belajar pada bambu

25
Belajar pada Bambu Saya teringat ketika masih duduk di bangku sekolah, apabila bosan mengikuti pelajaran yang disampaikan, saya terbiasa mencoret-coret buku catatan saya dengan berbagai coretan yang tidak jelas . Salah satu kesukaan saya adalah menggambar pohon bambu. Entah kenapa saya senang menggambar pohon bambu dibanding pohon kelapa atau pohon pisang, atau pohon lainnya. Saya hanya menyukai bentuknya, menyukai sifatnya sebagai tumbuhan rumpun. Bambu merupakan tumbuhan klasifikasi kelas Liliopsida, ordo Poales, familia Poaceae, subfamilia Bambusoideae, rumpun Bambusodae. Waaah…kok jadi pelajaran biologi yaak… . Di Cina bambu melambangkan umur panjang, sementara di India melambangkan persahabatan. Budaya-budaya di negeri Jepang, Korea dan Tiongkok menjunjung keistimewaan, keindahan dan kegunaan pohon bambu. Dalam seni lukis, bambu adalah lambang estetika, sedangkan dalam filsafat, bambu adalah lambang ketahanan. Rongga kosong pada bambu, dalam agama Kung Fu Tse merupakan lambang pengosongan dan pemurnian batin. Di Vietnam, bambu dijadikan simbol kerja keras, kesatuan dan kemampuan adaptasi. Di Vietnam terdapat pepatah ” ketika bambu tua, maka tunas baru akan muncul” ini berarti bahwa bangsa Vietnam tak akan pernah binasa, ketika generasi tua mati, maka muncul generasi yang lebih muda untuk menggantikannya. Terlepas dari mitos yang seringkali saya dengar, bahwa tidak baik menanam pohon bambu di halaman rumah, karena ada “penunggu”-nya, pohon bambu adalah pohon yang menggagumkan. Bukankah sangat jarang sekali kita mendengar bambu tumbang atau patah batangnya karena diterpa badai atau angin topan? Mengapa? Karena akar yang dalam? Rasanya tidak, akar pohon beringin lebih kuat selain menghujam kedalam tanah, akar serabutnya juga menjalar disekililingnya. Atau karena batang bambu lebih kuat? Bukan juga rasanya ! Pohon jati jauh lebih kuat. Apa rahasia sang bambu ini? Coba kita perhatikan, apa yang terjadi saat bambu diterpa angin kencang. Rumpun bambu akan menunduk dan merunduk, mengikuti terpaan angin, membiarkan

Upload: khakimnur9617

Post on 23-Jun-2015

303 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Belajar pada Bambu

Belajar pada Bambu

Saya teringat ketika masih duduk di bangku sekolah, apabila bosan mengikuti pelajaran yang disampaikan, saya terbiasa mencoret-coret buku catatan saya dengan berbagai coretan yang tidak jelas . Salah satu kesukaan saya adalah menggambar pohon bambu. Entah kenapa saya senang menggambar pohon bambu dibanding pohon kelapa atau pohon pisang, atau pohon lainnya. Saya hanya menyukai bentuknya, menyukai sifatnya sebagai tumbuhan rumpun.Bambu merupakan tumbuhan klasifikasi kelas Liliopsida, ordo Poales, familia Poaceae, subfamilia Bambusoideae, rumpun Bambusodae. Waaah…kok jadi pelajaran biologi yaak… . Di Cina bambu melambangkan umur panjang, sementara di India melambangkan persahabatan. Budaya-budaya di negeri Jepang, Korea dan Tiongkok menjunjung keistimewaan, keindahan dan kegunaan pohon bambu. Dalam seni lukis, bambu adalah lambang estetika, sedangkan dalam filsafat, bambu adalah lambang ketahanan. Rongga kosong pada bambu, dalam agama Kung Fu Tse merupakan lambang pengosongan dan pemurnian batin. Di Vietnam, bambu dijadikan simbol kerja keras, kesatuan dan kemampuan adaptasi. Di Vietnam terdapat pepatah ” ketika bambu tua, maka tunas baru akan muncul” ini berarti bahwa bangsa Vietnam tak akan pernah binasa, ketika generasi tua mati, maka muncul generasi yang lebih muda untuk menggantikannya.

Terlepas dari mitos yang seringkali saya dengar, bahwa tidak baik menanam pohon bambu di halaman rumah, karena ada “penunggu”-nya, pohon bambu adalah pohon yang menggagumkan. Bukankah sangat jarang sekali kita mendengar bambu tumbang atau patah batangnya karena diterpa badai atau angin topan? Mengapa? Karena akar yang dalam? Rasanya tidak, akar pohon beringin lebih kuat selain menghujam kedalam tanah, akar serabutnya juga menjalar disekililingnya. Atau karena batang bambu lebih kuat? Bukan juga rasanya ! Pohon jati jauh lebih kuat.Apa rahasia sang bambu ini?Coba kita perhatikan, apa yang terjadi saat bambu diterpa angin kencang. Rumpun bambu akan menunduk dan merunduk, mengikuti terpaan angin, membiarkan dirinya mengikuti arahan angin. Bahkan, sifat lenturnya sanggup membuatnya melengkung. Tidak seperti pohon-pohon lain yang berdiri kaku dan tegak, seperti menantang kekuatan angin, yang seringkali mengakibatkan ranting dan batangnya menjadi patah. Sifat lentur pula yang mengembalikan bambu pada sikap tegaknya setelah badai usai.Sepanjang hidup kita, seringkali persoalan, kesulitan dan penderitaan datang menerpa. Terkadang datang bagaikan angin semilir, namun lebih sering datang sebagai angin kencang, sebagai badai. Ketika angin kencang itu datang, otomatis kita bertahan, bahkan seringkali kita bertahan dengan cara melawan dan menantangnya. Lama kelamaan, hanya

Page 2: Belajar pada Bambu

kelelahan yang didapat dan yang lebih parah, kita patah atau tumbang. Lalu, apa yang sah dengan sikap bertahan? Apakah kita harus menyerah? Tidak ada yang salah dengan sikap bertahan, hanya cara dalam bertahan itu yang penting. Bambu tidak pernah menyerah pada angin, ia justru bertahan. Akarnya tetap berpijak, bahkan menjadi semakin dalam. Badai justru membuat bambu menjadi lebih kuat.Di Hiroshima dan Nagasaki, setelah luluh lantak oleh bom atom, bambulah yang tumbuh untuk pertama kalinya sebagai tumbuhan pioner. Kembali bambu mengajarkan kita bahwa dimanapun kita berada, sesulit apapun keadaan, tak ada kata menyerah untuk terus tumbuh, tak ada alasan untuk berlama-lama terpuruk dalam keterbatasan, karena bagaimanapun, pertumbuhan diawali dengan kemampuan untuk mempertahankan diri dalam kondisi yang paling sulit sekalipun.Sifat lentur yang sanggup melengkungkan diri adalah rahasia untuk bertahan.

Sekokoh dan Selentur BambuPosted on 16/03/2008 by toeti

Hujan masih menghiasi langit Sungguminasa sore itu dan sesekali petir juga menggelegar mengejutkan semua orang yang harap-harap cemas menanti hujan reda agar dapat melakukan perjalanan menuju Parang Banoa. Menjelang Ashar akhirnya hujan benar-benar berhenti tercurah dari langit, kami ber-sepuluh memasuki mobil masing-masing dan bersiap melakukan perjalanan akhir pekan. Mulut saya seolah terkunci, bukan karena sariawan sedang menghiasi mulut dan gusi, melainkan karena saya tidak mengenal orang-orang yang bersama saya saat ini. Yang saya tahu hanya Pak Hasyim, dan Ibu Sohra, Seorang Mahasiswa S3 Bidang Lingkungan Hidup yang sedang melakukan penelitian tentang cacing tanah. Senang rasanya bisa berada diantara mereka, saya banyak belajar mengenai kearifan-kearifan lokal yang kadang dilupakan orang seperti saya ini. Mobil meninggalkan kota Sungguminasa melewati jembatan kembara yang menjadi icon Kabupaten Gowa, kami memasuki Kecamatan Pallangga menuju Perkampungan Parang Banoa. Sebenarnya, kalau saja tidak ada sungai Je’ne Berang yang melintasi kabupaten gowa,

Parang Banoa ini letaknya hanya 1-2 kilometer di belakang kantor saya, ada jalan pintas dan kemudian disambung dengan perahu untuk memasuki Parang Banoa seperti perjalanan yang pernah kami lakukan, tetapi karena kali ini cuaca tidak bersahabat dan arus sungai agak meningkat, kami semua lebih memilih menggunakan mobil. Sepanjang jalan saya hanya sibuk dengan pikiran saya sendiri, memandang persawahan yang luas. Jalan yang berkelok-kelok tak sama sekali tak mampu mengganggu apa yang sedang saya pikirkan.. I Dont Care.

Keadaan berubah ketika mobil mulai memasuki perkampungan, saking ributnya orang-orang mengomentari apa yang dia lihat, saya pun turut larut dalam pembicaraan, mulai dari mengomentari pohon maja dan buahnya yang banyak tumbuh disepanjang jalan desa berlubang yang kami lewati, rumah-rumah penduduk yang masih asli berupa panggung yang terbuat dari kayu dan juga kami juga sempat melontarkan kalimat-kalimat yang mengutarakan ironisme-ironisme yang terjadi, Parang Banoa letaknya tak jauh dari Kota Makassar, namun hampir sebagian penduduknya belum menikmati fasilitas yang ada seperti perkampungan lain, kehidupan sosial penduduknya pun juga jauh tertinggal. Semakin jauh kami menjelajahi Parang Banoa, saya semakin takjub oleh keindahan alam yang masih asli di tempat yang tak jauh dari Kota Makassar yang hingar-bingar oleh kesibukan orang sekedar untuk

Page 3: Belajar pada Bambu

mengumpulkan kepingan-kepingan rupiah. Di belakang pemukiman penduduk setempat, kami mulai memasuki hutan bambu yang sangat rapat, sungguh, tak terlukiskan keindahannya, sesekali kami medapati pohon besar yang tumbuh menjulang disela-sela pohon bambu. Semakin jauh menyusuri hutan bambu ini, saya menjadi tahu, bahwa hutan bambu ini berada persis di tepi sungai Je’ne Berang. Bila sepanjang perjalanan yang pernah saya lakukan kearah malino, saya mendapati hutan yang gundul, tetapi di Parang Banoa justru sebaliknya, hutan bambu yang rimbun menyejukkan mata dan batin saya setelah seminggu energi dan emosi terkuras di tempat kerja.

Pemandangan yang saya temui di Parang Banoa memiliki kesamaan dengan pemandangan yang ada di Lengkong Sari. Perkampungan kecil di Kabupaten Magelang yang menjadi kampung yang terisolir oleh adanya aliran Sungai Blongkeng dan adanya sebuah bukit yang mengakibatkan untuk menjangkau perkampungan tersebut bila berjalan kaki bisa mengambil jalan pintas menyeberangi sungai dari arah Kota Muntilan, namun jika menggunakan mobil, harus berjalan memutar mengitari Bukit Gunung Sari dan melewati persawahan yang luas, dan jika mengendarai kendaraan roda dua bisa melewati jalanan sempit yang dibuat masyarakat dengan memotong perbukitan. Kemiripan yang nampak jelas adalah pada penduduknya yang rata-rata masih menempati rumah-rumah tradisional dan masing-masing perkampungan tersebut memiliki hutan yang didominasi oleh tanaman bambu. Sepanjang perjalanan saya di beberapa daerah di pulau jawa, dan pengamatan sehari-hari saya di beberapa kawasan pegunungan dan perbukitan, tanaman bambu hampir mendominasi kawasan tepi sungai dan juga kawasan-kawasan di kaki bukit dan kaki gunung. Yang paling mengesankan adalah populasi tanaman bambu di kaki Gunung Merapi, dari penjuru manapun kita mendekati puncak merapi, selalu saja kita akan menemui pohon bambu. Dari arah Cangkringan, Turi, Magelang bahkan Boyolali.

Masa kecil saya-pun tak lepas dengan benda-benda yang terbuat dari bambu ini. Saya pribadi mempunyai kehidupan yang tak pernah lepas dari bambu. Masa kecil saya pernah saya lewatkan di sebuah perkampungan yang masih sangat sepi pada waktu itu, dimana rumah saya yang pertama adalah rumah beralas tanah dengan dinding dari bambu basah yang dianyam oleh ayah dan kakek. Ketika anyaman bambu mengering, dinding rumah saya tak lebih hanya sekedar pengukuh bahwa ada sebuah bangunan yang berisi orang, pada malam hari, udara dingin Lereng Merapi begitu leluasa menerobos masuk dan membuat saya yang kala itu masih balita, ibu dan ayah harus merapatkan kain batik yang menutupi tubuh. Seiring berjalannya waktu dan sejalan dengan petualangan kecil yang pernah saya lewati hingga saya berada di daratan Sulawesi saat ini dan mengukir kembali kenangan pohon bambu di Parang Banoa, pohon bambu tak hanya menjadi bahan untuk sekedar membuat ajir tanaman, dinding rumah, atau kayu bakar. Keberadaan pohon bambu telah menjadi bagian dimana saya dapat belajar dan memaknai hidup ini. Di masa kecil saya tinggal di sebuah kebun luas yang diberikan kakek kepada ayah, sebuah kebun ditepi sungai. Bagian kebun yang merupakan sisi sebuah sungai kecil sering sekali longsor akibat tanahnya terbawa arus sungai. Kami sekeluarga tak memiliki cukup uang untuk membeli batu dan semen untuk membuat tanggul yang cukup kuat, jika sudah begini, ayah akan memotong tanaman bambu legi (pring legi) kemudian ditancapkan di tebing sungai, dan antar patok satu dengan patok lain dengan jalinan tali yang terbuat dari bambu apus untuk menahan tanah agar tidak terus terbawa arus sungai. Selama beberapa bulan, patok-patok bambu itu tetap berwarna hijau, sebelum dari buku-bukunya muncul tunas baru. Selama berbulan-bulan patok bambu itu bersemedi..tetapi di bagian bawah.. dibagian buku-buku yang tertanam di tanah.. akar-akar serabut tumbuh pesat, menjalar kemana, memperkokoh posisinya di tebing sungai, membentuk jalinan yang saling merekatkan satu sama lain, diam-diam patok bambu itu menyusun kekuatan di tempat tersembunyi terlebih dahulu, kemudian baru memunculkan tunas-tunas baru dibagian atas dan memamerkan daunnya yang selalu hijau sepanjang tahun. Sadar atau tidak,patok-patok itu telah mengajarkan pada kita untuk membangun pondasi hidup yang kuat terlebih dahulu, baru kita tumbuh sesuka hati kita dan tanpa disuruhpun orang lain akan melihatnya, tak perlu menyombongkan diri. Tak Cuma patok yang menyebabkan bambu nyebar dimana-mana, tetapi terkadang orang menanam bonggol yang ada tunasnya, dan karakteristik tunas bambu juga unik, dia akan memperkuat akarnya terlebih dahulu, baru memunculkan tunasnya di atas permukaan tanah. Sebuah hasil kajian ilmiah menyebutkan bahwa tunas bambu ada yang dapat tumbuh 121 cm dalam sehari, dan pada akhirnya bambu dinobatkan sebagai tanaman yang yang mempunyai pertumbuhan tercepat di muka bumi.. wow.. fantastis bukan… ini mengajarkan bahwa bila pondasi hidup yang kita bangun cukup kuat.. kita dapat melesat secepat yang kita inginkan.

Terkadang saya kasihan kepada bambu, ia cenderung tumbuh di tempat-tempat yang sulit seperti keluarga pomaceae lainnya. Lereng gunung yang tandus, tebing tebing sungai, tapi untungnya bambu tidak punya mulut, sehingga tak sedetikpun dia mengeluhkan ketidaklayakan tempat yang ditinggalinya, bahkan ketika si bambu harus

Page 4: Belajar pada Bambu

tumbuh di lahan-lahan kritis yang air saja sulit didapat.. mereka tak pernah menangis. Yang paling tragis yang pernah dialami bambu adalah di Jepang dan di Jogja (ini sepanjang pengetahuan saya lho) ketika lereng merapi luluh lantak oleh awan panas yang menyembur.. beberapa waktu kemudian, bambu-lah yang tumbuh pertama kali sehingga selalu kita jumpai di lereng merapi, dari sisi manapun bambu selalu nampak, dan ini pula yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki, bambu yang tumbuh untuk pertama kalinya sebagai tumbuhan pioner setelah beberapa waktu sebelumnya bom atom meluluhlantakkan kedua tempat tersebut. Sampai disini bambu kembali mengajarkan kita bahwa dimanapun kita berada, sesulit apapun keadaan, tak ada kata menyerah untuk terus tumbuh, tak ada alasan untuk berlama-lama terpendam dalam keterbatasan, karena bagaimanapun pertumbuhan demi pertumbuhan harus diawali dari kemampuan untuk mempertahankan diri dalam kondisi yang paling sulit sekalipun.

Setelah tanaman bambu tumbuh optimal, lengkap dengan ranting dan daun disekujur batangnya dan tinggi menjulang, apa yang kita lihat… ya. Daun bambu tumbuh lurus, tak ada satupun daun bambu yang sudah waktunya mekar kembali menangkup seperti daun bambu muda,dia tetap mekar lurur, sampai waktu gugur tiba dan tergantikan oleh daun-daun baru, ya.. disini daun bambu menunjukkan kesetiaan kodratnya, tetap lurus dari awal hingga akhirnya harus lepas dari batang tempat dia bertaut untuk mendapatkan asupan makanan dari akar. Tahap akhir pertumbuhan pohon bambu tumbuh menjulang dengan kehijauan sepanjang tahun, walau badai datang, angin kencang menerpa, bambu tetap tak bergeming dari tempatnya bertumpu, walau jujungnya bergerak kesana kemari mengikuti dorongan angin ia senantiasa kembali ke posisi semula …. inilah simbol tuntutan hidup yang senantiasa harus fleksibel, lentur dan mengikutia rus tanpa harus roboh tercabut dari pondasi yang menjadi pijakannya.. seperti kata Krishnamurti yang dituangkan dalam bidadari words-nya : Terus membangun pondasi akar pondasi agar kokoh, terus membangun ruas demi ruas yang ulet hingga menjulang sangat tinggi, mengikuti terpaan angin hingga tinggi tanpa melawan, namun tetap kemballi ke tempat semula, kokoh, berprinsip dan lembut.

Kemampuan bambu untuk tumbuh ditempat yang sulit menyebabkan bambu tersebar dalam area yang sangat luas dari kawasan yang terbentang diantara 50 derajad lintang utara dan 47 derajad lintang selatan. Penyebaran yang luas memungkinkan banyak sekali penggunaan bambu untuk tujuan yang berbeda, sumpit di kawasan Asia Timur seperti jepang dan korea, bahan anyaman untuk wadah, perangkap ikan, sampai alat musik dan obor penerangan, ini mengajarkan kita bahwa dimanapun kita berada, dimana bumi dipijak, senantiasa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi lingkungan sekitar kita.

Begitu banyak intisari kehidupan yang dituturkan oleh bambu, begitu banyak pula perlambang-perlambang yang dibuat orang dari berbagai negara untuk mengabadikan ajaran-ajaran Tuhan lewat buku terbesar di dunia yang berjudul ALAM ini, di China, bambu sebagai simbol umur panjang, di India sebagai simbol persahabatan, di Vietnam, bambu dijadikan simbol kerja keras, optimisme kesatuan, kemampuan adaptasi. Vietnam bahkan mengabadikan pelajaran berharga dari sebatang bambu ini dengan sebuah peribahasa ” ketika bambu tua, maka tunas baru akan muncul” ini berarti bahwa bangsa Vietnam tak akan pernah binasa, ketika generasi tua mati, maka muncul generasi yang lebih muda untuk menggantikannya.

Keluhuran nilai yang ditampilkan oleh bambu ternyata tak hanya lewat pitutur-pitutur lirih yang hanya dapat dilihat dengan mata batin yang tajam, tapi juga disertai diikuti semangat tinggi seperti ketika sang bambu dipergunakan untuk senjata dalam perjuangan beberapa bangsa di asia tenggara. Pitutur-pitutur lirih itu juga disertai alunan merdu dari kulintang, seruling bambu dan angklung yang tercipta dari batang bambu yang berongga. Dan ketika kegelapan menyergap, bambu juga menyediakan tempat untuk menumpukan pelita yang biasa disebut obor oleh penggunanya, hingga tak ada lagi alasan untuk mengutuk kegelapan, nyalakan obor bambu sebagai penerang dan terus pelajari ajaran Tuhan yang tersembunyi di ALAM ini.

Perjalanan akhir minggu ini, walau singkat dan di tempat yang tak pernah saya lirik sedikitpun padahal berada didepan mata, ternyata sungguh berharga… terimakasih pada rekan-rekan satu team survey Parang Banoa, Salwangga yang pernah memberi PR untuk menulis filosofi bambu, dan Om Kariyan yang membantu mengurai filosofi bambu.

Page 5: Belajar pada Bambu

Filosofi Bambu

wihans.web.id – [filsafat] : Alkisah, ada seorang pemuda yang bertekad menjadi seorang pendekar sakti. Ia mengembara untuk mencari seorang guru terbaik yang bisa mengajarinya ilmu bela diri. Setelah ketemu, ia berusaha keras agar guru sakti itu mau menerimanya menjadi muridnya. Namun, ada satu syarat yang diminta guru itu, yakni harus mengikuti pelajaran apa pun yang diberikan guru itu. Pemuda itu menyanggupi.

Guru itu menyuruh si pemuda untuk menimba air, mencuci baju, dan memanjat pohon untuk mencari sarang burung dan telurnya. Itu harus dilakukan setiap hari tanpa absen satu pun. Lama kelamaan, selama dua tahun, pemuda itu mulai gelisah. Kebosanan mulai merayap di hatinya. Ia merasa ‘dikerjain’ oleh gurunya. Pada tahun ketiga, kebosanan seakan memuncak dan membuatnya berani mengungkapkan protes pada gurunya. Ia siap mengundurkan diri dari padepokan. Sang guru tahu benar isi hati pemuda itu. Diajaklah pemuda itu ke sebuah taman penuh dengan tanaman bambu. Sang guru menyuruh pemuda itu mencabut satu pohon bambu saja. Pemuda itu mencoba dan tidak berhasil. Ia mencobanya berkali-kali dan kegagalan yang sama terulang terus.

mari kita renungi dan hayati bersama filsafat bambu !!

Guru itu mulai bercerita soal pohon bambu. Bambu, katanya, adalah tanaman yang unik. Waktu ditanam, kurang lebih empat tahun pertama, bambu belum menampakkan pertumbuhannya yang

Page 6: Belajar pada Bambu

penting. Tapi, pada saat itulah, akar-akar bambu tumbuh subur. Pada tahun kelima, setelah pertumbuhan akarnya selesai, barulah batang bambu akan muncul. Tumbuh, menjulang ke atas langit. “Itulah yang sedang kamu pelajari. Belajarlah dari pohon bambu ini. Kalau kamu mau menjadi orang hebat dan besar, kamu harus membangun pondasinya lebih dulu. Itulah yang sedang saya latihkan padamu selama tiga tahun ini,” kata guru itu. Pemuda itu pun mulai menyadari maksud gurunya. Ia malu dan melanjutkan pelajaran beladirinya.

Kita perlu belajar seperti pemuda itu. Untuk menjadi baik dan memperoleh kesuksesan, tidak ada jalan lain selain ketekunan dan kegigihan dalam berusaha. Namun, orang cenderung males berproses, apalagi kalau proses itu sarat dengan kerja keras, keringat, dan penderitaan. Filosofi bambu ini mengajarkan kita untuk setia menanam dan merawat. Memang hasilnya tidak akan langsung kelihatan Tetapi, selama kita terus maju dengan gigih dan berusaha, pada saatnya kita akan memetik hasilnya. Persis seperti suatu kata bijak, orang yang pergi ke ladang dengan cucuran air mata akan pulang bersama berkas panennya dengan sorak-sorai. Intinya, tidak ada kesuksesan sejati yang gratis.

Pelajaran kedua dari bambu adalah soal karakter dan cara hidupnya. Bambu adalah satu-satunya tanaman di Asia Pasifik yang fungsinya sangat banyak. Ia pun bisa hidup di alam dengan ragam cuaca, dari tropis ke subtropis. Dari klasifikasinya, bambu tergolong dalam tanaman rumput. Tapi, bambu adalah rumput spektakuler. Tingginya terentang dari 30 cm sampai 30 meter. Ia sebuah tanaman rumput yang unik. Nah, inilah pelajarannya. Meskipun berlatar tanaman rumput, bambu menjadi beda lantaran karakternya. Kegunaan dan caranya bambu mengekspresikan dirinya menjadikan bambu sebagai rumput yang berbeda. Dalam kehidupan pun, latar belakang kita sebenarnya bukanlah penentu. Tetapi, bagaimana kita berupaya mengekpresikan potensi diri, tidak peduli latar belakang yang ada. Itulah yang akhirnya, membuat kita menjadi pribadi yang luar biasa.

Filosofi bambu lainnya adalah soal kegigihan dan keinginan untuk hidup dalam situasi sulit sekalipun. Saat Hiroshima dan Nagasaki dihujani bom atom, hampir seluruh kehidupan di wilayah itu hancur, semua bangunan rata dengan tanah. Tapi, tidak lama, ada jenis mahkluk hidup yang kembali menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Tak lain adalah bambu. Hal ini mengajari kita untuk tidak terkungkung oleh masa lalu, kegagalan, tetapi segera bangkit untuk berusaha maju. Tidak berlama-lama mengutuki kegelapan, tetapi segera bangkit untuk menyalakan pelita.

Soal ini, bisa belajar dari petinju legendaris George Foreman. Foreman kalah telak oleh Muhammad Ali pada tahun 1974 di Kinshasa, Zaire. Ini adalah peristiwa mengejutkan sekaligus memalukan. Foreman yang sebelumnya dielu-elukan bakal di atas angin, justru kalah. Banyak orang, termasuk supporternya, ikut mencaci makinya. Dunia pun segera melupakannya. Tapi, Foreman tidak mau dibekap oleh kegagalan itu. Ia mau menunjukkan sebagai pemenang sejati. Ia banting stir menjadi wirausahawan. Bahkan, pada tahun 1994, ia kembali naik ring dan mengalahkan Michael Moorer. Kemenangan ini menjadikan Foreman sebagai petinju tertua yang memenangkan sabuk tinju kelas berat. Itulah ‘karakter bambu’ pada diri Foreman.

Terakhir, bambu juga mengajari kita soal fleksibilitas. Jarang, kita menyaksikan bambu roboh. Di tengah tumbangnya pohon-pohon lain akibat serangan angin puting beliung, bambu tetap

Page 7: Belajar pada Bambu

kokoh tak bergeming. Selain karena akarnya yang kuat, juga batangnya yang bergoyang bersama angin. Akibatnya, dalam cuaca dan angin kencang, pohon bambu bergoyang dan mengeluarkan desis suara, mengikuti irama angin. Tapi, tidak pernah tumbang. Sementara itu, pohon-pohon lain dengan batang lebih besar, justru tidak kuat menghadapi ganasnya angin. Inilah yang saya sebut dengan fleksibilitas. Pelajarannya? Kita perlu fleksibel dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Dengan begitu, kita tetap akan hidup dan berjaya.

Saatnya belajar dari pohon bambu!

Page 8: Belajar pada Bambu

Membuka dan Membangun Visi; Mengetuk Pintu Gerbang FilsafatPosted on April 5th, 2008 by g13b

Pada Awalnya…?

Asal, arche. Seorang individu manusia hadir dan menginjakkan kakinya ke dunia tidak dari titik awal ruang-waktu. Ia memijakkan kakinya di atas hamparan ruang-waktu yang sedang dan telah lama berjalan, berputar. Bahkan, kehadirannya merupakan “konsekwensi” dan keberlanjutan dari langkah-langkah manusia sebelumnya (?). Entah kapan dan petak-petak mana yang menjadi awal? Oleh karena itu ia sering bertanya pada pembuat langkah dari generasi sebelumnya. Dan kemudian dengan “terpaksa” ia harus tunduk pada pengarahan (direction), pengajaran  dan orientasi orang tua dan generasi tua mereka. Mengerti atau pun tidak. Membantah akan dianggap membikin payung di saat hujan sedang berlangsung, kehujanan.

Ilustrasi tersebut mengisyaratkan dua hal (sebagai awal) pada kita, yaitu: pertama tentang awal, atau asal; dan kedua tentang “menjalani” kehidupan sebagai “manusia”. (bagaimana mana manusia harus mengawali langkahnya, bukan sekedar melanjutkan langkah-langkah pendahulunya?)

Manusia senantiasa melihat dirinya kemudian melihat alam sekitarnya. Sebuah cara membanding-bandingkan. Kemudian kembali melihat dirinya sendiri, dan kemudian kembali melihat sekitarnya. Hal ini berlangsung terus menerus. Proses ini kadang terhenti, ketika manusia merasa telah menemukan “jawaban” atau pola perbandingan yang ia anggap memuaskan, dan “terbukti” “kebenarannya”. “Temuannya” itu disampaikan, diwariskan dan diajarkan kepada penerusnya. Maka, jadilah tradisi, mitos, legenda, ajaran moral, keyakinan, bahkan sains dan mungkin pula agama. Dalam perspektif, realitas merupakan matriks dari sejumlah titik yang “tak terhingga”, setiap orang memetakan dan menyambungkan titik-titik itu, dan membentuk suatu “visi”, makna: kemengertian dan suatu “experience”.

Secara garis besar, terdapat tiga instrumen penginderaan yang dimiliki manusia. Masing-masing instrumen memiliki karakteristik dan cara kerjanya sendiri. Dan, masing-masing instrumen memiliki wilayah realitasnya sendiri-sendiri. Oleh karena itu persepsi manusia secara potensial berdimensi tiga: empirik, rasional dan instuitif. Dalam kepentingan atau keadaan tertentu, secara radikal manusia mengedepankan atau mengeliminir salah satunya atau yang lainnya.

Sebagi ilustrasi sederhana, apabila panca indera diposisikan sebagai salah satu perwakilan dari ketiga besaran penginderaan tersebut. Apa yang disebut manis oleh lidah tentunya akan dikatakan lain oleh mata, penglihatan. Atau bahkan mata menolak keberadaan apa yang disebut manis oleh lidah. Atau, sebaliknya. Apa yang disebut merah akan dinapikan oleh lidah. Bila kedua penginderaan ini potensinya disinergikan akan melahirkan landskap yang lebih luas. Contohnya, bentuk cabai dengan warna merah, dan yang terasa pedas oleh lidah akan menghasilkan suatu visi yang unik: cabai dengan merah memiliki rasa pedas yang berbeda cabai yang berwarna hijau. Bayangkan bila panca indera lainnya pun dilibatkan dalam mengidentifikasi sang cabai!

Page 9: Belajar pada Bambu

Demikian pula dengan ketiga besaran penginderaan. Penginderaan yang melibatkan baik indera fisik, rasio maupun intuisi. Visi apa yang akan mampu manusia lihat, jumpai? Pertanyaan dan jawaban model apa yang dapat manusia buat?

Sebuah Kemungkinan….!

Sebuah visi. Seorang manusia pada awalnya adalah jabang bayi yang dilahirkan manusia lain. Tidak pernah ditemukan di dunia ini manusia yang hadir begitu saja (tidak ada manusia yang keluar dari belahan batu). Demikian juga dengan binatang, dan tumbuhan. Lalu, bagai mana dengan dunia ini: gunung, lautan, api dan lain sebabagianya? Bagaimana semua itu ada, hadir? Apakah mereka memiliki seorang ibu yang melahirkannya, dan juga seorang ayah tentunya?— kenapa tidak, tapi siapa atau apa?—itulah kausalitas, “akibat senantiasa mengikuti sebab”.

Namun, apakah alam semesta ini akibat atau sebab itu sendiri? Kini anda boleh tertawa sepuas-puasnya. Itu pun bila anda merasa lucu! Atau anda anggap pertanyaan itu terlalu mengada-ada dan tampak bodoh!

Kausalitas, adalah salah satu “teorema” atau konsep (yang kemudian dianggap sebagai “hukum”) tertua yang dikenal manusia.

Yang manusia tahu, apa pun hadir karena dilahirkan—ingat manusia senantiasa melihat dalam perspektifnya. Perspektif yang dimulai dengan melihat apa yang terjadi dengan dirinya sendiri! Bila manuisa “dilahirkan” maksudnya ia terlahir karena sebab orang tua, bukan mustahil (dalam cara pandang demikian) alam pun memiliki seorang ibu, yang melahirkannya (sebab awal). Itulah cara berpikir mitotologi. Cara berpikir yang sering kita lecehkan. Yang harus kita perhatikan tentunya bukanlah jawaban, karena toch tidak pernah ada jawaban tuntas untuk masalah apa pun. Jawaban kadang hanyalah sebuah pilihan daris ejumlah kemungkinan. Yang harus kita cermati adalah, bahwa mereka berusahan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan. Pertanyaan, itu yang penting. Pertanyaan adalah sebuah keniscayaan!!! Karena “pertanyaan adalah sebuah awal”. Bertanya, menemukan menjawab, dipertanyakan lagi, dicari lagi jawaban dan kemudian dipertanyakan lagi. Begitu seterusnya. Pertanyaan adalah awal dan sekaligus akhir. Bukanlah jawaban yang berharga bila tidak dipertanyakan ulang. Jawaban dengan tanpa pertanyaan ulang, adalah kematian: pembusukan.

 

Tak ada apa-apa

Rutinitas, perasaan keakraban sering membuat kita tidak peduli dengan apa pun yang hadir di sekitar kita. Lihatlah matahari!? Ia telah sekian lama menyertai kita, semenjak kehadiran kita di bumi ini. Kesetian matahari telah menutup hati dan pikiran kita untuk meragukannya. Ragu terhadap kesetiaan matahari, jangan-jangan esok hari ia tidak lagi akan menyertai kita. Padahal kita lebih sering lupanya dari pada ingatnya akan keberadaan matahari. Apa pun sebabnya. Kita telah terlalu merasa tahu apa pun yang ada di sekitar kita.

Page 10: Belajar pada Bambu

Ikan tidak pernah melihat air, seperti halnya mata kita tidak pernah melihat mata sendiri. Terlalu dekat, terlalu akrab. Bila ikan tak berusaha untuk mengenal air, suatu saat ia akan terjebak di daratan. Mati. Bila mata tak berusaha mengenal dirinya sendiri, perlu luka atau kebutaan untuk membedakannya, mengingatnya.

Atau. Adanya perasaan keberjarakan antara diri kita dengan lingkungan kita, bahkan antara kita dengan diri kita sendiri. Ada perasaan dan pikiran yang hidup dan berkarat dalam benak kita bahwa misteri yang maha dahsyat bukanlah sesuatu yang layak manusia singkap dan pertanyakan. Misteri adalah yang lain, dunia lain, kalau pun itu ada dalam diri kita sendiri. Kita cenderung menutup mata dan menundukkan pandangn kita untuk tidak pernah mengungkap dan beranggapan bahwa mempertanyakan itu justru akan membuat kita mengalami kesulitan karena ulah sendiri. Kalaupun ada terbersit dalam benak dan hati kita tentang sesuatu. Sebuah pertanyaan dan ketidakmengertian. Cukuplah kita merujuk pada apa yang orang pintar katakan. Bahu tidak pernah melampaui kepala, jangan-jangan malah kewalat, pamali.

Orang pintar itu memang kita perlukan sebagai pantai tempat gelombang menepi, tempat kapal berlabuh. Namun, tak ada gelombang dan tak pula kapal yang tertambat dipantai melebihi separuh tarikan napas. Separuh darai napas harus kita sisakan sebagai kekuatan untuk kembali merangkul lautan. Nakhoda memang kadang merindukan daratan, tapi detak jantungnya adalah lautan. Ia tidak pernah bisa lama berada di daratan, atau kematian akan segera menaunginya.

Lautan bukanlah nakhoda, demikian pula sebaliknya. Tapi adakah nakhoda tanpa lautan? Demikian juga dengan daratan. Kenapa ia disebut daratan bila tidak ada lautan, demikian juga sebaliknya. Sesutau yang berbeda dan terpisah ternyata adalah relasi diantara keduanya.

Yang Lainnya. Sejak aku hadir di bumi ini jantungku berdetak, bernafas, mataku bersinar dan memandang apa pun yang aku inginkan. Dan, untuk itu semua aku tidak penah perlu untuk berpikir dan memikirkannya. Memikirkannya? Aku mati bukan karena tidak memikirkan semua itu, tapi aku bisa mati bila tidak memikirkan bagaimana aku mendapatkan uang!

 

Pada akhirnya…

Tapi, itu semua bukanlah akhir, bukan satu-satunya kemungkinan jawaban. Semakin banyak jawaban yang kita dapatkan, semakin banyak pertanyaan yang perlu kita kemukakan. Dan, misteri pun semakin terbuka lebar. Satu misteri terungkap dan terjawab, seribu pertanyaan muncul ke permukaan. Jawaban itu, kemengertian itu ternyata tak lain dan tak bukan adalah pintu gerbang yang mengantarkan kita pada misteri dan ketidakmengertian lainnya. Hidup ini memang aneh. Semakin dimengerti semakin banyak pula misteri yang menanti untuk disingkap. Seperti halnya sebuah jawaban yang beranak pertanyaan dengan jumlah yang lebih banyak.

Mungkin kita ingat kata-kata bijak, kehidupan ini merupakan misteri dari masa tunggu kematian yang akan menyingkapnya, dan kematian itu pun misteri dari masa tunggu menuju kehidupan lainnya. Dan begitu selanjutnya. Kehidupan tidak berada dalam salah satu pasenya akan tetapi dalam menjalani keseluruhannya, secara sadar dan penuh tanggung jawab.

Page 11: Belajar pada Bambu

Bila misteri dan ketidakmengertian yang semakin menumpuk yang kita dapatkan setelah sekian banyak jawaban yang kita temukan, mestikah kita lanjutkan pengembaraan ini? Seperti minum yang menjawab rasa haus, yang untuk kemudian haus kembali. Kantuk yang dibelai nyenyaknya tidur, bangun dan ngantuk kembali. Menemukan jawaban dari pertanyaan untuk mendapatkan pertanyaan yang lebih banyak dan lebih rumit. Dan begitu seterusnya. Bila demikian, untuk apa kita jalani semuanya ini, bila kita hanya akan kembali dan kembali ke keadaan semula?

Kembali ke keadaan semula. Itulah persoalannya. Betulkan kita terus-menerus kembali ke keadaan semula? Bila kita menyimak teorema Heraklitos, bahwa kita tidak pernah menginjak air sungai yang sama walau pun kita tetap menginjakkan kaki kita pada aliran sungai yang sama. Maka, tidak ada yang disebut kembali ke keadaan yang sama. Pertanyaan-pertanyaan sebelumnya tidaklah sama dengan pertanyaan kemudian setelah mendapatkan jawabannya. Dan jawaban sebelumnya tidaklah sama dengan jawaban kemudian setelah menemukan pertanyaannya yang baru. Yang baru tidaklah sama dengan yang lama, dan tidak pula sama kebalikannya.

Bila demikian masalahnya, kita tidak akan pernah bisa berhenti. Karena toh, mencari dan menemukan senantiasa dilakukan pada aliran sungai yang sama, walaupun apa yang kita dapat terus-menerus berbeda. Bukankah keberbedaan yang membuat hidup ini menarik. Keberbedaan itu pula yang membuat kita mampu memlihara hasrat, dan keberbedaan itu pula yang membuat kita bisa bertahan dan mempertahankan serta melangkungkan kehidupan ini. Tak pernah merasa bosan.

Sejumlah kemungkinan jawaban dari pertanyaan yang terlontar akan selalu menyerbu, menggedor relung-relung dan lubang urat sarap kita. Seperti gelombang air laut yang pecah, berusaha menjangkau garis pantai terjauh.

Aku tak tahu: jawaban skeptik. Yang paling penting adalah teruslah bertanya dan mencari jawaban.

Selanjutnya….?

Filsafat Timur tetap mempertahan relasi causal dan relasi efistemologis antara “keberadaan” manusia dengan alam. Dan, Barat mulai membedah dan memisahkannya. Oleh karena itu, filsafat (sistem pengetahuan filosofi Timur) berawal dari berujung pada “etika”, harmoni; sedangkan Barat berkubang di wilayah “ontologi”, wacana tentang “ada”, kontradiksi.

Kata “ada” (ontos) adalah kata yang sangat rumit, sangat abstrak. Karena kita, manusia, berada dalam kumbangan “ada”. Seperti ikan yang sulit, tidak pernah, melihat air, demikian juga manusia demikian sulit untuk melihat ada. Manusia mengenal konsep ada dari perubahan. “Ada” dikenal (ada) karena berubah, mengalir. Mengalir makanya ada kehidupan; ada kehidupan makanya mengalir. Mengalir adalah perwujudan dari pertantangan (dialektika) antara ada dan tiada– yang lainnya mengatakan bahwa perubahan tiada lain dari kumpulan diam. Atau, mengalir adalah “harmoni” antara ada dan tiada (Im-Yang)….?

Page 12: Belajar pada Bambu

Dialektika serta harmoni pada akhirnya menjadi sebuah efistem bukan sekedar sebuah wacana ontologi dan atau metafisika. Dialektika dan harmoni pada ahirnya “hanyalah” sebuah cara pandang terhadap “realitas” yang sama. Kehadiran yang dipandang sebagai kebertentangan (kontradisksi) atau sebagai kebersamaan (harmoni, unity).

Itulah pada awalnya. Awal yang membedakan karakteristik filsafat Barat dengan Filsafat Timur. Awal yang membedakan cara pandang manusia dan cara manusia menyikapi dirinya dan alamnya. (Ahmad Gibson al-Bustomi)

Page 13: Belajar pada Bambu

Mendengarkan Bambu Bicara

Oktober 28, 2009 oleh Henky

Oleh: Gede Prama

Terus terang, lama saya memendam keingintahuan, kenapa banyak lukisan-lukisan yang datang dari Cina dan Jepang berlatar belakang pohon bambu ? Sampai-sampai sempat bertanya ke sana ke mari. Dan rasa ingin tahu ini sedikit terobati ketika bertemu buku dengan judul The Bamboo Oracle karangan Chao-Hsiu Chen. Karya jernih ini bertutur banyak tentang kebijakan-kebijakan Confusius melalui simbul-simbul bambu. Rupanya, pohon yang menarik perhatian saya ini, menyimpan banyak sekali simbul dari sifat-sifat mulia.

Sebutlah sifat bambu yang tidak memiliki bunga dan buah. Tidak sama dengan pohon lainnya yang senantiasa sombong dengan bunga dan buahnya, bambu tetap berdiri tegak tanpa sumber kesombongan terakhir. Semua ini seperti sedang mengingatkan kita manusia, hasil dalam kehidupan, kalau dibiarkan menjadi kekuatan pendikte kesombongan dan kecongkakan, maka mudah sekali membuat orang ‘berakar ke luar’.

Berbeda dengan bambu yang berakar kuat ke dalam, orang-orang yang didikte kesombongan dan kecongkakan, amat dan sangat tergantung pada komentar, pendapat, pujian dan makian orang lain. Dan sebagaimana semua kita tahu, di kaki langit manapun, dengan sikap dan prestasi setinggi apapun, pujian dan makian orang akan senantiasa datang mengikuti. Sehingga kalau pujian dan makian orang yang digunakan sebagai barometer keberhasilan, maka siklus naik dan turun akan senantiasa ikut bersama kita. Ketika dipuji naik siklusnya, tatkala dimaki turun mood-nya.

Kalau boleh jujur, tidak sedikit manusia yang hidupnya dibuat lelah karena senantiasa mendaki dan menuruni siklus pujian dan makian. Dibandingkan lelah naik turun, orang-orang seperti Kabir (salah seorang seniman besar India), memilih untuk berakar ke dalam persis seperti bambu. Dalam kehidupan yang berakar ke dalam, energi utama yang mendorong perubahan dan kehidupan bukan lagi pujian dan makian orang lain, namun kenikmatan untuk senantiasa bersyukur dalam melakukan perjalanan.

Mirip dengan anak-anak sekolah yang pergi tamasya dan di dalam perjalanan selalu bernyanyi ‘di sini senang, di sana senang’, demikianlah kira-kira kehidupan orang-orang yang berakar ke dalam. Kabir bahkan pernah menyarankan untuk tidak perlu pergi ke taman, gunung, pantai dan tempat rekreasi lainnya. Sebab, di dalam sini sudah tersedia keindahan dan kenikmatan yang tidak terbatas jumlahnya. Dan kalau rekreasi ke luar kita membayar mahal, rekreasi ke dalam biayanya amatlah murah secara materi. Hanya diperlukan duduk, hening, syukur dan tersenyum.

Page 14: Belajar pada Bambu

Mirip dengan bambu yang kuat dan kokoh karena berakar ke dalam, demikian juga kehidupan banyak orang yang berakar ke dalam. Tidak ada satupun kekuatan pendikte dari luar yang bisa merobohkannya. Sayang sekali, kehidupan manusia modern tidak mau mendengarkan bambu, untuk kemudian berakar ke luar. Sebagai hasilnya, kebencian, peperangan, penderitaan dan sejenisnya, datang tanpa mengenal rasa lelah.

Sebutlah tragedi meledaknya World Trade Centers New York yang dibumi hanguskan oleh teroris 11 September 2001 lalu, yang belakangan membuka pintu kebencian yang amat mencekam, apa lagi penyebab utamanya kalau bukan kehidupan yang berakar ke luar. Dengan judul-judul seperti memberi pelajaran pada adi kuasa, menegakkan martabat bangsa, ada orang yang bahkan rela mati dan menghancurkan surga di dalam diri, hanya untuk mengundang decak kagum orang lain.

Disamping berakar kuat ke dalam, bambu juga senantiasa hidup dalam keheningan dan kerendahhatian. Lihatlah ketika angin bertiup, ia hanya bergesek-gesek kecil dengan sahabatnya, dan kemudian menimbulkan suara desis yang hening. Dan hening terakhir adalah sejenis kualitas yang sudah lama hilang dari dunia manusia, untuk kemudian diganti dengan kekisruhan, dendam dan sejenisnya. Berbeda dengan dendam dan kekisruhan lain yang mengenal kotak dan pagar-pagar pemisah, keheningan ala bambu sudah lama membuang kotak dan pagar-pagar terakhir. Ketika angin lembut datang, ia berdesis hening, ketika angin ribut datang ia juga berdesis hening.

Seolah-olah sedang mengingatkan, hanya dengan keheninganlah kejernihan pandangan bisa dipertahankan. Ketika peledakan gedung WTC New York baru terjadi, sebagai pribadi hati sayapun menangis, sambil berharap inilah saatnya bagi Amerika untuk menunjukkan kedigdayaannya yang sebenarnya. Ketika itu, lewat dalam bayangan saya sebagai manusia, George W. Bush berpidato penuh senyum : ‘Kita amat terpukul dan berduka dengan kejadian ini. Namun, karena kita bangsa besar, inilah saatnya untuk menunjukkan pada dunia kebesaran kita. Di mana dalam kebesaran dan kedigdayaan, kebencian tidaklah sepantasnya dilawan dengan kebencian, kedengkian tidaklah selayaknya direspons dengan kekisruhan pikiran’. Setidak-tidaknya itulah prediksi saya tentang pidato Bush di hari berikutnya.

Sayang sekali, prediksi saya tentang pidato Bush salah besar. Kedigdayaan Amerika yang dibangun dalam kurun waktu lama bahkan dijatuhkan oleh serangkaian kebencian dan kekisruhan. Ketika tulisan ini dibuat, wajah dunia memang terbelah. Sebagaimana cerita kehidupan yang berakar ke luar, ada yang memuji Amerika, ada juga yang mencaci Amerika. Dan memang demikianlah hakekat kehidupan.

Anda bebas memilih sikap dalam hal ini, dan saya memilih untuk duduk hening mendengarkan suara-suara bambu. Dan sebagaimana disarikan secara ringkas oleh Chao-Hsiu Chen, bambu senantiasa silent, modest, deeply rooted. Hening, sopan dan berakar ke dalam. Setidak-tidaknya demikianlah cita-cita saya dalam perjalanan panjang yang bernama kehidupan.

Page 15: Belajar pada Bambu

Filosofi Bambu

1.Sebelum tumbuh akar bambu lebih dulu menguatkan dirinya sendiri, meskipun berakar serabut, pohon bambu tahan terhadap terpaan angin kencang, dengan kelenturannya dia mampu bergoyang bak seorang penari balet, fleksibilitas itu lah bambu. gerak yang mengikuti arus angin …tetapi tetap kokoh berdiri di tempatnya mengajarkan kita sikap hidup yang berpijak pada keteguhan hati dalam menjalani hidup walau penuh cobaan dan tantangan, namun tidak kaku. 2.Akar Bambu memiliki struktur yang unik karena terkait secara horizontal dan vertikal, sehingga dia tidak mudah ptah dan mampu berdiri kokoh untuk menahan erosi dan tanah longsor di sekitarnya, hikmah yang dapat kita ambil adalah bahwa agar kita mampu berguna baik untuk diri kita sendiri dan orang lain, sehingga akan membuat hidup kita lebih bermakna dan bermanfaat dalam kehidupan kita. 3.Bambu juga dapat di simbolkan sebagai sebuah siklus hidup manusia, contohnya setelah tunas tumbuh lalu keluar lah rebung, ini mengajarkan bagaimana kita perlu proses untuk menjadi lebih baik, dengan kesabaran, ketekunan, kegigihan dalam berusaha itu lah yang akan menjadi pintu kesuksesan seseorang, yah walaupun mungkin standar kesuksesan berbeda setiap orang, tapi itu bisa mengajarkan kita bagaimana cara berproses, hidup bukan sesuatu yang instan tapi dia berproses, tinggal bagaimana kita bisa menjadikan proses ini menjadi lebih berguna bagi kita semua. 4.Kemampuan bambu untuk tumbuh ditempat yang sulit menyebabkan bambu tersebar dalam area yang sangat luas dari kawasan yang terbentang diantara 50 derajad lintang utara dan 47 derajad lintang selatan. Penyebaran yang luas memungkinkan banyak sekali penggunaan bambu untuk tujuan yang berbeda, sumpit di kawasan Asia Timur seperti jepang dan korea, bahan anyaman untuk wadah, perangkap ikan, sampai alat musik dan obor penerangan, ini mengajarkan kita bahwa dimanapun kita berada, dimana bumi dipijak, senantiasa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi lingkungan sekitar kita, sesulit apapun keadaan, tak ada kata menyerah untuk terus tumbuh, tak ada alasan untuk berlama-lama terpendam dalam keterbatasan, karena bagaimanapun pertumbuhan demi pertumbuhan harus diawali dari kemampuan untuk mempertahankan diri dalam kondisi yang paling sulit sekalipun. 5.Dari klasifikasinya, bambu tergolong dalam tanaman rumput. Tapi, bambu adalah rumput spektakuler. Tingginya terentang dari 30 cm sampai 30 meter. Ia sebuah tanaman rumput yang unik. Nah, inilah pelajarannya. Meskipun berlatar tanaman rumput, bambu menjadi beda lantaran karakternya. Kegunaan dan caranya bambu mengekspresikan dirinya menjadikan bambu sebagai rumput yang berbeda. Dalam kehidupan pun, latar belakang kita sebenarnya bukanlah penentu. Tetapi, bagaimana kita berupaya mengekpresikan potensi diri, tidak peduli latar belakang yang ada. Itulah yang akhirnya, membuat kita menjadi pribadi yang luar biasa.

Page 16: Belajar pada Bambu

Kisah Sebatang Bambu

Sebatang bambu yang indah tumbuh di halaman rumah seorang petani. Batang bambu ini tumbuh tinggi menjulang di antara batang-batang bambu lainnya.

Suatu hari datanglah sang petani yang empunya pohon bambu itu. Dia berkata kepada batang bambu, “Wahai bambu, maukah engkau kupakai untuk menjadi pipa saluran air, yang sangat berguna untuk mengairi sawahku?”

Batang bambu itu menjawab, ”Oh tentu aku mau bila dapat berguna bagi engkau, Tuan. Tapi ceritakan apa yang akan kau lakukan untuk membuatku menjadi pipa saluran air itu.”

Sang petani menjawab, “pertama, aku akan menebangmu untuk memisahkan engkau dari rumpunmu yang indah itu. Lalu aku akan membuang cabang-cabangmu yang dapat melukai orang yang memegangmu. Setelah itu aku akan membelah-belah engkau sesuai dengan keperluanku. Terakhir aku akan membuang sekat-sekat yang ada di dalam batangmu, supaya air dapat mengalir dengan lancar. Apabila aku sudah selesai dengan pekerjaanku, engkau akan menjadi pipa yang akan mengalirkan air untuk mengairi sawahku sehingga padi yang kutanam dapat tumbuh dengan subur.”

Mendengar hal ini, batang bambu lama terdiam…., kemudian dia berkata kepada petani, “Tuan, tentu aku akan merasa sangat sakit ketika engkau menebangku, juga pasti akan sakit ketika engkau membuang cabang-cabangku, bahkan lebih sakit lagi ketika engkau membelah-belah batangku yang indah ini, dan pasti tak tertahankan ketika engkau mengorek-ngorek bagian dalam tubuh ku untuk membuang sekat-sekat penghalang itu. Apakah aku akan kuat melalui semua proses itu, Tuan?”

Petani menjawab, “Wahai bambu, engkau pasti kuat melalui semua itu, karena aku memilihmu justru karena engkau yang paling kuat dari semua batang pada rumpun ini. Jadi tenanglah.”

Akhirnya bambu itu menyerah, “ Baiklah Tuan. Aku ingin sekali berguna bagimu. Ini aku, tebanglah aku, perbuatlah sesuai dengan yang engkau kehendaki.”

Page 17: Belajar pada Bambu

Setelah petani selesai dengan pekerjaannya, batang bambu indah yang dulu hanya penghias halaman rumah petani, kini telah berubah menjadi pipa saluran air yang mengairi sawahnya sehingga padi dapat tumbuh dengan subur dan berbuah banyak.

Temen2 pernahkah kita berpikir bahwa dengan masalah datang silih berganti tak habis-habisnya, mungkin Allah sedang memproses kita untuk menjadi lebih indah di hadapan-Nya?

Sama seperti batang bambu itu, kita sedang ditempa, Allah sedang membuat kita kuat untuk menjadi hamba yang akan berbagi manfaat kepada yang lainnya. Dia sedang membuang kesombongan dan segala sifat kita yang tak berkenan bagi-Nya.

Tapi jangan khawatir, kita pasti kuat karena Allah tak akan memberikan beban yang tak mampu kita pikul. Jadi maukah kita berserah pada kehendak Allah, membiarkan Dia bebas berkarya di dalam diri kita untuk menjadikan kita alat yang berguna bagi-Nya?

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma’aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS.02:286)

Yakinlah! Kepedihan, ujian dan penderitaan yang kita alami tak akan menjadi sia-sia jika kita ridho menerimanya sebagai bentuk kepatuhan dan ketundukan kita pada-Nya.

Seperti batang bambu itu, mari kita berkata, “Ya Allah ini aku, perbuatlah sesuai dengan yang Kau kehendaki.”