk setia pada NKRI danUUD 1945. Seharusnya pem-berian amnesti kepada pim-pinan dan anggota GAM yangberada di lembaga pemasya-rakatan dilakukan dengan sya-rat pengucapan janji setia padaNKRI dan UUD 1945.

2. SubstansiBanyak pihak yang meng-

kritisi MoU menyampaikan ke-tidak-konsistenan antara subs-

Page 144: BOOK Volume2nomor2September2005

145Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

tansi MoU dengan UUD 1945dan peraturan perundang-un-dangan yang ada. Berbagai me-dia massa telah mengungkappandangan yang menyatakansubstansi MoU banyak yangbertentangan dengan peratur-an perundang-undangan.

Masalah bendera danhimne sebagaimana diatur da-lam MoU banyak mendapatsorotan dari pengkritik MoU.

Selanjutnya rangkumanS. Wiryono dalam artikelnya diKompas menyebutkan pasal-pasal MoU yang kontroversialsebagai berikut:1

Ketentuan yang termuatdalam 1.1.2 (a) yang meng-haruskan pemerintah pusatdan DPR dalam mengambil ke-putusan yang menyangkutAceh untuk in consultationwith dan with the consent of theHead of the Aceh Administra-tion/Legislature of Aceh. Katawith the consent of dapat ber-arti veto, karena kalau tidakdisetujui tentunya tidak dapatdilaksanakan.

Dipermasalahkan jugapenggunaan istilah Head of theAdministration yang dapatmenimbulkan berbagai tandatanya karena Presiden AS pundisebut sebagai Head of the

Administration. Apakah iniberarti gubernur atau lebihdari gubernur? Kalau memangyang dimaksud gubernur, me-ngapa tidak digunakan sajaistilah gubernur?

Menjadi sorotan keten-tuan yang termuat dalam pasal1.1.3 mengenai nama Aceh dangelar para pejabatnya yangakan ditentukan oleh DPRDtanpa persetujuan pusat. Apa-kah nama NAD akan diganti?Bagaimana kalau nama yangdipilih tidak menyebut secarajelas Aceh sebagai provinsi?Apa pengamannya? Apakahnama NAD akan diganti? Ba-gaimana kalau nama yang di-pilih tidak menyebut secarajelas Aceh sebagai provinsi?Apa pengamannya?

Pasal 1.1.4 yang meng-atur mengenai perbatasan danpasal 1.1.5 yang mengatur me-ngenai atribut (flag , crest andhymn) dikhawatirkan akan se-cara simbolik dan substantifmemperkuat kesan Aceh se-telah pelaksanaan MoU palingsedikit menyerupai Negara.

Selanjutnya ketentuandalam 1.1.7 yang terkait de-ngan kedudukan Wali Nanggroeyang masih akan ditentukan.Menjadi pertanyaan siapa dan

Page 145: BOOK Volume2nomor2September2005

146 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

tidak jelas pula kekuasaannyaserta apakah berada di atasHead of the Administrationatau gubernur dan dengan de-mikian tidak sekadar simbolik.

Pemerintah menjelas-kan, MoU didasarkan antaralain pada UU No. 18/2001.Tetapi MoU menyatakan, UUNo. 18/2001 akan diganti de-ngan UU yang baru yang dasar-dasarnya amat berlainan. Bah-kan sudah ada tanggal peng-undangannyayaitu tidak lebihlambat dari 31 Maret 2006.Bagaimana suatu UU yang di-setujui untuk diganti dalamMoU dijadikan dasar MoU sen-diri?

Ketentuan 1.2.4. jugatampak aneh. DPRD hasil pe-milu demokratis yang barudipilih langsung oleh rakyatpada tahun lalu dinyatakansebagai tidak lagi mempunyaiwewenang untuk membuat UUdan dengan demikian meru-pakan lame duck. PemilihanDPRD dan Head of the Admin-istration baru serta pejabat lainbaru akan terjadi tahun 2006dan 2009 yang akan diawasioleh outside monitors dan maybe undertaken with outsidetechnical assistance.

Outside monitors de-

ngan pengaturan tertentu kira-nya dapat diterima, tetapi se-berapa jauh outside technicalassistance akan berperan?

Di bidang ekonomi ada-nya hak menentukan suku bu-nga, memungut pajak, dan se-bagainya dijelaskan oleh peme-rintah sebagai sesuai UU yangada, tetapi juga memperkuatkesan MoU bersifat terlalu jauhmemberi konsesi.

Demikian pula bagianmengenai decomissioning se-mua senjata GAM. Dalam MoU,banyak yang kurang jelas, baikmengenai jumlah senjata mau-pun penyaksian dan tempatpemusnahan senjata.

Rangkuman pendapatSyamsudin Haris sehubungandengan ketentuan MoU yangdianggap kontroversial adalahsebagai berikut:2

MoU Helsinki merupa-kan pengakuan resmi peme-rintah RI atas GAM sebagaisatu-satunya wakil sah masya-rakat Aceh. Konsekuensi logis-nya, pertama, pemerintahmenganulir hak-hak politik dankewenangan DPRD provinsiAceh hasil Pemilu 2004, ter-cermin pada salah satu butirkesepahaman, “Sampai 2009,legislatif Aceh tidak berwenang

Page 146: BOOK Volume2nomor2September2005

147Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

mengesahkan peraturan per-undangan apa pun tanpa perse-tujuan Kepala PemerintahAceh” (1.2.4).

Butir kesepakatan ber-kenaan dengan undang-undangtentang penyelenggaraan pe-merintahan di Aceh (poin 1.1),ditentukan, persetujuan-per-setujuan internasional yangdiberlakukan Pemerintah Indo-nesia yang terkait hal ihwalkepentingan khusus Aceh akanberlaku dengan konsultasi danpersetujuan legislatif Aceh.Tambah lagi, keputusan-kepu-tusan DPR RI yang terkait de-ngan Aceh akan dilakukan de-ngan konsultasi dan persetu-juan legislatif Aceh.

Butir peraturan perun-dang-undangan (poin 1.4), le-gislatif Aceh akan merumuskankembali ketentuan hukum bagiAceh berdasar prinsip univer-sal hak asasi manusia sepertitercantum dalam Kovenan In-ternasional Perserikatan Bang-sa-Bangsa tentang Hak-HakSipil dan Politik dan mengenaiHak-Hak Ekonomi, Sosial, danBudaya.

Sedangkan rangkumanpendapat dari Ikrar Nusa Baktiterhadap MoU adalah sebagaiberikut:3

Kedaulatan Nasional In-donesia dibelenggu denganaturan kepala pemerintah Acehyang memiliki hak veto atasmasalah yang terkait denganKejaksaan Tinggi dan kepo-lisian, sedangkan DPRD Acehdapat menganulir keputusan-keputusan DPR yang terkaitAceh dan aneka persetujuaninternasional yang diberlaku-kan Pemerintah Indonesia ter-kait kepentingan khusus Aceh.

Patut dipertanyakan, apamaksud himne daerah. Apakahrakyat Papua boleh menyanyi-kan lagu kebangsaan Hai Ta-nahku Papua dan Aceh me-miliki lagu kebangsaan sendiriselain Indonesia Raya?

Dikhawatirkan GAMmenginterpretasi MoU yangmelahirkan negara sendiri yangboleh memiliki bank sentral,hubungan luar negeri dan per-dagangan, menikmati perda-gangan bebas dengan NKRI,dan memiliki kedaulatan teri-torial di darat, laut, dan udara,persoalan akan timbul.

Selanjutnya, kritik di-sampaikan terkait dengan Ke-pala Misi Monitoring yang per-lu diberitahu gerakan tentaralebih dari satu peleton (butir4.8). Bagaimana jika kurang

Page 147: BOOK Volume2nomor2September2005

148 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

dari satu peleton, tidak ber-seragam, tetapi bersenjata?Pihak TNI, Polri, dan GAM akansaling tuding siapa pengganggupelaksanaan MoU. GAM, milisi,atau unit-unit khusus TNI atauPolri bisa saja melakukan ge-rakan tanpa seragam, apalagiGAM tidak boleh berseragam.

Lebih lanjut, LembagaPertahanan Nasional (Lem-hanas) menyebutkan bahwaMoU bertentangan dengan 16undang-undang, antara lain UUtentang Bank Indonesia, UUtentang TNI, UU tentang Peme-rintah Daerah, UU tentangPerimbangan Keuangan Dae-rah dan Pusat, UU tentangKekuasaan Kehakiman.

3. Keterlibatan AMM/CMIBila diperhatikan keten-

tuan yang mengatur AMM da-lam MoU maka tidak dapatdihindari kesan bahwa AMMtidak sekedar memantau apa-kah MoU telah dipatuhi atautidak. AMM memiliki kewe-nangan yang lebih dari meman-tau. AMM dapat memutus per-selisihan. Bahkan bila antarapemerintah dan GAM tidakdapat menyelesaikan perse-lisihan diantara mereka me-lalui AMM maka Crisis Man-

agement Initiative (CMI) yangmemiliki kewenangan tersebut.

Berikut ketentuan dalamMoU (6.1.) yang mengatur ten-tang penyelesaian perselisihan:

6.1. Jika terjadi perse-lisihan berkaitan dengan pelak-sanaan Nota Kesepahaman ini,maka akan segera diselesaikandengan cara berikut:a) Sebagai suatu aturan, per-

selisihan yang terjadi ataspelaksanaan Nota Kesepa-haman ini akan diselesai-kan oleh Kepala Misi Moni-toring melalui musyawarahdengan para pihak dan se-mua pihak memberikan in-formasi yang dibutuhkansecepatnya. Kepala MisiMonitoring akan mengam-bil keputusan yang akanmengikat para pihak.

b) Jika Kepala Misi Monitoringmenyimpulkan bahwa per-selisihan tidak dapat di-selesaikan dengan cara se-bagaimana tersebut di atas,maka perselisihan akan di-bahas bersama oleh KepalaMisi Monitoring denganwakil senior dari setiappihak. Selanjutnya, KepalaMisi Monitoring akan meng-ambil keputusan yang akanmengikat para pihak.

Page 148: BOOK Volume2nomor2September2005

149Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

c) Dalam kasus-kasus di manaperselisihan tidak dapatdiselesaikan melalui salahsatu cara sebagaimana di-sebutkan di atas, KepalaMisi Monitoring akan me-laporkan secara langsungkepada Menteri Koordi-nator Politik Hukum danKeamanan Republik Indo-nesia, pimpinan politikGAM, dan Ketua DewanDirektur Crisis Manage-ment Initiative, sertamemberi tahu KomitePolitik dan Keamanan UniEropa. Setelah berkonsul-tasi dengan para pihak,Ketua Dewan Direktur Cri-sis Management Initiativeakan mengambil keputusanyang mengikat para pihak.

Bila internasionalisasimasalah diartikan sebagai cam-pur tangan pihak luar negeridalam penyelesaian perseli-sihan antara anak bangsa makaMoU telah meng-internasio-nalkan masalah Aceh. Pihakketiga di sini memang bukanPerserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) ataupun Mahkamah In-ternasional (InternationalCourt of Justice), namun fungsiyang diemban oleh AMM dan

CMI dapat disetarakan denganlembaga internasional terse-but.

c.Implikasi MoU terhadapNKRI

1. Keutuhan Wilayah NKRIBanyak pihak mengkha-

watirkan bahwa implikasi MoUdapat mengakibatkan NKRIberubah dari negara kesatuanmenjadi negara dalam negara,satu negara dengan dua sistem,dan negara federal yang sangatdekat dengan negara berdaulat.

2. Keinginan Daerah Lainuntuk Diperlakukan Sama

Implikasi lain dari MoUadalah keinginan berbagai dae-rah untuk diperlakukan samaoleh pemerintah pusat. MoUdijadikan dasar untuk menawaragar daerah bisa mendapatkankewenangan yang lebih besar.

Di sini patut dipertanya-kan apakah pemerintah dalammenegosiasikan atau memberikonsesi kepada GAM juga me-mikirkan daerah lain dari NKRI.Ataukah pada saat negosiasipemerintah mengasumsikanbahwa daerah lain di Indone-sia tidak akan menuntut halyang sama dengan Aceh. Bilaini yang terjadi maka peme-

Page 149: BOOK Volume2nomor2September2005

150 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Tabel 1 Argumentasi Pemerintah mengenai Substansi MoU

MoU Referensi 1.1.2.a. Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.

Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri, b.pertanahan, c. keamanan, d. yustisi, e. moneter dan fiskal nasional, dan f. agama.

1.1.2.c. Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

Pasal 7 UU No. 32/2004 ayat (2): Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama, pemindahan ibu kota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ayat (3): Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas usul dan persetujuan daerah yang bersangkutan.

1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.

Pasal 8 ayat (2) UU No. 18/2001 tentang Otsus bagi Provinsi Aceh: Lambang Daerah, yang di dalamnya termasuk alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diperlakukan sebagai bendera kedaulatan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 2 ayat (2) UU No. 21/2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua: Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.

Pasal 10 UU No. 18/2001: Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

1.2.1. Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.

Pasal 28 ayat (1) UU No. 21/2001: Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.

Page 150: BOOK Volume2nomor2September2005

151Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

rintah telah menyelesaikanmasalah tanpa sensitifitas dam-pak yang mungkin ditimbul-kan.

d. Argumentasi PemerintahAda dua hal pokok yang

dijadikan argumentasi peme-rintah dalam menyikapi peng-kritik MoU. Pertama, peng-kritik dianggap tidak mema-hami MoU secara menyeluruh.Bila para juru runding meng-anggap MoU ini sudah baik, halini karena para juru rundinglebih menekankan perdamaianyang didasarkan pada sisi kema-nusian daripada keutuhanNKRI. Memang bila dilihat darisisi kemanusiaan tidak ada yangsalah dengan MoU, karena MoUtelah dapat mengakhiri konflik.Di samping itu, bila sisi kema-nusiaan yang dikedepankanmaka pemberian konsesi yangberlebihan kepada GAM dapatdipahami.

Kedua, sebagaimana di-ungkap oleh para juru runding,substansi MoU tidak ada satu-pun yang tidak konsisten de-ngan peraturan perundang-undangan. Wakil Presiden JusufKalla secara lantang menga-takan demikian. Kalaupun kata-kata UUD 1945 tidak disebutkan

itu sekedar masalah semantik.Menurut juru runding, antaraUUD 1945 dan Konstitusi me-miliki makna yang sama.

Lebih lanjut, sebagaima-na disampaikan dalam pidatoWakil Presiden Jusuf Kallaberikut argumentasi pemerin-tah yang tidak melihat adanyapertentangan antara substansiMoU dengan peraturan per-undang-undangan di Indonesia(lihat tabel 1)4.

KesalahanKesalahan terbesar pe-

merintahan Susilo BambangYudhoyono terletak pada tidakdiberikannya peluang bagi rak-yat sebagai pemegang kedau-latan untuk mengetahui danmenyikapi MoU sebelum ditan-datangani. Kini pemerintahharus berhadapan dengan pub-liknya sendiri.

Saat ini dan ke depanMoU harus melalui dua tahapujian. Tahap pertama, apakahMoU akan berhasil mencip-takan perdamaian abadi ditanah rencong. Bila ujian per-tama terlewati maka ujian ke-dua adalah apakah MoU tidakakan merusak tatanan negarakesatuan. Ujian terakhir meru-pakan ujian terberat.

Page 151: BOOK Volume2nomor2September2005

152 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).

Pasal 170 UU No. 32/2004: Ayat (1) Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Ayat (2) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara Menteri Keuangan dan kepala daerah. Pasal 5 ayat (2) UU No. 18/2001: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.

1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.

Pasal 157 UU No. 32/2004: Sumber pendapatan daerah terdiri atas: a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: 1) hasil pajak daerah; 2) hasil retribusi daerah; 3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4) lain-lain PAD yang sah. b. dana perimbangan; dan c. lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pasal 158 UU No. 32/2004: (1) Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda. (2) Pemerintahan daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-undang. (3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 huruf a angka 3 dan lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 huruf a angka 4 ditetapkan dengan Perda berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

1.3.3. Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh.

Pasal 18 ayat (1) UU No. 32/2004: Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.

1.3.4. Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

Pasal 4 ayat (4) UU No. 18/2001: Penerimaan dalam rangka otonomi khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir c, berupa tambahan penerimaan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari hasil sumber daya alam di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah dikurangi pajak, yaitu sebesar 55% (lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk pertambangan gas alam selama delapan tahun sejak berlakunya undang-undang ini.

1.4.4. Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku.

Pasal 21 ayat (6) UU No. 18/2001: Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur. Pasal 24 ayat (2) UU No. 18/2001: Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Page 152: BOOK Volume2nomor2September2005

153Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Mengingat seruan wa-pres untuk mengakhiri perde-batan, rakyat kini hanya bisamenanti dengan was-was bagai-mana sejarah akan menorehkantintanya. Bila akhirnya negarakesatuan terancam maka MoUyang dibuat oleh pemerintahmeskipun telah menciptakanperdamaian namun dibuat ber-dasarkan pengkhianatan terha-dap rakyatnya sendiri dan parafounding fathers. Bila Acehtetap di bawah NKRI maka pe-merintah harus diacungi jem-pol karena berhasil mencip-takan perdamaian dengan te-tap mempertahankan keutuh-an NKRI.

Point of No ReturnSebagian pengkritik MoU

berharap melalui kritikan yangdilontarkan, MoU dapat di-batalkan. Bahkan ada niatandari beberapa anggota DPRuntuk menggunakan hak inter-pelasi, besar dugaan untukmaksud yang sama.

Pemerintah sepertinyatahu betul keinginan ini dankarenanya tidak tinggal diam.Tidak kurang dari Wakil Pre-siden Jusuf Kalla menyam-paikan pandangan pemerintahuntuk meng-counter pasal-

pasal yang dianggap kontro-versial oleh para pengkritikMoU. Para juru runding-punbersafari untuk menjelaskantidak ada satu pasal pun dalamMoU yang tidak sesuai denganperaturan perundang-undang-an.

Upaya untuk membatal-kan MoU kelihatannya akankandas. Kandas bukan karenakepiawaian pemerintah menje-laskan kepada publik, melain-kan kandas karena pengkritikMoU tidak memegang kekua-saan. Kekuasaan penting kare-na dengan kekuasaan jaringanbirokrasi dapat digerakkanuntuk tetap menjalankan MoUmeskipun ada individu dalambirokrasi yang tidak sejalandengan kebijakan yang diambil.

Kandas bisa jadi karenabanyaknya agenda masalahyang datang silih berganti me-nerpa bangsa ini. AkibatnyaMoU tidak menjadi prioritasperhatian. Bila kondisi ini ter-jadi, dapat dipastikan tekananpublik kepada pemerintah akanmengendur.

Bahkan pada titik ini bilapemerintah hendak mengakhiriMoU secara sepihak tanpa adapelanggaran dari GAM, akanmemberi kesan buruk di mata

Page 153: BOOK Volume2nomor2September2005

154 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

masyarakat internasional. In-donesia akan dituduh sebagaipihak yang tidak mematuhiMoU yang telah ditandata-ngani. Tentu akan ada konse-kuensi yang harus ditanggung.

Indonesia dalam posisiterkunci. Implementasi MoUmerupakan suatu keniscayaan,suatu point of no return.

Bila MoU harus diimple-mentasikan, pertanyaannyaadalah bagaimana agar Indo-nesia tidak tertimpa tangga duakali? Apa yang dapat diha-rapkan oleh publik kepadapemerintah agar bingkai NKRIdi mana Aceh berada di dalam-nya dapat dipertahankan?

RekomendasiSalah satu rekomendasi

yang dapat dilakukan oleh pe-merintah adalah menjalankanMoU berdasarkan tafsiran-taf-siran MoU yang disampaikanoleh pemerintah kepada publik.Tafsiran yang disampaikan olehpemerintah dalam menyikapipasal-pasal yang dianggapkontroversial selalu berbasispada peraturan perundang-undangan Indonesia.

Namun demikian, harusdisadari bahwa tafsiran yangdisampaikan oleh pemerintah

kepada publik belum tentusama dengan tafsiran dari GAM.Hal ini mengingat tafsiran GAMterhadap MoU sudah dapatdipastikan tidak menggunakanperaturan perundang-undang-an Indonesia. Artinya tafsirantersebut tidak dalam bingkaiNKRI. Tafsiran GAM akan me-ngacu pada keinginan merekauntuk merdeka. Paling tidakGAM akan menafsirkan MoUyang memungkinkan muncul-nya atribut-artibut sebuah wi-layah yang merdeka.

Di sinilah pentingnyaberbagai lembaga negara, se-perti DPR dan DPD, serta publikuntuk senantiasa menekan pe-merintah agar implementasiMoU mengacu pada peraturanperundang-undangan Indone-sia. Tafsiran Head of Adminis-tration, misalnya, tidak bolehlain daripada gubernur sesuaidengan UU Otonomi Khusus.Demikian pula dengan istilahConstitution yang dimaksudadalah UUD 1945.

Seruan DPR agar anggotadan pimpinan GAM berikrarsetia pada NKRI segera setelahmendapatkan amnesti ataupunabolisi perlu diperhatikan sung-guh-sungguh oleh pemerintah.Kewajiban ikrar ini merupakan

Page 154: BOOK Volume2nomor2September2005

155Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

tafsiran karena dalam MoUtidak diatur. Tafsiran demikianadalah tafsiran yang didasarkanpada bingkai NKRI.

Ikrar penting karena pe-merintah harus menghindarisituasi di mana anggota danpimpinan GAM mendapatkanamnesti ataupun abolisi, na-mun tetap tidak mengakuiNKRI. Bila ini terjadi statusmereka akan tidak jelas. Merekaberada di Indonesia namuntidak loyal pada Indonesiamaupun negara manapun (sta-teless).

Agar tidak ada tafsiranyang lolos, pemerintah perlumengidentifikasi berbagai pan-dangan yang mengkritisi MoU.Pandangan ini dikumpulkandan dicarikan peraturan per-undang-undangan mana yangoleh pemerintah dianggap se-suai. Sementara itu, untuk pa-sal-pasal dalam MoU yang tidakdiatur secara tegas, perlu dica-rikan ketentuan yang berlaku diIndonesia yang dapat mem-perjelas apa yang dimaksuddalam pasal MoU.

Tugas pemerintah tidakselesai sampai di sini. Tugaslanjutan adalah pemerintahperlu menyampaikan berbagaitafsiran atas MoU yang me-

ngacu pada bingkai NKRI kepa-da AMM dan CMI. Penyam-paian ini dilakukan secara proaktif meskipun belum ada tu-duhan pelanggaran. Tujuannyaagar AMM dan CMI dalampengambilan putusan pada saatterjadi pelanggaran telah me-ngetahui tafsiran dari pihak In-donesia.

Pemerintah tentunya ha-rus sejak dini meyakinkan danmengargumentasikan kepadaAMM dan CMI bahwa tafsiranMoU harus didasarkan padaperaturan perundang-undang-an Indonesia. Sebagai alasan,karena MoU secara eksplisitmenyebut UUD 1945 dan NKRIdalam preambul-nya. Bahkanuntuk lebih meyakinkan dapatdiargumentasikan bahwa MoUdibuat dalam kondisi GAM tidaklagi menuntut merdeka.

Adalah aneh bila nanti-nya AMM ataupun CMI meng-ambil suatu putusan yang di-dasarkan pada selera atau ke-adilan yang mereka persepsi-kan secara subyektif. Bila initerjadi dan bingkai NKRI tidakmenjadi acuan maka publik diIndonesia tidak dapat disa-lahkan bila menduga adanyakepentingan internasional da-lam menyelesaikan konflik di

Page 155: BOOK Volume2nomor2September2005

156 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Aceh. Kecurigaan terhadaptangan-tangan asing agar ter-jadi disintegrasi atas NKRI tidakdapat dielakkan.

PenutupBila rekomendasi di atas

dijalankan oleh pemerintah,rakyat akan tidak merasa was-was atau paling tidak rakyatlebih tenang dalam mengawalproses implementasi MoU. Ha-rapan bangsa Indonesia adalahpemerintah akan benar-benarmenciptakan perdamaian aba-di dalam bingkai NKRI di TanahRencong. Faktor NKRI menjadipenting karena rakyat Indone-sia tidak menghendaki damaiyang berada di luar NKRI.

Endnotes1 S. Wirjono, “MoU Helsinki,

Suatu Telaah,” Kompas, 25Agustus 2005.

2 Syamsudin Haris, “MoUHelsinki, Peluang atau Perang-kap,” Kompas, 24 Agustus 2005.

3 Ikrar Nusa Bhakti, “JanganAda Lagi Dusta di Aceh,” Kom-pas, 18 Agustus 2005.

4 Media Indonesia, 23 Agus-tus 2005.

Page 156: BOOK Volume2nomor2September2005

157Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

UUD 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empatkali dalam kurun waktu tiga tahun yaitu mulai tahun 2000hingga 2003. Perubahan ini dapat dikatakan bersifat fun-damental berkaitan dengan kehidupan berbangsa. Darisisi pandangan ekonomi maka perubahan UUD 1945 yangmenyangkut pemilihan langsung Presiden dan WakilPresiden, pemilihan langsung kepala daerah, dibentuknyaMahkamah Konstitusi yang bertugas menguji kesesuaianUU dengan UUD, serta independensinya bank sentral,memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembanganekonomi Indonesia. Pengaruhnya akan semakin besardengan semakin luasnya implementasi dari Perubahan UUD1945.

IMPLEMENTASI PERUBAHAN UUD 1945DALAM PANDANGAN EKONOMI

Oleh Dr. UMAR JUOROPakar Ekonomi Politik

Page 157: BOOK Volume2nomor2September2005

158 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Implikasi Pemilihan LangsungPresiden dan Wakil Presiden

Dipilihnya secara lang-sung Presiden dan Wakil Pre-siden membuat Presiden ter-pilih, pada tahun 2004 adalahSusilo Bambang Yudhoyonoberhak sepenuhnya menen-tukan arah kebijaksanaan eko-nomi, dan tentu saja bidanglainnya, dengan tidak adanyaGBHN yang sebelumnya di-susun oleh MPR untuk dilaksa-nakan oleh Presiden. Peme-rintahan Susilo Bambang Yu-dhoyono- Jusuf Kalla (SBY-JK)dalam menjalankan pemerin-tahannya berpegang pada RPJM(Rencana Pembangunan Jang-ka Menengah) yang ditetapkanoleh Keppres. RPJM ini teru-tama bertumpu pada visi danmisi yang disampaikan olehSBY-JK dalam kampanye pe-milihan presiden yang lalu.Pada akhir masa PemerintahanSBY-JK para pemilih yang akanmementukan puas atau tidakpuasnya kinerja pemerintahan,bukan lagi MPR melalui SidangPertanggungjawabannya.

Berbeda dengan peme-rintahan sebelumnya yang me-ngembangkan Repelita ber-dasarkan GBHN yang disusunMPR, pemerintahan sekarang

ini menentukan arah kebijak-sanaan dan RPJM sendiri tanpaketerlibatan lembaga perwa-kilan. Di satu sisi hal ini mem-berikan keleluasaan pemerin-tah untuk menentukan arahdan prioritasnya sendiri. Na-mun di lain pihak pemahamanyang dimiliki oleh wakil-wakilrakyat maupun masyarakatluas semakin kecil terhadaparah kebijaksanaan pemba-ngunan nasional.

Pemilihan langsung ke-pala daerah (Pilkada) yang telahberjalan di banyak daerah jugaakan merubah secara berartikebijaksanaan pemerintah dae-rah. Namun masih terlalu diniuntuk menilai bagaimana im-plikasi pilkada terhadap per-ekonomian yang sesungguh-nya. Sekalipun demikian dapatdipastikan bahwa Pilkada akansemakin memperkuat prosesdesentralisasi yang semakinmemperbesar kewenangan pem-da dalam menjalankan peme-rintahan di daerahnya. Impli-kasi yang nyata dari hal iniadalah semakin aktifnya dae-rah-daerah untuk mendapat-kan bagian yang lebih besardari kegiatan ekonomi di daerahmereka, terutama berkaitandengan sumber daya alam.

Page 158: BOOK Volume2nomor2September2005

159Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Bagian 10% saham dari Exxon-Cepu kepada pemerintah Kabu-paten Bojonogero dalam pe-ngelolaan ladang minyak me-rupakan salah satu contoh nya-ta. Contoh ini kemungkinanbesar akan menjadi presedenbagi daerah lainnya dalam ke-giatan perekonomian lain.

Mahkamah Konstitusi danPerekonomian

Dalam usianya yang ma-sih relatif muda, MahkamahKonstitusi (MK) telah menge-luarkan keputusan membatal-kan UU No. 20 Tahun 2002tentang Ketenagalistrikan danmeminta dilakukannya per-baikan terhadap UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas.UU Ketenagalistrikan dibatal-kan karena dianggap berten-tangan dengan Pasal 33 UUD1945. Listrik dipandang seba-gai jasa yang menguasai hajathidup orang banyak karena itunegara bertanggung jawab me-ngelolanya dan tidak bolehdikompetisikan oleh pelakuswasta. Sedangkan UU Migasperlu direvisi berkaitan denganpengalihan wewenang kepadaswasta dan keharusan adanyabatas minimal untuk meng-alokasikan produksi migas bagi

kebutuhan domestik.Terhadap keputusan MK

ini tanggapan pada umumnyadari kalangan investor kelis-trikan dan migas adalah sebagaikemunduran dari program libe-ralisasi sektor tersebut. Semulaliberalisasi di sektor ini dimak-sudkan sebagai usaha untukmenarik investor swasta, ter-utama asing, masuk ke bidangenergi. Keputusan MK tersebutdipandang akan menghambatinvestasi dan mengembalikanmonopoli PLN yang dianggaptidak efisien di bidang kelistrik-an, dan Pertamina yang diang-gap terkait erat dengan KKN dibidang migas. Sedangkan bagimereka yang mendukung kepu-tusan MK tersebut, terutamadari kalangan LSM dan sejumlahpakar, menganggap keputusanuntuk membatalkan UU Ke-listrikan adalah tepat, dan me-nyesalkan mengapa langkahserupa tidak dilakukan untukUU Migas.

Sebelum keputusan MKtersebut, sedikit yang menya-dari pentingnya peranan kons-titusi dalam kehidupan pereko-nomian. Banyak yang berang-gapan bahwa konstitusi hanya-lah mengatur kehidupan politikbukan perekonomian. Panda-

Page 159: BOOK Volume2nomor2September2005

160 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

ngan demikian memang padaumumnya berlaku di negara-negara yang menganut pahamliberal yang menyatakan bah-wa perekonomian ditentukanoleh mekanisme pasar, tidakdiatur oleh negara. Namun dinegara-negara sosialis dankomunis –yang sekarang inisemakin sedikit jumlahnya—konstitusi mengatur tidak sajakehidupan politik, tetapi justrulebih besar dalam pengaturankehidupan perekonomian. Dibeberapa negara maju sekali-pun, seperti Jerman dan Swe-dia, konstitusi dalam beberapahal membatasi bekerjanya me-kanisme pasar demi cita-citamembangun perekonomianpasar yang berwatak sosialyang berkeadilan. Belakanganbeberapa negara maju mem-pergunakan konstitusi untukmemberikan jaminan pada in-dependensi bank sentral dalammenentukan kebijaksanaanmoneter. Hal ini juga diadopsidalam amandemen UUD 1945yang keempat.

Para pendiri bangsa kitayang menyusun UUD 1945 mem-berikan perhatian besar me-ngenai pengaturan kehidupanperekonomian di dalamnya.Hal ini penting karena sema-

ngat untuk melawan kolonialis-me yang menerapkan sistemkapitalisme pada masa itu de-mikian besar. Begitu pula cita-cita untuk mewujudkan kea-dilan sosial dapat dikatakanmendominasi pikiran para pen-diri bangsa kita. Pada saat aman-damen UUD 45 dilakukan em-pat kali pada masa reformasiini, terdapat upaya untuk me-nyesuaikan Pasal 33 dengansemangat persaingan pasaryang lebih menonjolkan peran-an swasta dan mekanisme pa-sar. Sekalipun demikian pasaltersebut tetap bertahan, sekali-pun dimasukkan penambahanasas ekonomi antara lain asasefisiensi.

Sedangkan dalam per-kembangan undang-undangpenyesuaian telah banyak dila-kukan untuk mengakomodasirealitas persaingan pasar yangsemakin besar pengaruhnya,dan peranan swasta yang lebihbesar dalam kehidupan eko-nomi sejak pada masa pemerin-tahan Suharto. Mulai dari UUPenanaman Modal Asing (PMA)tahun 1967 sampai dengan UUPerbankan tahun 1988 yangdiperbaharui tahun 1999, danUU Ketenagalistrikan dan Migasyang ditinjau oleh MK, mem-

Page 160: BOOK Volume2nomor2September2005

161Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

berikan peluang yang besarkepada peranan swasta, ter-masuk asing, dan mekanismepersaingan pasar yang lebihbesar di dalam banyak aspekkehidupan ekonomi.

Peranan konstitusi ada-lah memberikan jaminan bah-wa keadilan, dalam hal iniekonomi, harus ditegakkan.Sedangkan UU dan PeraturanPemerintah selain bertujuanuntuk membumikan konstitusijuga mempertimbangkan efi-siensi dan produktivitas per-ekonomian dan keharusan un-tuk menyesuaikan dengan per-kembangan, bukan saja di da-lam negeri, tetapi juga penga-ruh globalisasi. Dalam dina-mika seperti ini interpretasikonstitusi dalam UU yangmengatur kehidupan ekonomimenjadi penting untuk di satupihak tetap menjamin keadilanrakyat, namun di lain pihakjuga memberikan ruang bagiUU untuk menyesuaikan diridengan perkembangan eko-nomi secara realistis yang se-makin dipengaruhi oleh meka-nisme persaingan pasar danperanan swasta.

Pembatalan UU Kete-nagalistrikan dan permintaanuntuk merevisi UU Migas oleh

MK tentu saja tidak dimaksud-kan untuk menghambat ke-giatan ekonomi di bidang ener-gi, tetapi mengarahkan UUuntuk secara eksplisit memper-timbangkan asas keadilan danperanan negara yang optimalbagi kepentingan rakyat. Tan-tangan bagi pemerintah danDPR yang bertugas menyiapkandan mengesahkan UU, adalahuntuk menyesuaikan UU ter-sebut sejalan dengan semangatkonstitusi, tentunya dengantetap mempertimbangkan rea-litas persaingan dan upayauntuk menarik investor swasta.Peranan negara tetap pentingdalam perekonomian kita, pal-ing tidak menurut konstitusi.Karena itu perbaikan peranannegara dalam perekonomian,termasuk bekerjanya denganbaik BUMN, untuk menjadilebih efektif dan efisien meru-pakan aspek penting.

Catatan penting bagi pe-nyusun UU adalah bahwa ting-kat ke-liberal-an tidaklah men-jamin masuknya investasi, se-perti yang kita alami pada masapasca krisis, di mana sistemekonomi kita begitu liberalnyatetapi investasi asing nettojustru negatif. Pengalamanmengajarkan pada kita bahwa

Page 161: BOOK Volume2nomor2September2005

162 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

kepastian dan konsistensi da-lam menjalankan UU lebih pen-ting daripada tingkat liberalnyasuatu UU. Karena itu Cina danVietnam dengan UU yang me-ngatur perekonomian merekajauh di bawah dari tingkat ke-liberal-an di Indonesia ter-nyata lebih berhasil dalammenarik PMA. UU yang kurangliberal dengan hakim dan pe-negak hukumnya yang dapatdihandalkan jauh lebih baikbagi perekonomian daripadaUU yang sangat liberal, tetapidengan aparat penegak hukumyang lemah dengan sistem yangmengabaikan asas keadilanbagi rakyatnya sendiri.

Independensi Bank SentralDalam Perubahan Keem-

pat UUD 1945 Pasal 23 D dinya-takan bahwa “Negara memilikisuatu bank sentral yang susun-an, kedudukan, kewenangan,tanggung jawab, dan inde-pendensinya diatur denganundang-undang”. Ini adalahsuatu langkah maju yang luarbiasa dalam ke-bangsentral-andi negara berkembang sepertiIndonesia yang pada umum-nya masih didominasi olehpemerintah. Pengalaman padamasa krisis di mana BI “dipak-

sa” oleh pemerintah, dalam halini Presiden Suharto, untukmenyalurkan BLBI seiring de-ngan krisis ekonomi yang da-lam, sampai sekarang ini masihmenjadi kontroversi, membuatPemerintahan Habibie meng-inginkan adanya independensiBI yang bertugas untuk men-jaga stabilitas nilai rupiah daninflasi.

Pembahasan mengenaipentingnya independensi banksentral baik di negara majumaupun berkembang berawaldari kekhawatiran terhadaptingginya inflasi yang meng-ancam stabilitas ekonomi padatahun 1970-an dan 1980-an.Inflasi meningkat di atas tingkatoptimal karena para penentukebijaksanaan ekonomi ter-goda untuk menciptakan inflasiyang tidak terduga (unexpectedinflation) dalam rangka men-dorong pertumbuhan ekono-mi. Dengan menambah jumlahuang yang beredar dan sukubunga yang rendah maka ke-giatan ekonomi diharapkandapat meningkat, sekalipuninflasi menjadi lebih tinggi.Namun para pelaku ekonomidan masyarakat pada umum-nya dapat mengantisipasi ke-bijaksanaan ini sehingga yang

Page 162: BOOK Volume2nomor2September2005

163Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

terjadi adalah inflasi yang lebihtinggi tetapi tanpa pertum-buhan ekonomi yang diha-rapkan. Untuk mengatasi per-masalahan ini maka munculusulan untuk membuat banksentral independen sehinggapenentu kebijaksanaan eko-nomi tidak tergoda mencip-takan kebijaksanaan yang ber-bahaya bagi stabilitas ekonomi.Berbagai interpretasi dikemu-kakan mengenai independensibank sentral ini. Salah satuinterpretasi yang cukup tepatuntuk kebutuhan praktis ada-lah bahwa independensi banksentral dapat mengurangi biasinflasi jika kebijaksanaan mone-ter di bank sentral lebih kon-servatif daripada pemerintahdan masyarakat pada umum-nya, dalam pengertian mem-punyai kecenderungan yanglebih kuat daripada pemerintahdan masyarakat terhadap sta-bilitas harga ketimbang sta-bilitas output. Karena itulah dibanyak negara maju ditetap-kan, bahkan dalam konstitusimereka, tugas utama bank sen-tral adalah menjaga stabilitasharga. Bank sentral tersebuttidak diberi tugas untuk men-dorong pertumbuhan ekono-mi.

Berbagai studi empirikalyang membahas keterkaitanantara independensi bank sen-tral dan inflasi serta pertum-buhan ekonomi menunjukkanhasil yaitu di antara negaramaju independensi bank sentralsecara hukum berkorelasi ne-gatif dengan inflasi. Ini artinyasemakin independen bank sen-tral, semakin rendah tingkatinflasi. Namun, untuk negaramaju berganti-gantinya gu-bernur bank sentral tidak adakaitannya dengan inflasi. Se-lanjutnya di antara negara ma-ju, independensi bank sentraltidak ada korelasinya denganpertumbuhan ekonomi. Di-antara negara berkembang,tidak begitu jelas korelasi an-tara independensi bank sentraldengan tingkat inflasi. Hal inikemungkinan karena inflasijuga ditentukan oleh kebijak-sanaan fiskal, misalnya pe-ngurangan subsidi dan per-masalahan struktural, sepertihambatan dalam sistem distri-busi barang. Namun di antaranegara berkembang berganti-gantinya gubernur bank sentralberkorelasi dengan inflasi. Halini berarti semakin sering gu-bernur bank sentral digantisemakin inflasi tidak terkendali.

Page 163: BOOK Volume2nomor2September2005

164 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Di negara berkembang,independensi bank sentral ti-dak berkorelasi dengan per-tumbuhan ekonomi.

Berdasarkan pengalam-an Indonesia sendiri dan ne-gara-negara lain, terkoopta-sinya bank sentral bagi tujuanpolitik tertentu membuat banksentral tidak dapat menjalan-kan peranannya dalam kebijak-sanaan moneter dan peng-awasan perbankan secara op-timal. Pada masa orde barubukan saja tugas Bank Indone-sia sebagai bank sentral de-mikian banyak seperti kebijak-sanaan moneter, pengawasanperbankan, sistem pembayar-an, dan mendorong pemba-ngunan, tetapi juga tundukpada kehendak pemerintah,dalam hal ini Presiden yangseringkali menentukan penga-ruhnya langsung atau tidaklangsung melalui menteri ke-uangan. Kebijaksananaan kon-troversial seperti BLBI yangmengakibatkan kerugian ne-gara demikian besar, programpenjaminan sepenuhnya ter-hadap dana pihak ketiga diperbankan, dan banyak ke-bijaksanaan kontroversial lain-nya semestinya tidak menjadibegitu buruk jika pada saat itu

BI mempunyai jarak yang me-madai terhadap penguasa po-litik. Pada saat itu praktis BIhanya mengikuti kehendak pe-merintah, sekalipun ini tidakberarti bahwa tidak ada kesa-lahan di dalam BI sendiri.

Atas pertimbangan ke-salahan besar masa lalu yangakibatnya masih sangat di-rasakan dan keinginan untukmembuat BI berkonsentrasipada kebijaksanaan moneter,khususnya berkaitan dengannilai tukar mata uang dan in-flasi, maka tuntutan terhadapindependensi BI menguat. Ke-mudian diberlakukan UU No.23 Tahun 1999 yang mem-berikan independensi kepadaBI baik dalam kelembagaanmaupun dalam menjalankankebijaksanaan moneter. Na-mun dalam pelaksanaannyapro-kontra terhadap pelaksa-naan UU ini mendesak dilaku-kannya amandemen. Apalagipada masa Pemerintahan Ab-durrahman Wahid kehendakuntuk mengganti Gubernur BIdemikian besar. Sekalipun de-mikian tampaknya para politisiyang terlibat dalam aman-demen UU BI semakin menya-dari pentingnya independensiBI dalam menjalankan kebijak-

Page 164: BOOK Volume2nomor2September2005

165Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

sanaan moneter dalam rangkamenciptakan stabilitas eko-nomi.

Ada yang mengkhawa-tirkan bahwa independensi BIakan menciptakan negara da-lam negara. Kekhawatiran iniberlebihan karena indepen-densi BI terbatas hanya padapelaksanaan kebijaksanaan mo-neter, terutama dalam menen-tukan jumlah uang beredar,mengendalikan inflasi yangterefleksikan juga di dalamtingkat suku bunga. Indepen-densi BI secara kelembagaanjuga terbatas dalam pengertianDewan Direktur BI tidak dapatditurunkan kecuali melanggarhukum yang berlaku. Inde-pendensi demikian terbuka bagiakuntabilitas yang pengawasan-nya langsung dapat dilakukanoleh DPR. Bahkan dalam per-ubahan UU BI tahun 2004,ditetapkan adanya Dewan Su-pervisi yang membantu DPRdalam mengawai kerja BI.

Pembentukan Dewan Su-pervisi BI yang diusulkan olehDPR dapat diterima sebagaiperangkat yang membantuDPR dalam mengawasi kerja BItanpa harus ikut campur dalampenentuan kebijaksanaan BI.Tugas utama dewan ini adalah

memonitor kerja Dewan Gu-bernur pada khususnya danbekerjanya BI pada umumnyadan memberikan laporan ke-pada DPR serta memberikanrekomendasi mengenai lang-kah apa yang perlu diambil DPRbaik dalam rangka mening-katkan kinerja BI maupun da-lam mengatasi permasalahanyang timbul baik berkaitandengan lingkup tugas BI mau-pun berkaitan dengan perma-salahan ekonomi pada umum-nya. Dewan Supervisi dapatmemperkuat proses akuntabili-tas yang dilakukan oleh DPR.

KesimpulanDari sisi pandangan eko-

nomi, perubahan UUD 1945telah banyak berpengaruh da-lam kebijaksanaan ekonomidan kegiatan ekonomi padaumumnya. Perubahan UUD1945 masih tetap menyisakanperdebatan terutama di sekitarPasal 33 mengenai kegiatanekonomi yang menguasai hajathidup orang banyak dikuasainegara. Pandangan ekonom lib-eral menganggap pasal inimenghambat perkembanganekonomi yang berlandaskanmekanisme pasar dan berkem-bangnya kapitalisme. Apalagi

Page 165: BOOK Volume2nomor2September2005

166 Jurnal Konstitusi, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

dengan dibatalkannya UU Kete-nagalitsrikan tahun 2001 olehMK. Perdebatan di sekitarpermasalahan ini tampaknyamasih akan berkepanjangan,karena dari pihak yang men-dukung keberadaan Pasal 33 iniberpendapat bahwa inilah jiwadari perekonomian Indonesia.

Dipilihnya Presiden se-cara langsung membuat arahkebijaksanaan ekonomi sepe-nuhnya berada di tangan pre-siden dan kabinetnya. Berhasilatau tidaknya juga tidak lagidinilai oleh MPR dalam suatupidato pertanggungjawabanpresiden di masa akhir jaba-tannya, namun rakyat sendiriyang akan menilainya dalampemilihan presiden berikut-nya. Hal ini di satu pihak mem-berikan kebebasan kepada pe-merintah untuk menentukanarah kebijaksanaannya sendiri,namun di lain pihak juga me-nimbulkan permasalahan me-ngenai keselarasan padangandengan DPR dan kesinambung-

an dengan pemerintahan selan-jutnya dengan tidak adanyaGBHN.

Independensi bank sen-tral memberikan pengaruh po-sitif dalam stabilitas ekonomimakro (moneter) dalam halnilai mata uang dan inflasi.Namun independensi bank sen-tral juga membuat permasalah-an dengan tidak berperannyalagi bank sentral dalam men-dukung pembangunan secaralangsung, dengan tidak diper-bolehkannya pemerintah me-minjam dari bank sentral, danbank sentral tidak boleh lagimemberikan kredit likuiditas.Namun dalam prakteknya se-mestinya bank sentral bersifatakomodatif terhadap penca-paian tujuan pembangunanberupa pertumbuhan yangtinggi dan penciptaan kesem-patan kerja, tanpa harus me-ngorbankan tugas utamanyamenjaga stabilitas ekonomimakro.

Page 166: BOOK Volume2nomor2September2005

167������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Tanggal 17 Agustus1945 bangsa Indonesia men-deklarasikan dirinya sebagaiNegara Kesatuan Republik In-donesia (NKRI) yang merdekadan bebas dari segala bentukpenjajahan di muka bumi. De-klarasi demikian lebih dikenaldengan istilah Proklamasi.Menurut kamus bahasa Indo-nesia (Drs. Suharto, 1996) prok-lamasi diartikan sebagai pem-beritahuan resmi kepada rak-yat secara keseluruhan, atauproklamasi sering juga disebutsebagai permakluman.

Pasca proklamasi kemer-dekaan RI bangsa Indonesiameskipun secara de jure dan defacto telah terbebas dari ben-tuk kolonialisme bukan berarti

tanpa persoalan dalam meng-atur kehidupan berbangsa danbernegara. Salah satu persoal-an krusial saat itu adalah pem-bentukan konstitusi sebagaiaturan dasar (basic norm) yangmengatur kehidupan masya-rakat Indonesia.

Satu hari setelah pro-klamasi tepatnya pada 18 Agus-tus 1945 bangsa Indonesiamampu menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) se-bagai konstitusi yang berlakudi seluruh wilayah Indonesia.Dengan berlakunya konstitusitersebut Indonesia adalah ne-gara yang berdasarkan hukum.Adalah Soekarno sang prokla-mator pemimpin besar revo-

HUKUM ISLAM DAN SISTEMKETATANEGARAAN

Oleh Suban Salim, S.H.Koordinator Hukum dan Advokasi ISES Indonesia

Judul Buku: Jejak-Jejak Hukum Islam DalamSistem Pengarang: Prof. Dr. Ismail Suny,S.H., MCL. Penerbit: Konstitusi Press,Jakarta Cetakan: Pertama, Mei 2005Tebal: xiii+216 halaman

Page 167: BOOK Volume2nomor2September2005

168 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

lusi Indonesia menegaskan diawal-awal proklamasi bahwaNKRI adalah negara yang ber-dasarkan atas hukum (rechts-staat) dan tidak berdasar ataskekuasaan belaka (machts-staat). Lebih jauh Soekarnomengatakan bahwa UUD 1945dijiwai oleh Piagam Jakarta 22Juni 1945. Dalam pidatonyapada 5 Juli 1959 ditegaskan,“pengakuan adanya PiagamJakarta sebagai dokumen his-toris berarti pula pengakuanakan pengaruhnya terhadapUUD 1945, tidak hanya me-ngenai pembukaannya, tetapijuga mengenai Pasal 29 UUD1945, pasal mana harus men-jadi dasar bagi kehidupanhukum di bidang agama”.

Dari cuplikan tersebutsesungguhnya terbersit bahwakeberadaan hukum Islam da-lam sistem ketatanegaraan In-donesia sejak mulanya mem-pengaruhi pembentukan konsti-tusi Indonesia.

Hukum Islam dan hukumpositif dalam sistem ketatane-garaan Indonesia masih meru-pakan topik yang mengemukadan menarik dibicarakan dewa-sa ini, paling tidak Khalid M.

Ishaque (1986) membicara-kannya dari sisi syariat bagimuslim dan hukum positif se-bagai hukum nasional. Danlebih lanjut diistilahkan hukumIslam sebagai hukum religius,sedangkan hukum positif se-bagai hukum profan.

Prof. Dr. Ismail Suny,S.H., MCL. seorang pakar Hu-kum Tatanegara Guru BesarEmeritus pada Fakultas HukumUniversitas Indonesia yangmencoba menorehkan tulisan-nya terhadap peran hukum Is-lam dalam sebuah bukunyaberjudul Jejak-Jejak HukumIslam dalam Sistem Ketata-negaraan Indonesia. Buah kar-ya ilmiah ini meskipun meru-pakan bunga rampai, namunpenjelajahannya tentu sajabukan melalui literatur semata,akan tetapi melalui kesaksian-nya secara langsung terhadappelbagai kejadian yang meng-iringi jejak langkah hukum Is-lam dan sistem hukum positifdi Indonesia.

Ditinjau dari proses kese-jarahannya hukum Islam mam-pu mempengaruhi dan sekali-gus diterima sebagai hukumyang berlaku dalam sistemhukum nasional, sebut saja

Page 168: BOOK Volume2nomor2September2005

169������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

misalnya UU No. 1 Tahun 1974tentang Perkawinan, dan UUNo. 7 Tahun 1989 tentang Per-adilan Agama. Karena itu pe-ngaruh hukum Islam dalamwilayah sistem hukum nasionaltidak terlepas dari perdebatanpenyusunan konstitusi (hukumdasar) di awal kemerdekaanIndonesia oleh founding fa-thers terutama mengenai pre-ambule (pembukaan). Secaramaterial perdebatan itu ter-letak pada persoalan pengha-pusan tujuh kata dalam PiagamJakarta (Djakarta Charter) “...dengan kewajiban menjalan-kan syariat Islam bagi peme-luk-pemeluknya”.

Dalam terminologi Hu-kum Tata Negara (HTN), pre-ambule atau pembukaan ter-utama yang memuat filsafatNegara Pancasila merupakanhukum fundamental, suatu ba-sic norm, oorspung norm, fun-damental law. Pokok-pokokpikiran yang menunjukanrechtsidee, atau cita-cita hu-kum yang dilaksanakan bangsaIndonesia terdapat dalam Pem-bukaan UUD menciptakan po-kok pikiran ini dalam pasal-pasalnya. (hal 21)

Tujuh kata dalam Piagam

Jakarta yang sempat menjadipersoalan debatable dalamupaya penghapusannya. Se-tidaknya ada dua catatan yangdapat kita lihat, pertama, satuhari setelah kemerdekaan Indo-nesia, tepatnya pada 18 Agus-tus 1945 Panitia PersiapanKemerdekaan Indonesia (PPKI)melalui rancangan Undang-Undang Dasar yang telah di-persiapkan oleh Badan Penye-lidik Usaha-Usaha PersiapanKemerdekaan Indonesia(BPUPKI) dalam sidangnyatelah menetapkan UUD bagiNegara Indonesia. Undang-Undang Dasar (UUD 1945) tan-pa tercantumnya tujuh katadalam Piagam Jakarta. Per-sidangan waktu itu terdiri dari62 anggota BPUPKI hanya 15orang saja atau sekitar 20 per-sen suara yang benar-benarmewakili golongan Islam dansekaligus menyokong ide Islamsebagai dasar negara. Ketikaitu, kompromi politik dalambentuk Piagam Jakarta dila-kukan panitia kecil dari BPUPKIyang diketuai oleh Ir. Soekarnodan ditandatangani kesembilananggotanya.

Kedua, dalam MajelisKonstituante terdapat dua ku-

Page 169: BOOK Volume2nomor2September2005

170 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

bu yang saling bertentangan.Kubu pertama berpegang padaasas Pancasila yang pendu-kungnya kira-kira 52 persen,sedangkan kubu kedua meng-usung ide Negara Islam yangsokongannya hanya 48 persen.Menurut aturan persidanganKonstituante, suatu usul dalamKonstituante baru dapat diteri-ma dengan 2/3 suara atau se-kitar 67 persen. Tetapi karenakubu kedua tetap semangatmendesakkan ide Negara Islamkepada Bung Karno, lantasBung Karno menentukan sikapmembubarkan Konstituantedan memberlakukan kembaliUUD 1945 dengan mengeluar-kan dekrit pada 5 Juli 1959.

Pada tataran pelaksana-an hukum Islam, Ismail Sunnymerincinya lewat jejak-jejakpengaruh hukum Islam dalamsistem ketatanegaraan Indone-sia; pertama, politik hukummemperlakukan hukum Islambagi pemeluk-pemeluknya. Halini terbukti dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Pasal2 UU itu menyatakan, “per-kawinan adalah sah menuruthukum masing-masing aga-manya”. Selain itu, Pasal 63 UUa quo menyatakan, “yang di-

maksud dengan pengadilandalam undang-undang iniadalah pengadilan agama ba-gi mereka yang beragama Is-lam”. Pasal-pasal ini memberidasar hukum adanyapengadilan agama yang olehPasal 10 UU No. 14/1970tentang Kekuasaan Kehakiman,dinyatakan kedudukannya se-derajat dengan pengadilan da-lam lingkungan peradilan lain-nya. (hal 61)

Kedua, Pasal 27 ayat (1)UUD 1945 menyatakan, “sega-la warga negara bersamaankedudukannya di depan hu-kum dan pemerintahan danwajib menjunjung hukum danpemerintahan itu dengan ti-dak ada kecualinya”. Di sam-ping itu, Pasal 29 ayat (2) UUD1945 menyebutkan “negaramenjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memelukagamanya masing-masing danuntuk beribadat menurut aga-manya dan kepercayaannyaitu”. Tafsir sistematis yangcoba ditawarkan Ismail Sunnyuntuk kedua pasal di atas, Pasal27 ayat (1) yang menjaminpersamaan di depan hukummengandung makna adanyahubungan lex generalis, arti-

Page 170: BOOK Volume2nomor2September2005

171������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

nya persamaan dan pelayanandi depan hukum kepada selu-ruh warga negara diberikanporsi yang sama tanpa diskri-minasi oleh sebab-sebab ras,warna, golongan, kepercayaandan sebagainya. Sedangkantafsir terhadap Pasal 29 ayat (2)seperti disebutkan oleh IsmailSuny mengandung makna lexspecialis dimana adanya ja-minan persamaan hak untukmemeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurutagamanya dan kepercayaan-nya itu, namun ada kekhususanhukum memeluk agama ter-tentu, dan akibatnya adalahperadilan agama tertentu. (hal73)

Adanya pengadilan aga-ma secara formil dimuat dalamPasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970; bahwa kekuasaan keha-kiman dilakukan oleh peng-adilan dalam lingkungan: a)Peradilan Umum; b) PeradilanAgama; c) Peradilan Militer;dan, d) Peradilan Tata UsahaNegara. Pasal inilah yang ke-mudian dijadikan inspirasi bagiadanya dasar hukum Peng-adilan Agama (UU N0. 7/1989). Pasal 49 UU itu mene-gaskan bahwa pengadilan aga-

ma bertugas dan berwenangmemeriksa, memutuskan danmenyelesaikan perkara-per-kara di tingkat pertama antaraorang-orang yang beragamaIslam di bidang; perkawinan,warisan, wasiat dan hibah, wa-kaf dan shadaqah yang dila-kukan berdasarkan hukum Is-lam.

Ketiga perihal kewe-nangan mengadili pada peng-adilan agama yang termuatdalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun1989, lebih lanjut diatur ten-tang Kompilasi Hukum Islam,yang dalam diktumnya dise-butkan: menginstruksikan ke-pada menteri agama untukmenyebarluaskan KompilasiHukum Islam yang terdiri dari,(1) Buku I tentang Hukum Per-kawinan; (2) Buku II tentangHukum Kewarisan; dan (3) Bu-ku III tentang Hukum Per-wakafan. Dasar hukum pem-berlakuan Kompilasi HukumIslam dalam sistem hukumnasional yaitu Instruksi Pre-siden No. 1/1991 yang dilan-dasi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945tentang Kekuasaan Presiden,dimana instruksi ini dilandasihasil lokakarya alim ulama diJakarta tanggal 2-5 Februari

Page 171: BOOK Volume2nomor2September2005

172 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

1988. (hal 90-91)Keempat penegakan

syari’at Islam (qonun) di Nang-groe Aceh Darussalam (NAD).Tentang penegakan syariat Is-lam di NAD mencakup semuaaspek kehidupan. Berawal darihak inisiatif DPR yang kemu-dian melahirkan UU No. 44/1999, undang-undang inimengatur tentang penyeleng-garaan keistimewaan PropinsiDaerah Istimewa Aceh. Seba-gaimana ketentuan umum Pasal1 undang-undang tersebut yangdimaksud dengan keistime-waan adalah kewenangan khu-sus untuk menyelenggarakankehidupan beragama, adat,pendidikan, dan peran ulamadalam penetapan kebijakandaerah (hal 103). Meskipundemikian, UU No. 44/1999 initetap menjamin bagi pemelukagama lain untuk tetap hidupdan melaksanakan agamanyasesuai dengan keyakinan ma-sing-masing.

Setidaknya empat hal diatas merupakan gambaran isibuku ini yang ditawarkan se-bagai tema diskusi yang me-narik bagi para pakar, aka-demisi dan praktisi hukum diIndonesia. Peran hukum Islam

dalam memberi warna terha-dap kehidupan ketatanegaraandi Indonesia secara gamblangdiperlihatkan melalui buku ini.

Pada halaman 118, pe-nulis menjelaskan perkem-bangan hukum Islam di Indo-nesia sebenarnya telah dimulaisejak pemerintahan kolonialBelanda. Bahkan sebelum ke-datangan Belanda ke Indonesiasebagian besar kepulauan Indo-nesia telah menggunakan hu-kum Islam sebagai hukum yangberlaku. Dengan kedatanganBelanda mulailah dijalankanreceptie theorie yang menya-takan bahwa berlakunya hu-kum agama ketika ia (hukumagama) telah diterima olehhukum adat. Jika telah masukke dalam hukum adat makahukum Islam itu dipandangsebagai bagian dari hukumadat. Akan tetapi, teori receptiemenjadi batal demi hukumsetelah berlakunya Dekrit 5 Juli1959 tentang kembalinya keUUD 1945 dan menyatakanPiagam Jakarta menjiwai UUD1945.

Bagian lain buku ini men-jelaskan tentang pemikiranIsmail Suny di antaranya ten-

Page 172: BOOK Volume2nomor2September2005

173������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

tang hukum Islam dan pem-binaan hukum nasional, hukumIslam dan politik hukum na-sional, tugas penegak hukumMuslim (hal 109-132). Danpada bagian akhir melalui epi-lognya Ismail Suny mening-galkan catatan bagi pengem-bangan hukum Islam dalamhukum nasional. Catatan inisebenarnya adalah tugas kitabersama sebagai orang yangkonsisten terhadap pengem-bangan hukum Islam di tanah

air.Namun demikian, tidak

berarti negara Indonesia ada-lah negara Islam. Para found-ing fathers telah membuat kon-sesi bahwa negara Indonesiaadalah negara yang berasaskanpancasila. Hal ini dapat dijum-pai dalam undang-undang ke-ormasan (UU No. 8/1985), dankita hormati konsesi tersebut.

Hukum Islam dan hukumpositif dalam negara pancasilasampai saat ini memang benar-benar berlaku dan berjalanberiringan sesuai dengan per-untukannya. Rasionalisasipemberlakuan hukum Islam se-pintas dapat dipahami misal-nya lewat jaminan persamaanhak beragama Pasal 29 ayat (2)UUD 1945 yang mengandungjurisprudensi hukum lex spe-cialis.

Page 173: BOOK Volume2nomor2September2005

174 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Judul Buku: Impeachment Presiden,Alasaan Tindak Pidana PemberhentianPresiden Menurut UUD 1945Pengarang: Hamdan Zoelva, S.H., M.HPenerbit: Konstitusi Press, JakartaCetakan: Pertama, Juni 2005.Tebal: x +238 halaman

Sekilas melihat judul-nya, terkesan buku ini sepertitidak membicarakan sistemkonstitusi di Indonesia. Ter-utama disebabkan pemilihanistilah impeachment yang tidakdikenal dalam sistem perun-dangan di Indonesia. Namun,disadari atau tidak proses im-peachment sering terjadi di In-donesia.

Menengok ke sejarah,empat dari lima presiden yangpernah dimiliki Indonesia tidakmampu menyelesaikan masajabatannya. Setidaknya duadiantaranya, Soekarno dan

Abdurahman Wahid, diberhen-tikan oleh parlemen (MPRS/MPR). Walaupun pemberhen-tiannya taat pada konstitusi,namun pemetaan politik dankepentingan cukup mewarnaiproses pemberhentian keduapresiden tersebut.

Kisah-kisah itu menjadiawalan yang cukup menarikdalam buku ini. Sejarah pem-berhentian presiden pada pe-riode lalu dikisahkan lagi olehpenulis dalam prespektif hu-kum dengan sedikit mengeli-minasi konteks politik yangberkembang di dalamnya.

MEMBANGUN MEKANISME KONTROLATAS PRESIDEN

Oleh FX. AGUS MULYONO, S.I.P.Sarjana Ilmu Politik Jurusan Administrasi Negara

FISIP UGM

Page 174: BOOK Volume2nomor2September2005

175������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Dengan sedikit mereduk-si konstelasi politik yang terjadidi balik penurunan presidenoleh MPR, proses tersebut me-nunjukkan tingginya kontrolparlemen atas institusi kepre-sidenan. Hal ini setidaknyadapat menjadi modal awal un-tuk membangun proses demo-kratisasi di Indonesia di manasalah satu pilarnya adalah kon-trol terhadap kekuasaan agartidak mengarah kepada ter-ciptanya penguasa tunggal.

Penulis buku ini mem-punyai mimpi besar untukmembangun sebuah mekanis-me kontrol terhadap presidenyang lebih sehat dan tidakhanya tergantung pada konste-lasi politik semata. Buku inimelemparkan kritik mendasarkepada multi-intepretasi atasPasal 7A UUD 1945. Presidendan wakil presiden dapat di-berhentikan pada masa jaba-tannya oleh Majelis Permusya-waratan Rakyat atas usul DewanPerwakilan Rakyat baik apabilaterbukti telah melakukan per-langgaran hukum berupa peng-khianatan terhadap negara,korupsi, penyuapan, tindakpidana berat lainnya atau per-

buatan tercela maupun apabilaterbukti tidak lagi memenuhisyarat sebagai presiden danatau wakil presiden. (hal 9)

Setidaknya terdapat limajenis pelanggaran hukum yangdapat “menurunkan” presidenberdasar pasal tersebut. Sa-yangnya, pemaknaan terhadapkelima jenis pelanggaran ter-sebut tidak memiliki bingkaiyang jelas. Selama proses im-peachment yang terjadi di In-donesia pemaknaan terhadapjenis pelanggaran tersebut sa-ngat tergantung kepada kon-stelasi politik yang sedang ber-langsung. Sehingga konstelasipolitik di DPR/MPR yang lebihmemegang peranan pentingdibandingkan dengan nilai-nilaikeadilan.

Ajakan untuk menggu-nakan aspek hukum pidanadalam pemberhentian presidencukup kuat dirasakan dalambuku ini. Dalam Pasal 7A ter-dapat dua alasan presiden di-berhentikan. Alasan yang per-tama, karena presiden me-lakukan pelanggaran hukum,dan yang kedua, dianggap tidaklagi memenuhi syarat sebagaipresiden.

Penulis menggunakan

Page 175: BOOK Volume2nomor2September2005

176 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

pendekatan hukum pidana un-tuk membingkai penafsiranpada alasan yang pertama.Sedangkan pada alasan kedua,kurang begitu dikupas dalambuku ini. Agaknya disebabkanterlalu multi intrepretatifnyaalasan kedua. Konstelasi politikdan pemetaan politik di MPR/DPR yang akan lebih meme-gang peranan penting untukmemberikan tafsir yang lebihtegas tentang maksud dari “ti-dak layak” menjadi presiden.Pendekatan hukum pidanamenjadi mungkin digunakanuntuk membingkai jenis pe-langgaran yang dilakukan pre-siden berdasarkan sumpah ja-batan yang diucapkan presidenpada saat pengangkatannya.Berdasar Pasal 9 UUD 1945,presiden yang bersumpah un-tuk memegang teguh UUD 1945dan menjalankan segala un-dang-undang dan peraturan ,termasuk di dalamnya KUHPidana.

Pelanggaran pidana yangdapat menjadi penyebab pem-berhentian presiden terdiri daritindakan pengkhianatan terha-dap negara, korupsi, penyuap-an, tindakan pidana berat lain-nya dan perbuatan tercela.

Penterjemahan untuk keempatjenis pelanggaran yang pertamacukup dengan gamblang diurai-kan dalam buku ini denganmerujuk pada berbagai un-dang-undang terutama un-dang-undang tentang Mahka-mah Konstitusi. Sebuah lem-baga yang nantinya akan me-megang peranan penting dalamproses pemberhentian pre-siden.

Pemaknaan terhadapperbuatan tindakan tercelayang dilakukan oleh presidenmemiliki batasan yang cukupluas. Asumsi tindakan tercelaakan terkendala pada bentukaturan mana yang dapat di-jadikan dasar untuk membing-kai tindakan tercela yang di-lakukan presiden. Ketiadaanaturan yang menjelaskan pe-rilaku menjadi salah satu ken-dalanya. Pemaknaan terhadaptindakan yang tercela meru-pakan satu dari banyak temadiskusi menarik yang ditawar-kan buku ini.

Melalui pendekatan ini,maka penyelidikan terhadappelanggaran pidana yang di-lakukan presiden dapat dila-kukan oleh kepolisian. Per-masalahannya kemudian ada-

Page 176: BOOK Volume2nomor2September2005

177������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

lah peraturan-peraturan yangmengatur mekanisme tersebutdijalankan. Sisi positif daripendekatan ini memungkinkanmeminta pertanggunggjawab-an presiden secara lebih me-nyeluruh. Bentuk pertang-gungjawaban presiden tidakhanya berhenti saat presidenturun dari jabatannya tetapimasih akan diikuti dengan pro-ses lebih lanjut berdasar hukunpidana. Proses inilah yang se-ring tidak pernah terjadi di In-donesia. Tuduhan korupsiataupun tuduhan berkhianatterhadap ideologi dan pan-dangan bangsa yang jelas-jelasmerupakan sebuah tindakanpelanggaran pidana prosesnyaberhenti saat presiden yangbersangkutan mengundurkandiri.

Mekanisme pemberhen-tian presiden yang mulai ber-ubah pasca revisi UUD 1945menjadi sorotan lainnya dalambuku ini. Semenjak MPR tak lagimemegang kekuasaan tertinggi,perubahan yang cukup signi-fikan terjadi dalam sistem keta-tanegaraan Indonesia. Hal inijuga berpengaruh pada sistempemberhentian presiden. Da-

lam Perubahan Ketiga UUD1945, MPR dapat memberhen-tikan presiden dengan diawaliproses pengawasan terhadapDPR. Apabila DPR menganggappresiden telah melakukan pe-langgaran terhadap undang-udang maka dapat mengajukanusulan pemberhentian pre-siden dengan persetujuan 2/3anggota dewan. Namun se-belumnya haruslah memintakeputusan dari MahkamahKonstitusi (MK) terhadap dak-waan yang diajukan dewanterhadap presiden. Setelahmendapat keputusan dari MKbarulah proses pengajuan usu-lan pemberhentian presidenkepada MPR dapat berlang-sung.

Pelibatan MK dalam pro-ses pemberhentian presidentersebut di satu sisi akan mem-berikan nilai lebih dalam mem-bangun sistem pengawasanpresiden yang lebih sehat. Per-timbangan hukum memegangperanan penting dalam pem-berhentian presiden. Mekanis-me ini dapat menjadi koreksiatas sistem pengawasan terha-dap lembaga eksekutif (pre-siden) yang selama ini cen-derung bernuansa politis dan

Page 177: BOOK Volume2nomor2September2005

178 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

tergantung konstelasi politik.Namun, mekanisme ter-

sebut nantinya akan membawatantangan tersendiri bagi insti-tusi baru seperti MK yang jugaturut berperan dalam prosesimpeachment presiden. Pe-ranan MK terlebih pada pem-buktian dari sudut hukum me-ngenai benar atau tidaknyadugaan pelanggaran hukumpresiden dan wakil presidendan putusannya tidak secaraotomatis dapat memberhenti-kan presiden dan wakil pre-siden dari jabatannya. Tetapinetralitas dan keberpihakan MKkepada hukum dan nilai-nilaikebenaran keadilan menjadifaktor terpenting yang harusdijaga. Bukan sebuah kenis-cayaan, lembaga pertimbangankonstitusi seperti MK dapatterjebak ke dalam pertarunganpolitik.

Demokratisasi di Indo-nesia diawali dengan kisah,tingginya bahkan terlalu kuat-nya peranan parlemen dalamsistem ketatanegaraan di Indo-nesia. Kuatnya parlemen inimembuat tidak berimbangnyakekuasaan antara parlemendengan eksekutif. Sehingga

pertimbangan dari aspek politislebih mewarnai proses peng-awasan terhadap lembaga ke-presidenan alih-alih pertim-bangan dari aspek hukum.

Berawal dari pengalamansejarah tersebut, penegasandan penguatan aspek hukumdalam proses pengawasan lem-baga ekseklutif ditawarkan olehbuku ini. Pertimbangan aspekpidana dalam proses peng-awasan dan pemberhentianpresiden bukan untuk semata-mata melindungi lembaga ke-presidenan dari intrik politik,tetapi juga mempertegas kem-bali nilai-nilai keadilan bagipresiden dan juga legislatif.

Pendekatan hukum pi-dana juga akan mendorongterjadinya pertanggung-jawab-an presiden yang tak hanyasecara politis tetapi juga dalamkonteks hukum pidana atastindakan yang dilakukannya.Pertanggungjawaban yang me-nyeluruh tersebut sering hilangdalam sejarah pemeberhentianpresiden yang dimiliki indo-nesia. Sebagian besar pertang-gungjawaban presiden ber-henti setelah turunnya pre-siden dari jabatan. Walaupunsecara hukum ketatanegaraan

Page 178: BOOK Volume2nomor2September2005

179������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

sudah selesai tetapi dalam kaca-mata hukum pidana belumselesai.

Check and balances an-tara tiga lembaga negara men-jadi salah satu faktor pentingdalam tatanan pemerintahanyang demokratis. Mekanismepengawasan yang dibangunoleh parlemen terhadap ekse-kutif haruslah juga mendasar-kan pada prinsip yang serupa.Kisah arogansi parlemen dimasa awal demokratisasi Indo-nesia merupakan sebuah peng-alaman yang dipelajari. Agak-nya, berdasar dari pengalaman

empiris ini, Hamdan Zoelvamencoba menggunakan pen-dekatan legal konstitusionaluntuk melaksanakan mekanis-me kontrol kekuasaan antaralegislatif, yudikatif dan ekse-kutif.

Sebuah benang merahyang bisa ditarik adalah peng-awasan terhadap lembaga ekse-kutif oleh lembaga legislatifharuslah diberi koridor untukmenegakkan nilai keadilan dantidak hanya sekedar pertarung-an elit politik semata. Apabilaproses ini terjadi maka sistempolitik yang lebih sehat akantercipta dan membawa kese-jahteraan masyarakat. Dalamkerangka inilah buku ini mem-berikan pijakan awal untukmembangun sistem pengawa-san terhadap presiden yanglebih menegakkan nilai-nilaikeadilan.

Page 179: BOOK Volume2nomor2September2005

180 ������ ����������, VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2005

Page 180: BOOK Volume2nomor2September2005