book review

Upload: fayedulhaq

Post on 06-Jul-2015

292 views

Category:

Documents


24 download

TRANSCRIPT

2011

Book ReviewSejarah Peradaban IslamTugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam (Klasik, Tengah, Modern) Ampuan Dr. Jamaluddin, MA.

Masriadi Faishal PPS AHWAL SYAKHSIYAH IAIN MATARAM 0 11/7/2011

Book Review Sejarah Peradaban Islam Oleh : Masriadi Faishal (15.4.10.2.001)

Dedi Supriyadi, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, Pengantar : Prof. Dr. H. I. Nurul Aen, MA., (Bandung: Pustaka Setia, 2008)

SEJARAH peradaban suatu bangsa, tak akan bisa dipisahkan dari sejarah panjang bangsa itu sendiri. Pembahasan mengenai peradaban suatu bangsa, mau tidak mau harus diiringi dengan pembahasan alur sejarah bangsa tersebut, dimulai dari masa berdirinya, perkembangannya, puncak kejayaannya, sampai masa kemunduran dan kehancurannya. Hal ini karena peradaban merupakan puncak dari kebudayaan suatu bangsa, sedangkan kebudayaan -sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarak dari E.B. Taylor- adalah that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, laws, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as member of society (keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat)1 Agaknya inilah yang dijadikan bahan pertimbangan oleh Dedy Supriyadi didalam menulis buku yang di-review ini, sehingga meskipun judul buku ini mengedepankan kata peradaban, namun yang akan kita dapatkan lebih banyak berbicara tentang sejarah Islam, mulai dari masa Arab Pra Islam, sampai ke masa modern sekarang ini. Dan hal ini bukanlah suatu aib, karena sejarah perkembangan Islam merupakan wadah bagi peradaban Islam, dan tentunya wadah haruslah lebih besar dari pada apa yang dikandungnya.

1

Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), cet. ii,

5-6.

1

Hal ini bukanlah aib, andaikan saja dalam pembahasannya kemudian, penulis buku ini konsisten mengemukan peradaban dan kebudayaan yang dicapai pada tiap-tiap periode dari periodesasi sejarah Islam yang dikemukakan, bahkan kalau perlu dibawah sub judul khusus pada tiap bab pembahasannya, hal yang mulai hilang sejak paruh kedua dari buku ini. Namun agaknya Supriyadi ingin menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk memilih dan memilah sendiri pernak-pernik kebudayaan dan kebudayaan dari hamparan luas lapangan sejarah yang dipaparkan, tanpa berniat mengumpulkannya untuk pembaca dapat langsung menikmatinya secara siap saji.

PendekatanTidak ada sejarah yang lengkap, begitu Prof. Dr. H. I. Nurol Aen, M.A. mengawali kata pengantar untuk buku ini, sebuah kalimat yang pas untuk menggambarkan semua buku yang berbicara tentang sejarah, walau

bagaimanapun tebalnya. Karena sejarah tidak mungkin mencatat detail peristiwa dari segenap sudut pandang pada suatu masa, tetapi ia hanya mencatat hal-hal yang dianggap penting oleh pencatat sejarah itu. Kepentingan yang amat mungkin dipengaruhi oleh kepentingan sang pencatat sejarah. Demikian pula dengan buku ini yang dengan tebal hanya 336 halaman, tetapi ingin berbicara banyak tentang titian sejarah Islam berikut peradabannya dari sejak Islam masih dalam kandungan, kemudian lahir, berkembang, sampai masa modern kini, masa sejarah yang amat panjang melebihi 14 abad. Masa yang panjang dengan wilayah perkembangan yang semakin melebar setiap pergantian masa yang dilaluinya, tentu membuat buku setebal ini tidak akan mungkin menapung selengkapnya peristiwa sejarah dan kebudayaan serta peradaban yang berlangsung seiring perjalanan waktu itu. Namun setidaknya buku ini telah berbicara mewakili setiap pase periodesasi pertumbuhan Islam, walau rata-rata dengan amat ringkasnya. Meskipun rata-rata singkat dan ringkas, ada juga pase yang mendapat pembahasan cukup lengkap, bahkan terlalu lengkap jika dibandingkan dengan pembahasan pase-pase lainnya. Contohnya ketika Supriyadi berbicara mengenai Afganistan, Ia menghabiskan 17 halaman (282 299), sementara untuk membahas Turki Usmani

2

penulis hanya menghabiskan 5 halaman (248 252). Padahal semua orangpun tahu -tanpa bermaksud mendiskreditkan Afganistan- bagaimana kebesaran Imperium Turki Usmani yang tentunya mewariskan banyak

kebudayaan/peradaban, mengingat lamanya imperium ini berkuasa dan luasnya wilayah kekuasaannya, sehingga sepantasnyalah ia memperoleh porsi yang lebih luas dari semisal Afganistan. Pembagian bab-bab dalam buku ini berdasarkan waktu kejadiannya secara urut, setelah mengupas sedikit tentang konsep sejarah, kebudayaan dan peradaban, dan setelah memaparkan gambaran umum periodesasi peradaban Islam. Dimulai dari peadaban arab Pra Islam, masa Nabi Muhammad saw, Khulafa ar-Rasyidin, Dinasti Bani Umayah, Bani Abbasiyah, Kekuasaan Islam Periode Tengah dan ditutup dengan negara Islam periode modern. Kelemahan pembagian bab dengan metode berdasarkan urutan waktu kejadian terlihat saat membahas dua kejadian/peristiwa yang terjadi bersamaan waktu namun berlainan daerah. Contohnya ketika berbicara mengenai Islam di Andalusia (Spanyol) (711 1492 M) dan Islam masa Abbasiyah yang beribu kota di Baghdad (750 1258 M). Dalam hal ini penulis mengedepankan Andalusia dari pada Abbasiyah, mungkin disebabkan oleh adanya pertalian sejarah antara dinasti sebelumnya, yaitu Dinasti Umayah dengan Andalusia. Namun alasan adanya pertalian sejarah untuk mengedepankan salah satu dari dua peristiwa yang bersamaan periodenya tidak dapat didapatkan tatkala penulis berbicara mengenai Islam di Asia Tenggara diantara Invasi Mongol dan Kekuasaan Islam Periode Tengah. Hal ini merusak metode periodesasi

berdasarkan urutan waktu sebagaimana yang Supriyadi jaga dari awal penulisan buku ini, malah mengakibatkan apa yang disebut random periodesasi atau periodesasi acak.2 Untuk lengkapnya, buku ini menyajikan 15 bab pembahasan, dan tiap bab mengandung beberapa sub-bab, dengan perincian sebagai berikut: Bab I Bab II2

: Mengenal Konsep Sejarah, Kebudayaan, Dan Peradaban; : Periodesasi Perkembangan Peradaban Islam;

Sebenarnya hal ini diperhatikan juga oleh Prof. Dr. H. I. Nurul Aen, M.A. dalam pengantarnya terhadap buku ini dengan menjadikan Islam di Asia Tenggara sebagai bab terakhir.

3

Bab III Bab IV Bab V Bab VI Bab VII Bab VIII Bab IX Bab X Bab XI Bab XII Bab XIII Bab XIV

: Peradaban Islam Pada Masa Arab Pra-Islam3; : Peradaban Islam Pada Masa Nabi Muhammad SAW; : Peradaban Islam Pada Masa Khulafa Ar-Rasyidin; : Peradaban Islam Pada Masa Muawiyah Timur4; : Islam di Andalusia (Spanyol); : Peradaban Islam Pada Masa Abbasiyah; : Dinasti-dinasti kecil di Timur Baghdad; : Dinasti-dinasti kecil di Barat Baghdad; : Perang salib dan Akibatnya; : Invasi Mongol dan Akibatnya; : Islam di Asia Tenggara; : Kekuasaan Islam Periode Tengah, meliputi Kerajaan Mamluk Mesir, Kerajaan Utsmani, Kerajaan Syafawi, Kesultanan Delhi, dan Kerajaan Mughal;

Bab XV

: Negara Islam pada Periode Modern, meliputi Turki, Mesir, Asia Barat (Saudi Arabia, Republik Arab Yaman, Irak, Kerajaan Yordania Al-Hasyimiyah dan Afganistan), Iran, Anak Benua India, Eropa dan Amerika.

Islam di Asia TenggaraUntuk pembahasan bab ini, Supriyadi layak diancungi jempol, karena informasi yang disajikan cukup lengkap dan data yang digunakan berasal dari berbagai sumber. Ia menghabiskan 46 halaman (187 233) untuk mengupas ihwal Islam di Asia Tenggara, sebagian besarnya mengenai Indonesia. Berbeda dengan sebagian ahli sejarah yang mengatakan dan menguatkan Islam pertama kali masuk ke Indonesia sekitar abad XIII5 dan kerajaan Islam pertama

Mungkin yang lebih tepat Peradaban Arab Pra-Islam , karena bagaimana Islam memiliki peradaban kalau masa itu masih pra-Islam?. Jika yang dimaksud Islam di sini adalah agama semua Nabi Rasul maka pemakaian prosa pra-Islam yang akan salah. Anehnya hal ini luput dari pandangan Prof. Dr. H. I. Nurul Aen, M.A., selaku pengantar buku ini. Malah beliau menetapkan kata-kata ini persis dalam pengantarnya ketika mengulas bab-bab buku ini. 4 Mungkin yang dimaksud adalah Masa Umayah Timur supaya sesuai dengan sub-bab yang menyajikan keseluruhan Dinasti Umayah dan bukan masa pemerintahan Muawiyah saja. 5 Lihat Herlianto, Gerakan Nama Suci: nama Allah yang dipermasalahkan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009), 120

3

4

adalah Samudra Pasai6, Supriyadi malah menguatkan pandangan yang menyatakan Islam sudah masuk ke Nusantara sejak abad pertama Hijriyah atau sekitar abad VII Masehi, dan Kerajaan Islam Pertama bukanlah Samudra Pasai, tetapi Kerajaan Perlak7. Menurut Supriyadi, setelah Islam berkembang di Sumatera dengan berdirinya kerajaan Perlak, Samudra Pasai dan Aceh, Islam kemudian merambah ke deerah Jawa sekitar abad ke-15 M dan berhasil membangun banyak kerajaan, seperti Kerajaan Demak, Mataram, Cirebon, dan Banten. Kemudian sekitar abad ke -16, Islam menancapkan keagungannya di Kalimantan Selatan dan berhasil mengIslamkan Kerajaan Daha, Raja dan sekaligus semua rakyatnya, yang tadinya menganut agama Hindu, yang kemudian mengganti nama menjadi Kerajaan Banjar. Dari Banjar, Islam bergerak ke Kalimantan Timur (Kutai) dan selanjutnya menyebar ke pedalaman. Sementara di Maluku, diawali dengan masuk Islamnya Raja Ternate yang bernama Raja Gafi Bata (setelah Islam menjadi Sultan Zaenal Abidin) dan Raja Tidore yang bernama Kolana (setelah Islam menjadi Sultan Jamal din) sekitar u tahun 1470-an, Islam mulai berkembang. Sedangkan di Sulawesi, setelah raja Gowa-Tallo memeluk agama Islam pada tahun 1605 Islam pun tersebar di kerajaan itu, dan kemudian disusul Luwu, Waio (1610), Soppeng dan Bone (1611). Melihat pemetaan daerah penyebaran Islam di Nusantara, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi, berarti sejak abad ke-17 Islam sudah menjadi keyakinan mayoritas penduduk Nusantara dan sudah sepantasnya Islam memegang kendali pada negara apapun yang akan menjadikan Nusantara sebagai wilayahnya. Namun kenyataan berbicara lain. Ketika para tokoh kemerdekaan berkumpul untuk membicarakan persiapan kemerdekaan bangsa, dari 68 anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), hanya 15 orang dari golongan Islam, sedangkan lainnya adalah dari golongan nasional sekuler dan priyayi selain 8 orang dari Jepang sebagai pengawas.Lihat M.Shaleh Putuhena, Historiografi haji Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2007), 91. Lihat Endang Turmudi, Pendidikan Islam Setelah Seabad Kebangkitan Nasional dalam Jurnal Masyarakat Indonesia Jilid XXXIV, No. 2 (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2008), 71.7 6

5

Dalam perkembangan berikutnya BPUPKI berubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ketika membahas masalah dasar negara terjadilah perdebatan ideologis yang sengit antara golongan Islam dan nasional sekuler, yang melahirkan kompromi yang dikenal dengan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta, yang memberi arti bahwa Indonesia bukan negara teokrasi tetapi juga bukan negara sekuler. Hanya setelah sehari dari hari proklamasi, gentlementasi agreement dalam piagam Jakarta dimentahkan, dan disahkannya Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wapres tidak membuat kedudukan Islam semakin kuat. Realnya terlihat dari 137 anggota KNIP yang dibentuk hanya 20 orang dari golongan Islam, dan dari 15 anggota BPKNIP yang dari golongan Islam hanya 2 orang. Merasa diperlakukan secara tidak adil, golongan Islam mengadakan Kongres Umat Islam Indonesia (7-8 November 1945) yang melahirkan partai politik Islam Masyumi yang segera saja menjadi partai politik terbesar saat itu, namun kemudian meredup dengan keluarnya PSII dari Masyumi tahun 1947, disusul NU tahun 1952. Mengenai UUD, walau Piagam Jakarta dimentahkan, Partai Politik Islam senantiasa setia pada UUD 45 yang secara yuridis-konstitusional berlaku, terlepas dari bagaimana proses ditetapkannya sebuah UUD, jika sudah dinyatakan berlaku sebagai konstitusi negara haruslah dijunjung tinggi. Hal yang bertentangan sekali dengan sikap Soekarno yang entah karena pertimbangan apa menghianati UUD 45 dengan mengganti sistem pemerintahan yang presidensil -yang sesuai dengan amanat UUD 45- menjadi parlementer dengan berlakunya UUD RIS 49 yang kemudian diganti UUDS 50. Pada tahun 1959, dengan Dekrit Presiden 5 Juli, Demokrasi Parlementer runtuh, diganti dengan Demokrasi Terpimpin, suatu istilah yang hanya ditemukan di Indonesia, yang menjadikan ketiga wewenang negara (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) berada dalam genggaman Soekarno. Pada tahun 1960 Masyumi dibubarkan karena menentang Demokrasi Terpimpin yang menurutnya merupakan penyimpangan terhadap ajaran Islam. NU yang terkesan menerima Demokrasi Terpimpin tampil menjadi parpol Islam terbesar.6

Keikutsertaan NU dan dua rekannya di Liga Muslimin (PSII dan Perti) dalam Demokrasi Terpimpin tidak bisa diartikan bahwa idialismenya bergeser, tapi lebih merupakan sikap realistis dan pragmatis sebagai strategi untuk mengimbangi posisi PKI yang semakin dominan.8 Sikap akomodatif NU yang dalam bahasa Deliar Noer Politik Penyesuaian Diri hanya dalam bidang politik praktis, sedangkan bila bersinggungan dengan keyakinan agama, terlihat NU sebagai penentang utama PKI dalam semua aspek kehidupan. Demokrasi Terpimpin hancur setelah kudeta yang gagal melalui G 30-S/PKI tahun 1965, dan Soekarno menyerahkan mandat kepada Jendral Soeharto melalui surat tertanggal 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR). Soeharto meraih kekuasaan berdasarkan sebuah koalisi para perwira militer Indonesia, oeganisasi komunitas muslim dan minoritas Katolik-Protestan. Supriyadi menuntaskan tulisannya mengenai sub-bab ini pada halaman 209 dengan kalimat:.Rezim Soeharto mengambil pola kebijakan sekuler dengan penekanan terhadap Pancasila sebagai prinsip-prinsip dasar negara dan masyarakat. Dengan demikian, tamatlah riwayat Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, diganti dengan era Reformasi sampai sekarang (2007).

Terlihat ada skip periode (loncatan periode) dari runtuhnya Demokrasi Terpimpin sampai era Reformasi. Seharusnya penulis menyinggung mengenai orde baru yang berkuasa selama 32 tahun menggantikan Demokrasi Terpimpin, sampai runtuhnya orde baru yang digantikan oleh era Reformasi pada tahun 1998. Skip juga terlihat pada halaman 232 diakhir bab, Supriyadi menulis:Gerakan pembaharuan di Sumatera Barat dipelopori oleh tiga ulama, yaitu Haji Miskin, Haji Piabang, dan Haji Sumanik .. Gerakan ini meskipun kalah dalam perang melawan Belanda- dianggap sebagai pemicu lahirnya gerakan pembaharuan berikutnya.

Selanjutnya pada paragraf berikutnya Supriyadi menulis:

Sebagian ahli sejarah mengatakan, bahwa NU dan PSII sempat dikristalisasi, hanya Perti yang diizinkan tetap eksis karena pro-Demokrasi Terpimpin. Lihat Abdul Aziz Thaba dan Affan Ghaffar, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 177

8

7

Syekh Ahmad Khatib Minangkabau memiliki sejumlah murid yang terkenal di Indonesia.

Terjadi skip diantara perpindahan paragraf, dari pembahasan tiga pelopor pembaharuan di Sumatera Barat, tiba-tiba Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang bukan termasuk salah satu dari tiga pelopor, muncul dengan tiba-tiba pada paragraf berikutnya, tanpa ada keterangan terlebih dahulu siapa sosok ini dan apa peran beliau. Skip juga terjadi di dalam satu paragraf sehingga terkesan tidak singkronnya hubungan antar kalimat yang mengakibatkan kerancuan makna. Contohnya pada halaman 63 Supriyadi menulis mengenai pembangunan Masjid Nabawi:.Tiang masjid terbuat dari batang kurma, sedangkan atapnya dibuat dari pelepah daun kurma. Adapun kamar-kamar istri beliau dibuat di samping masjid. Tatkala pembangunan selesai, Rasulullah memasuki pernikahan dengan Aisyah pada bulan Syawal. Sejak saat itulah, Yatsrib dikenal dengan Madinatur Rasul atau Madinah AlMunawwarah.

Apa hubungan pernikahan Rasulullah dengan Aisyah pada bulan syawal dengan pembangunan Masjid Nabawi?

Kritik dan Analisis Terhadap Isi BukuSelain beberapa kritik yang telah disebut diatas, terdapat beberapa hal yang patut dikritisi dari buku ini. Mulai dari ketidakkonsistenan dalam metode penulisan, ketidakkonsistenan dalam ejaan, kesalahan penulisan, sampai kesalahan

pengertian/definisi, yang kesemuanya menunjukkan buku ini belum melalui proses editing yang ketat. Dalam metode penulisan misalnya, pada awal bab I halaman 13, Ia menulis:Sejarah, dalam bahasa Arab tarikh atau history (Inggris), adalah .

Kalau mau konsisten, seharusnya Ia menulis: Sejarah, dalam bahasa Arab tarikh, dan dalam bahasa Inggris history, adalah .., atau: Sejarah, tarikh (Arab), atau history (Inggris) adalah .. Pada halaman yang sama, Ia menulis:Nisar Ahmad Faruqi menjelaskan formula yang digunakan di kalangan sarjana Barat bahwa sejarah terdiri atas (man + time + space = history).

8

Akan lebih tepat kalau ditulis: sejarah terdiri atas (man + time + space) tanpa = history atau kalau mau mempertahankannya, bisa dengan merubah susunan kalmat sebelumnya, misalnya: formula sejarah yang diperkenalkan para sarjana barat adalah: (man + time + space = history). Ketidakkonsistenan dalam metode penulisan juga terlihat pada penulisan referensi. Secara random (acak), pada suatu bab Ia menggonakan metode foot note, pada bab yang lain menggunakan body note. Contohnya mulai dari bab I sampai bab VI metode yang digunakan adalah foot note, tiba-tiba pada bab VII metodenya berubah menjadi body note, bab VIII kembali ke foot note sampai bab XII. Pada bab XIII dan XIV malah menggunakan metode campuran, ada yang foot note ada yang body note. Sedangkan pada bab terakhir (XV) kembali ke foot note, meski ada sebagian sub-bab yang tak memiliki sumber referensi, misalkan mengenai Saudi, Yaman, Irak, Yordania, Afganistan, dan Iran sama sekali non reference. Ketidakkonsistenan dalam pengejaan banyak juga dijumpai misalnya pada penulisan gunung Kaukasus (halaman 184) dengan ejaan Indonesia, dan dibaris lain pada halaman yang sama Ia menggunakan Caucasus, dengan ejaan Inggris. Hal ini penting diungkap karena penulisan yang beda akan melahirkan prasangka berbedanya yang dimaksud, bahkan menimbulkan kerancuan makna seperti pada penulisan II Khan, Kerajaan II Khaniyah, dan Orang Mongol II Khaniyah dibandingkan dengan penulisan Ilkhan, Kerajaan Ilkhaniyah, dan Orang Mongol Ilkhaniyah. Mana yang benar antara II Khan atau Ilkhan? II Khaniyah atau Ilkhaniyah? Supiyadi menggunakan keduanya berulang kali, yang memberi kesan bahwa penulisan itu disengaja -kalau tidak ingin dikatakan karena unsur ketidak tahuan mana yang benar diantara keduanya- dan bukan salah ketik. Perhatikan petikan dari halaman 183 berikut:Sebagai pendiri Kerajaan Mongol di Persia, Hulagu adalah raja pertama yang memangku gelar II Khan. Gelar ini disandang oleh para penerusnya hingga penerus ketujuh, Ghazan Mahmud (1295-1304), yang dibawah kekuasaannya Islam menjadi agama negara. Di bawah rezim Ilkhan atau Hulagu, Baghdad diturunkan posisinya menjadi ibukota provinsi dengan nama Iraq Al-Arabi. Ilkhan Yang Agung, julukan yang sama dengan Hulagu, lebih menyukai warga Kristen.

9

Dari petikan diatas, Hulagu bergelar/julukan II Khan atau Ilkhan?, kalau yang benar adalah II Khan dan ini yang lebih banyak digunakan oleh Supriyadi dalam bukunya- tentu ada sebelum Hulagu raja yang bergelar I Khan. Mengenai kesalahan penulisan dalam buku ini, bisa dikatakan banyak sekali. Diantaranya pada halaman 21 disebutkan Daulah Ammawiyah (seharusnya Daulah Umawiyah atau Umayah), pada halaman 26 ditulis Khalifah Villar (seharusnya Khalifah Umar), pada halaman yang sama tertulis Babilon di Mesir dikepung (Babilon bukannya di Irak?), pada halaman 189 disebutkan pada abad ke-2 S.M. (seharusnya abad ke-2 H.), pada halaman 36 tertulis Pails Urban II (seharusnya Paus Urban II) dan pada halaman 249 disebutkan dalam situasi seperti itu dimanfaatkan oleh Australia sehingga mampu memukul mundur Kerajaan Utsmani (Australia pernah berperang melawan Utsmani?). Perhatikan petikan tulisan halaman 282 berikut:Pada tahun 1371 H/1951 M, Raja Abdullah terbunuh, lalu digantikan oleh anaknya, Thalal. Kemudian oleh anaknya yang lain, Husein bin Thalal pada tahun 1371 H/ 1952 M.

Petikan ini menginformasikan bahwa Thalal dan Husein adalah anak dari Raja Abdullah. Thalal menggantikan Bapaknya dan Husein menggantikan Thalal. Yang aneh adalah jika Husein itu anaknya Raja Abdullah, mengapa namanya Husein bin Thalal dan bukan Husein bin Abdullah. Keanehan kedua terlihat pada tahun terbunuhnya Raja Abdullah (1371 H) yang kemudian digantikan oleh Thalal. Pada tahun yang sama (1371 H) Thalal digantikan oleh Husein. Jadi dalam satu tahun terjadi dua kali pergantian raja. Kesalahan yang cukup fatal menurut penulis terletak pada ketika Supriyadi hendak menyampaikan suatu informasi dengan menggunakan data atau definisi yang salah. Hal ini mungkin karena ia hanya menyadur/menyalin informasi itu dari suatu sumber aslinya tanpa meneliti keabsahan sumber data tersebut atau tanpa mengkomparasikannya dengan sumber data yang lain. Sebagai contoh untuk permasalahan ini diantaranya ketika Supriyadi

mendifinisikan arti Nikah Syighar yang datanya ia ambil dari Musthafa Said AlKhinn, tulisnya:

10

Shighar9, yaitu seorang wali menikahkan anak perempuannya kepada seorang laki-laki tanpa mahar.

atau

saudara

Definisi ini bukanlah definisi lengkap untuk Nikah Syighar. Ini adalah pernikahan biasa yang sah, hanya saja tanpa mahar. Sedangkan nikah syighar merupakan salah satu bentuk pernikahan jahiliyah yang tidak diakui oleh Islam. Definisi yang tepat untuk nikah syighar adalah sebagimana dalam Tuhfah AlAhwazi bi Syarhi Jami At-Tirmidzi, nikah syighar adalah seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuannya atau perempuan dibawah perwaliannya kepada seorang laki-laki dengan syarat laki-laki itu menikahkannya dengan anak atau saudara perempuan dari laki-laki itu atau perempuan di bawah perwaliannya, tanpa mahar lagi, karena menganggap saling tukar itulah yang menjadi maharnya.10 Ini sesuai dengan hadits riwayat Imam Muslim: Bahwa Rasulullah SAW melarang nikah syighar, dan syighar adalah bahwa seseorang menikahkan anak perempuannya dengan seorang laki -laki dengan syarat laki-laki itu menikahkannya dengan anak perempuannya tanpa mahar diantara keduanya. (HR. Muslim: 2537). Kalimat-kalimat rancu juga banyak dijumpai, seperti pada halaman 60 Supriyadi menulis:Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada Tahun Gajah tahun ketika pasukan gajah Abrahah menyerang Mekah untuk menghancurkan Kabah, namun pasukan Abrahah mengalami kehancuran. Peristiwa itu terjadi kira-kira pada tahun 570 M. (12 Rabiul Awal).

Yang dimaksud dengan peristiwa itu apakah kelahiran Nabi ataukah pasukan Abrahah yang menyerang Mekah?. Sepintas terlihat kemungkinan kedua yang dimaksud, namun data sejarah mana yang menyatakan peristiwa itu pas terjadi pada tanggal 12 Rabiul Awal, hari kelahiran Rasul?. Yang ada hanyalah tahun terjadinya peristiwa itu bersamaan dengan tahun kelahiran Nabi Muhammad. Bukannya bulan atau harinya bersamaan.11 Hal yang sama juga dijumpai pada halaman 238, Supriyadi menulis:

Dalam bahasa aslinya (Arab) menggunakan huruf Syin, yang dalam kaidah penulisan Indonesianya diwakili sy , namun dalam kaidah penulisan Internasional diwakili sh . 10 Lihat Tuhfah Al-Ahwazi bi Syarh Jami At-Tirmizi, edisi elektronik maktabah syamilah, juz 3 hal. 192. 11 Sebagai perbandingan, Ahmad Marzuki Al-Maliki dalam Jala u al-Afham menyebutkan hari kelahiran Rasulullah adalah hari senin 12 Rabiul Awal 53 SH. bertepatan dengan tanggal 20 April 571 M. Lihat Ahmad Marzuki Al-Maliki, Jala u al-Afham, (Riyad: Maktabah Malik Fahd, 2004), cet. ii, 85

9

11

Tidak begitu banyak yang berarti Kerajaan Mamluk di bawah pimpinan Bani Babaris adalah Sultan Al-Mansur Qalawun yang telah menyumbangkan jasanya delam pengembangan administrasi pemerintah.

Kira-kira apa makna kalimat diatas?

PenutupTidak ada gading yang tak retak, pribahasa yang cocok diberikan untuk buku ini. Disamping kekurangan-kekurangan yang dijumpai dalam buku ini, tentunya ada pula kelebihan yang patut dibanggakan. Setidaknya kelengkapan periodesasi pembahasan mengenai sejarah Islam dan peradabannya yang disajikan buku ini, layak dijadikan reminder bagi para sejarawan, pengetahuan dasar bagi para pemula, dan sumber analisis bagi para pelajar dan mahasiswa.

***

12