berbagai kerangka pengukuran kinerja pada direktorat jenderal pajak

7
KERANGKA PENGUKURAN KINERJA DJP Di Indonesia, implementasi pengukuran kinerja pada setktor publik tidak terlepa dari reformasi ang terjadi pada ta!un "##$% Peristi&a tersbut memba&a peruba!an pad banak bidang, termasuk mendorong pelaksanaan reformasi birokrasi% 'ujuan reformasi birokrasi adala! me&ujudkan tata kelola keuangan negara ang profesional, amana!, da tepat ara! (good go)ernan*e+ serta membangun keper*aaan publik melalui peningkatan pelaanan publik% ementara itu, untukj memastikan keber!asilan pen*apaian t reformasi birokrasi dan sejalan dengan good go)ernan*e itu sendiri, maka d suatu sistem penilaian kinerja sebagai bagian dari sistem pengelolaan kiner organisasi pemerinta! (Kementerian Keuangan Republik Indoneisa, -.""+% Direktorat Jenderal Pajak (DJP+ merupakan sala! satu organisasi pemerinta! ang sangat )ital bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia% /rganisasi ini memiliki fungsi penting dalam penerimaan negara% DJP memiliki tugas utama meng!impun pajak pusat (dalam tulisan ini selanjutna disebut sebagai pajak+% ementara pajak merupakan sumber utama pendapatan negara% Dalam AP0N -."1, penerimaan pajak berkontribusi pada 234 pendapatan negara, atau ditargetkan sebesar Rp"%-.",3 trilunrupia! (Direktorat Jenderal Anggaran, -."5+% Dalam rangka pelaksanaan kontrol dan e)aluasi atas DJP dan satuan ker ba&a!na dalam menjalankan tugasna tersebut, perlu dilaksanakan suatu penil kinerja% Adapun penilaian kinerja pada DJP se*ara mendetail akan diba!as pada bagian "% Dasar 6ukum 7engingat DJP merupakan institusi pemerinta!an, pada dasarna penilaian pada DJ didasarkan pada ketentuan perundang8undangan% 0erikut ini merupakan beberapa peraturan ang mengatur mengenai penilaian kinerja pada DJP% a% Instruksi Presiden 3 'a!un "### tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemeri b% Keputusan Kepala 9AN Nomor 1$#:";:2:<:## tentang Pedoman Penusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerinta! *% Keputusan 9embaga Administrasi Negara Nomor -=#:I;:2:$:-..= tentang Perbaikan Pedoman Penusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerinta! d% Undang8Undang Republik Indonesia Nomor "3 'a!un -..= tentang Keuangan Negara e% Undang8Undang Republik Indonesia Nomor " 'a!un -..5 tentang Perbenda!araan Negara f% Undang8Undang Republik Indonesia Nomor "1 'a!un -..5 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan 'anggung Ja&ab Keuangan Negara g% Undang8Undang Republik Indonesia Nomor -1 'a!un -..5 tentang istem Peren*anaan Pembangunan Nasional !% Peraturan Pemerinta! Republik Indonesia Nomor -" 'a!un -..5 tentang Penusunan Ren*ana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara:9embaga (RKAK9+% i% Peraturan Pemerinta! Republik Indonesia Nomor $ 'a!un -..2 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerinta! (9AKIP+ j% Peraturan 7enteri PAN Nomor PER:.#:7%PAN:1:-..3 ta!un -..3 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di 9ingkungan Instansi Pemerinta!% k% Peraturan 7enteri PAN Nomor PE>8-.:7%PAN """":-..$ ta!un -..$ tentang Penusunan Indikator Kinerja Utama% l% Peraturan 7enteri Negara Pendaagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Nomor -# 'a!un -.". tentang Pedoman Penusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerinta! m% Peraturan 7enteri Keuangan Republik Indonesia Nomor -5#:P7K%.-:-."" tentang Pengukuran dan E)aluasi Kinerja atas Pelaksanaan Ren*ana Kerja dan Anggaran Kementerian : 9embaga

Upload: haska-hafidzi

Post on 04-Oct-2015

101 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

Pada tulisan ini dibahas mengenai pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menilai kinerja DJP, institusi perpajakan Republik Indonesia.

TRANSCRIPT

KERANGKA PENGUKURAN KINERJA DJP

Di Indonesia, implementasi pengukuran kinerja pada setktor publik tidak terlepas dari reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Peristiwa tersbut membawa perubahan pada banyak bidang, termasuk mendorong pelaksanaan reformasi birokrasi. Tujuan reformasi birokrasi adalah mewujudkan tata kelola keuangan negara yang profesional, amanah, dan tepat arah (good governance) serta membangun kepercayaan publik melalui peningkatan pelayanan publik. Sementara itu, untukj memastikan keberhasilan pencapaian tujuan reformasi birokrasi dan sejalan dengan good governance itu sendiri, maka diperlukan suatu sistem penilaian kinerja sebagai bagian dari sistem pengelolaan kinerja pada organisasi pemerintah (Kementerian Keuangan Republik Indoneisa, 2011).Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan salah satu organisasi pemerintah yang sangat vital bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Organisasi ini memiliki fungsi yang penting dalam penerimaan negara. DJP memiliki tugas utama menghimpun pajak pusat (dalam tulisan ini selanjutnya disebut sebagai pajak). Sementara pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Dalam APBN 2015, penerimaan pajak berkontribusi pada 67% pendapatan negara, atau ditargetkan sebesar Rp1.201,7 trilun rupiah (Direktorat Jenderal Anggaran, 2014). Dalam rangka pelaksanaan kontrol dan evaluasi atas DJP dan satuan kerja di bawahnya dalam menjalankan tugasnya tersebut, perlu dilaksanakan suatu penilaian kinerja. Adapun penilaian kinerja pada DJP secara mendetail akan dibahas pada bagian ini.

1. Dasar HukumMengingat DJP merupakan institusi pemerintahan, pada dasarnya penilaian pada DJP didasarkan pada ketentuan perundang-undangan. Berikut ini merupakan beberapa peraturan yang mengatur mengenai penilaian kinerja pada DJP.a. Instruksi Presiden 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahb. Keputusan Kepala LAN Nomor 589/1X/6/Y/99 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahc. Keputusan Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahd. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negarae. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negaraf. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negarag. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasionalh. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL).i. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)j. Peraturan Menteri PAN Nomor PER/09/M.PAN/5/2007 tahun 2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah.k. Peraturan Menteri PAN Nomor PEW-20/M.PAN 1111/2008 tahun 2008 tentang Penyusunan Indikator Kinerja Utama.l. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Nomor 29 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahm. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 249/PMK.02/2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian / Lembagan. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja Di Lingkungan Kementerian Keuangano. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-105/PJ/2012 Pedoman Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajakp. Peraturan Pemerintah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengahq. Peraturan Kepala Bappenas No 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana strategis K/Lr. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40 Tahun 2010 tentang Rencana strategis Kementerian Keuangans. Keputusan Dirjen Pajak nomor tentang Rencana Strategis DJP Tahun 2012-2014

2. Jenis Pengukuran Kinerja pada DJPa. Model yang Umum DigunakanModel pengukuran kinerja ini biasa digunakan oleh ahli ekonomi atau pembuat kebijakan baik secara informal maupun formal dalam menilai kinerja DJP. Setidaknya terdapat beberapa jenis pengukuran ini sebagai berikut.i. Realisasi Penerimaan PerpajakanYaitu jumlah penerimaan perpajakan yang dapat direalisasikan oleh DJP dalam suatu periode. Biasanya dalam speriode triwulanan, semesteran, maupun tahunan. ii. Tax coverage ratioYaitu perbandingan antara besarnya pajak yang telah dipungut dibandingkan dengan besarnya potensi pajak yang dapat dipungut.iii. Presentase Realisasi perpajakanMerupakan perbandingan antara Yaitu perbandingan antara besarnya pajak yang telah dipungut dibandingkan dengan besarnya target penerimaan perpajakan. Berbeda dengan pengukuran sebelumnya, karena biasanya ini potensi pajak merupakan dasar untuk menetapkan target penerimaan perpajakan. Sehingga potensi perpajakan tidak selalu sama dengan target penerimaan pajak.iv. Tax RatioMerupakan perbandingan penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto yang akan menunjukkan jumlah penerimaan pajak yang dipungut dari setiap rupiah pendapatan nasional.

Keempat model tersebut menggunakan unsur penerimaan perpajakan dalam penilaian kinerja DJP, khusunya Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Penggunaan unsur penerimaan relefan dengan fungsi utama DJP, yaitu fungsi menghimpun penerimaan perpajakan. Namun, penerimaan perpajakan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor internal DJP, tetapi juga faktor eksternal seperti kondisi ekonomi makro, kondisi sosial Wajib Pajak, bahkan kondisi politik dalam negeri. Sehingga, jika pengukuran kinerja ditujukan untuk menilai sejauh mana usaha dilakukan oleh suatu organisasi dalam mencapai tujuannya, maka hal ini kurang relevan.Penggunaan target penerimaan perpajakan sebagai faktor pengukuran kinerja juga dapat membiaskan penilaian. Penentuan target tersebut bersifat subjektif, bahkan kadang bersifat politis. Menurut Idham Ismail (Ismail, 2009) penentuan besarnya target penerimaan tiap KPP selama ini didasarkan pada data historis penerimaan pajak tahun sebelumnya, ditambah proyeksi penerimaan Wajib Pajak yang baru terdaftar, ditambah data historis pembayaran pajak Wajib Pajak yang pindah dari KPP lain, dikurangi data historis pembayaran pajak Wajib Pajak yang pindah ke KPP lain. Hasil ini kemudian ditambah dengan proyeksi kenaikan penerimaan pajak yang diadaptasi dari asumsi makro dalam APBN seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi, untuk menentukan besarnya target penerimaan pajak tahun berjalan.Penentuan target penerimaan seperti model di atas mempunyai kelemahan yaitu target penerimaan belum tentu mencerminkan potensi pajak yang ada di wilayah kerja KPP Pratama tersebut, karena tidak memperhitungkan besarnya tax base yang dihadapi KPP Pratama tersebut. Sehingga ada kemungkinan KPP Pratama yang realisasi penerimaan pajaknya melampaui target penerimaan terjadi karena basis pajaknya jauh di atas target penerimaan. Sebaliknya, KPP Pratama yang realisasi penerimaan pajaknya tidak dapat melampaui target penerimaan , terjadi karena basis pajaknya be rada di bawah target penerimaan.

b. Laporan Akuntabilitas Kinerja PemerintahReformasi pada tahun 1998 mempengaruhi munculnya perubahan di segala bidang, termasuk reformasi dalam pengelolaan kinerja organisasi pemerintahan. Salah satu aturan yang mencoba merubah hal ini adalah Instruksi Presiden 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang bertujuan untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sebagai salah satu prasyarat untuk terciptanya pemerintah yang baik dan terpercaya. Salah satu output dari peraturan ini adalah kewajiban organisasi untuk menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Setiap unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkewajiban menyiapkan, menyusun dan menyampaikan laporan kinerja secara periodik dan melembaga, sebagai pertanggungjawaban atas tingkat pencapaian tujuan dan sasaran DJP. Pelaporan ini dimaksudkan sebagai sarana mengkomunikasikan capaian kinerja DJP dalam satu tahun anggaran. LAKIP selanjutnya disusun dengan memperhatikan Kontrak Kinerja, Rencana Strategis DJP, Crash Program DJP dan RKA-KL Tahun Anggaran yang telah ditetapkan serta pedoman teknis penyusunan.Secara umum LAKIP meliputi pengukuran kinerja organisasi dari dua aspek, yaitu aspek kinerja serta aspek keuangan. Pengukuran kinerja tersebut digunakan sebagai dasar untuk menilai tingkat capaian (keberhasilan/kegagalan) pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi DJP. Aspek kinerja berusaha menilai organisasi berdasarkan suatu indikator kinerja, yaitu ukuran kuantitaif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja tersebut juga diperlukan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja dan evaluasi kinerja setiap program sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL). Sedangkan aspek keuangan berusaha menilai alokasi dan sumber pembiayaan beserta realisasi anggaran untuk membiayai program, disertai penjelasan mengenai realisasi anggaran.Kembali soal indikator kinerja, berdasarkan Pasal 10 Peraturan Menteri Negara PAN Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007 tanggal 31 mei 2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah, lndikator kinerja utama digunakan instansi pemerintah untuk tujuan berikut ini. Perencanaan jangka menengah Perencanaan tahunan Penyusunan dokumen penetapan kinerja Pelaporan akuntabilitas kinerja Evaluasi kinerja instansi pemerintah, dan Pemantauan dan pengendalian kinerja pelaksanaan program dan kegiatan-kegiatan.

Terkait dengan format pelaporan LAKIP, berikut ini merupakan beberapa hal yang harus terdapat di dalam pelaporan LAKIP yang disampaikan oleh DJP dan instasi di bawahnya.i. PengantarPada bagian ini disajikan kata pengantar dari pimpinan unit kerja, tentang bagaimana alur penyusunan sasaran strategis, program, kegiatan dan subkegiatan, bagaimana kondisi umum pelaksanaan program/kegiatan/subkegiatan pada tahun yang bersangkutan serta apa komitmen dari seluruh jajaran unit kerja dalam pencapaian sasaran. ii. Ikhtisar EksekutifPada bagian ini disajikan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam rencana stratejik serta sejauh mana unit kerja mencapai tujuan dan sasaran utama tersebut, serta kendalakendala yang dihadapi dalam pencapaiannya. Disebutkan pula langkah-langkah apa yang telah dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut dan langkah antisipatif untuk menanggulangi kendala yang mungkin akan terjadi pada tahun mendatangiii. PendahuluanPada Bagian ini dijelaskan hal-hal umum tentang unit kerja (tupoksi) serta uraian singkat mandat apa yang dibebankan kepada unit kerja, peran strategis instansi yang bersangkutan serta sistematika pelaporaniv. Rencana Strategis dan Penetapan Kinerja Pada bagian ini disajikan gambaran singkat mengenai: Rencana Stratejik dan Rencana Kinerja. Pada awal bab ini disajikan gambaran secara singkat sasaran yang ingin diraih unit kerja pada tahun yang bersangkutan serta bagaimana kaitannya dengan capaian visi dan misi DJP. Rencana Stratejik berisi Uraian singkat tentang rencana stratejik unit kerja, mulai dari visi dan misi DJP, tujuan, sasaran serta kebijakan dan program unit kerja. Sedangkan Penetapan Kinerja menyajikan penjelasan mengenai Sasaran Strategis (SS), Indikator Kinerja, realisasi tahun lalu dan target tahun yang bersangkutanv. Akuntabilitas Kinerja.Pada bagian ini disajikan beberapa hal terkait capaian Indikator Kinerja Utama (IKU), evaluasi dan analisis atas kinerja, kinerja lainnya yang berisi kegiatankegiatan ad hoc dan kinerja yang tidak terukur di dalam BSC, serta akuntabilitas keuangan.Adapun capaian IKU dijabarkan dalam suatu tabel seperti berikut ini.Sasaran Strategis IKU Target Realisasi %

vi. PenutupMengemukakan tinjauan secara umum tentang tingkat capaian, permasalahan dan kendala utama yang berkaitan dengan kinerja unit kerja yang bersangkutan serta strateji pemecahan masalah yang akan dilaksanakan di tahun mendatang. vii. LampiranBerisi formulir pengukuran kinerja dan dokumen lainnya yang dipandang perlu untuk dilampirkan. Adapun format formulir pengukuran kinerja dapat berupa tabel beikut ini.Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target Realisasi % Subkegiatan Output/ Komponen Anggaran

Pagu Realisasi %

Jika kita memperhatikan karakteristik dari LAKIP, maka pendekatan model pengukuran kinerja dengan sistem ini memiliki pendekatan yang lebih baik daripada model sebelumnya. Di dalam LAKIP kinerja DJP dan satker di bawahnya tidak hanya diukur berdasarkan penerimaan perpajakan maupun presentase realisasinya yang memiliki beberapa kekurangan sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Di dalam LAKIP juga diperhitungkan kinerja DJP berdasarkan IKU lainnya yang terdapat di dalam Balance Score Card masing-masing unit pelaporan seperti aspek pelayanan serta aspek pembelajaran organisasi.Di dalam LAKIP juga digunakan sistem berjenjang untuk mengkaitkan antara visi dengan kegiatan. Dengan demikian, antara kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu organisasi akan dapat ditelusuri kaitannya dengan program unit atau instansi yang lebih tinggi, bahkan sistem ini dapat menjamin keterkaitan antara kegiatan yang dilaksanakan dengan pencapaian visi dan misi pemerintah. Demikian pula dalam mengevaluasi kinerja, juga dipakai sistem berjenjangNamun, jika kita memperhatikan format pengukuran kinerja, kita tidak menemukan suatu pembobotan perhitungan yang pada akhirnya menghasilkan suatu nilai tungal. Nilai tunggal tersebut berguna dalam penilaian organisasi maupun perbandingan kinerja antar organisasi untuk keperluan insentif organisasi. Disamping itu, sistem pembobotan juga berguna untuk mendistribusikan nilai suatu IKU, karena pada dasarnya ukuran keberhasilan suatu IKU bisa memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan IKU lainnya. Misalnya IKU yang bersifat strategis memiliki nilai yang lebih tinggi daripada IKU yang bersifat administratif saja.Meskipun sudah mengakomodir IKU di dalam dokumen BSC, IKU di dalam LAKIP tidak diklasifikasikan berdasarkan perspektif di dalam BSC. IKU masih diklasifikasikan berdasarkan sasaran strategis berdasarkan unit organisasi. Perspektif di dalam BSC memberikan gambaran bagaimana posisi suatu IKU, baik di dalam suatu organisasi dalam kontribusinya mendukung IKU yang menjadi tujuan utama organisasi maupun posisinya di antara IKU yang lainnya. Ditambah dengan ketiadaan pembobotan IKU, maka presentasi tabel pengukuran kinerja sulit mencerminkan kinerja suatu organisasi.Disamping itu, jika kita memperhatikan format pelaporan LAKIP, format tersebut relatif rumit. Sehingga pembaca laporan cenderung hanya membaca ringkasan eksekutif saja.

c. Balanced Score CardDengan dimulainya program reformasi birokrasi yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan (saat ini Kementerian Keuangan) maka dimulai juga manajemen kinerja Kemenkeu berbasis Balanced Scorecard (BSC).Pengelolaan kinerja berbasis BSC di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 12/ KMK.01/2010 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Departemen Keuangan yang telah diperbaharui dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. Keputusan tersebut mengatur tentang penetapan pengelola kinerja, kontrak kinerja, penyusunan dan perubahan peta strategi, Indikator Kinerja Utama (IKU), dan target, serta pelaporan capaian kinerja triwulanan kepada Menteri Keuangan.Pada dasarnya BSC Kemenkeu harus diturunkan (cascaded) ke seluruh unit organisasi yang ada di bawahnya. BSC Kemenkeu ini disebut Kemenkeu-Wide sedangkan setelah di-cascade ke unit organisasi di bawahnya yaitu ke eselon I disebut Kemenkeu -One, ke eselon II disebut Kemenkeu -Two, ke eselon III disebut Kemenkeu -Three, ke eselon IV disebut Kemenkeu -Four, dan kelevel pelaksana disebut Kemenkeu -Five. Sehingga, setiap tujuan kinerja dari Kemenkeu akan diturunkan kepada unti di bawahnya sampai dengan pelaksana. Di sisi lain, pencapaian setiap unsur organisasi Kemenkeu pada akhirnya mendukung pencapaian Kemenkeu. Dengan kata lain, konsep BSC dapat digunakan sebagai pengukuran kinerja sekaligus perencanaan kinerja.DJP sebagai salah satu unit eselon I di bawah Kemenkeu juga mengimplementasikan konsep BSC ini. Adapun implementasinya menggunakan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-105/PJ/2012 tentang Pedoman Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.Dokumen BSC organisasi DJP terdiri dari peta strategis dan Indikator Utama.Berikut ini merupakan peta strategis DJP pada tahun 2014 yang merupakan hasil cascade dari peta strategis Kemenkeu Wide berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29/KMK.01/2014 tentang Penetapan Peta Strategi dan Indikator Utama Tingkat Kementerian dan Unit Eslon I di Lingkungan Kementeran Keuangan Tahun 2014.

Secara lebih rinci, peta strategis tersebut dijelaskan di dalam Indikator Kinerja Utama DJP sebagai berikut.

PERSPEKTIFBOBOTPENJELASAN IKUTARGET

Stakeholder30%Jumlah Penerimaan PajakRp 1.110,19 T

Pelanggan20%Indeks Kepuasan Pengguna Layanan3,94 (skala 5)

Presentase Penyampaian SPT melalui e-filling100%

Persentase Tingkat Kepatuhan Formal WP70%

Proses Internal20%Presentase panggilan call center terjawab81%

Tingkat Kepuasan Pengguna Layanan DJP71 (skala 100)

Tingkat efektifitas penyuluhan dan humas71 (skala 100)

Presentase WP terdaftar40,2%

Audit Coverage Ratio100%

Tingkat efektivitas pemeriksaan pajak85%

Persentase keberhasilan pelaksanaan joint audit 72%

Persentasi hasil penyidikan yang dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan 50%

Presentase pencairan piutang pajak25%

Pembelajaran dan Pertumbuhan30%Indeks Kesehatan Organisasi68 (skala 100)

Presentase implementasi inisiatif transformasi kelembagaan100%

Persentase penyelesaian pembangunan dan pengembangan modul sistem informasi yg dapat dikaitkan dengan Renstra DJP100%

Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatan81%

Persentase penyerapan anggaran dan pencapaian output belanja95%

Di dalam penyampaian laporan kinerja berdasarkan model BSC, unit organisasi akan melakukan perhitungan Nilai Kinerja Organisasi (NKO) dengan tabel berikut ini.

Dalam perhitungan tersebut, setiap IKU akan memiliki bobot yang berbeda, demikian pula setiap perspektif sesuai dengan ketentuan yang disepakati sebelumnya. Pelaporan dilaksanakan setiap triwulanan untuk mengantisipasi adanya perubahan target akibat perubahan asumsi penyusunan kontrak kinerja di dalam BSC.Jika kita membandingkan model BSC ini dengan LAKIP, maka model ini memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut.i. Tampilan laporan yanglebih sederhana dan lebih mudah dipahami oleh pembaca laporan.ii. Adanya aspek pembobotan dalam penilaian IKUiii. Adanya Nilai Kinerja Organisasi yang dapat digunakan sebagai acuan penilaian kinerja organisasi secara keseluruhan serta dasar pemberian insentif organisasi.