beragama yg benar sesuai dalil quran dan sunnah

Upload: youngky-haryanto

Post on 02-Mar-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Beragama yang benar

TRANSCRIPT

Beragama yg benar sesuai dalil Quran dan Sunnah

-Dakwah Harus Dilandasi IlmuSalah satu sebab yang banyak mengacaukan dakwah ini adalah ketiadaan ilmu. Syaikh Ibnu Utsaiminrahimahullahberkata, .. karena sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud di atas bashirah itu bukan ilmu syariat saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syariat, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah (lihatal-Qaul al-Mufid ala Kitab at-Tauhid[1/82]). Syaikh Abdurrazzaq al-Badrhafizhahullahberkata,Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.(lihatSyarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)Allahtaalaberfirman (yang artinya),Katakanlah -hai Muhammad-: Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Maha suci Allah, aku bukan tergolong bersama golongan orang-orang musyrik.(QS. Yusuf: 108)

-Kembalikan Kepada al-Kitab dan as-SunnahAllahtaalaberfirman (yang artinya),Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul serta ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.(QS. an-Nisaa: 59).Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahberkata, Apabila umat manusia kembali kepada al-Kitab dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam niscaya persatuan itu akan terwujud. Sebagaimana hal itu telah terjadi pada generasi awal umat ini, padahal mereka dahulu -sebelumnya- berpecah-belah (lihatal-Ishbah fi Bayani Manhaj as-Salaf fi at-Tarbiyah wa al-Ishlah, hal. 82).Beliau juga menekankan, Tidak akan bisa menyatukan hati dan mempersatukan umat manusia kecuali dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Kalau tanpa itu maka tidak mungkin mereka bisa bersatu (lihatal-Ishbah, hal. 82). Syaikh Abdullah al-Ubailanhafizhahullahberkata, Dengan tiga perkara berikut ini, maka persatuan itu akan terlaksana; [1] aqidah yang sahihah, [2] kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika berselisih, [3] taat kepada ulil amri (umara/ulama) serta selalu menginginkan kebaikan bagi mereka dan menasehati dengan cara yang bijak.(lihatal-Ishbah, hal. 84).

-Menjauhi Perpecahan dan Fanatisme ButaAllahtaalaberfirman (yang artinya),Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan, dan untuk mereka itulah siksaan yang sangat pedih.(QS. Ali Imran: 105).Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzanhafizhahullahberkata, Ini merupakan larangan bagi kita supaya tidak menjadi sebagaimana orang-orang jahiliyah yang suka berpecah-belah dalam agama mereka dan berselisih. Namun, hal itu terjadi bukan karena kebodohan mereka, akan tetapi hal itu timbul karena hawa nafsu. Setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan. Mereka meninggalkan keterangan-keterangan tersebut dan justru mengikuti kemauan hawa nafsunya. Sehingga faktor yang mendorong mereka menuju perpecahan ini adalah hawa nafsu -kita berlindung kepada Allah darinya-. Mereka telah mempertuhankan hawa nafsu mereka sebagai sesembahan selain Allahazza wa jalla(lihatSyarh Masail Jahiliyah, hal. 36-37)Syaikh Abdullah al-Ubailanhafizhahullahberkata, Mereka -Ahlus Sunnah- meyakini bahwa sebab utama perpecahan adalah sikap sektarian dan suka bergolong-golongan pada diri sebagian kaum muslimin terhadap suatu kelompok tertentu, jamaah tertentu, atau sosok tertentu selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia. (lihatal-Ishbah, hal. 85).Suatu ketika, Ibnu Abbasradhiyallahuanhumaditanya,Kamu berada di atas millah Ali atau millah Utsman?. Maka beliau menjawab,Bahkan, saya berada di atas millah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.(lihatal-Ishbah, hal. 86)

-Menempuh Sebab-Sebab Menuju PersatuanSyaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahberkata, Para sahabat dahulu biasa meninggalkan pendapat pribadi mereka, meskipun pendapat itu dibangun di atas al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka meninggalkannya apabila hal itu menjadi sebab tercerai-berainya persatuan. Lihatlah, bagaimana sikap Abdullah bin Masud seorang sahabat yang mulia -semoga Allah meridhainya- tatkala Amirul Mukminin Utsman radhiyallahuanhu menyempurnakan sholat (tidak mengqashar) di Mina. Padahal, Ibnu Masud radhiyallahuanhu berpendapat qashar di Mina. Meskipun demikian, apabila beliau sholat di belakang Utsman radhiyallahuanhu maka beliau menyempurnakan (tidak qashar). Ketika ditanyakan kepadanya tentang hal itu, beliau menjawab, Wahai putraku, perselisihan itu buruk. (HR. Bukhari dan Muslim). (lihatal-Ishbah, hal. 97).Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahberkata, Memang terkadang sesuatu yang lebih utama ditinggalkan kepada sesuatu yang kurang utama, hal itu apabila dengan sesuatu yang kurang utama itu akan membuahkan persatuan. Di saat semacam itu, wajib baginya untuk mengalah dari menginginkan sesuatu yang lebih utama menuju sesuatu yang kurang utama. Hal itu perlu dilakukan demi utuhnya kesatuan dan persatuan kaum muslimin(lihatal-Ishbah, hal. 98).Beliau menambahkan, Hal itu -dianjurkan untuk mengalah- berlaku dengan catatan selama tidak merusak agama. Adapun apabila menimbulkan kerusakan agama, maka tidak boleh. Oleh karenanya wajib bagi seorang muslim mengalah dari memaksakan pendapat dan ijtihadnya, meskipun menurutnya apa yang dia yakini itulah yang lebih utama. Lantas, bagaimana lagi apabila ternyata apa yang dianut oleh jamaah (mayoritas umat/ulama) adalah sesuatu yang lebih utama, sedangkan apa yang diyakini oleh orang yang menyelisihi ini adalah sesuatu yang kurang utama, atau bahkan sesuatu yang tidak benar?!. (lihatal-Ishbah, hal. 98).Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullahberkata, Oleh sebab itu seharusnya para penuntut ilmu dan orang-orang yang menyandarkan diri kepada ilmu mencamkan baik-baik kaidah ini; yaitu apabila seseorang muslim memiliki pendapat dan ijtihad yang seandainya ditampakkan kepada orang banyak menimbulkan kekacauan dan persengketaan, maka semestinya dia tidak perlu menampakkannya. Cukuplah dia mengikuti apa yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Sebab hal itu lebih menjamin -kebaikan- baginya dan lebih mendekati kebenaran. Syaikh Abdullah al-Ubailan mengomentari ucapan terakhir Syaikh al-Fauzan di atas, Benar, hal ini tidak ragu lagi sangat diperlukan. Apalagi dalam kondisi berkecamuknya fitnah. (lihatal-Ishbah, hal. 98).

-Bersemangat Mencari KebenaranIbnul Qoyyimrahimahullahberkata, Sesungguhnya kebenaran yang belum kita ketahui jumlahnya jauh berkali lipat lebih banyak daripada kebenaran yang sudah kita ketahui. Kebenaran yang sudah kita ketahui dan tidak ingin kita kerjakan kerena faktor meremehkan atau malas bisa jadi seimbang jumlahnya dengan kebenaran yang ingin kita kerjakan, atau bahkan jauh lebih banyak, atau kurang dari itu. Begitu pula, kebenaran yang tidak sanggup kita lakukan dibandingkan dengan yang sanggup kita lakukan pun demikian keadaannya. Kebenaran yang sudah kita ketahui secara global pun mungkin masih terlalu banyak yang tidak kita ketahui rinciannya. Oleh sebab itulah maka kita membutuhkan hidayah yang sempurna. (lihatat-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9)Syaikh Abdul Muhsin al-Abbadhafizhahullahberkata, Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surat al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap rakaat sholat; baik sholat wajib maupun sholat sunnah. (lihatQathfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 114)Allahtaalaberfirman (yang artinya),Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan [menuju keridhaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah akan bersama dengan orang-orang yang berbuat ihsan.(QS. al-Ankabut: 69)Imam Ibnul Qoyyimrahimahullahberkata, Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad/kesungguh-sungguhan. Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan syaitan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Maka barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini akan Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang akan mengantarkan kepada surga-Nya. Dan barangsiapa yang meninggalkan jihad itu maka dia akan kehilangan sebagian petunjuk sekadar dengan jihad/perjuangan yang dia abaikan. (lihatadh-Dhau al-Munir[4/518],al-Fawaid, hal. 58)