bedah syaraf (fx cervical + spinal syok di icu)

Upload: putyceria86

Post on 01-Mar-2016

61 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bedah

TRANSCRIPT

PENATALAKSANAAN FRAKTUR VERTEBRA CERVICALIS 3-4 DENGAN SPINAL SHOCK DI ICU

Abstrak Telah dilakukan perawatan terhadap seorang pasien laki-laki umur 39 tahun dengan diagnose Burst fraktur VC 3-4 dengan tetraparese, spinal shock. Pasien dirawat di ICU selama 4 hari dengan monitoring hemodinamik dengan Noninvasif Blood Pressure, EKG, pulse oksimetri, monitor suhu dan pemasangan CVC. Pasien diposisikan in line mobilisasi, Dilakukan pemasangan kateter urine dan NGT. Dilakukan intubasi endotrecheal dengan mechanichal ventilation mode P-SIMV RR 14x/mnt,FiO2 40%,P-Control 10, PEEP 5. Support inotropik dengan noradrenalin 0,1 g/kgbb/mnt. Dengan Hemodinamik tekanan darah sistol 80-100 mmHg, tekanan darah diastole 40-70 mmHg, heat rate 45-60 x/menit dan saturasi 96-100%. Dengan terapi suportif injeksi metilprednisolon, ranitidine, ceftriaxon, fentanil, metilcobalamin, citikolin dan heparin unfractioned.

Pendahuluan Pasien dengan trauma medula spinalis mempunyai tantangan tersendiri bagi ahli anestesi. Trauma pada vertebra servikalis memiliki banyak potensi masalah yang dapat timbul sebelum operasi, pada saat operasi berlangsung dan setelah operasi. Semua potensi masalah tersebut harus dapat diprediksi dan dilakukan langkah-langkah antisipasinya. Outcome tidak hanya tergantung pada trauma primer yang terjadi tetapi juga tergantung pada menejemen yang benar-benar cermat dan teliti dalam proteksi medula spinalis selama resusitasi, periode perioperatif dan selama perawatan di ICU.( Rao U, 2008; Bisri T et all, 1997; Patel D, 2009) Berdasarkan database dari national spinal cord injury insidensi spinal cord injury mencapai 40 kasus per juta kasus atau 12.000 pasien pertahun. Awalnya menyebabkan kematian pada pasien spinal cord injury berdasarkan survival adanya gagal ginjal. Sekarang ini menyebabkan kematian karena peneumonia, emboli paru atau septicemia. Harapan hidup pasien dengan spinal cord injury terus meningkat tapi secara umum masih lebih rendah. Berdasarkan tahun 2003 di US, kesehatan usia 20 tahun akan memiliki harapan hidup dibandingkan umur 78, tahun, dimana quadriplegi pada trauma umur 20 tahun memiliki harapan hidup hanya 60%. Laki laki dibanding perempuan 4 berbanding 1. Sejak 2005 rata-rata umur yang mengalami trauma 39,5 tahun, mencerminkan meningkatnya pada usia menengah berdasarkan populasi umum US. SCI 3,5% terjadi pada anak umur 15 tahun, dimana akan meningkat insidensi spinal cord injury pada usia lebih dari 60 tahun. Sejak 2005, penyebab spinal cord injury kecelakaan sepeda motor (42%), jatuh dari ketinggian (27,1%), luka tembak (15,3) dan olah raga (7,4%).(Schreiber D, 2009)

ANATOMI DAN FISIOLOGYKolumna vertebralis disusun oleh 33 tulang vertebra yang terbagi atas 7 vertebra servikal, 12 vertebra thorakal, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sakral dan 4 tulang vertebra coccygeal. Setiap tulang vertebra tersusun oleh corpus vertebra, pedicle, processus tranversus, lamina dan processus spinosus. (Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)

Gambar 1. Tulang vertebra Susunan tulang vertebra distabilkan oleh ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ligamentum longitudinal posterior dan ligamentum longitudinal anterior. Khusus daerah servikal ligamentum supraspinosum disebut ligamentum nuchae. Ligamentum tersebut memberi fleksibilitas pada columna vertebralis dan sekaligus membatasi gerakan berlebihan yang dapat menciderai medula spinalis. Ligamentum longitudinalis anterior melekat pada bagian anterior korpus vertebra dan discus intervertebralis, bagian anterior arkus tulang atlas selanjutnya berinsersi pada basis cranii sebagai ligamentum atlantooccipitalis anterior. Ligamentum longitudinalis posterior melekat sepanjang bagian posterior korpus vertebra dan diskus intervertebralis, bagian posterior aksis, odontoid, selanjutnya berinsersi pada basis occiput sebagai membrana tectorial. (Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)Struktur artikulasi yang paling kompleks adalah Occipitoatlantoaxial yang fungsinya untuk menyangga kepala dan melindungi medula spinalis dari gerakan fleksi, ekstensi dan rotasi leher. Vertebra C1 disebut atlas bagian atasnya disebut konvek yaitu tempat artikulasi dengan condilus occipitalis. Bagian inferiornya datar, berartikulasi dengan bagian superior sendi facet dari vertebra C2, sedangkan vertebra C2 disebut axis. Hubungan antara korpus atlas dan axis seperti pasak. Processus superoanterior C2 disebut processus odontoid atau dens. Tidak ada diskus intervertebralis antara occiput dengan C1 dan antara C1 dan C2. (Neuwfield P, Cottrell JE, 2007; Wise Y,2010 )Tulang servikal C3-7 bentuknya hampir sama dan membentuk kanalis spinalis yang melindungi medula spinalis selama gerakan fleksi, ekstensi dan rotasi leher. Prosessus tranversus yang berada dibagian lateral sebagai tempat berjalannya arteri vertebralis. Diantara vertebra terdapat discus intervertebralis yang berisi nukleus pulposus yang dilapisi oleh jaringan ikat anulus fibrosus. (Neuwfield P, Cottrell JE, 2007; Wise Y, 2010 )Dalam stabilitas columna vertebralis dikenal istilah Three Column Concept. Stabilitas columna vertebralis ditentukan oleh vertebra itu sendiri, persendian dan disokong oleh beberapa ligamentum. Yang dimaksud dengan stabilitas disini adalah kemampuan vertebra pada kondisi fisiologis untuk mempertahankan hubungan diantara vertebra sehingga tidak terjadi kerusakan struktur saraf yang ada dalam canalis spinalis. Tiga column yang dimaksud adalah column anterior, middle dan posterior. Vertebra dikatakan tidak stabil apabila terjadi gangguan pada 2 atau lebih column tersebut.( Holwerda T, 2010)

Gambar 2. The Three Column Concept Medula spinalis mendapatkan suplai darah dari arteri spinalis anterior, arteri spinalis posterior dan arteri radikularis. Aliran darah medula spinalis ( Spinal Cord Blood Flow /SCBF) diatur melalui mekanisme autoregulasi dengan cara mengubah resistensi vaskuler sebagai respon adanya perubahan MAP. SCBF kira-kira 60 ml/100g/menit.(Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)Autoregulasi berlangsung normal pada MAP antara 50-150 mmHg. Kegagalan mekanisme autoregulasi akibat MAP kurang dari 50 mmHg mengakibatkan iskemi. Pada MAP lebih dari 150 mmHg meningkatkan alirah darah dan menyebabkan edema jaringan. Perubahan tekanan parsial CO2 dan tekanan parsial O2 akan mengganggu autoregulasi medula spinalis. Pada tekanan antara 20-80 mmHg SCBF berhubungan linier dengan PaCO2. SCBF terpelihara dengan baik pada PaO2 diatas 50 mmHg, dibawah nilai tersebut SCBF akan meningkat karena penurunan oksigenasi.( Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)

Spinal shock Spinal shock adalah neurogenik shock yang terjadi pada sebagian besar SCI. Spinal shock adalah hilangnya somatic motorik, sensorik, dan fungsi autonomic simpatis yang berkaitan dengan SCI. SCI menjadi lebih berat dan jika tingkat injury lebih tinggi, keparahan lebih besar, dan durasi spinal shock. Jadi spinal shock lebih berat pada complete cervical cord injuri bagian atas, kurang berat pada thorak injury incomplete dan minimal pada lumbal cord injuri. Bagian somatic motorik spinal shock terdiri dari paralisis, flaccid, dan tidak ada reflex pada respon deep tendon reflexes dan cutaneous reflexes,dan komponen sensorik pada semua modalitas matirasa. Komponen autonomic adalah hipotensi, kulit hyperemia dan hangat dan bradikardi yang berkaitan dengan hilangnya fungsi simpatis tapi fungsi parasimpatis menetap (vagotonia tidak dihambat). (Charles T, Neuwfield P, Cottrell JE, 2007) System nervus autonomic bekerja terus menerus, melewati divisi simpatis dan parasimpatis untuk mempertahankan keseimbangan fungsi otot polos, otot jantung dan kelenjer. Divisi simpatis memiliki hubungan dengan cord karena divisi simpatis berhubungan dengan cabang nervus spinalis pada region thoracolumbal. Parasimpatis outflow, bagaimanapun juga sebagian berhubungan dengan spinal cord karena parasimpatis outflow lebih tinggi dari brainstem, melalui nervus cranialis dengan tempat bagian yang kecil pada region sacral cord Parasimpatis outflow digambarkan sebagai craniosacral aotflow. Sampai 80 % parasimpatis outflow berasal dari nervus cranialis X, nervus vagus. (Sheerin F, 2005) Mekanisme spinal shock tidak diketahui secara pasti tapi kemugkinan karena effek local pada penghantaran impuls yang bersifat sementara pada trauma spinal cord injury yang menyebabkan perubahan neurotransmitter atau elektrolit. Pada beberapa jam pertama dan hari setelah SCI, dimana seringkali dikombinasi dengan effek fisiologis sementara spinal shock dan lebih banyak effek pathologi permanen dari cord injury. Ketika terjadi trauma medulla spinalis, akan terjadi kehilangan hantaran perpindahan ion K dari intrasel ke extracellular. Keadaan ini menyebabkan hilangnya aktifitas reflex somatic dan autonomic dibawah level saraf yang rusak. sehingga menyebabkan: (Sheerin F, 2005)

Hipotensi akibat dilatasi pasif pembuluh darah yang disebabkan hilangnya simpatik tone dan menurunnya cardiac output. Hipotensi sistemik didefinisikan tekanan darah sistolik (SBP) kurang dari 90 mmHg. Bradikardi, karena tidak adanya perlawanan stimulasi vagal terhadap jantung. Kehilangan thermoregulasi, poikilothermal akibat dilatasi pasif pembuluh darah kulit dan akibatnya ketidakmampuan mempertahankan panas tubuh dan kehilangan aktifitas kelenjer keringat karena kelemahan persyarafan dikulit. Kerusakan akut neuronal medula spinalis kemungkinan dapat disebabkan oleh dua macam penyebab yaitu: 1) primary SCI merupakan akibat langsung dari trauma mekanis yang menyebabkan gangguan dan kerusakan saraf, petechial hemorrhagese dan hematomyelia , 2) sekondari SCI merupakan akibat perubahan biokimia, enzimatik dan proses pembuluh darah. Kerusakan saraf disebabkan karena perdarahan banyak, nekrosis, hilangnya integrity membran sel, odem, inflamasi, lepasnya asam arakhidonat, lipid peroxidase, kehilangan autoregulasi pembuluh darah. ((Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)Trauma medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi saraf secara komplet maupun inkomplet. Defisit neurologis yang terjadi tergantung level medula spinalis yang mengalami kelainan. (Bisri T et all, 1997)

(Sheerin. F, 2005, SPINAL CORD INJURY: CAUSATION AND PATHOPHYSIOLOGY)

Menifestassi klinis akibat spinal cord injury : ( Bennie W et all, 1996)1. KardovasculerJejas dibawah level T6 variasi tingkat hipotensi tergantung pada fungsi simpatektomi. Pada level diatas T6 terjadi gangguan cardiovasculer diantaranya bradikardi, hipotensi, ventrikuler disfungsi, dan disarritmia yang sering dijumpai. Spinal shock sering akibat transaction anatomi dan physiologi spinal cord diatas C7, menghasilkan kehilangan impuls dari pusat yang paling tinggi seketika akibat injury. Spinal shock yang ditandai dengan flaccid paralysis, hilangnya reflex dibawah level lesi, ileus paralitik dan hilangnya sensasi viceral dan sensorik, vascular tone, dan reflek vasopressor. Sindroma ini juga ditandai disfungsi autonom dan hilangnya fungsi sensorik dan motorik bertahan beberapa hari sampai minggu. Akibat neurogenik shock menyebabkan hipotensi, bradikardi dan hipotermi.( Rao W,2008; Neuwfield P, Cottrell JE, 2007, Samantaray, 2006 )Efek trauma medula spinalis terhadap sistem kardiovaskuler tergantung pada level trauma. Level dibawah T6 mengakibatkan hipotensi akibat sympatektomy. Diatas T6 abnormalitas kardiovaskuler lebih berat dapat terjadi bradikardi, hipotensi, disfungsi ventrikel, dan disritmia. Hilangnya inervasi simpatis pada jantung pada level T1-T4 mengakibatkan parasimpatis tidak terkompensasi akibatnya terjadi bradikardi dan hipotensi. Pasien tidak dapat mempertahankan curah jantung karena hilangnyan kemampuan mempertahankan tonus pembuluh darah arteri dan kapasitans vena. Jantung kurang dapat menerima beban kenaikan venous return sehingga mudah terjadi edema paru.( ( Bennie W et all, 1996, Rao W,2008; Neuwfield P, Cottrell JE, 2007, Samantaray, 2006 )2. Respirasi Pasien dengan trauma kepala, multiple trauma dan penurunan tingkat kesadaran harus dipertimbangkan sebagai spinal injury sampai dipastikan dengan radiography. Pasien dengan tingkat kesadaran normal, gag reflex baik, dan jalan napas baik, dapat diberikan oksigen. Terjadi kehilangan kemampuan ventilasi akibat paralisis diaphragma dan intercosta menyebabkan menurunnya fungsional vital capacity dan expirasi flow rate, sehingga hampir semua pasien perawatan dirumahs akit dengan akut servical pada SCI memerlukan ventilator selama 24-48 jam. ( Bennie W et all, 1996, Rao W,2008) SCI menyebabkan gannguan terhadap sistim respirasi tergantung level dan tingkat injury, karena terjadi paralisis otot-otot abdomen, interkostal, diaphragm dan otot-otot napas tambahan. Gagal napas, atelektasis lobus berulang, hipoventilasi, ventilasi perfusi missmach, odem pulmo (neurogenik,cardiogenik), pneumonia bacterial, pneumonitis aspirasi dan coexisting trauma tumpul dada. ( Bennie W et all, 1996, Rao W,2008)Pusat respirasi di medula spinalis terdapat pada nukleus motorik C4 dan mendapat kontribusi minimal dari C3 dan C5 kemudian keluar sebagai nervus phrenikus yang mensarafi otot diafragma. Napas spontan masih bisa dilakukan dengan kapasitas vital 20-25 % normal apabila C4 normal. Kelainan diatas C3 akan menyebabkan respiratory arrest. Kelainan dibawah C5 akan terjadi penurunan fungsi respirasi karena kelemahan otot interkostalis. (Rao U, 2008; Samantaray A, 2006)3. Gastrointestinal Selama stadium akut, SCI gastrointestinal tract kehilangan autonomic neural input dan menjadi atoni. Ileus intestinal (khususnya setelah SCI pada thorak dan lumbal) dan gastric atony dapat menyebabkan distensi gaster dan pasien beresiko terjadi aspirasi. Gastritis, ulcus gaster dan perdarahan dapat terjadi setelah SCI, khususnya pasien yang membutuhkan mechanical ventilasi atau karena mendapat terapi kortikosteroid. ( Bennie W et all, 1996, Rao W,2008)4. Genitourinary Kandung kemih mengalami flaccidity dan spasticity. Akibat abnormal pengosongan kandung kemih menyebabkan infeksi kandung kemih yang berulang, batu kandung kemih, nephrocalsinosin dan urosepsis berulang. Akut renal failure tidak tidak sering terjadi tapi dapat terjadi jika terjadi akibat hipotensi, dehidrasi, sepsis dan trauma. ( Bennie W et all, 1996, Rao W,2008)5. Kontrol temperatureTemperature tubuh mendekati suhu lingkungan (poikilothermia) oleh karena ketidakmampuan untuk mempertahankan panas terhadap lingkungan dingin terus menerus, vasokontriksi dan dan ketidakmampuan untuk berkeringat pada lingkungan yang panas. Akibatnya pasien cenderung hipoterrmi jika temperature lingkungan sekitar lebih rendah dibandingkan temperature tubuh. ( Bennie W et all, 1996, Rao W,2008)6. Deep venous thrombosis Pasien dengan spine dan spinal injurie memiliki resiko yang tinggi untuk tromboemboli vena Tanpa profilaksis DVT setelah SCI akut, insidensi asymtomatik DVT mencapai 60%-100%. Dan beresiko terjadi DVT dalam waktu 72 jam setelah terjadi injury. Tromboemboli vena pada pasien dengan fraktur spine meningkat dua kali lipat dan SCI meningkat resiko sampai tiga kali lipat. ( Ball PA, 2001)Dalam penatalaksanaan pada pasien dengan lesi cervical, harus ditentukan berapa lama lesi tersebut sudah berlangsung, karena penatalaksanaannya akan berbeda setiap fase. Masing-masing fase mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. (Heath KJ, 2000)1. Fase akut (spinal shock), berlangsung kurang dari 3 hari2. Fase intermediet, sudah lebih 3 hari sampai 3 bulan3. Fase kronis, sudah lebih dari 3 bulanFase AkutHeath,2000 mengungkapkan bahwa pada fase akut terjadi spinal shock, yaitu hilangnya tonus simpatis setinggi lesi ke bawah, yang ditandai dengan hipotensi dan bradikardi. Lesi pada cervical 3,4,5 menyebabkan disfungsi diafragma dan terjadi respiratory arrest. Lesi pada cervical bawah dan daerah thorak juga terjadi gangguan respirasi dengan derajat yang lebih ringan, karena disfungsi otot-otot interkosta. Bradikardi terjadi karena gangguan nervus cardia (T1-4). Hilangnya impuls simpatis mengakibatkan vasodilatasi perifer dan hipotensi. Biasanya juga disertai gangguan motilitas usus, berupa ileus, serta meningkatkan resiko aspirasi. (Heath KJ, 2000)Fase IntermedietFase intermediet penting artinya bagi seorang anestesiolog, karena pada fase ini terjadi peningkatan kalium serum. Sebaiknya hindari pemakaian succinyl choline untuk fasilitas intubasi, karena terjadi eksodus sejumlah besar ion K+ keluar dari intra sel akibat depolarisasi. Pada trauma medula spinalis terjadi denervasi otot dalam jumlah besar, usaha fisiologis tubuh agar setiap impuls rangsangan mendapat jawaban, adalah dengan cara meningkatkan jumlah reseptor postsinaptik dan juga meningkatkan sensitifitas reseptor tersebut. Akibatnya pemberian succinyl choline akan sangat meningkatkan konsentrasi ion K+ dalam serum. Untuk itu pemakaian succinyl choline tidak dianjurkan pada 1 hari sampai 1 tahun pasca trauma. (Heath KJ, 2000)Fase KronisMasalah pada fase kronis dan pasien paraplegia antara lain : Hiperrefleksi otonom Postural hypotension Kontrol respirasi Gangguan ginjal dan elektrolit Kehilangan kontrol temperatur tubuh Ulkus dekubitus dan tromboemboliHiperrefleksia otonom terjadi pada periode 3 bulan atau lebih setelah injury medula spinalis diatas T7. Ditandai dengan adanya hiperrefleksia, spastisitas dan spasme otot secara involunter. Hiperrefleksi ini terjadi karena hilangnya kontrol dari koordinasi simpatis pusat pada hipotalamus terhadap sistem saraf simpatis spinal antara T1 L2. Stimulasi kandung kemih, daerah genital, usus dan kulit daerah perineum, impuls akan dihantarkan melalui serabut saraf sakralis dan menghasilkan sympathetic outflow yang berlebihan dari saraf simpatis diatas lesi. Keadaan ini akan menyebabkan berkeringat dan vasokonstriksi pada bagian tubuh tersebut. Jika lesi diatas T1-4, maka akan terjadi takikardia. (Heath KJ, 2000)Penderita trauma medula spinalis pada fase kronis cenderung terjadi fraktur ekstremitas pada saat gerakan dan penempatan posisi penderita untuk pembedahan. Setelah meredanya spinal shock, bisa terjadi spasme otot atau kontraktur yang menambah kesulitan dalam memposisikan penderita dan menetapkan lokasi infus pada saat akan dilakukan pembedahan. Pasien akan mudah mengalami ulkus dekubitus karena posisi tirah baring lama dan jeleknya perfusi kulit. (Heath KJ, 2000)Kerusakan pada medula spinalis di atas T7 bisa merusak pusat berkeringat yang menyebabkan beberapa penderita menjadi poikilotermi oleh karena temperatur tubuhnya tergantung pada suhu sekitarnya dan sering berkembang menjadi hipertermia yang disebabkan penderita tidak mampu menurunkan suhu tubuh akibat terganggunya proses berkeringat. (Heath KJ, 2000)

Penatalaksanaan A. Spinal ImmobilizationPergerakan segmen yang mengalami trauma akan dapat menyebabkan eksaserbasi trauma yang telah dialami. Sehingga strategi neuroproteksi yang sangat penting adalah menghilangkan kompresi medula spinalis dan mencegah gangguan neurologis lebih lanjut dengan jalan immobilisasi yang efektif sesegera mungkin baik menggunakan tong atau halotraction. Kegagalan melakukan hal tersebut dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurologis yang masih ada atau bahkan naiknya level trauma. (Schreiber D, 2009; Neuwfield P, Cottrell JE, 2007Pasien dengan trauma yang tidak stabil dibaringkan dalam keadaan traksi untuk meluruskan dan immobilisasi spine, dekompresi struktur sarafnya dan mencegah trauma lebih lanjut. Dengan menghilangkan tekanan pada medula sinalis akan memperbaiki sirkuasi mikrovaskuler yang akan mengurangi edema medula spinalis. Apabila tidak ada instabilitas tulang maka traksi tidak diperlukan misalnya pada pasien dengan trauma tembus.( Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)

B. Management Jalan Napas Pasien dengan spinal cord injury sering mengalami hypoxemia akibat hipoveltilasi atau aspirasi dari asam lambung. Pasien dengan hipoventilasi ringan dapat diterapi dengan pemberian oksigen dengan nasal kanul. Pasien dengan spinal cord injuri region cervical bagian atas membutuhkan intubasi dengan segera dan bantuan ventilator, terutama dengan trauma wajah atau thorax. ( Berney S et all, 2011)Teknik intubasi tergantung pada beratnya insufisiensi respirasi, kesulitan intubasi, dan keahlian yang dimiliki. Tanpa mempertimbangkan keadaan atau teknik yang digunakan, komplikasi neurologis dari intubasi jarang dengan ketentuan bahwa ketidakstabilan immobilisasi tulang cervical selama mempertahankan jalan napas. Idealnya intubasi harus menggunakan bronkoskopi fiberobtik. Jika intubasi emergency harus dilakukan atau fasilitas untuk elektif, bronkoskopi fiberoptik membantu intubasi tidak tersedia, nasotracheal atau orotracheal intubasi dengan melihat langsung vocal cord dengan tepat. ( Berney S et all, 2011)Cricothyroidektomi indikasi jika intubasi oral atau nasal tidak bisa, seperti pada pasien dengan trauma wajah menghalangi intubasi, emergency intubasi jarang sekali diperlukan. Setelah jalan napas dipertahankan, canul arteri harus dipasang untuk memonitor tekanan arteri parsial oksigen dan carbondioksida. Pulse oksimetri harus digunakan secara terus menerus untuk menilai adekuat saturasi oksigen arteri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Berney, waktu untuk melakukan tracheostomy berbeda mulai hari ke 3 sampai ke 10 setelah trauma dan dilaporkan pada saat setelah cervical spine anterior surgical stabilization. Pada kasus lain juga pernah dilaporkan dilakukan tracheostomi sebelum hari ke 7 untuk mengurangi penggunaan mekanikal ventilator dan lama tinggal di ICU. ( Berney S et all, 2011)

C. Resusitasi Cardiovascular Hipotensi terjadi karena hilangnya kemampuan vasokontriksi arteriol perifer dan pooling darah dipembuluh darah perifer. Terapi pertama adalah resusitasi cairan. Jika infus cairan intravena 1 - 2 L gagal untuk mengembalikan tekanan darah kebatas normal, dipertimbangkan untuk pemasangan pulmonary artery catheter. Kateterisasi arteri dan Vena central sering kali dibutuhkan untuk monitoring adekuat, melalui tekanan pengisian, akibat resusitasi cairan yang agresif dan mempertahankan untuk mengontrol tekanan darah, dimana sering kali membutuhkan terapi vasopresor. Pulmonary artery catheter digunakan untuk mengukur adekuat penggantian volume dan mengukur pulmonary-artery wedge pressure, cardiac output, tahanan pembuluh darah perifer. Pemilihan obat vasopressor sebaiknya bekerja pada reseptor dan reseptor , seperti dopamine atau norepinefrin, untuk melawan hilangnya tonus simpatis dan memberikan bantuan chronotropic pada jantung (table 1). Kerja - adrenergic seperti pheyilephrine tidak memiliki efek chronotropic yang diperlukan oleh jantung. Resolusi shock dan perbaikan perfusi jaringan ditandai dengan : urine output yang adekuat, resolusi asidosis sistemik dan mentation normal. Tekanan darah dan cardiac output dapat tercapai sesuai variasi pasien. Sasaran terapi hipotensi post SCI adalah memperbaiki perfusi spinal cord, memperbaki mean arterial pressure (MAP) mencapai normal atau sedikit dinaikan dari batas normal secepat mungkin setelah injury. Direkomendasikan MAP antara 85-90 mmHg untuk 7 hari pertama setelah akut injury. Hipertensi MAP berkisar diatas 100-110 harus dicegah karena secara teori beresiko terjadinya perdarahan dan odem pada tingkat intramedullary. (Ball PA, 2001)Standar terapi neurogenik shock adalah adekuat perfusi dengan parameter : (Bennie W et all, 1996) Tekanan darah sistolik harus diatas 90-100mmHg (MAP 85-90 mmHg). Yang terpenting terapi adalah mempertahankan adekuat oksigenisasi dan perfusi pada spinal cord injury. Laju jantung 60-100 x/mnt normal sinus ritme. Urine output harus lebih dari 30 ml/jam. Memasang Foley cateter untuk monitor urine output. Sebagai cadangan pada pasien dengan penurunan urine output meskipun resusitasi cairan telah adekuat. Biasanya dosis rendah dopamine 2-5 mcg/kg/min. Cegah terjadi hipotermiPada fase akut dimana terjadi spinal shock, yaitu hilangnya tonus simpatis setinggi lesi ke bawah, yang ditandai dengan hipotensi dan bradikardi terjadi karena gangguan nervus cardia (T1-4). Hilangnya impuls simpatis mengakibatkan vasodilatasi perifer dan hipotensi. Kondisi ini dapat diatasi dengan obat vagolitik sulfas atropin 0,01 0,02 mg/kgBB dan vasopresor seperti methoxamine, phenyleprine atau noradrenalin (Heat,2000). Biasanya juga disertai gangguan motilitas usus, berupa ileus, serta meningkatkan resiko aspirasi. Untuk itu perlu diberikan H2 antagonis, pemasangan pipa nasogastrik serta intubasi secara rapid sequence. (Heat,2000). Pasien harus mendapat profilaksis ulcer dengan histamine H2 reseptor blocker intravena untuk mengurangi sekresi asam lambung. PH lambung harus dinetralkan, dan antasida, sucralfate atau keduanya dapat ditambahkan sesuai kebutuhan. ( Ball PA, 2001)

(Ball. Perry A, 2001, Critical Care of Spinal Cord Injury, SPINE , Volume 26, Lippincott Williams & Wilkins)

Pada fase intermediet dan kronik Jika hiperfleksia terjadi, tahap pertama mengembalikan stimulasi. Seringkali terapi farmakologi dibutuhkan karena peningkatan tekanan darah yang berlebihan. Nipedipin sublingual atau obat golongan alpha blocker seperti phentolamine 2 10 mg menjadi pertimbangan pertama. Karena risiko penurunan yang tiba-tiba mengarah ke komplikasi seperti angina, penggunaannya dibatasi. Anecdotal melaporan menggambarkan manfaat nitrogliserin, diazoxide, phenoxybenzamine, prazosin, hydralazine dan clonidine. (Godim et all, 2004) Atelektasis dan pneumonia terjadi pada beberapa pasien yang tidak bergerak. Mobilisasi dini menjamin membersihkan sekresi jalan napas dan membersihkan bronkhial dapat digunakan untuk meminimal atau mencegah terjadinya atelektasi dan pneumonia. Hidrasi adekuat dapat memelihara secret lebih encer untuk memudahkan pembersihan, dan bronkoskopi mungkin dibutuhkan untuk menyedot secret yang kental. Ventilator tergantung kebutuhan pasien untuk mempertahankan paru tetap baik. (Hausman KA, 2001)Pasiem dengan SCI memiliki kebutuhan energy yang meningkat akibat stress respon metabolic. Optimal nutrisi dibutuhkan untuk mencapai stabilisasi. Balance nitrogen negative yang besar menyebabkan kerusakan kulit, memperlambat penyembuhan luka, dan kekurangan energy untuk usaha penyembuhan. Kalori yang dibutuhkan harus dihitung untuk memastikan adekuat., tapi tidak berlebihan. Total parenteral atau enteral nutrisi yang diberikan sampai pasien memiliki kemampuan untuk makan peroral. (Hausman KA, 2001)Hipotermi biasanya diatasi dengan menggunakan warmed blanked. Temperature ruangan biasanya dipertahankan sesuai kenyamanan pasien. Elektrik heating blankets atau air panas dalam botol berbahaya pada bagian tubuh karena tidak ada sensasi rasa. Diusahakan menstabilkan pasien pada suhu diatas 96,5F (35,8C). idealnya pasien ditempatkan pada ruangan yang khusus juga temperature ruangan. (Hausman KA, 2001)Ketika terjadi penekanan dalam waktu lama, menyebabkan kerusakan sirkulasi superficial dan jaringan, penekanan yang dalam waktu lama menyebabkan nekrosis dan ulkus penetrasi jaring nekrotik lebih dalam sampai kekulit, jaringan subkutis subcutis, ganggreng sampai ketulang. Sehingga penting pada pasien dilakukan perubahan posisi. Pasien dirubah posisi minimal setiap 2 jam. Kondisi kulit pasien harus diperiksa sebelum dan sesudah perubahan posisi. Terutama sekali pada daerah-daerah yang menonjol seperti earlobes, belakang kepala, siku, bagian dalam lutut dan sacral. Dapat diberikan lotion Moisturizing. (Hausman KA, 2001)Khususnya selama fase akut SCI, emboli pulmonaly menjadi potensial masalah. Pasien pasien terutama yang beresiko untuk emboli lemak karena fraktur tulang panjang. Emboli yang dini dalam bentuk deep venous thrombosis (DVT). Pencegahan DVT dengan pemberian low dose heparin atau low moleculer weight heparin dan menggunakan antiembolic stokings. Standar mini dose heparin dua kali sehari, biasanya dosis heparin dinaikkan dengan control partial tromboplastin time (PTT) dengan 1,5 dari control masih efektif tapi memiliki resiko perdarahan. ( Ball PA, 2001)

D. KortikosteroidPemberian kortikosteroid setelah trauma medula spinalis telah menjadi standar. Steroid dapat menstabilkann struktur membran, menjaga barier darah medula spinalis, meningkatkan SCBF, mengubah konsentrasi elektrolit pada daerah trauma, menghambat lepasnya endorphin, radikal bebas scavenger dan menghambat respon inflamasi setelah trauma. .(Schreiber D, 2009; Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)Penggunaan dan dosis kortikosteroid berdasarkan pada penelitian National Acute Spinal Cord Injury II Study (NASCIS) pada tahun 1990. Metilprednisolon diberikan dalam 8 jam setelah trauma dengan dosis 30 mg/kg BB bolus intravena pada jam pertama dan kemudian infus 5,4 mg/kgBB/jam dalam 23 jam berikutnya. Perbaikan fungsi motorik dan sensasi dalam 6 bulan lebih baik dibandingkan naloxone dan placebo. National Acute Spinal Cord Injury III Study (NASCIS) tahun 1997 melaporkan bahwa metilprednisolon diberikan dalam 3 jam setelah trauma, dan steroid infus hanya diberikan 24 jam paska truma. Apabila terapi dimulai pada 3-8 jam paska trauma infus steroid diberikan selama 48 jam. Kedua penelitian tersebut juga menunjukkan peningkatan resiko komplikasi pada pasien yang mendapatkan steroid. Waktu rawat di rumah sakit yang lebih lama, meningkatnya infeksi luka dan meningkatnya insidensi pneumonia, perdarahan gastrointestinal, dan sepsis.(Schreiber D, 2009; Neuwfield P, Cottrell JE, 2007)

E. Obat lainPemberian manitol 0,25-1 g/kg BB untuk terapi edema medula spinalis.5 Saline hipertonis penggunaannya baru dalam tahap eksperimental, diduga saline hipertonis dapat meningkatkan delivery metilprednisolon dan mencegah imunosupresi. (Rao P, 2008)

Laporan kasus

Data pasien Nama : Tn. I Jenis kelamin : laki-laki Umur : 39 th 10 blnTgl masuk : 29 juli 2014Diagnose masuk: Burst fraktur VC 3-4 dengan tetraparese, spinal shockBB: 60 kgMR : 01 69 29 87

AnamnesaKU: tidak bisa menggerakan anggota gerakRPP: 1 HSMRS os terjatuh dari pohon pada ketinggian 4 meter. Os jatuh dengan bahu terlebih dahulu menghantam tanah. Tidak ada riwayat benturan kepala, mual/ muntah (-), pingsan (-). Setelah trauma os tidak bisa merasakan dan menggerakan kedua tangan dan kaki. Keinginan BAB dan BAK tidak bisa dirasakan.

Secondary surveyKepala : konjungtiva tidak anemis, RC (+) pupil isokor 3 mm/mm, Leher : terpasang collar neck, NRM O2 10 l/mnt Terpasang NGT GCS E4MxV5Thorax : Breathing : spontan, RR 16-20 x/mnt, pola napas abdominal thorakal, ves +/+, rhonki -/-, whizing -/-, saturasi 100%. Circulasi : TD 92/46 mmHg, MAP 60 mmHg,HR 52 x/mnt, T/V cukup, akral hangat, Abdomen : distensi (-) peristaltic (+) normal Ginjal dan system uropoetika : terpasang kateter, jumlah urin minimal, warna kuning jernih Ekstremitas : tetraplegi, deficit neurologis kekuatan motorik 1, sensorik 0

Pemeriksaan penunjangLaboratorium Hb : 10,62Ae: 4,05Ht: 34.1At : 99Ppt: 13,4 ( 13,8)Aptt : 28,5 (30,9)INR: 1,08 Alb : 3,13Bun : 19,8Cret : 1,10SGOT: 82SGPT: 46GDS: 139Na : 138K : 3,6Cl : 99Ca : 2,11

AGD jam 05.36FiO2 0,8 l/mntPH7,42PCO227,9PO2126,9SO299 %BE-3,8HCO3-19,1AaDO2 52,8 FiO2 0.8

Ro cervical : tampak Burst fraktur VC 3-4

Assessment : Burst fraktur VC 3-4 Tetraplegi spinal shock

Penatalaksanaan Stabilisasi hemodinamik Intubasi Endotracheal Pemasangan CVC

Pembahasaan Pasien datang dari RES dengan dengan diagnose fraktur vertebra cervicalis 3-4 dengan tetraparese, spinal shock. Di ICU dilakukan monitoring EKG, noninvasive tekanan darah, pulsasi oksimetri. Pada saat datang keadaan pasien dengan kesadaran compos mentis, jalan napas clear terpasang binasal oksigen 3 l/menit. Saturasi oksigen 100%. Hemodinamik dengan Tekanan darah 94/42 mmHg (MAP 62), HR 52 x/mnt. Terpasang inotropik noradrenalin titrasi dengan syringe pump dengan dosis 0.1 g/kgBB/menit, dengan monitoring hemodinamik. Pasien terpasang collar neck untuk mengurangi pergerakan kepala dan leher, dan diposisikan in line mobilisasi dengan posisi kepala dan badan lebih tinggi dari kaki membentuk sudut 30. Diharapkan pergerakan dada tidak terganggu karena penekanan dari abdomen. Pada pasien ini terjadi fraktur cervicalis 3-4, dimana telah terjadi gangguan pola napas dengan tipe pola pernapasan abdominal thorakal, bahwa telah terjadi paralise dari otot difragma dan thorakal. Untuk melakukan intubasi pada pasien dengan dengan trauma cervicalis harus dengan in line mobilisasi, atau awake intubasi atau menggunakan fiberoptik. Pada pasien dengan dengan trauma cervicalis yang membutuhkan ventilator akan mengalami kesulitan weaning ventilator.Pada hari pertama dan kedua pasien oksigenisasi dengan NRM oksigen 8-10 l/mnt. Oksigenisasi tetap dipertahankan dengan NRM, karena kebutuhan oksigen masih tercukupi dan ini dikonfirmasi dengan hasil AGD masih dalam batas normal. Pada hari ke 3 pasien mengalami ganguan ventilasi dan saturasi mulai turun sampai 95-98% sehingga di lakukan Intubasi endotracheal dengan ventilator, dengan mode P(SIMV) 10 PEEP 5 FiO2 40 % RR 14x/mnt Sasaran terapi hipotensi post SCI adalah memperbaiki perfusi spinal cord, memperbaki mean arterial pressure (MAP) mencapai normal atau sedikit dinaikan dari batas normal secepat mungkin setelah injury. Direkomendasikan MAP antara 85-90 mmHg untuk 7 hari pertama setelah akut injury. Pada pasien ini terjadi spinal shock sehingga perlu dilakukan pemasangan monitoring hemodinamik invasive seperti CVC. Pada pasien ini hanya dilakukan pemasangan CVC untuk mengetahui kecukupan volume cairan intravascular. Pemasangan CVP diperlukan, selain untuk menilai volume intravaskuler, dapat juga untuk pemberian nutrisi parenteral. Akses untuk inotropik dan vasopressor juga direkomendasikan melalui kateter vena sentral. Pada pasien ini dilakukan pemasangan CVC disubclavia sinistra dangan CVP awal 9 cmH2O. dengan hemodinamik TD 98/46 mmHg, MAP 63 mmHg, heart rate 55 x/menit. Bahwa pasien ini memiliki volume intravascular cukup, tetapi tekanan darah yang rendah karena spinal shock sehingga diberikan initropik adrenalin dimulai dosis 0,1 g/kgBB/menit (3,75 cc/jam), dimana tekanan darah sistol diatas 100 mmHg pertahankan (MAP berkisar 60-80 mmHg) dan heart rate berkisar 45-60 x/menit. Dosis dinaikan sesuai respon hemodinamik pasien. Selama 2 hari hemodinamik stabil dengan support inotropik noradrenalin 0,1 0,3 g/kgBB/menit. Juga dilakukan monitoring suhu, dengan suhu pasien berkisar 36-39 C. Pada pasien ini terpasang NGT selain untuk pemberian nutrisi enteral, juga untuk mencegah distensi lambung dan usus serta ada resiko muntah karena gangguan passage. Pada SCI fase akut juga beresiko untuk terjadinya perdarahan gastrointestinal karena penggunaan steroid, sehingga pemberian H2 blocker direkomendasikan, dan diberikan ranitidine injeksi, selain itu untuk mengurangi insidensi ulkus peptic. Oral hygiene dan suction saliva berkala harus dilakukan, karena pasien ini tidak dapat batuk, mengurangi resiko aspirasi. Pada hari ke 0 untuk uji nutrisi masih dilakukan uji air, kemudian hari pertama mulai diberikan enteral, tetapi di awalnya masih terdapat residu dan peristaltic belum baik, hanya masuk sekitar 600 cc, kemudian hari hari berikutnya semakin membaik. Jika terjadi gangguan enteral, maka kita harus mengganti dengan parenteral sesuai kebutuhan energi yang kita inginkan. Target kebutuhan energi adalah 30-50 kkal/ kg BB/ hari. Dan kita bisa memberikan melalui akses vena sentral.Dilakukan Pemasangan kateter urine untuk mencegah distensi kandung kemih dan menilai urine output secara terus menerus karena terjadi atonia dan gangguan sistim otonom. Pada pasien ini diuresis masih normal dengan urine output rata-rata 0,7 cc/ kgbb/jam. Pada pasien post SCI resiko untuk terjadinya DVT, sehingga perlu pemberian antikoagulasi seperti heparinisasi. Diberikan heparin unfractioned dengan dosis 5000 UI/12 jam. Dengan monitoring dilakukan pemeriksaan partial tromboplastin time (PTT) setiap 2 hari sekali untuk menilai fungsi koagulasi. Pada hari ke 4 jam 16.00 pasien mulai mengalami penurunan kesadaran, dengan hemodinamik Tekanan darah 80/30 mmHg, heart rate 45-50 x/menit, saturasi O2 85%. Dilakukan evaluasi airway, memastikan ET tetap bersih tidak tertutup oleh secret dan diberikan oksigen 100%. Dosis noradrenalin dinaikan menjadi 0,5 g/kgBB/jam. Saturasi naik menjadi 95% tapi tidak terjadi peningkatan tekanan darah, denyut jantung 45-55 x/menit. Setelah 30 menit terjadi bradikardi heart rate 40 x/menit, diberikan terapi SA 2 0,5 mg IV dan berikan 2 kali selang waktu 5 menit. Kemudian terjadi henti jantung dan dilakukan resusitasi RJP , adrenalin, dan SA dan ventilasi manual selama 30 menit. Jam 17.25 pasien dinyatakan meninggal dunia.

Kesimpulan Trauma pada vertebra cervicalis 3-4 dengan spinal shock memiliki banyak potensi masalah pada organ vital terutama terhadap cardiorespirasi sehingga memerlukan perawatan yang intensif dengan monitoring non invasive dan invasive. Monitoring dengan menggunakan NIBP, EKG, pulse oksimetri dan pemasangan CVC. Dan dillakukan pemasangan kateter urine, NGT. Spinal shock adalah hilangnya somatic motorik, sensorik, dan fungsi autonomic simpatis yang menyebabkan Hipotensi, Bradikardi, dan Kehilangan thermoregulasi. SCI menyebabkan gannguan terhadap sistim respirasi tergantung level dan tingkat injury, karena terjadi paralisis otot-otot abdomen, interkostal, diaphragma dan otot-otot napas tambahan. Sehingga dilakukan tracheostomi untuk mengurangi kebutuhan mekanikal ventilator dan prolong penggunaan ventilator. Managemen spinal shock dilakukan pemberian inotropik noradrenalin, dengan target MAP antara 85-90 mmHg. Heart rate 80-90 x/mnt normal sinus ritme. Urine output harus lebih dari 0,5cc/jam/KgBB dan pencegahan terjadi hipotermi.

Daftar Pustaka

Ball. Perry A, 2001, Critical Care of Spinal Cord Injury,in SPINE , Volume 26, Lippincott Williams & Wilkins, pp S27S30. http://www.orthonurse.org/portals/0/critical%20care%20spine.pdf, Accessed 25 april 2011 Berney. S, Bragge. P, Granger. C, Opdam. H, Denehy. L, 2011. The acute respiratory management of cervical spinal cord injury in the first 6 weeks after injury: a systematic review, International Spinal Cord Society, P.17-29, http://www.nature.com/sc/journal/v49/n1/pdf/sc201039a.pdf, Accessed 25 april 2011 Bisri T, Wargahadibrata AH, Surahman E. 1997, Brain Protection. In: Neuroanestesi, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran , Bandung. C. Bennie W, Hiles, Cooper. P R, 1996, Acute Spinal Injury, Review Article, The New England Journal Of Medicine. Charles. T, Clinical Manifestations Of Acute Spinal Cord Injury, Chapter 4, http://www.spineuniverse.com/pdf/aans/p1_6aans_chapter.pdf . Accessed 25 april 2011 Gondim. FAA, Lopes. ACA, Oliveira. GR, Rodrigues. CL, Leal. PRL, Santos, 2004, Cardiovascular Control After Spinal Cord Injury, Current Vascular Pharmacology, Vol. 2, No. 1. http://www.fisiologia.ufc.br/Artigos/cardiovascularpharmacology.pdf, accessed 1 juni 2011 Hausman, Kathy A, 2001, Spinal Cord Injury in Nervus system, capter 37. P.861-889http://www.medic94.com/CCEMTP/morton_ch37%5B1%5D.pdf accessed 2 april 2011 Heath, KJ, 2000: The anaesthetic management of spinal injuries and surgery to the cervical spine. In Neuroanesthesia and Critical Care. GMM; 17:239-252. Holwerda Teri,2010, Spinal Fractures: The Three-Column Concept, Spine Universe. http://www.spineuniverse.com./displayarticl/article2718.html. Accessed 25 april 2011 Neuwfield P, Cottrell JE, 2007, Cerebral Protection and resuscitation. In Handbook of neuroanesthesia, 4rd ed., Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins, p.55-88. Neuwfield.Philippa, Cottrell. JE, 2007, Spinal Cord injury and procedures in Handbook Neuroanesthesia, 4th edition, Lippincott Williams & Wilkins, p. 216-241 Patel PM, Drummond JC. Cerebral Physiology and the effects of Anesthetics and techniques. in : Miller RD. eds. Miller`s Anesthesia 6ed. Philadelphia : Elsevier Churchill Livingstone; 2005. Rao, Umamaheswara, 2008, Anaesthetic and Intensive Care Management of Traumatic Cervical Spine Injury. Indian Journal of Anaesthesia; 52 (1): 13-22. http://medind.nic.in/iad/t08/i1/iadt08i1p13.pdf, accessed 25 April 2011 Samantaray A, 2006, Anesthesia for Spine Surgery, The Indian Anaesthetists Forum- (www.theiaforum.org) Accessed 20 april 2011. http://www.theiaforum.org/Article_Folder/anesthesia-for-spine-surgery.pdf Schreiber Donald, 2009, Spinal Cord Injuri, Treatment & Medication. http://www.emedicine.com. Accessed 8 April 2011. Sheerin. F, 2005, Spinal Cord Injury: causation and pathophysiology, In the second of three articles on spinal cord injury, emergency nurse. P. 29-37 Wise Young, 2010, Spinal Cord Injury Levels & Classification, www.sci-info-pages. http://www.sci-info-pages.com/levels.html . Accessed 2 April, 20011

Laporan kasus September 2011

PENATALAKSANAAN FRAKTUR VERTEBRA CERVICALIS 3-4 DENGAN SPINAL SHOCK DI ICU

Oleh :WAHYU NOEGROHO

Peserta PPDS-I Anesthesiologi dan ReanimasiFakultas Kedokteran UGM / RSUP DR. SARDJITO

Pembimbing Moderator

Dr. Med. Untung Widodo Sp.An, KIC Dr. Sudadi Sp.An, KNA, KAR

BAGIAN ANESTHESIOLOGI DAN REANIMASIFK. UGM / RSUP DR. SARDJITOYOGYAKARTA2014

22