blakasuta

24
Edisi 14 Tahun 2008

Upload: anand-the-larose

Post on 19-Mar-2016

223 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Blakasuta Edisi 14 (POLMAS)

TRANSCRIPT

Edisi 14 Tahun 2008

Edisi 14 Tahun 2008

Edisi 14 Tahun 2008

Polmas atau COP (Community Oriented Policing), sebagai kegiatan perpolisian yang

melibatkan masyarakat telah diujiterapkan di beberapa negara seperti USA, Inggris, Kanada, Jepang dan Singapura, serta negara-negara lainnya.

Konsep perpolisian masyarakat (Community Policing) menurut Friedmann telah menghasilkan langkah penting dalam perbaikan strategi kepolisian yang berkaitan dengan bimbingan masyarakat. Konsep perpolisian masyarakat yang dirumuskan oleh beberapa seperti Trojanowicz (1998), Bayley (1988), Meliala (1999) dan Rahardjo (2001) secara garis besar menekankan pada pentingnya kerja sama antara polisi dengan masyarakat setempat. Dengan tujuan agar masyarakat mau dan mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri.

Tentu konsep Polmas yang diadopsi oleh Polri sekarang ini bervariasi, ada yang mirip sistem Koban atau Chuzaiso dari Jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura, atau Community Policing dari Amerika Serikat. Memang, konsep-konsep tersebut tidak bisa secara bulat-bulat diterapkan di Indonesia, karena budaya masyarakat kita juga berbeda.

Memang selama ini kita telah mengenal program Kamtibmas, semacam Siskamling Swakarsa. Ada yang mengartikan sebagai pemolisian masyarakat dan pembinaan Kamtibmas maupun Community Oriented Policing (COP). Namun setelah dikeluarkan Surat keputusan Kapolri No. 737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam penyelenggaraan Tugas Polri, maka sebutannya menjadi perpolisian masyarakat (Polmas).

Dengan berbekal Surat Kuputusan tersebut, baik di tingkat Polda maupun Polres, polisi mulai mendesain kegiatan Polmas dengan merangkul berbagai lapisan masyarakat. Setelah itu dibentuklah sejumlah FKPM (Forum Kemitraan Polisi Masyarakat) di beberapa tempat. FKPM sendiri merupakan wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat. Dengan mengedapankan kebersamaan baik dalam pikiran maupun tindakan. Melalui FKPM, polisi dan masyarakat membahas berbagai hal, bukan hanya soal keamanan, tetapi soal-soal masyarakat secara lebih luas.

Program Polmas yang lebih mungubah polisi dari berbudaya militer ke berbudaya masyarakat ini merupakan salah satu wujud masa

depan kepolisian Indonesia. Inilah yang diamanatkan Tap MPR No.VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 Tentang Kedudukan Polisi dan TNI.

Polmas Perlu DidukungPolmas sebagai sebuah gagasan,

berangkat dari ketidakpuasan masyarakat atas citra dan kinerja institusi penegak hukum. Dalam hal ini kepolisian dan juga keinginan internal kepolisian itu sendiri untuk merubah kultur, yang semula military policing (kultur militer) menjadi civilian and professional policing (kultur sipil). Polmas merupakan stimulan perubahan secara gradual dan sistematis dari sistem yang tertutup menjadi yang terbuka.

Dukungan terhadap Polmas perlu karena relevansinya dengan upaya mempromosikan nilai-nilai demokrasi khususnya berkaitan dengan partisipasi masyarakat. Selain itu untuk membangun serta mengembangkan kemitraan antara Polisi dan masyarakat.

Polmas memberikan ruang bagi pemberdayaan masyarakat (empowerment) terkait dengan upaya membangun kapasistas dan tanggung jawab bersama untuk mengatasi kriminalitas, pemberian layanan sosial, kenyamanan dan keamanan.

POLMAS dan Penanganan Trafiking

g e r b a n g

Oleh: Erlinus Thahar

Edisi 14 Tahun 2008

Polmas dan TrafikingKarena didesain sebagai

kebutuhan masyarakat, Polmas juga harus tanggap dengan isu-isu sosial aktual yang tengah hangat dibicarakan. Di beberapa tempat, isu yang muncul tak semata soal Kamtibmas dalam pengertian selama ini, tetapi mengangkat berbagai isu lainya, seperti pendidikan, politik hingga trafiking. Untuk isu dan kasus trafiking, terutama yang trafiking yang korbannya buruh migran atau TKI, maka para korban banyak yang berasal dari masyarakat pedesaan. Masyarakat yang menjadi basis kerja FKPM

Sebagai perbandingan, di Surabaya, melalui Pusham Unair, Polmas di sana selain menangani gangguan kamtibmas, juga mengedepankan kegiatan pencegahan dan penanganan trafiking. Terutama di tempat-tempat hiburan yang ada di Kota Surabaya. Untuk melakukan itu, mula-mula FKPM setempat memprakarsai audiensi dengan sejumlah pengusaha hiburan. Kemudian muncul kesepakatan

agar pengusaha hiburan tidak mempekerjakan perempuan di bawah umur.

Di Bali, Manikaya Kauci, Polmas mengangkat isu KDRT. Efeknya, banyak kasus-kasus KDRT yang terungkap. Yang semula hanya dianggap persoalan keluarga dan tak perlu dilaporkan ke aparat hukum.

Di Yogyakarta, melalui Pusham UII, saat bencana tsunami menggoyang gempa, Polmas berhasil mengerahkan polisi dan masyarakat, yang telah terjalin kerjasama sebelumnya, yakni dalam bahu-membahu mengembalikan Yogya pasca gempa dari puing-puing bencana.

Untuk kasus trafiking di beberapa tempat dengan adanya Polmas, partisipasi masyarakat dalam pengungkapan kasus trafiking meningkat. Di Aceh misalnya, Kapolres Persiapan Bener Meriah Aceh, Mayor Polisi Isfar Mochtarudin, mengungkapkan terbongkanyarnya sejumlah warga Bener Meriah yang menjadi korban trafiking di Malaysia, berkat laporan warga yang pernah mengikuti pelatihan Polmas.

Kasus-kasus trafiking yang terungkap, sebenarnya hanya permukaanya saja, kenyaataanya lebih banyak yang tidak terungkap. Masih banyak lagi kasus-kasus yang tak dilaporkan. Mungkin kasusnya dilaporkan, tetapi tidak diproses dan mengendap begitu saja. Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka, dalam beberapa tahun terakhir, begitu rentan terjadi praktek-praktek trafiking. Hanya sebagian kecil saja yang terungkap, dan lebih kecil lagi yang diproses di meja hijau, hingga pelakunya dihukum semestinya.

Rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan, lemahnya perhatian pemerintah setempat dan kurang tanggapnya aparat kepolisian di lapangan menjadi penyebab maraknya kasus trafiking. Maka seyogyanya, melalui program Polmas yang diselaraskan dengan gerakan anti trafiking, bisa menjadi titik bangkit sinergitas polisi dan masyarakat, dalam merespon kasus-kasus trafiking yang mengancam kita, khususnya perempuan dan anak-anak.***

g e r b a n g

Tertarik dengan isu-isu seputar perempuan dan Islam?

klik di:www.fahmina.or.id

Edisi 14 Tahun 2008

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang terlahir pada 1 Juli 2008 lalu, kini telah genap

berusia 62 tahun. Usia yang sangat dewasa, untuk ukuran usia manusia. Namun banyak kalangan memandang kematangan usia tersebut masih belum berbanding lurus dengan kematangan dalam profesionalitas kerja sebagai salah satu lembaga penegak hukum. Ini terbukti dengan masih banyaknya keluhan terhadap kinerja Polri, tanpa menafikan sejumlah keberhasilan Polri dalam penanganan kasus terorisme, pembalakan hutan, dan kasus-kasus lainnya.

f o k u s

Jalan Berliku Menuju

Polisi DemokratisSeiring bergulirnya reformasi, mau tak mau institusi Polri pun turut berubah. Berbekal dengan TAP MPR No VI dan VII tentang Pemisahan TNI dan POLRI dan UU No 2 Tahun 2002, ada desakan kuat agar Polri menanggalkan kultur militer yang melekat pada dirinya, yakni menjadi lembaga berkultur sipil dan pro rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai salah satu lembaga penegak hukum di negeri ini. Atas desakan berbagai kalangan serta keinginan internal Polri sendiri, maka dengan keluarnya Skep Kapolri No. 737/2005 tentang gerakan Perpolisian Masyarakat (Polmas), institusi Polri berupaya merubah paradigmanya. Namun ternyata tidak mudah untuk mewujudkannya. Potret buram masa lalu dan soal citra di masyarakat jadi beban tersendiri. Apakah Polmas bisa menjawabnya?

Soal citra, bagaimanapun Polri masih belum benar-benar lepas dari citra buruk terkait dengan sepak terjangnya di masa lalu. Ditambah lagi peristiwa beberapa tahun terakhir, di mana sejumlah oknum anggota polisi menembak mati orang-orang dekatnya, menembak mati atasannya, rekan seprofesinya, dan lainnya. Selain ini menandakan lemahnya pengawasan dalam penggunaan senjata yang menggambarkan trend mengkawatirkan. Kasus di Polres Jombang dengan pelaku Iptu Sugeng Triono (April 2005), kasus Briptu Hance di Polres Jombang (Maret 2007)

bisa disebutkan sebagai contoh.Dari data yang dihimpun

Indonesia Police Watch, sejak tahun 2005 ada tujuh kasus anggota kepolisian yang menembak mati orang-orang dekatnya. Mulai dari istri, mantan pacar, mertua, teman, atau atasannya sendiri. Sebagian besar korban penembakan lebih dari satu orang. Bahkan, dalam kasus penembakan oleh anggota Polres Bangkalan, Jawa Timur, Brigadir Satu Rifai pada 8 Maret 2007, ada empat orang yang menjadi korban. Ada persoalan walau masih kasuistis, pada pola pengawasan personel Polri itu sendiri, terutama pada aspek

Edisi 14 Tahun 2008

psikologis. Selain contoh di atas, dalam

penanganan beberapa unjuk rasa, yang berujung pada bentrok fisik, Polri cenderung disalahkan dan disudutkan. Sebut saja misalnya peristiwa bentrok dengan mahasiswa Universitas Nasional, awal Juli 2008 saat berunjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Belum lagi sketsa klasik polisi, soal suap-menyuap di jalan, pungli, kekerasan dalam penyidikan, salah tangkap dan sebagainya. Semua itu sekadar potret sejumlah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh Polri.

Memang tugas dan peran yang diemban Polri tidaklah ringan. Sebagai petugas hukum, polisi selain menghadapi tuntutan profesionalisme yang semakin menguat, juga berhadapan dengan dinamika sosial yang terus berkembang. Tuntutan profesionalisme ini terkait modus operandi kejahatan yang senantiasa berkembang. Sedangkan tantangan dinamika sosial juga menuntut Polri untuk terus berbenah diri. Dalam hal inilah kemudian dalam menjalankan tugas-tugasnya Polri juga merasa perlu berbagi dan melibatkan masyarakat. Gagasan perpolisian masyarakat pun mendapatkan momentum dan relevansinya.

Dari pengalaman di berbagai negara, konsep Civilian Oriented Policing (COP) atau Pepolisian Masyarakat (Polmas) ternyata mampu menumbuhkan hubungan kerjasama antara polisi dengan warganya. Hubungan tersebut dapat menumbuhkan kesadaran dan kepercayaan warga dalam membantu polisi mengidentifikasi, menanggulangi dan menyelesaikan sendiri masalahnya melalui keputusan dari warga itu sendiri.

Sebagai contoh misalnya, dengan menerapkan konsep Polmas, Polri di Kalimantan Barat (Kalbar),

seperti yang diberitakan harian KOMPAS Edisi 3/08/07, tahun 2007. Polisi di Kalbar semakin mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Salah satu indikator yang dapat dirasakan adalah dengan banyaknya pengaduan, dari perkara-perkara kecil sampai perkara besar. Bayangkan saja, suami-isteri yang rumah tangganya ribut lapor polisi, anak hilang lapor polisi, pencabulan, pemerkosaan, penipuan bahkan menanyakan alamat rumah saja ke kantor polisi. Belum lagi soal lain yang ditangani seperti narkoba, minuman keras, illegal logging, kejahatan perbankan, korupsi dan lain-lain. Indikator lainnya, citra yang lama terpatri seperti ungkapan ‘lapor kambing hilang, harus jual sapi’ juga secara perlahan terkikis. Peningkatan profesionalisme di jajaran Polda Kalbar mulai terasa saat gencarnya perubahan imej dari Bad Cop ke Good Cop.

Keberhasilan COP di YogyakartaRealitas serupa juga terjadi di

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), hal itu diungkapkan Eko Prasetyo, salah satu pengurus Pusat Studi HAM (PUSHAM) UII Yogyakarta. Eko mengungkapkan, kerjasama antara masyarakat dan Polisi di

Yogyakarta telah memberikan kontribusi dalam mengurangi angka kriminalitas, terutama di Jalan Malioboro hingga mencapai 30 persen. “Ini dalam hal deteksi dan pencegahan kejahatan. Dalam konteks ini, program Polmas di Yogyakarta memang benar-benar mengedepankan partisipasi masyarakat dan menempatkan polisi hanya sebagai fasilitator,” ungkap Eko dalam “Seminar Publik COP” yang diselenggarakan Fahmina Institute pada (16/6/08) lalu, di Hotel Bentani Kota Cirebon.

Eko juga menegaskan, hal tersebut menunjukkan FKPM di Malioboro cukup berhasil. Bukan saja aktif melakukan berbagai kegiatan dan penanganan masalah-masalah sosial, tetapi juga memiliki tempat khusus di mata masyarakat. “Sehingga kadang para pengurusnya dapat nonton gratis, ini luar biasa,” lanjut Eko menambahkan. Lebih jauh penulis buku ”Orang Miskin Dilarang Sekolah” ini menegaskan, letak keberhasilan FKPM di Malioboro adalah karena besarnya partisipasi masyarakat dan dukungan pemerintah, dalam hal ini pihak Keraton Yogyakarta Sri Sultan sekaligus Gubernur DIY.

f o k u s

Edisi 14 Tahun 2008

Realitas Polmas di Wilayah III Cirebon

Berbeda dengan Polmas di Kalbar dan Yogyakarta, Polmas di Cirebon nampaknya baru sekadar ada belaka, tetapi kerja-kerjanya belum berjalan efektif. Ini terungkap setelah dilakukan penelitian dengan metode Focus Discussion Group (FGD) di lima titik desa di wilayah III Cirebon yang dilakukan oleh Fahmina Institute tentang “Polmas:Membangun Kerjasama Polisi dan Masyarakat Untuk Cegah dan Tangani Tarfiking”. Menurut Iklillah Muzayyanah, salah satu tim peneliti dari Fahmina Institute, program Perpolisian Masyarakat (Polmas) dan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) memang sudah ada di setiap Polsek di wilayah kabupaten Cirebon. Sayangnya, kinerjanya masih belum berjalan efektif.

“Ini karena berbagai hal, seperti lemahnya komitmen pengurus FKPM dan petugas Polmas, kurang adanya kepekaan sosial, lemahnya SDM dan tidak adanya strategi untuk menjaga keberlangsungan, serta persoalan pendanaan,” papar Iklillah. Selain kendala-kendala eksternal tersebut, lanjut Iklillah, citra polisi di masyarakat yang masih cenderung ‘miring’. Kurangnya dukungan dan kesadaran masyarakat, juga menjadi kendala utama ketidakefektifan FKPM di Kabupaten Cirebon seperti Majalengka, Indramayu, Gebang, Kuningan dan beberapa daerah Kabupaten Cirebon lainnya.

Minimnya Sarana dan PrasaranaRealitas terkait kondisi Polmas

serta sejumlah kendala tersebut, juga diakui sejumlah Kepala Bagian (Kabag) Bina Mitra dan petugas Polmas. Kabag Bina Mitra Polres Kabupaten Cirebon, Kompol R. Fahrudin M misalnya, mengaku persoalan anggaran bukanlah kendala utama dalam kerja-kerja Polmas. “Karena selama ini kita kesulitan di masalah sarana dan prasarana. Terutama untuk mobilitas, seperti

sekarang kita belum punya mobil khusus untuk ke lapangan. Padahal ranah kerja kita sangat luas,” ungkap Fahrudin ketika ditemui Blakasuta di ruang kerjanya, pada Selasa (12/8/08) lalu. Dia juga berharap anggaran Polmas dimasukkan dalam APBD.

Terlepas dari berbagai kendala yang muncul, Fahrudin mengaku begitu banyak mendapat dampak positif dari Polmas. Seperti partisipasi masyarakat dalam tugas-tugas kepolisian. “Secara pribadi dan organisasi, saya bisa merasakan dampak dari Polmas. Kemajuan dari pelayanan polisi ini sudah banyak yang dilakukan. Tapi tetap butuh pendapat dan penilaian dari masyarakat,” ungkap dia.

Sebetulnya, lanjut Fahrudin, Polmas mengajak masyarakat untuk berfikir dan bertindak seperti polisi. Masyarakat juga sebenarnya bisa mensosialisasikan Polmas, sehingga tindakan masyarakat ini muncul dari hati nurani sendiri. “Karena pada dasarnya organisasi Polmas di masyarakat itu sudah terbentuk sendiri. Sebelum munculnya Polmas, sebenarnya masyarakat sudah memiliki ruh Polmas. Seperti di Cirebon, pernah ada Paguyuban Masyarakat Cirebon,” ujarnya menambahkan.

Selama ini Bina Mitra Polres Kabupaten Cirebon telah memberikan penyuluhan-penyuluhan. Seperti kepada para tukang ojek agar jangan memilih Golput, serta memberikan penyuluhan di sekolah-sekolah tentang bahaya narkoba. Selain itu juga memberikan selebaran, serta sejumlah aksi lainnya. “Kita juga mengadakan dialog interaktif di radio. Jadi dari situ kita benar-benar nyata mengetahui keluhan dan keinginan warga. Mereka bebas, mau tanya apa saja, saya selalu menjawab dengan senyum,” jelas Fahrudin.

Fahrudin juga mengakui, selama ini citra polisi di masyarakat masih ‘miring’, banyak masyarakat yang masih merasa takut untuk bekerjasama dengan polisi. Menurut

dia, hal itu tidak terlepas dari masalah internal di kalangan polisi sendiri. “Dalam hal ini, kami harus bekerja keras merubah imej itu. Setelah reformasi kepolisian, kami benar-benar menekankan kepada seluruh polisi agar mau menyapa, dengan tetap ramah. Jadi semua itu ada tatakramanya, seperti senyum sapa dan salam.”

Mengubah kultur, butuh waktu lama

Tidak jauh berbeda dengan Bina Mitra Polres Cirebon, hal senada juga diungkapkan Kabag Bina Mitra Polres Indramayu, Kompol Suhiro SH. Kendati mengaku belum maksimal, tetapi Bina Mitra di bawah pimpinan beliau menjelaskan selain memberikan penyuluhan, pelatihan, pembinaan di sekolah-sekolah, serta mendatangi rumah warga secara door to door, Bina Mitra Polres Indramayu juga telah membentuk 22 FKPM. Baginya, perubahan terkait kultur polisi, sikap-sikap dan karakter polisi yang dicitrakan buruk, memerlukan proses dan waktu cukup lama.

“Yang pasti, perubahan ini diharapkan mampu mengikis habis pandangan terhadap Polri. Kita juga harus konsentrasi pada pembinaan terhadap Polri. Pembinaan terhadap masyarakat, seperti Siskamling, pengawasan terhadap jasa keamanan. Karena sebelumnya, Polmas identik dengan Siskamling,” ungkap Suhiro ketika ditemui Blakasuta di ruang kerjanya, pada Kamis (14/8/08) lalu.

Jadi, lanjut dia, Babinkamtibmas akan selalu ada dan berbaur dengan masyarakat untuk menanggulangi gejolak sosial. “Selama ini kami tidak meminta ataupun menuntut apapun pada masyarakat. Kami hanya menerima, baik informasi, masukan, maupun keluhan dari masyarakat,” papar dia perlahan.

Dengan adanya Polmas, Suhiro berharap pernyataan ‘miring’ tentang polisi semakin hilang. “Kami juga berharap, semakin banyak lagi masyarakat yang mau terbuka dan

f o k u s

Edisi 14 Tahun 2008

mau bekerjasama dengan polisi,” tandas Suhiro.

Dari Door to door hingga menjadi guru TK

Biasanya FKPM dibentuk khusus untuk daerah-daerah tertentu yang rawan pencurian, serta yang dianggap tingkat kasus kriminalitasnya cukup tinggi. Bina Mitra bermitra dengan masyarakat baik dengan kelompok agama mau pun lembaga pendidikan. Bina Mitra Indramayu juga memprioritaskan penyuluhan hingga ke home industries. Diakui Suhiro, dampak Polmas benar-benar terlihat dalam pelayanan yang cukup ekstra kepada masyarakat. “Kami juga membuka layanan call center, dan selama ini sudah berjalan efektif. Hampir setiap hari kami mendapat laporan-laporan dari warga, karena setiap hari kami selalu mendatangi warga, baik yang sedang ngumpul-ngumpul, maupun yang di rumah-rumah” ujar dia.

Selain persoalan sarana dan prasarana yang menjadi kendala dalam kinerja Bina Mitra, persoalan kemampuan personil untuk mengkomunikasikan kepada warga juga masih kurang. Seperti halnya kemampuan memberikan penyuluhan lewat acara seminar maupun pelatihan di depan audiens. “Kalau

dalam hal anggaran, itu tidak terlalu menjadi kendala. Namun kami lebih banyak bersilaturrahmi ke rumah-rumah warga. Karena dari situ kami mendapat informasi baik tentang trafiking, KDRT, maupun pencurian,” tandas Suhiro mengakhiri.

Sementara itu petugas Polmas Polsek Babakan Gebang Kab. Cirebon, Bripka Guruh Mulia Indarto, mengaku baru tahap pembentukan FKPM, sehingga belum memperlihatkan hasil kerjanya. “Namun beberapa tahun terakhir ini, kami melakukan program khusus untuk lebih dekat dengan masyarakat, yaitu Polisi Sahabat Anak (PSA),” ungkap Guruh ketika ditemui Blakasuta dalam acara pelatihan Polmas “Pelatihan Perpolisian Masyarakat (Polmas): Membangun Kemitraan Polisi dan Masyarakat” yang diadakan oleh Fahmina Institute, di Hotel Sunyaragi, Senin-Rabu (25-27/8/08) lalu.

Program Polisi Sahabat Anak (PSA) adalah salah satu program untuk mengubah citra buruk polisi di masyarakat. Dalam program tersebut, anggota Bina Mitra Kapolsek Gebang dituntut untuk mengajar laiknya seorang guru taman kanak-kanak (TK). “Jadi kami mengajar di TK yang ada di Kecamatan Gebang setiap dua minggu sekali, pada hari Rabu,” ujar

dia. Dengan program PSA tersebut, Guruh mengaku masyarakat terutama anak-anak mulai mau menyapa dan berkomunikasi lebih akrab dengan polisi. “Sedikit demi sedikit kita akan berubah, agar Polisi itu jangan ditakuti,” jelas Guruh menambahkan. Kini, Guruh mengaku tidak hanya disapa dengan “Pak Polisi”, tapi juga disapa dengan sapaan “Pak Guru”.

Baginya, pada dasarnya Polisi sudah akrab dengan masyarakat. “Tapi masyarakat masih takut. Dengan adanya Polmas, ini akan semakin membantu. Saya punya 13 desa. Kekuatan personil kurang lebih 20 orang. Di 19 desa tersebut, Babinkamtibmas (sekarang petugas Polmas) ada 9 orang. Kita juga ada SK dan tunjangannya, perbulan Rp. 100.000,” paparnya. Sedangkan realitasya, kata Guruh, anggota Babin kerjanya lebih sering merangkap, anggota Serse. Sehingga kerja mereka juga tidak lancar.

Guruh meminta saran sebanyak-banyaknya pada warga, agar bisa melakukan perbaikan-perbaikan. Karena, sampai sekarang gerakan Polmas di Gebang sendiri belum ke kampung-kampung secara menyeluruh. Pelaksanaan juga belum berjalan lancar. Sumber daya di FKPM itu belum mampu dan menunjang. Termasuk bagaimana caranya menyelesaikan masalah dan menghadapinya. Maka menurutnya, pelatihan tentang fungsi FKPM juga perlu banyak di lakukan di kalangan masyarakat. “Dengan segala keterbatasan kita terus berupaya. Salah satu upaya yang bisa kita lakukan selama ini membuat call center. Pos pengaduan. Melalui call center ini dan FKPM yang ada benar-benar membantu kami di lapangan.”

Munculnya berbagai kebijakan, dari TAP MPR sampai Surat Keputusan Kapolri, dari sosialisasi hingga pelatihan, dari membangun pos pengaduan hingga menjadi guru TK, merupakan upaya keras mewujudkan polisi yang demokratis, dan dekat dengan rakyatnya.

f o k u s

Edisi 14 Tahun 2008

Akbarudin SuciptoKetua RT 02 Mandalangan Cirebon

“Polisi Harus Tegas Say No to Calo”Menurut saya, kinerja polisi masih butuh waktu dan proses panjang. Apalagi polisi sendiri punya pencitraan minor di masyarakat. Butuh waktu untuk mempertemukan itu. Sekarang yang jadi persoalan, soal relasi dengan polisi, masyarakat sudah terlanjur punya pandangan “masa sumur marani timbah?” Kenyataannya memang seperti itu, sekarang ada pergeseran, yang butuh siapa?. Sepertihalnya masalah sosialisasi, padahalkan dari polisi sudah ada unit-unitnya. Realitasnya, kalau tidak ada laporan, tidak ada tindakan dan tidak ada kerja.

Sebetulnya, semua anggota polisi itu, harus menjiwai apa itu Polmas. Kalau orangnya, ada yang bertugas sebagai petugas Polmas atau Babinkamtibmas, kemudian FKPM, bukan unit organisasi semata-mata. Di sini kita bisa menggunakan pranata sosial yang ada. Malah sekarang kecendrungannya menjadi anggota FKPM merasa lebih polisi dari pada polisinya. Ini yang salah kaprah. Jadi, pada dasarnya masyarakat itu butuh polisi, karena masyarakat butuh ketrentaman. []

Amin SyaifulAktivis LSM Banati

“Polisi Harus Berani Ubah Kultur”Polisi sebaiknya cepat-cepat koreksi diri. Dan yang terpenting mau merubah kultur dari kultur militer ke sipil. Caranya dengan pendekatan preventif, selain itu juga mengetahui kebiasaan dan kesenangan masyarakat. []

Masripah SalyaAktivis forum keluarga buruh migrant Indonesia (FKBMI)

“Polisi Harus Ubah Citra Ujung-Ujungnya Duit”Selama ini jika berurusan dengan polisi, anggapan UUD (ujung-ujungnya duit- red) itu masih lekat. Seakan-akan persoalan itu bisa terselesaikan hanya dengan uang. Itu yang harus dikurangi. Dengan anggapan seperti itu akibatnya masyarakat yang ingin minta bantuan pada polisi, selalu merasa takut.

Kami berharap, dengan gerakan Polmas, berbagai persoalan masyarakat terminimalisir. Apalagi dalam hal penanganan TKI/TKW yang bermasalah. Paling tidak dengan campur tangan polisi, para calo nakal dapat ditindak dengan tegas, agar lebih berhati-hati dalam mengirim orang ke luar negeri. []

Apa Kata Mereka Tentang Polmas?

Namun apalah artinya sebuah upaya jika semua komponen bangsa ini tak mampu bersinergi. Sebagai sebuah upaya perubahan, baik secara strategi maupun filosofis, sudah seharusnya kita meyakini

Polmas sebagai pintu utama mewujudkan polisi yang benar-benar milik rakyat. Karena dengan Polmaslah, polisi dan rakyat benar-benar menjadi mitra sejajar. Bahu-membahu mengatasi

berbagai persoalan, tidak hanya soal kriminalitas tetapi juga problem sosial lainnya. Bagi Polri ini tugas tak ringan dan amanah yang mesti diemban, bagi rakyat ini adalah harapan. (a5,ET)

Edisi 14 Tahun 2008

�0

Mawar (18 th), Melati (22 th), dan Dahlia (28 th) --bukan nama asli --asal

Cirebon, tak pernah membayangkan sebelumnya jika mereka akan menjadi korban perdagangan perempuan.

Dengan mudah mereka terbujuk rayu oleh calo yang baru mereka kenal. Tanpa menaruh rasa curiga, ketiga perempuan ini langsung percaya kalau mereka akan dipekerjakan sebagai pelayan sebuah kafe di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Dua calo tersebut semula berlagak baik. Mereka suka memberi pinjaman uang. Kemudian, mereka diiming-iming uang 1 juta rupiah. Mereka pun langsung tergiur.

“Ketika kami dikasih uang, kami disuruh belanja untuk membeli baju dan kosmetik. Setelah selesai, kami langsung berangkat dengan menggunakan bus dan diantar oleh laki-laki yang baru kami kenal,” kata Dahlia. Mereka bertiga berangkat

Mencoba Tegar di Tengah Ketertindasan...

l a p o r a n k h u s u s

pada tanggal 29 Mei 2007.Sesampai di Lubuk Linggau,

mereka langsung dipaksa menandatangani surat perjanjian kerja. “Kami kaget ketika baca isi kontrak tersebut, ternyata kami akan dijadikan PSK (Pekerja Seks Komersial), bukan pelayan kafe seperti yang dijanjikan sebelum berangkat,” ujar ibu dari satu anak itu.

Awalnya, mereka menolak, tapi sang bodyguard yang bertubuh kekar dan bermuka sangar memukuli mereka. Akhirnya, ketiganya pun menandatangani surat tersebut. “Kami ditempatkan di sebuah lokalisasi. Tanpa istirahat terlebih dahulu, kami langsung disuruh kerja. Kalo kami menolak, kami akan dipukul dan ditendang,” kenang sedih Dahlia yang bercerai dengan suaminya sebelum berangkat. Dalam sehari, mereka disuruh melayani 8-10 laki-laki, dan tidak boleh keluar

kamar. Bodyguard selalu berjaga-jaga di luar kamar mereka.

Yang paling mengenaskan adalah Melati. Karena masih perawan, ia sampai mengalami pendarahan. “Kami hanya dikasih makan 1 hari sekali. Setelah laki-laki itu puas menikmati tubuh kami, mereka langsung pergi tersenyum puas. Kami tidak pernah dikasih bayaran, karena laki-laki yang datang langsung membayarnya ke germo,” sambungnya.

Kehidupan di lokalisasi itu dijalani selama sepuluh hari. Beruntung, pada suatu hari Dahlia berhasil menghubungi keluarganya via handphone dengan sembunyi-sembunyi di kamar mandi. Keluarga korban langsung dengan lapor ke polisi. Polisi bekerjasama Fahmina Institute langsung menjemput korban dan menangkap calo yang tinggal di Cirebon. Tetapi, ketika polisi sedang dalam perjalanan menuju

Kisah Pilu 3 Perempuan Korban Trafiking

Edisi 14 Tahun 2008

��

Lubuk Linggau, informasi itu bocor. Akibatnya, ketiga korban langsung diusir oleh germo.

“Kami diusir dengan sangat kasar, ditampar, dipukul, dan ditendang. Kami segera pergi dengan bus ke arah Tebing Tinggi. Sesampainya di sana, kami turun di salah satu warung makan. Kami istirahat dan terus berkomunikasi dengan polisi yang akan menjemput kami. Untungnya, pemilik warung sangat baik, mereka memberi tumpangan sampai polisi datang,” kenang Dahlia.

Kasus terkatung-katung dan harus melewati 7 kali persidangan

Akhirnya, ketiganya dibawa pulang oleh polisi dan bisa bertemu kembali dengan keluarganya di Cirebon pada tanggal 12 Juni 2007. “Kami bersyukur bisa berkumpul lagi dengan keluarga,” tutur Dahlia sambil tersenyum. Nasib ketiga perempuan ini lebih beruntung dibandingkan dengan ratusan perempuan lain yang masih tertahan di lokalisasi tersebut. “Mereka diperlakukan seperti budak dan terus dipaksa melayani laki-laki siang dan malam. Kami lebih beruntung”, ungkap Dahlia. Setelah kejadian naas tersebut, kasus Dahlia, Mawar, dan Melati diproses di Pengadilan Negeri Sumber, Kabupaten Cirebon, meskipun terkatung-katung sampai melewati tujuh kali persidangan.

Pelaku kejahatan sendiri kini dijerat dengan UU No 21 tahun 2007 Pemberantasan Tindakan Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Kurang puas dengan vonis tersebut, rencananya jaksa penuntut umum, Nita SH mengajukan upaya naik banding.

Mawar, Melati dan Dahlia adalah gadis lulusan SLTP. Mawar sejak kecil anak yatim. Ibunya berjualan sayur keliling kampung. Ia menikah dengan mantan kekasihnya

yang menganggur, tapi dijadikan istri kedua. Melati adalah anak sulung dari delapan bersaudara. Ayahnya berprofesi sebagai tukang becak, namun dua bulan yang lalu ditabrak mobil hingga kakinya retak. Dahlia, anak ke-3 dari 10 bersaudara, ayahnya adalah tukang las. Dahlia menikah ketika berusia 16 tahun. Dia memiliki seorang putri yang kini berusia 12 tahun. Ia bercerai dengan suaminya ketika anaknya berusia 6 tahun.

Kendati mereka bisa kembali berkumpul dengan keluarganya, tetap saja mereka adalah korban. Tidak bisa begitu saja dikatakan beruntung, kendati dibandingkan ratusan

perempuan lain yang masih tertahan di lokalisasi tersebut. Perempuan-perempuan tersebut diperlakukan seperti budak dan terus dipaksa melayani laki-laki siang dan malam.

Perlu kerjasama jaringan untuk Tangani Trafiking

Kasus di atas adalah salah satu dari beberapa kasus yang pernah didampingi Fahmina. Dalam melakukan upaya pencegahan, penanganan dan pendampingan

korban kejahatan trafiking yang berlatar belakang buruh migran, Fahmina selalu bekerja sama dengan berbagai lembaga seperti FKBMI Indramayu dan FWBMI Cirebon. Melalui kedua lembaga inilah, kontak dengan lembaga-lembaga lain seperti SBMI dan Migran Care dilakukan. Dua lembaga tersebut untuk penanganan kasus buruh migran cukup punya kontak kuat dalam penelusuran kasus di luar negeri.

Dalam kasus trafiking lokal seperti kasus di atas, Fahmina bekerja sama dengan LBH APIK Palembang, karena kasus ini TKP-nya di Lubuk Linggau, Fahmina menghubungi

jaringan yang ada di Palembang. Meski hasilnya belum maksimal, karena pelaku utamanya akhirnya dinyatakan DPO, namun sebagai langkah awal sebuah penanganan kasus trafiking, kerjasama jaringan bisa menjadi upaya mempermudah penanganan kasus-sasus trafiking.

Ketika kasus di atas telah memasuki tahap penyidikan dan peradilan, Fahmina dengan teman-teman jaringan antitrafiking yang lain, melakukan pendampingan dengan menemani korban ketika menjadi saksi. Dalam hal ini Fahmina memberi dorongan moril, dan memotivasi mereka untuk meneruskan kasus ini ke proses hukum. Dengan demikian mereka sesungguhnya telah menjadi pahlawan yang memberi

peringatan keras kepada para calo dan pelaku trafiking, khususnya di wilayah Cirebon.

Sesungguhnya masih banyak Mawar, Melati dan Dahlia yang lain. Yang masih tersekap di barak-barak penyekapan, yang masih dalam perja-lanan entah ke mana, yang tak sadar akan jebakan yang menjerat mereka. Kasus di atas hanya sebuah fragmen, yang paling tidak bisa menyadarkan kita, bahaya trafiking selalu saja mengancam entah dari mana. Jangan diam, mari kita lawan! (ET,AP)

l a p o r a n k h u s u s

Edisi 14 Tahun 2008

��

Selama kurang lebih lima tahun (sejak tahun 2002) seorang penyair Indramayu, Acep

Syahril melakukan ”pemburuan” terhadap surat-surat yang dikirim oleh para TKW (baca: buruh migran) asal Indramayu. Acep berniat surat-surat dari TKW itu kelak akan diterbitkan menjadi sebuah buku. Dari buku inilah ia berharap agar para calon TKW khususnya dan pemerintah serta masyarakat umumnya dapat mencercap hikmah dari pengalaman empiris dan bercermin langsung dari air mata mereka.

”Selama ini air mata mereka tidak tertampung di tempayan. Tapi mengalir dalam keranjang dan mengering tanpa bekas di antara

Oleh : Sapta Guna*

tumpukan dolar atau rupiah yang ikut mewarnai perekonomian negeri yang korup ini,” ujar Acep kepada penulis suatu ketika.

Mengumpulkan surat-surat TKW dari keluarga atau saudara mereka tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Acep harus mampu menembus birokrasi keluarga atau saudara mereka. Maklum, di samping sifatnya yang privacy, para keluarga TKW juga khawatir jika surat-surat itu nantinya akan disalahgunakan atau dimanfaatkan. Namun dengan tabah, ia melakukan berbagai upaya. Salah satunya melalui pendekatan dengan paman, bibi, atau saudara TKW yang ia kenal.

Ia akhimya berhasil mengum-pulkan 389 surat dari 148 responden.

Surat-surat itu berasal dari TKW yang bekerja di Qatar, Riyadh, Malaysia, Taiwan, Abudhabi, Bahrain, Jordania, Saudi Arabia, Damascus, Singapura, Dubai, Bisha, Shaija, Fujerah dan Barka.

Pengirim surat yang bekerja di berbagai negara itu berasal dari desa di wilayah Kabupaten Indramayu seperti dari Sliyeg, Karangampel, Sindang, Kedokan Bunder, Losarang, Krangkeng, Juntinyuat, Cikedung, Balongan, Tukdana, Widasari, Arahan, Bangodua, Anjatan dll.

Penulis merasa beruntung karena dipercaya untuk menjadi editor buku yang berisi surat-surat dari TKW ini. Beruntung karena penulis seperti diajak langsung merasakan aliran air mata yang dialami oleh tenaga kerja

Paket Air Mata TKW Kota Mangga

o p i n i

Edisi 14 Tahun 2008

��

wanita di sana. Memang, berita mengenai

penderitaan tenaga kerja wanita kerap dilansir di media masa, baik di media cetak, maupun layar kaca. Akan tetapi membaca berita dengan membaca surat-surat mereka berbeda. Berita lebih bersifat selintas (karena keterbatasan kolom/waktu) dan mengedepankan unsur tragik (karena tuntutan norma berita).

Sementara surat lebih bersifat kronologis, humanis, orisinil dan yang penting ia menuangkan seluruh magma kegelisahan jiwa pelakunya.

BaikIah, penulis akan mengutip surat yang ditulis oleh seorang TKW dari Kedokan Bunder untuk suaminya. Surat-surat tersebut ditulis dalam bahasa Jawa Indramayu, namun untuk mempermudah pembaca memahaminya, sengaja ditulis dalam bahasa Indonesia.

(…………….. Mas, Anah di sana perutnya kambuh terus. Karena naik turun dari tingkat. Apalagi kalau sedang haid. Pokoknya tersiksa sedangkan majikan tak mau mengerti. Kadang-kadang dibawa berobat, katanya potong gaji. Itu pun tetap saja tidak sembuh.

Mas, bagaimana kalau Anah pulang saja. Marah tidak keluarga Bapak? Karena Anah tersiksa kerjanya sangat cape, Diombang-ambingkan melebihi batas.

Anah kerja di tiga rumah. Bayangkan Anah tenaganya tidak kuat. Makanya boro-boro sembuh malah tambah kambuh. Mas, tiap hari Anah berurusan dengan majikan. Karena majikan rewel, sampai-sampai kaki Anah disiram dengan air panas baru mengambil dari kompor gas. Anah sampai menangis.

Majikan Anah sudah tua, tapi ganas. Anak laki-lakinya saja kalau dimarahi sampai habis-habisan. Anah kalau berurusan dibela oleh anak-anaknya. Sampai-sampai tidak diberi makan karena membela saya. Mas, majikanku kikir tidak diberi apa-apa.

Majikan Anah melarat, saya saja yang memberi gaji anaknya.

Mas, anah difitnah disangka kencing di dapur serta disangka buang ingus di dapur. Sayang saya belum bisa ngamong lancar (bahasa Arab), meskipun begitu saya lawan saja.

Gara-gara urusun mencuci piring saya mau dibawa ke kantor polisi. Tapi Anah tidak takut. Malah tertawa Dasar majikan Gila!........ ) ”

Sengaja surat Anah penulis kutip agak panjang. Karena surat Anah dapat dikatakan sebagai ”nada dasar” korespondensi kesedihan pada TKW-TKW pada umumnya.

Kesedihan yang kerap kali dialami oleh TKW antara lain kerinduan kepada keluarga di Indonesia, kekerasan yang dilakukan

majikan, volume pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian, pelecehan seksual, penyiksaan, gaji yang tidak dibayar dan lain-lain.

Selain Anah, TKW yang rajin menginformasikan kemalangannya melalui surat adalah Yani. Gadis belia yang hanya tamatan SD ini dengan panjang lebar menuliskan kemalangannya: inilah salah satu kutipannya:

“Pak, Yani dapat majikan kurang baik dan jahat, sering mukul. Dan Yani kerjanya berat sekali. Yani ngurusin rumah empat. Gede-gede lagi. Belum lagi Yani dicaci maki serta dipukul sama Mama (panggilan untuk majikan perempuan). Terus Yani nggak ada yang namanya istirahat Yani disuruh kerja terus dan keluarga majikan bertengkar terus. Nggak sama anak-anaknya sama suaminya. Terus yang jadi sasaran Yani. Yani tiba-tiba dimarahin serta dipukul

nggak tau apa yang salah. Oh ya, Yani juga pernah diliatin (dihunuskan) pisau (di) leher Yani, Yani udah pasrah kalau Yani mati…… “

Wirid, Dukun dan KyaiJarang diungkap di media masa

bahwa tradisi meminta pertolongan kepada kyai atau dukun telah menjadi ritual bagi banyak TKW. Mereka biasanya memohon doa, ajimat, air, minyak sebelum mereka berangkat atau, ketika menemui masalah di negara tempat kerja dan tatkala pulang ke negerinya.

Bagi mereka yang tergolong sukses biasanya mereka melakukan ritual bancakan (membagikan nasi urab, ikan asin, tempe dan yang semacamnya) memberi pecingan

(bonus) dan lain-lainDi desa Gadingan

ada tradisi menarik bahwa setiap TKW yang baru datang biasanya mereka menyisihkan sebagian rejekinya untuk kepentingan masjid setempat. Tradisi meminta pertolongan kepada dukun seakan meneguhkan betapa

rentannya keberadaan mereka. Mereka seolah sedang mamasuki rimba gelap tanpa ada kompas yang menjadi pegangannya.

Untuk mengetahui hal ini baiklah saya akan kutip kembali sebuah surat yang berisi tentang permohonan pertolongan kepada dukun:

“…………. Pa,k tolong syaratana (Minta doa kepada kiyai atau dukun) Yani, gimana supaya mereka menjadi baik dan apa yang diomongin yani mereka nurut. Soalnya Yani pengen ada temen kerja.

Oh ya, terutama Mama (majikan perempuan) yang paling jahat yang sering mukul. Terus anak-anak serta Baba (majikan laki-laki). Bikin mereka jadi kasihan dan baik.

Pak, semua minyak (minyak pemberian dari dukun, pen) dan besel (kain yang berisi azimat) dari

o p i n i

Edisi 14 Tahun 2008

��

Pangurangan itu nggak mempan. Jadi tolong mintain yang paling pinter kiyainya tolong cepet-cepet jalukakan Yani. Yani udah nggak tahan………”

Beberapa bulan kemudian Yani kembali mengirimkan surat, berikut kutipannya:

“.......Kok nggak ada perubahan-perubahan, katanya sudah disyaratin (di doakan). Malahan Mama tambah parah saja. Juga Baba sekarang sifatnya sama kaya Mama.....

Oh ya Yani mau bilang, kalau Mama pernah sifatnya robah. Tiba-tiba baik sama Yani, tepatnya pada tanggal 25 Januari 2005. terus Yani berpikir mungkin di rumah lagi disyaratin. Tapi Cuma empat hari Mama baik sama Yani (selanjutnya) kok nggak ada perubahan-perubahan sama sekali, malahan tambah parah. Bapa tolong deh cari (kiyai, dukun) kemana kek, yang lebih manjur syaratnya. Tapi kalau seandainya Ema, Bapa sudah angkat tangan ya sudah lah Yani sudah pasrah”.

Pelecehan SeksualDari ratusan

surat-surat yang berhasil dikumpulkan, hanya ada 4 surat yang bertema tentang pelecehan seksual. Adagium yang menyatakan bahwa merekonstruksi (membayangkan, menceritakan ataupun menuliskan) pelecehan seksual, pemerkosaan adalah sama dengan pemerkosaan itu sendiri agaknya masih dirasakan oleh sang korban.

Namun di antara mereka ada

yang masih memiliki energi batin untuk menuliskan pelecehan seksual. Surat itu kemudian dikirimkan kepada rekannya yang saat itu masih sama-sama menjadi TKW. Berikut kutipannya:

“........... Kamu tahu nggak walaupun umurnya belum seberapa kalau otaknya (anak majikan) udah ngeres!

Tahu nggak gokilnya lagi dia ngajak aku kencan, sebentar katanya, lalu dia

kasih aku uang. Tapi aku nggak mau dengerin dia. Karena menurutku dia masih ingusan.

Lebih parah lagi waktu aku lagi cuci piring, dia pegang aku dari belakang, ”burungnya” itu lho dia dekatkan ke kepalaku, langsung saja aku tampar

mukanya. Lalu aku siram pakai air, tapi dia tetap cengar-cengir. Aku katakan saja bahwa kamu gila. Dia juga suka banget waktu itu nyolek pantatku, aku marah tapi dia tetap begitu ………. “

Selain pelecehan seksual hal yang cukup menyiksa batin adalah rasa rindu yang mencekam terhadap kampung halaman.

Dapat dibayangkan, mereka pada umumnya tidak memiliki

pengalaman merantau, belum menguasai bahasa asing, belum banyak wawasan budaya bangsa lain, tiba-tiba dia terjun langsung ke ”alam yang baru” tanpa perbekalan yang memadai.

Karena itu tidak sedikit TKW yang pulang dari negara tempat dia bekerja menjadi depresi bahkan gila.

Untuk mengusir rasa kangen terhadap keluarga dan kampung halaman biasanya TKW melakukan berbagai upaya. Inilah diantaranya :

(………. ‘Dik Uum tolong bawakan kaset untuk Kak Sum ”Basah-basah”, ”Kumbah-Kumbang”, ”Mabuk Janda”. Terus (aku) minta ”Peterpan ” pokoknya minta yang banyak. Sum-nya ingin mendengarkan lagu-lagu Indonesia.

(Kaset apa saja titipkan yang banyak lho) biar lagu-lagu lama juga. Terus kaset lagu-lagu jawa, terus kamera Kak Lia. Terus Sum ingin melihat poto-poto kumpulkan terus titipkan. Okey! .... terus poto-poto waktu reuni Kang Sum sekolah”.

o p i n i

Edisi 14 Tahun 2008

��

Demikianlah, membaca surat-surat dari TKW, saya seperti mendapat kiriman paket air mata dari negeri seberang. Air mata itu dikirim oleh ”pahlawan devisa” yang ingin merubah nasib kehidupan dirinya dan keluarganya. Istilah pahlawan devisa sepintas seperti mengolok-olok. Padahal mereka memang layak disebut pahlawan. Betapa tidak, mereka bersedia mengorbankan jiwa dan raganya untuk perubahan kemanusiaan jumlah mereka tidak sedikit.

Menurut data dari FKBMI (Forum Kornunikasi Buruh Migran Indramayu) jumlah buruh migran asal Indramayu mencapai 60.000 orang. Berdasarkan dari Pos & Giro Indramayu tercatat sedikitnya menerima 4.500 surat biasa, 2.000 jenis surat tercatat dan 1.500 jenis ekspres mail service (EMS) dalam setiap bulannya.

Sedangkan untuk pengiriman uang melalui western union sebanyak 3.000 transaksi dengan nilai rata-rata Rp. 10 milyar setiap bulannya. Jumlah ini belum termasuk transaksi

*) Penulis adalah Penulis buku dan Kolumnis di beberapa media lokal maupun nasional. Profesi sehari-harinya sebagai Pengawas Pendidikan Agama Islam di Kantor Depag Kabupaten Indaramayu dan menjadi guru Bahasa Indonesia di SMA NU Indramayu.

o p i n i

yang dilakukan oleh bank-bank yang jumlahnya kemungkinan jauh lebih besar.

Sebagai pahlawan, alih-alih mereka mendapatkan ”bintang jasa”, malah yang sering mereka terima adalah perlakuan pemerasan, penipuan, dan penyiksaan. Faktor pendidikan disinyalir sebagai salah satu faktor yang menyebabkan posisi mereka menjadi rentan. Umumnya hanya tamatan SD dan sedikit dari SMP atau MTs. Dalam akhir surat yang penulis baca, tidak sedikit mereka menuliskan pantun seperti ini: Makan jeruk makan delima//Minumnya dengan coca cola //Tulisan buruk jangan dihina//Maklum tidak sekolah.

Menurut beberapa aktivis buruh migran posisi rentan para TKW/TKI ini bisa diantisipasi dengan pembekalan informasi dan ketahanan warga. Pembekalan informasi itu antara lain bagaimana agar sebelum berangkat para calon TKW diberi pengetahuan tentan perjanjian kontrak, prosedur laporan bila ada masalah, pengetahuan

jaringan lembaga-lembaga advokasi bila mereka membutuhkan pendampingan.

Untuk mengurangi aliran air mata, baik saya akan kutip surat dari Dewi yang bernasib mujur di negara rantau. Begini katanya,

(……. Pak, kaluarga majikan saya sih baik sema. Waktu Hari Raya Iedul Adha, anaknya membelikan jam tangan untuk saya. Saya tuh senang sekali di sini. Di sini saya seperti bukan pembantu. Orang di sekeliling saya semuanya sayang sama saya. Alhamdulillah makan sama-sama di meja makan, Sholat inginnya bersama-sama saya …..)”

Sayangnya, menurut penelitian yang dilakukan oleh Masrifah seorang aktivis di FKBMI Indramayu, TKW yang bernasib baik seperti Dewi tak lebih dari 20%. Sisanya? Masih tetap setia mengirimkan paket air mata ......[]

Fiqh dan trafiking merupakan dua hal yang berbeda secara terminologis. Fiqh berasal dari

bahasa Arab, sering disempitkan maknanya sebagai pengetahuan ritual-tekstual seputar ibadah, seperti; persoalan bersuci, sholat, puasa dan seterusnya yang tidak berhubungan dengan pesoalan-persoalan aktual-kontekstual. Sehingga fiqh menjadi satu disiplin ilmu yang hanya berada di menara gading, jauh dari persoalan-persoalan yang sedang terjadi disekitar. Sedangkan trafiking merupakan istilah

Judul Buku: Fiqh Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum IslamPenulis : Faqihuddin Abdul Kodir, dkk.Penerbit : Fahmina-InstituteTerbit : Nopember 2006 Tebal : xiv + 312 hlm.

yang berasal dari bahasa Inggris, yang tidak hanya menjadi diskursus seputar persoalan perdagangan manusia tetapi juga marak terjadi dewasa ini. Di tengah lingkaran kasus trafiking, angin segar datang dari Cirebon. Fahmina Institut menerbitkan sebuah buku yang berjudul Fiqh Anti-Trafiking: Jawaban Atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam. Ditulis oleh para aktivis dan pakar yang memiliki basis keilimuan Islam klasik, yakni Faqihuddin Abdul Kodir, Muqsith

Ghazali, Imam Nakha’i, KH. Husein Muhammad dan Marzuki Wahid. Buku ini merupakan referensi pertama yang membahas trafiking dalam perpektif hukum Islam secara komprehensif.Buku “FIQH ANTI TRAFIKING” ini hadir sebagai ijtihad dalam upaya menjawab berbagai kasus kejahatan perdagangan manusia dengan perspektif hukum Islam. Buku ini menyajikan bahasan konfrehensif kajian fiqh seputar kasus-kasus trafiking. Dengan buku ini, aktivitis gerakan anti trafiking, maupun masyarakat pada umumnya, dapat memahami persoalan ini dari sudut pandang Islam. Buku ini menarik karena tidak berangkat dari ruang hampa atau wacana yang mengawang. Para penulisnya terlibat aktif dalam upaya advokasi korban trafiking di berbagai daerah seperti Indramayu, Cirebon dan Majalengka, yang tergabung dalam komunitas Fahmina.[red]

r e s e n s i

Fiqh Anti Trafiking

Edisi 14 Tahun 2008

��

Pertanyaan:

Nia (15 tahun), murid pada sebuah Madrasah Tsanawiyah di Kabupaten Ciamis, diajak Ihin, tetangganya, bekerja di Kota Bandung. Orang tuanya mengijinkannya pergi bekerja dengan harapan dapat membantu ekonomi keluarga. Nia kemudian ditempatkan di sebuah pabrik tekstil di pinggir kota. Pemilik Pabrik berterimakasih kepada Ihin dan memberinya uang 500 ribu untuk ongkos transportasi dan jasa perekrutan Nia. Pekerjaan yang dibebankan Nia di Pabrik sangat berat. Ia bekerja dari pukul 7 pagi hingga 5 sore. Majikannya menahan gajinya pagi hingga 5 sore. Majikannya menahan gajinya selama 10 bulan agar Nia tidak lari dari perusahaan. Bagaimana fiqh Islam memandang kasus seperti ini?

Wassalam, NN, Kabupaten Cirebon

Jawaban Kyai Husein Muhammad:

Seharusnya, mereka mengerti bahwa seseorang yang masih di bawah umur, seperti Nia, tidak boleh ditempatkan jauh dari kedua orang tuanya, apalagi dipekerjakan. Anak-anak masih memerlukan pengasuhan dan pendidikan dari keluarga, dan karenanya harus berada dalam lindungan keluarga, dan karenanya harus dalam lindungan keluarga. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalam protokol PBB tahun 2000, yang telah diterjemahkan lebih lanjut ke dalam Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rancangan Aksi Nasional (RAN) untuk penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak bahwa semua anak harus terbebas dari ancaman penderitaan yang disebabkan keadaan yang memksanya untuk bekerja.

Kita dapat memastikan bahwa Nia telah mengalami (menjadi korban)—apa yang disebut—eksploitasi anak. Nia masih masuk kategori anak-anak. Dalam ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, yang dianggap anak (belum dewasa) adalah seseorang yang usianya belum mencapai 18 tahun, termasuk anak yang belum lahir. Sebagai anak, Nia dianggap belum mampu menimbang dan memutuskan dalam proses perekrutan untuk bekerja.

Kasus yang menimpa Nia, dalam konteks lain sudah memenuhi unsur-unsur kejahatan trafiking

k o n s u l t a s i

Rubrik ‘fatwa’ ini diperuntukkan sebagai dialog anggota komunitas dengan para pegasuh pesantren di Cirebon, seputar isu sosial kemasyarakatan yang dihadapi oleh salah seorang pengasuh pesantren Arjawinangun, Kempek, Babakan dan Buntet. Untuk nomer ini, jawaban diberikan oleh KH Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.

atau perdagangan manusia. Dalam kasus itu, sudah terdapat “unsur proses” perekrutan dan pemindahan keluar dari daerah lingkungannya, serta “unsur tujuan”mempekerjaan anak di bawah ketentuan bekerja. Sekalipun Nia mau dan orang tua mengijinkan, tetapi secara hukum hal itu tidak sah, karena seorang akan tidak bisa dimintai pertimbangan untuk memutuskan pendapatnya, dan orang tuanya pun tidak boleh mengijinkan anak bekerja karena itu melanggar hak anak yang seharusnya memperoleh pendidikan dan pengasuhan yang memadai. Dalam konteks kasus anak, “unsur cara” menjadi tidak penting, sebab apapun caranya tetap dilarang.

Dalam pandangan fiqh, kasus ini mengandung ber-bagai pelanggaran dan perbuatan yang diharamkan. Ber-dasarkan prinsip-prinsip dasar relasi kemanusiaan dalam Islam, bahwa penipuan, pemalsuan, kekerasan, dan segala bentuk eksploitasi adalah sesuatu yang dilarang dan merupakan kezaliman yang berakibat buruk pada kemanusiaan. Dalam suatu hadits qudsi, Allah Swt telah mengharamkan kezaliman atas dirinya dan sekaligus mengharamkan kezaliman seluruh makhluk-Nya.

Benar bahwa Nia telah berusaha berbakti kepada orang tuanya yang memang diperintahkan agama. Akan tetapi pihak orang tua telah mengabaikan keselamatan anaknya bekerja di luar kemampuannya sebagai anak.

Tetangganya, Ihin, dalam kasus ini bisa dikategorikan sebagai orang yang membuka jalan pada kemungkaran. Dia telah membuat seseorang terjerumus pada kondisi kezaliman. Sudah jelas, prilaku Ihin dilarang agama dan berdosa, bahkan ada kemungkinan dia akan terkena dosa lain di samping dosanya menjerumuskan Nia. Karena, Ihin turut mengantarkan dan mengkondisikan hingga kezaliman itu terjadi.

Dalam suatu teks hadits disebutkan, yang artinya:Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW

bersabda: “Allah berfirman: tiga kelompok yang di hari kiamat nanti akan menjadi musuh besar saya, yaitu [1] orang yang telah mengadakan perjanjian setia kepadaku, kemudian dia merusaknya; [2] orang yang menjual orang merdeka kemudian memakan harganya; dan [3] orang yang tidak memberikan upah pada buruh yang telah menyelesaikan pekerjaannya.” (Hadits Riwayat Imam Bukhari)[]

Hukum Mempekerjakan Anak di Bawah Umur

Edisi 14 Tahun 2008

��s r i k a n d i

Berjuang Bela Kaum Perempuan dan Anak

Baginya yang paling berkesan dalam menangani kasus perempuan selama ini adalah ketika bisa menyelesaikan salah satu kasus trafiking. Karena kasus trafiking ini baru menggejolak, dan masyarakat begitu antusias. Karenanya dari awal UU No. 21/2007 PTPPO dimunculkan, kita sudah bisa mencapai P21, artinya perkara sudah dianggap lengkap dan divoniskan,” lanjut Ketut.

Sebagai Ketua Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polres Kota Cirebon, perempuan yang memiliki nama lengkap Ni Ketut Yatrini ini mengaku dari tahun ke tahun kasus trafiking tidak pernah ditangani secara tuntas. Karena masih ada sebagian masyarakat yang masih menutup mata, bahkan

ogah melapor atau sekadar memberi informasi kepada

pihak kepolisian. Ketut juga mengakui, kasus trafiking

termasuk kasus yang cukup berat. Menurutnya, masih banyak masyarakat yang memaksakan anaknya menikah muda, serta minimnya ketrampilan

dan pendidikan yang dimiliki mereka membuat

mereka sulit mencari pekerjaan dan akhirnya mereka pergi

keluar negeri dan menjadi korban trafiking.

Namun terlepas dari apapun kasus yang ditanganinya, Ketut berusaha untuk tetap profesional,

menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan tetap disiplin. “Saya bekerja demi nusa dan bangsa. Selama ini saya berusaha agar bisa menyelesaikan pekerjaan saya hingga tuntas. Jadi usahakan pulang ke rumah tanpa menunda pekerjaan,” tegas Ketut.

Selama ini ketut mengaku telah menjelajahi karir di kepolisian dengan beragam tanggung jawab. Menjadi Kanit PPA merupakan spirit tersendiri untuk selalu siap bermitra dengan masyarakat secara lebih maksimal.

Perempuan kelahiran Singaraja Bali ini, sebelum menjabat Ketua Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polres Kota Cirebon, sebelumnya menjabat sebagai anggota lalu lintas Polda Nusra Th. 1987-1997, anggota Polres Cirebon, Th. 1997-2008, Kambnit RPK Th. 2002-2007, Ketua Unit (Kanit) PPA Th. 2007. Dari berbagai pengalaman tersebut, dia benar-benar merasakan perbedaan tanggungjawabnya.

Kini selain melakukan penyidikan, dia juga tengah disibukkan melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Seperti cita-citanya yang ingin membuat masyarakat semakin mengerti, sadar, dan terbuka terhadap segala bentuk tindak kejahatan. “Dan Sekarang masyarakat sudah mulai terbuka, sehingga kami tertuntut untuk bekerja lebih keras lagi, agar masyarakat makin percaya dan leluasa mencurahkan segala persoalan mereka,” ujar Ketut sambil tersenyum. (a5)

Setelah berbagai pihak menyuarakan kesetaraan jender serta perlunya ditangani

berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak, kini sudah banyak pihak yang mengadvokasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus-kasus perempuan dan anak yang sampai pada tingkat peradilan.

“Kasus-kasus sering saya tangani dan sudah sampai pada tingkat peradian diantaranya kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pencabulan dan pelecehan seksual pada anak-anak merupakan bagian dari kasus-kasus yang saya tangani selama ini”. Tutur Ketut perlahan, ketika ditemui Blakasuta, Selasa, (12/08/08).

Ni Ketut Yatrini

Edisi 14 Tahun 2008

��

”Saya sangat menyayangkan kaum perempuan sekarang baik ibu-ibu

maupun remaja putri, lebih memilih menonton sinetron dan bergosip dari pada harus melakukan sesuatu yang berarti. Arus budaya massa yang membabat habis pola pikir kaum perempuan, memang sangat memprihatinkan. Apalagi pada hal-hal yang sifatnya tradisional, kami harus berjuang keras agar mereka mau bergabung memelihara warisan nenek moyang seperti tari tradisional ini.” Itulah keprihatinan Wangi Indria terhadap nasib kaum perempuan sekarang. Bahkan ia terlihat sangat resah mengingat keterpurukan perempuan yang terlena oleh globalisasi, perempuan yang kian tak pedulikan tradisi.

Ketika ditemui Blakasuta pada Jumat (29/08/08), perempuan asal Indramayu ini, tak mampu lagi memendam kegelisahannya akan realitas kaum perempuan dan sekian persoalan-persoalannya. Harapannya terhadap sesama perempuan tidak hanya diungkapkan dengan kata-kata dan angan-angan. Akan tetapi dia juga memiliki ketekunan dan keuletan untuk melatih kaum perempuan baik dalam bidang seni tari budaya ataupun lainnya yang tergabung dalam ‘Sanggar Mulya Bhakti’ miliknya sendiri.

s o s o k

Wangi Indria:

Budayawati yang Peduli Nasib Kaum PereMPUAN

“Saya berharap, ada lembaga yang mau membantu mewujudkan niat saya. Yakni memberdayakan perempuan di daerah sekitarnya, tak sekadar melalui dunia tari, tapi juga sesuatu yang bisa mengubah sikap dan pola pikir kaum perempuan tersebut,” tutur Nyi Wangi. Selama ini dia mengaku hanya bergerak sendirian tanpa ada yang mendampingi, seprtihalnya lembaga lain yang menopang keberlanjutan

Edisi 14 Tahun 2008

��

perjuangannya. Walaupun selama ini dia

telah melanglangbuana ke negeri orang, akan tetapi dia merasa bahwa perjuangannya untuk memberdayakan kaum perempuan disekitarnya masih terasa kurang. “Terkadang ironis, di luar sana saya bisa berbangga diri. Namun di sini, saya selalu merasa prihatin, apalagi saya bukanlah siapa-siapa. Rasanya selalu ingin berbuat sesuatu, tapi hanya ini yang bisa saya lakukan,” ujar Wangi mengungkapkan sekian kegelisahannya.

Keberhasilan Wangi Indria Menjunjung Tinggi Budaya Indonesia

Sosok yang akrab disapa Nyi Wangi ini, selain seorang penari tradisional, dia juga seorang koreografer, dan memiliki latar belakang sebagai seorang dalang Wayang Purwa. Dia dilahirkan dari keluarga seniman, kakeknya (Wisad) seniman tradisi serba bisa, sementara ayahnya (Taham) adalah seorang dalang wayang kulit.

Sejak kecil dia sudah mulai belajar dan berlatih tari topeng sebagai warisan dari kakeknya yang mahir dalam seni tari topeng. Metode disiplin besi yang diterapkan keluarganya, membuat Wangi dan saudara-saudara lainnya berhasil menjadi seorang penari yang professional. Tidak hanya tari topeng yang diajarkan keluarganya, dalang juga beliau tekuni sebagai suatu pembelajaran.

Awalnya Wangi belajar tari dari dasar seperti tari serimpi semenjak duduk di kelas V SD (sekolah dasar), kemudian dilanjutkan dengan belajar tari topeng ketika minginjak kelas I SMP sampai kelas III SMA. Saat kelas II SMA dia sudah mulai menerima undangan untuk menari topeng di beberapa tempat.

Sejak kecil, Wangi dilatih untuk mampu bersikap mandiri

dalam mengerjakan berbagai hal. Kemandirian itulah yang membuat Wangi tak pernah berniat mundur dari profesinya sebagai penari topeng walaupun saat ini undangan menari agak berkurang. “Sampai tahun 2004-an, saya masih dapat undangan menari hingga 10 kali dan mendalang 1-2 kali sebulan. Mulai 2005, rata-rata dua kali saja. Saya tidak tahu apa sebabnya,” ujar wangi mengungkapkan kemerosotan minat masyarakat terhadap seni tari.

Dalam puncak kariernya, dia pernah terlibat dalam pelbagai pertunjukan bersama dengan sejumlah seniman kontemporer dari dalam dan luar negeri. Ia juga pernah terlibat dalam pertunjukan teater tari I La Galigo karya Robert Wilson sebagai penari. Pada tahun 2004, dia

berkolaborasi dengan Lotte Reiniger dalam nomor “Silhouette Animation Film” di Jakarta. Bersama Rasinah dan Sanggar Mulya Bhakti Indramayu, dia juga pernah berkeliling Eropa melakukan pertunjukan tari topeng dan wayang kulit.

Dalam pertunjukan teater tari Ila Galigo, Wangi mengunjungi beberapa Negara seperti Singapura, Barcelona Spanyol, Perancis, Italia, New York Amerika Serikat, dan Melbourne Australia. Sebelumnya Wangi pernah pentas di Jepang, Perancis, Belgia, Swiss, dan Belanda sejak tahun 1994 sampai tahun 2001. Di dalam negeri dia pernah diundang antara lain ke Solo Dance Festival tahun 2001, Temu Koreografer Wanita, pentas di Teater

utan Kayu dan festifal Bengawan Solo tahun 2006.

Pertemuannya dengan berba-gai belahan dunia membawa harum nama baik Indonesia sebagai Negara yang memiliki ragam budaya dan kesenian. Bahkan Wangi menciptakan satu karya seni tari topeng moderen yang ia peroleh dari berbagai pe-ngalamannya. “Saya tidak khawatir topeng Indramayu akan punah atau khawatir masyarakat tidak mau lagi tari topeng. Saya tetap optimistis. Ketika kami naik pentas, sambutan masyarakat sangat baik, mereka tetap suka. Saya akan terus lakoni kesenian daerah ini, maju terus pantang mun-dur,” tegasnya saat ditanya tentang tanggapan masyarakat tentang kebe-radaan tari topeng saat ini.

Menurut Wangi, antara topeng Cirebon dan topeng

Indramayu sama-sama memiliki lima karakter. Bedanya, pada topeng Indramayu ada tarian Kelana Udeng, yaitu tarian terakhir dari lima karakter tari topeng. Pada Kelana Udeng lebih banyak atraksi, seperti menari diatas tambang, kayang sambil mengambil koin.

Nyi Wangi merupakan cerminan perempuan yang

mampu membuktikan eksistensi dirinya. Wangi juga bertekad akan terus memberdayakan kaum perempuan melalui dunia tari tradisional. Tidak hanya berhenti untuk memperjuangkan seni budaya dan mengajarkanya pada generasi selanjutnya, dia pun sangat sensitif terhadap persoalan di lingkungan sekitarnya.

“Bahkan masalah sampahpun, saya tetap tak ambil kompromi. Saya bangun tembok khusus pembuangan sampah, dan mengajak masyarakat sekitar untuk membuang sampah di tempat yang saya bangun. Gratis! yang penting mereka mau memelihara lingkungannya,” ujarnya berseloroh. [a5]

s o s o k

Edisi 14 Tahun 2008

�0 i n f o j a r i n g a n

“Saya sangat mendukung rencana pembuatan Kurikulum Community

oriented polycing (COP) bahkan saya akan mendorong rencana ini agar menjadi panduan pelatihan sejenis, yang juga akan dilaksanakan Polda Jabar sebagai program Polmas tahun depan,” ungkap Sri Sudayani Ka Binluh Bina Mitra Polda Jabar dalam acara Workshop penyusunan Kurikulum COP di hotel Triyas Cirebon (26-27/06/08). Bahkan untuk kegiatan berikutnya Polda jabar siap mendukung, tambah Sri yang didampingi salah satu trainer Polmas Kompol Ade Sumarwan dari Binamitra Polda Jabar.

Dalam acara Workshop itu dihadiri 15 (lima belas) peserta dari Binamitra Polda Jabar, Binamitra se-Wilayah 3 Cirebon dan beberapa

LSM seperti Pusat Studi HAM (Pusham) UNAIR Surabaya, Pusham UII Yogyakarta, Percik Salatiga dan Fahmina Institute Cirebon. Para peserta terlihat bersemangat sekali dalam membahas rencana penyusunan kurikulum training perpolisian kemasyarakatan (Polmas) atau COP yang dilaksanakan oleh Fahmina Institute pada pertengahan Agustus 2008.

Menurut Erlinus Thahar, Program Officer (PO) Program COP Fahmina Institute, “Dari Workshop ini diharapkan tersusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan penguatan Polmas, khususnya di wilayah III Cirebon.”

Sebelumnya Fahmina Institute telah melakukan need assesment melalui metode focus group discussion (FGD). Dari penelitian ini, diketahui

bahwa keberadaan FKPM (forum kemitraan polisi masyarakat) yang digagas oleh Polisi selama ini ternyata belum efektif. Baik ditingkat pemahaman masyarakat maupun implementasinya.

Eko Prasetyo, dari Pusham UII, berharap ada fokus yang jelas kemana kurikulum COP ini diarahkan. Karena diharapkan kader pelatihan ini mampu untuk menyelesaikan masalah, maka harus dibekali kemampuan bernegoisasi dan teknik penyelesaian masalah. “Dalam Workshop ini disepakati bahwa kurikulum COP nanti merupakan perpaduan antara hasil penelitian, pengalaman, analisa akademisi dan implementasi sebelumnya, yang kemudian akan dikembangkan oleh Fahmina Institue menjadi naskah modul training,” Tegas Yunus.(ET)

Polda Jabar Dukung Penyusunan Kurikulum COP

Edisi 14 Tahun 2008

��

Upaya Polri menumbuhkan hubungan kerjasama antara polisi dan masyarakat

dengan warganya hingga kini terus berjalan. Hal tersebut tidak terlepas dari konsep Perpolisian Masyarakat (Polmas) dalam menumbuhkan kesadaran dan kepercayaan warga. Terutama dalam mengidentifikasi, menanggulangi dan menyelesaikan masalah yang terjadi di tengah warga melalui keputusan dan upaya mereka sendiri.

Sayangnya kinerja petugas Polmas dan kader forum kemitraan polisi dan masyarakat (FKPM), hingga kini belum berjalan efektif. Di Kabupaten-kabupaten Cirebon misalnya, hingga kini masih belum memperlihatkan kinerjanya dalam memecahkan persoalan sosial di lingkungan masing-masing. Hal tersebut terkuak berdasarkan pengakuan sejumlah perwakilan FKPM sewilayah III

FKPM Harus Siap DeNgAN KerJA KeMANUSiAAN

Cirebon dalam “Pelatihan Polmas: Membangun Kemitraan antara Polisi dan Masyarakat”. Dalam acara yang diselenggarakan Fahmina Institute di Hotel Sunyaragi Kota Cirebon, Senin-Rabu (25-27/8/08). Eko Prasetyo dari Pusat Studi HAM (Pusham) dan Iklillah Muzayyanah dari Fahmina Institute jakarta sebagai fasilitaor dan KH Hussain Muhammad sebagai narasumber yang membahas trafiking. Para Peserta Pelatihan ini, terdiri dari perwakilan FKPM dari Kabupaten Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan perwakilan dari Rakom Caraka.

Menurut Eko, FKPM yang sudah terbentuk pada dasarnya telah siap dengan tanggungjawabnya. Hanya saja pengetahuan mereka masih kurang, tentang ranah kerja Polmas yang sebenarnya. “Semangat mereka sudah cukup bagus, namun pengetahuan mereka masih perlu digali. Karena ada batasan-batasan

antara kerja-kerja Polisi dengan FKPM. Dan yang terpenting adalah FKPM harus berpihak, terhadap masyarakat dan sekian persoalan kemanusiaan,” tegas Eko.

Adapun tujuan utama diselenggarakannya kegiatan pelatihan Polmas kali ini, untuk memperkuat kembali pemahaman warga tentang Polmas dan strategi penerapannya yang berbasis pada partisipasi penuh warga. Selain itu juga mengoptimalkan kemampuan warga untuk membaca persoalan-persoalan sosial yang muncul di

komunitas desanya, sekaligus menemukan solusinya dengan melibatkan partisipasi warga. Serta, meningkatkan kemampuan warga tentang strategi pengorganisasian warga, merancang program kegiatan terkait Polmas, dan melakukan evaluasi ataupun monitoring terhadap program kegiatan tersebut.

Dari output pelatihan ini, diharapkan peserta memahami secara lebih mendasar tentang Polmas dan bagaimana strategi penerapannya yang berbasis pada partisipasi penuh warga . Diharapkan juga, peserta mempunyai kemampuan dan kepekaan dalam membaca persoalan sosial yang muncul dan mampu mencari solusi atas persoalan tersebut. Selain itu mampu melaksanakan strategi pengorganiasian warga, merancang kegiatan terkait Polmas, dan mampu melakukan evaluasi dan monitoring atas program yang telah disusun.(a5)

i n f o j a r i n g a n

Edisi 14 Tahun 2008

�� i n f o j a r i n g a n

Persoalan perdagangan orang (trafiking) semakin serius. Berbagai modus operandi

dilakukan untuk menjerat korban. Dalam hal ini, yang paling menjadi korban trafiking adalah perempuan, anak-anak dan buruh migran (TKI). Rayuan, jeratan dan jebakan kejahatan trafiking ini mengintai TKI sejak sebelum pemberangkatan, di tempat penampungan, waktu pemberangkatan dan di tempat kerja, serta saat perjalanan pulang ke dan di tanah air.

Kejahatan trafiking berlatar belakang buruh migran yang menimpa mereka biasanya berupa rayuan manis dan janji-janji gombal, pemaksaan, penipuan, pemalsuan dokumen sebelum pemberangkatan. Sampai di tempat tujuan kerja, tidak jarang para TKI juga diperlakukan tidak adil oleh majikan. Dengan melalui eksploitasi kerja dan kekerasan fisik maupun psikis. Ketika pulang, TKI juga sering kali tidak menerima hak kompensasi asuransi dari PJTKI, dan lain sebagainya. Itu adalah gambaran sederhana tentang betapa TKI sangat rentan menjadi korban kejahatan trafiking.

Ironisnya, ketika korban trafiking ingin menyelesaikan kasus yang menimpanya, mereka tidak tahu harus ke mana. Sudah menjadi pameo masyarakat, “Kalau kehilangan kambing lalu lapor kepada yang berwenang, maka mereka akan kehilangan satu ekor kerbau”. Artinya, bukan penyelesaian masalah yang didapat, bahkan bertambah masalah baru. Maka jalan yang paling aman dan ‘murah’ umumnya adalah meminta bantuan

Pelatihan Paralegal UNTUK BelA HAK-HAK TKi

kepada tokoh masyarakat, tokoh agama atau orang yang dianggap lebih tahu cara menyelesaikan masalah mereka. Permasalahannya adalah, berapa banyak masyarakat yang mengerti tentang bagaimana menyelesaikan kasus-kasus hukum yang terjadi di masyarakat? Bukankah selama ini masayarakat pada umumnya jauh dari pengetahuan tentang hukum.

Maka tepat kiranya apa yang disampaikan Harissan Aritonang dalam Pelatihan Paralegal yang diselenggrakan Fahmina institute. Ia menyatakan, bahwa kita semua harus membantu masyarakat untuk menyelesaikan kasus-kasus mereka. Membantu mereka menemukan bukti-bukti yang biasanya berupa dokumen, untuk melawan para PJTKI yang nakal. Maka sebuah keharusan sekarang, untuk mengetahui langkah apa saja yang harus kita lakukan ketika ada tetangga, saudara, atau masyarakat disekitar kita yang mengadukan kasus-kasus trafiking .

Pelatihan Paralegal yang diselenggarakan pada 23-24/08/2008 ini diikuti oleh Jaringan Masyarakat Anti Trafiking (JIMAT) Kab. Cirebon, Satuan Anti Trafiking (SANTRI) Indramayu, radio-radio komunitas, serta beberapa perwakilan dari organisasi mahasiswa. Difasilitatori oleh Harissan Aritonang SH yang juga wakil ketua Dewan Pimpinan Nasional & Koordinator Bantuan Hukum Tim Advokasi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Materi yang didiskusikan diantaranya adalah Bantuan Hukum, Surat Kuasa, dan Paralegal. Semunya itu merupakan materi-materi yang dibutuhkan untuk

membekali peserta agar mampu membela hak-hak TKI.

Dalam paparannya, Bang Haris panggilannya, menyatakan bahwa sebelum pemberangkatan, seorang TKI harus menandatangani dua surat perjanjian. Yang pertama, surat perjanjian kerja dengan penanggungjawab PJTKI terkait. Yang kedua, TKI menandatangani surat perjanjian asuransi. Dalam hal ini perusahan asuransilah yang bertanggungjawab. Dalam perjanjian asuransi ini, banyak TKI menandatangani dua perjanjian asuransi, yaitu asuransi dalam negeri dan asuransi luar negeri di tempatnya bekerja. Kompensasi asuransi, harus segera diambil ketika TKI tersebut pulang. Bila tidak, maka setelah lewat satu bulan, haknya akan hilang.

“Seharusnya,” lanjut Bang Haris, “Buruh Migran dan PJTKI memegang dokumen perjanjian-perjanjian tersebut, sehingga ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kita sudah mempunyai bukti-bukti otentik untuk menjerat pihak yang seharusnya bertanggung jawab”.

Lebih jauh Bang Haris juga menjelaskan bahwa, dalam melaksanakan tugas mulianya, seorang paralegal tidak sendirian. Akan ada paralegal-paralegal lain yang nantinya bisa membentuk sebuah jaringan untuk menyelesaikan kasus-kasus trafiking yang menimpa TKI maupun yang menimpa kelompok masyarakat yang lebih luas. “Kita juga jangan pesimis, karena masih banyak pengacara-pengacara yang mau membantu kita,” tegas Bang Haris memberi semangat. (AA)

Edisi 14 Tahun 2008

��

Edisi 14 Tahun 2008

��