book report sosdeskot.docx

58
BAB II Intisari Buku BAB 1 Pengertian dasar dan karakteristik kota, perkotaan, serta perencanaan kota Pembahasan tentang Perencanaan Wilayah Perkotaan perlu terlebih dahulu dimulai dengan tinjauan terhadap pengertian-pengertian dasar, konsep atau terminologi yang menjadi unsur-unsur yang membentuknya. Pengertian- pengertian dasar tersebut mencakup wilayah, kota dan perkotaan, serta perencanaan. Selain itu, perlu dibahas pula pengertian yang berkaitan seperti daerah dan kawasan. Pemahaman terhadap pengertian-pengertian dasar tersebut diperlukan sebagai pengantar untuk Perencanaan Wilayah dan Kota, baik sebagai disiplin ilmu maupun salah satu praktik dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Keterkaitan antara wilayah, daerah, kawasan sebagai ruang atau kesatuan geografis, dapat dilihat dari hubungannya berdasarkan aspek geografis, administrasi, dan perwatakan fungsional. Wilayah dipergunakan dalam konteks pengertian umum meskipun lebih umum (Wilayah

Upload: nunu-nurul-fitrijayanti

Post on 14-Aug-2015

50 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

BAB II

Intisari Buku

BAB 1

Pengertian dasar dan karakteristik kota, perkotaan, serta perencanaan kota

Pembahasan tentang Perencanaan Wilayah Perkotaan perlu terlebih dahulu

dimulai dengan tinjauan terhadap pengertian-pengertian dasar, konsep atau

terminologi yang menjadi unsur-unsur yang membentuknya. Pengertian-pengertian

dasar tersebut mencakup wilayah, kota dan perkotaan, serta perencanaan. Selain itu,

perlu dibahas pula pengertian yang berkaitan seperti daerah dan kawasan.

Pemahaman terhadap pengertian-pengertian dasar tersebut diperlukan sebagai

pengantar untuk Perencanaan Wilayah dan Kota, baik sebagai disiplin ilmu maupun

salah satu praktik dalam perencanaan pembangunan di Indonesia.

Keterkaitan antara wilayah, daerah, kawasan sebagai ruang atau kesatuan

geografis, dapat dilihat dari hubungannya berdasarkan aspek geografis, administrasi,

dan perwatakan fungsional. Wilayah dipergunakan dalam konteks pengertian umum

meskipun lebih umum (Wilayah Nasional, Wilayah Provinsi, Wilayah

Kabupaten/Kota, atau Wilayah Indonesia Timur, Wilayah Kalimantan, Wilayah

Pantai Utara Pulau Jawa). Daerah dipergunakan mengacu pada pengertian

administrasi daeah otonom, yang di Indonesia adalah Daerah Provinsi, Daerah

Kabupaten, dan Daerah Kota. Sementara itu kawasan dipergunakan dalam pengertian

fungsional. Dalam hal ini, misalnya suatu wilayah provinsi, berdasarkan fungsinya

terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Contoh yang lain wilayah

kabupaten (yang berdasarkan pengertian administrasi merupakan Daerah Otonom)

mencakup baik kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan. Dalam skala wilayah

yang lebih kecil lagi, wilayah kota berdasarkan fungsinya terdiri dari kawasan

Page 2: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan pemerintahan, kawasan industri,

dsb.

Perencanaan kota (atau wilayah/kawasan perkotaan) mengacu pada pengertian

perencaan secara umum sebagai proses untuk menentukan tindakan masa depan yang

tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.

Dalam hal ini yang menjadi domainnya adalah sektor publik, yang dalam skala

spasial objeknya adalah kota atau kawasan perkotaan.

Secara umum karakteristik kota dapat ditinjau berdasarkan aspek fisik, sosial

serta ekonomi. Berdasarkan bidang ilmu, kota atau perkotaan telah menjadi pokok

bahasan di bidang geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, engineering, planologi,

dan lain-lain. Pengertian kota secara fungsional sebagai suatu konsep atau yang

berkaitan dengan ruang sebagai tempat manusia beraktivitas sangat beragam,

sebanyak pakar mendefinisikannya berdasarkan sudut pandang atau tinjauan yang

berbeda-beda.

Dalam konteks ruang, kota merupakan satu sistem yang tidak berdiri sendiri,

karena secara internal kota merupakan satu kesatuan sistem kegiatan fungsional di

dalamnya, sementara secara eksternal, kota dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.

Kota ditinjau dari aspek fisik merupakan kawasan terbangun yang terletak saling

berdekatan/terkonsentrasi, yang meluas dari pusat hingga ke wilayah pinggiran, atau

wilayah geografis yang didominasi oleh struktur binaan. Kota ditinjau dari aspek

ekonomi memiliki fungsi sebagai penghasil produksi barang dan jasa, untuk

mendukung kehidupan penduduknya dan untuk keberlangsungan kota itu sendiri.

Kota ditinjau dari aspek sosial merupakan konsentrasi penduduk yang

membentuk suatu komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas

melalui konsentrasi dan spesialisasi tenaga kerja dan meningkatkan adanya diversitas

intelektual, kebudayaan dan kegiatan rekreatif di kota-kota. Berdasarkan hal tersebut,

setiap kota dipengaruhi oleh besaran jumlah penduduknya dan kota secara sosial juga

Page 3: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

dapat dipandang dari sudut keruangan. Di sekeliling pusat pemerintahan dan pusat

komersial biasanya terdapat sederetan bangunan apartemen yang tidak terawat yang

merupakan tempat tinggal sebagian besar penduduk yang tidak mampu,

berpenghasilan rendah, golongan usia lanjut, dan kelompok yang tergolong minoritas.

Seperti apapun bentuk pengaturan penduduk dan guna lahan ke dalam ruang wilayah

yang tepat, identifikasi dan analisis implikasi sosioekonomi pengaturan tersebut

merupakan bagian yang penting bagi keberhasilan perencanaan kota.

Pengertian perencanaan secara umum adalah proses untuk menentukan

tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan

sumberdaya yang tersedia. Unsur-unsur dasar dalam perencanaan adalah: (1)

merencana berarti memilih; (2) perencanaan sebagai alat untuk mengalokasikan

sumberdaya; (3) perencanaan sebagai alat untuk mencapi tujuan; (4) perencanaan

adalah untuk masa datang. Sebagai aktivitas perencanaan yang mempunyai domain

publik, karakteristik perencanaan: (1) mengarah ke pencapaian tujuan; (2) mengarah

ke perubahan; (3) pernyataan pilihan; (4) rasionalitas; dan (5) tindakan kolektif

sebagai dasar.

Jenis aktivitas perencanaan pada dasarnya dapat dibedakan berdasarkan

kriteria: sifat tujuan perencanaan, lingkup aktivitas perencanaan yang tercakup;

hierarki/tingkat spasial, dan hierarki operasional. Dalam konteks ini perencanaan

kota/perkotaan merupakan salah satu jenis perencanaan berdasarkan hierarki spasial,

yakni pada tingkat/skala kota atau kawasan perkotaan.

Perencanaan kota/perkotaan berorientasi pada aspek fisik dan spasial. Dalam

hal ini perencanaan kota/perkotaan penyiapan dan antisipasi kondisi kota pada masa

yang akan datang, dengan titik berat pada aspek spasial dan tata guna lahan, yang

dimaksudkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan dan

penghidupan masyarakat kota dalam mencapai kesejahteraan.

Page 4: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

BAB 2

Sejarah perkembangan kota dan perencanaan kota

Pemahaman terhadap perkembangan kota dapat dilakukan dengan

menggunakan perspektif sejarah karena sejak ribuan tahun fenomena kota sudah

dikenal walaupun di berbagai bangsa kehidupan perkotaan mempunyai arti yang

berbeda-beda. Berdasarkan tinjauan historis ini dapat diamati bagaimana dinamika

perkembangan kota dipengaruhi oleh perkembangan masyarakatnya dan sebaliknya

perkembangan masyarakat dipengaruhi pula oleh perkembangan kotanya.

Pemukiman yang menjadi cikal-bakal kota sejak ribuan tahun yang lalu

bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih kuat kepada sebagian besar

penduduk dari berbagai kelompok masyarakat. Dalam konteks dinamika dari

perkembangan permukiman yang menjadi cikal-bakal itu pula perencanaan kota

berkembang. Dengan demikian, sesungguhnya perencanaan kota telah berkembang

sebagai suatu seni dan ilmu selama hampir 6.000 tahun. Dari kota-negara Asiria

hingga pembangunan kembali kota-kota sentral masa kini, terdapat evolusi dalam

pemikiran dan praktik perencanaan kota.

Penelusuran terhadap sejarah perkembangan kota dan perencanaan kota telah

dilakukan dengan melakukan periodisasi dari yang paling sederhana dengan membuat

dikotomi kota tradisional – kota modern, sampai dengan periodisasi yang rinci sesuai

dengan tahapan perkembangan peradaban yang melatarbelakanginya. Perkembangan

kota dan perencanaan kota dapat diamati seiring dengan evolusi peradaban Mesir

Kuno (Kota Babilonia); peradaban Yunani (Kota Athena); peradaban Romawi (Kota

Militer); Abad Pertengahan (Renaisance); Revolusi Industri; dan Gerakan Reformasi

(Abad 20). Dalam perspektif lain, upaya untuk memahami pola perkotaan (urban

pattern) dan tahapan perkembangan kota di masa lalu, menunjukkan perkembangan

kota-kota: Kota zaman kuno: Mesir, kota-kota di Aegea, Beijing dan Lukang; kota

klasik; kota neoklasik; dan kota modern/pasca revolusi industri.

Page 5: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Apabila ditinjau dikotomis, perkembangan kota berdasarkan perspektif

historis dapat dibedakan antara kota tradisional dan kota modern. Pembedaan ini

mengacu pada aspek kompleksitas kota-kota tersebut dalam tatanan fisik-spasialnya

dengan parameter ruang/morfologi, ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Kota

tradisional mempunyai pola-pola demografis dan ekologis yang dilintasi budaya

tradisional setempat sehingga susunan kota-kota tradisional dipengaruhi oleh faktor-

faktor yang membatasi pola susunannya, yaitu keamanan dan persatuan, keterbatasan

bahan dan teknologi, keterbatasan mobilitas, struktur sosial yang kaku, serta

perkembangan yang agak lambat. Kota modern susunan kotanya dipengaruhi oleh

faktor-faktor yang tidak lagi dipengaruhi oleh batasan tertentu seperti pada kota

tradisional, karena kota modern mempunyai ciri ketidakterbatasan, baik dalam

komunikasi dan pengaruh pada masyarakat secara individual; ketidakterbatasan

teknologi yang menyebabkan perbedaan bentuk kota dan citranya; maupun

ketidakterbatasan mobilitas yang mengarah pada perluasan dan kepadatan kawasan

kota, yang berkembang begitu cepatnya.

Sejarah perkembangan kota di Indonesia dari masa tradisional sampai dengan

masa kolonial, secara umum dapat dibagi dalam empat periode, yakni: Periode I

(abad III-IX); Periode II (abad IX-XV); Periode III (abad XV-XVIII); dan Periode IV

(abad XIX-XX). Pada periode III, setelah kerajaan Majapahit mulai runtuh dan di

Jawa mulai tumbuh kota-kota Gresik, Tuban, Banten, Batavia, Aceh di Sumatera,

Makasar di Sulawesi, sejalan dengan masuknya Islam. Pada periode IV (abad XIX-

XX), kota-kota di Asia Tenggara semakin tumbuh dan berkembang terutama sesudah

adanya perjanjian Wina dan dibukanya terusan Suez. Pada masa ini banyak pengaruh

Eropa dan terjadinya percampuran bentuk Barat dan Timur atau tradisional.

Berdasarkan periodisasi tersebut, perkembangan kota-kota tradisional di Indonesia

menunjukkan evolusi dari kota tradisional menjadi kota kolonial sehingga pada masa

penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Barat dalam berbagai segi

Page 6: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

kehidupan termasuk kebudayaan. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dalam bentuk

kota dan tata bangunannya.

Dalam perspektif lain, periodisasi perkembangan kota di Indonesia dapat

dibagi menjadi: Kota masa prakolonial dan masa kolonial; kota masa kolonial abad

20; kota dekade 1950-an; dan kota masa Repelita.

Perkembangan kota-kota di Indonesia di masa lalu tak dapat dilepaskan dari

penyebaran agama Islam. Dalam hal ini ada keterkaitan antara kedatangan Islam dan

pertumbuhan kota-kota pesisir, karena kedatangan orang-orang muslim mengikuti

jalan pelayaran dan perdagangan maka tempat-tempat yang dituju kebanyakan

terletak di pesisir-pesisir. Tempat-tempat itu ada yang sudah tumbuh sebagai kota-

kota pelayaran sebelum Islam, dan ada pula tempat-tempat yang belum berfungsi

sebagai kota. Melalui proses islamisasi terbentuklah kota-kota bercorak Islam di

Sumatera, Jawa, Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi. Dari perkembangan berbagai

kota pesisir tersebut, dapat disimpulkan bahwa tempat-tempat yang didatangi orang-

orang muslim dan tempat terjadinya proses islamisasi tumbuh menjadi kota-kota

muslim, di antaranya ada yang berfungsi sebagai kota pelabuhan, kota perdagangan

dan ada pula sebagai kota pusat kerajaan yang berarti pusat-pusat kekuasaan politik.

Selain dari periodisasi sejarah perkembangan kota, perkembangan

perencanaan kota di Indonesia dapat ditinjau dari perspektif hukum pranata

perencanaan. Dalam hal ini perkembangan kota di Indonesia dapat dibagi dalam 5

(lima) periode, yakni: Mas kota-kota VOC; Masa awal urbanisasi; Masa perbaikan

lingkungan; Masa revolusi; dan Masa pembangunan berencana (1960-1970; 1970-

1985; 1985-sekarang).

BAB 3

Urbanisasi dan pertumbuhan perkotaan

Page 7: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Pada bagian ini membahas tentang konsep, proses, dan dampak urbanisasi.

Urbanisasi dapat didefinisikan sebagai proses pengkotaan, proses menjadi kota;

peningkatan presentase penduduk perkotaan; kota tumbuh meluas, pinggiran yang

semula pedesaan manjadi kota; dalam bahasa sehari-hari urbanisasi diasosiasikan

dengan migrasi desa-kota. Secara konseptual urbanisasi tidak selalu sama dengan

pertumbuhan perkotaan, karena urbanisasi lebih menunjukkan perubahan proporsi

penduduk yang berdiam di kawasan perkotaan. Dengan pengertian tersebut maka

urbanisasi baru dapat terjadi apabila laju pertumbuhan penduduk perdesaan.

Di negara maju, urbanisasi pada dasarnya merupakan fungsi dari pertumbuhan

ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah,

semakin tinggi derajat urbanisasinya (level of urbanization). Urbanisasi di negara-

negara maju juga berkorelasi dengan industrialisasi, karena pertumbuhan ekonomi

yang tinggi jika ditelusuri secara sektoral sesungguhnya bersumber dari pertumbuhan

industri yang pesat dan dominan. Berbeda dengan di negara maju, di negara

berkembang urbanisasi tidak selalu berbarengan dengan industrialisasi, karena hanya

urbanisasi demografis. Ditinjau dari lajunya, kecepatan urbanisasi di negara

berkembang jauh lebih besar dibandingkan dengan di negara-negara maju, yang

disebut sebagai over-urbanization atau pseudo-urbanization.

Proses urbanisasi secara konseptual dapat ditinjau berdasarkan aspek

demografik, ekonomi, dan fisik. Ditinjau dari aspek demografik, proses urbanisasi

terkait dengan proses-proses: Pertumbuhan penduduk perkotaan, baik karena

pertumbuhan alami maupun migrasi desa-kota, migrasi internasional dan perluasan

batas administrasi; pergeseran dalam hierarki kota-kota; komposisi umur dan gender

penduduk perkotaan; perubahan angkatan kerja; serta keterkaitan desa-kota:

penduduk, komoditas, kapital, informasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju urbanisasi antara lain: (1) Perubahan

teknologi yang lebih cepat di bidang pertanian daripada di bidang nonpertanian, yang

Page 8: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

mempercepat arus penduduk dari pedesaan; (2) Kegiatan produksi untuk ekspor

terpusat di kawasan kota; (3) Pertambahan alami yang tinggi di perdesaan; (4)

Susunan kelembagaan yang membatasi daya serap perdesaan, seperti: sistem

pemilikan tanah; kebijaksanaan harga dan pajak yang bersifat menganakemaskan

penduduk perkotaan; (5) Layanan pemerintah yang lebih berat pada perkotaan; (6)

Kelembaman (intertia)- faktor negatif yang menahan penduduk tetap tinggal di

perdesaan; dan (7) Kebijaksanaan perpindahan penduduk oleh Pemerintah dengan

tujuan mengurangi arus penduduk dari perdesaan ke perkotaan.

Tantangan besar terkait dengan pertumbuhan perkotaan, terutama di negara-

negara berkembang adalah perkembangan kota yang sangat pesat menimbulkan

implikasi langsung terhadap kebutuhan sarana dan prasarana perkotaan. Pertumbuhan

perkotaan dan proses urbanisasi menjadi masalah di negara-negara sedang

berkembang, karena kegagalannya dalam menanggulangi dampak yang timbul. Jadi,

bukan pertumbuhan perkotaan itu sendiri yang menjadi masalah, tetapi laju

pertumbuhan yang pesat di luar kapasitas institusional, administratif dan finansial

untuk menanggulanginya.

Masalah perkotaan secara umum meliputi: Kota raksasa (excessive size);

kepadatan berlebih; Kekurangan sarana prasarana; Pemukiman kumuh dan liar;

kemacetan lalu-lintas; berkurangnya tanggung jawab; pengangguran dan setengah

pengangguran; masalah rasial dan sosial; westernisasi dan modernisasi; kerusakan

lingkungan; perluasan perkotaan dan berkurangnya laha pertanian; serta organisasi

administrasi.

Indonesia seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya, sedang

mengalami pertumbuhan perkotaan yang pesat. Ditinjau dari laju pertumbuhannya,

laju pertumbuhan penduduk perkotaan menunjukkan angka yang sangat pesat

dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk total 5,38% per tahun pada 1980-

1990, dan 4,40% per tahun pada tahun 1990-2000. Ditinjau secara spasial, sesuai

Page 9: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

dengan tahap perkembangan Indonesia, urbanisasi yang berlangsung pada waktu lalu

diperkirakan cenderung memusat, ditandai dengan tarikan metropolitan dan kota-kota

besar terhadap migran jauh lebih besar daripada kota-kota menengah maupun kecil.

BAB 4

Perkembangan kota dalam konstelasi regional

Tiap kota mempunyai kinerja perkembangan berbeda-beda yang disebabkan

oleh faktor-faktor perkembangannya. Beberapa teori telah dikemukakan untuk

menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi laju perkembangan atau

pertumbuhan kota-kota dalam wilayah yang lebih luas. Secara garis besar ada dua

teori yang dapat menjelaskan perkembangan (ekonomi) kota dalam konteks wilayah

yang lebih luas, yaitu Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory) dan Teori Kutub

Pertumbuhan (Growth Pole Theory).

Menurut teori basis ekonomi dasar pendukung utama suatu kota berasal dari

penjualan barang/jasa yang berada di luar komunitas, yang disebut ekspor.

Penerimaan dari penjualan ini membantu perluasan ekonomi lokal dengan

menyediakan uang yang mendukung aktivitas pelayanan. Barang/jasa yang

diproduksi untuk ekspor ke luar wilayah disebut basis dan pekerja yang berhubungan

dengan penjualan lokal di dalam komunitas tersebut disebut nonbasis. Perkembangan

kota terkait dengan kontribusi sektor basis dari total pekerja basis, memisahkan

pelayanan menjadi peran pendukung. Dalam teori basis, memisahkan pelayanan

menjadi peran pendukung. Dalam teori basis ekonomi ada dua konsep penting yang

besar pengaruhnya terhadap perkembangan kota, yakni economic of scale dan

urbanization economies. Kedua konsep ini pada dasarnya berkaitan dengan prinsip

keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya aglomerasi, seperti

halnya di kawasan perkotaan.

Page 10: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Teori kutub pertumbuhan menjelaskan perkembangan ekonomi kota dalam

suatu wilayah yang luas, dengan adanya sumberdaya yang menyebar dan penyerapan

sumberdaya yang timpang. Berbeda dengan teori Economic base, dalam teori ini

pemisahan sektor ditinggalkan. Teori ini juga ditopang oleh alat-alat ukur ekonomi

sehingga dapat menjelaskan implikasinya pada perencanaan dan bersifat dinamis.

Teori ini cukup mampu menjelaskan perkembangan di negara maju maupun

berkembang. Konsep-konsepnya: prospulsive Industry, industri sebagai pemicu

perkembangan; circular and Cumulative Causation, proses yang memungkinkan

akumulasi perkembangan; dan Multiplier effect, ketimpangan dapat diatasi oleh

tricling down process dan spread effect. Berdasarkan teori ini, tidak semua kota dapat

dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan, karena pusat pertumbuhan harus memiliki

empat cirri, yaitu adanya hubungan internal antara berbagai macam kegiatan yang

memiliki nilai ekonomi, adanya multiplier effect (dampak pengganda), adanya

konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan wilayah belakangnya.

Sistem kota-kota terbentuk karena adanya keterkaitan antara stau kota dengan

kota yang lain, baik secara spasial maupun fungsional. Suatu kota mempunyai potensi

untuk membentuk suatu sistem dengan kota-kota lain karena tersedianya

infrastruktur, faktor lokasi, dan penduduk. Dalam sistem kota-kota, terdapat banyak

kota yang saling berkaitan secara fungsional, yang antara lain digambarkan oleh

orientasi pemasaran geografis. Keterkaitan antarkota dalam suatu sistem kota-kota

terjadi karena terdapat kota sebagai pusat koleksi/distribusi komoditas dan kota

sebagai node yang ukurannya berbeda-beda tergantung jumlah penduduk, fungsi dan

hierarkinya. Peran penting yang diemban oleh interaksi antarkota adalah: (1)

mewujudkan integrasi spasial, karena manusia dan kegiatannya terpisah-pisah dalam

ruang, sehingga interaksi ini penting untuk mengaitkannya; (2) memungkinkan

adanya diferensiasi dan spesialisasi dalam sistem perkotaan; (3) sebagai wahana

untuk pengorganisasian kegiatan dalam ruang; dan (4) memfasilitasi serta

menyalurkan perubahan-perubahan dari satu simpul ke simpul lainnya dalam sistem.

Page 11: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Ditinjau dari lingkup wilayahnya, sistem kota-kota dapat mempunyai cakupan

nasional atau subnasional, membentuk sistem kota-kota/ perkotaan nasional atau

subnasional. Secara ideal, dalam suatu sistem kota terdapat keteraturan antara

peringkat dan ukuran kota, yang dikenal sebagai rank size rule. Fenomena yang

berbeda dengan rank size rule, antara lain fenomena primate city yang terjadi

terutama di negara-negara berkembang. Dalam hal ini primacy ratio menunjukkan

rasio antara kota pertama dengan kota kedua di suatu negara yang merefleksikan

derajat dominasi populasi dari kota/pusat perkotaan terbesar. Primacy rations yang

meningkat menunjukkan bahwa kota unggul/kota utama menjadi paling penting baik

dalam populasi, sosial, ekonomi, maupun politik dalam negara tersebut.

Kota pada dasarnya merupakan pusat kegiatan dalam lingkup wilayah yang

lebih luas. Peranan kota sebagai pusat kegiatan dalam suatu wilayah – nasional

maupun lokal telah banyak ditunjukkan dalam berbagai literatur Barat yang pada

intinya menyimpulkan bahwa kota berperan sebagai pusat industri manufaktur atau

pusat kegiatan pelayanan. Dalam lingkup wilayah yang lebih luas, setiap kota

mempunyai fungsi baik fungsi umum maupun khusus. Fungsi umum kota adalah

pusat pemukiman dan kegiatan penduduk, sedangkan fungsi khusus kota adalah

dominasi kegiatan fungsional di suatu kota yang dicirikan oleh kegiatan ekonomi kota

tersebut yang mempunyai peran dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Di Indonesia,

National Urban Development Strategy (NUDS,1985) telah mengidentifikasi empat

fungsi dasar kota/perkotaan: Hinterland Service, Interregional communication,

Goods processing (manufacturing), Residential subcenters. Berdasarkan fungsinya

dalam sistem kota-kota/ sistem pusat permukiman nasional seperti diarahkan dalam

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN, 1977), kota-kota di Indonesia

terdiri dari: Pusat Kegiatan Nasional (PKN); Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); Pusat

Kegiatan Lokal (PKL).

Globalisasi yang ditandai dengan bebasnya aliran, modal, manusia, barang,

serta informasi, pada gilirannya telah membawa implikasi semakin terintegrasinya

Page 12: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

sistem sosioekonomi dan politik secara global. Globalisasi telah mengakibatkan

restrukturisasi kota dan wilayah di dunia dengan kota dan wilayah terintegrasi dalam

suatu jejaring (networks), satu dengan lainnya terkait erat. Namun, kota yang

terimbas serta terintegrasi ke dalam jejaring itu bersifat selektif, artinya tidak semua

kota mempunyai kesempatan sama dapat masuk ke dalam jejaring tersebut. Hanya

kota yang memiliki keunggulan (competitiveness) yang dapat masuk. Sementara itu,

persaingan antarkota untuk menarik investasi, terjadi dalam jejaring tersebut.

Fenomena perkembangan kota-kota global pada dasarnya merupakan perluasan

konsep kota-kota dalam konstelasi wilayah lebih luas yang semula terbatas dalam

lingkup wilayah negara menjadi dalam lingkup dunia. Dalam sistem kota-kota global

terdapat hierarki kota-kota yang terkait dengan pembagian negara pusat dan negara

semiperiphery. Secara ekonomi, perkembangan sistem kota-kota global dipengaruhi

oleh kapitalisme global, yang mempunyai ciri dalam komoditas, aktivitas, struktur

pasar, dan organisasinya.

Pertumbuhan kota yang semakin besar memunculkan desa-kota yang akhirnya

terwujud wilayah kota mega (mega cities) yang mempunyai struktur kota mega terdiri

atas kota besar, wilayah pinggiran, desa-kota, desa berkepadatan penduduk tinggi,

desa berkepadatan penduduk rendah, dan kota kecil. Munculnya Mega-Urban

Regions (MUR) di Asia/ASEAN merupakan salah satu produk dari proses urbanisasi

global melalui keterkaitan (ketergantungan) ekonomi antara negara-negara di Asia

yang berorientasi ekonomi pasar dan ekonomi global (terjadi melalui proses

industrialisasi yang dipacu arus investasi asing/korporasi transnasional) tidak saja

mengakibatkan perubahan pada pola pembangunan daerah secara spasial, tetapi juga

mengakibatkan restrukturisasi politik, sosial, dan ekonomi.

BAB 5

Perencanaan pembangunan nasional dan perencanaan pembangunan daerah

Page 13: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Pengertian perencanaan pembangunan dapat didefinisikan berdasarkan unsur-

unsur yang membentuknya, yakni perencanaan dan pembangunan. Perencanaan

secara umum adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat,

melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia;

sedangkan pembangunan adalah proses untuk melakukan perubahan atau suatu proses

perubahan yang disengaja untuk mencapai perbaikan kehidupan dan penghidupan

yang berkesinambungan. Dengan menghubungkan kedua pengertian ini maka

perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai proses untuk menentukan

tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan

sumberdaya yang tersedia, yang mengarah pada perubahan ke kondisi yang lebih

baik. Perencanaan pembangunan merupakan suatu tahapan awal dalam proses

pembangunan, yang akan menjadi pedoman/acuan dasar bagi pelaksanaan kegiatan

pembangunan. Dalam konteks manajemen pembangunan, perencanaan merupakan

tugas pokok yang harus diemban, yang diperlukan karena kebutuhan pembangunan

yang lebih besar daripada sumberdaya yang tersedia.

Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua

komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam konteks ini maka

perencanaan pembangunan nasional adalah proses untuk menentukan tindakan masa

depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang

tersedia, yang mengarah pada perubahan ke kondisi yang lebih baik, yang dilakukan

dalam skala makro atau menyeluruh. Dalam hal ini perencanaan pembangunan

nasional dilakukan dalam satu sistem, yang berarti satu kesatuan tata cara

perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan

dalam jangka panjang, menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsure

penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.

Dalam sistem perencanaan pembangunan, dikembangkan berbagai jenis

perencanaan pembangunan yang dapat dibedakan: (1) menurut jangkauan jangka

waktu; (2) menurut dimensi pendekatan dan koordinasi; (3) menurut proses/hierarki

Page 14: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

penyusunan. Pengelompokan lain perencanaan pembangunan berdasarkan dimensi

pendekatan dan koordinasi meliputi: Perencanaan makro, perencanaan sektoral,

perencanaan regional, dan perencanaan mikro. Di antara keempat jenis perencanaan

tersebut, perencanaan sektoral dan perencanaan regional adalah yang paling dikenal.

Perencanaan sektoral merupakan perencanaan embangunan yang berorientasi pada

sektor atau kelompok program yang merupakan wadah dari kegiatan-kegiatan yang

menunjang pencapaian suatu kelompok tujuan atau sasaran sektor tertentu; sedangkan

perencanaan regional adalah perencanaan dengan dimensi pendekatan regional yang

menitikberatkan pada aspek tempat kegiatan dilakukan.

Dalam praktik perencanaan pembangunan di Indonesia, dikembangkan Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai satu kesatuan tata cara perencanaan

pembanguna untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka

panjang (RPJP, 20 tahun), jangka menengah (RPJM, 5 tahun), dan tahunan yang

dilaksanakn oleh unsure penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan

Daerah. Hal ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan nasional, tahapan yang

dilakukan adalah penyusunan rencana; penetapan rencana; pengendalian pelaksanaan

rencana; dan evaluasi pelaksanaan rencana.

Pembangunan daerah pada dasarnya merupakan bagian integral dari sistem

pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh semua komponen masyarakat dan

pemerintah menurut prakarsa daerah. Dalam konteks ini maka perencanaan

pembangunan daerah tidak dapat dilepaskan dari sistem perencanaan pembangunan

nasional. Kebutuhan perencanaan pembangunan daerah terkait dengan paradigm

otonomi daerah yang member hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur

dan mnegurus rumah tangganya sendiri.

Perencanaan pembangunan daerah merupakan proses perencanaan

pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah

perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan

Page 15: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

lingkungannya dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau

mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang

bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada asas prioritas. Aspek

perencanaan pembangunan daerah: Aspek lingkungan, potensi dan masalah, institusi

perencana, serta aspek ruang dan waktu.

Ditinjau berdasarkan dimensi waktunya, perencanaan pembangunan daerah

disusun secara berjangka, meliputi: (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang

(RPJP) daerah, dengan jangka waktu 20 tahun yang memuat visi, misi, dan arah

pembangunan daerah yang mengacu pada RPJP Nasional; (2) Rencana Pembangunan

Jangka Menengah (RPJM) daerah untuk jangka waktu 5 tahun, yang merupakan

penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang penyusunannya

berpedoman kepada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJP Nasional; dan (3)

Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), merupakan penjabaran dari RPJM

daerah untuk jangka waktu 1 tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi

daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang

dilaksanakna langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong

partisipasi masyarakat, dengan mengacu pada rencana kerja pemerintah.

Ditinjau berdasarkan prosesnya, penyusunan Rencana Pembangunan Daerah

(RPJP dan RPJM) dilakukan melalui empat pendekatan mendasar dalam suatu

rangkaian perencanaan, yaitu: (1) Pendekatan Politik, yakni memandang bahwa

pemilihan Kepala Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih

menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang

ditawarkan masing-masing calon Kepala Daerah; (2) Pendekatan Teknokratik, yaitu

dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh

lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu; (3) Pendekatan

Partisipatif, yaitu dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan

(stakeholders) terhadap pembangunan. Keterlibatan mereka adalah untuk

mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki; dan (4) Pendekatan Atas-

Page 16: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Bawah (Top-Down) dan Bawah-Atas (Bottom Up), yaitu dalam perencanaan

dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan

bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat

nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa.

Pada dasarnya perencanaan pembanguna yang dilakukan melalui tiga

pendekatan, yakni perencanaan makro, sektoral dan regional yang mempunyai

implikasi administratif berbeda, sesuai lingkup dan kewenangan masing-masing

dalam rangka penyelenggaraan pambangunan nasional. Ditinjau dari sisi inilah

dimensi ruang dan daerah menjadi penting artinya dalam perencanaan pembangunan,

dan sebaliknya perencanaan pembangunan daerah menjadi penting dalam rangka

pembangunan nasional. Oleh sebab itulah kemudian sering disebutkan bahw

apembangunan daerah pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan

nasional. Apabila perencanaan pembangunan dipandang sebagai bagian tak

terpisahkan dalam administrasi pembangunan, ada beberapa aspek dari dimensi ruang

dan daerah yang berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah, yaitu: (1)

Aspek regionalisasi atau pewilayahan; (2) Aspek ruang yang akan tercermin dalam

penataan ruang; (3) Aspek otonomi daerah; (4) Aspek partisipasi masyarakat dalam

pembangunan; dan (5) Aspek keragaman dalma kebijaksanaan.

Keterkaitan antara perencanaan pembangunan nasional dengan perencanaan

pembangunan daerah (PPD) atau perencanaan pengembangan wilayah (PPW),

tercermin dari esensi dan kebutuhan PPD/PPW dalam konteks perencanaan

pembangunan nasional. Mengapa diperlukan perencanaan wilayah atau kebijakan

pengembangan wilayah, pada dasarnya terkait dengan aspek lokasi. Dalam hal ini,

perencanaan wilayah bukan hanya menentukan kebijaksanaan pengembangan

ekonomi dan sosial serta penentuan sektor-sektor yang harus dikembangkan, tetapi

berkaitan dengan lokasi atau berkaitan dengan pertanyaan “dimana” suatu aktivitas

akan diletakkan. Mengapa persoalan “dimana” ini penting? Karena suatu negara

bukanlah suatu wilayah homogen. Tujuan perencanaan wilayah adalah: (1)

Page 17: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

mengurangi kesenjangan; (2) pengintegrasian ekonomi wilayah ke dalam sistem

ekonomi nasional; (3) efisiensi dalam penentuan lokasi aktivitas; (4) alokasi investasi

di wilayah yang diarahkan agar mendapat kesempatan untuk perkembangan ekonomi

nasional lebih lanjut; dan (5) keseimbangan antarwilayah, pertumbuhan nasional.

Selain esensi dan kebutuhannya, keterkaitan antara perencanaan

pembangunan nasional yang bersifat makro dengan perencanaan pembangunan

daerah yang bersifat regional, dapat dilihat dari perbedaan utama dalam wilayah

perencanaannya. Perbedaan utama antara daerah atau wilayah dalam suatu negara

dengan negara atau wilayah nasional adalah dalam keterbukaannya. Perbedaan yang

lain antara negara dan wilayah terletak pada tujuannya. Tujuan perencanaan ekonomi

nasional adalah mengendalikan inflasi srta kebijaksanaan stabilisasi ekonomi,

sedangkan perencanaan wilayah bertujuan untuk perkembangan ekonomi wilayah

jangka panjang, distribusi penduduk dan kegiatan ekonomi yang efisien, dan kualitas

lingkungan yang baik serta berkesinambungan. Dengan perbedaan dalam tujuan

seperti di atas maka isi dari perencanaan pembangunan nasional, perencanaan

pembangunan daerah/wilayah pun menjadi berbeda. Perbedaan terpenting adalah

dalam perencanaan wilayah, dimensi ruang (spatial dimension), menjadi sangat

penting.

Dalam kaitannya dengan kepentingan dan kewenangan, ada perencanaan

perbedaan kepentingan dan kewenangan dalam penataan ruang antara pemerintah

pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan UU

No.22/1999 (yang telah diamandemen menjadi UU No. 32/2004) tentang

Pemerintahan Daerah, pada dasarnya hampir seluruh kewenangan urusan

pemerintahan, termasuk penataan ruang, diserahkan kepada daerah (kabupaten dan

kota), kecuali urusan yang ditetapkan menjadi kewenangan pusat dan provinsi.

Persoalan dalam penataan ruang umumnya mencul karena adanya ketidaksesuaian

antara kepentingan dan kewenangan. Ada potensi persoalan bila kepentingan suatu

pihak (jenjang pemerintah) ternyata berada di bawah kewenangan pihak (jenjang

Page 18: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

pemerintah) lain. Kewenangan utama penataan ruang berbanding terbalik dengan

jenjang pemerintahan, karena makin tinggi jenjang pemerintahan, makin terbatas

kewenangan utamanya. Dasar pertimbangan dan criteria yang secara umum dapat

menjadi dasar perumusan kepentingan Pusat dan Provinsi antara lain: pertumbuhan

ekonomi, pemerataan pelayanan, efisiensi investasi publik, swasembada,

keberlanjutan, keadilan, dan kesesuaian fungsi.

Dalam konteks wilayah, perencanaan pembangunan nasional, perencanaan

pembangunan daerah atau perencanaan wilayah (provinsi, kabupaten), dan

perencanaan wilayah perkotaan (perencanaan kota), ketiganya saling berkaitan.

Perencanaan wilayah mempengaruhi perencanaan kota, perencanaan kota pun tidak

dapat mengabaikan perkembangan wilayah tempat kota tersebut berada. Di dalam

perencanaan kota, perencanaan wilayah (provinsi, kabupaten) berperan dalam

menentukan fungsi kota tersebut dalam struktur tata ruang wilayah yang

melingkupinya. Fungsi serta kedudukan kota tersebut di dalam wilayah menentukan

seberapa besar perkembangan kota akan terjadi, serta fasilitas-fasilitas apa yang harus

disediakan oleh kota yang sifatnya melayani wilayah yang melingkupinya.

BAB 6

Bentuk dan struktur internal kota

Tinjauan terhadap kota sebagai area menempatkan kota dalam wujud

struktural dan pola pemanfaatan ruangnya secara internal. Dalam hal ini yang

menjadi fokus adalah unsur-unsur pembentuk struktur tata ruang kota atau kawasan

perkotaan, yang terdiri dari pusat kegiatan/pelayanan, kawasan fungsional perkotaan,

dan jaringan jalan. Sebagai suatu area, kota dengan berbagai unsur dan keterkaitannya

merupakan sistem yang kompleks. Hal ini karena struktur dan pola pemanfaatan

Page 19: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

ruang kota merupakan suatu produk sekaligus proses dari perkembangan kota yang

berlangsung lama, baik direncanakan maupun tidak.

Secara konsepsional, unsur-unsur pembentuk struktur tata ruang kota telah

dikemukakan oleh banyak pakar. Menurut Doxiadis, perkotaan atau permukiman kota

merupakan totalitas lingkungan yang terbentuk oleh 5 unsur, yakni alam (nature),

individu manusia (antropos), masyarakat (society), ruang kehidupan (Shells), dan

jaringan (Network). Dalam perspektif yang berbeda, menurut Patrick Geddes,

karakteristik permukiman sebagai suatu kawasan memiliki unsur: place (tempat

tinggal); Work (tempat kerja); Folk (tempat bermasyarakat). Kus Hadinoto

mengadaptasinya menjadi 5 unsur pokok, yaitu: Wisma, tempat tinggal (perumahan);

Karya: tempat bekerja (kegiatan usaha); Marga, jaringan pergerakan, jalan; Suka,

tempat rekreasi/hiburan; dan Penyempurna, prasarana – sarana. Unsur pembentuk

struktur tata ruang kota dapat pula dipahami secara persepsional seperti yang

dikemukakan oleh Kevin Lynch yang menyatakan sifat suatu objek fisik yang

menyebabkan kemungkinan besar membuat citra (image) yang kuat pada setiap

orang. Menurutnya, ada lima unsur dalam gambaran mengenai kota: Path, Edge,

District, Node dan Landmark.

Kota sebagai suatu sistem spasial dapat dipandang sebagai wujud structural

dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak, yang mencirikan

kawasan dengan kegiatan utama bukan-pertanian. Sebagai wujud struktural

pemanfaatan ruang, kota terdiri dari susunan unsur-unsur pembentuk kawasan

perkotaan secara hierarkis dan structural berhubungan satu dengan lainnya

membentuk tata ruang kota. Dalam suatu kota terdapat hierarki pusat pelayanan

kegiatan perkotaan, seperti pusat kota, pusat bagian wilayah kota, dan pusat

lingkungan; yang ditunjang dengan sistem prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan

kolektor, dan jalan lokal.

Page 20: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Pola ruang kota adalah bentuk yang menggambarkan ukuran, fungsi, dan

karakteristik kegiatan perkotaan. Ditinjau dari pola ruangnya, kota atau kawasan

perkotaan secara garis besar terdiri dari kawasan terbangun – kawasan tidak

terbangun (RTH). Dalam hal ini kawasan terbangun adalah ruang dalam kawasan

perkotaan yang mempunyai cirri dominasi penggunaan lahan secara terbangun atau

lingkungan binaan untuk mewadahi kegiatan perkotaan. Jenis-jenis pemanfaatan

ruang kawasan terbangun kota antara lain kawsan perumahan, kawasan pemerintahan,

kawasan perdagangan dan jasa, serta kawasan industri. Keragaman jenis pemanfaatan

ruang kota bergantung pada fungsi kota tersebut dalam lingkup wilayah yang lebih

luas.

Selain pusat-pusat pelayanan kegiatan perkotaan dan kawasan fungsional

perkotaan, unsur pembentuk struktur tata ruang kota adalah sistem prasarana dan

sarana sebagai kelengkapan dasar fisik yang memungkinkan kawasan permukiman

perkotaan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Secara spesifik prasarana perkotaan

yang paling berpengaruh terhadap struktur tata ruang kota adalah prasarana

transportasi, yakni jaringan jalan. Jaringan jalan merupakan indikator utama

morfologi kota sehingga dalam perencanaan tata ruang kota, pengembangan jaringan

jalan tidak dapat dilepaskan dari pola pemanfaatan ruang yang ada atau ingin

diwujudkan. Jaringan jalan dapat menjadi faktor yang mendorong perkembangan

kegiatan, dan sebaliknya pengembangan suatu kegiatan memerlukan dukungan

pengembangan jaringan jalan.

Kota, sebagai suatu area dengan berbagai unsur dan keterkaitannya

merupakan sistem yang kompleks. Struktur dan pola pemanfaatan ruang kota

merupakan suatu produk sekaligus proses. Untuk memahaminya perlu pendekatan

secara spasial, dengan didasarkan pada hasil kajian dalam bidang geografi perkotaan

(urban geography). Tinjauan terhadap struktur tata ruang internal kota dapat

dilakukan dengan berbagai pendekatan antara lain pendekatan ekologikal, ekonomi,

morfologi kota, dan sistem kegiatan.

Page 21: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Pendekatan ekologikal meninjau kota sebagai suatu objek studi dengan di

dalamnya terdapat masyarakat yang kompleks, telah mengalami proses interrelasi

antarmanusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Penduduknya adalah pola

keteraturan penggunaan lahan kota. Dalam pendekatan ini terdapat tiga teori utama,

yaitu: Teori Konsentrik, Teori Sektoral, dan Teori Pusat Jamak.

Pendekatan ekonomi terhadap struktur tata ruang kota didasarkan pada

pemahaman bahwa nilai lahan, rent dan cost mempunyai kaitan yang erat dengan

pola penggunaan lahan. Jalur dan simpul transportasi mempunyai peranan besar

terhadap perkembangan kota. Dalam pendekatan ini, teori yag dapat menjelaskan

perbedaan dalam pola penggunaan lahan adalah Teori Sewa Lahan dan Teori Nilai

Lahan. Meskipun pola pemanfaatan ruang di perkotaan merupakan hasil dari aneka

faktor alami dan manusiawi dapatlah dikatakan bahwa pada dasarnya semua itu

merupakan produk belaka dari motivasi ekonomi.

Pendekatan morfologi kota memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk

fisikal kawasan perkotaan yang tercermin dari jenis penggunaan lahan, sistem

jaringan jalan, dan blok-blok bangunan, townscape, urban sprawl, dan pola jaringan

jalan sebagai indikator morfologi kota. Berdasarkan pendekatan ini, secara garis besar

ekspresi keruangan kota dapat dilihat dari pola fisik atau susunan elemen fisik kota

seperti bangunan dan lingkungan, sehingga bentuk kota dapat dibedakan antara

bentuk kota yang kompak dan bentuk kota yang tidak kompak.

Pendekatan sistem kegiatan secara komprehensif dapat diartikan sebagai suatu

upaya untuk memahami pola-pola perilaku dari perorangan maupun lembaga yang

mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan di dalam kota. Dalam hal ini yang

menjadi penekanan analisis adalah unsur-unsur utama perilaku manusia serta

dinamika perilaku manusia yang kemudian di dalam proses interaksinya telah

mengakibatkan terciptanya pola-pola keruanagn tertentu di dalam suatu kota. Dalam

Page 22: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

pendekatan ini berusaha dipahami kota sebagai suatu sistem dan kekuatan-kekuatan

dinamis yang mempengaruhi struktur tata ruang kota.

Pemahaman terhadap berbagai pendekatan terhadap struktur tata ruang kota

menjadi sangat penting, karena terkait dengan implikasinya dalam perencanaan tata

ruang kota. Perencanaan tata ruang kota dalam hal ini dapat dipandang sebagai

intervensi terhadap wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang berkembang

secara alamiah berdasarkan kecenderungan. Dengan landasan pemahaman terhadap

bentuk dan struktur tata kota inilah produk perencanaan tata ruang kota, dalam hal ini

struktur dan pola pemanfaatan ruang kota sesuai yang diinginkan, dapat dirumuskan.

BAB 7

Perkembangan pendekatan dan paradigma baru dalam perencanaan kota

Perencanaan kota pada dasarnya merupakan intervensi (campur tangan)

terhadap perkembangan kota/kawasan perkotaan yang berlangsung pesat seiring

dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan sosial-ekonomi yang menyertainya.

Semakin pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan menjadi implikasi pembangunan

dan industrialisasi, sementara di sisi lain semakin terbatasnya lahan perkotaan serta

msih belum terpenuhinya secara memadai pelayanan prasarana dan sarana perkotaan,

menjadi tantangan dalam perencanaan kota.

Perencanaan kota dapat digambarkan sebagai suatu aktivitas atau proses yang

mengatur segala sesuatu sebelumnya serta member arahan pengendalian terhadap

konsekuensi-konsekuensi dari semua tindakan yang diambil. Sebagai suatu disiplin,

perencanaan kota merupakan aktivitas merencanakan suatu ruang tertentu, dalam hal

ini kawsan perkotaan, dengan mempertimbangkan semua faktor fisik-tata ruang,

ekonomi, sosial-kependudukan, sosial-budaya, yang mempengaruhi kota/kawasan

perkotaan. Berbeda dengan manajemen perkotaan, perencanaan kota lebih

Page 23: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

menyangkut antisipasi dan penyiapan ke masa depan, terutama dimensi spasial dan

penggunaan lahan dari pembangunan perkotaan; sementara manajemen perkotaan

lebih menyangkut aspek operasi pelayanan publik dengan berbagai jenis intervensi

pemerintah yang akan mempengaruhi kondisi perkotaan secara luas.

Sebagai suatu disiplin ilmu sekaligus profesi, perencanaan kota telah

berkembang dan pada dasarnya merupakan campuran antara teori dan praktik. Dalam

konteks ini telah berkembang berbagai pendekatan yang selama ini diterapkan dalam

praktik perencanaan kota, baik di negara-negara maju maupun negara-negara

berkembang. Beberapa pendekatan dominan dalam praktik perencanaan kota, antara

lain rational comprehensive planning, disjointed incremental approach, dan

mixscanning approach; advocacy; planning; dan strategic planning.

Rational comprehensive approach dasar dalam pertimbangan-pertimbangan

analisisnya mencakup unsure/subsistem; dan masalah dilihat secara komprehensif,

tidak terpilah. Disjointed incremental approach lebih mengutamakan pada

unsure/subsistem tertentu yang perlu diprioritaskan tanpa memperhatikan wawasan

yang lebih luas dan tidak perlu penelaahan serta evaluasi alternative rencana secara

menyeluruh. Mixscanning approach merupakan pendekatan perencanaan terpilah

berdasarkan pertimbangan menyeluruh, yang tetap mengacu garis kebijakan umum

pada tingkat yang lebih tinggi. Advocacy planning berpandangan bahwa satu badan

perencanaan tidak mungkin untuk mewakili kebutuhan masyarakat yang beragam,

sehingga perencanaan harus memperjuangkan kepentingan-kepentingan berbagai

kelompok masyarakat. Strategic planning memfokuskan pada tugas-tugas strategis

yang jelas dan spesifik, berbeda dengan tujuan-tujuan yang luas dan tidak terfokus

dari comprehensive planning; dengan karakteristik berorientasi tindakan, partisipatif,

serta analisis terhadap lingkungan internal dan eksternal.

Paradigma perencanaan ‘tradisional’ yang mempunyai karakteristik:

Penekanan pada rencana jangka panjang dengan rencana lebih merupakan produk

Page 24: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

daripada proses; penekanan pada rencana fisik, kualitas strategis yang rendah dan

tidak adanya keterkaitan dengan pengguna; ternyata tidak dapat memecahkan

masalah perkotaan secara mendasar. Padahal realitas perkotaan memasuki abad 21 ini

ditandai dengan berbagai hal antara lain: Ledakan pertumbuhan perkotaan terutama di

negara berkembang; Kemiskinan di perkotaan; Penurunan derajat kesehatan dan

kesejahteraan; dan tidak ada kota pada bagian dunia manapun yang bebas dari

persoalan.

Realitas lain yang terkait dengan perkembangan kota adalah, pertama

pengambilan keputusan dalam pembangunan kota lebih banyka dilakukan oleh

perorangan atau organisasi, bukan semata-mata oleh pemerintah. Kedua, keterbatasan

pemerintah dalam mempengaruhi sistem kota secara efektif sehingga aspek tersebut

diserahkan kepada mekanisme pasar; Ketiga, adanya kendala keterbatasan

sumberdaya yang dihadapi pemerintah, baik secara nasional maupun lokal (terutama

keterbatasan finansial). Keempat, proses perencanaan bukan merupakan proses linier

yang terdiri atas tahapan Survey-Plan-Action; melainkan suatu proses yang menerus

dan iteratif. Kelima, adanya keterbatasan kapasitas institusi dalam perencanaan dan

pelaksanaan rencana, terutama dalam kemampuan teknis tenaga ahli dan manajemen.

Keenam, adanya keterbatasan kemampuan institusi pada perencanaan untuk

menerapkan law enforcement dalam pengawasan pembangunan karena adanya

keterbatasan kapasitas administrasi, kemauan politik, dan kelemahan dalam sistem

perundang-undangan.

Dengan didasarkan pada: (1) Kritik terhadap perncanaan kota ‘tradisional’; (2)

Pentingnya perencanaan kota dalam pembangunan berkelanjutan; (3) Perlunya

peningkatan penyusunan rencana secara ‘tradisional’ dan implementasinya; dan

perlunya membuat perencanaan kota lebih efektif sehingga direkomendasikan

perlunya paradigma baru dalam Perencanaan Kota yang mencakup beberapa unsur

agar perencanaan kota lebih efektif, yakni (UNCHS, 1994): Partisipasi masyarakat;

Keterlibatan seluruh kelompok yang berkepentingan; Koordinasi horizontal dan

Page 25: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

vertical; Keberlanjutan; Kelayakan finansial; Subsidaritas; dan Interaksi perencanaan

fisik dan perencanaan ekonomi.

Dalam kaitannya dengan penerapan paradigma baru dalam perencanaan kota,

prinsip-prinsip good governance, yang secara ringkas dapat diartikan sebagai

penyelenggaraan pemerintahan, secara efisien dan efektif, dengan menjaga

kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor

swasta dan masyarakat, menjadi sangat penting untuk diterapkan. Aspek utama good

governance secara umum meliputi manajemen sektor publik, akuntabilitas, kerangka

hokum dalam pembangunan, serta informasi publik dan transparasi. Karakteristik

good governance meliputi: Partisipasi, kerangka hukumm, transparasi, kesetaraan,

daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efektif dan efisien,

profesionalisme; serta berorientasi pada kosensus.

BAB 8

Proses dan produk perencanaan kota

Perencanaan sebagai kegiatan untuk menentukan tindakan masa depan yang

tepat, malalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia,

dalam konteks kota/kawasan perkotaan dilakukan melalui serangkaian kegiatan atau

langkah yang berurutan dan berkaitan satu sama lain dalam suatu proses

perencanaan. Meskipun banyak model proses perencanaan yang dikemukakan

berbagai ahli selama ini, secara generik proses perencanaan ini terdiri dari tahapan:

(1) Pendefinisian persoalan; (2) Perumusan tujuan dan sasaran; (3) Pengumpulan data

dan informasi; (4) Analisis; (5) Identifikasi dan evaluasi alternatif; (6) Implementasi;

(7) Pemantauan; (8) Evaluasi. Dalam hal ini rencana merupakan rumusan kegiatan

yang akan dilaksanakan secara spesifik di masa yang akan datang; produk dari suatu

Page 26: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

proses perencanaan dalam bentuk blueprint yang mempresentasikan tujuan atau hal-

hal yang ingin dicapai serta regulasi sebagai alay untuk mencapai tujuan.

Karakteristik utama dari proses perencanaan yang perlu diperhatikan, adalah:

bersifat siklis; kesatuan dalam ragam kegiatan/tahapannya; serta tiap tahapan tidak

selalu dilakukan secara sekuensial. Pemahaman terhadap konsep perencanaan sebagai

suatu proses mempunyai beberapa implikasi penting yang berkaitan dengan rencana

sebagai produknya, sifat kontinuitasnya, serta peranan perencana yang terlibat di

dalamnya. Dalam hal ini implikasi pertama adalah perencanaan lebih melibatkan

banyak hal daripada sekadar membuat suatu dokumen rencana, karena rencana

bukanlah tujuan akhir perencanaan, tetapi perangkat sebagai perwujudan cara untuk

mencapai tujuan. Implikasi yang kedua, perencanaan dianggap sebagai suatu proses

yang berlangsung secara terus-menerus, bukan suatu proses yang dikerjakan sekali

saja. Implikasi yang ketiga berkaitan dengan peran perencana yang sesungguhnya

menyangkut pengertian yang luas bagi siapa saja yang terlibat dalam suatu jenis

kegiatan perencanaan sehingga setiap orang yang terlibat sebagai seorang perencana

haruslah bekerja erat dengan pihak lain yang terlibat dalam keseluruhan proses

pembangunan, termasuk di dalamnya para politisi, administrator/birokrasi, dan

masyarakat secara umum.

Pendefinisian persoalan merupakan titik mula dari siklus dalam proses

perencanaan secara keseluruhan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan persoalan

adalah kesenjangan (gap) antara apa yang ada dengan apa yang diinginkan.

Berdasarkan pendefinisian persoalan secara benarlah kemudian tujuan (goals) dan

sasaran (objectives) dapat dirumuskan. Tujuan dan sasaran dalam pengertian

umum merupakan ekspresi prioritas yang ingin dicapai dari kegiatan perencanaan

yang dilakukan, yang formulasinya dilakukan pada tahap awal dari siklus

perencanaan. Kegiatan perumusan tujuan dalam perencanaan kota diarahkan untuk

menghasilkan suatu pernyataan yang bersifat kualitatif berkenaan dengan pencapaian

Page 27: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

yang diinginkan dari hasil perencanaan/kebijaksanaan dan/atau keputusan, yang dapat

menjadi pedoman nyata dalam menentukan tindakan yang sesuai untuk mencapainya.

Tahap pengumpulan data dan informasi mempunyai peranan yang sangat

penting dalam perencanaan, karena perencanaan pada dasarnya merupakan suatu

proses pengambilan keputusan yang tidak dapat dilakukan tanpa didukung oleh

informasi yang memadai. Dalam perencanaan, data atau informasi diperlukan untuk

tiga tujuan utama, yaitu: (1) Identifikasi permasalahan dan perkembangan eksisting,

sebagai dasar bagi perumusan kebijaksanaan/rencana; (2) Identifikasi dan evaluasi

alternatif kebijaksanaan/rencana; (3) Sebagai umpan balik, untuk siklus proses

perencanaan berikutnya. Didasarkan pada hasil pengumpulan data dan informasi,

dilakukan analisis yang pada dasarnya merupakan pendekatan, metode, prosedur,

atau teknik yang dilakukan untuk menelusuri kondisi historis dan kondisi sekarang

dari wilayah perencanaan, untuk menentukan hal-hal yang dapat dilakukan dan

kebijaksanaan, rencana atau program yang akan dirumuskan pada masa yang akan

datang. Tahapan analisis mencakup analisis data dasar, analisis prakiraan, dan analisis

untuk penyusunan skenario di masa datang. Dengan melakukan analisis, diharapkan

diperoleh alternatif atau pilihan tindakan yang mungkin untuk memecahkan

persoalan. Manakala terdapat serangkaian tindakan yang mungkin dapat

diidentifikasi, tahap selanjutnya dalam proses perencanaan adalah membandingkan

secara rinci kelebihan dan kekurangan antaralternatif sehingga dapat memberikan

informasi kepada pengambil keputusan untuk memilih alternatif terbaik, yang lazim

disebut sebagai evaluasi alternatif. Alternatif terpilihlah yang kemudian

diimplementasikan.

Implementasi atau pelaksanaan merupakan suatu proses penerjemahan atau

perwujudan tujuan dan sasaran kebijaksanaan ke dalam bentuk program atau proyek

spesifik. Dalam proses perencanaan, pelaksanaan adalah interaksi antara tujuan yang

telah dirumuskan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapainya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan rencana, antara lain: Sifat dari

Page 28: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

proses perencanaan, organisasi perencanaan dan pelaksanaannya, isi atau contens

rencana, dan manajemen proses pelaksanaan.

Pemantauan dan evaluasi merupakan dua tahap terakhir dari proses

perencanaan sebelum memulai siklus proses perencanaan baru. Pemantauan

mengacu pada aktivitas untuk mengukur pencapaian (progress) dalam pelaksanaan

suatu rencana, yang mempertautkan penyiapan rencana dengan pelaksanaannya.

Pemantauan merupakan satu-satunya cara guna memperoleh informasi sampai sejauh

mana rencana benar-benar dilaksanakan. Berdasarkan hasil pemantauan itu kemudian

dilakukan evaluasi sebagai penilaian terhadap kinerja pelaksanaan rencana yang

dilakukan dalam jangka waktu tertentu (pada akhir pahe atau tahap tertentu dari

pelaksanaan rencana), yang dapat berupa on-going evaluation dan evaluasi pasca

pelaksanaan (expost evaluation). Kegiatan evaluasi dilakukan untuk mengidentifikasi

lebih jauh sasaran yang sudah dicapai, dampak yang timbul, atau konsekuensi lainnya

dari pelaksanaan rencana. Dengan evaluasi ini juga dapat diidentifikasi persoalan

baru yang dapat menjadi fokus bagi siklus proses perencanaan selanjutnya.

Aktivitas perencanaan kota, atau lebih spesifik perencanaan tata ruang kota, di

Indonesia secara procedural mengacu pada Undang-undang No. 24 Tahun 1992

tentang Penataan Ruang (yang telah direvisi menjadi Undang-undang No. 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang). Khusus untuk kota/kawasan perkotaan, sebenarnya

jauh sebelum undang-undang tersebut ditetapkan sudah ada prosedur buku, yakni

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan

Rencana Kota dan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.640/KPTS/1986 tentang

Perencanaan Tata Ruang Kota. Dalam kedua ketentuan tersebut diatur berbagai jenis

rencana tata ruang kota serta tata cara penyusunannya, yang pada dasarnya

dimaksudkan untuk mewujudkan peningkayan kualitas lingkungan kehidupan dan

penghidupan masyarakat kota dalam mencapai kesejahteraan sesuai dengan aspirasi

warga kota.

Page 29: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Dalam konteks kebutuhan suatu prosedur penyusunan rencana tata ruang,

yang diatur kemudian adalah kawasan perkotaan. Dalam hal ini pada tahun 2002

telah ditetapkan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan,

yang dimaksudkan untuk menyempurnakan dan melengkapi standar-standar dan

acuan/pedoman penataan ruang yang telah ada maupun literature/studi yang telah ada,

sebagai bahan rujukan kegiatan perencanaan penataan ruang.

Secara procedural, Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dibedakan dalam

4 jenis rencana dengan tingkat kedalaman yang berbeda, yakni: (1) Rencana Struktur,

sebagai kebijakan yang menggambarkan arahan tata ruang untuk Kawasan Perkotaan

Metropolitan dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang; (2) Rencana

Umum, sebagai kebijakan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus

dilindungi dan dibudidayakan serta diprioritaskan pengembangannya dalam jangka

waktu perencanaan; (3) Rencana Rinci, yang terdiri dari Rencana Detail dan Rencana

Teknik.

Ketentuan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan

berbeda untuk tiap jenis rencana sesuai dengan hierarkinya, yang secara umum

menyangkut dimensi waktu, skala/ketelitian peta, fungsi dan manfaat rencana,

muatan/materi rencana, serta proses penyusunannya. Ditinjau dari prosesnya,

penyusunan Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan,

mancakup langkah-langkah: (1) penentuan arah pengembangan; (2) identifikasi

potensi dan masalah pembangunan; (3) perumusan Rencana Struktur Tata Ruang

Kawasan Perkotaan Metropolitan; dan (4) penetapan Rencana Struktur Tata Ruang

Kawasan Perkotaan Metropolitan. Dalam proses penyusunan RTRW Kota/RUTR

Kawasan Perkotaan dan RDTR Kawasan Perkotaan, ditempuh langkah-langkah: (1)

Penentuan arah pengembangan; (2) Identifikasi potensi dan masalah pembangunan;

(3) Perumusan rencana tata ruang; dan Penetapan rencana tata ruang.

Page 30: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Produk dari proses perencanaan adalah rencana sehingga output-nya dapat

dipandang sebagai kumpulan substansi/materi rencana tersebut. Dalam konteks

Perencanaan tata ruang di Indonesia, berbagai jenis rencana ini pada dasarnya

mengacu pada prosedur yang berlaku sesuai dengan UU 24/1992 tentang Penataan

Ruang. Rencana tata ruang sebagai produk dari proses perencanaan tata ruang sesuai

dengan batasan wilayah administrasi, sehingga dikenal RTRW Nasional, RTRW

Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Untuk lingkup kota/kawasan perkotaa,

prosedur yang berlaku, yakni: (1) Permendari No. 2/1987 tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Kota; dan (2) KepMen Kimpraswil No.327/KPTS/M/2002

(antara lain tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan

Perkotaan).

Rencana tata ruang kota/kawasan perkotaan sebagai produk perencanaan tata

ruang kota yang berlaku di Indonesia, sekurang-kurangnya terdiri dari 4 (empat)

materi/substansi: (1) Rencana Pemanfaatan Ruang, menunjukkan alokasi ruang untuk

mewadahi aktivitas yang akan dikembangkan; (2) Rencana Pengembangan Sarana,

untuk mendukung setiap aktivitas yang memanfaatkan ruang; (3) Rencana

Pengembangan Prasarana, untuk mendukung setiap aktivitas dan sarana; dan (4)

Aspek Pelaksanaan dan Pengendalian, untuk mendukung terlaksananya ketiga produk

rencana. Meskipun ada kesamaan materi/substansi rencana, tiap jenis/hierarki rencana

tata ruang kawasan perkotaan berbeda dalam hal: (1) rincian substansi; (2) skala

ketelitian peta; (3) periode atau jangka waktu rencana, legalisasi atau penetapannya,

serta fungsi/manfaatnya.

Sesuai dengan hierarkinya, rencana tata ruang kawasan perkotaan

sebagaimana diatur dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan

Perkotaan, meliputi: (1) Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan

Metropolitan, berisi kebijakan yang menggambarkan arahan tata ruang untuk

kawasan perkotaan metropolitan; (2) Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/Rencana

Umum Tata Ruang Kota Kawasan Perkotaan (RTRW Kota/RUTR kawasan

Page 31: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Perkotaan), yang berisi kebijakan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang

dilindungi dan dibudidayakan serta diprioritaskan pengembangannya; (3) Rencana

Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RDTR Kawasan Perkotaan), yang berisi

pengaturan yang memperlihatkan keterkaitan antara blok-blok penggunaan kawasan

untuk menjaga keserasian pemanfaatan ruang dengan manajemen transportasi kota

dan pelayanan utilitas kota; dan (4) Rencana Teknik Ruang Kawasan Perkotaan (RTR

Kawasan Perkotaan), yang berisi pengaturan geometris pemanfaatan ruang yang

menggambarkan keterkaitan antara satu bangunan dengan bangunan lainnya, serta

keterkaitannya dengan utilitas bangunan dan utilitas kawasan/kota.

BAB 9

Tantangan, kebijakan pembangunan perkotaan dan permasalahan dalam

praktik perencanaan kota di Indonesia

Indonesia seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya, sedang

mengalami pertumbuhan perkotaan yang pesat. Berkaitan dengan pertumbuhan

perkotaan yang pesat, beberapa isu atau tantangan yang dihadapi pemerintah

daerah/kota antara lain isu globalisasi, urbanisasi, kemiskinan, dan lingkungan kota.

Ditinjau dari lingkupnya, isu atau permasalahan pembangunan perkotaan pada

dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu permasalahan dalam lingkup

eksternal kota dan internal kota. Isu eksternal antara lain ketidakseimbangan

pertumbuhan antara kota-kota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan

kecil; kesenjangan pembangunan antara desa dan kota; belum berkembangnya

wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh; dan banyaknya wilayah yang masih

tertinggal dalam pembangunan. Isu internal kota adalah permasalahan-permasalahan

yang terjadi di dalam kota yang harus dihadapi oleh kota itu, antara lain: Kemiskinan,

Page 32: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

kualitas lingkungan hidup, dan kapasitas daerah dalam pengembangan dan

pengelolaan perkotaan.

Ditinjau dari sifatnya dalam mempengaruhi perkembangan perkotaan,

kebijakan perkotaan dapat dibagi dua, yakni kebijakan implisit dan kebijakan

eksplisit. Kebijakan perkotaan secara implisit adalah kebijakan pembangunan yang

tidak ditujukan untuk mengintervensi perkembangan perkotaan, namun dampaknya

terhadap perkembangan perkotaan sangat besar. Sementara itu, kebijakan perkotaan

eksplisit adalah kebijakan pembangunan yang secara spesifik ditujukan untuk

melakukan intervensi pada perkembangan kota. Sifat kebijakan perkotaan harus

berdasar pada kecenderungan perkembangan perkotaan, bukan tujuan akhir,

melainkan untuk mencapai tujuan yang lebih luas, yaitu melayani tujuan

pembangunan sosial – ekonomi. Dalam hal ini, aspek kebijakan yang perlu

diperhatikan: (1) Kebijakan pembangunan yang mampu mempengaruhi penyebaran

penduduk; (2) Pengembangan sistem perkotaan yang mampu meningkatkan mobilitas

penduduk; (3) Pengembangan hierarki perkotaan dengan besar dan kemampuan kota

yang perlu diperhitungkan; (4) Pengembangan efisiensi kota dengan ukuran

minimum penduduk kota merupakan tolak ukur pusat pertumbuhan wilayah; (5)

Pengembangan sisitem perencanaan yang memeperhatikan segi koordinasi kegiatan;

(6) Pengembangan konsep metropolitanisasi dengan pengaruh kota sudah

menjangkau di luar batas wilayah administrasi kota.

Dalam jangka panjang, sasaran pembangunan perkotaan di Indonesia pada

PJP II adalah: (1) Terwujudnya keserasian dan keseimbangan pembangunan antara

desa-kota, antardesa dan antarkota; (2) terwujudnya masyarakat kota yang sejahtera

secara merata; (3) teratasinya masalah kemiskinan di perkotaan; (4) terwujudnya

lingkungan perkotaan yang sehat serta lestari.

Dalam konteks kebijakan pembangunan perkotaan di Indonesia, perlu adanya

suatu Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan yang memiliki suatu kerangka

Page 33: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

strategi: (1) Di tingkat lokal perlu strategi yang mengakomodir kondisi lokal dan

variasi-variasi yang diperlukan; (2) Di tingkat nasional, perlu ada keserasian dan

sinergitas; (3) Dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan nasional untuk

menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah maka strategi pembangunan perkotaan

pun perlu terdesentralisasi untuk mengakomodir kondisi dan aspirasi daerah serta

dapat menjadi landasan program-program pembangunan daerah. Skenario dalam

strategi nasional pembangunan perkotaan di Indonesia adalah mendorong

perkembangan kota dengan memperhatikan besaran, potensi dan keterkaitan yang

saling menguntungkan dengan kawasan sekitarnya secara selektif, yaitu: Mendorong

kota-kota di luar Jawa untuk pengembangan industri pengolahan dan agrobisnis,

dan kota-kota di Jawa untuk industri dan bisinis bersih, dan hemat ruang, air, serta

sumberdaya alam lainnya. Dalam kaitan ini, maka strategi spasial pengembangan

perkotaan nasional meliputi tiga komponen, yaitu: Tipologi dan fungsi kota-kota,

pola keterkaitan dan aglomerasi kota-kota, dan prinsip umum pengelolaan kota sesuai

dengan tipologi, fungsi dan keterkaitan kota-kotanya.

Perencanaan kota di Indonesia yang merupakkan bagian sari proses penataan

ruang kota, tidak terlepas dari pemanfaatan ruang sebagai implementasi rencana tata

ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai kegiatan untuk menjaga

kesesuaian antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang. Dalam praktik

perencanaan tata ruang kota di Indonesia, seringkali terjadi benturan antara

perencanaan tata ruang kota dengan berbagai kecenderungan yang menyertai

perkembangan kota. Isu strategis dalam perencanaan tata ruang kota adalah

bagaimana mengefektifkan rencana tata ruang agar dapat mendorong pertumbuhan

ekonomi kota sesuai dengan fungsi dan peranannya secara regional. Jika ditelusuri

lebih jauh, permasalahan dalam praktik perencanaan kota di Indonesia, secara umum

menyangkut tiga hal, yaitu: (1) permasalahan teknis penyusunan rencana tata ruang;

(2) ketidakefektifan rencana tata ruang; dan (3) perbedaan pola pikir/persepsi tetang

rencana tata ruang.

Page 34: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

Permasalahan khusus dalam penataan ruang/pembangunan kota terkait dengan

konsep penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pembangunan kota. Dalam

hal ini perlu pemahaman terhadap aspek-aspek permasalahan spesifik yang

mempengaruhi perwujudan pemanfaatan ruang kota sesuai dengan rencana yang

ditetapkan, yang meliputi lima aspek, yaitu: manajemen lahan; lingkungan hidup

perkotaan; prasarana perkotaan; pembiayaan dan investasi; serta kerjasama

pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Dampak perkembangan perkotaan dalam kaitannya dengan keterbatasan ruang

perkotaan antara lain adalah konflik ruang, kebutuhan vs tidak efektifnya rencana tata

ruang. Dalam konteks ini, maka isu strategis yang menyangkut manajemen lahan

adalah bagaimana mengefektifkan manajemen lahan untuk dapat menunjang

implementasi rencana tata ruang kota, melalui instrument: Peraturan pemanfaatan

lahan, kebijaksanaan perpajakan, keterlibatan langsung masyarakat.

Berdasarkan kondisi saat ini dan kecenderungan di masa mendatang dapat

diidentifikasikan permasalahan strategis lingkungan hidup di perkotaan, yang

meliputi: Limbah rumah tangga, sampah, emisi kendaraan, dan polusi industri.

Keempat permasalahan ini dianggap strategis, karena dapat menurunkan terjasinya

masalah-maslah ikutan. Pengelolaan lingkungan perkotaan tidak dapat dibatasi oleh

wilayah administratif, tetapi harus dilihat dalam kaitannya dengan lingkungan hidup

yang lebih luas. Selain itu, pengelolaan lingkungan perkotaan merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dengan aspek-aspek pembangunan kota lainnya.

Rencana kota seringkali tidak efektif untuk mengarahkan pengembangan

prasarana perkotaan, karena jaringgan prasarana yang ada tidak memadai untuk

mendukung pertumbuhan kota, dan pengembangan prasarana yang terpaksa

mengikuti perkembangan yang sudah terjadi. Keterkaitan antara prasarana perkotaan

dengan tata ruang kota dapat dilihat dari kenyataan bahwa: (1) Jaringan prasarana

membutuhkan lahan, sehingga harus efisien; (2) sistem jaringan ini menjadi kerangka

Page 35: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

bagi struktur dan pola pemanfaatan ruang kota; (3) sistem jaringan tidak terikat pada

batas administrasi kota. Dalam kaitan ini, maslah yang terkait dengan prasarana

perkotaan mencakup: (1) Masalah teknis, kesulitan dalam praktik dan prosedur

perencanaan untuk mengkaitkan rencana tata ruang kota dengan pembangunan sistem

prasarana; (2) masalah kewenangan, daerah kurang memahami dan berperan dalam

koordinasi dan pemberlakuan Rencana Tata Ruang Kota; (3) masalah pendanaan oleh

lembaga sektoral prasarana masing-masing; dan (4) masalah teritorial, tiap jenis

prasarana dengan sistem teritori yang berbeda-beda.

Permasalahan dalam aspek pembiayaan yang terkait dengan perencanaan kota

adalah: (1) Kapasitas rencana belum mampu untuk mengakomodasi sistem ekonomi

kota, memberikan indikasi nilai ekonomi lahan, memberi arah pembangunan jangka

pendek/menengah, mendorong pengelola untuk mengeluarkan kebijakan pendukung;

(2) Pola pikir lahan terbatas dan kurang; padahal permintaan dinamis, mengacu

kepada kebutuhan pemerintah; (3) Sistem pendanaan belum terkait kepada rencana

kota; (4) Intervensi pusat, ketergantungan daerah; dan (5) Alokasi pemanfaatan yang

seringkali tidak didasarkan kepada kebutuhan pembangunan, tetapi kepada kebutuhan

dinas/sektor.

Permasalahan yang menjadi alasan perlunya kerjasama antara pemerintah,

swasta dan masyarakat adalah keterbatasan pemerintah sementara pihak swasta dan

masyarakat lebih berpotensi. Rencana yang melibatkan pihak swasta dan masyarakat

akan lebih efektif untuk menjadi daar kerjasama. Dalam pengembangan konsep

kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat, perlu dipahami adanya

kepentingan yang berbeda antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ditinjau dari

bidangnya kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, potensial dilakukan

untuk kegiatan pengembangan lahan skala besar serta pembangunan prasarana dan

pelayanan jasa lain. Pembangunan prasarana dan pelayanan kota yang dapat

dikerjasamakan antara lain adalah pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut,

Page 36: BOOK REPORT SOSDESKOT.docx

pelabuhan udara, sistem transportasi, air minum, persampahan, pariwisata, industri,

dan pasar/pusat perbelanjaan.